Upload
pejantan-tangguh
View
95
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
ANALISIS POTENSI PENGEMBANGAN PERKEBUNAN KARET RAKYAT DI KABUPATEN MANDAILING NATAL, PROPINSI SUMATERA UTARA
Citation preview
ANALISIS POTENSI PENGEMBANGAN PERKEBUNAN
KARET RAKYAT DI KABUPATEN MANDAILING NATAL,
PROPINSI SUMATERA UTARA
HADIJAH SIREGAR
SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Potensi Pengembangan
Perkebunan Karet Rakyat di Kabupaten Mandailing Natal Propinsi Sumatera
Utara adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Maret 2011
Hadijah Siregar
NRP A156090174
ABSTRACT
HADIJAH SIREGAR. An Analysis of Rubber Smallholding Potential Development
in Mandailing Natal Regency, North Sumatra Province . Under direction of
SANTUN R.P. SITORUS and ATANG SUTANDI.
Development of preminent commodity of rubber is one of Mandailing Natal
Regency governments strategy to improve society prosperity. To support the mentioned things, this research was conducted with purposes: determining
suitability location for the development of rubber plantation based on land
evaluation, analysing financial and marketing feasibilities of rubber smallholding,
analysing the directive of rubber smallholding potential development in
Mandailing Natal Regency by using mapping and descriptive analysis. The
research result shows that acreage of potential area for the development of rubber
plantation in Mandailing Natal Regency is 460 849 ha (70.41%). Financially, the
enterprise of rubber smallholding in every land suitability class is feasible. The
market chain of rubber in Mandailing Natal Regency is not efficient enough. The
location which is able to recommended for the development of rubber plantation
in Mandailing Natal Regency based on potential location, financially and relevant
government regulations is 201 875 ha (30.84%). The performance of rubber
smallholding plantation in Mandailing Natal Regency is influenced by agricultural
extension service officer, the availability of farmer group, rubber productivity and
availability of agricultural infrastructure. Nowadays, rubber processing factory
should be built in Mandailing Natal, considering that raw materials are widely
available and added value will contribute for regional development.
Keywords: rubber smallholding, land evaluation, financial feasibility, marketing
feasibility.
RINGKASAN
HADIJAH SIREGAR. Analisis Potensi Pengembangan Perkebunan Karet Rakyat
di Kabupaten Mandailing Natal Propinsi Sumatera Utara. Dibimbing oleh :
SANTUN R.P. SITORUS dan ATANG SUTANDI.
Pengembangan subsektor perkebunan merupakan salah satu pilihan yang
cukup realistis sebagai bisnis strategis dan andalan dalam perekonomian
Indonesia. Dalam rangka penguatan sektor perkebunan di Indonesia, pemerintah
telah mencanangkan program revitalisasi perkebunan untuk pengembangan
komoditi perkebunan unggulan yakni karet, kelapa sawit dan kakao. Karet
merupakan salah satu komoditi perkebunan penting, baik sebagai sumber
pendapatan, kesempatan kerja dan devisa, pendorong pertumbuhan ekonomi
sentra-sentra baru di wilayah sekitar perkebunan karet maupun pelestarian
lingkungan dan sumberdaya hayati. Selain itu, tanaman karet ke depan akan
merupakan sumber kayu potensial yang dapat mensubstitusi kebutuhan kayu yang
selama ini mengandalkan hutan alam, sehingga karet merupakan salah satu
komoditi perkebunan yang sangat potensial untuk dikembangkan saat ini.
Kabupaten Mandailing Natal merupakan daerah dengan areal tanaman
karet terluas di Propinsi Sumatera Utara. Berdasarkan data statistik, luas lahan
yang diusahakan oleh masyarakat sampai tahun 2008 seluas 71.015 ha dengan
produksi 34.615 ton (BPS Mandailing Natal, 2009), dimana seluruh luasan
tersebut merupakan perkebunan rakyat. Tingginya minat masyarakat untuk
mengusahakan tanaman karet dengan economic scale yang sesuai untuk
perkebunan rakyat karena komoditi ini dapat diusahakan dalam skala kecil (0,5
Ha) yang sesuai untuk masyarakat kecil serta masih cukup luasnya potensi lahan
kering untuk pengembangan perkebunan dan didukung oleh kebijakan Pemerintah
Kabupaten Mandailing Natal dalam rangka upaya pengentasan kemiskinan di
Kabupaten Mandailing Natal maka perkebunan karet rakyat sangat potensial
dikembangkan di Kabupaten Mandailing Natal.
Permasalahan utama yang dihadapi perkebunan karet rakyat adalah
rendahnya produktivitas karet, dan tingginya proporsi areal tanaman karet tua,
belum efisiennya sistem pemasaran bahan olah karet, keterbatasan modal untuk
membeli bibit unggul maupun sarana produksi lain seperti pupuk, herbisida serta
ketersediaan sarana produksi pertanian di tingkat petani juga masih terbatas.
Memperhatikan potensi yang ada dan prospek masa depan serta untuk mengurangi
permasalahan yang timbul dalam pengelolaan karet di Kabupaten Mandailing
Natal, Karena itu diperlukan suatu analisis dalam rangka memberikan masukan
bagi perencanaan pengembangan perkebunan karet di Kabupaten Mandailing
Natal.
Tujuan penelitian ini adalah (1) menentukan lokasi yang berpotensi untuk
pengembangan tanaman karet rakyat berdasarkan aspek fisik, (2) menganalisis
kelayakan finansial pengusahaan kebun karet rakyat pada tiap kelas kesesuaian
lahan, (3) menganalisis margin tata niaga dan integrasi pasar dalam rantai
pemasaran cup lump karet, (4) menyusun arahan kebijakan pengembangan
perkebunan karet rakyat di Kabupaten Mandailing Natal.
Data yang digunakan adalah data sekunder yang berupa data tabular dan
peta-peta tematik digital yang berasal dari berbagai instansi pemerintah. Selain
itu, digunakan juga data primer hasil wawancara dengan petani dan pedagang
pengumpul karet. Untuk mencapai tujuan penelitian ini, analisis data yang
digunakan adalah (1) analisis Sistem Informasi Geografi (SIG), (2) analisis
kelayakan finansial, (3) analisis pemasaran yaitu analisis margin pasar dan
integrasi pasar dan (4) analisis deskriptif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar lahan di Kabupaten
Mandailing Natal sesuai untuk budidaya tanaman karet yaitu seluas 460.849 ha
(70,41%) dan lahan yang tidak sesuai seluas 193 693 ha (29,59%). Secara aktual
sebagian besar areal tergolong kelas Sesuai Marginal (S3) yaitu seluas 421.387 ha
(64,38%), sedangkan yang tergolong kelas Cukup Sesuai (S2) seluas 23.031 ha
(3,52%) dan lahan yang tergolong kelas Sangat Sesuai (S1) seluas 16.430 ha
(2,51%) untuk tanaman karet. Kecamatan dengan kelas kesesuaian S1, S2 dan S3
yang terluas secara berturut-turut adalah Kecamatan Siabu (5.915 ha), Kecamatan
Batahan (5.326 ha) dan Kecamatan Muara Batang gadis (153.857 ha).
Berdasarkan hasil analisis finansial, usaha perkebunan karet rakyat di
Kabupaten Mandailing Natal layak untuk dikembangkan terlihat dari nilai NPV,
BCR, dan IRR yang memenuhi kriteria layak. Nilai NPV bernilai positif yaitu
antara Rp93.052.838Rp37.838.270 menunjukkan bahwa keuntungan yang didapatkan selama umur produktif tanaman karet sebesar nilai tersebut. BCR yang
lebih besar dari satu (2,101,48) menunjukkan bahwa setiap satu rupiah yang diinvestasikan dalam usaha ini akan memberikan tambahan keuntungan sebesar
Rp2,10Rp1,48. Nilai IRR yang melebihi tingkat suku bunga yang berlaku menggambarkan bahwa sampai tingkat suku bunga 23%-29% usaha perkebunan
karet rakyat di Kabupaten Mandailing Natal masih memberikan nilai keuntungan
bagi petani dengan payback period antara 711 tahun. Hasil analisis sensitivitas yang dilakukan pada kegiatan perkebunan karet
rakyat di Kabupaten Mandailing Natal, pada skenario menaikkan nilai input
dengan asumsi yang lain ceteris paribus diperoleh bahwa pada tingkat kenaikan
biaya input sebesar 40 % untuk lahan S3 sudah tidak layak lagi sedangkan untuk
lahan S1 kenaikan biaya input hingga sebesar 110,3% baru menjadikan kegiatan
tersebut tidak layak. Pada skenario menaikkan tingkat suku bunga dengan asumsi
yang lain ceteris paribus, ketidaklayakan usaha perkebunan rakyat pada kelas
kesesuaian lahan S3 terjadi pada tingkat suku bunga 20,30% dan pada kelas
kesesuaian lahan S1 pada saat tingkat suku bunga 29,50%. Nilai BEP volume
produksi sebesar 1.392 kg/ha/tahun-1.679 kg/ha/tahun dan nilai BEP harga
sebesar Rp6.803Rp8.846. Kinerja pemasaran karet di Kabupaten Mandailing Natal cenderung belum
efisien yang ditunjukkan dengan besarnya share keuntungan yang masuk ke
lembaga pemasaran yang terlibat (20,88%) dan tidak adanya keterpaduan harga
pasar jangka panjang antara pasar tingkat petani dan tingkat pabrik, akibat
panjangnya rantai pemasaran dan senjang informasi harga yang terjadi. Belum
tersedianya industri pengolahan karet di Kabupaten Mandailing Natal membuat
cup lump karet yang dihasilkan di jual ke luar daerah, padahal bahan baku cukup
banyak tersedia, sehingga perkebunan karet rakyat belum memberikan nilai
tambah bagi pembangunan daerah.
Pengembangan perkebunan karet rakyat di Kabupaten Mandailing Natal
dapat diarahkan pada lahan seluas 201.875 ha (30,84%). Arahan pengembangan
ini bukan berarti menekankan agar keseluruhan luasan tersebut hanya sesuai untuk
tanaman karet, namun hanya bersifat arahan agar masyarakat yang berminat untuk
mengembangkan tanaman karet dapat menanamnya di areal arahan ini.
Berdasarkan hasil analisis, maka pemerintah perlu segera membuat kebijakan
percepatan peremajaan karet, membangun pusat informasi harga karet di tingkat
regional yang diharapkan dapat mengurangi senjang informasi harga di petani.
Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal perlu segera merealisasikan
rencana pembangunan pabrik pengolahan karet di Kabupaten Mandailing Natal
mengingat ketersediaan bahan baku yang cukup besar dan hal ini akan
berimplikasi pada peningkatan perekonomian daerah, lebih meningkatkan peran
para penyuluh dan pembentukan kelompok-kelompok tani di masyarakat untuk
meningkatkan mutu karet yang dihasilkan dan meningkatkan bargaining position
petani dalam pemasaran karet dan mengarahkan petani pada penggunaan klon
karet unggul dengan produktivitas tinggi dan teknik budidaya sesuai anjuran serta
lebih meningkatkan pengawasan terhadap distribusi pupuk dan pestisida untuk
petani.
Kata kunci : karet rakyat, evaluasi lahan, kelayakan finansial, kelayakan
pemasaran
Hak Cipta milik IPB, tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB.
ANALISIS POTENSI PENGEMBANGAN PERKEBUNAN
KARET RAKYAT DI KABUPATEN MANDAILING NATAL,
PROPINSI SUMATERA UTARA
HADIJAH SIREGAR
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Widiatmaka, DAA
Judul Tesis : Analisis Potensi Pengembangan Perkebunan Karet Rakyat di
Kabupaten Mandailing Natal
Nama : Hadijah Siregar
NRP : A156090174
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus Ir. Atang Sutandi, M.Si Ph.D
Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Ilmu Perencanaan Wilayah
Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Agr
Tanggal Ujian : Tanggal Lulus :
Kupersembahkan Karya ini
Kepada:
Almarhumah Ibunda tersayang Hj. Hasna Nasution
dan Ayahanda H. Bustaman Siregar
Saudara-saudariku (Rosmaiani Siregar & Soritua Harahap,
Aisyah Siregar & Isya Ansori Nasution,
Siti Amisah Siregar, Hamonangan Siregar & Hasan Ansari Siregar,
Rosdina Siregar & Dollar)
yang telah mendukung dan selalu mendoakanku selama ini
dan keponakan-keponakanku (Anri, Aldi, Astri, Nanda, Ari, Hasdan,
Ismail and Nazwa) yang memberi warna-warni dan kebahagian
dalam keluarga kami.
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala berkat dan
rahmat-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei sampai Desember 2010 di
Kabupaten Mandailing Natal Provinsi Sumatera Utara ini adalah pengembangan
wilayah, dengan judul Analisis Potensi Pengembangan Perkebunan Karet Rakyat
di Kabupaten Mandailing Natal.
Penulisan karya ilmiah ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari
berbagai pihak. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini penulis menghaturkan rasa
terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada Prof. Dr. Ir Santun RP
Sitorus selaku ketua komisi pembimbing dan Ir. Atang Sutandi, Msi, Ph.D selaku
anggota komisi pembimbing atas segala motivasi, arahan dan bimbingan yang
diberikan mulai dari tahap awal hingga penyelesaian tesis ini, serta Dr. Ir.
Widiatmaka, DAA selaku penguji luar komisi yang telah memberikan koreksi dan
masukan bagi penyempurnaan tesis ini. Disamping itu, penghargaan dan terima
kasih saya sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M. Agr selaku ketua
Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah dan segenap staf pengajar dan manajemen Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB, Pimpinan dan staf
Pusbindiklatren Bappenas atas kesempatan beasiswa yang diberikan bagi penulis,
Pemerintah Daerah Kabupaten Mandailing Natal yang telah memberikan izin
kepada penulis untuk mengikuti program tugas belajar ini, Pegawai Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Mandailing Natal yang telah memberikan
bantuan selama proses penelitian, sahabat-sahabat terbaikku Gank PWL kelas
Bappenas angkatan 2009 (Bang Sus, Nyak Evi, Atok (Yulita), Mba Miras, Mba Dina, Kang Ardy, Erva, Dian, Tina, Mba Riri, Mba Anna, Kak Gun, Kak Hafidz, Mas
Edi) atas segala doa, dukungan, bantuan dan kebersamaannya yang solid dan kompak selama proses belajar hingga selesai, Ivong Verawaty (atas bantuan
petanya) dan pihak-pihak lain yang tidak bisa disebutkan satu-persatu yang telah
membantu dalam penyelesaian tesis ini.
Akhirnya ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tinginya juga
disampaikan kepada almarhumah ibunda, ayahanda, serta seluruh keluarga, atas
segala doa, dukungan, pengertian dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Maret 2011
Hadijah Siregar
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kota Padangsidimpuan, Propinsi Sumatera Utara pada
tanggal 11 Oktober 1979 dari pasangan H. Bustaman Siregar dan Hj. Hasna
Nasution (Almarhumah). Penulis merupakan putri keenam dari tujuh bersaudara.
Pendidikan SD hingga SMA diselesaikan di kota kelahiran, sedangkan pendidikan
sarjana ditempuh pada Program Studi Agribisnis Jurusan Sosial Ekonomi
Pertanian Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor dan lulus tahun 2003.
Kesempatan untuk melanjutkan pendidikan pada Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor diperoleh pada tahun 2009 dan diterima pada Program Studi Ilmu
Perencanaan Wilayah melalui beasiswa pendidikan dari Pusat Pembinaan,
Pendidikan dan Pelatihan Perencana (Pusbindiklatren) Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (BAPPENAS).
Pada tahun 2003 penulis diterima sebagai pegawai negeri sipil pada Dinas
Perkebunan Kabupaten Mandailing Natal Provinsi Sumatera Utara sebagai staf.
Pada tahun 2005 penulis diangkat menjadi Pelaksana Kasi Perizinan pada Dinas
Perkebunan Kabupaten Mandailing Natal dan pada tahun 2008 penulis diangkat
menjadi Kasi Sumberdaya pada Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten
Mandailing Natal.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL iii
DAFTAR GAMBAR v
DAFTAR LAMPIRAN. vii
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ........................................................................... 1 1.2 Perumusan Masalah .................................................................... 5 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................... 7
1.3.1 Tujuan ................................................................................ 7
1.3.2 Manfaat .............................................................................. 7
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis ......................................................................... 9
2.1.1 Pembangunan Ekonomi Wilayah ...................................... 9 2.1.2 Evaluasi Kesesuaian Lahan ............................................... 10 2.1.3 Kelayakan Finansial Usahatani ......................................... 12 2.1.4 Kelayakan Pemasaran ........................................................ 12
2.1.5 Sistem Informasi Geografis ............................................... 13
2.2 Prospek Pengembangan Tanaman Karet .................................... 14
2.3 Penelitian Terdahulu ................................................................... 19
III METODE PENELITIAN
3.1 Kerangka Pemikiran ................................................................... 27 3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ...................................................... 30 3.3 Metode Pengumpulan Data ......................................................... 30 3.4 Teknik Analisis Data .................................................................. 31
3.4.1 Penentuan Lokasi Berpotensi untuk Tanaman Karet Secara Fisik ....................................................................... 31
3.4.2 Analisis Kelayakan Finansial ............................................ 34 3.4.3 Analisis Margin Tata Niaga dan Keterpaduan Pasar ...... 39
3.3.3.1 Analisis Margin Tata Niaga .................................. 39
3.3.3.2 Analisis Keterpaduan Pasar ................................... 40
3.4.4 Penyusunan Arahan Kebijakan Pengembangan Perkebunan Karet Rakyat .................................................. 41
IV GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
4.1 Pembentukan Kabupaten Mandailing Natal .............................. 49 4.2 Letak Geografis ........................................................................... 50 4.3 Kondisi Fisik Wilayah Kabupaten Mandailing Natal ................. 51
4.3.1 Topografi ........................................................................... 51 4.3.2 Morfologi Wilayah ............................................................ 52
4.3.3 Hidrologi ........................................................................... 54 4.3.4 Iklim ............................................................................. 55
4.3.4.1 Musim.................................................................. 55 4.3.4.2 Suhu dan Curah Hujan ........................................ 55
4.3.5 Jenis Tanah ........................................................................ 55 4.4 Demografi ............................................................................. 56 4.5 Perekonomian ............................................................................. 57
4.5.1 Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Mandaling Natal ........ 57
4.5.2 Struktur Perekonomian Kabupaten Mandailing Natal ....... 58
4.5.3 Peranan Subsektor Perkebunan ......................................... 59 4.5.4 Perkembangan Perkebunan Karet Rakyat di Kabupaten
Mandailing Natal ................................................................ 62
4.5.5 Karakteristik Usahatani Karet Rakyat di Kabupaten
Mandailing Natal ............................................................... 63
V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Persebaran Lokasi yang Berpotensi untuk Tanaman Karet Secara Fisik ............................................................................. 67
5.2 Kelayakan Finansial Pengembangan Perkebunan Karet Rakyat 71 5.3 Pemasaran Karet Rakyat ............................................................. 85
5.3.1 Margin Tata Niaga ............................................................. 88 5.3.2 Integrasi Pasar ................................................................... 93
5.4 Arahan Kebijakan Pengembangan Kebun Karet Rakyat ............ 96 5.4.1 Persebaran Lokasi Arahan Pengembangan Kebun Karet Rakyat di Kabupaten Mandailing Natal .......................... 96
5.4.2 Arahan Kebijakan Pengembangan Kebun Karet Rakyat .. 100
VI SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan ............................................................................. 107
6.2 Saran ............................................................................. 108
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 109
LAMPIRAN ............................................................................. 115
ii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Perkembangan Luas Perkebunan Indonesia Tahun 2005-2009 (Ha) ....................................................................... 2
2. Perkembangan Produksi Perkebunan Indonesia Tahun 2005-2009 (Ton) ..................................................................... 2
3. Tujuan, parameter, data dan sumberdata penelitian dan teknik analisis yang akan dilakukan ............................................................. 32
4. Penentuan arahan pengembangan tanaman karet di Kabupaten Mandailing Natal ......................................................... 42
5. Hasil pemekaran kecamatan-kecamatan di Kabupaten Mandailing Natal ............................................................................. 50
6. Laju Pertumbuhan Sektor Ekonomi Kabupaten Mandailing Natal Tahun 2004-2008 (persen) ................................................................. 58
7. Distribusi Persentase Sektor Ekonomi Kabupaten Mandailing Natal Tahun 2004-2008 (persen) ................................................................. 60
8. Luas Areal, Produksi dan Sentra Tanaman Perkebunan di Kabupaten Mandailing Natal tahun 2008 ........................................................... 61
9. Produksi Karet di Kabupaten Mandailing Natal Menurut Kecamatan Tahun 2008 ..................................................................... 63
10. Karakteristik usahatani karet rakyat di Kabupaten Mandailing Natal tahun 2010 ............................................................................. 64
11. Kelas dan sub kelas kesesuaian lahan aktual untuk tanaman karet di masing-masing kecamatan di Kabupaten Mandailing Natal........... 69
12. Analisis kelayakan finansial (NPV, BCR, IRR payback period) perkebunan karet rakyat di Kabupaten Mandailing Natal ................ 73
13. Analisis sensitivitas kelayakan finansial (NPV, BCR, IRR dan payback period) perkebunan karet rakyat di Kabupaten Mandailing
Natal dengan menaikkan biaya input ................................................ 79
14. Analisis sensitivitas kelayakan finansial (NPV, BCR, IRR dan
payback period) perkebunan karet rakyat di Kabupaten Mandailing
Natal dengan menaikkan tingkat suku bunga ................................... 80
15. Analisis BEP (Break Event Point) pengusahaan perkebunan karet rakyat di Kabupaten Mandailing Natal .................................... 81
16. Matrik keragaan pasar cup lump karet rakyat di Kabupaten Mandailing Natal tahun 2010 ........................................................... 89
17. Nilai margin dan persentase margin penjualan per kilogram cup lump karet pada masing-masing pelaku pasar dan saluran
pemasaran cup lump karet rakyat di Kabupaten Mandailing Natal,
tahun 2010 ............................................................................. 92
18. Hasil dugaan parameter keterpaduan pasar cup lump karet rakyat di Kabupaten Mandailing Natal ......................................................... 93
19. Pembagian prioritas arahan pengembangan tanaman Karet di Kabupaten Mandailing Natal ......................................................... 98
20. Luasan lokasi arahan pengembangan perkebunan karet rakyat beserta pemprioritasannya di Kabupaten Mandailing Natal .............. 100
iv
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Kerangka pemikiran ............................................................................. 29
2. Grafik Break Event Point (BEP) .......................................................... 38
3. Bagan alir penelitian ............................................................................. 48
4. Peta administrasi Kabupaten Mandailing Natal ................................... 51
5. Peta kemiringan lahan .......................................................................... 52
6. Peta ketinggian tempat ......................................................................... 53
7. Persentase nilai PDRB per sub sektor Kabupaten Mandailing Natal tahun 2004-2008 ............................................................................. 61
8. Produksi Karet di Kabupaten Mandaling Natal Tahun 2004-2008 ..... 62
9. Peta Kesesuaian Lahan Karet Kabupaten Mandailing Natal................ 68
10. Peta Kesesuaian Lahan Karet dengan faktor-faktor pembatas di Kabupaten Mandailing Natal................................................................ 72
11. Saluran pemasaran cup lump karet rakyat di Kabupaten Mandailing Natal kondisi tahun 2010 .................................................. 88
12. Peta Arahan Pengembangan Tanaman Karet Rakyat di Kabupaten Mandailing Natal ........................................................... 101
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Kriteria kesesuaian lahan karet ..................................................... 116
2. Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Mandailing Natal ................. 117
3. Peta Kawasan Hutan Kabupaten Mandailing Natal ...................... 118
4. Peta Pencadangan Areal Hutan Rakyat di Kabupaten Mandailing Natal .................................................... 119
5. Analisis Kelayakan Finansial Karet (1 ha) di Desa Sihepeng Kecamatan Siabu (kelas kesesuaian lahan S1) .............................. 120
6. Analisis Kelayakan Finansial Karet (1 ha) di Desa Malintang Jae Kecamatan Bukit Malintang (kelas kesesuaian lahan S1) ...... 122
7. Analisis Kelayakan Finansial Karet (1 ha) di Desa Purba Baru Kecamatan Lembah Sorik Marapi (kelas kesesuaian lahan S2) ... 124
8. Analisis Kelayakan Finansial Karet (1 ha) di Desa Roburan Lombang Kecamatan Panyabungan Selatan (kelas kesesuaian
lahan S2) ........................................................................... 126
9. Analisis Kelayakan Finansial Karet (1 ha) di Desa Tambangan Kecamatan Tambangan (kelas kesesuaian lahan S3) .................... 128
10. Analisis Kelayakan Finansial Karet (1 ha) di Desa Hutarimbaru Kecamatan Kotanopan (kelas kesesuaian lahan S3) ..................... 130
11. Perbandingan rataan komponen input dan output pengusahaan kebun karet rakyat untuk luasan 1 Ha pada kelas kesesuaian
lahan S1, S2 dan S3 di masing-masing desa sampel ..................... 132
12. Analisis Sensitivitas Kelayakan Finansial Karet (1 ha) di Desa Sihepeng Kecamatan Siabu
(kelas kesesuaian lahan S1) Menaikkan Biaya Input .................... 133
13. Analisis Sensitivitas Kelayakan Finansial Karet (1 ha) di Desa Malintang Jae Kecamatan Bukit Malintang
(kelas kesesuaian lahan S1) Menaikkan Biaya Input .................... 135
14. Analisis Sensitivitas Kelayakan Finansial Karet (1 ha) di Desa Purba Baru Kecamatan Lembah Sorik Marapi
(kelas kesesuaian lahan S2) Menaikkan Biaya Input .................... 137
15. Analisis Sensitivitas Kelayakan Finansial Karet (1 ha) di Desa Roburan Lombang Kecamatan Panyabungan Selatan
(kelas kesesuaianlahan S2) Menaikkan Biaya Input .................... 139
16. Analisis Sensitivitas Kelayakan Finansial Karet (1 ha) di Desa Tambangan Kecamatan Tambangan
(kelas kesesuaian lahan S3) Menaikkan Biaya Input .................... 141
17. Analisis Sensitivitas Kelayakan Finansial Karet (1 ha) di Desa Hutarimbaru Kecamatan Kotanopan
(kelas kesesuaian lahan S3) Menaikkan Biaya Input .................... 143
18. Analisis Sensitivitas Kelayakan Finansial Karet (1 ha) di Desa Sihepeng Kecamatan Siabu
(kelas kesesuaian lahan S1) Menaikkan Suku Bunga ................... 145
19. Analisis Sensitivitas Kelayakan Finansial Karet (1 ha) di Desa Malintang Jae Kecamatan Bukit Malintang
(kelas kesesuaian lahan S1) Menaikkan Suku Bunga ................... 147
20. Analisis Sensitivitas Kelayakan Finansial Karet (1 ha) di Desa Purba Baru Kecamatan Lembah Sorik Marapi
(kelas kesesuaian lahan S2) Menaikkan Suku Bunga ................... 149
21. Analisis Sensitivitas Kelayakan Finansial Karet (1 ha) di Desa Roburan Lombang Kecamatan Panyabungan Selatan
(kelas kesesuaianlahan S2) Menaikkan Suku Bunga ................... 151
22. Analisis Sensitivitas Kelayakan Finansial Karet (1 ha) di Desa Tambangan Kecamatan Tambangan
(kelas kesesuaian lahan S3) Menaikkan Suku Bunga ................... 153
23. Analisis Sensitivitas Kelayakan Finansial Karet (1 ha) di Desa Hutarimbaru Kecamatan Kotanopan
(kelas kesesuaian lahan S3) Menaikkan Suku Bunga ................... 155
24. Analisis Break Event Point (BEP) Harga Pengusahaan Karet (1 ha) di Desa Sihepeng Kecamatan Siabu
(kelas kesesuaian lahan S1) ........................................................... 157
25. Analisis Break Event Point (BEP) Volume Produksi Pengusahaan Karet (1 ha) di Desa Sihepeng Kecamatan Siabu
(kelas kesesuaian lahan S1) ........................................................... 159
26. Analisis Break Event Point (BEP) Harga Pengusahaan Karet (1 ha) di Desa Malintang Jae Kecamatan Bukit Malintang
(kelas kesesuaian lahan S1) ........................................................... 161
viii
27. Analisis Break Event Point (BEP) Volume Produksi Pengusahaan Karet (1 ha) di Desa Malintang Jae
Kecamatan Bukit Malintang (kelas kesesuaian lahan S1) ............ 163
28. Analisis Break Event Point (BEP) Harga Pengusahaan Karet (1 ha) di Desa Purba Baru Kecamatan Lembah Sorik
Marapi (kelas kesesuaian lahan S2) .............................................. 165
29. Analisis Break Event Point (BEP) Volume Produksi Pengusahaan Karet (1 ha) di Desa Purba Baru Kecamatan
Lembah Sorik Marapi (kelas kesesuaian lahan S2) ...................... 167
30. Analisis Break Event Point (BEP) Harga Pengusahaan Karet (1 ha) di Desa Roburan Lombang Kecamatan
Panyabungan Selatan (kelas kesesuaianlahan S2) ........................ 169
31. Analisis Break Event Point (BEP) Volume Produksi Pengusahaan Karet (1 ha) di Desa Roburan Lombang
Kecamatan Panyabungan Selatan (kelas kesesuaianlahan S2) ..... 171
32. Analisis Break Event Point (BEP) Harga Pengusahaan Karet (1 ha) di Desa Tambangan Kecamatan Tambangan
(kelas kesesuaian lahan S3) ........................................................... 173
33. Analisis Break Event Point (BEP) Volume Produksi Pengusahaan Karet (1 ha) di Desa Tambangan Kecamatan
Tambangan (kelas kesesuaian lahan S3) ....................................... 175
34. Analisis Break Event Point (BEP) Harga Pengusahaan Karet (1 ha) di Desa Hutarimbaru Kecamatan Kotanopan
(kelas kesesuaian lahan S3) ........................................................... 177
35. Analisis Break Event Point (BEP) Volume Produksi Pengusahaan Karet (1 ha) di Desa Hutarimbaru Kecamatan
Kotanopan (kelas kesesuaian lahan S3) ........................................ 179
36. Rekapitulasi harga pasar lump karet tingkat petani di Kabupaten Mandailing Natal dan harga di tingkat pabrik
di Propinsi Sumatera ..................................................................... 181
ix
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pengembangan subsektor perkebunan merupakan salah satu pilihan yang
cukup realistis sebagai bisnis strategis dan andalan dalam perekonomian
Indonesia, bahkan pada masa krisis ekonomi dengan tiga alasan utama. Pertama,
bisnis perkebunan adalah bisnis yang mempunyai daya tahan tinggi karena
berbasis pada sumberdaya domestik dan berorientasi ekspor. Hal ini tercermin
dari bisnis perkebunan yang selalu tumbuh sekitar 4% per tahun pada 25 tahun
terakhir. Kedua, bisnis perkebunan diyakini masih sangat prospektif dengan
peluang pertumbuhan berkisar antara 2%-8% per tahun, tergantung komoditinya.
Ketiga, bisnis perkebunan merupakan bisnis yang relatif intensif menggunakan
tenaga kerja, khususnya tenaga kerja yang berlokasi di pedesaan. Dengan
karakteristik tersebut, bisnis perkebunan diharapkan mampu menyerap tenaga
kerja yang lebih banyak, sekaligus memperbaiki ketimpangan distribusi
pendapatan yang kini tengah dihadapi (Ditjenbun, 2009)
Agribisnis subsektor ini mempunyai kontribusi yang signifikan terhadap
stabilitas ekonomi makro, pertumbuhan, penciptaan lapangan kerja, penerimaan
devisa dari ekspor, dan sumber bahan baku bagi industri hilir hasil pertanian. Hal
ini dapat dilihat dari produksi beberapa komoditas perkebunan dan devisa yang
dihasilkan cukup tinggi. Pada tahun 2008 dari subsektor ini diperoleh devisa
sebesar US$24,5 milyar dan tahun 2009 meningkat menjadi US$26,5 milyar.
Sementara itu, jumlah petani-pekebun yang mengelola usaha berbagai jenis
komoditas tahun 2009 sebanyak 19,70 juta KK. Hal ini membuktikan bahwa
sektor perkebunan menjadi salah satu penopang ekonomi rakyat. Perkebunan juga
mampu menghadapi berbagai krisis ekonomi seperti yang terjadi pada tahun 1997
sampai 1998 dan tahun 2008. Sektor ini juga memberikan kontribusi dalam
mengatasi berbagai masalah nasional seperti penyediaan lapangan kerja dan
penanggulangan kemiskinan (Ditjenbun, 2009).
Perkembangan luas areal dan produksi komoditi perkebunan dari tahun ke
tahun mengalami peningkatan. Luas areal perkebunan dari tahun 2005 sampai
dengan tahun 2009 meningkat sebesar 16%. Produksi perkebunan Indonesia dari
tahun 2005 sampai dengan tahun 2009 mengalami peningkatan sebesar 45,57%.
2
Perkembangan luas perkebunan Indonesia dan produksi perkebunan Indonesia
disajikan pada Tabel 1 dan Tabel 2.
Tabel 1 Perkembangan Luas Perkebunan Indonesia Tahun 2005-2009 (ha)
Komoditas 2005 2006 2007 2008 2009
K. Sawit 5.453.817 6.594.914 6.766.836 7.007.876 7.321.897
Kelapa 3.803.614 3.788.892 3.795.037 3.798.338 3.800 .846
Karet 3.279.391 3.346.427 3.413.717 3.469.960 3.524.583
Kakao 1.167.046 1.320.820 1.379.279 1.473.259 1.592.982
Kopi 1.255.272 1.308.732 1.295.912 1.302.893 1.309.184
Tebu 381.786 396.441 427.799 442.151 480.148
Jambu Mete 579.650 569.197 570.677 569.677 566.394
Cengkeh 448.857 444.658 453.292 457.172 460.186
The 139.121 135.590 133.734 129.336 129.599
Tembakau 198.212 172.234 198.054 203.627 212.698
Kapas 5.982 6.263 13.737 16.601 20.000
Lada 191.992 192.604 189.054 190.777 191.612
Jumlah 16.904.740 18.276.772 18.636.859 19.061.666 19.610.129
Sumber : Ditjen Perkebunan (2009)
Tabel 2 Perkembangan Produksi Perkebunan Indonesia Tahun 2005-2009 (ton)
Komoditas 2005 2006 2007 2008 2009
K. Sawit 11.861.615 17.350.848 17.664.725 18.089.503 19.440.292
Kelapa 3 .096.844 3.131.158 3.199.662 3.247.077 3.257.773
Karet 2 .270.891 2.637.231 2.755.172 2.921.872 3.040.110
Kakao 748.828 769.386 740.006 792.761 849.875
Kopi 640.365 682.158 676.475 682.938 689.057
Tebu 2 .241.742 2.307.027 2.623.786 2.703.975 2.954.095
Jambu Mete 135.070 149.138 146.148 142.536 133.282
Cengkeh 78.350 61.408 80.404 80.929 82.543
Teh 166.091 146.858 150.623 148.315 151.617
Tembakau 153.470 146.265 164.851 169.668 172.701
Kapas 2.241 1.627 12.768 20.523 24.725
Lada 78.328 77.533 74.131 79.726 81.662
Jumlah 21.473.835 27.460.637 28.288.751 29.176.793 31.260.190
Sumber : Ditjen Perkebunan (2009)
Indonesia merupakan negara eksportir karet terbesar kedua di dunia setelah
Thailand. Indonesia memiliki areal perkebunan karet terluas di dunia namun
produktivitasnya masih rendah. International Rubber Study Group (IRSG)
meramalkan bahwa pada tahun 2020 konsumsi karet dunia akan mencapai 10,95
juta ton dan produksi dunia mencapai 10,99 juta ton sehingga terdapat surplus
54.000 ton (Ditjenbun, 2009). Dalam rangka penguatan sektor perkebunan di
Indonesia, pemerintah telah mencanangkan program revitalisasi perkebunan yakni
3
suatu upaya percepatan pengembangan perkebunan rakyat melalui perluasan,
peremajaan dan rehabilitasi tanaman perkebunan yang didukung kredit investasi
perbankan dan subsidi bunga oleh pemerintah dengan melibatkan perusahaan
dibidang usaha perkebunan sebagai mitra pengembangan dalam pembangunan
kebun, pengolahan dan pemasaran hasil dengan tiga komoditi yaitu kelapa sawit,
karet dan kakao (Ditjenbun, 2007).
Pertumbuhan ekonomi dunia pada sepuluh tahun terakhir yang sangat pesat,
terutama China dan beberapa negara kawasan Asia-Pasifik dan Amerika Latin
seperti India, Korea Selatan dan Brazil memberi dampak pertumbuhan permintaan
karet alam yang cukup tinggi, walaupun pertumbuhan permintaan karet di negara-
negara industri maju seperti Amerika Serikat, Eropa dan Jepang relatif stagnan.
Hal ini sejalan dengan keinginan manusia menggunakan barang yang bersifat
tahan pecah dan elastis sehingga kebutuhan akan karet sebagai bahan baku
industri barang jadi karet (ban, sarung tangan karet, benang karet dan lain-lain)
saat ini akan terus berkembang dan meningkat sejalan dengan pertumbuhan
industri otomotif, kebutuhan rumah sakit, alat kesehatan, keperluan rumah tangga
dan sebagainya. Diperkirakan untuk masa yang akan datang kebutuhan karet akan
terus meningkat.
Berdasarkan data dan posisi yang cukup strategis tersebut, karet diharapkan
menjadi salah satu penggerak kebangkitan ekonomi melalui peningkatan produksi
yang akan meningkatkan ekspor karet. Hal ini akan menjadi peluang yang baik
bagi Indonesia untuk mengekspor karet dan hasil olahan industri karet yang ada di
Indonesia ke negaranegara lainnya. Luas areal perkebunan karet Indonesia
sekarang ini mencapai 3,52 juta ha yang terdiri atas 85% perkebunan rakyat dan
sisanya perkebunan besar swasta dan badan usaha milik negara dengan produksi
sekitar 3 juta ton dan menyerap sedikitnya 2,30 juta tenaga kerja. Luas
perkebunan karet Indonesia merupakan yang terluas di dunia disusul Thailand
seluas 2,76 juta ha. Pemulihan ekonomi akibat krisis global tahun 2007
menyebabkan permintaan karet juga meningkat. Diramalkan pada 2015 Indonesia
dapat meningkatkan produksi dengan laju yang tinggi, sehingga dapat melampaui
produksi Thailand (Ditjenbun, 2009)
4
Prospek karet alam akan baik selama ekonomi tumbuh dengan baik dan
produksi tidak mengalami gangguan cuaca, sehingga pemerintah perlu membuat
perencanaan yang matang dalam peremajaan dan pembukaan kebun karet baru.
Peluang untuk menjadi produsen utama di dunia dimungkinkan, karena Indonesia
mempunyai potensi sumberdaya yang sangat memadai untuk meningkatkan
produksi melalui program revitalisasi perkebunan. Pengembangan komoditas
karet di lahan kering dan kritis juga memberi kontribusi nyata dalam memelihara
bahkan memperbaiki lingkungan. Di samping itu, pengembangan komoditas karet
dalam bentuk agroforestry serta pemanfaatan kayu karet sebagai pengganti kayu
dari hutan primer merupakan kontribusi lain perkebunan karet dalam konservasi
lingkungan (Boerhendhy et al., 2003)
Kebijakan otonomi daerah melalui Undang-undang nomor 32 tahun 2004
memberikan kewenangan yang besar pada daerah dalam mengelola pemerintahan
dan sumberdaya daerah termasuk kegiatan eksplorasi, eksploitasi dan konservasi
sumberdaya alam yang diiringi dengan tanggung jawab pembiayaan
pembangunan daerah yang porsinya semakin meningkat. Berkaitan dengan upaya
pembangunan daerah, maka pengembangan ekonomi yang berbasis pada
sumberdaya lokal sebagai pusat pertumbuhan perlu diperkuat. Berdasarkan data
statistik, sektor pertanian mempunyai kontribusi yang besar terhadap PDRB
Kabupaten Mandailing Natal pada tahun 2008 yakni sebesar 46,36% dimana
14,77% diantaranya merupakan pangsa subsektor perkebunan. Komoditi karet
merupakan komoditi perkebunan yang paling banyak diusahakan oleh masyarakat.
Luas lahan yang diusahakan oleh masyarakat pada tahun 2008 seluas 71.015 Ha
dengan produksi 34.615 ton (BPS Mandailing Natal, 2009).
Penduduk Kabupaten Mandailing Natal telah mengusahakan kebun karet
secara turun-temurun dari nenek moyang dan merupakan mata pencaharian pokok
bagi sebagian besar penduduk yakni sekitar 40%, sehingga ketergantungan
masyarakat pada usaha berkebun karet ini sangat tinggi dan telah menunjukkan
hasil serta peran yang nyata bagi masyarakat dalam meningkatkan pendapatannya.
Komoditi karet bagi Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal sendiri merupakan
komoditi yang mempunyai peranan penting dalam kontribusi subsektor
perkebunan dalam upaya meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) karena
5
karet merupakan komoditi ekspor yang banyak diperdagangkan di luar negeri
dengan harga yang terus mengalami peningkatan dan merupakan komoditi
perkebunan yang masih menjadi primadona di dunia. Memperhatikan potensi
yang ada dan prospek masa depan, komoditi karet merupakan komoditi unggulan
yang berpotensi untuk dikembangkan dalam menunjang pengembangan wilayah.
1.2 Perumusan Masalah
Subsektor perkebunan merupakan salah satu motor penggerak
pertumbuhan ekonomi Kabupaten Mandailing Natal. Secara ratarata subsektor
tanaman perkebunan mengalami pertumbuhan tertinggi di sektor pertanian yakni
sebesar 6,48%. Subsektor perkebunan merupakan subsektor yang memberikan
sumbangan terbesar kedua terhadap PDRB sektor pertanian Kabupaten
Mandailing Natal yang signifikan selama lima tahun terakhir (20042008) setelah
subsektor tanaman pangan (BPS Mandailing Natal, 2009). Komoditi perkebunan
yang cukup pesat perkembangannya saat ini dan memiliki prospek pasar yang
baik di Kabupaten Mandailing Natal adalah tanaman karet. Harga jual yang tinggi
beberapa tahun terakhir membuat tingginya minat masyarakat untuk
membudidayakan tanaman karet di Kabupaten Mandailing Natal.
Permasalahan yang ada dalam pengembangan komoditi karet rakyat di
Kabupaten Mandailing Natal adalah rendahnya produktivitas karet, tingginya
proporsi areal tanaman karet tua, belum efisiennya sistem pemasaran bahan olah
karet, keterbatasan modal untuk membeli bibit unggul maupun sarana produksi
lain seperti pupuk, herbisida serta belum adanya Pabrik Crumb Rubber di
Kabupaten Mandailing Natal, sehingga belum memberikan tingkat margin yang
memadai bagi petani karet. Rendahnya produktivitas karet yang dihasilkan petani
disebabkan belum optimalnya pengelolaan kebun karet oleh petani karena
terbatasnya pengetahuan dan kemampuan teknis budidaya karet, terbatasnya
saprodi yang dimiliki petani dalam meningkatkan produksi dan kualitas hasil karet
sesuai standar, terbatasnya modal dan SDM petugas, belum berfungsinya lembaga
pendukung pengembangan agribisnis karet rakyat.
Mempertimbangkan besarnya potensi pengembangan karet di Kabupaten
Mandailing Natal dan dalam upaya penanganan permasalahan pengembangan
karet, perlu dilakukan berbagai analisis diantaranya untuk menghindari agar
6
masyarakat tidak dirugikan dengan menanam tanaman karet di lokasi yang tidak
sesuai dengan kriteria tumbuh tanaman (biofisik), aspek spasial (tata ruang) dan
aspek ekonomi. Diperlukan arahan bagi masyarakat dalam memilih lokasi yang
tepat untuk budidaya tanaman tersebut. Dengan pemilihan lokasi yang tepat
produk yang dihasilkan akan maksimal dan akan berkorelasi dengan keuntungan
yang didapat. Selain lokasi yang memenuhi persyaratan tumbuh tanaman, faktor
kelayakan usaha juga merupakan hal yang perlu diperhatikan. Aspek keuntungan
finansial merupakan suatu keharusan dalam pengusahaan suatu tanaman. Biasanya
belum ada perhitungan yang matang oleh petani dalam merencanakan
pengusahaan kebunnya, baik aspek budidaya maupun aspek pasar. Oleh karena
itu, perlu diketahui apakah kondisi perkebunan karet rakyat di Kabupaten
Mandailing Natal saat ini telah memberikan keuntungan yang sesuai bagi modal
yang telah dikeluarkan petani.
Aspek pasar merupakan salah satu faktor penentu bagi keberhasilan
pengusahaan kebun karet rakyat. Kebutuhan dunia yang cenderung terus
meningkat mengakibatkan harga karet cukup stabil dan cenderung meningkat.
Petani karet di Kabupaten Mandailing Natal menjual hasil karet dalam bentuk cup
lump (lump mangkuk) yakni getah atau lateks karet yang dikumpulkan dengan
mamakai mangkuk sehingga gumpalannya berbentuk mangkuk. Beberapa bulan
terakhir pada tahun 2010, harga jual cup lump karet di tingkat petani di Kabupaten
Mandailing Natal sebesar Rp10.000/kgRp20.000/kg. Petani tidak mengalami
kesulitan dalam penjualan cup lump karet karena pedagang pengumpul cukup
banyak yang mendatangi petani untuk membeli. Permasalahannya adalah, apakah
rantai pemasaran cup lump karet petani di Kabupaten Mandailing Natal saat ini
telah efisien? Efisien dalam arti apakah keuntungan yang diperoleh petani cukup
sebanding dengan modal atau pengorbanan yang dikeluarkan petani dan apakah
harga di tingkat petani mempunyai keterpaduan yang tinggi dengan harga di
tingkat pabrik? Bila belum efisien, faktor apa yang menyebabkannya dan apa
alternatif pemecahan masalah tersebut sehingga rantai pemasaran cup lump karet
di Kabupaten Mandailing Natal menjadi lebih efisien.
Pengembangan tanaman karet di Kabupaten Mandailing Natal diharapkan
dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, sehingga perlu adanya arahan
7
potensi pengembangan perkebunan karet rakyat yang sesuai konsep pembangunan
berkelanjutan yakni sesuai dari aspek lingkungan, ekonomi dan sosial.
Berdasarkan uraian di atas, maka dirumuskan beberapa pertanyaan penelitian
sebagai berikut :
1. Dimanakah lokasi pengembangan tanaman karet yang sesuai berdasarkan
aspek fisik dan spasial?
2. Bagaimana kelayakan finansial pengusahaan kebun karet rakyat pada tiap
kelas kesesuaian lahan?
3. Bagaimana efisiensi kelembagaan pemasaran karet rakyat?
4. Bagaimana arahan potensi pengembangan perkebunan karet rakyat di
Kabupaten Mandailing Natal?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menentukan lokasi yang berpotensi untuk pengembangan tanaman karet
rakyat berdasarkan aspek fisik
2. Menganalisis kelayakan finansial pengusahaan kebun karet rakyat pada setiap
kelas kesesuaian lahan
3. Menganalisis margin tata niaga dan integrasi pasar dalam rantai pemasaran
cup lump karet
4. Menyusun arahan kebijakan pengembangan kebun karet rakyat di Kabupaten
Mandailing Natal
1.3.2 Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan kepada Pemerintah
Daerah dalam pengambilan kebijakan pengembangan perkebunan karet di
Kabupaten Mandailing Natal untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat dan
ekonomi daerah.
8
9
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Teoritis
2.1.1 Pembangunan Ekonomi Wilayah
Secara filosofis proses pembangunan dapat diartikan sebagai upaya
sistematik dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat
menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga
yang paling humanistik (Rustiadi et al., 2009). Pembangunan ekonomi dapat
diartikan sebagai kegiatan-kegiatan yang dilakukan suatu negara untuk
mengembangkan kegiatan ekonomi dan kualitas hidup masyarakatnya.
Pembangunan ekonomi harus dipandang sebagai suatu proses dimana terjadi
saling keterkaitan dan saling mempengaruhi diantara berbagai faktor.
Pembangunan ekonomi harus dapat diidentifikasi dan dianalisis dengan seksama
sehingga diketahui tuntutan peristiwa yang timbul sehingga akan mewujudkan
peningkatan kegiatan ekonomi dan taraf kesejahteraan masyarakat dari suatu
tahap pembangunan ke tahap pembangunan berikutnya (Arsyad, 1999).
Paradigma pembangunan ekonomi wilayah seharusnya lebih mengarah pada
penguatan basis ekonomi yang memiliki prinsip keseimbangan (equity) yang
mendukung pertumbuhan ekonomi (eficiency), dan keberlanjutan (sustainability).
Pembangunan ekonomi wilayah seyogyanya juga dilakukan dengan menggunakan
paradigma baru melalui pembangunan yang berbasis lokal dan sumberdaya
domestik. Keberhasilan pembangunan ekonomi ditunjukkan oleh tiga nilai pokok,
yaitu: (1) berkembangnya kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan
pokoknya, (2) meningkatnya rasa harga diri masyarakat sebagai manusia, (3)
meningkatnya kemampuan masyarakat untuk memilih yang merupakan salah satu
hak asasi manusia (Anwar, 2001).
Pembangunan daerah merupakan bagian integral dan merupakan
penjabaran dari pembangunan nasional dalam rangka pencapaian sasaran
pembangunan yang disesuaikan dengan potensi, aspirasi, dan permasalahan
pembangunan di daerah. Kunci keberhasilan pembangunan daerah dalam
mencapai sasaran pembangunan nasional secara efisien dan efektif, termasuk
penyebaran hasilnya secara merata di seluruh Indonesia adalah koordinasi dan
keterpaduan antara pemerintah pusat dan daerah, antarsektor, antara sektor dan
10
daerah, antar provinsi, antar kabupaten/kota, serta antara provinsi dan
kabupaten/kota. Pembangunan daerah dilaksanakan dengan tujuan untuk
mencapai sasaran pembangunan nasional serta untuk meningkatkan hasil-hasil
pembangunan daerah bagi masyarakat secara adil dan merata (Nasution, 2009)
Miraza (2005) menyatakan bahwa pembangunan daerah berorientasi pada
pengembangan wilayah pada suatu daerah yang dilakukan secara gradual, yang
menyangkut fisik dan nonfisik wilayah dimana tercipta penataan ruang yang
efisien dan infrastruktur publik yang cukup serta kondisi lingkungan yang
nyaman. Dengan demikian keseimbangan antarkawasan menjadi penting karena
keterkaitan yang bersifat simetris akan mampu mengurangi disparitas antar
wilayah dan pada akhirnya mampu memperkuat pembangunan ekonomi wilayah
secara menyeluruh. Seperti halnya bagian tubuh manusia, ketidakseimbangan
pertumbuhan wilayah akan mengakibatkan kondisi yang tidak stabil. Disparitas
antar wilayah telah menimbulkan banyak permasalahan sosial, ekonomi dan
politik (Rustiadi et al., 2009).
Pembangunan ekonomi dilaksanakan secara terpadu, selaras, seimbang dan
berkelanjutan dan diarahkan agar pembangunan yang berlangsung merupakan
kesatuan pembangunan nasional, sehingga dalam mewujudkan pembangunan
ekonomi nasional perlu adanya pembangunan ekonomi daerah yang pada akhimya
mampu mengurangi ketimpangan antar daerah dan mampu mewujudkan
kemakmuran yang adil dan merata antar daerah (Wijaya dan Atmanti, 2006).
2.1.2 Evaluasi Kesesuaian Lahan
Evaluasi lahan adalah bagian dari proses perencanaan tata guna tanah
dengan membandingkan persyaratan yang diminta oleh tipe penggunaan lahan
yang akan diterapkan dengan kualitas lahan yang dimiliki oleh lahan yang akan
digunakan. Tujuan evaluasi lahan adalah untuk menentukan kelas kesesuaian
lahan untuk tujuan tertentu (Sitorus, 2004; Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007).
Pengelolaan sumber daya alam disamping memberikan manfaat masa kini,
juga menjamin kehidupan masa depan, harus dikelola sedemikian rupa sehingga
fungsinya dapat selalu terpelihara sepanjang masa. Dewasa ini dinamika
pemanfaatan lahan berlangsung relatif lebih cepat dan akibatnya terjadi perubahan
fungsi pemanfaatan lahan yang cenderung menyebabkan menurunnya kualitas
11
lingkungan dan pada akhirnya akan mengakibatkan menurunnya daya dukung
lahan, sehingga pemanfaatan lahan perlu diarahkan menurut fungsinya untuk
menghindarkan dampak pembangunan yang negatif (Faturuhu, 2009)
Potensi suatu wilayah untuk pengembangan pertanian pada dasarnya
ditentukan oleh kecocokan antara sifat fisik lingkungan yang mencakup iklim,
tanah, terain, dan hidrologi dengan persyaratan penggunaan lahan atau persyaratan
tumbuh tanaman. Kecocokan antara sifat fisik lingkungan dari suatu wilayah
dengan persyaratan penggunaan atau komoditas yang dievaluasi memberikan
gambaran atau informasi bahwa lahan tersebut potensial dikembangkan untuk
komoditas tersebut, artinya bahwa jika lahan tersebut digunakan untuk
penggunaan tertentu dengan mempertimbangkan berbagai asumsi mencakup
masukan yang diperlukan akan mampu memberikan hasil sesuai dengan yang
diharapkan (Sitorus, 2004)
Inti prosedur evaluasi lahan adalah menentukan jenis penggunaan (jenis
tanaman) yang akan ditetapkan, kemudian menentukan persyaratan dan pembatas
pertumbuhannya dan akhirnya membandingkan persyaratan penggunaan lahan
(pertumbuhan tanaman) tersebut dengan kualitas lahan secara fisik. Klasifikasi
kelas kesesuaian lahan yang biasa digunakan adalah klasifikasi menurut metode
FAO (1976). Metode ini digunakan untuk mengklasifikasikan kelas kesesuaian
lahan berdasarkan data kuantitatif dan kualitatif, tergantung data yang tersedia
(Sitorus, 2004).
Hasil penilaian kesesuaian lahan dapat berupa kelas kesesuaian lahan aktual
dan kelas kesesuaian lahan potensial. Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka
(2007), kelas kesesuaian lahan aktual menyatakan kesesuaian lahan berdasarkan
data dari hasil survei tanah atau sumberdaya lahan, belum mempertimbangkan
masukan-masukan yang diperlukan untuk mengatasi kendala atau faktor-faktor
pembatas yang berupa sifat lingkungan fisik termasuk sifat-sifat tanah dalam
hubungannya dengan persyaratan tumbuh tanaman yang dievaluasi. Kesesuaian
lahan potensial menyatakan keadaan yang akan dicapai apabila dilakukan usaha-
usaha perbaikan. Usaha perbaikan yang dilakukan harus memperhatikan aspek
ekonominya. Artinya, apabila lahan tersebut dibatasi kendala-kendalanya, maka
harus diperhitungkan apakah secara ekonomi dapat memberikan keuntungan.
12
2.1.3 Kelayakan finansial usaha tani
Untuk mengetahui secara komprehensif bagaimana aspek pengembangan
usaha suatu komoditi pertanian maka perlu dikaji kelayakannya secara finansial.
Menurut Gittinger (1986), aspek finansial terutama menyangkut perbandingan
antara pengeluaran dengan pendapatan dari usaha perkebunan karet rakyat serta
waktu didapatkannya hasil. Untuk mengetahui secara komprehensif tentang
kinerja layak atau tidaknya usaha tersebut, dikembangkan berbagai kriteria yang
pada dasarnya membandingkan antara biaya dan manfaat atas dasar suatu tingkat
harga umum tetap yang diperoleh dengan menggunakan nilai sekarang (present
value) yang telah didiskonto selama umur usaha produktif perkebunan Karet
rakyat.
Cara penilaian jangka panjang yang paling banyak digunakan adalah dengan
menggunakan Discounted Cash Flow Analysis (DCF) atau Analisis Aliran Kas
yang didiskonto (Gittinger, 1986). Analisis DCF mempunyai keunggulan yaitu
bahwa uang mempunyai nilai waktu yang merupakan ciri-ciri yang
membedakannya dari teknik lain. Ciri pokok dari analisis DCF adalah menilai
harga dengan memperhitungkan unsur waktu kejadian dan besarnya aliran
pembayaran tunai (cash flow). Biaya dipandang sebagai negative cash flow
sedangkan pendapatan dipandang sebagai positive cash flow.
Analisis sensitifitas digunakan untuk menghindari ketidakpastian
perkembangan ekonomi di masa yang akan datang dan sering analisis proyek
didasarkan pada proyeksi-proyeksi sehingga ketidakpastian yang akan terjadi di
masa yang akan datang, seperti terjadinya kenaikan biaya-biaya operasional,
terjadinya penurunan harga yang menyebabkan penurunan keuntungan dapat
diminimalisasi (Syahrani, 2003)
Analisis kepekaan/sensitivitas dilakukan untuk melihat sampai seberapa
besar (persen) penurunan atau peningkatan faktor-faktor tersebut dapat
mengakibatkan perubahan dalam kriteria investasi yaitu dari layak menjadi tidak
layak dilaksanakan (Gittinger, 1986).
2.1.4 Kelayakan Pemasaran
Tingkat efisiensi sistem pemasaran suatu usaha dapat diukur antara lain
dengan pendekatan margin tataniaga dan keterpaduan pasar. Azzaino (1983)
13
mendefinisikan margin tata niaga sebagai perbedaan harga yang dibayar
konsumen akhir untuk suatu produk dengan harga yang diterima petani produsen
untuk produk yang sama. Tomek dan Robinson (1977) mendefinisikan margin
tataniaga sebagai berikut : (1) perbedaan harga yang dibayar konsumen dengan
harga yang diterima produsen, (2) kumpulan balas jasa yang diterima oleh jasa
tataniaga sebagai akibat adanya permintaan dan penawaran.
Analisis keterpaduan pasar adalah analisis yang digunakan untuk melihat
seberapa jauh pembentukan harga suatu komoditi pada suatu tingkat lembaga
tataniaga dipengaruhi oleh harga di tingkat lembaga lainnya. Berbagai pendekatan
dapat dilakukan untuk melihat fenomena ini. Salah satunya adalah metode
Autoregressive Distributed Lag yang dikembangkan oleh Ravallion (1986) dan
Heytens (1986).
2.1.5 Sistem Informasi Geografis
Sistem Informasi Geografis (Geographic Information System/GIS) yang
selanjutnya akan disebut SIG (Sistem Informasi Geografis) merupakan sistem
informasi berbasis komputer yang digunakan untuk mengolah dan menyimpan
data atau informasi geografis (Aronoff, 1989). SIG memungkinkan pengguna
untuk memahami konsep-konsep lokasi, posisi, koordinat, peta, ruang dan
permodelan spasial secara mudah. Selain itu, dengan Sistem Informasi Geografis
pengguna dapat membawa, meletakkan dan menggunakan data ke dalam sebuah
model representasi miniatur permukaan bumi untuk kemudian dimanipulasi,
dimodelkan atau dianalisis baik secara teksdtual, secara spasial maupun
kombinasinya (analisis melalui query atribut dan spasial), hingga akhirnya
disajikan dalam bentuk sesuai dengan kebutuhan pengguna (Prahasta, 2005)
Beberapa ahli menjelaskan tahapan-tahapan kelengkapan dalam Sistem
Informasi Geografis menjadi tiga tahapan. Tahap pertama kelengkapan Sistem
Informasi Geografis adalah inventarisasi data. Data yang menjadi masukan dalam
Sistem Informasi Geografis dapat berupa peta tematik digital maupun rekaman
digital dari sistem satelit yang sudah memberikan kenampakan informasi yang
dibutuhkan (Robinson et al., 1995). Tahap kedua kelengkapan Sistem Informasi
Geografis adalah penambahan operasional analisis pada tahap pertama. Pada
tahapan ini, bentuk data diberikan kedalam data dengan menggunakan data
14
statistik. Berbagai layer dari data yang dihasilkan pada tahap pertama dianalisis
secara bersama-sama untuk menetapkan lokasi atau bentuk yang memiliki atribut
sama atau serupa (Robinson et al., 1995).
Analisis ini bisa dilakukan dengan tumpang susun (overlay). Tumpang
susun peta merupakan proses yang paling banyak dilakukan dalam SIG.
Selanjtnya kalkulasi dapat dilakukan. Kalkulasi merupakan sekumpulan operasi
untuk memanipulasi data spasial baik berupa peta tunggal maupun beberapa peta
sekaligus. Operasi ini dapat berupa penjumlahan, pengurangan, maupun perkalian
antar peta, namun dapat pula melalui pengkaitan dengan suatu basis data atribut
tertentu. Tahapan terakhir kelengkapan Sistem Informasi Geografis adalah
pengambilan keputusan. Pada tahap ini digunakan model-model untuk
mendapatkan evaluasi secara real time, kemudian hasil yang didapatkan dari
permodelan dibandingkan dengan kondisi di lapangan (Robinson et al., 1995).
Keluaran utama dari Sistem Informasi Geografis adalah informasi spasial baru
yang perlu disajikan dalam bentuk tercetak (hard copy) supaya dapat
dimanfaatkan dalam kegiatan operasional (Danoedoro, 1996).
Sistem Informasi Geografis dapat digunakan untuk membangun suatu
model pemetaan kesesuaian lahan di suatu wilayah dengan menggabungkan
prosedur evaluasi lahan dengan pilihan-pilihan pengambilan keputusan dalam
suatu Sistem Informasi Geografis (SIG). Prosedur ini mencakup 5 tahapan yaitu:
(1) mendisain unit pemetaan lahan; (2) mendiagnosa tipe-tipe penggunaan lahan
yang ada dan keperluan-keperluannya; (3) menganalisis kesesuaian lahan melalui
matching antara unit pemetaan lahan dengan tipe penggunaan lahan; (4)
mengintegrasikan data ke basis data relasional (sosial-ekonomi); (5) penyajian
peta kesesuaian lahan melalui proses join table antara hasil kesesuaian lahan
dengan unit pemetaan lahan dalam Sistem Informasi Geografis (Hashim I, 2002)
2.2 Prospek Pengembangan Tanaman Karet
Karet merupakan salah satu komoditi perkebunan penting, baik sebagai
sumber pendapatan, kesempatan kerja dan devisa, pendorong pertumbuhan
ekonomi sentra-sentra baru di wilayah sekitar perkebunan karet maupun
pelestarian lingkungan dan sumberdaya hayati. Namun sebagai negara dengan
luas areal terbesar dan produksi kedua terbesar dunia, Indonesia masih
15
menghadapi beberapa kendala yaitu rendahnya produktivitas, terutama karet
rakyat yang merupakan mayoritas areal karet nasional dan ragam produk olahan
yang masih terbatas, yang didominasi oleh karet remah (crumb rubber).
Rendahnya produktivitas kebun karet rakyat disebabkan oleh banyaknya areal
tanaman tua, rusak dan tidak produktif, penggunaan bibit bukan klon unggul serta
kondisi kebun yang tidak terawat, sehingga perlu upaya percepatan peremajaan
karet rakyat dan pengembangan industri hilir (Balitbang Pertanian, 2009).
Perkebunan karet rakyat dicirikan oleh pemilikan lahan yang sempit,
tersebar serta produktivitas mutu hasil yang rendah. Produksi karet berupa sleb,
lump, SIT angin dan jenis mutu lainnya yang dikenal dengan bokar (bahan olah
karet rakyat) dari usahatani kecil kemudian diolah oleh perusahaan pengolah
(processor) yang pada umumnya berada di dekat kota, menjadi bentuk karet
remah (crumb rubber). Proses sampai ke pabrik pengolahan, produksi karet dari
petani kecil tersebut harus melalui rantai tataniaga yang panjang menggunkan
bentuk-bentuk kelembagaan yang telah berkembang, sehingga petani seringkali
menerima bagian harga yang relatif rendah.
Kondisi agribisnis karet saat ini menunjukkan bahwa karet dikelola oleh
rakyat, perkebunan negara dan perkebunan swasta. Pertumbuhan karet rakyat
masih positif walaupun lambat yaitu 1,58%/tahun, sedangkan areal perkebunan
negara dan swasta sama-sama menurun 0,15%/tahun. Oleh karena itu, tumpuan
pengembangan karet akan lebih banyak pada perkebunan rakyat. Luas areal kebun
rakyat yang tua, rusak dan tidak produktif mencapai sekitar 400.000 hektar yang
memerlukan peremajaan. Persoalannya adalah bahwa belum ada sumber dana
yang tersedia untuk peremajaan. Di tingkat hilir, jumlah pabrik pengolahan karet
sudah cukup, namun selama lima tahun mendatang diperkirakan akan diperlukan
investasi baru dalam industri pengolahan, baik untuk menghasilkan crumb rubber
maupun produk-produk karet lainnya karena produksi bahan baku karet akan
meningkat. Kayu karet sebenarnya mempunyai potensi untuk dimanfaatkan
sebagai bahan pembuatan furniture tetapi belum optimal, sehingga diperlukan
upaya untuk pemanfaatan yang lebih lanjut (Balitbang Pertanian, 2009).
Pengembangan tanaman karet dan pengolahannya di masa mendatang tetap
menjadi salah satu prioritas pengembangan di sub sektor perkebunan. Hal ini
16
disebabkan, tanaman karet memiliki beberapa keunggulan dibandingkan
pengembangan tanaman perkebunan lainnya. Keuntungan tersebut antara lain
sebagai berikut : (1) persyaratan tumbuh yang lebih mudah dibandingkan tanaman
lainnya; (2) merupakan usaha yang didominasi oleh perkebunan rakyat; (3)
mendukung pemerataan dan pemberdayaan ekonomi rakyat; (4) penyebaran
dalam skala yang luas; (5) merupakan sumber pendapatan yang memadai secara
berkesinambungan bagi petani; (6) mampu memperbaiki kondisi hidrologis pada
lahan kritis dan memperbaiki serta melestarikan lingkungan hidup.
Dengan bertambahnya jumlah penduduk dan meningkatnya taraf hidup
diperkirakan masa depan karet alam tetap akan membaik. Kebutuhan akan
produk-produk yang menggunakan bahan karet alam sebagai bahan baku juga
akan bertambah. Persaingan antara negara produsen juga akan berlangsung ketat.
Persaingan pasar global tidak terbatas pada produk yang dihasilkan, tetapi terkait
dengan aspek proses, sumberdaya manusia dan lingkungan. Aspek lingkungan
mendapatkan porsi yang lebih besar. Hal ini yang melatarbelakangi pabrik ban
terkemuka dunia mulai memperkenalkan jenis ban yang berasal dari bahan baku
karet yang dihasilkan dari kebun-kebun dengan pengelolaan lingkungan yang baik
(green tyres). Diharapkan dengan penggunaan ban jenis tersebut permintaan
terhadap karet alam akan meningkat, karena kandungan karet alam yang semula
30-40% akan ditingkatkan menjadi 60-80% untuk industri ban (Balitbang
Pertanian, 2009).
Tujuan pengembangan karet ke depan adalah mempercepat peremajaan
karet rakyat dengan menggunakan klon unggul, mengembangkan industri hilir
untuk meningkatkan nilai tambah, dan meningkatkan pendapatan petani. Sasaran
jangka panjangnya (2025) adalah : (1) produksi karet mencapai 3,5-4 juta ton
yang 25% diantaranya untuk industri dalam negeri; (2) produktivitas akan
meningkat menjadi 1.200-1.500 kg/ha/tahun dan hasil kayu minimal 300
m3/ha/siklus tanam; (3) penggunaan klon unggul (85%); (4) pendapatan petani
menjadi US$2.000/KK/tahun dengan tingkat harga 80% dari harga FOB; dan (5)
berkembangnya industri hilir berbasis karet. Sasaran jangka menengah (2005-
2015) adalah : (1) produksi karet mencapai 2,3 juta ton yang 10% di antaranya
untuk industri dalam negeri; (2) produktivitas meningkat menjadi 800 kg/ha/tahun
17
dan hasil kayu minimal 300 m3/ha/siklus; (3) penggunaan klon unggul (55%);
(4) pendapatan petani menjadi US$1.500/KK/th dengan tingkat harga 75% dari
harga FOB; dan (5) berkembangnya industri hilir berbasis karet di sentra-sentra
produksi karet (Balitbang Pertanian, 2009)
Kebijakan operasional di tingkat on farm yang diperlukan bagi
pengembangan agribisnis karet adalah: (1) penggunaan klon unggul dengan
produktivitas tinggi (3.000 kg/ha/tahun); (2) percepatan peremajaan karet tua
seluas 400.000 ha sampai dengan 2009 dan 1,2 juta ha sampai dengan 2025;
(3) diversifikasi usahatani karet dengan tanaman pangan sebagai tanaman sela dan
ternak; dan (4) peningkatan efisiensi usahatani. Di tingkat off farm kebijakan
operasional yang dikembangkan adalah: (1) peningkatan kualitas bokar (bahan
olah karet) berdasarkan SNI; (2) peningkatan efisiensi pemasaran untuk
meningkatkan marjin harga petani; (3) penyediaan kredit usaha mikro, kecil dan
menengah untuk peremajaan, pengolahan dan pemasaran karet bersama;
(4) pengembangan infrastruktur; (5) peningkatan nilai tambah melalui
pengembangan industri hilir; dan (6) peningkatan pendapatan petani melalui
perbaikan sistem pemasaran dan lain-lain (Balitbang Pertanian, 2009)
Kebutuhan investasi untuk peremajaan selama 2005-2015 untuk seluas
336.000 ha adalah sekitar Rp2,41 trilyun, sedangkan selama 2005-2025 untuk
seluas 1,2 juta ha adalah Rp8,62 trilyun. Kebutuhan dana untuk investasi pada
pabrik karet remah dengan kapasitas 70 ton/hari adalah Rp25,6 milyar, namun
belum perlu segera penambahan pabrik baru. Untuk kayu karet, diperlukan dana
sekitar Rp2,12 milyar untuk menghasilkan treated sawn timber dengan kapasitas
20 m3/hari (Balitbang Pertanian, 2009).
Kebijakan yang diperlukan untuk percepatan investasi tanaman karet adalah:
(1) penciptaan iklim investasi yang makin kondusif seperti pemberian kemudahan
dalam proses perijinan, pembebasan pajak (tax holiday) selama tanaman atau
pabrik belum berproduksi, pemberian rangsangan kepada pengusaha untuk
menghasilkan produk akhir bernilai tambah tinggi yang non-ban, yang prospek
pasarnya di dalam negeri cerah, adanya kepastian hukum dan keamanan baik
untuk usaha maupun lahan bagi perkebunan, dan penghapusan berbagai pungutan
dan beban yang memberatkan iklim usaha; (2) pengembangan sarana dan
18
prasarana berupa jalan, jembatan, pelabuhan, alat transportasi, komunikasi, dan
sumber energi (tenaga listrik); (3) penyediaan dana dengan menghidupkan
kembali pungutan dari hasil produksi/ekspor karet (semacam CESS) yang sangat
diperlukan untuk membiayai pengembangan industri hilir, peremajaan, promosi
dan peningkatan kapasitas SDM karet; (4) pengembangan sistem kemitraan antara
petani dan perusahaan, misalnya dengan pola PIR Plus, dimana petani tetap
memiliki kebun beserta pohon karetnya, dan ikut sebagai pemegang saham
perusahaan yang menjadi mitranya (Balitbang Pertanian, 2009)
Kebijaksanaan pemerintah dalam pengembangan komoditas karet, selain
ditekankan pada peningkatan penerimaan devisa negara, juga diarahkan pada
upaya peningkatan pendapatan petani. Pendapatan petani sendiri merupakan
refleksi, produktivitas kebun dan mutu bahan olah yang dihasilkan serta
tataniaganya yang menentukan bagian harga bersih yang diterima petani.
Sebagian besar lahan perkebunan rakyat terletak di daerah dengan sarana
transportasi dan sumberdaya ekonomi yang relatif terbatas. Selain itu skala
usahatani karet rakyat umumnya kecil dengan hasil produksi berupa sleb dengan
mutu yang belum baku. Sementara dengan program crumb rubberisasi, ternyata
pusat-pusat pengolahan karet remah pada umumnya berlokasi di sekitar ibukota
propinsi atau kota-kota lainnya yang dekat dengan fasilitas pelabuhan ekspor,
sehingga terdapat jarak secara spasial yang cukup besar antara pusat-pusat
produksi karet rakyat dengan pusat-pusat pengolahannya. Keadaan demikian
menyebabkan bertambahnya permasalahan tataniaga menjadi semakin panjang,
yang ada pada gilirannya cenderung meningkatkan biaya tata niaga.
Kebijakan strategis pembangunan perkebunan secara nasional meliputi
kebijakan umum dan kebijakan teknis. Kebijakan umum adalah membangun
perkebunan yang berorientasi kepada pasar melalui peningkatan inisiatif dan
partisipasi masyarakat sehingga peran pemerintah hanya menyediakan fasilitas
umum, seperti sarana dan prasarana, iptek dan regulasi yang didasarkan kepada
mekanisme insentif dan disentif. Kebijakan teknis mencakup: (1) kebijakan
pemberdayaan masyarakat perkebunan yang dioperasionalisasikan melalui upaya
pengembangan sumber daya manusia dan penguasaan iptek dengan meningkatkan
kegiatan pendidikan, pelatihan dan penilaian kinerja serta pengembangan karier;
19
(2) kebijakan peningkatan daya saing dioperasionalisasikan melalui peningkatan
produksi dan produktivitas, efisiensi, mutu dan promosi; (3) kebijakan investasi
melalui upaya regionalisasi, penataan kembali kepemilikan, optimalisasi lahan
Hak Guna Usaha (HGU), pemanfaatan iptek hasil litbang, diversifikasi usaha
tanaman dan jaminan keamanan berusaha, dan (4) kebijakan restrukturisasi dan
renovasi kelembagaan dioperasionalisasikan melalui upaya pembentukan lembaga
keuangan alternatif, restrukturisasi, renovasi dan pengembangan lembaga
penyuluhan, lembaga petani, lembaga pemasaran, lembaga usaha dan
pengembangan jejaring kerja.
Untuk mengembangkan potensi dan memanfaatkan momentum, Pemerintah
Republik Indonesia telah menerbitkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor:
33/Permentan/PT.140/7/2006 tentang Kebijakan Pengembangan Komoditi
Perkebunan melalui Program Revitalisasi Perkebunan dengan salah satu komoditi
yang dikembangkan adalah karet. Pengembangan agribisnis karet Indonesia ke
depan perlu didasarkan pada perencanaan yang lebih terarah dengan sasaran yang
lebih jelas serta mempertimbangkan berbagai permasalahan, peluang dan
tantangan yang sudah ada serta yang diperkirakan akan ada sehingga pada
gilirannya akan dapat diwujudkan agribisnis karet yang berdaya saing dan
berkelanjutan serta memberi manfaat optimal bagi para pelaku usahanya secara
berkeadilan (Drajat dan Hendratno, 2009).
2.3 Penelitian Terdahulu
Hutagalung (1993) yang melakukan penelitian berjudul Beberapa Masalah
Tata Produksi dan Pemasaran Karet Rakyat di Kecamatan Padangsidempuan
Kabupaten Tapanuli Selatan menunjukkan bahwa penambahan luas tanah
garapan dan penggunaan input biaya produksi dalam usaha petani karet masih
dapat menaikkan produksi dan pendapatan petani. Penelitian ini juga
menyimpulkan bahwa pendapatan petani Karet masih dapat ditingkatkan lagi
dengan pendayagunaan seluruh potensi sumberdaya yang mereka miliki baik
sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia. Pemerintah perlu mengadakan
perbaikan sistem pemasaran berupa mempersingkat saluran tata niaga yaitu
dengan memanfaatkan lembaga koperasi, kebijakan perpajakan, ekspor, dan lain-
20
lain. Kurangnya peremajaan Karet yang sudah tua yang menyebabkan pendapatan
petani menurun.
Damanik (2000) melakukan penelitian dengan judul Analisis Dampak
Pengembangan Komoditas Perkebunan terhadap Perekonomian Wilayah Propinsi
Sumtera Utara menyatakan komoditas perkebunan di Propinsi Sumatera Utara
merupakan komoditas ekspor. Oleh karena pemasukan devisa negara melalui
ekspor adalah hal yang sangat penting untuk membantu pemerintah dalam
mengurangi defisit neraca pembayaran. Komoditas perkebunan tetap perlu
dikembangkan terutama pada wilayah yang relatif mempunyai tingkat pendapatan
dan kesempatan kerja yang tinggi dibanding wilayah lainnya, sehingga dengan
cara demikian selain ada pemasukan devisa untuk negara juga dapat dijadikan
instrumen dalam mengurangi kesenjangan ekonomi antar wilayah di Proinsi
Sumatera Utara.
Myria (2002) melakukan penelitian berjudul Kajian Strategi
Pengembangan Perkebunan Karet Rakyat sebagai komoditi Unggulan di
Kabupaten Kapuas Propinsi Kalimantan Tengah dengan menggunakan perangkat
analisis Matriks IFE dan EFE, Matriks TOWS dan Matriks QSPM. Melalui
penelitian tersebut diidentifikasi faktor strategis internal yang mempengaruhi
pengembangan perkebunan karet rakyat sebagai komoditi unggulan di Kabupaten
Kapuas Propinsi Kalimantan Tengah adalah: (1) kelompok fungsional, (2)
program kerja Dinas Perkebunan, (3) struktur organisasi Dinas Perkebunan, (4)
koordinasi dengan instansi terkait, (5) kualitas SDM Dinas Perkebunan, (6) sarana
dan prasarana, (7) penguasaan teknologi karet oleh petugas, (8) kurangnya
ketersediaan bibit, (9) manajemen organisasi, (10) kerja sama dengan pabrik
crumb rubber. Faktor strategis eksternalnya adalah: (1) adanya pabrik crumb
rubber, (2) karet merupakan komoditi ekspor, (3) menyerap tenaga kerja, (4) karet
telah lama dikenal secara turun temurun, dan (5) pemanfaatan kayu karet sebagai
bahan baku industri, (6) perkembangan harga karet dunia, (7) tingginya tingkat
suku bunga kredit komersil, (8) pertikaian antar etnis, (9) sarana transportasi darat
dan (10) beralihnya mata pencaharian petani ke usaha pertambangan emas rakyat.
Pangihutan (2003) melakukan penelitian dengan judul Kelayakan Finansial
dan Ekonomi Pengelolaan Kebun dan Hutan Karet Rakyat di Desa Langkap,
21
Kecamatan Sungai Lilin, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan
menyatakan bahwa analisis kelayakan yang dilakukan dengan menggunakan
tingkat faktor diskonto 18% dengan jangka waktu analisis 25 tahun untuk kebun
karet dan 42 tahun untuk hutan karet ternyata kelayakan finansial karet maupun
ekonomi kabun karet lebih baik dari hutan karet. Nilai finansial kebun karet
diperoleh NPV sebesar Rp5.577.963, IRR 30,93% dan rasio B/C 1,50 sementara
nilai finansial hutan karet adalah NPV Rp543.654, IRR 37,09% dan rasio B/C
1,08.
Sadikin, et al. (2005) yang melakukan penelitian dengan judul Dampak
Pembangunan Perkebunan Karet Rakyat Terhadap Kehidupan Petani di Riau
menyatakan bahwa sejauh ini strategi dan langkah kebijakan yang dilakukan
pemerintah untuk membangun dan mengembangkan perkebunan karet rakyat
telah dilaksanakan seperti: (1) pembentukan pusat-pusat pengolahan karet di
beberapa daerah sentra produksi dengan tujuan menampung dan mengolah lateks
dari hasil perkebunan karet rakyat dan untuk memperbaiki mutu olahannya,
(2) melakukan pembinaan perkebunan rakyat dengan membentuk unit pelaksana
proyek (UPP) yang lebih populer di Propinsi Riau dikenal dengan proyek SRDP.
Meskipun program ini berfungsi sebagai pembinaan petani karet secara
menyeluruh dari masalah budidaya sampai ke persoalan pemasaran, namun dalam
perjalanannya masih belum memberi banyak dampak dan manfaat kepada petani
kebun, terlebih lagi bagi masyarakat miskin lain di pedesaan. Penyebabnya adalah
strategi pembangunan perkebunan lebih berorientasi kepada peningkatan produksi
untuk mempercepat laju pertumbuhan ekonomi dan memperbesar devisa negara.
Sementara aspek persoalan sosial kemasyarakatan seperti lembaga-lembaga lokal
dan berbagai relasi produksi di tingkat lokal yang terkait langsung dengan upaya
peningkatan taraf kehidupan masyarakat di pedesaan terkesan diabaikan.
Liu, et al. (2006) dalam penelitiannya yang berjudul Environmental And
Socioeconomic Impacts of Increasing Rubber Plantations In Menglun Township,
Southwest China menyatakan bahwa perubahan yang signifikan dalam
penggunaan lahan dan tutupan lahan telah terjadi di Kecamatan Menglun, Cina
Barat Daya yang merupakan wilayah yang memiliki keanekaragaman agro-
ekologi yang tinggi. Analisis citra satelit menunjukkan bahwa pada tahun 1988-
22
2003, luas perkebunan karet di wilayah ini meningkat sebesar 324%. Ekspansi ini
umumnya terjadi pada hutan dan pertanian berpindah. Kebanyakan perluasan
karet berada di daerah dataran rendah, di mana kesesuaian iklim mikro dan
kedekatan dengan jalan lebih dipilih untuk pengembangan industri karet. Pesatnya
perkembangan karet sebagai tanaman komersial dengan mengorbankan pertanian
tradisional ditandai dengan hilangnya lahan pertanian tradisional dan peningkatan
urbanisasi dan perkembangan tanaman komersial. Secara ekonomi, perubahan ini
menunjukkan standar hidup masyarakat lokal yang lebih baik dimana dari tahun
1988-2003, total pendapatan bersih kecamatan meningkat dari CNY4.000.000
(US$0,490) menjadi CNY44.000.000 (US$5,490). Peningkatan jumlah populasi
dan standar hidup dari daerah tersebut memperbesar tekanan terhadap lingkungan
dan sumberdaya lahan yang tersedia. Meskipun pemerintah menganggap karet dan
perkebunan lain seperti teh dan gula menjadi Green Industry, hilangnya hutan
hujan tropis dan lahan pertanian (termasuk kegiatan pertanian berpindah)
menunjukkan bahwa potensi dampak kebijakan untuk mempromosikan Green
Industry harus dipertimbangkan dengan hati-hati, karena ada risiko yang terlalu
berat pada 1 atau 2 tanaman, terutama sekarang, di era pasar bebas yang sebagian
besar tanaman tidak dilindungi. Hilangnya sistem pertanian tradisional yang
fleksibel adalah sesuatu yang harus dimonitor dengan baik. Demikian pula,
hilangnya keanekaragaman hayati juga harus menjadi perhatian besar, terutama
dikarenakan sistem perkebunan karet yang dilaksanakan di Cina umumnya sistem
monokultur dan dengan pembersihan lahan serta mengorbankan areal-areal hutan
yang ada.
Sitepu (2007) melakukan penelitian dengan judul Analisis Produksi Karet
Alam (Hevea Brasiliensis) Kaitannya dengan Pengembangan Wilayah
menyatakan bahwa karet merupakan komoditi yang memiliki pasar yang cukup
besar, baik dalam negeri maupun luar negeri. Produksi Indonesia banyak
ditunjang oleh adanya perkebunan karet rakyat akan memiliki arti yang penting
sekali dalam upaya peningkatan pendapatan kesejahteraan petani serta upaya
peningkatan devisa serta perekonomian Indonesia pada umumnya. Berkaitan
dengan pengembangan budidaya tanaman karet di Propinsi Sumatera Utara,
penelitian ini difokuskan pada pengeruh permintaan pasar, harga karet dan tenaga
23
kerja terhadap luas lahan dan produksi karet. Subjek penelitian ini adalah
keseluruhan perkebunan karet di Sumatera Utara. Objek penelitian ini adalah luas
lahan dan produksi karet di Propinsi Sumatera Utara sebagai indikator
pengembangan perkebunan karet di Propinsi Sumatera Utara. Memperhatikan
pengaruh pasar terhadap pengembangan wilayah di Sumatera Utara, maka
disarankan perlu adanya kebijakan pemerintah Propinsi Sumatera Utara maupun
pengelola perdagangan karet alam untuk meningkatkan perkebunan karet, melalui
pemberian modal usaha serta pengaturan sistem perdagangan karet alam yang
memberikan keuntungan bagi petani serta perlu diupayakan kebijakan yang
menyangkut pengembangan industri produk turunan karet alam.
Goswami, et al. (2007) dalam penelitiannya yang berjudul Economic
Analysis of Smallholder Rubber Plantations in West Garo Hills District of
Meghalaya melakukan analisis kepada kelompok petani perkebunan karet di
Meghalaya, India. Perkebunan karet sebagai komoditi utama di wilayah ini
merupakan komoditi unggulan yang sangat menguntungkan dengan harga yang
tinggi dan sistem pemasaran yang transparan dan efektif. Hasil analisis
menunjukkan bahwa perkebunan karet di wilayah ini merupakan mata
pencaharian utama masyarakat terutama petani-petani kecil. Total biaya untuk
pembangunan perkebunan karet sebesar Rs 22.548/ha. Hal ini membutuhkan
pasokan kredit yang terus meningkat sejalan dengan peningkatan biaya
input. Pemerintah India telah meluncurkan program khusus untuk sektor ladang
kecil dengan pinjaman jangka panjang, subsidi input dan subsidi bunga, tetapi
program ini masih tidak banyak dikenal orang dan ada kasus di mana para petani
karet tidak bisa memanfaatkan subsidi karena berbagai syarat dan kondisi kaku
yang dikenakan pada penerima manfaat. Adanya gangguan sosial-politik dan non-
ketersediaan sumber daya investasi yang cukup merupakan masalah yang paling
menghambat perluasan perkebunan karet. Perluasan perkebunan karet sudah mulai
dikembangkan di wilayah India, sehingga ada kebutuhan mendesak untuk
mengembangkan keterampilan dalam seni penyadapan dan budidaya. Dalam
konteks ini Pemerintah India telah melaksanakan program pelatihan yang juga
merupakan salah satu solusi untuk mengatasi meningkatnya permintaan tenaga
kerja terampil. Suatu kebijakan yang harmonis dapat dilakukan dengan
24
mentransfer hak kepemilikan wilayah pengembangan karet kepada para petani,
diintegrasikan dengan rencana kredit yang sehat dan program pengembangan
pelatihan keterampilan, diharapkan dapat mengubah program pengembangan
perkebunan karet rakyat sebagai alternatif penggunaan lahan yang cocok untuk
perladangan berpindah, hal itu akan mempertahankan pendapatan, pekerjaan dan
mencegah degradasi lingkungan.
Parhusip (2008) menyatakan bahwa potensi karet alam dalam jangka
panjang masih cukup baik yang disebabkan kebutuhan karet merupakan
kebutuhan dasar dalam keperluan sehari-hari dan beberapa negara berkembang
mengalami pertu