Upload
others
View
13
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Jurnal Komunikasi Global, 9(2), 2020 ISSN: 2614-7998 (Print), 2614-218X (Online)
ANTI ISLAM HINGGA DEKAT EMAK-EMAK: PERANG CITRA JOKOWI DAN PRABOWO PADA PEMILIHAN PRESIDEN 2019
Fathul Qorib, Mohammad Saleh
Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Tribhuwana Tunggadewi Email: [email protected]
Diterima: 2 Juli 2020; Direvisi: 15 Agustus 2020; Disetujui: 17 Oktober 2020
Abstrak Pencitraan yang dilakukan kandidat presiden bisa terjadi dalam berbagai media. Salah satu media yang jarang dipakai tetapi unik adalah melalui video klip Goyang Jempol Jokowi Gaspol dan The Power of Emak-Emak. Penelitian ini menggunakan segitiga makna semiotika C. S. Pierce yaitu representamen, objek, dan interpretan, guna mengungkap interpretasi tersembunyi dari video klip politik tersebut. Penggunaan konsep ini dibatasi pada interpretan pada gambar dibandingkan pada lirik lagu. Jenis penelitian adalah deskriptif kualitatif agar dapat mendukung teori semiotika untuk mengungkap makna dari kedua video klip tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Jokowi direpresentasikan sebagai sosok merakyat yang selalu didukung masyarakat, dekat dengan generasi milenial, dan sosok yang tidak anti Islam. Sedangkan Prabowo direpresentasikan sebagai sosok yang dicintai para emak-emak, sosok yang dekat dengan ulama dan umat Islam, dan sosok yang bisa memberikan solusi dari masalah-masalah yang muncul sejak pemerintahan Jokowi. Video klip yang digunakan oleh Jokowi dan Prabowo memiliki penggambaran citra yang ingin ditonjolkan guna memenangkan pemilihan presiden. Kata Kunci: Analisis Semiotika, Goyang Jempol, Pemilihan Presiden 2019, The Power of Emak-Emak
Abstract
A presidential candidate's political imaging can take many forms. One of the unique media that is rarely used is video clips, such as Goyang Jempol Jokowi Gaspol and The Power of Emak-Emak. This study used triadic relations, from C. S. Pierce's semiotics, between representamen, objects, and interpretants, to uncover hidden interpretations of the political video clips. The research was a qualitative descriptive study to support the theory of semiotics to reveal profound meanings in the video clips. The use of this concept was limited to interpretants in images rather than song lyrics. The results of this study found that Jokowi was represented as a populist figure who was always supported by the community, close to the millennial generation, and not anti-Islam. Meanwhile, Prabowo was represented as a figure who was loved by Indonesian women, close to ulama and Muslims, and can provide solutions to problems that have emerged since Jokowi's administration. The video clips used by Jokowi and Prabowo contained highlighted images of both candidates to win the presidential election. Keywords: Goyang Jempol, Presidential Election 2019, Semiotic Analysis, The Power of Emak-Emak
Anti Islam Hingga Dekat Emak-Emak: Perang Citra Jokowi dan Prabowo Pada Pemilihan Presiden 2019 Fathul Qorib, Mohammad Saleh
188
Pendahuluan
Pemilihan presiden (Pilpres) selalu menyediakan ruang bagi kandidat untuk
bertukar pikiran, adu gagasan, hingga perang citra untuk mendapatkan simpati
masyarakat sebanyak-banyaknya. Rakyat Indonesia sendiri sudah terbiasa dengan pola-
pola pertarungan politik yang selalu menguat menjelang pemilihan (Zuhro, 2019). Hingga
kini perseteruan dari masing-masing kandidat terus muncul. Meskipun kondisi tersebut
wajar dalam era demokrasi, namun Pilpres 2019 melahirkan dua kubu yang saling
bermusuhan sehingga menyita perhatian publik (Karim, 2019). Polarisasi ini semakin
menguat ketika muncul sebutan khas “cebong” dan “kampret” untuk mengelompokkan
perbedaan pemilihan politik yang membuat rivalitas politik semakin terbuka dan
perpecahan pada masyarakat semakin luas (Stefanie, 2019; Tazri, 2019a, 2019b).
Hingga sekarang penyebutan cebong dan kampret dalam diskursus politik tanah
air masih terus terjadi di berbagai media sosial sebagai representasi kehidupan dalam
jaringan (daring). Perang tagar juga tidak dapat dihindari setiap ada kebijakan pemerintah
yang tidak sejalan dengan pihak oposisi, mulai dari sebelum Pilpres hingga saat Pilpres
(Ariefana, 2018; Mabruroh, 2019). Konflik yang tidak bisa ditolak juga berkaitan dengan
politisasi agama (Ikasari & Arifina, 2019; Pepinsky, 2019; Setiawan, 2019). Menurut
Romo Benny Susetyo, politisasi agama digaungkan karena calon pemimpin politik tidak
memiliki program kerja yang jelas sehingga menggunakan agama sebagai isu sentral
(Sukoy, 2019).
Pilpres 2019 kali ini memang sedikit berbeda karena memiliki pesan perpecahan
yang kuat ketika dua saingan paling fenomenal bertarung. Adu gengsi dua tokoh politik
nasional ini diwarnai dengan banyak manajemen citra, termasuk menggunakan lagu
ketika kampanye. Pencitraan yang terjadi dalam kontestasi politik merupakan satu
keniscayaan. Pada tingkat dasar, seluruh kandidat kepala daerah maupun kepala negara
akan melakukan perkenalan dengan masif di seluruh media. Hal ini untuk menjajaki
popularitas seorang politisi sebelum memutuskan strategi komunikasi politik yang efektif
dan efisien (Tamaka & Susanto, 2013). Pencitraan politik tidak menjamin seseorang
memenangkan kompetisi politik tetapi merupakan salah satu strategi yang dapat
menjamin efektivitas kampanye sehingga tingkat keterpilihannya tinggi (Husna, 2017; C.
D. Putri, Cangara, & Sultan, 2013).
Jurnal Komunikasi Global, 9(2), 2020, pp. 187-208
189
Seorang politisi harus memperhatikan pencitraan dirinya sebagai agenda politik
jangka panjang yang pada suatu saat dapat dimanfaatkan. Menurut Bungin (2018), ada
lima langkah pencitraan yang bisa dilakukan oleh kandidat. Pertama, bisa dimulai dari
memilih konten yang sesuai dengan karakteristik yang hendak dibangun. Kedua, memilih
saluran media yang dapat menjangkau khalayak luas lalu mempublikasikannya secara
masif. Ketiga, mengulang-ulang citra tersebut sehingga terpatri dalam pikiran khalayak.
Keempat, mengukur efektivitas konten, objek, dan saluran yang sudah digunakan.
Terakhir, mempertahankan pencitraan yang berhasil dan mengganti pencitraan yang
gagal.
Langkah-langkah tersebut secara sistematis dapat meningkatkan citra seorang
politisi. Tetapi pada dasarnya pencitraan tidak dapat dilakukan secara tergesa-gesa. Citra
harus didesain menggunakan berbagai rumusan agar dapat dianalisis dan dievaluasi
sehingga tujuan pencitraan tercapai. Dalam konteks komunikasi pemasaran ada istilah
branding yang dapat disematkan pada politik; political branding, yang menggunakan
seluruh sumber daya guna menciptakan citra yang smooth, cepat, dan tepat sasaran
(Priantana & Santoso, 2019). Keunggulan branding yang lain adalah mampu
mengonseptualisasikan bermacam-macam keunggulan dalam satu narasi tunggal yang
mudah diingat sehingga dapat memengaruhi khalayak (Wasesa, 2013). Berbagai macam
media dapat digunakan untuk mencitrakan kandidat, seperti baliho, pamflet, iklan di
media, hingga video klip.
Video klip berjudul Goyang Jempol Jokowi Gaspol diciptakan oleh salah satu
pendukung Jokowi, Marzuki Mohammad atau yang dikenal dengan Kill the DJ. Dia
menciptakan lagu Goyang Jempol sebagai bentuk dukungan untuk Jokowi yang
mencalonkan presiden pada Pilpres 2019. Video klip ini tidak hanya mengandalkan musik
dan lirik, tetapi juga memiliki gambar yang mendukung keseluruhan cerita. Goyang
Jempol yang memiliki durasi total 4 menit 53 detik ini lebih banyak mengambil warga
biasa yang berada di pasar, lalu berangsur-angsur pindah ke beberapa tokoh politik,
masyarakat kelas menengah ke atas, artis, hingga komedian. Jika lagi Goyang Jempol
banyak mengeksplorasi tentang dukungan masyarakat terhadap Jokowi, lagu The Power
of Emak-Emak lebih mengarah pada kritik terhadap pemerintahan Jokowi 2014-2019.
Video klip ini diciptakan oleh sekelompok wanita pendukung Prabowo Sandi yang
terkumpul dalam Wanita Peduli Prabowo Sandi (Walipadi). Video ini dengan durasi 3
Anti Islam Hingga Dekat Emak-Emak: Perang Citra Jokowi dan Prabowo Pada Pemilihan Presiden 2019 Fathul Qorib, Mohammad Saleh
190
menit 57 detik ini lebih banyak menampilkan kritik sosial dengan mengambil latar ibu-
ibu dari kalangan menengah sejak awal, lalu ada adegan yang menggambarkan kebutuhan
pokok mahal, mencari pekerjaan susah, dan tagar #gantiandong.
Video klip dipilih karena menjadi bagian dari strategi pemenangan masing-
masing kandidat dalam pemilihan presiden 2019 dan telah banyak dikonsumsi oleh
masyarakat. Sebagai media kampanye, video klip diharapkan dapat menjadi pendongkrak
popularitas, elektabilitas, dan loyalitas kandidat di hati dan pikiran masyarakat. Lagu
yang mengiringi video klip ini memiliki pesan-pesan yang dapat memengaruhi
masyarakat sesuai dengan teks yang dinyanyikan (Meliana, 2014). Dalam konteks Pilpres
2019, lagu dapat menguatkan apa yang sudah dipercayai oleh masyarakat terhadap dua
kandidat presiden, tetapi dapat juga digunakan untuk meraih kepercayaan dari kelompok
yang berseberangan agar mengubah pendapat mereka. Video klip menggambarkan
beraneka ragam makna yang kalau diputar berulang ulang dapat membangun imajinasi
khalayak yang melihatnya sehingga terjadi perubahan persepsi dalam diri penonton
(Danesi, 2012). Pendapat ini mengartikan bahwa video klip adalah media komunikasi
yang berfungsi sebagai sarana penyampaian pesan seiring dengan kemajuan teknologi,
baik itu pesan moral, keagamaan, politik, kritik sosial hingga propaganda.
Guna mengetahui tanda dan makna yang ada dalam video klip di atas, konsep
semiotika akan digunakan sebagai analisis. Semiotika adalah suatu ilmu atau metode
analisis untuk mengkaji tanda, yang mana dalam setiap tanda menandakan sesuatu selain
dirinya sendiri (Sobur, 2015). Manusia dengan perantara tanda-tanda, dapat melakukan
komunikasi dengan sesamanya. Dalam kehidupan sehari-hari terdapat tanda dalam
bentuk yang beraneka ragam guna menyampaikan informasi sehingga segala sesuatu
bersifat komunikatif. Tanda dalam kehidupan manusia bisa berbagai macam seperti teks,
bunyi, gerak dan isyarat, termasuk tanda yang kompleks seperti fotografi dan videografi.
Penelitian ini secara spesifik menggunakan analisis semiotika Pierce karena komposisi
tanda miliknya lebih kompleks dibanding Saussure, namun tidak terlalu jauh hingga mitos
dalam semiologi Barthes. Pierce tidak hanya memandang sebuah tanda dalam hubungan
antara penanda-petanda dalam Saussure, tetapi ada unsur interpretan yang penting untuk
mengungkap makna representamen dan objek. Sedangkan Barthes membawa penandaan
lebih jauh pada level konotatif yang bisa menimbulkan mitos jika dilakukan berulang dan
tanpa disadari oleh manusia.
Jurnal Komunikasi Global, 9(2), 2020, pp. 187-208
191
Kita dapat merunut penggunaan semiotika sejak masa Yunani. Aristoteles
misalnya, menyusun tiga dasar semiotika yang mirip pada konsep semiotika modern,
yaitu tanda itu sendiri, seperti kata, bunyi, atau gambar, referensi dari tanda yang ada di
mental seorang individu, dan pembangkitan makna yang disepakati secara psikologis
maupun sosial (Danesi, 2012). Dalam konsep modern, ketiga hal itu sama dengan
penanda, petanda, dan signifikansi (Yakin & Totu, 2014). Konsep semiotika C.S Peirce
yang berpandangan bahwa tanda merupakan sesuatu yang hidup dan dihidupkan serta
hadir dalam proses interpretasi yang mengalir (Berger, 2010; Danesi, 2012; Hoed, 2014).
Sehingga semiotika tidak mengklaim adanya makna statis dalam suatu representamen,
tetapi mengalir dan sebagian tanpa henti.
Sistem penandaan Pierce berguna untuk menganalisis berbagai tanda yang ada
pada budaya modern sebagaimana lagu. Menurut pandangan Pierce, tanda selalu dalam
proses perubahan tanpa henti yang disebut proses semiosis tak terbatas. Konsep paling
penting dalam semiosis ini berkaitan dengan model triadic yang terdiri dari
representamen, objek, dan interpretan. Representamen adalah sesuatu yang
merepresentasikan sesuatu yang lain, objek adalah sesuatu yang direpresentasikan, dan
interpretan adalah interpretasi seseorang terhadap tanda (Piliang, 2013; Sobur, 2015).
Sebuah gambar dalam video klip, dapat disebut representamen karena mengantarkan
sebuah kesadaran pada objek di kepala penonton; penonton yang berbeda akan memiliki
gambaran objek yang berbeda di dalam kepalanya. Gabungan antara representamen dan
objek inilah yang kemudian menghidupkan sebuah interpretasi yang juga dipengaruhi
oleh, misalnya, latar belakang, profesi, dan afiliasi orang tersebut.
Penelitian terkait representasi dan pencitraan Jokowi maupun Prabowo sudah
banyak dilakukan namun tidak ada yang secara spesifik meneliti citra yang ingin mereka
bangun pada lagu kampanye. Hal itu bisa dipahami karena hanya pada Pilpres 2019 lagu-
lagu diciptakan guna mendukung pola-pola kampanye konvensional. Penelitian yang
dilakukan Juniarti, Indainanto, & Augustine, (2018) pada Instagram milik Jokowi
mendapatkan kesan bahwa Jokowi menggunakan teknik self-promotion, membentuk
artefak diri dengan ciri baju putih dengan lengan digulung, tidak memiliki jarak sosial
dengan masyarakat, dan mengembangkan suatu integrasi antara dirinya dengan
masyarakat sehingga patut dijadikan contoh. Sedangkan Prabowo dicitrakan menyikapi
Anti Islam Hingga Dekat Emak-Emak: Perang Citra Jokowi dan Prabowo Pada Pemilihan Presiden 2019 Fathul Qorib, Mohammad Saleh
192
segala krisis dengan sandaran keutuhan NKRI, selalu berpijak pada UUD 1945, dan juga
mendahulukan kepentingan bangsa dibanding kepentingan pribadi dan golongan.
Representasi dari media massa juga menonjol dalam berbagai penelitian di
Indonesia terkait dengan dua kandidat presiden. Banyak peneliti tertarik menganalisis
berbagai media yang menjadi alat manajemen kesan kedua kandidat termasuk meneliti
pidato dari Jokowi dan Prabowo (Alvin, 2019; Leiliyanti, Diyantari, & Irawaty, 2017;
Wardani, 2019). Kompas.com misalnya merepresentasikan politik identitas yang
dilakukan kandidat presiden sebagai ancaman keutuhan bangsa dan mengganggu
multikulturalisme yang selama ini dibanggakan Indonesia (Tansal, Latief, & Sanusi,
2020). Berbagai media massa merepresentasikan Jokowi memiliki kekuatan citra yang
solid tetapi tersandera oleh kontrak politik karena dia bukan ketua umum partai politik
(Panuju, 2017). Representasi ini merupakan kajian yang menarik karena kandidat dan tim
pemenangannya mengolah berbagai citra agar mereka tampak baik dan dipilih oleh
masyarakat ketika hari pencoblosan.
Penelitian lain melihat pencitraan efektif dilakukan melalui media massa dan
media sosial. Tetapi penelitian ini ingin melihat secara spesifik bagaimana video klip
dapat merepresentasikan kedua kandidat tersebut. Analisis video klip ini lebih banyak
dilakukan pada makna gambar dibandingkan liriknya karena gambar lebih mudah
memengaruhi penonton dan mudah diingat dibandingkan dengan kata-kata (Adni &
Hidayati, 2014; DetikHealth, 2010). Video klip dalam video ini memiliki gambar dan
lirik yang selaras sehingga memilih salah satu di antara keduanya tidak akan mengurangi
interpretasi terhadap tanda dan maknanya.
Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengungkap makna dari video klip
lagu Goyang Jempol Jokowi Gaspol dan The Power of Emak-Emak. Signifikansi teoritis
penelitian ini dapat memberi sumbangan kajian terhadap video klip sebagai salah satu alat
politik yang selama ini absen dari kajian akademis. Secara praktis, penelitian ini dapat
memberikan gambaran kontekstual terkait citra yang bisa dibangun dalam alat kampanye
modern berupa video klip.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif untuk menafsirkan
fenomena yang terjadi dalam lagu yang mengandung pesan-pesan politik (Moleong,
Jurnal Komunikasi Global, 9(2), 2020, pp. 187-208
193
2012). Metode kualitatif dipilih karena dianggap paling tepat untuk memahami teks dan
konteks objek penelitian yang berupa video klip sehingga tujuan peneliti untuk
mengetahui makna-makna secara khusus dalam video klip tercapai (Mohajan & Mohajan,
2018). Peneliti dalam metode kualitatif menjadi instrumen utama sehingga persepsi
peneliti juga turut serta ambil bagian dalam pemaknaan. Karena itu peneliti juga menjadi
salah satu faktor yang memengaruhi kualitas hasil penelitian (Hammersley, 2013).
Teknik pengumpulan data pada penelitian ini yaitu menggunakan dokumentasi
dari scene-scene yang ada dalam lagu Goyang Jempol dan The Power of Emak-Emak.
Untuk lagu Jokowi Gaspol yang berdurasi 4 menit 53 detik ini, total terdapat 16 scene
dan hanya 5 scene yang dianalisis. Sedangkan lagu The Power of Emak-Emak, berdurasi
3 menit 57 detik dengan jumlah 19 scene, tapi hanya 8 scene yang dianalisis. Jumlah
scene yang dianalisis ini mengikuti kebutuhan data peneliti, yaitu scene yang
menunjukkan adanya representasi atau pencitraan dari pasangan kandidat Jokowi dan
Prabowo.
Seluruh scene di atas dinyatakan sebagai dokumen yang merupakan salah satu
metode penelitian kualitatif selain wawancara dan observasi. Sebuah dokumen bisa terdiri
dari teks tertulis namun bisa juga terdiri dari material digital seperti lagu dalam penelitian
ini (Bowen, 2009). Pemilihan kedua video lagu di atas dikarenakan lagu tersebut popular
di kalangan masyarakat. Pada 10 September 2020, jumlah penonton video klip Goyang
Jempol Jokowi Gaspol di Youtube berjumlah 2.2 juta lebih sedangkan The Power of
Emak-Emak telah ditonton sebanyak 290 ribu lebih viewers. Lebih dari itu, lagu ini
memiliki banyak tanda yang digabungkan menjadi satu kesatuan yang terstruktur
sehingga dapat membangun makna seperti yang diharapkan oleh pembuat video klipnya.
Langkah yang digunakan dalam penelitian ini pertama-tama adalah menonton
berulang-ulang lagu tersebut sehingga dapat mengenali gambar-gambar yang bermakna
maupun gambar pendukung. Video ini memiliki satu bangunan utuh sebagai alat
kampanye politik sehingga gambar-gambar di dalamnya tidak terpisah. Dari scene yang
dipilih tersebut kemudian muncul citra kandidat secara utuh karena digabungkan dengan
data di luar video klip tersebut. Data yang sudah didapatkan dari video klip ini lalu
diorganisasikan sesuai dengan konteks kebutuhan peneliti, yaitu pencitraan calon
presiden. Seluruh data inilah yang dianalisis menggunakan segitiga makna C. S. Pierce
hingga didapatkan kesimpulan akhir (Creswell, 2016).
Anti Islam Hingga Dekat Emak-Emak: Perang Citra Jokowi dan Prabowo Pada Pemilihan Presiden 2019 Fathul Qorib, Mohammad Saleh
194
Hasil dan Pembahasan
Pembahasan yang akan didiskusikan dalam artikel ini lebih banyak ke arah
interpretan secara langsung untuk menghindari pengulangan teks. Konsep representamen
Pierce merujuk terus-menerus pada gambar, musik, dan gerakan di dalam kamera, dengan
mengacu objek sebagai kondisi mental yang dipahami oleh individu. Sehingga yang perlu
dijelaskan dan diberi pemaknaan adalah interpretan yang sangat khas dari peneliti satu
kepada peneliti lainnya.
Representasi Jokowi
Jokowi Merakyat
Kata merakyat selalu muncul dalam setiap kontestasi politik di Indonesia.
Memihak rakyat dan membela rakyat juga selalu muncul karena setiap pemimpin ingin
dianggap merakyat agar dipilih oleh rakyat. Merakyat adalah suatu kondisi ketika ada
pejabat negara melakukan aktivitas kenegaraan dengan menggunakan sarana yang biasa
digunakan oleh rakyat. Pemimpin seperti ini akan disukai oleh rakyat dan dirindukan
kehadirannya oleh rakyat karena mereka dapat memahami kebutuhan rakyat (Siahaan,
2014). Jokowi yang digambarkan merakyat dalam video klip ini juga dikemukakan oleh
peneliti lain dengan penyebutan sebagai “blusukan yang sudah menjadi gaya
kepemimpinan Jokowi yang khas (Zulkarnain & Harris, 2017).
Dalam lagu ini Jokowi yang merakyat digambarkan didukung oleh rakyat. Ada
banyak scene yang menggambarkan hal itu, seperti pada scene di bawah ini:
Gambar 1. Dua orang dewasa duduk di ruang tamu sambil mendengarkan music
Jurnal Komunikasi Global, 9(2), 2020, pp. 187-208
195
Gambar 2. Masyarakat umum di pasar sedang berjoget dengan mengangkat jempolnya
Interpretan merupakan sesuatu yang khusus dan bisa muncul dalam kondisi yang
berbeda-beda pada individu yang berbeda. Pada gambar di atas, interpretan atau
pemaknaan yang dapat dikaji adalah adanya keasyikan dan keakraban pada masyarakat
pedesaan. Dari representamen dan objek di atas, ada pesan pada jempol yang selalu
diacungkan oleh aktor yang menunjukkan Jokowi merupakan calon presiden yang bagus
dan terbaik dalam Pilpres 2019. Hal itu sebagaimana yang dijelaskan tim kampanye
Jokowi ketika merumuskan “salam jempol” sebagai materi kampanye, yaitu bermakna
terbaik, nomor satu, hebat, dan keren (Pratama, 2018). Selain itu, kedua bapak tersebut
disimbolkan sebagai sosok rakyat biasa dengan pakaian dan kondisi ruangannya sehingga
terjadi pemaknaan bahwa Jokowi didukung masyarakat kampung.
Perhatikan cahaya yang menimpa seorang pria yang mendengarkan lagu Ayo
Goyang Jempol, Jokowi Gaspol pada Gambar 1. Cahaya ini menunjukkan adanya
“pencerahan” pada orang yang memilih Jokowi. Warna putih yang menjadi perlambang
cahaya juga merupakan warna yang sering dipakai oleh Jokowi. Bahkan Jokowi
menyarankan para pendukungnya untuk memakai baju warna putih ke tempat
pemungutan suara meskipun akhirnya menuai kontroversi (Putri, 2019). Arti putih itu
sendiri adalah kemurnian, suci, sederhana yang semuanya merujuk pada pribadi Jokowi.
Lagu ini sebenarnya mempertegas citra yang sudah dimulai oleh Jokowi sejak tahun 2014,
yaitu merakyat dengan konsep blusukan-nya dan baju putih sebagai sebuah simbol
kemurnian dan ketulusan.
Pada Gambar 2, objek yang ingin ditunjukkan adalah masyarakat pedesaan yang
bergoyang jempol dengan ceria. Hal ini menandakan bahwa masyarakat tersebut adalah
masyarakat yang perekonomian yang menengah ke bawah. Gambar itu menunjukkan
suatu makna bahwa Jokowi dekat dengan masyarakat bawah karena orang-orang di pasar
mengacungkan jempolnya mendukung Jokowi semua. Pemaknaan lain pada scene orang-
orang di pasar bahwa memilih Jokowi juga berarti menjamin hidup bahagia di masa
Anti Islam Hingga Dekat Emak-Emak: Perang Citra Jokowi dan Prabowo Pada Pemilihan Presiden 2019 Fathul Qorib, Mohammad Saleh
196
depan. Orang-orang tampak tersenyum, tertawa, dan puas dengan lagu yang
didengarkannya sembari bergoyang.
Jokowi Dekat dengan Milenial
Interpretasi kedua dari lagu Goyang Jempol adalah tentang generasi milenial.
Generasi milenial yang lahir setelah tahun 1980-an ini dijadikan rebutan oleh kedua
kandidat (Komariah & Kartini, 2019; Pyöriä, Ojala, Saari, & Järvinen, 2017). Jika
generasi milenial ini disamakan dengan usia pemuda, yaitu 16-30 tahun, maka jumlahnya
mencapai 63.82 juta jiwa yang memenuhi hampir 25% penduduk Indonesia (BPS, 2018).
Jumlah ini tentu sangat besar untuk mendongkrak suara kedua kandidat. Apalagi generasi
milenial sering digolongkan sebagai pemilih pemula sehingga dapat dengan mudah
dipengaruhi pilihan politiknya. Hal ini berhubungan dengan preferensi generasi milenial
terhadap media digital, termasuk media sosial. Milenial yang hanya mengandalkan media
digital akan cenderung terpapar informasi hoax, misquoted, dan misleading (Lee & Lee,
2016).
Dalam scene 8 video klip lagu ini, Jokowi tampak didukung oleh Cak Lontong
dan Insan Nur Akbar yang merepresentasikan milenial. Kedua komedian ini sering
muncul di Youtube yang lebih banyak diakses milenial dibanding generasi X dan baby
boomer. Interpretasi ini didukung dengan aktivitas menonton Youtube oleh kedua
komedian sehingga kesan milenial cukup terlihat. Penggunaan Youtube itu sendiri sudah
menunjukkan perbedaan generasi yang cukup mencolok karena pada pemilihan presiden
sebelumnya tidak menjadi media pilihan kampanye. Selain kedua artis tersebut, video
klip ini menampilkan deretan artis lainnya seperti Butet Kertaredjasa, Arie Kriting, Desta,
Kirana Larasati, Ge Pamungkas, Lukman Sardi, Gading Marten, Sophia Latjuba, dan
Hanung Bramantyo. Bukan hanya menunjukkan bahwa lagu yang mendukung Joko
Widodo itu digemari milenial, tetapi juga merupakan salah satu cara tim pemenangan
Jokowi menggaet pemilih dengan menghadirkan artis papan atas Indonesia.
Jurnal Komunikasi Global, 9(2), 2020, pp. 187-208
197
Gambar 3. Komedian dalam video klip Goyang Jempol
Komedian yang dihadirkan pada video ini tidak tanpa alasan, tetapi lebih pada
pengungkapan humorisme yang dipasangkan pada Jokowi. Seseorang yang dekat dengan
milenial juga harus bisa membaur dan memiliki ketertarikan pada kegemaran pemuda
seperti komedi, sports, dan gawai. Pengangkatan citra Jokowi yang dekat dengan milenial
ini tidak langsung terjadi begitu saja. Sejak lama Jokowi diberitakan secara terus-menerus
dekat dengan kelompok milenial berbagai profesi dan kegemaran. Bahkan Jokowi
merangkul generasi muda ini dengan sering menyebut salah satu e-sport popular di
Indonesia seperti Mobile Legends (Abdi, 2019). Karena itu survei sebelum pelaksanaan
Pilpres pada April 2019 mengunggulkan Jokowi di kalangan milenial dibanding Prabowo
(Kurnianto, 2019).
Sosok Jokowi sebagai presiden yang dekat dengan milenial juga tergambarkan
ketika melakukan aktivitas bersama anak muda, misalnya ketika touring motor Chopper
di Sukabumi, Jokowi menggunakan jaket jeans yang dibuat custom dengan gambar peta
Indonesia di bagian dadanya. Gaya Jokowi naik motor gede dengan jaket jeans itu sekilas
mirip dengan Dilan, sosok anak SMA di film Dilan 1990 yang terkenal pada waktu itu.
Belum lagi ketika pembukaan Asian Games 2018, Jokowi menunjukkan aksi dengan
mengendarai motor gede yang hampir membuat heboh dunia. Meskipun menggunakan
stuntman atau pemeran pengganti pada aksinya, Jokowi tetap memberi warna tersendiri
bagi pembukaan ajang olahraga se-Asia tersebut.
Jokowi Tidak Anti Islam
Tahun politik 2018 hingga 2019 isu Jokowi anti Islam muncul ke permukaan. Tim
Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf kemudian sibuk melakukan pencitraan agar
Jokowi dekat dengan umat Islam. Karena dalam survei Charta Politica isu ini cukup
berpengaruh dalam motivasi memilih masyarakat kepada Jokowi (Nathaniel, 2019).
Dalam berbagai survei isu Jokowi anti Islam memang menguat dan menjadi senjata bagi
Anti Islam Hingga Dekat Emak-Emak: Perang Citra Jokowi dan Prabowo Pada Pemilihan Presiden 2019 Fathul Qorib, Mohammad Saleh
198
lawan politik untuk menyerang Jokowi. Hal ini tentu menjadi masalah besar sehingga tim
Jokowi harus memikirkan bagaimana menangani persoalan tersebut. Apalagi penduduk
Indonesia terbesar adalah umat Islam sehingga tim pemenangan Jokowi harus bekerja
keras.
Lagu Goyang Jempol ini ingin menunjukkan dengan tegas bahwa Jokowi
bukanlah sosok yang anti Islam. Pada Gambar 4, terlihat sekelompok orang yang
menggunakan atribut keislaman antusias dengan lagu Goyang Jempol. Seluruh sistem
simbol yang dibangun oleh lagu tidak berdiri sendiri. Ada banyak kode-kode yang
digunakan untuk menandakan sesuatu di luar lagu tersebut. Sehingga adanya kelompok
orang Islam ini ingin mengungkapkan makna paling dalam dari tim pemenangan Jokowi,
“Dekati dulu Jokowi, kenali, maka kamu akan jatuh cinta dengan Goyang Jempol, Jokowi
Gaspol.”
Selain kelompok orang Islam kebanyakan itu, ada juga sosok Muslimah yang
berpengaruh di Indonesia. Tidak tanggung-tanggung, yang dimunculkan adalah anak
almarhum Gusdur, Yenny Wahid (Gambar 5). Jelas sekali tim kampanye nasional Jokowi
ingin menggaet warga NU yang menjadi pengikut fanatik keluarga Gus Dur. Dari sini,
muncul suatu pemaknaan bahwa Jokowi merupakan sosok yang mencintai dan dicintai
ulama. Jika Jokowi tidak anti Islam, berarti pro dengan Islam. Di Indonesia, seorang
presiden tidak akan mengabaikan agama apalagi agama Islam, karena agama merupakan
bagian dari Pancasila, dan Pancasila adalah dasar dari Negara Indonesia (Hamka, 2016).
Gambar 4. Sekelompok orang yang menggunakan atribut Islam tertarik dengan musik
Goyang Jempol di pasar
Jurnal Komunikasi Global, 9(2), 2020, pp. 187-208
199
Gambar 5. Yenny Wahid bergoyang Jempol sambil menonton Youtube
Representasi Prabowo
Dalam video klip lagu yang mendukung Prabowo ini, terselip banyak sekali kritik
terhadap Joko Widodo secara tersurat maupun tersirat, yang mana kritik tersebut tidak
terdapat dalam lagu Goyang Jempol. Ada perbedaan yang kentara antara pencitraan yang
dilakukan Jokowi dengan Prabowo. Prabowo dalam lagu ini dicitrakan sebagai orang
yang akrab dengan emak-emak, dekat dengan ulama, dan sosok pemberi solusi.
Penggunaan istilah emak-emak ini baru dilakukan secara masif pada Pilpres 2019.
Sebelumnya emak-emak tidak pernah digaungkan sebagai salah satu sumber dukungan
yang besar untuk mendulang suara. Bagi sebagian emak-emak, kampanye ini bernilai
positif karena kubu Prabowo dianggap mampu menyerap aspirasi emak-emak yang
selama ini disepelekan (Asri, 2019). Apalagi peran perempuan dalam dunia politik selalu
dinilai jauh lebih kecil dibanding dominasi laki-laki. Pendapat lain yang lebih kritis
menganggap bahwa pelabelan emak-emak pada lagu maupun pesan di berbagai media
tidak lebih dari upaya memobilisasi suara kaum perempuan agar memilih Prabowo, yang
mana kondisi ini merupakan bagian objektifikasi terhadap perempuan (Amalia, 2019).
Prabowo Akrab dengan Emak-Emak
Emak-emak adalah julukan bagi ibu-ibu yang mendukung Prabowo. Komunitas
emak-emak tersebar ke berbagai daerah untuk menggaet dukungan dari kalangan
perempuan, bahkan dengan membentuk partai emak-emak pembela Prabowo dan
Sandiaga Uno (Bomantama, 2018). Dalam video klip lagu ini, representamen yang
dimunculkan adalah ibu-ibu yang modis, hobi senam, belanja sayur di perumahan kepada
tukang sayur langganan, dan seorang ibu yang memiliki kebun sayur. Representamen
semacam ini memunculkan interpretasi bahwa dukungan kepada Prabowo hanya pada
ibu-ibu perkotaan, bukan emak-emak di kampung yang menanam padi, jagung, dan
mengenakan pakaian lusuh.
Anti Islam Hingga Dekat Emak-Emak: Perang Citra Jokowi dan Prabowo Pada Pemilihan Presiden 2019 Fathul Qorib, Mohammad Saleh
200
Gambar 6. Emak-emak dalam video klip lagu The Power of Emak-Emak
Dukungan dari emak-emak dalam lagu ini bisa diartikan bahwa Prabowo-Sandi
bukan hanya dekat tetapi juga dicintai emak-emak. Representamen dalam lagu ini
menunjukkan bahwa penyebutan Prabowo-Sandi selalu diiringi senyum dan kebanggaan.
Emak-emak dianggap yang lebih paham persoalan ekonomi keluarga sehingga mereka
ditampilkan berhubungan dengan pembelian sayur yang bertambah mahal hingga biaya
kesehatan yang selangit. Semua itu tersurat di video klip dengan durasi hampir 4 menit
tersebut. Bukan itu saja, sejak awal hingga akhir, emak-emak yang lebih banyak
ditampilkan adalah emak-emak berseragam sedang senam bersama di perbukitan.
Sebagian besar dari perempuan ini berjilbab sehingga ada interpretasi ini akan
berhubungan dengan makna kedua di bawah. Bahwa Prabowo dicintai emak-emak
sekaligus dicintai oleh umat Islam yang diwakili perempuan berjilbab.
Permasalahan dari representamen dan objek yang ada di dalam video klip ini
sebenarnya pada jalinan makna dari satu perempuan ke perempuan lainnya. Jika
dibandingkan dengan video Goyang Jempol yang pro Jokowi, penyematan kata emak
pada lagu Prabowo kurang tepat. Dalam video Jokowi, sejak awal hingga menjelang
akhir, lanskap yang ditampilkan adalah persawahan dengan padi yang hijau, pedagang
pasar dengan pakaian ala emak-emak di kampung, dan seluruh atribut pedesaan yang
kental. Sedangkan video klip pendukung Prabowo tampak lebih condong kepada
perempuan perkotaan dengan polesan make-up yang kentara, serta melakukan aktivitas-
aktivitas yang khas kota.
Prabowo Dekat dengan Ulama
Tampaknya umat Islam menjadi rebutan bagi kedua kandidat ini. Hal itu wajar
terjadi karena penduduk yang beragama Islam di Indonesia mencapai 229 juta jiwa atau
87% dari jumlah penduduk Indonesia (Kusnandar, 2018). Jumlah ini tentu sangat menarik
Jurnal Komunikasi Global, 9(2), 2020, pp. 187-208
201
bagi politisi yang ingin mendapatkan suara sebanyak-banyaknya dalam pemilihan daerah
maupun presiden. Sehingga momen berinteraksi dengan tokoh umat Islam harus
didokumentasikan dan menjadi salah satu alat untuk kampanye. Wacana-wacana
keagamaan memang selalu muncul dalam praktik kampanye politisi karena merupakan
bagian penting dari kampanye.
Gambar 7. Prabowo sedang berinteraksi dengan almarhum KH Maimun Zubair
Gambar 8. Pengajian yang dihadiri emak-emak
Pada scene di atas terlihat Prabowo yang menggunakan songkok hitam yang
identik dengan nasionalis, serta mempraktikkan gestur yang ingin hormat dengan
merangkul KH Maimun Zubair. Representamen yang dihadirkan oleh pembuat video klip
ini jelas mengindikasikan adanya kedekatan antara Prabowo dengan ulama NU tersebut.
Pada konteks kedekatan dengan umat Islam, Prabowo sebenarnya dicitrakan secara umum
sebagai seseorang yang mendapatkan dukungan ulama dan umat Islam di seluruh
Indonesia. Pemberitaan tentang Prabowo yang didukung oleh umat Islam yang tergabung
dalam Presidium Alumni 212 juga sering muncul.
Video ini juga memunculkan Jokowi distereotipkan membenci umat Islam dalam
satu scene. Pada gambar 11 tampaknya hanyalah sekumpulan perempuan yang sedang
melakukan pengajian. Hal itu sangat biasa dalam kebudayaan Indonesia ketika
sekelompok orang berkumpul untuk acara keagamaan. Karena seluruh pesertanya
berjilbab, maka pikiran kita langsung menginterpretasikan bahwa kelompok ini adalah
Anti Islam Hingga Dekat Emak-Emak: Perang Citra Jokowi dan Prabowo Pada Pemilihan Presiden 2019 Fathul Qorib, Mohammad Saleh
202
Muslimah pecinta Capres nomor urut 2. Pencitraan kepada Prabowo yang dekat dengan
ulama dan umat Islam dibarengi stereotyping bahwa Jokowi membenci umat Islam. Di
gambar 11 ini, muncul ungkapan “meskipun berbeda pilihan tetapi jangan sampai
membubarkan pengajian.” Sebagai representamen, kalimat tersebut mengindikasikan
satu hal; Jokowi suka membubarkan pengajian sehingga ia patut disebut pembenci Islam.
Perang citra ini muncul karena pada masa periode pertama Jokowi menjadi
presiden, banyak ulama yang masuk penjara. Ulama yang kerap disebut dikriminalisasi
oleh pemerintahan Jokowi misalnya Habib Rizieq dan Habib Bahar. Kedua pihak saling
mengklaim mendukung umat Islam dan cinta pada ulama. Adu citra ini juga muncul di
berbagai media massa yang mengungkapkan bahwa proses hukum pada ulama yang
bersalah bukanlah kriminalisasi, sedangkan pihak Prabowo selalu menyuarakan bahwa
pemerintah Jokowi anti ulama. Hal inilah yang dibawa pada pemahaman dalam video klip
The Power of Emak-Emak.
Prabowo Sosok yang Bisa Memberi Solusi
Sosok pemberi solusi merupakan salah satu hal abstrak yang diperdebatkan dalam
Pilpres 2019. Sebagai incumbent Jokowi pasti memiliki lebih banyak situasi untuk
dikritik oleh lawan. Ada beberapa hal yang disoroti oleh video klip The Power of Emak-
Emak sebagai kritik atas pemerintahan Jokowi, seperti harga bahan pokok yang semakin
mahal, pekerjaan susah dicari, ulama yang dikriminalisasi, pengajian yang dibubarkan,
dan biaya rumah sakit membengkak. Kecuali kriminalisasi ulama, kritik lainnya selalu
muncul pada setiap pemilihan presiden karena kondisi tersebut berkaitan dengan
masyarakat secara langsung.
Bukan hanya lawan politik yang akan mengkritik kinerja Jokowi-Kalla saat
menjadi kepala negara. Beberapa media massa besar, yang bisa dianggap representasi dari
masyarakat luas, juga mengkritik kerja Jokowi. Jawa Pos menyoroti kisruh kabinet ketika
Jokowi menjadi presiden 2014, Kompas mengkritik adanya manajemen dalam
pemerintahan Jokowi yang tidak dapat dikendalikan, Tempo mengkritik lemahnya
koordinasi antar lembaga di bawah kepemimpinan Jokowi, Media Indonesia juga menilai
kinerja Jokowi negatif, dan Republika juga menyoroti internal pemerintahan Jokowi yang
lemah (Wulandari, 2016).
Jurnal Komunikasi Global, 9(2), 2020, pp. 187-208
203
Kritik yang terselip dalam video klip ini bukanlah unsur utama yang ingin
diusung, melainkan keinginan untuk meninggikan dan menawarkan Prabowo sebagai
solusi. Berbagai persoalan yang dipaparkan di dalam video klip ini kita sebut sebagai
representamen yang menunjukkan pada satu pemahaman mental bahwa Jokowi harus
diganti karena tidak mampu mengurus negara selama menjadi presiden. Dari sanalah
interpretan kemudian berkembang bahwa jika Jokowi harus turun dari jabatannya sebagai
presiden maka harus ada pengganti yang lebih mumpuni yaitu Prabowo dan Sandiaga
Uno.
Gambar 9. Seorang ibu mengeluh kepada tukang sayur karena harga sayur naik terus
Gambar 10. Seorang ibu menasihati anaknya yang kesulitan mencari pekerjaan
Gambar 11. Seorang ibu terkejut dengan tagihan biaya berobat di rumah sakit
Gambar 9, 10, dan 11 merupakan satu representamen yang dapat berbicara kepada
penonton dengan sendirinya. Rangkaian tanda yang ada di dalam video klip tersebut
membentuk makna baru bagi penonton, bukan sekadar keluh-kesah masyarakat, tapi juga
politis. Indonesia selama dipimpin oleh Jokowi tidak membawa kesejahteraan bagi emak-
emak dan persoalan lama Indonesia juga masih terus terjadi, mulai dari bahan pokok
Anti Islam Hingga Dekat Emak-Emak: Perang Citra Jokowi dan Prabowo Pada Pemilihan Presiden 2019 Fathul Qorib, Mohammad Saleh
204
mahal, pekerjaan susah, dan biaya pengobatan tidak terjangkau. Karena itu, emak-emak
ini menawarkan Prabowo-Sandi untuk menjawab seluruh persoalan tersebut dengan
program-program mereka. Semacam ada harapan baru bahwa perekonomian Indonesia
akan stabil, harga kebutuhan pokok akan turun, biaya kesehatan tuntas, dan lain
sebagainya.
Penutup
Representasi Jokowi dan Prabowo dalam video klip lagu Goyang Jempol dan The
Power of Emak-Emak menguatkan indikasi adanya perang citra di antara kedua kubu.
Keduanya saling klaim kebaikan-kebaikan yang dapat digunakan untuk mendulang suara
pada Pilpres 2019. Pada lagu Goyang Jempol, tidak ditemukan representamen yang
menginterpretasikan kritik terhadap Prabowo. Goyang Jempol hanya ingin menonjolkan
sosok Jokowi yang merakyat, sosok yang disukai masyarakat di level bawah dan
kelompok yang tidak diperhitungkan, misalnya komedian, artis, dan pedagang pasar.
Sebaliknya, video klip kubu Prabowo banyak menandakan kritik terhadap
pemerintahan Jokowi. Lagu The Power of Emak-Emak lebih banyak menampilkan kritik
terhadap Jokowi, juga suasana yang dibangun adalah perkotaan tanpa sentuhan desa.
Emak-emak yang digambarkan mendukung Prabowo juga terdiri dari kalangan ibu-ibu
sosialita. Perbedaan ini sebenarnya memiliki makna yang kuat dan kurang disadari dari
kedua pendukung calon presiden 2019 tersebut.
Terdapat tiga tanda yang bisa kita baca dari video klip Goyang Jempol terkait citra
Jokowi-Ma’ruf. Pertama, Jokowi dicitrakan dekat dengan rakyat. Hal itu ditandai dengan
video klip yang mengambil tempat masyarakat secara umum seperti sawah dan pasar
tradisional. Kedua, Jokowi diinterpretasikan sebagai orang yang dekat dengan generasi
milenial yang ditandakan dengan artis dan komedian yang Goyang Jempol menggunakan
Youtube. Ketiga, Jokowi juga dicitrakan sebagai presiden yang dekat dengan umat Islam
dan ulama. Tanda-tanda yang menunjukkan hal itu bisa dilihat dari sekelompok orang
beratribut muslim yang Goyang Jempol di pasar dan dikuatkan dengan putri almarhum
Gus Dur, Yenny Wahid, yang juga Goyang Jempol.
Pada video The Power of Emak-Emak, Prabowo menandakan sesuatu yang
berbeda dari Jokowi. Pertama, Prabowo diidentikkan dengan orang yang dekat emak-
emak atau kaum perempuan. Tetapi terlihat sekali dalam video bahwa kaum perempuan
Jurnal Komunikasi Global, 9(2), 2020, pp. 187-208
205
yang ditonjolkan mendukung Prabowo adalah kaum menengah ke atas. Kedua, Prabowo
digambarkan dekat dengan ulama dan umat Islam. Perebutan umat Islam ini muncul pada
video Jokowi dan Prabowo karena keduanya ingin meraup simpati pemeluk agama paling
besar di Indonesia tersebut. Ketiga, Prabowo diinterpretasikan pemberi solusi atas seluruh
persoalan warga Indonesia. Prabowo seolah mampu menemukan solusi agar harga bahan
pokok stabil, layanan kesehatan murah, hingga penyediaan lapangan kerja bagi generasi
muda Indonesia.
Daftar Pustaka
Abdi, A. P. (2019). Pengamat: Jokowi Sebut Mobile Legends untuk Dekati Milenial.
Retrieved June 29, 2020, from Tirto.ID website: https://tirto.id/pengamat-jokowi-
sebut-mobile-legends-untuk-dekati-milenial-dl7Z
Adni, A., & Hidayati, D. S. (2014). Perbedaan Recognition Memory Perbedaan
Recognition Memory Kata Dan Gambar Pada Media Narasi Bergambar. Jurnal
Psikologi UIN Sultan Syarif Kasim Riau, 10(Juni), 1–10.
Alvin, S. (2019). Manajemen Citra Politik Prabowo Subianto Dan Sandiaga Uno Melalui
Akun @Prabowo Dan @Sandiuno. KOMUNIKA: Jurnal Dakwah Dan Komunikasi,
13(2), 229–247. https://doi.org/10.24090/komunika.v13i2.2538
Amalia, L. S. (2019). Upaya Mobilisasi Perempuan Melalui Narasi Simbolik ‘Emak-
Emak dan Ibu Bangsa’ Pada Pemilu 2019. Jurnal Penelitian Politik, 16(1), 17.
https://doi.org/10.14203/jpp.v16i1.779
Ariefana, P. (2018). Perang Tagar Pilpres 2019 Pancing Konflik Horizontal. Retrieved
September 3, 2019, from Suara.com website:
https://www.suara.com/news/2018/09/03/220300/perang-tagar-pilpres-2019-cak-
imin-pancing-konflik-horizontal
Asri, R. (2019). Pemaknaan The Power of Emak-Emak di Media Sosial. Jurnal
Komunikasi Global, 8(1), 92–103. https://doi.org/10.24815/jkg.v8i1.13825
Berger, A. A. (2010). Pengantar Semiotika: Tanda-Tanda dalam Kebudayaan
Kontemporer. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Bomantama, R. (2018). Partai Emak-emak Pendukung Prabowo-Sandi Dideklarasikan -
Tribunnews.com. Retrieved July 1, 2020, from Tribunnews.com website:
https://www.tribunnews.com/pilpres-2019/2018/08/23/partai-emak-emak-
pendukung-prabowo-sandi-dideklarasikan
Bowen, G. A. (2009). Document Analysis as a Qualitative Research Method. Qualitative
Research Journal, 9(2), 27–40. https://doi.org/10.3316/QRJ0902027
BPS. (2018). Statistik Pemuda Indonesia. Jakarta.
Bungin, B. (2018). Komunikasi Politik Pencitraan; The Social Construction of Public
Administration. Bandung: Prenada Media.
Creswell, J. W. (2016). Research Design : Pendekatan Metode Kualitatif, Kuantitatif, dan
Campuran (4th Editio). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Danesi, M. (2012). Pesan, Tanda, dan Makna. Yogyakarta: Jalasutra.
DetikHealth. (2010). Otak Lebih Suka Gambar dan Warna. Retrieved September 13,
2020, from Detik.com website: https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-
1404800/otak-lebih-suka-gambar-dan-warna
Anti Islam Hingga Dekat Emak-Emak: Perang Citra Jokowi dan Prabowo Pada Pemilihan Presiden 2019 Fathul Qorib, Mohammad Saleh
206
Hamka. (2016). Dari Hati ke Hati. Jakarta: Gema Insani.
Hammersley, M. (2013). What is Qualitative Research? Great Britain: MPG Books
Group.
Hoed, B. H. (2014). Semiotika & Dinamika Sosial Budaya. Jakarta: Komunitas Bambu.
Husna, A. (2017). Analisis Political Branding Calon Kepala Daerah Dalam Pilkada Aceh
2017. Jurnal Komunikasi Global, 6(1), 56–73.
https://doi.org/https://dx.doi.org/10.2139/ssrn.3603750
Ikasari, P. N., & Arifina, A. S. (2019). Framing Joko Widodo dan Prabowo Subianto di
Harian Kompas dalam Pemilihan Presiden 2019. Jurnal Komunikasi Dan Kajian
Media, 4(1), 73–83.
Juniarti, G., Indainanto, Y. I., & Augustine, P. Y. (2018). Strategi Joko Widodo
Membentuk Manajemen Kesan Di Instagram Menjelang Pilpres 2019. Interaksi:
Jurnal Ilmu Komunikasi, 7(2), 116–132. https://doi.org/10.14710/interaksi.7.2.116-
132
Karim, A. G. (2019). Mengelola Polarisasi Politik dalam Sirkulasi Kekuasaan di
Indonesia: Catatan bagi Agenda Riset. Politika: Jurnal Ilmu Politik, 10(2), 215.
https://doi.org/10.14710/politika.10.2.2019.200-210
Komariah, K., & Kartini, D. S. (2019). Media Sosial dan Budaya Politik Generasi
Milineal dalam Pemilu. Aristo, 7(2), 228. https://doi.org/10.24269/ars.v7i2.1608
Kurnianto, M. (2019). Survei Sebut Jokowi-Ma’ruf Unggul di Kalangan Milenial.
Retrieved June 29, 2020, from Tempo.co website:
https://pilpres.tempo.co/read/1193854/survei-sebut-jokowi-maruf-unggul-di-
kalangan-milenial/full&view=ok
Kusnandar, V. B. (2018). Indonesia, Negara dengan Penduduk Muslim Terbesar Dunia.
Retrieved July 1, 2020, from Katadata.co.id website:
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/09/25/indonesia-negara-dengan-
penduduk-muslim-terbesar-dunia
Lee, O. K., & Lee, O. K. (2016). Millennial skepticism and susceptibility to media
persuasion. The Universityof Tennessee.
Leiliyanti, E., Diyantari, & Irawaty. (2017). Transcoding Wacana Konstruksi dan
Kontestasi Citra Jokowi dan Prabowo dalam Media Sosial pada Masa Kampanye
Pilpres 2014. Mozaik Humaniora, 17(2), 192–213.
Mabruroh. (2019). Gaduh Perang Tagar Cebong-Kampret yang Mendunia | Republika
Online. Retrieved June 25, 2020, from Republika.co.id website:
https://www.republika.co.id/berita/nasional/news-analysis/19/02/20/pn7wu7282-
gaduh-perang-tagar-cebongkampret-yang-mendunia
Meliana, I. (2014). Antisosial Dalam Video Klip Lagu Anak-Anak Inonesia Tahun 1990-
2013. Jurnal E-Komunikasi, 2(1), 1–11. Retrieved from
https://media.neliti.com/media/publications/83668-ID-none.pdf
Mohajan, H., & Mohajan, H. K. (2018). Munich Personal RePEc Archive Qualitative
Research Methodology in Social Sciences and Related Subjects Qualitative
Research Methodology in Social Sciences and Related Subjects. Journal of
Economic Development, Environment and People, 7(85654), 1.
Moleong, L. J. (2012). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Nathaniel, F. (2019). TKN: Isu Jokowi Anti-Islam Masih Kuat di Akar Rumput.
Retrieved June 29, 2020, from Tirto.id website: https://tirto.id/tkn-isu-jokowi-anti-
islam-masih-kuat-di-akar-rumput-dki6
Panuju, R. (2017). Komunikasi politik jokowi: antara pencitraan dan jejaring politik.
Jurnal Komunikasi Global, 9(2), 2020, pp. 187-208
207
Jurnal Komunikatif, 6(2), 92–105.
Pepinsky, T. (2019). Pembelahan Agama dan Etnis dalam Pilpres 2019 - Tirto.ID.
Retrieved June 25, 2020, from Tirto.id website: https://tirto.id/pembelahan-agama-
dan-etnis-dalam-pilpres-2019-eamN
Piliang, Y. A. (2013). Hiper Semiotik: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna.
Yogyakarta: Jalasutra.
Pratama, A. (2018). Perkenalkan Salam Jempol, TKN Jokowi-Ma’ruf: Lambang
Indonesia Maju. Retrieved October 14, 2020, from inews.id website:
https://www.inews.id/news/nasional/perkenalkan-salam-jempol-tkn-jokowi-ma-
ruf-lambang-indonesia-maju
Priantana, A. P., & Santoso, E. (2019). Strategi Promosi Objek Wisata Alam Situ Gede
Kota Tasikmalaya. Jurnal Komunikasi Global, 8(1), 104–115.
Putri, C. D., Cangara, H., & Sultan, I. (2013). The Image of Political Celebrities in Blog
Kompasiana. Jurnal Komunikasi Kareba, 2(2), 215–222.
Putri, Z. (2019). Jokowi Serukan Pakai Baju Putih Saat Nyoblos, TKN: Ada Larangan
Nggak? Retrieved October 14, 2020, from Detik.com website:
https://news.detik.com/berita/d-4489380/jokowi-serukan-pakai-baju-putih-saat-
nyoblos-tkn-ada-larangan-nggak
Pyöriä, P., Ojala, S., Saari, T., & Järvinen, K.-M. (2017). The millennial generation.
SAGE Open, 307–321. https://doi.org/10.1177/2158244017697158
Setiawan, R. (2019). MPR: Politik Aliran Agama Paling Berpengaruh pada Pilpres 2019.
Retrieved June 25, 2020, from Detik.com website: https://news.detik.com/berita/d-
4450316/mpr-politik-aliran-agama-paling-berpengaruh-pada-pilpres-2019
Siahaan, J. T. H. (2014). Memungut Remah-remah Kehidupan. Jakarta: Yayasan Pustaka
Obor Indonesia.
Sobur, A. (2015). Analisis Teks Media. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Stefanie, C. (2019). “Cebong dan Kampret”, Sinisme Dua Kubu Nihil Gagasan. Retrieved
June 25, 2020, from CNN Indonesia website:
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180709153148-32-312746/cebong-dan-
kampret-sinisme-dua-kubu-nihil-gagasan
Sukoy, Y. (2019). Politisasi Simbol Agama Bisa Berujung Perpecahan. Retrieved June
25, 2020, from Beritasatu.com website:
https://www.beritasatu.com/nasional/546897-politisasi-simbol-agama-bisa-
berujung-perpecahan
Tamaka, G. I., & Susanto, E. H. (2013). Pencitraan Aburizal Bakrie Melalui Iklan
Televisi. Jurnal Kajian Komunikasi, 1(1), 32–50.
https://doi.org/10.24198/jkk.vol1n1.4
Tansal, E. P. I. A., Latief, R., & Sanusi, H. (2020). Representasi Politik Identitas dalam
Pemilihan Presiden. Jurnal Washiyah, 1(1), 181–195.
Tazri, M. (2019a). Cebong Dan Kampret Dalam Pespektif Komunikasi Politik Indonesia.
Jurnal Perspektif Komunikasi, 3(1), 1–7.
Tazri, M. (2019b). Politik Hujat dalam Sistem Komunikasi Politik Indonesia ( Studi
Fenomenologi Cebong-Kampret ). Jurnal Communiverse, 4(2), 9–15.
Wardani, S. (2019). Orasi Politik Joko Widodo dan Prabowo Soebianto dalam Pilpres
2019. Nyimak: Journal of Communication, 3(2), 107.
https://doi.org/10.31000/nyimak.v3i2.1544
Wasesa, S. A. (2013). Political Branding & Public Relations. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Anti Islam Hingga Dekat Emak-Emak: Perang Citra Jokowi dan Prabowo Pada Pemilihan Presiden 2019 Fathul Qorib, Mohammad Saleh
208
Wulandari, T. D. (2016). Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla Menurut Kacamata 5 Media
Massa di Indonesia. Jurnal ASPIKOM, 3(1), 88.
https://doi.org/10.24329/aspikom.v3i1.102
Yakin, H. S. M., & Totu, A. (2014). The Semiotic Perspectives of Peirce and Saussure:
A Brief Comparative Study. Procedia - Social and Behavioral Sciences,
155(October), 4–8. https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2014.10.247
Zuhro, R. S. (2019). Demokrasi dan Pemilu Presiden 2019. Jurnal Penelitian Politik,
16(1), 69. https://doi.org/10.14203/jpp.v16i1.782
Zulkarnain, A., & Harris, S. (2017). Fenomena Blusukan Dalam Model Kepemimpinan
Politik Joko Widodo. Jurnal Politik Universitas Nasional, 13(1), 1928–1942.