22
Jurnal Komunikasi Global, 9(2), 2020 ISSN: 2614-7998 (Print), 2614-218X (Online) ANTI ISLAM HINGGA DEKAT EMAK-EMAK: PERANG CITRA JOKOWI DAN PRABOWO PADA PEMILIHAN PRESIDEN 2019 Fathul Qorib, Mohammad Saleh Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Tribhuwana Tunggadewi Email: [email protected] Diterima: 2 Juli 2020; Direvisi: 15 Agustus 2020; Disetujui: 17 Oktober 2020 Abstrak Pencitraan yang dilakukan kandidat presiden bisa terjadi dalam berbagai media. Salah satu media yang jarang dipakai tetapi unik adalah melalui video klip Goyang Jempol Jokowi Gaspol dan The Power of Emak-Emak. Penelitian ini menggunakan segitiga makna semiotika C. S. Pierce yaitu representamen, objek, dan interpretan, guna mengungkap interpretasi tersembunyi dari video klip politik tersebut. Penggunaan konsep ini dibatasi pada interpretan pada gambar dibandingkan pada lirik lagu. Jenis penelitian adalah deskriptif kualitatif agar dapat mendukung teori semiotika untuk mengungkap makna dari kedua video klip tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Jokowi direpresentasikan sebagai sosok merakyat yang selalu didukung masyarakat, dekat dengan generasi milenial, dan sosok yang tidak anti Islam. Sedangkan Prabowo direpresentasikan sebagai sosok yang dicintai para emak-emak, sosok yang dekat dengan ulama dan umat Islam, dan sosok yang bisa memberikan solusi dari masalah-masalah yang muncul sejak pemerintahan Jokowi. Video klip yang digunakan oleh Jokowi dan Prabowo memiliki penggambaran citra yang ingin ditonjolkan guna memenangkan pemilihan presiden. Kata Kunci: Analisis Semiotika, Goyang Jempol, Pemilihan Presiden 2019, The Power of Emak-Emak Abstract A presidential candidate's political imaging can take many forms. One of the unique media that is rarely used is video clips, such as Goyang Jempol Jokowi Gaspol and The Power of Emak-Emak. This study used triadic relations, from C. S. Pierce's semiotics, between representamen, objects, and interpretants, to uncover hidden interpretations of the political video clips. The research was a qualitative descriptive study to support the theory of semiotics to reveal profound meanings in the video clips. The use of this concept was limited to interpretants in images rather than song lyrics. The results of this study found that Jokowi was represented as a populist figure who was always supported by the community, close to the millennial generation, and not anti-Islam. Meanwhile, Prabowo was represented as a figure who was loved by Indonesian women, close to ulama and Muslims, and can provide solutions to problems that have emerged since Jokowi's administration. The video clips used by Jokowi and Prabowo contained highlighted images of both candidates to win the presidential election. Keywords: Goyang Jempol, Presidential Election 2019, Semiotic Analysis, The Power of Emak- Emak

ANTI ISLAM HINGGA DEKAT EMAK-EMAK: PERANG CITRA …

  • Upload
    others

  • View
    13

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: ANTI ISLAM HINGGA DEKAT EMAK-EMAK: PERANG CITRA …

Jurnal Komunikasi Global, 9(2), 2020 ISSN: 2614-7998 (Print), 2614-218X (Online)

ANTI ISLAM HINGGA DEKAT EMAK-EMAK: PERANG CITRA JOKOWI DAN PRABOWO PADA PEMILIHAN PRESIDEN 2019

Fathul Qorib, Mohammad Saleh

Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Tribhuwana Tunggadewi Email: [email protected]

Diterima: 2 Juli 2020; Direvisi: 15 Agustus 2020; Disetujui: 17 Oktober 2020

Abstrak Pencitraan yang dilakukan kandidat presiden bisa terjadi dalam berbagai media. Salah satu media yang jarang dipakai tetapi unik adalah melalui video klip Goyang Jempol Jokowi Gaspol dan The Power of Emak-Emak. Penelitian ini menggunakan segitiga makna semiotika C. S. Pierce yaitu representamen, objek, dan interpretan, guna mengungkap interpretasi tersembunyi dari video klip politik tersebut. Penggunaan konsep ini dibatasi pada interpretan pada gambar dibandingkan pada lirik lagu. Jenis penelitian adalah deskriptif kualitatif agar dapat mendukung teori semiotika untuk mengungkap makna dari kedua video klip tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Jokowi direpresentasikan sebagai sosok merakyat yang selalu didukung masyarakat, dekat dengan generasi milenial, dan sosok yang tidak anti Islam. Sedangkan Prabowo direpresentasikan sebagai sosok yang dicintai para emak-emak, sosok yang dekat dengan ulama dan umat Islam, dan sosok yang bisa memberikan solusi dari masalah-masalah yang muncul sejak pemerintahan Jokowi. Video klip yang digunakan oleh Jokowi dan Prabowo memiliki penggambaran citra yang ingin ditonjolkan guna memenangkan pemilihan presiden. Kata Kunci: Analisis Semiotika, Goyang Jempol, Pemilihan Presiden 2019, The Power of Emak-Emak

Abstract

A presidential candidate's political imaging can take many forms. One of the unique media that is rarely used is video clips, such as Goyang Jempol Jokowi Gaspol and The Power of Emak-Emak. This study used triadic relations, from C. S. Pierce's semiotics, between representamen, objects, and interpretants, to uncover hidden interpretations of the political video clips. The research was a qualitative descriptive study to support the theory of semiotics to reveal profound meanings in the video clips. The use of this concept was limited to interpretants in images rather than song lyrics. The results of this study found that Jokowi was represented as a populist figure who was always supported by the community, close to the millennial generation, and not anti-Islam. Meanwhile, Prabowo was represented as a figure who was loved by Indonesian women, close to ulama and Muslims, and can provide solutions to problems that have emerged since Jokowi's administration. The video clips used by Jokowi and Prabowo contained highlighted images of both candidates to win the presidential election. Keywords: Goyang Jempol, Presidential Election 2019, Semiotic Analysis, The Power of Emak-Emak

Page 2: ANTI ISLAM HINGGA DEKAT EMAK-EMAK: PERANG CITRA …

Anti Islam Hingga Dekat Emak-Emak: Perang Citra Jokowi dan Prabowo Pada Pemilihan Presiden 2019 Fathul Qorib, Mohammad Saleh

188

Pendahuluan

Pemilihan presiden (Pilpres) selalu menyediakan ruang bagi kandidat untuk

bertukar pikiran, adu gagasan, hingga perang citra untuk mendapatkan simpati

masyarakat sebanyak-banyaknya. Rakyat Indonesia sendiri sudah terbiasa dengan pola-

pola pertarungan politik yang selalu menguat menjelang pemilihan (Zuhro, 2019). Hingga

kini perseteruan dari masing-masing kandidat terus muncul. Meskipun kondisi tersebut

wajar dalam era demokrasi, namun Pilpres 2019 melahirkan dua kubu yang saling

bermusuhan sehingga menyita perhatian publik (Karim, 2019). Polarisasi ini semakin

menguat ketika muncul sebutan khas “cebong” dan “kampret” untuk mengelompokkan

perbedaan pemilihan politik yang membuat rivalitas politik semakin terbuka dan

perpecahan pada masyarakat semakin luas (Stefanie, 2019; Tazri, 2019a, 2019b).

Hingga sekarang penyebutan cebong dan kampret dalam diskursus politik tanah

air masih terus terjadi di berbagai media sosial sebagai representasi kehidupan dalam

jaringan (daring). Perang tagar juga tidak dapat dihindari setiap ada kebijakan pemerintah

yang tidak sejalan dengan pihak oposisi, mulai dari sebelum Pilpres hingga saat Pilpres

(Ariefana, 2018; Mabruroh, 2019). Konflik yang tidak bisa ditolak juga berkaitan dengan

politisasi agama (Ikasari & Arifina, 2019; Pepinsky, 2019; Setiawan, 2019). Menurut

Romo Benny Susetyo, politisasi agama digaungkan karena calon pemimpin politik tidak

memiliki program kerja yang jelas sehingga menggunakan agama sebagai isu sentral

(Sukoy, 2019).

Pilpres 2019 kali ini memang sedikit berbeda karena memiliki pesan perpecahan

yang kuat ketika dua saingan paling fenomenal bertarung. Adu gengsi dua tokoh politik

nasional ini diwarnai dengan banyak manajemen citra, termasuk menggunakan lagu

ketika kampanye. Pencitraan yang terjadi dalam kontestasi politik merupakan satu

keniscayaan. Pada tingkat dasar, seluruh kandidat kepala daerah maupun kepala negara

akan melakukan perkenalan dengan masif di seluruh media. Hal ini untuk menjajaki

popularitas seorang politisi sebelum memutuskan strategi komunikasi politik yang efektif

dan efisien (Tamaka & Susanto, 2013). Pencitraan politik tidak menjamin seseorang

memenangkan kompetisi politik tetapi merupakan salah satu strategi yang dapat

menjamin efektivitas kampanye sehingga tingkat keterpilihannya tinggi (Husna, 2017; C.

D. Putri, Cangara, & Sultan, 2013).

Page 3: ANTI ISLAM HINGGA DEKAT EMAK-EMAK: PERANG CITRA …

Jurnal Komunikasi Global, 9(2), 2020, pp. 187-208

189

Seorang politisi harus memperhatikan pencitraan dirinya sebagai agenda politik

jangka panjang yang pada suatu saat dapat dimanfaatkan. Menurut Bungin (2018), ada

lima langkah pencitraan yang bisa dilakukan oleh kandidat. Pertama, bisa dimulai dari

memilih konten yang sesuai dengan karakteristik yang hendak dibangun. Kedua, memilih

saluran media yang dapat menjangkau khalayak luas lalu mempublikasikannya secara

masif. Ketiga, mengulang-ulang citra tersebut sehingga terpatri dalam pikiran khalayak.

Keempat, mengukur efektivitas konten, objek, dan saluran yang sudah digunakan.

Terakhir, mempertahankan pencitraan yang berhasil dan mengganti pencitraan yang

gagal.

Langkah-langkah tersebut secara sistematis dapat meningkatkan citra seorang

politisi. Tetapi pada dasarnya pencitraan tidak dapat dilakukan secara tergesa-gesa. Citra

harus didesain menggunakan berbagai rumusan agar dapat dianalisis dan dievaluasi

sehingga tujuan pencitraan tercapai. Dalam konteks komunikasi pemasaran ada istilah

branding yang dapat disematkan pada politik; political branding, yang menggunakan

seluruh sumber daya guna menciptakan citra yang smooth, cepat, dan tepat sasaran

(Priantana & Santoso, 2019). Keunggulan branding yang lain adalah mampu

mengonseptualisasikan bermacam-macam keunggulan dalam satu narasi tunggal yang

mudah diingat sehingga dapat memengaruhi khalayak (Wasesa, 2013). Berbagai macam

media dapat digunakan untuk mencitrakan kandidat, seperti baliho, pamflet, iklan di

media, hingga video klip.

Video klip berjudul Goyang Jempol Jokowi Gaspol diciptakan oleh salah satu

pendukung Jokowi, Marzuki Mohammad atau yang dikenal dengan Kill the DJ. Dia

menciptakan lagu Goyang Jempol sebagai bentuk dukungan untuk Jokowi yang

mencalonkan presiden pada Pilpres 2019. Video klip ini tidak hanya mengandalkan musik

dan lirik, tetapi juga memiliki gambar yang mendukung keseluruhan cerita. Goyang

Jempol yang memiliki durasi total 4 menit 53 detik ini lebih banyak mengambil warga

biasa yang berada di pasar, lalu berangsur-angsur pindah ke beberapa tokoh politik,

masyarakat kelas menengah ke atas, artis, hingga komedian. Jika lagi Goyang Jempol

banyak mengeksplorasi tentang dukungan masyarakat terhadap Jokowi, lagu The Power

of Emak-Emak lebih mengarah pada kritik terhadap pemerintahan Jokowi 2014-2019.

Video klip ini diciptakan oleh sekelompok wanita pendukung Prabowo Sandi yang

terkumpul dalam Wanita Peduli Prabowo Sandi (Walipadi). Video ini dengan durasi 3

Page 4: ANTI ISLAM HINGGA DEKAT EMAK-EMAK: PERANG CITRA …

Anti Islam Hingga Dekat Emak-Emak: Perang Citra Jokowi dan Prabowo Pada Pemilihan Presiden 2019 Fathul Qorib, Mohammad Saleh

190

menit 57 detik ini lebih banyak menampilkan kritik sosial dengan mengambil latar ibu-

ibu dari kalangan menengah sejak awal, lalu ada adegan yang menggambarkan kebutuhan

pokok mahal, mencari pekerjaan susah, dan tagar #gantiandong.

Video klip dipilih karena menjadi bagian dari strategi pemenangan masing-

masing kandidat dalam pemilihan presiden 2019 dan telah banyak dikonsumsi oleh

masyarakat. Sebagai media kampanye, video klip diharapkan dapat menjadi pendongkrak

popularitas, elektabilitas, dan loyalitas kandidat di hati dan pikiran masyarakat. Lagu

yang mengiringi video klip ini memiliki pesan-pesan yang dapat memengaruhi

masyarakat sesuai dengan teks yang dinyanyikan (Meliana, 2014). Dalam konteks Pilpres

2019, lagu dapat menguatkan apa yang sudah dipercayai oleh masyarakat terhadap dua

kandidat presiden, tetapi dapat juga digunakan untuk meraih kepercayaan dari kelompok

yang berseberangan agar mengubah pendapat mereka. Video klip menggambarkan

beraneka ragam makna yang kalau diputar berulang ulang dapat membangun imajinasi

khalayak yang melihatnya sehingga terjadi perubahan persepsi dalam diri penonton

(Danesi, 2012). Pendapat ini mengartikan bahwa video klip adalah media komunikasi

yang berfungsi sebagai sarana penyampaian pesan seiring dengan kemajuan teknologi,

baik itu pesan moral, keagamaan, politik, kritik sosial hingga propaganda.

Guna mengetahui tanda dan makna yang ada dalam video klip di atas, konsep

semiotika akan digunakan sebagai analisis. Semiotika adalah suatu ilmu atau metode

analisis untuk mengkaji tanda, yang mana dalam setiap tanda menandakan sesuatu selain

dirinya sendiri (Sobur, 2015). Manusia dengan perantara tanda-tanda, dapat melakukan

komunikasi dengan sesamanya. Dalam kehidupan sehari-hari terdapat tanda dalam

bentuk yang beraneka ragam guna menyampaikan informasi sehingga segala sesuatu

bersifat komunikatif. Tanda dalam kehidupan manusia bisa berbagai macam seperti teks,

bunyi, gerak dan isyarat, termasuk tanda yang kompleks seperti fotografi dan videografi.

Penelitian ini secara spesifik menggunakan analisis semiotika Pierce karena komposisi

tanda miliknya lebih kompleks dibanding Saussure, namun tidak terlalu jauh hingga mitos

dalam semiologi Barthes. Pierce tidak hanya memandang sebuah tanda dalam hubungan

antara penanda-petanda dalam Saussure, tetapi ada unsur interpretan yang penting untuk

mengungkap makna representamen dan objek. Sedangkan Barthes membawa penandaan

lebih jauh pada level konotatif yang bisa menimbulkan mitos jika dilakukan berulang dan

tanpa disadari oleh manusia.

Page 5: ANTI ISLAM HINGGA DEKAT EMAK-EMAK: PERANG CITRA …

Jurnal Komunikasi Global, 9(2), 2020, pp. 187-208

191

Kita dapat merunut penggunaan semiotika sejak masa Yunani. Aristoteles

misalnya, menyusun tiga dasar semiotika yang mirip pada konsep semiotika modern,

yaitu tanda itu sendiri, seperti kata, bunyi, atau gambar, referensi dari tanda yang ada di

mental seorang individu, dan pembangkitan makna yang disepakati secara psikologis

maupun sosial (Danesi, 2012). Dalam konsep modern, ketiga hal itu sama dengan

penanda, petanda, dan signifikansi (Yakin & Totu, 2014). Konsep semiotika C.S Peirce

yang berpandangan bahwa tanda merupakan sesuatu yang hidup dan dihidupkan serta

hadir dalam proses interpretasi yang mengalir (Berger, 2010; Danesi, 2012; Hoed, 2014).

Sehingga semiotika tidak mengklaim adanya makna statis dalam suatu representamen,

tetapi mengalir dan sebagian tanpa henti.

Sistem penandaan Pierce berguna untuk menganalisis berbagai tanda yang ada

pada budaya modern sebagaimana lagu. Menurut pandangan Pierce, tanda selalu dalam

proses perubahan tanpa henti yang disebut proses semiosis tak terbatas. Konsep paling

penting dalam semiosis ini berkaitan dengan model triadic yang terdiri dari

representamen, objek, dan interpretan. Representamen adalah sesuatu yang

merepresentasikan sesuatu yang lain, objek adalah sesuatu yang direpresentasikan, dan

interpretan adalah interpretasi seseorang terhadap tanda (Piliang, 2013; Sobur, 2015).

Sebuah gambar dalam video klip, dapat disebut representamen karena mengantarkan

sebuah kesadaran pada objek di kepala penonton; penonton yang berbeda akan memiliki

gambaran objek yang berbeda di dalam kepalanya. Gabungan antara representamen dan

objek inilah yang kemudian menghidupkan sebuah interpretasi yang juga dipengaruhi

oleh, misalnya, latar belakang, profesi, dan afiliasi orang tersebut.

Penelitian terkait representasi dan pencitraan Jokowi maupun Prabowo sudah

banyak dilakukan namun tidak ada yang secara spesifik meneliti citra yang ingin mereka

bangun pada lagu kampanye. Hal itu bisa dipahami karena hanya pada Pilpres 2019 lagu-

lagu diciptakan guna mendukung pola-pola kampanye konvensional. Penelitian yang

dilakukan Juniarti, Indainanto, & Augustine, (2018) pada Instagram milik Jokowi

mendapatkan kesan bahwa Jokowi menggunakan teknik self-promotion, membentuk

artefak diri dengan ciri baju putih dengan lengan digulung, tidak memiliki jarak sosial

dengan masyarakat, dan mengembangkan suatu integrasi antara dirinya dengan

masyarakat sehingga patut dijadikan contoh. Sedangkan Prabowo dicitrakan menyikapi

Page 6: ANTI ISLAM HINGGA DEKAT EMAK-EMAK: PERANG CITRA …

Anti Islam Hingga Dekat Emak-Emak: Perang Citra Jokowi dan Prabowo Pada Pemilihan Presiden 2019 Fathul Qorib, Mohammad Saleh

192

segala krisis dengan sandaran keutuhan NKRI, selalu berpijak pada UUD 1945, dan juga

mendahulukan kepentingan bangsa dibanding kepentingan pribadi dan golongan.

Representasi dari media massa juga menonjol dalam berbagai penelitian di

Indonesia terkait dengan dua kandidat presiden. Banyak peneliti tertarik menganalisis

berbagai media yang menjadi alat manajemen kesan kedua kandidat termasuk meneliti

pidato dari Jokowi dan Prabowo (Alvin, 2019; Leiliyanti, Diyantari, & Irawaty, 2017;

Wardani, 2019). Kompas.com misalnya merepresentasikan politik identitas yang

dilakukan kandidat presiden sebagai ancaman keutuhan bangsa dan mengganggu

multikulturalisme yang selama ini dibanggakan Indonesia (Tansal, Latief, & Sanusi,

2020). Berbagai media massa merepresentasikan Jokowi memiliki kekuatan citra yang

solid tetapi tersandera oleh kontrak politik karena dia bukan ketua umum partai politik

(Panuju, 2017). Representasi ini merupakan kajian yang menarik karena kandidat dan tim

pemenangannya mengolah berbagai citra agar mereka tampak baik dan dipilih oleh

masyarakat ketika hari pencoblosan.

Penelitian lain melihat pencitraan efektif dilakukan melalui media massa dan

media sosial. Tetapi penelitian ini ingin melihat secara spesifik bagaimana video klip

dapat merepresentasikan kedua kandidat tersebut. Analisis video klip ini lebih banyak

dilakukan pada makna gambar dibandingkan liriknya karena gambar lebih mudah

memengaruhi penonton dan mudah diingat dibandingkan dengan kata-kata (Adni &

Hidayati, 2014; DetikHealth, 2010). Video klip dalam video ini memiliki gambar dan

lirik yang selaras sehingga memilih salah satu di antara keduanya tidak akan mengurangi

interpretasi terhadap tanda dan maknanya.

Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengungkap makna dari video klip

lagu Goyang Jempol Jokowi Gaspol dan The Power of Emak-Emak. Signifikansi teoritis

penelitian ini dapat memberi sumbangan kajian terhadap video klip sebagai salah satu alat

politik yang selama ini absen dari kajian akademis. Secara praktis, penelitian ini dapat

memberikan gambaran kontekstual terkait citra yang bisa dibangun dalam alat kampanye

modern berupa video klip.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif untuk menafsirkan

fenomena yang terjadi dalam lagu yang mengandung pesan-pesan politik (Moleong,

Page 7: ANTI ISLAM HINGGA DEKAT EMAK-EMAK: PERANG CITRA …

Jurnal Komunikasi Global, 9(2), 2020, pp. 187-208

193

2012). Metode kualitatif dipilih karena dianggap paling tepat untuk memahami teks dan

konteks objek penelitian yang berupa video klip sehingga tujuan peneliti untuk

mengetahui makna-makna secara khusus dalam video klip tercapai (Mohajan & Mohajan,

2018). Peneliti dalam metode kualitatif menjadi instrumen utama sehingga persepsi

peneliti juga turut serta ambil bagian dalam pemaknaan. Karena itu peneliti juga menjadi

salah satu faktor yang memengaruhi kualitas hasil penelitian (Hammersley, 2013).

Teknik pengumpulan data pada penelitian ini yaitu menggunakan dokumentasi

dari scene-scene yang ada dalam lagu Goyang Jempol dan The Power of Emak-Emak.

Untuk lagu Jokowi Gaspol yang berdurasi 4 menit 53 detik ini, total terdapat 16 scene

dan hanya 5 scene yang dianalisis. Sedangkan lagu The Power of Emak-Emak, berdurasi

3 menit 57 detik dengan jumlah 19 scene, tapi hanya 8 scene yang dianalisis. Jumlah

scene yang dianalisis ini mengikuti kebutuhan data peneliti, yaitu scene yang

menunjukkan adanya representasi atau pencitraan dari pasangan kandidat Jokowi dan

Prabowo.

Seluruh scene di atas dinyatakan sebagai dokumen yang merupakan salah satu

metode penelitian kualitatif selain wawancara dan observasi. Sebuah dokumen bisa terdiri

dari teks tertulis namun bisa juga terdiri dari material digital seperti lagu dalam penelitian

ini (Bowen, 2009). Pemilihan kedua video lagu di atas dikarenakan lagu tersebut popular

di kalangan masyarakat. Pada 10 September 2020, jumlah penonton video klip Goyang

Jempol Jokowi Gaspol di Youtube berjumlah 2.2 juta lebih sedangkan The Power of

Emak-Emak telah ditonton sebanyak 290 ribu lebih viewers. Lebih dari itu, lagu ini

memiliki banyak tanda yang digabungkan menjadi satu kesatuan yang terstruktur

sehingga dapat membangun makna seperti yang diharapkan oleh pembuat video klipnya.

Langkah yang digunakan dalam penelitian ini pertama-tama adalah menonton

berulang-ulang lagu tersebut sehingga dapat mengenali gambar-gambar yang bermakna

maupun gambar pendukung. Video ini memiliki satu bangunan utuh sebagai alat

kampanye politik sehingga gambar-gambar di dalamnya tidak terpisah. Dari scene yang

dipilih tersebut kemudian muncul citra kandidat secara utuh karena digabungkan dengan

data di luar video klip tersebut. Data yang sudah didapatkan dari video klip ini lalu

diorganisasikan sesuai dengan konteks kebutuhan peneliti, yaitu pencitraan calon

presiden. Seluruh data inilah yang dianalisis menggunakan segitiga makna C. S. Pierce

hingga didapatkan kesimpulan akhir (Creswell, 2016).

Page 8: ANTI ISLAM HINGGA DEKAT EMAK-EMAK: PERANG CITRA …

Anti Islam Hingga Dekat Emak-Emak: Perang Citra Jokowi dan Prabowo Pada Pemilihan Presiden 2019 Fathul Qorib, Mohammad Saleh

194

Hasil dan Pembahasan

Pembahasan yang akan didiskusikan dalam artikel ini lebih banyak ke arah

interpretan secara langsung untuk menghindari pengulangan teks. Konsep representamen

Pierce merujuk terus-menerus pada gambar, musik, dan gerakan di dalam kamera, dengan

mengacu objek sebagai kondisi mental yang dipahami oleh individu. Sehingga yang perlu

dijelaskan dan diberi pemaknaan adalah interpretan yang sangat khas dari peneliti satu

kepada peneliti lainnya.

Representasi Jokowi

Jokowi Merakyat

Kata merakyat selalu muncul dalam setiap kontestasi politik di Indonesia.

Memihak rakyat dan membela rakyat juga selalu muncul karena setiap pemimpin ingin

dianggap merakyat agar dipilih oleh rakyat. Merakyat adalah suatu kondisi ketika ada

pejabat negara melakukan aktivitas kenegaraan dengan menggunakan sarana yang biasa

digunakan oleh rakyat. Pemimpin seperti ini akan disukai oleh rakyat dan dirindukan

kehadirannya oleh rakyat karena mereka dapat memahami kebutuhan rakyat (Siahaan,

2014). Jokowi yang digambarkan merakyat dalam video klip ini juga dikemukakan oleh

peneliti lain dengan penyebutan sebagai “blusukan yang sudah menjadi gaya

kepemimpinan Jokowi yang khas (Zulkarnain & Harris, 2017).

Dalam lagu ini Jokowi yang merakyat digambarkan didukung oleh rakyat. Ada

banyak scene yang menggambarkan hal itu, seperti pada scene di bawah ini:

Gambar 1. Dua orang dewasa duduk di ruang tamu sambil mendengarkan music

Page 9: ANTI ISLAM HINGGA DEKAT EMAK-EMAK: PERANG CITRA …

Jurnal Komunikasi Global, 9(2), 2020, pp. 187-208

195

Gambar 2. Masyarakat umum di pasar sedang berjoget dengan mengangkat jempolnya

Interpretan merupakan sesuatu yang khusus dan bisa muncul dalam kondisi yang

berbeda-beda pada individu yang berbeda. Pada gambar di atas, interpretan atau

pemaknaan yang dapat dikaji adalah adanya keasyikan dan keakraban pada masyarakat

pedesaan. Dari representamen dan objek di atas, ada pesan pada jempol yang selalu

diacungkan oleh aktor yang menunjukkan Jokowi merupakan calon presiden yang bagus

dan terbaik dalam Pilpres 2019. Hal itu sebagaimana yang dijelaskan tim kampanye

Jokowi ketika merumuskan “salam jempol” sebagai materi kampanye, yaitu bermakna

terbaik, nomor satu, hebat, dan keren (Pratama, 2018). Selain itu, kedua bapak tersebut

disimbolkan sebagai sosok rakyat biasa dengan pakaian dan kondisi ruangannya sehingga

terjadi pemaknaan bahwa Jokowi didukung masyarakat kampung.

Perhatikan cahaya yang menimpa seorang pria yang mendengarkan lagu Ayo

Goyang Jempol, Jokowi Gaspol pada Gambar 1. Cahaya ini menunjukkan adanya

“pencerahan” pada orang yang memilih Jokowi. Warna putih yang menjadi perlambang

cahaya juga merupakan warna yang sering dipakai oleh Jokowi. Bahkan Jokowi

menyarankan para pendukungnya untuk memakai baju warna putih ke tempat

pemungutan suara meskipun akhirnya menuai kontroversi (Putri, 2019). Arti putih itu

sendiri adalah kemurnian, suci, sederhana yang semuanya merujuk pada pribadi Jokowi.

Lagu ini sebenarnya mempertegas citra yang sudah dimulai oleh Jokowi sejak tahun 2014,

yaitu merakyat dengan konsep blusukan-nya dan baju putih sebagai sebuah simbol

kemurnian dan ketulusan.

Pada Gambar 2, objek yang ingin ditunjukkan adalah masyarakat pedesaan yang

bergoyang jempol dengan ceria. Hal ini menandakan bahwa masyarakat tersebut adalah

masyarakat yang perekonomian yang menengah ke bawah. Gambar itu menunjukkan

suatu makna bahwa Jokowi dekat dengan masyarakat bawah karena orang-orang di pasar

mengacungkan jempolnya mendukung Jokowi semua. Pemaknaan lain pada scene orang-

orang di pasar bahwa memilih Jokowi juga berarti menjamin hidup bahagia di masa

Page 10: ANTI ISLAM HINGGA DEKAT EMAK-EMAK: PERANG CITRA …

Anti Islam Hingga Dekat Emak-Emak: Perang Citra Jokowi dan Prabowo Pada Pemilihan Presiden 2019 Fathul Qorib, Mohammad Saleh

196

depan. Orang-orang tampak tersenyum, tertawa, dan puas dengan lagu yang

didengarkannya sembari bergoyang.

Jokowi Dekat dengan Milenial

Interpretasi kedua dari lagu Goyang Jempol adalah tentang generasi milenial.

Generasi milenial yang lahir setelah tahun 1980-an ini dijadikan rebutan oleh kedua

kandidat (Komariah & Kartini, 2019; Pyöriä, Ojala, Saari, & Järvinen, 2017). Jika

generasi milenial ini disamakan dengan usia pemuda, yaitu 16-30 tahun, maka jumlahnya

mencapai 63.82 juta jiwa yang memenuhi hampir 25% penduduk Indonesia (BPS, 2018).

Jumlah ini tentu sangat besar untuk mendongkrak suara kedua kandidat. Apalagi generasi

milenial sering digolongkan sebagai pemilih pemula sehingga dapat dengan mudah

dipengaruhi pilihan politiknya. Hal ini berhubungan dengan preferensi generasi milenial

terhadap media digital, termasuk media sosial. Milenial yang hanya mengandalkan media

digital akan cenderung terpapar informasi hoax, misquoted, dan misleading (Lee & Lee,

2016).

Dalam scene 8 video klip lagu ini, Jokowi tampak didukung oleh Cak Lontong

dan Insan Nur Akbar yang merepresentasikan milenial. Kedua komedian ini sering

muncul di Youtube yang lebih banyak diakses milenial dibanding generasi X dan baby

boomer. Interpretasi ini didukung dengan aktivitas menonton Youtube oleh kedua

komedian sehingga kesan milenial cukup terlihat. Penggunaan Youtube itu sendiri sudah

menunjukkan perbedaan generasi yang cukup mencolok karena pada pemilihan presiden

sebelumnya tidak menjadi media pilihan kampanye. Selain kedua artis tersebut, video

klip ini menampilkan deretan artis lainnya seperti Butet Kertaredjasa, Arie Kriting, Desta,

Kirana Larasati, Ge Pamungkas, Lukman Sardi, Gading Marten, Sophia Latjuba, dan

Hanung Bramantyo. Bukan hanya menunjukkan bahwa lagu yang mendukung Joko

Widodo itu digemari milenial, tetapi juga merupakan salah satu cara tim pemenangan

Jokowi menggaet pemilih dengan menghadirkan artis papan atas Indonesia.

Page 11: ANTI ISLAM HINGGA DEKAT EMAK-EMAK: PERANG CITRA …

Jurnal Komunikasi Global, 9(2), 2020, pp. 187-208

197

Gambar 3. Komedian dalam video klip Goyang Jempol

Komedian yang dihadirkan pada video ini tidak tanpa alasan, tetapi lebih pada

pengungkapan humorisme yang dipasangkan pada Jokowi. Seseorang yang dekat dengan

milenial juga harus bisa membaur dan memiliki ketertarikan pada kegemaran pemuda

seperti komedi, sports, dan gawai. Pengangkatan citra Jokowi yang dekat dengan milenial

ini tidak langsung terjadi begitu saja. Sejak lama Jokowi diberitakan secara terus-menerus

dekat dengan kelompok milenial berbagai profesi dan kegemaran. Bahkan Jokowi

merangkul generasi muda ini dengan sering menyebut salah satu e-sport popular di

Indonesia seperti Mobile Legends (Abdi, 2019). Karena itu survei sebelum pelaksanaan

Pilpres pada April 2019 mengunggulkan Jokowi di kalangan milenial dibanding Prabowo

(Kurnianto, 2019).

Sosok Jokowi sebagai presiden yang dekat dengan milenial juga tergambarkan

ketika melakukan aktivitas bersama anak muda, misalnya ketika touring motor Chopper

di Sukabumi, Jokowi menggunakan jaket jeans yang dibuat custom dengan gambar peta

Indonesia di bagian dadanya. Gaya Jokowi naik motor gede dengan jaket jeans itu sekilas

mirip dengan Dilan, sosok anak SMA di film Dilan 1990 yang terkenal pada waktu itu.

Belum lagi ketika pembukaan Asian Games 2018, Jokowi menunjukkan aksi dengan

mengendarai motor gede yang hampir membuat heboh dunia. Meskipun menggunakan

stuntman atau pemeran pengganti pada aksinya, Jokowi tetap memberi warna tersendiri

bagi pembukaan ajang olahraga se-Asia tersebut.

Jokowi Tidak Anti Islam

Tahun politik 2018 hingga 2019 isu Jokowi anti Islam muncul ke permukaan. Tim

Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf kemudian sibuk melakukan pencitraan agar

Jokowi dekat dengan umat Islam. Karena dalam survei Charta Politica isu ini cukup

berpengaruh dalam motivasi memilih masyarakat kepada Jokowi (Nathaniel, 2019).

Dalam berbagai survei isu Jokowi anti Islam memang menguat dan menjadi senjata bagi

Page 12: ANTI ISLAM HINGGA DEKAT EMAK-EMAK: PERANG CITRA …

Anti Islam Hingga Dekat Emak-Emak: Perang Citra Jokowi dan Prabowo Pada Pemilihan Presiden 2019 Fathul Qorib, Mohammad Saleh

198

lawan politik untuk menyerang Jokowi. Hal ini tentu menjadi masalah besar sehingga tim

Jokowi harus memikirkan bagaimana menangani persoalan tersebut. Apalagi penduduk

Indonesia terbesar adalah umat Islam sehingga tim pemenangan Jokowi harus bekerja

keras.

Lagu Goyang Jempol ini ingin menunjukkan dengan tegas bahwa Jokowi

bukanlah sosok yang anti Islam. Pada Gambar 4, terlihat sekelompok orang yang

menggunakan atribut keislaman antusias dengan lagu Goyang Jempol. Seluruh sistem

simbol yang dibangun oleh lagu tidak berdiri sendiri. Ada banyak kode-kode yang

digunakan untuk menandakan sesuatu di luar lagu tersebut. Sehingga adanya kelompok

orang Islam ini ingin mengungkapkan makna paling dalam dari tim pemenangan Jokowi,

“Dekati dulu Jokowi, kenali, maka kamu akan jatuh cinta dengan Goyang Jempol, Jokowi

Gaspol.”

Selain kelompok orang Islam kebanyakan itu, ada juga sosok Muslimah yang

berpengaruh di Indonesia. Tidak tanggung-tanggung, yang dimunculkan adalah anak

almarhum Gusdur, Yenny Wahid (Gambar 5). Jelas sekali tim kampanye nasional Jokowi

ingin menggaet warga NU yang menjadi pengikut fanatik keluarga Gus Dur. Dari sini,

muncul suatu pemaknaan bahwa Jokowi merupakan sosok yang mencintai dan dicintai

ulama. Jika Jokowi tidak anti Islam, berarti pro dengan Islam. Di Indonesia, seorang

presiden tidak akan mengabaikan agama apalagi agama Islam, karena agama merupakan

bagian dari Pancasila, dan Pancasila adalah dasar dari Negara Indonesia (Hamka, 2016).

Gambar 4. Sekelompok orang yang menggunakan atribut Islam tertarik dengan musik

Goyang Jempol di pasar

Page 13: ANTI ISLAM HINGGA DEKAT EMAK-EMAK: PERANG CITRA …

Jurnal Komunikasi Global, 9(2), 2020, pp. 187-208

199

Gambar 5. Yenny Wahid bergoyang Jempol sambil menonton Youtube

Representasi Prabowo

Dalam video klip lagu yang mendukung Prabowo ini, terselip banyak sekali kritik

terhadap Joko Widodo secara tersurat maupun tersirat, yang mana kritik tersebut tidak

terdapat dalam lagu Goyang Jempol. Ada perbedaan yang kentara antara pencitraan yang

dilakukan Jokowi dengan Prabowo. Prabowo dalam lagu ini dicitrakan sebagai orang

yang akrab dengan emak-emak, dekat dengan ulama, dan sosok pemberi solusi.

Penggunaan istilah emak-emak ini baru dilakukan secara masif pada Pilpres 2019.

Sebelumnya emak-emak tidak pernah digaungkan sebagai salah satu sumber dukungan

yang besar untuk mendulang suara. Bagi sebagian emak-emak, kampanye ini bernilai

positif karena kubu Prabowo dianggap mampu menyerap aspirasi emak-emak yang

selama ini disepelekan (Asri, 2019). Apalagi peran perempuan dalam dunia politik selalu

dinilai jauh lebih kecil dibanding dominasi laki-laki. Pendapat lain yang lebih kritis

menganggap bahwa pelabelan emak-emak pada lagu maupun pesan di berbagai media

tidak lebih dari upaya memobilisasi suara kaum perempuan agar memilih Prabowo, yang

mana kondisi ini merupakan bagian objektifikasi terhadap perempuan (Amalia, 2019).

Prabowo Akrab dengan Emak-Emak

Emak-emak adalah julukan bagi ibu-ibu yang mendukung Prabowo. Komunitas

emak-emak tersebar ke berbagai daerah untuk menggaet dukungan dari kalangan

perempuan, bahkan dengan membentuk partai emak-emak pembela Prabowo dan

Sandiaga Uno (Bomantama, 2018). Dalam video klip lagu ini, representamen yang

dimunculkan adalah ibu-ibu yang modis, hobi senam, belanja sayur di perumahan kepada

tukang sayur langganan, dan seorang ibu yang memiliki kebun sayur. Representamen

semacam ini memunculkan interpretasi bahwa dukungan kepada Prabowo hanya pada

ibu-ibu perkotaan, bukan emak-emak di kampung yang menanam padi, jagung, dan

mengenakan pakaian lusuh.

Page 14: ANTI ISLAM HINGGA DEKAT EMAK-EMAK: PERANG CITRA …

Anti Islam Hingga Dekat Emak-Emak: Perang Citra Jokowi dan Prabowo Pada Pemilihan Presiden 2019 Fathul Qorib, Mohammad Saleh

200

Gambar 6. Emak-emak dalam video klip lagu The Power of Emak-Emak

Dukungan dari emak-emak dalam lagu ini bisa diartikan bahwa Prabowo-Sandi

bukan hanya dekat tetapi juga dicintai emak-emak. Representamen dalam lagu ini

menunjukkan bahwa penyebutan Prabowo-Sandi selalu diiringi senyum dan kebanggaan.

Emak-emak dianggap yang lebih paham persoalan ekonomi keluarga sehingga mereka

ditampilkan berhubungan dengan pembelian sayur yang bertambah mahal hingga biaya

kesehatan yang selangit. Semua itu tersurat di video klip dengan durasi hampir 4 menit

tersebut. Bukan itu saja, sejak awal hingga akhir, emak-emak yang lebih banyak

ditampilkan adalah emak-emak berseragam sedang senam bersama di perbukitan.

Sebagian besar dari perempuan ini berjilbab sehingga ada interpretasi ini akan

berhubungan dengan makna kedua di bawah. Bahwa Prabowo dicintai emak-emak

sekaligus dicintai oleh umat Islam yang diwakili perempuan berjilbab.

Permasalahan dari representamen dan objek yang ada di dalam video klip ini

sebenarnya pada jalinan makna dari satu perempuan ke perempuan lainnya. Jika

dibandingkan dengan video Goyang Jempol yang pro Jokowi, penyematan kata emak

pada lagu Prabowo kurang tepat. Dalam video Jokowi, sejak awal hingga menjelang

akhir, lanskap yang ditampilkan adalah persawahan dengan padi yang hijau, pedagang

pasar dengan pakaian ala emak-emak di kampung, dan seluruh atribut pedesaan yang

kental. Sedangkan video klip pendukung Prabowo tampak lebih condong kepada

perempuan perkotaan dengan polesan make-up yang kentara, serta melakukan aktivitas-

aktivitas yang khas kota.

Prabowo Dekat dengan Ulama

Tampaknya umat Islam menjadi rebutan bagi kedua kandidat ini. Hal itu wajar

terjadi karena penduduk yang beragama Islam di Indonesia mencapai 229 juta jiwa atau

87% dari jumlah penduduk Indonesia (Kusnandar, 2018). Jumlah ini tentu sangat menarik

Page 15: ANTI ISLAM HINGGA DEKAT EMAK-EMAK: PERANG CITRA …

Jurnal Komunikasi Global, 9(2), 2020, pp. 187-208

201

bagi politisi yang ingin mendapatkan suara sebanyak-banyaknya dalam pemilihan daerah

maupun presiden. Sehingga momen berinteraksi dengan tokoh umat Islam harus

didokumentasikan dan menjadi salah satu alat untuk kampanye. Wacana-wacana

keagamaan memang selalu muncul dalam praktik kampanye politisi karena merupakan

bagian penting dari kampanye.

Gambar 7. Prabowo sedang berinteraksi dengan almarhum KH Maimun Zubair

Gambar 8. Pengajian yang dihadiri emak-emak

Pada scene di atas terlihat Prabowo yang menggunakan songkok hitam yang

identik dengan nasionalis, serta mempraktikkan gestur yang ingin hormat dengan

merangkul KH Maimun Zubair. Representamen yang dihadirkan oleh pembuat video klip

ini jelas mengindikasikan adanya kedekatan antara Prabowo dengan ulama NU tersebut.

Pada konteks kedekatan dengan umat Islam, Prabowo sebenarnya dicitrakan secara umum

sebagai seseorang yang mendapatkan dukungan ulama dan umat Islam di seluruh

Indonesia. Pemberitaan tentang Prabowo yang didukung oleh umat Islam yang tergabung

dalam Presidium Alumni 212 juga sering muncul.

Video ini juga memunculkan Jokowi distereotipkan membenci umat Islam dalam

satu scene. Pada gambar 11 tampaknya hanyalah sekumpulan perempuan yang sedang

melakukan pengajian. Hal itu sangat biasa dalam kebudayaan Indonesia ketika

sekelompok orang berkumpul untuk acara keagamaan. Karena seluruh pesertanya

berjilbab, maka pikiran kita langsung menginterpretasikan bahwa kelompok ini adalah

Page 16: ANTI ISLAM HINGGA DEKAT EMAK-EMAK: PERANG CITRA …

Anti Islam Hingga Dekat Emak-Emak: Perang Citra Jokowi dan Prabowo Pada Pemilihan Presiden 2019 Fathul Qorib, Mohammad Saleh

202

Muslimah pecinta Capres nomor urut 2. Pencitraan kepada Prabowo yang dekat dengan

ulama dan umat Islam dibarengi stereotyping bahwa Jokowi membenci umat Islam. Di

gambar 11 ini, muncul ungkapan “meskipun berbeda pilihan tetapi jangan sampai

membubarkan pengajian.” Sebagai representamen, kalimat tersebut mengindikasikan

satu hal; Jokowi suka membubarkan pengajian sehingga ia patut disebut pembenci Islam.

Perang citra ini muncul karena pada masa periode pertama Jokowi menjadi

presiden, banyak ulama yang masuk penjara. Ulama yang kerap disebut dikriminalisasi

oleh pemerintahan Jokowi misalnya Habib Rizieq dan Habib Bahar. Kedua pihak saling

mengklaim mendukung umat Islam dan cinta pada ulama. Adu citra ini juga muncul di

berbagai media massa yang mengungkapkan bahwa proses hukum pada ulama yang

bersalah bukanlah kriminalisasi, sedangkan pihak Prabowo selalu menyuarakan bahwa

pemerintah Jokowi anti ulama. Hal inilah yang dibawa pada pemahaman dalam video klip

The Power of Emak-Emak.

Prabowo Sosok yang Bisa Memberi Solusi

Sosok pemberi solusi merupakan salah satu hal abstrak yang diperdebatkan dalam

Pilpres 2019. Sebagai incumbent Jokowi pasti memiliki lebih banyak situasi untuk

dikritik oleh lawan. Ada beberapa hal yang disoroti oleh video klip The Power of Emak-

Emak sebagai kritik atas pemerintahan Jokowi, seperti harga bahan pokok yang semakin

mahal, pekerjaan susah dicari, ulama yang dikriminalisasi, pengajian yang dibubarkan,

dan biaya rumah sakit membengkak. Kecuali kriminalisasi ulama, kritik lainnya selalu

muncul pada setiap pemilihan presiden karena kondisi tersebut berkaitan dengan

masyarakat secara langsung.

Bukan hanya lawan politik yang akan mengkritik kinerja Jokowi-Kalla saat

menjadi kepala negara. Beberapa media massa besar, yang bisa dianggap representasi dari

masyarakat luas, juga mengkritik kerja Jokowi. Jawa Pos menyoroti kisruh kabinet ketika

Jokowi menjadi presiden 2014, Kompas mengkritik adanya manajemen dalam

pemerintahan Jokowi yang tidak dapat dikendalikan, Tempo mengkritik lemahnya

koordinasi antar lembaga di bawah kepemimpinan Jokowi, Media Indonesia juga menilai

kinerja Jokowi negatif, dan Republika juga menyoroti internal pemerintahan Jokowi yang

lemah (Wulandari, 2016).

Page 17: ANTI ISLAM HINGGA DEKAT EMAK-EMAK: PERANG CITRA …

Jurnal Komunikasi Global, 9(2), 2020, pp. 187-208

203

Kritik yang terselip dalam video klip ini bukanlah unsur utama yang ingin

diusung, melainkan keinginan untuk meninggikan dan menawarkan Prabowo sebagai

solusi. Berbagai persoalan yang dipaparkan di dalam video klip ini kita sebut sebagai

representamen yang menunjukkan pada satu pemahaman mental bahwa Jokowi harus

diganti karena tidak mampu mengurus negara selama menjadi presiden. Dari sanalah

interpretan kemudian berkembang bahwa jika Jokowi harus turun dari jabatannya sebagai

presiden maka harus ada pengganti yang lebih mumpuni yaitu Prabowo dan Sandiaga

Uno.

Gambar 9. Seorang ibu mengeluh kepada tukang sayur karena harga sayur naik terus

Gambar 10. Seorang ibu menasihati anaknya yang kesulitan mencari pekerjaan

Gambar 11. Seorang ibu terkejut dengan tagihan biaya berobat di rumah sakit

Gambar 9, 10, dan 11 merupakan satu representamen yang dapat berbicara kepada

penonton dengan sendirinya. Rangkaian tanda yang ada di dalam video klip tersebut

membentuk makna baru bagi penonton, bukan sekadar keluh-kesah masyarakat, tapi juga

politis. Indonesia selama dipimpin oleh Jokowi tidak membawa kesejahteraan bagi emak-

emak dan persoalan lama Indonesia juga masih terus terjadi, mulai dari bahan pokok

Page 18: ANTI ISLAM HINGGA DEKAT EMAK-EMAK: PERANG CITRA …

Anti Islam Hingga Dekat Emak-Emak: Perang Citra Jokowi dan Prabowo Pada Pemilihan Presiden 2019 Fathul Qorib, Mohammad Saleh

204

mahal, pekerjaan susah, dan biaya pengobatan tidak terjangkau. Karena itu, emak-emak

ini menawarkan Prabowo-Sandi untuk menjawab seluruh persoalan tersebut dengan

program-program mereka. Semacam ada harapan baru bahwa perekonomian Indonesia

akan stabil, harga kebutuhan pokok akan turun, biaya kesehatan tuntas, dan lain

sebagainya.

Penutup

Representasi Jokowi dan Prabowo dalam video klip lagu Goyang Jempol dan The

Power of Emak-Emak menguatkan indikasi adanya perang citra di antara kedua kubu.

Keduanya saling klaim kebaikan-kebaikan yang dapat digunakan untuk mendulang suara

pada Pilpres 2019. Pada lagu Goyang Jempol, tidak ditemukan representamen yang

menginterpretasikan kritik terhadap Prabowo. Goyang Jempol hanya ingin menonjolkan

sosok Jokowi yang merakyat, sosok yang disukai masyarakat di level bawah dan

kelompok yang tidak diperhitungkan, misalnya komedian, artis, dan pedagang pasar.

Sebaliknya, video klip kubu Prabowo banyak menandakan kritik terhadap

pemerintahan Jokowi. Lagu The Power of Emak-Emak lebih banyak menampilkan kritik

terhadap Jokowi, juga suasana yang dibangun adalah perkotaan tanpa sentuhan desa.

Emak-emak yang digambarkan mendukung Prabowo juga terdiri dari kalangan ibu-ibu

sosialita. Perbedaan ini sebenarnya memiliki makna yang kuat dan kurang disadari dari

kedua pendukung calon presiden 2019 tersebut.

Terdapat tiga tanda yang bisa kita baca dari video klip Goyang Jempol terkait citra

Jokowi-Ma’ruf. Pertama, Jokowi dicitrakan dekat dengan rakyat. Hal itu ditandai dengan

video klip yang mengambil tempat masyarakat secara umum seperti sawah dan pasar

tradisional. Kedua, Jokowi diinterpretasikan sebagai orang yang dekat dengan generasi

milenial yang ditandakan dengan artis dan komedian yang Goyang Jempol menggunakan

Youtube. Ketiga, Jokowi juga dicitrakan sebagai presiden yang dekat dengan umat Islam

dan ulama. Tanda-tanda yang menunjukkan hal itu bisa dilihat dari sekelompok orang

beratribut muslim yang Goyang Jempol di pasar dan dikuatkan dengan putri almarhum

Gus Dur, Yenny Wahid, yang juga Goyang Jempol.

Pada video The Power of Emak-Emak, Prabowo menandakan sesuatu yang

berbeda dari Jokowi. Pertama, Prabowo diidentikkan dengan orang yang dekat emak-

emak atau kaum perempuan. Tetapi terlihat sekali dalam video bahwa kaum perempuan

Page 19: ANTI ISLAM HINGGA DEKAT EMAK-EMAK: PERANG CITRA …

Jurnal Komunikasi Global, 9(2), 2020, pp. 187-208

205

yang ditonjolkan mendukung Prabowo adalah kaum menengah ke atas. Kedua, Prabowo

digambarkan dekat dengan ulama dan umat Islam. Perebutan umat Islam ini muncul pada

video Jokowi dan Prabowo karena keduanya ingin meraup simpati pemeluk agama paling

besar di Indonesia tersebut. Ketiga, Prabowo diinterpretasikan pemberi solusi atas seluruh

persoalan warga Indonesia. Prabowo seolah mampu menemukan solusi agar harga bahan

pokok stabil, layanan kesehatan murah, hingga penyediaan lapangan kerja bagi generasi

muda Indonesia.

Daftar Pustaka

Abdi, A. P. (2019). Pengamat: Jokowi Sebut Mobile Legends untuk Dekati Milenial.

Retrieved June 29, 2020, from Tirto.ID website: https://tirto.id/pengamat-jokowi-

sebut-mobile-legends-untuk-dekati-milenial-dl7Z

Adni, A., & Hidayati, D. S. (2014). Perbedaan Recognition Memory Perbedaan

Recognition Memory Kata Dan Gambar Pada Media Narasi Bergambar. Jurnal

Psikologi UIN Sultan Syarif Kasim Riau, 10(Juni), 1–10.

Alvin, S. (2019). Manajemen Citra Politik Prabowo Subianto Dan Sandiaga Uno Melalui

Akun @Prabowo Dan @Sandiuno. KOMUNIKA: Jurnal Dakwah Dan Komunikasi,

13(2), 229–247. https://doi.org/10.24090/komunika.v13i2.2538

Amalia, L. S. (2019). Upaya Mobilisasi Perempuan Melalui Narasi Simbolik ‘Emak-

Emak dan Ibu Bangsa’ Pada Pemilu 2019. Jurnal Penelitian Politik, 16(1), 17.

https://doi.org/10.14203/jpp.v16i1.779

Ariefana, P. (2018). Perang Tagar Pilpres 2019 Pancing Konflik Horizontal. Retrieved

September 3, 2019, from Suara.com website:

https://www.suara.com/news/2018/09/03/220300/perang-tagar-pilpres-2019-cak-

imin-pancing-konflik-horizontal

Asri, R. (2019). Pemaknaan The Power of Emak-Emak di Media Sosial. Jurnal

Komunikasi Global, 8(1), 92–103. https://doi.org/10.24815/jkg.v8i1.13825

Berger, A. A. (2010). Pengantar Semiotika: Tanda-Tanda dalam Kebudayaan

Kontemporer. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Bomantama, R. (2018). Partai Emak-emak Pendukung Prabowo-Sandi Dideklarasikan -

Tribunnews.com. Retrieved July 1, 2020, from Tribunnews.com website:

https://www.tribunnews.com/pilpres-2019/2018/08/23/partai-emak-emak-

pendukung-prabowo-sandi-dideklarasikan

Bowen, G. A. (2009). Document Analysis as a Qualitative Research Method. Qualitative

Research Journal, 9(2), 27–40. https://doi.org/10.3316/QRJ0902027

BPS. (2018). Statistik Pemuda Indonesia. Jakarta.

Bungin, B. (2018). Komunikasi Politik Pencitraan; The Social Construction of Public

Administration. Bandung: Prenada Media.

Creswell, J. W. (2016). Research Design : Pendekatan Metode Kualitatif, Kuantitatif, dan

Campuran (4th Editio). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Danesi, M. (2012). Pesan, Tanda, dan Makna. Yogyakarta: Jalasutra.

DetikHealth. (2010). Otak Lebih Suka Gambar dan Warna. Retrieved September 13,

2020, from Detik.com website: https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-

1404800/otak-lebih-suka-gambar-dan-warna

Page 20: ANTI ISLAM HINGGA DEKAT EMAK-EMAK: PERANG CITRA …

Anti Islam Hingga Dekat Emak-Emak: Perang Citra Jokowi dan Prabowo Pada Pemilihan Presiden 2019 Fathul Qorib, Mohammad Saleh

206

Hamka. (2016). Dari Hati ke Hati. Jakarta: Gema Insani.

Hammersley, M. (2013). What is Qualitative Research? Great Britain: MPG Books

Group.

Hoed, B. H. (2014). Semiotika & Dinamika Sosial Budaya. Jakarta: Komunitas Bambu.

Husna, A. (2017). Analisis Political Branding Calon Kepala Daerah Dalam Pilkada Aceh

2017. Jurnal Komunikasi Global, 6(1), 56–73.

https://doi.org/https://dx.doi.org/10.2139/ssrn.3603750

Ikasari, P. N., & Arifina, A. S. (2019). Framing Joko Widodo dan Prabowo Subianto di

Harian Kompas dalam Pemilihan Presiden 2019. Jurnal Komunikasi Dan Kajian

Media, 4(1), 73–83.

Juniarti, G., Indainanto, Y. I., & Augustine, P. Y. (2018). Strategi Joko Widodo

Membentuk Manajemen Kesan Di Instagram Menjelang Pilpres 2019. Interaksi:

Jurnal Ilmu Komunikasi, 7(2), 116–132. https://doi.org/10.14710/interaksi.7.2.116-

132

Karim, A. G. (2019). Mengelola Polarisasi Politik dalam Sirkulasi Kekuasaan di

Indonesia: Catatan bagi Agenda Riset. Politika: Jurnal Ilmu Politik, 10(2), 215.

https://doi.org/10.14710/politika.10.2.2019.200-210

Komariah, K., & Kartini, D. S. (2019). Media Sosial dan Budaya Politik Generasi

Milineal dalam Pemilu. Aristo, 7(2), 228. https://doi.org/10.24269/ars.v7i2.1608

Kurnianto, M. (2019). Survei Sebut Jokowi-Ma’ruf Unggul di Kalangan Milenial.

Retrieved June 29, 2020, from Tempo.co website:

https://pilpres.tempo.co/read/1193854/survei-sebut-jokowi-maruf-unggul-di-

kalangan-milenial/full&view=ok

Kusnandar, V. B. (2018). Indonesia, Negara dengan Penduduk Muslim Terbesar Dunia.

Retrieved July 1, 2020, from Katadata.co.id website:

https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/09/25/indonesia-negara-dengan-

penduduk-muslim-terbesar-dunia

Lee, O. K., & Lee, O. K. (2016). Millennial skepticism and susceptibility to media

persuasion. The Universityof Tennessee.

Leiliyanti, E., Diyantari, & Irawaty. (2017). Transcoding Wacana Konstruksi dan

Kontestasi Citra Jokowi dan Prabowo dalam Media Sosial pada Masa Kampanye

Pilpres 2014. Mozaik Humaniora, 17(2), 192–213.

Mabruroh. (2019). Gaduh Perang Tagar Cebong-Kampret yang Mendunia | Republika

Online. Retrieved June 25, 2020, from Republika.co.id website:

https://www.republika.co.id/berita/nasional/news-analysis/19/02/20/pn7wu7282-

gaduh-perang-tagar-cebongkampret-yang-mendunia

Meliana, I. (2014). Antisosial Dalam Video Klip Lagu Anak-Anak Inonesia Tahun 1990-

2013. Jurnal E-Komunikasi, 2(1), 1–11. Retrieved from

https://media.neliti.com/media/publications/83668-ID-none.pdf

Mohajan, H., & Mohajan, H. K. (2018). Munich Personal RePEc Archive Qualitative

Research Methodology in Social Sciences and Related Subjects Qualitative

Research Methodology in Social Sciences and Related Subjects. Journal of

Economic Development, Environment and People, 7(85654), 1.

Moleong, L. J. (2012). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Nathaniel, F. (2019). TKN: Isu Jokowi Anti-Islam Masih Kuat di Akar Rumput.

Retrieved June 29, 2020, from Tirto.id website: https://tirto.id/tkn-isu-jokowi-anti-

islam-masih-kuat-di-akar-rumput-dki6

Panuju, R. (2017). Komunikasi politik jokowi: antara pencitraan dan jejaring politik.

Page 21: ANTI ISLAM HINGGA DEKAT EMAK-EMAK: PERANG CITRA …

Jurnal Komunikasi Global, 9(2), 2020, pp. 187-208

207

Jurnal Komunikatif, 6(2), 92–105.

Pepinsky, T. (2019). Pembelahan Agama dan Etnis dalam Pilpres 2019 - Tirto.ID.

Retrieved June 25, 2020, from Tirto.id website: https://tirto.id/pembelahan-agama-

dan-etnis-dalam-pilpres-2019-eamN

Piliang, Y. A. (2013). Hiper Semiotik: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna.

Yogyakarta: Jalasutra.

Pratama, A. (2018). Perkenalkan Salam Jempol, TKN Jokowi-Ma’ruf: Lambang

Indonesia Maju. Retrieved October 14, 2020, from inews.id website:

https://www.inews.id/news/nasional/perkenalkan-salam-jempol-tkn-jokowi-ma-

ruf-lambang-indonesia-maju

Priantana, A. P., & Santoso, E. (2019). Strategi Promosi Objek Wisata Alam Situ Gede

Kota Tasikmalaya. Jurnal Komunikasi Global, 8(1), 104–115.

Putri, C. D., Cangara, H., & Sultan, I. (2013). The Image of Political Celebrities in Blog

Kompasiana. Jurnal Komunikasi Kareba, 2(2), 215–222.

Putri, Z. (2019). Jokowi Serukan Pakai Baju Putih Saat Nyoblos, TKN: Ada Larangan

Nggak? Retrieved October 14, 2020, from Detik.com website:

https://news.detik.com/berita/d-4489380/jokowi-serukan-pakai-baju-putih-saat-

nyoblos-tkn-ada-larangan-nggak

Pyöriä, P., Ojala, S., Saari, T., & Järvinen, K.-M. (2017). The millennial generation.

SAGE Open, 307–321. https://doi.org/10.1177/2158244017697158

Setiawan, R. (2019). MPR: Politik Aliran Agama Paling Berpengaruh pada Pilpres 2019.

Retrieved June 25, 2020, from Detik.com website: https://news.detik.com/berita/d-

4450316/mpr-politik-aliran-agama-paling-berpengaruh-pada-pilpres-2019

Siahaan, J. T. H. (2014). Memungut Remah-remah Kehidupan. Jakarta: Yayasan Pustaka

Obor Indonesia.

Sobur, A. (2015). Analisis Teks Media. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Stefanie, C. (2019). “Cebong dan Kampret”, Sinisme Dua Kubu Nihil Gagasan. Retrieved

June 25, 2020, from CNN Indonesia website:

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180709153148-32-312746/cebong-dan-

kampret-sinisme-dua-kubu-nihil-gagasan

Sukoy, Y. (2019). Politisasi Simbol Agama Bisa Berujung Perpecahan. Retrieved June

25, 2020, from Beritasatu.com website:

https://www.beritasatu.com/nasional/546897-politisasi-simbol-agama-bisa-

berujung-perpecahan

Tamaka, G. I., & Susanto, E. H. (2013). Pencitraan Aburizal Bakrie Melalui Iklan

Televisi. Jurnal Kajian Komunikasi, 1(1), 32–50.

https://doi.org/10.24198/jkk.vol1n1.4

Tansal, E. P. I. A., Latief, R., & Sanusi, H. (2020). Representasi Politik Identitas dalam

Pemilihan Presiden. Jurnal Washiyah, 1(1), 181–195.

Tazri, M. (2019a). Cebong Dan Kampret Dalam Pespektif Komunikasi Politik Indonesia.

Jurnal Perspektif Komunikasi, 3(1), 1–7.

Tazri, M. (2019b). Politik Hujat dalam Sistem Komunikasi Politik Indonesia ( Studi

Fenomenologi Cebong-Kampret ). Jurnal Communiverse, 4(2), 9–15.

Wardani, S. (2019). Orasi Politik Joko Widodo dan Prabowo Soebianto dalam Pilpres

2019. Nyimak: Journal of Communication, 3(2), 107.

https://doi.org/10.31000/nyimak.v3i2.1544

Wasesa, S. A. (2013). Political Branding & Public Relations. Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama.

Page 22: ANTI ISLAM HINGGA DEKAT EMAK-EMAK: PERANG CITRA …

Anti Islam Hingga Dekat Emak-Emak: Perang Citra Jokowi dan Prabowo Pada Pemilihan Presiden 2019 Fathul Qorib, Mohammad Saleh

208

Wulandari, T. D. (2016). Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla Menurut Kacamata 5 Media

Massa di Indonesia. Jurnal ASPIKOM, 3(1), 88.

https://doi.org/10.24329/aspikom.v3i1.102

Yakin, H. S. M., & Totu, A. (2014). The Semiotic Perspectives of Peirce and Saussure:

A Brief Comparative Study. Procedia - Social and Behavioral Sciences,

155(October), 4–8. https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2014.10.247

Zuhro, R. S. (2019). Demokrasi dan Pemilu Presiden 2019. Jurnal Penelitian Politik,

16(1), 69. https://doi.org/10.14203/jpp.v16i1.782

Zulkarnain, A., & Harris, S. (2017). Fenomena Blusukan Dalam Model Kepemimpinan

Politik Joko Widodo. Jurnal Politik Universitas Nasional, 13(1), 1928–1942.