20
 33 ARGUMENTUM, VOL. 15 No. 1, Desember 2015 KORELASI ANTARA PEMUNGUTAN RETRIBUSI RPH DENGAN PENINGKATAN PAD KABUPATEN LUMAJANG DITINJAU DARI PENERAPAN PERDA NOMOR 13 TAHUN 2011 Anies Marsudiati Purbadiri, Titis Srimurni, Syamsul Munir - Fakultas Hukum Universitas Lumajang - Jl. Musi No. 12 Lumajang Email: [email protected] om ABSTRACT In order to meet the Treasury, a local, then by virtue of Law No. 28 of 2009 Local Government Lumajang do polling Local Taxes and Levies, one of which is the levy charged RPH with reference to the Regional Regulation (Perda) No. 13 of 2011 on levies RPH, and for scientific study used qualitative research methods, which do not use a lot of numbers, but the description of words derived from the information and the views of some parties are credible, so that the nature research is desikriptif, including promoting an idea of the l evel of compliance of the users of services cutting large ruminant and / or small ruminants to the terms of payment of the levy Slaughterhouse, which of its operation is expected to be an increase in revenue Husbandry Department through a levy Slaughterhouse, and will eventually be deposited to the Regional Cash proportionally so that helped efforts to optimize revenue (PAD) Lumajang. Keywords : Perda, Retributie, Optimalisation, PAD, Lumajang A. PENDAHULUAN Gerakan reformasi telah membawa perubahan hampir menyeluruh pada sendi kehidupan masyarakat. Perubahan tersebut terjadi pula pada pola ketatanegaraan bangsa Indonesia. Salah satu konsekwensi perubahan ketatanegaraan itu adalah bergulirnya tuntutan otonomi daerah yang dikehendaki oleh sebagian besar masyarakat, dengan konsepsi pemikiran agar nantinya daerah dapat mengolah dan menikmati kekayaan

Arg Desember 2015 Anis Marsudiati Dkk

Embed Size (px)

DESCRIPTION

KORELASI ANTARA PEMUNGUTAN RETRIBUSI RPHDENGAN PENINGKATAN PAD KABUPATEN LUMAJANGDITINJAU DARI PENERAPAN PERDA NOMOR 13 TAHUN2011

Citation preview

7/21/2019 Arg Desember 2015 Anis Marsudiati Dkk

http://slidepdf.com/reader/full/arg-desember-2015-anis-marsudiati-dkk 1/20

  33ARGUMENTUM, VOL. 15 No. 1, Desember 2015 

KORELASI ANTARA PEMUNGUTAN RETRIBUSI RPH

DENGAN PENINGKATAN PAD KABUPATEN LUMAJANG

DITINJAU DARI PENERAPAN PERDA NOMOR 13 TAHUN

2011

Anies Marsudiati Purbadiri, Titis Srimurni, Syamsul Munir

- Fakultas Hukum Universitas Lumajang -

Jl. Musi No. 12 Lumajang

Email: [email protected]

ABSTRACT

In order to meet the Treasury, a local, then by virtue of Law

No. 28 of 2009 Local Government Lumajang do polling Local

Taxes and Levies, one of which is the levy charged RPH with

reference to the Regional Regulation (Perda) No. 13 of 2011on levies RPH, and for scientific study used qualitative

research methods, which do not use a lot of numbers, but the

description of words derived from the information and the

views of some parties are credible, so that the nature

research is desikriptif, including promoting an idea of the level

of compliance of the users of services cutting large ruminant

and / or small ruminants to the terms of payment of the levy

Slaughterhouse, which of its operation is expected to be an

increase in revenue Husbandry Department through a levy

Slaughterhouse, and will eventually be deposited to the

Regional Cash proportionally so that helped efforts to

optimize revenue (PAD) Lumajang.

Keywords : Perda, Retributie, Optimalisation, PAD,

Lumajang

A.  PENDAHULUAN 

Gerakan reformasi telah membawa perubahan hampir

menyeluruh pada sendi kehidupan masyarakat. Perubahan

tersebut terjadi pula pada pola ketatanegaraan bangsa Indonesia.

Salah satu konsekwensi perubahan ketatanegaraan itu adalah

bergulirnya tuntutan otonomi daerah yang dikehendaki olehsebagian besar masyarakat, dengan konsepsi pemikiran agar

nantinya daerah dapat mengolah dan menikmati kekayaan

7/21/2019 Arg Desember 2015 Anis Marsudiati Dkk

http://slidepdf.com/reader/full/arg-desember-2015-anis-marsudiati-dkk 2/20

 34 ARGUMENTUM, VOL. 15 No. 1, Desember 2015 

daerahnya sendiri. Keinginan itu selanjutnya disikapi oleh

Pemerintah yang ditandai dengan lahirnya Undang-Undang (UU)

No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Namun

Undang-undang ini hanya efektif berlaku sekitar 5 tahun saja, yang

selanjutnya dinyatakan tidak berlaku setelah lahirnya UU No. 32

tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang secara implisit di

dalamnya terdapat pemaknaan Otonomi Daerah.

Otonomi Daerah dapat dilihat secara vertikal yaitu melihak

kekuasaan negara menurut tingkatannya. Carl J. Friedrich

menyebutkannya dengan pembagian kekuasaan secara teritoril

atau oleh Arthur Maass disebut areal division of power , yang selalu

dikaitkan dengan nilai-nilai dasar komunitas. Hakikat areal division

of power  adalah sebagai berikut : Pertama, sebagai sarana untuk

merealisasikan nilai-nilai tersebut. Kedua, meliputi berbagai cara

untuk membagi kekuasaan pemerintahan menurut wilayah. Ketiga,

penerapannya dapat di negara kesatuan ataupun negara federal. 1 Dalam hal menggali sumber-sumber penghasilan yang

dibenarkan oleh ketentuan hukum yang berlaku, tugas Pemerintah

Daerah bukan semata-mata melakukan pemungutan demi untuk

menaikkan kuantitas keuangan daerah, akan tetapi juga dengan

memperhatikan kemampuan keuangan masyarakat agar tidak

terlalu terbebani, sehingga perekonomian masyarakat akan tetap

stabil. Hal demikian itu sesuai dengan prinsip pemungutan pajak

dan retribusi: pemungutannya jangan sampai membebani rakyat,

artinya prinsip-prinsip pemungutannya dengan memperhatikan

asas ekonomi dan asas keseimbangan, sehingga tidak menjadikanrakyat sengsara oleh sebab pemungutan pajak terhadapnya. 

Pada prinsipnya Pajak merupakan salah satu pungutan

resmi yang dapat dilakukan oleh pemerintah sehingga menjadi

sumber penghasilan yang resmi pula. Di tingkat Daerah, sumber

penghasilan yang dapat digali oleh Pemerintah Daerah,

diantaranya adalah Pajak Daerah atau Retribusi Daerah, yang

pengaturannya ditemukan dalam UU Nomor 34 Tahun 2000

tentang Perubahan UU Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak

Daerah dan Retribusi Daerah. Pengenaan Pajak Daerah dan

Retribusi Daerah terhadap obyeknya dimaksudkan untuk

menambah pendapatan asli daerah. Berikutnya Undang-Undang

7/21/2019 Arg Desember 2015 Anis Marsudiati Dkk

http://slidepdf.com/reader/full/arg-desember-2015-anis-marsudiati-dkk 3/20

  35ARGUMENTUM, VOL. 15 No. 1, Desember 2015 

tersebut digantikan dengan UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang

Pajak Daeran dan Retribusi Daerah (UUPDRD). 

UUPDRD membatasi obyek pajak dan retribusi daerah yang

boleh dipungut oleh pemerintah daerah. Pemerintah provinsi

hanya dapat mengenakan 5 (lima) obyek pajak, sedangkan

pemerintah Kabupaten/Kota hanya boleh mengenakan 11

(sebelas) obyek pajak. Pembatasan juga dikenakan pada retribusi

daerah dimana pemerintah daerah hanya boleh memungut 14

(empat belas) jenis retribusi Jasa Umum, 11 (sebelas) retribusi Jasa

Usaha dan 5 (lima) jenis Perizinan Tertentu. Pembatasan

pengenaan pajak dan retribusi daerah oleh undang-undang

demikian penting karena selain untuk memberikan kepastian

hukum bagi dunia usaha juga karena telah diatur secara limitatif

dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 23A:

“Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan

negara diatur dengan undang-undang“.2 Pajak daerah dan retribusi daerah merupakan komponen

penghasilan daerah sekaligus komponen pendapatan asli daerah.

Pada pemerintahan daerah yang bersifat otonom, apabila

pendapatan asli daerahnya sangat kecil tentu akan menjadi beban

tersendiri untuk menjalankan roda pemerintahan. Oleh karena itu

Pemerintah Daerah harus mampu mengelola urusan rumah

tangganya sendiri, mampu membuat dan melaksanakan beberapa

kebijaksanaan guna meningkatkan pendapatan asli daerahnya,

dengan  melibatkan beberapa instansi yang menjadi komponen

pemerintah daerah serta melakukan usaha-usaha secara sinergi,agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan diantara komponen

pemerintah daerah itu sendiri. 

Pada hakekatnya setiap penyelenggaraan pemerintahan,

baik menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 maupun UU Nomor 23

Tahun 2014 adalah dilakukan bersama-sama oleh Bupati/Walikota

selaku pemegang kekuasaan eksekutif dengan berbagai unsur

kelembagaan di wilayahnya, diantaranya adalah jajaran Satuan

Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) yang merupakan kepanjangan

tangan Bupati/Walikota. Dengan demikian SKPD itu mempunyai

peranan yang cukup penting untuk mengimplementasikan

2  Ibid, hlm. 5

7/21/2019 Arg Desember 2015 Anis Marsudiati Dkk

http://slidepdf.com/reader/full/arg-desember-2015-anis-marsudiati-dkk 4/20

 36 ARGUMENTUM, VOL. 15 No. 1, Desember 2015 

keputusan atau kebijakan Bupati/Walikota terkait realisasi

program-program pembangunan daerah.

Salah satu jajaran SKPD yang ada di Kabupaten Lumajang

adalah Dinas Peternakan, yang mengemban tugas dan kewajiban

untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan di sektor peternakan,

diantaranya yang terpenting adalah memberikan pelayanan

kesehatan ternak, baik ruminansia besar maupun ruminansia kecil.

Disamping itu Dinas Peternakan juga dapat melakukan aktivitas

penggalian dana, khususnya dari bentuk retribusi yang selanjutnya

hasil pemungutan retribusi akan difungsikan untuk membiayai

pembangunan daerah. Dengan kata lain hasil pemungutan

retribusi tersebut dibukukan sebagai pemungutan Pajak Daerah

dan/atau Retribusi Daerah dari sektor peternakan. Adapun

regulasi aturan pemungutan Pajak Daerah dan/atau Retribusi

Daerah adalah suatu Undang-undang dan/atau Peraturan Daerah,

yang merupakan produk hukum lembaga legislatif.Pajak Daerah selanjutnya disebut Pajak dipungut

berdasarkan Undang-undang, sedangkan Retribusi Daerah yang

selanjutnya cukup disebut Retribusi, dipungut berdasarkan

Peraturan Daerah (Perda). Salah satu Peraturan Daerah yang

berlaku efektif hingga saat ini di Kabupaten Lumajang adalah

Perda Nomor 13 Tahun 2011 tentang Retribusi Rumah Potong

Hewan. Perda tersebut berfungsi sebagai landasan yuridis bagi

pemungutan retribusi dari sektor peternakan, khususnya dari

bentuk retribusi jasa usaha di Rumah Potong Hewan atau yang

lazim disebut RPH.Tujuan pemungutan retribusi di Rumah Potong Hewan,

disamping untuk menghimpun sejumlah uang dari jasa usaha

pemotongan hewan, juga untuk meminimalisir pemotongan ternak

secara bebas, tanpa mengindahkan faktor-faktor medis maupun

yuridis. Untuk memnuhi tujuan itu pemerintah Kabupaten

Lumajang membangun Rumah Potong Hewan (RPH), yaitu suatu

bangunan atau kompleks bangunan dengan desain dan syarat

tertentu, yang digunakan sebagai tempat memotong hewan

sebagai konsumsi masyarakat umum.

Hingga saat ini Perda No 13 Tahun 2011 tentang Retribusi

Rumah Potong Hewan, yang ditetapkan oleh Bupati Lumajang padatanggal 8 Desember 2011, telah diterapkan di wilayah hukum

7/21/2019 Arg Desember 2015 Anis Marsudiati Dkk

http://slidepdf.com/reader/full/arg-desember-2015-anis-marsudiati-dkk 5/20

  37ARGUMENTUM, VOL. 15 No. 1, Desember 2015 

Kabupaten Lumajang, yang berarti masyarakat dianggap sudah

tahu tentang substansi yang tertuang didalamnya dan ada

keharusan untuk mematuhinya. Namun faktanya belum semua

masyarakat khususnya para pelaku jagal mau memahami urgensi

pengenaan retribusi jasa usaha pemeriksaan dan pemotongan

hewan dimaksud, sekalipun jelas-jelas masyarakat yang

bersangkutan telah turut menikmati fasilitas yang tersedia di

Rumah Potong Hewan di wilayah Kabupaten Lumajang. 

B. PERMASALAHAN

Atas dasar pendapat yang terurai di atas maka dirumuskan 2

permasalahan sebagai berikut : 

a. Hal-hal yuridis apakah yang mendasari pemungutan retribusi

Rumah Potong Hewan di Kabupaten Lumajang?

b. Bagaimanakah efektivitas penerapan Perda Nomor 13 Tahun

2011 tentang Retribusi Rumah Potong Hewan dalam menunjangupaya optimalisasi Pendapatan Asli Daerah Kabupaten

Lumajang?

C. METODOLOGI 

Penelitian yang menggunakan metode pendekatan

diskriptif, berarti penelitian hanya mendeskripsikan atau

melukiskan obyek atau masalah tanpa bermaksud untuk

mengambil kesimpulan-kesimpulan yang berlaku umum.3 

Penulisan Laporan Penelitian ini menggunakan pendekatan

yuridis normatif dan sosiologis, yaitu pendekatan melaluikebijakan-kebijakan dan atau peraturan-peraturan yang

diberlakukan untuk mengatur masalah yang menjadi topik

pembahasan ini, yakni dalam hal ini mencakup peraturan yang

berada dalam lapangan hukum perdata. Dan yang utama adalah

peraturan perundang-undangan yang kini berlaku sebagai hukum

positif.

Sumber datanya adalah berupa bahan hukum yang terdiri

atas”sumber bahan hukum primer, sumber bahan hukum sekunder

dan sumber bahan hukum tersier. Bahan-bahan hukum tersebut

dikumpulkan berdasarkan teknis pengumpulan yang lazim

3  R.H. Soemitro, Metodologi Peneliti an Hukum , Ghalia Indonesia,

Jakarta, 1988, hlm 16

7/21/2019 Arg Desember 2015 Anis Marsudiati Dkk

http://slidepdf.com/reader/full/arg-desember-2015-anis-marsudiati-dkk 6/20

 38 ARGUMENTUM, VOL. 15 No. 1, Desember 2015 

dilakukan, guna ditemukan pokok-pokok aturan yang relevan

dengan topik pembahasan.

Ada pun eknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan

adalah Interview atau wawancara, Observasi dan/atau

dokumentasi. Untuk menganalisis bahan hukum tersebut

digunakan metode deskriptif kualitatif artinya metode analisis yang

dilakukan dengan cara memberikan uraian dan gambaran atas

bahan-bahan hukum yang diperoleh dari studi literatur atau

kepustakaan, dokumenter, maupun fakta empiris yang terjadi di

lapangan. Pendeskripsian bahan-bahan hukum yang telah

diperoleh tersebut dilakukan dengan berdasarkan pada norma-

norma, kaidah-kaidah hukum dan peraturan perundang-undangan

yang berlaku serta berkaitan dengan masalah yang dibahas.

D. PEMBAHASAN

D.1. Hal-hal Yuridis Yang Mendasari Pemungutan RetribusiRumah Potong Hewan di Kabupaten Lumajang

Acapkali Indonesia disebut sebagai negera hukum. Bagir

Manan istilah “negara berdasar atas hukum“ secara bahasa bukan

tejemahan dari rechtssaat   tetapi the state under the rule of law .

Penggunaan frasa “negara berdasar atas hukum“ tanpa

menggandengkan istilah rechtstaat   memperlihatkan bahwa

Indonesia memiliki konsep yang khas tentang negara hukum itu,

yang sedikit banyak berbeda dengan konsep rechtstaat maupun

the rule of law .

Memaknai negara Indonesia berdasar atas hukum(rechtstaat ), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka

(machsstaat ) sebagaimana diatur dalam penjelasan UUD 1945

sebelum amandemen, maka sebagai negara hukum di Indonesia

segala tindakan pemerintahan negara harus didasarkan pada

hukum dan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu dapat

dikatakan pula bahwa negara hukum yang dimaksudkan ialah

negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada

warga negaranya.4 

4  Moh. Kusnardi & Harmaily Ibrahim, (1988), Pengantar Hukum Tata

 Negara Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI dan Sinar Bakti, hlm.

153

7/21/2019 Arg Desember 2015 Anis Marsudiati Dkk

http://slidepdf.com/reader/full/arg-desember-2015-anis-marsudiati-dkk 7/20

  39ARGUMENTUM, VOL. 15 No. 1, Desember 2015 

ST Marbun dan Mahfud MD, dalam bukunya mengatakan

sebagai berikut: “Di dalam Batang Tubuh UUD 1945 tidak

ditemukan pernyataan eksplisit bahwa Indonesia adalah negara

hukum. Tetapi dengan demikian bukan berarti bahwa negara

Indonesia bukan negara hukum sebab Penjelasan UUD 1945

(bagian sistim Pemerintahan Negara) secara tegas menyebutkan

bahwa Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat ) bukan

machtsstaat   serta Indonesia berdasarkan Konstitusional bukan

Absolutisme“.5 

Jika dikaitkan dengan ruang lingkup tugas pemerintahan

maka secara filosofis konstitusional jelas dinyatakan bahwa

Indonesia menganut prinsip negara hukum yang dinamis atau

Welfare State  (negara kesejahteraan). Di dalam bentuk Welfare

State, tugas pemerintah bukan lagi sebagai penjaga malam dan

tidak boleh pasif melainkan harus aktif turut serta dalam kegiatan

masyarakat sehingga kesejahteraan bagi semua orang tetapterjamin. Dengan demikian pemerintah harus memberikan

perlindungan bagi warganya bukan hanya dalam bidang politik

tetapi juga juga dalam bidang sosial ekonomi.

Adanya perlindungan konstitusional atau perlindungan

hukum menjadi ciri utama dari bentuk negara yang berorientasi

pada tercapainya bestuurzorg atau kesejahteraan umum. Hal

demikian sangat penting agar setiap tindakan yang dilakukan oleh

pemerintah mempunyai landasan hukum yang pasti sekaligus

dapat memberikan jaminan kepastian hukum bagi masyarakatnya.

D.1.1. Regulasi Aturan Hukum Tentang Retribusi Rumah Potong

Hewan di Kabupaten Lumajang

Aturan hukum pada dasarnya diterbitkan oleh pihak yang

berwenang untuk menertibkan rencana kerja yang dibuat dan

mengantisipasi terjadinya pelanggaran atas mekanisme kerja yang

telah disepakati secara formal. Bentuk aturan hukum itu sendiri

bermacam-macan, ada yang bersifat mengikat secara nasional,

yakni apabila dibuat oleh DPR bersama Presiden, secara regional

 jika dibuat oleh DPRD Provinsi bersama dengan Gubernur, atau

5 ST Marbun dan Moh. Mahfud MD, (1987), Pokok-Pokok Hukum

Administrasi Negara, Liberty, Jogyakarta, cet. I, hlm. 51

7/21/2019 Arg Desember 2015 Anis Marsudiati Dkk

http://slidepdf.com/reader/full/arg-desember-2015-anis-marsudiati-dkk 8/20

 40 ARGUMENTUM, VOL. 15 No. 1, Desember 2015 

bersifat lokal kalau dibuat oleh DPRD Kabupaten/Kota bersama

dengan Bupati/Walikota.

Dalam konteks pembicaraan tentang pajak dan retribusi

daerah, setidaknya terdapat 3 undang-undang yang berlaku secara

nasional serta menjadi dasar pungutan pajak dan retribusi daerah,

yaitu :

a. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang kini

diperbaharui lagi dengan UU No. 23 Tahun 2014 tentang

Pemda,

b. UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara

Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.

c. UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi

Daerah yang menggantikan undang-undang yang lama, yaitu UU

No. 34 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas UU No. 18 Tahun

1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Pemberlakuan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menandai reformasi

perpajakan daerah dan retribusi daerah di Indonesia. Wujud nyata

dari gerakan reformasi tersebut adalah dilakukan perubahan

substansi dari Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang

Pajak Daerah dan Retribusi Daeah, dengan menambah satu jenis

pajak provinsi dan empat jenis pajak Kabupaten/Kota serta empat

 jenis reribusi daerah yang dapat dipungut oleh pemerintah daerah

di Indonesia, yang semula memang belum diatur oleh undang-

undang terdahulu. Hal tersebut dilakukan sekaligus dengan

mengubah prinsip pemungutan pajak daerah dan retribusi daerahyang dilakukan oleh pemerintah daerah menjadi bersifat daftar

tertutup (clossed list ).

Walaupun era otonomi daerah telah diberlakukan sejak 1

Januari 2001 tetapi ketentuan yang termatub dalam Undang-

Undang Nomor 28 Tahun 2009 tidak serta merta dapat diterapkan

di setiap daerah di Indonesia. Dalam hal ini masih diperlukan

adanya peraturan daerah tentang pajak daerah dan retribusi

daerah yang akan menjadi landasan operasional dalam

pemungutan satu jenis pajak daerah ataupun retribusi daerah,

yang tentunya harus dibuat oleh pemerintah daerah dengan

mendasarkan pada ketentuan Undang-Undang Nomor 28 Tahun2009 tersebut.

7/21/2019 Arg Desember 2015 Anis Marsudiati Dkk

http://slidepdf.com/reader/full/arg-desember-2015-anis-marsudiati-dkk 9/20

  41ARGUMENTUM, VOL. 15 No. 1, Desember 2015 

Berdasarkan undang-undang tersebut maka Pemerintah

Daerah membuat beberapa Perda yang disusun seara bersama-

sama oleh DPRD Kabupaten dengan Bupati. Di Kabupaten

Lumajang sendiri juga dilairkan beberapa Perda, salah satunya

yang erat kaitannya dengan pengelolaan RPH adalah Peraturan

Daerah Nomor 13 Tahun 2011 tentang Retribusi RPH.

Penerbitan Perda yang mengatur tentang retribusi RPH di

Kabupaten Lumajang dirasa sangat strategis diterapkan, mengingat

populasi ternak di wilayah ini cukup tinggi demikian pula tingkat

konsumsi masyarakat akan daging sapi juga cukup tinggi sehingga

memungkinkan terjadinya pemotongan dengan kwantitas yang

tinggi pula.

Adapun data tentang populasi ternak Di Kabupaten

Lumajang baik ruminansia besar maupun ruminansia kecil yang

terekam oleh Dinas Peternakan Kabupaten Lumajang pada tahun

2014, dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

D.1.2. Kebijakan Dinas Peternakan Kabupaten Lumajang

Terhadap Operasional Rumah Potong Hewan

Suatu Peraturan Daerah pada dasarnya disusun atas

kepentingan tertentu diantara berbagai kepentingan manusia

dalam rangka mencapai kesejahteraan masyarakat. Adakalanya

substansi yang termuat di dalam Peraturan Daerah tidak sejalan

dengan keinginan masyarakat, dalam hal demikian tidak berarti

serta merta Perda tidak diberlakukan lagi karena sesungguhnya

prosedur penyusunan Perda itu sendiri amatlah panjang karenamelibatkan Dewam Perwakilan Daerah setempat bersama-sama

dengan Kepala Daerah.

Dewan Perwakilan Rakyat pada hakekatnya merupakan

representasi dari masyarakat, yang dalam pembuatan suatu Perda

sudah sepatutnya juga lebih banyak berpihak pada kepentingan

masyarakat di daerahnya, dan bukan semata-mata masyarakat di

lingkungan partai politiknya. Untuk itu mendengarkan aspirasi

masyarakat lebih dulu dirasa lebih bijaksana sebelum dilakukannya

penyusunan salah satu bentuk peraturan perundangan-undangan

tersebut.

Untuk itu peran masing-masing pemerintah daerah harusmuncul dalam rangka menerbitkan aturan hukum di bidang

7/21/2019 Arg Desember 2015 Anis Marsudiati Dkk

http://slidepdf.com/reader/full/arg-desember-2015-anis-marsudiati-dkk 10/20

 42 ARGUMENTUM, VOL. 15 No. 1, Desember 2015 

perpajakan yang bersifat lokal termasuk retribusi, mengingat

nantinya obyek retribusinya berada dalam wilayah suatu

pemerintah daerah dan mengikat bagi warga masyarakat di daerah

tersebut. Selanjutnya aturan hukum yang demikian itu dinamakan

Peraturan Daerah (Perda).

Lahirnya Perda Nomor 13 Tahun 2011 tentang Retribusi

RPH, secara histori pasti diawali dengan adanya pengamatan,

kajian dan pengambilan konklusi terlebih dahulu mengenai hal-hal

yang berkenaan dengan operasionalisasi Rumah Potong Hewan.

Dari pengamatan hingga pengambilan konklusi itulah ditemukan

formulasi penerapan kata demi kata sebagai isi tulisan dalam suatu

naskah Perda, yang secara substansional mengikat bagi masyarakat

di wilayah Kabupaten Lumajang.

Pasal 26 Perda Nomor 13 Tahun 2011 menyebutkan bahwa

: “Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Peraturan Daerah ini

sepanjang mengenai ketentuan teknis pelaksanaannya akan diaturlebih lanjut oleh Peraturan Bupati“.  Dengan Perbup dimaksudkan

hal-hal detail yang berkaitan dengan kepentingan Pemerintah

Daerah khususnya kepentingan menggali pemasukan dari sektor

perpajakan dan retribusi daerah dapat lebih ditekankan oleh

Bupati, dengan memberikan sanksi yang tegas bagi siapapun yang

tidak mematuhinya.

Namun sampai saat ini di Kabupaten Lumajang belum

diterbitkan Peraturan Bupati mengenai hal tersebut, padahal

masalah pemungutan retribusi RPH tetap harus dijalankan demi

menghimpun uang dari masyarakat untuk kepentingan operasionaldaerah. Menyikapi kondisi seperti ini, Dinas Peternakan Kabupaten

Lumajang menerbitkan Standart Operasional Prosedur (SOP), yang

bertujuan agar pelayanan Rumah Potong Hewan (RPH) di Lumajang

dapat dilaksanakan secara efektif sesuai pedoman pelayanan

Kesehatan Masyarakat Veterinair atau yang dikenal dengan

singkatan Kesmavet.

Ketentuan umum yang tertulis di dalam SOP, bahwa semua

ternak potong yang dipotong di RPH Lumajang dapat dilayani

sesuai dengan prosedur yang berlaku. Adapun prosedur

pemotongan hewan sebagaimana tertulis dalam SOP adalah

sebagai berikut :a.  Prosedur Pengajuan

7/21/2019 Arg Desember 2015 Anis Marsudiati Dkk

http://slidepdf.com/reader/full/arg-desember-2015-anis-marsudiati-dkk 11/20

  43ARGUMENTUM, VOL. 15 No. 1, Desember 2015 

1) 

Pemilik ternak langsung membawa ternak ke RPH.

2) Dilakukan pemeriksaan administrasi dan pemeriksaan

kesehatan hewan oleh petugas.

3) Membayar retribusi

b.  Tahap Penerimaan Hewan

1) 

Hewan yang baru datang diturunkan dari alat angkut secara

hati-hati untuk menghindari hewan stress, kesakitan

ataupun kecederaan.

2)  Penerapan desain dan konstruksi tangga penurun harus

dapat menjaga hewan tidak tergelincir jatuh, oleh karena itu

setidaknya sudut maksimal kemiringan tangganya adalah 30

%.

c.  Tahap Pengistirahatan Hewan

1)  Hewan diistirahatkan pada kandang penampungan yang

bersih, terlindung dari panas, hujan, tersedia pakan yang

cukup dan air minum ad libitum.2)  Hewan diistirahatkan selama minimum 12 jam sebelum

dipotong

3)  Pada saat diistirahatkan, hewan dapat dipuasakan (tidak

makan) ataupun tidak namun tetap diberikan air minum

yang cukup.

4)  Saat diistirahatkan dilakukan pemeriksaan ante mortem oleh

Dokter Hewan atau petugas paramedic dibawah

pengawasan Dokter Hewan.

5) 

Selama masa pengistirahatan hewan harus diberi perlakuan

secara wajar.d.  Tahap Penggiringan Hewan

1) Teknik penggiringan hewan dilakukan sesuai dengan

karakter hewan.

2) Pada saat penggiringan hewan untuk dilakukan pemotongan

atau penyembelihan petugas harus dapat menjaga hewan

agar tidak stress, ketakutan dan tidak cedera.

3) Tahap Pengendalian Hewan Saat Pemotongan

1)  Sebelum hewan masuk ruang pemotongan harus

dibersihkan lebih dahulu dengan air agar pada proses

lebih lanjut tidak ada kotoran yang mencemari karkas

atau daging.

7/21/2019 Arg Desember 2015 Anis Marsudiati Dkk

http://slidepdf.com/reader/full/arg-desember-2015-anis-marsudiati-dkk 12/20

 44 ARGUMENTUM, VOL. 15 No. 1, Desember 2015 

2) 

Penggiringan dan pengendalian hewan saat merobohkan

hewan sebelum disembelih seminimal mungkin

diupayakan jangan sampai mengakibatkan terjadinya

stress dan kesakitan yang berlebihan.

3)  Petugas harus menguasai teknik pengikatan dan

penarikan/peobohan dan seminimal mungkin

mengakibatkan hewan kesakitan/stress.

e.  Tahap Penyembelihan

1) Pemotongan hewan dapat didahului dengan pemingsanan

atau tidak.

2) Pemotongan harus dilakukan segera setelah hewan

dirobohkan.

3) Penyembelihan harus dilakukan menggunakan pisau yang

sesuai ukurannya, tajam dan bersih.

4) Penyembelihan harus dipastikan secara cepat serta tepat

sasaran (memotong 3 saluran), yakni saluran nafas, saluranmakan dan pembuluh darah.

5) Proses selanjutnya dilakukan apabila hewan sudah benar-

benar mati.

Lebih lanjut menurut Drh. Mudji Widayat selaku Kepala UPT

Rumah Potong Hewan Kabupaten Lumajang, bahwa idealnya

daging dari hewan yang telah dipotong/disembelih oleh seorang

Modin atas rekomendasi Dokter Hewan di wilayah kerjanya, harus

dilayukan lebih dulu di ruangan pendingin minimal 20 derajat

Celcius, supaya tekstur daging terasa lebih empuk. Sedangkan

dalam kajian medis proses pelayuan tersebut berfungsi untukmenguraikan ikatan asam laktat.

5.1 Efektivitas Penerapan Perda Nomor 13 Tahun 2011 Dalam

Menunjang Pengingkatan PAD Kabupaten Lumajang.

Era otonomi daerah yang secara resmi mulai diberlakukan

di Indonesia sejak tanggal 1 Januari 2001 menghendaki daerah

untuk berkreasi dalam mencari sumber penerimaan yang dapat

membiayai pengeluaran pemerintah daerah dalam rangka

menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan. Undang-

undang  tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang

tentang Perimbangan  Keuangan antara Pemerintah Pusat dan

7/21/2019 Arg Desember 2015 Anis Marsudiati Dkk

http://slidepdf.com/reader/full/arg-desember-2015-anis-marsudiati-dkk 13/20

  45ARGUMENTUM, VOL. 15 No. 1, Desember 2015 

Daerah menetapkan pajak dan retribusi  daerah sebagai sumber

Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Berlakunya Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang

Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, dimaksudkan untuk

mendukung perkembangan otonomi daerah yang nyata, dinamis

dan bertanggungjawab dalam penyelenggaraan Pemerintahan di

daerah dan untuk mengoptimalkan Pendapatan Asli Daerah dari

sektor Retribuasi Rumah Potong Hewan.

Dalam rangka memberikan landasan hukum yang jelas

berkaitan dengan upaya mengoptimalkan PAD dari sektor Retribusi

RPH, pemerintah daerah mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor

13 Tahun 2011 tentang Retribusi RPH. 

5.1.1  Kepatuhan Penguna Jasa RPH Terhadap Perda Nomor 13

Tahun 2011 tentang Retibusi RPH di Kabupaten Lumajang

Pasal 4 Perda Nomor 13 Tahun 2011 tentang Retribusi RPH,menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Subyek Retribusi

Rumah Potong Hewan adalah orang pribadi atau Badan yang

memperoleh pelayanan dan/atau menikmati/memakai fasilitas

rumah potong hewan yang disediakan, dimiliki dan/atau dikelola

oleh Pemerintah Daerah.

Selanjutnya Pasal 5 Perda Nomor 13 Tahun 2011 tentang

Retribusi RPH juga menyebutkan bahawa wajib Retribusi Rumah

Potong Hewan adalah orang pribadi atau Badan yang menurut

ketentuan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan

pembayaran Retribusi termasuk pemungut atau pemotongRetribusi.

Subyek Retribusi Rumah Potong Hewan berbentuk orang

pribadi yang memanfaatkan fasilitas RPH ataupun TPH di

Kabupaten Lumajang pada umumnya adalah pada pedagang

daging sapi atau yang lebih umum disebut Jagal. Jumlah jagal yang

secara rutin memanfaatkan fasilitas RPH kurang lebih sebanyak 20

orang, tetapi yang perlu diingat bahwa untuk menghitung

kwantitas pemotongan bukan berdasarkan pada jumlah subyeknya

tetapi tergantung pada jumlah ternak yang dipotong. Ada kalanya

seorang jagal memotongkan/menyembelihkan ternaknya

berjumlah lebih dari seekor sehingga mempengaruhi kwantitasperolehan retribusi RPH yang telah dibayarkan oleh Jagal.

7/21/2019 Arg Desember 2015 Anis Marsudiati Dkk

http://slidepdf.com/reader/full/arg-desember-2015-anis-marsudiati-dkk 14/20

 46 ARGUMENTUM, VOL. 15 No. 1, Desember 2015 

Sementara itu hal yang menarik untuk diperhatikan dari

tata cara menghitung jumlah ternak yang dipotong tidak

terpengaruh pada besar kecilnya berat badan ternak melainkan

bertumpu pada rincian per ekornya. Artinya jika yang dipotongkan

adalah ternak dengan ukuran badan yang besar-besar maka jumlah

retribusi yang diterima oleh RPH adalah sama dengan yang

diterima jika ternaknya kecil-kecil atau kurus-kurus.

Terlepas dari kondisi ukuran badan kurus atau gemuk,

menurut Ir. Agus Anggit, selaku Sekertaris Dinas Peternakan

Kabupaten Lumajang, bahwa pada hakekatnya peran Dinas

Peternakan adalah untuk memberikan pelayanan kesehatan

terhadap ternak yang akan dipotong, dan untuk itu harus dilakukan

oleh seorang Petugas Ahli.

Yang dimaksud Petugas Ahli menurut Pasal 1 angka 11

Perda Nomor 13 Tahun 2011 tentang Retribusi RPH, adalah Dokter

Hewan atau petugas yang berdasarkan pendidikan danpengetahuannya ditetapkan sebagai ahli di bidang pemeriksaan

hewan serta bertugas untuk memeriksa hewan pada Rumah

Potong Hewan.

Di RPH Kabupaten Lumajang, Petugas Ahli yang ditunjuk

adalah seorang Dokter Hewan, sedangkan di enam Tempat

Pemotongan Hewan yang berada di 6 Kecamatan lainnya di

Kabupaten Lumajang, belum ada Petugas Ahlinya sehingga

pemeriksaan ternaknya hanya dilakukan oleh seorang Mantri

Kesehatan atau petugas lain atas dasar pengetahuan atau

kebiasaannya walaupun yng bersangkutan tidak berada pada jenjang pendidikan yang dipersyaratkan oleh peraturan

perundang-undangan.

Hal itu menjadi salah satu dari beberapa kekurangan yang

dialami oleh Dinas Peternakan Kabupaten Lumajang, dikarenakan

tidak dapat menyediakan sarana pelayanan yang sesuai dengan

Ketentuan yang tersurat di dalam Perda Nomor 13 Tahun 2011

maupun yang tersurat dalam SOP yang diterbitkan oleh Dinas

Peternakan sendiri. Akibatnya Dinas Peternakan tidak mempunyai

keberanian untuk meningkatkan daya kepatuhan masyarakat

terhadap Perda Nomor 13 Tahun 2011 tersebut.

Walaupun sesungguhnya mematuhi isi dari peraturanperundang-undangan yang berlaku adalah wajib hukumnya bagi

7/21/2019 Arg Desember 2015 Anis Marsudiati Dkk

http://slidepdf.com/reader/full/arg-desember-2015-anis-marsudiati-dkk 15/20

  47ARGUMENTUM, VOL. 15 No. 1, Desember 2015 

negara yang menganut asas legalitas, yaitu suatu asas yang

menyatakan bahwa ketika suatu peraturan perundang-undangan

itu dinyatakan berlaku oleh pejabat yang berwenang maka

masyarakat wajib mematuhinya, dan bagi siapapun yang tidak

mematuhinya dapat dikenakan sanksi.

Jika memadukan antara konsepsi asas legalitas dengan

realita banyaknya kekurangan Dinas Peternakan dalam pemberian

pelayanannya, maka sesungguhnya hal ini menjadi beban berat

yang harus dipecahkan. Di satu sisi Dinas Peternakan Kabupaten

Lumajang harus memenuhi standart kelayakan pemberian

pelayanan di RPH, minimal sesuai dengan SOP yang dibuatnya, dan

disisi lain masyarakat pengguna layanan RPH harus meningkatkan

kesadarannya untuk mematuhi ketentuan yang termaktub dalam

Perda Nomor 13 Tahun 2011 tentang Retribusi RPH.

Hal lain yang juga perlu disadari bahwa tingkat kepatuhan

masyarakat pengguna layanan RPH bukan saja dipengaruhiminimnya fasilitasi sarana prasarana yang disediakan Dinas

Peternakan Kabupaten Lumajang, tetapi turut dipengaruhi oleh

tipologi atau karakteristik masyarakatnya. Untuk itu perlu

dilakukan pendekatan persuasif oleh para pemangku kebijakan,

dengan berpijak pada teori-teori sosiologis dan anthropologis.

5.1.2  Kelayakan Sarana Prasarana RPH Kabupaten Lumajang

Dalam Mendukung Optimalisasi Peningkatan Pendapatan

Asli Daerah

RPH Lumajang merupakan SKPD yang berada dibawahnaungan Dinas Peternakan Kabupaten Lumajang. RPH sebagai unit

pelayanan publik memiliki fungsi teknis, ekonomis dan sosial. Dari

aspek sosial RPH memberikan ketentraman batin kepada

masyarakat dari kemungkinan penularan penyakit Zoonosis dan

penyakit lainnya atau keracunan makanan (Food Born Disease dan

Food Born Intoxication) melalui penyediaan daging Aman, Sehat,

Utuh dan Halal (ASUH).

Guna mendapatkan kwalitas daging yang ASUH tersebut

Dinas Peternakan Kabupaten Lumajang selalu berusaha keras

untuk mengoptimalkan potensi RPH, meskipun dengan

ketersediaan sarana prasarana yang tidak optimal. Gerakanmengajak masyarakat untuk mengkonsumsi daging ASUH terus

7/21/2019 Arg Desember 2015 Anis Marsudiati Dkk

http://slidepdf.com/reader/full/arg-desember-2015-anis-marsudiati-dkk 16/20

 48 ARGUMENTUM, VOL. 15 No. 1, Desember 2015 

dilakukan oleh Dinas Peternakan Kabupaten Lumajang, melalui

cara penyuluhan-penyuluhan ataupun sosialisasi kepada berbagai

lapisan masyarakat, diantara kaum ibu yang lebih banyak

bersinggungan dengan bahan olahan daging tersebut.

Pada saat membuka kegiatan Penyuluhan Hukum dan

Sosialisasi Larangan Pemotongan Ternak Betina Produktif, yang

diselenggarakan secara bekerjasama antara Dinas Peternakan

Kabupaten Lumajang dengan Tim Peneliti program PDP dari

Universitas Lumajang, Ir. Agus Anggit dan ditambahkan dengan

keterangan dari Drh. Mudji Widayat selaku Kepala UPT RPH

Kabupaten Lumajang, menjelaskan hal-hal yang menjadi alasan

keharusan dipotongnya ternak di Rumah Potong Hewan. Alasan

tersebut adalah sebagai berikut :

a.  Agar hewan yang dipotong mempunyai legalitas formal sebagai

ternak yang dimiliki oleh Jagal.

 

Kepal/Petugas RPH akan memeriksa Kartu PengesahanPemindahan Hak Milik Ternak yang diterbitkan oleh Kepala

Pasar Hewan, jika ternak yang akan dipotong dibeli di Pasar

Hewan.

  Atau Kepala/Petugas RPH akan memeriksa Surat Keterangan

Perjalanan Ternak yang dikeluarkan oleh Kepala Desa jika

ternak yang akan dipotong adalah hasil asuhan di rumah.

  Setelah surat tersebut diperiksa Kepala UPT akan

mencatatnya dalam buku register pemotongan sekaligus

menerbitkan Kartu Pemeriksaan Ternak.

b. 

Agar hewan yang dipotong terbebas dari penyakit zoonosisyang dapat menular ke manusia.

  Sebelum dilakukan pemotongan Petugas Ahli dalam hal ini

Dokter Hewan akan memeriksa kesehatan ternak.

  Tujuan pemeriksaan adalah untuk mendeteksi adanya

penyakit pada ternak sehingga tidak sampai menelan korban

 jiwa

  Surat keterangan sehat diberikan oleh Petugas Ahli di RPH

setelah dilakukan pemeriksaan sebelum hewan dipotong.

c.  Agar daging yang dijual hygienis atau tidak tercemar dengan

bahan-bahan lain yang dapat membahayakan kesehatan

manusia.

7/21/2019 Arg Desember 2015 Anis Marsudiati Dkk

http://slidepdf.com/reader/full/arg-desember-2015-anis-marsudiati-dkk 17/20

  49ARGUMENTUM, VOL. 15 No. 1, Desember 2015 

  Petugas pemotong harus dalam keadaan bersih dan

memakai alat pelindung sebagaimana mestinya.

  Tempat pemotongan juga harus bersih agar daging yang

dihasilkan tidak tercemar kotoran di tempat pemotongan.

 

Tenaga pemotong, dalam hal ini disebut Modin harusmembuat suasana pemotongan khidmat karena akan

menyiapkan daging yang halal.

  Teknis pemotongan dan penggunaan alat-alat pemotong

harus sesuai dengan ketentuan yang ada dalam SOP RPH.

d.  Agar limbah yang dihasilkan dari pemotongan ternak tidak

mencemari lingkungan.

  Pasca pemotongan petugas/tenaga kebersihan harus segera

menyiram sisa pembuangan kotoran ternak ke saluran yang

sudah disiapkan RPH

  Hasil pemotongan dibawa ke tempat pemasaran oleh Jagal

dengan menggunakan alat angkut yang bersih dan memadai

agar daging tidak tercemar oleh kotoran di jalan.

Dari rangkaian langkah yang harus ditempuh oleh para jagal

sebelum dilakukannya pemotongan hingga sampai pada daging

yang siap dipasarkan, terdapat satu waktu yang penting untuk

diperhatikan oleh siapapun yang menggunakan fasilitas RPH, yaitu

saat harus dibayarkannya Retribusi RPH, yang normatifnya

dilakukan setelah pemeriksaan ternak.

Jumlah Retribusi yang dibayarkan oleg jagal selaku

pengguna jasa usaha RPH harus sesuai dengan ketentuan Pasal 8

Perda Nomor 13 Tahun 2011 tentang Retribusi RPH berikut :(1) Struktur dan besarnya tarif digolongkan berdasarkan jenis dan

 jumlah ternak, perinciannya :

Ruminansia besar

Sapi, Kerbau, Kuda : Rp 25.000,- (dua puluh lima ribu rupiah)

Ruminansia Kecil

Kambing, Domba : Rp 3.000,- (tiga ribu rupiah)

Babi : Rp 25.000,- (dua puluh lima ribu rupiah)

(2) Struktur dan besaran tarifnya berdasarkan tarif tunggal.

Ditinjau dari besaran retribusi yang harus dibayarkan

tampaknya tidak terlalu mahal jika dibandingkan dengan nominal

harga daging yang siap dipasarkannya. Namun demikian tidak

semua jagal berlaku tertib dalam membayar retribusi RPH, bahkan

7/21/2019 Arg Desember 2015 Anis Marsudiati Dkk

http://slidepdf.com/reader/full/arg-desember-2015-anis-marsudiati-dkk 18/20

 50 ARGUMENTUM, VOL. 15 No. 1, Desember 2015 

terkadang sengaja mengabaikannya. Alasannya bermacam-macam,

diantaranya karena ternak yang dibawa ke RPH saat tengah malam

tidak terperiksa oleh Petugas Ahlinya, sehingga tidak perlu

membayar jasa RPH. 

Ketersediaan petugas untuk rentang waktu malam hingga

dini hari memang juga merupakan kekurangan fasilitas RPH, tetapi

hal tersebut tidak serta merta dijadikan alasan bagi jagal untuk

menghindar dari kewajiban membayar retribusi, mengingat

kewajiban membayar retribusi adalah bertumpu pada kejujuran

melaporkan berapa ekor ternak yang dipotongkan di RPH. Dalam

hal para pengguna jasa RPH tertib membayarkannya maka akan

sangat membantu perolehan keuangan dari retribusi yang nantinya

harus disetorkan oleh Kepala UPT RPH ke Bendahara Dinas, untuk

selanjutnya Bendahara membayarkannya ke Kas Negara.

Saat ini sudah tergambar perencanaan bahwa nantinya jika

Dinas Peternakan menghendaki adanya peningkatan PAD darisektor retribusi RPH maka harus ada kesediaan untuk mencukupi

sarana prasarana pelayanan kepada para pengguna jasa RPH,

minimal sebagaimana yang dituliskan dalam SOP, sehingga dengan

tercukupinya kebutuhan pengguna jasa akan melahirkan kepuasan,

dan jika sudah ada kepuasan maka secara moral akan

meningkatkan ketaatan membayar retribusi RPH. Pada akhirnya

dengan meningkatnya jumlah pemasukan retribusi akan terbuka

peluang untuk turut serta mengoptimalkan Pendapatan Asli

Daerah Kabupaten Lumajang.

E. PENUTUP 

E.1. Kesimpulan

Dari pemaparan yang terurai di depan dapat ditarik

kesimpulan sebagai berikut ini :

1.  Peraturan Perundang-undangan yang mendasari pemungutan

retribusi R.P.H. saat ini adalah Peraturan Daerah Nomor 13

Tahun 2011 tentang Retribusi RPH, sebagai salah satu produk

hukum legislatif bersama eksekutif, yang semestinya harus

ditindaklanjuti dengan penerbitan Peraturan Bupati sebagai

pedoman teknis bagi pemungutan retribusi di setiap Rumah

Potong Hewan(RPH) atau Tempat Potong Hewan (TPH) yangada di Kabupaten Lumajang, namun karena Perbup dimaksud

7/21/2019 Arg Desember 2015 Anis Marsudiati Dkk

http://slidepdf.com/reader/full/arg-desember-2015-anis-marsudiati-dkk 19/20

  51ARGUMENTUM, VOL. 15 No. 1, Desember 2015 

sejauh ini belum diterbitkan maka operasionalisasi RPH di

Kabupaten Lumajang mengacu pada Standart Operasional

Prosedur yang dibuat oleh Dinas Peternakan Kabupaten

Lumajang

2.  Secara yuridis formal Perda Nomor 13 Tahun 2011 efektif

untuk diterapkan sebagai landasan hukum pemungutan

retribusi R.P.H. megingat nominal retribusi yang harus

dibayarkan oleh pengguna jasa usahanya sepadan dengan

harga jual daging yang menjadi obyek retribusi sehingga tidak

mengganggu secara ekonomis, namun demikian secara

sosiologis tingkat kepatuhan para pengguna jasa tidak

sepenuhnya optimal bahkan seringkali berupaya menghindar

dari kewajiban membayar retribusi yang tentunya berdampak

pada perolehan hasil pemungutan retribusi dari sektor

peternakan sekaligus berdampak pula pada kuwantitas

penyetorannya ke Kas Daerah sebagai elemen pendukungpeningkatan PAD Kabupaten Lumajang.

E.2. Saran-Saran

1.  Sebaiknya maksud dan tujuan diberlakukannya Perda Nomor

13 Tahun 2011 tentang Retribusi RPH ditindaklanjuti dengan

Peraturan Bupati tentang operasional Rumah Potong Hewan di

Kabupaten Lumajang, dengan harapan setelah adanya Perbup

tersebut Dinas Peternakan Kabupaten Lumajang dapat

mengupayakan peningkatan kepatuhan pengguna jasa RPH,

yang secara tidak langsung akan berdampak pula padapeningkatan Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Lumajang

melalui sektor retribusi.

2.  Perlu dilakukan sosialisasi secara intens dari pihak-pihak yang

berkompeten di bidang perpajakan, bahwa memang secara

yuridis ekonomis ada keterkaitan antara pembayaran retribusi

dan peningkatan PAD Kabupaten Lumajang, oleh karenanya

 jika mengehendaki daerahnya menjadi daerah yang mumpuni

di bidang PAD nya maka harus diikuti dengan adanya ketaatan

atau kepatuhan masyarakat untuk membayar retribusi RPH

pada khususnya, maupun mematuhi berbagai peraturan

perundangan-undangan yang ada.-----

7/21/2019 Arg Desember 2015 Anis Marsudiati Dkk

http://slidepdf.com/reader/full/arg-desember-2015-anis-marsudiati-dkk 20/20

 52 ARGUMENTUM, VOL. 15 No. 1, Desember 2015 

DAFTAR PUSTAKA 

Bagir Manan, (2011), Menyongsong Fajar Otonomi Daerah. Pusat

Studi Hukum Fakultas Hukum UI, Yogyakarta.

Hary Djatmiko, (2002), Ketentuan Hukum Pajak Daerah danRetribusi Daerah, Pusat Studi Investasi dan Keuangan,

Lembaga LP3 Artha Bakti-IBTA-PSIK, Jakarta

Imam Soebechi, H., Dr, (2012),  Judicial Review Perda Pajak dan

Retribusi Daerah, Sinar Grafika, Jakarta

Josep Riwu Kaho, (2001). Prospek Otonomi Daerah di Negara

Republik Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta.

Koeswara, (2000), Paradigma Baru Otonomi Daerah yang

Berorientasi Kepada Kepentingan Rakyat , Widyapraja Th.

XXIV.

Marihot Pahala Siahaan, S.E., M.T., (2010), Pajak Daerah danRetribusi Daerah Edisi Revisi , Rajawali Pers, Jakarta.

Philipus M. Hadjon Et. Al, Pengantar Hukum Administrasi Negara.,

(1993), Yogyakarta. Gajah Mada, University Pers.

Ronny Hanintijo Soemitro, (1998), Metodologi Penelitian Hukum

dan Jurimetri , Ghalia Indonesia, Jakarta

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah.

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan

Retribusi Daerah.

Peraturan Daerah Kabupaten Lumajang Nomor 13 Tahun 2011

tentang Retribusi Rumah Potong Hewan.