Upload
bachrul-alam-arriza
View
257
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Idiopatik Trombositopenia Purpura (ITP) merupakan suatu kelainan didapat
berupa gangguan autoimun yang mengakibatkan trombositopenia karena
penghancuran trombosit secara dini dalam sistem retikuloendotel akibat adanya
autoantibodi terhadap trombosit yang biasanya berasal dari Immunoglubolin G
(IgG) yang bersirkulasi dalam darah (1).
Trombositopenia pada ITP mengakibatkan gangguan pada sistem hemostasis
karena trombosit bersama dengan sistem vaskular dan faktor koagulasi darah
terlibat secara bersamaan dalam mempertahankan hemostasis normal. Manifestasi
klinis ITP sangat bervariasi mulai dari manifestasi perdarahan ringan, sedang
sampai dapat mengakibatkan kejadian-kejadian yang fatal. Kadang juga
asimptomatik (1).
Berdasarkan etiologi, ITP dibagi menjadi 2 yaitu primer (idiopatik) dan
sekunder. Berdasarkan awitan penyakit dibedakan tipe akut bila kejadiannya
kurang atau sama dengan 6 bulan dan kronik bila lebih dari 6 bulan (2).
Insidensi ITP terjadi pada 100 kasus per 1 juta penduduk per tahun, dan kira-
kira setengahnya terjadi pada anak-anak dengan usia puncak 5 tahun, dimana
jumlah kasus pada anak laki-laki dan perempuan sama perbandingannya. Namun
pada orang dewasa, ITP paling sering terjadi pada wanita muda yaitu 72 persen
pasien selama 10 tahun adalah perempuan, dan 70 persen wanita ini usianya
1
kurang dari 40 tahun. Pada anak-anak biasanya merupakan tipe akut, yang sering
mengikuti suatu infeksi, dan sembuh dengan sendirinya (self limited). Pada orang
dewasa umumnya terjadi tipe kronis (2).
Trombosit, antithrombin III, dan d dimer memiliki fungsinya masing-masing
dalam pembekuan darah. Trombosit memiliki nama lain keping darah yang
berfungsi dalam proses pembekuan darah. Antithrombin adalah inhibitor yang
potensial dari kaskade koagulasi. D dimer merupakan hasil dari pemecahan fibrin.
Gangguan salah satu dari ketiganya maupun salah satunya akan mengakibatkan
ketidakseimbangan hemostasis (3).
B. Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah referat ini adalah untuk :
1. Mengetahui tentang penyakit yang disebabkan kelainan trombosit yaitu
Idiopatik Trombositopenia Purpura (ITP).
2. Mengetahui bagaimana penanganan yang tepat terhadap penyakit Idiopatik
Trombositopenia Purpura (ITP).
C. Manfaat
1. Agar dapat memahami penyakit yang disebabkan kelainan trombosit yaitu
Idiopatik Trombositopenia Purpura.
2. Agar dapat mengetahui penanganan penyakit Idiopatic Trombositopenia
Purpura.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Trombosit
Trombosit disebut juga platelet atau keping darah. Sebenarnya trombosit tidak
dapat dipandang sebagai sel utuh karena ia berasal dari sel raksasa yang berada di
sumsum tulang, yang dinamakan megakariosit. Dalam pematangannya,
megakariosit ini pecah menjadi 3000 – 4000 serpihan sel yang dinamai trombosit.
Trombosit mempunyai bentuk bicembung dengan garis tengah 0.75 – 2.25 mm.
Ciri-ciri trombosit adalah (1):
1. Tidak memiliki inti tetapi masih bila melakukan sintesa protein walaupun
terbatas, karena didalam sitoplasma masih ada sejumlah RNA.
2. Mempunyai mitokondria, butir glikogen yang mungkin berfungsi sebagai
cadangan energi dan 2 jenis granula yaitu granula α yang berisi enzim
hidrolase asam/lisosom dan granula padat yang berisi faktor penggumpalan
atau faktor V, faktor pertumbuhan serta beberapa jenis glikoprotein.
Umur trombosit setelah pecah dari sel dan masuk ke dalam darah ialah antara
8–14 hari. Konsentrasi trombosit dalam darah ialah antara 105 – 106/mL darah.
Perubahan dalam jumlah trombosit umumnya penurunan yang dihubungkan
dengan fungsinya. Keadaan lain yang dapat menyebabkan trombositopenia ialah
kelainan yang disebabkan oleh mekanisme autoimun. Dalam keadaan ini, tubuh
membuat antibodi terhadap trombosit yang dibuatnya sendiri. Trombositopenia
3
dapat pula disebabkan oleh berkurangnya produksi sel-sel megakariosit oleh
sumsum tulang (2).
Gambar 1.Trombopoietin
Fungsi trombosit antara lain sebagai faktor hemostasis (peristiwa penghentian
perdarahan akibat putusnya atau robeknya pembuluh darah) dan thrombosis
(peristiwa penghentian perdarahan ketika endothelium yang melapisi pembuluh
darah rusak atau hilang), prosesnya mencakup pembekuan darah atau koagulasi
dan melibatkan pembuluh darah, agregasi trombosit, serta protein plasma yang
menyebabkan pembekuan maupun yang melarutkan pembekuan. Dalam
prosesnya melibatkan dua lintasan, yaitu (2):
4
1. Lintasan intrinsik
Lintasan intrinsik ini melibatkan faktor XII, XI, IX, VIII, dan X di samping
prekalikrein, kininogen dengan berat molekul tinggi, ion Ca2+ dan fosfolipid
trombosit. Lintasan ini membentuk faktor Xa (aktif). Lintasan ini dimulai dengan
“fase kontak” dengan prekalikrein, kininogen dengan berat molekul tinggi, faktor
XII dan XI terpajan pada permukaan pengaktif yang bermuatan negative. Secara
in vivo, kemungkinan protein tersebut teraktif pada permukaan sel endotel. Kalau
komponen dalam fase kontak terakit pada permukaan pengaktif, faktor XII akan
diaktifkan menjadi faktor XIIIa pada saat proteolisis oleh kalikrein. Faktor XIIa
ini akan menyerang prekalikrein untuk menghasilkan lebih banyak kalikrein lagi
dengan menimbulkan aktivasi timbal balik. Begitu terbentuk, faktor XIIa
mengaktifkan faktor XI menjadi Xia dan juga melepaskan bradikinin (vasodilator)
dari kininogen dengan berat molekul tinggi.1 Faktor XIa dengan adanya ion Ca2+
mengaktifkan faktor IX menjadi enzim serin protease, yaitu faktor IXa. Faktor ini
selanjutnya memutuskan ikatan Arg-Ile dalam faktor X untuk menghasilkan serin
protease 2-rantai, yaitu faktor Xa. Rekasi yang belakangan ini memerlukan
perakitan komponen, yang dinamakan kompleks tenase, pada permukan trombosit
aktif, yaitu Ca2+,faktor IXa, dan faktor X. bagi perakitan kompleks tenase, kali
pertama trombosit harus diaktifkan untuk membuka fosfolipid asidik (anionik)
fofatidil serindan fosfatoidil inositol yang normalnya terdapat pada sisi keadaan
inaktif. Faktor VIII, suatu glikoprotein, bukan merupakan precursor protease,
tetapi kofaktor yang berfungsi sebagai reseptor untuk faktor IXa dan X pada
permukaan trombosit. Fakto VIII diaktifkan oleh thrombin dengan junlah yang
5
sangat kecil sehingga terbentuk faktor VIIIa, yang selanjutnya diinaktifkan oleh
thrombin dalam proses pemecahan yang lebih lanjut.
2. Lintasan ekstrinsik
Lintasan ekstrinsik melibatkan faktor jaringan, faktor VII, X, serta Ca2+ dan
menghasilkan faktor Xa. Produksi faktor Xa dimulai pada tempat cedera jaringan
dengan ekspresi faktor jaringan pada sel endotel. Faktor jaringan berinteraksi
dengan faktor VII dan mengaktifkannya. Faktor VII merupakan glikoprotein yang
mengandung Gla, beredar dalam darah dan disintesis dihati. Residu Gla dalam
region terminal amino pada molekul tersebut berfungsi sebagai tempat pengikatan
berafinitas tinggi utuk Ca2+. Faktor jaringan bekerja sebagai kofaktor untuk
faktor VIIa dengan Arg-Ile yang sama dalam faktor X yang diptong oleh
kompleks tenase pada lintasan intrinsic. Aktivasi faktor X menciptakan hubungan
yang penting antara lintasa intrinsic dan ekstrinsik. Pada lintasan terakhir yang
sama, faktor Xa yang dihasilkan oleh lintasan intrinsic dan ekstrinsik akan
mengaktifkan protrombin (faktor II) menjadi thrombin (IIa) kemudian mengubah
fibrinogen menjadi fibrin. Pengaktifan protrombin terjadi pada permukaan
trombosit aktif dan memerlukan perakitan kompleks protrombinase yang terdisi
atas fosfolipid anionik platelet, Ca2+m faktor Va, faktor Xa, dan protrombin.
6
B. Idiopatik Trombositopenia Purpura (ITP)
1. Definisi
ITP adalah singkatan dari Idiopathic Thrombocytopenic Purpura atau singkatan
dari 'Immune Thrombocytopenic Purpura'. 'Idiopathic' berarti tidak diketahui
penyebabnya. 'Thrombocytopenic' berarti darah yang tidak cukup memiliki sel
darah merah (trombosit). 'Purpura' berarti seseorang memiliki luka memar yang
banyak (berlebihan) (1).
ITP adalah suatu gangguan autoimun yang ditandai dengan trombositopenia
yang menetap (angka trombosit darah perifer kurang dari 150.000/μL) akibat
autoantibodi yang mengikat antigen trombosit menyebabkan destruksi premature
trombosit dalam system retikuloendotel terutama di limpa (2).
2. Epidemiologi
Insidensi ITP pada anak-anak antara 4,0 – 5,3 per 100.000. ITP akut umumnya
menyerang anak-anak usia antara 2–6 tahun. 7 – 28 % anak-anak dengan ITP akut
dapat berkembang menjadi kronik. ITP pada anak berkembang menjadi bentuk
ITP kronik pada beberapa kasus menyerupai ITP dewasa yang khas. Insidensi
ITP pada anak diperkirakan 0,46 per 100.000 anak per tahun. Insidensi ITP kronis
dewasa adalah 58 – 66 kasus baru per satu juta populasi pertahun (5,8 – 6,6 per
100.000) di Amerika dan serupa yang ditemukan di Inggris. ITP kronik pada
umumnya terdapat pada orang dewasa dengan median rata-rata usia 40 – 45 tahun.
Rasio antara perempuan dan laki-laki adaah 1:1 pada pasien ITP akut sedangkan
pada ITP kronik adalah 2 – 3 : 1 (3).
8
Pasien ITP refrakter didefinisikan sebagai suatu ITP yang gagal diterapi
dengan kortikosteroid dosis standar dan splenektomi yang selanjutnya mendapat
terapi karena angka trombosit dibawah normal atau ada perdarahan. Pasien ITP
refrakter ditemukan kira-kira 25 – 30 % dari jumlah pasien ITP. Kelompok ini
mempunyai respon jelek terhadap pemberian terapi dengan morbiditas yang cukup
bermakna dan mortalitas kira-kira 16 % (4).
3. Etiologi
Penyebab ITP ini tidak diketahui. Seseorang yang menderita ITP, dalam
tubuhnya membentuk antibodi yang mampu menghancurkan sel-sel darah
merahnya. Dalam kondisi normal, antibodi adalah respons tubuh yang sehat
terhadap bakteri atau virus yang masuk ke dalam tubuh. Tetapi untuk penderita
ITP, antibodinya bahkan menyerang sel-sel darah merah tubuhnya sendiri (5).
4. Klasifikasi
Ada 2 tipe ITP, antara lain (5):
a. Umumnya menyerang kalangan anak-anak usia 2-4 tahun yang umumnya
menderita penyakit ini. ITP yang dialami anak-anak berbeda dengan yang dialami
oleh orang dewasa. Sebagian besar anak yang menderita ITP memiliki jumlah sel
darah merah yang sangat rendah dalam tubuhnya, yang menyebabkan terjadinya
perdarahan tiba-tiba. Gejala-gejala yang umumnya muncul di antaranya luka
memar dan bintik-bintik kecil berwarna merah di permukaan kulitnya. Selain itu
juga mimisan dan gusi berdarah.
b. Menyerang orang dewasa. sebagian besar dialami oleh wanita muda, tapi dapat
pula terjadi pada siapa saja (ITP bukanlah penyakit keturunan). Penyakit ITP
9
untuk penderita orang dewasa dapat berlangsung lebih lama dibandingkan yang
dialami anak-anak. Pada saat dilakukan diagnosa, sebagian besar penderita
dewasa ITP umumnya telah mengalami adanya perdarahan yang terus meningkat
dan mudah sekali mengalami luka memar dalam kurun waktu beberapa minggu,
atau bahkan bulan. Untuk pasien wanita, meningkatnya aliran darah menstruasi
juga merupakan tanda-tanda utama. Banyak orang dewasa yang mengalami
thrombocytopenia (jumlah sel darah merah dalam darah relatif sedikit) yang tidak
terlalu parah. Pada kenyataannya, sebagian kecil orang bahkan tidak mengalami
gejala-gejala perdarahan. Kalangan ini umumnya didiagnosa ITP saat melakukan
tes pemeriksaan darah untuk suatu keperluan, dan ternyata salah satu hasilnya
menunjukkan jumlah sel darah merah yang sedikit.
5. Patofisiologi
Sindroma ITP disebabkan oleh antibodi trombosit spesifik yang berikatan
dengan trombosit autolog kemudian dengan cepat dibersihkan dari sirkulasi oleh
sistem fagosit mononuklir melalui reseptor Fe makrofag. Pada tahun 1982 Van
Leeuwen pertama mengidentifikasi membrane trombosit glikoprotein IIb/IIIa
(CD41) sebagai antigen yang dominant dengan mendemostrasikan bahwa elusi
autoantibody dari trombosit pasien ITP berikatan dengan trombosit normal (6).
Diperkiraan ITP diperantai oleh suatu autoantibody, mengingat kejadian
transient trombositopeni pada neonatus yang lahir dari ibu yang menderita ITP,
dan perkiraan ini didukung oleh kejadian transient trombositopeni pada orang
sehat yang menerima transfuse plasma kaya IgG, dari seorang pasien ITP.
Trombosit yang diselimuti oleh autoantibody IgG akan mengalami percepatan
10
pembersihan di lien dan di hati setelah berikatan dengan reseptor Fcg yang
diekspresikan oleh makrofag jaringan. Pada sebagian besar pasien, akan terjadi
mekanisme kompensasi dengan peningkatan produksi trombosit. Pada sebagian
kecil yang lain, produksi trombsit tetap terganggu, sebagian akibat destruksi
trombosit yang diselimuti autoantibody oleh makrofag di dalam sumsum tulang
(intramedullary) atau karena hambatan pembentukan megakariosit
(megakaryocytopoiesis), kadar trombopoetin tidak meningkat, menunjukkan
adanya masa megakariosit normal (7).
Gambar 3. Patogenesis ITP
Dari gambar 4 dijelaskan bahwa pada umumnya obat yang digunakan sebagai
terapi awal ITP menghambat terjadinya klirens antibody yang menyelimuti
11
trombosit oleh ekspresi reseptor Fcg pada makrofag jaringan (1). Splenektomi
sedikitnya bekerja pada sebagian mekanisme ini namun mungkin pula menggangu
interaksi sel-T dan sel-B yang terlibat dalam sintesis antibody pada beberapa
pasien. Kortikosteroid dapat pula meningkatan trombosit dengan cara
menghalangi kemampuan makrofag dalam sumsum tulang untuk menghancurkan
trombosit, seangkan trombopoetin berperan merangsang progenitor megakariosit
(2). Beberapa immunosupresan non spesifik seperti azathioprin dan siklosporin,
bekerja pada tingkat sel-T (3). Antibody monoclonal terhadap CD 154 yang saat
ini menjadi target uji klinik, merupakan kostimulasi molekul yang diperlukan
untuk mengoITPmalkan sel-T makrofag dan interaksi sel-T dan sel-B yang
terlibat dalam interaksi antibody dan pertukaran klas (4). Immunoglobulin iv
mengandung antiidiopytic antybody yang dapat menghambat produksi antibody.
Antibody monoclonal yang mengenali ekspresi CD20 pada sel-sel B masih
menjadi penelitan (5). Plasmaferesis dapat mengeluarkan antibody sementara dari
plasma (6). Tranfusi trombosit diperlukan pada kondisi darrat untuk terapi
perdarahan. Efek dari stafilokokkus protein A masih dalam penelitian (7).
12
Gambar 4. Pendekatan Terapi ITP
6. Manifestasi Klinis
a. ITP Akut
ITP akut lebih sering dijumpai pada anak-anak, jarang pada umur dewasa,
awitan biasanya mendadak riwayat infeksi sering mengawali terjadinya
perdarahan berulang, sering dijumpai eksantem pada anak-anak (rubella dan
rubeola) dan penyakit saluran pernafasan yang disebabkan oleh virus merupakan
90% dari kasus pediatric trombositopenia imunologik. Virus yang paling banyak
diidentifikasi adalah varisella zooser dan Ebstein barr. Manifestasi perdarahan
IPT akut pada anak biasanya ringan, perdarahan intracranial biasanya terjadi
13
kurang dari 1% pasien. Pada IPT umur dewasa bentuk akut jarang terjadi, namun
dapat mengalami perdarahan dan perjalanan penyakit lebih fulminan. IPT akut
pada anak basanya Self limiting, remisi spontan terjadi pada 90% pasien, 60%
sembuh dalam 4-6 minggu dan lebih dari 90% sembuh dalam 3-6 minggu (8).
b. ITP Kronik
Awitan ITP kronk biasanya tidak menentu, riwayat perdarahan sering dari
ringan sampai sedang, infeksi dan pembesaran lien jarang terjadi, serta memiliki
perjalanan yang fluktuatif. Episode perdarahan dapat terjadi beberapa hari sampai
beberapa minggu, mungkin intermitten atau bahkan terus menerus. Remisi
spontan jarang terjadi dan dampaknya remisi tidak lengkap (8).
Manifestasi perdarahan IPT berupa ekimosis, petekie, purpura, pada umumnya
berat dan frekuensi perdarahan berkorelasi dengan jumlah trombosit. Secara
umum hubungan antara jumlah trombosit dan gejala antara lain bila pasien dengan
AT > 50.000 /μL maka biasanya asimptomatik, AT 30.000 – 50.0000 //μL
terdapat luka memar/ hematom, AT 10.000 – 30.000 /μL terdapat perdarahan
spontan, menoragia, dan perdarahan memanjang bila ada luka, AT < 10.000 /μL
terjadi perdarahan mukosa (epistasis, perdarahan gastrointestinal dan
genitourinaria) dan risiko perdarahan system saraf pusat. Perdarahan gusi dan
epistaksis sering terjadi, ini dapat berasal dari lesi petekie pada mukosa nasal, juga
dapat ditemukan ditenggorokan dan mulut. Traktus genitouinaria merupakan
gejala satu-satunya dari IPT dan mungkin tampak perama kali pada pubertas.
Hematuria juga merupakan gejala yang sering. Perdarahan gastrointestinal
bisanya bermanifestasi melena dan lebih jarang lagi dengan hematemesis.
14
Perdarahan intrakanial merupakan komplikasi yang paling serius dari IPT. Hal ini
mengenai hampir 1% pasien dengan trombositopenia berat. Perdarahan biasanya
di subarachnoid, sering multiple dan ukuran bervariasi dari petekie sampai
ekstravasasi darah yang luas (9).
Lamanya perdarahan dapat membantu anak menentukan dan membedakan ITP
akut dan ITP kronik, serta tidak terdapatnya gejala sistemik dapat membantu
dokter untuk menyingkirkan bentuk sekunder dan diagnosa lain. Penting untuk
anamnesa pemakaian obat-obatan yang dapat menyebabkan trombositopenia dan
pemeriksaan fisis hanya didapatkan perdarahan karena trombosit yang rendah
(petekie, purpura, perdarahan konjungiva dan perdarahan selaput lendir yang
lain). ITP dewasa terjadi umumnya pada usia 18 – 40 tahun dan 2 – 3 kali lebih
sering mengenai perempuan daripada pria (10).
Splenomegali ringan ((hanya ruang troube yang terisi), tidak ada
limfadenopati. Selain trombositopenia hitung darah yang lain normal.
Pemeriksaan darah tepi diperlukan untuk menyingkirkan pseudotrombositopenia
dan kelainan hematology yang lain. Megatrombosit sering terlihat pada
pemeriksaan darah tepi, trombosit muda ini bisa dideteksi oleh flow sitometri
berdasarkan messenger RNA yang menerangkan bahwa perdarahan pada ITP
tidak sejelas gambaran pada kegagalan sumsum tulang pada hitung trombosit
yang serupa. Salah satu diagnosa penting adalah fungsi sumsum tulang. Pada
sumsum tulang dijumpai banyak megakariosit dan agranuler atau tidak
mengandung trombosit (10).
15
Secara praktis pemeriksaan sumsum tulang dilakukan pada pasien lebih dari 40
tahun, pasien dengan gambaran tidak khas (misalnya dengan gambaran sitopenia)
atau pada pasien yang tidak berespon baik dengan terapi. Meskipun tidak
dianjurkan, banyak ahli pediatric hematology merekomendasikan dilakukan
pemeriksaan sumsum tulang sebelum mulai terapi kortikosteroid untuk
menyingkirkan kasus leukemia akut (3).
Pengukuran trombosit dihubungkan dengan antibody secara uji langsung untuk
mengukur trombosit yang berikatan dengan antibody yakni dengan Monoclonal-
Antigen-Capture Assay, sensitivitasnya 45 – 66%, spesifitasnya 78 – 92% dan
diperkirakan bernilai positif 80 -83 %. Uji negative tidak menyingkirkan diagnosa
deteksi yang tanpa ikatan antibody plasma tidak digunakan. Uji ini tidak
membedakan bentuk primer ataupun bentuk sekunder (3).
Diagnosa ITP selama kehamilan cukup sulit dilakukan, karena jumlah sel-sel
darah merah pada wanita hamil memang cukup rendah. Sekitar 5% wanita hamil
memiliki jumlah sel darah merah yang normalnya juga cukup rendah di masa
kehamilan tuanya. Penyebabnya juga tidak diketahui. Tetapi kondisi ini akan
kembali normal sesaat setelah proses bersalin dilakukan. Bayi yang lahir dari
seorang ibu yang menderita ITP kemungkinan juga memiliki jumlah sel darah
merah yang rendah dalam tubuhnya (4).
7. Pemeriksaan Penunjang
Untuk menegakkan diagnosa ITP diperlukan pemerikan penunjang, antara lain:
1. Pemeriksaan labolatorium darah rutin dan lengkap untuk mencari adanya
anemia hemolitika dengan fragmentasi eritrosit.
16
2. Pemeriksaan fungsi ginjal untuk mencari apakah ada gangguan fungsi ginjal.
3. Biopsi kulit, otot, gusi, kelenjar getah bening atau sumsum tulang untuk
mencari apakah ada kelainan arterioal yang khas (5).
8. Penatalaksanaan
Terapi ITP ditujukan untuk menjaga jumlah trombosit dalam kisaran aman
sehingga mencegah terjadinya perdarahan mayor. Terapi umum meliputi
menghindari aktivitas fisik berlebihan untuk mencegah trauma kepala. Terapi
khusus yaitu terapi farmakologis, antara lain (9):
a. Terapi Awal ITP (Standar)
Prednisolon. Terapi awal prednisolon atau prednisone dosis 1.0 – 1.5
mg/KgBB/hari selama 2 minggu. Respon terapi prednisone terjadi dalam 2
minggu dan pada umumnya terjadi dalam minggu pertama, bila respon baik
kortikosteroid dilanjutkan sampai 1 bulan, kemudian tapering. Kriteria respon
awal adalah peningkatan AT < 30.000 /ml, AT > 50.000/ μL setelah 10 hari terapi
awal, terhentinya perdarahan. Tidak berespon bila peningkatan AT < 30.000/ μL,
AT 50.000/ μL setelah terapi 10 hari. Respon menetap bila AT > 50.000/ μL
setelah 6 bulan follow up. Pasien yang simptomatik persisten dan trombositopenia
berat (AT < 10.000/ μL) setelah mendapat terapi prednisolon perlu
dipertimbangkan untuk splenektomi.
Immunoglobullin Intervena. Immunogobullin intervena (Ig IV) dosis
1gr/Kg/hari selama 2 – 3 hari berturut-turut bila terjadi perdarahan interna, setelah
5000/ μL meskipun telah mendapatkan kortikosteroid dalam beberapa hari atau
adanya purpura yang progresif. Hampir 80 % pasien berespon baik dengan cepat
17
meningatkan AT namun perlu pertimbangan biaya. Gagal ginjal dan insufisiensi
paru dapat terjadi serta syok anafilaktik pada pasien yang mempunyai defisiensi
IgA congenital. Mekanisme kerja IgIV pada ITP masih belum banyak diketahui,
namun meliputi blockade fc reseptor, anti-idiotype antibodies pada IgIV yang
menghambat ikatan autoantibodi dengan trombosit yang bersirkulasi dan
imunosupresi.
Splenektomi. Splenektomi untuk terapi ITP sudah digunakan sejak tahun 1916
dan digunakan sebagai pilihan terapi setelah steroid sejak tahun 1950-an.
Splenektomi pada ITP dewasa dipertimbangkan sebagai terapi lini kedua yang
gagal berespon dengan terapi kortikosteroid atau yang perlu terapi trombosit
terus-menerus. Efek splenektomi pada kasus yang berhasil adalah menghilangkan
tempat-tempat antbodi yang tertempel trombosit yang bersifat merusak dan
menghilangkan produksi antibody antitrombin. Indikasi splenektomi sebagai
berkut: Bila AT < 50.000/ μL setelah 4 minggu (satu studi menyatakan bahwa
semua pasien yang mengalami remisi komplit mempunyai AT >50.000/μL dalam
4 minggu), angka trombosit tidak menjadi normal setelah 6 -8 minggu (karena
problem efek samping), angka trombosit normal tetapi menurun bila dosis
diturunkan (tapering off). Respon pasca splenektomi didefinisikan sebagai: tak
ada respon bila gagal mempertahankan > 50.000/ μL beberapa waktu setelah
splenektomi. Relaps bila AT turun < 50.000/ μL. Angka 50.000 dipilih karena
diatas batas ini, pasien tidak diberi terapi. Respon splenektomi bervariasi antara
50% sampai dengan 80%.
18
b. Penanganan Relaps Pertama
Splenektomi perlu bagi orang dewasa pada umumnya yang relaps atau yang
tidak berespon dengan kortikosteroid, IgIV dan Ig anti-D. Dari gambar 3.
dijelaskan bahwa lebih banyak spesialis menggunakan AT <30.000/μL. Tidak
ada consensus yang menetapkan lama terapi kortikosteroid. Penggunaan terapi Ig
anti-D sebagai terapi awal masih dalam penelitian dan hanya cocok bagi pasien
Rh-positif. Apakah penggunaan IgIV atau Ig anti-D sebagai terapi awal
tergantung pada beratnya trombositopenia dan luasnya perdarahan mukokutaneus.
Untuk memutuskan apakah terapi pasien yang mempunyai AT <30.000/μL
sampai 50.000/ μL tergantung pada ada tidaknya factor resiko perdarahan yang
menyertai dan ada tidaknya resiko tinggi untuk truma. Pada AT >50.000/ μL
perlu diberi IgIV sebelum pembedahan atau setelah trauma pada beberapa pasien.
Pada pasien ITP kronik dan AT <30.000/μL IgIV atau metilprednisolon
meningkatkan AT dengan segera sebelum splenektomi. Daftar untuk medikasi
terapi ITP kronik pada pasien yang mempunyai AT <30.000/ μL dapat
dipergunakan secara individual, namun danazol atau dapson sering
dikombinasikan dengan prednisone dosis rendah untuk mencapai suatu AT
hemostasis. IgIV dan Ig anti-D umunya sebagai cadangan untuk ITP yang berat
yang tidak berespon dengan terapi oral. Untuk diteruskan atau dosis diturunkan
dan akhirnya terapi dihentikan pada pasien ITP kronik dengan AT 30.000/mL atau
lebih, bergantung pada intensitas terapi yang diperlukan, toleransi efek samping,
risiko yang berhubungan dengan pembedahan dan pilihan pasien.
c. Terapi ITP Kronik Refrakter
19
Pasien refakter (+ 25 – 30 % pada ITP) didefinsikan sebagai terap
kortikosteroid dosis standar dan splenektomi serta lebih membutuhkan terapi
lanjut karena AT yang rendah atau terjadi perdarahan klinis. Kelompok ini
memiliki respon terapi yang rendah, mempunyai morbiditas yang bermakna
terhadap penyakit ini dan terapinya serta memiliki mortalitas sekitar 16%. ITP
refrakter kronik ditegakkan bila ditemukan 3 kriteria sebagai berikut: ITP menetap
lebih dari 3 bulan, pasien gagal berespon dengan splenektomi dan AT < 30.000/
mL.
d. Pendekatan Terapi Konvensional Lini Kedua
Untuk pasien yang terapi standar kortikosteroid tidak membaik, ada beberapa
pilihan terapi yang dapat digunakan sebagai berikut:
Steroid dosis tinggi. Terapi pasien ITP refrakter selain prednisolon dapat
digunakan deksametason oral dosis tinggi. Deksametason 40 mg/hari selama 4
hari, diulang setiap 28 hari untuk 6 siklus. Dari 10 pasien dalam penelitian kecil
ini semua memberi respon yang baik (dengan AT >100.000/mL) bertahan
sekurang-kurangnya selama 6 bulan. Pasien yang tidak berespon dengan
deksametason dosis tinggi segera diganti obat lainnya.
Metilpednisolon. Steroid perenteral seperti metilprednisolon digunakan
sebagai terapi lini kedua dan ketiga pada ITP refrakter. Metilprednisolon pada
dosis tinggi dapat diberikan pada ITP anak dan dewasa yang resisten terhadap
prednisolon dosis konvensional. Dari penelitian Weil pada pasien ITP berat
menggunakan dosis tinggi metilprednisolon 30 mg/kg iv kemudian dosis
diturunkan tiap 3 hari sampai 1 mg/kg/hari dibandingkan dengan pasien ITP klinis
20
ringan yang telah mendapat terapi prednisolon dosis konvensional. Pasien yang
mendapat terapi metilprednisolon dosis tinggi mempunyai respon lebih cepat (4.7
vs 8.4 hari) dan mempunyai angka respon (80% vs 53%). Respon steroid
intravena bersifat sementara pada semua pasien dan memerlukan steroid oral
untuk menjaga agar AT tetap adekuat.
IVIg dosis tinggi. Immunoglobulin intravena dosis tinggi 1 mg/kgBB/hari
selama 2 hari berturut-turut sering dikombinasikan dengan kortikosteroid, akan
meningkatkan AT dengan cepat. Efek samping terutama sakit kepala, namun jika
berhasil maka dapat diberikan secara intermitten atau substitusi dengan anti-D
intravena.
Anti-D intravena. Anti-D intravena telah menunjukkan peningatan AT 79-
90% pada orang dewasa. Dosis anti-D 50-75% mg/kg/hari IV. Mekanisme kerja
anti-D yakni destruksi sel darah merah rhesus D-positif yang secara khusus
dibersihkan oleh RES terutama dilien, jadi bersaing dengan autoantibody yang
menyelimuti trombosit melalui Fc reseptor blockade.
Alkaloid vinka. Semua terapi golongan alkaloid vinka jarang digunakan
meskipun mungkin bernilai ketika terapi lainnya gagal dan ini diperlukan untuk
meningkatkan AT dengan cepat, misalnya vinkristin 1 mg atau 2 mg iv, vinblastin
5 - 10 mg, setiap minggu selama 4 – 6 minggu.
Danazol. Dosis danazol 200 mg p.o 4x sehari selama 6 bulan karena respon
sering lambat. Fungsi hati harus diperiksa setiap bulan. Bila respon terjadi, dosis
diteruskan sampai dosis maksimal sekuang-kurangnya 1 tahun dan kemudian
diturunkan 200 mg/hari selama 4 bulan.
21
Immunosupresif dan kemoterapi kombinasi. Immunosuprsif digunakan
pada pasien yang gagal berespon dengan terapi lainnya. Terapi dengan
azatrioprin (2 mg/kg maksimal 150 mg/hari) atau siklofosfamid sebagai obat
tunggal yang dapat dipertimbangkan dan responya bertahan sampai 25%. Pada
pasien yang berat, simptomatik, ITP kronik refrakter terhadap berbagai terapi
sebelumnya. Pemakaian siklofosfamid, vinkristin dan prednisolon sebagai
kombinasi telah efektif digunakan seperti pada limfoma. Siklofosfamid 50 – 100
mg p.o bila 3 bulan tidak ada respon obat dihentikan, bila ada respon sampai 3
bulan turunkan sampai dosis terkecil.
Dapsone. Dapson dosis 75 mg p.o per hari, respon terjadi dalam 2 bulan.
Pasien-pasien harus diperiksa G6PD, karena pasien dengan kadar G6PD yang
rendah mempunyai risiko hemolisis yang serius.
e. Pendekatan Pasien yang Gagal Terapi Standard dan Terapi Lini Kedua
Sekitar 25% ITP refrakter dewasa gagal berespon dengan terapi lini pertama
atau kedua dan memberi masalah besar. Beberapa diantaranya mengalami
perdarahan aktif namun lebih banyak yang berpotensi untuk perdarahan serta
masalah penanganannya. Pada umumnya ITP refrakter kronis bisa mentoleransi
trombositopenia dengan baik dan bisa mempunyai kualitas hidup normal atau
mendekati normal. Bagi mereka yang gagal dengan terapi lini pertama dan kedua
hanya memilih terapi yang terbatas meliputi: interferon-α, anti-CD20, Campath-
1H, mikofenolat mofetil, protein A columnd dan terapi lainnya.
f. Rekomendasi Terapi ITP Yang Gagal Terapi Lini Pertama dan Kedua
22
Campatth-H dan Rituximab adalah obat yang mungkin bermanfaat pada pasien
tidak berespon dengan terapi lain dan dibutuhkan untuk meningkatkan AT
(misalnya: perdarahan aktif). Mikofenolat mofetil tampak efektif pada beberapa
pasien ITP refrakter tetapi studi lebih besar diperlukan untuk mengkonfirmasikan
efikasi dan keamanannya. Dalam hal pertimbangan resiko: rasio manfaat, terapi
dengan interferon-α, protein A columns, plasmaferesis dan liposomal
doksorubisin tidaklah direkomendasikan.
9. Prognosis
Respons terapi dapat mencapai 50 – 70% dengan kortikosteroid. Pasien ITP
dewasa hanya sebagian kecil dapat mengalami remisi spontan penyebab kematian
pada ITP biasanya disebabkan oleh perdarahan intracranial yang berakibat fatal
berkisar 2.2% untuk usia lebih dari 40 tahun dan sampai 47.8% untuk usia lebih
dari 60 tahun (1).
23
BAB III
KESIMPULAN
ITP (Immune Thrombocytopenic Purpura) adalah suatu gangguan
autoimun yang ditandai dengan trombositopenia yang menetap (angka trombosit
darah perifer kurang dari 150.000/μL) akibat autoantibody yang mengikat antigen
trombosit menyebabkan destruksi premature trombosit dalam system
retikuloendotel terutama di limpa.
Penyebab ITP ini tidak diketahui. Ada 2 tipe ITP, antara lain: umumnya
menyerang kalangan anak-anak berusia 2 hingga 4 tahun dan menyerang orang
dewasa sebagian besar dialami oleh wanita muda awitan.
Diagnosa banding ITP antara lain: anemi aplastik, leukemia akut, DIC,
TTP-HUS, APS, Myelodysplastic syndrome, hiperspelnisme, alcoholic liver
disease, IPT, psedutrombositopenia.
Pengobatan ITP dilakukan dengan farmakologi dan tindakan operatif yaitu
splenektomi.
24