Upload
sony-sonicomp
View
162
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB 1PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Prinsip dasar hidup sehat, seperti mengonsumsi makanan sehat dan
beragam serta aktif secara fisik menjadi penting bagi anak dan remaja.
Penting mengingat anak dan remaja berada pada periode penting untuk
proses tumbuh kembangnya (Diana, 2012). Kelebihan berat badan dan
obesitas mengancam generasi muda Indonesia. Kondisi yang salah satunya
disebabkan kelebihan gizi tersebut, justru membawa kerentanan berbagai
penyakit tak menular yang membahayakan (Luisa, 2011). Obesitas
merupakan masalah yang kompleks dengan penyebab yang bersifat
multifaktorial. Pada usia remaja, dan dewasa muda, obesitas dapat
mempengaruhi perkembangan psikososial seseorang. Obesitas biasanya
lebih sering terjadi pada usia remaja, pertambahan berat badan tersebut
disebabkan oleh gangguan endokrin yang mempengaruhi kondisi fisik
remaja tersebut. Dalam sebuah penelitian memperlihatkan bahwa remaja
dengan obesitas yang dijauhi oleh teman-temannya memiliki
kecenderungan untuk mengalami rasa putus asa yang besar dan memilih
menjadi pendiam dan terisolasi secara sosial. Seseorang yang mengalami
obesitas akan mudah merasa tersisih atau tersinggung. Hal ini akan lebih
parah lagi apabila remaja dengan obesitas tersebut mengalami kegagalan
dalam pergaulan sehari-hari. Seseorang dengan obesitas akan cenderung
dicap sebagai orang yang susah bergaul dan mudah tersinggung. Obesitas
pada remaja sepertinya tidak dapat dipandang dengan sebelah mata,
1
2
mengingat semakin banyaknya remaja yang mengalami obesitas saat ini
(Administrator, 2013)
Remaja juga terbelit masalah kelebihan berat badan. Mengutip riset
kesehatan dasar Kementerian Kesehatan tahun 2007 dan 2010, remaja
perempuan gemuk meningkat dari 23,8 persen menjadi 26,9 persen. Remaja
laki-laki gemuk meningkat dari 13,9 persen menjadi 16,6 persen. Kepala
Subdirektorat Bina Kewaspadaan Gizi Kementerian Kesehatan Erman
Sumarna menyatakan, kasus kelebihan berat badan (overweight—level di
atas obesitas) terus meningkat. Perbandingan hasil riset kesehatan dasar
pada anak usia di bawah lima tahun menunjukkan, kelebihan berat badan
tercatat 12,2 persen pada 2007 dan naik menjadi 14 persen pada 2010
(Luisa, 2011).
Secara ilmiah, obesitas terjadi akibat mengkonsumsi kalori lebih
banyak dari yang diperlukan oleh tubuh. Penyebab terjadinya
ketidakseimbangan antara asupan dan pembakaran kalori ini masih belum
jelas. Namun, ternyata ada faktor lain selain faktor genetik, faktor
kesuburan, efek dari mengkonsumsi obat-obat tertentu, dan aktivitas psikis.
Ada tiga hal yang mempengaruhi munculnya obesitas pada remaja antara
lain teman dekat. Teman adalah seseorang yang berpengaruh dalam
kelangsungan hidup kita, karena tidak sedikit pola hidup kita dengan teman
dekat memiliki kesamaan. Misalnya, ketika teman mengajak makan malam
bersama meskipun kita dalam keadaan tidak lapar, kita tidak bisa menolak
tawaran itu. Insomnia atau kebiasaan sulit tidur. Karena kurang tidur
meningkatkan rasa lapar dan nafsu makan yang memicu terjadinya
3
peningkatan berat badan. Seseorang yang tidak memiliki kegiatan hanya
santai didepan televisi, atau komputer berjam-jam lamanya sambil
menikmati cemilan. Ditambah selalu mengkonsumsi makanan kaya lemak
dan tidak disertai aktivitas fisik yang seimbang cenderung menyebabkan
obesitas (Administrator, 2012). Remaja putri dengan obesitas yang
memiliki harga diri rendah akan mengalami kecemasan dan perasaan tidak
nyaman terhadap penampilan fisiknya, namun jika remaja putri tersebut
memiliki harga diri yang tinggi maka penerimaan terhadap dirinya akan
sangat dihargai tanpa harus merasa cemas dan bersalah terhadap keadaan
fisiknya sehingga dapat bersosialisasi dengan teman sebaya dan
mengaktualisasikan diri (Melati, 2011).
Aktualisasi diri merupakan kemampuan seseorang untuk mengatur
diri sendiri sehingga bebas dan berbagai tekanan, baik yang berasal dalam
diri maupun di luar diri. Kemampuan seseorang membebaskan diri dan
tekanan internal dan eksternal dalam pengaktualisasian dirinya
menunjukkan bahwa orang tersebut telah mencapai kematangan diri.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa aktualisasi dan pada hakekatnya
adalah merupakan hasil dan kematangan diri, dan tidak semua orang dapat
mencapai aktualisasi diri tersebut secara penuh (Asmadi, 2008 : 7). Pada
remaja dengan obesitas yang mempunyai harga tinggi akan mampu
mengaktualisasikan dirinya dan bersosialisasi dengan teman sebaya serta
masyarakat, sebaliknya harga diri yang rendah pada remaja dengan obesitas
akan menyebabkan mereka putus asa, pesimis dan tidak percaya diri.
4
Menurut Harmanto (2006 (38-39) Apapun penyebabnya, obesitas
dapat dicegah dengan penanganan tertentu antara lain dengan pengaturan
diet tertentu, latihan fisik yang cukup, dan perubahan kebiasaan. Sedangkan
menurut Ikawati (2010 : 57) untuk mengatasi obesitas yang pertama tentu
pembatasan makan dan meningkatkan aktivitas Fisik, sehingga asupan
kalori dan penggunaannya menjadi seimbang. Namun jika sulit dilakukan
atau tidak berhasil, maka perlu bantuan obat-obatan, yaitu obat anti
obesitas.
Berdasarkan latar belakang diatas maka peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian dengan judul hubungan harga diri dengan
kemampuan aktualisasi pada remaja putri obesitas di SMA Negeri 1
Bangsal Mojokerto.
B. Rumusan Masalah
Bagaimanakah hubungan harga diri dengan kemampuan aktualisasi
pada remaja putri obesitas di SMA Negeri 1 Bangsal Mojokerto
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengidentifikasi hubungan harga diri dengan kemampuan
aktualisasi pada remaja putri obesitas di SMA Negeri 1 Bangsal
Mojokerto.
5
2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi harga diri remaja putri di SMA Negeri 1 Bangsal
Mojokerto.
b. Mengidentifikasi kemampuan aktualisasi pada remaja putri obesitas
di SMA Negeri 1 Bangsal Mojokerto.
c. Menganalisa hubungan harga diri dengan kemampuan aktualisasi
pada remaja putri obesitas di SMA Negeri 1 Bangsal Mojokerto.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi peneliti
Penelitian ini menjadi penerapan dari ilmu yang didapatkan
dalam akademik yang diaplikasikan dalam bentuk penelitian kesehatan.
2. Praktis
a. Bagi remaja putri
Hasil penelitian ini dapat dijadikan wawasan pada remaja
putri tentang pentingnya menjaga kesehatan badan dan menghindari
obesitas dan juga menjaga kesehatan jiwa sehingga mampu
beraktualisasi dengan normal
b. Bagi Peneliti Selanjutnya
Hasil penelitian ini sebagai dasar untuk melaksanakan
penelitian lebih lanjut berkaitan dengan harga diri dan kemampuan
aktualisasi diri pada remaja putri yang mengalami obesitas pada
siswi SMA Bangsal
3. Teoritis
6
a. Bagi Institusi Pendidikan
Hasil penelitian ini dapat dipergunakan untuk membantu
guru BP (Bimbingan Penyuluhan) dan siswi dengan obesitas
mengetahui dampak buruk obesitas serta menumbuhkan rasa
percaya diri sehingga mampu mengaktualisasikan dirinya.
b. Bagi Keperawatan
Hasil penelitian ini menyediakan informasi tentang obesitas
dengan harga diri remaja serta bagaimana kemampuan remaja putri
mengaktualisasikan diri sehingga dapat menjadi masukan untuk
melakukan asuhan keperawatan komunitas pada remaja putri
dengan obesitas.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan teori
1. Konsep Harga Diri
a. Pengertian
Penilaian individu tentang nilai personal yang diperoleh
dengan menganalisis seberapa sesuai perilaku dirinya dengan ideal
diri. Harga diri yang tinggi adalah perasaan yang berasal dan
penerimaan diri sendiri tanpa syarat, walaupun melakukan
kesalahan, kekalahan, dan kegagalan, tetap merasa sebagai seorang
yang penting dan berharga (Stuart, 2007).
Harga diri merupakan penilaian individu terhadap
kehormatan dirinya, yang diekspresikan melalui sikap terhadap
dirinya. Pengertian harga diri adalah penilaian individu terhadap
dirinya sendiri, yang sifatnya implisit dan tidak diverbalisasikan
(Admin, 2010)
b. Krisis harga diri rendah
Harga diri rendah adalah perasaan tidak berharga, tidak
berarti dan rendah diri yang berkepanjangan akibat evaluasi yang
negatif terhadap diri sendiri atau kemampuan diri. Adanya perasaan
hilang kepercayaan diri, merasa gagal karena tidak mampu mencapai
keinginan sesuai ideal diri. Harga diri seseorang diperoleh dari diri
sendiri dan orang lain. Gangguan harga diri rendah akan terjadi jika
kehilangan kasih sayang, perlakuan orang lain yang mengancam dan
7
8
hubungan interpersonal yang buruk. Tingkat harga diri seseorang
berada dalam rentang tinggi sampai rendah. Individu yang memiliki
harga diri tinggi menghadapi lingkungan secara aktif dan mampu
beradaptasi secara efektif untuk berubah serta cenderung merasa
aman. individu yang memiliki harga diri rendah melihat lingkungan
dengan cara negatif dan menganggap sebagai ancaman (Iyus, 2009)
c. Faktor yang mempengaruhi harga diri
Menurut Peplau dan Sulivan harga diri berkaitan dengan
pengalaman interpersonal, dalam tahap perkembangan dan bayi
sampai lanjut usia seperti good me, rad me, not me, anak sering
dipersalahkan, ditekan sehingga perasaan amannya tidak terpenuhi
dan merasa ditolak oleh lingkungan dan apabila koping yang
digunakan tidak efektif akan menimbulkan harga diri rendah.
Menurut Caplan, lingkungan sosial akan memengaruhi individu,
pengalaman seseorang dan adanya perubahan sosial seperti perasaan
dikucilkan, ditolak oleh lingkungan sosial, tidak dihargai akan
menyebabkan stress dan menimbulkan penyimpangan perilaku
akibat harga diri rendah.
1) Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi terjadinya harga diri rendah adalah
penolakan orang tua yang tidak realistis, kegagalan berulang
kali, kurang mempunyai tanggung jawab personal,
ketergantungan pada orang lain, ideal diri yang tidak realistis.
9
2) Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi terjadinya harga diri rendah biasanya
adalah kehilangan bagian tubuh, perubahan penampilan/bentuk
tubuh, kegagalan atau produktivitas yang menurun.
(Iyus, 2009)
d. Tanda-tanda krisis harga diri
1) Mengejek dan mengkritik diri.
2) Merasa bersalah dan khawatir, rnenghukurn atau menolak diri
sendiri.
3) Mengalami gejala fisik, misal: tekanan darah tinggi, gangguan
penggunaan
4) Menunda keputusan.
5) Sulit bergaul.
6) Menghindari kesenangan yang dapat memberi rasa puas.
7) Menarik diri dan realitas, cemas, panik, cemburu, curiga,
halusinasi.
8) Merusak diri: harga diri rendah menyokong klien untuk
mengakhiri hidup
9) Merusak/melukai orang lain.
10) Perasaan tidak mampu.
11) Pandangan hidup yang pesimistis.
12) Tidak menerima pujian.
13) Penurunan produktivitas.
14) Penolakan terhadap kernampuan diri.
15) Kurang memerhatikan perawatan diri.
10
16) Berpakaian tidak rapi.
17) Berkurang selera makan.
18) Tidak berani menatap lawan bicara.
19) Lebih banyak menunduk.
20) Bicara lambat dengan nada suara lemah.
(Iyus, 2009)
e. Kebutuhan Harga Diri Positif
Setiap orang menginginkan harga diri yang positif. Menurut
Vaughan dkk (2002), ini dikarenakan oleh:
1) Harga diri yang positif membuat orang merasa nyaman dengan
dirinya sendiri di tengah kepastian akan kematian yang suatu
waktu akan dihadapinya.
2) Harga diri yang positif membuat orang dapat mengatasi
kecemasan, kesepian, dan penolakan sosial. Dalam hal ini, harga
diri sebagai alat ukur sosial (sociometer) untuk melihat sejauh
mana seseorang merasa diterima dan menyatu dengan
lingkungan sosialnya. Dengan demikian, semakin positif harga
diri yang dimiliki, semakin menunjukkan bahwa ia semakin
merasa diterima dan menyatu dengan orang-orang disekitarnya.
f. Cara Mengukur Harga Diri
Harga diri (self esteem) bisa diukur sama dengan konstrak
psikologi lainnya. Cara mengukurnya bisa secara eksplisit
(dilakukan dengan meminta orang untuk memberikan rating; mulai
dari sangat sesuai hingga sangat tidak sesuai, terhadap sejumlah
pernyataan tentang diri). Pengukuran harga diri (self esteem) juga
11
bisa secara implicit (dilakukan dengan mengukur kecepatan reaksi
orang terhadap sejumlah stimulus yang diasosiasikan dengan diri
subjek).
Salah satu alat ukur yang sering digunakan untuk mengukur
harga diri (self esteem) secara eksplisit adalah skala Rosenberg
(Weiten, 2012) sebagai berikut (terjemahan kedalam bahasa
Indonesia):
1) Saya merasa sebagai orang yang berguna, paling tidak sama
seperti orang lain.
2) Saya merasa memiliki sejumlah kualitas yang baik.
3) Secara umum, saya cenderung merasa sebagai orang yang gagal.
4) Saya mampu melakukan hal-hal sebaik yang kebanyakan orang
lakukan.
5) Saya merasa tidak memiliki banyak hal yang dibanggakan.
6) Saya memiliki sikap positif terhadap diri sendiri.
7) Secara umum, saya puas dengan diri saya.
8) Saya berharap saya lebih menghargai diri saya sendiri.
9) Saya sering kali merasa tidak berguna.
10) Saya sering kali berpikir saya sama sekali bukan orang yang
baik.
Skala diatas adalah skala untuk mengukur harga diri (self
esteem). Jika pernyataan tersebut sangat tidak sesuai dengan diri,
beri angka 1. Jika tidak sesuai dengan diri, beri angka 2. Jika agak
sesuai dengan diri, beri angka 3. Jika sesuai dengan diri, beri angka
4. Jika sangat sesuai dengan diri, beri angka 5.
12
2. Konsep Dasar Remaja
a. Pengertian Remaja
Masa remaja datang setelah masa kanak-kanak berlalu, dan
disebut sebagai masa pemisah antara masa kanak-kanak dan dewasa.
Sam fase yang tampaknya sangat singkat tetapi sangatlah penting
dan sensitif. Usia 13-18 tahun diriamakan sebagai usia remaja.
Manusia antara usia 13-18 tahun, dan sebagian berpendapat sampai
usia 20 tahun, melewati sam fase tertentu dalam kehidupannya,
antara fase kanak-kanak dan fase kesempurnaan, yang memiliki
aturan-aturan dan permasalahan yang dalam kehidupan manusia
memiliki peran yang sangat penting (Samadi, 2004 : 19)
Masa perkembangan remaja dimulai dengan masa puber,
yaitu umur kurang lebih antara 12-14 tahun. Masa puber atau
permulaan remaja adalah suatu masa saat perkembangan fisik dan
intelektual berkembang sangat cepat. Pertengahan masa remaja
adalah masa yang lebih stabil untuk menyesuaikan diri dan
berintegrasi dengan perubahan permulaan remaja, kira-kira umur 14
tahun sampai umur 16 tahun. Remaja akhir yang kira-kira berumur
18 tahun sampai umur 20 tahun ditandai dengan transisi untuk mulai
bertanggung jawab, membuat pilihan, dan berkesempatan untuk
mulai menjadi dewasa. Dalam bab ini, kita akan melihat bagaimana
perkembangan remaja mempengaruhi pengajaran, kurikulum, dan
struktur sekolah (Sri Esti, 2002 : 93-94)
13
Masa remaja merupakan sebuah periode dalam kehidupan
manusia yang batasan usia maupun peranannya sering kali tidak
terlalu jelas. Pubertas yang dahulu dianggap sebagai tanda awal
keremajaan, ternyata tidak lagi valid sebagai patokan atau batasan
untuk pengkategorian remaja. Karena usia pubertas yang dahulu
terjadi pada akhir usia belasan (15-18 tahun) kini terjadi pada awal
belasan bahkan sebelum usia 11 tahun. Remaja adalah masa-masa
transisi yang sering disebut masa yang paling rawan. Namun dibalik
itu pada masa remaja, ada masa yang paling berkesan dalam hidup.
Kenangan terhadap masa remaja merupakan kenangan yang tidak
mudah dilupakan, sebaik atau seburuk apapun pada saat itu (Tabroni,
2009 : 12).
b. Tahap perkembangan remaja
Menurut Santoso (2010 : 126) tahap perkembangan remaja
dapat dibagi menjadi beberapa kelompok berikut :
1) Tahap/usia/masa remaja awal/pubertas (12-15 tahun)
2) Tahap/usia/masa remaja madya (15-18 tahun)
3) Tahap/usia/masa remaja akhir (18-25 tahun)
Sedangkan menurut Wong (2009 : 598) pembagian masa
remaja adalah sebagai berikut :
1) Masa remaja awal (11-14 tahun)
2) Masa remaja pertengahan (15-17 tahun)
3) Masa remaja akhir (18-20 tahun)
14
c. Perubahan dimensi remaja
Menurut beberapa sumber klasifikasi remaja berdasarkan
perubahan pada dimensi-dimensi berikut :
1) Dimensi biologis / Fisik
Pubertas adalah suatu rangkaian perubahan fisik yang
membuat organisme secara matang mampu berproduksi. Hampir
setiap organ dan sistem tubuh dipengaruhi oleh perubahan ini.
Anak yang sedang mengalami puber awal akan berbeda dengan
puber akhir dalam penampakan luar karena perubahan tinggi,
proporsi tubuh, dan adanya tanda-tanda perkembangan seksual
pertama dan kedua (Sri Esti, 2002 : 94).
2) Dimensi Kognitif
Pada periode ini, idealnya para remaja sudah memiliki
pola pikir sendiri dalam usaha memecahkan masalah-masalah
yang kompleks dan abstrak. Kemampuan berpikir para remaja
berkembang sedemikian rupa sehingga mereka dengan mudah
dapat membayangkan banyak alternatif pemecahan masalah
beserta kemungkinan akibat atau hasilnya. Kapasitas berpikir
secara logis dan abstrak mereka berkembang sehingga mereka
mampu berpikir multidimensi seperti ilmuwan. Para remaja
tidak lagi menerima informasi apa adanya, tetapi akan
memproses informasi itu serta mengadaptasikannya dengan
pemikiran mereka sendiri. Remaja juga mampu
mengintegrasikan pengalaman masa lalu dan sekarang untuk
15
ditransformasikan menjadi konklusi, prediksi, dan rencana untuk
masa depan. Dengan kemampuan operasional formal ini, para
remaja mampu mengadaptasikan diri dengan lingkungan sekitar
mereka (Tabroni, 2009 : 14).
3) Dimensi Moral
Masa remaja juga merupakan masa yang selalu ingin
tahu. Pada periode ini orang akan selalu bertanya tentang
berbagai hal yang dianggapnya baru. Hal-hal baru yang
kemudian menjadi pengalaman dan pengetahuan itu menjadi
sebuah acuan bagi para remaja untuk menentukan mana yang
baik dan mana yang buruk; mana yang benar dan mana yang
salah. Dalam berbagai hal, para remaja sesungguhnya sudah
dapat mengidentifikasi persoalan-persoalan sosial di sekitarnya.
Remaja dipastikan sudah dapat melakukan proses analisis
sehingga tidak lagi sepenuhnya hanya menjadi objek dan
pemikiran dan doktrin orang lain. Remaja sudah bisa melihat ke
dalam dan keluar. Dengan pengetahuan dan pengalaman yang
dimiliki, remaja sudah dapat beradaptasi pada lingkungan.
Remaja sudah dapat membedakan mana tempat yang cocok bagi
dirinya dan mana yang tidak. Kemampuan berpikir dalam
dimensi moral (moral reasoning) pada remaja berkembang
karena mulai melihat adanya kejanggalan dan
ketidakseimbangan antara yang remaja percayai dahulu dengan
kenyataan yang ada di sekitarnya. Para remaja lalu merasa perlu
16
mempertanyakan dan merekonstruksi pola pikir dengan
“kenyataan” yang baru. Perubahan inilah yang sering mendasari
sikap “pemberontakan” remaja terhadap peraturan atau otoritas
yang selama ini diterima bulat-bulat. Proses seleksi nyata telah
ada dalam jiwa remaja. Nilai-nilai lama yang tidak ditemukan
olehnya pada saat ini, sering menjadi salah satu objek yang
dibenturkan sehingga melahirkan aktivitas-aktivitas yang
nyeleneh dan tidak sedikit yang berbeda dengan keinginan dan
kultur orangtua (Tabroni, 2009 : 15).
4) Dimensi Psikologis
Masa remaja adalah fase tertentu dalam kehidupan.
Perubahan-perubahan yang terjadi pada seseorang karena balig,
dalam beberapa hal sangat mungkin mengubah jalan hidupnya,
dan sampai akhir usia Ia berada dalam kondisi yang tak
diinginkannya. Masa remaja, dalam kondisi normal sekalipun,
menyebabkan guncangan-guncangan yang cukup besar pada
kepribadian para remaja. Dan mungkin guncangan-guncangan
ini membuat kesal orang-orang dewasa yang berhubungan
langsung dengan remaja. Seperti anak kecil yang melakukan
gerakan-gerakan mengkhawatirkan dalam usahanya belajar
beja1an, upaya remaja untuk mencapai balig dan kesempurnaan
kepribadian pun banyak disertai kesalahan-kesalahan (Samadi,
2004 : 20).
17
Satu dan ciri-ciri remaja adalah penampilan reflectivity
atau kecenderungan untuk berpikir tentang apa yang terjadi pada
pikiran diri seseorang dan mempelajari dirinya sendiri. Remaja
mulai melihat lebih dekat diri mereka sendiri untuk
mendefinisikan bahwa diri mereka berbeda. Mereka mulai
menyadari bahwa mereka berbeda antara apa yang mereka pikir
dan rasakan dan apa yang mereka lakukan. Dengan
dibolehkannya mereka menggunakan keterampilan
intelektualnya dalam memutuskan kemungkinan-kemungkinan,
remaja mudah menjadi tidak puas dengan diri mereka sendiri.
Mereka mengkritik sifat-sifat pribadi mereka, membandirigkan
diri mereka sendiri dengan orang lain, dan mencoba mengubah
seperti diri orang lain atau teman lain (Sri Esti, 2002 : 100).
Menurut Santoso (2010 : 129) perkembangan remaja dapat
dijabarkan sebagai berikut :
Tabel 2.1. Perkembangan Remaja
Pola seksual Tegangan emosi Kekuatan dasar
kepribadian
Remaja awal
(12-15 tahun)
Pubertas Krisis percaya
diri dan
kebingungan
identitas
Kesetiaan pada
cita-cita diri dan
kelompok
Remaja
madya (15-18
tahun)
Gejolak nafsu
seksual
Penolakan peran
dan
pemberontakan
terhadap standar
Sikap kritis dan
persahabatan
18
nilai orang tua,
masyarakat, dan
budaya
Remaja akhir
(18-25 tahun)
Penyeimbangan
nafsu seksual
dan keintiman
emosi
Keterisolasian
dan keintiman
emosi
Penemuan diri
dan dunia di luar
diri, serta
pembentukan
identitas
Sedangkan menurut Wong (2009 : 598) pertumbuhan dan
perkembangan selama masa remaja adalah sebagai berikut :
Tabel 2.2. Pertumbuhan Dan Perkembangan Selama Masa Remaja
Masa remaja awal
(11-14 tahun)
Masa remaja
pertengahan
(15-17 tahun)
Masa remaja akhir
(18-20 tahun)
Pertumbuhan
1. Laju pertumbuhan terjadi dengan cepat
2. Puncak kecepatan pertumbuhan
3. Karakteristik seks sekunder muncul
1. Pertumbuhan melambat pada remaja putri
2. Tinggi badan mencapai 95% tinggi badan dewasa
3. Karakteristik seks sekunder berkembang dengan baik
1. Matang secara fisik
2. Pertumbuhan struktur dan reproduktif hampir lengkap
Kognitif
1. Mengeksplorasi kemampuan yang baru ditemukan tentang pikiran abstrak yang terbatas
1. Perkembangan kemampuan untuk berpikir abstrak
2. Menikmati kekuatan intelektual, sering kali sesuai dengan
1. Memperhatikan pemikiran abstrak
2. Dapat menerima dan bertindak pada rentang pilihan yang luas
19
2. Mencari-cari dengan canggung nilai-nilai dan energi yang baru
3. Membandirigkan “normalitas” dengan teman sebaya yang sejenis
idealitas3. Perhatian terhadap
masalah filosofi, politik dan sosial
3. Mampu memandang suatu masalah secara komprehensif
4. Penetapan identitas intelektual dan fungsional
Identitas
1. Merasa senang dengan perubahan tubuh yang cepat
2. Mengujicobakan berbagai peran
3. Pengukuran daya tarik berdasarkan penerimaan atau penolakan teman sebaya
4. Penyesuaian dengan norma-norma kelompok
1. Mengidentifikasikan citra tubuh
2. Sangat berfokus pada diri sendiri, narsisme meningkat
3. Cenderung melihat pada pengalaman diri dalam dan hasil temuan sendiri
4. Kaya akan fantasi kehidupan
5. Idealistis6. Mampu menerima
implikasi di masa depan terhadap perilaku dan keputusan saat ini, penerapannya beragam.
1. Definisi citra tubuh dan peran gender hampir diperoleh
2. Identitas seksual telah matang
3. Fase konsolidasi identitas
4. Stabilitas harga diri
5. Nyaman dengan pertumbuhan fisik
6. Peran sosial didefinisikan dan dilaksanakan dengan baik
Hubungan dengan orang tua
1. Mendefinisikan batasan kemandirian -kebergantungan
2. Keinginan kuat untuk tetap bergantung pada orang tua sementara mencoba untuk terpisah dari orang tua
3. Tidak ada konflik besar yang terjadi di bawah kontrol orang tua
1. Konflik utama terjadi pada kemandirian dan pengendalian
2. Hubungan orang tua dan anak berada pada titik rendah
3. Dorongan terbesar untuk bebas, pemutusan hubungan
4. Pelepasan emosional akhir dan bersifat irreversibel dari orang tua
1. Perpisahan emosional dan fisik dari orang tua telah dicapai
2. Mandiri dari keluarga dengan sedikit konflik
3. Kebebasan hampir dicapai
Hubungan dengan teman sebaya
20
1. Mencari kelompok sebaya untuk menghadapi ketidakstabilan yang disebabkan oleh perubahan yang cepat
2. Meningkatkan kedekatan, persahabatan yang ideal dengan anggota lain yang sejenis
3. Berebut kekuasaan terjadi di dalam tema sebaya
1. Kebutuhan identitas yang kuat untuk memperkuat citra diri
2. Standar perilaku yang ditetapkan oleh kelompok
3. Penerimaan teman sebaya sangat penting- takut ditolak
4. Mengeksplorasikan kemampuan untuk menarik perhatian teman lawan jenis
1. Kelompok teman sebaya tidak lagi penting dalam hubungan individu
2. Menguji coba hubungan antara pria dan wanita terhadap kemungkinan hubungan yang permanen
3. Hubungan dicirikan dengan memberi dan berbagi
Seksualitas
1. Mengeksplorasikan dan mengevaluasi dirinya
2. Kencan terbatas, biasanya kelompok
3. Keintiman terbatas
1. Berhubungan dengan orang banyak
2. Keyakinan untuk kecenderungan heteroseksual (homoseksual diketahui pada saat ini)
3. Eksplorasi terhadap daya tarik seks
4. Perasaan jatuh cinta5. Membangun
hubungan sementara
1. Membentuk hubungan yang stabil dan perlekatan kepada orang lain
2. Pertumbuhan kapasitas untuk bersama dan menjalani hubungan timbal balik
3. Berkencan sebagai pasangan pria-wanita
4. Keintiman lebih melibatkan komitmen daripada eksplirasi dan romantisme
Kesehatan psikologis
1. Ketidakstabilan mood masih besar
2. Mimpi di siang hari masih sering dan kuat
1. Kecenderungan terhadap pengalaman dari dalam dirinya, lebih instropektif
2. Kecenderungan
1. Emosi lebih konstan
2. Marah lebih cenderung disembunyikan
21
3. Marah diekspresikan dengan kemurungan, luapan rasa marah, dan ejekan secara verbal serta pemberian julukan
untuk menarik diri jika merasa sedih atau terluka
3. Kebimbangan emosi dalam waktu dan rentang waktu
4. Perasaan tidak adekuat umum ditemukan, kesulitan meminta bantuan
3. Konsep Dasar Obesitas
a. Pengertian
Obesisas adalah keadaan kelebihan berat badan di asas
normal. Salah satu cara mengukur normalnya berat badan seseorang
dengan menggunakan ukuran Body Mass lndex (BMI) (Ikawati,
2010 : 55).
Obesitas (kegemukan) adalah suatu keadaan di mana terjadi
penumpukan lemak yang berlebih dalam tubuh sehingga BB
seseorang jauh di atas normal dan dapat membahayakan kesehatan
(Made, 2009 : 122).
Kegemukan dan obesitas pada anak merupakan konsekuensi
dan asupan kalori (energi) yang melebihi jumlah kalori yang dibakar
pada proses metabolisme di dalam tubuh (Genis, 2010 : 15)
Seseorang dikatakan mengalami kegemukan (obesitas) bila
berat badan lebih dan 20% dan BB Ideal (Suharjo, 2008 : 87)
b. Menghitung Obesitas
Obesitas terjadi karena ketidakseimbangan antara energi
yang masuk dan energi yang keluar. Body Mass Index (BMI) atau
22
Indeks Massa Tubuh (IMT) telah diakui sebagai metode paling
praktis dalam menentukan tingkat overwight dan obesitas pada orang
dewasa di bawah umur 70 tahun (Made, 2009 : 122)
IMT dapat dihitung dengan rumus: Berat Badan (dalam satuan
kilogram) dibagi Tinggi Badan pangkat dua (dalam satuan meter
persegi).
IMT =BB ( Kg )TB2 ( m2)
Tabel 2.1 Klasifikasi IMT menurut V/HO
Kategori IMT (kg/m2) Resiko PenyakitUnderweight karang dari 18,5 Rendah (tetapi resiko
terhadap masalah lain meningkat)
Batas normal 18,5-24,9 Rata-rataOverwight Lebih besar dari 25 Rata-rataPra-obesitas 25,0-29,9 MeningkatObesitas I 30,0-34,9 SedangObesitas II 35,0-34,9 BerbahayaObesitas III Lebih besar dari 40,0 Sangat berbahaya(Made, 2009 : 123)
Menurut Suharjo (2008 : 87) ukuran berat badan ideal antara lain :
1) BB Ideal: (Tinggi badan dlm cm — 100) x 0. 9 untuk wanita
2) BB Ideal: (Tinggi badan dlm cm — 100) x I untuk Pria.
3) Lingkar Perut: Wanita > 88 cm; Pria > 102 cm
4) Indeks Massa Tubuh (IMT), yaitu berat badan dalam kg dibagi
tinggi badan dlm meter2, obesitas bila: IMT lebih dan 27 (dulu
lebih dan 30).
5) Bila lingkar perut pada pria> 94 cm dan wanita > 80 cm maka
risiko serangan penyakit kardiovaskuler meningkat dua kali lipat.
23
Bila lingkar perut pria > 102 cm dan wanita 88 cm, maka risiko
penyakit kardiovaskuler meningkat empat kali lipat.
c. Faktor Penyebab Obesitas
Menurut Genis (2010 : 15) Secara Umum, penyebab
kegemukan dan obesitas pada anak belum diketahui secara pasti
hingga saat mi. Namun, pelbagai penelitian ilmiah menunjukkan
bahwa penyebab kegemukan dan obesitas pada anak bersifat
muftifaktor.
Ada tiga faktor yang diketahui berperan besar meningkatkan
risiko terjadiriya kegemukan dan obesitas pada anak, yakni (1) faktor
genetik (keturunan), (2) pola aktivitas, dan (3) pola makan.
Menurut Made, (2009 : 124) Tiga unsur utama pencetus
obesitas adalah faktor genetik, lingkungan, dan psikologis.
Penjelasan terhadap masing-masing faktor tersebut adalah sebagai
berikut:
1) Faktor genetik
Anak punya kemungkinan 40 persen menjadi gemuk
kalau salah satu orangtuanya mengalami obesitas.
Kemungkinannya jadi lebih besar lagi, 80 persen, jika kedua
orangtuanya gemuk. Biasanya, ibu yang memiliki kadar gula
tinggi atau terkena penyakit diabetes mellitus (DM)
kemungkinan akan menurun kepada anak yang dilahirkan dan
anak cenderung overweight (kelebihan berat badan).
2) Faktor lingkungan
24
Faktor ini meliputi pola makan, jumlah dan komposisi zat
gizi dalam makanan, serta intensitas aktivitas tubuh sebagai
akibat gaya hidup modern. Bayi yang diberi makanan padat sejak
sangat dirii akan mengalami obesitas pada umur enam tahun.
3) Faktor psikologis
Unsur stres ikut mempengaruhi berat badan di samping
kesalahan pola asuh anak, seperti terlalu memanjakan dan selalu
menuruti kemauannya. Selain itu, lingkungan yang
memperlakukan mereka dengan anggapan buruk )uga bisa
menyebabkan obesitas. Anak yang kurang disenangi dalam
pergaulan. misalnya. akan sering menarik diri. Akibatnya,
aktivitas fisik berkurang dan otomatis menambah
kegemukannya.
Menurut Ikawati (2010 : 56) Ada beberapa faktor yang dapat
menyebabkan seseorang mengalami obesitas, antara lain :
1) Secara genetik, obesitas umumnya cenderung bersifat menurun.
Sebenarnya tak hanya masalah genetik, keluarga umumnya juga
“menurunkan” pola makan dan gaya hidup yang bisa
berkontribusi terhadap kejadian obesitas. Misalnya orang tua
yang membiarkan anaknya makan apa saja dan bahkan
memfasilitasi anak untuk makan makanan yang enak dan
berlemak. Tentunya akan mempengaruhi perkembangan dan
berat badan si anak.
25
2) Faktor lingkungan memberikan pengaruh yang signifikan,
misalnya kemudahan mendapatkan fast food yang umumnya
berkolesterol tinggi, pekerjaan yang kurang memungkinkan
banyak gerakan fisik tubuh, atau lebih mengutamakan rasa
makanan ketimbang faktor nutrisi di dalam memilih makanan.
3) Faktor yang tak kalah penting adalah faktor psikologis karena
dapat mempengaruhi kebiasaan makan seseorang. Ada sebagian
orang makan lebih banyak sebagai respon terhadap keadaan
mood negatif seperti sedih, bosan, atau marah. Sebagian lagi
mungkin mengalami gangguan makan seperti dorongan makan
yang kurang terkendali (binge eating) walaupun sudah kenyang,
atau kebiasaan ngemii yang sulit dihentikan. Orang-orang seperti
mi sangat berisiko terhadap kegemukan. dan perlu mendapatkan
perlakuan khusus, seperti konseling arau terapi psikologi lainnya.
4) Selain tiga faktor di atas, penyebab lain obesitas bisa berupa
penyakit atau penggunaan obat tertentu. Penyakit hipotiroid,
cushing’s syndrome, dan depresi dapat memicu makan
berlebihan. Beberapa obat seperti steroid dan antidepresan
tertentu juga memiliki efek samping peningkatan berat badan.
Dalam masalah kegemukan (obesitas), faktor keturunan
memang berperanan. Anak dan satu orang tua yang obesitas
mempunyai kecenderungan obesitas 40%, sedangkan dan kedua
orang tua obesitas kecenderungan jadi obesitas 70% - 90% adalah
obesitas. Faktor utama kegemukan (obesitas) adalah makan secara
26
berlebihan, terutama makan di luar waktu makan (ngemil) (Suharjo,
2008 : 88).
Menurut Harmanto (2006 : 38) faktor penyebab kegemukan
secara rinci sebagai berikut.
1) Faktor biologis seperti kecepatan metabolisme dan jumlah
minimum energi yang dibutuhkan seseorang berperan penting
dalam mengatur berat badan. Beberapa orang, secara alami
menggunakan lebih banyak kalori untuk melakukan fungsi-
fungsi utama dalam tubuh.
2) Obesitas ditentukan juga oleh faktor genetik. Anak-anak yang
mengalami obesitas, biasanya orang tuanya juga mengalami hal
yang sama. Sampai saat mi belum diketahui secara pasti, gen apa
yang menyebabkan obesitas tersebut.
3) Gaya hidup modern, dengan meningkatnya konsumsi kalori dan
berkurangnya aktivitas fisik, berperan penting dalam
menyebabkan obesitas. Restoran siap saji menyediakan banyak
pilihan, makanan kemasan dan soft drink. Di samping
menawarkan kemudahan, makanan mi juga tinggi dalam hal
kandungan lemak, gula dan kalori.
4) Kurangnya aktivitas serta penggunaan alat-alat untuk
mempermudah pekerjaan, seperti remote control, menyebabkan
tertimbunnya lemak di dalam tubuh.
27
d. Dampak Dari Obesitas
Menurut Vivi (2004 dalam Melati, 2011 : 10) dampak
obesitas dapat terjadi dalam jangka panjang maupun jangka pendek,
misalnya :
1) Gangguan psikososial, rasa rendah diri, depresif dan menarik diri
dari lingkungan. Hal ini karena anak obesitas sering menjadi
korban bahan olok-olokan teman main dan teman sekolah. Dapat
pula karena ketidakmampuan untuk melaksanakan suatu tugas
atau kegiatan terutama olahraga akibat adanya hambatan
pergerakan oleh obesitasnya.
2) Pertumbuhan fisik atau linier yang lebih cepat dan usia tulang
yang lebih lanjut dibanding usia biologinya.
3) Masalah ortopedi akibat beban tubuh yang terlalu berat.
4) Gangguan pernafasan seperti infeksi saluran nafas, tidur ngorok,
sering mengantuk siang hari.
5) Gangguan endokrin seperti menars lebih cepat terjadi.
e. Mengatasi Obesitas
Menurut Harmanto (2006 (38-39) Apapun penyebabnya,
obesitas dapat dicegah dengan penanganan tertentu antara lain
dengan pengaturan diet tertentu, latihan fisik yang cukup, dan
perubahan kebiasaan. Penanganan umum yang biasa dilakukan untuk
menurunkan berat badan adalah dengan
1) Asupan nutrisi seimbang dan diet rendah kalori. Para ahli
merekomendasikan diet 1.200 — 1.500 kalori/hari. Biasanya
28
dengan proporsi 60 % karbohidrat, 30 % lemak dan 10 %
protein. Namun, pengurangan jumlah kalori yang masuk ke
tubuh sendiri, kurang efektif untuk penurunan berat badan dalam
jangka waktu lama.
2) Latihan fisik (olahraga) adalah hal yang paling efektif untuk
penurunan berat badan dalam jangka panjang.
3) Kombinasi antara banyak makan dan kurangnya aktivitas fisik
dapat meningkatkan kemungkinan penambahan berat badan.
Waktu, tempat dan aktivitas tertentu juga emosi memiliki
hubungan dengan kebiasaan banyak makan dan kurangnya
latihan fisik.
Menurut Ikawati (2010 : 57) untuk mengatasi obesitas yang
pertama tentu pembatasan makan dan meningkatkan aktivitas Fisik,
sehingga asupan kalori dan penggunaannya menjadi seimbang.
Namun jika sulit dilakukan atau tidak berhasil, maka perlu bantuan
obat-obatan, yaitu obat anti obesitas.
Obat anti obesitas adalah obat-obat yang dapat menurunkan
atau mengontrol berat badan. Obat-obat ini bekerja dengan
mengubah proses fundamental dalam tubuh dan regulasi berat badan,
dengan cara menekan nafsu makan, mempengaruhi metabolisme,
atau mengurangi absorpsi makanan/kalori.
Menurut Suharjo (2008 : 88) Ada beberapa cara yang dapat
dilakukan untuk menurunkan berat badan yang aman, antara lain
sebagai berikut:
29
1) Mengurangi asupan kalori 300- 500 kalori sehari dan kebutuhan
berat badan ideal.
2) Jangan makan di luar waktu makan, jangan makan selagi
beraktivitas.
3) Makanlah banyak sayuran dan buah-buahan yang banyak karena
mi akan membuat rasa kenyang, tetapi kalorinya rendah. Lebih
baik makan sayuran dan buah-buahan dulu baru makan yang
lainnya.
4) Makanlah pada pagi hari sebagai seorang raja, makan siang
sebagai orang kaya, dan makan malam sebagai orang miskin,
atau tidak makan malam atau hanya makan buah-buahan dan
sayuran.
5) Jangan berpuasa bila mau menurunkan berat badan. Pada waktu
berpuasa kecepatan BMR lambat sehingga pembakaran tubuh
jadi lambat. Setelah buka puasa orang makan apa saja, terutama
yang manis-manis karena merasa sangat lapar.
6) Janganlah makan terlambat atau sudah lapar. Rasa lapar
membuat makanan yang tidak enak menjadi enak dan semua
makanan akan disantap.
7) Bila mau makan, ingatlah masih ada hari esok untuk makan lagi.
8) Hindari makanan yang manis-manis dan makanan yang tinggi
lemak.
30
4. Konsep Dasar Aktualisasi
a. Pengertian
Kebutuhan aktualisasi diri adalah tingkatan kebutuhan yang
paling tinggi menurut Maslow dan Kalish. Aktualisasi diri adalah
kemampuan seseorang untuk mengatur diri dan otonominya sendiri
serta bebas dan tekanan luar. Lebih dan itu, aktualisasi diri
merupakan hasil dan kematangan diri. Tidak semua orang dapat
mencapai aktualisasi diri secara utuh. Hal mi dikarenakan dalam diri
manusia terdapat dua kekuatan yang saling tank. Kekuatan pertama
mengarah pada pertahanan diri individu, yang kemudian
memunculkan perasaan takut salah, takut menghadapi risiko,
mengagungkan masa lalu dengan mengabaikan masa sekarang dan
masa datang, ragu-ragu dalam mengambil keputusan/bertindak, dan
sebagainya. Sementara kekuatan kedua mengarah pada keutuhan diri
dan terwujudnya seluruh potensi diri yang dimiliki sehingga
memunculkan rasa percaya diri dan penerimaan diri secara utuh.
Sekali lagi, kedua kekuatan ini akan selalu saling memengaruhi dan
saling tank sepanjang perjalanan hidup manusia sampai akhir
hidupnya (Asmadi, 2008 : 22)
b. Karakteristik Pencapaian Aktualisasi Diri
Menurut Abraham Maslow, ada beberapa karakteristik yang
menunjukkan seseorang mencapai aktualisasi diri.
1) Mampu melihat realitas secara lebih efisien.
31
Karakteristik/kapasitas mi memungkinkan seseorang
untuk mengenali kebohongan, kecurangan, dan kepalsuan orang
lain. Selain itu, ia akan mampu menganalisis berbagai persoalan
kehidupan manusia secara kritis dan mendalam. Kemampuan
melihat realitas kehidupan apa adanya akan menumbuhkan sikap
tidak emosional dan lebih objektif. Individu akan mendengar apa
yang seharusnya ia dengar, bukan mendengar apa yang
diinginkan atau ditakuti oleh orang lain. Pengamatan yang tajam
terhadap realitas hidup akan menghasilkan pola pikir yang
cemerlang, menerawang jauh ke depan tanpa dipengaruhi oleh
kepentingan atau keuntungan sesaat.
2) Penerimaan terhadap diri sendiri dan orang lain apa adanya.
Individu yang telah mencapai aktualisasi diri akan mampu
menerima diri sendiri dan orang lain apa adanya. Ia akan melihat
orang lain seperti melihat dirinya sendiri, yang penuh dengan
kekurangan dan kelebihan. Sifat mi akan menumbuhkan sikap
toleransi terhadap orang lain dan juga kesabaran yang tinggi di
dalam menerima diri sendiri dan orang lain. Individu akan
menerima dengan lapang dada terhadap kritik, saran, ataupun
nasihat dani orang lain terhadap dirinya.
3) Spontanitas, kesederhanaan, dan kewajaran. Individu yang
mengaktualisasikan dirinya dengan benar akan
memanifestasikannya di segala tindakan, perilaku, dan gagasan
yang ia tunjukkan- spontan, wajar, dan tidak dibuat-buat. Sifat
32
mi akan melahirkan sikap lapang dada terhadap apa yang
menjadi kebiasaan masyarakat selama hal tersebut tidak
bertentangan dengan prinsip utamanya. Akan tetapi, jika
kebiasaan lingkungan/masyarakat sudah bertentangan dengan
prinsip yang diyakininya, ia tidak segan-segan menentangnya
(mis., adat-istiadat yang amoral, kebohongan, kehidupan sosial
yang tidak manusiawi).
4) Terpusat pada persoalan. Bagi individu yang telah mencapai
aktualisasi diri, seluruh perilaku, pikiran, dan gagasannya tidak
lagi ditujukan untuk kebaikan dirinya, melainkan untuk kebaikan
dan kepentingan umat manusia. Dengan kata lain, Seluruh
pikiran, perilaku, dan gagasan individu berpusat pada persoalan
yang tengah dihadapi umat manusia, bukan pada persoalan yang
sifatnya egoistis.
5) Memisahkan diri: kebutuhan akan kesendirian. Pada umumnya,
individu yang telah mencapai aktualisasi diri cenderung
memisahkan diri dan lingkungan. Sikap mi didasarkan atas
persepsinya mengenai sesuatu yang ia anggap benar tanpa perlu
menunjukkan sikap egois. Ia merasa tidak bergantung atas
pikiran orang lain. Sikap yang demikian membuatnya tenang dan
tenteram dalam menghadapi hujatan dan orang lain. Ta
senantiasa menjaga
33
6) Otonomi: kemandirian terhadap budaya dan 1ingkunan. Individu
yang. telah mencàpai aktualisasi diri tidak akan menggantungkan
dirinya pada lingkungan.
7) Kesegaran dan apresiasi yang berkelanjutan. Pada individu yang
mampu mengaktualisasikan dirinya, mi merupakan manifestasi
rasa syukur atas segala potensi yang dimiliki. Individu akan
diliputi perasaan senang, kagum, dan tidak bosan terhadap apa
yang ia miliki meskipun hal tersebut biasa saja.
8) Kesadaran sosial. Pada orang yang mampu mengaktualisasikan
dirinya, jiwanya cenderung diliputi perasaan simpati, iba, kasih
sayang, dan ingin membantu orang lain walaupun orang tersebut
berperilaku jahat terhadap dirinya. Dorongan mi akan
memunculkan kesadaran sosial yang membuat individu memiliki
rasa bermasyarakat.
9) Hubungan interpersonal. Orang yang mampu mengaktualisasikan
diri cenderung memiliki hubungan yang baik dengan orang lain
meskipun ia tidak cocok dengan perilaku masyarakat di
sekitarnya.
10) Demokratis. Orang yang mampu mengaktualisasikan diri
memiliki sifat demokratis. Sifat mi dimanifestasikan dengan
perilaku yang tidak membedakan orang lain berdasarkan
golongan, etnis, agama, suku, ras, status sosial-ekonomi, partai,
dan lainnya.
34
11) Rasa humor yang bermakna dan etis. Rasa humor yang dimiliki
individu yang mampu mengaktualisasikan dirinya berbeda
dengan rasa humor kebanyakan orang.
12) Kreativitas. Kreatif merupakan karakteristik lain yang dimiliki
oleh individu yang mampu mengaktualisasikan dirinya.
13) Kemandirian. Individu yang telah mencapai aktualisasi diri akan
mampu mempertahankan pendirian dan keputusan yang ia ambil
dan tidak akan goyah atau terpengaruh oleh berbagai guncangan
atau kepentingan.
14) Pengalaman puncak. Individu yang mampu mengaktualisasikan
diri akan memiliki perasaan yang menyatu dengan alam.
(Asmadi, 2008 : 23-27)
c. Hambatan Aktualisasi Diri
Untuk mencapai tingkat kebutuhan aktualisasi diri mi banyak
hambatan yang menghalanginya. Secara umum hambatan tersebut
terbagi dua yakni internal dan eksternal. Hambatan internal adalah
hambatan yang berasal dan dalam diri seseorang, seperti
ketidaktahuan akan potensi diri serta perasaan ragu dan takut
mengungkapkan potensi diri, sehingga potensinya terus terpendam.
Hambatan eksternal adalah hambatan yang berasal dan luar
diri seseorang, seperti budaya masyarakat yang tidak mendukung
upaya aktualisasi potensi diri seseorang karena perbedaan karakter.
Pada kenyataannya lingkungan masyarakat tidak sepenuhnya
menunjang upaya aktualisasi diri warganya. Jadi, faktor lingkungan
35
di masyarakat berpengaruh terhadap upaya mewujudkan aktualisasi
diri. Artinya, aktualisasi diri dapat dilakukan jika lingkungan
mengizinkannya. Hal tersebut berarti bahwa potensi seseorang
sepenuhnya telah tercapai apabila seseorang telah mencapai
aktualisasi diri secara penuh (Asmadi, 2008 : 7)
d. Faktor-faktor yang mempengaruhi aktualisasi diri
Orang yang mampu mengaktualisasikan dirinya sangat
memahami bahwa ada eksistensi atau hambatan lain tinggal
(indwelling) didalam (internal) atau di luar (eksternal)
keberadaannya sendiri yang mengendalikan perilaku dan
tindakannya untuk melakukan sesuatu.
1) Internal
Faktor internal ini merupakan bentuk hambatan yang berasal dari
dalam diri seseorang, yang meliputi :
a) Ketidaktahuan akan potensi diri
b) Perasaan ragu dan takut mengungkapkan potensi diri,
sehingga potensinya tidak dapat terus berkembang
Potensi diri merupakan modal yang perlu diketahui, digali
dan dimaksimalkan. Sesungguhnya perubahan hanya bisa terjadi
jika kita mengetahui potensi yang ada dalam diri kita kemudian
mengarahkannya kepada tindakan yang tepat dan teruji (Melati,
2011 : 21).
36
2) Eksternal
Faktor eksternal merupakan hambatan yang berasal dari
luar diri seseorang, seperti :
a) Budaya masyarakat yang tidak mendukung upaya aktualisasi
potensi diri seseorang karena perbedaan karakter. Pada
kenyataannya lingkungan masyarakat tidak sepenuhnya
menunjang upaya aktualisasi diri warganya.
b) Faktor lingkungan
Lingkungan masyarakat berpengaruh terhadap upaya
mewujudkan aktualisasi diri. Aktualisasi diri dapat dilakukan
jika lingkungan mengizinkannya (Asmadi, 2008).
Lingkungan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
terhadap pembentukan dan perkembangan perilaku individu,
baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosio-psikologis.
c) Pola asuh
Pengaruh keluarga dalam pembentukan aktualisasi
diri anak sangatlah besar artinya. Banyak faktor dalam
keluarga yang ikut berpengaruh dalam proses perkembangan
anak. Salah satu faktor dalam keluarga yang mempunyai
peranan penting dalam pengaktualisasian diri adalah praktik
pengasuhan anak.
Aktualisasi diri merupakan kemampuan seseorang
untuk mengatur diri sendiri sehingga bebas dari berbagai
37
tekanan, baik yang berasal dari dalam diri maupun di luar
diri. Kemampuan seseorang membebaskan diri dari tekanan
internal dan eksternal dalam pengaktualisasian dirinya
menunjukkan bahwa orang tersebut telah mencapai
kematangan diri. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
aktualisasi diri tersebut secara penuh. Hal ini disebabkan oleh
terdapatnya dua kekuatan yang saling tarik-menarik dan akan
selalu mempengaruhi di dalam diri manusia itu sendiri
sepanjang perjalanan hidup manusia. Kekuatan yang satu
mengarah pada pertahanan diri, sehingga yang muncul adalah
rasa takut salah atau tidak percaya diri, takut menghadapi
resiko terhadap keputusan yang akan diambil, mengagungkan
masa lalu dengan mengabaikan masa sekarang dan
mendatang, ragu-ragu dalam mengambil
keputusan/bertindak, dan sebagainya. Sementara kekuatan
yang lainnya adalah kekuatan yang mengarah pada keutuhan
diri dan terwujudnya seluruh potensi diri yang dimiliki,
sehingga yang muncul adalah kepercayaan diri dan
penerimaan diri secara penuh (Asmadi, 2008).
38
A. Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual adalah abstraksi dari suatu realita agar dapat
dikomunikasikan dan membentuk suatu teori yang menjelaskan keterkaitan
antara variabel. (Nursalam, 2008:55)
Sumber : Modifikasi Anggraeni (2009), Azwar (2007)
Keterangan :
: diteliti
: tidak diteliti
Gambar 2.2 Kerangka konseptual sikap ibu tentang bonding attachment pada bayi usia 1-12 bulan di Desa Gayaman Kecamatan Mojoanyar Kabupaten Mojokerto
Sikap ibu tentang bonding attachment pada bayi usia
1-12 bulan1) Komponen Kognitif2) Komponen Afektif3) Komponen Konatif
Remaja Putri
Positif Skor T > 50
Negatif Skor T < 50
Faktor-faktor yang mempengaruhi Sikap:
1. Pengalaman pribadi2. Kebudayaan3. Orang lain yang
dianggap penting4. Media massa5. Institusi atau lembaga
pendidikan dan lembaga agama
6. Faktor emosi dari individu
Proses pertumbuhan dan Perkembangan
39