Upload
doanhanh
View
215
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
4
BAB 2
DATA DAN ANALISA
2.1 Data Pendukung
2.1.1 Seniman Tari Bali
( BaliPost, Umanis Paing, Senin 27 Oktober 2000 )
Oleg dapat berarti gerakan yang lemah gemulai, sedangkan tambulilingan berarti
kumbang pengisap madu bunga. Tari Oleg Tambulilingan melukiskan gerak-gerik
seekor kumbang, yang sedang bermain-main dan bermesra-mesraan dengan sekuntum
bunga di sebuah taman. Tarian ini sangat indah.
Tari Oleg Tambulilingan, yang semula dinamakan Tambulilingan Mangisep Sari,
merupakan ciptaan I Ketut Mario dari Tabanan pada tahun 1952 atas permintaan John
Coast (dari Amerika).
a. I Ketut Mario ( tahun 1897-1968 )
I Ketut Mario diperkirakan lahir di Desa Belaluan, Denpasar, dan besar hingga
dewasa di Banjar Lebah, Tabanan. Seorang bangsawan bernama Anak Agung Ngurah
Made Kaleran yang sangat suka seni dan memberi perhatian serta dukungan kepada
seniman-seniman dianggap sebagai bapak angkat oleh Mario.
Mario pertama kali menjadi penari untuk kelompok Gong Pangkung di Tabanan.
Tahun 1958 dia dan kelompok gong itu melawat ke Paris, Belanda, Amerika dan
Kanada, dan di tahun 1962 mereka berkeliling Amerika.
5
Mario tidak hanya seorang penari, ia juga seorang pencipta tari. Kreasinya,
Kebyar Duduk, atau jika ditarikan dengan trompong menjadi Kebyar Trompong,
membawa revolusi dalam tarian Bali. Kreasi ini sangat kontras dengan tarian-tarian lain
pada saat itu, dimana sebagian besar dari tarian ini ditarikan dalam posisi setengah
duduk. Kelahiran Kebyar Duduk di tahun 1925 mendapat pengaruh besar dari gamelan
gong kebyar yang dimainkan oleh kelompok gong dari Desa Bantiran yang dengan tidak
sengaja didengar oleh Mario. Kreasi Mario lainnya adalah Oleg Tamulilingan yangn dia
buat di tahun 1952. Tarian ini juga memberi sumbangan untuk perkembangan tari Bali.
b. Ni Ketut Reneng ( tahun 1816-1993 )
(Never Ending Art Creativity, Denpasar, Bali: Cultural Affairs Office Bali Province,
2000.)
"Aku merasa Tuhan duduk di dalam pikiran di keningku. Kemudian aku tidak
merasakan apapun. Aku hanya bergerak. Badanku menjadi ringan seperti bulu burung.
Aku merasa demikian cantik dan penonton terpesona."
Lahir di Kedaton, Denpasar, Ni Reneng mengabdikan dirinya di Geria Punia,
kediaman seorang pendeta. Di sana dia mempelajari beberapa keahlian seperti
bagaimana menjadi seorang pembantu yang baik, bagaimana membuat sesaji, menari,
dan main gamelan. Keahlian ini kemudian berguna ketika dia menari di pura.
Didikan yang ketat dari guru-gurunya membuat Ni Reneng menjadi seorang
seniman sejati. Dia ternama karena kecantikannya, keahliannya menari, dan juga
integritasnya. Tak henti-hentinya dia memikirkan kelangsungan hidup dari tari-tarian
6
klasik yang dikuasainya. Kebanyakan dari murid-muridnya adalah orang asing dan
mereka benar-benar rajin. Ni Reneng khawatir suatu saat nanti di masa yang akan datang
orang Bali justru akan belajar tarian Bali klasik di luar negeri. Belakangan banyak
muncul penari-penari baru, tetapi hanya sedikit dari mereka yang menghidupkan seni
sebagai pengabdian untuk masyarakat. Pariwisata menjadi tujuan utama, bukannya
menari di pura.Sejumlah tarian Bali memang hanya khusus dibawakan oleh wanita
seperti halnya tari Oleg Tambulilingan, tari tenun dan tari nelayan. Tari kelincahan olah
tubuh yang serasi dengan instrumen gamelan hasil racikan I Ketut Maria, seniman asal
Tabanan tahun 1951, di dalamnya menyangkut perubahan sosial yang menghadirkan
gaya seni yang khas, kata Ni Made Wiratini, SST. MA, dosen jurusan tari Institut Seni
Indonesia (ISI) Denpasar Jumat.
Ketika tampil sebagai pembicara dengan kertas kerja "Penampilan wanita dalam
seni pertunjukan Bali" pada seminar yang digelar Fakultas Sastra Universitas Udayana,
ia mengatakan, kesenian yang hanya cocok ditarikan oleh kaum wanita itu hingga
sekarang hidup dalam keabadian.Masuknya wanita ke dalam seni pertunjukan Bali
banyak dimotivasi oleh wanita-wanita yang hidup di kalangan masyarakat perkotaan,
termasuk yang bergerak di lingkungan dunia akademis dan pendidikan seni formal.
Di Bali memang ada jenis tari-tarian yang dibawakan oleh para gadis atau wanita
dewasa untuk kelengkapan pelaksanaan kegiatan ritual atau upacara keagamaan.Tarian
tersebut sifatnya feminim, karena menuntut gerakan-gerakan yang lemah gemulai seperti
tarian Sanghyang Dedari, tari Pendet, tari Rejang, Sutri dan tari Gabor. Wiratini yang
juga mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Udayana itu menambahkan, tarian-
tarian Bali yang dipentaskan untuk keperluan upacara keagamaan disebut tarian wali dan
7
pementasan di luar pura "Balih-balihan".Tari sakral dan profan dibentuk oleh faktor
kultural yang dipengaruhi oleh persepsi, penilaian, pengalaman dan adat-istiadat yang
berkaitan dengan seni sakral serta profan.
"Semua jenis tarian itu diciptakan untuk kepentingan masyarakat Bali dalam
mendapatkan kesejahteraan lahir dan batin," ujar Ni Made Wiratini.Ia menjelaskan,
wanita Bali dalam beberapa tahun belakangan ini juga menggeluti seni pedalangan, satu
jenis pertunjukkan yang sebelumnya hanya digeluti kaum pria.
Keberhasilan wanita dalam seni pertunjukan teater kontemporer juga mulai
diperhitungkan, mengingat wanita Bali tidak hanya sekedar tampil dalam bidang tari,
namun juga dalam bidang seni lainnya, termasuk seni teater.Wanita yang tampil dalam
berbagai jenis tarian dan dramatari klasik/tradisional Bali membawa dampak artistik
terhadap kesenian, ujar Ni Made Wiratini.
2.1.2 Tari Oleg Tamulilingan
a. Asal Usul Tari Oleg Tamulilingan
(Minggu Umanis, 14 Mei 2006,Balipost)
8
Salah satu tari yang menjadi ikon dan kemudian menjadi genre tari Bali pada
kurun masa berikutnya adalah Oleg Tamulilingan. Karya tari yang amat kesohor hingga
ke mancanegara ini diciptakan I Ketut Marya yang kemudian lebih akrab dipanggil I
Mario. Berikut ini perjalan singkat awal mulanya terciptanya Tari Oleg Tambulilingan
Adalah budayawan bernama John Coast (1916-1989), kelahiran Kent, Inggris,
sangat terkesan dengan kebudayaan Bali. Sebelum berkiprah di Bali, ketika perang dunia
kedua meletus, Coast masuk wajib militer dan sebagai perwira, sampai sempat bertugas
di Singapura. Ketika Singapura keburu dikuasai Jepang, Coast yang berstatus tawanan
lalu dikirim ke Thailand. Namun begitu, Coast memang berbakat seni. Ia ternyata
melahirkan tulisan "Railroad of Death" pada 1946 yang kemudian mencapai best seller
dalam waktu singkat. Hal itu mendorong semangatnya lagi untuk menulis buku "Return
to the River Kwai" pada 1969. Di sela itu, Coast sempat berkolaborasi dengan seniman
musik dan tari dari berbagai latar budaya, hingga menggelar pertunjukan konser pasca-
perang. Setelah merasa aman, pada 1950 Coast meninggalkan Bangkok menuju Jakarta
karena terdorong untuk mengabdi kepada perjuangan Indonesia. Dalam waktu singkat,
ia mendapat kepercayaan dari Bung Karno untuk memegang jabatan sebagai atase
penerangan Indonesia. Selama di Indonesia, Coast menikah dengan Supianti, putri
Bupati Pasuruan. Ketika menetap di Bali, ia tinggal di kawasan Kaliungu, Denpasar.
Cinta Coast pada seni budaya Bali mulai tumbuh saat tersentuh tradisi dan
kehidupan masyarakat. Kesenian ternyata amat memikat hati dan obsesinya untuk
mengorganisir sebuah misi kesenian ke Eropa. Selama petualangannya mengamati
beberapa sekeha gong di Bali, Coast tertarik dengan penampilan sekaha gong Peliatan.
Pada 1952, Coast menilai bahwa Gong Peliatan dengan permainan kendang AA Gde
9
Mandera yang ekspresif cukup layak ditampilkan di panggung internasional. Dalam
rencana lawatan ke Eropa itu, Coast ingin juga membawa sebuah tarian yang indah dan
romantik, di samping beberapa tarian yang sudah sering dilihatnya. Atas saran Mandera,
Coast lalu menghubungi penari terkenal sekaligus guru tari I Ketut Marya yang
kemudian akrab dipanggil I Mario. Mario yang kala itu sudah menciptakan tari Kebyar
Duduk yang kemudian menjadi tari Terompong, bersedia bergabung dengan Gong
Peliatan. Coast "merangsang" Mario untuk berkreasi lagi dengan memperlihatkan buku
tari klasik ballet yang di dalamnya terdapat foto-foto duet "Sleeping Beauty" yaitu
tentang kisah percintaan putri Aurora dengan kekasihnya Pangeran Charming. Maka
terinspirasilah Mario menciptakan tari Oleg. Inilah yang diinginkan Coast.
Untuk membawakan tari Oleg -- tarian baru itu, I Mario memilih I Gusti Ayu
Raka Rasmi yang memiliki basic tari yang bagus. Dalam menata iringannya, Mario
mengajak I Wayan Sukra, ahli tabuh asal Marga, Tabanan. Di samping itu, dilibatkan
pula tiga pakar tabuh Gong Peliatan dalam menggarap gending Oleg itu yakni Gusti
Kompyang, AA Gde Mandera, dan I Wayan Lebah.
Tari Oleg itu semula bernama Legong Prembon. Nampaknya Coast kurang
berkenan dengan nama Legong Prembon karena kata itu sulit diterjemahkan ke dalam
bahasa Inggris. I Mario lantas menggantinya menjadi tari Oleg Tamulilingan Mengisap
Sari dan atas kesepakatan bersama akhirnya disebut Oleg Tamulilingan atau "The
Bumble Bee Dance". Tarian ini menggambarkan dua ekor kumbang, jantan dan betina,
sedang bersenang-senang di taman bunga sambil mengisap madu. Sebagai kumbang
jantan pasangan Raka Rasmi, dipilihlah I Sampih yang jauh lebih tua, berasal dari
Bongkasa, Badung.
10
Kata oleg dalam kamus bahasa Bali berarti "goyang". Dalam tarian yang
melambangkan kumbang betina itu, memang terdapat gerakan bergoyang lemah gemulai
seolah-olah pohon tertiup angin. Gerakan lemah gemulai tari Oleg ini nampak pada
bagian pengadeng -- saat penari memegang oncer yang bergantian dengan kedua tangan
ditekuk silang di depan dada, sambil bergoyang ke kanan dan ke kiri. Maka dinilai,
pemeran yang cocok membawakannya adalah yang berperawakan langsing semampai
sebagai pemberi kesan ngoleg.
Begitulah,Tarian ini lantas awalnya lebih dikenal di mancanegara daripada di
Bali, karena begitu tercipta lalu dipakai ajang promosi Bali di luar. Sebelum berangkat
ke Eropa, misi kesenian pemerintah RI itu terlebih dahulu pentas di Istana Merdeka
untuk pamitan kepada Presiden Soekarno karena akan melawat sekitar 10 bulan
mengunjungi Prancis, Jerman, Belgia, Italia, Inggris dan beberapa kota besar di Amerika
Serikat. Mario tidak turut dalam rombongan itu. Namun beberapa tahun kemudian,
bersama Gong Pangkung Tabanan, ia "menghipnotis" masyarakat Eropa, Kanada dan
Amerika Serikat dengan berbagai improvisasi gerak tari indah dalam tari Kebyar Duduk
dan tari Terompong pada acara "Coast to Coast Tour" pada 1957 dan 1962.
b. Pendobrak kebekuan Tari Bali
Lalu, siapa I Ketut Marya atau I Mario? Ia lahir pada 1897, anak bungsu lima
bersaudara dari keluarga petani miskin asal Banjarangkan, Klungkung. Ayahnya
meninggal ketika Mario berumur enam tahun. Musim kemarau berkepanjangan yang
menyebabkan penderitaan para petani, memaksa keluarga Mario mengungsi ke arah
11
Barat hingga sampai di Desa Tunjuk, Tabanan. Ni Mentok, ibu Mario, bersama anak-
anaknya kemudian "dipungut" oleh saudagar Cina, Tan Khang Sam.
Sifat Mario yang humoris dan pemberani ternyata menarik simpati majikannya.
Suatu hari, Mario diajak ke Puri Kaleran, Tabanan, untuk urusan dagang. Penampilan
Mario yang sopan menarik simpati raja sehingga Mario sekeluarga dijadikan abdi Puri.
Dalam suasana Puri yang sering mementaskan tetabuhan dan tari-tarian, membuat Mario
selalu duduk dekat gamelan dan kadang-kadang menari sendirian. Raja pun melihat
bakat Mario sehingga ia dicarikan guru tari ke Mengwi. Maka, pada umur sembilan
tahun, Mario telah menguasai beberapa tarian.
Penampilan Mario mulai diperhitungkan oleh penari senior. Guru tarinya
meramalkan bahwa kelak Mario akan menjadi penari besar karena gerakan tubuhnya
lentur, ekspresi wajah penuh kejiwaan seirama dengan iringan gamelan. Sekeha Gong
Pangkung yang sering tampil di Puri Kaleran memiliki peran sangat penting bagi sosok
Mario. Tahun 1922, Mario telah mempelajari tabuh kakebyaran yang "lahir" di Buleleng
pada 1915. Mario pun dilatih oleh Wayan Sembah dan Wayan Gejir.
Salah satu tari ciptaan Mario adalah Kebyar Duduk. Ceritanya, suatu hari pada
1929, Mario menonton latihan gong kebyar di sebuah desa dekat Busungbiu, Buleleng.
Salah seorang pemain kendang sempat melihat Mario menari Gandrung dan memintanya
menari diiringi gending kebyar yang sedang dimainkan. Mario secara spontan menari
sesuai irama gamelan. Sebagai penari Gandrung, Mario ingin mencari pasangan menari,
namun tak berhasil karena berada di tengah kalangan yang dikitari gamelan dan
penabuh. Dasar seniman kreatif, akhirnya Mario menjawat pemain kendang. Sambil
12
bermain, pemain kendang pun ternyata merespons tarian Mario. Maka, secara spontan
lahirlah tarian Kebyar Duduk.
Pada kesempatan lain, Mario yang suka bercanda merampas panggul pemain
terompong dan secara improvisasi memainkan panggul itu mengikuti gending yang
sedang dimainkan. Dari situ, maka terciptalah tari Kebyar Terompong. Tari ini
selanjutnya disempurnakan saat Mario menjadi penari tetap Gong Belaluan untuk
menghibur wisatawan di Bali Hotel, Denpasar. Sejak itu, nama Mario menjulang tinggi
karena ia berani mendobrak kebekuan keberadaan seni tari Bali dengan penampilan
baru. Boleh jadi, fenomena itu sebagai ikon yang paling fantastis bagi pembaruan gong
kebyar di Bali Selatan.
I Mario memang telah pergi untuk selama-lamanya pada 1978. Namun namanya
telah melegenda. Ia telah mendapat dua anugerah seni secara bersamaan pada 17
Agustus 1961, berupa Dharma Kusuma dan Wijaya Kusuma. Pemda Tabanan pada 1980
telah memberikan penghargaan Dharma Kusuma Madya. Untuk mengenang Mario
dengan karya seninya, namanya telah terpateri sebagai Gedung Mario, sebuah bangunan
serbaguna di jantung Kota Tabanan. Pun tari Oleg Tamulilingan sebagai simbol
percintaan, dijadikan patung monumen penghias halaman gedung itu.
* aaa kusuma arini, dosen ISI Denpasar
c. Tari Wajib di Bali
Kepekaan perasaan, imajinasi dan ketajaman pikiran I Ketut Maria dalam
berkesenian telah menghasilkan karya yang membuat namanya abadi dalam dunia seni
tari. Kalau saja kini banyak seniman muda menghasilkan karya seni (tari) tentu tidak
13
lepas dari semangat Maria. Jika kini banyak seniman Bali menjelajahi dunia boleh
dikatakan tidak lepas dari peran Maria yang terlebih dulu memperkenalkan tari Bali di
dunia internasional. Tahun 1958 dia melanglang buana berkat karya seninya. Paris,
Amsterdam, London, beberapa kota di AS dan Kanada telah menjadi saksi
kepiawaiannya. Tahun 1962 kembali keliling Amerika bersama Sekeha Gong Pangkung.
Di luar negeri “Mario” diberi julukan The Great Mario seperti yang dikutip
Soedarsono (1953) dalam (naskah) bukunya, namun buku itu tidak dipublikasikan.
Berkat prestasi dan kemashuran, PT Pos Indonesia (tahun 2000) mengabadikan Maria
dan seniman lain seperti Chairil Anwar, Ibu Sud, Bing Slamet, S. Sudjojono dalam
bentuk prangko. Kemudian PT Pos Indonesia memberikan uang sebesar dua juta rupiah
(setelah amplop dibuka) kepada sang ahli waris.Karya Maria sekarang hampir tiada
tandingannya, khususnya Tari Oleg Tambulilingan. Kalau ada pementasan tari Bali di
hotel-hotel, Tari Oleg Tambulilingan sering menjadi salah satu sajian. Tarian ini
mengesankan suatu keindahan yang romantis, gerak-gerik meliuk-liuk, lemah gemulai
seorang putri cantik. Sedangkan Tambulilingan penari laki dengan penampilan gerak tari
putra bebancihan menari dengan gagahnya sesuai dengan gerak-gerak Tambulilingan
(kumbang) di taman bunga. Tari ini menggambarkan sepasang kumbang (jantan dan
betina) sedang mengisap sari bunga di taman, berterbangan ke sana ke mari sambil
berkejar-kejaran. Kumbang jantan dan betina memadu kasih dengan suasana romantis di
taman bunga. Penonton yang menyaksikan akan diajak berimajinasi dalam suasana
romantis, bahwa antara laki dan perempuan saling membutuhkan. Hampir di tiap
Sanggar Tari Bali, peserta wajib berlatih tari berpasangan ini. Kurikulum Seni untuk
SLTP (Departemen Pendidikan Nasional dan Kebudayaan, 1994) menjadikan Oleg
Tambulilingan sebagai tarian wajib berpasangan. Dalam Kurikulum Berbasis
14
Kompetensi (KBK), siswa diwajibkan menguasai tari berpasangan — berduet. Pilihan
untuk tarian berduet ini sering jatuh pada Oleg Tambulilingan.Keberhasilan tari ini akan
ditentukan kekompakan kedua penari. Nyoman Carita (44 tahun) seniman tari dari
Singapadu, sekaligus dosen ISI Denpasar menyatakan tarian berpasangan ciptaan I Ketut
Maria itu menjadi pilihan peserta maupun pelatih di Sanggar Tari, baik yang ada di
Singapadu maupun di tempat lain. Tiap penari Bali khususnya wanita, tanpa menguasai
Tari Oleg Tambulilingan tampaknya belum lengkap sebagai seorang penari.
Namun sangat disayangkan, di era globalisasi sekarang ini nilai – nilai
kesakralan yang terkandung dalam tarian ini mulai disalahgunakan. Untuk mengikuti
anime masyarakat maupun mengikuti perkembangan zaman, maka ada beberapa gerakan
maupun instrumen musik yang di modifikasi serta mengalami perubahan yang drastis.
Hal ini merupakan masalah yang cukup serius, sehingga diingatkan kan kembali pada
seniman-seniman yang bersangkutan untuk tetap memandang nilai-nilai kesakralan
suatu tarian.
2.1.3 Keadaan Seni Pertunjukan Tari Bali
a. Bali dalam dua dunia
(Oleh I Gusti Raka Panji Tisna, MSPI, Friday/ 09 September 2005)
Bali kini adalah Bali yang hidup dalam dua dunia. Dua dunia yang sangat
berbeda, saling tarik-menarik, memperebutkan ruang-ruang nyata alam Bali maupun
ruang-ruang kejiwaan manusia Bali . Dunia yang satu adalah dunia tradisional agraris
yang telah berakar paling tidak sejak 4000 tahun lalu, berjiwa Hindu, dengan beraneka
ragam ekspresi budayanya; dan dunia yang lain adalah dunia modern peradaban Barat
15
yang datang ke Bali sebagai konsekuensi dari eksplorasi dan eksploitasi (penjajahan)
Dunia Barat (Belanda) di pengawal abad ke 17 yang memperkenalkan Bali kepada
perdagangan dunia, kapitalisme berikut konsumerismenya yang kian mengglobal.
Ekspresi yang paling nyata dari dunia tradisional agraris Bali adalah ratusan jenis
ritual adat-agama yang masih dilakoni orang Bali , hampir di setiap waktu, dan kerap
melibatkan seni pertunjukan baik sakral maupun sekuler (profan, hiburan). Sedang
kehadiran dunia modern dapat dilihat dari berubahnya desa-desa agraris menjadi kota-
kota dan kawasan-kawasan wisata seperti Denpasar, Sanur, Kuta, Nusa Dua, Ubud dan
terus merambah ke daerah-daerah lain; serta penduduk Bali yang kian gandrung dengan
produk-produk modern seperti mobil, sepeda motor, barang-barang elektronik dan
lainnya. Dunia tradisional agraris berusaha bertahan agar tidak tergerus sementara dunia
modern berusaha merebut karena memang itulah sifat kapitalisme dan konsumerisme.
Orang Bali hidup, bergulat di antara dua dunia ini dan berusaha mengkompromikan
kedua dunia yang saling bertentangan ini.
Dunia modern (Barat) masuk ke Bali sejak awal abad ke 17 dengan
berkunjungnya penjelajah-penjelajah Eropa (baca Belanda) ke daerah Nusantara dengan
motif komersial, mencari dan memperdagangkan rempah-rempah. Para pelaut dan
saudagar itu juga menginjakkan kaki di Bali , kemudian melakukan perdagangan dengan
raja-raja di Bali . Perburuan rempah-rempah yang berlanjut menjadi penjajahan
Nusantara oleh Belanda. Di pengawal tahun 1990-an Bali dengan keunikan
kebudayaannya mulai dikemas oleh Belanda untuk dijual sebagai produk wisata.
Pariwisata budaya yang awalnya hanya dilakoni segelintir elite Barat (Eropa, Amerika)
untuk tujuan melihat dan menikmati pulau tropis nan indah dengan budayanya yang
16
kaya dan unik (eksotis) kini menjadi pariwisata yang mendatangkan orang dari berbagai
belahan bumi dalam jumlah melebihi satu juta setiap tahunnya. Mereka dipercaya datang
ke Bali untuk tujuan yang sama, menikamati kebudayaan Bali , walau tidak sedikit juga
yang datang sekedar untuk melepas kejenuhan rutinitas kehidupan mereka yang intens
dan untuk kepentingan usaha meraup keuntungan dan malah menetap di Bali . Hasil
beberapa penelitian dan survey memang menunjukkan bahwa sebagian besar wisatawan
yang datang ke Bali termotivasi oleh keunikan budaya Bali (Lihat Ardika 2004: 23).
b. Dinamika Seni Pertunjukan Tari Bali
(Oleh I Gusti Raka Panji Tisna, MSPI, Friday/ 09 September 2005)
Seni Pertunjukan Tradisional adalah elemen budaya yang paling konkret yang
bisa segera ditawarkan kepada wisatawank karena sifat universal seni tari dan musik
sebagai pengiringnya lebih mudah untuk dinikmati (diapresiasi) wisatawan tanpa perlu
keterlibatan yang mendalam; dan mudah dipaket/dikemas untuk didatangkan ke hotel-
hotel, termasuk dipertontonkan ke luar negeri dalam wujud misi kesenian untuk promosi
pariwisata. Reputasi seni pertunjukan tradisional Bali sudah diakui secara luas baik oleh
para spesialis maupun wisatawan kebanyakan. Seni pertunjukan adalah salah satu aset
terpenting bagi citra pariwisata budaya.
Secara umum seni pertunjukan Bali dapat dikatagorikan menjadi tiga: wali (seni
pertunjukan sakral) yang hanya dilakukan saat ritual pemujaan; bebali pertunjukan yang
diperuntukkan untuk upacara tetapi juga untuk pengunjung; dan balih-balihan yang
sifatnya untuk hiburan belaka di tempat-tempat umum. Pengkatagorian ini ditegaskan
pada tahun 1971 oleh Majelis Pertimbangan dan Pembinaan Kebudayaan (LISTIBIYA)
17
Bali sebagai respon dari semakin merambahnya pertunjukan untuk pariwisata ke seni-
seni yang sifatnya sakral. Pertemuan ini merekomendasikan agar kesenian yang sifatnya
wali dan bebali tidak dikomersialkan. Bandem dan deBoer dalam bukunya Kaja and
Kelod: Balinese Dance in Transition secara rinci mengklasifikasi berbagai seni
pertunjukan yang ada di Bali hingga awal tahun 1980-an. Tergolong ke dalam wali
misalnya: Berutuk, Sang Hyang Dedari, Rejang dan Baris Gede; bebali seperti:
Gambuh, Topeng Pajegan, Wayang Wong; dan balih-balihan diantaranya: Legong,
Parwa, Arja, Prembon, dan Joged.
Penulisan secara seksama tentang Seni Pertunjukan Drama dan Tari Bali pertama
diipublikasikan pada tahun 1938. Ironisnya, dan tentu tidak terlalu mengejutkan, bahwa
buku ini ditulis oleh orang asing bernama Walter Spies dan Beryl de Zoete. Walter
Spies, peranakan Rusia-Jerman, adalah nama orang asing yang sangat dikenal di Bali. Ia
datang dan menetap di Bali mulai 1927 hingga jaman pendudukan Jepang di awal tahun
1940-an; seorang pemusik, pelukis, yang mempunyai minat yang sangat mendalam pada
seni pertunjukan di Bali. Peranannya dalam awal-awal perkembangan pariwisata budaya
Bali sudah tidak diragukan karena dia sangat dipercaya oleh orang asing yang datang ke
Bali pada waktu itu untuk memberi pengalaman budaya, khususnya seni pertunjukan di
Bali. Pertunjukan seni tradisional menjadi menu rutin bagi pengunjung di Jaman itu.
Pementasan dilakukan dilakukan di berbagai jaba pura (bagian luar pura) di berbagai
desa di daerah sekitar ubud dan juga pementasan ke Bali Hotel milik maskapai pelayaran
Belanda, KPM.
Bisa dibayangkan bahwa pertunjukan drama dan tari sering tidak sepenuhnya
bisa difahami oleh para wisatawan terutama karena faktor bahasa; disamping pada
18
umumnya jadwal tour wisatawan yang padat. Karena itu intervensi dilakukan oleh agen
perjalanan wisata agar pertunjukan bisa dipersingkat ke format yang lebih bisa
dimengerti dan dinikmati oleh wisatawan. Genre-genre campuran mulai bermunculan
yang mengkombinasikan genre satu dengan yang lain, misalnya Cak sebagai perpaduan
cerita Ramayana dengan vokal dari Sang Hyang Dedari yang dilakukan oleh Spies dan
seorang penari bernama Limbak; atau tari Barong dan Kris dengan cuplikan dari
Mahabarata. Pertunjukan yang biasanya berdurasi satu jam. Disamping itu juga
bermunculan tari-tari lepas (tari yang berdiri sendiri, tidak merupakan bagian dari
drama); dan paket pementasan yang menggabungkan berbagai tari lepas dari genre
topeng, baris, legong dan lainnya. Seni pertunjukan Bali yang sifatnya sakral biasanya
memiliki nilai eksotisme dan magis sehingga dicari-cari oleh wisatawan. Ada
ketergiuran para penyedia jasa pariwisata pun kemudian menawarkan paket-paket tiruan
seni sakral tersebut. Pertunjukan barong-rangda dengan unying (tari keris) adalah salah
satu contoh klasik profanisasi yang terjadi
Kiranya idealisme untuk tidak mengkomersialkan tari wali dan bebali tidak bisa
dijalankan sepenuhnya. Sekarang pertunjukan-pertunjukan untuk pariwisata sudah mulai
mempertontonkan imitasi tari Sang Hyang Dedari; Sang Hyang Jaran, Calonarang, dan
sebagainya. Dan yang terakhir berkembang adalah istilah pertunjukan kemasan baru
sebagai gabungan aspek prosesi ritual dengan pagelaran berbagai jenis pertunjukan
secara simultan seperti wayang, tari cak api, joged bungbung, dan pertunjukan selama
makan malam berupa legong, beberapa tari lepas dan drama tari barong.
19
2.1.4 Kebudayaan Bali
a. Dampak Pariwisata Budaya Bali
Disamping permasalahan komodifikasi dan penggerusan, masalah yang sering
menjadi pembicaraan adalah kurangnya penghormatan atau apresiasi para pengusaha
pariwisata terhadap para seniman tradisional. Disamping pembayaran yang diberi
tergolong masih rendah seni pertunjukan sering diposisikan sebagai suatu pelengkap
acara, biasanya makan malam di hotel/restoran. Seniman diberi fasilitas sekedarnya dan
sering tidak diperkenalkan dengan semestinya. Bagaimana apresiasi mendalam bisa
terjadi ketika perhatian penonton harus terbagi antara menyantap makanan dan
menonton pertunjukan? Sudah menjadi rahasia umum bahwa di tempat-tempat
pertunjukan pariwisata guide atau supir yang mengantar wisatawan mendapat komisi 25-
50% dari harga tiket masuk. Demikian pula para makelar kesenian (perantara antara
seniman dan pemesan) mengambil persentase yang tinggi dari harga yang ditawarkan
sehingga upah yang diterima oleh seniman sangat minim. Hal ini mungkin disebabkan
oleh banyaknya jumlah seniman /kelompok keseniann di Bali (supply yang tinggi),
ditambah dengan rendahnya pengetahuan dan kemampuan manajerial kebanyakan
seniman/kelompok seniman, dan karena faktor tradisi budaya ngayah (pertunjukan
sebagai sebuah persembahan dan kepuasan batin) yang masih kental di kalangan
penggiat seni. Posisi tawar para seniman di hadapan pengusaha pariwisata menjadi
rendah, tercermin dengan adanya persaingan dalam menurunkan harga antara kelompok
satu dengan yang lain.
Memang ada segelintir hotel dan tempat tontonan pariwisata yang berusaha
memposisikan seni pertunjukan tradisional sebagai suatu yang istimewa kepada
20
tamunya. Seniman yang ditampilkan adalah seniman yang berkualitas atau seniman-
seniman ternama; pementasan dilakukan tidak pada saat makan; ada usaha-usaha untuk
memberi informasi yang baik (pendidikan) kepada tamu; dan mereka bersedia memberi
harga yang disodorkan seniman. Seniman-seniman yang sudah yakin dengan kualitasnya
biasanya berani mematok harga; mereka mempunyai posisi tawar yang tinggi. Semua ini
bisa terjadi tidak lepas dari adanya keberagaman jenis wisatawan yang datang. Ada
wisatawan yang puas dengan sekedar melihat pertunjukan, ada juga yang mau melihat
yang terbaik.
Ada usaha-usaha Pemda Bali melalui LISTIBIYA-nya untuk melindungi
seniman dari eksploitasi dan sebaliknya memberi dukungan dan bimbingan kepada
mereka agar menjaga atau malah meningkatkan kualitas. LISTIBIYA mengeluarkan
semacam lisensi layak pentas untuk umum/pariwisata yang bernama Pramana Patram
Budaya kepada kelompok-kelompok kesenian. Pemerintah terus menghimbau agar para
pelaku usaha pariwisata memberi penghargaan yang lebih baik kepada seniman, baik
secara finansial maupun perlakuan. SK Gubernur No. 394 dan 395 tahun 1997 misalnya
membuat patokan-patokan upah bagi berbagai jenis kelompok kesenian yang ada.
Seberapa jauh implementasi dari upaya ini memang masih perlu ditelusuri. Penulis
masih mengamati banyak pementasan yang dilakukan di hotel-hotel/restoran yang
terkesan seadanya, dan membaca di media massa tentang keluhan kurangnya
penghargaan pariwisata kepada para seniman. Barangkali pementasan yang rutin bisa
jadi membuat sang penari mengalami kejenuhan, disamping ada anggapan bahwa
wisatawan toh tidak bisa membedakan antara pertunjukan yang berkualitas dengan yang
tidak.
21
Dampak positif pariwisata bisa dihubungkan dengan peningkatan kuantitas jenis
kesenian dan jumlah seniman, dan umumnya peningkatan penghasilan. Para seniman
berharap untuk dapat kesempatan pentas di hotel karena lebih sering atau rutin
ketimbang pertunjukan untuk adat/upacara. Perlu diketahui bahwa seni pertunjukan
tidak pernah lepas dari ritual-ritual yang dipercaya harus dilanjutkan. Ritual-ritual
melibatkan beberapa bentuk pertunjukan seperti Sang Hyang, wayang lemah, topeng
pajegan, pendet, berbagai jenis tari baris sakral; dan masih dalam konteks ritual tetapi
juga untuk hiburan seperti wayang kulit pada malam hari, calon arang, atau gambuh.
Meningkatnya daya beli masyarakat secara umum memungkinkan desa adat atau banjar
untuk membeli perangkat gamelan yang biasanya juga merangsang terbentuknya
kelompok drama/tari.
Seorang seniman muda ternama di Bali (I Nyoman Budiarta dari Batuan-
Gianyar) yang penulis sempat wawancarai memiliki pandangan yang berbeda dengan
apa yang dikhawatirkan oleh para sarjana bahwa pariwisata menggerus kualitas kesenian
tradisional. Ia berpendapat bahwa pariwisata memberi lebih banyak dampak positif dari
negatif. Pertunjukan yang rutin memberi kesempatan lebih banyak untuk berlatih
sehingga menjadikan kesenian lebih kreatif dan bervariasi. Dia tidak
mempermasalahkan misalnya pertunjukan yang dilakukan saat dinner karena percaya
bahwa wisatawan otomatis akan lebih memperhatikan pementasan dari makanan bila
pertunjukannya berkualitas. Letak permasalahan utama ada pada si seniman—apakah
dia memang seniman yang berkualitas sehingga berani mematok harga atau seniman
rata-rata yang mau dihargai rendah. Ia menyarankan memang perlu adanya fasilitator
yang mempertemukan pengusaha pariwisata dengan seniman untuk berdialog: bahwa
22
mereka saling membutuhkan. Pemerintah juga bisa memfasilitasi dengan membuat
batasan-batasan atau rambu-rambu. Perihal tudingan bahwa telah terjadi profanisasi
pertunjukan sakral dia menyarankan agar definisi sakral itu dipertegas. Menurutnya yang
membuat sebuah kesenian sakral adalah ketika dilakukan untuk ritual lengkap dengan
sarana upacara, banten. Dia tidak mempersalahkan kalau ada kesenian ritual yang
dikemas menjadi tontonan pariwisata sejauh tidak melibatkan banten. Dia malah
berpendapat bahwa seni-seni ritual atau klasik perlu dibuatkan tiruan agar tidak punah
dan kalau perlu dikembangkan.
Seorang tokoh kesenian Bali generasi tua (I Gusti Agung Ngurah Supartha dari
Tabanan) melihat memang terjadi penurunan kualitas atau nilai-nilai. Ini tidak terlepas
dari perkembangan jaman yang semakin modern dimana banyak hal yang menyita
perhatian baik si seniman maupun masyarakat (penonton), ditambah lagi dengan
berkembangnya sindrom cepat jadi, instan, tercermin pada keinginan murid-murid
(termasuk orang tuanya) agar cepat bisa menari dan dipentaskan.Tantangan untuk
seniman-seniman sekarang tidak seberat yang dulu. Jarang ada guru-guru yang mengajar
sekeras dan seintensif dulu. Perubahan pada dinamika penonton juga berpengaruh pada
penurunan kualitas. Di era sebelum tahun 1970-an seniman tertantang untuk mencapai
potensi terbaiknya karena ada penonton-penonton yang datang untuk menguji.
Kedekatan jarak antara penonton dan penari karena panggung yang kecil menciptakan
kondisi untuk komunikasi saling apresiasi, komunikasi rasa mecingak. Sistem panggung
sekarang yang memisahkan penari dengan penonton (terlebih lagi penayangan tari
melalui TV) meniadakan proses mecingak tersebut.
23
2.2 Data Penyelenggara
2.2.1 Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar
Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar adalah sebuah lembaga pendidikan
kesenian di bawah pembinaan Direkturat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen
Pendidikan Nasional Republik Indonesia. ISI Denpasar merupakan penggabungan dari
dua lembaga pendidikan tinggi seni yang ada di Denpasar yaitu Sekolah Tinggi Seni
Indonesia (STSI) Denpasar dan Program Studi Seni Rupa dan Desain (PSSRD)
Universitas Udayana. ISI Denpasar didirikan berdasarkan Surat Keputusan Presiden
Republik Indonesia NO: 33 Tahun 2003, tertanggal 26 Mei 2003. Peresmian ISI
Denpasar dilakukan oleh Mentri Pendidikan Nasional R.I. Prof. Drs. Abdul Malik Fadjar
tanggal 28 Juli 2003.
Tujuan Pendidikan yang ingin dicapai adalah untuk menghasilkan tenaga
akademis dan profesional dalam bidang seni serta mampu menangani masalah-masalah
seni yang sifatnya umum secara mandiri dan secara rinci sehingga para lulusan ISI
Denpasar mampu:
(a) Memahami dasar-dasar ilmiah dan pengetahuan seni untuk menunjang
keahlian dibidang studi masing-masing.
24
(b) Menguasai pengetahuan dan ketrampilan serta mampu menghayati nilai-nilai
dasar seni untuk mencapai profesionalisme dalam bidang studinya.
(c) Mampu menerapkan dasar-dasar ilmiah dalam bidang seni dan
mengungkapkannya dalam bidang karya seni dan karya tulis.
(d) Mampu melaksanakan penelitian seni.
Visi ISI Denpasar adalah sebagai pusat unggulan dalam bidang penciptaan,
pengkajian dan informasi kesenian yang bersumber dari pada nilai budaya luhur. Secara
substansial pengejawantahan visi tersebut mengacu kepada terciptanya keunggulan
dengan memanfaatkan sumberdaya dan potensi yang dimiliki untuk dapat menghasilkan
kelulusan yang bermoral, cakap, kreatif, berwawasan ke depan serta memiliki
kemampuan mandiri. Dengan demikian lulusannya diharapkan mampu memenuhi
kebutuhan pasar kerja yang ada baik pada tingkat lokal, nasional, maupun global. Untuk
merealisasi visi tersebut di atas diperlukan perencanaan dan penataan serta optimalisasi
pemanfaatan sumberdaya yang dimiliki.
Dengan memperhatikan visi yang telah ditetapkan dalam proses mengantarkan
ISI Denpasar dari keberadaan saat ini pada visinya,misi itu dirumuskan sebagai berikut :
(a) Menyelenggarakan pendidikan dan penelitian yang mendukung pembangunan
nasional
(b) Menyelengarakan pengabdian kepada masyarakat yang selaras dengan tujuan ISI
Denpasar.
25
(c) Membina kehidupan akademik yang sehat, serta mengembangkan temuan ilmu
pengetahuan, teknologi dan karya cipta seni, dengan mengoptimalkan
pendayagunaan sumber daya yang tersedia.
Untuk dapat dilaksanakan visi dan misi dijabarkan kedalam suatu tujuan pengembangan
yang sekaligus merupakan pernyataan sasaran antara yang ingin dicapai dalam tahapan
perencanaan strategis. Tujuan pengembangan menjadi landasan kokoh dalam upaya
pencapaian visi dan misi.Tujuan itu adalah :
a. Peningkatan kualitas dan kuantitas sumberdaya yang dimiliki untuk
menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat
untuk meningkatkan daya saing bangsa.
b. Penciptaan suasana akademik yang kondusif bagi pembinaan pelestarian
dan pengembangan seni budaya nusantara dengan prinsip otonomi yang lebih
luas untuk penyelenggaraan tridharma perguruan tinggi.
c. Peningkatan partisipasi seluruh komponen masyarakat akademik untuk
memupuk rasa memiliki, menyamakan visi dilandasi kesehatan organisasi dan
manajemen intern
2.2.2. Gramedia Pustaka Utama
Penerbit Gramedia mulai menerbitkan buku sejak tahun 1974. Buku pertama yang
diterbitkan adalah novel Karmila, karya Marga T. Sedangkan untuk buku non-fiksi
26
pertama adalah Hanya Satu Bumi, yang ditulis oleh Barbara Ward dan Ren� Dubois
(diterbitkan bekerjasama dengan Yayasan Obor). Yang kemudian disusul oleh buku seri
anak-anak pertama Cerita dari Lima Benua, dan kemudian seri-seri yang lain.
Dengan misi “Ikut mencerdaskan dan memajukan kehidupan bangsa serta
masyarakat Indonesia” , Gramedia Pustaka Utama berusaha keras untuk menjadi agen
pembaruan bagi bangsa ini dengan memilih dan memproduksi buku-buku yang
berkualitas, yang memperluas wawasan, memberikan pencerahan, dan merangsang
kreativitas berpikir.
Melalui pengalaman jatuh-bangun dan melihat kebutuhan pasar, Gramedia Pustaka
Utama akhirnya mengkonsentrasikan diri untuk menggarap dua bidang utama, yakni
fiksi dan non-fiksi. Bidang fiksi dibagi menjadi fiksi anak-anak dan pra-remaja, remaja,
dewasa. Bidang non-fiksi dibagi menjadi humaniora, pengembangan diri, bahasa dan
sastra Indonesia, bahasa Inggris/ELT, kamus dan referensi, sains dan teknologi,
kesehatan, kewanitaan (masakan, busana), dsb.
Karena misi dan visi itu pula, Gramedia berusaha memilih penulis-penulis yang
berkualitas. Di deretan fiksi kita mengenal nama-nama yang memiliki reputasi
internasional seperti: John Grisham (penulis legal thriller), Sidney Sheldon, Agatha
Christie, Danielle Steel, Sir Arthur Conan Doyle, dll.; dan lima penulis wanita paling top
di Indonesia: Marga T., Mira W, Maria A. Sardjono, V. Lestari, dan S. Mara Gd. Di
deretan non-fiksi untuk penulis lokal ada Hermawan Kartajaya, Kwik Kian Gie, Rhenald
Kasali, Husein Umar, Vincent Gaspers, Andreas Harefa, Anand Krishna, Hembing W.,
Nila Chandra, Marry Winata, Rudy Choirudin, dll.; dan untuk penulis asing (terjemahan)
ada: Jack Canfield & Mark Victor Hansen (Seri Chicken Soup for the Soul), John Gray,
Daniel Goleman, John P. Kotter, Joe Girard, Andrew Weil, dll.
27
PT Gramedia Pustaka Utama
Alamat : Jl. Palmerah Barat 33-37, Jakarta 10270
Telepon: (021) 53677834 (hunting) ext. 3251, 3252, 3258
2.3 Data Isi Buku
Berikut ini merupakan data mengenai rencana penyusunan dan pembuatan desain
buku referensi ”Love In Motion” yang bertemakan tentang sebuah tari agung yaitu Tari
Oleg Tambulilingan yang baru
Penulis : Prof. DR I Wayan Dibia, S.S.T, MA
Desainer : Kezia Mariana Winarta
Fotografi : Kezia Mariana Winarta
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Spesifikasi : * ukuran : 25 x 21.5cm
* warna : full color
* cover : hard cover
Tebal : 104 halaman
Harga : Rp 300.000,-
Judul Buku : Love In Motion
>> Cover luar
>> Cover Dalam
>> DIBUKA kata pengantar
>> SELAYANG PANDANG MATA daftar isi
>> ISI
Bab I ---- PENDAHULUAN
28
I.1 Latar Belakang dan masalah
Garis besar mengenai tari Bali
Isi : beberapa foto dan teks sebagai penjelasan singkat
I.2 Tujuan
Tujuan dari pembuatan buku referensi ini
Bab II ---- PENGERTIAN
II.1 Definisi Tari Oleg Tambulilingan
Pengertian tari Oleg Tambulilingan itu sendiri, serta asal usul dan sejarah
Tari Oleg Tambulilingan
Isi : beberapa foto awal mula pembentukan Tari Oleg Tambulilingan
II.2 Pencipta tari Oleg Tambulilingan
Menyuratkan seklumat kisah pencipta tari agung Oleg Tambulilingan
Isi : beberapa foto kisah hidup dan penjelasan singkat
Bab III ---- TARI OLEG TAMBULILINGAN
III.1 Tata rias Tari Oleg Tambulilingan
Kisah bertopengkan kecantikan oleh beberapa polesan serta tahap-tahap
pencapaiannya
Isi : teks singkat dari foto yang berkaitan
III.2 Tata busana Tari Oleg Tambulilingan
Detail tata busana Tari Oleg Tambulilingan dan tahap-tahap
penggunaannya
Isi : foto cara pemakaian perlengkapan busana dan penjelasan singkat
III.3 Gerakan dasar Tari Oleg Tambulilingan
Tahap-tahap gerakan lemah gemulai yang penuh dengan arti yang sakral
29
Isi : foto - foto yang beruntun dan teks singkat
III.4 Gambuh pengiring Tari Oleg Tambulilingan
Musik pengantar kisah cinta Oleg Tambulilingan dengan
perlengkapannya
Isi : foto - foto musik gambuh dan permainannya
>> DITUTUP daftar pustaka, nara sumber
CUPLIKAN REC. TARI OLEG TAMBULILINGAN
2.4 Data Pesaing
Bali Isle of Light – adalah sebuah buku yang menjadi kompetitor dari buku yang
akan dibuat. Hanya saja buku ini menampilkan dan mengulas tentang seluruh
kebudayaan yang ada di Bali. Secara fakta yang ada, buku ini belum bisa memberikan
informasi yang detail bagi para pembacanya, karena tidak ada penjelasan detail dan data
yang up to date Namun fotografi yang ditampilkan sudah cukup menarik tetapi
disayangkan lay out –nya kurang menarik karena terlihat monoton dan kurang ilustratif.
>> Cover buku Bali Isle of Light
30
>>> Lay Out Buku Bali Isle of Light
2.5 Target Sasaran
Target dari publikasi buku ini ada dua target sasaran yaitu, di usia produktif aktif,
yaitu usia 20-37tahun. Target utama adalah pelajar, mahasiswa, pengamat seni yang
mencintai kebudayaan Indonesia khususnya Bali. Karena pada usia produktif seperti
yang sudah disebutkan dapat lebih kritis dalam menghadapi dan menerima sesuatu yang
baru.
2.6 Analisa SWOT
STRENGTH ( KEKUATAN ) :
1. Memberikan informasi dan gebrakan baru terhadap hasil karya seni pertunjukan
Bali
2. Mengembalikan nilai kebudayaan Tari Bali khususnya Tari Oleg Tambulilingan
3. Mempopulerkan setiap gerakan yang mengandung arti dari Tari Oleg
Tambulilingan
4. Bisa menjadi dasar pendidikan dalam bidang Seni Tari
5. Belum pernah dipublikasikannya sebuah buku yang mengangkat salah satu
keindahan dan kemesraan tarian Bali yaitu Tari Oleg tambulilingan
31
WEAKNESS ( KELEMAHAN ) :
1. Tidak dapat mencakup semua jenis seni pertunjukan Tari yang ada sekarang ini
2. Ruang lingkup permasalahan yang diangkat masi sangat spesifik
OPPORTUNITIES ( PELUANG ) :
1. Indonesia sangat buruk dan kurang perhatian dalam hal pendokumentasian suatu
kebudayaan
2. Adanya penyalahgunaan nilai kebudayaan di beberapa organisasi pertunjukan
tari Bali
3. Para wisatawan asing sangat tertarik dengan kehidupan dan kesenian yang ada di
Bali sehingga dapat meningkatkan pendapatan Negara
4. Beberapa penari Bali lambat laun meninggalkan seni budaya pertunjukan Bali
dan lebih memilih untuk mengikuti perkembangan zaman. Dengan adanya buku
ini bisa mengingatkan kembali indahnya kebudayaan sendiri
THREAT ( ANCAMAN ) :
1. Banyaknya kompetitor seperti buku fiksi, majalah, dan lainnya yang lebih
komersial
2. Minat baca masyarakat Indonesia yang rendah
3. Target audiance yang terbatas