25
61 BAB 5 IDENTITAS TERITORIAL DAN RESISTENSI MASYARAKAT HATUNURU Bab ini merupakan temuan empirik lain. Fokus utama bagian ini adalah memberi deskripsi dan melakukan analisa terhadap resistensi yang terjadi di Hatunuru.Resistensi ini lebih kepada upaya dalam mencegah pembukaan perkebunan kelapa sawit di Kecamatan Taniwel Timur, Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB). Masyarakat Hatunuru menggunakan identitas teritorial sebagai landasan melakukan resistensi. Munculnya Identitas Perlawanan di Hatunuru Tahun 2014 silam, Pemerintah Kabupaten SBB merencanakan membuka perkebunan kelapa sawit di Kecamatan Taniwel Timur. Rencana ini merupakan hasil kesepakatan sepihak antara Pemerintah Kabupaten SBB dan pihak investor 28 . Rencana sepihak ini akhirnya menuai penolakan oleh “Persekutuan Adat Sapalewa Batai29 . Atas penolakan itu, rencana sepihak Bupati SBB kemudian diberhentikan. Masih pada tahun yang sama, rencana ini digulirkan kembali. Namun, kali ini para raja dalam Kecamatan Taniwel Timur dilibatkan dalam pertemuan yang digelar di Hotel Aston (sekarang Hotel Natsepa). Per- temuan yang dihadiri para raja, Bupati Kabupaten SBB, Camat, dan investor itu adalah untuk menentukan lokasi pembibitan kelapa sawit. Alhasil dari pertemuan tersebut, Hatunuru kemudian ditunjuk sebagai area pembibitan kelapa sawit, dan diproyeksikan untuk dibangun per- 28 Penulis tidak mengetahui dengan pasti siapa yang disebut sebagai investor, dikarenakan masyarakat Hatunuru juga tidak mengetahui siapa investor tersebut. 29 Persekutuan adat Sapalewa Batai merupakan himpunan negri-negri adat yang berdiri di sekitar sungai Sapalewa. Sapalewa Batai sendiri memiliki arti, batang air Sapalewa.

BAB 5 IDENTITAS TERITORIAL DAN RESISTENSI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16485/5/T2_092014004_BAB V.pdf · dikarenakan masyarakat Hatunuru juga tidak mengetahui siapa

Embed Size (px)

Citation preview

61

BAB 5

IDENTITAS TERITORIAL DAN RESISTENSI

MASYARAKAT HATUNURU

Bab ini merupakan temuan empirik lain. Fokus utama bagian ini

adalah memberi deskripsi dan melakukan analisa terhadap resistensi

yang terjadi di Hatunuru.Resistensi ini lebih kepada upaya dalam

mencegah pembukaan perkebunan kelapa sawit di Kecamatan Taniwel

Timur, Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB). Masyarakat Hatunuru

menggunakan identitas teritorial sebagai landasan melakukan resistensi.

Munculnya Identitas Perlawanan di Hatunuru

Tahun 2014 silam, Pemerintah Kabupaten SBB merencanakan

membuka perkebunan kelapa sawit di Kecamatan Taniwel Timur.

Rencana ini merupakan hasil kesepakatan sepihak antara Pemerintah

Kabupaten SBB dan pihak investor28. Rencana sepihak ini akhirnya

menuai penolakan oleh “Persekutuan Adat Sapalewa Batai”29. Atas

penolakan itu, rencana sepihak Bupati SBB kemudian diberhentikan.

Masih pada tahun yang sama, rencana ini digulirkan kembali. Namun,

kali ini para raja dalam Kecamatan Taniwel Timur dilibatkan dalam

pertemuan yang digelar di Hotel Aston (sekarang Hotel Natsepa). Per-

temuan yang dihadiri para raja, Bupati Kabupaten SBB, Camat, dan

investor itu adalah untuk menentukan lokasi pembibitan kelapa sawit.

Alhasil dari pertemuan tersebut, Hatunuru kemudian ditunjuk sebagai

area pembibitan kelapa sawit, dan diproyeksikan untuk dibangun per-

28

Penulis tidak mengetahui dengan pasti siapa yang disebut sebagai investor, dikarenakan masyarakat Hatunuru juga tidak mengetahui siapa investor tersebut. 29

Persekutuan adat Sapalewa Batai merupakan himpunan negri-negri adat yang berdiri di sekitar sungai Sapalewa. Sapalewa Batai sendiri memiliki arti, batang air Sapalewa.

IDENTITAS TERITORIAL Studi Tentang Identitas Teritorial di Negri Hatunuru

62

usahaan kelapa sawit di Hatunuru30. Melalui salah satu media massa,

Bupati Kabupaten SBB menjelaskan tentang pembukaan kebun kelapa

sawit ini telah disepakati oleh para raja di Kecamatan Taniwel Timur.

Bupati Kabupaten SBB memberi penjelasan terkait per-kebunan kelapa

sawit yang telah disetujui oleh DPRD SBB dalam master plan, dan

segera mungkin dilaksanakan untuk kebutuhan ma-syarakat31.

Sementara di Hatunuru, caretaker raja Hatunuru menjelas-kan bahwa,

kelapa sawit akan dialokasikan pada wilayah-wilayah yang tidak

pernah terjamah oleh aktivitas masyarakat Hatunuru dan atau tidak

mengganggu sumber nafkah masyarakat Hatunuru32.

Berdasarkan instruksi tentang pembukaan perkebunan kelapa

sawit oleh Bupati SBB, maka masyarakat Hatunuru kemudian

melakukan perlawanan. Dua hal yang menjadi alasan kuat masyarakat

Hatunuru melakukan perlawanan adalah; (1) rencana yang tidak

diketahui masyarakat Hatunuru; (2) referensi masyarakat Hatunuru.

Masyarakat Hatunuru Tidak Mengetahui

Ketidaktahuan masyarakat Hatunuru terkait rencana untuk

membuka perkebunan kelapa sawit yang telah digulirkan kembali oleh

para elite SBB, adalah alasan masyarakat Hatunuru melakukan per-

lawanan. Ketidaktahuan ini adalah karena masyarakat Hatunuru tidak

dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Raja Hatunuru (almarhum)

yang mengikuti pertemuan tersebut, tidak melakukan komunikasi

secara sistemik dengan masyarakat Hatunuru atau tidak ada sosialisasi

yang dijalankan oleh perusahaan kelapa sawit di Hatunuru. Masyarakat

Hatunuru baru mengetahui hal tersebut melalui informasi salah

seorang tokoh masyarakat Hatunuru yaitu, Izak Latualia. Izak Latualia

menuturkan bahwa, ia mengetahui hal tersebut ketika hendak kembali

ke Hatunuru dalam perjalanan pulang dari Taniwel menuju Hatunuru.

Ia dicegat oleh para elite SBB untuk sekedar mempertanyakan status

tanah milik Perusahaan Apituley yang mengalami kebangkrutan oleh

sebab kredit macet. Status tanah tersebut telah dikembalikan kepada

masyarakat Hatunuru, karena hanya disewakan. Kemarahan Izak

30

Hasil wawancara dengan EA, 3 Juni 2015 31

Harian Siwalima, edisi September 2014 32

Hasil wawancara dengan MR, 29 Mei 2015

Identitas Teritorial dan Resistensi Masyarakat Hatunuru

63

Latualia mencapai klimaks, ketika para elite SBB mengatakan bahwa

mereka hendak melakukan eksekusi lahan, dan alat untuk melakukan

eksekusi sedang dalam perjalanan dari Ambon menuju ke Hatunuru.

Izak Latualia menolak secara terbuka, kemudian setibanya di Hatunuru,

ia menghimpun masyarakat Hatunuru dan melakukan pertemuan di

kediamannya. Alhasil pertemuan tersebut, masyarakat Hatunuru kemu-

dian sepakat melakukan perlawanan. Berdasarkan hasil wawancara ma-

syarakat kaget dan sangat marah karena tidak mengetahui hal tentang

rencana untuk membuka perkebunan kelapa sawit, berikut penulis

sajikan beberapa penggalan wawancara dengan masyarakat Hatunuru.

Katong kira proyek ni akang su stop. Tau-taunya dong kase jalan akan kombali (Kami mengira proyek ini telah diberhentikan. Tetapi mereka menjalanakannya kembali) (IL, 20 Mei 2015)

Dong (para elite SBB) seng bilang apa-apa tentang sawi ni par katong. Katong seng tau kata sawi ni akang mau jalang di Hatunuru (Mereka tidak mengatakan hal tentang sawit kepada kami. Kami juga tidak mengetahui bahwa sawit akan dijalankan di Hatunuru (BM, 28 Mei 2015)

Raja sa yang tau, barang antua iko pertemuan. Katong seng tau akang (Kepala desa saja yang mengetahui hal ini, karena beliau mengikuti pertemuan.Kami tidak mengetahuinya) (PL, 3 Juni 2015).

Penggalan wawancara tersebut di atas memberi sebuah fakta

bahwa masyarakat tidak mengetahui rencana untuk membuka perke-

bunan kelapa sawit oleh para elite SBB dikarenakan; (1) mereka me-

nyangka rencana tersebut telah diberhentikan; (2) ketiadaan informasi

kepada masyarakat; (3) mereka tidak dilibatkan dalam pertemuan di

Hotel Aston. Berdasarkan pada tidak dilibatkannya masyarakat

Hatunuru dalam pengambilan keputusan, maka raja Hatunuru dituding

sebagai pihak yang paling bertanggung jawab akan hal ini. Sejalan

dengan ini, Coase (dalam Rogers et al, 2008) membenarkan tentang

penting melakukan internalisasi sebagai upaya untuk menolak maupun

menerima kebijakan pembangunan melalui negosiasi maupun

pengambilan keputusan. Masih menurut Coase, masyarakat lokal

adalah kelompok yang memiliki superioritas, apakah akan dimasukan

ataukah diberhentikan, juga ditolak terkait program pembangunan

IDENTITAS TERITORIAL Studi Tentang Identitas Teritorial di Negri Hatunuru

64

dimaksud (Coase dalam Rogers, 2008). Hal ini agar mampu mencegah

eksternalitas negatif, yang pada dasarnya selalu menjadi pekerjaan

rumah melalui pendekatan industrial di negara-negara berkembang.

Ketidaktahuan masyarakat Hatunuru dirasakan penulis adalah

sebagai kesan untuk menutupi dan melakukan eksekusi secara

terselubung oleh para elite SBB. Berangkat pada pernyataan raja dalam

pertemuan tersebut bahwa masyarakat Hatunuru juga telah bersedia,

tetapi tidak dalam kenyataanya. Masyarakat Hatunuru tidak pernah

mengatakan bahwa mereka bersedia melepas lahan mereka demi untuk

kelancaran perkebunan kelapa sawit. Masyarakat Hatunuru malah baru

mengetahuinya ketika lahan hendak dieksekusi. Sejalan dengan ini,

Hardjasoemantri (1998 dalam Litaay, 2014) menggunakan empat alasan

utama masyarakat harus dilibatkan adalah supaya; (1) memberi penge-

tahuan kepada pemerintah agar mampu melihat masalah tertentu; (2)

untuk meningkatkan kesediaan masyarakat untuk menerima keputusan

dan mengurangi potensi konflik; (3) untuk menyediakan perlindungan

hukum dari potensi sengketa di masa mendatang akibat dari perbedaan

pendapat; (4) untuk mendemokratisasikan pengambilan keputusan.

Dalam kenyataan bahwa masyarakat tidak mengetahui akan hal

itu, maka penulis mengestimasikan bahwa identitas perlawanan di

Hatunuru kemudian terbentuk oleh sebab tidak dilibatkannya

masyarakat Hatunuru sebagai decision maker dan policy maker. Oleh

Gramsci (1971), resistensi ini hadir karena komunitas lebih berkenan

pada komunitas yang “kontra hegemoni”. Di Hatunuru sendiri, penulis

menemukan bahwa, kontra hegemoni hadir sebagai respon atas

komunikasi yang tidak dilakukan secara sistemik antara raja dan

masyarakat Hatunuru maupun para elite SBB dan masyarakat

Hatunuru. Oleh karena itu, identitas teritorial lebih berkenan pada

kekuasaan masyarakat Hatunuru secara institusi atau berupa aturan

main dalam hak-hak kepemilikan hutan menjadi basis resistensi.

Klaim-klaim di Hatunuru lebih bermuatan warisan, dengan kata lain

hutan adalah warisan yang diberikan oleh leluhur.

Referensi Masyarakat Hatunuru

Identitas perlawan juga terbentuk oleh referensi masyarakat

Hatunuru. Referensi masyarakat Hatunuru itu sendiri lebih berkenan

Identitas Teritorial dan Resistensi Masyarakat Hatunuru

65

pada dua hal yaitu, pengalaman masyarakat Hatunuru sebagai buruh

perusahaan, dan berikut adalah pengalaman identitas lain di negri Latea. Pertama, referensi grup berdasar pada pengalaman menjadi

buruh perusahaan, dan dirasakan masyarakat Hatunuru sangatlah sulit.

Beberapa masyarakat menceritakan pengalaman mereka sebagai buruh,

dan apabila ingin menjadi buruh maka lahan mereka tidak akan hrus

disewakan dengan harga yang rendah, juga gaji yang didaptkan

sangtlah sedikit. Selain itu, masyarakat merasakan terjajah di negri sendiri. Mereka tidak ingin hal yang sama kembali terulang di

Hatunuru. Memang menurut mereka pada saat itu, perekonomian di

Hatunuru menjadi lebih baik. Memang sempat timbul wacana terkait

perekrutan karyawan perusahaan sawit ini akan memprioritaskan

masyarakat Hatunuru. Namun, mereka mengatakan bahwa hal yang

sama telah mereka dengar dari perusahaan yang lama, dan hasilnya

tidak sejalan dengan ekspektasi masyarakat Hatunuru. Dengan

demikian, mereka melakukan penolakan berdasar pada referensi

mereka sebagai buruh di masa lalu.

Kedua, berangkat pada pengalaman salah satu negri di Pulau

Seram bagian utara, Kabupaten Maluku Tengah yaitu, negri Latea.

Keadaan di Latea diperburuk ketika PT. Nusa Ina Group membuka

perkebunan kelapa sawit di sana. Berdasarkan penuturan masyarakat

Hatunuru, penulis mendapat gambaran bahwa kemiskinan endemik

terjadi di Latea, dan hal ini diperkuat oleh penuturan salah satu

anggota masyarakat Hatunuru yang melihat langsung pohon cengkih

yang kering di Latea, dan juga salah satu anggota masyarakat Hatunuru

yang lain memberi gambaran bagi penulis terkait masyarakat Latea

yang saat itu menjadi buruh cengkih dengan menaiki pohon cengkih

milik masyarakat negri Buria di wilayah Pegunungan Kabupaten SBB.

Dengan demikian, sebelum kelapa sawit ini didiskusikan oleh para elite

SBB dan menentukannya sebagai master plan dalam peningkatan

ekonomi di Kecamatan Taniwel Timur, masyarakat Hatunuru sudah

lebih dahulu mengetahui dampak kelapa sawit. Sejalan dengan ini,

Johnson et al (2002) menggunakan memori kolektif sebagai komponen

yang terkandung dalam identitas teritorial. Maksudnya adalah,

identitas teritorial terbentuk karena memori kolektif yang memberikan

referensi grup, dan bukan referensi diri.

IDENTITAS TERITORIAL Studi Tentang Identitas Teritorial di Negri Hatunuru

66

Memori kolektif di Hatunuru hadir melalui pengalaman grup,

pengalaman ini membentuk referensi grup berkenan pada penolakan

oleh sebab pengalaman sendiri dan pengalaman komunitas lain.

Sehingga ada kesan, identitas teritorial yang hadir melalui pengalaman

grup menjadi kekuatan dalam membangun ideologi penolakan berdasar

pada referensi masyarakat Hatunuru. Selain itu, referensi masyarakat

Hatunuru adalah hadir dalam wajah kosmologi yang menganggap

hutan sebagai “dapur”. Bagi masyarakat Hatunuru, hutan sebagai

“dapur” berkenan pada korelasi budaya, ekonomi, ekologi, kelem-

bagaan, dan sosial. Dengan demikian, muncul kolaborasi referensi di

Hatunuru tentang kelapa sawit yang akan memberi efek negatif. Efek

negatif yang dimaksud yaitu, keterancaman modal teritorial sebagai

hutan yang akan berdampak identitas teritorial, yang mengarahkan

pada kemiskinan endemik. Keterancaman identitas teritorial ini secara

mendasar berkaitan dengan dua hal yaitu, sumber nafkah dan

pemaknaan hubungan alam dan manusia, manusia dan manusia.

Alasan-alasan di atas menjadi kekuatan dalam melakukan

resistensi berdasar pada identitas perlawanan demi melindungi

teritorial mereka. Sebagaimana studi yang dilakukan oleh Paasi (2011),

wilayah dan kekuasaan merupakan faktor konstruksi identitas. Paasi

mendorong pemaknaan konteks kedaerahan melalui sejarah, adalah

kekuatan maupun perbandingan sebagai basis perlawanan.

Gambar 5.1. Resistensi Berbasis Identitas

Identitas Legitimasi Identitas Perlawanan

Resistensi

Hutan hendak

dirampas, tanpa

melibatkan

masyarakat Hatunuru

dalam pengambilan

keputusan.

Terbentuk karena

referensi grup yaitu

pengalaman kolektif

dan memori

kolektif.Selain itu,

berdasarkan hak

kepemilikan hutan.

Identitas Teritorial dan Resistensi Masyarakat Hatunuru

67

Tabel di atas, dibuat oleh penulis sejalan dengan pandangan

Castells (2010). Identitas legitimasi di Hatunuru terjadi karena,

referensi masyarakat Hatunuru terhadap kasus kelapa sawit yang

menimpah negri Latea, sekaligus memori kolektif yang hadir oleh

pengalaman kolektif pada masa lampau terkait pengalaman mereka

sebagai buruh perusahaan. Hal berikut, hutan merupakan warisan yang

membentuk identitas teritorial sebagai masyarakat yang memaknai

hutan sebagai ruang hidup. Ruang hidup itu berkenan pada fungsi

hutan sebagai sumber nafkah, sehingga kesan identitas legitimasi ini

menjadi identitas perlawanan yang hadir oleh sebab diabaikannya

mereka sebagai pembuat keputusan, dan tidak dilibatkan dalam

program pembangunan oleh para elite Kabupaten SBB. Resistensi hadir

sebagai bentuk penolakan terhadap kebijakan ekonomi luar masyarakat

Hatunuru. Dengan demikian, identitas perlawanan di Hatunuru

terbentuk sebagai upaya mencegah, dan melindungi, juga respon

kolektif terhadap kekecawaan oleh kebijakan top-down. Oleh karena

itu, resistensi merupakan upaya yang diberlakukan untuk melindungi

identitas teritorial dari keterancaman.

Dominasi Elite SBB versus Identitas Teritorial

Dominasi elite SBB adalah hadir dengan menghimpun

kekuatan-kekuatan lokal sebagaimana para raja di Taniwel Timur

maupun pemerintah Kecamatan Taniwel Timur. Bupati SBB sengaja

menggunakan otoritas raja-raja di Taniwel Timur agar masyarakat

Taniwel Timur secara umum, dan terkhususnya masyarakat Hatunuru

mau melepaskan lahan demi kelancaran rencana sepihak untuk

membuka perkebunan kelapa sawit dimaksud. Tindakan Bupati SBB

dipatahkan oleh kenyataan yang ada, karena masyarakat Hatunuru

merupakan masyarakat elite di Taniwel Timur. Elite yang penulis

maksud, adalah memiliki kekuasaan dan disegani bahkan dihormati

sebagai kaum kapitalis. Kaum kapitalis ini berdasar pada kepemilikan

lahan yang luas, dan juga turut memberi lahan mereka untuk

masyarakat lain tempati, sebagaimana masyarakat Matapa. Sejalan

dengan ini, Chambers (1983, dalam Chambers, 2013) menyebutnya

sebagai “bias tokoh” atau menemui kaum elite di masyarakat tanpa

IDENTITAS TERITORIAL Studi Tentang Identitas Teritorial di Negri Hatunuru

68

menemui pihak lainnya. Hal ini terjadi di Hatunuru, Bupati SBB hanya

menghadirkan raja Hatunuru tanpa menghadirkan tokoh-tokoh adat

sebagaimana kepala soa di Hatunuru.

Masyarakat Hatunuru sebagai saniri negri33 adalah pemegang

keputusan, dan bukan raja. Keputusan mereka ini adalah mutlak, dan

tidak dapat diganggu gugat. Dengan demikian, masyarakat Hatunuru

menggunakan tiga strategi dalam melakukan perlawanan yaitu,

kekuasaan, etika, dan solidaritas sebagai nilai-nilai lokal di Hatunuru

yang harus diperhitungkan.

Sasi Adat Sebagai Resistensi Berbasis Identitas Teritorial

Kekuasaan di dalam negri Hatunuru merupakan milik soa, dan

bukan raja sebagai otoritas teritinggi di Hatunuru. Soa sebagai

himpunan identitas yang memiliki kesamaan asal-usul, memainkan

peran signifikan dalam resistensi ini. Kekuasaan soa, adalah hadir

melalui klaim-klaim atas hutan yang merupakan milik mereka sebagai

sumber nafkah tiap-tiap mata rumah dalam soa itu, juga sebagai

warisan. Bertolak pada pernyataan informan dari luar masyarakat

Hatunuru, penulis melihat bahwa kekuasaan di Hatunuru menjadi

dasar kuat untuk melawan para elite SBB.

Orang Hatunuru pung tanah basar di Matapa ini. Kalo dong bilang seng bisa bangun perusahaan, ya katong tetap iko dong (Orang Hatunuru memiliki tanah besar di Matapa. Kalau mereka bilang tidak bisa membuka perkebunan kelapa sawit, ya kami harus mengikuti) (OM, 30 Mei 2015)

Pengalaman di masa lalu yang hadir sebagai memori kolektif

melalui penuturan sejarah secara lisan yang diwariskan lintas generasi

memberi jaminan bahwa, kekuasaan di Hatunuru adalah harga mati

dalam hal kepemilikan lahan. Hal ini sejatinya adalah karena ekspansi

yang dilakukan sejak zaman perang saudara di Pulau Seram pada masa

lampau. Berkenan pada pandangan Foucault (1998) yang memberi

kesan kekuasaan tidak selamanya bersifat top-down, tetapi juga

bottom-up. Kekuasaan dari bawah ini menjadi modal perlawanan

berdasar pada integrasi ideologi di Hatunuru maupun masyarakat luar

33

Saniri negri lebih berkenan pada pengambilan kebijakan berdasar pada keputusan masyarakat

Identitas Teritorial dan Resistensi Masyarakat Hatunuru

69

Hatunuru. Integrasi ideologi ini hadir dari dalam Hatunuru melalui

klaim tentang kepemilikan, dan hutan adalah dibernarkan milik

masyarakat Hatunuru sejalan dengan hierarki adat mengenai hak-hak

kepemilikan berdasar pada soa. Ideologi dari luar identitas Hatunuru

menaruh perhatian pada kekuasaan masyarakat Hatunuru yang

notabene adalah kaum tersohor di Kecamatan Taniwel Timur.

Dengan demikian, dominasi elite SBB menjadi lemah karena

secara institusi, baik PERDA Provinsi Maluku maupun UU Nomor 32

Tahun 2004, memberi jaminan bagi kepengaturan budaya lokal dalam

sistem pemerintahan desa. Mengingat, sebelum berdirinya negri, terlebih dahulu soa hadir sebagai kumpulan identitas-identitas yang

menjalankan pemerintahan independen, kemudian membentuk klaim-

klaim terkait hak-hak kepemilikan berdasar pada ekspansi pada masa

perang saudara di Seram. Oleh karena itu, penting memahami

masyarakat Hatunuru bukan melalui otoritas tertinggi di Hatunuru

sebagai raja, melainkan memahami regulasi melalui struktur sosial-adat

yang lebih memiliki kekuasaan di Hatunuru sebagai soa. Pada

akhirnya, resistensi berbasis kekusaan ini terbentuk bukan saja melalui

pandangan masyarakat Hatunuru bahwa hutan adalah milik mereka,

tetapi juga masyarakat lain yang turut membenarkan argumentasi

masyarakat Hatunuru. Sebagaimana dikemukakan oleh Briggs (2005),

terkait pengetahuan lokal sebagaimana adat adalah tantangan bagi

pembangunan yang berdasar pada faktor ekstetnal.

Sebagaimana terus penulis kemukakan bahwa, hutan sejatinya

dalam kosmologi masyarakat Hatunuru dianggap sebagai “dapur”.

“Dapur” merupakan warisan yang dimiliki untuk melakukan kegiatan

berkenan pada makan, minum, dan memberdayakan. Kesan “dapur”

sebagai hutan mencitrai kehidupan masyarakat Hatunuru dalam

melakukan perlawanan. Hal ini bertolak pada dua alasan pertama, yaitu

nilai dan kepercayaan. Nilai ini hadir sebagai etika tentang pelestarian

hutan, sedangkan kepercayaan lebih bermuatan pemaknaan yang

kontekstual menyangkut superioritas hutan yang transenden.

Berbicara mengenai nilai etika tentang pelestarian hutan, maka

tidak dapat dilepaskan oleh kepercayaan lokal yang menganggap hutan

bersifat religio-magis-kosmis. Berdasar pada transfer pengetahuan

IDENTITAS TERITORIAL Studi Tentang Identitas Teritorial di Negri Hatunuru

70

lintas generasi di Hatunuru melalui penuturan lisan dalam mitos

terciptanya Danau Tapala, masyarakat Hatunuru memandang hutan

dalam dua pemahaman yaitu, berkat dan bencana. Berkat memberi

muatan lokal bagi terbentuknya identitas teritorial sebagai identitas

resistensi karena hutan adalah berkat yang leluhur sediakan untuk

dikelola dan sebagai sumber hidup. Sementara hubungannya dengan

bencana adalah melalui ketakutan akan terjadi bencana alam apabila

hutan mengalami pengrusakan, dan itu dinilai sebagai murkah leluhur.

Dengan demikian, tipologi identitas teritorial masyarakat

Hatunuru ini dapat penulis katakan sebagai masyarakat topophilia

(lihat Roca, 2012). Beery et al (2015) menggunakan kajian topophilia

sebagai kesatuan teritorial yang menghubungkan manusia dan alam,

dan atau hubungan manusia dengan alam yang bukan manusia. Oleh

karena itu, identitas teritorial melalui religio-magis-kosmis merupakan

hal yang mendorong masyarakat Hatunuru melakukan resistensi.

Resistensi dilakukan atas dasar kecintaan akan perjuangan leluhur

melalui penghormatan dalam wujud pelestarian hutan, agar tidak

teritimpa musibah.

Sasi adat merupakan komponen keberlanjutan di Hatunuru.

Esensi sasi adat sendiri lebih kepada penutupan wilayah, misalnya

disebutkan Evans et al (1996) tentang sasi sebagai penutupan wilayah

terrestrial (darat) dan sumber daya laut. Selain itu, Patra dan Arifin

(dalam Evans et al, 1996) menyebut sasi sebagai manajemen lokal. Di

Hatunuru sendiri melakukan sasi adat adalah membentuk hubungan

sosial-ekologi melalui pelestarian alam, hubungan ekonomi-ekologi

melalui penutupan SDA sampai pada masa panen tiba, dan religio-

kosmis menyangkut hubungan kepercayaan lokal terkait hutan dapat

mendatangkan bencana sebagai murkah leluhur (suprakultural), dan

untuk itu harus dilindungi.

Sasi pada saat resistensi terjadi dijadikan sebagai salah satu

simbol perlawanan. Perlawanan menggunakan sasi menurut

masyarakat Hatunuru adalah untuk mencegah tindakan nekad para

elite SBB merebut lahan dengan paksa. Paham lokal atau paham

tradisional di Maluku menganggap sasi adalah hal yang tidak dapat

dilanggar apabila diberlakukan, karena akan tertimpah bencana apabila

Identitas Teritorial dan Resistensi Masyarakat Hatunuru

71

dilanggar. Dalam keterkaitannya dengan resistensi, Cox (1993) melihat

resistensi hadir melalui upaya-upaya melakukan boikot sebagai

resistensi non-kekerasan. Bagi penulis, sasi adalah upaya para

pemboikot di Hatunuru. Mereka tidak ingin bekerja sama dengan para

elite SBB, karena berkaitan dengan keberlanjutan sumber nafkah yang

terancam. Selain itu, penulis juga melihat hal ini sebagai modal politik

masyarakat Hatunuru secara komunal, dan modal manusia secara

personal. Dua modal ini saling terkoneksi melalui tindakan,

termanifestasi dalam sasi. Modal politik di Hatunuru melalui sasi adalah

upaya dalam mematahkan kebijakan para elite SBB, sementara modal

manusia berkenan pada pengetahuan lokal mengenai sasi sebagai upaya

perlawanan secara simbolik yang pantang untuk dilanggar. Oleh karena

itu, sasi adat digunakan sebagai implementasi kebijakan masyarakat

Hatunuru yang mencegah kebijakan para elite SBB.

Sumber: Facebook, Elifas Tomix Maspaitella, diunggah tanggal 3 Agustus 2015

Gambar 5.2 Sasi Adat Sebagai Simbol Perlawanan

Pada hakekatnya, esensi perlawanan simbolik ini adalah untuk

melindungi sumber nafkah di Hatunuru.Dalam pandangan identitas

teritorial dan resistensi, perlawanan ini merupakan perlawanan non-

kekerasan yang pada hakekatnya sejalan dengan identitas teritorial

melalui komponen regulasi sosial (Cox, 1993; Paasi, 2011). Sasi sebagai

tindakan non-kekerasan adalah terbentuk karena regulasi sosial itu,

melalui kebijakan tokoh-tokoh masyarakat, BPD, dan gereja dan

masyarakat di Hatunuru dalam pertemuan di rumah Izak Latualia,

mereka sepakat untuk menggunakan sasi adat dalam hal menutup

wilayah-wilayah yang akan dijadikan perkebunan kelapa sawit.

Dengan demikian, sasi adat sebagai simbol perlawanan adalah

konsensus masyarakat dalam menetapkan kebijakan untuk menolak,

IDENTITAS TERITORIAL Studi Tentang Identitas Teritorial di Negri Hatunuru

72

mendiskusikan hal-hal yang berkenan pada pengrusakan hutan, dan

keterancaman sumber nafkah. Kerkvliet (2009) melihat ini sebagai

politik resmi, karena ada upaya mendiskusikan secara komunal antar

masyarakat resistor guna menghindari, menerapkan, menolak

kebijakan terkait alokasi sumber daya. Sasi bukan menjadi perlawanan

sehari-hari, tetapi lebih kepada politik resmi yang berdasar pada

pengetahuan lokal dalam memperjuangkan teritorial di Hatunuru.

Resistensi Berbasis Solidaritas

Resistensi terjadi karena sumber nafkah terintimidasi oleh

sebab dominasi para elite SBB. Ketika sumber nafkah hilang, maka

tidak ada lagi kehidupan saling memberdayakan. Ditambah pula

dengan kehidupan masyarakat Hatunuru sebagai petani lahan kecil

terancam, karena mereka hidup dalam pola subsisten. Selain itu,

mereka tidak ingin menjadi buruh perusahaan kelapa sawit. Menurut

masyarakat, mereka sudah nyaman dengan kehidupan seperti ini, dan

apabila pembangunan dijalankan baiknya menggunakan sumber daya di

Hatunuru sebagai prioritas utama. Penulis menyimpulkan pandangan

mereka terkait resistensi, adalah agar esensi petani hutan tidak hilang,

dan hutan tetap menjadi rekan mereka dalam melakukan aktivitas

sehari-hari.

Dengan demikian, resistensi hadir sebagai upaya dalam

mempertahankan solidaritas di Hatunuru. Resistensi juga merupakan

tindakan kolektif yang hadir berbasis solidaritas antar petani. Resistensi

bukan bersifat sehari-hari, tetapi lebih kepada kelompok yang merasa

identitas teritorialnya terancam, dan saling berintegrasi secara komunal

untuk menolak kebijakan para elite SBB. Sejalan dengan ini, Tilly

(1978) menyebutnya sebagai social forces.

Solidaritas petani Hatunuru sebagai identitas teritorial di

Hatunuru memperkuat tindakan kolektif sebagai perlawanan yang

menjunjung tinggi hak-hak petani lainnya. Dengan demikian, modal

sosial sebagaimana kepercayaan dan nilai solidaritas di Hatunuru

menjadi identitas sosial yang begitu kuat sebagai basis dalam melakukan

resistensi. Malseed (2008) memberi pandangannya bahwa, resistensi

adalah nuansa penerimaan secara komunal. Hal ini sejalan dengan yang

terjadi di Hatunuru. Secara komunal ada nuansa penerimaan, dan

Identitas Teritorial dan Resistensi Masyarakat Hatunuru

73

penerimaan ini adalah untuk mencegah tindakan konversi hutan yang

lebih destruktif dan melindungi sumber nafkah masyarakat Hatunuru

baik petani kapitalis maupun petani lahan kecil atau sebagai satu

komunitas petani Hatunuru.

Peraturan-Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 49/2008 yang sekarang telah diganti dengan P. 89/2014, tentang hutan desa mendefinisikan desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.34

Analisis

Pada akhirnya, kekuasaan, religio-kosmis yang membentuk

etika, dan solidaritas menjadi nilai-nilai teritorial dalam melakukan

perlawanan terhadap para elite SBB. Kekuasaan hadir melalui

kekuasaan adat atau kekuasaan bottom-up yang masyarakat Hatunuru

kumandangkan sejalan dengan legitimasi hutan yang dibenarkan secara

internal maupun eksternal bahwa soa-soa di Hatunuru adalah sebagai

pemegang kebijakan atas hutan. Religio-magis-kosmis membentuk

etika pelestarian hutan berkenan pada hubungan alam dan manusia,

membentuk topophilia35 di kalangan masyarakat Hatunuru, dan

menjauhkan mereka dari bencana alam berangkat pada paham

tradisional. Solidaritas menjadi begitu kuat sebagai social-forces yang

menghindari keterancaman identitas teritorial melalui kebijakan para

elite SBB. Dengan demikian, resistensi di Hatunuru ini merupakan

politik tradisional (lihat Kerkvliet, 2009) dan bukan sebagai resistensi

sehari-hari (lihat Scott, 1989) yang kerap terselubung. Hal ini karena

ada kebijakan sehari-hari melalui kekuasaan adat, etika yang lahir

sebab religio-magis-komis, dan solidaritas, menjadi kebijakan yang

membentuk perlawanan tidak lagi terselubung, tetapi lebih frontal.

Sasi kemudian hadir sebagai upaya perlawanan simbolik

merepresentasikan kekuasaan masyarakat Hatunuru, etika pelestarian

34

http://www.worldagroforestry.org/sea/Publications/files/policybrief/PB0095-15.pdf 35

Istilah Topophilia sendiri pertama kali diperkenalkan oleh Yi Fu Tuan (1974) sebagai kajian geografi humanistik. Topophilia adalah studi mengenai presepsi manusia akan lingkungan melalui sikap dan nilai-nilai (lihat Beery et al, 2015; Roca, 2012)

IDENTITAS TERITORIAL Studi Tentang Identitas Teritorial di Negri Hatunuru

74

hutan, keberlanjutan ekonomi, solidaritas, aturan-aturan yang tidak

boleh dilanggar (kelembagaan), religio-kosmis (topophilia).

Intervensi NGO

Intervensi NGO ini sendiri hadir adalah melalui Angkatan

Muda Protestan Maluku (AM GPM)36, dalam hal ini Pegurus Besar

diketuai oleh, Pendeta Elifas Maspaitella (saat itu). Berikut juga Ikatan

Mahasiswa Makina-Uli (MAULI)37 sebagai kaum akademisi lokal yang

berdomisili di Ambon. Berikut pula salah seorang alumni UKSW yaitu,

Pendeta Maryo Mandjaruni (saat itu sedang vicaris). Mereka ini

kemudian membentuk sebuah gerakan yang diberi nama, Gerakan

SaveNusaIna (selanjutnya penulis singkat GSNI).

GSNI sendiri merupakan salah satu gerakan perpanjangan

tangan dari Gerakan Save Maluku yang saat itu tengah melakukan

advokasi bagi masyarakat di Kepulauan Aru, terkait kebijakan

pembangunan perusahaan tebu di sana. GSNI merupakan gerakan

kontrol sipil dalam hal melakukan advokasi untuk mencegah logging yang mendegradasi hutan tropis di Pulau Seram, yang pada

keyataannya telah rusak oleh PT. Djayanti Group sejak tahun 1972.

Pengrusakan itu pun terjadi tahun 2006 di Seram Utara melalui

perkebunan sawit oleh PT. Nusa Ina Group. Bagi GSNI kelapa sawit

bukanlah komoditas yang tepat di Maluku38.

Bergabungnya NGO merupakan inisiatif masyarakat Hatunuru

ketika Sidang GPM Klassis Taniwel berlangsung pada tahun 2015. Saat

itu, ada salah seorang masyarakat Hatunuru selaku Majelis Jemaat

Hatunuru-Matapa menyampaikan keluhan masyarakat Hatunuru pada

forum. Memang pada saat itu, sedang membahas tentang ekologi di

Taniwel Timur. Dengan penuh tanggung jawab, pihak GPM Klassis

36

AM GPM merupakan organisasi intra GPM yang berorientasi pada pengembangan pemuda di Maluku. AM GPM berbasis pada pemberdayaan, resolusi konflik, dan mitra Pemerintah Maluku dalam penetapan kebijakan-kebijakan publik. 37

MAULI merupakan organisasi yang dibentuk oleh relasi kesamaan identitas sebagai Mahasiswa Taniwel Timur.Saat ini, mereka bedomisili di Ambon sebagai akademisi. 38

Menguraiakan hasil wawancara dengan Pendeta Elifas Maspaitella melalui Facebook Messenger, pada bulan Juli 2015

Identitas Teritorial dan Resistensi Masyarakat Hatunuru

75

Taniwel menjanjikan akan melakukan advokasi bagi masyarakat

Hatunuru terhadap perkebunan kelapa sawit yang hendak

direalisasikan. Sejalan dengan ini, Kerkvliet (2009) menyebutnya

sebagai politik advokasi yaitu, merekrut pihak lain untuk sama-sama

mengecam tindakan yang tidak relevan dengan konteks masyarakat.

Sementara perekrutan ini juga dilihat sebagai tahapan

bureaucratization atau birokratisasi yaitu, menggunakan tenaga

terampil yang memiliki kompetensi dalam mengubah alur perlawanan

menjadi lebih terorganisir (lihat Diani dan De La Porta, dalam

Christiansen, 2009).

Promosi Identitas Teritorial Melalui Media Online

Masyarakat Hatunuru adalah masyarakat yang mampu

mengorganisir resistensi maupun membuka peluang bagi pem-

bangunan. Hal ini hadir melalui perekrutan tenaga terampil sebagai-

mana AM GPM dan MAULI yang turut memberi dukungan bagi resis-

tensi di Hatunuru. Melalui media online, resistensi kemudian berubah

fungsi sebagai ajang promosi teritorial. Pada awalnya, hal ini dilaku-

kan untuk mencari dukungan melalui jumlah masyarakat Maluku

yang menuliskan slogan #SaveNusaIna. Penulis melihat ada kemiripan

dengan studi Turner (2013) yaitu, menjaring dukungan melalui jumlah

followers di internet daripada melakukan kampanye maupun orasi

yang tidak menghasilkan apa-apa. Ketiadaan kampanye maupun orasi

memberi GSNI yang di dalamnya terdapat masyarakat Hatunuru

memiliki nuansa perlawanan yang sangat intelektual dan elegan.

Penulis melihat, muncul dua identitas yang menjadi landasan

promosi sejalan dengan pandangan Bassand dan Guindani (1982,

dalam Filimon et al, 2014) yaitu, identitas defensif dan ofensif.

Gambar 5.3. Skema Promosi Identitas Secara Online

Promosi Secara Online

Identitas Defensif Pembangunan Berkelanjutan

Tradisional

Identitas Ofensif Konsep

Pembangunan Baru Yang Konservatif

IDENTITAS TERITORIAL Studi Tentang Identitas Teritorial di Negri Hatunuru

76

Identitas defensif lebih menginginkan pertanian yang

tradisional, berbasis pengetahuan lokal, maupun kontekstual. Sumber

nafkah dipertaruhkan sebagai ajang promosi teritorial. Promosi

sumber nafkah adalah sebagai strategi keberlanjutan. Berbicara

mengenai sumber nafkah maka tidak dapat dilepaskan oleh eksistensi

modal yaitu, modal sosial, modal finansial, modal manusia, modal

alam, maupun modal fisik (lihat Messer dan Townsley, 2003). Dengan

demikian, keberlanjutan sumber nafkah adalah hal yang penting

untuk diproritaskan guna menjadi warisan kelak. Warisan ini

termanifestasi sebagai identitas teritorial dalam hal; (1) solidaritas

antar petani hutan dan kepercayaan antar petani hutan; (2) hutan

sebagai modal alam maupun fisik. Atas dasar itu, identitas defensif

kemudian dijadikan sebagai basis promosi identitas teritorial.

Peluang promosi adalah ajang masyarakat Hatunuru untuk

memperkenalkan identitas teritorial sebagai sumber daya lokal. Pollice

(2003) memberi hubungan antara identitas dan promosi, dan

Kotak 5.2. Identitas Ofensif

Peluang pembangunan di Hatunuru adalah hadir melalui identitas ofensif. Mereka selain melakukan promosi untuk melindungi, tetapi juga promosi untuk membangun. Gagasan pembangunan dari sekian banyak informan di Hatunuru, erat kaitannya dengan pengembangan pariwisata Tapala maupun SDA lainnya (minus sagu dan umbi-umbian). Mereka menginginkan ada perhatian pada pengembangan lokal dan bukan memaksakan diri pada perekonomian yang asing bagi mereka.

Kotak 5.1. Identitas Defensif

Identitas defensif hadir dalam rangka mempertahankan tradisi maupun budaya pertanian di Hatunuru. Pada dasarnya, identitas defensif merupakan basis promosi identitas teritorial sebagai resistensi. Promosi ini secara mendasar, berangkat pada keberlanjutan sumber nafkah di Hatunuru, dan bukan sebagai strategi bertahan hidup. Mereka memiliki harapan bahwa hutan mesti diwariskan lintas generasi. Dengan demikian, komponen identitas defensif di Hatunuru lebih bersifat tradisional.

Identitas Teritorial dan Resistensi Masyarakat Hatunuru

77

hubungan ini diwakili oleh kemampuan mereka untuk mempromosi-

kan sumber daya wilayah, juga ditambah dengan strategi pem-

bangunan. Sebagaimana dilakukan masyarakat Hatunuru bahwa pen-

ting melakukan pengembangan Tapala dan SDA lainnya sebagai

strategi ekonomi di Hatunuru sebagaimana kakao, kelapa, maupun

kayu putih adalah sangat efektiv daripada memaksakan diri untuk

hidup dalam ekonomi kelapa sawit. Sejalan dengan itu, oleh Ife dan

Tesoriero (2014) konsep tersebut dilihat sebagai konsep perekonomian

masyarakat yang konservatif yaitu, industri lokal maupun pariwisata.

Memang esensi identitas ofensif berujung pada pembangunan yang

lebih inovatif, tetapi bagi penulis identitas ofensif dalam konteks

masyarakat Maluku adalah bersifat mempertahankan tradisi tetapi ada

pembangunan. Sebagai contoh, adalah ekonomi pasar kaget di

Hatunuru hadir sebagai ekonomi konservatif.

Kolaborasi identitas defensif dan ofensif juga dinilai sebagai

kolaborasi gerakan sosial baru dan lama. Gerakan sosial baru lebih

kepada upaya perlawanan berbasis online, dan mengangkat kasus hak

asasi manusia, dan juga keadilan sosial di Hatunuru, maupun ekonomi

dan dampak ekologi. Gerakan sosial lama di Hatunuru hadir melalui

perlawanan simbolik, ancaman terbuka terkait membakar alat-alat

berat, dan paham-paham tradisional (bandingkan dengan Singh, 2010).

Berikut adalah beberapa dokumentasi melalui internet yang penulis

sajikan dalam menggambarkan situasi perlawanan yang lebih frontal,

terorganisir, dan elegan.

Sumber :https://www.youtube.com/watch?v=CGU5nuxeDOY

Gambar 5.4. Pernyataan Sikap Menolak Kelapa Sawit

IDENTITAS TERITORIAL Studi Tentang Identitas Teritorial di Negri Hatunuru

78

Sumber :https://www.youtube.com/watch?v=9dhUyCjUcrk

Gambar 5.5. Penolakan Kelapa Sawit Oleh Salah Seorang Tokoh Masyarakat

Sumber :https://www.youtube.com/watch?v=6LmMb1TAwPk

Gambar 5.6. Penolakan Kelapa Sawit Oleh Salah Seorang Masyarakat

Sumber :https://www.youtube.com/watch?v=dgHijO8kKuo

Gambar 5.7. Penolakan Kaum Perempuan39

39

Perlawanan juga terjadi dan dilakukan oleh kaum perempuan di Hatunuru, mereka meredefinisi posisi mereka dalam perlawanan sebagai kaum petani hutan, yang dalam sehari-hari hidup sebagai agen ekonomi Hatunuru. Hartini (2012) dalam studinya melihat perubahan yang harus perempuan lakukan adalah supaya nantinya mereka

Identitas Teritorial dan Resistensi Masyarakat Hatunuru

79

Beberapa penggalan screenshoot video di atas, penulis ambil

melalui Youtube. Video ini dibuat dan diupload oleh Pendeta Maryo

Mandjaruni, sebagai salah satu aktivis gerakan yang notabene sedang

dalam masa vicaris kala itu. Dalam video-video ini, pernyataan

bervariasi disampaikan oleh masyarakat Hatunuru. Pada gambar

pertama membicarakan tentang penolakan dan ada unsur

mempromosikan sumber daya teritorial. Gambar kedua, ada penolakan

yang difokuskan pada kebertahanan hutan sebagai sumber daya

ekonomi. Sementara gambar ketiga, salah seorang masyarakat

memberikan pandangannya agar kelapa sawit tidak dijalankan karena ia

tidak ingin menjadi buruh pabrik di negri sendiri. Pada gambar

keempat perlawanan juga dilakukan oleh kaum perempuan di

Hatunuru, mereka meredefinisi posisi mereka dalam perlawanan

sebagai kaum petani hutan, yang dalam kehidupan sehari-hari adalah

sebagai agen ekonomi di Hatunuru. Hartini (2012) dalam studinya

melihat perubahan yang harus perempuan lakukan adalah supaya

nantinya mereka memiliki bargaining power, baik dalam lingkup

domestiknya maupun masyarakat. Pemberdayaan perempuan

selanjutnya dikatakan oleh Hartini (2012) adalah dengan melibatkan

mereka dalam upaya pengambilan kebijakan. Dengan demikian,

perempuan di Hatunuru adalah identitas perlawanan yang melakukan

redefinisi diri sebagai kaum perempuan yang berdaya, dan tidak lalu

mengikuti kebijakan para elite SBB, tetapi turut dalam resistensi demi

melindungi identitas proyek lokal sebagai papalele.

Analisis Identitas Teritorial dan Resistensi

Resistensi memberi kontribusi sebagai kebijakan untuk

mencegah ekonomi luar, tetapi juga menjadi kebijakan untuk

memiliki bargaining power, baik dalam lingkup domestiknya maupun masyarakat. Pemberdayaan perempuan selanjutnya dikatakan oleh Hartini (2012) adalah dengan melibatkan mereka dalam upaya pengambilan kebijakan. Dengan demikian, perempuan di Hatunuru adalah identitas perlawanan yang melakukan redefinisi diri sebagai kaum perempuan yang berdaya, dan tidak lalu mengikuti kebijakan para elite SBB, tetapi turut dalam resistensi demi melindungi identitas proyek lokal sebagai papalele.

IDENTITAS TERITORIAL Studi Tentang Identitas Teritorial di Negri Hatunuru

80

melakukan pembangunan di Hatunuru yang lebih terpadu. Hal ini

terbukti oleh promosi sumber daya teritorial melalui internet yang di

satu sisi, resistensi adalah sebagai upaya keberlanjutan sumber nafkah.

Namun, di sisi lain, resistensi adalah juga sebagai upaya dalam

membentuk nilai-nilai ekonomi melalui promosi, dan bersumber pada

nilai-nilai teritorial sebagaimana solidaritas petani hutan dan etika

lingkungan. Dengan melakukan resistensi maka sumber nafkah dapat

menemui titik keberlanjutan bukan dari segi ekonomi semata

melainkan juga melalui hubungan sosial, lingkungan bahkan

kelembagaan.

Gambar 5.8. Hubungan Kosmologi dan Sumber Nafkah Dalam Resistensi

Sebagai Identitas Teritorial

Keberlanjutan sebagai basis resistensi, bertolak pada gaya hidup

masyarakat Hatunuru. Gaya hidup itu dikenal dalam kaitannya dengan

kekhasan sebagai petani hutan. Keberlanjutan sumber nafkah dan

keberlanjutan gaya hidup adalah penting untuk diprioritaskan. Sejalan

dengan ini, Roca (2012) melihatnya sebagai identitas teritorial berbasis

landscape dan lifestyle. Memang dalam pandangan Roca, landscape

Kosmologi

Resistensi Nafkah

Hutan Sebagai

“Dapur”

Pembentukan Nilai-

Nilai

Keberlanjutan

Identitas Teritorial dan Resistensi Masyarakat Hatunuru

81

dikaitkan pada pilihan tentang penataan ruang, dan pilihan itu di

Hatunuru berdasar pada konsensus bersama yang memilih bertahan

pada pertanian sebagaimana sedia kala. Sementara lifestyle adalah

bagaimana hubungan relasional alam dan manusia, juga manusia dalam

kehidupan sosial dipertahankan melalui pertanian yang konservatif

(petani hutan). Dengan demikian, hubungan sumber nafkah dan

resistensi hanya berfokus pada sustainability di Hatunuru, berdasar

pada; (1) keberlanjutan ekonomi (kendati semi-subsisten); (2)

keberlanjutan sosial (hubungan petani yang menjunjung solidaritas); (3)

keberlanjutan ekologi (hutan) dan; (4) keberlanjutan kelembagaan

(hak-hak milik berdasar pada soa).

Demikian juga, kosmologi di Hatunuru yang bermuatan nilai-

nilai teritorial. Pembentukan nilai-nilai teritorial berdasar pada

eksistensi hutan sebagai “dapur”. Pada masa pra-resistensi, masyarakat

Hatunuru hidup berdasar pada hierarki adat dalam hal kepemilikan

lahan, tetapi memiliki dependensi terhadap sesama (petani yang saling

bergantung pada petani lain), dan ketika resistensi berjalan, nilai-nilai

teritorial dengan sendirinya menjadi basis resistensi itu. Pembentukan

nilai-nilai teritorial dalam perlawanan berdasar pada; (1) kekuasaan soa

yang melegitimasi hak-hak kepemilikan, dan memiliki wewenang

dalam kepengaturan fungsionalisme hutan sebagai sumber daya

ekonomi; (2) etika pelestarian hutan yang sejatinya berdasar pada

kepercayaan kosmis terkait superioritas hutan yang dapat

mendatangkan bencana, tetapi di sisi lain dipandang sebagai berkat; (3)

solidaritas mekanik yang terbina di Hatunuru antar petani hutan

memberi jaminan bagi pemberdayaan masyarakat Hatunuru. Ketiga hal

ini membentuk nilai-nilai berkaitan dengan resistensi melalui

kekuasaan soa, kepercayaan hutan yang lebih kosmis, dan solidaritas

sebagai social forces. Sasi adat kemudian menjadi representasi ketiga hal

itu, berkaitan dengan kekuasaan, etika lingkungan, solidaritas.

Oleh karena itu, eksistensi hutan sebagai “dapur” memang

menjadi fokus perlawanan. Fokus ini berdasar pada beberapa hal

berikut; (1) hutan adalah media pemberdayaan perempuan; (2) hutan

adalah media masohi, sebagaimana eksistensi hutan adalah membentuk

solidaritas dalam membangunnya secara masohi (gotong royong); (3)

IDENTITAS TERITORIAL Studi Tentang Identitas Teritorial di Negri Hatunuru

82

hutan memiliki aturan; (4) hutan adalah modal ekonomi; (5) hutan

adalah warisan yang siap diwariskan untuk generasi berikutnya.

Mangapa katong orang Hatunuru bilang, hutan itu dapor. Karena ketika katong pi pagi, sorenya katong pulang deng sagu, ikan, deng sayor dari Tapala. (Mengapa kami orang Hatunuru mengatakan, hutan itu “dapur”.Karena ketika kami pergi pagi, sorenya kami membawa pulang sagu, ikan, dan sayur dari Tapala. (IL, 20 Mei 2015)

Pengalaman Resistensi Sebagai Upaya Penyusunan Program

Pembangunan di Hatunuru Berdasar pada Identitas

Teritorial

Berangkat pada pengalaman resistensi di Hatunuru maka adalah

penting menggunakan strategi-strategi dalam penyusunan program

pembangunan. Strategi-strategi ini pada dasarnya menggunakan

konsep-konsep kebijakan sebagaimana dijelaskan di bawah ini.

Konsep Administrator

Konsep ini berangkat pada studi Kaifeng Yang (2006) dengan

melihat bagaimana administrator sebagai mediasi pembangunan

berbasis integrasi kebijakan antar institusi. Menurut Yang (2006),

adalah penting memilih administrator yang memiliki kompetensi,

loyalitas, dan dedikasi bagi pengembangan pedesaan. Yang (2006)

memberi pandangan terkait dua institusi yaitu, institusi lokal dan

eksternal dalam satu komponen pembangunan berbasis kebijakan lokal

dan eksternal, dan saling melengkapi guna terciptannya pembangunan

yang sejalan dengan konteks.

Kenyataan yang terjadi di Hatunuru, kebijakan menjadi awal

mula resistensi. Kegagalan sinergi Pemerintah Hatunuru, Majelis

Jemaat, dan Dewan Guru sebagai Tiga Batu Tungku (TBT) adalah

melalui ketiadaan komunikasi yang sistemik. Kerkvliet (2009) menilai

ketiadaan komunikasi sistemik ini adalah awal mula resistensi terjadi.

Dengan demikian, kegagalan TBT adalah kegagalan intitusi dominan

di Hatunuru dalam hal regulasi sosial berbasis kebijakan.TBT malah

mendukung perlawanan dan terpecah dalam dua kubu yang penulis

Identitas Teritorial dan Resistensi Masyarakat Hatunuru

83

sebut pro dan kontra hegemoni. Pemerintah Hatunuru mendapat

tekanan untuk merealisasikan janji, tetapi Gereja menentang hal itu

dan mendukung masyarakat Hatunuru melakukan resistensi.

Penting membangun gagasan administrator di Hatunuru

adalah dirasakan baik, agar mampu mewujudkan pembangunan yang

berdasar pada kebutuhan, dan paling penting agar hubungan

Hatunuru dan Pemerintah Kabupaten SBB tetap terjaga dengan

harmonis. Mengingat telah ada kesenjangan dalam tubuh lokal

maupun luar komunitas antara masyarakat Hatunuru dan Pemerintah

Hatunuru, Gereja dan Pemerintah maupun masyarakat Hatunuru dan

Pemerintah Kabupaten SBB. Dengan demikian, administrator ini erat

kaitannya dengan policy maker atau sewaktu-waktu menjadi ajang

politik resmi dalam hal menghindari, mengubah, menetapkan, dan

menolak hal-hal yang berkaitan dengan alokasi sumber daya (Yang,

2006; Kerkvliet, 2009).

Penting Melakukan Internalisasi

Resistensi terjadi karena lemahnya internalisasi di Hatunuru.

Sebagaimana Coase (dalam Rogers et al, 2008) memberikan

pandanganya tentang internalisasi yang identik dengan negosiasi

maupun pengambilan keputusan. Memang pada kenyataaanya,

masyarakat Hatunuru tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan.

Hal ini mendorong upaya perlawanan sebagai protes atas keputusan

sepihak yang sewaktu-waktu menimbulkan eksternalitas negatif.

Pertama, internalisasi dibutuhkan agar ada penciptaan

pengetahuan sejalan dengan identitas teritorial di Hatunuru. Kedua,

internalisasi dilakukan agar masyarakat mampu menegosiasikan,

menolak, maupun menerima program pembangunan yang hendak

dijalankan. Ketiga, internalisasi adalah upaya pembangunan

masyarakat (community development) dalam hal melibatkan

masyarakat sebagai pembuat kebijakan dan di dalamnya terkandung

regulasi sosial. Hal ini agar tidak terjadi bias oleh orang luar komunitas

dalam memandang masyarakat, dan juga agar ada perlindungan

hukum, menghindari potensi konflik di masa mendatang, upaya

mendemokratisasikan keputusan, dan juga melihat masyarakat berdasar

IDENTITAS TERITORIAL Studi Tentang Identitas Teritorial di Negri Hatunuru

84

pada identitas mereka(Chambers,2013; Hardjasoemantri, 1998 dalam

Litaay, 2014; Finley, 2010).

Identitas Teritorial Sebagai Basis Pembangunan

Berangkat pada pengalaman resistensi di Hatunuru, identitas

teritorial terbentuk karena keberlanjutan dan nilai-nilai, dan hal

tersebut menjadi landasan resistensi. Keberlanjutan ekonomi, ekologi,

budaya, maupun sosial merupakan alasan utama resistensi sendiri

terjadi di Hatunuru. Selain itu, nilai-nilai sebagaimana kekuasaan lokal,

etika pelestarian lingkungan, dan solidaritas petani menjadi satu set

kebijakan masyarakat Hatunuru dalam melakukan perlawanan berbasis

identitas teritorial.

Penting melakukan pembangunan adalah juga dengan melihat

komponen modal teritorial dan identitas di Hatunuru maupun Taniwel

Timur secara umum. Hal-hal yang penting untuk diberlakukan adalah,

menggunakan esensi integrasi sosial bukan saja dengan masyarakat

Hatunuru tetapi juga masyarakat luar Hatunuru guna memanfaatkan

identitas teritorial sebagai identitas regional dalam hal; (1) hubungan

sosial, di dalamnya terkandung modal sosial melalui hubungan tenaga

kerja yang saling memberdayakan antar petani di Taniwel Timur

melalui pertanian yang sedapat mungkin mampu dikomersialisasikan;

(2) ekonomi, di dalamnya muncul peran masyarakat Taniwel Timur

sebagai traditional market society yang saling mendukung, agar

kegagalan pasar tidak terjadi melainkan keberagaman SDA di Taniwel

Timur dijadikan prioritas ekonomi sebagai kekuatan identitas teritorial;

(3) ekologi, di dalamnya ada nuansa penerimaan komunal di Taniwel

Timur terkait kepercayaan lokal dalam melestarikan alam; (4) budaya,

di dalamnya terkandung keberagaman sumber nafkah lokal yang patut

untuk dikolaborasikan menjadi identitas teritorial di Taniwel Timur

yang padat karya; (5) kelembagaan, di dalamnya memberi nuansa saling

menghargai kebiasaan antar masyarakat di Taniwel Timur, dan melihat

SDA sebagai milik bersama yang patut untuk dilindungi dan dikelola

bersama guna membentuk identitas teritorial.

Berangkat pada studi Thuesen dan Nielsen (2014) pada

pedesaan di Denmark terkait integrasi masyarakat pedesaan, adalah

dengan bagaimana identitas teritorial menjadi media integrasi lima

Identitas Teritorial dan Resistensi Masyarakat Hatunuru

85

desa melalui Local Action Group (LAGs). LAGs memberi jaminan

kepada masyarakat dalam hal pengambilan keputusan yang demokratis

secara bottom-up, kemudian melakukan kerja sama dengan governance

dalam menyusun program pembangunan. Bertolak pada pengalaman

LAGs, maka esensi identitas teritorial harus dibenahi di Hatunuru

maupun Taniwel Timur agar ada integrasi secara menyeluruh meliputi

identitas regional Taniwel Timur. Hal ini harus dilakukan agar ada

kekhasan, dan bukan menjadi perbedaan melainkan kesamaan, dan

juga sebagai identitas proyek (lihat Castells, 2004).