19
65 BAB 6 PEMBAHASAN 6.1 Analisis Univariat 6.1.1 Pengetahuan Ayah Berdasarkan jumlah sampel yaitu sebanyak 95 responden diantaranya ayah yang memiliki pengetahuan yang kurang yaitu sebanyak 79 orang (83,2%), sedangkan ayah yang memiliki pengetahuan yang cukup sebanyak 11 orang (11,6%) dan ayah yang memiliki pengetahuan yang baik sebanyak 5 orang (5,3%). Hasil penelitian ini diperoleh pengetahuan ayah yang terbanyak di Kecamatan Muara Satu adalah kurang yaitu sebanyak 79 orang (83,2%). Penelitian ini juga sama halnya dengan penelitan lainnya didapatkan bahwa responden yang memiliki pengetahuan baik masih sangat sedikit (25,6%). Kurangnya memperoleh informasi gizi dari penyuluhan petugas kesehatan dapat menjadi salah satu penyebab kurangnya pengetahuan responden, selain itu tingkat pengetahuan responden dapat

BAB-6

Embed Size (px)

DESCRIPTION

ji

Citation preview

75

BAB 6PEMBAHASAN

6.1 Analisis Univariat6.1.1 Pengetahuan Ayah Berdasarkan jumlah sampel yaitu sebanyak 95 responden diantaranya ayah yang memiliki pengetahuan yang kurang yaitu sebanyak 79 orang (83,2%), sedangkan ayah yang memiliki pengetahuan yang cukup sebanyak 11 orang (11,6%) dan ayah yang memiliki pengetahuan yang baik sebanyak 5 orang (5,3%). Hasil penelitian ini diperoleh pengetahuan ayah yang terbanyak di Kecamatan Muara Satu adalah kurang yaitu sebanyak 79 orang (83,2%). Penelitian ini juga sama halnya dengan penelitan lainnya didapatkan bahwa responden yang memiliki pengetahuan baik masih sangat sedikit (25,6%). Kurangnya memperoleh informasi gizi dari penyuluhan petugas kesehatan dapat menjadi salah satu penyebab kurangnya pengetahuan responden, selain itu tingkat pengetahuan responden dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya tingkat pendidikan. Semakin tinggi pendidikan semakin tinggi pula kesadaran terhadap pentingnya kesehatan (Octaviani, 2012)Berdasarkan penelitian lainnya menyatakan bahwa pendidikan sangat mempengaruhi seseorang terhadap pengetahuan yang dimilikinya dimana melalui pendidikan maka seseorang akan dapat memperoleh pengetahuan dan dapat menghasilkan perubahan perilaku kearah yang lebih baik. Pendidikan formal dari responden sering kali mempunyai manfaat yang positif dengan pengembangan pola konsumsi makanan dalam keluarga. Beberapa studi menunjukkan bahwa jika pendidikan dari responden meningkat maka pengetahuan nutrisi dan praktek nutrisi bertambah baik namun seseorang dengan pendidikan rendah belum tentu kurang mampu menyusun makanan yang memenuhi persyaratan gizi dibandingkan dengan orang lain yang berpendidikan lebih tinggi karena sekalipun berpendidikan rendah kalau orang tersebut rajin mendengarkan atau melihat informasi gizi bukan mustahil pengetahuan dan perilaku tentang gizinya akan lebih baik (Fauziah, 2013)Fauziah (2103) juga menyatakan bahwa status sosial ekonomi mempengaruhi seseorang terhadap kehidupannya termasuk juga pemenuhan kebutuhan akan pendidikan sehingga cenderung berakibat terhadap pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang. Sosial ekonomi yang cukup diharapkan cenderung dapat meningkatkan pengetahuan responden tentang kadarzi dalam keluarga. Status sosial ekonomi keluarga juga menjadi faktor dominan yang berhubungan perilaku kadarzi pada keluarga karena pendapatan keluarga sangat berhubungan dengan masih rendahnya indikator perilaku kadarzi yaitu memberi makan yang beranekaragam pada balita sebagai indikator keragaman konsumsi keluarga.6.1.2 Sikap Ayah Berdasarkan jumlah sampel yaitu sebanyak 95 responden menunjukkan bahwa ayah yang memiliki sikap negatif sebanyak 4 orang (4,2%) dan ayah yang memiliki sikap positif sebanyak 91 orang (95,8%). Hasil penelitian diperoleh bahwa sikap ayah yang terbanyak di Kecamatan Muara Satu adalah positif yaitu sebanyak 91 orang (95,8%). Hal ini didukung oleh penelitian sebelumnya faktor-faktor yang mempengaruhi sikap diantaranya faktor internal yang meliputi motif, faktor psikologis, faktor fisiologis dan faktor eksternal yang meliputi pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media massa, lembaga pendidikan, selain itu sikap merupakan komponen-komponen kognitif yang saling berinteraksi dalam memahami, merasakan dan berperilaku terhadap suatu objek di lingkungan sekitarnya (Fajryani, 2012). Penelitian lain yang telah dilakukan oleh Ningsih (2007) menyatakan bahwa sikap seseorang sering diperoleh dari pengalaman sendiri ataupun orang lain yang paling dekat, walaupun seseorang mempunyai pengetahuan tentang gizi yang kurang belum tentu mempunyai sikap yang kurang pula tentang gizi, selain dipengaruhi pengalaman pribadi, sikap juga dipengaruhi oleh kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media massa, institusi atau lembaga tertentu serta faktor emosi dalam diri individu yang bersangkutan.6.1.3 Perilaku Ayah Berdasarkan jumlah sampel yaitu sebanyak 95 responden menunjukkan bahwa ayah yang memiliki perilaku kurang baik sebanyak 72 orang (75,8%) dan ayah yang memiliki perilaku baik sebanyak 23 orang (24,2%). Hasil penelitian ini didapatkan ayah yang berperilaku kurang baik lebih banyak ditemukan yaitu sebanyak 72 orang (75,8%). Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan/perilaku, sehingga dalam mewujudkan sikap menjadi perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Octaviani (2012) ditemukan masih rendahnya perilaku terhadap penimbangan anak balita ke posyandu secara teratur (56,4%). Hal ini disebabkan karena posyandu tidak aktif dilaksanakan setiap bulannya, terlihat selama 6 bulan terakhir hanya dilkasanakan 4 kali. Perilaku menimbang anak dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti keadaan anak yang tidak memungkinkan dibawa ke posyandu (sakit) dan kesibukan keluarga. Indikator kadarzi yang yang paling banyak dilakukan adalah perilaku konsumsi suplemen sesuai anjuran tablet darah saat hamil dan kapsul vitamin A dosis tinggi (89,7%). Perilaku kader yang mengantar kapsul vitamin A dosis tinggi untuk balita yang tidak datang ke posyandu pada bulan Februari dan Agustus merupakan faktor penguat perilaku konsumsi suplemen sesuai anjuran. Indikator yang sudah banyak dilakukan setelah indikator konsumsi suplemen sesuai anjuran yaitu penggunaan garam beryodium (84,6%) mineral yodium yang terdapat dalam garam sangat penting bagi pertumbuhan manusia. Berdasarkan hasil laboratorium dari 4 merek garam yang di gunakan ditingkat rumah tangga kadar yodim dalam garam sebesar 41,9 ppm, 39,1 ppm, 27,5 ppm dan 57,1 ppm. Berdasarkan hasil tersebut hanya 1 merek garam yang mengandung yodium kurang dari 30 ppm sehingga kurang memenuhi syarat kandungan yodium 30-80 ppm. Hal ini mungkin disebabkan cara penyimpanan garam yang kurang baik di warung sehingga mempengaruhi kadar yodium dalam garam.Indikator yang belum banyak dilakukan responden adalah konsumsi makanan beraneka ragam (23,1%). Perilaku konsumsi makanan beraneka ragam ini erat kaitannya dengan kebutuhan pangan juga dipengaruhi oleh pendapatan. Pada masyarakat yang mempunyai pendapatan rendah, permintaan lebih besar terhadap bahan makanan yang tinggi kandungan energi dan karbohidrat mengkonsumsi makanan beraneka ragam sangat baik untuk melengkapi zat-zat gizi yang diperlukan oleh tubuh, akibat tidak mengkonsumsi makanan beraneka ragam, maka akan terjadi gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada balita. Indikator yang rendah berikutnya adalah pemberian ASI ekslusif yaitu hanya sebanyak 7%. Salah satu faktor kendala pemberian ASI ekslusif yaitu ibu bekerja, selain itu alasan kenapa ASI ekslusif tidak terjalankan dengan baik adalah ibu memberi makanan pendamping ASI sebelum waktunya agar tidak menangis ketika ditinggal bersama neneknya.6.1.4 Pendidikan Ayah Berdasarkan jumlah sampel yaitu sebanyak 95 responden menunjukkan bahwa ayah yang tidak sekolah terdiri dari 1 orang (1,1%), ayah yang berpendidikan D3 yaitu sebanyak 3 orang (3,2%), ayah yang berpendidikan S1 terdiri dari 6 orang (6,3%), ayah yang berpendidikan S2 hanya terdapat 1 orang ( 1,1%), ayah yang berpendidikan SD sebanyak 22 orang (23,2%), ayah yang berpendidikan SMA terdiri dari 38 orang, dan ayah yang berpendidikan SMP terdapat sebanyak 24 orang (25,3%). Fauziah (2013) menyatakan bahwa pendidikan terbagi atas 3 yaitu pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Pendidikan dasar terdiri dari: SD (Sekolah Dasar)/MI (Madrasah Ibtidaiyyah), SMP (Sekolah Menengah Pertama)/ MTs (Madrasah Tsanawiyah). Pendidikan menengah terdiri dari: SMA (Sekolah Menengah Atas), SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) dan sederjatnya. Pendidikan tinggi tediri dari: akademi, politeknik, sekolah tinggi, institute atau universitas dan sejenisnya. Penelitian di atas didapatkan bahwa pendidikan ayah yang terbanyak adalah pendidikan dasar yaitu sebanyak 46 orang (48,2%) yang terdiri dari pendidikan SD dan SMP. Hal yang sama ditemukan dalam penelitian Syafli (2011) yang menyatakan bahwa secara umum persentase terbesar tingkat pendidikan orang tua berada pada kelompok tingkat pendidikan rendah (tamat SMP), yaitu 46.7%, sedangkan persentase terkecil berada pada kelompok tingkat pendidikan tinggi (tamat perguruan tinggi / akademi) yaitu sebesar 10.4%. Pendidikan merupakan salah satu faktor penentu dalam kaitannya dengan partisipasi seseorang untuk berperilaku hidup sehat. Faktor yang memengaruhi pendidikan seseorang ialah: usia, sosial ekonomi, lingkungan, pekerjaan. 6.1.5 Pekerjaan Ayah Berdasarkan data di atas dari 95 ayah diantaranya yang tidak bekerja berjumlah 8 orang (8,4%) dan ayah yang bekerja yaitu 87 orang (91,6%). Status penghasilan berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan maupun pencegahannya. Seseorang dapat memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada mungkin karena tidak ada cukup uang untuk membeli obat, membayar transport dan sebagainya (Notoatmodjo, 2009). Kehidupan seorang sangat ditunjang oleh kemampuan ekonomi keluarga, sebuah keluarga yang berada digaris kemiskinan akan sangat mustahil untuk memenuhi kebutuhan dalam upaya meningkatkan pelayanan kesehatan pada keluarga. Orientasi keluaraga adalah kebutuhan fisiologis yang dibutuhkan sehari-hari sedangkan kesehatan baru mendapat perhatian apabila telah mengganggu aktifitas mereka sehari-hari (Notoatmodjo, 2009). 6.1.6 Umur AyahBerdasarkan data di atas menunjukkan bahwa ayah yang memiliki rentang umur remaja akhir hanya terdiri dari 1 orang (1,1%), ayah yang memiliki rentang umur dewasa awal sebanyak 45 orang (47,4%), ayah yang memiliki rentang umur dewasa akhir yaitu terdiri dari 9 orang (9,5%), ayah yang memiliki rentang umur dewasa pertengahan yaitu sebanyak 40 orang (42,1%). Kisaran umur ayah yang terbanyak adalah dewasa awal yaitu sebanyak 45 orang (47,4%). Penelitian ini berbeda dengan yang dilakukan oleh Syafly (2011) yang menyatakan bahwa Sebagian besar orang tua (64.8%) termasuk kategori umur dewasa pertengahan Fauziah (2013) menyatakan bahwa teori perkembangan psikososial tahap perkembangan manusia menurut umur (dewasa) dibagi menjadi 3 tahap yaitu: dewasa awal yaitu umur 21-35 tahun, usia pertengahan yaitu umur 36-45 tahun, dan dewasa akhir yaitu umur di atas 45 tahun. Umur berpengaruh terhadap psikis seseorang dimana usia muda sering menimbulkan ketegangan, kebingungan, rasa cemas dan rasa takut sehingga dapat berpengaruh terhadap tingkah lakunya. Biasanya semakin dewasa maka cenderung semakin menyadari dan mengetahui tentang permasalahan yang sebenarnya. Semakin bertambah umur maka semakin banyak pengalaman yang diperoleh, sehingga seseorang dapat meningkatkan kematangan mental dan intelektual sehingga dapat membuat keputusan yang lebih bijaksana dalam bertindak.

6.1.7Jumlah Balita, Bayi, Ibu Hamil, Ibu NifasBerdasarkan data di atas menunjukkan bahwa ayah yang memiliki balita yaitu sebanyak 56 orang (58,9%), ayah yang memiliki bayi sebanyak 14 orang (14,7%), ayah yang memiliki ibu hamil terdiri dari 17 orang (17,9%), dan ayah yang memiliki ibu nifas yaitu berjumlah 8 orang (8,4%). Penelitian ini paling banyak dilakukan pada ayah yang memiliki balita yaitu sebanyak 56 orang (58,9%).

6.2 Analisis Bivariat6.2.1 Hubungan Pengetahuan Ayah dengan Perilaku Keluarga Sadar Gizi Berdasarkan hasil tabel silang (cross tabulation) 5.4, menunjukkan bahwa dari 79 orang (83,2%) ayah yang memiliki pengetahuan baik sebanyak 59 orang (74,7%) diantaranya memiliki perilaku Kadarzi yang kurang baik dan 20 orang (25,3%) memiliki perilaku Kadarzi yang baik, selanjutnya ayah yang memiliki pengetahuan cukup yaitu sebanyak 11 orang (11,6%), 8 orang (72,7%) diantara memiliki perilaku Kadarzi yang kurang baik dan 3 orang ( 27,3%) diantaranya memiliki perilaku Kadarzi yang baik dan dari 5 orang ayah yang memiliki pengetahuan yang baik ke-5 diantaranya memiliki perilaku Kadarzi yang kurang baik. Berdasarkan uji statistik Chi-Square dan convidence interval 95% (derajat kemaknaan 0,05) yang telah dilakukan, diperoleh hasil analisis hubungan variabel pengetahuan ayah dengan perilaku keluarga sadar gizi diperoleh nilai p value (nilai signifikansi) 0,426 > p = 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa H0 diterima, yang berarti tidak ada hubungan yang bermakna secara statistik antara kedua variabel tersebut.Hasil ini tidak sesuai dengan penelitian sebelumnya Ningsih (2007) yang menyatakan adanya hubungan pengetahuan responden dengan terpenuhinya indikator Kadarzi di dalam rumah tangga tersebut, semakin tinggi pengetahuan seseorang semakin baik pula pemnuhan indikator Kadarzi dalam rumah tangga, tetapi ada penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Octaviani (2012), tidak terdapat hubungan pengetahuan responden dengan perilaku Kadarzi. Tidak adanya hubungan ini mungkin dapat dikaitkan dengan tingkatan pengetahuan responden dimana responden hanya dapat mengingat suatu materi yang dipelajari pada kondisi sebenarnya (aplikasi). Umumnya ayah memiliki pengetahuan yang kurang mengenai Kadarzi meskipun ada beberapa ayah yang memiliki pengetahuan yang baik tetapi itu tidak membuktikan bahwa ayah yang memiliki pengetahuan yang baik untuk menerapkan perilaku Kadarzi di dalam sebuah rumah tangga. Sebagian besar keluarga juga menganggap asupan makanannya selama ini cukup memadai karena tidak ada dampak buruk yang mereka rasakan. Sebagian keluarga juga mengetahui bahwa ada jenis makanan yang lebih berkualitas, namun mereka tidak ada kemauan dan tidak mempunyai ketrampilan untuk penyiapannya, selain itu pendapatan juga mempengarui perilaku Kadarzi dimana salah satu indikator Kadarzi adalah menkonsumsi makanan beraneka ragam yang erat kaitannya dengan kebutuhan pangan yang dipengaruhi juga oleh pendapatan.6.2.2 Hubungan Sikap Ayah dengan Perilaku Keluarga Sadar Gizi Berdasarkan hasil tabel silang (cross tabulation) 5.5 di atas, menunjukkan bahwa dari 4 orang ayah yang memiliki sikap negatif 2 orang (50%) diantaranya memiliki perilaku Kadarzi yang kurang baik dan selebihnya memiliki perilaku Kadarzi yang baik dan 91 orang ayah yang memiliki sikap positif 70 orang (76,9%) diantaranya memiliki perilaku Kadarzi yang kurang baik serta 23 orang (24,2%) diantaranya memiliki perilaku Kadarzi yang baik. Berdasarkan uji statistik Chi-Square dan convidence interval 95% (derajat kemaknaan 0,05) yang telah dilakukan, diperoleh hasil analisis hubungan variabel sikap ayah dengan perilaku keluarga sadar gizi diperoleh nilai p value (nilai signifikansi) 0,246 > p = 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa H0 diterima, yang berarti tidak ada hubungan yang bermakna secara statistik antara kedua variabel tersebut.Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Ningsih (2007) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara sikap tentang Kadarzi dengan status Kadarzi. Hubungan tersebut bermakna dengan kategori rendah (r = 0,300 ; p < 0,05). Semakin positif sikap responden tentang Kadarzi maka akan semakin besar kemungkinan untuk melaksanakan indikator Kadarzi, sebaliknya semakin negatif sikap responden tentang Kadarzi maka akan semakin kecil kemungkinan untuk melaksanakan indikator Kadarzi. Banyak hal yang membuat sikap tidak berhubungan dengan penerapan perilaku Kadarzi karena masih ada faktor lain yang sangat mempengaruhi perilaku Kadarzi ini diterapkan dalam rumah tangga, selain dari sikap yang positif dibutuhkan juga pengetahuan yang baik dan hal yang sangat penting lainnya ialah ekonomi yang juga merupakan salah satu penunjang untuk mencapai perilaku Kadarzi yang baik.

6.3 Keterbatasan Penelitian 1. Banyak faktor yang memengaruhi sebuah keluarga untuk dapat berperilaku keluarga sadar gizi dan di sini peneliti hanya meneliti pengetahuan dan sikap yang mempengaruhi perilaku Kadarzi saja sedangkan faktor-faktor lainnya seperti: ekonomi, lingkungan dan lain lain tidak diteliti 2. Keterbatasan kondisi saat mewawancarai responden juga mempengaruhi responden dalam menjawab dengan baik dan benar, seperti: keributan dan kesibukan sehari-hari 3. Keterbatasan selanjutnya ialah ayah yang tidak mau tahu hal-hal yang berkaitan dengan gizi dalam rumah tangga dan menganggap bahwa ibulah satu-satunya yang tahu akan semua hal yang berhubungan dengan peningkatan gizi dalam rumah tangga, sehingga pada saat ditanyakan mengenai perilaku Kadarzi banyak ayah yang menjawab tidak tahu padahal bisa saja hal itu sudah dilakukan tetapi karna ayah yang kurang perhatian terhadap peningkatan gizi dalam rumah tangga, sehingga menyebabkan nilai skor yang didapatkan ayah mengenai perilaku Kadarzi kurang baik meskipun banyak ayah yang memiliki sikap positif dalam peningkatan perilaku Kadarzi ini.