22
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Anemia pada wanita hamil merupakan masalah kesehatan yang dialami oleh wanita di seluruh dunia, terutama di negara berkembang. Anemia adalah suatu keadaan adanya penurunan kadar hemoglobin, hematokrit, dan atau jumlah eritrosit dibawah nilai normal. Peningkatan volume plasma pada ibu hamil menyebabkan terjadinya hemodilusi, sehingga terjadi penurunan hematokrit (20-30%), yang mengakibatkan kadar hemoglobin dan hematokrit lebih rendah daripada keadaan tidak hamil (Muhamad Riswan, 2003; Cunningham, 2005). WHO melaporkan bahwa prevalensi anemia pada kehamilan di dunia adalah sebesar 55% dan cenderung meningkat sesuai dengan bertambahnya usia kehamilan. Penelitian Thanglela dkk. di India menyebutkan 70,4% dari 1040 wanita hamil menderita anemia, dengan distribusi 23% anemia ringan, 38,2% anemia sedang, dan 9,2% anemia berat. Di Indonesia, prevalensi anemia pada ibu hamil berkisar 20-80% (Muhammad Riswan, 2003; Ridwan Amiruddin dan Wahyuddin, 2003). Kriteria anemia pada kehamilan menurut organisasi kesehatan dunia (WHO) adalah Hb kurang dari 11 gr/dl. Sedikit berbeda dengan WHO, The centers for Disease Control and Prevention (CDC) menyebutkan kriteria anemia adalah Hb kurang dari 11 gr/dl untuk trimester I dan III, serta Hb kurang dari 10,5 gr/dl untuk trimester II. 1

Bab Anemia

  • Upload
    mery

  • View
    219

  • Download
    0

Embed Size (px)

DESCRIPTION

anemia

Citation preview

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Anemia pada wanita hamil merupakan masalah kesehatan yang dialami oleh wanita

di seluruh dunia, terutama di negara berkembang. Anemia adalah suatu keadaan adanya

penurunan kadar hemoglobin, hematokrit, dan atau jumlah eritrosit dibawah nilai normal.

Peningkatan volume plasma pada ibu hamil menyebabkan terjadinya hemodilusi,

sehingga terjadi penurunan hematokrit (20-30%), yang mengakibatkan kadar hemoglobin

dan hematokrit lebih rendah daripada keadaan tidak hamil (Muhamad Riswan, 2003;

Cunningham, 2005).

WHO melaporkan bahwa prevalensi anemia pada kehamilan di dunia adalah sebesar

55% dan cenderung meningkat sesuai dengan bertambahnya usia kehamilan. Penelitian

Thanglela dkk. di India menyebutkan 70,4% dari 1040 wanita hamil menderita anemia,

dengan distribusi 23% anemia ringan, 38,2% anemia sedang, dan 9,2% anemia berat. Di

Indonesia, prevalensi anemia pada ibu hamil berkisar 20-80% (Muhammad Riswan,

2003; Ridwan Amiruddin dan Wahyuddin, 2003).

Kriteria anemia pada kehamilan menurut organisasi kesehatan dunia (WHO) adalah

Hb kurang dari 11 gr/dl. Sedikit berbeda dengan WHO, The centers for Disease Control

and Prevention (CDC) menyebutkan kriteria anemia adalah Hb kurang dari 11 gr/dl

untuk trimester I dan III, serta Hb kurang dari 10,5 gr/dl untuk trimester II.

Penyebab anemia pada kehamilan paling sering adalah karena defisiensi zat besi

dibandingkan dengan defisiensi zat gizi lain. Anemia defisiensi besi dapat terjadi karena

kurangnya asupan zat besi dan protein dari makanan, adanya gangguan absorbsi di usus,

perdarahan akut maupun kronis, dan meningkatnya kebutuhan zat besi (Fauzia Djamilus

dan Nina Herlina, 2004; Ridwan Amirudin, 2004).

Dampak anemia pada kehamilan bervariasi, mulai dari keluhan yang ringan sampai

dengan berat. Anemia pada ibu hamil dapat mengakibatkan efek buruk pada ibu maupun

bayi yang akan dilahirkan. Anemia meningkatkan risiko komplikasi pada kehamilan dan

persalinan, yaitu risiko kematian maternal, angka prematuritas, BBLR, dan angka

kematian perinatal. Di samping itu, perdarahan antepartum dan postpartum lebih sering

dijumpai pada wanita yang anemis dan lebih sering berakibat fatal, sebab wanita anemis

tidak dapat mentolerir kehilangan darah. WHO menyatakan bahwa 40% kematian ibu-

1

ibu di negara berkembang berkaitan dengan anemia pada kehamilan (Nina Herlina dan

Fauzia Djamilus, 2004)

1.2. Tujuan

1.2.1.Tujuan umum

Untuk mengetahui pengaruh anemia terhadap kehamilan

1.2.2.Tujuan khusus

Untuk mengetahui lebih jauh mengenai:

a. Pengertian anemia

b. Penyebab anemia

c. Gejala anemia

d. Klasifikasi anemia

e. Derajat anemia pada ibu hamil dan penentuan kadar hemoglobin

f. Prevalensi anemia

g. Pengaruh anemia terhadap ibu hamil

h. Pencegahan dan penanganan anemia

2

BAB 2

ISI

2.1. Pengertian Anemia

Anemia dalam kehamilan adalah kondisi ibu dengan kadar hemoglobin di bawah 11

gr% pada trimester I dan III atau kadar hemoglobin < 10,5 gr% pada trimester II

( Depkes RI, 2009 ). Anemia adalah kondisi dimana sel darah merah menurun atau

menurunnya hemoglobin, sehingga kapasitas daya angkut oksigen untuk kebutuhan

organ-organ vital pada ibu dan janin menjadi berkurang. Selama kehamilan, indikasi

anemia adalah jika konsentrasi hemoglobin kurang dari 10,50 sampai dengan 11,00 gr/dl

(Varney, 2006 ).

Menurut WHO anemia pada ibu hamil adalah kondisi ibu dengan keadaan

hemoglobin (Hb) dalam darahnya kurang dari 11,0 g%. Sedangkan menurut Saifuddin

anemia dalam kehamilan adalah kondisi ibu dengan kadar Hemoglobin dibawah 11,0 g%

pada trimester 1 dan 3 atau kadar kurang 10,5 g% pada trimester 2 (Depkes RI, 2003).

Hemoglobin ( Hb ) yaitu komponen sel darah merah yang berfungsi menyalurkan

oksigen ke seluruh tubuh, jika Hb berkurang, jaringan tubuh kekurangan oksigen.

Oksigen diperlukan tubuh untuk bahan bakar proses metabolisme. Zat besi merupakan

bahan baku pembuat sel darah merah. Ibu hamil mempunyai tingkat metabolisme yang

tinggi misalnya untuk membuat jaringan tubuh janin, membentuknya menjadi organ dan

juga untuk memproduksi energi agar ibu hamil bisa tetap beraktifitas normal sehari –

hari ( Sin sin, 2010 ). Fungsi Hb merupakan komponen utama eritrosit yang berfungsi

membawa oksigen dan karbondioksida. Warna merah pada darah disebabkan oleh

kandungan Hb yang merupakan susunan protein yang komplek yang terdiri dari protein,

globulin dan satu senyawa yang bukan protein yang disebut heme. Heme tersusun dari

suatu senyawa lingkar yang bernama porfirin yang bagian pusatnya ditempati oleh logam

besi (Fe). Jadi heme adalah senyawa-senyawa porfirin-besi, sedangkan hemoglobin

adalah senyawa komplek antara globin dengan heme ( Masrizal, 2007).

Anemia Defisiensi besi adalah anemia yang terjadi akibat kekurangan zat besi dalam

darah, artinya konsentrasi hemoglobin dalam darah berkurang karena terganggunya

pembentukan sel-sel darah merah akibat kurangnya kadar zat besi dalam darah. Jika

simpanan zat besi dalam tubuh seseorang sudah sangat rendah berarti orang tersebut

mendekati anemia walaupun belum ditemukan gejala-gejala fisiologis. Simpanan zat besi

yang sangat rendah lambat laun tidak akan cukup untuk membentuk sel-sel darah merah

3

di dalam sumsum tulang sehingga kadar hemoglobin terus menurun di bawah batas

normal, keadaan inilah yang disebut anemia gizi besi ( Masrizal, 2007). Menurut Evatt

dalam Masrizal ( 2007) anemia defisiensi besi adalah anemia yang disebabkan oleh

berkurangnya cadangan besi tubuh. Keadaan ini ditandai dengan menurunnya saturasi

transferin, berkurangnya kadar feritin serum atau hemosiderin sumsum tulang. Secara

morfologis keadaan ini diklasifikasikan sebagai anemia mikrositik hipokrom disertai

penurunan kuantitatif pada sintesis hemoglobin. Defisiensi besi merupakan penyebab

utama anemia. Wanita usia subur sering mengalami anemia, karena kehilangan darah

sewaktu menstruasi dan peningkatan kebutuhan besi sewaktu hamil.

Anemia defisiensi zat besi (kejadian 62,30%) adalah anemia dalam kehamilan yang

paling sering terjadi dalam kehamilan akibat kekurangan zat besi. Kekurangan ini

disebabkan karena kurang masuknya unsur zat besi dalam makanan, gangguan

reabsorbsi, dan penggunaan terlalu banyaknya zat besi. Anemia Megaloblastik (kejadian

29,00%), dalam kehamilan adalah anemia yang disebabkan karena defisiensi asam folat.

Anemia Hipoplastik (kejadian 8, 0%) pada wanita hamil adalah anemia yang disebabkan

karena sumsum tulang kurang mampu membuat sel-sel darah merah. Dimana etiologinya

belum diketahui dengan pasti kecuali sepsis, sinar rontgen, racun dan obat-obatan.

Anemia Hemolitik (kejadian 0,70%), yaitu anemia yang disebabkan karena

penghancuran sel darah merah berlangsung lebih cepat, yaitu penyakit malaria

( Wiknjosastro,2005 ; Mochtar, 2004 )

2.2. Penyebab Anemia

Kebanyakan anemia dalam kehamilan disebabkan oleh defisiensi besi dan

perdarahan akut bahkan tidak jarang keduanya saling berinteraksi. Kebutuhan ibu selama

kehamilan ialah 800mg besi, diantaranya 300mg untuk janin dan 500mg untuk

pertambahan eritrosit ibu. Dengan demikian ibu membutuhkan tambahan sekitar 2-3mg

besi/hari (Saifuddin, 2002).

Penyebab anemia umunya adalah kurang gizi, kurang zat besi, kehilangan darah saat

persalinan yang lalu, dan penyakit – penyakit kronik (Mochtar, 2004).

Secara umum, faktor penyebab anemia gizi adalah: (Wirahadikusuma, 1999)

a. Banyaknya kehilangan darah karena perdarahan, gangguan pencernaan (keganasan

dan infeksi cacing, kerusakan atau kelainan lambung)

b. Rusaknya sel darah merah, seperti penyakit malaria dan thalasemia yang merusak

asam folat yang berada di dalam sel darah merah

4

c. Kurangnya produksi sel darah merah karena kurang mengkonsumsi makanan yang

mengandung zat gizi terutama zat besi, asam folat, vitamin B12, protein, vit C dan

zat gizi penting lainnya.

Dalam kehamilan penurunan kadar hemoglobin yang dijumpai selama kehamilan

disebabkan oleh karena dalam kehamilan keperluan zat makanan bertambah dan

terjadinya perubahan-perubahan dalam darah : penambahan volume plasma yang relatif

lebih besar daripada penambahan massa hemoglobin dan volume sel darah merah. Darah

bertambah banyak dalam kehamilan yang lazim disebut hidremia atau hipervolemia.

Namun bertambahnya sel-sel darah adalah kurang jika dibandingkan dengan

bertambahnya plasma sehingga terjadi pengenceran darah. Di mana pertambahan

tersebut adalah sebagai berikut : plasma 30%, sel darah 18%, dan hemoglobin 19%.

Pengenceran darah dianggap sebagai penyesuaian diri secara fisiologi dalam kehamilan

dan bermanfaat bagi wanita hamil tersebut. Pengenceran ini meringankan beban jantung

yang harus bekerja lebih berat dalam masa hamil, karena sebagai akibat hipervolemia

tersebut, keluaran jantung (cardiac output) juga meningkat. Kerja jantung ini lebih ringan

apabila viskositas darah rendah. Resistensi perifer berkurang pula, sehingga tekanan

darah tidak naik (Wiknjosastro, 2005).

Selama hamil volume darah meningkat 50 % dari 4 ke 6 L, volume plasma

meningkat sedikit menyebabkan penurunan konsentrasi Hb dan nilai hematokrit.

Penurunan ini lebih kecil pada ibu hamil yang mengkonsumsi zat besi. Kenaikan volume

darah berfungsi untuk memenuhi kebutuhan perfusi dari uteroplasenta.

Ketidakseimbangan antara kecepatan penambahan plasma dan penambahan eritrosit ke

dalam sirkulasi ibu biasanya memuncak pada trimester kedua (Smith et al., 2010).

Pola makan adalah pola konsumsi makan sehari-hari yang sesuai dengan kebutuhan

gizi setiap individu untuk hidup sehat dan produktif. Untuk dapat mencapai

keseimbangan gizi maka setiap orang harus menkonsumsi minimal 1 jenis bahan

makanan dari tiap golongan bahan makanan yaitu Karbohidrat, protein hewani dan

nabati, sayuran, buah dan susu.( Bobak, 2005 ). Seringnya ibu hamil mengkonsumsi

makanan yang mengandung zat yang menghambat penyerapan zat besi seperti teh, kopi,

kalsium ( Kusumah, 2009 ). Wanita hamil cenderung terkena anemia pada triwulan III

karena pada masa ini janin menimbun cadangan zat besi untuk dirinya sendiri sebagai

persediaan bulan pertama setelah lahir ( Sin sin, 2008). Pada penelitian Djamilus dan

5

Herlina (2008) menunjukkan adanya kecendrungan bahwa semakin kurang baik pola

makan, maka akan semakin tinggi angka kejadian anemia.

Faktor umur merupakan faktor risiko kejadian anemia pada ibu hamil. Umur seorang

ibu berkaitan dengan alat – alat reproduksi wanita. Umur reproduksi yang sehat dan

aman adalah umur 20 – 35 tahun. Kehamilan diusia <20 tahun dan diatas 35 tahun dapat

menyebabkan anemia karena pada kehamilan diusia < 20 tahun secara biologis belum

optimal emosinya cenderung labil, mentalnya belum matang sehingga mudah mengalami

keguncangan yang mengakibatkan kurangnya perhatian terhadap pemenuhan kebutuhan

zat – zat gizi selama kehamilannya. Sedangkan pada usia > 35 tahun terkait dengan

kemunduran dan penurunan daya tahan tubuh serta berbagai penyakit yang sering

menimpa diusia ini. Hasil penelitian didapatkan bahwa umur ibu pada saat hamil sangat

berpengaruh terhadap kajadian anemia (Amirrudin dan Wahyuddin,2004).

Ibu hamil yang kurang patuh mengkonsumsi tablet Fe mempunyai risiko 2,429 kali

lebih besar untuk mengalami anemia dibanding yang patuh konsumsi tablet Fe (Jamilus

dan Herlina 2008 ). Kepatuhan menkonsumsi tablet Fe diukur dari ketepatan jumlah

tablet yang dikonsumsi, ketepatan cara mengkonsumsi tablet Fe, frekuensi konsumsi

perhari. Suplementasi besi atau pemberian tablet Fe merupakan salah satu upaya penting

dalam mencegah dan menanggulangi anemia, khususnya anemia kekurangan besi.

Suplementasi besi merupakan cara efektif karena kandungan besinya yang dilengkapi

asam folat yang sekaligus dapat mencegah anemia karena kekurangan asam folat

(Depkes, 2009).

Konsumsi tablet besi sangat dipengaruhi oleh kesadaran dan kepatuhan ibu hamil.

Kesadaran merupakan pendukung bagi ibu hamil untuk patuh mengkonsumsi tablet Fe

dengan baik. Tingkat kepatuhan yang kurang sangat dipengaruhi oleh rendahnya

kesadaran ibu hamil dalam mengkonsumsi tablet besi, inipun besar kemungkinan

mendapat pengaruh melalui tingkat pengetahuan gizi dan kesehatan. Kepatuhan ibu

hamil mengkonsumsi tablet besi tidak hanya dipengaruhi oleh kesadaran saja, namun ada

beberapa faktor lain yaitu bentuk tablet, warna, rasa dan efek samping seperti mual,

konstipasi (Simanjuntak, 2004).

Pemeriksaan Antenatal adalah pelayanan kesehatan bagi ibu hamil dan janinnya oleh

tenaga profesional meliputi pemeriksaan kehamilan sesuai dengan standar pelayanan

yaitu minimal 4 kali pemeriksaan selama kehamilan, 1 kali pada trimester satu, 1 kali

pada trimester II dan 2 kali pada trimester III. Dengan pemeriksaan antenatal kejadian

anemia pada ibu dapat dideteksi sedini mungkin sehingga diharapkan ibu dapat merawat

6

dirinya selama hamil dan mempersiapkan persalinannya. Namun dalam penelitian

Amirrudin dan Wahyuddin ( 2004 ) menyatakan tidak terdapat hubungan yang signifikan

antara pemeriksaan ANC dengan kejadian anemia pada ibu hamil.

Paritas adalah jumlah anak yang telah dilahirkan oleh seorang ibu baik lahir hidup

maupun lahir mati. Seorang ibu yang sering melahirkan mempunyai risiko mengalami

anemia pada kehamilan berikutnya apabila tidak memperhatikan kebutuhan nutrisi.

Karena selama hamil zat – zat gizi akan terbagi untuk ibu dan untuk janin yang

dikandungnya. Berdasarkan hasil analisis didapatkan bahwa tidak terdapat hubungan

antara paritas dengan kejadian anemia pada ibu hamil, ibu hamil dengan paritas tinggi

mempunyai risiko 1.454 kali lebih besar untuk mengalami anemia dibanding yang paritas

rendah ( Djamilus dan Herlina, 2008).

Jarak kelahiran yang terlalu dekat dapat menyebabkan terjadinya anemia. Hal ini

dikarenakan kondisi ibu masih belum pulih dan pemenuhan kebutuhan zat gizi belum

optimal, sudah harus memenuhi kebutuhan nutrisi janin yang dikandung ( Wiknjosastro,

2005; Mochtar, 2004). Jarak kelahiran mempunyai risiko 1,146 kali lebih besar terhadap

kejadian anemia ( Amirrudin dan Wahyuddin, 2004).

2.3. Gejala Anemia

Gejala anemia pada kehamilan yaitu ibu mengeluh cepat lelah, sering pusing, mata

berkunang-kunang, malaise, lidah luka, nafsu makan turun (anoreksia), kosentrasi hilang,

nafas pendek (pada anemia parah) dan keluhan mual muntah lebih hebat pada hamil

muda. (Sohimah, 2006)

Keluhan anemia yang paling sering dijumpai di masyarakat adalah yang lebih

dikenal dengan 5L, yaitu lesu, lemah, letih, lelah, dan lunglai. Disamping itu kekurangan

zat besi akan menurunkan daya tahan tubuh yang mengakibatkan mudah terkena infeksi

(Depkes RI, 2003).

Rasa cepat lelah disebabkan karena pada penderita anemia gizi besi, pengolahan

(metabolisme) energi oleh otot tidak berjalan secara sempurna karena kurang oksigen.

Anemia gizi besi dengan keluhan dampak yang paling jelas adalah cepat lelah, rasa

ngantuk, malaise dan mempunyai wajah yang pucat (Sukirman, 1999).

Ibu hamil dengan keluhan lemah, pucat, mudah pingsan, dengan tekanan darah

dalam batas normal, perlu dicurigai anemia defisiensi besi. Dan secara klinis dapat

dilihat tubuh yang pucat dan tampak lemah (malnutrisi). Guna memastikan seorang ibu

menderita anemia atau tidak, maka dikerjakan pemeriksaan kadar Hemoglobin dan

7

pemeriksaan darah tepi. Pemeriksaan Hemoglobin dengan spektrofotometri merupakan

standar ( Wiknjosastro, 2005).

Proses kekurangan zat besi sampai menjadi anemia melalui beberapa tahap: awalnya

terjadi penurunan simpanan cadangan zat besi dalam bentuk fertin di hati, saat konsumsi

zat besi dari makanan tidak cukup, fertin inilah yang diambil. Daya serap zat besi dari

makanan sangat rendah, Zat besi pada pangan hewan lebih tinggi penyerapannya yaitu

20 – 30 % sedangkan dari sumber nabati 1-6 %. Bila terjadi anemia, kerja jantung akan

dipacu lebih cepat untuk memenuhi kebutuhan O2 ke semua organ tubuh, akibatnya

penderita sering berdebar dan jantung cepat lelah. Gejala lain adalah lemas, cepat lelah,

letih, mata berkunang kunang, mengantuk, selaput lendir , kelopak mata, dan kuku pucat

(Sin sin, 2008).

2.4. Klasifikasi Anemia Pada Ibu hamil

Klasifikasi anemia dalam kehamilan menurut Muchtar (1998), adalah sebagai berikut:

a. Anemia defisiensi besi

Adalah anemia yang terjadi akibat kekurangan zat besi dalam darah

b. Anemia megaloblastik

Adalah anemia yang disebabkan oleh karena kekurangan asam folat

c. Anemia hipoplastik

Adalah anemia yang disebabkan oleh hipofungsi sumsum tulang, membentuk sel

darah merah baru.

d. Anemia hemolitik

Adalah anemia yang disebabkan oleh penghancuran atau pemecahan sel darah merah

yang lebih cepat dari pembuatannya. Gejala utama adalah anemia dengan kelainan-

kelainan gambaran darah, kelelahan, kelemahan, serta gejala komplikasi bila terjadi

kelainan pada organ-organ vital.

2.5. Derajat Anemia Pada Ibu Hamil dan Penentuan Kadar Hemoglobin

Ibu hamil dikatakan anemia bila kadar hemoglobin atau darah merahnya kurang dari

11,00 gr%. Menururt Word Health Organzsation (WHO) anemia pada ibu hamil adalah

kondisi ibu dengan kadar Hb < 11 % . Anemia pada ibu hamil di Indonesia sangat

bervariasi, yaitu: Tidak anemia : Hb >11 gr%, Anemia ringan : Hb 9-10.9 gr%, Anemia

sedang : Hb 7-8.9 gr%, Anemia berat : Hb < 7 gr% (Depkes, 2009 ; Shafa, 2010 ;

Kusumah, 2009).

8

Pengukuran Hb yang disarankan oleh WHO ialah dengan cara cyanmet, namun cara

oxyhaemoglobin dapat pula dipakai asal distandarisir terhadap cara cyanmet. Sampai

saat ini baik di Puskesmas maupun di Rumah Sakit masih menggunakan alat Sahli. Dan

pemeriksaan darah dilakukan tiap trimester dan minimal dua kali selama hamil yaitu

pada trimester I dan trimester III (Depkes ,2009; Kusumah, 2009).

Metoda Cyanmethemoglobin ini cukup teliti dan dianjurkan oleh International

Committee for Standardization in Hemathology (ICSH). Menurut cara ini darah

dicampurkan dengan larutan drapkin untuk memecah hemoglobin menjadi

cyanmethemoglobin, daya serapnya kemudian diukur pada 540 mm dalam kalorimeter

fotoelekrit atau spektrofotometer. Cara penentuan Hb yang banyak dipakai di Indonesia

ialah Sahli. Cara ini untuk di lapangan cukup sederhana tapi ketelitiannya perlu

dibandingkan dengan cara standar yang dianjurkan WHO (Masrizal, 2007)

2.6. Prevalensi Anemia Kehamilan

Diketahui bahwa 10% - 20% ibu hamil di dunia menderita anemia pada

kehamilannya. Di dunia 34 % terjadi anemia pada ibu hamil dimana 75 % berada di

negara sedang berkembang (WHO, 2005 dalam Syafa, 2010). Prevalensi anemia pada

ibu hamil di Negara berkembang 43 % dan 12 % pada wanita hamil di daerah kaya atau

Negara maju ( Allen, 2007 ). Di Indonesia prevalensi anemia kehamilan relatif tinggi,

yaitu 38% -71.5% dengan rata-rata 63,5%, sedangkan di Amerika Serikat hanya 6%

( Syaifudin, 2006). Tingginya prevalensi anemia pada ibu hamil sebagian besar

penyebabnya adalah kekurangan zat besi yang diperlukan untuk pembentukan

hemoglobin (Saifudin,2006 dan Saspriyana, 2010)

2.7. Pengaruh Anemia Terhadap Kehamilan

Anemia dalam kehamilan memberi pengaruh kurang baik bagi ibu, baik dalam

kehamilan, persalinan, maupun nifas dan masa selanjutnya. Penyulit-penyulit yang dapat

timbul akibat anemia adalah : keguguran (abortus), kelahiran prematurs, persalinan yang

lama akibat kelelahan otot rahim di dalam berkontraksi (inersia uteri), perdarahan pasca

melahirkan karena tidak adanya kontraksi otot rahim (atonia uteri), syok, infeksi baik

saat bersalin maupun pasca bersalin, serta anemia yang berat (<4 gr%) dapat

menyebabkan dekompensasi kordis. Hipoksia akibat anemia dapat menyebabkan syok

dan kematian ibu pada persalinan (Wiknjosastro, 2005; Saifudin, 2006).

9

Pengaruh anemia pada kehamilan. Risiko pada masa antenatal: berat badan kurang,

plasenta previa, eklamsia, ketuban pecah dini, anemia pada masa intranatal dapat terjadi

tenaga untuk mengedan lemah, perdarahan intranatal, shock, dan masa pascanatal dapat

terjadi subinvolusi. Sedangkan komplikasi yang dapat terjadi pada neonatus : premature,

apgar scor rendah, gawat janin. Bahaya pada Trimester II dan trimester III, anemia dapat

menyebabkan terjadinya partus premature, perdarahan ante partum, gangguan

pertumbuhan janin dalam rahim, asfiksia intrapartum sampai kematian, gestosis dan

mudah terkena infeksi, dan dekompensasi kordis hingga kematian ibu (Mansjoer dkk.,

2008).

Bahaya anemia pada ibu hamil saat persalinan, dapat menyebabkan gangguan his

primer, sekunder, janin lahir dengan anemia, persalinan dengan tindakan-tindakan tinggi

karena ibu cepat lelah dan gangguan perjalanan persalinan perlu tindakan operatif

(Mansjoer dkk., 2008). Anemia kehamilan dapat menyebabkan kelemahan dan kelelahan

sehingga akan mempengaruhi ibu saat mengedan untuk melahirkan bayi ( Smith et al.,

2010 ).

Bahaya anemia pada ibu hamil saat persalinan: gangguan his-kekuatan mengejan,

Kala I dapat berlangsung lama dan terjadi partus terlantar, Kala II berlangsung lama

sehingga dapat melelahkan dan sering memerlukan tindakan operasi kebidanan, Kala III

dapat diikuti retensio plasenta, dan perdarahan post partum akibat atonia uteri, Kala IV

dapat terjadi perdarahan post partum sekunder dan atonia uteri. Pada kala nifas : Terjadi

subinvolusi uteri yang menimbulkan perdarahan post partum, memudahkan infeksi

puerperium, pengeluaran ASI berkurang, dekompensasi kosrdis mendadak setelah

persalinan, anemia kala nifas, mudah terjadi infeksi mammae ( Shafa, 2010 ; Saifudin,

2006).

Ibu yang mengalami kejadian anemia memiliki risiko mengalami partus lama 1,681

kali lebih besar dibandingkan dengan ibu yang tidak anemia tapi tidak bermakna secara

statistik. Ini diduga karena terjadi ketidakseragaman pengambilan kadar Hb dan pada

kontrolnya ada yang kadar Hb nya diambil pada trimester 1 dan bisa saja pada saat itu

ibu sedang anemia. Ibu hamil yang anemia bisa mengalami gangguan his/gangguan

mengejan yang mengakibatkan partus lama. Kavle et al, ( 2008) pada penelitianya

menyatakan bahwa perdarahan pada ibu setelah melahirkan berhubungan dengan anemia

pada kehamilan 32 minggu. Kehilangan darah lebih banyak pada anemia berat dan

kehilangan meningkat sedikit pada wanita anemia ringan dibandingkan dengan ibu yang

tidak anemia.

10

2.8. Pencegahan dan Penanganan Anemia Pada Ibu Hamil

Pencegahan anemia pada ibu hamil dapat dilakukan antara lain dengan cara:

meningkatkan konsumsi zat besi dari makanan, mengkonsumsi pangan hewani dalam

jumlah cukup, namun karena harganya cukup tinggi sehingga masyarakat sulit

menjangkaunya. Untuk itu diperlukan alternatif yang lain untuk mencegah anemia gizi

besi, memakan beraneka ragam makanan yang memiliki zat gizi saling melengkapi

termasuk vitamin yang dapat meningkatkan penyerapan zat besi, seperti vitamin C.

Peningkatan konsumsi vitamin C sebanyak 25, 50, 100 dan 250 mg dapat meningkatkan

penyerapan zat besi sebesar 2, 3, 4 dan 5 kali. Buah-buahan segar dan sayuran sumber

vitamin C, namun dalam proses pemasakan 50 - 80 % vitamin C akan rusak. Mengurangi

konsumsi makanan yang bisa menghambat penyerapan zat besi seperti : fitat, fosfat,

tannin ( Wiknjosastro, 2005 ; Masrizal, 2007).

Penanganan anemia defisiensi besi adalah dengan preparat besi yang diminum (oral)

atau dapat secara suntikan (parenteral). Terapi oral adalah dengan pemberian preparat

besi : fero sulfat, fero gluconat, atau Na-fero bisitrat. Pemberian preparat 60 mg/hari

dapat menaikkan kadar Hb sebanyak 1 gr% per bulan. Sedangkan pemberian preparat

parenteral adalah dengan ferum dextran sebanyak 1000 mg (20 ml) intravena atau 2×10

ml secara intramuskulus, dapat meningkatkan hemoglobin relatif cepat yaitu 2gr%.

Pemberian secara parenteral ini hanya berdasarkan indikasi, di mana terdapat intoleransi

besi pada traktus gastrointestinal, anemia yang berat, dan kepatuhan pasien yang buruk.

Pada daerah-daerah dengan frekuensi kehamilan yang tinggi dan dengan tingkat

pemenuhan nutrisi yang minim, seperti di Indonesia, setiap wanita hamil haruslah

diberikan sulfas ferosus atau glukonas ferosus sebanyak satu tablet sehari selama masa

kehamilannya. Selain itu perlu juga dinasehatkan untuk makan lebih banyak protein dan

sayur-sayuran yang mengandung banyak mineral serta vitamin (Sasparyana, 2010 ;

Wiknjosastro 2005).

Kenaikan volume darah selama kehamilan akan meningkatkan kebutuhan Fe atau

Zat Besi. Jumlah Fe pada bayi baru lahir kira-kira 300 mg dan jumlah yang diperlukan

ibu untuk mencegah anemia akibat meningkatnya volume darah adalah 500 mg. Selama

kehamilan seorang ibu hamil menyimpan zat besi kurang lebih 1.000 mg termasuk untuk

keperluan janin, plasenta dan hemoglobin ibu sendiri. Kebijakan nasional yang

diterapkan di seluruh Pusat Kesehatan Masyarakat adalah pemberian satu tablet besi

sehari sesegera mungkin setelah rasa mual hilang pada awal kehamilan. Tiap tablet

mengandung FeSO4 320 mg (zat besi 60 mg) dan asam folat 500 µg, minimal masing-

11

masing 90 tablet. Tablet besi sebaiknya tidak diminum bersama teh atau kopi, karena

akan mengganggu penyarapannya ( Depkes RI, 2009).

Menurut Shafa (2010) kebutuhan Fe selama ibu hamil dapat diperhitungkan untuk

peningkatan jumlah darah ibu 500 mgr, pembentukan plasenta 300 mgr, pertumbuhan

darah janin 100 mgr. Sloan et al. ( 1992) ; cook & Redy ( 1996), dan Yp ( 1996) dalam

Galegos (2000) membuktikan bahwa suplemen zat besi dapat meningkatkan kadar

hemoglobin selama kehamilan. Sedangkan Brien et al. ( 1999) menyatakan dengan

suplemen Fe dibuktikan serum feritin lebih meningkat secara signifikan disamping itu

serum besi lebih tinggi ditemukan pada kelompok pemberian Fe dibandingkan kelompok

kontrol.

12

BAB 3

KESIMPULAN

Anemia dalam kehamilan adalah kondisi ibu dengan kadar hemoglobin di bawah 11

gr% pada trimester I dan III atau kadar hemoglobin < 10,5 gr% pada trimester II ( Depkes RI,

2009 ). Anemia adalah kondisi dimana sel darah merah menurun atau menurunnya

hemoglobin, sehingga kapasitas daya angkut oksigen untuk kebutuhan organ-organ vital pada

ibu dan janin menjadi berkurang. Anemia dalam kehamilan memberi pengaruh kurang baik

bagi ibu, baik dalam kehamilan, persalinan, maupun nifas dan masa selanjutnya. Penyulit-

penyulit yang dapat timbul akibat anemia adalah : keguguran (abortus), kelahiran prematurs,

persalinan yang lama akibat kelelahan otot rahim di dalam berkontraksi (inersia uteri),

perdarahan pasca melahirkan karena tidak adanya kontraksi otot rahim (atonia uteri), syok,

infeksi baik saat bersalin maupun pasca bersalin, serta anemia yang berat (<4 gr%) dapat

menyebabkan dekompensasi kordis.

13

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan RI. Program Penanggulangan Anemia Gizi Pada Wanita Usia Subur

(WUS). Jakarta: Direktorat Gizi Masyarakat dan Binkesmas. 2003

Mochtar. Sinopsis Obstetri. Jakarta: EGC. 1998

Saifuddin. Buku Acuan Asuhan Persalinan Normal. Jakarta. 2002

Sohimah. Anemia dalam Kehamilan dan Penanggulangannya. Jakarta: Gramedia. 2006

Sukirman. Ilmu Gizi dan Aplikasinya. Jakarta: Gramedia. 1999

14