Upload
mery
View
219
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
anemia
Citation preview
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Anemia pada wanita hamil merupakan masalah kesehatan yang dialami oleh wanita
di seluruh dunia, terutama di negara berkembang. Anemia adalah suatu keadaan adanya
penurunan kadar hemoglobin, hematokrit, dan atau jumlah eritrosit dibawah nilai normal.
Peningkatan volume plasma pada ibu hamil menyebabkan terjadinya hemodilusi,
sehingga terjadi penurunan hematokrit (20-30%), yang mengakibatkan kadar hemoglobin
dan hematokrit lebih rendah daripada keadaan tidak hamil (Muhamad Riswan, 2003;
Cunningham, 2005).
WHO melaporkan bahwa prevalensi anemia pada kehamilan di dunia adalah sebesar
55% dan cenderung meningkat sesuai dengan bertambahnya usia kehamilan. Penelitian
Thanglela dkk. di India menyebutkan 70,4% dari 1040 wanita hamil menderita anemia,
dengan distribusi 23% anemia ringan, 38,2% anemia sedang, dan 9,2% anemia berat. Di
Indonesia, prevalensi anemia pada ibu hamil berkisar 20-80% (Muhammad Riswan,
2003; Ridwan Amiruddin dan Wahyuddin, 2003).
Kriteria anemia pada kehamilan menurut organisasi kesehatan dunia (WHO) adalah
Hb kurang dari 11 gr/dl. Sedikit berbeda dengan WHO, The centers for Disease Control
and Prevention (CDC) menyebutkan kriteria anemia adalah Hb kurang dari 11 gr/dl
untuk trimester I dan III, serta Hb kurang dari 10,5 gr/dl untuk trimester II.
Penyebab anemia pada kehamilan paling sering adalah karena defisiensi zat besi
dibandingkan dengan defisiensi zat gizi lain. Anemia defisiensi besi dapat terjadi karena
kurangnya asupan zat besi dan protein dari makanan, adanya gangguan absorbsi di usus,
perdarahan akut maupun kronis, dan meningkatnya kebutuhan zat besi (Fauzia Djamilus
dan Nina Herlina, 2004; Ridwan Amirudin, 2004).
Dampak anemia pada kehamilan bervariasi, mulai dari keluhan yang ringan sampai
dengan berat. Anemia pada ibu hamil dapat mengakibatkan efek buruk pada ibu maupun
bayi yang akan dilahirkan. Anemia meningkatkan risiko komplikasi pada kehamilan dan
persalinan, yaitu risiko kematian maternal, angka prematuritas, BBLR, dan angka
kematian perinatal. Di samping itu, perdarahan antepartum dan postpartum lebih sering
dijumpai pada wanita yang anemis dan lebih sering berakibat fatal, sebab wanita anemis
tidak dapat mentolerir kehilangan darah. WHO menyatakan bahwa 40% kematian ibu-
1
ibu di negara berkembang berkaitan dengan anemia pada kehamilan (Nina Herlina dan
Fauzia Djamilus, 2004)
1.2. Tujuan
1.2.1.Tujuan umum
Untuk mengetahui pengaruh anemia terhadap kehamilan
1.2.2.Tujuan khusus
Untuk mengetahui lebih jauh mengenai:
a. Pengertian anemia
b. Penyebab anemia
c. Gejala anemia
d. Klasifikasi anemia
e. Derajat anemia pada ibu hamil dan penentuan kadar hemoglobin
f. Prevalensi anemia
g. Pengaruh anemia terhadap ibu hamil
h. Pencegahan dan penanganan anemia
2
BAB 2
ISI
2.1. Pengertian Anemia
Anemia dalam kehamilan adalah kondisi ibu dengan kadar hemoglobin di bawah 11
gr% pada trimester I dan III atau kadar hemoglobin < 10,5 gr% pada trimester II
( Depkes RI, 2009 ). Anemia adalah kondisi dimana sel darah merah menurun atau
menurunnya hemoglobin, sehingga kapasitas daya angkut oksigen untuk kebutuhan
organ-organ vital pada ibu dan janin menjadi berkurang. Selama kehamilan, indikasi
anemia adalah jika konsentrasi hemoglobin kurang dari 10,50 sampai dengan 11,00 gr/dl
(Varney, 2006 ).
Menurut WHO anemia pada ibu hamil adalah kondisi ibu dengan keadaan
hemoglobin (Hb) dalam darahnya kurang dari 11,0 g%. Sedangkan menurut Saifuddin
anemia dalam kehamilan adalah kondisi ibu dengan kadar Hemoglobin dibawah 11,0 g%
pada trimester 1 dan 3 atau kadar kurang 10,5 g% pada trimester 2 (Depkes RI, 2003).
Hemoglobin ( Hb ) yaitu komponen sel darah merah yang berfungsi menyalurkan
oksigen ke seluruh tubuh, jika Hb berkurang, jaringan tubuh kekurangan oksigen.
Oksigen diperlukan tubuh untuk bahan bakar proses metabolisme. Zat besi merupakan
bahan baku pembuat sel darah merah. Ibu hamil mempunyai tingkat metabolisme yang
tinggi misalnya untuk membuat jaringan tubuh janin, membentuknya menjadi organ dan
juga untuk memproduksi energi agar ibu hamil bisa tetap beraktifitas normal sehari –
hari ( Sin sin, 2010 ). Fungsi Hb merupakan komponen utama eritrosit yang berfungsi
membawa oksigen dan karbondioksida. Warna merah pada darah disebabkan oleh
kandungan Hb yang merupakan susunan protein yang komplek yang terdiri dari protein,
globulin dan satu senyawa yang bukan protein yang disebut heme. Heme tersusun dari
suatu senyawa lingkar yang bernama porfirin yang bagian pusatnya ditempati oleh logam
besi (Fe). Jadi heme adalah senyawa-senyawa porfirin-besi, sedangkan hemoglobin
adalah senyawa komplek antara globin dengan heme ( Masrizal, 2007).
Anemia Defisiensi besi adalah anemia yang terjadi akibat kekurangan zat besi dalam
darah, artinya konsentrasi hemoglobin dalam darah berkurang karena terganggunya
pembentukan sel-sel darah merah akibat kurangnya kadar zat besi dalam darah. Jika
simpanan zat besi dalam tubuh seseorang sudah sangat rendah berarti orang tersebut
mendekati anemia walaupun belum ditemukan gejala-gejala fisiologis. Simpanan zat besi
yang sangat rendah lambat laun tidak akan cukup untuk membentuk sel-sel darah merah
3
di dalam sumsum tulang sehingga kadar hemoglobin terus menurun di bawah batas
normal, keadaan inilah yang disebut anemia gizi besi ( Masrizal, 2007). Menurut Evatt
dalam Masrizal ( 2007) anemia defisiensi besi adalah anemia yang disebabkan oleh
berkurangnya cadangan besi tubuh. Keadaan ini ditandai dengan menurunnya saturasi
transferin, berkurangnya kadar feritin serum atau hemosiderin sumsum tulang. Secara
morfologis keadaan ini diklasifikasikan sebagai anemia mikrositik hipokrom disertai
penurunan kuantitatif pada sintesis hemoglobin. Defisiensi besi merupakan penyebab
utama anemia. Wanita usia subur sering mengalami anemia, karena kehilangan darah
sewaktu menstruasi dan peningkatan kebutuhan besi sewaktu hamil.
Anemia defisiensi zat besi (kejadian 62,30%) adalah anemia dalam kehamilan yang
paling sering terjadi dalam kehamilan akibat kekurangan zat besi. Kekurangan ini
disebabkan karena kurang masuknya unsur zat besi dalam makanan, gangguan
reabsorbsi, dan penggunaan terlalu banyaknya zat besi. Anemia Megaloblastik (kejadian
29,00%), dalam kehamilan adalah anemia yang disebabkan karena defisiensi asam folat.
Anemia Hipoplastik (kejadian 8, 0%) pada wanita hamil adalah anemia yang disebabkan
karena sumsum tulang kurang mampu membuat sel-sel darah merah. Dimana etiologinya
belum diketahui dengan pasti kecuali sepsis, sinar rontgen, racun dan obat-obatan.
Anemia Hemolitik (kejadian 0,70%), yaitu anemia yang disebabkan karena
penghancuran sel darah merah berlangsung lebih cepat, yaitu penyakit malaria
( Wiknjosastro,2005 ; Mochtar, 2004 )
2.2. Penyebab Anemia
Kebanyakan anemia dalam kehamilan disebabkan oleh defisiensi besi dan
perdarahan akut bahkan tidak jarang keduanya saling berinteraksi. Kebutuhan ibu selama
kehamilan ialah 800mg besi, diantaranya 300mg untuk janin dan 500mg untuk
pertambahan eritrosit ibu. Dengan demikian ibu membutuhkan tambahan sekitar 2-3mg
besi/hari (Saifuddin, 2002).
Penyebab anemia umunya adalah kurang gizi, kurang zat besi, kehilangan darah saat
persalinan yang lalu, dan penyakit – penyakit kronik (Mochtar, 2004).
Secara umum, faktor penyebab anemia gizi adalah: (Wirahadikusuma, 1999)
a. Banyaknya kehilangan darah karena perdarahan, gangguan pencernaan (keganasan
dan infeksi cacing, kerusakan atau kelainan lambung)
b. Rusaknya sel darah merah, seperti penyakit malaria dan thalasemia yang merusak
asam folat yang berada di dalam sel darah merah
4
c. Kurangnya produksi sel darah merah karena kurang mengkonsumsi makanan yang
mengandung zat gizi terutama zat besi, asam folat, vitamin B12, protein, vit C dan
zat gizi penting lainnya.
Dalam kehamilan penurunan kadar hemoglobin yang dijumpai selama kehamilan
disebabkan oleh karena dalam kehamilan keperluan zat makanan bertambah dan
terjadinya perubahan-perubahan dalam darah : penambahan volume plasma yang relatif
lebih besar daripada penambahan massa hemoglobin dan volume sel darah merah. Darah
bertambah banyak dalam kehamilan yang lazim disebut hidremia atau hipervolemia.
Namun bertambahnya sel-sel darah adalah kurang jika dibandingkan dengan
bertambahnya plasma sehingga terjadi pengenceran darah. Di mana pertambahan
tersebut adalah sebagai berikut : plasma 30%, sel darah 18%, dan hemoglobin 19%.
Pengenceran darah dianggap sebagai penyesuaian diri secara fisiologi dalam kehamilan
dan bermanfaat bagi wanita hamil tersebut. Pengenceran ini meringankan beban jantung
yang harus bekerja lebih berat dalam masa hamil, karena sebagai akibat hipervolemia
tersebut, keluaran jantung (cardiac output) juga meningkat. Kerja jantung ini lebih ringan
apabila viskositas darah rendah. Resistensi perifer berkurang pula, sehingga tekanan
darah tidak naik (Wiknjosastro, 2005).
Selama hamil volume darah meningkat 50 % dari 4 ke 6 L, volume plasma
meningkat sedikit menyebabkan penurunan konsentrasi Hb dan nilai hematokrit.
Penurunan ini lebih kecil pada ibu hamil yang mengkonsumsi zat besi. Kenaikan volume
darah berfungsi untuk memenuhi kebutuhan perfusi dari uteroplasenta.
Ketidakseimbangan antara kecepatan penambahan plasma dan penambahan eritrosit ke
dalam sirkulasi ibu biasanya memuncak pada trimester kedua (Smith et al., 2010).
Pola makan adalah pola konsumsi makan sehari-hari yang sesuai dengan kebutuhan
gizi setiap individu untuk hidup sehat dan produktif. Untuk dapat mencapai
keseimbangan gizi maka setiap orang harus menkonsumsi minimal 1 jenis bahan
makanan dari tiap golongan bahan makanan yaitu Karbohidrat, protein hewani dan
nabati, sayuran, buah dan susu.( Bobak, 2005 ). Seringnya ibu hamil mengkonsumsi
makanan yang mengandung zat yang menghambat penyerapan zat besi seperti teh, kopi,
kalsium ( Kusumah, 2009 ). Wanita hamil cenderung terkena anemia pada triwulan III
karena pada masa ini janin menimbun cadangan zat besi untuk dirinya sendiri sebagai
persediaan bulan pertama setelah lahir ( Sin sin, 2008). Pada penelitian Djamilus dan
5
Herlina (2008) menunjukkan adanya kecendrungan bahwa semakin kurang baik pola
makan, maka akan semakin tinggi angka kejadian anemia.
Faktor umur merupakan faktor risiko kejadian anemia pada ibu hamil. Umur seorang
ibu berkaitan dengan alat – alat reproduksi wanita. Umur reproduksi yang sehat dan
aman adalah umur 20 – 35 tahun. Kehamilan diusia <20 tahun dan diatas 35 tahun dapat
menyebabkan anemia karena pada kehamilan diusia < 20 tahun secara biologis belum
optimal emosinya cenderung labil, mentalnya belum matang sehingga mudah mengalami
keguncangan yang mengakibatkan kurangnya perhatian terhadap pemenuhan kebutuhan
zat – zat gizi selama kehamilannya. Sedangkan pada usia > 35 tahun terkait dengan
kemunduran dan penurunan daya tahan tubuh serta berbagai penyakit yang sering
menimpa diusia ini. Hasil penelitian didapatkan bahwa umur ibu pada saat hamil sangat
berpengaruh terhadap kajadian anemia (Amirrudin dan Wahyuddin,2004).
Ibu hamil yang kurang patuh mengkonsumsi tablet Fe mempunyai risiko 2,429 kali
lebih besar untuk mengalami anemia dibanding yang patuh konsumsi tablet Fe (Jamilus
dan Herlina 2008 ). Kepatuhan menkonsumsi tablet Fe diukur dari ketepatan jumlah
tablet yang dikonsumsi, ketepatan cara mengkonsumsi tablet Fe, frekuensi konsumsi
perhari. Suplementasi besi atau pemberian tablet Fe merupakan salah satu upaya penting
dalam mencegah dan menanggulangi anemia, khususnya anemia kekurangan besi.
Suplementasi besi merupakan cara efektif karena kandungan besinya yang dilengkapi
asam folat yang sekaligus dapat mencegah anemia karena kekurangan asam folat
(Depkes, 2009).
Konsumsi tablet besi sangat dipengaruhi oleh kesadaran dan kepatuhan ibu hamil.
Kesadaran merupakan pendukung bagi ibu hamil untuk patuh mengkonsumsi tablet Fe
dengan baik. Tingkat kepatuhan yang kurang sangat dipengaruhi oleh rendahnya
kesadaran ibu hamil dalam mengkonsumsi tablet besi, inipun besar kemungkinan
mendapat pengaruh melalui tingkat pengetahuan gizi dan kesehatan. Kepatuhan ibu
hamil mengkonsumsi tablet besi tidak hanya dipengaruhi oleh kesadaran saja, namun ada
beberapa faktor lain yaitu bentuk tablet, warna, rasa dan efek samping seperti mual,
konstipasi (Simanjuntak, 2004).
Pemeriksaan Antenatal adalah pelayanan kesehatan bagi ibu hamil dan janinnya oleh
tenaga profesional meliputi pemeriksaan kehamilan sesuai dengan standar pelayanan
yaitu minimal 4 kali pemeriksaan selama kehamilan, 1 kali pada trimester satu, 1 kali
pada trimester II dan 2 kali pada trimester III. Dengan pemeriksaan antenatal kejadian
anemia pada ibu dapat dideteksi sedini mungkin sehingga diharapkan ibu dapat merawat
6
dirinya selama hamil dan mempersiapkan persalinannya. Namun dalam penelitian
Amirrudin dan Wahyuddin ( 2004 ) menyatakan tidak terdapat hubungan yang signifikan
antara pemeriksaan ANC dengan kejadian anemia pada ibu hamil.
Paritas adalah jumlah anak yang telah dilahirkan oleh seorang ibu baik lahir hidup
maupun lahir mati. Seorang ibu yang sering melahirkan mempunyai risiko mengalami
anemia pada kehamilan berikutnya apabila tidak memperhatikan kebutuhan nutrisi.
Karena selama hamil zat – zat gizi akan terbagi untuk ibu dan untuk janin yang
dikandungnya. Berdasarkan hasil analisis didapatkan bahwa tidak terdapat hubungan
antara paritas dengan kejadian anemia pada ibu hamil, ibu hamil dengan paritas tinggi
mempunyai risiko 1.454 kali lebih besar untuk mengalami anemia dibanding yang paritas
rendah ( Djamilus dan Herlina, 2008).
Jarak kelahiran yang terlalu dekat dapat menyebabkan terjadinya anemia. Hal ini
dikarenakan kondisi ibu masih belum pulih dan pemenuhan kebutuhan zat gizi belum
optimal, sudah harus memenuhi kebutuhan nutrisi janin yang dikandung ( Wiknjosastro,
2005; Mochtar, 2004). Jarak kelahiran mempunyai risiko 1,146 kali lebih besar terhadap
kejadian anemia ( Amirrudin dan Wahyuddin, 2004).
2.3. Gejala Anemia
Gejala anemia pada kehamilan yaitu ibu mengeluh cepat lelah, sering pusing, mata
berkunang-kunang, malaise, lidah luka, nafsu makan turun (anoreksia), kosentrasi hilang,
nafas pendek (pada anemia parah) dan keluhan mual muntah lebih hebat pada hamil
muda. (Sohimah, 2006)
Keluhan anemia yang paling sering dijumpai di masyarakat adalah yang lebih
dikenal dengan 5L, yaitu lesu, lemah, letih, lelah, dan lunglai. Disamping itu kekurangan
zat besi akan menurunkan daya tahan tubuh yang mengakibatkan mudah terkena infeksi
(Depkes RI, 2003).
Rasa cepat lelah disebabkan karena pada penderita anemia gizi besi, pengolahan
(metabolisme) energi oleh otot tidak berjalan secara sempurna karena kurang oksigen.
Anemia gizi besi dengan keluhan dampak yang paling jelas adalah cepat lelah, rasa
ngantuk, malaise dan mempunyai wajah yang pucat (Sukirman, 1999).
Ibu hamil dengan keluhan lemah, pucat, mudah pingsan, dengan tekanan darah
dalam batas normal, perlu dicurigai anemia defisiensi besi. Dan secara klinis dapat
dilihat tubuh yang pucat dan tampak lemah (malnutrisi). Guna memastikan seorang ibu
menderita anemia atau tidak, maka dikerjakan pemeriksaan kadar Hemoglobin dan
7
pemeriksaan darah tepi. Pemeriksaan Hemoglobin dengan spektrofotometri merupakan
standar ( Wiknjosastro, 2005).
Proses kekurangan zat besi sampai menjadi anemia melalui beberapa tahap: awalnya
terjadi penurunan simpanan cadangan zat besi dalam bentuk fertin di hati, saat konsumsi
zat besi dari makanan tidak cukup, fertin inilah yang diambil. Daya serap zat besi dari
makanan sangat rendah, Zat besi pada pangan hewan lebih tinggi penyerapannya yaitu
20 – 30 % sedangkan dari sumber nabati 1-6 %. Bila terjadi anemia, kerja jantung akan
dipacu lebih cepat untuk memenuhi kebutuhan O2 ke semua organ tubuh, akibatnya
penderita sering berdebar dan jantung cepat lelah. Gejala lain adalah lemas, cepat lelah,
letih, mata berkunang kunang, mengantuk, selaput lendir , kelopak mata, dan kuku pucat
(Sin sin, 2008).
2.4. Klasifikasi Anemia Pada Ibu hamil
Klasifikasi anemia dalam kehamilan menurut Muchtar (1998), adalah sebagai berikut:
a. Anemia defisiensi besi
Adalah anemia yang terjadi akibat kekurangan zat besi dalam darah
b. Anemia megaloblastik
Adalah anemia yang disebabkan oleh karena kekurangan asam folat
c. Anemia hipoplastik
Adalah anemia yang disebabkan oleh hipofungsi sumsum tulang, membentuk sel
darah merah baru.
d. Anemia hemolitik
Adalah anemia yang disebabkan oleh penghancuran atau pemecahan sel darah merah
yang lebih cepat dari pembuatannya. Gejala utama adalah anemia dengan kelainan-
kelainan gambaran darah, kelelahan, kelemahan, serta gejala komplikasi bila terjadi
kelainan pada organ-organ vital.
2.5. Derajat Anemia Pada Ibu Hamil dan Penentuan Kadar Hemoglobin
Ibu hamil dikatakan anemia bila kadar hemoglobin atau darah merahnya kurang dari
11,00 gr%. Menururt Word Health Organzsation (WHO) anemia pada ibu hamil adalah
kondisi ibu dengan kadar Hb < 11 % . Anemia pada ibu hamil di Indonesia sangat
bervariasi, yaitu: Tidak anemia : Hb >11 gr%, Anemia ringan : Hb 9-10.9 gr%, Anemia
sedang : Hb 7-8.9 gr%, Anemia berat : Hb < 7 gr% (Depkes, 2009 ; Shafa, 2010 ;
Kusumah, 2009).
8
Pengukuran Hb yang disarankan oleh WHO ialah dengan cara cyanmet, namun cara
oxyhaemoglobin dapat pula dipakai asal distandarisir terhadap cara cyanmet. Sampai
saat ini baik di Puskesmas maupun di Rumah Sakit masih menggunakan alat Sahli. Dan
pemeriksaan darah dilakukan tiap trimester dan minimal dua kali selama hamil yaitu
pada trimester I dan trimester III (Depkes ,2009; Kusumah, 2009).
Metoda Cyanmethemoglobin ini cukup teliti dan dianjurkan oleh International
Committee for Standardization in Hemathology (ICSH). Menurut cara ini darah
dicampurkan dengan larutan drapkin untuk memecah hemoglobin menjadi
cyanmethemoglobin, daya serapnya kemudian diukur pada 540 mm dalam kalorimeter
fotoelekrit atau spektrofotometer. Cara penentuan Hb yang banyak dipakai di Indonesia
ialah Sahli. Cara ini untuk di lapangan cukup sederhana tapi ketelitiannya perlu
dibandingkan dengan cara standar yang dianjurkan WHO (Masrizal, 2007)
2.6. Prevalensi Anemia Kehamilan
Diketahui bahwa 10% - 20% ibu hamil di dunia menderita anemia pada
kehamilannya. Di dunia 34 % terjadi anemia pada ibu hamil dimana 75 % berada di
negara sedang berkembang (WHO, 2005 dalam Syafa, 2010). Prevalensi anemia pada
ibu hamil di Negara berkembang 43 % dan 12 % pada wanita hamil di daerah kaya atau
Negara maju ( Allen, 2007 ). Di Indonesia prevalensi anemia kehamilan relatif tinggi,
yaitu 38% -71.5% dengan rata-rata 63,5%, sedangkan di Amerika Serikat hanya 6%
( Syaifudin, 2006). Tingginya prevalensi anemia pada ibu hamil sebagian besar
penyebabnya adalah kekurangan zat besi yang diperlukan untuk pembentukan
hemoglobin (Saifudin,2006 dan Saspriyana, 2010)
2.7. Pengaruh Anemia Terhadap Kehamilan
Anemia dalam kehamilan memberi pengaruh kurang baik bagi ibu, baik dalam
kehamilan, persalinan, maupun nifas dan masa selanjutnya. Penyulit-penyulit yang dapat
timbul akibat anemia adalah : keguguran (abortus), kelahiran prematurs, persalinan yang
lama akibat kelelahan otot rahim di dalam berkontraksi (inersia uteri), perdarahan pasca
melahirkan karena tidak adanya kontraksi otot rahim (atonia uteri), syok, infeksi baik
saat bersalin maupun pasca bersalin, serta anemia yang berat (<4 gr%) dapat
menyebabkan dekompensasi kordis. Hipoksia akibat anemia dapat menyebabkan syok
dan kematian ibu pada persalinan (Wiknjosastro, 2005; Saifudin, 2006).
9
Pengaruh anemia pada kehamilan. Risiko pada masa antenatal: berat badan kurang,
plasenta previa, eklamsia, ketuban pecah dini, anemia pada masa intranatal dapat terjadi
tenaga untuk mengedan lemah, perdarahan intranatal, shock, dan masa pascanatal dapat
terjadi subinvolusi. Sedangkan komplikasi yang dapat terjadi pada neonatus : premature,
apgar scor rendah, gawat janin. Bahaya pada Trimester II dan trimester III, anemia dapat
menyebabkan terjadinya partus premature, perdarahan ante partum, gangguan
pertumbuhan janin dalam rahim, asfiksia intrapartum sampai kematian, gestosis dan
mudah terkena infeksi, dan dekompensasi kordis hingga kematian ibu (Mansjoer dkk.,
2008).
Bahaya anemia pada ibu hamil saat persalinan, dapat menyebabkan gangguan his
primer, sekunder, janin lahir dengan anemia, persalinan dengan tindakan-tindakan tinggi
karena ibu cepat lelah dan gangguan perjalanan persalinan perlu tindakan operatif
(Mansjoer dkk., 2008). Anemia kehamilan dapat menyebabkan kelemahan dan kelelahan
sehingga akan mempengaruhi ibu saat mengedan untuk melahirkan bayi ( Smith et al.,
2010 ).
Bahaya anemia pada ibu hamil saat persalinan: gangguan his-kekuatan mengejan,
Kala I dapat berlangsung lama dan terjadi partus terlantar, Kala II berlangsung lama
sehingga dapat melelahkan dan sering memerlukan tindakan operasi kebidanan, Kala III
dapat diikuti retensio plasenta, dan perdarahan post partum akibat atonia uteri, Kala IV
dapat terjadi perdarahan post partum sekunder dan atonia uteri. Pada kala nifas : Terjadi
subinvolusi uteri yang menimbulkan perdarahan post partum, memudahkan infeksi
puerperium, pengeluaran ASI berkurang, dekompensasi kosrdis mendadak setelah
persalinan, anemia kala nifas, mudah terjadi infeksi mammae ( Shafa, 2010 ; Saifudin,
2006).
Ibu yang mengalami kejadian anemia memiliki risiko mengalami partus lama 1,681
kali lebih besar dibandingkan dengan ibu yang tidak anemia tapi tidak bermakna secara
statistik. Ini diduga karena terjadi ketidakseragaman pengambilan kadar Hb dan pada
kontrolnya ada yang kadar Hb nya diambil pada trimester 1 dan bisa saja pada saat itu
ibu sedang anemia. Ibu hamil yang anemia bisa mengalami gangguan his/gangguan
mengejan yang mengakibatkan partus lama. Kavle et al, ( 2008) pada penelitianya
menyatakan bahwa perdarahan pada ibu setelah melahirkan berhubungan dengan anemia
pada kehamilan 32 minggu. Kehilangan darah lebih banyak pada anemia berat dan
kehilangan meningkat sedikit pada wanita anemia ringan dibandingkan dengan ibu yang
tidak anemia.
10
2.8. Pencegahan dan Penanganan Anemia Pada Ibu Hamil
Pencegahan anemia pada ibu hamil dapat dilakukan antara lain dengan cara:
meningkatkan konsumsi zat besi dari makanan, mengkonsumsi pangan hewani dalam
jumlah cukup, namun karena harganya cukup tinggi sehingga masyarakat sulit
menjangkaunya. Untuk itu diperlukan alternatif yang lain untuk mencegah anemia gizi
besi, memakan beraneka ragam makanan yang memiliki zat gizi saling melengkapi
termasuk vitamin yang dapat meningkatkan penyerapan zat besi, seperti vitamin C.
Peningkatan konsumsi vitamin C sebanyak 25, 50, 100 dan 250 mg dapat meningkatkan
penyerapan zat besi sebesar 2, 3, 4 dan 5 kali. Buah-buahan segar dan sayuran sumber
vitamin C, namun dalam proses pemasakan 50 - 80 % vitamin C akan rusak. Mengurangi
konsumsi makanan yang bisa menghambat penyerapan zat besi seperti : fitat, fosfat,
tannin ( Wiknjosastro, 2005 ; Masrizal, 2007).
Penanganan anemia defisiensi besi adalah dengan preparat besi yang diminum (oral)
atau dapat secara suntikan (parenteral). Terapi oral adalah dengan pemberian preparat
besi : fero sulfat, fero gluconat, atau Na-fero bisitrat. Pemberian preparat 60 mg/hari
dapat menaikkan kadar Hb sebanyak 1 gr% per bulan. Sedangkan pemberian preparat
parenteral adalah dengan ferum dextran sebanyak 1000 mg (20 ml) intravena atau 2×10
ml secara intramuskulus, dapat meningkatkan hemoglobin relatif cepat yaitu 2gr%.
Pemberian secara parenteral ini hanya berdasarkan indikasi, di mana terdapat intoleransi
besi pada traktus gastrointestinal, anemia yang berat, dan kepatuhan pasien yang buruk.
Pada daerah-daerah dengan frekuensi kehamilan yang tinggi dan dengan tingkat
pemenuhan nutrisi yang minim, seperti di Indonesia, setiap wanita hamil haruslah
diberikan sulfas ferosus atau glukonas ferosus sebanyak satu tablet sehari selama masa
kehamilannya. Selain itu perlu juga dinasehatkan untuk makan lebih banyak protein dan
sayur-sayuran yang mengandung banyak mineral serta vitamin (Sasparyana, 2010 ;
Wiknjosastro 2005).
Kenaikan volume darah selama kehamilan akan meningkatkan kebutuhan Fe atau
Zat Besi. Jumlah Fe pada bayi baru lahir kira-kira 300 mg dan jumlah yang diperlukan
ibu untuk mencegah anemia akibat meningkatnya volume darah adalah 500 mg. Selama
kehamilan seorang ibu hamil menyimpan zat besi kurang lebih 1.000 mg termasuk untuk
keperluan janin, plasenta dan hemoglobin ibu sendiri. Kebijakan nasional yang
diterapkan di seluruh Pusat Kesehatan Masyarakat adalah pemberian satu tablet besi
sehari sesegera mungkin setelah rasa mual hilang pada awal kehamilan. Tiap tablet
mengandung FeSO4 320 mg (zat besi 60 mg) dan asam folat 500 µg, minimal masing-
11
masing 90 tablet. Tablet besi sebaiknya tidak diminum bersama teh atau kopi, karena
akan mengganggu penyarapannya ( Depkes RI, 2009).
Menurut Shafa (2010) kebutuhan Fe selama ibu hamil dapat diperhitungkan untuk
peningkatan jumlah darah ibu 500 mgr, pembentukan plasenta 300 mgr, pertumbuhan
darah janin 100 mgr. Sloan et al. ( 1992) ; cook & Redy ( 1996), dan Yp ( 1996) dalam
Galegos (2000) membuktikan bahwa suplemen zat besi dapat meningkatkan kadar
hemoglobin selama kehamilan. Sedangkan Brien et al. ( 1999) menyatakan dengan
suplemen Fe dibuktikan serum feritin lebih meningkat secara signifikan disamping itu
serum besi lebih tinggi ditemukan pada kelompok pemberian Fe dibandingkan kelompok
kontrol.
12
BAB 3
KESIMPULAN
Anemia dalam kehamilan adalah kondisi ibu dengan kadar hemoglobin di bawah 11
gr% pada trimester I dan III atau kadar hemoglobin < 10,5 gr% pada trimester II ( Depkes RI,
2009 ). Anemia adalah kondisi dimana sel darah merah menurun atau menurunnya
hemoglobin, sehingga kapasitas daya angkut oksigen untuk kebutuhan organ-organ vital pada
ibu dan janin menjadi berkurang. Anemia dalam kehamilan memberi pengaruh kurang baik
bagi ibu, baik dalam kehamilan, persalinan, maupun nifas dan masa selanjutnya. Penyulit-
penyulit yang dapat timbul akibat anemia adalah : keguguran (abortus), kelahiran prematurs,
persalinan yang lama akibat kelelahan otot rahim di dalam berkontraksi (inersia uteri),
perdarahan pasca melahirkan karena tidak adanya kontraksi otot rahim (atonia uteri), syok,
infeksi baik saat bersalin maupun pasca bersalin, serta anemia yang berat (<4 gr%) dapat
menyebabkan dekompensasi kordis.
13
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan RI. Program Penanggulangan Anemia Gizi Pada Wanita Usia Subur
(WUS). Jakarta: Direktorat Gizi Masyarakat dan Binkesmas. 2003
Mochtar. Sinopsis Obstetri. Jakarta: EGC. 1998
Saifuddin. Buku Acuan Asuhan Persalinan Normal. Jakarta. 2002
Sohimah. Anemia dalam Kehamilan dan Penanggulangannya. Jakarta: Gramedia. 2006
Sukirman. Ilmu Gizi dan Aplikasinya. Jakarta: Gramedia. 1999
14