43
1 BAB I PENDAHULUAN A. Judul Wacana Kekuasaan Fundamentalisme (Analisis Relasi Wacana dan Kekuasaan Terhadap Fundamentalisme Islam di Media Sosial). B. Alasan Pemilihan Judul Di dalam melakukan penelitian, judul merupakan salah satu bagian yang penting, karena judul dalam penelitian harus berdasarkan atas beberapa pertimbangan dan alasan-alasan logis berkaitan dengan penelitian yang akan dilakukan. Selain itu itu isi dari penelitian ini juga bisa digambarkan dari judul yang diberikan. 1. Relevansi dengan Jurusan Ilmu Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Judul pada penelitian ini memiliki keterkaitan dengan bidang ilmu yang penulis dalami selama ini, yaitu ilmu pembangunan sosial dan kesejahteraan yang banyak mempelajari mengenai masalah-masalah sosial yang ada di masyarakat. Permasalahan sosial seperti kemiskinan, jaminan sosial, pendidikan, ekonomi dan lain sebagainya sudah sering menjadi pokok bahasan. Adapun permasalahan sosial yang kontemporer seperti fundamentalisme belum menjadi pokok bahasan utama dalam perkuliahan di jurusan ilmu pembangunan sosial dan kesejahteraan, akan tetapi sebagai sebuah permasalahan sosial fundamentalisme yang menjadi akar-akar dari tindakan radikalisme (kekerasan) dan sikap intoleransi yang terjadi dalam masyarakat menjadi penting untuk dijadikan kajian.

BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/101360/potongan/S1-2016... · Adapun permasalahan sosial yang kontemporer seperti ... Kristen dan

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Judul

Wacana Kekuasaan Fundamentalisme (Analisis Relasi Wacana dan

Kekuasaan Terhadap Fundamentalisme Islam di Media Sosial).

B. Alasan Pemilihan Judul

Di dalam melakukan penelitian, judul merupakan salah satu bagian yang

penting, karena judul dalam penelitian harus berdasarkan atas beberapa

pertimbangan dan alasan-alasan logis berkaitan dengan penelitian yang akan

dilakukan. Selain itu itu isi dari penelitian ini juga bisa digambarkan dari judul

yang diberikan.

1. Relevansi dengan Jurusan Ilmu Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

Judul pada penelitian ini memiliki keterkaitan dengan bidang ilmu yang

penulis dalami selama ini, yaitu ilmu pembangunan sosial dan kesejahteraan

yang banyak mempelajari mengenai masalah-masalah sosial yang ada di

masyarakat. Permasalahan sosial seperti kemiskinan, jaminan sosial,

pendidikan, ekonomi dan lain sebagainya sudah sering menjadi pokok

bahasan. Adapun permasalahan sosial yang kontemporer seperti

fundamentalisme belum menjadi pokok bahasan utama dalam perkuliahan di

jurusan ilmu pembangunan sosial dan kesejahteraan, akan tetapi sebagai

sebuah permasalahan sosial fundamentalisme yang menjadi akar-akar dari

tindakan radikalisme (kekerasan) dan sikap intoleransi yang terjadi dalam

masyarakat menjadi penting untuk dijadikan kajian.

2

Hal ini juga sesuai dengan peran yang diharapkan akademisi untuk

merumuskan akar permasalahan setiap masalah sosial dan membantu

pemerintah untuk mencari solusi dalam menciptakan ketertiban sosial melalui

kebijakan yang tepat dan efektif. Kebijakan yang efektif yang dilakukan

pemerintah erat kaitannya dengan penggunaan strategi yang tepat dalam

menghadapi gejala fundamentalisme. Pembangunan sosial yang salah satunya

menitikberatkan kepada pembangunan sumber daya manusia yang produktif,

unggul dan berbudaya mempunyai ancaman yang serius dari kalangan

fundamentalisme yang terus berkembang akhir-akhir ini dan menjadi masalah

sosial.

2. Aktualisasi Penelitian

Fundamentalisme Islam menjadi salah satu tema yang sering

diperbincangkan oleh masyarakat Indonesia bahkan dunia, gejala kekerasan

atas nama agama seolah-olah menjadi sajian yang rutin dihidangkan kepada

khalayak melalui pemberitaan dari media massa. Kekerasan yang

dipertontonkan atas nama agama, peperangan yang membabi buta di timur

tengah dan semakin meningkatnya intoleransi di tengah-tengah masyarakat

Indonesia menjadi keprihatinan semua pihak.

Lembaga-lembaga dunia tak kurang seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa

(PBB), Organsasi Kerjasama Islam (OKI), Liga Arab bahkan ASEAN ikut

membahas isu fundamentalisme Islam dan mencari solusi yang cepat dan tepat

dalam menyelesaikan permasalahan serius ini.

3

Pencarian akar-akar permasalahan dan memahami polarisasi gerakan

fundamentalisme yang merupakan ajaran yang diklaim sebagai bentuk

perjuangan suci dari kitab suci menjadi sangat penting diteliti menjadi sebuah

kajian penelitian.

Selain itu, penggunaan media sosial yang sangat populer menjadi sarana

bagi gerakan fundamentalisme Islam, wacana-wacana keagamaan yang

memuat ajaran-ajaran fundamentalisme disebarluaskan dan menjadi begitu

familiar menjadi konsumsi dominan dalam bidang keagamaan. Maka

penelitian ini menjadi aktual untuk memahami wacana fundamentalisme di

media sosial sebagai media penyebarluasan paham.

3. Orisinalitas

Sebuah penelitian dikatakan orisinil atau asli apabila masalah yang

dikemukakan belum terpecahkan oleh penulis terdahulu ataupun jika pernah

diteliti maka dinyatakan secara cermat perbedaannya. penelitian mengenai

wacana fundamentalisme Islam di media sosial khususnya tentang analisis

bagaimana relasi wacana dan kekuasaan sejauh ini belum pernah dilakukan

penulis lain.

Tetapi terdapat penelitian yang meneliti mengenai isu fundamentalisme

Islam seperti penelitian yang dilakukan oleh Subakti dari pasca sarjana

Sosiologi, Universitas Indonesia, dalam peneltiannya unit analisis yang

dipakai dikhusukan kepada organisasi HTI dan JAT, yang melihat statement

dari selebaran-selebaran dengan hasil penelitian tersebut menjelaskan

4

bagaimana formasi diskursif JAT dan HTI membentuk sebuah wacana tentang

khilafah Islam.

C. Latar Belakang Masalah

Istilah fundamentalisme seringkali terdengar dan dipakai, namun makna

yang sesungguhnya terlalu umum dan rentan akan perubahan. Meski tersirat

dalam pengertian secara umum fundamentalisme bisa dimaknai; keteguhan

dan kekakuan. Makna fundamentalisme mulai mengalami penyempitan,

terbatas pada agama dan kebudayaan dan lebih disempitkan lagi dihubungkan

dengan fundamentalisme pada agama Islam.

Hal ini karena adanya pengaruh media massa Barat yang mengidentikkan

fundamentalisme dengan golongan Islam politik. Asumsi di atas erat

kaitannya sejak dimulainya dengan Revolusi Iran yang dipimpin Ayatullah

Khomeini, yang mengatakan kemampuannya untuk menciptakan tatanan

politik masyarakat dengan tetap berpegang pada pemahaman agama

tradisional, fundamentalisme yang identik dengan agama Islam juga

dipengaruhi oleh kemuculan gerakan-gerakan seperti al-Qaidah dan Islam

Taliban.

Setiap agama besar monoteis di dunia seperti Yahudi, Kristen dan Islam

mempunyai akar sejarah kemuculan golongan fundamentalisme. Dari ketiga

agama monoteis tersebut gerakan fundamentalisme mempunyai beberapa

kesamaan ciri yaitu menolak perubahan, intoleransi, tertutup, kekakuan

5

madzhab, keras, tunduk kepada tradisi, kembali ke belakang, dan menentang

pertumbuhan dan perkembangan.1

Fundamentalisme Islam menjadi sangat aktual untuk di perbincangkan

akhir-akhir ini baik oleh pemerintah maupun masyarakat di Indonesia bahkan

di dunia, fundamentalisme kerap kali dimengerti oleh sebagian besar

masyarakat sebagai masalah sosial yang sangat membahayakan karena

pemahaman mereka yang acap kali menggunakan teks keagamaan sebagai

satu-satunya tafsir dan ideologi yang paling benar untuk melawan kelompok

lain yang berseberangan dan pemerintahan yang ada dalam sebuah negara.

Fundamentalisme kerap kali menggunakan kekerasan sebagai tujuan

perjuangan. sejak munculnya al-Qaidah, sebelas September 2011 tercatat

sebagai hari yang mengubah tatanan dunia, kehancuran World Trade Center

(WTC) yang menghilangkan ribuan nyawa, Menara WTC yang menjadi ikon

abad kedua puluh satu hancur luluh lantak diserang teroris. Untuk pertama

kalinya sejak berakhirnya perang dunia kedua, mata dunia terhenyak,

kejadian yang tidak terpikirkan oleh Negara-negara dunia barat, al-Qaidah

sebagai pihak yang mengaku bertanggungjawab menjadi sangat fenomenal

dikenal dan menjadi perhatian dunia.

Karen Armstrong berpendapat,

kemunculan al-Qaidah menunjukan

fundamentalisme bisa menjadi sangat membahayakan, merusak dan

memunculkan tindakan radikalisme, kehadiran fundamentalisme agama

membuat dunia menghadapi periode perubahan yang mengerikan dan

1 Garaudy. Roger. 1992. Al Ushûliyyah Al Mu'âshirah; Asbabuha Wa Madhahiruha. Ta'rib Khalil

Ahmad Khalil. Paris, Dar Alfain, 1992, hlm 16.

6

merisaukan. Fundamentalisme beranjak dari sebuah bentuk yang tujuannnya

adalah menarik Tuhan dan agama dari batas-batas pinggiran, di mana Tuhan

dan agama telah ditempatkan dalam budaya sekuler modern, dan membawa

kaum fundamentalis mengisi panggung utama. Kaum sekuler dan para pakar

yang sebelumnya yakin bahwa ideologi sekuler adalah ideologi yang menjadi

kekuatan utama dan agama tak akan pernah lagi menjadi kekuatan dalam

perkara-perkara internasional.2 Tetapi, kaum fundamentalis telah

membalikkan kecenderungan ini secara bertahap, baik di Forum tertinggi

lembaga antar negara (PBB), forum-forum internasional maupun di Dunia

Islam, agama telah menjadi kekuatan yang terpaksa dianggap serius oleh

setiap pemerintah.

Dari al-Qaidah itu kemudian muncul berbagai macam gerakan

fundamentalisme lintas negara, di Indonesia fundamentalisme menjadi

perhatian pemerintah dan masyarakat setelah aksi terorisme yang dilakukakan

organisasi Jama‟ah Islamiyyah yang melakukan aksi teror bom Bali pada

tahun 2002 dan 2005 (http://www.republika.co.id)3, setelah peristiwa itu

terjadi serangkaian aksi penyerangan menyusul terjadi di tanah air.

Gejolak yang terjadi di timur tengah sejak invasi Amerika ke Irak telah

memicu tumbuh sumburnya paham dan gerakan fundamentalisme dan

beberapa kelompok garis keras lain di timur tengah dan gerakan ini lintas

2 Armstrong, Karen. 2013, Berperang Demi Tuhan: Fundamentalisme Dalam Islam, Kristen dan

Yahudi. Bandung, Penerbit Mizan, hlm 16. 3 http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/07/19/m7ef2u-kisah-bom-di-indonesia-ii-

simbol-kapitalis-asing, diakses tanggal 4 Oktober 2015

7

negara dan bangsa. Gerakan fundamentalis muncul dan berkembang di

sejumlah negara muslim, di Indonesia Fundamentalisme menjadi ancaman

yang sangat serius karena pandangan-pandangan yang radikal yang

meghalalkan kekerasan sebagai jalan yang di tempuh sebagai bentuk

perjuangan.

Dawam Rahardjo mengemukakan beberapa sebab munculnya gerakan

fundamentalisme di Indonesia dan menjadi sumber gejala kekerasan. Pertama,

adalah karena pengaruh gerakan-gerakan Islam transnasional seperti Ikhwan

al-Muslimun, Hizbut Tahrir, Wahabisme Saudi Arabia, Islam Taliban, serta

Al-Qaeda, yang kesemuanya mencita-citakan tegaknya syariat Islam di semua

bidang kehidupan. Kedua, karena euphoria demokratisasi di Indonesia, yang

dimaknai sebagai peluang bagi munculnya gerakan-gerakan Islam radikal

yang pada masa Orde Baru dibungkam dan dipaksa tiarap oleh pemerintah

otoriter-sekuler. Ketiga, gagalnya penegakan negara hukum demokratis yang

menimbulkan kembali aspirasi menegakan syariat Islam, sesuatu yang

bertentangan dengan sistem negara hukum demokratis yang pada dasarnya

sekuler. Dan keempat, gagalnya dakwah Islam yang rahmatan lil‟alamin,

sebagaimana dibuktikan dengan kenyataan tidak tolerannya guru-guru agama

Islam seperti diungkapkan oleh penelitian berbagai lembaga kajian mengenai

topik Islam dan perdamaian. 4

Masyarakat dunia sekarang digemparkan dengan muculnya gerakan

bersenjata ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah) yang mengakibatkan tragedi

4 Masduqi, Irwan 2011, sebuah pengantar Dawam Rahardjo, Fanatisme dan Toleransi, Berislam

Secara Toleran: Teologi Kerukunan Umat beragama. Bandung: Penerbit Mizan, hlm 5-6

8

kekerasan dan kemanusiaan di timur tengah, tak pelak hal ini semakin menyita

perhatian dunia tatkala ribuan orang tewas dan ratusan ribu pengungsi

membanjiri Eropa. Sebagaimana gerakan Fundamentalisme, ISIS mempunyai

simpatisan dan pengikut ideologi lintas negara tidak terkecuali di Indonesia,

munculnya simpatisan ISIS di berbagai daerah menjadi perhatian khusus dari

pemerintah setelah diketahui banyak warga negara Indonesia yang telah

bergabung menjadi anggota ISIS.

Di kutip dari (http//news.detik.com),5 kekhawatiran dari pihak pemerintah

ini karena semakin berkembangnya ISIS yang merupakan salah satu gerakan

Fundamentalis lintas negara, kemudian membuat pemerintah sempat

mewacanakan revisi atas UU Terorisme yang bisa menjerat para pendukung

ISIS.

Fundamentalisme sebagai sebuah ajaran yang mempunyai pandangan yang

cenderung intoleran dan sikap ekslusif dalam pandangan keagamaan membuat

kelompok ini mudah untuk dikenali. Pandangan, sikap dan ciri individu dalam

berujar, berkomunikasi dan berpakaian mempunyai ciri khas yang

membedakan kelompok fundamentalisme dengan yang bukan kelompoknya.

Ciri-ciri yang khas yang biasa orang awam kenali karena kelompok

fundamentalisme mempunyai pakem yang stagnan yaitu sikap teguh

memegang teks keagamaaan yang menyatakan teks bersifat universal daripada

5 http://news.detik.com/berita/2872936/menkum-ham-wacanakan-revisi-undang-undang-

terorisme-terkait-isis, diakses tanggal 5 Oktober 2015

9

konteks atau konteks perkembangan zaman dan pengetahuan modern

ditempatkan sebagai sesuatu yang partikular daripada teks6.

Fundamentalisme agama sebagai sebuah ideologi yang kaku dan keras

dalam menyuarakan ideologi dan ajarannya merupakan wujud perjuangan dari

tafsir keagamaan. Perjuangan ini dianggap sebagai dakwah suci dan jihad

membela nama agama. Perasaan selalu menjadi kelompok yang teraniaya,

tertindas dan menjadi korban membuat fundamentalis mempunyai militansi

yang tinggi, sekulerisme barat dan modernisasi dianggap sebagai musuh

agama Islam dan keduanya menjadi sebab utama umat Islam mengalami

kemunduran setelah terakhir berjaya di era Turki Ottoman.7

Perang suci melawan ketidakadilan barat kepada umat Islam membuat

semua yang berasal dari barat dianggap sesuatu yang patut dicurigai bahkan

dimusuhi seperti demokrasi dan HAM, bagi kelompok fundamentalisme

demokrasi dan HAM adalah produk barat yang membahayakan, demokrasi

adalah bentuk sekulerisme yang menjauhkan manusia untuk patuh terhadap

kedaulatan Tuhan, sementara dalam demokrasi menempatkan rakyat sebagai

pemegang kedaulatan tertinggi, dianggap mengesampingkan otoritas Tuhan

dan menuhankan sesama manusia, maka usaha untuk menghapus demokrasi

sebagai sebuah ajaran yang harus dimusuhi oleh kaum Fundamentalis karena

bertentangan dengan ideologi yang menyatakan bahwa Tuhan mempunyai

kedaulatan di atas segalanya. HAM bagi kaum Fundamentalis adalah pemanis

6 Jalil, Abdul, Makalah seminar “Pesantren dalam Menyikapi radikalisme Agama” tanggal 8 Juli

2015 di Pesantren Al-Munawwir. Krapyak, Yogyakarta. 7 Armstrong, Karen. Op.Cit no. 2, hlm 18.

10

lidah para pemimpin negara barat karena dalam prakteknya HAM mempunyai

standar ganda, fundamentalis melihat kasus Palestina sebagai penerapan

standar ganda, HAM yang digadang-gadang sebagai jalan untuk

membebaskan manusia merdeka dan penghargaan atas hak setiap individu

justru pihak barat sama sekali tidak ada yang bersuara ketika warga Palestina

diperlakukan keji oleh Israel. Kasus bangsa Palestina sering menjadi

pembenaran bagi kaum Fundamentalis bahwa barat dan sekulerismenya

adalah musuh bagi Islam.

“Fundamentalisme yang telah muncul pada masa sekarang memiliki hubungan

simbiotik dengan modernitas” (Karen Armstrong:2013).8

Hubungan simbiotik antara fundamentalisme dan modernitas dapat

dijumpai dalam penggunaan media sosial. Media sosial yang merupakan

produk modernitas digunakan oleh kelompok fundamentalisme sebagai sarana

penyebaran ide, paham dan gagasan. Penyebaran ide, paham dan ideologi ini

membentuk wacana fundamentalisme di media sosial.

Kelompok fundamentalisme meskipun jelas mereka menyatakan

penolakan terhadap barat, namun bersamaan dengan itu mereka juga mampu

hidup bersama dan berkompromi seperti terhadap perkembangan Ilmu dan

teknologi dari barat, media sosial yang menjadi produk perkembangan

teknologi dari barat digunakan sebagai sarana penyebaran paham dan

ideologi. Penyebaran ideologi fundamentalisme yang pada awalnya hanya

pada ruang-ruang publik yang berupa kajian dan pertemuan rutin, kini

8 Ibid, hlm 19.

11

merambah lewat dunia maya, melalui Facebook, Twitter dan media sosial lain.

Melalui media-media sosial tersebut kaum fundamentalis giat menyebarkan

paham fundamentalisme.

Seperti bola salju, sebuah isu yang dibahas oleh ratusan bahkan jutaan

orang di media sosial mampu bergerak semakin besar dan membuat sebuah

gerakan bersama-sama termasuk pembentukan wacana dan aksi sosial. Media

sosial saat ini telah menjadi forum untuk membahas berbagai isu dan

permasalahan.

Saat teknologi internet dan mobile phone semakin maju maka media sosial

pun ikut tumbuh dengan sangat pesat. Kini untuk mengakses facebook atau

twitter, bisa dilakukan di mana saja dan kapan saja hanya dengan

menggunakan sebuah mobil phone. Demikian cepatnya orang bisa mengakses

media sosial mengakibatkan terjadinya fenomena besar terhadap arus

informasi tidak hanya di negara-negara maju, tetapi juga di Indonesia.

Gambar 1 (https://id.techinisia.com/)9

Berdasarkan gambar 1 di atas, menurut data dari We Are Social, sampai

pada Agustus Tahun 2015, pengguna internet aktif di seluruh dunia kini

mencapai angka 3,17 miliar. Dari tahun ke tahun, jumlah pengguna internet

9 https://id.techinasia.com/talk/statistik-pengguna-internet-dan-media-sosial-terbaru-2015/ diakses

pada tanggal 24 Oktober 2015

12

bertumbuh hingga 7,6 persen. Dari jumlah seluruh pengguna internet sekitar

3,17 milyar tersebut 2,2 milyar memiliki akun aktif di media sosial. Dan 1,9

milyar diantaranya mengakses internet dari mobile phone.

Dari keseluruhan pengguna aktif media sosial di dunia yang berjumlah 2.2

milyar, data menunjukan bahwa 72 juta orang di Indonesia sudah memiliki

akun aktif di sosial media. Sebanyak 62 juta di antaranya mengakses melalui

ponsel. Rata-rata tiga jam waktu yang dihabiskan untuk melihat Facebook,

Twitter, dan jejaring lain. Data ini menunjukan pengguna media sosial di

Indonesia lebih tinggi dari statistik pengguna di India, China, Jepang, dan

Singapura. Dari 72,7 -jumlah akun aktif di media sosial. Sekitar 14 persen

menggunakan facebook. Facebook masih menjadi yang paling populer dengan

pangsa pasar terbesar, diikuti WhatsApp dan Twitter.10

Media sosial yang semakin populer dan memiliki jumlah pengguna yang

cukup besar telah menjadi kebutuhan dan gaya hidup menjadi sarana paling

efektif bagi sebuah kelompok maupun individu untuk menyebarkan ide,

gagasan dan ideologinya, Hal ini juga dimanfaatkan kelompok fundamentalis

dengan menggunakan media sosial seperti facebook, twitter dan youtube

sebagai sarana propaganda dan kampanye untuk menebarkan ideologi yang

mereka anut.

Berbagai macam strategi untuk menyebarkan paham oleh kaum

fundamentalis salah satunya dengan penggunaan istilah atau slogan yang

10 http://www.bbc.com/indonesia/multimedia/2015/02/150226_trensosial_viral_secret, diakses 5

Oktober 2015

13

bernuansakan keagamaan, bentuk simbol atau slogan yang merupakan wacana

digunakan untuk penyebaran ide merupakan srategi untuk mempermudah dan

menyederhanakan paham fundamentalisme.

Wacana seperti “Islam Satu”, sering kali dijumpai di media sosial, wacana

ini seringkali digaungkan oleh kaum fundamentalisme untuk mengkritik

berbagai macam paham dan aliran dalam Islam yang ada di bumi pertiwi,

berbagai macam paham keagamaan bagi kaum fundamentalisme merupakan

bentuk lain dari perpecahan. Wacana Islam Satu juga seringkali dimengerti

oleh kaum fundamentalisme sebagai dukungan untuk menyatukan umat Islam

dalam bingkai solidaritas dan sistem integrasi umat Islam.

Wacana berupa simbol seperti “Khilafah Solusi Dunia” merupakan anti

tesis dari wacana mapan negara bangsa yang menjadi bentuk Negara.

Indonesia. Fundamentalisme telah sampai pada pandangan bahwa bentuk

negara bangsa merupakan produk buatan negara kafir dari bekas jajahan dan

tidak mempunyai dasar dalam al-Quran maupun hadits Nabi. Wacana

penolakan terbuka terhadap ide negara bangsa menjadi sangat berbahaya bagi

kehidupan berbangsa dan bernegara karena fundamentalisme menempatkan

entitas negara sebagai sesuatu yang menjadi musuh.

Fundamentalisme mempunyai ciri khas dalam ujaran penggunaan bahasa

dalam kehidupan sehari-hari, bahasa arab yang menjadi bahasa resmi kitab

suci biasa digunakan untuk memanggil dan menyebut anggota kelompok yang

sepaham dengan ide fundamentalisme. Ujaran ana untuk menyebut saya

dalam terjemahan bahasa Indonesia, antum yang berarti kamu, akhi sebutan

14

untuk memanggil laki-laki, ukhti sebutan untuk perempuan, ikhwan sebagai

kata ganti orang kedua jamak yang berarti saudara-saudara, dan masih banyak

ujaran lain yang bisa digunakan oleh kelompok fundamentalisme. Ciri

penggunaan bahasa arab ini yang menjadi kekhasan dari kelompok

fundamentalisme. Ciri universalitas kesatuan dalam berbagai hal terjadi juga

dalam kesatuan penggunaan bahasa yang digunakan di media sosial.

Dalam hal berpakaian kelompok fundamentalisme sering

mengkampanyekan ciri khas dari kelompoknya sebagai pakaian resmi agama.

Dengan pembenaran pakaian yang digunakan adalah pakaian yang digunakan

oleh nabi dan orang-orang terdekatnya semasa hidup dulu. Penggunaan

pakaian sebagai simbol keagamaan bagi perempuan disebut sebagai hijab

syar‟i. Wacana Hijab syar‟i yang berarti pakaian penutup bagi perempuan

yang sesuai dengan syariat atau hukum Islam. Kampanye dalam penggunaan

hijab syar‟i kerap kali menyerang cara berpakaian wanita muslimah lain yang

dianggap tidak sesuai dengan syariat Islam. Bagi laki-laki berpakaian di atas

betis merupakan bagian dari pelaksaan kebiasaan nabi. Permasalahan Jenggot

yang ramai diperbincangkan karena sindiran dari Ketua Umum PBNU Prof.

Dr. KH Said Aqil Siradj (http://www.youtube.com/)11

yang menyatakan

semakin panjang jenggot seseorang maka semakin bodoh. Hal ini memancing

kelompok fundamentalisme untuk menyerang Ketua Umum NU sebagai

seseorang yang anti terhadap sunnah Nabi, antek liberal dan tuduhan lainnya.

11

https://www.youtube.com/watch?v=SklouxBi5_8, diakses tanggal 19 Oktober 2015. (Video ini

berisi 3 pernyataan. Pertama, pernyataan dari Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj yang mengkritik

jenggot. Kedua, klarifikasi dan penjelasan dari Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj tentang pernyataan

yang sebelumnya. Ketiga, pernyataan Buya Yahya yang membela jenggot sebagai identitas

keislaman seseorang)

15

Sikap reaktif yang ditunjukan kaum fundamentalisme terhadap permasalahan

jenggot bisa dimengerti karena jenggot merupakan bagian dari simbol

pembiasaan yang dilakukan nabi semasa hidup.

Wacana fundamentalisme lain yang sering dijumpai di media sosial adalah

kampanye anti toleransi seperti tuduhan-tudahan terhadap kristenisasi dengan

menyerang kelompok Kristen sebagai penghambat kemajuan Islam. Tuduhan-

tuduhan terhadap orang yang tidak sepaham dengan ideologi fundamentalisme

sangat banyak dijumpai, kelompok fundamentalisme tidak segan-segan

menuduh seseorang yang berbeda paham dengan sebutan antek liberal, Antek

amerika, antek yahudi dan antek liberal. Sebagai contoh tuduhan yang

menimpa tokoh bangsa yang kerap dipanggil Gus Dur, pemikiran Gus Dur

tentang ide toleransi, pluralisme, kebebasan berpikir dan menyatakan pendapat

dianggap menyimpang dan berlawanan dengan agama Islam.

Yenny wahid dari Wahid Intitute (http://m.news.viva.co.id/)12

dalam

peringatan hari perdamaian dunia menyatakan kekhawatiran kampanye

kekerasan di media sosial yang kerap kali disuarakan kelompok

fundamentalis, kekhawatiran intoleransi yang menyeruak di media sosial bisa

menular dan berkembang dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Maka Yenny Wahid mengajak kampanye cinta damai dalam media sosial,

kampanye cinta damai merupakan bentuk wacana tandingan untuk

12

http://m.news.viva.co.id/news/read/676505-yenny-wahid--media-sosial-harusnya-penuh-

dengan-pesan-cinta, diakses tanggal 5 Oktober 2015.

16

mengurangi pengaruh dari kampanye kekerasan yang disampaikan kelompok

lain.

Berbagai macam bentuk wacana fundamentalisme dari ujaran berbicara,

pakaian, identitas pribadi dan wacana kekerasan dalam memproduksi liyan di

media sosial dapat memunculkan dominasi wacana baru yang mengikis

wacana lama yang merupakan gambaran Islam yang moderat dan toleran.

Dominasi wacana dari kelompok Fundametalis yang sering dijumpai di

media sosial di dukung sikap militan dalam kehidupan sehari-hari yang juga

menular di dalam semangat militansi penyebaran paham di dunia maya. selain

sebagai penyebarluasan paham, kampanye dan propaganda, wacana kaum

fundamentalis di media sosial juga untuk mengukur sejauh mana respon

masyarakat luas terhadap ide-ide fundamentalisme yang sudah disebarkan.

Kekhawatiran penggunaan wacana fundamentalisme menjadi dominan di

media sosial bisa menular dan membahayakan sikap toleransi di dalam

kehidupan bermasyarakat sehari-hari.

17

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan sebelumnya, maka

dirumuskan tentang konstruksi wacana fundamentalisme Islam di media sosial

sehingga menjadi relasi kuasa dominan dengan beberapa batasan bahwa satu

wacana (prior discourse) mengajukan klaim kebenaran, sedangkan wacana

lain melakukan kritik atau penyerangan (counter-discourse), untuk selanjutnya

dibalas lagi oleh wacana pertama dalam bentuk pembelaan (apollogetic

discourse), atau malah serangan balik (counter-counter discourse). Maka,

dalam penelitian ini ada tiga unsur penting yang terlibat, yakni discourse,

yang menghasilkan counter-discourse yang merespon discourse dan penulis

yang menafsirkan counter-discourse. untuk memperoleh makna discourse.

Dengan demikian pertanyaan utama dalam penelitian ini adalah bagaimana

makna discourse tentang fundamentalisme Islam di media sosial

berlangsung?.

Untuk mengetahui makna discourse fundamentalisme Islam yang

berlangsung di media sosial, maka beberapa batasan pertanyaan dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana bentuk wacana (discourse) kelompok fundamentalisme Islam

di media sosial?

2. Bagaimana substansi diskursif wacana yang disebarkan fundamentalisme

Islam di media sosial?

3. Bagaimana wacana tandingan (counter-discourse) dari wacana dominan

fundamentalisme Islam di media sosial?

18

E. Tujuan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini

adalah:

a. Mengetahui bagaimana bentuk-bentuk wacana kelompok

fundamentalisme di media sosial.

b. Mengetahui substansi dari wacana yang disebarkan

fundamentalisme Islam di media sosial.

c. Mengetahui bagaimana counter-discourse dari wacana dominan

fundamentalisme Islam di media sosial.

d. Untuk mengetahui makna discourse yang berlangsung di media

sosial.

2. Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah

a. Sebagai karya ilmiah, hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna

bagi penelitian-penelitian selanjutnya.

b. Karya ilmiah ini dapat memberikan gambaran dari wacana

fundamentalisme di media sosial sebagai sebuah kajian wacana

yang menjadikannya sebagai masalah sosial.

c. Dapat membantu khalayak untuk mengisi ruang debat yang

dihadapi setiap kali permasalahan fundamentalisme dan

radikalisme muncul dengan membuat wacana tandingan.

19

d. Membantu organisasi Islam moderat yang tidak sependapat dengan

fundamentalisme untuk membuat counter-discourse yang tepat

guna mengikis dominasi wacana fundamentalisme di media sosial.

F. Kerangka Teori

1. Pengertian Wacana

Wacana adalah sebuah konsep yang masih kompleks. Jika menilik kamus

dan buku-buku referensi, ada berbagai macam definisi yang dapat ditemukan,

wacana merupakan sebuah konsep yang banyak digunakan dalam berbagai

bidang, terutama ilmu sosial, ilmu budaya dan lingusitik.

Dalam kamus besar bahasa Indonesia wacana didefiniskan sebagai

berikut:13

a. Komunikasi verbal, percakapan;

b. Keseluruhan tutur yang merupakan suatu kesatuan;

c. Satuan bahasa yang terlengkap yang terealisasikan

dalam bentuk karangan atau laporan utuh, seperti novel,

buku, artikel, pidato, atau khotbah;

d. Kemampuan atau prosedur berpikir secara sistematis;

kemampuan atau proses memberikan pertimbangan

berdasarkan akal sehat;

e. Pertukaran ide secara verbal.

13

Kamus Besar Bahas Indonesia Online dalam

http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/kbbi/index.php. Diakses tanggal 21 Oktober 2015

20

“Wacana” memang tidak dapat didefiniskan pada satu makna tertentu,

tidak bisa menunjukan makna yang definitif, karena konsep wacana memiliki

sejarah yang kompleks dan digunakan dalam berbagai cara yang berbeda dari

berbagai pemikiran, bisa ditemukan mulai dari ilmu lingusitik, ilmu budaya

hingga psikologi. 14

Beberapa arti wacana yang biasa digunakan dalam banyak bidang

keilmuan adalah sebagai berikut:

- “Discourse is the particular mode of textualit of an

institution. It is a set of textual arrangements which

work to organise and co-ordinate the actions, position

and identities of the people who inhabit them”.15

- “…various social practices and institution are both

constituted by and situated within form of discourse, A

discourse, on thus view, is a means of both producing

and organizing meaning within a social context.”16

- “Discourse is the social process of making and

reproducing sense(s), discourse are the product of

social, historica, and institutional formations and

meanings are produced by these institutionalised

discourse.17

14

Mills, Sara. 1997, Discourse. Oxon: Routledge, hlm: 8. 15

Thwaites, Tony, Lloyd Davis, Warwick Mules, 2002, Introducing Cultural and Media Studies,

London: Mcmillan, hlm 24. 16

Edgar, Andrew and Peter Sedgwick, 2006, Cultural Theory – The Key Concept. Oxon:

Routledge, hlm 41. 17

Hartley, Jhon. 2002, Communication, Cultural and Media Studies – The Key Concept. Oxon:

Routledge, hlm 97.

21

Dari beberapa pernyataan tentang wacana, wacana memang banyak

digunakan dalam berbagai bidang, kadang tanpa definisi yang jelas. Konsep

ini cenderung menjadi kabur, memiliki arti yang berbeda dalam konteks

yang berbeda. Wacana mendefinisikan sekaligus mengkonstruksi objek-

objek dari pengetahuan. Wacana juga bukan merupakan sesuatu yang

permanen, karena dapat berubah dari masa ke masa.

Namun dalam penelitian ini, penggunaan istilah wacana diambil dari

terjemahan dari discourse (discourse adalah istilah asli dalam bahasa

Perancis) yang digunakan Foucault. Discourse biasanya diterjemahkan ke

dalam bahasa Indonesia menjadi „wacana‟ atau „diskursus‟, maka „wacana‟

dalam konteks penelitian ini khususnya merujuk pada konsep discourse dari

Michel Foucault.

2. Teori Wacana Foucault

Foucault (1926-1984 adalah seorang filsuf Prancis, seorang sosiolog dan

sejarawan. Foucault dikategorikan sebagai seorang pemikir post-

strukuturalisme dan post-modernisme, Foucault semasa hidupnya

menghasilkan banyak karya, seperti The Archaelogy of Knowledge, Discipline

and Punishment, Madness and Civilization, The History of sexuality dan lain-

lain. Melalui berbagai karya Foucault meneliti tentang kekuasaan,

pengetahuan, relasi antara kekuasaan dan wacana.18

Pemikiran seorang

Foucault mempengaruhi berbagai bidang pengajaran seperti psikologi,

kedokteran, sastra, kriminologi, studi gender, teori poskolonial, sosiologi dan

kajian kebudayaan.

18

http://www.egs.edu/library/michel-foucault/biography/ diakses tanggal 21 Oktober 2015

22

Foucault membahas konsep wacana dalam „the Archaeology of

Knowledge‟ (terjemahan L‟Archeologie du Savoir, terbit 1972) ia mengkaji

wacana sebagai sistem representasi, tidak lagi hanya sekedar bahasa. Analisis

wacana dalam penelitian ini didasarkan pada pemikiran Michel Foucault,

pemikirannnya mengenai wacana bisa dibilang merupakan yang paling

terkemuka. Ide Foucault tentang wacana bisa dibilang merupakan yang paling

terkemuka dan banyak digunakan oleh pemikir-pemikir setelahnya.

Menurut Foucault, wacana mengkonstruksikan topik, mendefinisikan dan

memproduksi objek-objek pengetahuan, mengatur cara suatu topik bisa

dibicarakan dengan berarti, dan juga mempengaruhi bagaimana ide-ide diubah

menjadi praktik dan digunakan sebagai bentuk keteraturan. Wacana memiliki

kekuatan dan pengaruh di dalam suatu konteks sosial, dan menyusun struktur

pengertian tentang realitas dan gagasan tentang identitas. Wacana berfungsi

mendefinisikan berbagai hal yang dengan demikian wacana memiliki

kemampuan untuk membatasi dan mengekslusi hal lain yang berada di luar

wacana yang berlaku. Wacana yang sama dapat menghasilkan cara berpikir

atau pengetahuan pada suatu waktu yang sama akan memunculkan beragam

jenis teks dan lebih lanjut lagi dalam berbagai institusi dalam masyarakat

membentuk suatu formasi diskursif.19

Dari uraian di atas dapat dilihat salah

satu kerja wacana adalah melalui ekslusi, mengeluarkan hal-hal tertentu dari

anggapan sebagai hal yang nyata atau yang layak diperhatikan.

19

Mills, Sara. Op.Cit no. 14. hlm. 44.

23

Suatu unsur yang paling mendasar dari wacana adalah

statement.20

Statement adalah sesuatu yang menjadi balok dasar bangunan

utama suatu wacana. Suatu pernyataan bukanlah suatu ucapan saja, ini

mengandung arti bahwa suatu kalimat sebenarnya dapat berfungsi sebagai

beberapa pernyataan yang berbeda, bergantung pada konteks wacana yang

ada. Serangkaian statement yang dikelompokkan menjadi beberapa wacana

atau kerangka wacana yang berbeda membentuk episteme, suatu landasan

pemikiran, pada suatu waktu tertentu, di mana statement tertentu dianggap

sebagai pengetahuan.

Menurut Foucault, statement adalah ucapan-ucapan yang memiliki

kekuatan institusional, dan karena memiliki kekuatan institusional mendapat

legitimasi dari sesuatu bentuk otoritas. Ucapan-ucapan inilah yang termasuk

dalam kelompok „kenyataan/realitas‟. Ucapan dan teks yang menciptakan

klaim kebenaran serta yang disepakati sebagai pengetahuan, dapat

digolongkan sebagai statement. Dengan konsep ini, maka tidak ada kebenaran

yang universal. Apa yang dianggap sebagai kebenaran (truth) ditentukan oleh

regime of truth (rezim kebenaran) yang beredar dan dikuatkan oleh wacana

yang berlaku.

Regime of truth dibentuk oleh formasi diskursif atau struktur wacana, dan

kemudian dianggap sebagai pengetahuan umum atau popular knowledge.

Formasi diskursif dapat dideteksi dari teks-teks media, melalui statement-

statement di dalamnya. Kesatuan statement dari berbagai teks yang berbeda

20

Foucault, Michel. 2002, The Archeology of Knowledge. Trans. Alan Sheridan. Oxon: Routledge,

2002 hlm. 29. (Dalam karya aslinya Foucault menggunakan kata énoncé, yang secara umum

kemudian diterjemahkan sebagai statement atau pernyataan.)

24

menunjukan konsistensi dan keteraturan, dan ini yang menjadikan wacana

dominan. Agar wacana dapat diterima sebagai sesuatu yang benar, nyata dan

wajar, konstruksi dimodifikasi misalnya melalui legitimasi, pernyataan tokoh-

tokoh dan sebagainya.

Wacana dalam kumpulan statement-statement memiliki kekuasaan

institusional yang berarti memiliki pengaruh mendalam terhadap cara

bertindak dan berpikir individu. Wacana adalah berbagai statement memiliki

kekuatan serupa, dikelompokkan karena adanya suatu tekanan institusional,

karena keserupaan keadaan atau konteks, atau karena mereka bertindak

dengan cara yang sama. Dalam suatu wacana besar bisa terdapat berbagai sub-

wacana yang saling berhubungan tetapi juga saling berkontestasi, ada yang

menjadi dominan dan paling dianggap benar, dan berarti ada juga yang

marjinal atau bahkan terpinggirkan.

Wacana memproduksi objek-objek pengetahuan, dan tidak ada sesuatu

yang bermakna di luar wacana, ini bukan mengingkari keberadaan material

benda-benda, namun yang dimaksudkan Foucault tidak mengingkari yang di

luar wacana. Tidak ada objek yang memiliki makna. Objek fisik memang ada,

namun tidak memiliki makna yang tetap. Hanya dalam wacana suatu objek

bisa memperoleh makna dan menjadi sebuah objek pengetahuan. Ide bahwa

benda dan kejadian yang bersifat fisik memang ada, namun mereka baru

bermakna dan menjadi objek pengetahuan ketika berada dalam wacana,

merupakan inti dari teori pendekatan konstruksionis. Ini sejalan dengan ide

bahwa objek tidak mengandung maknanya masing-masing secara otomatis

25

Apa yang dianggap signifikan dan bagaimana menafsirkan objek dan

peristiwa serta menempatkannya dalam sistem makna adalah bergantung dari

formasi diskursif yang berlaku. Argumen ini menyatakan bahwa satu-satunya

cara untuk memahami realitas adalah melalui wacana. Dalam proses

memahami, subyek mengategorikan dan menafsirkan pengalaman dan

peristiwa menurut struktur diskursif yang ada pada subyek. Dalam proses

tersebut subyek memberi struktur itu suatu soliditas dan normalitas. Selain

objek-objek material, wacana juga mengonstruksi berbagai peristiwa tertentu

ke dalam narasi yang diakui oleh budaya tertentu sebagai peristiwa yang nyata

atau serius.21

Menurut Foucault ada tiga cara bagaimana suatu objek dibentuk melalui

wacana,22

tiga cara tersebut yaitu:

- Pemetaan permulaan kemunculannya. Kemunculan

wacana bisa berbeda-beda diakibatkan masyarakat yang

berbeda dan waktu yang berbeda. Contohnya di

keluarga, kelompok sosial, tempat kerja dan komuntas

agama. Dari perbedaan permulaan kemunculan ini,

wacana menentukan batasan-batasannya, memberi

definisi pada objek.

- Otoritas delimitasi. Ada pihak yang mempunyai otoritas

yang menguatkan atau melegitimasi sesuatu sebagai

objek, yang membedakan dan membatasi definisi akan

21

Mills, Sara., Op.Cit no. 14, Hlm 72-74 22

Foucault, Michel, Op.Cit no. 20, Hlm. 45-47

26

objek. Misalnya institusi hukum dan institusi

kedokteran.

- Keberadaan jaringan-jaringan spesifikasi. Ada suatu

sistem di mana objek diklasifikasikan, dihubungkan,

dikelompokkan, diturunkan menjadi objek-objek lain

dan seterusnya membentuk keterhubungan.

3. Teori Relasi Wacana dan Kuasa

Menurut Foucault, wacana bukan untuk pembongkaran representasi yang

benar dan akurat dan apa yang nyata, atau mempermasalahkan yang benar dan

salah, yang baik dan buruk. Foucault lebih tertarik pada cara kerja suatu

wacana menjadi yang dominan, yang didukung oleh berbagai institusi dan

mendapat banyak pengakuan dari masyarakat. Karena itu, salah satu unsur

kunci dalam membahas wacana Foucault adalah konsep power (kuasa).

Foucault melihat adanya hubungan yang erat antara kuasa (power) dengan

pengetahuan (knowledge).

Menurut Foucault, semua pengetahuan yang ada adalah merupakan hasil

atau pengaruh dari perjuangan kekuasaan. Semua pengetahuan tidak terkecuali

pengetahuan teoritis, ditentukan oleh kombinasi tekanan sosial, institusional

dan tekanan wacana yang ada saat itu. Kontestasi memperebutkan dominasi

ini akan saling bertentangan dengan beberapa pengetahuan.

Foucault tidak menempatkan kekuasaan sebagai sebuah kepemilikan yang

berada di tangan negara atau penguasa secara monolitik. Ia melihat kekuasaan

27

sebagai sebuah hubungan, bukan hanya sekedar pemaksaan satu arah, terlebih

dari atas ke bawah.

Deskripsi Foucault akan wacana yang dapat membentuk tindakan dan

keterhubungan antar kelompok. Wacana sebagai bentuk kekuasaan merupakan

sebuah bentuk tindakan atau hubungan antar individu yang dinegosiasikan

dalam setiap interaksi dapat dengan jelas dari pernyataan Foucault yang

dikutip Sara Mills sebagai berikut:

“instead of Gradually reducing the rather fluctuating meaning of

the words „discourse‟, I believe i have in fact added to its

meanings:treating it sometimes as general domain statement,

sometimes as an individualizable group of statement, and

samoetimes as regulated practice that accounts for a number of

statements.” Michel Foucault23

Bagi Foucault kekuasaan beredar dalam suatu masyarakat, bukan hanya

dimiliki oleh suatu kelompok. Kekuasaan merupakan suatu bentuk tindakan

atau hubungan antar kelompok. Kekuasaan merupakan sebuah bentuk

tindakan atau hubungan antar individu dalam masyarakat yang selalu

dinegosiasikan dalam setiap interaksi, dan tidak pernah bersifat stabil.

Foucault menolak ide tentang kekuasaan yang represif belaka, karena

menurutnya pasti selalu ada negosiasi dari pihak yang mendapat tekanan

dari semua pihak. Di mana ada kekuasaan, secara otomatis akan ada pula

resistensi, artinya tidak ada kekuasaan yang menjadi dominasi total.

Wacana tidaklah beroperasi demi kekuasaan ataupun muncul untuk

menentang kekuasaan. Foucault memaparkan bahwa wacana menyalurkan

dan menghasilkan kekuasaan, memperkuat kekuasaan, namun juga dapat

23

Mills, Sara., Op.Cit no. 14, hlm 35

28

meruntuhkan kekuasaan dan mengeksposnya, melemahkan namun juga

menciptakan kemungkinan untuk menghalanginya.24

Wacana menurut Foucault bisa menjadi sebuah strategi atau alat untuk

menanamkan ideologi, pendapat tersebut berdasarkan pernyataan Foucault

sebagai berikut:

“The notion of ideology appears to me to be difficult to use for

three reasons. The first is that, wether one want it to be or not, it is

always in virtual opposition to something like the truth... The

second incoonvenience is that it refers, necesesarily I believe,to

something like subject. Thirdly, ideology is in a -secondary

position in realition to something which mst function as the infra-

structure or economic or material determinant for

it”(Foucault,1979e:36)25

Wacana bagi Foucault pada akhirnya bukan hanya sekumpulan

pernyataan tetapi juga berbagai teks yang memiliki makna, kekuatan dan

efek dalam konteks sosial. Wacana dapat dideteksi karena secara sistematis

suatu ide, opini, konsep, dan pandangan hidup dibentuk dalam konteks

tertentu sehingga mempengaruhi cara berpikir dan bertindak.

Kekuasaan bagi Foucault selalu tersampaikan melalui pengetahuan, dan

pengetahuan selalu punya efek kuasa. Penyelenggara kekuasaan selalu

memproduksi pengetahuan tentang kebenaran sebagai basis dari

kekuasaannya. Konsep Foucault ini membawa konsekuensi bahwa untuk

mengetahuai kekuasaan dibutuhkan penelitian mengenai produksi

24

Foucault, Michel., 2007, History of sexuality. Terjemahan “La Volonté de Savoir” . Trans.

Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan FIB Universitas Indonesia, hlm: 45-83 25

Mills, Sara., Op.Cit no. 14, hlm 32.

29

pengetahuan yang melandasi kekuasaan karena setiap kekuasaan disusun,

dimapankan, dan diwujudkan lewat pengetahuan dan wacana tertentu. 26

Menurut Fairclough dan Wodak, wacana digunakan sebagai bentuk dari

praktik sosial. Wacana memberi gambaran sebagai sebuah praktik sosial

yang menyebabkan sebuah hubungan dialektis diantara peristiwa diskursif

tertentu dengan situasi, institusi, dan struktur sosial yang membentuknya,

wacana juga dapat menampilkan efek ideologi, wacana dapat memproduksi

dan mereproduksi hubungan kekuasaan yang tidak imbang antara kelas

sosial, laki-laki dan wanita, kelompok mayoritas dan minoritas melalui

perbedaan itu direpresentasikan dalam posisi ruang ditampilkan.

Berikut ini karakteristik penting dari analisis wacana kritis dari Teun A

Van dijk, Fairclough, dan Wodak:27

- Tindakan

Wacana dipahami sebagai sebuah tindakan (action).

Dengan pemahaman semacam ini mengasosiasikan

wacana sebagai bentuk interaksi. Orang berbicara atau

menulis bukan diartikan ia melakukan hal itu untuk

dirinya sendiri. Ada dua konsekensi bagaimana wacana

harus dipandang. Pertama, wacana ialah sebagai sesuatu

yang bertujuan, apakah untuk mempengaruhi,

mendebat, atau membujuk. Kedua, wacana dipahami

sebagai sesuatu yang diekspresikan secara sadar,

26

Eriyanto, A. 2001, Analisis Wacana. Yogyakarta: LkiS, hlm 65 27

Ibid, hlm 8-14

30

terkontrol, bukan sesuatu yang di luar kendali atau

diekspresikan di luar kesadaran.

- Konteks

Wacana dipandang, diproduksi, dimengerti dan

dianalisis pada satu konteks tertentu, seperti latar

situasi, peristiwa dan kondisi. Menurut Guy Cook,

analisis wacana juga memeriksa konteks dari

komunikasi: siapa yang mengkomunikasikan, dengan

siapa dan mengapa, dari jenis khalayak dan situasi apa,

melalui medium apa, bagaimana perbedaan tipe dari

perkembangan komunikasi, dan hubungan untuk setiap

masing-masing pihak. Guy Cook menyebut ada tiga hal

yang sentral dalam pengertian wacana: teks, konteks,

dan wacana. Teks ialah semua bentuk bahasa, tidak

hanya tulisan, namun juga jenis ekspresi komunikasi,

ucapan, musik efek, gambar dan sebagainya. Konteks

memasukkan semua situasi dan hal yang berada diluar

teks dan mempengaruhi pemakaian bahasa, seperti

partisipan, dalam bahasa, situasi dimana konteks

tersebut diproduksi, fungsi yang dimaksud, dan

sebagainya.

- Historis

Menempatkan dalam konteks sosial tertentu, berarti

wacana diproduksi dalam konteks tertentu dan tidak

31

dapat dimengerti tanpa menyertakan konteks yang

menyertainya. Salah satu aspek penting untuk bisa

mengerti teks adalah dengan menempatkan wacana itu

dalam konteks historis tertentu. Pemahaman mengenai

wacana teks ini hanya akan diperoleh bila kita dapat

memberikan konteks historis dimana teks itu

diciptakan, seperti situasi politik atau yang lainnya saat

wacana tersebut diciptakan.

- Kekuasaan

Setiap wacana yang mucul, baik berbentuk teks,

percakapan, tidak dipandang sebagai suatu yang

alamiah, wajar, dan netral tetapi merupakan bentuk

pertarungan kekuasaan, konsep kekuasaan adalah salah

satu kunci hubungan anatara wacana dan masyarakat.

Seperti kekuasaan laki-laki dalam wacana mengenai

seksisme, kekuasaan kulit putih terhadap kulit hitam

dalam wacana mengenai rasisme. Kekuasaan dalam

wacana penting untuk melihat apa yang disebut sebagai

kontrol. Kontrol dalam hal ini tidak harus dalam

tindakan fisik dan langsung, tetapi juga kontrol secara

mental dan psikis. Kelompok yang dominan mungkin

membuat kelompok lain bertindak seperti yang

diinginkan olehnya, berbicara dan bertindak sesuai yang

diinginkannya.

32

- Ideologi

Teks, percakapan, dan lainnya adalah bentuk dari

praktik ideologi atau pencerminan dari ideologi

tertentu. Teori klasik tentang ideologi diantaranya

mengatakan bahwa ideologi dibangun oleh kelompok

yang dominan dengan tujuan untuk mereproduksi dan

melegitimasi dominasi mereka. Salah satu strategi

utamanya adalah dengan membuat kesadaran kepada

khalayak bahwa dominasi itu diterima secara taken for

granted (yang dibenarkan). Van Dijk menyatakan,

bahwa ideologi terutama dimaksudkan untuk mengatur

masalah tindakan dan praktik individu atau anggota

suatu kelompok.

G. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian

kualitatif. penelitian kualitatif adalah riset yang bersifat deskriptif dan

cenderung menggunakan analisis dengan pendekatan induktif. Proses dan

makna (perspektif subyek) lebih ditonjolkan dalam penelitian kualitatif.

Landasan teori dimanfaatkan sebagai pemandu agar fokus penelitian sesuai

dengan fakta di lapangan. Selain itu landasan teori juga bermanfaat untuk

memberikan gambaran umum tentang latar penelitian dan sebagai bahan

pembahasan hasil penelitian.

33

Menurut Bogdan dan Taylor, pendekatan kualitatif ini berarti sebagai

prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata

tertulis atau lisan dari orang-orang yang berlaku yang dapat diamati.

Sedangkan Kirk dan Miller mendefinisikan bahwa penelitian kualitatif adalah

tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental

bergantung pada pengamatan pada manusia dalam kawasannya sendiri dan

berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan dalam

peristilahannya.28

Ada perbedaan mendasar antara peran landasan teori dalam penelitian

kuantitatif dengan penelitian kualitatif. Dalam penelitian kuantitatif, penelitian

berangkat dari teori menuju data, dan berakhir pada penerimaan atau

penolakan terhadap teori yang digunakan. Sedangkan dalam penelitian

kualitatif penulis bertolak dari data, memanfaatkan teori yang ada sebagai

bahan penjelas, dan berakhir dengan suatu “teori”.29

Menurut Moleong, penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud

untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian

misalnya perilaku, persepsi, motifasi, tindakan, dll, secara holistik dan dengan

cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus

yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah.30

Sedangkan metode ilmiah yang digunakan dalam penelitian kualitatif ini

adalah metode analisis dari Sara Mills. Metode ini untuk memperoleh data

yang obyektif dalam penelitian, dengan melihat posisi subyek dan obyek

28

Moleong, Lexy. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, hlm.

3 29

Ibid, hlm. 165

30 Ibid, hlm 6

34

dalam representasi wacana fundamentalisme Islam di media sosial agar

penulis dapat melihat formasi diskursif wacana yang mengandung muatan

ideologi tertentu, dan penulis juga meneliti posisi wacana tandingan yang

selanjutnya digunakan penulis untuk menganalisis pemaknaan yang

sebenarnya sesuai konteks kerangka teori dalam penelitian ini.

2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini berlangsung selama 3 (tiga) bulan, dari bulan Oktober

hingga Desember, Dengan obyek penelitian yaitu media sosial, khususnya

twitter dan facebook. Penulis mengkategorisasikan pernyataan dan opini-opini

melalui penelusuran user facebook dan twitter mengenai tema

fundamentalisme yang termuat pada dari Januari 2014 sampai Desember

2015.

3. Subyek Penelitian

Subyek penelitian ini adalah wacana kelompok Fundamentalisme Islam di

media sosial, beberapa subyek penelitian kelompok yang termasuk

fundamentalisme Islam di Indonesia adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI),

Front Pembela Islam (FPI), Ikhwanul Muslimin (yang ada di dalam organisasi

KAMMI), Majelis Mujahidin Indonesia dan Jama‟ah Anshor Tauhid (JAT).

Subyek wacana dalam penelitian ini adalah wacana fundamentalisme

agama yang berhubungan dengan katagorisasi wacana Islam dan Negara,

pemberlakuan syariat Islam sebagai hukum positif, wacana pendirian khilafah

Islam dan beberapa wacana lain yang berhubungan langsung dengan wacana

fundamentalisme Islam.

35

Subyek penelitian selanjutnya adalah wacana tandingan (counter-

discourse) yang menentang berbagai wacana fundamentalisme di media

sosial. Wacana tandingan ini dapat diidentifikasi dengan statement-statement

penolakan terhadap wacana fundamentalisme Islam.

4. Metode Pengumpulan Data

Dalam bagian ini, diuraikan teknik pengumpulan data yang digunakan

yaitu metode dokumentasi, Metode dokumentasi adalah metode ilmiah dalam

pengumpulan data melalui hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip,

buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat dan sebagainya.31

Penelitian ini memanfaatkan data yang berupa kumpulan teks yang

berisikan statement-statement di media sosial yaitu facebook dan twitter.

Khususnya yang memuat tentang wacana fundamentalisme Islam beserta

wacana tandingannya.

Dari Hasil penelitian ditemukan beberapa wacana yang dikelompokkan

untuk dijadikan gambaran dalam analisis wacana, sebagai berikut:

Wacana

Fundamentalisme

Islam

Jumlah

Wacana Syariat Islam 19

Wacana Khilafah

Islam

a. Wacana

Khilafah HTI

15

31

Suharsimi, Arikunto. 1993, Produser Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka

Cipta, hlm 202.

36

b. Wacana

Khilafah ISIS

11

Wacana Kekerasan

dan Ujaran Kebencian

a. Bahaya Islam

moderat dan

Islam Nusantara

13

b. Kampanye Syiah

Bukan Islam

16

c. Perlawanan

Negara dan

demokrasi

9

d. Kampanye

Intoleransi dan

Kekerasan

8

Countre-Discourse

Fundamentalisme

Islam

20

Dalam mengumpulkan data, penulis melakukan pencarian akun-akun

yang ada di media sosial facebook dan twitter, pencarian akun di twitter

melalui mesin pencarian (searching) dan facebook melalui penelusuran

akun-akun yang mempunyai kecenderungan dan secara jelas menyuarakan

ide-ide fundamentalisme. Akun-akun tersebut dipilih dengan beberapa

37

kriteria untuk mengidentifikasi keakuratan wacana yang akan dianalisis.

Kriteris tersebut yaitu pertama, keteraturan statement-statement yang

termediakan di media sosial, kedua, keterhubungan statement dengan tema

fundamentalisme yang penulis teliti. Ketiga, banyaknya teman dan pengikut

(follower) dari akun-akun yang akan dinalisis. Keempat, jumlah respon yang

banyak dari statement yang termediakan dari akun di facebook dan twitter,

respon tersebut baik yang menyetujui maupun yang menolak.

Beberapa kriteria tersebut mengahasilkan sejumlah akun yang akan

dianalisis, 91 akun yang mengandung ide fundamentalisme dan 20 akun

yaang menolak ide fundamentalisme. 91 akun yang mendukung

fundamentalisme Islam terdiri dari 19 akun yang mengandung muatan

wacana Syariat Islam, 15 yang mengandung wacana khilafah Islam versi

HTI, 11 akun yang mengandung wacana khilafah versi ISIS, 46 akun yang

mengandung wacana kekerasan dan kebencian yang terdiri dari 13 akun

yang mengandung wacana bahaya Islam moderat dan Islam Nusantara, 16

akun yang mengandung kampanye Syiah Bukan Islam, 9 akun mempunyai

wacana perlawanan terhadap negara dan demokrasi, dan 8 akun yang

memiliki wacana kampanye intoleransi dan kekerasan. Sedangkan yang

menolak ide fundamentalisme berjumlah 20 akun.

5. Metode Analisis Data

Dalam melakukan analisis wacana, tidak ada langkah-langkah tertentu atau

metode standar yang harus diikuti.32

Hal ini pada dasarnya berlaku pada

sebagian besar penelitian kualitatif yang memang tidak memiliki metode

32

Phillips, Nelson, dan Cynthia Hardy. 2002, Discourse Analysis: Investigating Processes of

Social Construction. Thousand Oaks: Sage. Hlm 74

38

standar untuk menghasilkan kesimpulan seperti pada metode yang lebih

bersifat kuantitatif. Maka, isu mengenai validitas yaitu bahwa gagasan bahwa

hasil penelitian berhasil merefleksikan dunia nyata dan reliabilitas yaitu

gagasan bahwa hasil penelitian yag serupa akan sama, tidal relevan dalam

analisis wacana, pemikiran yang melatarbelakangi teori-teori wacana memang

memandang bahwa apa yang nyata adalah hasil konstruksi, dan berbagai

wacana dapat menghasilkan pemaknaan yang berbeda-beda pula pada isu yang

sama.

Metode analisis yang digunakan adalah analisa wacana yang dipopulerkan

oleh Sara Mills, Sara Mills menggunakan analisa wacana dengan melihat

bagaiman posisi-posisi aktor yang ditampilkan dalam teks wacana, yaitu posisi

dalam arti siapa yang menjadi subyek pewacanaan dan siapa yang menjadi

obyek pewacanaan akan menentukan bagaimana struktur wacana dan

bagaimana makna diperlakukan dalam wacana secara keseluruhan. Selain itu

juga memusatkan perhatian pada bagaimana pembaca mengidentifikasi dan

menempatkan dirinya dalam penceritaan teks. Posisi ini akan menempatkan

pembaca pada pada salah satu posisi dan mempengaruhi bagaimana teks itu

hendak dipahami dan bagaimana pula aktor sosial ini ditempatkan. Pada

akhirnya cara penceritaan dan posisi-posisi yang ditempatkan dan ditampilkan

dalam teks ini membuat satu pihak menjadi legitimate dan pihak lain menjadi

illegitimate.33

a. Posisi Subyek-Obyek

Sara Mills menempatkan representasi sebagai bagian terpenting

33

Eriyanto, A. Op. Cit. no 26, hlm 200

39

dari analisisnya. Bagaimana satu pihak, kelompok, orang, gagasan,

atau peristiwa ditampilkan dengan cara tertentu dalam wacana

berita yang mempengaruhi pemaknaan ketika diterima oleh

khalayak.34

Selanjutnya Sara Mills lebih menekankan pada

bagaimana posisi dari berbagai aktor sosial, posisi gagasan, atau

peristiwa itu ditempatkan dalam teks. Posisi tersebut pada akhirnya

menentukan bentuk teks yang hadir di tengah khalayak. Misalnya

seorang aktor yang mempunyai posisi tinggi ditampilkan dalam

teks, ia akan mempengaruhi bagaimana dirinya ditampilkan dan

bagaimana pihak lain ditampilkan. Wacana fundamentalisme di

media sosial bukanlah sarana yang netral, tetapi cenderung

menampilkan aktor tertentu sebagai subyek yang mendefinisikan

peristiwa atau kelompok tertentu. Posisi itulah yang menentukan

semua bangunan unsur teks, dalam arti pihak yang mempunyai

posisi tinggi untuk mendefinisikan realitas akan menampilkan

peristiwa atau kelompok lain ke dalam bentuk struktur wacana

yang akan hadir kepada khalayak.

Posisi sebagai subyek dan obyek dalam representasi ini

mengandung muatan ideologi tertentu. Dalam hal ini bagaimana

posisi ini memarginalkan posisi liyan yang bukan kelompoknya

ketika ditampilkan melalui berbagai statement di media sosial,

pertama posisi ini menunjukan dalam batas tertentu sudut pandang

pewacanaan, artinya sebuah ide, gagasan dan gambaran aktor-

34

Ibid, hlm 201-2003

40

aktornya dijelaskan dalam sudut pandang paham fundamentalisme.

Dengan demikian khalayak tergantung sepenuhnya kepada

pewacana yang bukan hanya menampilkan dirinya sendiri tetapi

juga sebagai juru kebenaran. Kedua, sebagai subyek representasi,

pihak fundamentalis mempunyai otoritas penuh dalam

mengabsahkan penyampaian wacana tersebut kepada pembaca.

Karena posisinya sebagai subyek, kelompok fundamentalis bukan

hanya mempunyai keleluasan mewacanakan liyan tetapi juga

menafsirkan berbagai macam ide dan gagasan dari liyan untuk

membangun pemaknaan subyektif yang disampaikan kepada

khalayak. Ketiga, karena proses pendefinisian ini bersifat

subyektif, tentu saja sangat sulit dihindari kemungkinan

pendefinisian secara sepihak dari sudut pandang kelompok lain,

fundamentalis bukan hanya mendefinisikan dirinya sendiri tetapi

juga mendefinisikan pihak lain dalam perspektif atau sudut

pandangnya sendiri.

b. Posisi Pembaca

Hal yang penting dan menarik dalam model analisa yang

diperkenalkan oleh Sara Mills adalah bagaimana pembaca

ditampilkan dalam teks. Sara Mills berpandangan, dalam suatu teks

wacana posisi pembaca sangat penting dan haruslah

diperhitungkan dalam suatu teks wacana. Mills menolak

pandangan banyak ahli yang menempatkan dan mempelajari

konteks semata dari sisi penulis, sementara dari sisi pembaca

41

diabaikan, dalam model semacam ini, teks dianggap semata

sebagai konsumen yang tidak mempengaruhi pembuatan suatu teks

atau statement. Model yang diperkenalkan Mills justru sebaliknya.

Teks atau statement adalah hasil negosiaisi antara penulis dan

pembaca. Oleh karena itu, pembaca tidaklah dianggap semata

sebagai pihak yang hanya menerima teks atau statement, tetapi

juga ikut melakukan transaksi sebagaimana akan terlihat dalam

teks.

Bagi Sara Mills, membangun suatu model yang

menghubungkan antara teks dan penulis di suatu sisi dengan teks

dan pembaca di sisi lain, mempunyai sejumlah kelebihan. Pertama,

model semacam ini akan memperlihatkan secara komprehensif

bukan hanya berhubungan dengan faktor produski tetapi juga

persepsi. Kedua, posisi pemabaca di sini ditempatkan dalam posisi

nyang penting, hal ini karena teks memang ditujukan secara

langsung dan tidak “berkomunikasi” dengan khalayak.35

Kalau konsepsi ini hendak diterjemahkan dalam wacana fundamentalisme,

maka analoginya adalah demikian, wacana tentang paham fundamentalisme

tidaklah ditempatkan sebagai sebagai hasil produksi dari golongan

fundamentalis semata, golongan fundamentalis dan pembaca tidaklah

ditempatkan semata sebagai sasaran, karena wacana adalah hasil negosiasi

antara golongan fundamentalis dan pembacanya. Oleh karena itu, dalam

mempelajari konteks dari sisi golongan fundamentalis perlu juga mempelajari

35

Ibid, hlm 204

42

konteks dari sisi pembaca.

Beberapa hal yang harus dilakukan dalam menganalisa teks dalam media

sosial adalah pertama pembacaan seksama teks-teks tersebut, kemudian

mencatat isu-isu utama dan tema yang menonjol, setelah itu melihat adakah

hubungan antara isu-isu yang muncul (hubungan antar teks yang dianalisis),

bagaimana hubungan itu terjadi dan apakah dapat melihat pola-pola tertentu

yang terbentuk. Kesemuanya dilakukan dalam sebuah konteks yang

jelas.36

Seperti halnya penelitian kualitatif yang lain, hasil temuan analisis

wacana tidak dimaksudkan untuk generalisasi, analisis yang dilakukan

berdasarkan pada bahasa dan teks dalam konteks sosial yang spesifik.

Penelitian ini juga akan menganalisa formasi wacana fundamentalisme

Islam yang muncul di media sosial. Wacana tersebut dinalisis dengan melihat

statement-statement dari kelompok fundamentalis Islam yang menjadi subyek

penelitian ini. Statement-statement tersebut kemudian dikelompokkan dan

dianalisis untuk melihat hubungan dan kaitannya. Penulis juga akan melihat

formasi diskursif yang terbentuk yang kemudian membangun wacana tentang

fundamentalisme.

Fundamentalisme sebagai sebuah wacana (discourse) di media sosial yang

membentuk formasi diskursif, konstruksi wacana fundamentalisme Islam di

media sosial sehingga menjadi relasi kuasa dominan dengan beberapa batasan

bahwa satu wacana (prior discourse) yang mengajukan klaim kebenaran,

sedangkan wacana lain melakukan kritik atau penyerangan (counter-

discourse), untuk selanjutnya dibalas lagi oleh wacana pertama dalam bentuk

36

Holloway, Immy. 1997, Basic Concepts for Qualitative Research. Oxford: Blackwell. Hlm 47-

49

43

pembelaan (apollogetic discourse), atau malah serangan balik (counter-

counter discourse). Dengan demikian, dalam penelitian ini ada tiga unsur

penting yang terlibat, yakni discourse, yang menghasilkan counter-

discourse yang merespon discourse dan penulis yang menafsirkan counter-

discourse untuk memperoleh makna discourse.