Upload
rezky-permana
View
23
Download
6
Embed Size (px)
Citation preview
5
BAB II TINJAUAN
PUSTAKA
2.1. Tanah Gambut
2.1.1. Asal Mula Terbentuknya Tanah Gambut
Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, kata gambut berasal dari bahasa
Banjar (bahasa sehari – hari penduduk Kalimantan Selatan) yang artinya tanah
lunak dan basah, terdiri atas lumut dan bahan tanaman lain yg membusuk
(biasanya terbentuk di daerah rawa atau di danau yg dangkal). Gambut terbentuk
dari hasil dekomposisi bahan – bahan organik seperti dedaunan, ranting serta
semak belukar yang berlangsung dalam kecepatan yang lambat dalam keadaan
anaerob atau jenuh air (Handayani, I.P. 2003). Pada umumnya tanah gambut
berwarna coklat tua sampai dengan hitam dan memiliki bau yang khas karena
pelapukan dan pembusukan dari bahan organik pembentuknya. Kandungan
organik pada tanah gambut cukup tinggi dikarenakan berasal dari proses
pelapukan fragmen – fragmen material organik yang berasal dari berbagai jenis
tumbuhan yang membusuk akibat pengaruh cuaca dan fosil. Daerah yang banyak
mengandung tanah gambut dapat dijumpai pada daerah pegunungan, dataran
tinggi dan dataran rendah yang terendam air dalam waktu cukup lama. Menurut
Van de Meene (1984), gambut di Asia Tenggara mulai terbentuk kira – kira pada
18.000 tahun yang lalu. Gambut di Indonesia sendiri diperkirakan terbentuk antara
6.800 hingga 4.200 tahun yang lalu (Andriesse 1994).
Luttig (1986) mengemukakan hukum dasar dari proses terbentuknya deposit
tanah gambut yaitu pelapukan material asli, akumulasi, dan terakhir adalah
preservasi atau penyimpanan. Jadi proses pelapukan tumbuhan sebagai material
asli memiliki peranan penting dalam pembentukan tanah gambut. Pada mulanya
tumbuhan tersebut hidup, kemudian mati dan mengalami dekomposisi atau
pelapukan. Hasil dari dekomposisi atau pelapukan tersebut jika dibiarkan
terakumulasi, maka lama kelamaan akan terbentuk lapisan tanah gambut.
6
2.1.2. Tanah Gambut Indonesia
Seperti telah disampaikan sebelumnya, gambut di Indonesia diperkirakan
terbentuk antara 6.800 hingga 4.200 tahun yang lalu (Andriesse 1994).
Diperkirakan pada saat itu di daerah sepanjang pantai Pulau Sumatera,
Kalimantan, dan Papua terbentuk tanah endapan (alluvial) yang luas akibat
turunnya permukaan air laut beberapa meter dan bertambahnya partikel tanah
lempung. Hal ini mengakibatkan perubahan kondisi pertumbuhan beberapa
spesies sehingga hutan bakau yang tumbuh di daerah tersebut perlahan digantikan
oleh spesies tumbuhan lain sebagai akibat akumulasi bahan – bahan organik. Pada
akhirnya hutan rawa bakau tersebut berubah menjadi hutan rawa gambut dalam
kondisi air yang sudah berubah menjadi air tawar.
Penyebaran tanah gambut di Indonesia sebagian besar terletak di Pulau
Sumatera, Kalimantan, dan Papua, yang sebagian besar merupakan gambut pada
dataran rendah. Selain itu juga terdapat gambut pada dataran tinggi seperti pada
daerah Gunung Kinibalu walaupun prosentasenya cukup kecil. Lahan gambut
Indonesia merupakan lahan gambut tropis terluas, yaitu sekitar 21 juta Ha (BB
Litbang SDLP 2008) seperti dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Luas Total Lahan Gambut Indonesia
Pulau/Propinsi Luas Total (ha)
Sumatera 6.244.101Riau 4.043.600Jambi 716.839
Sumatera Selatan 31Kalimantan 5.072.249
Kalimantan Tengah 3.010.640Kalimanta Barat 1.729.980
Kalimanta Selatan 331.629Papua dan Papua Barat 7.001.239Total 18.317.589
Catatan: Jika luas lahan gambut di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara,
Sumatera Barat, Bengkulu, dan Kalimantan Timur ikut diperhitungkan, maka luas
total lahan gambut Indonesia adalah sekitar 21 juta Ha.
Sumber : BB Litbang SDLP 2008.
7
2.1.3. Klasifikasi Tanah Gambut
Tanah gambut dapat dibagi menjadi beberapa sistem klasifikasi berdasarkan
macam – macam komponennya. Von Post (1922) mengembangkan sistem
klasifikasi tanah gambut berdasarkan pada derajat dekomposisi tumbuhan
pembentuknya. Secara garis besar menurut sistem ini gambut diklasifikasikan
dalam 10 (sepuluh) tingkat derajat pembusukan dari H1 (gambut yang belum
membusuk sama sekali) hingga H10 (Gambut yang telah membusuk sempurna).
Pembagian tersebut diuraikan lagi menjadi lebih spesifik seperti terlihat pada
Tabel 2.2.
Berdasarkan kandungan organiknya, sistem USSR dan Mankinen, dkk.
(1982) menyatakan bahwa gambut adalah tanah organik yang memiliki
kandungan organik > 50%. Menurut Kearns, dkk. (1982), Landva, dkk. (1982),
dan ASTM (1985) yang dimaksud dengan tanah gambut adalah tanah organik
dengan kandungan organik > 75%.
Berdasarkan serat yang dikandungnya, McFarlane dan Radforth (1965)
membagi tanah gambut menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu tanah gambut tidak
berserat (amorphous granular peat) dengan kandungan serat lebih kecil dari 20%
dan tanah gambut berserat (fibrous peat) yang memiliki kandungan serat 20% atau
lebih. Tanah gambut tidak berserat sebagian besar air porinya berada di sekeliling
butiran tanah dan memiliki perilaku yang mirip dengan perilaku tanah lempung,
sedang tanah gambut berserat memiliki perilaku yang sangat jauh berbeda
dikarenakan kandungan seratnya yang banyak.
Berdasarkan ketebalannya, Jamil, dkk (1989) membedakan gambut di
Indonesia menjadi empat tipe yaitu gambut dangkal (ketebalan 0,5 – 1,0 m),
gambut sedang (ketebalan 1,0 – 2,0 m), gambut dalam (ketebalan 2,0 – 3,0 m) dan
gambut sangat dalam (ketebalan melebihi 3,0 m).
Sistem ASTM dalam ASTM D4427-92 (1992) membagi tanah gambut
berdasarkan lima hal pokok yaitu kadar serat, kadar abu, tingkat keasaman,
tingkat penyerapan, dan komposisi tumbuhan. Pembagian tersebut dapat dilihat
pada Tabel 2.3.
8
Tabel 2.2. Sistem Klasifikasi Von Post (1992)
DerajatPembusukan Deskripsi
H1Gambut yang sama sekali belum membusuk, yang mengeluarkan air cukup jernih. Sisa-sisa tumbuhan yang ada akan dengan mudah diidentifikasi. Tak ada material amorf yang terlihat.
H2Gambut yang hampir seluruhnya belum mengalami pembusukan sama sekali, yang mengeluarkan air cukup jernih atau sedikit kekuning- kuningan. Sisa-sisa tumbuhan yang ada akan dengan mudah diidentifikasi. Tak ada material amorphous yang terlihat.
H3Gambut yang sangat sedikit mengalami pembusukan, yang mengeluarkan air keruh dan berwarna coklat, tapi jika diremas tak ada bagian gambut yang melalui sela-sela jari. Sisa-sisa tumbuhan yang ada masih dapat dengan mudah diidentifikasikan. Tak ada material amorf yang terlihat.
H4Gambut yang sedikit mengalami pembusukan, yang mengeluarkan air gelap dan sangat keruh. Jika diremas tak ada bagian gambut yang melalui sela-sela jari tapi sisa-sisa tumbuhan yang ada sedikit berbentuk seperti bubur dan telah kehilangan beberapa ciri yang dapat dikenali.
H5
Gambut yang mengalami pembusukan sedang yang mengeluarkan air sangat keruh dan jika diremas akan ada sedikit butiran gambut amorf melalui sela-sela jari. Struktur dari sisa-sisa tumbuhan sedikit sukar untuk dikenali, walaupun masih memungkinkan untuk mengidentifikasi ciri-ciri tertentu. Dan sisa-sisa tumbuhan tersebut hampir seluruhnya berbentuk seperti bubur.
H6
Gambut yang hampir separuhnya mengalami pembusukan dengan struktur tumbuhan yang sukar untuk dikenali. Jika diremas sekitar sepertiga bagian dari gambut akan keluar melewati sela-sela jari. Sisa-sisa tumbuhan tersebut hampir seluruhnya berbentuk seperti bubur dan menunjukan struktur tumbuhan yang lebih mudah utnuk dikenali dibandingkan sebelum diremas.
H7
Gambut yang lebih dari separuhnya telah membusuk. Mengadung banyak material amorf dan struktur tumbuhan sangat kering yang sukar dikenali. Jika diremas sekitar setengah bagian dari gambut akan keluar melewati sela-sela jari. Kalaupun ada air yang keluar, akan berwarna sangat gelap.
H8
Gambut yang hampir seluruhnya telah membusuk dengan sejumlah besar material amorf dan struktur tumbuhan sangat kering yang sukar dikenali. Jika diremas sekitar 2/3 bagian dari gambut akan keluar melewati sela-sela jari. Sejumlah kecil sisa-sisa tumbuhan akan tertinggal di tangan berupa sisa-sisa akar dan serat yang tidak membusuk.
H9
Gambut yang telah membusuk selurunya dimana hampir tidak ada lagi sisa-sisa struktur tumbuhan yang dapat dilihat. Jika diremas, hampir seluruh gambut akan keluar melewati sela-sela jari dalam bentuk pasta yang hampir seragam.
H10Gambut yang telah membusuk sempurna tanpa ada struktur tumbuhan yang dapat dilihat. Jika diremas, seluruh bagian gambut yang basah akan keluar melewati sela-sela jari.
(Sumber : Von Post 1992 dalam Panduan Geoteknik I 2001)
9
Tabel 2.3. Klasifikasi Gambut Menurut ASTM D4427-92 (1992)
Dasar Kalsifikasi Kategori Keterangan
Kandungan serat 1. Fibric2. Hemic3. Sapric
Kandungan serat > 67% Kandungan serat 33-67%Kandungan serat < 33%
Kandungan abu 1. Low ash2. Medium ash3. High ash
Kandungan abu < 5% Kandungan abu 5-15%Kandungan abu > 15%
Keasaman
(Acidity)
1. High Acidity2. ModerateAcidity3. Slightly Acidity4. Basic
Nilai pH < 4,5
Nilai pH 4,5-5,5Nilai pH 5,5-7Nilai pH > 7
Absorbency 1. Extremelly
2. Highly
3. Moderately4. Slightly
Kapasitas daya tampung air >1500%Kapasitas daya tampung air 800-1500%Kapasitas daya tampung air 300-800%Kapasitas daya tampung air < 300%
Komposisi botani1. Single botani
2. Multi botani
Paling sedikit 75% dari kandunganseratnyadari satu jenis tanaman pembentuknyaPaling banyak 25% dari kandungan seratnyadari satu jenis tanaman pembentuknya
(Sumber : ASTM D4427-92)
2.2. Sifat Fisik dan Teknis Tanah Gambut
Parameter sifat fisik tanah gambut yang memegang peranan penting adalah
kadar air, spesific gravity, kadar organik, angka pori, keasaman, rembesan, dan
berat volume. Sifat teknis tanah gambut yang memegang peranan penting adalah
pemampatan (compressibility) dan daya dukung (bearing capacity).
2.2.1. Sifat Fisik Tanah Gambut
Selama ini dikenal 3 (tiga) fase tanah yaitu fase padat (solid), fase cair
(liquid), dan fase gas, begitu pula untuk tanah gambut. Perbedaan antar tanah
10
gambut dan tanah lainnya terletak pada fase padat (solid) dimana pada tanah
gambut fase padat tersebut tidak selalu merupakan bagian yang padat karena serat
gambut pada umumnya berisi air dan gas. Pori pada tanah gambut berserat
menurut MacFarlane (1959) terbagi menjadi makro pori (pori diantara serat –
serat besar) dan mikro pori (pori yang berada di dalam serat).
Sifat fisik untuk tanah gambut tidak berserat (amorphous granular peat)
memiliki beberapa persamaan dengan tanah lempung (clay), akan tetapi berbeda
jauh dengan tanah gambut berserat (fibrous peat). Menurut Adams (1965)
parameter penting untuk menentukan sifat fisik tanah gambut adalah kadar air
(wc), berat volume (γ), angka pori (e), spesific gravity (Gs), kadar organik, kadar
serat, kadar abu, keasaman, dan kemampuan menyerap air. Untuk batas – batas
Atterberg yang merupakan parameter penting tanah lempung ternyata tidak
diperlukan pada tanah gambut.
Parameter – parameter tanah gambut tersebut akan dijelaskan berikut ini :
1. Kadar Air (wc)
Salah satu ciri khas utama tanah gambut adalah kemampuan menyerap
dan menyimpan air yang sangat tinggi, sehingga lahan gambut berperan
sebagai penyimpan cadangan air yang cukup besar yang terlihat dengan
tingginya muka air tanah gambut. Besarnya jumlah air yang dapat diserap
oleh tanah gambut tergantung pada derajat dekomposisi tanah gambut
tersebut. Daya serap gambut berserat jauh lebih besar daripada gambut tidak
berserat. Hal ini disebabkan gambut berserat memiliki makro pori yang
berada di antara serat – serat dan mikro pori yang berada di dalam serat itu
sendiri. Menurut Mochtar, N.E. (1985, 1991, 1998, 1999, 2000) dan Pasmar
(2000) kadar air tanah gambut bisa mencapai 500% bahkan lebih, sedang
menurut MacFarlane (1959) kadar air tanah gambut berkisar antara 750% -
1500%, akan tetapi kadar air tersebut dapat berubah drastis jika
terkontaminasi bahan inorganik walaupun kadarnya kecil. Metode penentuan
kadar air tanah gambut sama dengan tanah pada umumnya yaitu dengan
dipanaskan hingga suhu 1050C di dalam oven.
11
2. Specific Gravity (Gs)
Untuk menentukan nilai Gs tanah gambut digunakan minyak kerosin
dan bukan dengan air seperti tanah pada umumnya (Akroyd, 1957). Untuk
tanah yang mengandung bahan organik cukup tinggi seperti tanah gambut
umumnya memiliki nilai Gs sekitar 1,4, sedang tanah inorganik pada
umumnya memiliki nilai Gs sekitar 2,7 (Skempton dan Petley, 1970).
Menurut MacFarlane (1959) nilai Gs untuk tanah gambut berkisar antara 1,5
– 1,6, sedang menurut Mochtar, N.E. (1991,1998,1999 dan 2000) nilai Gs
untuk tanah gambut di Indonesia adalah berkisar antara 1,38 – 1,52.
Persamaan empiris untuk menghitung nilai Gs dengan korelasi ash
content dan organic content juga diusulkan oleh Cook (1956). Persamaan ini
didasarkan pada asumsi bahwa ash content terdiri dari mineral dengan nilai
Gs 2,7 dan komponen organik dari gambut sendiri memiliki nilai Gs 1,5.
Nilai Gs untuk tanah gambut adalah :
Gs = (1 - AC) 1,5 + 2,7AC (2.1)
dimana : AC = ash content (%)
3. Angka Pori (e)
Menurut Hanrahan (1954) angka pori dari tanah gambut terutama
gambut berserat bisa mencapai nilai 25, sedang menurut Hellis dan Brawner
(1961) untuk tanah gambut tidak berserat memiliki angka pori yang lebih
kecil yaitu sekitar 2. Menurut mochtar, N.E. (1991, 1998, 1999 dan 2000)
tanah gambut Indonesia memiliki angka pori antara 5 – 11.
4. Rembesan (k)
Kemampuan tanah gambut untuk mengalirkan air dipengaruhi beberapa
parameter, yaitu kandungan bahan mineral, derajat konsolidasi, dan derajat
dekomposisi tanah gambut. Koefisien rembesan tanah gambut pada kondisi
jenuh dapat diketahui di laboratorium dengan uji Variable Head Parameter.
Menurut Colley (1950) angka rembesan tanah gambut berkisar antara 10-3 –
10-6 cm/detik. Koefisien rembesan arah horisontal untuk tanah gambut
berserat lebih besar dari arah vertikalnya. Hanrahan (1964) melakukan uji
konsolidasi pada tanah gambut yang menghasilkan perubahan nilai angka pori
12
dan koefisien rembesan (setelah 7 bulan) masing – masing dari 12 menjadi
4,5 dan 4,10-4 cm/detik menjadi 8,10-4 cm/detik, hal ini menunjukkan bahwa
tanah gambut sangat sensitif terhadap beban yang bekerja di atasnya.
5. Berat Volume (γ)
Pada tanah gambut, berat volumenya tergantung pada kadar air dan
kadar organiknya dimana tanah gambut yang terendam air dan kadar organik
tinggi memiliki berat volume mendekati berat volume air. Menurut
MacFarlane (1959) tingginya berat volume tanah gambut disebabkan adanya
kandungan inorganik, dimana pengamatan menunjukkan bahwa harga berat
volume tanah gambut berkisar antara 0,9 t/m3 sampai dengan 1,25 t/m3.
Menurut Mochtar, N.E. (1991, 1998, 1999 dan 2000) harga berat volume
gambut Indonesia berkisar antara 0,96 t/m3 – 1,04 t/m3.
6. Kemampuan Menyerap Air
Salah satu sifat utama dari bahan organik adalah kemampuan mereka
untuk menyerap dan menyimpan air dalam jumlah yang cukup besar (water
retention). Lahan gambut mampu menyerap air hingga 850% dari berat
keringnya. Oleh sebab itu, gambut memiliki kemampuan sebagai penyimpan
air saat musim hujan dan melepaskan air saat musim kemarau. Besarnya
kapasitas penahan air (water retention) lahan gambut menyebabkan
penggundulan hutan gambut membuat lingkungan sekitar rawan banjir dan
rembesan air laut kedalam tanah.
Kurva simpanan air sendiri adalah kurva yang menunjukkan hubungan
antara kadar air (water content) dengan potensial air tanah (soil water
potential) atau daya hisap tanah (soil suction). Untuk gambut sendiri telah
banyak diteliti bagaimana bentuk dari kurva simpanan air, salah satunya
seperti yang diberikan oleh D.H. Boelter (1968) yang membuat kurva
simpanan air dari undecomposed sphagnum peat moss Minnesota seperti
terlihat pada gambar
2.1.
Hasil penelitian dari beberapa peneliti di seluruh dunia atas karakteristik
fisik tanah gambut menunjukkan bahwa tanah gambut memiliki variasi yang
sangat ekstrem baik ke arah horizontal ataupun vertikal. Beberapa hasil penelitian
13
karakteristik fisik tanah gambut di beberapa bagian di dunia dapat dilihat pada
Tabel 2.4 dan Tabel 2.5.
Gambar 2.1. Kurva Simpanan Air dari beberapa material gambut Minnesota Utara(D.H. Boelter 1968)
Tabel 2.4. Nilai Karakteristik Tanah Gambut di IndonesiaParameter tanah yang diteliti Satuan Tanah Gambut dari
Banjarmasin Palangkaraya Pekanbaru
Berat volume jenuh (γ sat) t/m3 0,964 1,000 1,043
Specific Gravity (Gs) - 1,381 1,439 1,520
Angka pori (eo) - 6,891 8,166 11,090
Kadar air (Wc) % 449, 835 536,325 616,08
Kadar abu (Ac) % 4,620 1,090 1,043
Kadar organik (Oc) % 95,38 98,910 95,55
Pembagian ukuran serat:
- Serat kasar
- Serat medium
- Serat halus
%
%
%
49,69
31,94
18,37
35,35
35,84
28,81
38,88
32,12
29,00
Klasifikasi Gambut
berserat
(Hemic)
dengan
kandungan
abu rendah
Gambut
berserat
(Hemic)
dengan
kandungan
abu rendah
Gambut
berserat
(Hemic)
dengan
kandungan
abu rendah
(Sumber : Mochtar, N.E. et al. 1999)
14
Tabel 2.5. Nilai Karakteristik Tanah Gambut di Beberapa Bagian di DuniaSoil Deposits Natural Water
Content (%)
Unit Weight ɣ
(kN/m3)
Spesific
Gravity (Gs)
Organic
Content (%)
Fibrous Peat Quebec 370 - 450 8.7 – 10.4 - -
Fibrous Peat, Antoniny,
Poland
310 - 450 10.5 – 11.1 - 65 - 85
Fibrous Peat, Co.
Ofally, Ireland
865 - 1400 10.2 – 11.3 - 98 - 99
Amorphous Peat, Cork,
Ireland
450 10.2 - 80
Cranberry Bog Peat,
Massachusetts
759 - 946 10.1 – 10.4 - 60 - 77
Peat Austria 200 - 800 9.8 – 13.0 - -
Peat Japan 334 - 1320 - - 20 - 98
Peat Italy 200 - 300 10.2 – 14.3 - 70 - 80
Peat
America
178 - 600 - - -
Peat
Canada
223 - 1040 - - 17 - 80
Peat
Hokkaido
115 - 1150 9.5 – 11.2 - 20 - 98
Peat
West Malaysia
200 - 700 8.3 – 11.5 1.38 – 1.70 65 - 97
Peat
East Malaysia
200 - 2207 8.0 – 12.0 - 76 - 98
Peat Central
Kalimantan
467 - 1224 8.0 – 14.0 1.50 – 1.77 41 - 99
(Sumber : Huat 2004 dalam Yulindasari 2006)
2.2.2. Sifat Teknis Tanah Gambut
Dalam perencanaan suatu konstruksi bangunan sipil di atas gambut, sifat
teknis juga memegang peranan penting selain sifat fisik gambut itu sendiri,
terutama dalam menentukan metode yang tepat untuk menopang konstruksi
bangunan sipil di atasnya. Parameter sifat teknis tanah gambut yang memegang
peranan disini adalah kuat geser dan pemampatan, juga koefisien tekanan tanah ke
'
15
samping dalam keadaan diam (Ko) untuk perencanaan daya dukung pondasi dalam
(deep foundation).
Parameter - parameter sifat teknis tersebut akan dijelaskan lebih lanjut
berikut ini:
1. Kekuatan Geser (τf’)
Adams (1965) menyatakan bahwa tanah gambut yang memiliki
kandungan organik besar adalah non kohesive material, sehingga tidak
memiliki nilai kohesi. Untuk menghitung kuat geser gambut didasarkan pada
persamaan:
f u . tan u atau ' f u . tan '
(2.2)
Edil dan Dhowian (1981) menyatakan bahwa harga u dan ' tanah gambut
lebih tinggi dibanding tanah inorganik yaitu sekitar 50o untuk gambut tak
berserat dan sekitar 53o – 57o untuk gambut berserat. Menurut Landva (1982)
harga sudut geser dalam tanah gambut berserat adalah sekitar 27o – 32o untuk
beban berkisar 3 – 50 Kpa. Tingginya harga sudut geser dalam ini
kemungkinan dikarenakan kandungan serat pada tanah gambut tersebut.
Anderson dan Hemstock (1959) melakukan penelitian hubungan kadar air dan
kekuatan tanah gambut dengan vane shear test, dimana diketahui bahwa
semakin besar kadar air maka kekuatan tanah gambut semakin kecil.
Penelitian mereka juga menunjukkan bahwa tanah gambut yang dibentuk
kembali (remolded) kekuatannya jauh berkurang (sekitar 50%) dibanding
tanah gambut tidak terganggu (undisturbed). Kekuatan tanah gambut
remolded juga berkurang apabila kadar airnya semakin tinggi, namun
perubahan kekuatan tersebut sangat kecil jika dibandingkan tanah gambut
undisturbed apabila kadar airnya semakin tinggi.
2. Pemampatan (Compressibility)
Tanah gambut sangat sensitif terhadap beban yang bekerja di atasnya,
dimana hal ini menunjukkan sifat pemampatan tanah gambut yang tinggi
16
(high compressibility). Perilaku pemampatan antara fibrous peat dan
amorphous granular peat sangat berbeda. Dimana kurva virgin dari
amorphous granular peat hanya terdiri dari satu garis seperti pada tanah
lempung tetapi pada fibrous peat mempunyai dua garis lurus yang patah atau
garis lurus yang cekung. Hal ini terlihat dari tipe kurva pemampatan (e vs log
p) seperti ditunjukkan pada Gambar 2.1 untuk amorphous granular peat dan
Gambar 2.2 untuk fibrous peat. Selain itu indeks kompresi dan angka pori
dari amorphous granular peat adalah sangat kecil jika dibandingkan dengan
fibrous peat (Dhowian dan Edil, 1980).
Kurva
Angka
Kurva
Log p
Gambar 2.2. Kurva e vs log p untuk tanah amorphous granular peat (MenurutEdil dan Dhowian, 1980)
Kurva
Angka pori
Kurva pelepasan
Log p
Gambar 2.3. Kurva e vs log p untuk tanah fibrous peat (Menurut Edil danDhowian, 1980)
17
Berdasarkan pengujian konsolidasi, selain kurva e vs log p, dapat juga
digambarkan kurva hubungan antara waktu dan penurunan (∆H vs log t) serta
hubungan antara waktu dan angka pori (e vs log t) pada tanah gambut
berserat. Hasil studi yang dilakukan oleh Dhowian dan Edil (1980) dan
Mochtar, N.E., dkk. (1991, 1999, 2000, 2010) menunjukkan bahwa tipe kurva
pemampatan (e vs log t) untuk fibrous peat yang diuji di laboratorium pada
beban kecil sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 2.4 terdiri dari empat
komponen regangan, yaitu regangan langsung, regangan primer, regangan
sekunder, dan regangan tersier.
Proses pemampatan yang terjadi pada tanah gambut berlangsung dalam
dua fase yaitu fase pemampatan primer dan fase pemampatan sekunder.
Proses pemampatan primer yang terjadi pada tanah gambut berlangsung
sangat cepat. Pada proses pemampatan tersebut air dan gas dalam makro pori
dengan cepat merembes keluar karena struktur fisik tanah gambut yang
porous dan pemampatan berlangsung dalam waktu yang singkat. Tetapi
setelah pemampatan primer selesai atau pemampatan sekunder mulai
berlangsung, daya rembes semakin berkurang. Hal ini disebabkan proses
pemampatan sekunder terjadi pada fase mikro pori. Air dan gas yang keluar
dari mikro pori tidak mampu merembes dengan cepat karena volume makro
pori telah mengecil sehingga kecepatan pemampatan berjalan dengan lambat
(Dhowian & Edil 1980).
3. Koefesien Tekanan Tanah Kesamping Kondisi Diam / At Rest (ko)
Adams (1961) menyatakan bahwa nilai Ko tanah gambut terbesar
adalah 0,5, namun akan terus menurun hingga mencapai 0,175 jika beban
konsolidasi terus bertambah. Penelitian oleh Dhowian dan Edil (1981) dan
Mochtar, N.E., dkk (1998) menunjukkan bahwa harga Ko untuk tanah gambut
selalu lebih kecil dari tanah lempung, dimana harga Ko tanah gambut tidak
berserat lebih tinggi daripada harga Ko tanah gambut berserat. Penelitian yang
dilakukan oleh Rusdiansyah dan Mochtar, N.E.(2003) menunjukkan bahwa
harga Ko tanah gambut merupakan fungsi dari Overconsolidation Ratio
18
(OCR) dan kadar organik (OC), dimana harga Ko semakin besar dengan
makin meningkatnya OCR dan OC.
19
Gambar 2.4 Kurva e vs log t untuk tanah gambut yang dites di laboratorium dengan beban 50 kPa (Yulianto, F.E & Mochtar, N.E. 2010)
2.3. Metode Perbaikan Tanah Gambut
Karena sifat tanah gambut yang sangat tidak menguntungkan bagi
konstruksi bangunan sipil di atasnya, diperlukan suatu perbaikan tanah gambut
(peat soil improvement) untuk meningkatkan daya dukungnya (bearing capacity)
sebelum digunakan sebagai penopang bangunan sipil di atasnya. Beberapa hal
yang menjadi perhatian dalam memilih metode perbaikan tanah gambut adalah:
1. Tebal lapisan gambut.
2. Jenis tanah gambut, apakah termasuk gambut berserat atau tidak berserat.
3. Besarnya pemampatan yang harus ditanggulangi.
Secara umum metode perbaikan tanah gambut terbagi 2 (dua) yaitu metode
mekanis dan metode stabilisasi.
20
2.3.1. Metode Perbaikan Cara Mekanis
Metode perbaikan cara mekanis yang umumnya dilakukan adalah mengupas
atau menggali (excavation) dan mengganti (replacement) lapisan tanah gambut,
memberikan preloading melalui beban timbunan yang dapat dikombinasi dengan
pemakaian geosynthetics, memasang cerucuk, gelagar kayu (corduray), atau
dengan kolom pasir (sand column).
Cara paling sederhana dan sering dilakukan untuk usaha pebaikan tanah
gambut yang memiliki kedalaman kurang < 3 m adalah mengupas atau menggali
lapisan tanah gambut (excavation) dan menggantinya (replacement) dengan tanah
urugan yang memiliki sifat lebih baik sehingga mampu menahan beban besar dan
kecil pemampatannya. Akan tetapi hal ini membawa dampak merugikan bagi
lingkungan karena memerlukan volume tanah urugan yang cukup besar sehingga
merusak ekosistem quary selain memerlukan alat angkut yang cukup banyak.
Selain itu tanah gambut yang telah dikupas juga memerlukan tempat penimbunan
yang cukup luas dan menimbulkan bahaya kebakaran jika nantinya tanah gambut
tersebut mengering.
Metode preloading pada prinsipnya adalah usaha memampatkan tanah
gambut dengan memberi beban awal berupa timbunan tanah sebelum
pembangunan konstruksi permanen di atasnya dilaksanakan. Dengan metode ini
diharapkan gambut menjadi lebih padat sehingga kemampuannya untuk
mendukung beban meningkat dan pemampatan hampir tidak terjadi lagi. Metode
ini juga dapat dikombinasikan dengan pemasangan bahan geosynthetics untuk
meningkatkan daya dukung dan mencegah pencampuran dengan tanah gambut di
bawahnya, namun perlu diingat bahwa pemampatan gambut berlangsung hingga
fase tersier dan masih menimbulkan risiko bagi bangunan di atasnya.
Metode penggunaan cerucuk kayu (dolken) untuk meningkatkan daya
dukung tanah gambut juga telah banyak diaplikasikan. Metode ini bertujuan untuk
membuat lapisan tanah gambut menjadi lebih kaku dengan menggunakan cerucuk
kayu sehingga hampir tidak terjadi pemampatan pada tanah gambut tersebut.
Cerucuk disini juga berfungsi meneruskan beban konstruksi ke lapisan tanah yang
lebih kuat di bawahnya. Dalam metode ini cerucuk dipasang setiap jarak 50 cm
21
arah horizontal dan vertikal, kemudian di atasnya dipasang papan berukuran 20
cm x 20 cm dan tebal 3 cm yang kemudian dinamakan cerucuk sayap.
Pemasangan ini bertujuan agar tanah timbunan yang diletakkan di atas cerucuk
tidak bercampur dengan tanah dasar, serta agar beban timbunan terbagi rata. Salah
satu aplikasi metode ini adalah pada pembangunan jalan di Pontianak, Kalimantan
Barat, seperti pada jalan arteri jalur I dan jalur II Pontianak – Supadio dan jalan
arteri Siantar (Pasaribu, 1998).
Selain metode cerucuk, metode lain yang menggunakan kayu adalah metode
pemasangan gelagar kayu (corduray). Metode ini dilakukan dengan cara
meletakkan satu lapis kayu berdiameter 8 – 10 cm searah melintang jalan,
kemudian di atasnya diletakkan tanah timbunan sebagai badan jalan. Gelagar kayu
disini berfungsi meningkatkan daya dukung, meratakan penurunan/pemampatan,
dan sebagai lantai kerja saat pekerjaan pembuatan badan jalan. Baik metode
penggunaan cerucuk kayu ataupun metode pemasangan gelagar kayu memerlukan
volume kayu dalam jumlah yang sangat besar sehingga mengakibatkan rusaknya
ekosistem hutan dan tidak dapat lagi digunakan.
Alternatif lain dalam metode perbaikan tanah gambut adalah dengan
pemasangan kolom – kolom pasir (sand column) yang akhirnya banyak dipilih.
Metode ini dilakukan dengan meletakkan pasir di atas lapisan tanah gambut
setebal + 1 m kemudian ditumbuk dengan palu yang memiliki berat tertentu yang
dijatuhkan dari ketinggian tertentu dengan jarak antar kolom pasir disesuaikan
denga kebutuhan. Dengan adanya kolom pasir ini diharapkan tanah gambut
menjadi lebih padat sehingga daya dukungnya meningkat dan pemampatannya
berkurang. Metode kolom pasir ini jika diaplikasikan untuk areal luas akan
memerlukan pasir dalam jumlah yang sangat besar sehingga dapat merusak
ekosistem quary penambangan pasir.
2.3.2 Metode Stabilisasi
Metode perbaikan tanah gambut selain metode mekanis adalah metode
stabilisasi. Yang dimaksud stabilisasi disini adalah mencampurkan bahan lain ke
dalam tanah gambut untuk memperbaiki sifat – sifat tanah gambut tersebut. Pada
22
tanah lempung stabilisasi yang dilakukan terutama dengan bahan kapur memberikan
hasil yang memuaskan, namun penggunaan kapur pada gambut kurang berhasil
dibanding metode perbaikan tanah secara mekanis yang teah dijelaskan sebelumnya.
Hal ini kemungkinan disebabkan tanah gambut yang tidak memiliki kandungan
silica yang dibutuhkan kapur untuk membentuk CaSiO3 dalam bentuk gel yang
nantinya perlahan akan mengkristal membentuk Calcium Silicate Hydrates. Hal
lain yang masih menjadi masalah adalah lapisan yang distabilisasi umumnya
hanya setebal 60 cm di permukaan tanah gambut saja sehingga bagian bawah
masih belum cukup kuat menerima beban yang ada di atasnya.
Selain menggunakan kapur, stabilisasi tanah gambut juga pernah dilakukan
dengan menggunakan bahan semen dengan alasan semen merupakan bahan yang
homogen campurannya. Hendry (1998), Duraisamy (2007), Hasyim, dkk. (2008)
melakukan penelitian di laboratorium dengan menggunakan semen sebagai bahan
stabilisasi dan menunjukkan hasil yang cukup memuaskan, walaupun belum
diketahui bagaimana realisasinya di lapangan. Kendala utama metode stabilisasi
dengan bahan semen adalah biaya yang relatif mahal untuk bahan baku semen,
apalagi jumlah yang dibutuhkan cukup banyak sehingga menjadi tidak ekonomis
dan efisien lagi.
2.4. Penggunaan Serbuk Fly Ash sebagai Bahan Stabilisasi
Stabilisasi tanah secara kimia pada saat ini banyak digunakan untuk
memperbaiki tanah dasar yang jelek. Salah satu yang dikembangkan saat ini adalah
stabilisasi dengan Fly Ash (abu terbang). Sebagaimana pemanfaatan FA sebagai
bahan tambah pada campuran beton, FA juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan
stabilisasi tanah. Hal ini dimungkinkan karena material ini banyak mengandung unsur
silikat dan aluminat sehingga dikategorikan sebagai pusolan (McCarthym dkk.,
2011).
Pada prinsipnya yang dimaksudkan dengan stabilisasi Fly - Ash adalah
mencampurkan secara langsung antara Fly-Ash dan tanah yang telah dihancurkan,
kemudian menambahkannya dengan air dan kemudian dipadatkan. Dari hasil
campuran tanah – Fly Ash - air ini, dapat menghasilkan tanah yang memiliki sifat
atau karakteristik teknis yang lebih baik dibandingkan sebelumnya (Brooks, 2009).
23
Jika abu terbang dicampur dengan bahan tanah, akan terjadi proses lekatan sementasi
antara lain akibat pengaruh pozzolan atau akibat sifat pengerasan alami abu terbang
karena kondisi pemadatan dan air yang ada.
Dari penelitian terdahulu diperoleh manfaat dengan digunakannya abu
terbang sebagai bahan stabilisasi dan bahan beton yaitu abu terbang dapat
mengurangi kebutuhan air, memperbaiki kohesi, mengurangi shringkage dan
permeabilitas tanah serta menambah kekuatan beton bermutu tinggi (K.W. Day).
Stabilisasi tanah dengan fly ash memberikan jumlah endapan yang paling sedikit
dibandingkan dengan stabilisasi tanah dengan kapur dan tanah tanpa distabilisasi.
Perbandingan dapat dilihat pada gambar berikut.
Menurut ASTM C618 fly ash dibagi menjadi dua kelas yaitu fly ash kelas F dan fly
ash kelas C.
1. Fly Ash kelas F
Merupakan fly ash yang diproduksi dari pembakaran batubara anthracite
atau bituminous, mempunyai sifat pozzolanic dan untuk mendapatkan sifat
cementitious harus diberi penambahan quick lime, hydrated lime, atau semen. Fly ash
kelas F ini kadar kapurnya rendah (CaO < 10%).
2. Fly Ash kelas C
Diproduksi dari pembakaran batubara lignite atau sub-bituminous selain
mempunyai sifat pozolanic juga mempunyai sifat self-cementing (kemampuan untuk
mengeras dan menambah strength apabila bereaksi dengan air) dan sifat ini timbul
tanpa penambahan kapur. Biasanya mengandung kapur (CaO) > 20%.
Stabilisasi tanah dengan penambahan fly ash biasanya digunakan untuk
tanah lunak, subgrade tanah kelempungan dibawah jalan yang mengalami beban
pengulangan (repeated loading). Perbaikan tanah ini bisa menggunakan fly ash kelas
C maupun kelas F. Jika menggunakan fly ash kelas F diperlukan bahan tambahan
kapur atau semen, sedangkan jika menggunakan fly ash kelas C tidak diperlukan
bahan tambahan semen atau kapur karena fly ash kelas C mempunyai sifat self
cementing.
2.4.1 Fly Ash
24
a. Definisi Fly Ash
Fly Ash adalah salah satu residu yang dihasilkan dalama pembakran,
biasanya dari hasil pembakaran batu bara. Fly ash biasanya di tangkap oleh fillter
partikel sebelum gas melalui cerobong asap. Pengumpulan FA ini dimaksudkan
terutama adalah untuk mencegah polusi udara. Ketersedian FA yang berlimpah-
limpah memungkinkan untuk dimanfaatkan sebagai material konstruksi bangunan,
seperti yang selama ini dipakai yaitu Fly Ash cement dan sebagai bahan tambahan
pada campuran beton. Pemanfaatan limbah batubara (fly ash) akan sangat membantu
program pemerintah dalam mengatasi pencemaran lingkungan sekaligus sebagai
bahan stabilisasi tanah, pada tanah-tanah yang secara teknis bermasalah maupun
keperluan lain dibidang teknik sipil.
Komponen kimia Fly Ash:
1. Fly Ash mengandung unsur kimia antara lain silika (SiO2),
2. alumina (Al2O3),
3. ferooksida (Fe2O3) dan kalsium oksida (CaO),
4. juga mengandung unsur tambahan lain yaitu magnesium oksida (MgO), titanium
oksida (TiO2), alkalin (Na2O dan K2O), sulfur trioksida (SO3), pospor oksida
(P2O5) dan carbon.