35
5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanah Gambut 2.1.1. Asal Mula Terbentuknya Tanah Gambut Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, kata gambut berasal dari bahasa Banjar (bahasa sehari – hari penduduk Kalimantan Selatan) yang artinya tanah lunak dan basah, terdiri atas lumut dan bahan tanaman lain yg membusuk (biasanya terbentuk di daerah rawa atau di danau yg dangkal). Gambut terbentuk dari hasil dekomposisi bahan – bahan organik seperti dedaunan, ranting serta semak belukar yang berlangsung dalam kecepatan yang lambat dalam keadaan anaerob atau jenuh air (Handayani, I.P. 2003). Pada umumnya tanah gambut berwarna coklat tua sampai dengan hitam dan memiliki bau yang khas karena pelapukan dan pembusukan dari bahan organik pembentuknya. Kandungan organik pada tanah gambut cukup tinggi dikarenakan berasal dari proses pelapukan fragmen – fragmen material organik yang berasal dari berbagai jenis tumbuhan yang membusuk akibat pengaruh cuaca dan fosil. Daerah yang banyak mengandung tanah gambut dapat dijumpai pada daerah pegunungan, dataran tinggi dan dataran rendah yang terendam air dalam waktu cukup lama. Menurut Van de Meene (1984), gambut di Asia Tenggara mulai terbentuk kira – kira pada

BAB II

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II

5

BAB II TINJAUAN

PUSTAKA

2.1. Tanah Gambut

2.1.1. Asal Mula Terbentuknya Tanah Gambut

Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, kata gambut berasal dari bahasa

Banjar (bahasa sehari – hari penduduk Kalimantan Selatan) yang artinya tanah

lunak dan basah, terdiri atas lumut dan bahan tanaman lain yg membusuk

(biasanya terbentuk di daerah rawa atau di danau yg dangkal). Gambut terbentuk

dari hasil dekomposisi bahan – bahan organik seperti dedaunan, ranting serta

semak belukar yang berlangsung dalam kecepatan yang lambat dalam keadaan

anaerob atau jenuh air (Handayani, I.P. 2003). Pada umumnya tanah gambut

berwarna coklat tua sampai dengan hitam dan memiliki bau yang khas karena

pelapukan dan pembusukan dari bahan organik pembentuknya. Kandungan

organik pada tanah gambut cukup tinggi dikarenakan berasal dari proses

pelapukan fragmen – fragmen material organik yang berasal dari berbagai jenis

tumbuhan yang membusuk akibat pengaruh cuaca dan fosil. Daerah yang banyak

mengandung tanah gambut dapat dijumpai pada daerah pegunungan, dataran

tinggi dan dataran rendah yang terendam air dalam waktu cukup lama. Menurut

Van de Meene (1984), gambut di Asia Tenggara mulai terbentuk kira – kira pada

18.000 tahun yang lalu. Gambut di Indonesia sendiri diperkirakan terbentuk antara

6.800 hingga 4.200 tahun yang lalu (Andriesse 1994).

Luttig (1986) mengemukakan hukum dasar dari proses terbentuknya deposit

tanah gambut yaitu pelapukan material asli, akumulasi, dan terakhir adalah

preservasi atau penyimpanan. Jadi proses pelapukan tumbuhan sebagai material

asli memiliki peranan penting dalam pembentukan tanah gambut. Pada mulanya

tumbuhan tersebut hidup, kemudian mati dan mengalami dekomposisi atau

pelapukan. Hasil dari dekomposisi atau pelapukan tersebut jika dibiarkan

terakumulasi, maka lama kelamaan akan terbentuk lapisan tanah gambut.

Page 2: BAB II

6

2.1.2. Tanah Gambut Indonesia

Seperti telah disampaikan sebelumnya, gambut di Indonesia diperkirakan

terbentuk antara 6.800 hingga 4.200 tahun yang lalu (Andriesse 1994).

Diperkirakan pada saat itu di daerah sepanjang pantai Pulau Sumatera,

Kalimantan, dan Papua terbentuk tanah endapan (alluvial) yang luas akibat

turunnya permukaan air laut beberapa meter dan bertambahnya partikel tanah

lempung. Hal ini mengakibatkan perubahan kondisi pertumbuhan beberapa

spesies sehingga hutan bakau yang tumbuh di daerah tersebut perlahan digantikan

oleh spesies tumbuhan lain sebagai akibat akumulasi bahan – bahan organik. Pada

akhirnya hutan rawa bakau tersebut berubah menjadi hutan rawa gambut dalam

kondisi air yang sudah berubah menjadi air tawar.

Penyebaran tanah gambut di Indonesia sebagian besar terletak di Pulau

Sumatera, Kalimantan, dan Papua, yang sebagian besar merupakan gambut pada

dataran rendah. Selain itu juga terdapat gambut pada dataran tinggi seperti pada

daerah Gunung Kinibalu walaupun prosentasenya cukup kecil. Lahan gambut

Indonesia merupakan lahan gambut tropis terluas, yaitu sekitar 21 juta Ha (BB

Litbang SDLP 2008) seperti dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1. Luas Total Lahan Gambut Indonesia

Pulau/Propinsi Luas Total (ha)

Sumatera 6.244.101Riau 4.043.600Jambi 716.839

Sumatera Selatan 31Kalimantan 5.072.249

Kalimantan Tengah 3.010.640Kalimanta Barat 1.729.980

Kalimanta Selatan 331.629Papua dan Papua Barat 7.001.239Total 18.317.589

Catatan: Jika luas lahan gambut di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara,

Sumatera Barat, Bengkulu, dan Kalimantan Timur ikut diperhitungkan, maka luas

total lahan gambut Indonesia adalah sekitar 21 juta Ha.

Sumber : BB Litbang SDLP 2008.

Page 3: BAB II

7

2.1.3. Klasifikasi Tanah Gambut

Tanah gambut dapat dibagi menjadi beberapa sistem klasifikasi berdasarkan

macam – macam komponennya. Von Post (1922) mengembangkan sistem

klasifikasi tanah gambut berdasarkan pada derajat dekomposisi tumbuhan

pembentuknya. Secara garis besar menurut sistem ini gambut diklasifikasikan

dalam 10 (sepuluh) tingkat derajat pembusukan dari H1 (gambut yang belum

membusuk sama sekali) hingga H10 (Gambut yang telah membusuk sempurna).

Pembagian tersebut diuraikan lagi menjadi lebih spesifik seperti terlihat pada

Tabel 2.2.

Berdasarkan kandungan organiknya, sistem USSR dan Mankinen, dkk.

(1982) menyatakan bahwa gambut adalah tanah organik yang memiliki

kandungan organik > 50%. Menurut Kearns, dkk. (1982), Landva, dkk. (1982),

dan ASTM (1985) yang dimaksud dengan tanah gambut adalah tanah organik

dengan kandungan organik > 75%.

Berdasarkan serat yang dikandungnya, McFarlane dan Radforth (1965)

membagi tanah gambut menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu tanah gambut tidak

berserat (amorphous granular peat) dengan kandungan serat lebih kecil dari 20%

dan tanah gambut berserat (fibrous peat) yang memiliki kandungan serat 20% atau

lebih. Tanah gambut tidak berserat sebagian besar air porinya berada di sekeliling

butiran tanah dan memiliki perilaku yang mirip dengan perilaku tanah lempung,

sedang tanah gambut berserat memiliki perilaku yang sangat jauh berbeda

dikarenakan kandungan seratnya yang banyak.

Berdasarkan ketebalannya, Jamil, dkk (1989) membedakan gambut di

Indonesia menjadi empat tipe yaitu gambut dangkal (ketebalan 0,5 – 1,0 m),

gambut sedang (ketebalan 1,0 – 2,0 m), gambut dalam (ketebalan 2,0 – 3,0 m) dan

gambut sangat dalam (ketebalan melebihi 3,0 m).

Sistem ASTM dalam ASTM D4427-92 (1992) membagi tanah gambut

berdasarkan lima hal pokok yaitu kadar serat, kadar abu, tingkat keasaman,

tingkat penyerapan, dan komposisi tumbuhan. Pembagian tersebut dapat dilihat

pada Tabel 2.3.

Page 4: BAB II

8

Tabel 2.2. Sistem Klasifikasi Von Post (1992)

DerajatPembusukan Deskripsi

H1Gambut yang sama sekali belum membusuk, yang mengeluarkan air cukup jernih. Sisa-sisa tumbuhan yang ada akan dengan mudah diidentifikasi. Tak ada material amorf yang terlihat.

H2Gambut yang hampir seluruhnya belum mengalami pembusukan sama sekali, yang mengeluarkan air cukup jernih atau sedikit kekuning- kuningan. Sisa-sisa tumbuhan yang ada akan dengan mudah diidentifikasi. Tak ada material amorphous yang terlihat.

H3Gambut yang sangat sedikit mengalami pembusukan, yang mengeluarkan air keruh dan berwarna coklat, tapi jika diremas tak ada bagian gambut yang melalui sela-sela jari. Sisa-sisa tumbuhan yang ada masih dapat dengan mudah diidentifikasikan. Tak ada material amorf yang terlihat.

H4Gambut yang sedikit mengalami pembusukan, yang mengeluarkan air gelap dan sangat keruh. Jika diremas tak ada bagian gambut yang melalui sela-sela jari tapi sisa-sisa tumbuhan yang ada sedikit berbentuk seperti bubur dan telah kehilangan beberapa ciri yang dapat dikenali.

H5

Gambut yang mengalami pembusukan sedang yang mengeluarkan air sangat keruh dan jika diremas akan ada sedikit butiran gambut amorf melalui sela-sela jari. Struktur dari sisa-sisa tumbuhan sedikit sukar untuk dikenali, walaupun masih memungkinkan untuk mengidentifikasi ciri-ciri tertentu. Dan sisa-sisa tumbuhan tersebut hampir seluruhnya berbentuk seperti bubur.

H6

Gambut yang hampir separuhnya mengalami pembusukan dengan struktur tumbuhan yang sukar untuk dikenali. Jika diremas sekitar sepertiga bagian dari gambut akan keluar melewati sela-sela jari. Sisa-sisa tumbuhan tersebut hampir seluruhnya berbentuk seperti bubur dan menunjukan struktur tumbuhan yang lebih mudah utnuk dikenali dibandingkan sebelum diremas.

H7

Gambut yang lebih dari separuhnya telah membusuk. Mengadung banyak material amorf dan struktur tumbuhan sangat kering yang sukar dikenali. Jika diremas sekitar setengah bagian dari gambut akan keluar melewati sela-sela jari. Kalaupun ada air yang keluar, akan berwarna sangat gelap.

H8

Gambut yang hampir seluruhnya telah membusuk dengan sejumlah besar material amorf dan struktur tumbuhan sangat kering yang sukar dikenali. Jika diremas sekitar 2/3 bagian dari gambut akan keluar melewati sela-sela jari. Sejumlah kecil sisa-sisa tumbuhan akan tertinggal di tangan berupa sisa-sisa akar dan serat yang tidak membusuk.

H9

Gambut yang telah membusuk selurunya dimana hampir tidak ada lagi sisa-sisa struktur tumbuhan yang dapat dilihat. Jika diremas, hampir seluruh gambut akan keluar melewati sela-sela jari dalam bentuk pasta yang hampir seragam.

H10Gambut yang telah membusuk sempurna tanpa ada struktur tumbuhan yang dapat dilihat. Jika diremas, seluruh bagian gambut yang basah akan keluar melewati sela-sela jari.

(Sumber : Von Post 1992 dalam Panduan Geoteknik I 2001)

Page 5: BAB II

9

Tabel 2.3. Klasifikasi Gambut Menurut ASTM D4427-92 (1992)

Dasar Kalsifikasi Kategori Keterangan

Kandungan serat 1. Fibric2. Hemic3. Sapric

Kandungan serat > 67% Kandungan serat 33-67%Kandungan serat < 33%

Kandungan abu 1. Low ash2. Medium ash3. High ash

Kandungan abu < 5% Kandungan abu 5-15%Kandungan abu > 15%

Keasaman

(Acidity)

1. High Acidity2. ModerateAcidity3. Slightly Acidity4. Basic

Nilai pH < 4,5

Nilai pH 4,5-5,5Nilai pH 5,5-7Nilai pH > 7

Absorbency 1. Extremelly

2. Highly

3. Moderately4. Slightly

Kapasitas daya tampung air >1500%Kapasitas daya tampung air 800-1500%Kapasitas daya tampung air 300-800%Kapasitas daya tampung air < 300%

Komposisi botani1. Single botani

2. Multi botani

Paling sedikit 75% dari kandunganseratnyadari satu jenis tanaman pembentuknyaPaling banyak 25% dari kandungan seratnyadari satu jenis tanaman pembentuknya

(Sumber : ASTM D4427-92)

2.2. Sifat Fisik dan Teknis Tanah Gambut

Parameter sifat fisik tanah gambut yang memegang peranan penting adalah

kadar air, spesific gravity, kadar organik, angka pori, keasaman, rembesan, dan

berat volume. Sifat teknis tanah gambut yang memegang peranan penting adalah

pemampatan (compressibility) dan daya dukung (bearing capacity).

2.2.1. Sifat Fisik Tanah Gambut

Selama ini dikenal 3 (tiga) fase tanah yaitu fase padat (solid), fase cair

(liquid), dan fase gas, begitu pula untuk tanah gambut. Perbedaan antar tanah

Page 6: BAB II

10

gambut dan tanah lainnya terletak pada fase padat (solid) dimana pada tanah

gambut fase padat tersebut tidak selalu merupakan bagian yang padat karena serat

gambut pada umumnya berisi air dan gas. Pori pada tanah gambut berserat

menurut MacFarlane (1959) terbagi menjadi makro pori (pori diantara serat –

serat besar) dan mikro pori (pori yang berada di dalam serat).

Sifat fisik untuk tanah gambut tidak berserat (amorphous granular peat)

memiliki beberapa persamaan dengan tanah lempung (clay), akan tetapi berbeda

jauh dengan tanah gambut berserat (fibrous peat). Menurut Adams (1965)

parameter penting untuk menentukan sifat fisik tanah gambut adalah kadar air

(wc), berat volume (γ), angka pori (e), spesific gravity (Gs), kadar organik, kadar

serat, kadar abu, keasaman, dan kemampuan menyerap air. Untuk batas – batas

Atterberg yang merupakan parameter penting tanah lempung ternyata tidak

diperlukan pada tanah gambut.

Parameter – parameter tanah gambut tersebut akan dijelaskan berikut ini :

1. Kadar Air (wc)

Salah satu ciri khas utama tanah gambut adalah kemampuan menyerap

dan menyimpan air yang sangat tinggi, sehingga lahan gambut berperan

sebagai penyimpan cadangan air yang cukup besar yang terlihat dengan

tingginya muka air tanah gambut. Besarnya jumlah air yang dapat diserap

oleh tanah gambut tergantung pada derajat dekomposisi tanah gambut

tersebut. Daya serap gambut berserat jauh lebih besar daripada gambut tidak

berserat. Hal ini disebabkan gambut berserat memiliki makro pori yang

berada di antara serat – serat dan mikro pori yang berada di dalam serat itu

sendiri. Menurut Mochtar, N.E. (1985, 1991, 1998, 1999, 2000) dan Pasmar

(2000) kadar air tanah gambut bisa mencapai 500% bahkan lebih, sedang

menurut MacFarlane (1959) kadar air tanah gambut berkisar antara 750% -

1500%, akan tetapi kadar air tersebut dapat berubah drastis jika

terkontaminasi bahan inorganik walaupun kadarnya kecil. Metode penentuan

kadar air tanah gambut sama dengan tanah pada umumnya yaitu dengan

dipanaskan hingga suhu 1050C di dalam oven.

Page 7: BAB II

11

2. Specific Gravity (Gs)

Untuk menentukan nilai Gs tanah gambut digunakan minyak kerosin

dan bukan dengan air seperti tanah pada umumnya (Akroyd, 1957). Untuk

tanah yang mengandung bahan organik cukup tinggi seperti tanah gambut

umumnya memiliki nilai Gs sekitar 1,4, sedang tanah inorganik pada

umumnya memiliki nilai Gs sekitar 2,7 (Skempton dan Petley, 1970).

Menurut MacFarlane (1959) nilai Gs untuk tanah gambut berkisar antara 1,5

– 1,6, sedang menurut Mochtar, N.E. (1991,1998,1999 dan 2000) nilai Gs

untuk tanah gambut di Indonesia adalah berkisar antara 1,38 – 1,52.

Persamaan empiris untuk menghitung nilai Gs dengan korelasi ash

content dan organic content juga diusulkan oleh Cook (1956). Persamaan ini

didasarkan pada asumsi bahwa ash content terdiri dari mineral dengan nilai

Gs 2,7 dan komponen organik dari gambut sendiri memiliki nilai Gs 1,5.

Nilai Gs untuk tanah gambut adalah :

Gs = (1 - AC) 1,5 + 2,7AC (2.1)

dimana : AC = ash content (%)

3. Angka Pori (e)

Menurut Hanrahan (1954) angka pori dari tanah gambut terutama

gambut berserat bisa mencapai nilai 25, sedang menurut Hellis dan Brawner

(1961) untuk tanah gambut tidak berserat memiliki angka pori yang lebih

kecil yaitu sekitar 2. Menurut mochtar, N.E. (1991, 1998, 1999 dan 2000)

tanah gambut Indonesia memiliki angka pori antara 5 – 11.

4. Rembesan (k)

Kemampuan tanah gambut untuk mengalirkan air dipengaruhi beberapa

parameter, yaitu kandungan bahan mineral, derajat konsolidasi, dan derajat

dekomposisi tanah gambut. Koefisien rembesan tanah gambut pada kondisi

jenuh dapat diketahui di laboratorium dengan uji Variable Head Parameter.

Menurut Colley (1950) angka rembesan tanah gambut berkisar antara 10-3 –

10-6 cm/detik. Koefisien rembesan arah horisontal untuk tanah gambut

berserat lebih besar dari arah vertikalnya. Hanrahan (1964) melakukan uji

konsolidasi pada tanah gambut yang menghasilkan perubahan nilai angka pori

Page 8: BAB II

12

dan koefisien rembesan (setelah 7 bulan) masing – masing dari 12 menjadi

4,5 dan 4,10-4 cm/detik menjadi 8,10-4 cm/detik, hal ini menunjukkan bahwa

tanah gambut sangat sensitif terhadap beban yang bekerja di atasnya.

5. Berat Volume (γ)

Pada tanah gambut, berat volumenya tergantung pada kadar air dan

kadar organiknya dimana tanah gambut yang terendam air dan kadar organik

tinggi memiliki berat volume mendekati berat volume air. Menurut

MacFarlane (1959) tingginya berat volume tanah gambut disebabkan adanya

kandungan inorganik, dimana pengamatan menunjukkan bahwa harga berat

volume tanah gambut berkisar antara 0,9 t/m3 sampai dengan 1,25 t/m3.

Menurut Mochtar, N.E. (1991, 1998, 1999 dan 2000) harga berat volume

gambut Indonesia berkisar antara 0,96 t/m3 – 1,04 t/m3.

6. Kemampuan Menyerap Air

Salah satu sifat utama dari bahan organik adalah kemampuan mereka

untuk menyerap dan menyimpan air dalam jumlah yang cukup besar (water

retention). Lahan gambut mampu menyerap air hingga 850% dari berat

keringnya. Oleh sebab itu, gambut memiliki kemampuan sebagai penyimpan

air saat musim hujan dan melepaskan air saat musim kemarau. Besarnya

kapasitas penahan air (water retention) lahan gambut menyebabkan

penggundulan hutan gambut membuat lingkungan sekitar rawan banjir dan

rembesan air laut kedalam tanah.

Kurva simpanan air sendiri adalah kurva yang menunjukkan hubungan

antara kadar air (water content) dengan potensial air tanah (soil water

potential) atau daya hisap tanah (soil suction). Untuk gambut sendiri telah

banyak diteliti bagaimana bentuk dari kurva simpanan air, salah satunya

seperti yang diberikan oleh D.H. Boelter (1968) yang membuat kurva

simpanan air dari undecomposed sphagnum peat moss Minnesota seperti

terlihat pada gambar

2.1.

Hasil penelitian dari beberapa peneliti di seluruh dunia atas karakteristik

fisik tanah gambut menunjukkan bahwa tanah gambut memiliki variasi yang

sangat ekstrem baik ke arah horizontal ataupun vertikal. Beberapa hasil penelitian

Page 9: BAB II

13

karakteristik fisik tanah gambut di beberapa bagian di dunia dapat dilihat pada

Tabel 2.4 dan Tabel 2.5.

Gambar 2.1. Kurva Simpanan Air dari beberapa material gambut Minnesota Utara(D.H. Boelter 1968)

Tabel 2.4. Nilai Karakteristik Tanah Gambut di IndonesiaParameter tanah yang diteliti Satuan Tanah Gambut dari

Banjarmasin Palangkaraya Pekanbaru

Berat volume jenuh (γ sat) t/m3 0,964 1,000 1,043

Specific Gravity (Gs) - 1,381 1,439 1,520

Angka pori (eo) - 6,891 8,166 11,090

Kadar air (Wc) % 449, 835 536,325 616,08

Kadar abu (Ac) % 4,620 1,090 1,043

Kadar organik (Oc) % 95,38 98,910 95,55

Pembagian ukuran serat:

- Serat kasar

- Serat medium

- Serat halus

%

%

%

49,69

31,94

18,37

35,35

35,84

28,81

38,88

32,12

29,00

Klasifikasi Gambut

berserat

(Hemic)

dengan

kandungan

abu rendah

Gambut

berserat

(Hemic)

dengan

kandungan

abu rendah

Gambut

berserat

(Hemic)

dengan

kandungan

abu rendah

(Sumber : Mochtar, N.E. et al. 1999)

Page 10: BAB II

14

Tabel 2.5. Nilai Karakteristik Tanah Gambut di Beberapa Bagian di DuniaSoil Deposits Natural Water

Content (%)

Unit Weight ɣ

(kN/m3)

Spesific

Gravity (Gs)

Organic

Content (%)

Fibrous Peat Quebec 370 - 450 8.7 – 10.4 - -

Fibrous Peat, Antoniny,

Poland

310 - 450 10.5 – 11.1 - 65 - 85

Fibrous Peat, Co.

Ofally, Ireland

865 - 1400 10.2 – 11.3 - 98 - 99

Amorphous Peat, Cork,

Ireland

450 10.2 - 80

Cranberry Bog Peat,

Massachusetts

759 - 946 10.1 – 10.4 - 60 - 77

Peat Austria 200 - 800 9.8 – 13.0 - -

Peat Japan 334 - 1320 - - 20 - 98

Peat Italy 200 - 300 10.2 – 14.3 - 70 - 80

Peat

America

178 - 600 - - -

Peat

Canada

223 - 1040 - - 17 - 80

Peat

Hokkaido

115 - 1150 9.5 – 11.2 - 20 - 98

Peat

West Malaysia

200 - 700 8.3 – 11.5 1.38 – 1.70 65 - 97

Peat

East Malaysia

200 - 2207 8.0 – 12.0 - 76 - 98

Peat Central

Kalimantan

467 - 1224 8.0 – 14.0 1.50 – 1.77 41 - 99

(Sumber : Huat 2004 dalam Yulindasari 2006)

2.2.2. Sifat Teknis Tanah Gambut

Dalam perencanaan suatu konstruksi bangunan sipil di atas gambut, sifat

teknis juga memegang peranan penting selain sifat fisik gambut itu sendiri,

terutama dalam menentukan metode yang tepat untuk menopang konstruksi

bangunan sipil di atasnya. Parameter sifat teknis tanah gambut yang memegang

peranan disini adalah kuat geser dan pemampatan, juga koefisien tekanan tanah ke

Page 11: BAB II

'

15

samping dalam keadaan diam (Ko) untuk perencanaan daya dukung pondasi dalam

(deep foundation).

Parameter - parameter sifat teknis tersebut akan dijelaskan lebih lanjut

berikut ini:

1. Kekuatan Geser (τf’)

Adams (1965) menyatakan bahwa tanah gambut yang memiliki

kandungan organik besar adalah non kohesive material, sehingga tidak

memiliki nilai kohesi. Untuk menghitung kuat geser gambut didasarkan pada

persamaan:

f u . tan u atau ' f u . tan '

(2.2)

Edil dan Dhowian (1981) menyatakan bahwa harga u dan ' tanah gambut

lebih tinggi dibanding tanah inorganik yaitu sekitar 50o untuk gambut tak

berserat dan sekitar 53o – 57o untuk gambut berserat. Menurut Landva (1982)

harga sudut geser dalam tanah gambut berserat adalah sekitar 27o – 32o untuk

beban berkisar 3 – 50 Kpa. Tingginya harga sudut geser dalam ini

kemungkinan dikarenakan kandungan serat pada tanah gambut tersebut.

Anderson dan Hemstock (1959) melakukan penelitian hubungan kadar air dan

kekuatan tanah gambut dengan vane shear test, dimana diketahui bahwa

semakin besar kadar air maka kekuatan tanah gambut semakin kecil.

Penelitian mereka juga menunjukkan bahwa tanah gambut yang dibentuk

kembali (remolded) kekuatannya jauh berkurang (sekitar 50%) dibanding

tanah gambut tidak terganggu (undisturbed). Kekuatan tanah gambut

remolded juga berkurang apabila kadar airnya semakin tinggi, namun

perubahan kekuatan tersebut sangat kecil jika dibandingkan tanah gambut

undisturbed apabila kadar airnya semakin tinggi.

2. Pemampatan (Compressibility)

Tanah gambut sangat sensitif terhadap beban yang bekerja di atasnya,

dimana hal ini menunjukkan sifat pemampatan tanah gambut yang tinggi

Page 12: BAB II

16

(high compressibility). Perilaku pemampatan antara fibrous peat dan

amorphous granular peat sangat berbeda. Dimana kurva virgin dari

amorphous granular peat hanya terdiri dari satu garis seperti pada tanah

lempung tetapi pada fibrous peat mempunyai dua garis lurus yang patah atau

garis lurus yang cekung. Hal ini terlihat dari tipe kurva pemampatan (e vs log

p) seperti ditunjukkan pada Gambar 2.1 untuk amorphous granular peat dan

Gambar 2.2 untuk fibrous peat. Selain itu indeks kompresi dan angka pori

dari amorphous granular peat adalah sangat kecil jika dibandingkan dengan

fibrous peat (Dhowian dan Edil, 1980).

Kurva

Angka

Kurva

Log p

Gambar 2.2. Kurva e vs log p untuk tanah amorphous granular peat (MenurutEdil dan Dhowian, 1980)

Kurva

Angka pori

Kurva pelepasan

Log p

Gambar 2.3. Kurva e vs log p untuk tanah fibrous peat (Menurut Edil danDhowian, 1980)

Page 13: BAB II

17

Berdasarkan pengujian konsolidasi, selain kurva e vs log p, dapat juga

digambarkan kurva hubungan antara waktu dan penurunan (∆H vs log t) serta

hubungan antara waktu dan angka pori (e vs log t) pada tanah gambut

berserat. Hasil studi yang dilakukan oleh Dhowian dan Edil (1980) dan

Mochtar, N.E., dkk. (1991, 1999, 2000, 2010) menunjukkan bahwa tipe kurva

pemampatan (e vs log t) untuk fibrous peat yang diuji di laboratorium pada

beban kecil sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 2.4 terdiri dari empat

komponen regangan, yaitu regangan langsung, regangan primer, regangan

sekunder, dan regangan tersier.

Proses pemampatan yang terjadi pada tanah gambut berlangsung dalam

dua fase yaitu fase pemampatan primer dan fase pemampatan sekunder.

Proses pemampatan primer yang terjadi pada tanah gambut berlangsung

sangat cepat. Pada proses pemampatan tersebut air dan gas dalam makro pori

dengan cepat merembes keluar karena struktur fisik tanah gambut yang

porous dan pemampatan berlangsung dalam waktu yang singkat. Tetapi

setelah pemampatan primer selesai atau pemampatan sekunder mulai

berlangsung, daya rembes semakin berkurang. Hal ini disebabkan proses

pemampatan sekunder terjadi pada fase mikro pori. Air dan gas yang keluar

dari mikro pori tidak mampu merembes dengan cepat karena volume makro

pori telah mengecil sehingga kecepatan pemampatan berjalan dengan lambat

(Dhowian & Edil 1980).

3. Koefesien Tekanan Tanah Kesamping Kondisi Diam / At Rest (ko)

Adams (1961) menyatakan bahwa nilai Ko tanah gambut terbesar

adalah 0,5, namun akan terus menurun hingga mencapai 0,175 jika beban

konsolidasi terus bertambah. Penelitian oleh Dhowian dan Edil (1981) dan

Mochtar, N.E., dkk (1998) menunjukkan bahwa harga Ko untuk tanah gambut

selalu lebih kecil dari tanah lempung, dimana harga Ko tanah gambut tidak

berserat lebih tinggi daripada harga Ko tanah gambut berserat. Penelitian yang

dilakukan oleh Rusdiansyah dan Mochtar, N.E.(2003) menunjukkan bahwa

harga Ko tanah gambut merupakan fungsi dari Overconsolidation Ratio

Page 14: BAB II

18

(OCR) dan kadar organik (OC), dimana harga Ko semakin besar dengan

makin meningkatnya OCR dan OC.

Page 15: BAB II

19

Gambar 2.4 Kurva e vs log t untuk tanah gambut yang dites di laboratorium dengan beban 50 kPa (Yulianto, F.E & Mochtar, N.E. 2010)

2.3. Metode Perbaikan Tanah Gambut

Karena sifat tanah gambut yang sangat tidak menguntungkan bagi

konstruksi bangunan sipil di atasnya, diperlukan suatu perbaikan tanah gambut

(peat soil improvement) untuk meningkatkan daya dukungnya (bearing capacity)

sebelum digunakan sebagai penopang bangunan sipil di atasnya. Beberapa hal

yang menjadi perhatian dalam memilih metode perbaikan tanah gambut adalah:

1. Tebal lapisan gambut.

2. Jenis tanah gambut, apakah termasuk gambut berserat atau tidak berserat.

3. Besarnya pemampatan yang harus ditanggulangi.

Secara umum metode perbaikan tanah gambut terbagi 2 (dua) yaitu metode

mekanis dan metode stabilisasi.

Page 16: BAB II

20

2.3.1. Metode Perbaikan Cara Mekanis

Metode perbaikan cara mekanis yang umumnya dilakukan adalah mengupas

atau menggali (excavation) dan mengganti (replacement) lapisan tanah gambut,

memberikan preloading melalui beban timbunan yang dapat dikombinasi dengan

pemakaian geosynthetics, memasang cerucuk, gelagar kayu (corduray), atau

dengan kolom pasir (sand column).

Cara paling sederhana dan sering dilakukan untuk usaha pebaikan tanah

gambut yang memiliki kedalaman kurang < 3 m adalah mengupas atau menggali

lapisan tanah gambut (excavation) dan menggantinya (replacement) dengan tanah

urugan yang memiliki sifat lebih baik sehingga mampu menahan beban besar dan

kecil pemampatannya. Akan tetapi hal ini membawa dampak merugikan bagi

lingkungan karena memerlukan volume tanah urugan yang cukup besar sehingga

merusak ekosistem quary selain memerlukan alat angkut yang cukup banyak.

Selain itu tanah gambut yang telah dikupas juga memerlukan tempat penimbunan

yang cukup luas dan menimbulkan bahaya kebakaran jika nantinya tanah gambut

tersebut mengering.

Metode preloading pada prinsipnya adalah usaha memampatkan tanah

gambut dengan memberi beban awal berupa timbunan tanah sebelum

pembangunan konstruksi permanen di atasnya dilaksanakan. Dengan metode ini

diharapkan gambut menjadi lebih padat sehingga kemampuannya untuk

mendukung beban meningkat dan pemampatan hampir tidak terjadi lagi. Metode

ini juga dapat dikombinasikan dengan pemasangan bahan geosynthetics untuk

meningkatkan daya dukung dan mencegah pencampuran dengan tanah gambut di

bawahnya, namun perlu diingat bahwa pemampatan gambut berlangsung hingga

fase tersier dan masih menimbulkan risiko bagi bangunan di atasnya.

Metode penggunaan cerucuk kayu (dolken) untuk meningkatkan daya

dukung tanah gambut juga telah banyak diaplikasikan. Metode ini bertujuan untuk

membuat lapisan tanah gambut menjadi lebih kaku dengan menggunakan cerucuk

kayu sehingga hampir tidak terjadi pemampatan pada tanah gambut tersebut.

Cerucuk disini juga berfungsi meneruskan beban konstruksi ke lapisan tanah yang

lebih kuat di bawahnya. Dalam metode ini cerucuk dipasang setiap jarak 50 cm

Page 17: BAB II

21

arah horizontal dan vertikal, kemudian di atasnya dipasang papan berukuran 20

cm x 20 cm dan tebal 3 cm yang kemudian dinamakan cerucuk sayap.

Pemasangan ini bertujuan agar tanah timbunan yang diletakkan di atas cerucuk

tidak bercampur dengan tanah dasar, serta agar beban timbunan terbagi rata. Salah

satu aplikasi metode ini adalah pada pembangunan jalan di Pontianak, Kalimantan

Barat, seperti pada jalan arteri jalur I dan jalur II Pontianak – Supadio dan jalan

arteri Siantar (Pasaribu, 1998).

Selain metode cerucuk, metode lain yang menggunakan kayu adalah metode

pemasangan gelagar kayu (corduray). Metode ini dilakukan dengan cara

meletakkan satu lapis kayu berdiameter 8 – 10 cm searah melintang jalan,

kemudian di atasnya diletakkan tanah timbunan sebagai badan jalan. Gelagar kayu

disini berfungsi meningkatkan daya dukung, meratakan penurunan/pemampatan,

dan sebagai lantai kerja saat pekerjaan pembuatan badan jalan. Baik metode

penggunaan cerucuk kayu ataupun metode pemasangan gelagar kayu memerlukan

volume kayu dalam jumlah yang sangat besar sehingga mengakibatkan rusaknya

ekosistem hutan dan tidak dapat lagi digunakan.

Alternatif lain dalam metode perbaikan tanah gambut adalah dengan

pemasangan kolom – kolom pasir (sand column) yang akhirnya banyak dipilih.

Metode ini dilakukan dengan meletakkan pasir di atas lapisan tanah gambut

setebal + 1 m kemudian ditumbuk dengan palu yang memiliki berat tertentu yang

dijatuhkan dari ketinggian tertentu dengan jarak antar kolom pasir disesuaikan

denga kebutuhan. Dengan adanya kolom pasir ini diharapkan tanah gambut

menjadi lebih padat sehingga daya dukungnya meningkat dan pemampatannya

berkurang. Metode kolom pasir ini jika diaplikasikan untuk areal luas akan

memerlukan pasir dalam jumlah yang sangat besar sehingga dapat merusak

ekosistem quary penambangan pasir.

2.3.2 Metode Stabilisasi

Metode perbaikan tanah gambut selain metode mekanis adalah metode

stabilisasi. Yang dimaksud stabilisasi disini adalah mencampurkan bahan lain ke

dalam tanah gambut untuk memperbaiki sifat – sifat tanah gambut tersebut. Pada

Page 18: BAB II

22

tanah lempung stabilisasi yang dilakukan terutama dengan bahan kapur memberikan

hasil yang memuaskan, namun penggunaan kapur pada gambut kurang berhasil

dibanding metode perbaikan tanah secara mekanis yang teah dijelaskan sebelumnya.

Hal ini kemungkinan disebabkan tanah gambut yang tidak memiliki kandungan

silica yang dibutuhkan kapur untuk membentuk CaSiO3 dalam bentuk gel yang

nantinya perlahan akan mengkristal membentuk Calcium Silicate Hydrates. Hal

lain yang masih menjadi masalah adalah lapisan yang distabilisasi umumnya

hanya setebal 60 cm di permukaan tanah gambut saja sehingga bagian bawah

masih belum cukup kuat menerima beban yang ada di atasnya.

Selain menggunakan kapur, stabilisasi tanah gambut juga pernah dilakukan

dengan menggunakan bahan semen dengan alasan semen merupakan bahan yang

homogen campurannya. Hendry (1998), Duraisamy (2007), Hasyim, dkk. (2008)

melakukan penelitian di laboratorium dengan menggunakan semen sebagai bahan

stabilisasi dan menunjukkan hasil yang cukup memuaskan, walaupun belum

diketahui bagaimana realisasinya di lapangan. Kendala utama metode stabilisasi

dengan bahan semen adalah biaya yang relatif mahal untuk bahan baku semen,

apalagi jumlah yang dibutuhkan cukup banyak sehingga menjadi tidak ekonomis

dan efisien lagi.

2.4. Penggunaan Serbuk Fly Ash sebagai Bahan Stabilisasi

Stabilisasi tanah secara kimia pada saat ini banyak digunakan untuk

memperbaiki tanah dasar yang jelek. Salah satu yang dikembangkan saat ini adalah

stabilisasi dengan Fly Ash (abu terbang). Sebagaimana pemanfaatan FA sebagai

bahan tambah pada campuran beton, FA juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan

stabilisasi tanah. Hal ini dimungkinkan karena material ini banyak mengandung unsur

silikat dan aluminat sehingga dikategorikan sebagai pusolan (McCarthym dkk.,

2011).

Pada prinsipnya yang dimaksudkan dengan stabilisasi Fly - Ash adalah

mencampurkan secara langsung antara Fly-Ash dan tanah yang telah dihancurkan,

kemudian menambahkannya dengan air dan kemudian dipadatkan. Dari hasil

campuran tanah – Fly Ash - air ini, dapat menghasilkan tanah yang memiliki sifat

atau karakteristik teknis yang lebih baik dibandingkan sebelumnya (Brooks, 2009).

Page 19: BAB II

23

Jika abu terbang dicampur dengan bahan tanah, akan terjadi proses lekatan sementasi

antara lain akibat pengaruh pozzolan atau akibat sifat pengerasan alami abu terbang

karena kondisi pemadatan dan air yang ada.

Dari penelitian terdahulu diperoleh manfaat dengan digunakannya abu

terbang sebagai bahan stabilisasi dan bahan beton yaitu abu terbang dapat

mengurangi kebutuhan air, memperbaiki kohesi, mengurangi shringkage dan

permeabilitas tanah serta menambah kekuatan beton bermutu tinggi (K.W. Day).

Stabilisasi tanah dengan fly ash memberikan jumlah endapan yang paling sedikit

dibandingkan dengan stabilisasi tanah dengan kapur dan tanah tanpa distabilisasi.

Perbandingan dapat dilihat pada gambar berikut.

Menurut ASTM C618 fly ash dibagi menjadi dua kelas yaitu fly ash kelas F dan fly

ash kelas C.

1. Fly Ash kelas F

Merupakan fly ash yang diproduksi dari pembakaran batubara anthracite

atau bituminous, mempunyai sifat pozzolanic dan untuk mendapatkan sifat

cementitious harus diberi penambahan quick lime, hydrated lime, atau semen. Fly ash

kelas F ini kadar kapurnya rendah (CaO < 10%).

2. Fly Ash kelas C

Diproduksi dari pembakaran batubara lignite atau sub-bituminous selain

mempunyai sifat pozolanic juga mempunyai sifat self-cementing (kemampuan untuk

mengeras dan menambah strength apabila bereaksi dengan air) dan sifat ini timbul

tanpa penambahan kapur. Biasanya mengandung kapur (CaO) > 20%.

Stabilisasi tanah dengan penambahan fly ash biasanya digunakan untuk

tanah lunak, subgrade tanah kelempungan dibawah jalan yang mengalami beban

pengulangan (repeated loading). Perbaikan tanah ini bisa menggunakan fly ash kelas

C maupun kelas F. Jika menggunakan fly ash kelas F diperlukan bahan tambahan

kapur atau semen, sedangkan jika menggunakan fly ash kelas C tidak diperlukan

bahan tambahan semen atau kapur karena fly ash kelas C mempunyai sifat self

cementing.

2.4.1 Fly Ash

Page 20: BAB II

24

a. Definisi Fly Ash

Fly Ash adalah salah satu residu yang dihasilkan dalama pembakran,

biasanya dari hasil pembakaran batu bara. Fly ash biasanya di tangkap oleh fillter

partikel sebelum gas melalui cerobong asap. Pengumpulan FA ini dimaksudkan

terutama adalah untuk mencegah polusi udara. Ketersedian FA yang berlimpah-

limpah memungkinkan untuk dimanfaatkan sebagai material konstruksi bangunan,

seperti yang selama ini dipakai yaitu Fly Ash cement dan sebagai bahan tambahan

pada campuran beton. Pemanfaatan limbah batubara (fly ash) akan sangat membantu

program pemerintah dalam mengatasi pencemaran lingkungan sekaligus sebagai

bahan stabilisasi tanah, pada tanah-tanah yang secara teknis bermasalah maupun

keperluan lain dibidang teknik sipil.

Komponen kimia Fly Ash:

1. Fly Ash mengandung unsur kimia antara lain silika (SiO2),

2. alumina (Al2O3),

3. ferooksida (Fe2O3) dan kalsium oksida (CaO),

4. juga mengandung unsur tambahan lain yaitu magnesium oksida (MgO), titanium

oksida (TiO2), alkalin (Na2O dan K2O), sulfur trioksida (SO3), pospor oksida

(P2O5) dan carbon.