Upload
nguyendieu
View
250
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
48
BAB II
ANALISIS DATA
Pada bab II ini berisi pembahasan analisis data yang akan dipaparkan
mengenai penanda kohesi dan koherensi wacana Gempilan Sejarah: Sang Komponis
sing Ora Kapatedhan ing Katresnan karya Soebagijo I. N. dalam majalah Panjebar
Semangat.
A. Penanda Kohesi
Kohesi adalah keserasian hubungan bentuk atau struktur lahir suatu wacana.
Di dalam penelitian terhadap wacana Gempilan Sejarah: Sang Komponis sing Ora
Kapatedhan ing Katresnan karya Soebagijo I. N. dalam majalah Panjebar Semangat
ditemukan dua jenis penanda kohesi, yaitu penanda kohesi gramatikal dan penanda
kohesi leksikal. Penanda kohesi gramatikal yang ditemukan berupa pengacuan
(referensi), penyulihan (substitusi), pelesapan (elipsis), dan perangkaian (konjungsi).
Selanjutnya, penanda kohesi leksikal berupa repetisi (pengulangan), sinonimi (padan
kata), antonimi (oposisi makna), kolokasi (sanding kata), hiponimi (hubungan atas-
bawah), dan ekuivalensi (kesepadanan). Berikut ini adalah penjelasan masing-masing
penanda yang terdapat dalam wacana gempilan sejarah tersebut.
1. Penanda Kohesi Gramatikal
Penanda kohesi gramatikal dalam wacana gempilan sejarah meliputi empat
unsur, yaitu: (a) pengacuan (referensi), (b) penyulihan (substitusi), (c) pelesapan
49
(elipsis), dan (d) perangkaian (konjungsi). Berikut ini akan diuraikan keempat
kohesi gramatikal tersebut.
a. Pengacuan (Referensi)
Pengacuan (referensi) merupakan salah satu kohesi gramatikal yang
berupa satuan lingual yang mengacu pada satuan lingual lain yang mendahului
atau mengikuti. Pengacuan terdiri atas tiga bentuk, yaitu: pengacuan persona
(kata ganti orang), pengacuan demonstratif (kata ganti penunjuk), dan
pengacuan komparatif (kata perbandingan).
1) Pengacuan Persona
Pengacuan persona terbagi menjadi tiga, yaitu: (1) pengacuan persona I,
(2) pengacuan persona II, dan (3) pengacuan persona III, baik tunggal (bentuk
bebas ataupun bentuk terikat) maupun jamak. Kepaduan wacana yang ditandai
dengan kohesi gramatikal yang berupa pengacuan pronomina persona dapat
dilihat pada data-data berikut.
1.1 Pengacuan Persona I
Pengacuan pronomina persona I yang ditemukan dalam wacana
gempilan sejarah dapat dilihat pada data-data berikut.
(1) Soepratman nerusake ukarane: “Aku mbutuhake sisihan sing gelem dak
ajak nyabrangi donya wong loro. (PS/3/9/23/8/06/2013).
„Soepratman melanjutkan kata-katanya: "Saya membutuhkan seorang istri
yang mau saya ajak menyeberangi dunia berdua.‟
Prononima yang terdapat pada data (1) yaitu aku „saya‟ yang
merupakan pengacuan pronomina persona I tunggal bentuk bebas mengacu
pada Soepratman. Pengacuan tersebut merupakan pengacuan endofora yang
50
bersifat anaforis, karena unsur yang diacu berada di dalam teks wacana yang
telah disebut terdahulu. Data kemudian dibagi atas unsur langsungnya
menggunakan teknik BUL.
(1a) Soepratman nerusake ukarane:
„Soepratman melanjutkan kata-katanya:‟
(1b) “Aku mbutuhake sisihan sing gelem dak ajak nyabrangi donya wong
loro.
„"Saya membutuhkan seorang istri yang mau saya ajak menyeberangi
dunia berdua.‟
Setelah dibagi atas unsur langsungnya, data (1b) kemudian dianalisis
dengan teknik lesap sebagai berikut.
(1c) “Ø mbutuhake sisihan sing gelem dak ajak nyabrangi donya wong loro.
„"Ø membutuhkan seorang istri yang mau saya ajak menyeberangi dunia
berdua.‟
Satuan lingual aku „saya‟ jika dilesapkan, data di atas menjadi tidak
gramatikal atau tidak berterima. Informasi yang diterima pembaca kurang jelas,
maka satuan lingual aku „saya‟ wajib hadir. Data tersebut selanjutnya diuji
dengan teknik ganti menjadi sebagai berikut.
(1d) “ Aku mbutuhake sisihan sing gelem dak ajak nyabrangi donya
*Kula
*Ingsun
wong loro.
„" Saya membutuhkan seorang istri yang mau saya ajak
*Saya
*Saya
menyeberangi dunia berdua.‟
Pengacuan pronomina persona I tunggal bentuk bebas aku „saya‟
merupakan ragam ngoko sehingga tidak dapat diganti dengan satuan lingual
kula „saya‟, karena kata kula „saya‟ termasuk ragam krama. Pronomina ingsun
51
„saya‟ juga tidak dapat mengganti aku „saya‟ merupakan ragam klasik dan
hanya digunakan untuk Tuhan dan Raja. Oleh karena itu, kata ingsun „saya‟
tidak tepat digunakan pada kalimat di atas meskipun tidak merubah makna.
Selain data tersebut ditemukan pula pengacuan pronomina persona I
yang berupa kata aku „saya‟ (pengacuan endofora yang bersifat anaforis)
terdapat dalam data (2) sampai dengan (3) berikut.
(2) [...] Aku wis rumangsa ora kuwat. Aku arep turu!” banjur less, nutup
netrane sateruse. (PS/1/10/22/1/06/2013).
„[...] Saya sudah merasa tidak kuat. Saya ingin tidur!” kemudian less,
menutup mata selamanya.‟
(3) [...] Iya kuwi salah sijine perkara yagene aku saiki ziarah mrene iki...!.
(PS/3/10/24/15/06/2013).
„[...] Ya itulah salah satu hal yang menyebabkan saya sekarang ziarah
kesini ini...!.‟
Data lain yang merupakan pengacuan persona I tunggal bentuk bebas
aku „saya‟ yang berupa pengacuan eksofora ada pada data berikut.
(4) Dene Soendoro, uga sawenehing wartawan sk. Pemandangan (jaman
sadurunge Jepang teka) lan nate dadi dosen luar biyasa ing UGM bab
ilmu publistik (jaman Republik), uga tau crita nyang aku, nate mertamu
neng omahe Soepratman kuwi mau. (PS/1/10/23/8/06/2013).
„Sedangkan Soendoro, juga seorang wartawan sk. Pemandangan (jaman
sebelum Jepang datang) dan pernah menjadi dosen luar biasa di UGM
bab ilmu publistik (jaman Republik), juga pernah bercerita kepada saya,
pernah bertamu di rumahnya Soepratman itu tadi.‟
Pengacuan pronomina persona I tunggal bentuk bebas aku „saya‟
mengacu pada unsur lain yang berada di luar teks wacana yaitu mengacu pada
pengarang (Soebagijo I. N.), ini merupakan penanda kohesi gramatikal
pengacuan eksofora. Data (4) di atas jika dikenai teknik BUL, hasilnya adalah
sebagai berikut.
52
(4a) Dene Soendoro, uga sawenehing wartawan sk. Pemandangan (jaman
sadurunge Jepang teka) lan nate dadi dosen luar biyasa ing UGM bab
ilmu publistik (jaman Republik),
„Sedangkan Soendoro, juga seorang wartawan sk. Pemandangan (jaman
sebelum Jepang datang) dan pernah menjadi dosen luar biasa di UGM
bab ilmu publistik (jaman Republik),‟
(4b) uga tau crita nyang aku, nate mertamu neng omahe Soepratman kuwi
mau.
„juga pernah bercerita kepada saya, pernah bertamu di rumahnya
Soepratman itu tadi.‟
Kemudian data (4b) dianalisis dengan teknik lesap menjadi berikut.
(4c) uga tau crita nyang Ø, nate mertamu neng omahe Soepratman kuwi mau.
„juga pernah bercerita kepada Ø, pernah bertamu di rumahnya
Soepratman itu tadi.‟
Pronomina persona aku „saya‟ wajib hadir, sebab apabila pronomina
tersebut dilesapkan maka data tersebut menjadi tidak gramatikal atau tidak
berterima. Selain itu, apabila pronomina aku „saya‟ dilesapkan informasi yang
diterima oleh pembaca menjadi tidak jelas. Selanjutnya, data tersebut diuji
dengan teknik ganti menjadi sebagai berikut.
(4d) uga tau crita nyang aku, nate mertamu neng omahe
awakku
*kula
Soepratman kuwi mau.
„juga pernah bercerita kepada saya, pernah bertamu di rumahnya
diriku
*saya
Soepratman itu tadi.‟
Hasil dari analisis data (4d) di atas menunjukkan bahwa pronomina
persona aku „saya‟ dapat diganti dengan satuan lingual awakku „diriku‟, karena
kedua satuan lingual tersebut masih dalam ragam yang sama yaitu sama-sama
menggunakan bahasa Jawa ragam ngoko. Namun, kata aku „saya‟ tidak dapat
53
diganti dengan satuan lingual kula „saya‟, karena satuan lingual kula „saya‟
merupakan ragam krama.
Pengacuan pronomina persona I tunggal bentuk bebas aku „saya‟ yang
berupa pengacuan eksofora juga terdapat dalam data (5) sampai dengan (6)
berikut.
(5) Miturut ngendikane Mas Imam nyang aku, penulis atur iki, karemane gus
Wage andhok neng warung “Asih” ing Kapasari,[...]
(PS/3/9/24/15/06/2013).
„Menurut perkataan mas Imam pada saya, penulis karya ini, kesukaan gus
Wage duduk di sebuah kedai "Asih" di Kapasari, [...]‟
(6) Iya aku dhewe iki, sing miturut ngendikane Ibuku, lair ing kampung
Kentadhan, Tulungagung. (PS/3/9/17/27/04/2013).
„Ya saya sendiri ini, yang menurut Ibuku, lahir di desa Kentadhan,
Tulungagung.‟
Selain itu penanda kohesi gramatikal berupa pengacuan persona I
tunggal bentuk bebas kula „saya‟ (pengacuan endofora yang bersifat kataforis)
terlihat pada data berikut.
(7) Kabar-kabare ngoten teng Barus, lha kula nggih dereng uninga pundi
pernahe Barus niku!”, Salamah ngambali. (PS/3/9/23/8/06/2013).
„Berita-beritanya begitu ke Barus, ya tentu saja saya tidak tahu di mana
tepatnya Barus itu! ", ulang Salamah.‟
Satuan lingual kula „saya‟ merupakan penanda kohesi gramatikal
berupa pengacuan pronomina persona I tunggal bentuk bebas yang mengacu
pada Salamah. Pengacuan tersebut merupakan pengacuan endofora yang
bersifat kataforis, karena satuan lingual yang diacu berada di dalam teks wacana
yang mengikutinya atau antesedennya berada disebelah kanan kata kula „saya‟.
Data (7) dianalisis menggunakan teknik BUL yaitu dibagi atas dua unsur
langsungnya sebagai berikut.
54
(7a) Kabar-kabare ngoten teng Barus,
„Berita-beritanya begitu ke Barus,‟
(7b) lha kula nggih dereng uninga pundi pernahe Barus niku!”, Salamah
ngambali.
„ya tentu saja saya tidak tahu di mana tepatnya Barus itu! ", ulang
Salamah.‟
Selanjutnya data (7b) diuji dengan teknik lesap, hasilnya adalah sebagai
berikut.
(7c) lha Ø nggih dereng uninga pundi pernahe Barus niku!”, Salamah
ngambali.
„ya tentu saja Ø tidak tahu di mana tepatnya Barus itu! ", ulang Salamah.‟
Setelah diuji dengan teknik lesap data (7c) menjadi tidak gramatikal
atau tidak berterima. Oleh karena itu, satuan lingual kula „saya‟ pada data di
atas wajib hadir, supaya informasi yang diterima oleh pembaca tetap jelas.
Setelah diuji dengan teknik lesap, data di atas kemudian dianalisis dengan
teknik ganti menjadi sebagai berikut.
(7d) lha kula nggih dereng uninga pundi pernahe Barus niku!”,
*Aku
*Awakku
Salamah ngambali.
„ya tentu saja saya tidak tahu di mana tepatnya Barus itu! ",
*saya
*diriku
ulang Salamah.‟
Pronomina persona kula „saya‟ tidak dapat diganti dengan satuan
lingual aku „saya‟ maupun awakku „diriku‟, karena satuan lingual kula „saya‟
merupakan ragam krama sedangkan aku „saya‟ ataupun awakku „diriku‟
merupakan ragam ngoko.
55
Penanda kohesi gramatikal berupa pengacuan persona I tunggal bentuk
terikat lekat kanan -ku „-ku‟ tampak pada data berikut.
(8) Mangka saora-orane jenengku rak wis ditepungi bebrayan umume. Wr.
Soepratman, pengarang lagu “Indonesia Raya”. (PS/2/9/21/25/05/2013).
„Tapi setidaknya namaku sudah dikenal masyarakat umumnya. WR.
Soepratman, penulis lagu "Indonesia Raya".‟
Pada data (8) di atas terdapat penanda kohesi gramatikal berupa
pengacuan pronomina persona I tunggal bentuk terikat lekat kanan -ku „-ku‟.
Satuan lingual -ku „-ku‟ pada jenengku mengacu pada unsur lain yang berada
di dalam tuturan yang baru disebut kemudian yaitu mengacu pada Soepratman.
Dengan ciri seperti itu maka -ku adalah jenis kohesi gramatikal pengacuan
endofora yang bersifat kataforis melalui pengacuan pronomina persona I
tunggal bentuk terikat lekat kanan. Selanjutnya data (8) dibagi unsur
langsungnya menjadi seperti berikut.
(8a) Mangka saora-orane jenengku rak wis ditepungi bebrayan umume.
„Tapi setidaknya namaku sudah dikenal masyarakat umumnya.‟
(8b) Wr. Soepratman, pengarang lagu “Indonesia Raya”.
„WR. Soepratman, penulis lagu "Indonesia Raya".‟
Setelah dibagi unsur langsungnya, data (8a) kemudian diuji dengan
teknik lesap menjadi sebagai berikut.
(8c) Mangka saora-orane jenengØ rak wis ditepungi bebrayan umume. Wr.
Soepratman, pengarang lagu “Indonesia Raya”.
„Tapi setidaknya namaØ sudah dikenal masyarakat umumnya.‟
Hasil analisis data (8c) di atas menunjukkan bahwa pronomina persona I
tunggal bentuk terikat lekat kanan -ku „-ku‟ pada jenengku wajib hadir, apabila
pronomina tersebut dilesapkan maka wacana menjadi tidak berterima atau tidak
56
gramatikal, serta informasi menjadi tidak jelas. Setelah diuji dengan teknik
lesap maka data tersebut kemudian dianalisis dengan teknik ganti seperti
berikut.
(8d) Mangka saora-orane jenengku rak wis ditepungi bebrayan
*jenengkula
umume.
„Tapi setidaknya namaku sudah dikenal masyarakat umumnya.‟
*nama saya
Pengacuan pronomina persona I tunggal bentuk terikat lekat kanan -ku
„-ku‟ pada jenengku „namaku‟ tidak bisa diganti dengan pronomina kula „saya‟,
karena pronomina kula „saya‟ termasuk ragam krama, sedangkan pronomina -
ku „-ku‟ merupakan ragam ngoko.
Jenis pengacuan endofora bersifat anaforis melalui pengacuan
pronomina persona I tunggal bentuk terikat lekat kanan -ku „-ku‟ terdapat
dalam data (9) berikut.
(9) Soepratman dhewe kadhang-kadhang iya nggraita: “Geneya nasibku ha
teka elek temen? (PS/2/9/21/25/05/2013).
„Soepratman sendiri kadang-kadang tidak tahu: "Mengapa nasibku
menjadi mengerikan sekali?‟
Contoh pengacuan pronomina persona I tunggal bentuk terikat lekat
kanan -ku „-ku‟ (pengacuan eksofora) tampak pada data (10) sampai dengan
(11) sebagai berikut.
(10) Uga ibuku dhewe, rikala sekolah neng Tulungagung, sing ditugasi
ngeterake dadak lali sapa asmane Ibuku. (PS/3/9/17/27/04/2013).
„Juga ibuku sendiri, ketika sekolah di Tulungagung, yang ditugaskan
untuk mengantarkan tiba-tiba lupa siapa nama ibuku.‟
(11) Mangka, gelar yektine, asmane Ibuku: Yatimah. Soale, Ibu wis
yatimrikala miyos, mBah Kakung-ku wis seda. (PS/3/9/17/27/04/2013).
57
„Dengan demikian, gelar sejatinya, ibuku: Yatimah. Soalnya, Ibu sudah
yatim ketika lahir, kakek-ku meninggal.‟
Data yang menunjukkan pengacuan pronomina persona I jamak
(pengacuan eksofora) terdapat pada data berikut.
(12) Awake dhewe bae, manggone ing kampung; becek yen mangsa udan,
bledug yen mangsa ketiga. (PS/1/10/18/4/05/2013).
„Kita saja, tinggal di desa; berlumpur saat musim hujan, berdebu saat
musim kemarau.‟
Data (12) menunjukkan adanya penanda kohesi gramatikal berupa
pengacuan pronomina persona I jamak awake dhewe „kita‟ yang mengacu pada
penulis dan pembaca wacana gempilan sejarah. Pengacuan tersebut merupakan
pengacuan eksofora (mengacu pada unsur lain yang berada di luar teks wacana)
melalui pronomina persona I jamak. Kemudian data (12) dibagi dengan teknik
bagi unsur langsung (BUL) menjadi berikut.
(12a) Awake dhewe bae, manggone ing kampung;
„Kita saja, tinggal di desa;‟
(12b) becek yen mangsa udan, bledug yen mangsa ketiga.
„berlumpur saat musim hujan, berdebu saat musim kemarau.‟
Selanjutnya data (12a) dianalisis dengan teknik lesap, hasilnya adalah
sebagai berikut.
(12c) Ø bae, manggone ing kampung;
„Ø saja, tinggal di desa;‟
Hasil analisis dengan teknik lesap data di atas menjadi tidak gramatikal.
Karena apabila satuan lingual awake dhewe „kita‟ dilesapkan informasi menjadi
tidak jelas, maka pronomina persona tersebut wajib hadir. Setelah dianalisis
58
dengan teknik lesap, data dianalisis dengan teknik ganti menjadi sebagai
berikut.
(12d) Awake dhewe bae, manggone ing kampung;
Aku lan kowe
Kita
„ Kita saja, tinggal di desa;‟
Aku dan kamu
Kita
Setelah dianalisis dengan teknik ganti data di atas menunjukkan bahwa
satuan lingual awake dhewe „kita‟ dapat diganti dengan satuan lingual aku lan
kowe „aku dan kamu‟ serta kita „kita‟, karena ragam yang digunakan sama yaitu
ragam ngoko.
Data lain yang menunjukkan pengacuan pronomina persona I jamak
(pengacuan eksofora) tampak pada data berikut.
(13) Saben kita nyanyekake lagu “Indonesia Raya”, kita kabeh ora krasa
nyanyekake lagu sing miturut hukum kadarbe dening si pencipta. Yaiku
Wage Rudolf Soepratman”. (PS/3/10/22/1/06/2013).
„Setiap kita menyanyikan lagu "Indonesia Raya", kita semua tidak
merasa menyanyikan lagu yang menurut hukum dimiliki oleh
penciptanya. Yaitu Wage Rudolf Soepratman ".‟
Tampak pada data (13) di atas terdapat adanya pengacuan pronomina
persona I jamak kita „kita‟ dan kita kabeh „kita semua‟ yang mengacu pada
penulis dan pembaca. Dengan ciri seperti itu, pengacuan tersebut adalah jenis
kohesi gramatikal pengacuan eksofora (acuannya berada di luar teks wacana)
melalui satuan lingual berupa pronomina persona I jamak. Data (13) dibagi atas
unsur langsungnya sebagai berikut.
(13a) Saben kita nyanyekake lagu “Indonesia Raya”, kita kabeh ora krasa
nyanyekake lagu sing miturut hukum kadarbe dening si pencipta.
59
„Setiap kita menyanyikan lagu "Indonesia Raya", kita semua tidak
merasa menyanyikan lagu yang menurut hukum dimiliki oleh
penciptanya.‟
(13b) Yaiku Wage Rudolf Soepratman”.
„Yaitu Wage Rudolf Soepratman ".‟
Setelah dibagi atas unsur langsungnya, data (13a) diuji dengan teknik
lesap menjadi sebagai berikut.
(13d) Saben Ø nyanyekake lagu “Indonesia Raya”, Ø ora krasa nyanyekake
lagu sing miturut hukum kadarbe dening si pencipta.
„Setiap Ø menyanyikan lagu "Indonesia Raya", Ø tidak merasa
menyanyikan lagu yang menurut hukum dimiliki oleh penciptanya.‟
Setelah data di atas diuji dengan teknik lesap, ternyata pronomina kita
„kita‟ dan kita kabeh „kita semua‟ wajib hadir. Pronomina tersebut apabila
dilesapkan maka kalimatnya menjadi tidak gramatikal atau tidak berterima serta
informasi yang disampaikan menjadi tidak lengkap dan tidak jelas. Kemudian
data (13a) dianalisis dengan teknik ganti, hasilnya adalah sebagai berikut.
(13e) Saben kita nyanyekake lagu “Indonesia Raya”,
awake dhewe
aku lan kowe
kita kabeh ora krasa nyanyekake lagu sing miturut
*kita sedaya
*kula lan panjenengan sedaya
hukum kadarbe dening si pencipta.
„Setiap kita menyanyikan lagu "Indonesia Raya",
kita
saya dan kamu
kita semua tidak merasa menyanyikan lagu yang menurut
*kita semua
*saya dan kalian
hukum dimiliki oleh penciptanya.‟
60
Hasil analisis data (13e) di atas, ternyata satuan lingual awake dhewe
„kita‟ dan aku lan kowe „saya dan kamu‟ dapat menggantikan posisi satuan
lingual kita „kita‟ karena tingkat tutur yang digunakan sama yaitu ragam ngoko.
Selanjutnya, pronomina kita kabeh „kita semua‟ tidak dapat digantikan dengan
pronomina kita sedaya „kita semua‟ dan kula lan panjenengan sedaya „saya
dan kalian‟ karena berbeda ragam. Pronomina kita kabeh „kita semua‟
merupakan ragam ngoko sedangkan pronomina kita sedaya „kita semua‟ dan
kula lan panjenengan sedaya „saya dan kalian‟ termasuk ragam krama.
Selain data tersebut ditemukan pula pengacuan pronomina persona I
jamak kita kabeh „kita semua‟ tampak pada data (14) berikut.
(14) Lha iya rikala tekan Jatim kuwi mau Residen Surabaya Pamoedji
ngendika nyang pawongan kebener ngadeg ing sisihe: “Mas, Jan-jane
kita kabeh rak utang moril nyang sawenehing paraga!”.
(PS/3/10/22/1/06/2013).
„Nah ketika sampai Jatim itu tadi Residen Surabaya Pamoedji berkata
kepada orang yang kebetulan berdiri di sampingnya: “Mas, sebetulnya
kita semua berutang moral kepada beberapa orang!”.‟
1.2 Pengacuan Persona II
Pengacuan pronomina persona II terbagi menjadi dua, yaitu pengacuan
pronomina persona II tunggal (baik bentuk bebas maupun terikat) dan
pengacuan pronomina persona II jamak. Dalam penelitian ini hanya ditemukan
pengacuan pronomina persona II tunggal (baik bentuk bebas maupun terikat).
Beberapa contoh data yang merupakan pengacuan pronomina persona II yang
mendukung kepaduan wacana adalah sebagai berikut.
(15) [...] Banjur ditambahi: “Ha ya uwis, yen kowe wis bosen neng Cimahi,
kepiye yen tirah neng Randhudongkol bae?”. (PS/1/10/21/25/05/2013).
61
„[...] Kemudian menambahkan: "Ha ya sudah, jika kamu sudah bosan di
Cimahi, bagaimana jika tinggal di Randhudongkol saja?".‟
Pada penggalan wacana (15) di atas terdapat pengacuan pronomina
persona II tunggal bentuk bebas kowe „kamu‟ yang mengacu pada unsur lain
yang berada di dalam teks wacana yang telah disebut terdahulu yaitu mengacu
pada Soepratman. Dengan ciri seperti itu, maka kata kowe „kamu‟ merupakan
pengacuan endofora yang bersifat anaforis melalui pengacuan pronomina
persona II tunggal bentuk bebas. Data (15) kemudian diuji dengan teknik dasar
BUL yaitu dibagi atas dua unsur langsungnya sebagai berikut.
(15a) [...] Banjur ditambahi:
„[...] Kemudian menambahkan:‟
(15b) “Ha ya uwis, yen kowe wis bosen neng Cimahi, kepiye yen tirah neng
Randhudongkol bae?”.
„"Ha ya sudah, jika kamu sudah bosan di Cimahi, bagaimana jika
tinggal di Randhudongkol saja?".‟
Setelah diuji dengan teknik dasar BUL, data (15b) kemudian dianalisis
dengan teknik lesap menjadi berikut.
(15c) “Ha ya uwis, yen Ø wis bosen neng Cimahi, kepiye yen tirah neng
Randhudongkol bae?”.
"Ha ya sudah, jika Ø sudah bosan di Cimahi, bagaimana jika tinggal di
Randhudongkol saja?".‟
Data tersebut tetap gramatikal meskipun pronomina persona II kowe
„kamu‟ dihilangkan, namun akan lebih baik jika pronomina tersebut hadir.
Selanjutnya data di atas dianalisis dengan teknik ganti menjadi sebagai berikut.
(15d) “Ha ya uwis, yen kowe wis bosen neng Cimahi, kepiye
*sampeyan
*panjenengan
yen tirah neng Randhudongkol bae?”.
62
"Ha ya sudah, jika kamu sudah bosan di Cimahi, bagaimana
*anda
*anda
jika tinggal di Randhudongkol saja?".‟
Setelah data di atas dianalisis dengan teknik ganti, ternyata pronomina
sampeyan „anda‟ dan panjenengan „anda‟ tidak dapat menggantikan posisi
pronomina kowe „kamu‟ karena berbeda tingkat tuturnya. Pronomina kowe
„kamu‟ merupakan ragam ngoko, sedangkan pronomina sampeyan „anda‟ dan
panjenengan „anda‟ termasuk ragam krama.
Pengacuan pronomina persona II tunggal bentuk bebas kowe „kamu‟
yang berupa pengacuan endofora kataforis terdapat dalam data (16) berikut.
(16) Angles, kekes atine sang mbakyu. Banjur takon: “Kepiye yen kowe dirawat
neng daleme Bapak, neng Cimahi bae?” [...]. (PS/3/9/21/25/05/2013).
„Heran, kecewa sekali hati sang kakak. Kemudian bertanya: "Bagaimana
jika kamu dirawat di rumah bapak, di Cimahi saja?" [...].‟
Data lain yang merupakan pronomina persona II tunggal adalah sebagai
berikut.
(17) Lha saiki iki Salamah nggoleki sedulure sing kabare manggon neng
Cimahi.“Ha napa sampeyan sampun tindak Cimahi?” dereng.
(PS/3/9/23/8/06/2013).
„Sekarang ini Salamah mencari saudara yang beritanya tinggal di
Cimahi. "Apa anda sudah pergi ke Cimahi?" belum.‟
Tampak pada data (17) adanya penanda kohesi gramatikal berupa
pengacuan persona II tunggal bentuk bebas sampeyan „anda‟ yang mengacu
pada tuturan yang berada di dalam tuturan yaitu pada Salamah yang telah
disebut terdahulu. Dengan ciri seperti itu, maka satuan lingual sampeyan „anda‟
merupakan pengacuan endofora yang bersifat anaforis melalui pengacuan
63
persona II tunggal bentuk bebas. Data (17) kemudian diuji dengan teknik bagi
unsur langsung menjadi sebagai berikut.
(17a) Lha saiki iki Salamah nggoleki sedulure sing kabare manggon neng
Cimahi.
„Sekarang ini Salamah mencari saudara yang beritanya tinggal di
Cimahi.
(17b) “Ha napa sampeyan sampun tindak Cimahi?” dereng.
„"Apa anda sudah pergi ke Cimahi?" belum.‟
Kemudian data (17b) dianalisis dengan teknik lesap sebagai berikut.
(17c) “Ha napa Ø sampun tindak Cimahi?” dereng.
„"Apa Ø sudah pergi ke Cimahi?" belum.‟
Pengacuan pronomina persona II sampeyan „anda‟ pada data (17c)
wajib hadir, pronomina tersebut apabila dilesapkan maka kalimatnya menjadi
tidak gramatikal atau tidak berterima. Setelah itu, data (17b) diuji dengan teknik
ganti pada pronomina persona sampeyan „anda‟ menjadi berikut.
(17d) “Ha napa sampeyan sampun tindak Cimahi?” dereng.
panjenengan
*kowe
„"Apa anda sudah pergi ke Cimahi?" belum.‟
anda
*kamu
Hasil analisis dengan menggunakan teknik ganti di atas menyatakan
bahwa pronomina persona sampeyan „anda‟ dapat diganti dengan pronomina
persona penjenengan „anda‟, karena kedua pronomina tersebut mempunyai
ragam yang sama yaitu ragam krama. Namun pronomina persona kowe „kamu‟
tidak dapat menggantikan posisi pronomina persona sampeyan „anda‟ karena
64
ragam yang digunakan berbeda. Pronomina persona sampeyan „anda‟
merupakan ragam krama sedangkan kowe „kamu‟ termasuk ragam ngoko.
Pengacuan pronomina persona II tunggal bentuk bebas sampeyan „anda‟
(pengacuan endofora yang bersifat anaforis) juga terdapat pada data (18)
berikut.
(18) [...] Nuju sawijining dina mojar nyang gus Wage: “Sampeyan ki dak
delok wasis nganganggit. Geneya teka ora ngarang buku?”.
(PS/2/10/18/4/05/2013).
„[...] Suatu hari bilang pada gus Wage: "Anda saya lihat pintar
mengarang. Mengapa tidak mengarang buku? ".‟
Selain itu, penanda kohesi gramatikal yang berupa pengacuan persona II
juga terdapat pada data berikut.
(19) Soal Salamah, ha hiya wis ben-ben kono. Gud-bai, sayonara. Tinggal
dimana, karep-karepmu kono. (PS/3/9/21/25/05/2013).
„Soal Salamah, ha ya sudah biarkan saja. Selamat tinggal. Tinggal
dimana, terserah padamu.‟
Pada tuturan (19) di atas terdapat penanda kohesi gramatikal berupa
pengacuan pronomina persona II tunggal bentuk terikat lekat kanan -mu „-mu‟.
Pengacuan tersebut termasuk pengacuan endofora yang bersifat anaforis, karena
mengacu pada tuturan yang berada di dalam teks wacana yang telah disebut
terdahulu atau antesedennya berada di sebelah kiri. Data (19) kemudian dibagi
atas unsur langsungnya dengan teknik BUL menjadi berikut.
(19a) Soal Salamah, ha hiya wis ben-ben kono.
„Soal Salamah, ha ya sudah biarkan saja.‟
(19b) Gud-bai, sayonara.
„Selamat tinggal.‟
(19c) Tinggal dimana, karep-karepmu kono.
„Tinggal dimana, terserah padamu.‟
65
Selanjutnya data (19c) dianalisis menggunakan teknik lesap, hasilnya
adalah sebagai berikut.
(19d) Tinggal dimana, karep-karepØ kono.
„Tinggal dimana, terserah padaØ.‟
Setelah data di atas dikenai teknik lesap adalah bahwa pronomina
persona II tunggal bentuk terikat lekat kanan -mu „-mu‟ wajib hadir, karena
apabila pronomina tersebut dilesapkan maka wacana menjadi tidak berterima
atau tidak gramatikal, serta informasi yang diterima oleh pembaca menjadi
tidak jelas. Kemudian data tersebut diuji dengan teknik ganti pada pronomina -
mu „-mu‟ menjadi sebagai berikut.
(19e) Tinggal dimana, karep-karepmu kono.
*karep-karep panjenengan
„Tinggal dimana, terserah padamu.‟
*terserah pada anda
Pronomina persona II tunggal bentuk terikat lekat kanan -mu „-mu‟ pada
karep-karepmu tidak dapat diganti dengan pronomina panjenengan, karena
pronomina panjenengan „anda‟ merupakan ragam krama sedangkan pronomina
-mu„-mu‟ merupakan ragam ngoko.
1.3 Pengacuan Persona III
Beberapa contoh penanda kohesi gramatikal yang berupa pengacuan
pronomina persona III dapat ditemukan pada data berikut.
(20) Wis ginaris ing pepesthen, Soepratman nuju sawiji dina dadak dheweke
padu karo sinyo, dikroyok sinyo telu kathik karo ngolok-ngolok pisan.
(PS/2/10/17/27/04/2013).
„Sudah digariskan di takdir, Soepratman suatu hari tiba-tiba dia
bertengkar dengan sinyo (anak laki-laki peranakan Eropa), dikroyok tiga
sinyo sementara dengan mengejek pula.‟
66
Pada data (20) di atas terdapat penanda pengacuan pronomina persona
III tunggal bentuk bebas pada satuan lingual dheweke „dia‟, yang mengacu
unsur lain yang berada di dalam tuturan yang telah disebut terdahulu, yaitu
mengacu pada Soepratman. Satuan lingual dheweke „dia‟ merupakan jenis
kohesi gramatikal pengacuan endofora yang bersifat anaforis melalui
pengacuan pronomina persona III tunggal bentuk bebas. Data (20) diuji dengan
teknik BUL yaitu:
(20a) Wis ginaris ing pepesthen,
„sudah digariskan di takdir,‟
(20b) Soepratman nuju sawiji dina dadak dheweke padu karo sinyo,
„Soepratman pada suatu hari mendadak dia bertengkar dengan sinyo,‟
(20c) dikroyok sinyo telu kathik karo ngolok-ngolok pisan.
„dikroyok sinyo tiga sebab dengan mengolok-ngolok juga.‟
Kemudian data (20b) dianalisis dengan teknik lesap menjadi sebagai
berikut.
(20d) Soepratman nuju sawiji dina dadak Ø padu karo sinyo,
„Soepratman suatu hari tiba-tiba Ø bertengkar dengan sinyo,‟
Penanda kohesi gramatikal yang berupa pengacuan pronomina persona
III tunggal bentuk bebas pada satuan lingual dheweke „dia‟ apabila dilesapkan
data tersebut tetap gramatikal, tetapi akan lebih baik jika pengacuan persona
tersebut hadir. Selanjutnya data tersebut dianalisis dengan teknik ganti, hasilnya
sebagai berikut.
(20e) Soepratman nuju sawiji dina dadak dheweke padu karo
*piyambakipun
*panjenenganipun
sinyo,
67
„Soepratman suatu hari tiba-tiba dia bertengkar dengan sinyo,‟
*dia
*dia
Hasil analisis data di atas adalah bahwa pronomina persona dheweke
„dia‟ tidak dapat diganti dengan pronomina persona piyambakipun „dia‟
maupun dengan pronomina persona panjenenganipun „dia‟, karena berbeda
ragam. Pronomina persona piyambakipun „dia‟ dan panjenenganipun „dia‟
merupakan ragam krama, sedangkan pronomina persona dheweke merupakan
ragam ngoko.
Selain data tersebut ditemukan pula pengacuan pronomina persona III
yang berupa kata dheweke „dia‟ (pengacuan endofora yang bersifat anaforis)
terdapat dalam data (21) sampai dengan (32) berikut.
(21) Ana siji sing narik kawigaten ngenani kapribadene Soepratman, yaiku
dheweke kuwi nduweni dhasar (bakat) [...]. (PS/2/10/17/27/04/2013).
„Ada satu yang menarik perhatian mengenai kepribadiannya Soepratman,
yaitu dia itu mempunyai bakat [...].‟
(22) Dadi, nganti dina kuwi, Soepratman iya isih tetep njagakake uripe saka
sk. Kaum Kita bae. Mangka, kanggo surat kabar mau dheweke kudu
nulis[...]. (PS/2/9/18/4/05/2013).
„Jadi, sampai hari ini, Soepratman masih tetap menggantungkan hidupnya
dari sk. Kaum Kita saja. Padahal, untuk surat kabar tadi dia harus
menulis[...].‟
(23) Soepratman sering nampa informasi saka Soegondo, sing banjur diramu
dadi berita, diedol nyang koran papane dheweke makarya.
(PS/2/9/19/11/05/2013).
„Soepratman sering menerima informasi dari Soegondo, yang kemudian
dicampur menjadi berita, dijual ke koran tempat dia bekerja.‟
(24) Luluh lantak atine gus Wage. Satemah njalari dheweke ketaman lara
t.b.c[...]. (PS/2/9/21/25/05/2013).
„Hancur hatinya gus Wage. Dan menyebabkan dia menderita sakit
t.b.c[...].‟
68
(25) Udakara telung taunan Soepratman neng Cimahi. Mbaka sethithik
kesarasane pulih maneh. Sauntara iku dheweke babar blas ora nate
kontak karo Salamah [...]. (PS/1/10/21/25/05/2013).
„Sekitar tiga tahun Soepratman di Cimahi. Secara bertahap kesehatannya
pulih kembali. Sementara itu dia benar-benar tidak pernah kontak dengan
Salamah [...].‟
(26) [...] Rikala sawatara Pengurus Parindra njaluk tulung nyang dheweke
supaya nganggit lagu [...]. (PS/2/9/22/1/06/2013).
„[...] Ketika beberapa Pengurus Parindra meminta tolong kepada dia agar
mengarang lagu [...].‟
(27) [...] Miturut ujaring kandha, sadurunge wafat, dheweke isih bisa mojar
nyang para sing ana sandhinge. (PS/1/10/22/1/06/2013).
„[...] Menurut rumor yang mengatakan, sebelum kematiannya, dia masih
bisa berbicara pada yang ada di sampingnya.‟
(28) [...] Dheweke dening GUSTI tinitahake dadi sawenehing pujangga [...].
(PS/2/10/22/1/06/2013).
„[...] Dia dititahkan oleh Allah untuk menjadi penyair [...].‟
(29) [...] Luwih-luwih tumrap mbakyune, nyonya Soepratiyah, sing ngemong
dheweke wiwit cilik. (PS/2/10/23/8/06/2013).
„[...] Khusus untuk kakaknya, nyonya Soepratiyah, yang merawat dia
sejak kecil.‟
(30) Ing ndalem bukune “Doeapoelah Tahoen Jadi Wartawan”, Kwee Kek
Beng nulis, manawa anak buahe sing jenenge Wage Rudolf Soepratman
kanthi ati mongkog, bombong crita nyang dheweke[...].
(PS/1/10/18/4/05/2013).
„Di dalam bukunya “Doeapoelah Tahoen Jadi Wartawan”, Kwee Kek
Beng menulis, bahwa anak buahnya yang bernama WR. Soepratman
dengan hati bangga, senang cerita pada dia [...].‟
(31) Arep nulis layang, ha wong Salamah buta-huruf. Taunan-aksara, nadyan
ta dheweke randhane mantri-guru. (PS/1/10/21/25/05/2013).
„Ingin menulis surat, Salamah saja buta huruf. Setiap tahun, meskipun dia
adalah janda dari mantri guru.‟
(32) Sing tansah gawe nggrantesing pikir, miturut Ny. Salamah, dene
dheweke ora bisa ndhampingi sang suami rikala pas kapundhut GUSTI
kae. (PS/3/10/24/15/06/2013).
„Yang selalu membuat mengenasnya pikiran, menurut Ny. Salamah,
sebab dia tidak bisa menemani suaminya saat dipanggil Allah.‟
69
Data yang mengandung penanda kohesi berupa pengacuan pronomina
persona III tunggal bentuk bebas dheweke „dia‟ (pengacuan endofora kataforis)
terdapat pada data (33) berikut.
(33) Sedina sadurunge dheweke wafat, salah sijine mitrane sing uga dadi
jurnalis, yaiku Imam Soepardi sing dadi Pemimpin Redaksi mingguan
basa Jawa “Panjebar Semangat” merlokake tinjo neng omahe
Soepratman. (PS/1/10/22/1/06/2013).
„Sehari sebelum dia meninggal, salah satu temannya yang juga menjadi
seorang jurnalis, yaitu Imam Soepardi yang menjadi pemimpin redaksi
mingguan bahasa Jawa “Panjebar Semangat” perlu berkunjung ke
rumahnya Soepratman.‟
Data yang mengandung penanda kohesi gramatikal yang berupa
pengacuan persona III juga terdapat pada data berikut.
(34) Rikala Soepratman diwenehi wektu, atine dheg-dhegan.
(PS/3/10/19/11/05/2013).
„Ketika Soepratman diberi waktu, hatinya berdebar-debar.‟
Tampak pada data (34) menunjukkan adanya penanda pengacuan
pronomina persona III tunggal bentuk terikat lekat kanan -ne „-nya‟ yang
mengacu pada Soepratman. Pronomina persona -ne „-nya‟ termasuk pengacuan
tersebut merupakan pengacuan endofora anaforis, karena satuan lingual
dheweke „dia‟ mengacu pada unsur lain yang berada di dalam teks wacana yang
antesedennya berada di sebelah kiri. Kemudian data (34) diuji dengan teknik
BUL sebagai berikut.
(34a) Rikala Soepratman diwenehi wektu,
„Ketika Soepratman diberi waktu,‟
(34b) atine dheg-dhegan.
„hatinya berdebar-debar.‟
70
Setelah diuji dengan teknik BUL, selanjutnya data dianalisis dengan
teknik lesap menjadi sebagai berikut.
(34c) atiØ dheg-dhegan.
„hatiØ berdebar-debar.‟
Hasil analisis di atas adalah bahwa pronomina persona -ne „-nya‟ wajib
hadir, apabila pronomina tersebut dilesapkan maka wacana menjadi tidak
gramatikal atau tidak berterima. Data tersebut kemudian diuji dengan teknik
ganti, hasilnya adalah sebagai berikut.
(34d) atine dheg-dhegan.
*atinipun
„ hatinya berdebar-debar.‟
*hatinya
Setelah data diuji dengan teknik ganti adalah bahwa pronomina persona
III tunggal bentuk terikat lekat kanan -ne „-nya‟ pada atine „hatinya‟ tidak dapat
diganti dengan pronomina persona III tunggal bentuk terikat lekat kanan -ipun
„-nya‟ pada atinipun karena adanya perbedaan ragam yaitu ngoko dan krama.
Selain data tersebut ditemukan pula pengacuan pronomina persona III
tunggal bentuk terikat lekat kanan -ne „-nya‟ (pengacuan endofora anaforis)
terdapat dalam data (35) sampai dengan (37) berikut.
(35) Kabeh-kabeh mau uga tansah sinemak dening WR Soepratman sang
Komponis. Wis awake ringkih, kasarasane keganggu merga sering kudu
nekani rapat-rapat ing wayah wengi. (PS/3/10/20/18/05/2013).
„Semuanya tadi juga terus disimak oleh WR Soepratman sang komponis.
Sudah tubuhnya lemah, kesehatannya terganggu karena sering
menghadiri pertemuan di malam hari.‟
(36) Soepratman, sing ngangep Rukiyem iki minangka gantine Ibune, anane
hiya banjur mung manut miturut bae. (PS/3/9/21/25/05/2013).
71
„Soepratman, yang menganggap Rukiyem ini sebagai penggantinya
ibunya, adanya ya kemudian hanya taat saja.‟
(37) Bareng Bung Karno dalah pawong mitrane kapancasan ukuman
dikunjara ing Sukamiskin, Bandung, para pengikute sing isih ana njaba
ora katut diukum, malahan banjur padha dredeg dhewe.
(PS/3/10/20/18/05/2013).
„Ketika Bung Karno dan seorang temannya diputuskan diberi hukuman
dipenjara di Sukamiskin, Bandung, para pengikutnya yang masih berada
di luar dan tidak ikut dihukum, kemudian mereka gemetaran sendiri.‟
Penanda pengacuan pronomina persona III tunggal bentuk terikat lekat
kanan -ne „-nya‟ yang berupa pengacuan endofora kataforis juga tampak pada
data (38) berikut.
(38) Kadhang-kadhang mbakayune teka neng kamare, karepe ngancani
ngajak jagongan. (PS/3/9/22/1/06/2013).
„Kadang-kadang kakaknya datang ke kamarnya, akan menemani
mengajak bicara.‟
Jenis pengacuan pronomina persona III tunggal bentuk terikat lekat
kanan -ne „-nya‟ yang berupa pengacuan eksofora juga terdapat dalam data (39)
berikut.
(39) Nganti tamat, nganti neng beslit (surat kekancingan) dadi guru, asmane
ditulis: Siti Soetinah. (PS/3/9/17/27/04/2013).
„Sampai akhirnya, sampai di beslit (surat Perjanjian) menjadi guru,
namanya ditulis: Siti Soetinah.‟
2) Pengacuan Demonstratif
Pengacuan demonstratif atau kata ganti penunjuk dibedakan menjadi
dua, yaitu pronomina demonstratif waktu (temporal) dan pronomina
demonstratif tempat (lokasional). Pronomina demonstratif waktu (temporal)
yang ditemukan dalam penelitian ini adalah pronomina demonstratif waktu
kini, waktu lampau, dan waktu netral, sedangkan pronomina demontratif tempat
72
yang ditemukan berupa pronomina demonstratif tempat dekat dengan penutur,
agak jauh dengan penutur, jauh dengan penutur, dan menunjuk secara eksplisit.
2.1 Pengacuan Demonstratif Waktu (Temporal)
Pronomina demontratif waktu dapat dilihat pada beberapa data berikut
ini.
(40) Genahe maneh pers isih mujudake piranti perjuangan. Durung mujudake
industri kaya jaman saiki iki. (PS/3/10/17/27/04/2013).
„Jelasnya lagi pers masih mewujudkan perjuangan. Belum mewujudkan
industri seperti zaman sekarang ini.‟
Pada wacana (40) di atas terdapat penanda kohesi gramatikal berupa
pengacuan demonstratif waktu kini yaitu pada kata saiki „sekarang‟ yang
mengacu pada pers zaman ini. Kemudian data dibagi atas unsur langsungnya
dengan teknik BUL menjadi sebagai berikut.
(40a) Genahe maneh pers isih mujudake piranti perjuangan.
„Jelasnya lagi pers masih mewujudkan perjuangan.‟
(40b) Durung mujudake industri kaya jaman saiki iki.
„Belum mewujudkan industri seperti zaman sekarang ini.‟
Selanjutnya data (40b) dianalisis dengan teknik lesap sebagai berikut.
(40c) Durung mujudake industri kaya jaman Ø iki.
„Belum mewujudkan industri seperti zaman Ø ini.‟
Pronomina demonstratif saiki „sekarang‟ apabila dilesapkan data masih
tetap gramatikal, namun informasi yang disampaikan kurang lengkap, dan akan
lebih baik lagi jika pronomina tersebut tetap hadir atau tidak dilesapkan.
Kemudian data tersebut diuji dengan dengan teknik ganti, hasilnya adalah
sebagai berikut.
73
(40d) Durung mujudake industri kaya jaman saiki iki.
*sapunika
*samenika
„Belum mewujudkan industri seperti zaman sekarang ini.‟
*sekarang
*sekarang
Setelah diuji dengan teknik ganti adalah bahwa pronomina demonstratif
waktu saiki „sekarang‟ tidak dapat diganti dengan pronomina demonstratif
sapunika „sekarang‟ dan pronomina demonstratif samenika „sekarang‟ karena
berbeda ragam. Sapunika „sekarang‟ dan samenika „sekarang‟ merupakan
ragam krama, sedangkan saiki „sekarang‟ termasuk ragam ngoko.
Contoh data pengacuan demonstratif waktu saiki „sekarang‟ berupa
pengacuan endofora kataforis yang lain juga terdapat pada data (41) dan (42)
sebagai berikut.
(41) Soepratman njur pamit nyang mbak yune sing saiki dieloni iki.
(PS/3/9/18/4/05/2013).
„Soepratman kemudian berpamitan pada kakaknya yang sekarang
diikuti ini.‟
(42) Soepratman, sing dhek nom-nomane seneng dansa-dansi, minum-minum
karo nona-noni, gaul rapet karo pawongan Landa, saiki iki malik
grembyang. (PS/3/10/18/4/05/2013).
„Soepratman, yang ketika mudanya suka menari, minum-minum dengan
seorang wanita-wanita, hubungannya erat dengan orang-orang Belanda,
sekarang ini berubah drastis.‟
Penanda kohesi gramatikal berupa pengacuan demonstratif waktu juga
terdapat pada data berikut ini.
(43) Iya kaya mangkono kuwi kahanane dhek jaman 90-100 taun kepungkur.
(PS/1/10/17/27/04/2013).
„Ya seperti itu situasi ketika zaman 90-100 tahun yang lalu.‟
74
Pronomina kepungkur „yang lalu‟ pada data (43) di atas merupakan
pengacuan pronomina demonstratif waktu lampau kepungkur „yang lalu‟.
Pronomina tersebut merupakan pengacuan endofora anaforis karena mengacu
pada satuan lingual jaman 90-100 taun „zaman 90-100 tahun‟ yang disebutkan
sebelum pronomina kepungkur „yang lalu‟. Kemudian data (43) di atas dibagi
atas unsur langsungnya dengan teknik BUL sebagai berikut.
(43a) Iya kaya mangkono kuwi
„Ya seperti itu‟
(43b) kahanane dhek jaman 90-100 taun kepungkur.
„situasi ketika jaman 90-100 tahun yang lalu.‟
Setelah dibagi atas unsur langsungnya dengan teknik BUL, kemudian
data (43b) dianalisis dengan teknik lesap menjadi sebagai berikut.
(43c) kahanane dhek jaman 90-100 taun Ø
„situasi ketika jaman 90-100 tahun Ø.‟
Hasil analisis di atas adalah bahwa pronomina kepungkur „yang lalu‟
wajib hadir, apabila pronomina tersebut dilesapkan maka wacana menjadi tidak
berterima atau tidak gramatikal dan informasi yang diterima menjadi tidak
jelas. Selanjutnya, data dianalisis dengan teknik ganti menjadi berikut.
(43d) kahanane dhek jaman 90-100 taun kepungkur.
*kepengker
„situasi ketika jaman 90-100 tahun yang lalu.‟
*yang lalu
Analisis dengan teknik ganti pada data di atas menyatakan bahwa
pronomina demonstratif kepungkur „yang lalu‟ tidak dapat diganti dengan
pronomina demonstratif kepengker „yang lalu‟, karena kepengker „yang lalu‟
75
merupakan ragam krama, sedangkan kepungkur „yang lalu‟ termasuk ragam
ngoko.
Selain data tersebut ditemukan pula pengacuan demonstratif waktu
lampau kepungkur „yang lalu‟ (pengacuan endofora anaforis) terdapat dalam
data (44) berikut.
(44) Wah maneh dhek samana taun 1926, mentas bae ana ontran-ontran lan
dahuru sing kelakone lagi rong taun kepungkur.
(PS/3/10/19/11/05/2013).
„Wah lagi ketika pada tahun 1926, akhir-akhir ini ada pembantaian
(pembunuhan besar-besaran) dan tidak ada perdamaian yang terjadi lagi
dua tahun yang lalu.‟
Data pengacuan demonstratif waktu lainnya juga tampak pada data
berikut.
(45) Saka kadohan keprungu suwarane jago kluruk, pratandha yen wis
bangun raina. Nyatane mula rikala kuwi wis gagat raina; wis parak
esuk. (PS/2/10/19/11/05/2013).
„Dari kejauhan terdengar suara ayam jantan, pertanda jika telah fajar.
Sebenarnya ketika itu telah fajar; telah pagi.‟
Tampak pada data (45) di atas pronomina esuk „pagi‟ merupakan
pengacuan pronomina demonstratif waktu netral. Pronomina esuk „pagi‟
mengacu pada satuan lingual yang telah disebut sebelumnya, yaitu pada satuan
lingual raina „fajar‟. Pengacuan tersebut merupakan pengacuan endofora yang
bersifat anaforis, karena satuan lingual yang diacu berada di dalam teks yang
telah disebut terdahulu. Data (45) dibagi atas unsur langsungnya menjadi
sebagai berikut.
(45a) Saka kadohan keprungu suwarane jago kluruk, pratandha yen wis
bangun raina.
„Dari kejauhan terdengar suara ayam jantan, pertanda jika telah fajar‟
76
(45b) Nyatane mula rikala kuwi wis gagat raina; wis parak esuk.
„Sebenarnya ketika itu telah fajar; telah pagi.‟
Kemudian data (45b) diuji dengan menggunakan teknik lesap, hasilnya
adalah sebagai berikut.
(45c) Nyatane mula rikala kuwi wis gagat raina; wis parak Ø.
„Sebenarnya ketika itu telah fajar; telah Ø.‟
Pengacuan demonstratif waktu netral esuk „pagi‟ pada data (45c) di atas
apabila dikenai teknik lesap maka wacana tersebut menjadi tidak gramatikal.
Dengan ciri seperti itu, maka pronomina esuk „pagi‟ wajib hadir agar informasi
tersampaikan dengan jelas dan lengkap. Setelah diuji dengan teknik lesap, data
(45b) dianalisis dengan teknik ganti sebagai berikut.
(45d) Nyatane mula rikala kuwi wis gagat raina; wis parak esuk.
*enjing
„Sebenarnya ketika itu telah fajar; telah pagi.‟
*pagi
Pronomina esuk „pagi‟ pada data (45d) setelah dianalisis dengan teknik
ganti, ternyata kata esuk „pagi‟ tidak bisa diganti dengan kata enjing „pagi‟
karena perbedaan ragam. Kata enjing „pagi‟ merupakan ragam krama,
sedangkan kata esuk „pagi‟ termasuk ragam ngoko. Pengacuan demonstratif
waktu netral juga terdapat pada data berikut.
(46) Banget kesele; satemah keturon ing papane lungguh mau, tangi-tangi wis
parak awan; terus kanthi alon dheweke nyoba nyanyi lagu gubahane
kuwi, sing satemene uga wis nate dikumandhangke ing ndalem
pertemuan ing Gang Kenari kae. (PS/2/10/19/11/05/2013).
„Sangat lelah; dan tertidur di tempatnya duduk tadi, bangun-bangun
telah siang; kemudian dengan pelan dia menyanyikan lagu karangannya
itu, yang sebenarnya juga sudah pernah dinyanyikan di dalam
pertemuan di Gang Kenari itu.‟
77
Pada data (46) di atas terdapat adanya pengacuan demonstratif waktu
netral yaitu pada kata awan „siang‟ yang mengacu pada tuturan sebelumnya
bangun-bangun sudah siang, pengacuan seperti ini disebut pengacuan endofora
yang bersifat anaforis. Kemudian data (46) diuji dengan teknik BUL, hasilnya
adalah sebagai berikut.
(46a) Banget kesele; satemah keturon ing papane lungguh mau, tangi-tangi
wis parak awan;
„Sangat lelah; dan tertidur di tempatnya duduk tadi, bangun-bangun
telah siang;‟
(46b) terus kanthi alon dheweke nyoba nyanyi lagu gubahane kuwi,
„kemudian dengan pelan dia menyanyikan lagu karangannya itu,‟
(46c) sing satemene uga wis nate dikumandhangke ing ndalem pertemuan ing
Gang Kenari kae.
„yang sebenarnya juga sudah pernah dinyanyikan di dalam pertemuan di
Gang Kenari itu.‟
Setelah diuji dengan teknik BUL, data (46a) dianalisis dengan teknik
lesap menjadi sebagai berikut.
(46d) Banget kesele; satemah keturon ing papane lungguh mau, tangi-tangi
wis parak Ø;
„Sangat lelah; dan tertidur di tempatnya duduk tadi, bangun-bangun
telah Ø;‟
Penanda kohesi pengacuan demonstratif waktu netral awan „siang‟ pada
data (46d) di atas wajib hadir. Pronomina awan „siang‟ tersebut apabila
dilesapkan maka kalimatnya menjadi tidak berterima serta informasi yang
diterima menjadi kurang jelas. Selanjutnya data (46a) diuji dengan teknik ganti
sebagai berikut.
(46e) Banget kesele; satemah keturon ing papane lungguh mau, tangi-tangi
wis parak awan;
*siyang
78
„Sangat lelah; dan tertidur di tempatnya duduk tadi, bangun-bangun
telah siang;‟
*siang
Setelah data (46e) di atas diuji dengan teknik ganti, ternyata pronomina
siyang „siang‟ tidak dapat menggantikan posisi pronomina awan „siang‟,
karena pronomina siyang „siang‟ merupakan ragam krama sedangkan awan
„siang‟ termasuk ragam ngoko. Penanda kohesi berupa pengacuan demonstratif
waktu netral juga tampak pada data berikut.
(47) Bengi dadi angel nggone arep turu; ati dalah pikirane dikebaki gagasan
maneka rupa sing ana gandheng cenenge karo lagu kebangsaan iki.
(PS/1/10/19/11/05/2013).
„Malam jadi sulit untuk tidur; hati dan pikirannya dipenuhi dengan
berbagai ide-ide yang terkait dengan lagu kebangsaan ini.‟
Satuan lingual bengi „malam‟ pada data (47) di atas menunjukkan
penanda kohesi gramatikal berupa pengacuan demonstratif waktu netral.
Pronomina bengi „malam‟ tersebut mengacu pada tuturan yang mengikuti
malam sulit tidur. Data (47) dibagi atas unsur langsungnya menjadi sebagai
berikut.
(47a) Bengi dadi angel nggone arep turu;
„Malam jadi sulit untuk tidur;‟
(47b) ati dalah pikirane dikebaki gagasan maneka rupa sing ana gandheng
cenenge karo lagu kebangsaan iki.
„hati dan pikirannya dipenuhi dengan berbagai ide-ide yang terkait
dengan lagu kebangsaan ini.‟
Kemudian data (47a) diuji dengan teknik lesap, hasilnya adalah sebagai
berikut.
(47c) Ø dadi angel nggone arep turu;
„Ø jadi sulit untuk tidur;‟
79
Hasil analisis data (47c) di atas menyatakan bahwa pronomina bengi
„malam‟ apabila dilesapkan maka wacana tersebut tetap berterima, namun akan
lebih baik lagi jika pronomina tersebut hadir, agar kalimatnya lebih jelas dan
lengkap. Selanjutnya, data (47a) dianalisis dengan teknik ganti sebagai berikut.
(47d) Bengi dadi angel nggone arep turu;
*Ratri
*Dalu
„Malam jadi sulit untuk tidur;‟
*Malam
*Malam
Analisis data (47d) di atas, ternyata pronomina ratri „malam‟ dan dalu
„malam‟ tidak dapat menggantikan posisi pronomina bengi „malam‟ karena
berbeda ragam. Pronomina bengi „malam‟ merupakan ragam ngoko, sedangkan
ratri „malam‟ dan dalu „malam‟ termasuk ragam krama. Data yang didalamnya
terdapat pengacuan demonstratif waktu netral juga tampak dalam data sebagai
berikut.
(48) Sejarah nyathet, manawa Pak Tom sedane sasi Mei 1938, dene
Soepratman kapundhut GUSTI telung sasi sawise kuwi, genahe maneh
pas 17 Agustus 1938 jam siji bengi. (PS/1/10/22/1/06/2013).
„Sejarah mencatat, apabila Pak Tom meninggal pada bulan Mei 1938,
sedangkan Soepratman dipanggil Allah tiga bulan setelah itu, jelasnya
lagi tepat 17 Agustus 1938 pukul satu malam.‟
Tuturan (48) di atas pronomina jam siji bengi „pukul satu malam‟
merupakan pengacuan pronomina demonstratif waktu netral. Pronomina jam
siji bengi „pukul satu malam‟ mengacu pada meninggalnya Soepratman tepat
17 Agustus 1938 yang ditunjukkan pada kalimat sebelum pronomina jam siji
80
bengi. Data (48) selanjutnya dibagi atas unsur langsungnya dengan teknik BUL
sebagai berikut.
(48a) Sejarah nyathet, manawa Pak Tom sedane sasi Mei 1938,
„Sejarah mencatat, apabila Pak Tom meninggal pada bulan Mei 1938,‟
(48b) dene Soepratman kapundhut GUSTI telung sasi sawise kuwi, genahe
maneh pas 17 Agustus 1938 jam siji bengi.
„sedangkan Soepratman dipanggil Allah tiga bulan setelah itu, jelasnya
lagi tepat 17 Agustus 1938 pukul satu malam.‟
Kemudian data (48b) diuji dengan teknik lesap, hasilnya menjadi
berikut.
(48c) dene Soepratman kapundhut GUSTI telung sasi sawise kuwi, genahe
maneh pas Ø.
„sedangkan Soepratman dipanggil Allah tiga bulan setelah itu, jelasnya
lagi tepat Ø.‟
Pengujian dengan teknik lesap ternyata dapat dinyatakan bahwa
pronomina jam siji bengi „pukul satu malam‟ apabila dilesapkan maka data
masih tetap gramatikal dan berterima. Namun apabila pronomina tersebut
dilesapkan, informasi yang disampaikan menjadi kurang lengkap dan akan
lebih baik lagi jika pronomina jam siji bengi „pukul satu malam‟ tetap hadir
atau tidak dilesapkan. Setelah diuji dengan teknik lesap data (48b) dianalisis
dengan teknik ganti menjadi seperti berikut.
(48d) dene Soepratman kapundhut GUSTI telung sasi sawise kuwi, genahe
maneh pas 17 Agustus 1938 jam siji bengi.
*jam telu bengi
„sedangkan Soepratman dipanggil Allah tiga bulan setelah itu, jelasnya
lagi tepat 17 Agustus 1938 pukul satu malam.‟
*pukul tiga malam
81
Hasil analisis data (48d) di atas menyatakan bahwa pronomina jam siji
bengi „pukul satu malam‟ tidak dapat diganti dengan pronomina jam telu bengi
„pukul tiga malam‟, karena peristiwa meninggalnya Soepratman terjadi pada
pukul satu malam bukan pukul tiga malam.
Selain data tersebut ditemukan pula pengacuan demonstratif waktu
netral lainnya terdapat dalam data (49) sampai dengan (52) berikut.
(49) WR. Soepratman lair saka garbane wanita warga asli Somongari, aran
Siti Senen dhek 19 Maret 1903. (PS/3/9/17/27/04/2013).
„WR. Soepratman lahir dari rahim seorang perempuan asli Somongari,
bernama Siti Senen 19 Maret 1903.‟
(50) Rancangane mono seperangan saka buku anggitane arep diedol nyang
peserta Kongres Pemuda II sing dianakake ing Jakarta pungkasane
sasi Oktober 1928 iki, ee... dadak bukune dibeskup pulisi.
(PS/1/9/19/11/05/2013).
„Rencananya tadi beberapa dari buku karangannya akan dijual kepada
peserta Kongres Pemuda II yang diselenggarakan di Jakarta akhir
bulan Oktober 1928 ini, ee... tiba-tiba bukunya dibeskup polisi.‟
(51) Kongres Pemuda I dianakake ing Jakarta uga, 30 April 1926 nganti 2
Mei 1926 dipandhegani Mohammad Tabrani pemuda asli Medura.
(PS/1/9/20/18/05/2013).
„Kongres Pemuda I diadakan di Jakarta juga, pada tanggal 30 April
1926 hingga 2 Mei 1926 [...].‟
(52) Ning, sejarah nyathet manawa dhek Dina Pahlawan 1971 Pemerintah
paring gelar Pahlawan Nasional nyang WR Soepratman[...].
(PS/3/9/24/15/06/2013).
„Namun, sejarah mencatat bahwa ketika Hari Pahlawan 1971
Pemerintah memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada WR
Soepratman [...].‟
Selain ditemukan pengacuan pronomina demonstratif waktu, dalam
penelitian ini juga ditemukan beberapa data yang berupa pengacuan pronomina
demonstratif tempat sebagai berikut.
82
2.2 Pengacuan Demonstratif Tempat (Lokasional)
Data yang berupa pengacuan pronomina demonstratif tempat yang
ditemukan dalam penelitian adalah sebagai berikut.
(53) Saka Randhu Dongkol pindhah maneh nyang Surabaya. Ing kene
sauntara wektu atine bisa rada lerem. (PS/3/9/24/15/06/2013).
„Dari Randhudongkol pindah lagi ke Surabaya. Di sini sementara waktu
hatinya bisa agak tenang.‟
Tampak pada data (53) di atas terdapat pengacuan pronomina
demonstratif tempat dekat dengan penutur yang dinyatakan dengan kata kene
„sini‟ yang mengacu pada kalimat sebelumnya yaitu Surabaya. Pengacuan
tersebut merupakan pengacuan endofora yang bersifat anaforis, karena
mengacu pada tuturan yanag berada di dalam teks yang antesedennya berada di
sebelah kiri kata kene „sini‟. Kemudian data (53) dibagi atas unsur langsungnya
dengan teknik BUL seperti berikut.
(53a) Saka Randhu Dongkol pindhah maneh nyang Surabaya.
„Dari Randhudongkol pindah lagi ke Surabaya.‟
(53b) Ing kene sauntara wektu atine bisa rada lerem.
„Di sini sementara waktu hatinya bisa agak tenang.‟
Data (53b) kemudian diuji dengan teknik lesap, hasilnya sebagai
berikut.
(53c) Ing Ø sauntara wektu atine bisa rada lerem.
„Di Ø sementara waktu hatinya bisa agak tenang.‟
Kata kene „sini‟ wajib hadir, apabila kata tersebut dilesapkan maka data
menjadi tidak berterima atau tidak gramatikal dan informasi yang disampaikan
tidak jelas. Setelah diuji dengan teknik lesap, selanjutnya data tersebut dikenai
teknik ganti pada kata kene „sini‟ menjadi sebagai berikut.
83
(53d) Ing kene sauntara wektu atine bisa rada lerem.
*mriki
„Di sini sementara waktu hatinya bisa agak tenang.‟
*sini
Hasil analisis menggunakan teknik ganti pada data (53d) di atas,
pronomina demonstratif waktu dekat dengan penutur kene „sini‟ tidak dapat
diganti dengan pronomina demonstratif mriki „sini‟. Hal ini disebabkan karena
berbeda ragam, pronomina mriki „sini‟ termasuk ragam krama sedangkan kene
„sini‟ merupakan ragam ngoko.
Penanda kohesi gramatikal berupa pengacuan pronomina demonstratif
tempat dekat dengan penutur lainnya dapat dilihat pada data di bawah ini.
(54) Surat kabar “Kedaulatan Rakyat” (Yogya) anyar iki ngemot warta,
manawa dhek Selasa 19 Maret 2013, warga desa Somongari,
Kecamatan Kaligesing, jajaran Pemerintah Kabupaten Purwarejo
nganakake pengetan 110 taun wiyosane Wage Rudolf Soepratman.
(PS/1/9/17/27/04/2013).
„Surat kabar “Kedaulatan Rakyat” (Yogya) ini memuat berita terbaru,
yang pada hari Selasa 19 Maret 2013, warga desa Somongari,
kecamatan Kaligesing, jajaran Pemerintah Kabupaten Purwarejo
mengadakan peringatan 110 tahun lahirnya Wage Rudolf Soepratman.‟
Pada wacana (54) di atas tampak adanya penanda kohesi gramatikal
berupa pengacuan demonstratif tempat dekat dengan penutur yaitu pada kata iki
„ini‟. Pronomina iki „ini‟ merupakan pengacuan endofora anaforis, karena
pronomina tersebut mengacu pada tuturan yang berada di dalam wacana yang
antesedennya berada di sebelah kiri kata iki „ini‟. Data (54) dibagi atas unsur
langsungnnya sebagai berikut.
(54a) Surat kabar “Kedaulatan Rakyat” (Yogya) anyar iki ngemot warta,
„Surat kabar “Kedaulatan Rakyat” (Yogya) ini memuat berita,‟
84
(54b) manawa dhek Selasa 19 Maret 2013,
„pada hari Selasa 19 Maret 2013,‟
(54c) warga desa Somongari, Kecamatan Kaligesing, jajaran Pemerintah
Kabupaten Purwarejo nganakake pengetan 110 taun wiyosane Wage
Rudolf Soepratman.
„warga desa Somongari, kecamatan Kaligesing, jajaran Pemerintah
Kabupaten Purwarejo mengadakan peringatan 110 tahun lahirnya Wage
Rudolf Soepratman.‟
Setelah dibagi atas unsur langsungnya, data (54a) diuji dengan teknik
lesap pada pronomina demonstratif iki „ini‟ menjadi sebagai berikut.
(54d) Surat kabar “Kedaulatan Rakyat” (Yogya) anyar Ø ngemot warta,
„Surat kabar “Kedaulatan Rakyat” (Yogya) Ø memuat berita,‟
Hasil analisis pada data (54d) di atas, ternyata apabila pronomina iki
„ini‟ dilesapkan maka kalimatnya tetap berterima atau tetap gramatikal, namun
akan lebih baik lagi jika pronomina tersebut tetap dihadirkan, agar kalimatnya
lebih jelas dan lengkap. Selanjutnya data (54a) dianalisis dengan teknik ganti,
hasilnya adalah sebagai berikut.
(54e) Surat kabar “Kedaulatan Rakyat” (Yogya) anyar iki ngemot
*puniki
warta,
„Surat kabar “Kedaulatan Rakyat” (Yogya) ini memuat berita,‟
*ini
Analisis data (54e) di atas dengan menggunakan teknik ganti pada
pronomina iki „ini‟, ternyata pronomina tersebut tidak dapat diganti dengan
pronomina puniki „ini‟ karena ragam yang digunakan berbeda. Pronomina
puniki merupakan ragam krama sedangkan pronomina iki „ini‟ termasuk ragam
ngoko.
85
Selain data tersebut ditemukan pula pengacuan demonstratif tempat
dekat dengan penutur iki „ini‟ tampak pada data (55) berikut.
(55) Isih miturut “KR”, Pemerintah wiwit melu campur tangan ing ndalem
pengetan iki, bareng kelakon nuku tanah dalah bangunan omah papan
laire WR. Soepratman sing ambane 400 meter persegi saka kalawarga
Singoprono (taun 2007). (PS/2/9/17/27/04/2013).
„Masih menurut “KR”, Pemerintah mulai ikut campur tangan di dalam
peringatan ini, setelah mampu membeli tanah beserta bangunan rumah
tempat lahirnya WR. Soepratman yang luasnya 400 meter2
dari keluarga
Singoprono (tahun 2007).
Pengacuan pronomina demonstratif lainnya dapat dilihat pada data di
bawah ini.
(56) Amrih gampange, si bocah terus bae dicathetake yen lair ing Jatinegara
(tangsi KNIL) kono. (PS/3/9/17/27/06/2013).
„Begitu mudah, anak itu kemudian dicatat jika lahir di Jatinegara situ.‟
Tampak pronomina demonstratif tempat agak jauh dengan penutur pada
kata kono „situ‟ yang mengacu pada tuturan yang disebut sebelumnya yaitu
mengacu pada daerah Jatinegara. Data (56) dibagi atas unsur langsungnya
sebagai berikut.
(56a) Amrih gampange,
„Begitu mudah,‟
(56b) si bocah terus bae dicathetake yen lair ing Jatinegara (tangsi KNIL)
kono.
„anak itu kemudian dicatat jika lahir di Jatinegara situ.‟
Setelah dibagi atas unsur langsungnya, kemudian data (56b) dianalisis
dengan teknik lesap pada kata kono „situ‟ menjadi sebagai berikut.
(56c) si bocah terus bae dicathetake yen lair ing Jatinegara (tangsi KNIL) Ø.
„anak itu kemudian dicatat jika lahir di Jatinegara Ø.
86
Pronomina kono „situ‟ pada data (56b) di atas apabila dikenai teknik
lesap maka wacana tersebut menjadi tidak berterima atau tidak jelas, serta
informasi yang disampaikan tidak jelas. Jadi pronomina kono „situ‟ pada
wacana tersebut wajib hadir. Data (56b) selanjutnya dianalisis dengan teknik
ganti, hasilnya sebagai berikut.
(56d) si bocah terus bae dicathetake yen lair ing Jatinegara (tangsi KNIL)
kono.
*kene
*kana
„anak itu kemudian dicatat jika lahir di Jatinegara situ.‟
*sini
*sana
Analisis (56d) menyatakan bahwa pronomina demonstratif kono „situ‟
tidak dapat diganti dengan pronomina kene „sini‟ dan kana „sana‟ karena sudah
berbeda jarak tempatnya. Kata kono „situ‟ mengacu pada tempat yang agak
jauh dengan penutur, sedangkan kata kene „sini‟ mengacu pada tempat yang
dekat dengan penutur dan kata kana „sana‟ mengacu pada tempat yang jauh
dengan penutur.
Contoh pronomina demonstratif tempat agak jauh dengan penutur kono
„situ‟ yang lain juga terdapat dalam data (57) dan (58) berikut.
(57) Miturut ujaring warga, pengetan laire W.R. Soepratman mangkene iki
wis wiwit dianakake dening warga wiwit dhek taun 1975 kae, salebare
Pemerintah taun 1974 netepake WR. Soepratman lair ing Somongari
kono. (PS/2/9/17/27/04/2013).
„Menurut perkataan warga, memperingati kelahiran W.R. Soepratman
ini telah diselenggarakan oleh warga sejak tahun 1975 itu, setelah
Pemerintah pada tahun 1974 menetapkan WR. Soepratman lahir di
Somongari situ.‟
87
(58) Satemene dhek taun 1926 uga wis nate ana Kongres Pemuda, uga
dianakake ing Betawi/Jakarta kono. (PS/1/9/19/11/05/2013).
„Sebenarnya pada tahun 1926 juga sudah pernah ada Kongres Pemuda,
yang juga diadakan di Batawi/Jakarta situ.‟
Penanda kohesi gramatikal berupa pronomina demonstratif tempat agak
jauh dengan penutur kuwi „sana‟ tampak pada data (59) berikut.
(59) Alamanak nyathet sasi April 1937 rikala Soepratman pindhah saka
Randhudongkal nyang Surabaya kuwi. (PS/1/10/21/25/05/2013).
„Alamanak mencatat pada bulan April 1937 ketika Soepratman pindah
dari Randhudongkal ke Surabaya situ.‟
Pronomina kuwi „situ‟ merupakan penanda kohesi yang berupa
pengacuan demonstratif tempat agak jauh dengan penutur. Pronomina tersebut
merupakan pengacuan endofora yang bersifat anaforis. Selanjutnya data (59)
dibagi atas unsur langsungnya dengan teknik BUL, hasilnya adalah sebagai
berikut.
(59a) Alamanak nyathet sasi April 1937 rikala Soepratman pindhah
„Alamanak mencatat pada bulan April 1937 ketika Soepratman pindah‟
(59b) saka Randhudongkal nyang Surabaya kuwi. „dari Randhudongkal ke Surabaya situ.
Data (59b) diuji dengan teknik lesap menjadi sebagai berikut.
(59c) saka Randhudongkal nyang Surabaya Ø.
„dari Randhudongkal ke Surabaya Ø.‟
Setelah data (59c) dikenai teknik lesap pada kata kuwi „situ‟, kalimat
wacana tersebut masih tetap berterima atau tetap gramatikal, akan lebih baik
lagi jika kata kuwi „situ‟ dihadirkan, agar kalimatnya jelas dan lengkap.
Kemudian data (59b) dianalisis dengan teknik ganti sebagai berikut.
(59d) saka Randhudongkal nyang Surabaya kuwi.
*punika
88
„dari Randhudongkal ke Surabaya situ.
*sana
Pronomina demonstratif tempat agak jauh dengan penutur kuwi „situ‟
pada data (59d) di atas tidak dapat diganti dengan pronomina punika „sana‟
karena ragam yang digunakan berbeda. Pronomina kuwi „situ‟ merupakan
ragam ngoko sedangkan punika termasuk ragam krama.
Selain contoh di atas, pronomina demonstratif tempat juga terdapat pada
data sebagai berikut.
(60) Ora kurang-kurang cacahe kaum pergerakan, kaum nasionalis sing
ditangkepi Landa, dibuang nyang Boven Digul, Tanah Merah, Papua
kana. (PS/3/10/20/18/05/2013).
„Tidak kurang-kurang jumlahnya kaum pergerakan, kaum nasionalis
yang ditangkap Belanda, dibuang ke Boven Digul, Tanah Merah, Papua
sana.‟
Pada data (60) di atas satuan lingual kana „sana‟ merupakan pengacuan
pronomina demonstratif tempat jauh dengan penutur yaitu mengacu pada
Papua. Pengacuan ini merupakan pengacuan endofora yang bersifat anaforis,
karena mengacu pada tuturan yang berada di dalam teks yang mendahuluinya
atau telah disebut terdahulu. Data (60) di atas selanjutnya dibagi atas unsur
langsungnya dengan teknik BUL. Hasilnya adalah sebagai berikut.
(60a) Ora kurang-kurang cacahe kaum pergerakan, kaum nasionalis sing
ditangkepi Landa,
„Tidak kurang-kurang jumlahnya kaum pergerakan, kaum nasionalis
yang ditangkap Belanda,‟
(60b) dibuang nyang Boven Digul, Tanah Merah, Papua kana.
„dibuang ke Boven Digul, Tanah Merah, Papua sana.‟
Kemudian data (60b) dianalisis dengan teknik lesap menjadi sebagai
berikut.
89
(60c) dibuang nyang Boven Digul, Tanah Merah, Papua Ø.
„dibuang ke Boven Digul, Tanah Merah, Papua Ø.‟
Hasil analisis dengan teknik lesap pada data (60c) adalah bahwa
pronomina kana „sana‟ apabila dilesapkan maka wacana masih tetap berterima
serta informasinya tetap jelas. Maka pronomina kana „sana‟ tidak wajib hadir.
Namun lebih baik lagi jika pronomina tersebut dihadirkan. Selanjutnya data
(60b) diuji dengan teknik ganti menjadi sebagai berikut.
(60d) dibuang nyang Boven Digul, Tanah Merah, Papua kana.
*mrika
„dibuang ke Boven Digul, Tanah Merah, Papua sana.‟
*sana
Setelah diuji dengan teknik ganti, pronomina demonstratif kana „sana‟
tidak dapat diganti dengan pronomina mrika „sana‟ karena kedua pronomina
tersebut berbeda ragamnya. Kata kana „sana‟ merupakan ragam ngoko
sedangkan kata mrika „sana‟ termasuk ragam krama.
Jenis pronomina demonstratif tempat jauh dengan penutur kana „sana‟
yang lain juga terdapat dalam data (61) berikut.
(61) Anwar Tjokroaminoto, salah sijine jurnalis sk. Pemandangan, sing
tembene uga nate dadi Juru bicara Markas Besar TNI ing Yogya, lan
uga nate dadi Menteri Sosial RI, nate crita nyang sing nulis atur iki,
bareng karo Soepratman golek celana (pantaloon) loakan ing Pasar
Senin kana. (PS/1/10/23/8/06/2013).
„Anwar Tjokroaminoto, seorang jurnalis sk. Pemandangan, yang
kemudian juga pernah menjabat sebagai juru bicara Markas Besar TNI
di Yogyakarta, dan juga pernah menjabat sebagai Menteri Sosial RI,
pernah cerita kepada penulis karya ini, bersama dengan Soepratman
mencari celana (pantalon) loakan di pasar Senin sana.‟
Pronomina demonstratif tempat menunjuk secara eksplisit terdapat pada
data berikut.
90
(62) Ing Surabaya gus Wage bisa sapatemon karo wong pergerakan, saora-
orane ana kegiyatan apa bae. (PS/3/9/22/1/06/2013).
„Di Surabaya gus Wage bisa bertemu dengan orang pergerakan,
setidaknya ada kegiatan apapun.‟
Tampak pada tuturan (62) di atas menunjukkan adanya pengacuan
pronomina demonstratif tempat menunjuk secara eksplisit yaitu pada sebuah
nama ibu kota di Jawa Timur yaitu Surabaya. Kemudian data (62) dibagi atas
unsur langsungnya menjadi berikut.
(62a) Ing Surabaya gus Wage bisa sapatemon karo wong pergerakan,
„Di Surabaya gus Wage bisa bertemu dengan orang pergerakan,‟
(62b) saora-orane ana kegiyatan apa bae.
„setidaknya ada kegiatan apapun.‟
Selanjutnya data (62a) dianalisis dengan teknik lesap, hasilnya sebagai
berikut.
(62c) Ing Ø gus Wage bisa sapatemon karo wong pergerakan,
„Di Ø gus Wage bisa bertemu dengan orang pergerakan,‟
Hasil analisis dengan teknik lesap pada data (62a) apabila penanda
kohesi pengacuan pronomina demonstratif tempat menunjuk secara eksplisit
Surabaya dilesapkan, maka data tersebut menjadi tidak gramatikal. Kehadiran
penanda kohesi pengacuan pronomina demonstratif tersebut adalah wajib.
Setelah dianalisis dengan teknik lesap, selanjutnya data (62a) diuji dengan
teknik ganti sebagai berikut.
(62d) Ing Surabaya gus Wage bisa sapatemon karo wong pergerakan,
*Malang
„Di Surabaya gus Wage bisa bertemu dengan orang pergerakan,‟
*Malang
91
Pronomina demonstratif eksplisit Surabaya jika dikenai teknik ganti,
maka data (62a) menjadi tidak berterima karena hanya di Surabaya gus Wage
bisa bertemu dengan orang-orang pergerakan, bukan di Malang atau daerah
lainnya.
Jenis pronomina demonstratif tempat menunjuk secara eksplisit yang
lain juga terdapat dalam data (63) sampai dengan (75) berikut.
(63) Wis pisahan, njur dedunung aneng Surabaya. Cethane maneh neng
Manggawegno. 21, Tambaksari cedhak karo Stadion 10 November.
(PS/1/10/21/25/05/2013).
„Telah pisah, kemudian bertempat tinggal di Surabaya. Tepatnya lagi di
Manggaweg no. 21, Tambaksari dekat dengan Stadion 10
November.‟
(64) Isih durung tuwa nemen-nemen, rikala Soepratman wafat, isih sakiwa
tengene 35 taun. Ing sakawit jizime dimakamake ing kampunge dhewe
kono, ing Kapas Kampung Surabaya. (PS/1/10/22/1/06/2013).
„Masih belum begitu tua, ketika Soepratman meninggal, masih sekitar
35 tahun. Jenazahnya dimakamkan di desanya sendiri sana, di Kapas
Kampung Surabaya.‟
(65) Ning, bareng mlebu sekolah ing HIS (Hollands Inlandse School), Sek.
Dasar 7 taun mawa wulangan basa Landa, ing Blitar, anggone
ndaftarake, lair ing Blitar. (PS/3/9/17/27/04/2013).
„Tapi, setelah masuk sekolah di HIS (Hollands Inlandse School), Sek.
Dasar 7 tahun menggunakan pelajaran bahasa Belanda, di Blitar,
mendaftarkan, lahir di Blitar.‟
(66) Genahe maneh Pak Senen Kartodikromo mono nganti pensiun, iya
pensiunan KNIL, pangkat sersan instruktif. Manggon ing Warung
contong, Cimahi, pindhah saka Jatinegara. (PS/1/10/17/27/04/2013).
„Jelasnya lagi Pak Senen Kartodikromo hingga pensiun, ya pensiunan
KNIL, pangkat sersan instruktif. Tinggal di Warung contong, Cimahi,
pindah dari Jatinegara.‟
(67) Kahanane kutha Makasar dianggep kurang sreg dening gus Wage [...].
(PS/3/10/17/27/04/2013).
„Situasi kota Makasar dianggap kurang nyaman oleh gus Wage [...].‟
92
(68) Kelakon Soepratman bali nyang tanah Jawa, melu salah sijine mbak
ayune sing dedunung ing Bandung. (PS/3/10/17/27/04/2013).
„Soepratman kembali ke tanah Jawa, ikut salah satu kakaknya yang
tinggal di Bandung.‟
(69) Kaum kita nduweni pembantu ing Betawi [...]. (PS/3/9/18/4/05/2013).
„Kaum kita mempunyai pembantu di Betawi [...].‟
(70) Kelakon, lagu “Indonesia Raya” ngumandhang ing Gedhong Kramat
Raya 106, papane dianakake Kongres Pemuda II kuwi.
(PS/3/10/19/11/05/2013).
„Lagu "Indonesia Raya" terdengar di gedung Kramat Raya 106, tempat
diadakannya Kongres Pemuda II itu.‟
(71) Wondene, sing disebut “Randhudongkol” kuwi sawijining panggonan
sakidule Pemalang, Jawa Tengah kana. (PS/1/10/21/25/05/2013).
„Sementara itu, yang disebut "Randhudongkol" itu salah satu tempat di
selatan Pemalang, Jawa Tengah sana.‟
(72) Jepang mindhah Bung Karno nyang pulo Jawa[...].
(PS/3/10/22/1/06/2013).
„Jepang memindah Bung Karno ke Pulau Jawa, [...].‟
(73) Taune antara 1925-1926, yaiku rikala Wedana Menes (karesidenan
Banten) diprajaya dening kaum pembrontak komunis, sing dhek samana
mula nganakake pemberontakan ing sawatara papan ing tanah Jawa.
(PS/3/9/23/8/06/2013).
„Tahunnya antara 1925-1926, yaitu ketika Wedana Menes (karesidenan
Banten) dikalahkan oleh kaum pemberontak komunis, yang mulai
melakukan pemberontakan di beberapa tempat di tanah Jawa.‟
(74) Dhek samana Gus Wage lagi ngadeg ijen ing ngarepe pondhokane ing
Kwitang, Jakarta. (PS/3/9/23/8/06/2013).
„Ketika itu Gus Wage baru berdiri sendirian di depan pondok di
Kwitang, Jakarta.‟
(75) Iki uga kacihna, rikala sakiwa tengene taun 1960-an ngono, Salamah
manggon ing Wisma Mulia[...]. (PS/1/9/24/15/06/2013).
„Hal ini juga membuktikan, ketika sekitar tahun 1960-an, Salamah
tinggal di Wisma Mulia[...].‟
93
3) Pengacuan Komparatif
Pengacuan komparatif atau perbandingan adalah pengacuan yang
bersifat membandingkan dua hal atau lebih yang mempunyai kemiripan sifat,
wujud, watak, sikap, perilaku, dan sebagainya. Pengacuan komparatif ditandai
dengan kata kaya, kadya, kadi, kadi dene, lir, pendah, prasasat, padha karo,
beda karo. Pengacuan komparatif yang terdapat dalam wacana gempilan
sejarah adalah sebagai berikut.
(76) Ora nganti suwe gus Wage pindhah neng sk. Kaum Kita sing satemene
ora patia populer kaya Kaum Muda kuwi. (PS/1/9/18/4/05/2013).
„Tidak lama gus Wage pindah di sk. Kaum Kita yang sebenarnya tidak
begitu populer seperti Kaum Muda itu.‟
Satuan lingual kaya „seperti‟ pada wacana (76) di atas merupakan
pengacuan komparatif. Pengacuan tersebut berfungsi untuk membandingkan
kepopuleran antara sk. Kaum Kita dan Kaum Muda. Selanjutnya data (76)
tersebut dibagi atas unsur langsungnya dengan teknik BUL.
(76a) Ora nganti suwe gus Wage pindhah neng sk. Kaum Kita
„Tidak lama gus Wage pindah di sk. Kaum Kita‟
(76b) sing satemene ora patia populer kaya Kaum Muda kuwi.
„yang sebenarnya tidak begitu populer seperti Kaum Muda itu.‟
Kemudian data (76b) dianalisis dengan teknik lesap, hasilnya adalah
sebagai berikut.
(76c) sing satemene ora patia populer Ø Kaum Muda kuwi.
„yang sebenarnya tidak begitu populer Ø Kaum Muda itu.‟
Hasil analisis pada data (76c) di atas adalah bahwa pengacuan
pronomina komparatif kaya „seperti‟ wajib hadir. Satuan lingual kaya „seperti‟
apabila dilesapkan, maka wacana tersebut menjadi tidak berterima atau tidak
94
gramatikal dan informasi yang diterima menjadi tidak jelas. Setelah dianalisis
dengan teknik lesap, selanjutnya data (76b) diuji dengan teknik ganti menjadi
sebagai berikut.
(76d) sing satemene ora patia populer kaya Kaum Muda kuwi.
*kados
„yang sebenarnya tidak begitu populer seperti Kaum Muda itu.‟
*seperti
Setelah data (76d) diuji dengan teknik ganti, satuan lingual kaya
„seperti‟ tidak dapat diganti dengan satuan lingual kados „seperti‟ karena
berbeda ragam. Kata kaya „seperti‟ merupakan ragam ngoko sedangkan kata
kados „seperti‟ termasuk ragam krama, meskipun maknanya tetap tetapi kurang
tepat jika digantikan dengan kata kados. Jadi kata kaya „seperti‟ lebih tepat jika
digunakan pada data di atas.
Selain data tersebut ditemukan pula pengacuan komparatif yang berupa
kata kaya „seperti‟ terdapat dalam data (77) berikut.
(77) Mung bae, dhek samana sajake peraturan isih durung keras kaya saiki.
(PS/3/9/17/27/04/2013).
„Hanya saja, peraturan zaman dulu masih belum keras seperti sekarang.‟
Data lain yang berupa pengacuan pronomina komparatif adalah sebagai
berikut.
(78) Yen kelingan pidatone Bung Karno sing kaya mangkono kuwi, semangate
Soepratman njur kadidene umob, makantar-kantar.
(PS/1/10/19/11/05/2013).
„Jika teringat pidatonya Bung Karno yang seperti itu, semangatnya
Soepratman seperti mendidih, terbakar.‟
Pada data (78) di atas terdapat penanda kohesi gramatikal berupa
pengacuan komparatif yaitu pada satuan lingual kadidene „seperti‟, yang
95
mengibaratkan semangatnya Soepratman seperti air yang mendidih. Data (78)
dibagi atas unsur langsunngnya dengan teknik BUL sebagai berikut.
(78a) Yen kelingan pidatone Bung Karno sing kaya mangkono kuwi,
„Jika teringat pidatonya Bung Karno yang seperti itu,‟
(78b) semangate Soepratman njur kadidene umob, makantar-kantar.
„semangatnya Soepratman seperti mendidih, terbakar.‟
Selanjutnya data (78b) dianalisis dengan teknik lesap, hasilnya adalah
sebagai berikut.
(78c) semangate Soepratman njur Ø umob, makantar-kantar.
„semangatnya Soepratman Ø mendidih, terbakar.‟
Pronomina kadidene „seperti‟ pada data (78c) apabila dilesapkan maka
kalimatnya masih tetap berterima, namun akan lebih baik jika pronomina
tersebut dihadirkan. Setelah dianalisis dengan teknik lesap, kemudian data
(78b) diuji dengan teknik ganti menjadi sebagai berikut.
(78d) semangate Soepratman njur kadidene umob, makantar-kantar.
*kaya
„semangatnya Soepratman seperti mendidih, terbakar.‟
*seperti
Hasil analisis data (78d) di atas, ternyata penanda kohesi gramatikal
berupa pengacuan komparatif kadidene „seperti‟ tidak dapat diganti dengan
pronomina kaya „seperti‟ karena ragam yang digunakan berbeda.
Pengacuan komparatif yang berupa kata kadidene „seperti‟ juga tampak
pada data (79) berikut.
(79) Mbakyu sing wis dianggep kadidene gantine Ibune.
(PS/2/10/23/8/06/2013).
„Kakak yang telah dianggap seperti pengganti Ibunya.‟
96
Penanda kohesi gramatikal berupa pengacuan komparatif juga terdapat
pada data berikut.
(80) Nadyan ta isih durung maju temenan, ning saora-orane ing Surabaya,
gus Wage uripe beda karo dhek isih ana Randudongkol.
(PS/3/9/22/1/06/2013).
„Walaupun masih belum maju benar, tetapi setidaknya di Surabaya, gus
Wage hidupnya berbeda dengan ketika masih di Randudongkol.‟
Tampak pada data (80) terdapat pengacuan komparatif yaitu pada kata
beda karo „berbeda dengan‟, berfungsi membandingkan kehidupan yang
berbeda antara di Surabaya dan ketika masih di Randudongkol. Selanjutnya
data (80) diuji dengan teknik BUL, hasilnya adalah sebagai berikut.
(80a) Nadyan ta isih durung maju temenan,
„Walaupun masih belum maju benar,‟
(80b) ning saora-orane ing Surabaya, gus Wage uripe beda karo dhek isih
ana Randudongkol.
„tetapi setidaknya di Surabaya, gus Wage hidupnya berbeda dengan
ketika masih di Randudongkol.‟
Setelah diuji dengan teknik BUL, data (80b) dianalisis dengan teknik
lesap menjadi sebagai berikut.
(80c) ning saora-orane ing Surabaya, gus Wage uripe Ø dhek isih ana
Randudongkol.
„tetapi setidaknya di Surabaya, gus Wage hidupnya Ø ketika masih di
Randudongkol.‟
Hasil analisis dengan teknik lesap ternyata apabila pronomina beda karo
„berbeda dengan‟ dilesapkan maka wacana menjadi tidak gramatikal dan tidak
berterima. Oleh karena itu, pronomina tersebut wajib hadir agar informasi yang
disampaikan menjadi jelas dan lengkap. Kemudian data (80b) diuji dengan
teknik ganti sebagai berikut.
97
(80d) ning saora-orane ing Surabaya, gus Wage uripe beda karo
*benten kaliyan
dhek isih ana Randudongkol.
„tetapi setidaknya di Surabaya, gus Wage hidupnya berbeda dengan
*berbeda dengan
ketika masih di Randudongkol.‟
Pronomina benten kaliyan „berbeda dengan‟ tidak bisa menggantikan
posisi pronomina beda karo „berbeda dengan‟ karena berbeda tingkat tuturnya.
Satuan lingual beda karo „berbeda dengan‟ merupakan ragam ngoko sedangkan
benten kaliyan „berbeda dengan‟ termasuk ragam krama.
Selain data tersebut ditemukan pula pengacuan komparatif yang berupa
kata beda karo „berbeda dengan‟ tampak pada data (81) sampai dengan (83)
berikut.
(81) Lha mula saka kuwi, Soepratman kepengin nepungake lagu gubahane iki
marang para nom-noman, para mudha sing mesthine nduweni rasa
pirasa beda karo golongan tuwa. (PS/2/10/19/11/05/2013).
„Maka dari itu, Soepratman ingin memperkenalkan lagu karanganya ini
kepada para pemuda, pemuda yang pastinya memiliki rasa yang berbeda
dengan golongan tua.‟
(82) Ha hiya ing kono mau WR. Soepratman tampa wejangan saka Pak Tom.
Uga banjur ngerti, yen Parindra mono partai kang beda karo Partai
Nasional Indonesia pimpinane Bung Karno. (PS/1/9/22/1/06/2013).
„Ya di situ tadi WR. Soepratman menerima saran dari Pak Tom. Juga
kemudian mengerti, jika Parindra itu partai yang berbeda dengan Partai
Nasional Indonesia pimpinannya Bung Karno.‟
(83) Dadi wartawan mono, dhek jaman samana beda banget karo jurnalis
jaman saiki. (PS/3/10/17/27/04/2013).
„Jadi wartawan begitu, jaman dulu sangat berbeda sekali dengan jaman
sekarang.‟
Dari analisis pada data di atas dapat disimpulkan bahwa penanda kohesi
gramatikal pengacuan atau referensi yang ditemukan berupa pengacuan
98
pronomina persona (persona I tunggal maupun jamak, persona II tunggal
bentuk bebas maupun terikat, dan persona III tunggal bentuk bebas maupun
terikat), pengacuan pronomina demonstratif (demonstratif waktu: kini, lampau,
netral; demonstratif tempat: dekat dengan penutur, agak jauh dengan penutur,
jauh dengan penutur, menunjuk secara eksplisit), dan pengacuan komparatif.
Data mengenai pengacuan atau referensi tersebut dapat dilihat pada lampiran
nomor 1 sampai 83.
b. Penyulihan (Substitusi)
Penyulihan atau substitusi merupakan salah satu kohesi gramatikal yang
berupa penggantian satuan lingual yang mendahuluinya dengan satuan lingual
lain dalam wacana. Penyulihan atau substitusi terbagi menjadi empat yaitu:
substitusi nominal, substitusi verbal, substitusi frasal, dan substitusi klausal.
Data berupa penyulihan atau substitusi yang ditemukan dalam penelitian
wacana gempilan sejarah adalah sebagai berikut.
(84) Dicritakake, rikala ibune seda mau, ndilalah si den baguse lagi dolanan,
embuh neng ngendi ora ana sing ngerti lan weruh. Mulihe rikala wis
bengi, iya bareng Soepratman weruh ing omahe akeh uwong lan
diwartani bab sedane Ibune, Soepratman njerit. (PS/1/10/17/27/04/2013).
„Diceritakan, ketika ibunya meninggal, ketika itu si tampan baru main,
entah di mana tidak ada yang tahu dan melihat. Pulangnya ketika telah
malam, ya setelah Soepratman melihat di rumah banyak orang dan
dikabari tentang ibunya meninggal, Soepratman berteriak.
Wacana (84) di atas terdapat substitusi nominal terlihat pada frasa si den
baguse „si tampan‟ yang disubstitusi dengan kata Soepratman „Soepratman‟.
Selanjutnya data (84) dibagi unsur langsungnya sebagai berikut.
(84a) Dicritakake, rikala ibune seda mau, ndilalah si den baguse lagi
dolanan, embuh neng ngendi ora ana sing ngerti lan weruh.
99
„Diceritakan, ketika ibunya meninggal, ketika itu si tampan baru main,
entah di mana tidak ada yang tahu dan melihat.‟
(84b) Mulihe rikala wis bengi, iya bareng Soepratman weruh ing omahe akeh
uwong lan diwartani bab sedane Ibune, Soepratman njerit.
(PS/1/10/17/27/04/2013).
„Pulangnya ketika telah malam, ya setelah Soepratman melihat di
rumah banyak orang dan dikabari tentang ibunya meninggal,
Soepratman berteriak.
Kemudian data (84) dianalisis dengan teknik lesap, hasilnya adalah
sebagai berikut.
(84c) Dicritakake, rikala ibune seda mau, ndilalah Ø lagi dolanan, embuh
neng ngendi ora ana sing ngerti lan weruh. Mulihe rikala wis bengi, iya
bareng Ø weruh ing omahe akeh uwong lan diwartani bab sedane Ibune,
Soepratman njerit. (PS/1/10/17/27/04/2013).
„Diceritakan, ketika ibunya meninggal, ketika itu Ø baru main, entah di
mana tidak ada yang tahu dan melihat. Pulangnya ketika telah malam, ya
setelah Ø melihat di rumah banyak orang dan dikabari tentang ibunya
meninggal, Soepratman berteriak.
Setelah data (84c) dianalisis dengan teknik lesap, ternyata kalimatnya
menjadi tidak berterima dan tidak gramatikal. Jadi frasa si den baguse „si
tampan‟ dengan kata Soepratman „Soepratman‟ wajib hadir, agar informasi
yang tersampaikan jelas. Analisis dengan menggunakan teknik ganti tidak perlu
dilakukan karena frasa dengan kata di atas sudah saling menggantikan.
Selain data tersebut ditemukan pula substitusi nominal yang terdapat
pada data (85) sampai dengan (94) berikut.
(85) Lan para tokoh pergerakan mau iya ora aneh, yen ta banjur padha
tepung karo Wage Rudolf Soepratman sing ing ndalem kartu namane
nyebut dhirine kadidene “publicist Melayu”. (PS/1/10/18/4/05/2013).
„Dan para tokoh pergerakan tadi tidak aneh, jika kemudian mereka kenal
dengan Wage Rudolf Soepratman yang di dalam kartu namanya disebut
sebagai "wartawan Melayu".‟
100
(86) Salah sijine jurnalis senior dhek samana, Soeroen kelakon ngemudheni
sk. Keng Po, ketarik nyang Soepratman. (PS/2/10/18/4/05/2013).
„Salah satunya wartawan senior saat itu, Soeroen memimpin sk. Keng
Po, tertarik kepada Soepratman.‟
(87) Wondene, kenya cilik udakara isih umur 15 taun kuwi, putrane wadon
Kyai Haji Agus Salim, [...]. (PS/1/10/20/18/05/2013).
„Sementara itu, gadis kecil sekitar usia 15 tahun itu, anak perempuan
dari Kyai Haji Agus Salim, [...].‟
(88) Miturut ujaring kandha, kenya sing gawe kagiwanging pikiran sarta
atine Soepratman iki, mung trima kenya kampung bae. Jenenge:
Mujenah, kenya asli Betawi. (PS/1/9/21/25/05/2013).
„Menurut rumor mengatakan, gadis yang membuat pikiran dan hatinya
Soepratman resah, hanya seorang gadis desa saja. Bernama: Mujenah,
gadis asli Betawi.‟
(89) Krungu yen adhine nandhang lara, salah sijine mbakyune, Nyonya
Rukiyem Supratiyah merlokake ngendhangi. (PS/3/9/21/25/05/2013).
„Mendengar jika adiknya sakit, salah satu kakaknya, Nyonya Rukiyem
Supratiyah perlu menjenguknya.‟
(90) Pitakone gus Wage mau tertamtu gawe kagete dulure. Soepratman
dikandhani, yen hawa kutha Jakarta panas, seseg merga kakehan
tumpakan. (PS/1/10/21/25/05/2013).
„Pertanyaan gus Wage tadi tentu membuat kaget saudaranya.
Soepratman diberitahu, jika cuaca kota Jakarta panas, sesak karena
banyak kendaraan.‟
(91) Ha iya kuwi, Dr. Soetomo utawa sing luwih dikenal sarana sebutan
“Pak Tom”, [...]. (PS/1/9/22/1/06/2013).
„Ha ya itu, Dr. Soetomo atau yang lebih dikenal sebagai "Pak
Tom",[...].‟
(92) Krungu andharan mitrane mau katon praupane Soepratman dadi
sumringah, seger, bungah. Imam Soepardi dhewe babarpisan uga ora
ngira yen pertemuane kuwi mau mujudake pertemuan sing pungkasan
karo komponis agung kuwi. (PS/1/10/22/1/16/2013).
„Mendengar penjelasan sahabatnya tadi terlihat wajahnya Soepratman
menjadi bersemangat, segar, senang. Imam Soepardi sendiri sama sekali
juga tidak menyangka jika pertemuan tersebut merupakan mewujudkan
pertemuan yang terakhir dengan komponis besar itu.‟
101
(93) Nate diaturake ing kene, dheweke kencan karo sawijining kenya,
Mudjenah, sing kepeksa jugar ndalan. Polahe si kenya dipeksa omah-
omah karo priya liya, pilihane wong tuwane. (PS/2/10/23/8/06/2013).
„Pernah disampaikan di sini, dia berkencan dengan seorang gadis,
Mudjenah, yang terpaksa kandas di jalan. Selain gadis dipaksa untuk
menikah dengan pria lain, pilih orang tuanya.‟
(94) Salah sijine mitra darmane sing mula cedhak ing ati, Imam Soepardi
sing dhek samana wis dadi Pemimpin Redaksi Panjebar Semangat.
(PS/3/9/24/15/06/2013).
„Salah satu sahabat karipnya yang dekat di hati, Imam Soepardi yang
saat itu telah menjadi Pemimpin Redaksi Panjebar Semangat.‟
Berikut ini adalah contoh data penanda kohesi gramatikal berupa
substitusi frasal.
(95) Mula, katetepane atine sang komponis, kanthi ati sing ajur mumur,
dheweke kepeksa nuruti kekarepane si Mbakyu. Ninggal Salamah dina
iku uga, tanpa nyadhari manawa perpisahan kuwi mujudake perpisahan
kanggo selawase. Merga wiwit kuwi paraga loro mau babar pisan ora
nate ketemu maneh. (PS/3/10/23/8/06/2013).
„Maka, ketetapan hatinya sang komponis, dengan hati yang hancur
berantakan, dia terpaksa mematuhi kemauannya si kakak. Meninggalkan
Salamah hari itu juga, tanpa disadari apabila perpisahan itu wujud
perpisahan untuk selamanya. Karena sejak itu dua orang tadi sama sekali
tidak pernah bertemu lagi.‟
Pada tuturan (95) di atas terdapat subtitusi frasal yaitu pada frasa sang
komponis dan kata Salamah yang digantikan dengan frasa paraga loro „dua
orang‟. Substitusi tersebut berfungsi memunculkan variasi bentuk untuk
memperoleh unsur pembeda. Kemudian data (95) dibagi atas unsur
langsungnya dengan teknik BUL menjadi sebagai berikut.
(95a) Mula, katetepane atine sang komponis, kanthi ati sing ajur mumur,
dheweke kepeksa nuruti kekarepane si Mbakyu.
„Maka, ketetapan hatinya sang komponis, dengan hati yang hancur
berantakan, dia terpaksa mematuhi kemauannya si kakak.‟
(95b) Ninggal Salamah dina iku uga, tanpa nyadhari manawa perpisahan
kuwi mujudake perpisahan kanggo selawase.
102
„Meninggalkan Salamah hari itu juga, tanpa disadari apabila
perpisahan itu wujud perpisahan untuk selamanya.‟
(95c) Merga wiwit kuwi paraga loro mau babar pisan ora nate ketemu
maneh.
„Karena sejak itu dua orang tadi sama sekali tidak pernah bertemu
lagi.‟
Setelah dibagi atas unsur langsungnya data di atas dianalisis dengan
teknik lesap, hasilnya adalah sebagai berikut.
(95d) Mula, katetepane atine Ø, kanthi ati sing ajur mumur, dheweke kepeksa
nuruti kekarepane si Mbakyu. Ninggal Ø dina iku uga, tanpa nyadhari
manawa perpisahan kuwi mujudake perpisahan kanggo selawase.
Merga wiwit kuwi Ø mau babar pisan ora nate ketemu maneh.
(PS/3/10/23/8/06/2013).
„Maka, ketetapan hatinya Ø, dengan hati yang hancur berantakan, dia
terpaksa mematuhi kemauannya si kakak. Meninggalkan Ø hari itu juga,
tanpa disadari apabila perpisahan itu wujud perpisahan untuk
selamanya. Karena sejak itu Ø tadi sama sekali tidak pernah bertemu
lagi.‟
Hasil analisis data (95d) dengan menggunakan teknik lesap ternyata
wacana menjadi tidak gramatikal dan tidak berterima, maka kata sang
komponis, Salamah, dan frasa paraga loro „dua orang‟ wajib hadir, agar
informasi yang tersampaikan dengan jelas dan lengkap. Sedangkan analisis
dengan teknik ganti tidak perlu dilakukan karena kata sang komponis dan
Salamah dengan frasa paraga loro „dua orang‟ sudah saling menggantikan.
Selain data tersebut ditemukan pula substitusi frasal yang terdapat pada
data (96) sampai dengan (105) berikut.
(96) Wiwit kuwi wong loro uga katon rentang-renteng lan Salamah uga
kaget bareng nuju sawijine dina Gus Wage takon nyang dheweke [...].
(PS/3/9/23/8/06/2013).
„Sejak itu dua orang juga terlihat dan Salamah juga kaget setelah
menuju suatu hari Gus Wage bertanya pada dia [...].‟
103
(97) Soepratman embuh saka anglesing atine, sering meneng, ora akeh
omonge. Banjur rada diedohi kanca-kancane, iya merga ora akeh
gunem kuwi mau. (PS/3/9/24/15/06/2013).
„Soepratman entah dari herannya hatinya, sering diam, tidak banyak
bicara. Kemudian agak dijauhi teman-temannya, ya karena tidak
banyak bicara itu tadi.‟
(98) Uripe ora patia kajen; mangka urip ing negarane dhewe, ing bumi
papan kelairane dhewe. (PS/1/10/18/4/05/2013).
„Hidupnya tidak begitu dihormati; padahal hidup di negaranya sendiri,
di tanah airtempat kelahirannya sendiri.‟
(99) Arep dadi pembangkang, dadi pemberontak. Brontak nyang Landa.
(PS/3/10/18/4/05/2013).
„Akan jadi pembangkang, jadi pemberontak. Berontak pada Belanda.‟
(100) Krungu yen bukune ora kena diedharake, malahan kelakon dibeskup.
(PS/3/10/18/4/05/2013).
„Mendengar jika bukunya tidak bias diedarkan, bahkan dibeskup.‟
(101) Soepratman ngudarasa, mula ora bisa bebas merdika, dadi kawula
jajahan. Kabeh-kabeh ditemtokake dening si penjajah.
(PS/3/10/18/4/05/2013).
„Soepratman mengungkapkan, maka tidak akan pernah bebas
merdeka, jadi wilayah jajahan. Semuanya ditentukan oleh penjajah.‟
(102) Tekade gumolong, niate mantep, njur diwiwiti ngreka-reka, ngrumpaka
tembungan lan lelagon. (PS/1/10/19/11/05/2013).
„Tekadnya jadi satu, niatnya mantap, kemudian mulai merancang,
kata-kata dan lagu.‟
(103) Atine rempu, kudu ngendhem rasa katresnan sing wus suwe ndhekem
ing telenging ati, iya bener kancane nonik-nonik Indonesia sing ayu-
ayu,[...]. (PS/1/9/21/25/05/2013).
„Hatinya hancur, harus memendam rasa cintanya yang telah
bersembunyi di dalam hati yang paling dalam, memang benar temannya
nonik-nonik Indonesia yang cantik-cantik [...].‟
(104) Si Mujenahe dadakan ora nanggapi katresnane sang komponis. Ditolak
kanthi alus. (PS/2/9/21/25/05/2013).
„Mujenah tiba-tiba tidak menanggapi cinta sang komponis. Ditolak
dengan baik.‟
(105) Atine ajur, rikala nyumurupi papan dununge adhine lanang kuwi.
Omahe saka gedheg [...]. (PS/3/9/21/25/05/2013).
104
„Hatinya hancur, ketika mengetahui tempat tinggal adiknya laki-laki
itu. Rumahnya dari anyaman bambu [...].‟
Berdasarkan analisis penanda kohesi yang berupa penyulihan atau
substitusi di atas dapat disimpulkan bahwa, penanda substitusi yang ditemukan
meliputi: substitusi nominal dan substitusi frasal. Data mengenai substitusi
tersebut dapat dilihat pada lampiran nomor 84 sampai 105.
c. Pelesapan (Elipsis)
Pelesapan atau elipsis merupakan penghilangan satuan lingual (kata,
frasa, klausa, atau kalimat) yang telah disebut terdahulu, agar kalimatnya
menjadi efektif. Penanda kohesi yang berupa pelesapan terdapat pada data-data
berikut.
(106) Buku roman sing hebat, sing bisa gawe pemaose melu kontrang-
kantring, sing bisa gawe pemaose gregetan. (PS/2/10/18/4/05/2013).
„Buku roman yang besar, yang dapat membuat pembaca ikut kontrang-
kantring, yang bisa membuat pembaca gregetan.
Tampak pada data (106) di atas terdapat satuan lingual yang dilesapkan
berupa kata buku „buku‟ yang dilesapkan sebelum kalimat sing bisa gawe
pemaose melu kontrang-kantring „yang dapat membuat pembaca ikut
kontrang-kantring‟ dan sebelum kalimat sing bisa gawe pemaose gregetan
„yang bisa membuat pembaca gregetan‟. Pronomina buku „buku‟ dilesapkan
untuk efektivitas kalimat, namun apabila pronomina tersebut tidak dilesapkan
maka akan menghasilkan kalimat yang tidak efektif dan tidak padu. Data (106)
kemudian dibagi atas dua bentuk yaitu bentuk yang telah dilesapkan dan bentuk
utuhnya. Bentuk data tersebut adalah sebagai berikut.
105
(106a) Buku roman sing hebat, Ø sing bisa gawe pemaose melu kontrang-
kantring, Ø sing bisa gawe pemaose gregetan.
„Buku roman yang besar, Ø yang dapat membuat pembaca ikut
kontrang-kantring, Ø yang bisa membuat pembaca gregetan.‟
(106b) Buku roman sing hebat, buku sing bisa gawe pemaose melu kontrang-
kantring, buku sing bisa gawe pemaose gregetan.
„Buku roman yang besar, buku yang dapat membuat pembaca ikut
kontrang-kantring, buku yang bisa membuat pembaca gregetan.‟
Hasil analisis data di atas ternyata data (106a) apabila kata buku
dilesapkan wacana menjadi lebih efisien, praktis, padu, dan efektif. Pada
wacana (106b) dari segi komunikasi kurang efisien dan kurang praktis, namun
informasinya tersampaikan lebih jelas dan lengkap.
Selain data tersebut ditemukan pula pelesapan berupa kata yang tampak
dalam data (107) sampai dengan (111) berikut.
(107) Soepratman tembene iya kelakon tepung karo Parada iki, malah Ø
terus nduweni niyat arep nggamblok ing perusahaane Parada iki mau.
(PS/3/9/18/4/05/2013).
„Soepratman bertemu dengan Parada ini, bahkan Ø kemudian
mempunyai niat untuk bergabung di perusahaan Parada ini tadi.‟
(108) Tabrani-ne dhewe banjur nyang Jerman, sinau babagan jurnalistik. Ø
Bali nyang tanah Jawa, Ø kelakon dadi Pemred. Sk. Pemandangan
(Jakarta) salah sijine koran kasusra dhek jamane.
(PS/1/9/19/11/05/2013).
„Tabraninya sendiri kemudian ke Jerman, belajar tentang jurnalistik. Ø
Kembali ke tanah Jawa, Ø kebetulan menjadi kepala Sk. Pemandangan
(Jakarta), salah satunya surat kabar terkenal pada saat itu.‟
(109) Wanita kuwi jenenge Salamah, asal saka Jawa Tengah. Sisihane Ø dadi
Mantri Guru, ning wis kapundhut Gusti. (PS/3/9/23/8/06/2013).
„Wanita itu bernama Salamah, berasal dari Jawa Tengah. Suaminya Ø
menjadi Mantri Guru, tapi telah dipanggil Allah.‟
(110) Rikala kuwi Salamah wis katon tuwa, umure Ø udakara 60 taunan. Ø
Katon lugu, prasaja, klambi biru, slendhang kuning, nyangking tas
ireng. (PS/3/9/24/15/06/2013).
106
„Ketika itu Salamah sudah terlihat tua, Ø usianya sekitar 60 tahun. Ø
Terihat polos, sederhana, kemeja biru, selendang kuning, membawa tas
hitam.‟
(111) Soepratman atine wis marem, nyumurupi manawa bojone mula
sawijining wanita sing setiya, lugu ing samubarange. Iya Ø ing ndalem
tindak-tanduke iya Ø ing ndalem pemikirane. (PS/3/10/23/8/06/2013).
„Soepratman hatinya telah puas, mengetahui apabila istrinya salah satu
wanita yang setia, polos dalam semua hal. Ya Ø di dalam tingkah-
lakunya ya Ø di dalam pemikirannya.‟
Data lain yang menunjukkan adanya pelesapan atau elipsis adalah
sebagai berikut.
(112) Buku “Prawan Desa” dibeskup, dibeslah, merga dianggep nganggu
ketentreman umum, sarta dianggep ngandhut unsur-unsur sing bisa
nuwuhake rasa benci, rasa gething marang salah sijine golongan
masyarakat. (PS/3/10/18/4/05/2013).
„Buku "Prawan Desa" dibeskup, disita, karena dianggap menggangu
kedamaian masyarakat, dan dianggap mengandung unsur-unsur yang
dapat menyebabkan kebencian, rasa kebencian terhadap satu kelompok
masyarakat.‟
Pada data (112) di atas terdapat satuan lingual yang dilesapkan yaitu
frasa Buku “Prawan Desa” yang dilesapkan sebelum kalimat dianggep
nganggu ketentreman umum „dianggap menggangu kedamaian masyarakat‟
dan sebelum kalimat dianggep ngandhut unsur-unsur sing bisa nuwuhake
rasa benci„ dianggap mengandung unsur-unsur yang dapat menyebabkan
kebencian‟. Pelesapan Buku “Prawan Desa” untuk menghasilkan efektivitas
kalimat (112), namun apabila satuan lingual tersebut tidak dilesapkan
menjadikan kalimat tidak efektif. Kemudian data (112) dibagi menjadi dua
bentuk yaitu bentuk setelah dilesapkan dan bentuk utuhnya sebagai berikut.
(112a) Buku “Prawan Desa” dibeskup, dibeslah, merga Ø dianggep nganggu
ketentreman umum, sarta Ø dianggep ngandhut unsur-unsur sing bisa
107
nuwuhake rasa benci, rasa gething marang salah sijine golongan
masyarakat.
„Buku "Prawan Desa" dibeskup, disita, karena Ø dianggap
menggangu kedamaian masyarakat, dan Ø dianggap mengandung
unsur-unsur yang dapat menyebabkan kebencian, rasa kebencian
terhadap satu kelompok masyarakat.‟
(112b) Buku “Prawan Desa” dibeskup, dibeslah, merga Buku “Prawan
Desa”dianggep nganggu ketentreman umum, sarta Buku “Prawan
Desa” dianggep ngandhut unsur-unsur sing bisa nuwuhake rasa
benci, rasa gething marang salah sijine golongan masyarakat.
„Buku "Prawan Desa" dibeskup, disita, karena buku “Prawan
Desa”dianggap menggangu kedamaian masyarakat, dan buku
“Prawan Desa”dianggap mengandung unsur-unsur yang dapat
menyebabkan kebencian, rasa kebencian terhadap satu kelompok
masyarakat.‟
Analisis data (112a) di atas terjadi pelesapan pada satuan lingual Buku
"Prawan Desa" maka wacana lebih efektif dan lebih padu (kohesif), sedangkan
data (112b) dari segi komunikasi lebih jelas dan lengkap namun kalimatnya
kurang efektif.
Selain data tersebut ditemukan pula pelesapan berupa frasa yang tampak
dalam data (113) sampai dengan (124) berikut.
(113) Jepang teka, sakehing koran Tionghoa-Melayu dipateni, Ø ora kena
metu. (PS/1/10/18/4/05/2013).
„Jepang datang, semua surat kabar Tionghoa-Melayu dimatikan, Ø
tidak dapat keluar.‟
(114) Sing disebut koran Tionghoa-Melayu kuwi, anane dhek jaman
penjajahan Landa mbiyen; Ø migunakake basa Melayu pasaran, dudu
basa Indonesia. (PS/3/9/18/4/05/2013).
„Yang disebut koran Tionghoa-Melayu itu, adanya waktu zaman
penjajahan Belanda dulu, Ø menggunakan bahasa Melayu pasaran,
bukan bahasa Indonesia.‟
(115) Kongres Pemuda I mau dianggep kurang wigati, mula Ø banjur arang
kocap ing ndalem sejarah. (PS/1/9/19/11/05/2013).
„Kongres Pemuda I tadi dianggap kurang penting, maka Ø kemudian
jarang terucap di dalam sejarah.‟
108
(116) Rikala ngandhut tuwa, Siti Senen bali nyang desane, lan Ø kelakon
babaran ing kono. (PS/3/9/17/27/04/2013).
„Ketika hamil tua, Siti Senen kembali ke desanya, dan Ø persalinan
terjadi di sana.‟
(117) Kelakon Soepratman dadi pembantu sk. Kaum Muda sing diembani
Abdul Muis, Ø sawenehing tokoh Sarekat Islam, ning Ø uga sawijining
pengarang sing cukup kaloka dhek samana. Salah siji buku karangane
Ø, sesirah “Salah Asuhan”, babaran Balai Pustaka.
(PS/1/9/18/4/05/2013).
„Soepratman jadi pembantu sk. Kaum Muda yang dipimpin Abdul
Muis, Ø seorang tokoh Sarekat Islam, tapi Ø juga salah satu penulis
yang cukup terkenal pada saat itu. Salah satu buku karangannya Ø, yang
berjudul “Salah Asuhan”, yang diterbitan oleh Balai Pustaka.‟
(118) Bung Karno, pemimpin nasional sing manjila dhewe dhek jaman
samana, Ø uga ditangkep. Ø Diajokake ing Pengadilan kanthi dakwaan,
Ø ngojok-ojoki rakyat supaya brontak nyang Pemerintah.
(PS/3/10/20/18/05/2013).
„Bung Karno, pemimpin nasional yang terbaik pada saat, Ø juga
ditangkap. Ø Diajukan di pengadilan dengan dakwaan, Ø menghasut
rakyat agar memberontak pada pemerintah.‟
(119) Bung Karno taun 1926 dadi Ketua PNI, Ø dikunjara ing Sukamiskin,
Bandung. Dikendhangake. Ø Metu sedhela, Ø ditangkep maneh, Ø njur
dikendhangake neng Ende (Flores). Ø Banjur dipindhah neng Bengkulu.
(PS/2/10/22/1/06/2013).
„Bung Karno tahun 1926 sebagai Ketua PNI, Ø dipenjara di
Sukamiskin, Bandung. Dibuang. Ø Keluar sebentar, Ø ditangkap lagi, Ø
kemudian dibuang di Ende (Flores). Ø Kemudian dipindah ke Bengkulu.
(120) Bung Karno dadi Presiden Republik Indonesia, Ø sering nganakake
turne Ø tindak pepara nyang dhaerah-dhaerah. Ø Uga nganti nglanjak
tekan Jawa Wetan. Ø Neng ngendi-endi rawuhe Ø tansah sinubya-subya
dening kawula cilik kabeh bae. (PS/2/10/22/1/06/2013).
„Bung Karno menjadi Presiden Republik Indonesia, Ø sering
melakukan peninjauan Ø ke daerah-daerah. Ø Juga hingga batas Jawa
Timur. Ø Di mana-mana kedatangannya Ø selalu di puja-puja oleh
semua orang.‟
Dari analisis pada data di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa, penanda
pelesapan atau elipsis yang ditemukan dalam penelitian terhadap wacana
Gempilan Sejarah: Sang Komponis sing Ora Kapatedhan ing Katresnan karya
109
Soebagijo I. N. dalam majalah Panjebar Semangat yaitu elipsis kata dan elipsis
frasa. Data mengenai penanda kohesi yang berupa pelesapan atau elipsis
tersebut dapat dilihat pada lampiran nomor 106 sampai dengan 120.
d. Perangkaian (Konjungsi)
Konjungsi merupakan jenis kohesi gramatikal yang berwujud kata
perangkai yang menghubungkan satuan lingual satu dengan satuan lingual
lainnya. Konjungsi yang ditemukan dalam penelitian ini sebanyak dua belas
jenis yaitu konjungsi sebab-akibat, pertentangan, kelebihan, perkecualian,
konsesif, tujuan, penambahan, pilihan, urutan, waktu, syarat, dan cara. Penanda
kohesi gramatikal berupa konjungsi yang terdapat dalam wacana gempilan
sejarah dapat dilihat dalam wacana-wacana berikut.
1) Konjungsi sebab-akibat (kausalitas)
Konjungsi sebab-akibat merupakan konjungsi yang menyatakan
hubungan sebab-akibat. Konjungsi ini ditandai dengan kata sebab „sebab‟, awit
„karena‟, jalaran „dikarenakan‟, amarga „karena‟, karana „karena‟, mula
„maka‟, mulane „makanya‟, seperti tampak pada data berikut ini.
(121) Rehning ora gampang bocah Jawa (inlander) sekolah Landa, mula njur
dening tuan Eldick, ditambahi nggo jeneng “Rudolf” kuwi mau.
(PS/1/10/17/27/04/2013).
„Masalahnya tidak mudah anak Jawa sekolah Belanda, maka kemudian
oleh tuan Eldick, manambahkan nama “Rudolf” itu tadi.‟
Wacana (121) di atas menunjukkan adanya konjungsi sebab-akibat atau
kausalitas yaitu padakata mula „maka‟. Konjungsi tersebut berfungsi
menghubungkan antara klausa Rehning ora gampang bocah Jawa (inlander)
sekolah Landa sebagai sebab, dengan klausa njur dening tuan Eldick,
110
ditambahi nggo jeneng “Rudolf” kuwi mau sebagai akibat. Kemudian data
(121) diuji dengan teknik BUL, hasilnya adalah sebagai berikut.
(121a) Rehning ora gampang bocah Jawa (inlander) sekolah Landa,
„Masalahnya tidak mudah anak Jawa sekolah Belanda,‟
(121b) mula njur dening tuan Eldick, ditambahi nggo jeneng “Rudolf” kuwi
mau.
„maka kemudian oleh tuan Eldick, manambahkan nama “Rudolf” itu
tadi.‟
Setelah diuji dengan teknik BUL, kemudian data (121b) dianalisis
dengan teknik lesap sebagai berikut.
(121c) Ø njur dening tuan Eldick, ditambahi nggo jeneng “Rudolf” kuwi mau.
„Ø kemudian oleh tuan Eldick, manambahkan nama “Rudolf” itu tadi.‟
Hasil analisis dengan teknik lesap pada data (121b) di atas ternyata
konjungsi sebab-akibat mula „maka‟ wajib hadir, agar informasi tersampaikan
dengan jelas dan lengkap. Konjungsi mula „maka‟ apabila dilesapkan maka
kalimat menjadi tidak gramatikal atau tidak berterima. Selanjutnya data (121b)
diuji dengan teknik ganti menjadi sebagai berikut.
(121d) mula njur dening tuan Eldick, ditambahi nggo jeneng “Rudolf”
*mila
kuwi mau.
„maka kemudian oleh tuan Eldick, manambahkan nama “Rudolf”
*maka
itu tadi.‟
Konjungsi mila „maka‟ pada data (121d) di atas tidak dapat
menggantikan posisi konjungsi mula „maka‟ karena berbeda tingkat tutur yang
digunakan. Konjungsi mila „maka‟ termasuk ragam krama sedangkan mula
„maka‟ termasuk ragam ngoko.
111
Selain data tersebut ditemukan pula konjungsi sebab-akibat yang berupa
kata mula „maka‟ terdapat dalam data (122) sampai dengan (124) berikut.
(122) Ing ndalem perkembangane, Soepratman rumangsa nduweni simpati
nyang Parindra, mula rikala ana sawatara pemimpin Parindra ngajak
dheweke supaya mlebu dadi anggota (saiki istilahe: kader) parindra,
Wage Rudolf Soepratman ora bisa nulak. (PS/3/10/21/25/05/2013).
„Di dalam perkembangannya, Soepratman merasa simpati kepada
Parindra, maka ketika ada seorang pemimpin Parindra mengajak dia
agar masuk menjadi anggota (istilah sekarang: kader) parindra, Wage
Rudolf Soepratman tidak bisa menolak.‟
(123) [...] Mula iya banjur disebutake tanggal sa-elinge bae. Lair tanggal 9
Maret. (PS/3/9/17/27/04/2013).
„[...] Maka ya kemudian disebutkan tanggal seingatnya saja. Lahir pada
tanggal 9 Maret.‟
(124) [...] Mula dijenengake: Yatimah, Eee, dadak rikala mlebu sekolah,
dadak pawongan sing ditugasi ndhaftar ha teka iya lali sapa yektine
jenenge si bocah; njur nyebut apa bae. (PS/3/9/17/27/04/2013).
„[...] Maka dinamakan: Yatimah, Eee, tiba-tiba ketika masuk sekolah,
tiba-tiba orang yang ditugaskan mendaftarkan ha sampai ya lupa siapa
sebenarnya nama anak itu; kemudian menyebut apa saja.‟
Data lain yang berupa konjungsi sebab-akibat juga terdapat pada data
berikut.
(125) Kepeksa pisah merga saka ana pihak sing ora nyarujuki anane
pernikahan kuwi mau. (PS/3/9/24/15/06/2013).
„Terpaksa pisah karena ada pihak yang tidak menyetujui adanya
pernikahan itu tadi.‟
Konjungsi merga „karena‟ pada tuturan (125) berfungsi untuk
menyatakan hubungan kausalitas atau hubungan sebab-akibat antara klausa
saka ana pihak sing ora nyarujuki anane pernikahan kuwi mau „ada pihak yang
tidak menyetujui adanya pernikahan itu tadi‟ sebagai sebab, dengan klausa
kapeksa pisah „terpaksa pisah‟ sebagai akibat. Data kemudian dibagi atas unsur
langsungnya menggunakan teknik BUL.
112
(125a) Kepeksa pisah
„Terpaksa pisah‟
(125b) merga saka ana pihak sing ora nyarujuki anane pernikahan kuwi mau.
„ada pihak yang tidak menyetujui adanya pernikahan itu tadi.‟
Data (125b) selanjutnya diuji dengan teknik lesap adalah sebagai
berikut.
(125c) Ø saka ana pihak sing ora nyarujuki anane pernikahan kuwi mau.
„Ø ada pihak yang tidak menyetujui adanya pernikahan itu tadi.‟
Setelah konjungsi merga „karena‟ dilesapkan data di atas menjadi tidak
gramatikal. Hal tersebut berakibat pesan yang ingin disampaikan kepada
pembaca menjadi tidak jelas. Oleh karena itu satuan lingual merga „karena‟
wajib hadir. Selanjutnya data dianalisis dengan teknik ganti.
„(125d) merga saka ana pihak sing ora nyarujuki anane pernikahan
amarga
*amargi
kuwi mau.
„karena ada pihak yang tidak menyetujui adanya pernikahan itu
karena
karena
tadi.‟
Hasil analisis menunjukkan bahwa konjungsi merga „karena‟ dapat
diganti dengan satuan lingual amarga „karena‟ sebab keduanya berada dalam
satu ragam yaitu ragam ngoko. Namun merga „karena‟ tidak dapat diganti
dengan kata amargi „karena‟ sebab amargi „karena‟ merupakan dalam ragam
krama.
Jenis penanda konjungsi sebab-akibat yang berupa kata merga „karena‟
juga terdapat dalam data (126) sampai dengan (130) berikut.
113
(126) Soepratman dhewe sajake wis ora bisa aweh wangsulan. Embuh saka
bingunging ati, embuh mula merga wis ora nduweni daya kekuwatan.
(PS/3/9/21/25/05/2013).
„Soepratman sendiri tampaknya sudah tidak mampu memberikan
jawaban. Entah dari bingung hatinya, entah karena sudah tidak
mempunyai daya kekuatan.‟
(127) Dijenengake Wage, laras karo adat Jawa (dhek samana), merga laire
pas pasaran Wage. (PS/1/10/17/27/04/2013).
„Dinamakan Wage, serasi dengan adat Jawa (zaman dulu), karena
lahirnya bertepatan dengan pasaran Wage.‟
(128) Mripate kadhang-kadhang mung mandeng cahyane lampu teplok
minyak tanah sing tansah mobat-mabit, merga kena tiyuping sang bayu,
sing nyelinep sela-selaning gedheg papan padunungane.
(PS/1/10/19/11/05/2013).
„Matanya kadang-kadang hanya melihat cahaya lampu minyak tanah
yang selalu mobat-mabit, karena mendapat tiyupan angin, yang
menyelinap di sela-sel papan rumahnya.‟
(129) Lha Kongres Pemuda II iki, pungkasane Oktober 1928 dipimpin
Sugondo Djojopuspito, luwih dikenal dening bebrayan, merga kajaba
mula iya sering disebut-sebut, Kongres Pemuda II iki gawe
kerampungan (basa Indonesia, ejaan anyar). (PS/1/9/20/18/05/2013).
„Nah Kongres Pemuda II ini, akhir Oktober 1928 dipimpin Sugondo
Djojopuspito, lebih dikenal oleh masyarakat, karena kecuali sering
disebut-sebut, Kongres Pemuda II ini membuat pernyelesaian (bahasa
Indonesia, ejaan baru).‟
(130) Saya jembar tebane lagu “Indonesia Raya”, bareng dipacak ing sk. Sin
Po, papane Soepratman nyambut gawe, golek pangupa jiwa. Ha iya
merga dipacak neng surat kabar mau, tebane saya anjrah tekan ngendi-
ngendi. (PS/1/10/20/18/05/2013).
„Semakin luas menyebarnya lagu "Indonesia Raya", setelah dimuat di
dalam sk. Sin Po, tempat Soepratman bekerja, mencari nafkah. Ya
karena dimuat di surat kabar tadi, maka semakin menyebar sampai di
mana-mana.‟
Penanda kohesi yang berupa konjungsi sebab-akibat juga dapat dilihat
pada data berikut.
(131) Prastawa iki diwerden-i, manawa lagu “Indonesia Raya” dening para
rawuh mula dianggep lagu kebangsaan. Sebab, ana aturan sing ora
114
tinulis, nerangake yen para hadirin kudu ngadeg saka lungguhane, yen
ta ana lagu kebangsaan dikumandhangake. (PS/1/10/20/18/05/2013).
„Peristiwa ini dimaknai, apabila lagu “Indonesia Raya” oleh para hadirin
dianggap sebagai lagu kebangsaan. Sebab, tidak ada aturan tertulis,
menjelaskan jika para hadirin harus berdiri dari duduknya, jika ada lagu
kebangsaan dinyanyikan.‟
Kata sebab „sebab‟ pada data (131) di atas merupakan penanda kohesi
gramatikal berupa konjungsi sebab-akibat. Satuan lingual tersebut berfungsi
menghubungkan kalimat Prastawa iki diwerden-i, manawa lagu “Indonesia
Raya” dening para rawuh mula dianggep lagu kebangsaan sebagai akibat
dengan kalimat ana aturan sing ora tinulis, nerangake yen para hadirin kudu
ngadeg saka lungguhane, yen ta ana lagu kebangsaan dikumandhangake
sebagai sebab. Kemudian data (131) di atas dibagi atas unsur langsungnya
sebagai berikut.
(131a) Prastawa iki diwerden-i, manawa lagu “Indonesia Raya” dening para
rawuh mula dianggep lagu kebangsaan.
„Peristiwa ini dimaknai, apabila lagu “Indonesia Raya” oleh para
hadirin dianggap sebagai lagu kebangsaan.‟
(131b) Sebab, ana aturan sing ora tinulis, nerangake yen para hadirin kudu
ngadeg saka lungguhane, yen ta ana lagu kebangsaan
dikumandhangake.
„Sebab, tidak ada aturan tertulis, menjelaskan jika para hadirin harus
berdiri dari duduknya, jika ada lagu kebangsaan dinyanyikan.‟
Setelah dibagi atas unsur langsungnya, data (131b) diuji dengan teknik
lesap menjadi sebagai berikut.
(131c) Ø, ana aturan sing ora tinulis, nerangake yen para hadirin kudu
ngadeg saka lungguhane, yen ta ana lagu kebangsaan
dikumandhangake.
„Ø, tidak ada aturan tertulis, menjelaskan jika para hadirin harus
berdiri dari duduknya, jika ada lagu kebangsaan dinyanyikan.‟
115
Penanda konjungsi sebab-akibat sebab „sebab‟ pada data di atas wajib
hadir agar kalimatnya jelas dan lengkap, apabila konjungsi tersebut dilesapkan
maka kalimat menjadi tidak gramatikal atau tidak berterima. Selanjutnya data
(131b) dianalisis dengan teknik ganti sebagai berikut.
(131d) Sebab, ana aturan sing ora tinulis, nerangake yen para hadirin
Amarga
Jalaran
kudu ngadeg saka lungguhane, yen ta ana lagu kebangsaan
dikumandhangake.
„Sebab, tidak ada aturan tertulis, menjelaskan jika para hadirin
Karena
Karena
harus berdiri dari duduknya, jika ada lagu kebangsaan dinyanyikan.‟
Konjungsi kausalitas sebab „sebab‟ ternyata dapat diganti dengan
konjungsi amarga „karena‟ dan konjungsi jalaran „karena‟ karena konjungsi
tersebut mempunyai ragam yang sama yaitu ragam ngoko.
2) Konjungsi Pertentangan
Konjungsi pertentangan merupakan konjungsi yang menyatakan makna
pertentangan. Konjungsi pertentangan ditandai dengan satuan lingual nanging
„tetapi‟, ning „tetapi‟, dene „sedangkan‟, mung „hanya‟. Berikut ini data yang
menggunakan penanda konjungsi pertentangan.
(132) PNI nindakake politik non, ora nyambut gawe bebarengan karo pihak
penjajah, dene Parindra nindakake politik co-operatif karo panguwasa.
(PS/1/9/22/1/06/2013).
„PNI melakukan politik non, tidak bekerja bersama dengan pihak
penjajah, sedangkan Parindra melakukan politik co-operatif dengan
penguasa.‟
Pada wacana (132) di atas tampak adanya penanda kohesi gramatikal
berupa konjungsi pertentangan yaitu kata dene „sedangkan‟. Konjungsi
116
pertentangan dene „sedangkan‟ berfungsi menghubungkan kalimat PNI
nindakake politik non, ora nyambut gawe bebarengan karo pihak penjajah
dengan kalimat yang mengandung kata dene „sedangkan‟ itu sendiri, yaitu dene
Parindra nindakake politik co-operatif karo panguwasa. Wacana (132) dibagi
atas unsur langsungnya menjadi sebagai berikut.
(132a) PNI nindakake politik non, ora nyambut gawe bebarengan karo pihak
penjajah,
„PNI melakukan politik non, tidak bekerja bersama dengan pihak
penjajah,‟
(132b) dene Parindra nindakake politik co-operatif karo panguwasa.
„sedangkan Parindra melakukan politik co-operatif dengan penguasa.‟
Kemudian data (132b) dianalisis dengan teknik lesap sebagai berikut.
(132c) Ø Parindra nindakake politik co-operatif karo panguwasa.
„Ø Parindra melakukan politik co-operatif dengan penguasa.‟
Konjungsi pertentangan dene „sedangkan‟ di atas tidak wajib hadir.
Konjungsi tersebut jika dilesapkan maka kalimat (132b) masih tetap gramatikal
atau berterima serta informasi yang diterima pembaca tetap jelas, namun akan
lebih jelas dan lengkap jika konjungsi tersebut tetap dihadirkan. Kemudian data
(132b) diuji dengan teknik ganti, hasilnya menjadi sebagai berikut.
(132d) dene Parindra nindakake politik co-operatif karo
*wondene
penguwasa.
„sedangkan Parindra melakukan politik co-operatif dengan
*sedangkan
penguasa.‟
Analisis data (132d) di atas menyatakan bahwa satuan lingual wondene
„sedangkan‟ tidak dapat menggantikan posisi kata dene „sedangkan‟ karena
117
ragam yang digunakan berbeda. Di bawah ini contoh data lain yang
menggunakan penanda konjungsi pertentangan.
(133) Awake katon lemes, capek, lesu. Ning atine katon seneng; marem, lega.
(PS/2/10/19/11/05/2013).
„Badannya terlihat lemas, capek, lesu. Tetapi hatinya terlihat senang;
puas, lega.‟
Data (133) di atas ditemukan penanda konjungsi pertentangan berupa
satuan lingual ning „tetapi‟. Satuan lingual tersebut berfungsi sebagai
penghubung antara klausa Awake katon lemes, capek, lesu „Badannya terlihat
lemas, capek, lesu‟ dengan klausa atine katon seneng; marem, lega „hatinya
terlihat senang; puas, lega‟. Kemudian data (133) dibagi atas unsur langsungnya
sebagai berikut.
(133a) Awake katon lemes, capek, lesu.
„Badannya terlihat lemas, capek, lesu.‟
(133b) Ning atine katon seneng; marem, lega.
„Tetapi hatinya terlihat senang; puas, lega.‟
Selanjutnya data (133b) di atas diuji dengan teknik lesap, hasilnya
sebagai berikut.
(133c) Ø atine katon seneng; marem, lega.
„Øhatinya terlihat senang; puas, lega.‟
Satuan lingual ning „tetapi‟ pada wacana di atas apabila dilesapkan
maka kalimat (133b) masih tetap gramatikal atau berterima. Konjungsi tersebut
jika dilesapkan informasi yang diterima pembaca tetap jelas, jadi konjungsi
ning „tetapi‟ tidak wajib hadir. Tetapi akan lebih jelas dan lengkap jika
konjungsi tersebut tetap dihadirkan. Setelah diuji dengan teknik lesap, data
(133b) kemudian dianalisis dengan teknik ganti sebagai berikut.
118
(133d) Ning atine katon seneng; marem, lega.
Nanging
*Ewasemana
„Tetapi hatinya terlihat senang; puas, lega.‟
Tetapi
*Meskipun demikian
Hasil analisis pada data (133d) di atas adalah bahwa kata ning „tetapi‟
dapat diganti dengan kata nanging „tetapi‟ karena dalam tingkat tutur yang
sama yaitu ragam ngoko serta secara makna juga sama dan berterima. Namun
ning „tetapi‟ tidak dapat diganti dengan kata ewasemana „meskipun demikian‟
karena secara makna berbeda.
Selain data tersebut ditemukan pula penanda konjungsi pertentangan
yang berupa kata ning „tetapi‟ terdapat dalam data (134) sampai dengan (140)
berikut.
(134) Soeroen dhewe bareng maca buku mau, ing batin rada kuwatir, aja-aja
Pemerintah mengko bakal nganakake tindakan. Embuh apa lan kepiye,
ning sing cetha bae tertemtu ora bakal ora nguntungake penulise.
(PS/2/10/18/4/05/2013).
„Soeroen sendiri setelah membaca buku tadi, batin agak khawatir,
jangan-jangan pemerintah akan melakukan tindakan. Entah apa dan
bagaimana, tetapi yang jelas tentu tidak akan menguntungkan penulis.‟
(135) Ora ana keistimewaane apa-apa. Ning, ha ya gek kepiye maneh.
Jenenge bae: katresnan, asmara. (PS/1/9/21/25/05/2013).
„Tidak ada keistimewaannya apa-apa. Tetapi, ya bagaimana lagi.
Namanya saja: cinta, asmara.‟
(136) Ning, saora-orane sacara tatalahire, atine Soepratman bisa luwih
tenang, luwih tentrem. Ning, ana sawenehing pepalang sing ngrusuhi
anggone omah-omah karo Salamah. (PS/3/9/21/25/05/2013).
„Tapi, setidaknya secara tatalahirnya, hati Soepratman bisa lebih tenang,
lebih damai. Tetapi, ada beberapa masalah yang menggangu
pernikahannya dengan Salamah.‟
119
(137) Kabeh-kabeh padha nedya nggayuh Indonesia merdeka ning dalan
dalah carane bae sing beda. (PS/2/9/22/1/06/2013).
„Semuanya berniat mengejar kemerdekaan Indonesia tetapi jalan dan
caranya saja yang berbeda.‟
(138) Para pelayat umume padha jubel riyel nganti tekan GNI, ning gus
Wage sing awake mula ringkih, rumangsa ora keconggah nguntabake
nganti tekan tujuwan. (PS/3/9/22/1/06/2013).
„Para pelayat umumnya berdesak-desakan sampai GNI, tetapi gus Wage
yang badannya lemah, merasa tidak sanggup mengantar sampai tujuan.‟
(139) Soepratman ngawikani, manawa sisihane mula kurang pendhidhikan,
ning atine teguh, setiya sarta sabar ndhampingi awake.
(PS/1/10/23/8/06/2013).
„Soepratman mengetahui, apabila istrinya kurang berpendidikan, tetapi
hatinya teguh, setia, dan sabar mendampingi dirinya.‟
(140) Iya karo Salamah iki sang komponis urip bebarengan ing ndalem
kahanan sing sarwa ora kecukupan, ning sumendhe ing pepesthene.
(PS/3/9/24/15/06/2013).
„Ya dengan Salamah ini sang komponis hidup bersama di dalam situasi
yang serba tidak kecukupan, tetapi pasrah pada takdir.‟
3) Konjungsi Kelebihan (eksesif)
Konjungsi kelebihan ditandai dengan kata: malah dan malahan
„bahkan‟. Konjungsi kelebihan yang terdapat dalam wacana gempilan sejarah
adalah sebagai berikut.
(141) Soepratman, jejer dadi wartawan tertemtu bae tepung karo Panitia
Kongres II iki, sing dipinituwani dening Soegondo Djojopoespito.
Malah hubungane cukup rapet. (PS/3/9/19/11/05/2013).
„Soepratman, menjadi wartawan tentu saja kenal dengan Panitia
Kongres II ini, yang diketuai oleh Soegondo Djojopoespito. Bahkan
hubungannya cukup erat.‟
Tampak adanya konjungsi kelebihan yang ditunjukkan oleh kata malah
„bahkan‟. Konjungsi malah „bahkan‟ yang menghubungkan klausa [...]Kongres
II iki, sing dipinituwani dening Soegondo Djojopoespito „[...]Kongres II ini,
yang diketuai oleh Soegondo Djojopoespito‟ dengan klausa yang mengandung
120
kata malah itu sendiri, yaitu Malah hubungane cukup rapet „Bahkan
hubungannya cukup erat‟. Setelah itu, data (141) dibagi atas unsur langsungnya
dengan teknik BUL.
(141a) Soepratman, jejer dadi wartawan tertemtu bae tepung karo Panitia
Kongres II iki, sing dipinituwani dening Soegondo Djojopoespito.
„Soepratman, menjadi wartawan tentu saja kenal dengan Panitia
Kongres II ini, yang diketuai oleh Soegondo Djojopoespito.‟
(141b) Malah hubungane cukup rapet.
„Bahkan hubungannya cukup erat.‟
Kemudian data (141b) dianalisis dengan teknik lesap menjadi sebagai
berikut.
(141c) Ø hubungane cukup rapet.
„Ø hubungannya cukup erat.‟
Hasil analisis di atas menyatakan bahwa apabila konjungsi malah
„bahkan‟ dilesapkan maka kalimatnya masih tetap gramatikal atau berterima,
tetapi akan lebih jelas dan lengkap jika konjungsi kelebihan tersebut tetap
dihadirkan.
Penanda konjungsi kelebihan yang berupa kata malah „bahkan‟ juga
tampak pada data (142) sampai dengan (145) berikut.
(142) [...] Malah miturut sk. Keng Po 9 April 1925 kahanane Kantor Berita
PAIT mula pait tenanan. Kalut, kasut, semrawut. Wage Soepratman
rong sasi ora dibayar. (PS/1/9/18/4/05/2013).
„[...] Bahkan, menurut sk. Keng Po 9 April 1925 situasi Kantor Berita
PAIT memang benar-benar pahit. Panik, kasut, kacau. Wage
Soepratman dua bulan tidak dibayar.‟
(143) [...] Parada Harahap, sawenehing jurnalis sing miwiti saka ngisor
nganti satemah kelakon nduweni jeneng ing kalangane kaum wartawan
Indonesia dhek samana. Malah rikala kelakon ngetokake koran dhewe,
“Bintang Timore” jenenge kondhang kaonang-onang ing kalangane
media-massa. (PS/3/9/18/4/05/2013).
121
„[...] Parada Harahap, seorang jurnalis yang memulai dari bawah hingga
memiliki nama di antara wartawan Indonesia saat itu. Bahkan ketika
mengeluarkan koran sendiri, "Bintang Timor" namanya terkenal di
kalangan media massa.‟
(144) [...] Malah sang komponis banjur ngarang lagu kanggo Parindra lan
uga kanggo Surya Wirawan, gerakan kaum mudha ing Parindra kono.
(PS/3/10/21/25/05/2013).
„[...] Bahkan sang komponis kemudian mengarang lagu untuk Parindra
dan juga untuk Surya Wirawan, gerakan kaum pemuda di Parindra
sana.‟
(145) Sauntara kuwi pamarentah Kabupaten Purworejo dikabarake, arep
mindhah pasareyane sang komponis saka Surabaya nyang Purworejo.
Malah kanggo kaperluan kuwi wis didhapuk sawijining kumisi.
(PS/2/10/24/15/06/2013).
„Sementara itu pemerintah Kabupaten Purworejo dikabarkan, akan
memindahkan kuburan sang komponis dari Surabaya ke Purworejo.
Bahkan untuk tujuan tersebut telah terorganisir dan terencana dengan
komisi.‟
Data lain yang menunjukkan adanya penanda konjungsi kelebihan
adalah sebagai berikut.
(146) Dulur-dulure ora ana siji-sijia sing ngakoni absahe pernikahan
Soepratman karo Salamah, malahan ndhuweni tekad misahake
Soepratman karo Salamah. (PS/2/10/23/8/06/2013).
„Saudara-saudaranya tidak ada satupun yang mengakui sahnya
pernikahan Soepratman dengan Salamah, bahkan mempunyai tekad
memisahkan Soepratman dengan Salamah.‟
Konjungsi kelebihan malahan „bahkan‟ pada data (146) di atas
berfungsi untuk menghubungkan klausa Dulur-dulure ora ana siji-sijia sing
ngakoni absahe pernikahan Soepratman karo Salamah dengan klausa yang
mengandung konjungsi malahan „bahkan‟ itu sendiri, yaitu malahan ndhuweni
tekad misahake Soepratman karo Salamah. Kemudian data (146) dibagi atas
unsur langsungnya sebagai berikut.
122
(146a) Dulur-dulure ora ana siji-sijia sing ngakoni absahe pernikahan
Soepratman karo Salamah,
„Saudara-saudaranya tidak ada satupun yang mengakui sahnya
pernikahan Soepratman dengan Salamah,‟
(146b) malahan ndhuweni tekad misahake Soepratman karo Salamah.
„bahkan mempunyai tekad memisahkan Soepratman dengan
Salamah.‟
Setelah dibagi atas unsur langsungnya, data (146b) diuji dengan teknik
lesap menjadi sebagai berikut.
(146b) Ø ndhuweni tekad misahake Soepratman karo Salamah.
„Ø mempunyai tekad memisahkan Soepratman dengan Salamah.‟
Konjungsi kelebihan malahan „bahkan‟ pada data (146) di atas ternyata
wajib hadir, agar informasi yang tersampaikan jelas dan lengkap. Konjungsi
tersebut apabila dilesapkan maka wacana (146) menjadi tidak gramatikal atau
tidak berterima.
Jenis penanda konjungsi kelebihan yang berupa kata malahan „bahkan‟
terdapat dalam data (147) dan (148) berikut.
(147) Aja-aja, mengko yen lagu mau dinyanyekake lan keprungu tembung
“merdeka”, Kongrese malahan dibubarake pisan dening pulisi.
(PS/3/10/19/11/05/2013).
„Jangan-jangan, nanti jika lagu dinyanyikan lan terdengar kata
“merdeka”, Kongres bahkan dibubarkan oleh polisi.‟
(148) Ing ndalem sapatemonan mau Imam Soepardi crita, manawa
pemerentah Hindia-Walanda wis gelem ngidinake basa Indonesia
dipigunakake ing ndalem sidhang Dewan-Dewan Perwakilan. Malahan
Fraksi Nasional ing volksraad (Dewan Rakyat) ing Jakarta wis wiwit
dipigunakake. (PS/1/10/22/1/06/2013).
„Di dalam pertemuan tadi Imam Seopardi bercerita, apabila pemerintah
Hindia-Belanda telah mengizinkan bahasa Indonesia digunakan di
dalam sidang Dewan-Dewan Perwakilan. Bahkan Partai Nasional
Dewan Rakyat di Jakarta telah mulai digunakan.
123
4) Konjungsi Perkecualian (ekseptif)
Konjungsi perkecualian merupakan konjungsi yang menyatakan makna
perkecualian. Konjungsi perkeculian ditandai dengan kata: sakliyane „selain‟,
kajaba, dan kajawi „kecuali‟. Berikut data yang mengandung penanda kohesi
gramatikal berupa konjungsi perkecualian.
(149) Soepratman kaya-kaya wis ora ana pilihan liya maneh, kajaba mung
manut marang garising takdir. Ninggal Salamah nganti tekan pupusing
yitmane. (PS/3/10/24/15/06/2013).
„Soepratman seolah-olah sudah tidak punya pilihan lain lagi, kecuali
hanya taat pada takdir. Meninggalkan Salamah sampai akhir hayatnya.‟
Pada tuturan (149) di atas terdapat konjungsi perkecualian yaitu pada
kata kajaba „kecuali‟, yang berfungsi untuk menunjukkan adanya perkecualian
yaitu pada klausa Soepratman kaya-kaya wis ora ana pilihan liya maneh
„Soepratman seolah-olah sudah tidak punya pilihan lain lagi‟ dengan klausa
mung manut marang garising takdir „hanya taat pada takdir‟. Data (149) di atas
dibagi atas unsur langsungnya adalah sebagai berikut.
(149a) Soepratman kaya-kaya wis ora ana pilihan liya maneh,
„Soepratman seolah-olah sudah tidak punya pilihan lain lagi,‟
(149b) kajaba mung manut marang garising takdir.
‘kecuali hanya taat pada takdir.‟
(149c) Ninggal Salamah nganti tekan pupusing yitmane.
„Meninggalkan Salamah sampai akhir hayatnya.‟
Selanjutnya data (149b) dianalisis dengan teknik lesap menjadi sebagai
berikut.
(149d) Ø mung manut marang garising takdir.
„Ø hanya taat pada takdir.‟
124
Konjungsi perkecualian yaitu pada kata kajaba „kecuali‟ apabila
dilesapkan maka wacana (149) tetap gramatikal atau berterima, tetapi akan
lebih jelas jika konjungsi tersebut tetap dihadirkan. Kemudian data (149b) diuji
dengan teknik ganti sebagai berikut.
(149e) kajaba mung manut marang garising takdir.
*kajawi
sakliyane
„kecuali hanya taat pada takdir.‟
*kecuali
selain
Analisis data (149) di atas menyatakan bahwa konjungsi kajaba
„kecuali‟ tidak dapat diganti dengan konjungsi kajawi „kecuali‟ karena berbeda
ragam, kajaba „kecuali‟ merupakan ragam ngoko sedangkan kajawi „kecuali‟
termasuk dalam ragam krama. Konjungsi kajaba „kecuali‟ dapat diganti dengan
konjungsi sakliyane „selain‟ karena masih dalam satu tingkat tutur yang sama
yaitu ragam ngoko.
Selain data tersebut ditemukan pula penanda konjungsi perkecualian
yang berupa kata kajaba „kecuali‟ terdapat dalam data (150) dan (151) berikut.
(150) Soepratman, ing ndalem perkembanganne kajaba jejer wartawan, mula
iya ahli ngrumpaka lagu, sing ing sabanjure uga dikenal bebrayan
bangsane. (PS/3/9/19/11/05/2013).
„Soepratman, di dalam perkembangannya kecuali sebagai wartawan,
maka ya ahli mengarang lagu, yang selanjutnya juga dikenal masyarakat
negaranya.‟
(151) Kajaba Ny. Salamah ing “Wisma Mulia” kono uga ana randhane Dr.
Tjipto Mangunkusumo sing dikancani putra lanang, Luois.
(PS/3/9/24/15/06/2013).
„Kecuali Nyonya Salamah di “Wisma Mulia” itu juga ada jandanya Dr.
Tjipto Mangunkusumo yang ditemani anak laki-laki, Luois.‟
125
5) Konjungsi Konsesif
Konjungsi konsesif biasanya ditandai dengan kata: nadyan „meskipun‟
dan sanadyan „walaupun‟. Konjungsi konsesif tampak pada data berikut.
(152) Dadi Kongres Pemuda II iki babarpisan dudu sambungane Kongres
Pemuda I kae, nadyan ta sing ngestreni uga ana sawatara sing hadir
rikala Kongres sing sepisanan kae. (PS/2/9/19/11/05/2013).
„Jadi Kongres Pemuda II ini sama sekali bukan sambungannya Kongres
Pemuda I itu, meskipun yang menghadir juga ada sebagian orang yang
hadir ketika Kongres yang pertama kalinya itu.‟
Pada data (152) di atas menunjukkan adanya konjungsi konsesif pada
kata nadyan „meskipun‟ yang menghubungkan secara konsesif antara klausa
Dadi Kongres Pemuda II iki babarpisan dudu sambungane Kongres Pemuda I
kae dengan klausa yang mengandung kata nadyan „meskipun‟ itu sendiri, yaitu
nadyan ta sing ngestreni uga ana sawatara sing hadir rikala Kongres sing
sepisanan kae. Selanjutnya data (152) dibagi atas unsur langsungnya dengan
teknik BUL sebagai berikut.
(152a) Dadi Kongres Pemuda II iki babarpisan dudu sambungane Kongres
Pemuda I kae,
„Jadi Kongres Pemuda II ini sama sekali bukan sambungannya
Kongres Pemuda I itu,‟
(152b) nadyan ta sing ngestreni uga ana sawatara sing hadir rikala Kongres
sing sepisanan kae.
„meskipun yang menghadir juga ada sebagian orang yang hadir ketika
Kongres yang pertama kalinya itu.‟
Kemudian data (152b) dianalisis dengan teknik lesap, hasilnya adalah
sebagai berikut.
(152c) Ø ta sing ngestreni uga ana sawatara sing hadir rikala Kongres sing
sepisanan kae.
„Ø yang menghadir juga ada sebagian orang yang hadir ketika Kongres
yang pertama kalinya itu.‟
126
Penanda konjungsi konsesif nadyan „meskipun‟ pada data (152c) wajib
hadir, jika konjungsi tersebut dilesapkan maka informasi yang tersampaikan
menjadi tidak jelas serta kalimatnya menjadi tidak gramatikal atau tidak
berterima. Setelah dianalisis dengan teknik lesap, data (152b) diuji dengan
teknik ganti menjadi sebagai berikut.
(152d) nadyan ta sing ngestreni uga ana sawatara sing hadir
sanadyan
*sinaosa
rikala Kongres sing sepisanan kae.
„meskipun yang menghadir juga ada sebagian orang yang
walaupun
*walaupun
hadir ketika Kongres yang pertama kalinya itu.‟
Setelah dianalisis dengan teknik ganti, data (152d) di atas menyatakan
bahwa konjungsi nadyan „meskipun‟ dapat diganti dengan sanadyan
„walaupun‟ karena sama-sama termasuk ragam ngoko. Namun konjungsi
nadyan „walaupun‟ tidak dapat diganti dengan konjungsi sinaosa „walaupun‟
karena berbeda ragam. Konjungsi nadyan „meskipun‟ merupakan ragam ngoko
sedangkan sinaosa „walaupun‟ termasuk ragam krama.
Penanda konjungsi konsesif yang berupa kata nadyan „walaupun‟ juga
tampak pada data (153) dan (154) berikut.
(153) Hebate, nadyan ta laire ora kecukupan, ning batine ora nate ngrasa
nandhang papa. (PS/1/10/18/4/05/2013).
„Hebatnya, meskipun dilahirkan tidak berkecukupan, tetapi dalam
batinnya tidak pernah merasa menderita.‟
(154) Kajaba iku, Kongres Pemuda I dianakake dening pribadi-pribadi
(perorangan), ora dening organisasi kepemudaan, ning, nadyan ta
mangkono, Kongres Pemuda I tetep mujudake pelopor persatuan
bangsa Indonesia. (PS/3/9/19/11/05/2013).
127
„Selain itu, Kongres Pemuda I yang diadakan oleh individu
(perorangan), bukan oleh organisasi pemuda, tapi, meskipun demikian,
Kongres Pemuda I tetap menjadi pelopor persatuan bangsa Indonesia.‟
6) Konjungsi Tujuan
Konjungsi tujuan merupakan konjungsi yang menyatakan makna tujuan
dalam sebuah kalimat suatu wacana. Konjungsi tujuan ditandai dengan kata:
supaya, supados, amrih „agar‟. Di bawah ini merupakan contoh data yang
mengandung konjungsi tujuan.
(155) Si mbakyu krungu warta adhine lara maneh, teka ing Gang Tengah
Jakarta, ngajak adhine supaya istirahat ing Surabaya.
(PS/3/10/23/8/06/2013).
„Si kakak mendengar berita adiknya sakit lagi, datang di Gang Tengah
Jakarta, mengajak adiknya agar istirahat di Surabaya.‟
Penggalan wacana (155) di atas terdapat konjungsi tujuan yaitu pada
kata supaya „agar‟ yang berfungsi menghubungkan suatu makna tujuan yaitu
mengajak adiknya agar istirahat di Surabaya. Kemudian data (155) dibagi atas
unsur langsungnya sebagai berikut.
(155a) Si mbakyu krungu warta adhine lara maneh,
„Si kakak mendengar berita adiknya sakit lagi,‟
(155b) teka ing Gang Tengah Jakarta,
„datang di Gang Tengah Jakarta,‟
(155c) ngajak adhine supaya istirahat ing Surabaya.
„mengajak adiknya agar istirahat di Surabaya.‟
Setelah dibagi atas unsur langsungnya, data (155c) kemudian diuji
dengan teknik lesap menjadi sebagai berikut.
(155d) ngajak adhine Ø istirahat ing Surabaya.
„mengajak adiknya Ø istirahat di Surabaya.‟
128
Hasil analisis dengan menggunakan teknik lesap pada data (155d)
ternyata setelah konjungsi supaya „agar‟ dilesapkan data di atas masih tetap
berterima atau tetap gramatikal, informasi kalimatnya masih tetap jelas. Akan
lebih baik lagi jika konjungsi tujuan supaya „agar‟ tersebut tetap hadir dalam
wacana. Selanjutnya data (155c) dianalisis dengan teknik ganti, hasilnya adalah
sebagai berikut.
(155e) ngajak adhine supaya istirahat ing Surabaya.
saprelu
*supados
„mengajak adiknya agar istirahat di Surabaya.‟
*agar
supaya
Analisis data (155e) di atas dengan menggunakan teknik ganti pada
konjungsi supaya „agar‟, ternyata kata supaya „agar‟ tidak dapat diganti dengan
kata supados „agar‟ karena berbeda tingkat tutur. Supaya „agar‟ termasuk
dalam ragam ngoko, sedangkan supados „agar‟ merupakan ragam krama.
Konjungsi supaya „agar‟ dapat diganti dengan konjungsi saprelu „supaya‟
karena dalam satu tingkat tutur yang sama yaitu ragam ngoko.
Selain data tersebut ditemukan pula konjungsi tujuan yang berupa kata
supaya „agar‟ terdapat dalam data (156) dan (157) berikut.
(156) Kerampungan sing nomer telu iki sengaja diaturake ing kene, soal-e
supaya kita kabeh bae aja nganti lali utawa ngilangi basa dhaerah,
basa Ibu. (PS/3/9/20/18/05/2013).
„Penyelesaian yang nomor tiga sengaja dibawa ke sini, agar kita semua
tidak lupa atau mengabaikan bahasa daerah, bahasa Ibu.‟
(157) Rikala Jepang arep nelukake bumi kene, iya migunakake lagu
“Indonesia Raya” kanggo ngrimuk lan ngojok-ngojoki bangsa
Indonesia supaya lumawan penjajah Landa. (PS/1/10/24/15/06/2013).
129
„Ketika Jepang akan menaklukkan bumi sini, ya menggunakan lagu
“Indonesia Raya” untuk merusak dan menghasut rakyat Indonesia agar
melawan pemerintahan kolonial Belanda.‟
7) Konjungsi Penambahan (aditif)
Konjungsi penambahan ditandai dengan kata: lan „dan‟, uga „atau‟, ugi
„juga‟, sarta „dan‟. Konjungsi pernambahan terdapat di dalam data berikut ini.
(158) Salamah ditepungake karo wong tuwane, uga dulur-dulure dikenalake
karo Salamah. (PS/3/9/23/8/06/2013).
„Salamah diperkenalkan dengan orang tuanya, juga saudara-saudaranya
diperkenalkan dengan Salamah.‟
Pada data (158) tampak adanya penanda konjungsi penambahan uga
„juga‟ yang berfungsi menghubungkan frasa wong tuwane „orang tuanya‟
dengan frasa dulur-dulure „saudara-saudaranya‟. Kemudian data (158) diuji
dengan teknik BUL sebagai berikut.
(158a) Salamah ditepungake karo wong tuwane,
„Salamah diperkenalkan dengan orang tuanya,‟
(158b) uga dulur-dulure dikenalake karo Salamah.
„juga saudara-saudaranya diperkenalkan dengan Salamah.‟
Setelah diuji dengan teknik BUL, data (158b) dianalisis dengan teknik
lesap menjadi sebagai berikut.
(158c) Ø dulur-dulure dikenalake karo Salamah.
„Ø saudara-saudaranya diperkenalkan dengan Salamah.‟
Konjungsi aditif uga „juga‟ pada data (158c) apabila dilesapkan maka
kalimatnya menjadi tidak berterima atau tidak gramatikal. Oleh karena itu,
konjungsi uga „juga‟ wajib hadir, agar informasi yang tersampaikan jelas dan
lengkap. Selanjutnya data (158b) diuji dengan teknik ganti, hasilnya adalah
sebagai berikut.
130
(158d) uga dulur-dulure dikenalake karo Salamah.
*ugi
„juga saudara-saudaranya diperkenalkan dengan Salamah.‟
*juga
Analisis data (158d) di atas dengan menggunakan teknik ganti ternyata
konjungsi ugi „juga‟ tidak bisa menggantikan posisi konjungsi uga „juga‟
karena perbedaan ragam. Konjungsi uga „juga‟ merupakan ragam ngoko
sedangkan ugi „juga‟ termasuk ragam krama.
Selain data tersebut ditemukan pula konjungsi penambahan yang berupa
kata uga „juga‟ tampak pada data (159) dan (160) berikut.
(159) Uga rikala nyebutake tanggal kelairane, si bapa sajak uga ora eling
nemen tanggal pira. (PS/3/9/17/27/04/2013).
„Juga ketika menyebut tanggal kelahiran, si bapak mungkin juga tidak
ingat betul tanggal berapa.‟
(160) Manawa kabeh-kabeh wis dilurusake, klebu uga sing disebut “Hari
Musik” Indonesia. Ing sakawit dilarasake karo tanggal kelahirane sang
komponis. (PS/2/10/24/15/06/2013).
„Jika semuanya telah dilurusakan, termasuk juga yang disebut "Hari
Musik" Indonesia. Pada mulanya diselaraskan dengan tanggal kelahiran
sang komponis.‟
Penanda kohesi gramatikal berupa konjungsi penambahan juga terdapat
di dalam data berikut.
(161) Penulise atur iki nate endhang mrono, nemoni lan wawancara karo
Salamah. (PS/1/9/24/15/06/2013).
„Penulis karya ini pernah melihat ke sana, menemui dan wawancara
dengan Salamah.‟
Tampak pada data (161) di atas terdapat konjungsi penambahan yaitu
pada kata lan „dan‟. Konjungsi lan „dan‟ tersebut berfungsi menghubungkan
antara satuan lingual nemoni „menemui‟ dengan kata wawancara „wawancara‟
131
supaya wacana lebih padu dan baik. Setelah itu, data (161) dibagi atas unsur
langsungnya dengan teknik BUL menjadi sebagai berikut.
(161a) Penulise atur iki nate endhang mrono,
„Penulis karya ini pernah melihat ke sana,‟
(161b) nemoni lan wawancara karo Salamah.
„menemui dan wawancara dengan Salamah.‟
Kemudian data (161b) dianalisis dengan teknik lesap, hasilnya adalah
sebagai berikut.
(161c) nemoni Ø wawancara karo Salamah.
„menemui Ø wawancara dengan Salamah.‟
Hasil analisis data (161c) di atas dengan menggunakan teknik lesap
ternyata konjungsi lan „dan‟ wajib hadir. Konjungsi penambahan lan „dan‟
tersebut apabila dilesapkan maka wacana (161c) menjadi tidak berterima atau
tidak gramatikal serta informasi yang tersampaikan menjadi tidak jelas.
Selanjutnya data (161b) diuji dengan teknik ganti sebagai berikut.
(161d) nemoni lan wawancara karo Salamah.
sarta
*kaliyan
„menemui dan wawancara dengan Salamah.‟
dan
*dan
Tampak pada hasil analisis data (161b) di atas dengan menggunakan
teknik ganti, ternyata kata lan „dan‟ dapat diganti dengan kata sarta „dan‟
karena sama-sama merupakan ragam ngoko. Namun konjungsi lan „dan‟ tidak
dapat diganti dengan konjungsi kaliyan „dan‟ karena berbeda tingkat tutur,
konjungsi kaliyan „dan‟ termasuk dalam ragam krama.
132
Jenis konjungsi penambahan yang berupa kata lan „dan‟ juga tampak
pada data (162) sampai dengan (166) berikut.
(162) Bisa dimangerteni uga, yen ta Soepratman wiwit cilik tansah diugung
lan diuja, laras karo kekuwatane ekonomine wong tuwa.
(PS/1/10/17/27/04/2013).
„Bisa dimengerti juga, jika Soepratman sejak kecil selalu dipuji dan
dipenuhi segala keinginannya, serasi dengan kekuatan ekonomi orang
tuanya.‟
(163) Ora sethithik sing ngalembana, lan padha eram, dene semono
kawasisane Soepratman main biola. (PS/2/10/17/27/04/2013).
„Tidak sedikit yang memuji, dan kagum, pada kepandaiannya
Soepratman bermain biola.‟
(164) Terus mbiyantu Kantor Berita PAIT, Pers Agentschap India Timoer,
sing ing ndalem prakteke jenenge bae “Kantor Berita”, ning yen
ngenani bab dhuwit lan kahanane pegawaine, ya ampuuunnn.
(PS/1/9/18/4/05/2013).
„Kemudian membantu Kantor Berita PAIT, Pers Agentschap India
Timoer, yang di dalam praktiknya namanya saja, "Kantor Berita", yag
jika mengenai bab uang dan situasi pegawainya, ya ampuuunnn.‟
(165) Genahe maneh taun 1926, kaum komunis mentas bae brontak; lan
pemerintah Landa gawe “Pembersihan”. (PS/3/10/19/11/05/2013).
„Jelasnya lagi pada tahun 1926, kaum komunis baru-baru ini
memberontak; dan pemerintah Belanda membuat "Pembersihan".‟
(166) Rikala samono penulis atur iki bisa sapatemon karo Ny. Salamah
randhane Wage Rudolf Soepratman sang komponis agung sing wis
kelakon nyipta lagu kebangsaan “Indonesia Raya” dalah lagu-lagu
perjuangan liyane sing migunani banget lan bisa nuwuhake grengseng
semangat kebangsaan. (PS/2/9/24/15/06/2013).
„Ketika itu penulis karya ini bisa bertemu dengan Nyonya Salamah istri
Wage Rudolf Supratman sang komponis besar yang telah menciptakan
lagu kebangsaan "Indonesia Raya" dan lagu-lagu perjuangan lainnya
yang sangat berguna dan dapat menimbulkan semangat kebangsaan.‟
Data yang mengandung penanda konjungsi penambahan lainnya juga
tampak pada data berikut.
133
(167) Tembene ana owah-owahan, lagu “Indonesia Raya” mung kena
dinyanyekake ing ruwang tertutup, sarta mung kena dinyanyekake
kalangan tinamtu bae. (PS/2/10/20/18/05/2013).
„Kemudian ada perubahan-perubahan, lagu “Indonesia Raya” hanya
dapat dinyanyikan di ruangan tertutup, dan hanya dapat dinyanyian di
kalangan tertentu saja.‟
Penggalan wacana (167) di atas menunjukkan adanya konjungsi aditif
atau penambahan sarta „dan‟ yang berfungsi menghubungkan klausa lagu
“Indonesia Raya” mung kena dinyanyekake ing ruwang tertutup dengan klausa
yang mengandung konjungsi sarta „dan‟ itu sendiri yaitu sarta mung kena
dinyanyekake kalangan tinamtu bae. Selanjutnya data (167) diuji dengan teknik
BUL menjadi sebagai berikut.
(167a) Tembene ana owah-owahan, lagu “Indonesia Raya” mung kena
dinyanyekake ing ruwang tertutup,
„Kemudian ada perubahan-perubahan, lagu “Indonesia Raya” hanya
dapat dinyanyikan di ruangan tertutup,‟
(167b) sarta mung kena dinyanyekake kalangan tinamtu bae.
„dan hanya dapat dinyanyian di kalangan tertentu saja.‟
Setelah diuji dengan teknik BUL, data (167b) dianalisis dengan teknik
lesap menjadi sebagai berikut.
(167c) Ø mung kena dinyanyekake kalangan tinamtu bae.
„Ø hanya dapat dinyanyian di kalangan tertentu saja.‟
Satuan lingual sarta „dan‟ pada data (167c) di atas apabila dilesapkan
maka kalimatnya masih berterima, tetapi informasi yang tersampaikan menjadi
kurang jelas dan kurang lengkap. Maka akan lebih jelas dan lengkap jika
konjungsi sarta „dan‟ tetap dihadirkan.
Kemudian data (167b) diuji dengan teknik ganti, hasilnya adalah
sebagai berikut.
134
(167d) sarta mung kena dinyanyekake kalangan tinamtu bae.
lan
*kaliyan
„dan hanya dapat dinyanyian di kalangan tertentu saja.‟
dan
*dan
Hasil analisis di atas menunjukkan bahwa konjungsi sarta „dan‟ dapat
digantikan dengan konjungsi lan „dan‟ karena masih dalam satu ragam yang
sama, sedangkan kaliyan „dan‟ tidak dapat menggantikan posisi konjungsi
sarta „dan‟ karena berbeda ragam.
Selain data tersebut ditemukan pula konjungsi penambahan yang berupa
kata sarta „dan‟ tampak pada data (168) dan (169) berikut.
(168) [...] Udakara wong 40-an, seperangan akeh warga Surya Wirawan,
sarta ana sawatara pandu Hizbul Wathon, Kepanduaan Bangsa
Indonesia. (PS/1/10/22/1/06/2013).
„[...] Kurang lebih 40-an, beberapa warga Surya Wirawan, dan ada
beberapa pandu Hizbul Wanthon, kepaduan Bangsa Indonesia.‟
(169) Mula kanthi sabar uga gus Wage kadhang-kadhang sok aweh
katerangan nyang Salamah, ngenani theg kliwere gerakan kebangsaan,
sarta uga nyebut asmane sawatara pemimpin nasionalis sing wis
ditepungi. (PS/1/10/23/8/06/2013).
„Maka dengan sabar gus Wage juga kadang-kadang memberi keterangan
pada Salamah, mengenai gerakan kebangsaan, dan juga menyebut nama
dari beberapa pemimpin nasionalis yang dikenal.‟
8) Konjungsi Pilihan (alternatif)
Konjungsi alternatif merupakan konjungsi yang menyatakan makna
pilihan. Konjungsi ini ditandai dengan kata: utawa, utawi, apa, menapa.
Berikut konjungsi alternatif yang terdapat dalam wacana gempilan sejarah.
(170) Iya sarana pers kuwi, ora perduli sing migunakake basa Indonesia apa
sing nganggo basa daerah (Jawa, Sunda, Medura, Batak lan liyane
135
maneh) kaum pergerakan nyebar semangat nasionalisme.
(PS/3/9/19/11/05/2013).
„Ya sarana pers itu, tidak peduli yang menggunaan bahasa Indonesia
apa yang menggunakan bahasa daerah (Jawa, Sunda, Madura, Batak
dan lainnya) kaum pergerakan menyebarkan semangat nasionalisme.‟
Tampak adanya konjungsi pilihan atau alternatif yaitu pada kata apa
„apa‟ yang berfungsi menyatakan makna pilihan antara frasa migunakake basa
Indonesia „menggunakan bahasa Indonesia‟ dengan frasa nganggo basa daerah
„menggunakan bahasa daerah‟. Kemudian data (170) dibagi atas unsur
langsungnya sebagai berikut.
(170a) Iya sarana pers kuwi,
„Ya sarana pers itu,‟
(170b) ora perduli sing migunakake basa Indonesia apa sing nganggo basa
daerah (Jawa, Sunda, Medura, Batak lan liyane maneh)
„tidak peduli yang menggunaan bahasa Indonesia apa yang
menggunakan bahasa daerah (Jawa, Sunda, Madura, Batak dan
lainnya)‟
(170c) kaum pergerakan nyebar semangat nasionalisme.
„kaum pergerakan menyebarkan semangat nasionalisme.‟
Selanjutnya data (170b) dianalisis dengan menggunakan teknik lesap
sebagai berikut.
(170d) ora perduli sing migunakake basa Indonesia Ø sing nganggo basa
daerah (Jawa, Sunda, Medura, Batak lan liyane maneh)
„tidak peduli yang menggunaan bahasa Indonesia Ø yang
menggunakan bahasa daerah (Jawa, Sunda, Madura, Batak dan
lainnya)‟
Hasil analisis data (170d) di atas ternyata konjungsi alternatif apa „apa‟
wajib hadir, agar informasi yang disampaikan tetap jelas dan lengkap.
Konjungsi tersebut apabila dilesapkan maka kalimatnya menjadi tidak
136
gramatikal atau tidak berterima. Setelah dianalisis dengan teknik lesap, data
(170b) diuji dengan teknik ganti menjadi sebagai berikut.
(170e) ora perduli sing migunakake basa Indonesia apa sing
*punapa
nganggo basa daerah (Jawa, Sunda, Medura, Batak lan liyane maneh)
„tidak peduli yang menggunaan bahasa Indonesia apa yang
*apa
menggunakan bahasa daerah (Jawa, Sunda, Madura, Batak dan
lainnya)‟
Data (170e) di atas apabila dikenai teknik ganti pada konjungsi apa
„apa‟, ternyata konjungsi punapa „apa‟ tidak dapat digantikan posisi konjungsi
apa „apa‟ karena ragam yang digunakan berbeda. Konjungsi punapa „apa‟
merupakan ragam krama sedangkan apa „apa‟ termasuk ragam ngoko.
Data yang mengandungpenanda konjungsi pilihan juga terdapat pada
data berikut.
(171) Merga lagu “Indonesia Raya” dudu lagu kebangsaan; mung lagune
perkumpulan utawa partai bae. (PS/2/10/20/18/05/2013).
„Karena lagu "Indonesia Raya" bukan lagu kebangsaan; hanya lagunya
perkumpulan atau partai saja.‟
Wacana (171) di atas terdapat konjungsi pilihan yang ditunjukkan
dengan kata utawa „atau‟. Konjungsi utawa „atau‟ tersebut berfungsi
menghubungkan dua pilihan yaitu antara frasa lagune perkumpulan „lagunya
perkumpulan‟ dengan frasa partai bae „partai saja‟. Selanjutnya data (171)
dibagi atas unsur langsungnya dengan teknik BUL.
(171a) Merga lagu “Indonesia Raya” dudu lagu kebangsaan;
„Karena lagu “Indonesia Raya” bukan lagu kebangsaan;‟
(171b) mung lagune perkumpulan utawa partai bae.
„hanya lagunya perkumpulan atau partai saja.‟
137
Setelah dibagi atas unsur langsungnya dengan teknik BUL, data (171b)
kemudian diuji dengan teknik lesap sebagai berikut.
(171c) mung lagune perkumpulan Ø partai bae.
„hanya lagunya perkumpulan Ø partai saja.‟
Konjungsi utawa „atau‟ pada data (171c) setelah diuji dengan teknik
lesap ternyata wacana tetap berterima atau gramatikal, namun akan lebih baik
jika konjungsi tersebut tetap hadir dalam wacana agar informasi dapat
tersampaikan dengan jelas. Selanjutnya data (171b) dianalisis dengan teknik
ganti menjadi berikut.
(171d) mung lagune perkumpulan utawa partai bae.
*utawi
„hanya lagunya perkumpulan atau partai saja.‟
*atau
Hasil analisis data (171d) di atas dengan menggunakan teknik ganti,
ternyata konjungsi utawa „atau‟ tidak dapat diganti dengan konjungsi utawi
„atau‟ karena berbeda tingkat tutur, utawa „atau‟ termasuk dalam ragam ngoko
sedangkan utawi „atau‟ merupakan ragam krama.
Selain data tersebut ditemukan pula konjungsi pilihan yang berupa kata
utawa „atau‟ terdapat dalam data (172) sampai dengan (174) berikut.
(172) Mundur saka ngarsane Dr. Soetomo, Soepratman uga banjur mbatin,
embuh non embuh co, sapa sing bener kareben sejarah sing bakal
mancasi. Utawa mbok menawa bae. Loro-lorone diperlokake ing wektu
samana. (PS/2/9/22/1/06/2013).
„Mundur dari hadapan Dr. Soetomo, Soepratman juga kemudian
membatin, entah non entah co, siapa yang benar biarkan sejarah yang
akan menilai. Atau mungkin saja. Keduanya diperlukan pada waktu
itu.‟
138
(173) Golek omah dhewe, bisa merdika bebas ora ngrusuhi dulur utawa wong
liya. (PS/3/9/23/8/06/2013).
„Mencari rumah sendiri, bisa mandiri tidak mengganggu saudara atau
orang lain.‟
(174) “Wisma Mulia” papan disedhiyakake kanggo garwa utawa
kulawargane para jaumhur Indonesia sing mula wis ora ndhuweni
kulawarga maneh. (PS/1/9/24/15/06/2013).
„“Wisma Mulia” tempat yang disediakan untuk istri atau keluarganya
para jaumhur Indonesia yang telah tidak mempunyai keluarga lagi.‟
9) Konjungsi Urutan (sekuensial)
Konjungsi urutan merupakan konjungsi yang menyatakan makna urutan
suatu kejadian atau aktivitas. Konjungsi urutan ditandai dengan kata: banjur
„kemudian‟, terus „terus‟, lajeng „kemudian‟. Berikut konjungsi urutan yang
terdapat dalam penelitian.
(175) Tekan makame kakunge. Ny. Salamah banjur ngrangkul maesane sang
komponis, sarta ora kuwat gang nahan rasa pirasaning atine.
(PS/3/10/24/15/06/2013).
„Sampai makam suaminya. Nyonya Salamah kemudian memeluk nisan
sang komponis, dan tidak kuat menahan rasa di dalam hatinya.‟
Konjungsi urutan terdapat pada data (175) di atas, ditunjukkan dengan
kata banjur „kemudian‟ yang berfungsi menerangkan aktivitas yang berurutan
yaitu tekan makame kakunge „sampai makam suaminya‟, kemudian Ny.
Salamah ngrangkul maesane sang komponis „Nyonya Salamah memeluk nisan
sang komponis‟. Data (175) dibagi atas unsur langsungnya sebagai berikut.
(175a) Tekan makame kakunge. Ny. Salamah banjur ngrangkul maesane sang
komponis,
„Sampai makam suaminya. Nyonya Salamah kemudian memeluk
nisan sang komponis,‟
(175b) sarta ora kuwat gang nahan rasa pirasaning atine.
„dan tidak kuat menahan rasa di dalam hatinya.‟
139
Setelah dibagi atas unsur langsungnya, data (175a) kemudian dianalisis
dengan teknik lesap sebagai berikut.
(175c) Tekan makame kakunge. Ny. Salamah Ø ngrangkul maesane sang
komponis,
„Sampai makam suaminya. Nyonya Salamah Ø memeluk nisan sang
komponis,‟
Data (175c) di atas setelah dianalisis dengan teknik lesap ternyata
konjungsi banjur „kemudian‟ tidak wajib hadir, apabila konjungsi tersebut
dilesapkan kalimatnya masih tetap gramatikal atau berterima. Namun akan
lebih baik lagi jika konjungsi tersebut hadir, agar kalimatnya jelas dan lebih
lengkap. Kemudian data (175a) diuji dengan teknik ganti, hasilnya adalah
sebagai berikut.
(175d) Tekan makame kakunge. Ny. Salamah banjur ngrangkul
terus
*lajeng
maesane sang komponis,
„Sampai makam suaminya. Nyonya Salamah kemudian
terus
*kemudian
memeluk nisan sang komponis,‟
Analisis data (175d) dengan menggunakan teknik ganti di atas, ternyata
konjungsi banjur „kemudian‟ dapat diganti dengan konjungsi terus „terus‟
karena dalam satu ragam yang sama yaitu ragam ngoko. Sedangkan konjungsi
lajeng „kemudian‟ tidak dapat menggantikan konjungsi banjur „kemudian‟
karena konjungsi lajeng „kemudian‟ termasuk dalam ragam krama.
140
Selain data tersebut ditemukan pula penanda konjungsi urutan yang
berupa kata banjur „kemudian‟ terdapat dalam data (176) sampai dengan (183)
berikut.
(176) Tamat saka Sek. Angka Loro, Soepratman banjur melu ujian K.A.E
Klein Ambtenaar Examen. Ujian PN taraf endhek. Durung marem,
banjur nerusake sinanune neng Normaal School, Sek. Guru 4 taun
mawa basa pengantar basa Dhaerah. (PS/2/10/17/27/04/2013).
„Lulus dari Sekolah Angka Dua, Soepratman kemudian mengikuti ujian
K.A.E (Klein Klein Examen). Ujian PN tingkat rendah. Belum puas,
kemudian melanjutkan belajarnya di Normaal School, Sek. Guru 4
dengan bahasa pengantar bahasa Daerah.‟
(177) Si mbakyu, meruhi kahanan sing kaya mangkono mau, banjur gawe
kerampungan dhewe. (PS/3/9/21/25/05/2013).
„Si kakak, mengetahui keadaannya yang seperti itu tadi, kemudian
membuat penyelesaian sendiri.‟
(178) Ha hiya ora nggumunake, kaum pergerakan bareng krungu warta bab
anane sang komponis neng Surabaya, banjur padha merlokake nekani.
(PS/2/10/21/25/05/2013).
„Ya tidak mengherankan, kaum pergerakan setelah mendengar tentang
keberadaan sang komponis di Surabaya, kemudian mereka perlu
mendatangi.‟
(179) Lagi ing Jagalan, Soepratman rumangsa kentekan tenaga. Banjur
mutusake: bali mulih bae. (PS/1/10/22/1/06/2013).
„Baru di Jagalan, Soepratman merasa kehabisan tenaga. Kemudian
memutuskan: kembali pulang saja.‟
(180) Iya merga saka thukul welase kuwi mau, esuke maneh wong loro banjur
nyang Cimahi. (PS/3/9/23/8/06/2013).
„Ya karena dari muncul rasa ibanya itu tadi, paginya dua orang tadi
kemudian ke Cimaahi.‟
(181) Nyumurupi lan ngrasakake prastawa sing kaya mangkono mau, atine
Soepratman banget sedhihe. Banjur kelingan apa sing wis nate kelakon,
pengalaman ing ndalem babagan asmara uga. (PS/2/10/23/8/06/2013).
„Mengetahui dan merasakan peristiwa yang seperti itu tadi, hatinya
Soepratman sangat sedih. Kemudian teringat apa yang telah terjadi,
terutama pengalaman di dalam hal asmara juga.‟
141
(182) Artikel mau sabenere kutipan saka majalah Timboel (Solo), sing njur
dicuplik Fadjar Asia iki mau, pimpinane Haji Agus Salim.
(PS/1/10/19/11/05/2013).
„Artikel tadi sebenarnya kutipan dari majalah Timboel (Solo), yang
kemudian dikutip Fajar Asia ini tadi, pemimpin Haji Agus Salim.‟
(183) Geger. Partai Nasional sing ing sakawit wis kelakon gedhe, wargane
tinemu ing ngendi-endi, padha padu. Satemah PNI pecah. Banjur ana
Partindo, Partai Indonesia. Ana maneh sing ngedegake PNI-Merdeka.
Terus ana maneh liyane sing mbangun Pendidikan Nasional Indonesia.
(PS/3/10/20/18/05/2013).
„Kacau. Partai Nasional yang telah menjadi besar, warga ditemukan di
mana-mana, mereka bertengkar. Dan PNI pecah. Kemudian ada
Partindo, Partai Indonesia. Ada lagi yang membentuk PNI-Merdeka.
Terus ada lagi lainnya yang membangun Pendidikan Nasional
Indonesia.‟
Penanda kohesi gramatikal yang berupa konjungsi urutan juga tampak
pada data berikut.
(184) Ora aneh yen ta bareng kenya cilik mau salebare nyanyi, terus aweh
urmat nyang para sing njenengi, ditampa kanthi surak mawuran.
Makaping-kaping. (PS/3/9/20/18/05/2013).
„Tidak aneh jika gadis kecil tadi setelah bernyanyi, kemudian
memberikan penghormatan kepada mereka, diterima dengan sorakan.
Beberapa kali.‟
Pada data (184) di atas terdapat adanya penanda kohesi gramatikal
berupa konjungsi urutan yaitu pada kata terus „kemudian‟. Konjungsi tersebut
menerangkan suatu aktifitas atau kejadian yang berurutan yaitu kenya cilik mau
salebare nyanyi kemudian aweh urmat nyang para sing njenengi. Data (184)
dibagi atas unsur langsungnya dengan teknik BUL, hasilnya adalah sebagai
berikut.
(184a) Ora aneh yen ta bareng kenya cilik mau salebare nyanyi,
„Tidak aneh jika gadis kecil tadi setelah bernyanyi,‟
(184b) terus aweh urmat nyang para sing njenengi,
„kemudian memberikan penghormatan kepada mereka,‟
142
(184c) ditampa kanthi surak mawuran. Makaping-kaping.
„diterima dengan sorakan. Beberapa kali.‟
Kemudian data (184b) dianalisis dengan teknik lesap menjadi sebagai
berikut.
(184d) Ø aweh urmat nyang para sing njenengi,
„Ø memberikan penghormatan kepada mereka,‟
Wacana (184d) di atas setelah dikenai teknik lesap pada kata terus
„kemudian‟, ternyata wacana tersebut masih berterima. Namun akan lebih baik
lagi jika konjungsi terus „kemudian‟ tetap dihadirkan, agar wacana (184d) lebih
lengkap dan jelas. Selanjutnya data (184b) diuji dengan teknik ganti sebagai
berikut.
(184e) terus aweh urmat nyang para sing njenengi,
banjur
*lajeng
„kemudian memberikan penghormatan kepada mereka,‟
kemudian
*kemudian
Hasil analisis data (184e) di atas, ternyata konjungsi banjur „kemudian‟
dapat menggantikan posisi terus „kemudian‟ karena ragam yang digunakan
sama yaitu ragam ngoko. Sedangkan konjungsi lajeng „kemudian‟ tidak dapat
menggantikan posisi terus „kemudian‟ karena konjungsi lajeng merupakan
ragam krama.
Jenis penanda konjungsi urutan yang berupa kata terus „kemudian‟ juga
terdapat dalam data (185) berikut.
(185) Yen nganti Soepratman gemang melu si Mbakyu, tertemtu atine si
Mbakyu bakal gela nemen, terus nandhes tekan batin.
(PS/3/10/23/8/06/2013).
143
„Jika sampai Soepratman menolak ikut si Kakak, tentu hatinya si Kakak
akan kecewa sekali, kemudian membekas sampai batin.‟
10) Konjungsi Waktu (temporal)
Konjungsi waktu merupakan konjungsi yang menyatakan suatu waktu.
Konjungsi tersebut ditandai dengan kata: bubar, sawise „setelah, sesudah, usai,
selesai‟, sadurunge „sebelumnya‟, sabanjure „selanjutnya‟. Konjungsi waktu
yang terdapat dalam penelitian adalah sebagai berikut.
(186) Iku mau, uga sawise kongres rampung. (PS/3/10/19/11/05/2013).
„Itu tadi, juga setelah kongres selesai.‟
Pada penggalan wacana (186) di atas tampak adanya penanda konjungsi
waktu yang ditunjukkan oleh satuan lingual sawise „setelah‟ yang berfungsi
menyatakan suatu waktu yaitu setelah kongres selesai. Selanjutnya data (186)
dibagi atas unsur langsungnya menjadi sebagai berikut.
(186a) Iku mau,
„Itu tadi,‟
(186b) uga sawise kongres rampung.
„juga setelah kongres selesai.‟
Setelah dibagi atas unsur langsungnya, data (186b) diuji dengan teknik
lesap sebagai berikut.
(186c) uga Ø kongres rampung.
„juga Ø kongres selesai.‟
Satuan lingual sawise „setelah‟ pada data (186c) di atas wajib hadir.
Satuan lingual tersebut apabila dilesapkan maka kalimatnya menjadi tidak
gramatikal atau tidak berterima. Kemudian data (186b) dianalisis dengan teknik
ganti, hasilnya adalah sebagai berikut.
144
(186d) uga sawise kongres rampung.
sabubare
*sasampunipun
„juga setelah kongres selesai.‟
setelah
*sesudah
Analisis data (186d) di atas menunjukkan bahwa konjungsi sawise
„setelah‟ dapat diganti dengan sabubare „setelah‟, karena kedua konjungsi
tersebut termasuk ragam ngoko. Sedangkan konjungsi sasampunipun „sesudah‟
tidak dapat menggantikan posisi konjungsi sawise „setelah‟, karena konjungsi
sasampunipun „sesudah‟ merupakan ragam krama.
Data yang mengandung penanda konjungsi waktu lainnya juga tampak
pada data berikut.
(187) Wah maneh, sauger ing pertemuan partai nasional sadurunge rapat
diwiwiti banjur sering dikumandhangake lagu mau, kabeh hadirin
padha ngadeg aweh urmat. (PS/2/10/20/18/05/2013).
„Nah lagi, yang baku di pertemuan partai nasional sebelum rapat
dimulai kemudian sering dinyanyikan lagu tadi, semua hadirin berdiri
untuk memberi hormat.‟
Tuturan (187) di atas terdapat konjungsi waktu yang dinyatakan dengan
kata sadurunge „sebelum‟ yang berfungsi sebagai penjelas dari frasa rapat
diwiwiti „rapat dimulai‟. Setelah itu data (187) dibagi atas unsur langsungnya
dengan teknik BUL.
(187a) Wah maneh, sauger ing pertemuan partai nasional sadurunge rapat
diwiwiti banjur sering dikumandhangake lagu mau,
„Nah lagi, yang baku di pertemuan partai nasional sebelum rapat
dimulai kemudian sering dinyanyikan lagu tadi,‟
(187b) kabeh hadirin padha ngadeg aweh urmat.
„semua hadirin berdiri untuk memberi hormat.‟
145
Kemudian data (187a) dianalisis dengan teknik lesap menjadi sebagai
berikut.
(187c) Wah maneh, sauger ing pertemuan partai nasional Ø rapat diwiwiti
banjur sering dikumandhangake lagu mau,
„Nah lagi, yang baku di pertemuan partai nasional Ø rapat dimulai
kemudian sering dinyanyikan lagu tadi,‟
Konjungsi sadurunge „sebelum‟ pada data (187c) di atas apabila
dilesapkan ternyata wacana menjadi tidak gramatikal atau tidak berterima, serta
informasi yang tersampaikan menjadi tidak jelas. Maka konjungsi sadurunge
„sebelum‟ tersebut wajib hadir, agar hubungan antarklausa menjadi padu.
Selanjutnya data (187a) diuji dengan teknik ganti, hasilnya adalah sebagai
berikut.
(187d) Wah maneh, sauger ing pertemuan partai nasional
sadurunge rapat diwiwiti banjur sering dikumandhangake
*saderengipun
lagu mau,
„Nah lagi, yang baku di pertemuan partai nasional sebelum
*sebelum
rapat dimulai kemudian sering dinyanyikan lagu tadi,‟
Setelah data (187d) diuji dengan teknik ganti ternyata konjungsi
sadurunge „sebelum‟ tidak dapat diganti dengan konjungsi saderengipun
„sebelum‟ karena konjungsi tersebut merupakan ragam krama, sedangkan
konjungsi sadurunge „sebelum‟ termasuk ragam ngoko.
Selain data tersebut ditemukan pula konjungsi waktu berupakata
sadurunge „sebelum‟ yang terdapat dalam data (188) berikut.
(188) Lha sadurunge lagu kelakon dikumandhangake, Soegono dalah
anggota Panitia liyane bebarengan ngadeg saka lungguhe, dieloni
dening para hadirin liyane. (PS/1/10/20/18/05/2013).
146
„Nah sebelum lagu dinyanyikan, Soegono dan anggota Panitia lainnya
bersama-sama berdiri dari duduknya, diikuti oleh peserta lainnya.‟
Contoh data yang mengandung penanda konjungsi waktu lainnya dapat
dilihat pada data berikut ini.
(189) Soepratman ninggalake Alpena sing sabanjure mula iya kepeksa kukut,
bangkrut sarta dadi reportere sk. Tionghoa-Melayu Sin Po.
(PS/3/9/18/05/2013)
„Soepratman meninggalkan Alpena yang selanjutnya ya terpaksa
bangkrut, gulung tikar dan menjadi reporternya sk. Tionghoa-Melayu
Sin Po.‟
Penggalan wacana (189) di atas terdapat adanya satuan lingual
sabanjure „selanjutnya‟ yang merupakan penanda kohesi waktu. Satuan lingual
tersebut berfungsi untuk menyatakan suatu waktu yaitu setelah Alpena gulung
tikar, Soepratman menjadi reporternya sk. Tionghoa-Melayu Sin Po. Data (189)
dibagi atas unsur langsungnya dengan menggunakan teknik BUL sebagai
berikut.
(189a) Soepratman ninggalake Alpena sing sabanjure mula iya kepeksa
kukut, bangkrut
„Soepratman meninggalkan Alpena yang selanjutnya ya terpaksa
bangkrut, gulung tikar‟
(189b) sarta dadi reportere sk. Tionghoa-Melayu Sin Po.
„dan menjadi reporternya sk. Tionghoa-Melayu Sin Po.‟
Kemudian data (189a) diuji dengan teknik lesap, hasilnya adalah
sebagai berikut.
(189c) Soepratman ninggalake Alpena sing Ø mula iya kepeksa kukut,
bangkrut
„Soepratman meninggalkan Alpena yang Ø ya terpaksa bangkrut,
gulung tikar‟
147
Konjungsi sabanjure „selanjutnya‟ pada data (189c) di atas wajib hadir,
apabila konjungsi tersebut dilesapkan maka wacana tersebut menjadi tidak
gramatikal. Setelah diuji dengan teknik lesap, data (189a) dianalisis dengan
teknik ganti pada sabanjure „selanjutnya‟ menjadi sebagai berikut.
(189d) Soepratman ninggalake Alpena sing sabanjure mula iya kepeksa
*salajengipun
kukut, bangkrut
„Soepratman meninggalkan Alpena yang selanjutnya ya terpaksa
*selanjutnya
bangkrut, gulung tikar‟
Penanda konjungsi sabanjure „selanjutnya‟ pada data (189d) di atas
tidak dapat digantikan dengan konjungsi salajengipun „selanjutnya, karena
sabanjure „selanjutnya‟ merupakan ragam ngoko sedangkan salajengipun
„selanjutnya‟ termasuk ragam krama. Konjungsi waktu sabanjure „selajutnya‟
juga tampak pada data (190) berikut.
(190) Lan sabanjure dieramake maneh, nganti selawas-lawase.
(PS/2/10/17/27/04/2013).
„Dan selanjutnya ditutup lagi, untuk selama-lamanya.‟
11) Konjungsi Syarat
Konjungsi syarat merupakan konjungsi yang menyatakan makna
perangkaian persyaratan. Konjungsi ini ditandai dengan kata: yen „jika‟,
manawa (mangkono) „jika‟. Berikut konjungsi syarat yang ditemukan dalam
penelitian.
(191) Ana lagu “Raden Ajeng Kartini”, “Dari Barat Sampai ke Timur”,
“KBI-Mars”, saben uwong persasat bisa nglagokake lagu-lagu mau,
syaire padha apal kabeh. Yen nyanyi padha kanthi semangat sarta
kebak gairah. (PS/2/9/21/25/05/2013).
148
„Ada lagu “Raden Ajeng Kartini”, “Dari Barat Sampai ke Timur”,
“KBI-Mars”,‟setiap orang bisa menyanyikan lagu-lagu tersebut, mereka
hafal semua syairnya. Jika menyanyikannya dengan antusias dan penuh
semangat.‟
Pada data (191) di atas terdapat konjungsi syarat yaitu pada kata yen
„jika‟ yang merupakan penghubung syarat untuk menyanyikannya dengan
antusias dan penuh semangat. Kemudian data (191) dibagi atas unsur
langsungnya sebagai berikut.
(191a) Ana lagu “Raden Ajeng Kartini”, “Dari Barat Sampai ke Timur”,
“KBI-Mars”, saben uwong persasat bisa nglagokake lagu-lagu mau,
syaire padha apal kabeh.
„Ada lagu “Raden Ajeng Kartini”, “Dari Barat Sampai ke Timur”,
“KBI-Mars”,‟setiap orang bisa menyanyikan lagu-lagu tersebut,
mereka hafal semua syairnya.‟
(191b) Yen nyanyi padha kanthi semangat sarta kebak gairah.
„Jika menyanyikannya dengan antusias dan penuh semangat.‟
Selanjutnya data (191b) diuji denganteknik lesap, hasilnya sebagai
berikut.
(191c) Ø nyanyi padha kanthi semangat sarta kebak gairah.
„Ø menyanyikannya dengan antusias dan penuh semangat.‟
Konjungsi yen „jika‟ pada data (191c) di atas wajib hadir, apabila
konjungsi tersebut dilesapkan maka wacana menjadi tidak berterima atau tidak
gramatikal serta informasi yang disampaikan menjadi tidak jelas. Setelah itu,
data (191b) kemudian dianalisis dengan teknik ganti menjadi sebagai berikut.
(191d) Yen nyanyi padha kanthi semangat sarta kebak gairah.
Manawa
*Menawi
„Jika menyanyikannya dengan antusias dan penuh semangat.‟
Jika
*Jika
149
Hasil analisis data (191d) di atas menyatakan bahwa konjungsi menawa
„jika‟ dapat menggantikan posisi konjungsi yen „jika‟ karena sama-sama
termasuk ragam ngoko. Sedangkan konjungsi menawi „jika‟ tidak dapat
menggantikan posisi konjungsi yen „jika‟ karena konjungsi menawi „jika‟
merupakan ragam krama.
Konjungsi syarat yang berupa kata yen „saya‟ tampak pada data (192)
sampai dengan (198) berikut.
(192) Dikandhakake, yen mbah Martowidjojo lan Pak Dhe Atmo krungu
cengere, bayi rikala kapinunjon angon wedhuse ing sakitere kono. Lha
bareng ditiliki, lagi oleh keterangan manawa Mbok Siti mentas bayen.
(PS/3/9/17/27/04/2013).
„Dikatakan, jika simbah Martowidjojo dan Pak Dhe Atmo mendengar
tangisnya bayi, ketika menggembala kambing di sekitar sana. Nah
ketika dikunjungi, baru dapat keterangan apabila Ibu Siti selesai
melahirkan.‟
(193) Mula iya ora nggumunake, yen ta si mBakyu ayu banget bombonging
atine, rikala nyumurupi ing sawijining pesamuwan Soepratman main
biola. (PS/2/10/17/27/04/2013).
„Maka ya tidak mengherankan, jika si kakak senang sekali hatinya,
ketika mengetahui di salah satu pertemuan Soepratman bermain biola.‟
(194) Banjur nulis layang nyang Panitia Kongres, surasane aweh weruh yen
lagu sing diarep-arep dadi lagu kebangsaaan wis kelakon rampung.
(PS/2/10/19/11/05/2013).
„Kemudian menulis surat kepada Panitia Kongres, isinya memberitahu
jika lagu yang diharapkan menjadi lagu kebangsaan telah selesai.‟
(195) Ora maido yen ta para hadirin padha setengah kagum, eram nyang
kewanenane cah wadon iki. (PS/3/10/19/11/05/2013).
„Tidak menyangkal jika para hadirin setengah kagum, heran pada
keberanian gadis ini.‟
(196) Wah maneh, Rukiyem banjur kandha: “Iki sekedhar tetirah. Yen wis
waras, ha hiya baliya nyang Jakarta maneh. Ra papa!”.
(PS/3/9/21/25/05/2013).
„Nah lagi, Rukiyem mengatakan: "Ini sekedar tetirah. Jika sudah
sembuh, ha ya kembalilah ke Jakarta lagi. Tidak apa-apa! ".‟
150
(197) Ana sing ngira, yen sing nyebar kabar mau sawijining warga
Parindra[...]. (PS/2/10/21/25/05/2013).
„Ada yang mengira, jika yang menyebar berita tadi adalah salah satu
warga Parindra [...].‟
(198) Ny. Salamah crita, yen ing wektu akhir-akhir iki sering ditekani
suamine, karep-kerepe yen dhong malem Jemuah.
(PS/3/10/24/15/06/2013).
„Nyonya Salama cerita jika pada akhir-akhir ini sering didatangi
suaminya, seringnya jika malam Jumat.‟
Penanda kohesi gramatikal yang berupa konjungsi syarat lainnya dapat
dilihat pada data berikut ini.
(199) Luwih-luwih yen ngelingi, manawa kanggo nyithak buku mau gus Wage
wis ngethokake dhuwit satus selawe rupiah. (PS/3/10/18/4/05/2013).
„Terutama jika mengingat, apabila untuk mencetak buku tadi gus Wage
setelah mengeluarkan uang seratus dua puluh lima rupiah.‟
Kata manawa „apabila‟ pada data (199) di atas merupakan penanda
konjungsi syarat. Konjungsi tersebut menyatakan perangkaian syarat
antaraklausa luwih-luwih yen ngelingi dengan kanggo nyithak buku mau gus
Wage wis ngethokake dhuwit satus selawe rupiah. Setelah itu, data (199) dibagi
atas unsur langsungnya dengan menggunakan teknik BUL sebagai berikut.
(199a) Luwih-luwih yen ngelingi,
„Terutama jika mengingat,‟
(199b) manawa kanggo nyithak buku mau gus Wage wis ngethokake dhuwit
satus selawe rupiah.
„apabila untuk mencetak buku tadi gus Wage setelah mengeluarkan
uang seratus dua puluh lima rupiah.‟
Kemudian data (199b) dianalisis dengan teknik lesap menjadi sebagai
berikut.
(199c) Ø kanggo nyithak buku mau gus Wage wis ngethokake dhuwit satus
selawe rupiah.
151
„Ø untuk mencetak buku tadi gus Wage setelah mengeluarkan uang
seratus dua puluh lima rupiah.‟
Setelah data (199c) di atas dikenai teknik lesap, ternyata kata manawa
„apabila‟ bila dilesapkan maka data tersebut tetap gramatikal atau tetap
berterima. Namun akan lebih baik lagi jika kata tersebut hadir, agar wacana
(199c) lebih jelas dan lengkap.Selanjutnya data (199) diuji dengan teknik ganti,
hasilnya adalah sebagai berikut.
(199d) manawa kanggo nyithak buku mau gus Wage wis ngethokake
*menawi
dhuwit satus selawe rupiah.
„apabila untuk mencetak buku tadi gus Wage setelah mengeluarkan
*apabila
uang seratus dua puluh lima rupiah.‟
Hasil analisis data (199d) di atas menyatakan bahwa konjungsi menawi
„apabila‟ tidak dapat menggantikan posisi konjungsi manawa „apabila‟, karena
ragam yang digunakan berbeda. Menawi „apabila‟ termasuk ragam krama,
sedangkan menawi „apabila‟ merupakan ragam ngoko.
Selain data tersebut ditemukan pula penanda konjungsi syarat yang
berupa kata manawa „apabila‟ terdapat dalam data (200) sampai dengan (205)
berikut.
(200) Apa maneh, kabeh-kabeh wis padha ngrumangsani, manawa pers mono
mula mujudake salah sijine piranti nggayuh kamardikaan.
(PS/3/9/19/11/05/2013).
„Terlebih lagi, semuanya telah diakui, apabila pers itu mewujudkan
salah satu alat untuk mencapai kemerdekaan.‟
(201) Rampung anggone mamerake lagune, keprungu keplok mawurahan,
binarung pambengoking para kongresis. “Bisss!!! Bisss!!!”, sing
karepe, supaya Soepratman mbaleni mainake biolane maneh, aweh
152
sasmita manawa Soepratman diidini mainake biolae maneh, nuruti
penjaluke para warga. (PS/3/10/19/11/05/2013).
„Selesai menampilan lagunya, terdengar tepuk tangan, disertai teriakan
suara para kongresis. "Bisss !!! Bisss !!! ", yang ingin, agar Soepratman
mengulangi memainkan biola lagi, memberikan nilai apabila
Soepratman diizinkan untuk bermain biola lagi, menuruti permintaan
para warga.‟
(202) Ora ditulis ing ndalem acara kongres, ing Ketua Soegono salebare
dikumandhangake lagu dening pangriptane, gawe pengumuman,
manawa samengko bakal dikumandhangake “Indonesia Raya” kanthi
tetembungan. (PS/3/9/20/18/05/2013).
„Tidak ditulis di dalam acara kongres, Soegono sesudah dinyanyikan
lagu oleh penciptanya, membuat pengumuman, apabila nanti akan
dinyanyian, "Indonesia Raya" dengan liriknya.‟
(203) Sejarah nyathet, manawa antarane taun 1926-1930 gerakan
kebangsaan Indonesia ngalami mangsa pacoban.
(PS/2/10/20/18/05/2013).
„Sejarah mencatat, apabila antara tahun 1926-1930 pergerakan
kebangsaan Indonesia mengalami cobaan.‟
(204) Ing ndalem pembelaane, Bung Karno kanthi gamblang nerangake,
manawa sing di adili rikala kuwi, dudu salirane Bung Karno.
(PS/3/10/20/18/05/2013).
„Di dalam pembelaannya, Bung Karno dengan jelas menerangkan,
apabila yang di adili ketika itu, bukan Bung Karno.‟
(205) Tekan ndaleme Pak Tom, kenyatan manawa sing nglayat wis akeh; lha
luwih-luwih bareng wektune disarekake. (PS/3/9/22/1/06/2013).
„Sampai rumahnya Pak Tom, kenyataannya apabila yang melayat sudah
banyak; terutama ketika waktunya dimakamkan.‟
12) Konjungsi Cara
Konjungsi cara adalah konjungsi yang menyatakan makna perangkaian
cara. Konjungsi cara ditandai dengan kata: kanthi (cara) mangkono „dengan
(cara) begitu‟. Data yang berupa konjungsi cara dapat dilihat pada data berikut.
(206) Salebare aweh urmat nyang para hadirin, kanthi suwara alon, sacara
apalan, tanpa iringan musik, kenya umur 15 taunan iki banjur nyanyi
“Indonesia Raya”. (PS/3/9/20/18/05/2013).
153
„Setelah memberi hormat kepada para hadirin, dengan cara suara yang
pelan, secara hafalan, tanpa iringan musik, gadis berusia 15 tahun itu
menyanyikan "Indonesia Raya".‟
Pada wacana (206) terdapat konjungsi cara yaitu pada kata kanthi
„dengan cara‟, yang berfungsi menghubungkan cara yaitu dengan cara suara
yang pelan ia menyanyikan “Indonesia Raya”. Data (206) kemudian dibagi atas
unsur langsungnya dengan teknik BUL sebagai berikut.
(206a) Salebare aweh urmat nyang para hadirin, kanthi suwara alon, sacara
apalan, tanpa iringan musik,
„Setelah memberi hormat kepada para hadirin, dengan cara suara
yang pelan, secara hafalan, tanpa iringan musik,‟
(206b) kenya umur 15 taunan iki banjur nyanyi “Indonesia Raya”.
„gadis berusia 15 tahun itu menyanyikan "Indonesia Raya".‟
Setelah dibagi atas unsur langsungnya, data (206a) kemudian diuji
dengan teknik lesap menjadi sebagai berikut.
(206c) Salebare aweh urmat nyang para hadirin, Ø suwara alon, sacara
apalan, tanpa iringan musik,
„Setelah memberi hormat kepada para hadirin, Ø suara yang pelan,
secara hafalan, tanpa iringan musik,‟
Hasil analisis di atas menyatakan bahwa konjungsi cara kanthi „dengan
cara‟ wajib hadir, apabila konjungsi tersebut dilesapkan maka data menjadi
tidak gramatikal atau tidak berterima. Selanjutnya data (206a) dianalisis dengan
teknik ganti sebagai berikut.
(206d) Salebare aweh urmat nyang para hadirin, kanthi suwara alon,
*mawi
sacara apalan, tanpa iringan musik,
„Setelah memberi hormat kepada para hadirin, dengan cara
*dengan cara
suara yang pelan, secara hafalan, tanpa iringan musik,‟
154
Konjungsi cara kanthi „dengan cara‟ pada data (206d) di atas tidak
dapat diganti dengan kata mawi „dengan cara‟ karena berbeda tingkat tutur.
Kata kanthi „dengan cara‟ merupakan ragam ngoko, sedangkan kata mawi
„dengan cara‟ termasuk ragam krama.
Selain data tersebut ditemukan pula konjungsi cara yang berupa kata
kanthi „dengan cara‟ terdapat dalam data (207) dan (208) berikut.
(207) Masyarakat papane “Menungsa nindhes sapepadhane menungsa”
Kaum borjuis tumindhak sawenang-wenang marang bebrayan sakiwa
tengene sing sarwa kekurangan kanthi migunakake bandha kaskayane.
(PS/2/10/18/4/05/2013).
„Masyarakat di mana "manusia menindas sesama manusia" kaum borjuis
bertindak sewenang-wenang terhadap masyarakat sekitarnya yang serba
kekurangan dengan cara menggunakan harta kekayaannya.‟
(208) Kanthi ngucapake: “Sugeng tindak, Pak Tom”, kelakon gus Wage bali
ndalan; kanthi mripat tundhuk mengisor, ngeling-elingi lelabuhane
suwargi. (PS/1/10/22/1/06/2013).
„Dengan cara mengucapkan: “Selamat jalan, Pak Tom”, gus Wage
kembali pulang; dengan cara mata menunduk ke bawah, mengingat
jasa kebaikan almarhum.‟
Berdasarkan analisis pada data di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa,
penanda konjungsi yang ditemukan dalam penelitian ini meliputi konjungsi
sebab-akibat (mula, merga, sebab), konjungsi pertentangan (dene dan ning),
konjungsi kelebihan (malah dan malahan), konjungsi perkecualian (kajaba),
konjungsi konsesif (nadyan), konjungsi tujuan (supaya), konjungsi penambahan
(uga, lan, sarta), konjungsi pilihan (apa dan utawa), konjungsi urutan (banjur,
njur, terus), konjungsi waktu (sawise, sadurunge, sabanjure), konjungsi syarat
(yen dan manawa), dan konjungsi cara (kanthi). Data mengenai konjungsi
tersebut dapat dilihat pada lampiran nomor 121 sampai dengan 208.
155
Penanda kohesi gramatikal yang ditemukan dalam penelitian terhadap
wacana Gempilan Sejarah: Sang Komponis sing Ora Kapatedhan ing
Katresnan karya Soebagijo I. N. dalam majalah Panjebar Semangat berupa:
pengacuan (referensi), penyulihan (substitusi), pelesapan (elipsis), dan
perangkaian (konjungsi).
2. Penanda Kohesi Leksikal
Penanda kohesi leksikal yang ditemukan dalam penelitian ini meliputi repetisi
(pengulangan), sinonimi (padan kata), antonimi (oposisi makna), kolokasi
(sanding kata), hiponimi (hubungan atas-bawah), dan ekuivalensi (kesepadanan).
Berikut ini adalah uraian penanda kohesi leksikal tersebut.
a. Repetisi (Pengulangan)
Repetisi berarti salah satu jenis kohesi leksikal yang berupa
pengulangan satuan lingual yang dianggap penting secara berturut-turut dalam
sebuah konstruksi. Repetisi dapat dibedakan menjadi sembilan macam, yaitu
repetisi epizeuksis, tautotes, anafora, epistrofa, simploke, mesodiplosis,
epanalepsis, anadiplosis, dan repetisi utuh/penuh. Penanda repetisi yang
terdapat dalam wacana gempilan sejarah antara lain: repetisi epizeuksis,
tautotes, anafora, mesodiplosis, dan anadiplosis.
1) Repetisi Epizeuksis
Repetisi epizeuksis merupakan pengulangan satuan lingual (kata) yang
dipentingkan beberapa kali secara berturut-turut. Repetisi ini dapat dilihat pada
data berikut.
156
(209) Lha bareng wis krasa manawa kesarasane wiwit bali pulih, dheweke
usul nyang dulur-dulure: kepiye yen ta saumpama dheweke saiki bali
nyang Jakarta maneh? Bali makarya dadi jurnalis, mandhiri, ora
ngrusuhi dulur-dulur maneh? (PS/1/10/21/25/05/2013).
„Nah setelah merasa jika kesehatannya mulai kembali pulih, dia
mengajukan usul pada saudara-saudaranya: bagaimana jika
seumpamanya dia sekarang kembali ke Jakarta lagi? Kembali bekerja
jadi jurnalis, mandiri, tidak mengganggu saudara-saudara lagi?‟
Tampak pada tuturan (209) terdapat repetisi epizeuksis yaitu satuan
lingual bali „kembali‟ yang diulang beberapa kali secara berturut-turut untuk
menekankan pentingnya satuan lingual tersebut dalam konteks tuturan itu. Data
(209) di atas dibagi atas unsur langsungnya dengan teknik BUL sebagai berikut.
(209a) Lha bareng wis krasa manawa kesarasane wiwit bali pulih, dheweke
usul nyang dulur-dulure:
„Nah setelah merasa jika kesehatannya mulai kembali pulih, dia
mengajukan usul pada saudara-saudaranya:‟
(209b) kepiye yen ta saumpama dheweke saiki bali nyang Jakarta maneh?
„bagaimana jika seumpamanya dia sekarang kembali ke Jakarta lagi?‟
(209c) Bali makarya dadi jurnalis, mandhiri, ora ngrusuhi dulur-dulur
maneh?
Kembali bekerja jadi jurnalis, mandiri, tidak mengganggu saudara-
saudara lagi?‟
Setelah dibagi atas unsur langsung, data (209) kemudian dianalisis
dengan teknik lesap sebagai berikut.
(209d) Lha bareng wis krasa manawa kesarasane wiwit Ø pulih, dheweke
usul nyang dulur-dulure: kepiye yen ta saumpama dheweke saiki Ø
nyang Jakarta maneh? Ø makarya dadi jurnalis, mandhiri, ora
ngrusuhi dulur-dulur maneh?
„Nah setelah merasa jika kesehatannya mulai Ø pulih, dia mengajukan
usul pada saudara-saudaranya: bagaimana jika seumpamanya dia
sekarang Ø ke Jakarta lagi? Ø bekerja jadi jurnalis, mandiri, tidak
mengganggu saudara-saudara lagi?‟
157
Penggalan tuturan (209) apabila dianalisis dengan teknik lesap, apabila
kata bali „kembali‟ dilesapkan, maka data tersebut masih tetap gramatikal atau
berterima. Namun akan lebih baik lagi jika kata tersebut tetap dihadirkan, agar
kalimatnya lebih lengkap dan jelas.
Selain data tersebut ditemukan pula repetisi epizeuksis tampak pada data
(210) sampai dengan (219) berikut.
(210) Sok-sok bae, dheweke manggrok neng warung “Asih” ing Kapasan;
pesen panganan sing murah-murah bae, iya sekedhar kanggo nglipur
atine sing wuyung. Ndah iba kageting atine, rikala nuju sawiji dina
dheweke krungu warta, yen Pak Tom, seda kapundhut GUSTI. Nadyan
awake renta, ringkih, ewasemono dheweke nekad nedya nglayat, yen
bisa melu ngeterake neng papasan pasareyan pemimpin agung kuwi.
(PS/3/9/22/1/06/2013).
„Kadang-kadang saja, dia menetap di warung "Asih" di Kapasan;
memesan makanan yang murah-murah saja, ya sekedar untuk
menghibur hatinya yang kasmaran. Ndah terkejut bagaimana hatinya,
ketika suatu hari dia mendengar berita, jika Pak Tom, meninggal.
Meskipun dirinya rentan, lemah, namun dia tetep melayat, jika dapat
ikut mengantarkan pemakaman pemimpin tertinggi itu.‟
(211) Meh saben dina Soepratman nekani Gedung Pertemuan sing ana gang
Kenari. Gedhong iki duweke Mohammad Husni Thamrin, pejuang saka
betawi, sarta kanthi sengaja masrahake gedhong mau nyang gerakan
kebangsaan. Saben partai politik utawa ormas bisa migunakake
gedhong mau. (PS/1/10/18/4/05/2013).
„Hampir setiap hari Soepratman menghadiri gedung pertemuan yang
berada di gang Kenari. Gedung ini milik Mohammad Husni Thamrin,
pejuang dari Betawi, dan sengaja memberikan gedung tadi pada
gerakan kebangsaan. Setiap partai politik atau organisasi dapat
menggunakan gedung tadi.‟
(212) [...] Geneya teka ora ngarang buku?” Soepratman sajak kaget. Buku?
Ha gek buku sing kaya ngapa sing kudu ditulis?
(PS/2/10/18/4/05/2013).
„[...] Mengapa tidak mengarang buku?" Soepratman terkejut. Buku? Ha
buku yang seperti apa yang harus saya tulis?‟
(213) Kepanduan Bangsa Indonesia, kacu sing dikalungake ing gulu merah-
putih. Ukarane migunakake ukara basa Indonesia jaman kuwi, merga
158
gelar yektine basa Indonesia mula isih lagi berkembang, lagi mungup-
mungup dipigunakake dening saperangane bangsa Indonesia dhewe.
(PS/1/10/19/11/05/2013).
„Kepanduan Bangsa Indonesia, saputangan merah-putih yang
dikalungkan di leher. Kalimatnya menggunakan kata-kata bahasa
Indonesia saat itu, karena judul sejatinya bahasa Indonesia masih
berkembang lagi, mulai muncul digunakan oleh beberapa bangsa
Indonesia sendiri.‟
(214) Tegese maneh, kita tetep njunjung dhuwur, ngajeni basa Indonesia.
Ning, babarpisan ora kena nglalekake utawa ngiwakake basa Ibu, basa
dhaerah. Kanggone kita, cetha banget, basa Jawa.
(PS/3/9/20/18/05/2013).
„Itu berarti, kita tetap menjunjung tinggi, menghormati bahasa
Indonesia. Tapi, sama sekali tidak boleh lupa atau mengabaikan bahasa
Ibu, bahasa daerah. Bagi kita, sangat jelas, bahasa Jawa.‟
(215) Sing bakal nyanyekake, sawijining kenya, udakara umur 15 taunan.
Karuwan bae, para hadirin padha kaget sajak gawok, kepengin weruh
sapa baya kenya sing wani ngumandhangake “Indonesia Raya” iki ing
ndalem tetembungan. (PS/3/9/20/18/05/2013).
„Yang akan menyanyikan, salah satu gadis, kurang lebih berumur 15
tahun. Tentu saja, para hadirin terkejut agak keheranan, ingin tahu siapa
gadis yang berani menyanyikan “Indonesia Raya” ini yang dalam
nyanyian.‟
(216) Ing sakawit mula ora ngira ora ngimpi, manawa tembung “Merdeka,
merdeka” ing ndalem lagu mau kelakon bisa nuwuhake semangat
nasionalisme, semangat kebangsaan, semangat tresna tanah-wutah-
getih ing sanubarine bangsa Indonesia. (PS/2/10/20/18/05/2013).
„Di awal tidak mengira tidak mimpi, bahwa kata "Merdeka, merdeka" di
dalam lagu tadi dapat menimbulkan semangat nasionalisme, semangat
kebangsaan, semangat cinta tanah tumpah darah di sanubari bangsa
Indonesia.‟
(217) Papane mula tenang, luwih tenang katimbang Cimahi. Masyarakat-e
iya tenang; isih durung kambon semangat gerakan nasional, utawa
rame-rame liyane maneh sebangsane ngono mau.
(PS/1/10/21/25/05/2013).
„Tempat tinggalnya tenang, lebih tenang daripada Cimahi.
Masyarakatnya juga tenang; masih belum tercium semangat pergerakan
nasional, atau keramaian lainnya seperti itu.‟
(218) Lha iki sing njalari Soepratman kaya-kaya bali tangi maneh Semangat
nasionalismene. Bribik-bribik saka sethithik wiwit tuwuh maneh.
159
Ghairah kepengin bali urip maneh, rasa sing ing sakawit meh pupus,
entek, saiki wiwit thukul maneh. (PS/3/10/21/25/05/2013).
„Nah ini yang menyebabkan Soepratman seperti kembali bangkit lagi
semangat nasionalismenya. Bribik-bribik dari sedikit mulai tumbuh lagi.
Gairah ingin kembali hidup lagi, rasa yang hampir semua mati, berakhir,
sekarang mulai tumbuh lagi.‟
(219) Landa wedi, yen Bung Karno bakal dipigunakake Jepang, mula rikala
pasukan Jepang wis arep ndharat neng Sumatra, Bung Karno
dipindhah nyang Padang. Karepe si Landa, saka kono Bung Karno
arep diungsekake nyang Australia. Neng sekuthu wis kentekan kapal,
ora ana piranti sing kena lan bisa ngangkut Bung Karno sakulawarga.
(PS/2/10/22/1/06/2013).
„Belanda ketakutan, jika Bung Karno akan digunakan Jepang, maka
ketika pasukan Jepang akan mendarat di Sumatra, Bung Karno
dipindah ke Padang. Inginnya si Belanda, dari sana Bung Karno akan
diungsikan ke Australia. Tapi sekutu sudah kehabisan kapal, tidak ada
alat yang dapat dan bisa mengangkut Bung Karno sekeluarga.‟
2) Repetisi Tautotes
Repetisi tautotes merupakan pengulangan satuan lingual (sebuah kata)
beberapa kali dalam sebuah kontruksi. Berikut repetisi tautotes yang terdapat
dalam wacana gempilan sejarah tersebut.
(220) Omahe ing Gang Tengah Paseban kana kae, cedhak ril sepur. Dalan
sing nuju omahe kebak blethok yen udan, kebak bledug yen mangsa
ketiga. (PS/1/10/23/8/06/2013).
„Rumahnya di Gang Tengah Paseban sana, dekat rel kereta. Jalan yang
menuju rumahnya penuh lumpur jika hujan, penuh debu jika musim
kemarau.‟
Kepaduan wacana tersebut didukung oleh adanya penanda kohesi
leksikal yang berupa repetisi tautotes pada satuan lingual omahe „rumahnya‟
yang diulang beberapa kali. Pengulangan satuan lingual omahe „rumahnya‟
berfungsi untuk menekankan dan menjelaskan bahwa satuan lingual tersebut
penting dalam wacana data (220). Kemudian data (220) dianalisis dengan
menggunakan teknik bagi unsur langsung sebagai berikut.
160
(220a) Omahe ing Gang Tengah Paseban kana kae, cedhak ril sepur.
„Rumahnya di Gang Tengah Paseban sana, dekat rel kereta.‟
(220b) Dalan sing nuju omahe kebak blethok yen udan, kebak bledug yen
mangsa ketiga.
„Jalan yang menuju rumahnya penuh lumpur jika hujan, penuh debu
jika musim kemarau.‟
Selanjutnya data (220) di atas dianalisis dengan teknik lesap. Hasilnya
adalah sebagai berikut.
(220c) Ø ing Gang Tengah Paseban kana kae, cedhak ril sepur. Dalan sing
nuju Ø kebak blethok yen udan, kebak bledug yen mangsa ketiga.
„Ø di Gang Tengah Paseban sana, dekat rel kereta. Jalan yang menuju
Ø penuh lumpur jika hujan, penuh debu jika musim kemarau.‟
Analisis dengan teknik lesap pada data (220) ternyata data menjadi tidak
gramatikal atau tidak berterima. Hal itu disebabkan karena unsur yang penting
dalam wacana tersebut dilesapkan, sehingga wacana menjadi tidak kohesif.
Dengan demikian, satuan lingual omahe „rumahnya‟ wajib hadir dalam wacana
tersebut.
3) Repetisi Anafora
Repetisi anafora ialah pengulangan satuan lingual berupa kata atau frasa
pertama pada tiap baris atau kalimat berikutnya. Data yang menunjukkan
repetisi anafora adalah sebagai berikut.
(221) Apa sing narik kawigatene gus Wage, ora nate ditelusuri. Apa merga
saka prasajane Si Mujenah? Apa merga saka apane?
(PS/1/9/21/25/05/2013).
„Apa yang menarik gus Wage, tidak pernah ditelusuri. Apa karena dari
kesederhanaan si Mujenah? Apa karena dari apanya?‟
Penggalan wacana (221) di atas terdapat repetisi anafora yaitu pada kata
apa „apa‟ yang diulang sebanyak tiga kali pada awal baris. Pengulangan kata
161
apa „apa‟ berfungsi menjelaskan bahwa kata tersebut sangat penting dalam
kalimat (221). Data (221) di atas diuji dengan teknik BUL sebagai berikut.
(221a) Apa sing narik kawigatene gus Wage, ora nate ditelusuri.
„Apa yang menarik gus Wage, tidak pernah ditelusuri.‟
(221b) Apa merga saka prasajane Si Mujenah?
„Apa karena dari kesederhanaan si Mujenah?‟
(221c) Apa merga saka apane?
„Apa karena dari apanya?‟
Kemudian data (221) tersebut diuji dengan teknik lesap sebagai berikut.
(221d) Ø sing narik kawigatene gus Wage, ora nate ditelusuri. Ø merga saka
prasajane Si Mujenah? Ø merga saka apane?
„Ø yang menarik gus Wage, tidak pernah ditelusuri. Ø karena dari
kesederhanaan si Mujenah? Ø karena dari apanya?‟
Setelah data diuji dengan teknik lesap ternyata kata apa „apa‟ pada data
(221) di atas wajib hadir dalam wacana untuk menghindari ketidaklengkapan
informasi. Repetisi anafora apa „apa‟ apabila dilesapkan maka wacana menjadi
tidak gramatikal atau tidak berterima.
4) Repetisi Mesodiplosis
Repetisi mesodiplosis adalah pengulangan satuan lingual di tengah-
tengah baris atau kalimat berturut-turut. Contoh data yang mengandung repetisi
mesodiplosis yang ditemukan dalam penelitian adalah sebagai berikut.
(222) Ukurane banget prasajane; gampang diapal. Lagune dhewe iya
gampang dinyanyekake. (PS/2/9/19/11/05/2013).
„Ukurannya sangat sederhana; mudah dihafal. Lagunya sendiri ya
mudah dinyanyikan.‟
Pada wacana (222) di atas terdapat adanya repetisi mesodiplosis yaitu
pada kata gampang „mudah‟ yang diulang dua kali di tengah-tengah kalimat.
162
Pengulangan kata gampang „mudah‟ berfungsi untuk menekankan dan
menjelaskan bahwa kata tersebut penting dalam wacana (222). Kemudian data
(222) dibagi atas unsur langsungnya menjadi sebagai berikut.
(222a) Ukurane banget prasajane; gampang diapal.
„Ukurannya sangat sederhana; mudah dihafal.‟
(222b) Lagune dhewe iya gampang dinyanyekake.
„Lagunya sendiri ya mudah dinyanyikan.‟
Selanjutnya data (222) dianalisis dengan teknik lesap, hasilnya adalah
sebagai berikut.
(222c) Ukurane banget prasajane; Ø diapal. Lagune dhewe iya Ø
dinyanyekake. (PS/2/9/19/11/05/2013).
„Ukurannya sangat sederhana; Ø dihafal. Lagunya sendiri ya Ø
dinyanyikan.‟
Analisis data (222) di atas menyatakan bahwa apabila repetisi
mesodiplosis gampang „mudah‟ wajib hadir. Kata gampang „mudah‟ tersebut
apabila dilesapkan maka kalimatnya menjadi tidak gramatikal atau tidak
berterima.
5) Repetisi Anadiplosis
Repetisi anadiplosis merupakan pengulangan satuan lingual kata atau
frasa terakhir dari baris atau kalimat itu menjadi kata atau frasa pertama pada
baris atau kalimat berikutnya. Di bawah ini merupakan contoh data repetisi
anadiplosis yang ditemukan dalam penelitian wacana gempilan sejarah.
(223) Mula, kajaba bab musik, Soepratman uga ora lali, bisa bae dansa-
dansa barang ngono kuwi karo nonik. Nonik ing tangsi kono, bab sing
dhek samana isih mujudake prakara sing didohi dening bebrayan
Indonesia. (PS/2/10/17/27/04/2013).
163
„Jadi, kecuali musik, Soepratman juga tidak lupa, juga bisa menari-nari
seperti itu dengan Nonik. Nonik di tangsi sana, hal-hal yang saat itu
masih mewujudkan masalah yang dijauhi oleh masyarakat Indonesia.‟
Tampak adanya repetisi anadiplosis pada data (223) di atas ditunjukkan
dengan kata nonik „nonik‟ yang diulang dua kali pada akhir dan awal kalimat.
Pengulangan anadiplosis nonik „nonik‟ berfungsi untuk menjelaskan bahwa
kata tersebut berperan penting dalam data (223). Selanjutnya data (223) diuji
dengan teknik BUL, hasilnya sebagai berikut.
(223a) Mula, kajaba bab musik, Soepratman uga ora lali, bisa bae dansa-
dansa barang ngono kuwi karo nonik.
„Jadi, kecuali musik, Soepratman juga tidak lupa, juga bisa menari-nari
seperti itu dengan Nonik.‟
(223b) Nonik ing tangsi kono, bab sing dhek samana isih mujudake prakara
sing didohi dening bebrayan Indonesia.
„Nonik di tangsi sana, hal-hal yang saat itu masih mewujudkan
masalah yang dijauhi oleh masyarakat Indonesia.‟
Data (223) dianalisis dengan teknik lesap menjadi sebagai berikut.
(223d) Mula, kajaba bab musik, Soepratman uga ora lali, bisa bae dansa-
dansa barang ngono kuwi karo Ø. Ø ing tangsi kono, bab sing dhek
samana isih mujudake prakara sing didohi dening bebrayan
Indonesia.
„Jadi, kecuali musik, Soepratman juga tidak lupa, juga bisa menari-nari
seperti itu dengan Ø. Ø di tangsi sana, hal-hal yang saat itu masih
mewujudkan masalah yang dijauhi oleh masyarakat Indonesia.‟
Hasil analisis dengan teknik lesap pada data (223d) di atas ternyata kata
nonik „nonik‟ wajib hadir. Kata nonik „nonik‟ apabila dilesapkan maka kalimat
menjadi tidak gramatikal atau tidak berterima serta informasi yang disampaikan
menjadi tidak jelas dan tidak lengkap. Selain data tersebut ditemukan pula
repetisi anadiplosistampak pada data (224) berikut.
164
(224) Kandhane nyang Mas Imam: “Mas, aku iki sawijining titah sing cilaka.
Cilaka mencit kae!”. (PS/3/9/24/15/06/2013).
„Katanya pada mas Imam: “Mas, saya ini salah satu manusia yang
celaka. Celaka mencit itu!”.‟
Dari analisis pada data di dalam penelitian wacana Gempilan Sejarah:
Sang Komponis sing Ora Kapatedhan ing Katresnan karya Soebagijo I. N.
dalam majalah Panjebar Semangat ditemukan penanda kohesi leksikal yang
berupa repetisi atau pengulangan meliputi repetisi epizeuksis, repetisi tautotes,
repetisi anafora, repetisi mesodiplosis, dan repetisi anadiplosis. Data mengenai
pengacuan atau referensi tersebut dapat dilihat pada lampiran nomor 209
sampai dengan 224.
b. Sinonimi (Padan Kata)
Sinonimi atau padan kata ialah salah satu kohesi leksikal yang berupa
satuan lingual yang maknanya mirip atau sama dengan satuan lingual lain
dalam wacana. Sinonimi yang terdapat dalam penelitian wacana gempilan
sejarah adalah sebagai berikut.
1) Sinonimi kata dengan kata
Di bawah ini penanda sinonimi kata dengan kata yang terdapat dalam
penelitian.
(225) Njur kegugah atine, kepengin dadi jurnalis utawa wartawan.
(PS/3/10/17/27/04/2013).
„Kemudian tergugah hatinya, ingin menjadi seorang jurnalis atau
wartawan.‟
Pada wacana (225) di atas terdapat sinonimi kata dengan kata yaitu kata
jurnalis dengan kata wartawan yang mendukung kepaduan sebuah wacana.
Kedua kata tersebut mempunyai kesamaan makna, sehingga pengujian dengan
165
menggunakan teknik ganti tidak perlu dilakukan karena kata jurnalis dengan
kata wartawan sudah saling menggantikan. Kemudian data di atas diuji dengan
teknik BUL yaitu dibagi atas unsur langsungnya menjadi sebagai berikut.
(225a) Njur kegugah atine,
„Kemudian tergugah hatinya,‟
(225b) kepengin dadi jurnalis utawa wartawan.
„ingin menjadi seorang jurnalis atau wartawan.‟
Selanjutnya data (225b) dianalisis dengan teknik lesap sebagai berikut.
(225c) kepengin dadi Ø utawa Ø.
„ingin menjadi seorang Ø atau Ø.‟
Sinonimi kata jurnalis dengan kata wartawan pada data (225) di atas
wajib hadir karena apabila sinonimi tersebut dilesapkan maka wacana di atas
menjadi tidak gramatikal.
Selain data tersebut ditemukan pula sinonimi kata dengan kata
lainnyatampak pada data (226) sampai dengan (228) berikut.
(226) Mula iya persasat saben irung, sapa bae, ora perduli mung tamatan SD
apa malahan ora tutug pisan, yen gelem dadi jurnalis, ha hiya kono
nulis artikel, karangan, bisa diemot (ning durung kinar yen nampa
honorarium utawa imbalan). Ati wis seneng, ati wis marem...
(PS/3/10/17/27/04/2013).
„Maka ya setiap orang, siapa saja, tidak peduli hanya tamatan SD apa
bahkan tidak lulus sekalipun, jika ingin menjadi seorang jurnalis, ha ya
situ menulis artikel, karangan, bisa dimuat (tapi belum tentu jika
menerima honor atau imbalan). Hati sudah senang, hati sudah puas...‟
(227) Ning, sing paling penting, paling wigati: ora susah melu Soepratman.
(PS/3/9/21/25/05/2013).
„Tapi, yang paling penting, yang paling penting: tidak perlu ikut
Soepratman.‟
(228) Uga ing ndalem pendhidhikan lan pengajaran nasional.
(PS/2/10/24/15/06/2013).
„Juga di dalam pendidikan dan pengajaran nasional.‟
166
2) Sinonimi kata dengan frasa atau sebaliknya
Sinonimi kata dengan frasa dapat dilihat pada data berikut ini.
(229) Satemene Ketua Kongres isih ragu utawa durung patia sreg, rikala
ngidinake Soepratman nglagokake lagu gubahan mau.
(PS/3/10/19/11/05/2013).
„Tentunya kepala Kongres masih ragu atau kurang nyaman, ketika
mengijinkan Soepratman menyanyikan lagu susun tadi.‟
Tampak adanya penanda kohesi leksikal berupa sinonimi kata dengan
frasa yang mendukung kepaduan wacana (229) yaitu pada kata ragu „ragu‟
dengan frasa durung patia sreg „kurang nyaman‟. Kemudian data di atas dibagi
atas unsur langsungnya menjadi sebagai berikut.
(229a) Satemene Ketua Kongres isih ragu utawa durung patia sreg,
„Tentunya kepala Kongres masih ragu atau kurang nyaman,‟
(229b) rikala ngidinake Soepratman nglagokake lagu gubahan mau.
„ketika mengijinkan Soepratman menyanyikan lagu susun tadi.‟
Setelah dibagi atas unsur langsungnya data (229a) dianalisis dengan
teknik lesap menjadi sebagai berikut.
(229c) Satemene Ketua Kongres isih Ø utawa Ø,
„Tentunya kepala Kongres masih Ø atau Ø,‟
Sinonimi kata dengan frasa yaitu pada kata ragu „ragu‟ dengan frasa
durung patia sreg „kurang nyaman‟ apabila dilesapkan maka data di atas
menjadi tidak gramatikal atau tidak berterima. Sehingga kedua penanda kohesi
leksikal sinonimi tersebut wajib hadir, agar informasi yang disampaikan bisa
diterima dengan jelas dan lengkap. Analisis dengan teknik ganti tidak perlu
dilakukan, karena kata ragu „ragu‟ dengan frasa durung patia sreg „kurang
nyaman‟ tersebut sudah saling menggantikan.
167
Jenis sinonimi kata dengan frasa atau sebaliknya juga terdapat dalam
data (230) sampai dengan (236) berikut.
(230) Wondene, bab sing kaya mangkono mau, merga kagawa saka bombong
utawa mongkoging atine bebrayan kono, dene ana sawijining wanita
saka desa Somongsari bisa mbabarake (nglairake) sawenehing
pahlawan nasional. (PS/3/9/17/27/04/2013).
„Sementara itu, hal-hal yang seperti itu tadi, karena terbawa dari senang
atau bangga hatinya masyarakat sana, dan ada seorang wanita dari desa
Somongsari bisa melahirkan seorang pahlawan nasional.‟
(231) Rampung anggone ngarang, banjur mikir-mikir gek bukune mau arep
diwenehi judul/sesirah/titel apa?. (PS/2/10/18/4/05/2013).
„Selesai olehnya mengarang, kemudian berfikir bukunya tadi akan diberi
judul apa?.‟
(232) Soepratman, ngerti manawa sakehing cita-cita utawa gegayuhan
tangeh lamun bisane kecendhak, yen ta sarana utawa materi sing
kanggo nggayuh gegayuhane mau ora nyukupi. (PS/3/9/18/4/05/2013).
„Soepratman, mengerti bahwa semua cita-cita atau keinginan tidak
akan tercapai, jika sarana atau materi untuk mencapai keinginannya tadi
tidak memadai.‟
(233) Ha mula iya wis wiwit rikala samana, hubungan utawa kerja sama
antarane kaum pergerakan lan kaum jurnalis (Indonesia) cukup
becike.(PS/3/9/19/11/05/2013).
„Maka mulai saat itu, hubungan atau kerjasama antara kaum
pergerakan dan wartawan (Indonesia) cukup baik.‟
(234) Hebate kenya cilik iki tanpa isin-isin, tanpa rumangsa rikuh apa
kepiye, maju neng podium/mimbar. (PS/1/9/20/18/05/2013).
„Hebatnya gadis kecil ini tanpa malu-malu, tanpa merasa malu apa
bagaimana, maju di podium/mimbar.‟
(235) Kabeh mung padha nyawang lan ndeleng nyang bocah wadon kuwi
mau. (PS/1/10/20/18/05/2013).
„Semua hanya melihat dan menatap kepada gadis itu tadi.‟
(236) Lha iya kuwi, ing kene hebate Salamah babarpisan ora nate ngeluh
adhuh, ora nate sambat kekurangan. (PS/1/10/23/8/06/2013).
„Lha ya itu, di sini hebatnya Salamah tidak pernah mengeluh sama
sekali, tidak pernah mengeluh kekurangan.
168
3) Sinonimi frasa dengan frasa
Penanda kohesi leksikal berupa sinonimi frasa dengan frasa dapat dilihat
pada data di bawah ini.
(237) Lagi suwene selapan dina utawa 35 dina, laras karo adat Jawa, si bayi
lagi digawa bali nyang Jatinegara, Mbok Siti Senen kumpul maneh karo
sing lanang, Kartodikromo sing nyambut gawe dadi serdhadhu KNIL
(Koninklijke Nederlands Indisch Leger). (PS/3/9/17/27/04/2013).
„Baru lamanya selapan dina atau 35 hari, menurut tradisi Jawa, bayi
baru dibawa kembali ke Jatinegara, Bu Siti Senen kumpul kembali
dengan suaminya, Kartodikromo yang bekerja sebagai tentara KNIL
(Koninklijke Nederlands Indische Leger).‟
Penggalan wacana (237) di atas terdapat sinonimi frasa dengan frasa
yaitu frasa selapan dina dengan frasa 35 dina. Kedua satuan lingual
tersebutmendukung kepaduan suatu wacana. Selanjutnya data (237) dibagi atas
unsur langsungnya dengan teknik BUL sebagai berikut.
(237a) Lagi suwene selapan dina utawa 35 dina, laras karo adat Jawa, si
bayi lagi digawa bali nyang Jatinegara,
„Baru lamanya selapan dina atau 35 hari, menurut tradisi Jawa, bayi
baru dibawa kembali ke Jatinegara,‟
(237b) Mbok Siti Senen kumpul maneh karo sing lanang, Kartodikromo sing
nyambut gawe dadi serdhadhu KNIL (Koninklijke Nederlands Indisch
Leger).
„Bu Siti Senen kumpul kembali dengan suaminya, Kartodikromo yang
bekerja sebagai tentara KNIL (Koninklijke Nederlands Indische
Leger).‟
Data (237a) diuji dengan teknik lesap, hasilnya adalah sebagai berikut.
(237c) Lagi suwene selapan dina utawa 35 dina, laras karo adat Jawa, si
bayi lagi digawa bali nyang Jatinegara,
„Baru lamanya selapan dina atau 35 hari, menurut tradisi Jawa, bayi
baru dibawa kembali ke Jatinegara,‟
169
Hasil analisis data (237c) di atas adalah bahwa sinonimi frasa selapan
dina dengan frasa 35 dina wajib hadir, apabila sinonimi tersebut dilesapkan
maka wacana menjadi tidak gramatikal atau tidak berterima.
Selain data tersebut ditemukan pula sinonimi frasa dengan frasa atau
sebaliknya tampak pada data (238) sampai dengan (250) berikut.
(238) Dianakake upacara ngibarake gendera Sang Gula-Klapa utawa sang
Dwiwarna, iya sang Merah-Putih. (PS/1/9/17/27/04/2013).
„Diadakan upacara pengibaran bendera Sang Gula-Klapa atau sang
Dwiwarna, ya sang Merah-Putih.‟
(239) Karampungane, buku crita mau diwenehi judul “Perawan Desa”.
Nyeritakake lelakon kenya saka desa [...]. (PS/2/10/18/4/05/2013).
„Selanjutnya, buku cerita tadi akan diberi judul “Perawan Desa”.
Menceritakan perjalanan gadis dari desa [...].‟
(240) Wiwit nyoba, nulis ukara mbaka ukara. Krasa sayah, leren sedhela.
Salebare kuwi banjur nutugake anggone nggupit carita ngrumpaka
ukara mau. Oleh salembar rong lembar, diwaca maneh, lha esuke
maneh ditutugake anggone ngarang kuwi mau. (PS/2/10/18/4/05/2013).
„Mulai mencoba, menulis kalimat demi kalimat. Merasa lelah, istirahat
sebentar. Setelah itu kemudian meneruskan olehnya mengarang cerita
tadi. Dapat satu lembar dua lembar, dibaca lagi, nah paginya lagi
dilanjutkan olehnya mengarang itu tadi.‟
(241) Bareng arep sekolah, diperlokake Akte-Kelairane, surat tandha bukti
kelairan. (PS/3/9/17/27/04/2013).
„Ketika mau sekolah, diperlukan Akta-Kelahirannya, surat tanda
bukti kelahiran.‟
(242) Kelakon dicathet lan ditulis ing rapor, ing ijazah.
(PS/1/10/17/27/04/2013).
„Pasti akan dicatat dan ditulis di raport, di ijazah.‟
(243) Temenan! Durung nganti buku mau kelakon dititipake nyang toko-toko
buku sing sakira gelem melu ngedolake, kaselak ana perintah saka
kepulisian, isine: ora kena ngedol utawa ngiderake buku mau.
(PS/3/10/18/4/05/2013).
„Jelas! Belum sampai buku tadi dititipkan di toko-toko buku yang
sekiranya mau ikut menjualkan, yang tidak dapat disangkal ada perintah
170
dari kepolisian, isinya meliputi: tidak boleh menjual atau
mengedarkan buku tadi.‟
(244) Sajak-sajake pemerintah Landa iya ora ketledoran, tandang grayange
Soepratman selawase iki terus dikuntit, dibuntuti, diwaspadani bae.
(PS/3/10/18/4/05/2013).
„Tampaknya pemerintah Belanda tidak ketledoran, tingkah laku
Soepratman selamanya ini terus diikuti, diikuti, diwaspadai.‟
(245) Ha mula kuwi, kudu diendheg, disetop. (PS/3/10/18/4/05/2013).
„Ha maka dari itu, telah dihentikan, berhenti.‟
(246) Anggone nyelengi, nglumpukake mbaka sethithik, iya kanthi tujuan
kanggo nyithak buku kuwi mau. (PS/3/10/18/4/05/2013).
„Olehnya menyimpan, mengumpulkan secara bertahap, ya dengan
tujuan untuk mencetak buku itu tadi.‟
(247) Hawane kutha Cimahi sing adhem sejuk, kathik ndina-ndinane gus
Wage ora perlu mikirake apa sing arep dipangan dina kuwi, jer kabeh-
kabeh wis sumadhiya lan cumepak. (PS/1/10/21/25/05/2013).
„Udaranya kota Cimahi yang sejuk, setiap harinya gus Wage tidak perlu
memikirkan apa yang ingin dimakan hari itu, karena semuanya telah
tersedia dan siap.‟
(248) Ha hiya ora nggumunake, kaum pergerakan bareng krungu warta bab
anane komponis neng Surabaya, banjur padha merlokake nekani. Perlu
tepungan utawa ya nyambung silaturrahmi. (PS/2/10/21/25/05/2013).
„Ha ya tidak heran, kaum pergerakan ketika mendengar berita tentang
keberadaan komponis di Surabaya, kemudian mereka perlu mendatangi.
Perlu menemui atau ya menyambung tali silaturrahmi.‟
(249) Salamah dhewe tuna-aksara alias buta-huruf. (PS/2/9/23/8/06/2013).
„Salamah sendiri tuna-aksara alias buta huruf.‟
Berdasarkan analisis pada data di atas penanda sinonimi atau padan kata
yang terdapat dalam penelitian ini berupa sinonimi kata dengan kata, sinonimi
kata dengan frasa atau sebaliknya, dan sinonimi frasa dengan frasa. Data-data
mengenai sinonimi dapat dilihat pada lampiran nomor 225 sampai dengan 249.
171
c. Antonimi (Oposisi Makna)
Antonimi (Oposisi Makna) adalah salah satu kohesi leksikal berupa
satuan lingual yang maknanya berlawanan dengan satuan lingual lain dalam
wacana. Berdasarkan sifatnya, antonimi terbagi atas 5 macam, yaitu: oposisi
mutlak, oposisi kutub, oposisi hubungan, oposisi hirarkial, dan oposisi
majemuk. Oposisi makna yang terdapat dalam penelitian ini adalah oposisi
mutlak, oposisi kutub, oposisi hubungan, dan oposisi hirarkial.
1) Oposisi Mutlak
Oposisi mutlak ialah pertentangan makna secara mutlak. Berikut adalah
contoh data penanda kohesi leksikal oposisi mutlak yang terdapat dalam
penelitian ini.
(250) Miturut ujaring sawatara mitrane, Soepratman mula lagi nandhang lair
batin. (PS/3/10/20/18/05/2013).
„Menurut perkataan beberapa temannya, Soepratman baru menderita
lahir batin.‟
Wacana (250) di atas terdapat oposisi mutlak pada kata lair „lahir‟ dan
batin „batin‟. Kehadiran oposisi makna dalam sebuah wacana akan menjadikan
kata dalam sebuah wacana menjadi lebih bervariasi. Selanjutnya data (250)
dibagi atas unsur langsungnya sebagai berikut.
(250a) Miturut ujaring sawatara mitrane,
„Menurut perkataan beberapa temannya,‟
(250b) Soepratman mula lagi nandhang lair batin.
„Soepratman baru menderita lahir batin.‟
Setelah dibagi atas unsur langsungnya, data (250b) diuji dengan teknik
lesap. Hasilnya adalah sebagai berikut.
172
(250c) Soepratman mula lagi nandhang ØØ.
„Soepratman baru menderita Ø Ø.‟
Penanda kohesi leksikal oposisi mutlak yaitu pada kata lair „lahir dan
batin „batin‟ apabila dilesapkan, maka data tersebut menjadi tidak berterima
atau tidak gramatikal dan informasi yang tersampaikan kurang jelas. Jadi satuan
lingual lair „lahir‟ dan batin „batin‟ wajib hadir dalam wacana (250).
Selain data tersebut ditemukan pula oposisi mutlak pada satuan lingual
ngibarake „mengibarkan‟ dan ngedhunake „menurunkan‟ yang terdapat dalam
data (251) berikut.
(251) Ing ndalem upacara ngibarake utawa ngedhunake gendera Merah-
Putih. (PS/2/10/24/15/06/2013).
„Di dalam upacara mengibarkan atau menurunkan bendera Merah-
Putih.‟
2) Oposisi Kutub
Oposisi kutub adalah pertentangan makna yang tidak bersifat mutlak,
tetapi bersifat gradasi (ada tingkatan makna). Contoh data penanda kohesi
leksikal oposisi kutub adalah sebagai berikut.
(252) Dene bangsane akeh sethithike wis ngakoni asiling karyane. Ngenani
bab penandhange ati rikala isih ana donya, bisa kasisihake.
(PS/2/10/24/15/06/2013).
„Sedangkan bangsanya banyak sedikitnya telah mengakui hasil
karyanya. Mengenai bab penderitaan hati ketika masih di dunia, dapat
dikesampingkan.‟
Tampak pada data (252) terdapat oposisi kutub yaitu pada kata akeh
„banyak‟ dan sethithik „sedikit‟. Data (252) tersebut kemudian dibagi atas unsur
langsungnya dengan teknik BUL menjadi sebagai berikut.
(252a) Dene bangsane akeh sethithike wis ngakoni asiling karyane.
173
„Sedangkan bangsanya banyak sedikitnya telah mengakui hasil
karyanya.
(252b) Ngenani bab penandhange ati rikala isih ana donya, bisa kasisihake.
Kemudian data (254a)diujidengan teknik lesap sebagai berikut.
(252c) Dene bangsane ØØ wis ngakoni asiling karyane.
„Sedangkan bangsanya Ø Ø telah mengakui hasil karyanya.‟
Oposisi kutub yaitu pada kata akeh „banyak‟ dan sethithik „sedikit‟
pada data di atas apabila dilesapkan, maka data tetap gramatikal atau berterima.
Selain data tersebut ditemukan pula oposisi kutub yang terdapat pada data (253)
sampai dengan (255) berikut.
(253) Ha iya, merga dene kahanan, gelem ora gelem: omah gentheng
disaponi, abot entheng dilakoni. (PS/2/9/18/4/05/2013).
„Ha ya, karena situasi itu, mau tidak mau: rumah genting disapu,
beratringan dijalani.‟
(254) Sakehing lapisan masyarakat; iya sing ana ndhuwur iya sing ana
ngisor. (PS/2/10/18/4/05/2013).
„Semua lapisan masyarakat; ya yang ada di atas ya yang ada di bawah.‟
(255) Mandheg sedhela-sedhela, nganakake owah-owahan kana-kene,
dilarasake karo rasa pirasaning jiwa lan ati dalah pikirane.
(PS/1/10/19/11/05/2013).
„Berhenti sebentar, membuat perubahan di sana-sini, diserasikan
dengan rasa dalam jiwa lan hati serta pikirannya.‟
3) Oposisi Hubungan
Oposisi hubungan adalah oposisi makna yang bersifat saling
melengkapi. Oposisi hubungan dapat dilihat pada data berikut ini.
(256) Cekaking crita, wong loro samengko wis kelakon dadi suami-istri.
(PS/3/9/23/8/06/2013).
„Singkatnya cerita, dua orang tadi telah menjadi suami-istri.‟
174
Pada tuturan (256) di atas terdapat penanda kohesi leksikal oposisi
hubungan yaitu pada kata suami „suami‟ dan istri „istri‟. Kedua kata tersebut
bersifat saling melengkapi, karena kehadiran kata suami „suami‟ akan
bermakna jika dilengkapi dengan kata istri „istri‟. Selanjutnya data (256) dibagi
atas unsur langsungnya dengan teknik BUL, hasilnya sebagai berikut.
(256a) Cekaking crita,
„Singkatnya cerita,‟
(256b) wong loro samengko wis kelakon dadi suami-istri.
„dua orang tadi telah menjadi suami-istri.‟
Setelah dibagi atas unsur langsungnya dengan teknik BUL, kemudian
data (256b) dianalisis dengan teknik lesap sebagai berikut.
(256c) wong loro samengko wis kelakon dadi Ø Ø.
„dua orang tadi telah menjadi Ø Ø.‟
Hasil analisis data (256) di atas menunjukkan bahwa apabila satuan
lingual suami „suami‟ dan istri „istri‟ dilesapkan, maka data menjadi tidak
gramatikal. Oleh karena itu, satuan lingual suami „suami‟ dan istri „istri‟ wajib
hadir. Penanda kohesi leksikal yang berupa oposisi hubungan juga tampak pada
data (257) sampai dengan (261) berikut.
(257) Eee, nadyan ta wis ditambahi nganggo jeneng Landa pisan, WR.
Soepratman tetep ora bisa ditampa ing sekolahe para sinyo karo nonik
kuwi mau. (PS/1/10/17/27/04/2013).
„Eee, meskipun telah menambahkan dengan nama Belanda sekalipun,
WR. Soepratman tetap tidak bisa diterima di sekolahnya sinyo dan
nonik itu tadi.‟
(258) Sedulure WR Soepratman ana lima, dadi putrane pak sersan sing
nunggal bapa-ibu karo Soepratman, ana enem.
(PS/1/10/17/27/04/2013).
„Saudaranya WR Soepratman ada lima, jadi putranya pak sersan yang
sama bapak-ibunya dengan Soepratman, ada enam.‟
175
(259) Kathik ana unen-unen, tumiyunge katresnane biyung iku marang anak
lanang, dene katresnane si bapa tumiyunge marang anak wadon.
(PS/1/10/17/27/04/2013).
„Sebab ada peribahasa, seorang ibu lebih sayang pada anak laki-lakinya,
sedangkan bapak lebih sayang pada anak perempuannya.‟
(260) Sarehne Soepratman manggon ing tangsi, dadi srawunge karo para
nom-noman, lanang wadon cetha luwih omber katimbang ing bebrayan
(Indonesia) umume. (PS/2/10/17/27/04/2013).
„Karena Soepratman tinggal di tangsi, jadi kenalnya dengan para
pemuda, laki-laki dan perempuan jelaslebih banyak daripada di
masyarakat (Indonesia) pada umumnya.‟
(261) Lagu gubahane kenyatan bisa ditampa kalangan mudha; para sing bisa
nerusake lelakone para pinisepuh. (PS/3/10/19/11/05/2013).
„Nyatanya lagu karangannya dapat diterima kalangan muda; hal-hal
yang bisa meneruskan perjalanannya para generasi tua.‟
4) Oposisi Majemuk
Oposisi majemuk adalah artinya oposisi makna yang terjadi pada
beberapa kata (lebih dari dua). Di bawah ini merupakan contoh data yang
menunjukkan adanya penanda kohesi leksikal oposisi hirarkial.
(262) Surasane, para pegawai negeri, yen ta lagu “Indonesia Raya” arep
dikumadhangake, ora perlu ndadak melu ngadeg barang. Cukup tetep
lungguh ing papane bae. (PS/2/10/20/18/05/2013).
„Isinya, para pegawai negeri, jika lagu “Indonesia Raya” akan
dinyanyikan, tidak perlu harus ikut berdiri. Cukup tetap duduk di
tempat saja.‟
Penggalan wacana (262) di atas tampak adanya penanda kohesi leksikal
oposisi majemuk yaitu pada kata ngadeg „berdiri‟ dan lungguh „duduk‟.
Kemudian data (262) diuji dengan teknik BUL, hasilnya adalah sebagai berikut.
(262a) Surasane, para pegawai negeri, yen ta lagu “Indonesia Raya” arep
dikumadhangake, ora perlu ndadak melu ngadeg barang.
„Isinya, para pegawai negeri, jika lagu “Indonesia Raya” akan
dinyanyikan, tidak perlu harus ikut berdiri.‟
176
(262b) Cukup tetep lungguh ing papane bae.
„Cukup tetap duduk di tempat saja.‟
Selanjutnya data (262) dianalisis dengan teknik lesap sebagai berikut.
(262c) Surasane, para pegawai negeri, yen ta lagu “Indonesia Raya” arep
dikumadhangake, ora perlu ndadak melu Ø barang. Cukup tetep Ø ing
papane bae.
„Isinya, para pegawai negeri, jika lagu “Indonesia Raya” akan
dinyanyikan, tidak perlu harus ikut Ø. Cukup tetap Ø di tempat saja.‟
Setelah data (262c) dianalisis dengan teknik lesap pada kata ngadeg
„berdiri‟ dan lungguh „duduk‟, data tersebut menjadi tidak gramatikal atau
tidak berterima. Karena kata-kata tersebut merupakan aspek yang mendukung
kepaduan atau kekohesifan wacana tersebut, sehingga kehadirannya wajib.
Berdasarkan analisis pada data di atas penanda kohesi leksikal yang
berupa antonimi atau oposisi makna yang terdapat dalam wacana gempilan
sejarah meliputi: oposisi mutlak (lair >< batin, dan ngibarake >< ngedhunake),
oposisi kutub (akeh >< sethithik „sedikit‟, abot „berat‟ >< entheng „ringan‟,
ndhuwur „atas‟ >< ngisor „bawah‟, kana „sana‟ >< kene „sini‟), oposisi
hubungan (suami >< istri, sinyo >< nonik, bapa „bapak‟ >< ibu „ibu‟, biyung
„ibu‟ >< bapa „bapak‟, lanang „laki-laki‟ >< wadon „perempuan‟, mudha
„muda‟ >< pinisepuh „tua‟), dan oposisi majemuk (ngadeg >< lungguh). Data
mengenai oposisi makna tersebut dapat dilihat pada lampiran nomor 250
sampai dengan 262.
d. Kolokasi (Sanding Kata)
Kolokasi atau sanding kata adalah kata-kata yang cenderung digunakan
secara berdampingan dalam suatu wacana. Data yang ditemukan dalam
177
penelitian wacana gempilan sejarah yang berupa penanda kohesi leksikal
kolokasi adalah sebagai berikut.
(263) Tembene, Tabrani karo Adinegoro mujudake jurnalis Indonesia sing
gamben; tilas siswa Sekolah Jurnalistik ing Jerman.
(PS/1/9/20/18/05/2013).
„Baru saja, Tabrani dan Adinegoro wujudkan jurnalis Indonesia yang
gamben; pernah menjadi siswa Sekolah Jurnalistik di Jerman.‟
Wacana (263) di atas terdapat penggunaan satuan lingual jurnalis dan
jurnalistik yang saling berhubungan atau berkolokasi dan mendukung
kepaduan wacana tersebut. Data yang menunjukkan adanya satuan lingual lain
yang saling berkolokasi adalah sebagai berikut.
(264) “Publicist” mono tembung mbiwarakake, merga tembung wartawan
utawa jurnalis rikala kuwi mula uga isih arang kanggone. Lha
Soepratman saikine lagi ngrasa, yen mula bingung jurnalistik iki sing
mujudake “duniane”. (PS/1-2/10/18/4/05/2013).
„”Wartawan” memang kata memberitakan, karena kata wartawan
utawa jurnalis ketika itu juga masih jarang gunanya. Lha Soepratman
sekarang ini baru merasakan, maka bingung jurnalistik ini yang
mewujudkan ”dunianya”.‟
Tuturan (264) di atas tampak adanya penggunaan kata wartawan, kata
jurnalis, kata jurnalistik yang saling berkolokasi serta mendukung kepaduan
wacana tersebut. Di bawah ini merupakan data lain yang menunjukkan satuan
lingual lain yang saling berkolokasi.
(265) Jejer dadi jurnalis kathik mung dadi juruwarta bae, tur dhek jaman
samana pisan, pemetune ora bisa nyukupi. (PS/1/10/20/18/05/2013).
„Menjadi jurnalis dengan hanya menjadi juruwarta saja, apalagi pada
saat itu, pendapatannya tidak bisa mencukupi.‟
Tampak pada data (265) terdapat pemakaian satuan lingual yang saling
berkolokasi yaitu kata jurnalis dan juruwarta. Hadirnya kata-kata yang
berkolokasi tersebut membuat wacana menjadi kohesif dan padu. Namun,
178
apabila teknik lesap dan teknik ganti dihadirkan untuk menganalisis data
tersebut menjadi tidak gramatikal atau tidak berterima. Jika salah satu unsur-
unsur tersebut dilesapkan atau diganti dengan satuan lingual yang lain, maka
akan merubah makna yang ada.
Penanda kohesi leksikal berupa kolokasi tersebut dapat dilihat pada
lampiran nomor 263 sampai dengan 265.
e. Hiponimi (Hubungan Atas-Bawah)
Hiponimi dapat diartikan sebagai satuan bahasa (kata, frasa, kalimat)
yang maknanya dianggap merupakan bagian dari makna satuan lingual yang
lain. Di bawah ini merupakan data yang menunjukkan hiponimi.
(266) Ing Jakarta ora sethithik cacahe koran Tionghoa-Melayu iki mau; ning
sing kesuwur mung telu. Sin Po. Keng Po karo Hong Po (sing pro
Jepang). Ing Surabaya: Sin Tit Po. (PS/1/10/18/4/05/2013).
„Di Jakarta tidak sedikit jumlah koran Tionghoa-Melayu ini; tapi yang
terkenal hanya ada tiga. Sin Po. Keng Po dan Hong Po (yang pro
Jepang). Di Surabaya: Sin Tit Po.‟
Pada tuturan (266) di atas yang menjadi hipernim koran Tionghoa-
Melayu dan sebagai hiponimnya adalah Sin Po, Keng Po, Hong Po, dan Sin
Tit Po. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada bagan di bawah ini.
Bagan 3
Hiponimi Frasa Koran Tionghoa-Melayu
179
Data lain yang menunjukkan adanya penanda kohesi leksikal hiponimi
atau hubungan atas-bawah adalah sebagai berikut.
(267) Aneh, ning sing cetha bae, wiwit rikala iku, lagu “Indonesia Raya”
sering dinyanyekake dening kumpulan-kumpulan Indonesia apa bae.
Embuh ormas, embuh partai, para siswa sekolah lanjutan, kaum
gerakan emboh sing enom embuh sing tuwa, lanang apa wadon.
(PS/1/10/20/18/05/2013).
„Aneh, tetapi yang jelas bahwa, mulai saat itu, lagu “Indonesia Raya”
sering dinyanyikan oleh kelompok Indonesia apapun. Entah ormas,
entah partai, para siswa sekolah lanjutan, kaum pergerakan entah
yang muda entah yang tua, laki-laki atau perempuan.‟
Satuan lingual kumpulan-kumpulan Indonesia „kelompok Indonesia‟
pada data (267) merupakan hipernim sedangkan hiponimnya adalah ormas
„ormas‟, partai „partai‟, para siswa sekolah lanjutan „para siswa sekolah
lanjutan‟, dan kaum gerakan „kaum pergerakan‟. Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat pada bagan berikut.
Bagan 4
Hiponimi Kumpulan-kumpulan Indonesia
Di dalam penelitian ini data mengenai hiponimi tersebut dapat dilihat
pada lampiran nomor 266 sampai 267.
180
f. Ekuivalensi (Kesepadanan)
Ekuivalensi atau kesepadanan adalah salah satu jenis kohesi leksikal
yang berupa hubungan kesepadanan antara satuan lingual yang satu dengan
satuan lingual yang lain dalam sebuah wacana. Berikut ini merupakan penanda
kohesi leksikal berupa ekuivalensi yang terdapat dalam wacana gempilan
sejarah.
(268) Wage Rudolf Soepratman kelakon omah-omah karo sawenehing
warandha, aran: Salamah. Apa Salamah. Wong loro wus kelakon urip
bebarengan saomah, nadyan ta omahe mung omah sewan, manggone
neng kampung pisan. (PS/3/9/21/25/05/2013).
„Wage Rudolf Soepratman berumah tangga dengan seorang janda,
bernama: Salamah. Apa Salamah. Dua orang tadi telah hidup bersama
serumah, meskipun rumahnya hanya rumah sewa, yang terletak di
desa juga.‟
Pada wacana (268) di atas terdapat hubungan kesepadanan antara satuan
lingual omah-omah „berumah tangga‟, saomah „serumah‟, omahe „rumahnya‟,
omah „rumah‟. Keempat satuan lingual tersebut terbentuk dari kata dasar yang
sama yaitu omah „rumah‟. Data lain yang menunjukkan adanya ekuivalensi
adalah sebagai berikut.
(269) Malahan ora ngerti utawa ora kelingan kapan persise anggone nikahan
karo WR Soepratman kuwi. Sing dielingi rikala sapatemon sepisanan
karo pemudha iki. (PS/2/10/21/25/05/2013).
„Bahkan tidak tahu atau tidak teringat kapan tepatnya ia menikah
dengan WR Soepratman. Yang diingat ketika pertemuan pertama
dengan pemuda ini.‟
Data (269) di atas menunjukkan adanya hubungan kesepadanan atau
ekuivalensi yaitu antara satuan lingual kelingan „teringat‟ dan satuan lingual
dielingi „diingat‟, yang menunjukkan adanya hubungan kesepadanan karena
proses afiksasi dibentuk dari bentuk asal yang sama yaitu eling „ingat‟.
181
Penggunaan kata-kata tersebut menjadikan wacana tampak kohesif. Jika satuan
lingual tersebut dilesapkan dan diganti dengan kata yang lain maka wacana
menjadi tidak berterima atau tidak gramatikal. Penanda ekuivalensi atau
kesepadanan juga terdapat dalam data berikut.
(270) Embuh iki Dichtung (dongengan) bae, apa Wahrheit (kenyataan),
kacarita saka kuwasaning GUSTI Sing Maha Agung, si biyung sing
banget ditresnani lan sing anresnani anak lanang mau, banjur mbukak
socane sedhela, mandeng marang Soepratman, sedhela bae.
(PS/2/10/17/27/04/2013).
„Entah ini dongengan saja, apa kenyataan, diceritakan dari kuasaNya
Allah Yang Maha Kuasa, si ibu yang sangat dicintai dan yang
mencintai anak putranya tadi, kemudian membuka matanya sebentar,
melihat Soepratman, sebentar saja.‟
(271) Lha saiki, bareng dheweke kelakon nikahi sawenehing wanita sing
ditresnani lan uga nresnani dheweke, malahan dulur-dulure sing anti.
(PS/2/10/23/8/06/2013).
„Kini, setelah dia menikah dengan seorang wanita yang dicintai dan
juga mencintainya, malah saudara-saudaranya yang anti.‟
Pada tuturan (270) dan (271) di atas menunjukkan adanya hubungan
kesepadanan atau ekuivalensi yaitu antara satuan lingual ditresnani „dicintai‟,
anresnani „mencintai‟, dan nresnani „mencintai‟ yang menunjukkan adanya
kesepadanan karena proses afiksasi dibentuk dari bentuk asal yang sama yaitu
tresna „cinta‟.
Selain data tersebut ditemukan pula ekuivalensi atau hubungan
kesepadanan yang terdapat dalam data (272) sampai dengan (278) berikut.
(272) Si mBakyu sing saiki dadi gantine biyung, ndilalah ta teka iya pana
marang bakate si adhi. Kanthi tlaten lan sabar adhine banjur diwulang
wuruk ngenani cara pratikele ngunakake biola utawa viool.
(PS/2/10/17/27/04/2013).
„Si kakak yang kini menjadi pengganti ibu, jelas mendukung bakat si
adik. Dengan tekun dan sabar mengajari adiknya tentang bagaimana
praktik cara menggunakan biola.‟
182
(273) Eee, dadak bukune kelakon dibabar, durung ganep rong dina, ha teka
pulisi teka karo aweh larangan bab sumebare buku, lan sabanjure
malah mbeskup buku-buku pisan. (PS/3/10/18/4/05/2013).
„Eee, tiba-tiba bukunya diterbitkan, belum genap dua hari, polisi datang
dan memberi larangan mengenai penyebaran buku, dan selanjutnya
bahkan membeskup buku-buku tersebut.‟
(274) Mula kepiye, yen ta Soepratman diwenehi kalodhangan mbiwarakake
lagu mau ing ngarepe para kongresis diarep-arep, amrih Panitia aweh
wektu nyang Soepratman; mula apike dheweke supaya diwenehi weruh
kapan, ing ngendi lan jam pira wektu sing diwenehake nyang dheweke
kuwi. (PS/3/10/19/11/05/2013).
„Maka bagaimana, jika Soepratman diberi kesempatan menyanyikan
lagu tadi di depan para kongresis, karena Panitia memberikan waktu
pada Soepratman; maka bagusnya dia supaya diberi tahu kapan, di
mana dan jam berapa waktu yang tersedia untuk dia.‟
(275) Ning, apa sing satemene kelakon, Soepratman nandhang batin,
nandhang papa batiniah-e. (PS/1/9/21/25/05/2013).
„Tetapi, apa yang sebenarnya terjadi, Soepratman menderita batin
(mental), menderita batiniahnya.‟
(276) Sing nguntabake maewu-ewu. Iya lagi sepisan iji kuwi kelakon, ing
Surabaya ana jenazah sing nguntabake layone nganti ewon.
(PS/3/9/22/1/06/2013).
„Yang mengantarkan beribu-ribu. Ya baru sekali ini terjadi, di
Surabaya ada jenazah yang mengantarkan jenazahnya hingga ribuan.‟
(277) Ngandharake manawa lara sing kasandhang kuwi satemene lara batin,
larane wong kapedhotan tresna. (PS/3/9/24/15/06/2013).
„Menjelaskan apabila sakit yang dideritanya itu sabenarnya sakit batin,
sakitnya orang putus cinta.‟
(278) “Iya! Aku rumangsa ora kabegjan ing ndalem among tresna”. “Ora
begja kepiye?”. (PS/1/10/24/15/06/2013).
„”Ya! Saya merasa tidak beruntung di dalam kisah cinta”. “Tidak
untung bagaimana?”.‟
Data mengenai penanda kohesi leksikal yang berupa ekuivalensi atau
hubungan kesepadanan tersebut dapat dilihat pada lampiran nomor 268 sampai
278.
183
Penanda kohesi leksikal wacana Gempilan Sejarah: Sang Komponis sing
Ora Kapatedhan ing Katresnan karya Soebagijo I. N. dalam majalah Panjebar
Semangat yang ditemukan dalam penelitian adalah sebagai berikut: (1) repetisi
atau pengulangan (repetisi epizeuksis, tautotes, anafora, mesodiplosis, dan
anadiplosis), (2) sinonimi atau padan kata, (3) antonimi atau oposisi makna
(oposisi mutlak, oposisi kutub, oposisi hubungan, dan oposisi majemuk), (4)
kolokasi atau sanding kata, (5) hiponimi atau hubungan atas-bawah, dan (6)
ekuivalensi atau kesepadanan.
B. Penanda Koherensi
Penanda koherensi dianalisis dengan tujuan untuk mengetahuikeruntutan,
keserasian, dan keutuhan hubungan makna atau struktur batin dalam sebuah wacana.
Dalam penelitian ini ditemukan beberapa penanda koherensi yaitu: penekanan,
simpulan dan contoh. Ketiga macam penanda koherensi tersebut dapat diuraikan
sebagai berikut.
1. Penanda Koherensi Penekanan
Penanda koherensi berupa penekanan berfungsi untuk menyatakan
penekanan terhadap suatu maksud yang telah dinyatakan dalam sebuah kalimat.
Penanda koherensi berupa penekanan yang ditemukan adalah sebagai berikut.
(279) Saya gawe bombonge atine Soepratman, rikala ing sawijining
pertemuan ing Gedhung Komidi, ditekani para pemuda, pelajar lan
mahasiswa, dheweke dijaluk Soegondo supaya ngumandhangake lagu
„Indonesia Raya‟ kuwi. (PS/1/10/20/18/05/2013).
„Semakin membuat senangnya hati Soepratman, ketika di salah satu
pertemuan di Gedung Komidi, didatangi para pemuda, pelajar, dan
184
mahasiswa, dia diminta Soegondo supaya menyanyikan lagu “Indonesia
Raya” itu.‟
Satuan lingual saya „semakin‟ pada tuturan (279) merupakan penanda
koherensi berupa penekanan yang berfungsi untuk menyatakan makna penekanan
terhadap gawe bombonge atine Soepratman „membuat senangnya hati
Soepratman‟. Maksud dari wacana tersebut adalah memberikan penjelasan kepada
pembaca bahwa Soepratman merasa senang sekali ketika di salah satu pertemuan
di Gedung Komidi, yang didatangi para pemuda, pelajar, dan mahasiswa, dia
diminta Soegondo supaya menyanyikan lagu “Indonesia Raya”. Penanda
koherensi berupa penekanan pada satuan lingual saya „semakin‟ di atas
menjadikan kalimat menjadi lebih padu dan koheren.
Selain data tersebut ditemukan pula kohesi penekanan yang berupa kata
saya „semakin‟ tampak pada data (280) berikut.
(280) Ha hiya iki sing njalari saya tambah nggrantesing atine sang komponis.
„Lha iya ini yang membuat semakin tambah sedih sekali hatinya sang
komponis.‟ (PS/3/9/21/25/05/2013).
Koherensi saya „semakin‟ pada tuturan (280) menjadikan wacana menjadi
lebih padu dan koheren. Koherensi saya „semakin‟ merupakan penanda koherensi
penekanan, karena satuan lingual tersebut berfungsi untuk menyatakan makna
penekanan terhadap tambah nggrantesing atine sang komponis „tambah sedih
sekali hatinya sang komponis‟.
Data lain yang menunjukkan adanya penanda koherensi berupa penekanan
adalah sebagai berikut.
185
(281) Tekane para tamu kaum pergerakan mau, kajaba mung sekedhar
tepungan lan nyambung silaturrahmi, mesthine uga njur ngajak
rembugan bab kahanan polik dhek samana. (PS/2/10/21/25/05/2013).
„Kedatangan para tamu dari kaum pergerakan tadi, selain hanya sekedar
bertemu dan menjalin silaturrahmi, pastinya juga mengajak berbicara
tentang keadaan politik yang lalu.‟
Tampak data (281) di atas menunjukkan adanya penanda koherensi berupa
penekanan mesthine „pastinya‟. Frasa mesthine „pastinya‟ berfungsi untuk
menegaskan atau menekanan bahwa kaum pergerakan uga njur ngajak rembugan
bab kahanan polik dhek samana „juga mengajak bicara bab keadaan politik yang
lalu‟. Maksud dari tuturan tersebut adalah memberikan penjelasan kepada
pembaca bahwa datangnya para tamu kaum pergerakan tadi, selain hanya sekedar
bertemu dan menjalin silaturrahmi, juga mengajak bicara bab keadaan politik yang
lalu. Penanda koherensi berupa penekanan pada satuan lingual mesthine „pastinya‟
di atas menjadikan kalimat lebih koheren.
Data lain yang merupakan penanda koherensi berupa penekanan adalah
sebagai berikut.
(282) Sing rumangsa kobongan jenggot; mesthi bae pemerintah Hindia-
Walanda. (PS/2/10/20/18/05/2013).
„Yang merasa kebakaran jenggot; pasti saja pemerintahan Hindia-
Belanda.‟
Tuturan (282) di atas tampak koheren dengan hadirnya penanda koherensi
berupa penekanan yang ditunjukkan dengan kata mesthi „pasti‟. Kata mesthi
„pasti‟ berfungsi untuk menegaskan makna penekanan terhadap pemerintahan
Hindia-Belanda yang merasa kebakaran jenggot. Selain itu penanda koherensi
penekanan yang berupa kata mesthi „pasti‟ juga terlihat pada data berikut.
186
(283) Banjur utusan salah sijine warga Parindra, ngajak Soepratman sowan
neng daleme. Sa-perlu tepungan, antarane sang tokoh nasional karo
sang komponis agung. Ha mesthi bae, Soepratman ora bisa nulak
kersane Ketua Umum Partai Indonesia Raya mau.
(PS/3/10/21/25/05/2013).
„Kemudian utusan salah satu warga Parindra, mengajak Soepratman
datang ke rumahnya. Untuk berkenalan, antara sang tokoh nasional
dengan sang komponis besar. Ha pasti saja, Soepratman tidak bisa
menolak keinginannya Ketua Umum Partai Indonesia Raya tadi.‟
Data (283) terdapat penanda koherensi berupa penekanan pada kata mesthi
„pasti‟ yang berfungsi untuk menyatakan makna penekanan terhadap Soepratman
yang tidak bisa menolak keinginannya Ketua Umum Partai Indonesia Raya (Dr.
Soetomo). Maksud dari pernyataan di atas adalah menjelasan bahwa Soepratman
tidak bisa menolak keinginan Ketua Umum Partai Indonesia Raya yang telah
mengutus salah satu dari warga Parindra. Soepratman diajak datang ke rumahnya,
untuk dikenalkan dengan sang tokoh nasional (Dr. Soetomo) tersebut. Penanda
koherensi berupa penekanan pada kata mesthi „pasti‟ di atas menjadikan kalimat
menjadi lebih padu dan koheren.
Contoh data lain yang berupa penanda koherensi penekanan mesthi „pasti‟
adalah sebagai berikut.
(284) Ana wong wadon teka marani, karo takon: “Napa sampeyan tepang
kalih sedherek kula. Soepardan sing mentas dhateng saking Cimahi?”.
Ha mesthi wae sing ditakoni njur ngah-ngoh. Nyawang pawongan sing
pitakon mau, katon sajak ora intelek. (PS/3/9/23/8/06/2013).
„Ada seorang wanita datang mendekati, dan bertanya: Apa kamu kenal
dengan saudara saya. Soepardan yang datang dari Cimahi?”. Ha pasti
saja yang ditanyai kemudian melongo. Melihat orang yang bertanya
tadi, terlihat tidak berpendidikan.‟
Penanda koherensi berupa penekanan pada kata mesthi „pasti‟ di atas
menjadikan kalimat menjadi lebih koheren. Penanda tersebut mempunyai fungsi
187
yaitu untuk menyatakan makna penekanan terhadap sing ditakoni njur ngah-ngoh
„yang ditanyai kemudian melongo‟, ketika melihat orang yang bertanya tadi,
kelihatan seperti tidak berpendidikan‟. Maksud dari pernyataan tersebut adalah
Soepratman melongo ketika ada seorang wanita datang mendekatinya, dan
menanyainya: “Apa kamu kenal dengan saudara saya. Soepardan yang datang dari
Cimahi?”. Ha pasti saja yang ditanyai kemudian melongo. Melihat orang yang
bertanya tadi, terlihat tidak berpendidikan.
(285) Mesthi bae bu Eldick kabotan, ning merga saka adrenge penjaluke si
adhi, katemahane iya diidinake. (PS/3/10/17/27/04/2013).
„Pasti saja bu Eldick keberatan, tapi karena si adik meminta dengan
sangat, akhirnya juga diizinkan.‟
Data (285) di atas menunjukkan adanya penanda koherensi berupa
penekanan pada satuan lingual mesthi „pasti‟ yang berfungsi untuk menyatakan
makna penekanan bahwa bu Eldick kabotan „bu Eldick merasa keberatan‟.
Selain data tersebut ditemukan pula kohesi penekanan yang berupa kata
mesthi „pasti‟ terdapat dalam data (286) dan (287) berikut.
(286) Wah maneh, Soepratman ngerti yen sedhela maneh ing Betawi bakal
dianakake Kongres Pemuda. Buku-bukune mau yen ta diedol ing kono
rak mesthi laris manis. Para kongresis mesthi bakal rebutan, tuku buku
“Perawan Desa” mau. (PS/2/10/18/4/05/2013).
„Wah lagi, Soepratman mengetahui jika sebentar lagi di Betawi akan
diadakan Kongres Pemuda. Buku-bukunya tadi jika dijual di situ pasti
laris manis. Para kongresis pasti akan berebut, membeli buku “Perawan
Desa” tadi.‟
(287) Lha kanggo ngurmati rawuhe Sang Proklamator mau, ing ngendi papan
mesthi dinarung lagu “Indonesia Raya” sing mula wis diakoni dadi
lagu kebangsaan. (PS/3/10/22/1/06/2013).
„Nah untuk menghormati kedatangan Sang Proklamator tadi, di mana
tempatnya pasti terdengar lagu “Indonesia Raya” yang telah diakui
menjadi lagu kebangsaan.‟
188
Penanda koherensi berupa penekanan yang ditemukan dalam penelitian ini
ditandai dengan kata saya „semakin‟, mesthine „pastinya‟, dan mesthi „pasti‟. Data
mengenai penanda koherensi berupa penekanan tersebut dapat dilihat pada
lampiran 279 sampai dengan 287.
2. Penanda Koherensi Simpulan
Penanda koherensi berupa simpulan berfungsi untuk memberikan
keterangan hasil dari suatu proses atau penyimpulan sebuah penelitian. Berikut
penanda koherensi berupa simpulan yang ditemukan dalam wacana gempilan
sejarah.
(288) Meh sakehing beya kanggo nganakake pesta pengetan mau asil saka
kerukunan dalah pratikele masyarakat kono dhewe.
(PS/2/9/17/27/04/2013).
„Hampir semua biaya untuk membuat pesta peringatan tadi hasil dari
kerukunan dan perkumpulan masyarakat itu sendiri.‟
Tuturan (288) di atas tampak kata asil „hasil‟ mendukung terjadinya
kekoherensian wacana. Kata asil „hasil‟ merupakan penanda koherensi berupa
simpulan yang berfungsi untuk memberikan keterangan proses hasil dari
kerukunan dalah pratikele masyarakat kono dhewe „kerukunan dan perkumpulan
masyarakat sana sendiri‟. Data koherensi berupa simpulan lain juga tampak pada
data berikut.
(289) Nadyan ta asiling gelut mau, klambine Soepratman rowak-rowek,
irunge metu getihe, ning ora patia dirasa. Sing nandhes njarem banget
neng ati, iya tetembungane sinyo-sinyo drohun kuwi mau. Anggone
ngenyek, nyepelekake, ngina nyang bangsa Indonesia. “Vuile inlander”.
Inlander kotor!!!. (PS/3/10/17/27/04/2013).
„Meskipun hasilnya dari pertengkaran tadi, bajunya Soepratman
compang-camping, hidungnya berdarah, tetapi tidak begitu dirasa. Yang
menandas sekali di hati, ya perkataan sinyo-sinyo drohun itu tadi.
189
Olehnya menghina, menyepelekan, mempermalukan pada bangsa
Indonesia. “Vuile inlander”. Inlander kotor!!!.‟
Satuan lingual asiling „hasilnya‟ pada data (289) menyatakan penanda
koherensi berupa simpulan yang berfungsi memberikan keterangan hasil dari
pertengkar yang menyebabkan bajunya Soepratman compang-camping dan
hidungnya berdarah. Kata asiling „hasilnya‟ tampak mendukung terjadinya
kekoherensian wacana.
Selain data tersebut ditemukan pula koherensi simpulan yang berupa kata
asiling „hasilnya‟ terdapat dalam data (290) dan (291) berikut.
(290) Pulisi bisane tumindak mbeskup bukune Soepratman, merga mula ana
aturan; sakehing asiling cithakan kudu dipasrahake pulisi luwih dhisik
sajrone 2 x 24 jam. (PS/3/10/18/4/05/2013).
„Polisi biasanya bertindak membeskup bukunya Soepratman, karena ada
aturan; banyak hasilnya cetakan harus diserahkan polisi lebih dahulu
dalam waktu 2 x 24 jam.‟
(291) Iya jaman Jepang mau, didhapuk sawenehing kumisi sing tugase
nganakake owah-owahan ing kana-kene (khususe ing ndalem ukarane)
dilarasake karo perkembangan zaman. Owah-owahan iki mau luwih-
luwih ngenani lagu sarta tekanan-tekanan not, sarta sarana mangkono
lagu dalah iramane bisa dadi cetha. Asiling pegaweyane kumisine
“Indonesia Raya” kaya sing dinyanyekake saiki iki.
(PS/1/10/24/15/06/2013).
„Ya jaman Jepang tadi, komisi membuat beberapa perubahan yang
dilakukan di sana-sini (terutama di dalam kalimatnya) diserasikan
dengan perkembangan jaman. Perubahan ini tadi terutama menyangkut
lagu dan tekanan-tekanan not, dan dengan demikian lagu dan irama bisa
jelas. Hasilnya pekerjaan komisi “Indonesia Raya” seperti yang
dinyanyikan sekarang ini.‟
Contoh penanda koherensi berupa simpulan juga terlihat pada data (292)
berikut.
(292) Ha hiya ing ndalem gandringan ngono mau Soepratman saya tambah
thukul semangat kebangsaane; semangat nasionalismene. Tresna wutah
getih. Tanpa disadhari, Soepratman keli ketir ing ndalem gerakan
190
kebangsaan. Sing dhek jaman kuwi (tauh 1925-1930an) lagi makantar-
kantar ing meh saindenge bumi Nusantara. (PS/3/9/18/4/05/2013).
„Ha ya di dalam pertemuan itu tadi Soepratman semakin bertambah
semangat kebangsaannya; semangat nasionalismenya. Cinta tanah air.
Tanpa disadari, Soepratman hanyut di dalam hal pergerakan
kebangsaan. Yang saat itu (tahun 1925-1930an) baru terbakar hampir di
seluruh bumi Nusantara.‟
Tampak penanda koherensi berupa simpulan ngono mau „itu tadi‟ yang
berfungsi untuk memberikan keterangan hasil dari suatu proses atau penyimpulan
bahwa di dalam gandringan „pertemuan‟ Soepratman semakin bertambah
semangat. Penanda koherensi berupa simpulan pada satuan lingual ngono mau „itu
tadi‟ di atas tampak mendukung terjadinya kekoherensian wacana.
Data lain yang mengandung penanda koherensi berupa simpulan adalah
sebagai berikut.
(293) Dadi iya tetep ora ngerti, wanita sapa, putri ngendi, putrane sapa, Mas
Imam ora ngerti, Ha wong Soepratman dhewe ora gelem blakaka.
Sajakane, wadi kang sinandhang ora bakal katerusake nyang liyan.
(PS/1/10/24/15/06/2013).
„Jadi ya tetap tidak tahu, perempuan siapa, perempuan mana, putranya
siapa, mas Imam tidak tahu, orang Soepratmannya sendiri tidak mau
jujur. Kelihatannya, perkara yang dialami tidak akan diteruskan pada
orang lain.‟
Kata dadi „jadi‟ pada tuturan (293) di atas memberikan kepaduan wacana
sehingga wacana menjadi koheren. Kata dadi „jadi‟ menunjukkan adanya penanda
koherensi berupa simpulan yang berfungsi untuk memberikan keterangan hasil
dari Mas Imam ora ngerti „mas Imam tetap tidak tahu‟, mengenai perempuan itu
siapa, perempuan dari mana, dan putranya siapa, sebab Soepratman sendiri tidak
mau jujur.
191
Koherensi simpulan yang berupa kata dadi „menjadi‟ juga tampak pada
data berikut.
(294) Dadi jurnalis, ora mung akeh tepungane bae, ning uga bisa mlebu metu
ngendi-endi papan, nganakake sesambungan karo sapa bae.
(PS/2/10/18/4/05/2013).
„Menjadi jurnalis, tidak hanya banyak kenalan saja, tetapi juga bisa
keluar masuk mana saja, mengadakan hubungan dengan siapa saja.‟
Koherensi dadi „menjadi‟ pada tuturan (294) menunjukkan hubungan
penyimpulan, karena satuan lingual tersebut berfungsi untuk memberikan
keterangan hasil atau penyimpulan dari ora mung akeh tepungane bae, ning uga
bisa mlebu metu ngendi-endi papan, nganakake sesambungan karo sapa bae
„tidak hanya banyak kenalan saja, tetapi juga bisa keluar masuk mana saja,
mengadakan hubungan dengan siapa saja‟.
Penanda koherensi simpulan yang berupa kata dadi „menjadi‟ juga tampak
pada data berikut.
(295) Ha wong Si Wage anak Lanang siji-sijine, dadi apa sapanjaluke
dituruti, apa pepenginane ditekakake. (PS/1/10/17/27/04/2013).
„Lha Si Wage anak laki-laki satu-satunya, jadi apapun permintaannya
dituruti, apapun keinginannya didatangkan.‟
Data (295) di atas menunjukkan adanya penanda koherensi berupa
simpulan pada kata dadi „jadi‟ berfungsi untuk memberikan keterangan proses
hasil dari Si Wage anak laki-laki sata-satunya menyebabkan apapun permintaanya
dituruti, apapun keinginannya didatangkan.
Selain data tersebut ditemukan pula koherensi simpulan yang berupa kata
dadi „jadi‟ terdapat dalam data (296) sampai dengan (306) berikut.
192
(296) WR. Soepratman sekolahe sepisanan neng Makasar, melu mbakyune
sing aran Rukiyem Supraptiyah sing dadi bojone tuan Eldick, uga
sawijining KNIL. (PS/1/10/17/27/04/2013).
„WR. Soepratman sekolah pertama di Makasar, ikut kakaknya yang
bernama Rukiyem Supraptiyah yang jadi istrinya Eldick, juga seorang
tentara KNIL.‟
(297) Iya Ny. Rukiyem utawa Ny. Eldick iki sing sabanjure dianggep dadi
gantine biyunge, merga rikala Soepratman umur 11 apa 12 taun ngono,
biyunge katimbalan dening Gusti. (PS/1/10/17/27/04/2013).
„Ya Nyonya Rukiyem atau Ny. Eldick ini yang kemudian dianggap jadi
gantinya ibunya, karena ketika Soepratman berumur 11 apa 12 tahun
begitu, ibunya dipanggil oleh Allah.‟
(298) Soepratman kelakon cekel gawe, dadi guru. Durung pantara suwune
nampa surat pindhah. Mbak ayune aweh pamrayoga, amrih nyuwun
metu saka pegaweyan bae. Karepe si mbak ayu, yen ta makarya, iya
tetep ana Makasar bae, dadi ora adoh karo awake.
(PS/3/10/17/27/04/2013).
„Soepratman telah bekerja, menjadi guru. Namun belum berapa lama
menerima surat pindah. Kakaknya memberikan saran, memintanya
supaya keluar dari pekerjaan saja. Ya ingin yang indah, jika bekerja, ya
tetap di Makasar saja, jadi tidak jauh dengan dirinya.‟
(299) Pamit pindhah Betawi, golek pangupa jiwa dhewe, pengin mandhiri.
Kelakon gus Wage dadi wartawan/reporter Alpena, sing sarana
mangkono hubungane saya jembar; tepungane saya akeh, iya kaum
politisi, iya kaum pengusaha, sering nakani pertemuan (sing dhek
samana disebut “gandringan”, saka tembung Landa “vergadering”,
pertemuan). (PS/3/9/18/4/05/2013).
„Berpamitan pindah ke Betawi, mencari biaya hidup sendiri, ingin
mandiri. Gus Wage jadi wartawan/reporter Alpena, itu berarti
hubungannya semakin luas; kenalannya semakin banyak, ya para
politisi, ya para pengusaha, sering mendatangi pertemuan (yang saat itu
disebut “gandringan”, dari kata Belanda “vergadering”, yang berarti
pertemuan).‟
(300) Ukara-ukara sing durung nate keprungu; saiki dilagokake kenya umur
15 taunan ing sangarepe Kongres. Duillaaahhh! Kendel temen bocah
wadon iki...ora aran aneh, yen ta ing antarane para rawuh banjur krasa
kesumbat kerongkongane; ambegane dadi kemiseseken.
(PS/1/9/20/18/05/2013).
„Kata-kata yang belum pernah didengar; kini dinyanyikan gadis berusia
15 tahun di depan Kongres. Ya ampun! Berani sekali anak perempuan
ini..tidak aneh, jika diantaranya para tamu lalu merasa tersumbat
kerongkongannya; pernapasannya jadi sesak.‟
193
(301) Ora gantalan wektu saka prastawa mau, dikabarake menawa PNI mula
nganggep lan netepake, manawa lagu “Indonesia Raya” gubahane
komponis mudha iki, dadi lagu kebangsaan. (PS/2/10/20/18/05/2013).
„Tidak begitu lama dari kejadian itu, dikabarkan apabila PNI
mengganggap dan menetapkan, apabila lagu “Indonesia Raya”
karangannya komponis muda ini, jadi lagu kebangsaan.‟
(302) Eee lha dalah, ha teka pengarang lagu-lagu mau ora bahagia ing
ndalem katresnan. Dadi tampikane wanita. (PS/2/9/21/25/05/2013).
„Eee lha dalaa, sampai pegarang lagu-lagu tadi tidak bahagia di dalam
percintaan. Jadi tolakan perempuan.
(303) Kaya mengkono sing diterangake dening Urip Kasansengari, salah
sijine pawongan sing mula uga isih mujudake sanake komponis agung
kuwi, sing dening sejarah kabiji dadi salah sijine saksi rikala wafate.
(PS/1/10/22/1/06/2013).
„Seperti itu yang dijelaskan oleh Urip Kasansengari, salah satu orang
yang juga masih saudaranya komponis agung itu, dinilai oleh sejarah
jadi salah satu saksi ketika wafatnya.‟
(304) GUSTI nakdirake Wage Rudolf Soepratman, anake petani ing dukuh
Prembelang, desa Sumangari, kelurahan Kaligesing, Purworejo, dadi
komponis agung bangsane, sarana maringi bakat kapujanggan.
(PS/2/10/22/1/06/2013).
„Allah menakdirkan WR. Soepratman, anaknya seorang petani di dukuh
Prembelang, desa Sumangari, kelurahan Kaligesing, Purworejo, jadi
komponis besar bangsanya, sarana memberi bakat pujangga.‟
(305) Lha bareng rombongan kelakon bali neng Jakarta, persoalane lagu
Indonesia Raya wiwit dadi rembug. Kawitan ing kalangan cilik bae,
terus saya amba saya amba, ing kalangan politik, dadi rembug ing
media massa, ing pers. (PS/3/10/22/1/06/2013).
„Nah setelah rombongan itu kembali ke Jakarta, persoalannya lagu
Indonesia Raya mulai jadi perbincangan. Mulai di kalangan kecil saja,
kemudian semakin luas semakin luas, di kalangan politik, jadi
pembicaraan di media massa, di pers.‟
(306) Prastawa iki nganti teka puputing yuswane, ning ya iku mau, ninggali
bangsane rupa lagu-lagu sing migunani banget lan murakabi, bakal
tansah dadi lelagoning bangsane, generasi demi generasi, angkatan
demi angkatan. (PS/1/10/24/15/06/2013).
„Peristiwa ini sampai akhir usianya, tapi ya itu tadi, memberikan
peninggalan bangsanya berupa lagu-lagu yang berguna sekali dan
bermanfaat, akan selalu jadi lagunya bangsanya, generasi ke generasi,
angkatan ke angkatan.‟
194
Data penanda koherensi berupa simpulan yang ditemukan dalam penelitian
ini ditandai dengan kata asil „hasil‟, asiling „hasilnya‟, ngono mau „itu tadi‟, dan
dadi „jadi‟. Data mengenai koherensi berupa simpulan tersebut dapat dilihat pada
lampiran 288 sampai dengan 306.
3. Penanda Koherensi Contoh
Penanda koherensi berupa contoh untuk memberikan keterangan atau
memberi penjelasan dari sebuah kalimat sehingga kalimat tersebut jelas
maksudnya. Data koherensi yang berupa contoh ditemukan dalam data-data
berikut.
(307) Ewa semono, peranane bebrayan tetep luwih onjo, kayadene sing
mentas bae kelakon dek pengetan 2013 iki. (PS/2/9/17/27/04/2013).
„Meskipun, peranannya masyarakat tetap lebih penting, seperti yang
baru saja terlaksana ketika peringatan 2013 ini.‟
Data (307) menunjukkan adanya penanda koherensi berupa contoh pada
satuan lingual kayadene „seperti‟ yang berfungsi untuk memberikan keterangan
pada pembaca mengenai peranane bebrayan tetep luwih onjo „peranan masyarakat
yang lebih unggul‟. Dengan hadirnya penanda koherensi kayadene „seperti‟ maka
wacana menjadi padu. Penanda koherensi berupa contoh juga terlihat pada data
berikut.
(308) WR. Soepratman kaya dene sing wis diaturake, saka keluarga KNIL.
(PS/1/10/17/27/04/2013).
„WR. Soepratman seperti yang telah dikatakan, dari keluarga KNIL.‟
Penanda koherensi berupa contoh pada satuan lingual kaya dene „seperti‟.
Hadirnya penanda tersebut mendukung kekoherensian dalam wacana. Satuan
lingual kaya dene „seperti‟ tersebut berfungsi memberikan keterangan kepada
195
pembaca mengenai WR. Soepratman berasal dari keluarga KNIL (Koninklijke
Nederlands Indisch Leger). Koherensi contoh terdapat dalam data (309) berikut.
(309) Ing ngarepe, ora mung ana pulisi sandi (reserse) Landa bae, ning uga
tokoh-tokoh pergerakan, kayadene Mohammad Husni Thamrin, Mr.
Raden Mas Sartono sing Ketua Partai Nasional Indonesia lan liyane
maneh. (PS/3/10/19/11/05/2013).
„Di depannya, tidak hanya ada polisi reserse Belanda saja, tetapi juga
ada tokoh-tokoh pergerakan, seperti Mohammad Husni Thamrin, Mr.
Raden Mas Sartono Ketua Partai Nasional Indonesia dan lain-lain.‟
Tampak pada data (309) di atas terdapat penanda koherensi berupa contoh
pada satuan lingual kayadene „seperti‟ berfungsi untuk memberikan keterangan
atau penjelasan kepada pembaca mengenai tokoh pergerakan. Koherensi contoh
yang berupa satuan lingual kayadene „seperti‟ juga tampak pada data (310)
berikut.
(310) Meruhi kahanane rakyat Indonesia umume, yen katandhingan karo
bangsa liya kayadene karo wong Landa, Cina, Arab lan
sapanunggalane katon manawa banget kasangsayane.
(PS/1/10/18/4/05/2013).
„Mengetahui situasi masyarakat Indonesia pada umumnya, jika
dibandingkan dengan negara lain seperti Belanda, Cina, Arab, dan lain-
lain yang terlihat sekali kelebihannya.‟
Data lain yang mengandung koherensi berupa contoh adalah sebagai
berikut.
(311) Wondene sing dadi warga kumisi, antarane Cornel Simanjutak,
sawijining ahli musik sing kawentar ing jaman kuwi. Terus Mr
Muhammad Yamin, sawenehing sastrawan dalah sejarawan sing
mumpuni, Sanusi Pane, uga sawijining sastrawan. Usmar Ismail,
sawenehing seniman. Terus Bung Karno piyambak.
(PS/1/10/24/15/06/2013).
„Sementara yang menjadi warga komisi, antara lain Cornel Simanjutak,
salah satu ahli musik yang terkenal pada waktu itu. Kemudian Mr
Muhammad Yamin, seorang penulis dan sejarawan. Usmar Ismail,
seorang seniman. Kemudian Bung Karno sendiri.‟
196
Satuan lingual antarane „antara lain‟ pada data (311) di atas menyatakan
penanda koherensi berupa contoh yang berfungsi memberikan penjelasan kepada
pembaca mengenai warga komisi. Contoh warga komisi adalah Cornel
Simanjutak, salah satu ahli musik yang terkenal di jaman itu; Mr Muhammad
Yamin, seorang sastrawan dan sejarawan; Usmar Ismail, seorang seniman;
kemudian Bung Karno sendiri. Hadirnya penanda antarane „antara lain‟ tersebut
mendukung kekoherensian dalam wacana.
Contoh data yang mengandung penanda koherensi berupa contoh tampak
pada data berikut.
(312) Ndilalah kersa Allah, nuju sawijining wektu Soepratman maca artikel ing
layang kabar Fadjar Asia.Isine antara liya pitakonan: “Endi ana
komponis bangsa Indonesia sing bisa nggubah lagu kebangsaan
Indonesia? Sing bisa nggugah semangat rakyat?”.
(PS/1/10/19/11/05/2013).
„Jelas keinginan Allah, suatu waktu Soepratman membaca sebuah artikel
di surat kabar Fajar Asia. Isinya antara lain pertanyaan: “Mana ada
komponis bangsa Indonesia yang bisa menyusun lagu kebangsaan
Indonesia? Yang bisa membangkitkan semangat rakyat?”.‟
Pada data (312) di atas tampak adanya penanda koherensi berupa contoh
yaitu pada satuan lingual antara liya „antara lain‟ yang berfungsi memberikan
penjelasan mengenai isi artikel di surat kabar Fadjar Asia. Isine antara liya
pitakonan: “Endi ana komponis bangsa Indonesia sing bisa nggubah lagu
kebangsaan Indonesia? Sing bisa nggugah semangat rakyat?”.
Disimpulkan bahwa penanda koherensi berupa contoh yang ditemukan di
dalam penelitian ini ditandai dengan satuan lingual kayadene „seperti‟, antarane
„antara lain‟, dan antara liya „antara lain‟. Data mengenai penanda koherensi
contoh tersebut dapat dilihat pada lampiran nomor 307 sampai 312.
197
Penanda koherensi wacana Gempilan Sejarah: Sang Komponis sing Ora
Kapatedhan ing Katresnan karya Soebagijo I. N. dalam majalah Panjebar
Semangat yang ditemukan dalam penelitian adalah koherensi yang bermakna
penekanan, simpulan, dan contoh. Koherensi penekanan tersebut ditandai dengan
kata saya „semakin‟, mesthine „pastinya‟, dan mesthi „pasti‟, sedangkan koherensi
simpulan ditandai dengan kata asil „hasil‟, asiling „hasilnya‟, ngono mau „itu tadi‟,
dan dadi „jadi‟. Selanjutnya, koherensi contoh ditandai dengan satuan lingual
kayadene „seperti‟, antarane „antara lain‟, dan antara liya „antara lain‟.