Upload
hadat
View
225
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
15
BAB II
KOMITE SEKOLAH DALAM MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH
PADA PEMBELAJARAN PAI
A. Komite Sekolah
1. Pengertian Komite Sekolah
Untuk mengetahui lebih jelas mengenai komite sekolah, maka akan
dipaparkan beberapa istilah itu dari berbagai pendapat:
Komite Sekolah (KS) merupakan institusi yang dimunculkan untuk
menampung dan menyalurkan partisipasi masyarakat dalam
penyelenggaraan pendidikan di tingkat satuan pendidikan. Karena
dijadikan sebagai wadah yang representatif. Kemunculan KS diharapkan
bisa mewujudkan peningkatan mutu, pemerataan, dan efisiensi dalam
pengelolaan pendidikan di satuan pendidikan. Baik pada pendidikan pra
sekolah, jalur pendidikan sekolah maupun jalur pendidikan luar sekolah.1
Menurut Tim pengembangan Dewan Pendidikan dan Komite
Sekolah, Komite Sekolah merupakan badan yang bersifat mandiri, tidak
mempunyai hubungan hierarkis dengan satuan pendidikan maupun
lembaga pemerintah lainnya. Posisi dewan pendidikan, komite sekolah,
satuan pendidikan, dan lembaga-lembaga lainnya mengacu pada
kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan yang berlaku.2
Berdasarkan pengertian di atas tentang Komite Sekolah yang telah
dijelaskan, maka komite sekolah merupakan institusi yang mandiri dan
tidak mempunyai hubungan hierarkis dengan satuan pendidikan maupun
dengan lemabaga pemerintah lainnya.
Komite sekolah berkedudukan di satuan pendidikan, baik sekolah
maupun luar sekolah. Komite sekolah dapat mewadahi satu satuan
1 Ade Irawan, dkk., Mendagangkan Sekolah, (Jakarta: Indonesia Corruption Watch,
2004), hlm. 42. 2 Tim Pengembangan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, “Indikator Kinerja Dewan
Pendidikan dan Komite Sekolah”, http//:www.depdiknas.go.id/serba-serbi/dpks/kinerja, hlm. 1.
16
pendidikan atau beberapa satuan pendidikan yang sejenis, berada dalam
satu kompleks, atau di bawah satu yayasan penyelenggara pendidikan.
Keanggotaan komite sekolah terdiri atas unsur masyarakat dan
dapat ditambah dewan guru, yayasan/penyelenggara pendidikan dan badan
pertimbangan desa. Unsur masyarakat dapat berasal dari:
a. Perwakilan orang tua/wali peserta didik berdasarkan jenjang kelas
yang dipilih secara demokratis.
b. Tokoh masyarakat (ketua RT/RW/RK, kepala dusun, ulama,
budayawan, pemuka adat).
c. Anggota masyarakat atau yang dijadikan figur dan mempunyai
perhatian untuk meningkatkan mutu pendidikan.
d. Pejabat pemerintah setempat (kepala desa/lurah, kepolisian, koramil,
Depnaker, Kadin, dan instansi lain).
e. Dunia usaha/industri (pengusaha industri, jasa, asosiasi, dan lain-lain)
f. Pakar pendidikan yang mempunyai perhatian pada peningkatan mutu
pendidikan.
g. Organisasi profesi tenaga pendidikan (PGRI, ISPI, dan lain-lain)
h. Perwakilan siswa bagi tingkat SLTP/SMU/SMK yang dipilih secara
demokratis berdasarkan jenjang kelas.
i. Perwakilan forum alumni SD/SLTP/SMU/SMK yang telah dewasa dan
mandiri.
Anggota Komite Sekolah yang berasal dari dewan guru,
yayasan/penyelenggara pendidikan, dan Badan Pertimbagan Desa
sebanyak-banyaknya berjumlah tiga orang. Jumlah anggota Komite
Sekolah sekurang-kurangnya 9 orang dan jumlahnya harus gasal.3
Pengurus komite sekolah ditetapkan berdasarkan AD/ART
sekurang-kurangnya terdiri atas seorang ketua, sekretaris, dan bendaahara
yang dipilih di antara Komite Sekolah, dan ketua komite sekolah bukan
berasal dari kepala satuan pendidikan setempat. Apabila dipandang perlu,
3 Workshop Regional, Alih fungsi dari Komite Kabupaten/Kota ke Dewan Pendidikan,
C:\HS\BBM\DOCUMENT\Laporan\workshop Maret 2003.doc, 16-22 maret 2003, hlm. 12-13.
17
kepengurusan dilengkapi dengan bidang-bidang tertentu sesuai kebutuhan.
Pengurus komite sekolah dapat pula mengangkat petugas khusus yang
menangani urusan administrasi, yang selanjutnya diatur dalam Anggaran
Rumah Tangga.4
Pembentukan komite sekolah harus dilakukan secara transparan,
akuntabel dan demokratis. Dilakukan secara transparan adalah bahwa
komite sekolah harus dibentuk secara terbuka dan diketahui oleh
masyarakat secara luas mulai dari tahap pembentukan panitia persiapan,
proses sosialisasi oleh panitia persiapan, kriteria calon anggota, proses
seleksi calon anggota, pengumuman calon anggota, proses pemilihan, dan
penyampaian hasil pemilihan. Dilakukan secara akuntabel adalah bahwa
panitia persiapan hendaknya menyampaikan laporan pertanggungjawaban
kinerjanya maupun penggunaan dana kepanitiaan. Dilakukan secara
demokratis adalah bahwa proses pemilihan anggota dan pengurus
dilakukan dengan musyawarah mufakat. Jika dipandang perlu pemilihan
anggota dan pengurus dapat dilakukan melalui pemungutan suara.
Pembentukan komite sekolah diawali dengan pembentukan panitia
persiapan yang dibentuk oleh kepala satuan pendidikan dan/atau oleh
masyarakat. Panitia perispan berjumlah sekurang-kurangnya 5 (lima)
orang yang terdiri atas kalangan praktisi pendidikan (seperti guru, kepala
satuan pendidikan, penyelenggara pendidikan), pemerhati pendidikan
(LSM peduli pendidikan, tokoh masyarakat, tokoh agama, dunia usaha
dan industri), dan orang tua peserta didik.5
2. Tujuan, Fungsi Komite Sekolah
Setiap lembaga pasti memiliki tujuan yang hendak dicapai.
Demikian juga komite sekolah sebagai suatu lembaga mempunyai tujuan
tertentu. Adapun tujuan komite sekolah dibentuk sebagai berikut:
4 Tim KPKG, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD dan ART) Komite
Sekolah SD Negeri/MI (Demak, 2003), hlm. 4-5. 5 Tim Pengembangan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, op. cit., hlm. 2.
18
Pertama, mewadahi dan menyalurkan aspirasi dan prakarsa
masyarakat dalam melahirkan kebijakan operasional dan program
pendidikan di satuan pendidikan. Kedua, meningkatkan tanggung jawab
dan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan
pendidikan. Serta ketiga, menciptakan suasana dan kondisi transparan,
akuntabel, dan demokratis dalam penyelenggaraan dan pelayanan
pendidikan yang bermutu di satuan pendidikan.
Sedangkan fungsi yang dijalankan yaitu:
a. Mendorong tumbuhnya perhatian dan komitmen masyarakat terhadap
penyelenggaraan pendidikan yang bermutu.
b. Melakukan kerjasama dengan masyarakat (perorangan / organisasi /
dunia usaha / dunia industri) dan pemerintah berkenaan dengan
penyelenggaraan pendidikan yang bermutu.
c. Menampung dan menganalisis aspirasi, ide, tuntutan dan berbagai
kebutuhan pendidikan yang diajukan oleh masyarakat.
d. Memberikan masukan, pertimbangan, dan rekomendasi kepada satuan
pendidikan mengenai:
1) Kebijakan dan program pendidikan
2) Rencana Anggaran Pendidikan dan Belanja Sekolah (RAPBS)
3) Kriteria kinerja satuan pendidikan
4) Kriteria tenaga kependidikan
5) Kriteria fasilitas pendidikan
6) Hal-hal yang terkait dengan pendidikan.
e. Mendorong orang tua dan masyarakat berpartisipasi dalam pendidikan
guna mendukung peningkatan mutu dan pemerataan pendidikan.
f. Menggalang dana masyarakat dalam rangka pembiayaan
penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan.
g. Melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap kebijakan, program,
penyelenggaraan, dan keluaran pendidikan di satuan pendidikan.6
6 Ade Irawan, dkk., Op. Cit., hlm. 42-43.
19
3. Peran Komite Sekolah
Peran yang dijalankan komite sekolah menurut Tim
Pengembangan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah adalah sebagai
pemberi pertimbangan (advisory body) dalam penentuan dan pelaksanaan
kebijakan pendidikan di satuan pendidikan. Badan tersebut juga berperan
sebagai pendukung (supporting agency) baik yang berwujud finansial,
pemikiran, maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan
pendidikan. Di samping itu juga komite sekolah berperan sebagai
pengontrol (controlling agency) dalam rangka transparansi pendidikan,
serta sebagai mediator antara pemerintah (eksekutif) dengan masyarakat di
satuan pendidikan.7
Komite sekolah juga dapat memberikan masukan penilaian untuk
pengembangan pelaksanaan pendidikan, baik intra-kurikuler maupun estra
kurikuler, dan pelaksanaan manajemen sekolah yang meliputi sekolah,
kepala sekolah, guru, siswa, dan karyawan, serta memberikan penghargaan
atas keberhasilan manajemen sekolah. Komite sekolah bisa juga
memberikan masukan bagi pembahasan atas usulan Rancangan
Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS).8
Sementara itu peran komite sekolah dapat dilihat dari indikator
kinerja komite sekolah sebagai berikut:9
7 Tim Pengembangan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, op. cit., hlm. 3. 8 Indra Djati Sidi, Menuju Masyarakat Belajar: Menggagas Paradigma Baru Pendidikan,
(Jakarta: Logos, 2001), hlm. 135. 9 Tim Pengembangan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, op. cit., hlm. 4-10.
20
Peran Komite Sekolah
Fungsi Manajemen Pendidikan
Indikator Kinerja
1. Perencanaan Sekolah a. Identifikasi sumber daya pendidikan dalam masyarakat
b. Memberikan masukan untuk penyusunan RAPBS
c. Menyelenggarakan rapat RAPBS (sekolah, orang tua siswa, masyarakat)
d. Memberikan pertimbangan perubahan RAPBS
e. Ikut mengesahkan RAPBS bersama kepala sekolah.
2. Pelaksanaan Program a. Kurikulum b. PBM c. Penilaian
a. Memberikan masukan terhadap proses pengelolaan pendidikan di sekolah
b. Memberikan masukan terhadap proses pembelajaran kepada para guru
Badan Pertimbangan (Advisory Agency)
3. Pengelolaan Sumber Daya Pendidikan a. SDM b. S/P c. Anggaran
a. Identifikasi potensi sumber daya pendidikan dalam masyarakat
b. Memberikan pertimbangan tentang tenaga kependidikan yang dapat diperbaharui di sekolah
c. Memberikan pertimbangan tentang sarana dan prasarana yang dapat diperbantukan di sekolah
d. Memberikan pertimbangan tentang anggaran yang dapat dimanfaatkan di sekolah
Badan Pendukung (Supporting Agency)
1. Pengelolaan Sumber Daya a. Memantau kondisi ketenagaan pendidikan di sekolah
b. Mobilisasi guru sukarelawan untuk menanggulangi kekurangan guru di sekolah
c. Mobilisaasi tenaga kependidikan non guru untuk mengisi kekurangan di sekolah
21
2. Pengelolaan Sarana dan Prasarana a. Memantau kondisi sarana dan prasarana yang ada di sekolah
b. Mobilisaasi bantuan sarana dan prasaran sekolah
c. Mengkoordinasi dukungan sarana dan prasarana sekolah
d. Mengevaluasi pelaksanaan dukungan sarana dan prasarana sekolah
3. Pengelolaan Anggaran a. Memantau kondisi anggaran pendidikan di sekolah
b. Mobilisaasi dukungan terhadap anggaran pendidikan di sekolah
c. Mengkoordinasi dukungan terhadap anggaran pendidikan di sekolah
d. Mengevaluasi pelaksanaan dukungan anggaran di sekolah
1. Mengontrol Perencanaan Pendidikan di Sekolah
a. Mengontrol proses pengambilan keputusan di sekolah
b. Mengontrol kualitas kebijakan di sekolah
c. Mengontrol proses perencanaan pendidikan di sekolah
d. Pengawasan terhadap kualitas perencanaan sekolah
e. Pengawasan terhadap kualitas program sekolah
Badan Pengontrol (Controlling Agency)
2. Memantau pelaksanaan program sekolah
a. Memantau organisasi sekolah
b. Memantau penjadwalan program sekolah
c. Memantau alokasi anggaran untuk pelaksanaan program sekolah
d. Memantau partisipasi stake-holder pendidikan dalam pelaksanaan program sekolah
22
3. Memantau out put pendidikan
a. Memantau Hasil Ujian Akhir
b. Memantau Angka Partisipasi Sekolah
c. Memantau Angka Mengulang Sekolah
d. Memantau angka bertahan di sekolah
1. Perencanaan
a. Menjadi penghubung antara komite sekolah dengan masyarakat, komite sekolah dengan sekolah, dan komite sekolah dengan dewan pendidikan
b. Mengidentifikasi aspirasi masyarakat untuk perencanaan pendidikan
c. Membuat usulan kebijakan dan program pendidikan kepada sekolah
2. Pelaksanaan Program
a. Mensosialisasikan kebijakan dan program sekolah kepada masyarakat
b. Memfasilitasi berbagai masukan kebijakan program terhadap sekolah
c. Menampung pengaduan dan keluhan terhadap kebijakan dan program sekolah
d. Mengkomunikasikan pengaduan dan keluhan masyarakat terhadap sekolah
Badan Penghubung (Mediator Agency)
3. Pengelolaan Sumber Daya Pendidikan
a. Mengidentifikasi kondisi sumber daya di sekolah
b. Mengidentifikasi sumber-sumber daya masyarakat
c. Memobilisasi bantuan masyarakat untuk pendidikan di sekolah
d. Mengkoordinasikan bantuan masyarakat.
23
B. Manajemen Berbasis Sekolah
1. Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah
Manajemen berasal dari kata to manage yang artinya mengatur.10
Manajemen adalah suatu kegiatan, pelaksanaannya adalah “managing” –
pengelolaan-, sedang pelaksanaannya disebut manager atau pengelola.11
Dalam bukunya yang berjudul Management, Peter P. Schoderbeck
mengatakan “Management is a process of achieving organizational goals
through others”.12
Adapun rumusan manajemen menurut Houghton sebagaimana
dikutip oleh Mutthawi’ (1996) adalah sebagai berikut:
ان االدارة هي االصطالح الذي يطلق على التوجيه والرقابة ودفع وذلك العنصر الذى يقوم بتطويرها , القوى العاملة اىل العمل يف املنشأة
13.وتنسيقها وتوجيهها وااليقاء على كل ظاهرة ىف مكااArtinya: “Yang dimaksud dengan manajemen adalah suatu aktivitas
yang melibatkan proses pengarahan, pengawasan dan pengarahan segenap kemampuan untuk melakukan suatu aktivitas tertentu yang bertujuan untuk merencanakan, mengelola, mengarahkan, mengatur sesuai prasarana yang ada serta sumber daya insani yang proporsional”.
Dengan demikian manajemen lebih ditekankan pada upaya untuk
mempergunakan sumber daya seefisien dan seefektif mungkin. Adapun
tujuan utama dari manajemen menurut Nanang Fattah adalah produktivitas
dan kepuasan. Produktivitas sendiri diartikan sebagai ukuran kuantitas dan
kualitas kinerja dengan mempertimbangkan kemanfaatan sumber daya.14
10 Malayu S.P. Hasibuan, Manajemen: Dasar, Pengertian, dan Masalah, (Jakarta: Bumi
Aksara, 2004), cet. 3, hlm. 1. 11 G.R. Terry dan L.W. Rue, Dasar-dasar Manajemen, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), cet.
8, hlm. 1. 12 Peter P. Schoderbeck, et.al., Management, (London: Harcourt Brace Jovanovich
Publisher, 1988), hlm. 8. 13 Ibrahim Ishmat Muthowi’, Al-Ushul al-Idariyah Lingkungan al-Tarbiyah, (Riad: Dar
al-Syuruq, 1996), hlm. 13. 14 Nanang Fattah, Landasan Manajemen Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2001), hlm. 15.
24
Menurut E. Mulyasa, istilah manajemen memiliki banyak arti,
bergantung pada orang yang mengartikannya. Istilah manajemen sekolah
acapkali disandingkan dengan istilah administrasi sekolah. Berkaitan
dengan itu, terdapat tiga pandangan berbeda; pertama, mengartikan
administrasi lebih luas daripada manajemen (manajemen merupakan inti
dari administrasi); kedua, melihat manajemen lebih luas daripada
administrasi dan ketiga; pandangan yang menganggap bahwa manajemen
identik dengan administrasi.15
Secara leksikal, manajemen berbasis sekolah (MBS) berasal dari
tiga kata, yaitu manajemen, berbasis dan sekolah. Manajemen adalah
proses menggunakan sumber daya secara efektif untuk mencapai sasaran.
Berbasis memiliki kata dasar basis yang berarti dasar atau asas. Sekolah
adalah lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat menerima dan
memberikan pelajaran. Berdasarkan makna leksikal tersebut maka MBS
dapat diartikan sebagai penggunaan sumber daya yang berdasarkan pada
sekolah itu sendiri dalam proses pengajaran atau pembelajaran.16
Menurut Mallen, Ogawa dan Kranz, sebagaimana dikutip oleh
Ibtisam Abu Duhou, secara konseptual manajemen berbasis sekolah dapat
digambarkan sebagai suatu perubahan formal struktur penyelenggaraan,
sebagai suatu bentuk desentralisasi yang mengidentifikasi sekolah itu
sendiri sebagai unit utama peningkatan serta bertumpu pada redistribusi
kewenangan pembuatan keputusan sebagai sarana penting yang dengannya
peningkatan dapat didorong dan ditopang.17
MBS diterjemahkan dari istilah School Based Management (SBM),
istilah ini pertama kali pada tahun 1970-an di Amerika Serikat sebagai
alternatif untuk mereformasi pengelolaan pendidikan atau sekolah.18
15 E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah Konsep, dan Implementasi, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2003), hlm. 19. 16 Nurkolis, Manajemen Berbasis Sekolah: Teori, Mode dan Aplikasi, (Jakarta: Gramedia
Widiasarana Indonesia, 2003), hlm. 1. 17 Ibtisan Abu Duhou, School-Based Management, terj. Noryamin Aini, dkk., (Jakarta:
Logos, 2002), hlm. 16. 18 Nurkolis, Op. Cit., hlm. 1-2.
25
Reformasi tersebut diperlukan untuk meningkatkan kinerja sekolah dan
memenuhi tuntutan perubahan lingkungan sekolah, seperti tuntutan
terhadap peningkatan mutu pendidikan dan tuntutan terhadap mutu lulusan
yang relevan dengan dunia kerja.
Meskipun sebenarnya MBS telah cukup lama berkembang dan
diterapkan di Mancanegara, namun di Indonesia gagasan untuk
menerapkan konsep tersebut baru muncul seiring dengan pelaksanaan
otonomi daerah yang juga berarti otonomi dalam hal pengelolaan sekolah.
“Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia menyebut
MBS dengan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah
(MPMBS)”.19 MPMBS itu pada hakekatnya merupakan otonomi yang
diberikan kepada kepala sekolah untuk secara aktif serta mandiri
mengembangkan dan melakukan berbagai program peningkatan mutu
pendidikan sesuai dengan kebutuhan sekolah sendiri.20
Definisi MPMBS yang dikemukakan oleh Sugiyono adalah:
“Sebagai pengkoordinasian dan penyerasian sumber daya yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan semua kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan sekolah dalam rangka kebijakan nasional”21
MPMBS merupakan model pengelolaan sekolah di era
desentralisasi yang memberikan kewenangan yang lebih luas kepada
sekolah untuk menyediakan pendidikan yang bermutu kepada peserta
didik. Dengan adanya kewenangan tersebut, maka sekolah memiliki
kesempatan yang lebih luas pula untuk meningkatkan kinerja para
personel sekolah dan melibatkan masyarakat secara langsung dalam proses
perencanaan dan penyelenggaraan pendidikan.
19 Ibid., hlm. 9. 20 Ibrahim Bafadal, Manajemen Peningkatan Mutu Sekolah Dasar, (Jakarta: Bumi
Aksara, 2003), hlm. 82. 21 Sugiyono, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, (Yogyakarta: Fakultas
Teknik Universitas Negeri Yogyakarta: 2002), hlm. 1.
26
Berbagai pengertian tentang konsep manajemen berbasis sekolah
yang telah dijelaskan, maka dari semuanya merupakan satu bentuk
keragaman corak berfikir secara ilmiah, akan tetapi yang jelas MBS
merupakan suatu pemberian wewenangan bagi sekolah untuk menggali,
mengelola, mengembangkan dan mempunyai tanggung jaab atas semua
yang dimiliki oleh sekolah. Akibatnya, dalam upaya pencapaian
keunggulan masyarakat dalam hal penguasaan ilmu dan teknologi akan
mudah dicapai. Akan tetapi yang jelas manajemen berbasis sekolah
merupakan suatu pemberian wewenang bagi sekolah untuk menggali,
mengelola, mengembangkan, dan mempunyai tanggung jawab atas semua
yang dimiliki oleh sekolah. Dengan demikian dalam upaya pencapaian
keunggulan masyarakat dalam hal penguasaan ilmu dan teknologi akan
mudah dicapai.
Ciri utama dari manajemen berbasis sekolah adalah kemandirian
sekolah dalam segala aspek untuk mampu menentukan arah
pengembangan, yang semua itu disesuaikan dengan kondisi dan tuntutan
lingkungan masyarakat setempat. Jadi walaupun ada beberapa pengertian
berbeda dari beberapa tokoh mengenai pengertian manajemen berbasis
sekolah, namun perbedaan itu tidak perlu diperdebatkan secara signifikan,
karena dari perbedaan pengertian tersebut mempunyai pengertian yang
sama bahwa manajemen berbasis sekolah adalah pengelolaan sumber daya
sekolah secara mandiri, di mana sumber daya ada dua macam, yaitu:
sumber daya sekolah (kepala sekolah, guru, karyawan, sarana dan lain-
lain) dan sumber daya manusia luar sekolah (wali siswa, pengguna
prasarana lulusan), inilah yang menjadi ciri atau pengertian dari MBS.
Adapun dalam buku Manajemen Berbasis Sekolah karangan E.
Mulyasa dijelaskan ciri-ciri MBS yaitu sebagai berikut:22
BAGAN
CIRI-CIRI MBS Organisasi Proses Belajar Sumber Daya Sumber Daya dan
22 E. Mulyasa, Op. Cit., hlm. 30.
27
Sekolah Mengajar Manusia Administrasi Menyediakan manajemen organisasi kepemimpinan transformasional dalam mencapai tujuan sekolah
Meningkatkan kualitas belajar siswa
Memberdayakan staf dan menempatkan personel yang dapat melayani keperluan semua siswa
Mengidentifikasi sumber daya yang diperlukan dan mengalokasikan sumber daya tersebut sesuai dengan kebutuhan
Menyusun rencana sekolah dan merumuskan kebijakan untuk sekolahnya sendiri
Mengembangkan kurikulum yang cocok dan tanggap terhadap kebutuhan siswa dan masyarakat sekolah
Memilih staf yang memiliki wawasan manajemen berbasis sekolah
Mengelola sekolah
Mengelola kegiatan operasional seoklah
Menyelenggarakan pengajaran yang efektif
Menyediakan kegiatan untuk pengembangan profesi pada semua staf
Menyediakan dukungan administrative
Menjamin adanya komunikasi yang efektif antara sekolah dan masyarakat terkait (school community)
Menyediakan program pengembangan yang diperlukan siswa
Menjamin kesejaheteraan staf dan siswa
Mengelola dan memelihara gedung dan sarana lainnya
Menjamin akan terpeliharanya sekolah yang bertanggung jawab (akuntabel kepada masyarakat dan pemerintah)
Program pengembangan yang diperlukan siswa
Kesejahteraan staf dan siswa
Memelihara gedung dan sarana lainnya
2. Tujuan dan Manfaat Manajemen Berbasis Sekolah
MBS (Manajemen Berbasis Sekolah) yang ditandai dengan
otonomi sekolah dan pelibatan masyarakat merupakan respon pemerintah
terhadap gejala-gejala yang muncul di masyarakat bertujuan untuk
meningkatkan efisiensi, mutu dan pemerataan pendidikan.23
Menurut Nanang Fatah, istilah efisiensi menggambarkan hubungan
antara input dan output, atau antara masukan dan keluaran. Suatu sistem
yang efisien ditunjukkan oleh keluaran yang lebih untuk sumber masukan
(resource input). Dan yang dimaksud dengan efisiensi pendidikan adalah
23 Ibid., hlm. 25.
28
adanya keterkaitan antara pendayagunaan sumber-sumber pendidikan yang
terbatas jumlahnya sehingga dapat mencapai optimalisasi yang tinggi.24
Senada dengan pendapat di atas, menurut Ace Suryadi dan kawan-
kawan, “efisiensi pendidikan memiliki kaitan langsung dengan
pendayagunaan sumber-sumber pendidikan yang terbatas secara optimal
sehingga memberikan dampak yang optimal pula”.25 Dengan
diterapkannya MBS diharapkan efisiensi pendidikan akan terwujud karena
sekolah lebih leluasa dalam mengelola dan mendayagunakan sumber-
sumber pendidikan yang memilikinya secara tepat guna. Artinya tidak ada
pemborosan waktu tenaga maupun dana, sebab selalu mempertimbangkan
kondisi dan kebutuhan dari sekolah itu sendiri. Efisiensi pendidikan akan
diperoleh jika sekolah diberi keleluasaan dalam mengelola sumber-sumber
pendidikan tanpa dihadapkan oleh birokrasi yang berbelit-belit.
Untuk mengukur mutu pendidikan, sedikitnya terdapat dua standar
utama yang bisa dipergunakan, yaitu: 1) standar hasil dan pelayanan; 2)
standar pelanggan.26
Standar hasil pendidikan mencakup spesifikasi pengetahuan,
ketrampilan dan sikap yang diperoleh oleh anak didik, hasil pendidikan itu
dapat dimanfaatkan di masyarakat atau di dunia kerja (tingkat kesalahan
yang sangat kecil, bekerja benar dari awal, dan benar untuk pekerjaan
berikutnya). Sedangkan standar pelanggan mencakup terpenuhinya
kepuasan, harapan ,dan pencerahan hidup bagi kostumer itu.27
“Peningkatan mutu dapat diperoleh, antara lain melalui partisipasi
orang tua terhadap sekolah, fleksibelitas pengelolaan sekolah dan kelas,
24 Nanang Fatah, Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2000), hlm. 35. 25 Ace Suryadi, dkk., Analisis Kebijakan Pendidikan Suatu Pengantar, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1994), hlm. 162. 26 Sudarman Danim, Agenda Pembaharuan Sistem Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2003), hlm. 79. 27 Ibid., hlm. 80.
29
peningkatan profesionalisme guru dan kepala sekolah, berlakunya sistem
insentif serta disinsentif.28
Sedangkan untuk meningkatkan pemerataan pendidikan, antara
lain dapat diperoleh melalui peningkatan partisipasi masyarakat dalam
kegiatan sekolah, sehingga pada sebagian masyarakat akan tumbuh rasa
kepemilikan dan rasa ikut bertanggung jawab yang tinggi terhadap
sekolah.Akan memungkinkan organisasi pemerintah untuk lebih
berkonsentrasi pada kelompok tertentu yang kurang mampu.
Penerapan MBS membawa dampak positif (manfaat) bagi
kemajuan pendidikan di sekolah. Sekolah yang dikelola secara otonom
akan dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya sekolah yang ada,
sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan guru. Guru yang sejahtera
akan memiliki konsentrasi penuh terhadap tugasnya.
Keleluasaan dalam mengelola sumber daya dan dalam
menyertakan masyarakat untuk berpartisipasi mendorong profesionalisme
kepala sekolah. Dalam peranannya sebagai manager maupun pemimpin
sekolah. Dengan diberikannya kesempatan kepada kepala sekolah untuk
menyusun kurikulum, guru didorong untuk termotivasi dengan melakukan
eksperimentasi-eksperimentasi di lingkungan sekolahnya. Dengan
demikian, MBS mendorong profesionalisme guru dan kepada sekolah
sebagai pemimpin pendidikan.29
Sementara itu, dengan adanya keterlibatan yang lebih luas dari
pihak-pihak yang berkompeten terhadap pendidikan, seperti para staf dan
guru, orang tua, peserta didik dan masyarakat (stackholders) dalam
perumusan kebijakan dan keputusan tentang pendidikan, maka akan
meningkatkan komitmen mereka terhadap sekolah.
Sekolah yang dikelola secara terbuka dan transparan serta selalu
mendapatkan kontrol dari masyarakat dan monitoring dari pemerintah,
28 E. Mulyasa, Loc. Cit. 29 Ibid., hlm. 26.
30
maka akan dapat meningkatkan kinerja pada personal sekolah untuk
memperbaiki mutu pendidikan.
3. Pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah
Hal yang paling penting dalam Implementasi manajemen berbasis
sekolah adalah manajemen terhadap komponen-komponen sekolah itu
sendiri. Terhadap tujuh komponen sekolah yang harus dikelola dengan
baik dalam rangka MBS, yaitu:
a. Kurikulum dan program pengajaran
b. Tenaga kependidikan
c. Kesiswaan
d. Keuangan
e. Sarana dan prasarana pendidikan
f. Pengelolaan hubungan sekolah dan masyarakat
g. Manajemen pelayanan khusus lembaga pendidikan.30
Dalam pelaksanaan MBS disini lebih difokuskan pada kurikulum
dan program pengajaran.
Penerapan MBS yang efektif dibutuhkan guru yang mempunyai
kinerja yang tinggi dalam pelaksanaan proses belajar mengajar khussnya
PAI.
MBS sendiri merupakan salah satu gagasan yang diterapkan untuk
meningkatkan pendidikan umum. Tujuan akhirnya adalah meningkatkan
lingkungan yang kondusif bagi pembelajaran murid.31
Salah satu tujuh komponen adalah kurikulum dan program
pengajaran yang mencakup kegiatan Perencanaan, Pelaksanaan dan
Penilaian kurikulum. Perencanaan dan pengembangan kurikulum nasional
pada umumnya telah dilakukan oleh Departemen Pendidikan Nasional
pada tingkat pusat karena itu level sekolah yang paling penting adalah
30 Ibid., hlm. 39. 31 Agus Dharma, MBS Belajar dari Pengalaman Orang Lain, Pusdiklat Pegawai
DepDikNas.
31
bagaimana merealisasikan dan menyesuaikan kurikulum tersebut dengan
kegiatan pembelajaran.32
Heterogenitas masyarakat Indonesia akan mengakibatkan
kebutuhan peserta didik berbeda-beda. Oleh karena itu kurikulum yang
menggunakan pendekatan topik dan bukan pendekatan kompetensi serta
diberlakukan secara nasional perlu ditinjau kembali, misalnya tentang isi
kurikulum apakah sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Pemburuan
kurikulum begitu ketat yang bertentangan dengan kebutuhan belajar.33
Untuk merelalisasikan dan menyesuaikan kurikulum peran kepala
sekolah sebagai inovator pelaksana pembaharuan kegiatan pengajaran
yang dipimpinnya berdasarkan prediksi-prediksi yang sudah berlaku.
Dalam hal ini pembaharuan kurikulum dengan memperhatikan potensi dan
kebutuhan sekolah setempat seperti materi kurikulum (isi kurikulum) atau
strategi proses belajar mengajar.34
Sebagaimana diketahui, guru adalah Pelaksanaan sentral atas
kurikulum yang sedang dijalankan, oleh karenanya guru sebagai titik
sentral pembaharuan disarankan untuk mengurangi hal-hal yang
diungkapkan oleh Oliver (1977) dalam buku Pengembangan dan Inovasi
Kurikulum, karangan Subandijah, yaitu:35
a. Kegelisahan dan ketidakamanan, faktor yang besar pengaruhnya
terhadap keberhasilan usaha perubahan kurikulum.
b. Ketidakmampuan, hal ini sangat berkaitan dengan sikap
kepemimpinan pihak pembaharu.
c. Kekurangan dana, kurangnya dana akan berpengaruh terhadap
pembaharuan.
d. Kekurangan waktu, kurangnya waktu (misal: kesibukan guru
melakukan kegiatan) sehingga akan menghambar keberhasilan.
32 E. Mulyasa, Op. Cit., hlm. 40. 33 Sufyarma, Kapita Selekta Manajemen Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2003), hlm. 92. 34 Nurkolis, Op. Cit., hlm. 121. 35 Subandijah, Pengembangan dan Inovasi Kurikulum, (Jakarta: Raja Grafindo, 1996),
hlm. 82.
32
Pembaharuan kurikulum di sini lebih dititikberatkan pada kurikulum
muatan lokal yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat dan
lingkungan setempat. Sebenarnya kurikulum muatan lokal telah dilakukan
sejak digunakan kurikulum 1984, khususnya di Sekolah Dasar (SD). Pada
kurikulum tersebut muatan lokal disisipkan pada berbagai bidang studi
yang sesuai.36 Dalam hal ini mata pelajaran Agama Islam, pengembangan
kurikulum muatan lokal dimaksudkan untuk mengimbangi kelemahan-
kelemahan kurikulum sentralisasi, khususnya mata pelajaran PAI.
Kurikulum muatan lokal pada hakikatnya merupakan suatu
perwujudan pasal 38 ayat 2 UU Sistem Pendidikan Nasional yang
berbunyi:
Kurikulum pendidikan dasar dan menengah dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota untuk pendidikan dasar dan Propinsi untuk pendidikan menengah.37
Sebagai tindak lanjut hal tersebut, muatan lokal telah dijadikan
strategi pokok untuk meningkatkan kemampuan dan ketrampilan yang
relevan dengan kebutuhan lokal dan sedapat mungkin melibatkan peran
serta masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaannya.
Dalam pembaruan kurikulum muatan lokal diperlukan kehati-hatian,
karena dalam operasionalnya berubah menjadi kurikulum tingkat Propinsi,
tingkat Kabupaten dan tingkat Kota, dan dirancang seragam untuk tingkat
Propinsi dan Kabupaten, atau Kota. Pola penyusunan kurikulum seperti ini
perlu dicermati, karena merupakan indikasi perpindahan sentralisasi
pendidikan dari leval pusat menjadi sentralisasi pendidikan pada level
Propinsi, Kabupaten atau Kota.38
Telah dijelaskan bahwa dalam MBS pembaharuan kurikulum yang
dilakukan adalah bersifat desentralisasi.
36 E. Mulyasa, Loc. Cit. 37 UU Sisdiknas, pasal 38 ayat 2, Op. Cit hlm. 21. 38 Sufyarman, Loc. Cit.
33
Pelaksanaan kurikulum Sekolah Dasar (SD) yang disempurnakan
diusahakan berorientasi kepada lingkungan, yaitu dengan cara muatan
lokal. Muatan lokal sendiri adalah program pendidikan yang isi dan media
penyampaiannya dikaitakan dengan lingkungan alam, lingkungan sosial
dan lingkungan budaya serta kebutuhan daerah dan wajib dipelajari oleh
peserta didik di daerah itu.39
Adapun pelaksanaan muatan lokal dalam kurikulum Sekolah Dasar
(SD) dapat dilaksanakan secara intrakurikuler, kokurikuler dan
ekstrakurikuler. Dalam pengembangan kurikulum muatan lokal ditempuh
dua cara yaitu:
a. Sudah tersedia alokasi waktu dalam struktur program pengajaran dan
sudah diatur dalam kurikulum yang berlaku.
b. Dalam hal belum/tidak disediakan waktu tersedia dalam melakukannya
maka dapat ditempuh dua cara yaitu: 1) Diintegrasikan dengan
kegiatan intrakurikuler, 2) Disediakan waktu dalam kegiatan
kokurikuler atau ekstrakurikuler.40
Sebenarnya pelajaran agama memiliki peran yang sangat penting
pada semua jenjang pendidikan, meskipun demikian pendidikan agama
dirasa belum mampu mendapatkan peran yang proporsional dalam
percaturan kurikuler dalam kontek psikis pendidikan secara nasional.
Sebagian besar anggota masyarakat dan para pendidik masih memandang
dan lebih mementingkan penguasaan ilmu-ilmu umum. Keadaan ini
membuat PAI disekolah-sekolah menjadi seperti “ bonsai “ yang hanya
cukup untuk memperindah ruangan, tetapi tidak perlu dikembangkan
secara optimal dan kontekstual sesuai dengan tantangan global. Kondisi ini
akhirnya menyeret para pendidik pelajaran agama sebagai ilmu, bukan
sebagai standar nilai-nilai yang harus diaplikasikan secara kontekstual dan
39 Subandijah, Op. Cit., hlm. 148. 40 Ibid., hlm. 161-162.
34
aktual bagi kehidupan siswa. Pembelajaran agama Islam saat ini lebih
menekankan aspek kognitif dari yang seharusnya, yaitu aspek afektif 41
Adapun karakteristik kurikulum Islami memenuhi beberapa
ketentuan, yaitu:
a. Memiliki sistem pengajaran dan materi yang selaras dengan fitrah
manusia.
b. Harus mewujudkan tujuan pendidikan Islami.
c. Harus sesuai dengan tingkatan baik karakteristik, tingkat pemahaman,
jenis kelamin, serta sesuai dengan tugas-tugas kemasyarakatan.
d. Memperhatikan tujuan-tujuan masyarakat yang realistis, menyangkut
penghidupan dan bertitik tolak dari keIslaman yang ideal.
e. Tidak bertentangan dengan konsep-konsep Islam.
f. Harus realistis sehingga dapat diterapkan selaras dengan kesanggupan
negara yang hendak menerapkannya sehingga sesuai dengan tuntutan
dan kondisi negara itu sendiri.
g. Harus memilih metode yang sehingga dapat diadaptasikan kedalam
berbagai kondisi, lingkungan sekitar ( tempat kurikulum diterapkan ).
h. Harus efektif, dapat memberikan hasil pendidikan yang bersifat
behavioristik dan tidak meninggalkan dampak emosional yang
meledak-meledak dalam diri generasi muda.
i. Harus sesuai dengan berbagai tingkatan usia anak didik.
j. Memperhatikan aspek pendidikan tentang segi-segi perilaku yang
bersifat aktivitas langsung.42
C. Pembelajaran PAI
1. Pengertian Pendidikan Agama Islam
41 Suyanto dan Djihad Hisyam, Refleksi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia
Memasuki Milenium III, (Yogyakarta: Adiata Karya Nusa, 2000), hlm. 71. 42 Abdul Majid dan Dian Andayani, PAI Berbasis Kompetensi, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2004), hlm. 79-80.
35
Menurut Syekh Mustafa al-Ghulayani dalam kitabnya Idzatun
Nasyi’in memberikan pengertian tentang pendidikan adalah:
هي غرس االخالق الفاضلة ىف نفوس الناشئين وسقيها بماء : التربيةهترن ثمكوت فس ثملكة النم لكة منم بحصى تتة ححصيالناد وشا اإلر
.وحب العمل لنفع الوطن, الفضيلة والخير“Pendidikan adalah menanamkan akhlak yang mulia dalam jiwa murid serta menyiraminya dengan petunjuk dan nasehat, sehingga menjadi kecenderungan, jiwa yang membuahkan keutamaan, kebaikan serta cinta bekerja yang berguna bagi tanah air”.43 Buku Moral dan Kognisi Islam karangan Muslim Nurdin, dkk., mengatakan pengertian agama Islam adalah (pesan-pesan) yang dituntut Tuhan kepada para Nabi dan Rasul sebagai petunjuk dan pedoman yang mengandung hukum-hukum sempurna untuk dipergunakan dalam menyelenggaralan tata cara kehidupan manusia, yaitu mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya, hubungan manusia dengan alam dan hubungan manusia dengan khaliknya.44
Kaitannya dengan tujuan Pendidikan Nasional, sebagaimana
tertuang pada Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU No. 20
Tahun 2003) dalam bab II pasal 3 menyatakan:
Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.45
Pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa agama mempunyai
peran yang sangat penting dan turut menentukan sebagai modal dasar
pembangunan bangsa, berperan sebagai penggerak dan pengendali,
pembimbing dan pendorong hidup warganya ke arah suatu penghidupan
yang lebih baik dan sempurna.
43 Mustafa al-Ghulayaini, Idah al-Nasi’in, (Pekalongan: Raja Murah, 1953), hlm. 189. 44 Muslim Nurdin, dkk., Moral dan Kognisi Islam, (Bandung: Alfabeta, 1993), hlm. 36. 45 UU No. 20 Tahun 2003 Tentang “Sistem Pendidikan Nasional”, (Bandung:
Fokusmedia, 2003), hlm. 7.
36
Juga dapat diketahui bersama bahwa akan pentingnya pendidikan
sebagai bekal yang sangat menentukan di masa depan bagi setiap manusia.
Sebelum membicarakan pengertian tentang Pendidikan Agama Islam perlu
kiranya penulis sampaikan pengertian pendidikan secara umum sebagai
titik tolak memberikan pengertian agama Islam.
Di samping itu Pendidikan Agama Islam merupakan sub sistem dari
Pendidikan Nasional.
Menurut Redja Mudyahardjo dalam bukunya “Filsafat Ilmu Pendidikan” pendidikan adalah keseluruhan pengalaman belajar setiap orang sepanjang hidupnya. Dalam arti luas, pendiidkan berlangsung tidak dalam batas usia tertentu, tetapi berlangsung sepanjang hidup (life long) sejak lahir (bahkan sejak awal hidup dalam kandungan) hingga mati.46
Sedangkan menurut Chabib Thoha membedakan pendidikan dalam
dua pengertian, yakni arti teoritik filosofis dan pengertian dalam arti
praktis. Pengertian pendidikan dalam arti teoritik filosofis adalah
pemikiran manusia terhadap masalah-masalah kependidikan untuk
memecahkan dan menyusun teori-teori baru dengan mendasaarkan kepada
pemikiran normatif, spekulatif, rasional empirik, rasional filosofik maupun
histories filosofis. Pendidikan dalam arti praktek adalah suatu proses
pemindahan pengetahuan ataupun pengembangan potensi-potensi yang
dimiliki subjek didik untuk mencapai perkembangan secara optimal serta
membudayakan manusia melalui proses transformasi nilai-nilai utama.47
Pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan arah
dan tujuannya adalah terbentuknya kepribadian terampil, cakap dan
bertanggung jawab baik terhadap sesama maupun terhadap sang pencipta
Allah SWT, dan itu merupakan harapan dari proses pembelajaran agama
Islam.
Menurut Zakiah Daradjat pengertian bahwa Pendidikan Agama Islam adalah usaha bimbingan dan asuhan terhadap anak didik agar kelak
46 Redja Mudyahardjo, Filsafat Ilmu Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001),
hlm. 46. 47 Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996).
Hlm. 98-99.
37
setelah selesai pendidikannya dapat memahami dan mengamalkan ajaran agama Islam serta menjadikannya sebagai pandangan hidup (way of life).48
Sedangkan pengertian Pendidikan Agama Islam menurut Ahmadi
dalam buku Konsep Diri Positif Penunjang prestasi PAI karangan
Muntholi’ah yaitu:
Pendidikan Agama Islam ialah suatu usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik dan meyakini, memahami, menghayati dan mengamalkan agama Islam sesuai kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan dengan memperhatikan tuntutan untuk menghormati agama lain dalam hubungan kerukunan antar umat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional.49
Pengertian di atas mengisyaratkan adanya perbedaan dengan
pendidikan lainnya, karena tujuan dan ruang lingkup Pendidikan Agama
Islam lebih luas jangkauannya. Dengan demikian, seorang guru agama
dituntut tidak hanya menguasai materi Penddikan Agama Islam, tetapi
seorang guru agama Islam harus beragama Islam dan aktif mengamalkan
ajaran-ajarannya dalam kehidupan sehari-hari.
2. Tujuan dan Fungsi Pendidikan Agama Islam
Tujuan pendidikan adalah gambaran sasaran yang hendak dicapai
oleh pendidikan sebagai suatu sistem. Tujuan pendidikan merupakan suatu
unsur yang sangat menentukan sistem pendidikan itu sendiri, karena tujuan
itulah yang merupakan harapan masyarakat akan hasil pendidikan, baik
dalam arti kuantitatif maupun kualitatif.
Pendidikan Agama Islam mempunyai tujuan, adapun tujuan
tersebut adalah Pendidikan Agama Islam pada sekolah umum, bertujuan
meningkatkan keimanan, pemahaman, penghayatan dan pengalaman siswa
terhadap ajaran agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang
bertakwa kepada Allah SWT, serta berakhlak mulia dalam kehidupan
48 Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hlm. 86. 49 Muntholi’ah, Konsep Diri Positif Penunjang Prestasi PAI, (Semarang: Gunungjati
Offset, 2002), hlm. 18.
38
pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Tujuan Pendidikan
Agama Islam ini mendukung dan menjadi bagian dari tujuan pendidikan
nasional sebagaimana diamanatkan oleh pasal 3 bab II Undang-Undang
nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.50
Adapun mengenai fungsi Pendidikan Agama Islam pada sekolah
umum adalah:
a. Pengembangan, yaitu meningkatkan keimanan dan ketakwaan peserta
didik kepada Allah SWT yang telah ditanamkan dalam lingkungan
keluarga.
b. Penyaluran, yaitu untuk menyalurkan anak-anak yang memiliki bakat
khusus di bidang agama agar bakat tersebut dapat berkembang secara
optimal sehingga dapat dimanfaatkan untuk dirinya sendiri dan bagi
orang lain.
c. Perbaikan, yaitu untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan,
kekuarangan-kekurangan, dan kelemahan-kelemahan peserta didik
dalam keyakinan, pemahaman, dan pengamalan ajaran Islam dalam
kehidupan sehari-hari.
d. Pencegahan, yaitu untuk menangkal hal-hal negatif dan
lingkungannya atau dari budaya yang dapat membahayakan dirinya
dan menghambat perkembangannya menuju manusia Indoensia
seutuhnya.
e. Penyesuaian, yaitu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan fisik
maupun lingkungan sosial dengan ajaran Islam.
f. Sumber nilai, yaitu memberikan pedoman hidup untuk mencapai
kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.51
3. Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
50 Depag RI, Pedoman PAI di Sekolah Umum, (Jakarta: Dirjen Kelembagaan Agama
Islam, 2004), hlm. 4.
51 Depag RI, Op. Cit., hlm. 4-5.
39
Sebelum penulis menjelaskan pengertian pembelajaran terlebih
dahulu penulis akan menjelaskan beberapa pengertian tentang belajar.
Belajar menurut Uzer Usman bahwa:
Belajar diartikan sebagai perubahan tingkah laku pada diri individu berkat adanya interaksi antara individu dengan individu dan individu dengan lingkungan, sehingga mereka lebih mampu berinteraksi dengan lingkungannya.52
Gordon H. Bower, Ernes R. Hilgard mengemukakan bahwa:
Learning refers to the change in a subject’s behavior or behavior potential to a given situation brought about by the subject’s repeated experiences in that situation, provided that the behavior change cannot be explained on the basis of the subject’s native response tendencies, maturation, or temporary states.53 Belajar menunjukkan pada perubahan tingkah laku subyek atau tingkah laku yang potensial menjadi sebuah keadaan atau kondisi yang diperoleh dari pengalaman-pengalaman berulang-ulang subyek dalam situasi tertentu, hal ini memberi penjelasan bahwa perubahan tingkat laku itu, tidak dapat dijelaskan dari dasar.
Pembelajaran merupakan aktualisasi kurikulum yang menuntut
keaktivan guru dalam menciptakan dan menumbuhkan kegiatan peserta
didik sesuai dengan rencana yang telah diprogramkan.54
Pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan dan prosedur yang saling mempengaruhi mencapai tujuan pembelajaran. Sistem pembelajaran dapat dilaksanakan dengan membaca buku, belajar dikelas atau di sekolah, karena diwarnai oleh organisasi dan interaksi antara berbagai komponen yang saling berkaitan membelajarkan peserta didik.55
Kegiatan inti pembelajaran atau pembentukan kompetensi perlu
dilakukan dengan tenang dan menyenangkan, hal tersebut tentu saja
52 Moh. Uzer Usman, Lilis Setiawati, Upaya Optimalisasi Kegiatan Belajar Mengajar,
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993), hlm. 4. 53 Ernest R. Hilgard, Gordon H. Bower, Theories of Learning, (USA: Prentice Hall, Inc.,
Englewood Cliffs, 1981), hlm. 11. 54 E. Mulyasa, Implementasi Kurikulunm 2004, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005),
hlm. 117. 55 Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran, (Jakarta: Bumi Aksara, 2001), hlm. 57.
40
menuntut aktivitas dan kreativitas guru dalam menciptakan lingkungan
yang kondusif.56
Kegiatan pembelajaran PAI diarahkan untuk meningkatkan pemahaman, penghayatan, dan pengajaran agama Islam dari peserta didik, yang di samping untuk membentuk kesalehan dan kualitas pribadi, juga untuk membentuk kesalehan sosial. Dalam arti kualitas atau kesalehan pribadi itu diharapkan mampu memancar keluar dalam hubungan keseharian dengan manusia lainnya (bermasyarakat), baik yang seagama (sesama muslim) atau yang tidak seagama (non muslim), serta dalam berbangsa dan bernegara sehingga dapat dapat terwujud persatuan dan kesatuan nasional (ukhuwah wathaniyah) dan bahkan ukhuwah insaniyah (persatuan dan kesatuan antar sesama muslim).57
Sebuah pembelajaran setidaknya memuat unsur-unsur untuk
mencapai tujuan pembelajaran, seperti:58
a. Unsur dinamis pembelajaran pada diri guru
1) Motivasi membelajarkan siswa, guru harus memiliki motivasi
untuk membelajarkan siswa. Motivasi itu sebaiknya timbul dari
kesadaran yang tinggi untuk membelajarkan siswa menjadi lebih
baik.
2) Kondisi guru siap membelajarkan siswa, dalam proses
pembelajaran guru harus memiliki kompetensi (personal,
profesional, dan sosial). Guru perlu berupaya meningkatkan
kemampuan-kemampuan tersebut agar senantiasa berada dalam
kondisi siap untuk membelajarkan siswa.
b. Unsur pembelajaran dengan unsur belajar
1) Motivasi belajar menuntut sikap tanggap dari pihak guru serta
kemampuan untuk mendorong motivasi dengan berbagai upaya
pembelajaran.
56 E. Mulyasa, Implementasi… Op. Cit., hlm. 129. 57 Muhaimin, et.al.,Paradigma Pendidikan Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya,2004) ,
hlm. 76. 58 Oemar Hamalik, Op., Cit., hlm 66-68.
41
2) Sumber-sumber yang digunakan sebagai bahan belajar seperti:
buku pribadi, sumber masyarakat, pengadaan alat-alat belajar,
mengelola suasana belajar yang efektif dan subjek belajar (siswa).
Adapun kondisi pembelajaran PAI adalah semua factor yang
mempengaruhi penggunaan metode pembelajaran PAI. Faktor-faktor yang
mempengaruhi kondisi pembelajaran yaitu:
a. Tujuan pembelajaran PAI karakteristik PAI
b. Kendala pembelajaran PAI
c. Karakteristik peserta didik.
Adapun metode pembelajaran PAI diklasifikasikan menjadi tiga
yaitu:
a. Strategi pengorganisasian, adalah suatu metode untuk
mengorganisasikan isi bidang studi PAI yang dipilih untuk
pembelajaran.
b. Strategi penyampaian, adalah metode-metode penyampaian
pembelajaran PAI yang dikembangkan untuk dapat membuat siswa
merespons dan menerima pelajaran PAI dengan mudah cepat
menyenangkan. Ada tiga komponen strategi penyampaian yaitu: 1)
Media pemeblajaran, b) Interaksi media pembelajaran, c) Pola dan
bentuk belajar mengajar.
c. Strategi pengelolaan pembelajaran, adalah metode untuk menata
interaksi antara peserta didik dengan komponen-komponen metode
pembelajaran lain (seperti: pengorganisasian dan penyampaian isi
pembelajaran).59
Dalam bukunya E. Mulyasa Pelaksanaan Pembelajaran perlu
mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:60
a. Mengintegrasikan pembelajaran dengan kehidupan masyarakat di
sekitar lingkungan sekolah
59 Muhaimin, et.al., Op. Cit., hlm. 150-155. 60 E. Mulyasa, Implementasi… Op. Cit., hlm. 134.
42
b. Mengidentifikasi kompetensi sesuai dengan kebutuhan dan masalah
yang dirasakan peserta didik.
c. Mengembangkan indikator setiap kompetensi agar relevan dengan
perkembangan dan kebutuhan peserta didik.
d. Menata struktur organisasi dan mekanisme kerja yang jelas serta
menjalin kerjasama di antara para fasilitator dan tenaga kependidikan
lain dalam pembentukan kompetensi peserta didik.
e. Merekrut tenaga kependidikan yang memiliki pengetahuan,
ketrampilan, dan sikap sesuai dengan tugas dan fungsinya.
f. Melengkapi sarana dan prasarana belajar yang memadai, seperti
perpustakaan, laboratorium, pusat sumber belajar, perlengkapan teknis,
dan perlengkapan administrasi, serta ruang pembelajaran yang
memadai.
g. Menilai program pembelajaran secara berkala dan berkesinambungan
untuk melihat keefektifan dan ketercapaian kompetensi yang
dikembangkan.
Dalam proses pembelajaran, dikenal berbagai pola pembelajaran.
Adapun pola pembelajaran PAI adalah model yang menggambarkan
kedudukan serta peran guru dan pelajar dalam proses pembelajaran.
Secara operasional, penerapan pola pembelajaran mempunyai ciri
pokok, antara lain:
a. Fasilitas fisik sebagai perantara penyajian informasi
b. Sistem pembelajaran dan pemanfaatan yang merupakan komponen
terpadu.
c. Adanya pilihan yang memungkinkan terjadinya:
1) Perubahan fisik tempat belajar, 2) Hubungan guru dan peserta
didik yang dibantu media, 3) Aktivitas peserta didik yang lebih
mandiri, 4) Perlunya kerjasama lintas disiplin ilmu seperti ahli
43
instruksional, ahli media pembelajaran, 5) Perubahan peranan dan
kecakapan mengajar, 6) Keluwesan waktu dan tempat belajar.61
D. Peran Komite Sekolah dalam MBS pada Pembelajaran PAI
Pendidikan sebagai salah satu bidang pemerintahan yang wajib
dilaksanakan tidak dapat lepas dari struktur, fungsi, dan peran
pemerintah daerah dalam rangka desentralisasi daerah tersebut. Oleh
sebab itu untuk sampai pada apa yang dikenal dengan pengelolaan
MBS tidak secara otomatis dapat dilaksanakan dengan adanya
desentralisasi daerah sebab desentralisasi daerah adalah desentralisasi
dalam struktur organisasi pemerintah daerah, tetapi melalui
desentralisasi pendidikan.
Melalui desentralisasi pendidikan, proses pendidikan akan
berlangsung lebih baik dan hasilnya dapat dimanfaatkan karena sesuai
dengan kebutuhan masyarakat.62
MBS sendiri perannya dalam kurikulum khususnya
pembelajaran PAI lebih mengarah kepada peningkatan mutu PAI agar
lebih bermakna.
Selama ini kurikulum sekolah banyak yang berorientasi ke
sejarah, tanpa banyak berorientasi ke masa depan yang akan dihadapi
sekolah itu sendiri, misalnya bagaimana sekolah menyiapkan
seperangkat nilai yang dibutuhkan untuk menghadapi tantangan masa
depan. Bagaimana mungkin sekolah dapat mengatasi persoalan apabila
hanya bertahan pada nilai-nilai historis sementara nilai-nilai yang
mengarah ke masa depan tidak dipersiapkan.63
Dalam pembelajaran PAI salah satu usaha untuk meningkatkan
mutu adalah dengan pembaharuan kurikulum PAI yang lebih
61 Muhaimin, et.al., Op. Cit., hlm. 158-159. 62 Makalah Seminar Nasional dengan tema “Mengelola Institusi Pendidikan secara
Efektif”, oleh Prof. D.H. Mungin Eddy Wibowo, M.Pd. tanggal 26 Februari 2003, di Semarang, hlm. 23-24.
63 Mukhtar, Desain Pembelajaran PAI, (Jakarta: Misaka Galiza, 2003), hlm. 47-48.
44
dipadatkan dengan adanya kurikulum muatan lokal. Kurikulum muatan
lokal adalah “program pendidikan yang isi dan media penyampaiannya
dikaitkan dengan lingkungan alam dan lingkungan budaya serta
kebutuhan daerah dan wajib dipelajari oleh murid di daerah itu”.64
Muatan lokal diartikan sebagai program pendidikan yang isi
dan media penyampaiannya dikaitkan dengan lingkungan alam.
Lingkungan sosial dan lingkungan budaya serta kebutuhan
pembangunan daerah yang perlu diajarkan pada siswa.
Isi dalam pengertian di atas adalah bahan pelajaran yang
digunakan untuk mencapai tujuan muatan lokal sedangkan media
penyampaian merupakan metode dan sarana yang digunakan dalam
penyampaian muatan lokal.65
Munculnya kurikulum muatan lokal tidak lepas dari peran
komite sekolah, hal tersebut dibuktikan dengan adanya fungsi komite
sekolah yaitu menjembatani kepentingan (sekolah) dan kepentingan
masyarakat sebagai stakeholder.
Pembaharuan kurikulum PAI dengan adanya muatan lokal
dikarenakan adanya masukan dari pihak orang tua siswa (masyarakat)
tentang kelemahan PAI yaitu kurangnya kemampuan motorik siswa
dalam hal ini tentang materi bacaan al-Qur’an. Kurikulum muatan
lokal PAI lebih ditekankan pada kemampuan membaca al-Qur’an.
Artinya para siswa pada tahap ini dipandang layak untuk menerapkan
serta menguasai kemampuan membacanya dengan baik dan benar,
sesuai dengan aturan-aturan bacaannya, walaupun pada taraf
pengenalan.
Pencapaian ke arah tujuan penguasaan kemampuan membaca
al-Qur’an, didukung dengan sifat-sifat materi pelajaran, kemampuan
yang ditekankan di sini yaitu aspek motorik siswa. Adapun aspek-
64 Dakir, Perencanaan dan Pengembangan Kurikulum 2004, (Jakarta: Rineka Cipta,
t.th.), hlm. 102. 65 Syaifudin Nurdin dan M. Basyiruddin Usman, Guru Profesional dan Implementasi
Kurikulum, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), hlm. 59.
45
aspek pendukung untuk keberhasilan pencapaian tujuan-tujuan serta
materi belajar seperti ini, perlu disediakan waktu serta sarana lainnya
yang diperlukan seperti al-Qur’an dalam jumlah yang memadai sesuai
dengan jumlah siswa serta disesuaikan pula dengan tingkat kecepatan
penguasaan materi pelajaran masing-masing siswa.66
Peran komite sekolah dalam MBS pada pembelajaran PAI,
jelas yaitu untuk meningkatkan mutu pembelajaran dengan adanya
pembaharuan kurikulum melalui kurikulum muatan lokal.
66 Abdul Majid dan Dian Andayani, Op. Cit., hlm. 173-174.