Upload
vanbao
View
226
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
9
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Manajemen Pendidikan
Manajemen pada hakikatnya merupakan seni
mengelola berbagai kegiatan oleh sekelompok orang
dalam suatu organisasi dengan menggunakan
kemampuan manajerial dan keterampilan teknis pada
kegiatannya untuk mencapai tujuan yang efektif dan
efisien (Siagian, 2007: 1). Seni yang dimaksud adalah
bagaimana mengkolaborasi pengetahuan, pengalaman
dan kreativitas dalam wadah manajemen. Manajemen
dapat juga berarti suatu proses atau kerangka kerja,
yang melibatkan bimbingan, pengarahan pada
sekelompok orang kearah tujuan organisasional atau
tujuan yang nyata (Terry dan Rue, 2009: 1).
Pembelajaran merupakan suatu bentuk
pelatihan, sehingga pengelolaannya mengacu pada
manajemen sumber daya pelatihan yaitu man, money,
machines, material,) methods (Emerson dalam Usman,
2009: 15).
1. Planning (Perencanaan)
Menurut Siagian (2007: 35), perencanaan
merupakan suatu kegiatan untuk menetapkan tujuan
yang ingin dicapai beserta menetapkan strategi untuk
mencapai tujuan tersebut, dengan kata lain
perencanaan merupakan usaha konkretisasi langkah-
langkah yang harus ditempuh yang dasar-dasarnya
telah ditetapkan dalam strategi organisasi.
10
2. Organizing (Pengorganisasian)
Pengorganisasian merupakan keseluruhan suatu
proses pengelompokan orang, alat, tugas, serta
wewenang dan tanggung jawab yang bergerak secara
bersama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Dengan kata lain pengorganisasian dilakukan untuk
menghimpun dan mengatur semua sumber-sumber
yang diperlukan, sehingga pekerjaan yang dikehendaki
berhasil dilaksanakan. Handoko (2008: 167),
menjelaskan pengorganisasian merupakan proses
penyusunan struktur organisasi yang sesuai dengan
tujuan organisasi, sumber-sumber daya yang
dimilikinya, dan lingkungan yang melingkupinya. Hal
senada dikemukan oleh Terry dan Rue (2010: 82),
bahwa pengorganisasian adalah proses pengelompokan
kegiatan-kegiatan untuk mencapai tujuan-tujuan dan
penugasan setiap kelompok pada seorang manajer yang
mempunyai kekuasaan, yang perlu mengawasi anggota
kelompoknya.
3. Actuating (Pelaksanaan)
Pelaksanaan program pelatihan mencakup
program penggerakkan dan pembinaan (Sudjana, 2007:
12). Pelaksanaan (actuating) merupakan fungsi
manajemen yang utama. Fungsi actuating lebih
menekankan pada kegiatan. Actuating merupakan
usaha untuk menggerakkan sekelompok orang dengan
terencana sehingga mencapai tujuan organisasi yang
diinginkan (Terry & Rue, 2010: 168). Pada
pembelajaran, actuating merupakan upaya menjadikan
perencanaan menjadi kenyataan, melalui kegiatan
dalam bentuk pengarahan, transfer pengetahuan,
11
keterampilan dan motivasi agar peserta didik dapat
melaksanakan kegiatan secara optimal.
4. Controlling (Pengawasan)
Pengawasan merupakan proses pengamatan dari
seluruh kegiatan organisasi guna lebih menjamin
bahwa semua pekerjaan yang sedang dilakukan sesuai
dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya
(Siagian, 2007: 125). Sedangkan menurut Handoko
(2008: 360) pengawasan dapat juga berarti
menetapkan standar pelaksanaan dengan tujuan-
tujuan perencanaan, merancang sistem informasi
umpan balik, membandingkan kegiatan nyata dengan
standart yang telah ditetapkan sebelumnya,
menetapkan dan mengukur penyimpangan-penyimpan
gan, serta mengambil tindakan koreksi yang diperlukan
untuk menjamin bahwa semua sumber daya
perusahaan dipergunakan dengan cara efektif dan
efisien dalam pencapaian perusahaan. Hal senada
dikemukan oleh Terry dan Rue (2010: 10) pengawasan
adalah kegiatan mengukur pelaksanaan dengan
tujuan-tujuan menentukan sebab-sebab penyimpangan
dan mengambil tindakan-tindakan korektif bilamana
diperlukan. Dari beberapa pendapat tersebut dapat
ditarik kesimpulan bahwa pengawasan merupakan
suatu tindakan untuk mengontrol kesesuaian antara
pelaksanaan dan perencanaan serta mengambil
tindakan korektif jika diperlukan.
Berdasarkan tahapan-tahapan manajemen yaitu
planing, organizing, actuating dan controlling maka
dapat direalisasikan dalam bentuk manajemen dalam
12
pelaksanaan Konseling kelompok dengan tahap sebagai
berikut.
Gambar 2.1
Skema Manajemen Konseling Kelompok
2.2 Motivasi Belajar
Motivasi merupakan satu penggerak dari dalam
hati seseorang untuk melakukan atau inginkan
mencapai sesuat. Schunk (2008: 4) menyatakan bahwa
motivation is a process whereby goal-directed activity is
istigated and sustained. Motivasi terkait dengan tujuan
yang mendorong secara langsung untuk bertindak.
Planing Pengembangan perangkat Layanan Bimbingan Kelompok
Organizing Penyiapan sarana penunjang pelaksanaan bimbingan kelompok
Actuating Pelaksanaan Layanan Konseling Kelompok
Controling Mengevaluasi melalui pengamatan dan tes psikologi motivasi belajar
Out put Peningkatan Motivasi Belajar
13
Gambaran kognitif motivasi merupakan suatu kesatuan
yang mendapatkan perhatian karena penting untuk
mencapai tujuan. Motivasi membutuhkan aktivitas
fisik dan mental. Aktivitas fisik memerlukan usaha,
ketekunan dan tindakan nyata lainnya. aktivitas
mental masuk dalam aktivitas kognitif berupa
perencanaan, mendengarkan kembali, pengaturan,
pengawasan, mengambil keputusan, pemecahan
masalah dan memperkirakan kemajuan yang dicapai.
Terkait dengan belajar, diperlukan dorongan agar
siswa melakukan aktivitas fisik maupun mentalnya
dalam belajar. Dorongan seseorang untuk melakukan
aktivitas belajar selanjutnya disebut dengan motivasi
belajar. Menurut Mitchel alam Schunk (2008: 5),
motivasi dapat berpengaruh pada belajar dan tindakan
yang mendasari keterampilan, strategi dan perilaku.
Motivasi belajar berkaitan dengan suatu topik tertentu
mendorong siswa melakukan aktivitas dan dipercaya
dapat membantunya dalam belajar seperti memahami
pejelasan pengajaran, mengatur mental, mendengarkan
kembali materi yang dipelajarai, membuat catatan
untuk memfasilitasi belajar, melakukan pengecekan
terhadap pemahaman diri, dan bertanya untuk
membantu mereka ketika tidak memahami materi
(Zimmerman dalam Schunk an Pintrich (2008: 5).
Ciri ciri individu yang memiliki motivasi belajar
adalah : 1) memiliki standart prestasi; 2) inovatif; 3)
tidak menyukai keberhasilan yang bersifat kebetulan
(McClealland, 2001: 42). Ciri lain menurut (Birch dan
Atkinson, 2001: 58) yaitu : 1) menetapkan tujuan yang
menantang namun realistic; 2) mau mengambil resiko
14
3) pantang menyerah; 4) tidak pernah merasa puas; 5)
tidak merasa terganggu oleh kegagalan yang diperoleh.
Indikator motivasi menurut Pintrich (1990:12)
dinyatakan sebagai berikut.
1) Choice of tasks; selection of tasks under free-choice conditions indicates motivation to perform
the task. 2) Effort; High effort-especially on difficult tasks-is
indicative of motivation. 3) Persistence; working for a longer time-especially
when one encounters obstacles-is associated with higher motivation.
4) Achievement; choice, effort, and persistence raise task achievement.
Dari pernyataan Pintrich dan Schunk yang
menjelaskan tentang indicator dari motivasi adalah 1)
penghargaan tugas: dimana jika seeseorang memilih
tugasnya sendiri maka orang tersebut memiliki
motivasi dalam melaksanakan tugas tersebut. 2) upaya;
semakin tinggi usaha seseorang dalam menjalankan
tugas, apalagi tugas yang sulit, maka hal tersebut
menunjukkan motivasi. 3) Kegigihan; melakukan suatu
pekerjaan secara terus menerus dan dalam waktu yang
lama, dan orang tersebut menghadapi masalah, maka
semakin tinggi moti vasi orang tersebut. 4) prestasi;
pemilihan tugas, usaha yang dilakukan, serta
ketekunan dapat meningkatkan prestasi dalam
menjalankan tugas.
2.3 Konseling Kelompok Behavioral
Layanan konseling kelompok merupakan layanan
bimbingan dan konseling yang memungkinkan siswa
memperoleh kesempatan untuk pembahasan dan
15
pengentasan permasalahan yang dialaminya melalui
dinamika kelompok. Dinamika kelompok merupakan
suasana yang hidup, bergerak yang ditandai dengan
adanya interaksi sesama anggota kelompok (Prayitno,
2008: 63). Menurut Winkel (2004: 198), layanan
konseling kelompok merupakan suatu proses antar
pribadi yang dinamis, terpusat pada pikiran dan
perilaku yang disadari, dibina dalam suatu kelompok
kecil mengungkapkan diri kepada sesama anggota dan
konselor, dimana komunikasi antara pribadi tersebut
dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan pemahaman
dan penerimaan diri terhadap nilai-nilai kehidupan dan
segala tujuan hidup serta untuk belajar perilaku
tertentu ke arah yang lebih baik.
Intervensi konseling kelompok, dapat dilaksana
kan dengan berbagai jenis pendekatan, salah satu
pendekatan yang dapat digunakan adalah dengan
pendekatan Behavioral, yaitu untuk menciptakan
kondisi-kondisi baru bagi proses belajar, dengan alasan
bahwa segenap tingkah laku dipelajari (learned),
termasuk tingkah laku yang maladaptif. Jika tingkah
laku neurotik learned, maka ia bisa unlearned (dihapus
dari ingatan), dan tingkah laku yang lebih efektif bisa
diperoleh (Corey, 2009: 199). Konseling perilaku
merupakan penerapan aneka ragam teknik dan
prosedur yang berakar pada berbagai teori tentang
belajar dengan menyertakan penerapan yang sistematis
menggunakan prinsip-prinsip belajar pada pengubahan
tingkah laku ke arah cara-cara yang lebih adaptif
(Corey, 2009:193).
16
2.4 Tujuan dan Karakteristik Konseling Kelompok
Behavioral
Pendekatan perilaku (beheavior) menjadi semakin
populer dalam kelompok kerja. Salah satu alasan dari
popularitas ini adalah penekanan pendekatan ini
menempatkan pada pengajaran keterampilan
manajemen diri pada klien yang dapat digunakan
untuk mengontrol hidup mereka, menangani secara
efektif dengan permasalahan sekarang dan masa
depan, dan berfungsi dengan baik tanpa terapi yang
berkelanjutan (Krumboltz & Thorensen, 1976; Mahoney
& Thorensen, 1974; Thorensen & Mahoney,1974) dalam
(Corey, 2004:337). Tujuan secara umum terapi tingkah
laku (Behavioral) adalah menciptakan kondisi-kondisi
baru bagi proses belajar. Alasan mendasar bahwa
segenap tingkah laku adalah dipelajari, termasuk
tingkah laku yang maladaptif.
Tujuan konseling Behavioral adalah membantu
klien untuk mendapatkan tingkah laku baru. Dasar
alasannya adalah bahwa segenap tingkah laku adalah
dipelajari (learned), termasuk tingkah laku maladaptif.
Konseling Behavioral pada hakikatnya terdiri atas
proses penghapusan hasil belajar yang tidak adaptif
dan pemberian pengalaman-pengalaman belajar yang
didalamnya respon-respon yang layak yang belum
dipelajari. Dari tujuan di atas dapat dibagi menjadi
beberapa tujuan yang lebih konkrit yaitu: 1) Membantu
klien untuk menjadi asertif dan mengekspresikan
pemikiran-pemikiran dan hasrat-hasrat ke dalam
situasi yang membangkitkan tingkah laku asertif
(mempunyai ketegasan dalam bertingkah laku); 2)
17
Membantu klien menghapus ketakutan-ketakutan yang
tidak realistis yang menghambat dirinya dari
keterlibatan peristiwa-peristiwa sosial; 3) Membantu
untuk menyelesaikan konflik batin yang menghambat
klien dari pembuatan pemutusan yang penting bagi
hidupnya (Corey, 2013: 201).
Menurut Corey (2008) ada tiga fungsi tujuan
konseling Behavioral, yaitu : (1) sebagai refleksi
masalah klien dan dengan demikian sebagai arah bagi
proses konseling, (2) sebagai dasar pemilihan dan
penggu naan strategi konseling, dan (3) sebagai
kerangka untuk menilai konseling.
Konseling Behavioral memiliki beberapa
karakteris- tik (Corey, 2008) yaitu sebagai berikut:
1. Kebanyakan perilaku manusia dapat dipelajari dan
karena itu dapat diubah;
2. Perubahan-perubahan khusus terhadap lingku
ngan individual dapat membantu dalam
mengubah perilaku-perilaku yang relevan; pro
sedur-prosedur konseling berusaha membawa
perubahan-perubahan yang relevan dalam perilaku
konseli dengan merubah lingkungan;
3. Prinsip-prinsip belajar sosial, seperti misalnya
reinforcement dan social modeling, dapat diguna
kan untuk mengembangkan prosedur-prosedur
konseling;
4. Keefektifan konseling dan hasil konseling dinilai dari
perubahan-perubahan dalam perilaku-perilaku
khusus konseli diluar dari layanan konseling yang
diberikan;
18
5. Prosedur-prosedur konseling tidak statik, tetap,
atau ditentukan sebelumnya, tetapi dapat secara
khusus didisain untuk membantu konseli dalam
memecahkan masalah khusus.
2.5 Peran dan Fungsi Konselor
Menurut Corey (2012: 205) menyatakan bahwa
terapis tingkahlaku harus memainkan peran aktif dan
direktif dalam pemberian treatment, yaitu terapis
menerapkan pengetahuan ilmiah pada pencarian
pemecahan-pemecahan bagi masalah manusia, para
kliennya. Terapis tingkah laku secara khas berfungsi
sebagai guru, pengarah, ahli dalam mendiagnosis
tingkahlaku yang maladatif dan dalam menentukan
prosedur-prosedur penyembuhan yang diharapkan
mengarah pada tingkah laku yang baru dan adjustive.
Hakikatnya fungsi dan peranan konselor
terhadap konseli dalam teori Behavioral menurut
Corey (2007 : 205) adalah : 1) Mengaplikasikan prinsip
dari mempelajari manusia untuk memberi fasilitas
pada penggantian perilaku maladaptif dengan
perilaku yang lebih adaptif. 2) Menyediakan sarana
untuk mencapai sasaran konseli, dengan
membebaskan seseorang dari perilaku yang
mengganggu kehidupan yang efektif sesuai dengan
nilai demokrasi tentang hak individu untuk bebas
mengejar sasaran yang dikehendaki sepanjang sasaran
itu sesuai dengan kebaikan masyarakat secara
umum.
Perubahan dalam perilaku itu harus di usahakan
melalui suatu proses belajar atau belajar kembali, yang
berlangsung selama proses konseling. Oleh karena itu,
19
proses konseling di pandang sebagai suatu proses
pendidikan yang berpusat pada usaha membantu dan
kesediaan di bantu untuk belajar perilaku baru dan
dengan demikian mengatasi berbagai macam
permasalah. Perhatian di fokuskan pada perilaku-
perilaku tertentu yang dapat di amati ,yang selama
proses konseling melalui berbagai prosedur dan aneka
teknik tertentu akhirnya menghasilkan perubahan yang
nyata, yang juga dapat di saksikan dengan jelas.
Dalam kegiatan konseling, konselor memegang
peranan aktif dan langsung. Hal ini bertujuan agar
konselor dapat menggunakan pengetahuan ilmiah
untuk menemukan masalah-masalah konseli sehingga
diharapkan kepada perubahan perilaku yang baru.
Sistem dan prosedur konseling Behavioral amat
terdefinisikan, demikian pula peranan yang jelas dari
konselor dan konseli. Konseli harus mampu
berpartisipasi dalam kegiatan konseling, ia harus
memiliki motivasi untuk berubah, harus bersedia
bekerjasama dalam melakukan aktivitas konseling,
baik ketika berlangsung konseling maupun di luar
konseling.
Dalam hubungan konselor dengan konseli ada
beberapa hal yang harus dilakukan, yaitu: 1)
Konselor memahami dan menerima klien; 2) antara
konselor dan konseli saling bekerjasama; 3) Konselor
memberikan bantuan dalam arah yang di inginkan
klien; 4) Inti dari hubungan adalah rasa saling
menghormati, yang mencakup kepercayaan akan
potensi klien untuk secara otentik menangani kesulitan
mereka.
20
2.6 Tahap Konseling Kelompok Behavioral
Menurut Corey (2008 : 344) ada beberapa
tahapan yang perlu dilakukan dalam melakukan
konseling kelompok Behavioral yaitu tahap awal, tahap
kegiatan, penguatan dan kontrak kontingensi.
1. Tahap Awal
Pada tahap awal, pemimpin kelompok menyam
paikan tujuan konseling kelompok. Menurut Corey
(2008:345), tahap ini perlu dilakukan karena biasanya
sangat sedikit calon klien mengetahui tentang program
perilaku. Sebelum mereka bergabung dengan
kelompok, mereka diberi semua informasi yang relevan
tentang proses kelompok. Berkumpul kembali untuk
melakukan wawancara individu pada sesi kelompok
pertama yang dikhususkan dengan harapan
mengidentifikasi calon anggota dan membantu mereka
memutuskan apakah mereka akan bergabung dengan
kelompok. Mereka yang memutuskan untuk bergabung
dengan menerima kesepakatan layanan. kesepakatan
tertulis ini merinci apa yang pemimpin kelompok
harapkan dari anggota kelompok, serta apa yang klien
dapat harapkan dari pemimpin kelompok. Kontrak,
yang dinegosiasikan, berfungsi untuk memperjelas
saling ada harapan. Lebih lanjut menurut Corey (2008:
344), tahap awal dari kelompok adalah fokus
membangun keterpaduan, menjadi akrab dengan
struktur terapi kelompok, dan mengidentifikasi
perilaku yang bermasalah perlu diperbaiki.
Menurut Rose (1980) dalam Corey (2008:345)
pemimpin awalnya harus berusaha untuk membuat
kelompok yang menarik bagi para anggotanya,
21
membuat situasi kelompok yang memerlukan
kompetensi sosial bagi anggota, serta membuat banyak
peran fungsional yang anggota dapat bermain dalam
kelompok; mendelegasikan tanggung jawab kepemimpi
nan untuk anggota secara bertahap dan sesuai; ada
situasi di mana anggota berfungsi sebagai terapi mitra
untuk satu sama lain; kontrol berlebihan konflik
kelompok dan menemukan cara untuk melibatkan
semua anggota dalam kelompok untuk berinteraksi.
Penilaian adalah komponen penting dari sesi awal ini,
karena, sebelum konseling dapat dimulai, masalah
harus dinyatakan dalam istilah perilaku yang spesifik.
Masalah yang kompleks tidak dihindari tetapi dipecah
menjadi komponen yang lebih kecil, sehingga mereka
dapat ditangani dengan lebih memadai dalam
kelompok.
Menurut Rose (1977) dalam Corey (2008: 346)
menunjukkan bahwa masalah yang dipilih untuk
pengobatan harus cukup penting bagi klien agar
membuat komitmen mereka untuk bekerja sehari-hari.
Anggota juga harus bersedia untuk berbicara tentang
masalah ini dalam kelompok. Untuk membantu
anggota dalam mengidentifikasi dan menjelaskan
masalah-masalah mereka, berbagai metode penilaian
yang digunakan, beberapa di antaranya adalah pre
treatment kuesioner, Daftar pembanding perilaku,
wawancara, buku harian, umpan balik prosedur, peran
bermain, berbagai latihan dalam grup, dan diskusi
grup. Termasuk dalam proses penilaian ini adalah
sebuah diskusi tentang kekuatan anggota mereka,
kompetensi mereka dan aspek-aspek diri mereka yang
22
memungkinkan para peserta untuk membangun aset
perilaku mereka. Proses penilaian ini dimulai disesi
awal kelompok dan disempurnakan serta diperluas di
seluruh anggota kelompok.
2. Tahap Kegiatan
Pada tahap kegiatan konseling menurut Corey
(2008:346) melibatkan serangkaian prosedur dari
strategi spesifik yang telah menunjukkan untuk
menjadi efektif dalam mencapai perubahan perilaku
yang paling tepat. Pemimpin kelompok harus
memperoleh data klien melalui wawancara disesi awal.
Mereka harus terus-menerus mengevaluasi tingkat
efektivitas sesi dan seberapa tingkat pencapaian tujuan
pengobatan. Untuk membuat evaluasi ini selama tahap
kerja, pemimpin kelompok terus mengumpulkan data
mengenai hal-hal seperti partisipasi, kepuasan anggota
kelompok dan penyelesaian tugas disepakati.
Pengumpulan data untuk menentukan masalah apa
yang ada di dalam kelompok dan mengetahui tujuan
kelompok yang akan dicapai. Melalui proses evaluasi
ini, para anggota dan pemimpin memiliki dasar untuk
melihat strategi alternatif dan lebih efektif. Beberapa
strategi ini yang biasanya digunakan selama tahap
kerja: penguatan kontingensi kontrak, pemodelan
perilaku latihan, pembinaan, restrukturisasi kognitif.
Pemecahan masalah, stres inokulasi, keterampilan
mengatasi teknik, dan sistem buddy.
a. Penguatan
Penguatan merupakan kunci prosedur intervensi
dalam perilaku kelompok. Selain penguatan yang
disediakan oleh pemimpin kelompok, anggota lain
23
memperkuat satu sama lain melalui pujian,
persetujuan, dukungan dan perhatian. Booraem (1978)
dalam Corey (2008:347) menekankan nilai awal setiap
sesi dengan anggota laporan keberhasilan daripada
kegagalan. Ini menetapkan nada keberhasilan dalam
kelompok, menyediakan bantuan bagi mereka yang
melakukan baik dalam kehidupan sehari-hari, dan
mengingatkan kelompok dalam perubahan. Jika
penguatan sosial adalah metode yang kuat untuk
membentuk perilaku yang diinginkan, adalah
penguatan diri. Para peserta diajarkan bagaimana
untuk memperkuat diri untuk kemajuan mereka,
untuk meningkatkan pengendalian diri mereka dan
menjadi kurang bergantung pada penguatan orang lain.
b. Kontrak Kontingensi
Kontrak kontingensi menjabarkan perilaku yang
harus dilakukan, berubah, atau dihentikan imbalan
yang terkait dengan pencapaian tujuan-tujuan dan
kondisi di bawah penghargaan yang diterima. Bila
mungkin, kontrak juga menetapkan jangka waktu
untuk melakukan perilaku yang diinginkan.
c. Model
Menurut Corey (2008: 349), peran model
merupakan salah satu alat pengajaran paling kuat oleh
pemimpin kelompok. Salah satu keuntungannya adalah
bahwa situasi kelompok menawarkan berbagai anggota
sosial dan model peran yang mereka bisa meniru.
Fungsi pemodelan dilakukan oleh pemimpin dan
peserta. Hal ini dilakukan karena orang-orang
cenderung meniru lebih cepat dan benar-benar dengan
siapa mereka berbagi fasilitas umum, pemodelan oleh
24
rekan-rekan di kelompok memfasilitasi belajar sosial
dari anggota lain. Hasil penelitian Bandura (1969)
dalam Corey (2008: 349) menunjukkan bahwa model
yang mirip dengan pengamat dalam usia, jenis kelamin,
ras, dan sikap lebih mungkin untuk ditiru dari model
yang berbeda pengamat. Model yang memiliki gelar
prestise dan status lebih mungkin untuk ditiru
daripada mereka yang memiliki rendahnya tingkat
prestise.
d. Pembinaan Perilaku
Tujuan dari pembinaan perilaku ini menurut
Corey (2008:348) adalah untuk mempersiapkan
anggota untuk melakukan perilaku yang diinginkan di
luar kelompok, ketika isyarat pemodelan tidak akan
tersedia. Perilaku baru yang dipraktekkan dalam
konteks yang aman untuk mensimulasikan di dunia
nyata. Cormier dan Cormier (1979) dalam Corey (2008)
menunjukkan bahwa praktek perilaku aktual yang
diinginkan harus mengambil tempat di bawah kondisi
yang serupa mungkin situasi yang terjadi di lingkungan
klien, sehingga generalisasi dari grup ke dunia nyata
akan berlangsung maksimal. Pembinaan Perilaku, yang
dapat dianggap sebagai suatu proses bertahap,
menggunakan teknik yang berguna dalam mengajarkan
keterampilan sosial.
e. Pembinaan
Selain penggunaan pemodelan dan pembinaan
perilaku, anggota kelompok kadang-kadang
memerlukan pelatihan teknik yang menyediakan
mereka dengan informasi tentang kelayakan dari
perilaku mereka. Pembinaan dapat berjalan dengan
25
baik ketika pelatih duduk di belakang individu yang
terlibat dalam latihan perilaku. Ketika anggota terjebak
dan tidak tahu bagaimana untuk melanjutkan, anggota
kelompok lain dapat berfungsi sebagai pelatih untuk
memberi saran.
f. Restrukturisasi kognitif
Restrukturisasi kognitif merupakan proses
mengidentifikasi dan mengevaluasi seseorang,
memahami dampak perilaku negatif dari pikiran
tertentu, dan belajar untuk menggantikan kognisi ini
dengan pikiran yang lebih realistis dan sesuai (corey,
2008). Rose (1983) dalam Corey (2008:349)
menjelaskan proses restrukturisasi kognitif yang
diaplikasikan secara kelompok. Pada awalnya, anggota
dapat diajarkan melalui latihan kelompok bagaimana
membedakan antara pernyataan yang merugikan diri
sendiri dan meningkatkan diri. Biasanya, anggota
kelompok menyediakan satu sama lain dengan umpan
balik dan berbagai model analisis kognitif. Langkah
lebih lanjut adalah untuk mendorong para peserta
untuk merancang pernyataan diri meningkatkan dan
mendorong dalam pemecahan masalah atau tindakan
yang efektif. Setelah klien memutuskan pada
serangkaian pernyataan kognitif yang realistis,
kemudian pemodelan kognitif digunakan, di mana
anggota membayangkan diri dalam situasi stres.
Mereka mengganti pernyataan diri meningkatkan untuk
komentar diri sendiri. Langkah terakhir dari
restrukturisasi kognitif, pekerjaan rumah diberikan di
akhir setiap sesi dan kemudian dimonitor pada awal
sesi berikutnya.
26
g. Pemecahan masalah.
Pemecahan masalah merupakan pendekatan
perilaku kognitif yang memungkinkan individu dapat
mengembangkan pola perilaku untuk menangani
berbagai masalah. Tujuan utama dari pemecahan
masalah adalah untuk mengidentifikasi alternatif yang
paling efektif untuk masalah di situasi tertentu dan
memberikan pelatihan sistematis keterampilan kognitif
dan perilaku yang akan membantu klien yang
menghadapi masalah situasi di dunia nyata secara
mandiri.
Tahap-tahap dalam proses pemecahan masalah
yang dijelaskan oleh Goldfried dan Davison (1976)
dalam Corey (2008: 349) sebagai berikut.
1) Pelatihan dimulai dengan orientasi yang umum
untuk masalah. Saat ini, klien membantu untuk
memahami mengapa situasi masalah tertentu
mungkin terjadi dan diberikan harapan bahwa
mereka dapat belajar cara efektif mengatasi masalah
ini.
2) Pengajaran klien untuk lebih spesifik dalam
menggambarkan peristiwa eksternal yang mengarah
ke situasi masalah serta peristiwa-peristiwa internal
(pikiran dan perasaan). Klien mendefinisikan situasi
masalah, dan kemudian mereka merumuskan
masalah dengan mengidentifikasi tujuan utama
mereka dan aspek yang membuat situasi
bermasalah bagi mereka.
3) Perumusan masalah. Klien diperintahkan untuk
melakukan tukar pendapat dan solusi yang
27
mungkin datang dengan beragam cara untuk
mengatasi situasi.
4) Membuat alternatif keputusan, yaitu membuat
beberapa keputusan tentang strategi terbaik untuk
pemecahan masalah. Ini adalah tugas klien untuk
memprediksi yang kemungkinan dari alternatif
adalah untuk mengikuti yang terbaik.
5) Setelah tahap pengambilan keputusan, klien harus
didorong untuk mengambil tindakan pada
keputusan ini dan kemudian memverifikasi tingkat
efektivitas tindakan mereka.
h. Stres Inokulasi.
Menurut Corey (2008: 350), stres inokulasi
memiliki tujuan untuk menyediakan seperangkat
keterampilan secara efektif untuk menangani situasi
stres di masa depan. Prosedur ini melibatkan tiga fase:
pertama adalah tahap pendidikan, yang dirancang
untuk menyediakan klien yang berhubungan dengan
pekerjaan rumah untuk memahami sifat dari reaksi
stres mereka. Pada tahap kedua, klien praktek teknik
tertentu mengatasi kognitif dan perilaku serta berlatih
keterampilan baru. Dalam fase akhir anggota
membantu menerapkan pelatihan dan keterampilan
kognitif dan perilaku baru yang telah mereka peroleh
untuk situasi stres yang mereka jumpai dalam
kehidupan sehari-hari. Prosedur ini terdapat pelatihan
didaktik, diskusi, kognitif dan pemodelan terang-
terangan, pembelajaran diri dan pembinaan penguatan
perilaku.
28
2.7 Penelitian Terdahulu
Beberapa penelitian yang terkait dengan
penerapan layanan konseling kelompok Behavioral
antara lain sebagai berikut.
Wilantara (2013) meneliti tentang penerapan
konseling Behavioral dengan teknik desensitisasi
sistematik untuk meningkatan motivasi belajar siswa di
kelas VII F SMP Negeri 2 Seririt Tahun Pelajaran
2012/2013. Hasil penelitian tindakan bimbingan
konseling yang dirancang menjadi dua siklus
memberikan hasil bahwa konseling Behavioral dengan
teknik desensitisasi sistematik mempu meningkatan
motivasi belajar dari 48% menjadi 59% pada siklus I
dan dari 59% menjadi 76% pada siklus II.
Penelitian lainnya oleh Wirnawati, dkk (2013)
tentang penerapan model konseling Behavioral teknik
pembiasan melalui konseling kelompok menanggulangi
kesulitan belajar siswa X AP4 SMK N 2 Singaraja tahun
2012/2013. Hasil penelitian tindakan bimbingan
konseling yang dilakukan sampai 2 siklus
menunjukkan bahwa ada peningkatan mutu belajar
sehingga menganggulangi kesulitan belajar.
Peningkatan mutu belajar dapat dilihat dari
peningkatan perilaku yang sudah bisa berkonsentrasi,
tidak mengantuk, menunjukkan motivasi belajar serta
keseriusan untuk bersekolah dan sudah dapat
mengatur waktu belajar dengan baik.
Penelitian Indayani (2014) tentang penerapan
konseling Behavioralal dengan teknik penguatan positif
sebagai upaya untuk meminimalisasi perilaku
membolos pada siswa kelas X.1 SMA Negeri 1 Sawan
29
tahun Ajaran 2013/2014. Penelitian tindakan
bimbingan dan konseling yang dilakukan sampai dua
siklus memberikan dampak terhadap penurunan
perilaku membolos.
2.8 Kerangka Pikir
Rendahnya motivasi belajar di kalangan siswa
SMA merupakan masalah yang umum terjadi, dan
biasanya ditandai dengan perilaku-perilaku maladaptif,
seperti kebiasaan membolos di saat pelajaran-pelajaran
tertentu, tidak konsentrasi mengikuti kegiatan
pembelajaran, membuat suasana gaduh, tidak
menyelesaikan tugas-tugas sekolah dan sebagainya.
Perilaku-perilaku tersebut perlu dilakukan perbaikan
dengan layanan konseling kelompok. Layanan ini di
sekolah jarang dilakukan karena pada umumnya
konselor lebih memilih layanan informasi yang bersifat
klasikal.
Gambar 2.2 Skema Kerangka Pikir penelitian
30
Layanan konseling kelompok merupakan salah
satu jenis layanan konseling yang memanfaatkan
dinamika kelompok untuk membahas berbagai hal
yang berguna bagi pengembangan pribadi dan/atau
pengentasan masalah individu yang menjadi peserta.
Pendekatan yang dilakukan untuk pemecahannya
adalah Behavioral yaitu suatu pendekatan yang dapat
membantu individu mengontrol atau mengubah
tingkah lakunya membentuk perilaku yang baru agar
meninggalkan perilaku lama yang maladaptif.
Berdasarkan proses layanan konseling dengan
pendekatan Behavioral yang direncanakan melalui
rencana pelaksanaan layanan dalam jangka tertentu
diharapkan akan berdampak pada output peserta didik
yang memiliki motivasi belajar tinggi.
2.9 Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian ini adalah layanan konseling
kelompok Behavioral dapat meningkatkan motivasi
belajar pada siswa kelas XI SMA Negeri 1 Singorojo
Kendal.