BAB II SNNT

Embed Size (px)

Citation preview

BAB II KONSEP DASAR A. Anatomi dan Fisiologi

Thyroidea (dari Yunani thyreos,pelindung) suatu kelenjar endokrin sangat vaskular, merah kecoklatan yang terdiri dari lobus dexter dan sinister yang berhubungan melintasi garis tengah oleh isthmus. Biasanya beratnya sekitar 25 gram dalam dewasa, sedikit lebih berat pada wanita dan membesar secara fisiologi pada pubertas serta selama menstruasi dan kehamilan.

Kelenjar tyroid terletak dibagian bawah leher, antara fascia koli media dan fascia prevertebralis, didalam ruang yang sama terletak trakhea, esofagus, pembuluh darah besar, dan syaraf. Kelenjar tyroid melekat pada trakhea sambil melingkarinya dua pertiga sampai tiga perempat lingkaran. Tyroid terdiri atas dua lobus, yang dihubungkan oleh istmus dan menutup cincin trakhea 2 dan 3. Kapsul fibrosa menggantungkan kelenjar ini pada fasia pretrakhea sehingga pada setiap gerakan menelan selalu diikuti dengan terangkatnya kelenjar kearah kranial. Sifat ini digunakan dalam klinik untuk menentukan apakah suatu bentukan di leher berhubungan dengan

kelenjar tyroid atau tidak (Djokomoeljanto, 2001). Vaskularisasi kelenjar tyroid berasal dari arteri Tiroidea Superior (cabang dari arteri Karotis Eksterna) dan arteri Tyroidea Inferior (cabang arteri Subklavia). Setiap folikel lymfoid diselubungi oleh jala-jala kapiler, dan jala-jala limfatik, sedangkan sistem venanya berasal dari pleksus perifolikular.

Ada 4 macam kontrol terhadap faal kelenjar tiroid : (Djokomoeljanto, 2001)

1. TRH (Thyrotrophin releasing hormone) Tripeptida yang disentesis oleh hpothalamus. Merangsang hipofisis mensekresi TSH (thyroid stimulating hormone) yang selanjutnya kelenjar tiroid terangsang menjadi hiperplasi dan hiperfungsi 2. TSH (thyroid stimulating hormone) Glikoprotein yang terbentuk oleh dua sub unit (alfa dan beta). Dalam sirkulasi akan meningkatkan reseptor di permukaan sel tiroid (TSH-reseptor-TSH-R) dan terjadi efek hormonal yaitu produksi hormon meningkat 3. Umpan Balik sekresi hormon (negative feedback). Kedua hormon (T3 dan T4) ini menpunyai umpan balik di tingkat hipofisis. Khususnya hormon bebas. T3 disamping berefek pada hipofisis juga pada tingkat hipotalamus. Sedangkan T4 akan mengurangi kepekaan hipifisis terhadap rangsangan TSH. 4. Pengaturan di tingkat kelenjar tiroid sendiri Produksi hormon juga diatur oleh kadar iodium intra tiroid

B. Definisi Struma

Struma adalah kelainan glandula tyroid dapat berupa gangguan fungsi seperti tiritosikosis atau perubahan susunan kelenjar dan morfologinya, seperti penyakit tyroid noduler. Berdasarkan patologinya, pembesaran tyroid umumnya disebut struma (De Jong & Syamsuhidayat, 1998).

Struma adalah tumor (pembesaran) pada kelenjar tiroid. Biasanya dianggap membesar bila kelenjar tiroid lebih dari 2x ukuran normal. Pembesaran kelenjar tiroid sangat bervariasi dari tidak terlihat sampai besar sekali dan mengadakan penekanan pada trakea, membuat dilatasi sistem vena serta pembentukan vena kolateral.

Struma nodosa non toksik adalah pembesaran kelenjar tyroid yang secara klinik teraba nodul satu atau lebih tanpa disertai tanda-tanda hypertiroidisme (Sri Hartini, Ilmu Penyakit Dalam, jilid I, hal. 461, FKUI, 1987).

GAMBAR STRUMA

C. Klasifikasi Struma

Pada struma gondok endemik, membagi klasifikasi menjadi:

1. Derajat 0: tidak teraba pada pemeriksaan.

2. Derajat I: teraba pada pemeriksaan, terlihat hanya kalau kepala ditegakkan

3. Derajat II: mudah terlihat pada posisi kepala normal

4. Derajat III: terlihat pada jarak jauh.

Pada keadaan tertentu derajat 0 dibagi menjadi:1. Derajat 0a: tidak terlihat atau teraba tidak besar dari ukuran normal. 2. Derajat 0b: jelas teraba lebih besar dari normal, tetapi tidak terlihat bila kepala

ditegakkan Struma nodosa non toksik merupakan pembesaran kelenjar tiroid yang teraba sebagai suatu nodul ,tanpa disertai tanda tanda hipertiroidisme. Berdasarkan jumlah nodul ,dibagi : 1. Struma mononodosa non toksik

2. Struma multinodosa nontoksik

Berdasarkan kemampuan menangkap iodium radioaktif, nodul dibedakan menjadi :1. nodul dingin 2. nodul hangat

3. nodul panas,

Sedangkan berdasarkan konsistensinya ,nodul dibedakan menjadi ;1. nodul lunak

2. nodul kistik

3. nodul keras

4. nodul sangat keras

D. Etiologi

Penyebab paling banyak dari struma non toxic adalah kekurangan iodium. Akan tetapi pasien dengan pembentukan struma yang sporadis, penyebabnya belum diketahui. Struma non toxic disebabkan oleh beberapa hal, yaitu :

1. Kekurangan iodium: Pembentukan struma terjadi pada difesiensi sedang yodium yang kurang dari 50 mcg/d. Sedangkan defisiensi berat iodium adalah kurang dari 25 mcg/d dihubungkan dengan hypothyroidism dan cretinism.

2. Kelebihan yodium: jarang dan pada umumnya terjadi pada preexisting penyakit tiroid autoimun

3. Goitrogen :

a. Obat : Propylthiouracil, litium, phenylbutazone, aminoglutethimide, expectorants yang mengandung yodium

b. Agen lingkungan : Phenolic dan phthalate ester derivative dan resorcinol berasal dari tambang batu dan batubara.

c. Makanan, Sayur-Mayur jenis Brassica ( misalnya, kubis, lobak cina, brussels kecambah), padi-padian millet, singkong, dan goitrin dalam rumput liar.

4. Dishormonogenesis: Kerusakan dalam jalur biosynthetic hormon kelejar tiroid

5. Riwayat radiasi kepala dan leher : Riwayat radiasi selama masa kanakkanak mengakibatkan nodul benigna dan maligna (Lee, 2004)

E. Patofisiologi

Iodium merupakan semua bahan utama yang dibutuhkan tubuh untuk pembentukan hormon tyroid. Bahan yang mengandung iodium diserap usus, masuk ke dalam sirkulasi darah dan ditangkap paling banyak oleh kelenjar tyroid. Dalam kelenjar, iodium dioksida menjadi bentuk yang aktif yang distimuler oleh Tiroid Stimulating Hormon kemudian disatukan menjadi molekul tiroksin yang terjadi pada fase sel koloid.

Senyawa yang terbentuk dalam molekul diyodotironin membentuk tiroksin (T4) dan molekul yoditironin (T3). Tiroksin (T4) menunjukkan pengaturan umpan balik negatif dari sekresi Tiroid Stimulating Hormon dan bekerja langsung pada

tirotropihypofisis, sedang tyrodotironin (T3) merupakan hormon metabolik tidak aktif. Beberapa obat dan keadaan dapat mempengaruhi sintesis, pelepasan dan metabolisme tyroid sekaligus menghambat sintesis tiroksin (T4) dan melalui rangsangan umpan balik negatif meningkatkan pelepasan TSH oleh kelenjar hypofisis. Keadaan ini menyebabkan pembesaran kelenjar tyroid.

F. Manifestasi klinik

Pada penyakit struma nodosa nontoksik tyroid membesar dengan lambat. Awalnya kelenjar ini membesar secara difus dan permukaan licin. Jika struma cukup besar, akan menekan area trakea yang dapat mengakibatkan gangguan pada respirasi dan juga esofhagus tertekan sehingga terjadi gangguan menelan.

G. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang meliputi (Mansjoer, 2001) : 1. Pemeriksaan sidik tiroid Hasil pemeriksaan dengan radioisotop adalah teraan ukuran, bentuk lokasi, dan yang utama ialah fungsi bagian-bagian tiroid. Pada pemeriksaan ini pasien diberi Nal peroral dan setelah 24 jam secara fotografik ditentukan konsentrasi yodium radioaktif yang ditangkap oleh tiroid. Dari hasil sidik tiroid dibedakan 3 bentuk : a. Nodul dingin, bila penangkapan yodium nihil atau kurang dibandingkan sekitarnya, hal ini menunjukkan sekitarnya.

b. Nodul panas, bila penangkapan yodium lebih banyak dari pada sekitarnya. Keadaan ini memperlihatkan aktivitas yang berlebih.c. Nodul hangat, bila penangkapan yodium sama dengan sekitarnya. Ini

berarti fungsi nodul sama dengan bagian tiroid yang lain. 2. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG) Pemeriksaan ini dapat membedakan antara padat, cair, dan beberapa bentuk kelainan, tetapi belum dapat membedakan dengan pasti ganas atau jinak. Kelainan-kelainan yang dapat didiagnosis dengan USG : a. Kista b. Adenoma c. Kemungkinan karsinoma d. Tiroiditis

3. Biopsi aspirasi jarum halus (Fine Needle Aspiration/FNA) Mempergunakan jarum suntik no. 22-27. Pada kista dapat juga dihisap cairan secukupnya, sehingga dapat mengecilkan nodul (Noer, 1996).Dilakukan khusus pada keadaan yang mencurigakan suatu keganasan. Biopsi aspirasi jarum halus tidak nyeri, hampir tidak menyababkan bahaya penyebaran sel-sel ganas. Kerugian pemeriksaan ini dapat memberika hasil negatif palsu karena lokasi biopsi kurang tepat, teknik biopsi kurang benar, pembuatan preparat yang kurang baik atau positif palsu karena salah interpretasi oleh ahli sitologi. 4. Termografi Metode pemeriksaan berdasarkan pengukuran suhu kulit pada suatu tempat dengan memakai Dynamic Telethermography. Pemeriksaan ini dilakukan khusus pada keadaan yang mencurigakan suatu keganasan. Hasilnya disebut panas apabila perbedaan panas dengan sekitarnya > 0,9o C dan dingin apabila < 0,9o C. Pada penelitian Alves didapatkan bahwa pada yang ganas

semua hasilnya panas. Pemeriksaan ini paling sensitif dan spesifik bila dibanding dengan pemeriksaan lain. 5. Petanda Tumor Pada pemeriksaan ini yang diukur adalah peninggian tiroglobulin (Tg) serum. Kadar Tg serum normal antara 1,5-3,0 ng/ml, pada kelainan jinak ratarata 323 ng/ml, dan pada keganasan rata-rata 424 ng/ml. H. Penatalaksanaan Medis

Indikasi operasi pada struma nodosa non toksika ialah (tim penyusun, 1994) :

1. Keganasan

2. Penekanan

3. Kosmetik

Tindakan operasi yang dikerjakan tergantung jumlah lobus tiroid yang terkena. Bila hanya satu sisi saja dilakukan subtotal lobektomi, sedangkan kedua lobus terkena dilakukan subtotal tiroidektomi. Bila terdapat pembesaran kelenjar getah bening leher maka dikerjakan juga deseksi kelenjar leher funsional atau deseksi kelenjar leher radikal/modifikasi tergantung ada tidaknya ekstensi dan luasnya ekstensi di luar kelenjar getah bening.

Radioterapi diberikan pada keganasan tiroid yang : 1. Inoperabel 2. kontraindikasi operasi 3. ada residu tumor setelah operasi 4. metastase yang non resektabel

Hormonal terapi dengan ekstrak tiroid diberikan selain untuk suplemen juga sebagai supresif untuk mencegah terjadinya kekambuhan pada pasca bedah karsinoma tiroid diferensiasi baik (TSH dependence). Terapai supresif ini juga ditujukan terhadap metastase jauh yang tidak resektabel dan terapi adjuvan pada karsinoma tiroid diferensiasi baik yang inoperabel.

I. Penatalaksanaan Keperawatan

1. Pengkajian:

a. Pengkajian fisik secara umum

b. Riwayat kesehatan

c. Aktivitas/istirahat ; insomnia, otot lemah, gangguan koordinasi, kelelahan berat, atrofi otot.

d. Eliminasi ; urine dalam jumlah banyak, perubahan dalam faeces, diare.

e. Integritas ego ; mengalami stres yang berat baik emosional maupun fisik, emosi labil, depresi.

f. Makanan/cairan ; kehilangan berat badan yang mendadak, nafsu makan meningkat, makan banyak, makannya sering, kehausan, mual dan muntah, pembesaran tyroid, goiter.

g. Rasa nyeri/kenyamanan ; nyeri orbital, fotofobia.

h. Pernafasan ; frekuensi pernafasan meningkat, takipnea, dispnea, edema paru (pada krisis tirotoksikosis).

i. Keamanan ; tidak toleransi terhadap panas, keringat yang berlebihan, alergi terhadap iodium (mungkin digunakan pada pemeriksaan), suhu meningkat di atas 37,40C, diaforesis, kulit halus, hangat dan kemerahan, rambut tipis, mengkilat dan lurus, eksoptamus : retraksi, iritasi pada konjungtiva dan berair, pruritus, lesi eritema (sering terjadi pada pretibial) yang menjadi sangat parah.

j. Seksualitas ; libido menurun, perdarahan sedikit atau tidak sama sekali, impotensi.

2. Diagnosa Keperawatan Perioperatif

a. Bersihan jalan napas tidak efektif b.d obstruksi akibat perdarahan atau

edema daerah insisi. Tujuan:

1) Mempertahankan jalan napas paten 2) Aspirasi di cegah

Intervensi Keperawatan : 1) Pantau tanda-tanda distress pernapasan, sianosis, takipnea 2) Auskultasi suara napas setiap 2 jam, catat adanya suara ronki 3) Periksa balutan luka setiap jam selama periode pertama pasca operasi dan kemudian dilakukan setiap 4 jam 4) Pertahankan posisi semi fowler 5) Gunakan kirbat es untuk mengurangi edema di daerah sekitar insisi 6) Lakukan penghisapan pada mulut dan trachea sesuai dengan

indikasi, catat warna dan karakteristik sputumb. Kerusakan komunikasi verbal b.d cedera pita suara, kerusakan saraf

laring Tujuan : Mampu menciptakan metode komunikasi di mana kebutuhan dapat dipahami Intervensi keperawatan:1) Kaji fungsi bicara secara periodic 2) Anjurkan untuk tidak bicara terus menerus 3) Pertahankan komunikasi yang sederhana 4) Berikan metode komunikasi alternatif yang sesuai. 5) Pertahankan lingkungan yang tenang

c. Gangguan rasa nyaman : nyeri b.d insisi pada kelenjar tiroid

Tujuan : Klien mengalami nyeri yang minimal. Intervensi Keperawatan :1) Kaji tingkat nyeri dengan menggunakan skala penilaian nyeri 2) Letakkan klien dalam posisi semi fowler dan sokong kepala atau

leher dengan bantal pasir atau bantal kecil3) Ajarkan klien cara menopang leher dan kepala saat merubah

posisi4) Tempatkan bel pemanggil disisi klien agar mudah digunakan 5) Pertahankan lingkungan yang tenang, kurangi stressor 6) Kolaborasi : a) Berikan obat analgetik sesuai program b) Berikan minuman yang sejuk atau makanan yang lunak

seperti es krim

d. Resiko tinggi terhadap tetani b.d stimulasi SSP yang berlebihan.

ketidakseimbangan kimia dan

Tujuan : Cedera dengan komplikasi minimal/terkontrol Intervensi Keperawatan:1) Pantau tanda-tanda vital, catat adanya peningkatan suhu tubuh,

takikardia