Upload
others
View
16
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
9
BAB II
TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS
A. Tinjauan Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu mengenai analisis pengaruh pengeluaran pemerintah di
sektor pendidikan, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB) terhadap tingkat kemiskinan yang telah dilakukan oleh
beberapa peneliti. Disini akan dicantumkan beberapa hasil penelitian sebagai bahan
acuan dan perbandingan penelitian ini, diantaranya yaitu:
1. Widodo, dkk. (2011). Dengan judul penelitian “Analisis Pengaruh Pengeluaran
Pemerintah di Sektor Pendidikan dan Kesehatan Terhadap Pengentasan
Kemiskinan Melalui Peningkatan Pembangunan Manusia di Provinsi Jawa
Tengah”. Penelitian tersebut menggunakan dua kali regresi yaitu regresi linier
sederhana dan regresi linier berganda sebagai alat analisisnya. Pada Penelitian
ini menjelaskan bahwa hasil penelitian menunjukkan pengeluaran pemerintah
sektor publik tidak secara langsung mempengaruhi IPM ataupun kemiskinan,
namun secara bersama-sama (simultan) pengeluaran sektor publik dan IPM dapat
mempengaruhi kemiskinan. Hal tersebut berarti bahwa pengeluaran pemerintah
di sektor pendidikan dan kesehatan tidak bisa berdiri sendiri sebagai variabel
independen dalam mempengaruhi kemiskinan, namun harus berhubungan
dengan variabel IPM. Hal ini juga diperkuat dengan hasil penelitian yang
10
menunjukkan bahwa selain berperan sebagai variabel pure moderator, IPM juga
berperan sebagai variabel intervening , dalam kaitannya dengan hubungan antara
pengeluaran di sektor pendidikan dan kesehatan dengan pengentasan
kemiskinan. Sehingga implikasi dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
pengeluaran pemerintah di sektor pendidikan dan kesehatan akan dapat
mempengaruhi kemiskinan jika pengeluaran tersebut dilakukan dalam rangka
peningkatan kualitas pembangunan manusia.
2. Fithri dan Kaluge (2017) dengan judul penelitian “Analisis Pengaruh
Pengeluaran Pemerintah Sektor Pendidikan dan Kesehatan Terhadap
Kemiskinan di Jawa Timur”. Penelitian ini menggunakan alat analisis regresi
linier berganda, penelitian tersebut menunjukkan hasil bahwa Untuk variabel
pengeluaran pemerintah disektor pendidikan memiliki dampak negatif dan tidak
signifikan terhadap kemiskinan. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pengeluaran
pemerintah disektor pendidikan tidak tepat sasaran dalam membantu masyarakat
miskin dalam memperoleh pendidikan yang layak. Selanjutnya variabel
pengeluaran pemerintah disektor kesehatan memiliki dampak positif dan tidak
signifikan terhadap angka kemiskinan yang berarti bahwa setiap penambahan
pengeluaran pemerintah disektor kesehatan sudah tepat sasaran dan tidak akan
mengurangi kemiskinan di Jawa Timur.
3. Permana dan Arianti (2012) dengan judul penelitian “Analisis Pengaruh PDRB,
Pengangguran, Pendidikan, dan Kesehatan Terhadap Kemiskinan di Jawa
Tengah Tahun 2004-2009”. Penelitian ini menggunakan alat analisis regresi
11
linier berganda dan hasil penelitian tersebut menjelaskan bahwa Laju
pertumbuhan PDRB, pendidikan, dan kesehatan berpengaruh negatif dan
signifikan terhadap kemiskinan, artinya peningkatan laju pertumbuhan PDRB,
pendidikan, dan kesehatan akan mengurangi kemiskinan Provinsi Jawa Tengah.
Sementara Tingkat pengangguran berpengaruh positif dansignifikan terhadap
kemiskinan, artinya meningkatnya tingkat pengangguran akan berpengaruh
meningkatkan tingkat kemiskinan di Jawa Tengah.
4. Alhudori (2017) dengan judul penelitian “Pengaruh IPM, PDRB dan Jumlah
Pengangguran Terhadap Penduduk Miskin di Provinsi Jambi”. Penelitian ini
menggunakan alat analisis regresi linier berganda, berdasarkan analisis regresi
linear berganda IPM mempunyai hubungan positif dan signifikan terhadap
jumlah penduduk miskin dimana jika IPM naik 1 persen maka jumlah penduduk
miskin akan naik sebesar 0,358, PDRB mempunyai hubungan negatif dan
signifikan terhadap jumlah penduduk miskin, dimana jika PDRB naik 1 persen
maka jumlah penduduk miskin akan turun sebesar -0,006, dan jumlah
pengangguran mempunyai hubungan positif dan signifikan terhadap jumlah
penduduk miskin dimana jika jumlah pengangguran naik 1 persen maka jumlah
penduduk miskin akan naik sebesar 0,010.
5. Saputra (2011) dengan judul penelitian “Analisis Pengaruh Jumlah Penduduk,
PDRB, IPM, Pengangguran Terhadap Tingkat Kemiskinan di Kabupaten/Kota
Jawa Tengah”. Pada penelitian ini peneliti menggunakan alat analisis regresi
linier berganda dimana hasil peneliiannya mennunjukkan bahwa variabel jumlah
12
penduduk mempunyai hubungan positif dan signifikan terhadap tingkat
kemiskinan, variabel PDRB mempunyai hubungan negatif dan signifikan
terhadap tingkat kemiskinan, variable IPM mempunyai hubungan negatif dan
signifikan terhadap tingkat kemiskinan, dan variabel pengangguran mempunyai
hubungan positif dan tidak signifikan terhadap tingkat kemiskinan hal tersebut
terjadi karena pada pengangguran terbuka ada empat macam kategori dan
sebagian diantaranya masuk dalam pihak yang mempunyai pekerjaan akan tetapi
jam kerja tersebut kurang dari 35 jam dalam seminggu sehingga golongan
tersebut masuk dalam kategori pengangguran terbuka.
6. Dama, dkk. (2016) dengan judul penelitian “Pengaruh Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB) Terhadap Tingkat Kemiskinan di Kota Manado”. Pada
penelitian ini menggunakan metode alat analisis regresi sederhana dan hasil dari
penelitian ini adalah PDRB perpengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat
kemiskinan. Karena PDRB dapat memacu pertumbuhan ekonomi di Kota
Manado.
B. Teori dan Tinjauan Pustaka
1. Definisi dan Teori Kemiskinan
Kemiskinan merupakan masalah yang dihadapi oleh seluruh Negara di
dunia, terutama di negara sedang berkembang seperti Negara Indonesia.
Kemiskinan adalah keterbatasan yang disandang individu, keluarga, komunitas
atau bahkan negara yang menyebabkan ketidaknyamanan dalam kehidupan,
terancamnya penegakan hukum dan keadilan serta hilangnya generasi penerus
13
dan suramnya masa depan bangsa dan negara. Pengertian itu merupakan
pengertian secara luas, telah dikatakan kemiskinan terkait dengan
ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan hidup.
Kemiskinan (poverty) merupakan masalah yang kritis yang harus ditangani
dalam pembangunan suatu negara. Salah satu indikator keberhasilan
pembangunan adalah sejauhmana masalah kemiskinan dapat dikendalikan dan
diupayakan untuk dikurangi secara nyata dari waktu ke waktu. Tujuan akhirnya
jelas, yaitu untuk terciptanya keadilan dan kemakmuran bersama. Dalam
kehidupan sehari-hari, kemiskinan dipersepsikan dalam konteks ketidakcukupan
pendapatan dan kepemilikan uang serta aset dalam dimensi ekonomi
(Yudhoyono & Harniati, 2004).
Kemiskinan menurut Mudrajad Kuncoro (2000) adalah ketidakmampuan
untuk memenuhi standar hidup minimum. Permasalahan standar hidup yang
rendah berkaitan pula dengan jumlah pendapatan yang sedikit (kemiskinan),
perumahan yang kurang layak, kesehatan dan pelayanan kesehatan yang buruk,
tingkat pendidikan masyarakat yang rendah sehingga berakibat pada rendahnya
Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas dan banyaknya pengangguran.
Tingkat standar hidup dalam suatu negara bisa diukur dari beberapa indikator
antara lain Gross National Product (GNP) per capita, pertumbuhan relatif
nasional dan pendapatan per kapita, distribusi pendapatan nasional, tingkat
kemiskinan, dan tingkat kesejahteraan masyarakat.
14
Menurut Todaro (2011:261), besarnya kemiskinan dapat diukur dengan
atau tanpa mengacu kepada garis kemiskinan (poverty line). Konsep yang
mengacu kepada garis kemiskinan biasa disebut sebagai kemiskinan absolut,
sedangkan konsep yang pengukurannya tidak berdasarkan pada garis kemiskinan
disebut kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut adalah derajat kemiskinan di
bawah, di mana kebutuhan-kebutuhan minimum untuk bertahan hidup tidak
dapat terpenuhi. Kemiskinan absolut adalah situasi dimana ketidakmampuan atau
nyaris tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan dasar berupa makanan, pakaian,
dan tempat tinggal. Sedangkan kemiskinan relatif adalah suatu ukuran mengenai
kesenjangan di dalam distribusi pendapatan, biasanya dapat didefinisikan di
dalam kaitannya dengan tingkat rata-rata dari distribusi yang dimaksud.
2. Penyebab Kemiskinan
Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan seseorang
untuk memenuhi kebutuhan dasarnya seperti makanan, pakaian, tempat
berlindung, pendidikan dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh
kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar seperti pendapatan yang masih
rendah, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan (Alhudori,
2017). Oleh karena itu, agar penanggulangan kemiskinan dapat dilakukan secara
tepat, maka hal pertama yang harus diperhatikan adalah menjelaskan pengertian
dan penyebab kemiskinan secara lengkap.
Untuk mengetahui penyebab kemiskinan dari sisi ekonomi. Pertama,
kemiskinan muncul karena ketidaksamaan pola kepemilikan sumber daya
15
sehingga distribusi pendapatan mengalami ketimpangan. Kedua, kemiskinan
karena perbedaan untuk mendapatkan modal. Ketiga, kemiskinan akbiat
rendahnya untuk berproduksi sehingga seseorang memiliki pendapatan yang
rendah (Kuncoro, 2006). Dari ketiga penyebab kemiskinan tersebut dapat
dijelaskan melalui teori lingkaran setan kemiskinan (vicious circle of poverty).
Menurut Nurkse dikutip dari (Kuncoro, 2006) mengungkapkan bahwa adanya
keterbelakangan, ketidaksempurnaan pasar, dan kurangnya modal menjadi
penyebab produktivitas rendah sehingga pendapatan yang diterima pada akhirnya
juga rendah. Pendapatan yang rendah akan berpengaruuh pada rendahnya
tabungan dan investasi, dan rendahnya investasi tersebut akan menyebabkan
keterbelakangan. Hal itu dapat dilihaat dari gambar dibaah ini
Sumber: Mudrajad Kuncoro, 2006
Gambar 2.1 Lingkaran Setan Kemiskinan Versi Nurkse
Kekurangan Modal
Produktivitas Rendah
Pendapatan Rendah
Tabungan Rendah
Investasi Rendah
16
Pada gambar 2.1, Nurkse menjelaskan kemiskinan merupakan keterkaitan
beberapa faktor yang akan berujung pada kemiskinan yaitu kurangnya modal,
produktivitas yang rendah, pendapatan yang rendah, tabungan yang rendah dan
investasi yang rendah. Pada gambar diatas dapat Nurkse berpendapat “a poor
country is poor because it is poor” (negara miskin itu miskin karena dia memang
miskin).
Dilihat dari sumber penyebabnya, kemiskinan dapat dibagi menjadi dua
yaitu kemiskinan kultural dan kemiskinan struktural. Kemiskinan kultural adalah
kemiskinan yang mengacu pada sikap seseorang ataupun kelompok masyarakat
yang disebabkan oleh gaya hidup, kebiasaan hidup dan budayanya. Kemiskinan
kultural biasanya dicirikan oleh sikap individu atau masyarakat luas yang merasa
tidak miskin meskipun jika diukur berdasarkan garis kemiskinan termasuk
kelompok miskin. Sedangkan kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang
disebabkan oleh struktur masyarakat yang timpang, baik karena perbedaan
kepemilikan, pendapatan, kemampuan dan kesempatan kerja yang tidak
seimbang maupun karena distribusi pembangunan dan hasilnya yang tidak
merata. Kemiskinan struktural biasanya dicirikan oleh struktur masyarakat yang
timpang terutama dilihat dari ukuran-ukuran ekonomi.
3. Ukuran Kemiskinan
Todaro & Smith (2011:264-265) menerangkan adanya sejumlah kriteria
yang disepakati secara luas oleh para ekonom dalam menentukan tepat atau
17
tidaknya suatu ukuran kemiskinan, yaitu prinsip anonimitas, indepedensi
penduduk, monotonitas, dan sensitivitas distribusional. Prinsip anonimitas dan
indepedensi penduduk ukuran mengenai cakupan kemiskinan tidak
memersoalkan siapa orang miskin itu dan tidak bergantung pada banyaknya
jumlah penduduk pada suatu negara. Prinsip monotonisitas berarti jika ada
penambahan pendapatan kepada seseorang yang berada di bawah garis
kemiskinan, dengan semua pendapatan orang lain tetap, maka kemiskinan tidak
mungkin lebih besar dari sebelumnya. Prinsip sensitivitas distribusional
menyatakan bahwa dengan semua hal lainnya sama, jika mentransfer pendapatan
kepada orang miskin kepada orang yang lebih kaya maka perekonomian
seharusnya dipandang menjadi lebih miskin. Disamping itu terdapat ukuran
kemiskinan menurut Foster-Greer-Thorbecker (FGT) yang dihitung dengan
rumus:
𝑃𝑎 =1
𝑁∑(
𝑌𝑝 − 𝑌𝑖𝑌𝑝
)
𝑎𝐻
𝑖=1
Keterangan:
𝑎 : 0, 1, 2
𝑌𝑎 : Ukuran kelas kemiskinan
𝑌𝑝 : Garis Kemiskinan
𝑌𝑖 : Pendapatan orang miskin ke-i
𝐻 : Banyaknya penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan
18
𝑁 : Jumlah penduduk.
Dimana jika:
𝑎 = 0, maka diperoleh Headcount Index (𝑃0), yaitu presentase penduduk yang
berada di bawah garis kemiskinan.
𝑎 = 1, maka diperoleh Poverty Gap Index (𝑃1), yaitu indeks kedalaman
kemiskinan, merupakan ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-
masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks,
makin jauh rata—rata pengeluaran penduduk di garis kemiskinan.
𝑎 = 2, maka diperoleh Poverty Severty (𝑃2), yaitu indeks keparahan kemiskinan,
yang memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran antara penduduk
miskin. Semakin tinggi nilai indeks, semakin tinggi ketimpangan pengeluaran di
antara penduduk miskin.
Sementara ukuran kemiskinan menurut Ravallion (1998), secara sederhana
dan yang umum dapat dibedakan menjadi dua pengertian diantaranya:
a. Kemiskinan Absolut
Seseorang maupun kelompok termasuk golongan miskin absolut apabila
hasil pendapatannya berada di bawah garis kemiskinan dan tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. Hal tersebut dimaksudkan untuk
menentukan tingkat pendapatan minimum yang cukup untuk memenuhi
kebutuhan fisik terhadap makanan, pakaian, dan tempat tinggal untuk
menjamin kelangsungan hidup. Kesulitan utama dalam konsep kemiskinan
19
absolut adalah menentukan komposisi dan tingkat kebutuhan minimum
karena kedua hal tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh adat kebiasaan saja,
tetapi juga iklim, tingkat pertumbuhan ekonomi suatu negara, dan faktor-
faktor ekonomi lainnya. Meski demikian, untuk dapat hidup layak, seseorang
membutuhkan barang-barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan fisik dan
sosialnya.
b. Kemiskinan Relatif
Seseorang ataupun kelompok termasuk golongan miskin relatif apabila
telah hidupnya dapat memenuhi kebutuhan dasarnya, tetapi masih lebih
rendah dibandingkan dengan keadaan masyarakat sekitarnya. Berdasarkan
konsep ini, garis kemiskinan akan mengalami perubahan bila tingkat hidup
masyarakat berubah sehingga konsep kemiskinan ini bersifat dinamis atau
akan selalu ada. Oleh sebab itu, kemiskinan relative ini didapatkan juga dari
aspek ketimpangan sosial yang berarti semakin besar ketimpangan antara
tingkat penghidupan golongan atas dan golongan bawah, maka akan semakin
besar pula jumlah penduduk yang dapat dikategorikan miskin.
4. Teori Pengeluaran Pemerintah
Pengeluaran pemerintah mencerminkan dari pengeluaran pemerintah itu
sendiri. Apabila pemerintah telah menetapkan suatu kebijakan untuk membeli
barang atau jasa, pengeluaran pemerintah tersebut memcerminkan biaya yang
harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk melaksanakan kebijakan publik
20
tersebut. Teori pengeluaran pemerintah dapat dibedakan menjadi dua yaitu secara
makro dan secara mikro.
a. Teori Makro
Teori makro mengenai perkembangan pengeluaran pemerintah
dikemukakan oleh para ahli ekonomi yaitu Wagner dan pasangannya yang
juga seorang ahli ekonomi yaitu Peacock dan Wiseman. Dari sisi makro
ekonomi Musgrave (Guritno M, 2014:170) berpendapat bahwa dalam proses
pembangunan, investasi swasta dalam persentase terhadap Produk Nasioal
Bruto “Gross National Product” (GNP) semakin besar dan persentase
investasi pemerintah dalam persentase terhadap GNP akan semakin kecil.
Pengeluaran pemerintah untuk sektor publik bersifat elastis terhadap
pertumbuhan ekonomi. Semakin banyak pengeluaran pemerintah untuk sektor
publik semakin banyak barang publik yang tersedia untuk masyarakat.
Sejalan seperti apa yang dikatakan Musgrave, Wagner (Guritno M.,
2014:171) menjelaskan jika apabil pendapatan perkapita meningkat maka
secara relatif pengeluaran pemerintah juga akan meningkat. Dasar hukum
tersebut adalah dari negara maju yaitu Amerika Serikat, Jerman, dan Jepang
dimana pengeluaran pemerintah yang semakin meningkat akan memacu
adanya kegagalan pasar dan eksternalitas. Kelemahan hukum Wagner adalah
karena hukum tersebut tidak didasarkan pada suatu teori mengenai pemilihan
Pada barang-barang publik. Wagner mendasarkan pandangannya dengan
suatu teori yang disebut organis mengenai pemerintah (organic theory of the
21
state) yang menganggap pemerintah sebagai individu yang bebas bertindak,
terlepas dari anggota masyarakat lainnya. Hukum Wagner dapat dirumuskan
sebagai berikut:
𝑃𝑘𝑃𝑃1𝑃𝑃𝐾1
<𝑃𝑘𝑃𝑃2𝑃𝑃𝐾2
< ⋯ <𝑃𝑘𝑃𝑃𝑛𝑃𝑃𝐾𝑛
Keterangan:
𝑃𝑘𝑃𝑃 : Pengeluaran pemerintah per kapita
𝑃𝑃𝐾 : Pendapatan per kapita, yaitu GDP/jumlah pendapatan
1,2, … , 𝑛 : Jangka waktu (tahun).
Hukum Wagner tersebut dapat ditunjukkan dalam Gambar 2.1 dimana
kenaikan pengeluaran pemerintah mempunyai bentuk eksponensial
ditunjukkan oleh kurva 1.
Sumber: Guritno M. (2014:172)
Gambar 2.2 Kurva Pertumbuhan Pengeluaran Pemerintah
Menurut Peacock dan Wiseman (Guritno M., 1993:173)
mengemukakan pendapat lain dalam menerangkan perilaku perkembangan
Kurva 2
Kurva 1 𝑃𝑘𝑃𝑃
𝑃𝑃𝐾
Waktu
0 1 2 3 4 5 6
22
pengeluaran pemerintah Pemerintah lebih cenderung menaikkan pajak pada
masyarakt untuk meningkatkan pengeluaran pemerintah tersebut. Di sisi lain
masyarakat enggan untuk membayar pajak, terlebih lagi jika tersebut pajak
terus dinaikkan. Mempertimbangkan teori pemungutan suara dimana
masyarakat memiliki batas toleransi untuk pembayaran pajak. Perkembangan
ekonomi menyebabkan pemungutan pajak yang semakin meningkat. Oleh
sebab itu, dalam keadaan normal meningkatnya GNP akan menyebabkan
penerimaan pemerintah yang semakin besar, begitu juga dengan pengeluaran
pemerintah menjadi semakin besar.
Akibat adanya suatu keadaan tertentu dimana mengharuskan pemerintah
untuk memperbesar pengeluarannya, maka pemerintah memanfaatkan pajak
sebagai salah satu alternatif untuk peningkatan penerimaan negara. Jika tarif
pajak dinaikkan maka pengeluaran investasi dan konsumsi masyarakat
menjadi berkurang. Keadaan ini disebut efek pengalihan (displacement effect)
yaitu adanya suatu gangguan sosial menyebabkan aktivitas swasta dialihkan
pada aktivitas pemerintah.
23
Sumber: Guritno M. (2014:175)
Gambar 2.3 Kurva Perkembangan Pengeluaran Pemerintah
Pada gambar 2.3 perlu dicatat bahwa pada teori Peacock dan Wiseman
mereka mengemukakan adanya toleransi pajak, yaitu suatu batas perpajakan,
akan tetapi mereka tidak menyatakan pada tingkat berapa toleransi tersebut.
Menurut Clarke menyatakan bahwa batasan dari pajak adalah 25% dari
pendapatan nasional. Apabila batasan pajak tersebut dilampaui makan akan
terjadi inflasi dan gangguan sosial lainnya (Guritno M., 2014:176).
b. Teori Mikro
Tujuan dari teori mikro mengenai perkembangan pengeluaran
pemerintah adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang menimbulkan
permintaan dari barang publik dan tersedianya barang publik. Hubungan
antara permintaan dan penawaran barang publik adalah melalui anggaran
belanja. Jumlah dari barang publik yang disediakan tersebut maka selanjutnya
Peacock dan Wiseman
Wagne, Solow,
dan Musgrave
Tahun
Pengeluaran
Pemerintah/GDP
24
akan menimbulkan permintaan akan barang lainnya. Teori mikro mengenai
pengeluaran pemerintah dapat diformulasikan sebagai berikut:
𝑈𝑖 = 𝑓(𝐺, 𝑋)
Keterangan formula penentuan permintaan:
U : Fungsi utilitas
i : Individu; 1, 2, …, n
G : Vektor barang publik
X : Vektor barang swasta.
Dari rumus tersebut dapat dijelaskan seorang individu mempunyai
permintaan akan barang-barang publik dan barang-barang swasta, tetapi
permintaan efektif akan barang-barang publik dan swasta tergantung pada
kendala anggaran (budget constraints). Misal seorang individu (i)
membutuhkan barang public (K) sebanyak GK pemerintah harus mengatur
sejumlah kegiatan-kegiatan. Contoh pemerintah berusaha meningkatkan
penjagaan keamanan. Dalam pelaksanaan kegiatan tersebut pemerintah tidak
mungkin untuk menghapuskan angka kejahatan. Oleh sebab itu, pemerintah
dan masyarakat harus menetapkan suatu tingkat keamanan yang dapat
ditolerir oleh masyarakat dengan beberapa kegiatan diantaranya menambah
jumlah jalan yang di patrol, menampah jumlah polisi, dan sebagainya yang
mendukung untuk menigkatkan keamanan (Guritno M., 2014:177-178).
25
Perkembangan pengeluaran pemerintah dapat dijelaskan dengan beberapa
faktor dibaawh ini:
1) Perubahan permintaaan akan barang publik;
2) Perubahan dari kegiatan pemerintah dalam menghasilkan barang publik,
dan juga perubahan dari kombinasi faktor produksi yang digunakan dalam
proses produksi;
3) Perubahan kualitas dari barang pulik;
4) Perubahan dari harga faktor-faktor produksi.
5. Pengeluaran Pemerintah Sektor Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu bentuk investasi sumber daya manusia
dimana seseorang yang memperoleh pendidikan akan memperoleh kualitas diri
yang lebih baik dan bisa memperbaiki standar hidupnya. Pengaruh pendidikan
tidak hanya mempengaruhi kemampuan individu untuk mendapatkan pendapatan
yang tinggi, tetapi juga terhadap perilaku dan pengambilan keputusan, yang akan
meningkatkan kemungkinan sukses dalam menjangkau kebutuhan hidup, bahkan
pendidikan akan membuat seorang terhindar dari kondisi miskin (Zuluaga,
1990).
Tingkat pendidikan akan mampu meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan (skill) seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang,
maka pengetahuan dan keahlian juga akan mendorong peningkatan produktivitas
kerja. Sehingga pada akhirnya seseorang yang memiliki produktivitas yang tinggi
akan memperoleh pendapatan bahkan kesejahteraan yang lebih baik. Rendahnya
26
produktivitas kaum miskin dapat disebabkan karena rendahnya akses mereka
dalam memperoleh pendidikan (Rasidin & Bonar, 2004). Dengan demikian
diharapakan kondisi peningkatan pengeluaran pemerintah sektor pendidikan
akan memajukan perekonomian masyarakat dengan berkurangnya angka
kemiskinan.
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia no. 20 Tahun 2003 tentang
sistem pendidikan nasional menimbang c. bahwa sistem pendidikan nasional
harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu
serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan
sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga
perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan
berkesinambungan.
Pada hasil laporan pembangunan dunia atau World Development Report
(2006:215), berpendapat bahwa pendidikan merupakan faktor penyetara
kesempatan yang utama antara kaum kaya dengan kaum miskin, dan antara laki-
laki dengan perempuan. Tetapi kesetaraan yang dibawa oleh pendidikan dapat
diujudkan bila anak-anak dari berbagai latar belakang yang berbeda memiliki
kesempatan yang setara dalam memperoleh keuntungan dari pendidikan yang
berkualitas. Sehingga pemerintah selaku pemberi kebijakan perlu merealisasikan
suatu kebijakan terutama dalam sektor pendidikan agar kesetaran dalam
pendidikan dapat dirasakan masyarakat.
27
6. Indeks Pembangunan Manusia
Menurut Mirza (2012) Pandangan tentang pembangunan yang sedang
berkembang saat ini adalah pertumbuhan ekonomi yang di ukur dengan
pembangunan manusia yang dilihat dengan tingkat kualitas hidup manusia di
tiap-tiap negara. Salah satu tolok ukur yang digunakan dalam melihat kualitas
hidup manusia adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang diukur melalui
kualitas tingkat pendidikan, kesehatan dan ekonomi (daya beli). Melalui
peningkatan ketiga indikator tersebut diharapkan akan terjadi peningkatan
kualitas hidup manusia.
Sejak tahun 1990, United Nations Development Programme (UNDP) telah
menerbitkan laporan tahunan berupa Human Development Report (HDR). Dalam
HDR tersebut dikeluarkan laporan tahunan mengenai indek pembangunan
manusia atau Human Development Index (HDI) di tiap negara. Sampai dengan
pada tahun 2016, UNDP telah beberapa kali melakukan revisi metode
penghitungan IPM. Revisi yang paling banyak dilakukan pada tahun 2010.
UNDP menyebut revisi itu dengan era baru pembangunan manusia. UNDP
memperkenalkan dua indikator baru yang sekaligus menggantikan dua indikator
metode lama pada perhitungan IPM. Pertama indikator harapan lama sekolah
menggantikan indikator melek huruf dan yang kedua adalah Pendapatan
Nasional Bruto (PNB) per kapita menggantikan Produk Domestik Bruto (PDB)
per kapita.
28
Menurut BPS 2009 (Rudy Badrudin, 2012), IPM merupakan ukuran
capaian pembangunan manusia berbasis sejumlah komponen dasar kualitas
hidup. IPM dihitung berdasarkan data yang dapat menggambarkan keempat
komponen, yaitu angka harapan hidup yang mengukur keberhasilan dalam
bidang kesehatan, angka melek huruf dan rata-rata lamanya bersekolah yang
mengukur keberhasilan dalam bidang pendidikan, dan kemampuan daya beli
masyarakat terhadap sejumlah kebutuhan pokok yang dilihat dari rata-rata
besarnya pengeluaran per kapita sebagai pendekatan pendapatan yang mengukur
keberhasilan dalam bidang pembangunan hidup yang layak. IPM mengukur
dimensi pokok pambangunan manusia yang dinilai mencerminkan status
kemampuan dasar (basic capabilities) masyarakat.
Badan Pusat Statistik (BPS mengelompokkan status pembangunan
manusia yaitu Indeks Pembangunan Manusia (IPM) menjadi 4 (empat) kelompok
dengan kriteria sebagai berikut:
Sangat Tinggi : IPM ≥ 80.
Tinggi : 70 ≤ IPM < 80.
Sedang : 60 ≤ IPM < 70.
Rendah : IPM < 60.
IPM terdiri dari 3 (tiga) komponen yang mempengaruhi tingkat
keberhasilan pembangunan manusia yakni:
a. Komponen Kesehatan
29
Dalam indeks pembangunan manusia, komponen kesehatan ini
tercermin dalam usia harapan hidup masyarakat yaitu rata-rata perkiraan
banyak tahun yang dapat ditempuh seseorang selama hidup. Ada dua jenis
data yang digunakan dalam penghitungan Angka Harapan Hidup yaitu Anak
Lahir Hidup (ALH) dan Anak Masih Hidup (AMH). Sementara itu untuk
menghitung indeks harapan hidup digunakan nilai maksimum harapan hidup
sesuai standar UNDP, dimana angka tertinggi sebagai batas atas untuk
penghitungan indeks dipakai 85 tahun dan terendah 25 tahun.
b. Komponen Pendidikan
Dalam indeks pembangunan manusia komponen pendidikan diwakili
oleh Angka Melek Huruf (AMH) dan Rata-rata Lama Sekolah. Angka Melek
Huruf adalah perbandingan antara jumlah penduduk usia 15 tahun ke atas
yang dapat membaca dan menulis dengan jumlah penduduk usia 15 tahun ke
atas. Batas maksimum untuk angka melek huruf adalah 100 sedangkan batas
minimum adalah 0 (standar UNDP). Hal ini menggambarkan kondisi 100
persen atau semua masyarakat mampu membaca dan menulis, dan nilai nol
mencerminkan kondisi sebaliknya. Sedangkan Rata-rata lama sekolah adalah
rata-rata jumlah tahun yang dihabiskan oleh penduduk yang berusia 15 tahun
ke atas untuk menempuh semua jenis pendidikan formal yang pernah dijalani.
Batas maksimum untuk rata-rata lama sekolah adalah 15 tahun dan batas
minimum sebesar 0 tahun (standar UNDP).
30
c. Komponen Daya Beli
Dalam indeks pembangunan manusia komponen daya beli diwakili oleh
Pendapatan Perkapita Riil yang Disesuaikan yaitu rata-rata pengeluaran
perkapita penduduk yang sudah distandarkan dengan mendeflasikan melalui
indeks harga konsumen.
7. Produk Domestik Regional Bruto
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah nilai bersih barang dan
jasa-jasa akhir yang dihasilkan oleh berbagai kegiatan ekonomi di suatu daerah
dalam suatu periode (Hadi Sasana, 2006). PDRB dapat menggambarkan
kemampuan suatu daerah mengelola sumber saya alam yang dimilikinya. Oleh
karena itu besaran PDRB yang dihasilkan oleh masing-masing daerah sangat
bergantung kepada potensi sumber daya alam dan faktor produksi daerah
tersebut. Adanya keterbatasan dalam penyediaan faktor-faktor produksi tersebut
dapat menyebabkan besaran PDRB bervariasi antar daerah.
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) menurut Badan Pusat Statistik
(BPS) didefinisikan sebagai jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh
unit usaha dalam suatu wilayah, atau merupakan jumlah seluruh nilai barang dan
jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi di suatu wilayah. PDRB
atas dasar harga berlaku atau dikenal dengan PDRB nominal disusun berdasarkan
harga yang berlaku pada periode penghitungan, dan bertujuan untuk melihat
struktur perekonomian. Sedangkan PDRB atas dasar harga konstan (riil) disusun
berdasarkan harga pada tahun dasar dan bertujuan untuk mengukur pertumbuhan
31
ekonomi. Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga konstan digunakan
untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi daerah dari tahun ke tahun (Sukirno,
2000), sedangkan menurut BPS Produk Domestik Regional Bruto atas dasar
harga berlaku digunakan untuk menunjukkan besarnya struktur perekonomian
dan peranan sektor ekonomi.
Ada tiga pendekatan yang dapat digunakan untuk menghitung angka-angka
PDRB, yakni:
a. Menurut Pendekatan Produksi
PDRB adalah jumlah nilai tambah atas barang dan jasa yang dihasilkan
oleh berbagai unit produksi di wilayah suatu daerah dalam jangka waktu
tertentu (biasanya satu tahun). Unitunit produksi tersebut dalam penyajian ini
dikelompokkan menjadi 17 (tujuh belas) lapangan usaha (sektor) yaitu: 1)
Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan; 2) Pertambangan dan penggalian; 3)
Industri Pengolahan; 4) Pengadaan Listrik dan Gas; 5) Pengadaan Air,
Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang; 6) Konstruksi; 7) Perdagangan
Besar dan Eceran; Reparasi Mobil dan Sepeda Motor, 8) Transportasi dan
Pergudangan, 9) Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum; 10) Informasi
dan Komunikasi; 11) Jasa Keuangan dan Asuransi; 12) Real Estate; 13) Jasa
Perusahaan; 14) Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial
Wajib; 15) Jasa Pendidikan; 16) Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial; 17) Jasa
Lainnya.
32
b. Menurut Pendekatan Pendapatan
PDRB merupakan jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor-
faktorproduksi yangikut serta dalam proses produksi di suatu daerah dalam
jangka waktu tertentu (biasanya dalam waktu satu tahun). Balas jasa faktor
produksi yang dimaksud adalah upah dan gaji (balas jasa tenaga kerja), sewa
tanah (balas jasa tanah), bunga modal (balas jasa modal) dan keuntungan
(balas jasa kewiraswastaan/entrepreneurship), semuanya sebelum dipotong
pajak penghasilan dan pajak langsung lainnya. Dalam definisi ini PDRB
mencakup juga penyusutan dan pajak tidak langsung neto (pajak tak langsung
dikurangi subsidi).
c. Menurut Pendekatan Pengeluaran
Pada pendekatan ini tidak dijelaskan tentang kepemilikan faktor produksi,
apakah milik penduduk wilayah tersebut atau bukan. PDRB adalah jumlah
komponen permintaan akhir yaitu yang terdiri dari:
1) pengeluaran konsumsi rumah tangga;
2) Pengeluaran Konsumsi Lembaga Non Profit;
3) Pengeluaran Konsumsi Pemerintah;
4) pembentukan modal tetap bruto;
5) perubahan Inventori/stok;
6) ekspor neto (ekspor dikurangi impor).
33
Secara konsep tiga pendekatan tersebut akan menghasilkan angka yang
sama. Jadi, jumlah pengeluaran akan sama dengan jumlah barang dan jasa
akhir yang dihasilkan dan harus sama pula dengan jumlah pendapatan untuk
faktor-faktor produksi. PDRB yang dihasilkan dengan cara ini disebut sebagai
PDRB atas dasar harga pasar, karena di dalamnya sudah dicakup pajak tak
langsung neto.
Kuncoro (2001) berpendapat bahwa pendekatan pembangunan
tradisional lebih dimaknai sebagai pembangunan yang lebih memfokuskan
pada peningkatan PDRB suatu provinsi, Kabupaten, atau kota. Sedangkan
pertumbuhan ekonomi dapat dilihat dari pertumbuhan angka PDRB (Produk
Domestik Regional Bruto). Saat ini umumnya PDRB baru dihitung
berdasarkan dua pendekatan, yaitu dari sisi sektoral / lapangan usaha dan dari
sisi penggunaan. Selanjutnya PDRB juga dihitung berdasarkan harga berlaku
dan harga konstan. Total PDRB menunjukkan jumlah seluruh nilai tambah
yang dihasilkan oleh penduduk dalam periode tertentu.
8. Hubungan Pengeluaran Pemerintah Sektor Pendidikan Terhadap Tingkat
Kemiskinan
Masalah kemiskinan yang identik dengan jumlah pendapatan masyarakat
yang tidak memadai, harus selalu menjadi prioritas dalam pembangunan suatu
negara. Meskipun masalah kemiskinan akan selalu muncul karena sifat dasar dari
kemiskinan adalah relatif, namun ketika dari sebuah negara mengalami
34
peningkatan taraf hidup, maka standar hidup akan berubah. Agenda mengatasi
kemiskinan bagi suatu negara berkaitan dengan banyaknya faktor yang
berhubungan dengan apa yang diakibatkan oleh kemiskinan itu sendiri, karena
dampak dari kemiskinan itu akan berhubungan dengan kondisi fundamental yang
menjadi syarat berlangsungnya pembangunan suatu negara yang berkelanjutan.
Investasi publik di bidang pendidikan akan memberikan kesempatan
pendidikan yang lebih merata kepada masyarakat sehingga sumber daya manusia
(SDM) handal yang sehat menjadi semakin bertambah. Meningkatnya
pendidikan akan mendorong peningkatan kualitas sumber daya manusia dan
peningkatan produktivitas tenaga kerja, yang pada gilirannya akan meningkatkan
pendapatan masyarakat. Dengan demikian diharapkan kondisi ini akan
memajukan perekonomian masyarakat dengan bertambahnya kesempatan kerja
serta berkurangnya kemiskinan.
Menurut Todaro (2004:405-406) menjelaskan bahwa yang menjadi salah
satu faktor pendorong pembangunan manusia (human capital) adalah
pendidikan. Dimana pendidikan yang lebih baik dapat meningkatkan
pembangunan ekonomi sehingga investasi pendidikan harus menjadi perhatian
tersediri agar ketimpangan dalam bidang pendidikan tidak terjadi. Oleh sebab itu,
peningkatan investasi dalam bidang pendidikan menjadi sangat penting karena
dengan pendidikan dapat membantu masyarakat untuk keluar dari jebakan
lingkar setan kemiskinan.
35
Peranan pemerintah disini adalah sebagai penyedia kewajiban barang
publik salah satunya adalah bidang pendidikan yang tidak disentuh oleh pasar
karena adanya kegagalan pasar dan dalam kaitannya dengan peranan pemerintah
sebagai peranan alokasi, peranan distribusi, dan peranan stabilisasi. Menurut
Center for the Study of Living Standars (2001) dalam Toyamah, dkk (2004)
menyatakan bahwa pendidikan adalah elemen penting untuk memerangi
kemiskinan, memberdayakan perempuan, serta menyelamatkan anak-anak dari
upaya eksploitasi.
9. Hubungan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Terhadap Tingkat
Kemiskinan
Teori pertumbuhan baru menekankan pentingnya peranan pemerintah
terutama dalam meningkatkan pembangunan manusia (human capital) dan
mendorong penelitian dan pengembangan untuk meningkatkan produktivitas
manusia. Semakin tinggi sumber daya manusia, maka pengetahuan dan keahlian
juga akan meningkat sehingga akan mendorong peningkatan produktivitas
kerjanya. Perusahaan akan memperoleh hasil yang lebih banyak dengan
memperkerjakan tenaga kerja dengan produktivitas yang tinggi, sehingga
perusahaan juga akan bersedia memberikan gaji yang lebih tinggi bagi yang
bersangkutan. Di sektor informal seperti pertanian, peningkatan keterampilan
dan keahlian tenaga kerja akan mampu meningkatkan hasil pertanian, karena
tenaga kerja yang terampil mampu bekerja lebih efisien. Pada akhirnya seseorang
yang memiliki produtivitas yang tinggi akan memperoleh kesejahteraan yang
36
lebih baik, yang diperlihatkan melalui peningkatan peningkatan pendapatan
maupun konsumsinya. Rendahnya produktivitas kaum miskin dapat disebabkan
oleh rendahnya akses mereka untuk memperoleh pendidikan karena pendidikan
merupakan salah satu elemen dalam mengukur Indeks Pembagunan Manusia
(IPM) (Rasidin K & Bonar M, 2004).
Todaro (2000) mengatakan bahwa pembangunan manusia merupakan
tujuan dari pembangunan ekonomi itu sendiri. Dimana pembangunan manusia
memainkan peranan kunci dalam membentuk kemampuan sebuah negara dalam
menyerap teknologi modern dan untuk mengembangkan kapasitasnya agar
tercipta pertumbuhan serta pembangunan yang berkelanjutan agar kemiskinan
dapat berkurang.
Lanjouw, dkk. (2001) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa
pembangunan manusia di Indonesia adalah identik dengan pengurangan
kemiskinan. Investasi di bidang pendidikan dan kesehatan akan lebih berarti bagi
penduduk miskin dibandingkan penduduk tidak miskin, karena bagi penduduk
miskin aset utama adalah pendidikan dan kesehatan. Adanya fasilitas pendidikan
dan kesehatan murah akan sangat membantu untuk meningkatkan produktifitas,
dan pada gilirannya meningkatkan pendapatan.
10. Hubungan PDRB Teradap Tingkat Kemiskinan
Menurut Sadono Sukirno (2000), laju pertumbuhan ekonomi adalah
kenaikan PDRB tanpa memandang apakah kenaikan itu lebih besar atau lebih
kecil. Selanjutnya pembangunan ekonomi tidak semata-mata diukur berdasarkan
37
pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) secara keseluruhan,
tetapi harus memperhatikan sejauh mana distribusi pendapatan telah menyebar
kelapisan masyarakat serta siapa saja pihak yang telah menikmati hasil-hasilnya.
Sehingga menurunnya PDRB suatu daerah berdampak pada kualitas konsumsi
rumah tangga dimana konsumsi tersebut akan dikurangi.
Menurut Kennedy berpendapat bahwa Produk Domestik Bruto (PDB) yang
besar dapat membantu kehidupan masyakat menjadi lebih baik. PDB tidak
mengukur tentang kualitas kesehatan dan kualitas pendidikan, tetapi dengan PDB
yang tinggi dapat menyediakan perawatan kesehatan yang lebih baik dan dapat
menyediakan sistem pendidikan yang baik pula. Sehingga jika PDB uatu negara
tinggi akan menunjukkan setandar kehidupan yang lebih baik (Mankiw,
2002:19). Pendapat tersebut adalah pandangan mengenai suatu negara maka yang
digunakan adalah besarnya PDB jika dikaitkan dengan daerah maka
menggunakan besarnya PDRB.
C. Kerangka Pemikiran Teoritis
Pengentasan penduduk miskin saat ini masih merupakan salah satu prioritas
pembangunan nasional dan pembangunan daerah sekalipun yang senantiasa menyita
perhatian, karena masalah kemiskinan menyangkut berbagai aspek. Walaupun
sudah banyak program kemiskinan yang ditujukan dalam upaya pengentasan
kemiskinan, namun masalah kemiskinan tidak kunjung selesai. Sulitnya
penyelesaian masalah ini, disebabkan karena permasalahan yang melibatkan
penduduk miskin sangat kompleks.
38
Penyebab terjadinya kemiskinan dapat disebabkan oleh kurangnya investasi
pemerintah pada sektor pendidikan karena pendidikan merupakan bekal bagi
seseorang untuk mendapatkan pengetahuan serta sekaligus mendapatkan
keterampilan. karena dengan pengetahuan yang luas dan keterampilan tinggi dapat
meningkatkan produktifitas seseorang tersebut tinggi. Dengan produktifitas yang
tinggi maka seseorang tersebut memiliki pendapatan yang tinggi juga sehingga
dengan pendapatan yang tinggi tersebut dapat membuat seseorang yang
berpendidikan itu terhidar dari masalah kemiskinan (Todaro & Smith, 2002:413).
Penyebab kemiskinan berawal pada teori lingkaran kemiskinan (vicious circke
of poverty) pendapat dari Nurkse. Adanya keterbelakngan, dan ketertinggalan
sumber daya manusia yang tercermin oleh rendahnya IPM, kegagalan pasar, dan
kurangnya modal menyebabkan rendahnya produktifitas. Dari rendahnya
produktifitas tersebut mengakibatkan rendahnya pendapatan seseorang yang dilihat
dari rendahnya PDRB per kapita yang selanjutnya akan berdampak pada rendahnya
tabungan dan investasi masyarakat. Rendahnya investasi berakibat pada rendahnya
akumulasi modal sehingga proses penciptaan lapangan kerja rendah (tercemin dari
tingginya jumlah pengangguran). Rendahnya akumulasi modal disebabkan oleh
keterbelakangan bahan kemiskinan itu sendiri (Mudrajad Kuncoro, 2006).
Dari uraian di atas maka alur pemikiran dari penelitian ini adalah tentang
peran pengeluaran pemerintah di sektor pendidikan, Indeks Pembangunan Manusia
(IPM), dan Produk domestik regional Bruto (PDRB) dalam kaitannya dengan
tingkat kemiskinan di Provinsi Papua. Dikarenakan permasalahan kemiskinan di
39
Provinsi Papua masih belum dapat diatasi secara maksimal. Maka alur pemikiran
ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Sumber: Dikembangkan untuk skripsi ini
Gambar 2.4 Gambar Pemikiran Teoritis
D. Perumusan Hipotesis
Berdasarkan latar belakang, perumusan masalah, uraian pada penelitian
terdahulu, serta kerangka pemikiran teoritis, maka hipotesis yang dibuat pada
penelitian ini adalah diduga pengeluaran pemerintah di sektor pendidikan, Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan.
Pengeluaran Pemerintah Sektor
Pendidikan (X1)
Indeks Pembangunan Manunsia
(IPM) (X2)
Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB) (X3)
Tingkat Kemiskinan (Y)