35
13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Burnout Syndrome 2.1.1 Definisi Burnout Syndrome Istilah burnout pertama kali diperkenalkan oleh Herbert Freundenberger pada tahun 1973. Freudenberger adalah seorang ahli psikologi klinis pada lembaga pelayanan sosial di New York yang menangani remaja bermasalah. Freundenberger memberi ilustrasi burnout syndrome seperti gedung yang terbakar habis yang awalnya berdiri megah dengan berbagai aktivitas di dalamnya dan setelah terbakar, gedung hanya tampak kerangka luarnya saja. Ilustrasi ini memberikan gambaran bahwa orang yang mengalami burnout syndrome dari luar tampak seperti biasa namun sebenarnya terjadi masalah dalam dirinya (Pangastiti, 2011). Burnout merupakan perubahan sikap dan perilaku dalam bentuk reaksi menarik diri secara psikologis dari pekerjaan, seperti menjaga jarak dari orang lain maupun bersikap sinis dengan mereka, membolos, sering terlambat dan keinginan pindah kerja sangat kuat (Pangastiti, 2011). Berdasarkan beberapa definisi dari para ahli, dapat disimpulkan bahwa burnout syndrome adalah suatu kumpulan gejala fisik, psikologis dan mental yang bersifat destruktif akibat dari kelelahan kerja yang bersifat monoton dan menekan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Burnout Syndrome II SKRIPSI.pdf · 2.1.1 Definisi Burnout Syndrome ... Freudenberger adalah seorang ahli psikologi klinis pada lembaga pelayanan sosial

  • Upload
    others

  • View
    22

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Burnout Syndrome

2.1.1 Definisi Burnout Syndrome

Istilah burnout pertama kali diperkenalkan oleh Herbert Freundenberger pada

tahun 1973. Freudenberger adalah seorang ahli psikologi klinis pada lembaga

pelayanan sosial di New York yang menangani remaja bermasalah. Freundenberger

memberi ilustrasi burnout syndrome seperti gedung yang terbakar habis yang

awalnya berdiri megah dengan berbagai aktivitas di dalamnya dan setelah terbakar,

gedung hanya tampak kerangka luarnya saja. Ilustrasi ini memberikan gambaran

bahwa orang yang mengalami burnout syndrome dari luar tampak seperti biasa

namun sebenarnya terjadi masalah dalam dirinya (Pangastiti, 2011). Burnout

merupakan perubahan sikap dan perilaku dalam bentuk reaksi menarik diri secara

psikologis dari pekerjaan, seperti menjaga jarak dari orang lain maupun bersikap sinis

dengan mereka, membolos, sering terlambat dan keinginan pindah kerja sangat kuat

(Pangastiti, 2011).

Berdasarkan beberapa definisi dari para ahli, dapat disimpulkan bahwa

burnout syndrome adalah suatu kumpulan gejala fisik, psikologis dan mental yang

bersifat destruktif akibat dari kelelahan kerja yang bersifat monoton dan menekan.

14

2.1.2 Dimensi Burnout Syndrome

Maslach (1993) dalam Cholily (2007) menyatakan bahwa burnout merupakan

sindrom psikologis yang terdiri atas tiga dimensi yaitu:

a. Kelelahan (Exhaustion)

Kelelahan (exhaustion) merupakan dimensi burnout yang ditandai dengan

perasaan letih berkepanjangan baik secara fisik (sakit kepala, flu, insomnia), mental

(merasa tidak bahagia, tidak berharga, rasa gagal), dan emosional (bosan, sedih,

tertekan). Ketika mengalami exhaustion, mereka akan merasakan energinya seperti

terkuras habis dan ada perasaan kosong yang tidak dapat diatasi lagi.

b. Depersonalisasi (Cynicism)

Depersonalisasi adalah proses penyeimbangan antara tuntutan pekerjaan

dengan kemampuan individu. Hal ini bisa berupa sikap sinis terhadap orang-orang

yang berada dalam lingkup pekerjaan dan kecenderungan untuk menarik diri serta

mengurangi keterlibatan diri dalam bekerja. Perilaku tersebut diperlihatkan sebagai

upaya melindungi diri dari perasaan kecewa, karena penderitanya menganggap bahwa

dengan berperilaku seperti itu, mereka merasa aman dan terhindar dari ketidakpastian

dalam pekerjaan.

c. Rendahnya Hasrat Pencapaian Prestasi Diri (Low Personal Accomplishment)

Rendahnya hasrat pencapaian prestasi diri ditandai dengan adanya perasaan

tidak puas terhadap diri sendiri, pekerjaan bahkan terhadap kehidupan. Selain itu,

penderita juga merasa belum melakukan hal-hal yang bermanfaat dalam hidupnya,

sehingga pada akhirnya memicu timbulnya penilaian rendah terhadap kompetensi diri

15

dan pencapaian keberhasilan diri. Penderita memiliki perasaan tidak berdaya, tidak

mampu melakukan tugas, dan menganggap tugas-tugas yang dibebankan terlalu

berlebihan sehingga tidak sanggup lagi menerima tugas yang baru. Mereka

menganggap dunia luar menentang upaya untuk melakukan perbaikan dan kemajuan

sehingga kondisi tersebut akhirnya membuat mereka merasa kehilangan kepercayaan

terhadap kemampuannya sendiri dan juga kehilangan kepercayaan dari orang lain

akibat perilakunya.

Cholily (2007), menggunakan istilah manifestasi dalam menggambarkan

gejala burnout syndrome, yaitu:

a. Manifestasi mental

Manifestasi mental mencakup gejala afektif, seperti perasaan hampa,

terbelenggu dan gejala-gejala yang terkait dengan depresi (tidak semangat, tidak

berdaya), mudah tersinggung dan lain sebagainya. Selain itu, dalam aspek kognitif

penderita akan kesulitan untuk berkonsentrasi dan sulit mengambil keputusan.

Sedangkan dalam aspek psikomotor, mereka memperlihatkan adanya gerakan-

gerakan pada sekelompok otot yang tidak terkendali, mudah gelisah dan sulit sekali

untuk bersikap santai.

b. Manifestasi Fisik

Manifestasi fisik menimbulkan keluhan seperti sakit kepala, gangguan tidur,

masalah seksual, kehilangan selera makan dan nafas yang pendek.

16

c. Manifestasi perilaku

Manifestasi perilaku ditandai dengan peningkatan ambang perilaku, seperti

kontrol atau kendali diri yang kurang dan mudah terprovokasi, serta peningkatan

konsumsi kopi dan alkohol.

d. Manifestasi sosial

Manifestasi sosial berhubungan dengan masalah-masalah interpersonal,

terutama dalam lingkungan pekerjaan. Penderita burnout syndrome akan tampak

menarik diri dari kontak sosial.

e. Manifestasi sikap

Penderita menunjukkan sikap negatif terhadap organisasi, misalnya dengan

kerap mengkritik kebijakan dan tidak mempercayai atasan maupun rekan kerjanya.

f. Manifestasi organisasi

Suatu studi yang bersifat cross sectional memperlihatkan bahwa burnout

terkait dengan kelambanan dalam menyelesaikan tugas, kecelakaan kerja, pencurian

dan kelalaian kerja sehingga merugikan organisasi tempat kerja.

2.1.3 Tahapan Burnout Syndrome

Goliszek (2005) membagi burnout syndrome menjadi empat tahapan. Tahap

pertama, seseorang masih memiliki harapan dan idealisme yang tinggi terhadap

pekerjaan yang dicirikan dengan antusias yang tinggi terhadap pekerjaan,

menunjukkan dedikasi dan komitmen pada pekerjaan, menunjukkan energi yang

tinggi dan berprestasi, bersikap konstruktif dan positif, serta berpandangan baik.

17

Tahap kedua, seseorang mulai pesimis dan tidak puas terhadap pekerjaannya yang

dicirikan dengan mengalami kelelahan fisik dan mental, menjadi frustasi dan

dipenuhi khayalan yang tidak baik, semangat kerja menurun, mengalami kebosanan,

serta menunjukkan gejala stres awal. Tahap ketiga, individu sudah menarik dan

mengucilkan diri yang dicirikan dengan menghindari kontak dengan rekan kerja,

merasa marah dan tidak bersahabat, berpandangan sangat negatif, mengalami depresi

dan tekanan emosi lainnya, menjadi tidak mampu berpikir atau konsentrasi,

mengalami kelelahan fisik dan mental yang ekstrim, serta menunjukkan banyak

gejala stres. Sedangkan pada taham keempat, terjadi pemisahan diri dan kehilangan

minat yang sulit dikembalikan dengan gejala memiliki harga diri yang sangat rendah,

kebiasaan bolos kerja yang kronis, muncul perasaan negatif mengenai pekerjaan,

menunjukkan sinisme yang parah, tidak mampu berinteraksi dengan orang lain,

mengalami tekanan emosi yang serius, serta menunjukkan gejala stres fisik dan emosi

yang parah.

2.1.4 Alat Ukur Burnout Syndrome pada Perawat

Maslach Burnout Inventory-Human Service Survey merupakan alat ukur

burnout yang paling baik untuk menentukan burnout syndrome pada profesi yang

berhubungan langsung dengan orang atau human service (Maslach dan Jackson,

1986). MBI-HSS terdiri dari tiga dimensi yaitu kelelahan fisik dan emosional,

depersonalisasi, dan penurunan personal accomplishment. Dimensi kelelahan

emosional menggambarkan perasaan kelelahan, terkurasnya energinya, dan perasaan

18

kosong yang berkepanjangan. Dimensi depersonalisasi berhubungan dengan sikap

sinis dan menarik diri terhadap orang lain dalam bekerja. Sedangkan, dimensi

penurunan personal accomplishment menggambarkan perasaan tidak berdaya dan

tidak kompeten pada pekerjaannya. MBI-HSS terdiri atas 22 butir pernyataan dimana

tiap butir mengandung lima pilihan jawaban yaitu 1 (tidak pernah), 2 (jarang), 3

(kadang-kadang), 4 (sering), dan 5 (selalu). Kuesioner yang dibagikan berisi butir-

butir pernyataan positif dan negatif. Jumlah item pernyataan positif adalah delapan

buah yaitu pada pernyataan 4, 7, 9, 12, 17, 18, 19, dan 21. Sedangkan item pernyataan

1, 2, 3, 5, 6, 8, 10, 11, 13, 14, 15, 16, 20, dan 22 merupakan pernyataan negatif. Skor

untuk pernyataan positif dibalik dengan pernyataan negatif yaitu 1 (selalu), 2 (sering),

3 (kadang-kadang), 4 (jarang), dan 5 (tidak pernah). Pernyataan nomor 1, 2, 3, 6, dan

14 termasuk dalam pernyataan kelelahan fisik dan emosional. Penyataan nomor 5, 8,

9, 10, 13, 15, 16, dan 20 merupakan pernyataan depersonalisasi. Sedangkan

pernyataan nomor 4, 7, 11, 12, 14, 17, 18, 19, 21, dan 22 termasuk dalam pernyataan

low personal accomplishment.

Rentang minimum maksimum instumen ini adalah 22 x 5 = 110 sampai

dengan 22 x 1 = 22. Luas jarak sebarannya adalah 110-22 = 88. Dengan demikian

setiap satuan deviasi standarnya (σ) bernilai 88/6 = 14,67 dibulatkan ke atas menjadi

15, dengan 6 merupakan konstanta. Nilai mean teoritisnya (µ) adalah skor terendah

dikalikan tingkat kategori yaitu, 22 x 3 = 66 (Azwar, 2011).

19

Menurut Azwar (2011), apabila diinginkan penggolongan sebjek ke dalam tiga

kategori diagnosis burnout syndrome, maka satuan deviasi standar itu dibagi dalam

tiga bagian menjadi:

X < (µ-1,0σ) ringan

(µ-1,0σ) ≤ X < (µ+1,0σ) sedang

(µ+1,0σ) ≤ X berat

Sehingga dengan harga µ = 66 dan σ = 15 akan diperoleh kategori-kategori

burnout syndrome:

X < (66-1,0 (15)) ringan

(66-1,0(15)) ≤ X < (66+1,0(15)) sedang

(66+1,0 (15)) ≤ X berat

MBI-HSS merupakan kuisioner yang sudah sering digunakan untuk

mengidentifikasi burnout syndrome. Instrumen ini pernah digunakan dalam beberapa

penelitian di luar dan dalam negeri yang telah dilakukan uji validitas dan reliabilitas.

Maslach dan Jackson sudah pernah melakukan uji validitas dan reliabilitas pada alat

ukur MBI-HSS. Uji validitas yang dilakukan adalah convergent validity dengan

mengkorelasikan MBI-HSS dengan skor perilaku, karakteristik pekerjaan, dan Job

Diagnostic Scale (JDS).

Hasil yang didapatkan pada skor perilaku adalah ada korelasi positif yang

signifikan antara MBI–HSS dengan skor perilaku dengan hasil nilai korelasi r = 0,50,

p<0,01 pada dimensi kelelahan emosional dan r = 0,33, p<0,05 pada dimensi

depersonalisasi, dan r = 0,20, p<0,05 pada dimensi penurunan personal

20

accomplishment. Sedangkan hasil yang didapat pada karakteristik pekerjaan adalah

ada korelasi positif yang signifikan antara MBI–HSS dengan karakteristik pekerjaan

dengan nilai korelasi r= 0,33, p<0,02 pada dimensi kelelahan emosional, r = 0,26,

p<0,05 pada dimensi depersonalisasi, r = 0,39, p<0,05 pada dimensi penurunan

personal accomplishment. Selain itu, hasil yang didapat pada JDS menunjukkan

adanya korelasi positif yang signifikan dengan MBI–HSS dengan JDS dengan nilai

korelasi r=0,38, p<0,001 pada dimensi kelelahan emosional dan dimensi

depersonalisasi, dan r=0,29, p<0,01 pada dimensi penurunan personal

accomplishment. Berdasarkan ketiga hasil korelasi di atas, memperlihatkan bahwa

MBI–HSS benar mengukur burnout. Sedangkan uji reliabilitas untuk kelelahan

emosional yaitu didapatkan nilai alpha 0,90, untuk depersonalisasi adalah 0,79, dan

untuk penurunan personal accomplishment adalah 0,71 (Maslach & Jackson, 1986).

Di Indonesia, instrumen MBI-HSS sudah pernah diterjemahkan dan digunakan

dalam tesis Fatmawati (2012) berjudul “Burnout Staf Perpustakaan Bagian Layanan

di Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BPAD) Provinsi DKI Jakarta”.

Berdasarkan hasil tersebut, peneliti menggunakan instrumen MBI-HSS ini dalam

penelitian dan tidak melakukan uji validitas dan reliabilitas terhadap instrumen ini.

2.1.5 Perbedaan Stres dan Burnout Syndrome

Pengertian yang tumpang tindih antara stres dan burnout kerap terjadi.

Keduanya dianggap memiliki konsep yang sama. Namun, pada hakekatnya keduanya

berbeda satu sama lain. Stres memiliki definisi sebagai suatu situasi atau keadaan

21

yang menekan, baik secara fisik maupun psikologis atau suatu tekanan yang sangat

kuat dan dapat dikenali serta dapat disalurkan dengan berguna, dengan kata lain saat

terjadi ketidakseimbangan antara tuntutan lingkungan dengan kapasitas respon dari

individu, sedangkan burnout didefinisikan sebagai suatu kondisi kelelahan fisik,

emosi maupun mental yang disebabkan karena pekerjaan. Stres dapat menjadi positif

atau menjadi negatif. Secara umum, bila suatu kondisi yang menekan dapat

dikendalikan, bisa dikatakan bahwa hal tersebut merupakan stres yang baik

(eustress). Sebaliknya, bila suatu kondisi yang menekan tidak mampu dikendalikan,

maka disebut dengan stres yang buruk (distress). Tergantung pada cara individu

meresponnya, stres dapat menjadi berbahaya atau justru membantu. Stres akan

membantu apabila dapat memotivasi individu untuk meningkatkan kinerja dan

membuat perubahan-perubahan dalam hidupnya dan akan sangat merugikan jika

membuat individu jatuh ke dalam keputusasaan hingga menyebabkannya frustasi,

depresi atau bahkan burnout (Cholily, 2007). Perbedaan stres dan burnout dapat

dilihat pada tabel 1.

Tabel 1Perbedaan Stres dan Burnout

Stres Burnout

1. Emosi bersifat over reaktif

2. Menimbulkan urgensi dan hiperaktif

3. Kehilangan energi

4. Dapat menimbulkan gangguan kecemasan

5. Gangguan utama terjadi pada fisik

6. Dapat membunuh penderitanya lebih dini

1. Emosi bersifat tumpul

2. Menimbulkan ketidakberdayaan dan

keputusasaan

3. Kehilangan motivasi, cita-cita, dan harapan

4. Menimbulkan pemisahan diri dan depresi

5. Gangguan utama terjadi pada emosional

6. Dapat membuat kehidupan terkesan tidak

layak

Smith & Segal (2011)

22

Berdasarkan tabel tersebut, dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan kondisi

antara stres dan burnout. Seseorang yang berada pada kondisi stres masih bisa

menyeimbangkan emosi daripada seseorang yang mengalami burnout. Seseorang

yang berada pada kondisi stres cenderung masih bersikap aktif dan agresif secara

emosional, namun pada seseorang yang sudah berada pada kondisi burnout akan

merasa kehilangan motivasi, cita-cita, dan harapan. Seseorang yang mengalami stres

cenderung merasakan penurunan dalam kesehatannya seperti flu, sakit kepala, dan

gangguan pencernaan lainnya sedangkan seseorang yang mengalami burnout

mengalami kehilangan harapan sehingga merasa kehidupannya tidak layak untuk

dipertahankan. Seseorang yang mengalami stres atau burnout sama-sama mengalami

masalah utama dalam pekerjaan namun respon yang dihasilkan berbeda-beda. Stres

yang tidak dapat ditangani dengan baik dan berkepanjangan akan berpotensi menjadi

burnout yang akan berakibat pada masalah kesehatan dan penurunan intensitas kerja

(Fatmawati, 2012).

2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Burnout Syndrome

Faktor-faktor yang mempengaruhi burnout syndrome secara garis besar dibagi

menjadi dua yaitu, faktor eksternal dan faktor internal. Lee dan Ashfort (1996) dalam

Dewanti (2010), menyebutkan bahwa ada beberapa faktor eksternal yang

mempengaruhi burnout syndrome, yaitu:

23

a. Ambiguitas Peran

Ambiguitas peran adalah keadaan yang terjadi pada saat seorang pekerja tidak

mengetahui apa yang harus dilakukan, bingung serta tidak yakin karena

kurangnya hak-hak dan kewajiban yang dimiliki.

b. Konflik Peran

Konflik peran adalah konflik yang terjadi karena seseorang mengemban lebih dari

satu peran yang saling bertentangan.

c. Beban Kerja

Beban kerja merupakan intensitas pekerjaan yang meliputi jam kerja, jumlah

individu yang harus dilayani, serta tanggung jawab yang harus dipikul. Beban

kerja secara kualitatif dilihat dari kesulitan pekerjaan tersebut untuk dikerjakan.

d. Dukungan

Dukungan dapat dibagi menjadi dukungan dari atasan, dukungan dari keluarga,

serta dukungan dari rekan kerja.

Faktor internal yang dapat mempengaruhi burnout syndrome menurut Farber

(1991) dalam Dewanti (2010), adalah:

a. Faktor demografi yang meliputi jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, status

pernikahan, dan masa kerja.

b. Faktor kepribadian yang terdiri dari tipe kepribadian, harga diri, dan locus of

control.

24

Faktor-faktor yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah beban kerja, locus

of control, harga diri, dan faktor demografi yang terdiri dari usia, jenis kelamin,

tingkat pendidikan, status pernikahan, serta masa kerja.

2.2.1 Beban Kerja

a. Pengertian Beban Kerja

Beban kerja adalah frekuensi rata-rata masing-masing jenis pekerjaan dalam

jangka waktu tertentu dengan memperkirakan beban kerja dari organisasi dapat

dilakukan berdasarkan perhitungan atau pengalaman (Peraturan Pemerintah RI

Nomor 97 tahun 2000). Beban kerja dapat dibedakan menjadi beban kerja kuantitatif

dan kualitatif. Beban kerja kuantitatif menunjukkan adanya jumlah pekerjaan yang

besar yang harus dilakukan misalnya jam kerja yang tinggi, derajat tanggung jawab

yang besar, tekanan kerja sehari-hari dan sebagainya. Beban kerja kualitatif

menyangkut kesulitan tugas yang dihadapi. Beban kerja perawat adalah seluruh

kegiatan atau aktifitas yang dilakukan oleh seorang perawat selama bertugas di suatu

unit pelayanan keperawatan (Marquish & Huston, 2000). Beban kerja perawat

merupakan bagian dari pengembangan tenaga perawat yang dihitung berdasarkan

jumlah waktu yang dibutuhkan untuk memberikan layanan kepada pasien per hari

(Hendianti, 2013). Beban kerja perawat dipengaruhi oleh kondisi pasien yang selalu

berubah, jumlah rata-rata jam perawatan yang dibutuhkan untuk memberikan

pelayanan langsung kepada pasien, serta banyaknya tugas tambahan yang harus

dikerjakan oleh waktu kerjanya (Kusmiati, 2003).

25

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa beban

kerja adalah aktifitas atau kegiatan yang harus dikerjakan oleh perawat selama

bertugas dalam suatu institusi tertentu.

b. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Beban Kerja

Gillies (1994) menyatakan bahwa untuk memperkirakan beban kerja perawat

pada unit tertentu, perlu diperhatikan:

1) Jumlah klien yang dirawat setiap hari/bulan/tahun di unit tersebut.

2) Kondisi atau tingkat ketergantungan.

3) Rata-rata hari perawatan

4) Pengukuran keperawatan langsung, perawatan tidak langsung, dan pendidikan

kesehatan.

5) Frekuensi tindakan perawatan yang dibutuhkan klien.

6) Rata-rata waktu perawatan langsung, tidak langsung dan pendidikan kesehatan.

Ada beberapa faktor lain yang mempengaruhi beban kerja perawat yaitu

komunitas, bencana alam, kemajuan IPTEK, pendidikan konsumen, keadaan

ekonomi, iklim atau musim, politik, dan hukum/peraturan.

c. Perhitungan Beban Kerja

Beban kerja cenderung diukur berdasarkan keluhan dari responden bahwa

mereka sangat sibuk dan menuntut diberikan waktu lembur (Ilyas, 2000). Sedangkan

untuk menghitung beban kerja responden menurut Ilyas (2000) ada tiga cara yang

dapat digunakan yaitu:

26

1) Work Sampling

Work sampling adalah pengamatan pada aktivitas atau kegiatan keperawatan

dalam menjalankan tugasnya sehari-hari di ruang kerjanya. Pada work sampling, yang

diamati adalah apa yang dilakukan oleh perawat, informasi yang dibutuhkan oleh

penelitian ini adalah kegiatannya, bukan siapanya.

Jumlah pengamatan yang didapatkan pada teknik ini dapat mencapai ribuan

pengamatan. Contoh jumlah pengamatan dapat dihitung sebagai berikut:apabila yang

diamati adalah kegiatan lima orang perawat setiap shift, pengamatan setiap lima

menit selama 24 jam (tiga shift) dalam enam hari kerja, maka jumlah pengamatan= 5

(perawat) x 60 menit/5 (menit) x 24 jam x 6 (hari kerja)= 8.640 sampel pengamatan.

Data yang dihasilkan akurat karena menggambarkan kegiatan responden secara rinci.

2). Time and Motion Study

Time and motion study adalah teknik mengamati dan mengikuti dengan

cermat kegiatan yang dilakukan oleh responden yang sedang diamati. Pada teknik ini,

peneliti mengamati satu pekerjaan sampai selesai dan terus diamati sampai selesai

jam kerja pada hari itu. Pada saat melakukan penelitian dengan teknik time and

motion study, yang diamati adalah profesi atau pekerjaan tertentu. Jadi, teknik ini

dilakukan untuk mengamati waktu yang dibutuhkan dan kualitas jenis kegiatan

tertentu.

3). Daily Log (Pencatatan Kegiatan Sendiri)

Daily log merupakan bentuk sederhana dari work sampling. Responden

menuliskan sendiri kegiatan dan waktu yang digunakan untuk kegiatan tersebut.

27

Penggunaan teknik ini sangat tergantung terhadap kerjasama dan kejujuran dari

responden yang sedang diteliti. Pendekatan itu relatif sederhana dan biaya murah.

Peneliti biasanya membuat pedoman dan formulir isian yang dapat dipelajari dan diisi

sendiri oleh responden. Sebelum dilakukan penelitian, perlu dilakukan penjelasan

tentang tujuan dan cara pengisian formulir kepada responden.

d. Kategori Tindakan Keperawatan

Menurut Gillies (1989), tindakan keperawatan menjadi tindakan keperawatan

langsung, tidak langsung, dan penyuluhan kesehatan. Keperawatan langsung adalah

perawatan yang diberikan anggota staf keperawatan langsung pada pasien terkait

kebutuhan fisik dan psikologisnya.

Perawatan tidak langsung adalah kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk

pasien tanpa kehadirannya, seperti: lingkungan pasien atau keberadaan finansial dan

kesejahteraan sosial pasien, perencanaan perawatan, penghimpunan peralatan dan

perbekalan, diskusi dengan anggota tim kesehatan lain, penulisan dan pembacaan

catatan kesehatan, pelaporan kondisi pasien kepada rekan kerja, dan menyusun

sebuah rencana bagi perawatan pasien setelah pelepasannya. Penyuluhan kesehatan

mencakup kegiatan staf keperawatan untuk memberitahu dan memotivasi pasien serta

keluarganya tentang perawatan setelah pulang dari rumah sakit. Ilyas (2000)

mengkategorikan tindakan keperawatan sebagai berikut:

1) Kegiatan langsung adalah semua kegiatan yang mungkin dilaksanakan oleh

seorang perawat terhadap pasien, misalnya menerima pasien, anamnesa pasien,

28

mengukur tanda vital, menolong BAB/BAK, merawat luka, mengganti balutan,

mengangkat jahitan, kompres, memberi suntikan obat atau imunisasi, penyuluhan

kesehatan.

2) Kegiatan tak langsung adalah setiap kegiatan yang dilakukan oleh perawat yang

berkaitan dengan fungsinya, tetapi tidak berkaitan langsung dengan pasien,

seperti: menulis rekam medis, mencari kartu rekam medis pasien, mengupdate

data rekam medis.

3) Kegiatan pribadi adalah semua kegiatan yang berkaitan dengan kepentingan dari

perawat yang diamati, seperti: makan, minum, pergi ke toilet.

4) Kegiatan non produktif adalah semua kegiatan perawat yang tidak produktif

untuk kepentingan pasien maupun bagian atau organisasi rumah sakit, seperti:

baca koran, mendengarkan radio, menonton TV, berbincang-bincang.

e. Alat Ukur Beban Kerja

Lembar kegiatan perawat adalah alat ukur yang digunakan untuk menilai

beban kerja perawat dengan pendekatan daily log. Perawat akan mencatat kegiatan

yang dilakukannya selama satu shift baik itu pagi, sore, atau malam kemudian peneliti

akan mengklasifikasikan kegiatan tersebut ke dalam kegiatan produktif atau tidak

produktif. Satu orang responden akan mengisi tiga buah lembar kegiatan perawat

yang diisi pada shift pagi, sore, dan malam. Setelah semua data kegiatan terkumpul,

peneliti akan melakukan perhitungan beban kerja terhadap masing-masing reponden.

29

Jumlah waktu yang dilakukan untuk kegiatan produktif pada shift pagi, sore,

dan malam akan dijumlahkan kemudian dibandingkan dengan durasi kerja responden

dalam 3 shift yaitu 24 jam. Rumus yang digunakan adalah:

Kegiatan langsung dan kegiatan tidak langsung tergolong dalam kegiatan

produktif. Sedangkan kegiatan non produktif dan kegiatan pribadi tergolong dalam

kegiatan non produktif karena tidak berhubungan dengan kepentingan pasien maupun

rumah sakit. Jika proporsi waktu produktif X < 60% dari jam kerja, maka

dikategorikan beban kerja ringan, jika proporsi waktu produktif X = 60%-79% dari

jam kerja, maka dikategorikan beban kerja sedang, dan jika proporsi waktu produktif

X ≥ 80% dari jam kerja, maka dikategorikan beban kerja tinggi (Ilyas, 2000).

f. Hubungan antara Beban Kerja dan Burnout Syndrome

Beban berlebih secara fisik maupun mental adalah berpotensi menjadi sumber

stres pekerjaan. Unsur yang menimbulkan beban berlebih adalah kondisi kerja, yaitu

setiap tugas diharapkan dapat diselesaikan secepat mungkin secara tepat dan cermat.

Penelitian yang dilakukan oleh Hariyono, dkk (2009) berjudul “Hubungan antara

Beban Kerja, Stres Kerja dan Tingkat Konflik dengan Kelelahan Kerja Perawat di

Rumah Sakit Islam Yogyakarta PDHI Kota Yogyakarta” dengan metode penelitian

survei analitik dengan tujuan untuk mengetahui hubungan antara beban kerja, stres

kerja dan tingkat konflik terhadap kelelahan kerja. Penelitian ini menunjukkan hasil

yaitu terdapat hubungan yang signifikan antara beban kerja terhadap kelelahan kerja

X = Hasil kumulasi waktu kegiatan produktif/24 x 100%

30

dengan p value 0,000. Hariyono, dkk (2009) juga menyebutkan bahwa beban kerja

yang tinggi dapat menyebabkan perawat mengalami kejenuhan dan kelelahan. Hal ini

akan berdampak pada penurunan kualitas pelayanan yang diberikan perawat.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Kiekkas (2010) yang berjudul “Level and

Correlates of Burnout Among Orthopaedic Nurses in Greece” dengan desain

penelitian deskriptif untuk mengetahui tingkatan dan faktor yang berhubungan

dengan burnout syndrome pada perawat ortopedik. Penelitian ini menunjukkan hasil

bahwa burnout syndrome memiliki hubungan yang signifikan dengan beban kerja

perawat (p value=0,005). Kiekkas (2010) juga menyebutkan beban kerja yang tinggi

secara spesifik berpengaruh pada salah satu dimensi dari burnout syndrome yaitu

physical and emotional exhaustion. Beberapa penelitian tersebut menunjukan bahwa

terdapat hubungan antara beban kerja perawat dengan burnout syndrome.

Soehartati (2005) menyatakan bahwa beban kerja yang tinggi dapat

menyebabkan perawat mengalami kelelahan atau kejenuhan yang akan menimbulkan

stres kerja pada perawat yang kemudian akan berdampak pada penurunan kepuasan

kerja. Dewanti (2010) juga mengungkapkan bahwa stres kerja yang berlebihan pada

perawat cenderung akan mengarah pada burnout syndrome.

31

2.2.2 Faktor Demografi

Faktor demografi merupakan faktor yang berasal dari diri individu yang

berpengaruh terhadap burnout. Beberapa faktor demografi yang mempengaruhi

burnout meliputi: usia, jenis kelamin, status pernikahan, lama bekerja dan tingkat

pendidikan (Fatmawati, 2012).

a. Usia

Usia adalah lamanya waktu hidup yaitu terhitung sejak lahir sampai dengan

sekarang. Penentuan usia dilakukan dengan menggunakan hitungan tahun (Chaniago,

2002). Hasil penelitian Fatmawati (2012) menyebutkan bahwa pustakawan yang

berusia 30 tahun ke atas memiliki tingkat burnout yang lebih tinggi dibandingkan

pustakawan yang berusia 30 tahun ke bawah. Sumawidanta (2013) mengungkapkan

perawat yang lebih tua biasanya lebih menguasai pekerjaan yang mereka lakukan dan

keinginan agar mencapai kinerja lebih baik daripada perawat yang berusia lebih muda

juga lebih tinggi. Tuntutan dalam diri perawat yang berusia lebih tua cenderung

membuat stres hingga terjadinya kelelahan fisik, emosional dan psikologi.

b. Jenis Kelamin

Jenis kelamin adalah perbedaan antara perempuan dengan laki-laki secara

biologis sejak seseorang lahir (Hungu, 2007). Laki-laki tumbuh dan dibesarkan

dengan nilai dan kemandirian khas laki-laki dan mereka diharapkan dapat bersikap

tegas, lugas, tegar, dan tidak emosional. Sebaliknya perempuan diharapkan untuk

mempunyai sikap membimbing, empati, kasih sayang, membantu, dan lembut.

32

Perbedaan cara dalam membesarkan laki-laki dan perempuan memberi dampak yang

berbeda pula dalam menghadapi dan mengatasi burnout. Hal ini dapat dijelaskan

dengan perbedaan tahap perkembangan antara perempuan dan laki-laki.

Perkembangan pada perempuan dipengaruhi oleh hormon esterogen dan progesteron.

Kedua hormon ini juga berperan dalam perkembangan emosional perempuan yang

membuat perempuan lebih mengutamakan perasaan dalam menghadapi

permasalahan. Sehingga, ketika perempuan dihadapkan pada suatu masalah, maka

respon emosional seperti menangis, mengadu dan menyesal akan lebih dominan

muncul (Priyono dkk., 2009). Hal ini berbeda dengan perkembangan laki-laki yang

dipengaruhi oleh hormon testosteron. Pengaruh dari hormon ini terhadap

perkembangan emosional adalah laki-laki cenderung lebih tenang, rasional dan acuh.

Oleh karena itu, ketika laki-laki menghadapi suatu masalah, maka respon yang lebih

dominan muncul adalah berusaha menyelesaikan masalah dengan cara yang praktis

dan rasional serta banyak yang cenderung diam (Priyono dkk., 2009).

c. Status Pernikahan

Pernikahan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita

sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia

dan kekal berdasarkan ketuhanan yang mahaesa (Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 1 tahun 1974). Status pernikahan berpengaruh terhadap timbulnya

burnout. Menurut Lakoy (2009) perempuan yang bekerja dan sudah menikah sering

merasa tidak bahagia. Hal ini umumnya terjadi karena merasa kewalahan dengan

33

tanggung jawab, mengalami kesulitan dalam mempertahakan hubungan yang akrab

dengan pasangan sehingga hal tersebut menimbulkan stres yang berkepanjangan.

Selain itu, perempuan yang bekerja dan sudah menikah cenderung merasa kecewa

dengan prestasi-prestasi yang ada dalam hidup mereka dan sering merasa kecil hati

tentang cara menjalani hidup, sehingga semua itu berpengaruh besar terhadap

kesejahteraan psikologis mereka.

Namun, pada penelitian Fatmawati (2012) didapatkan hasil pustakawan yang

berstatus lajang lebih banyak mengalami burnout daripada yang telah berkeluarga.

Fatmawati (2012) juga mengungkapkan alasan dari hal tersebut adalah seseorang

yang sudah berkeluarga mendapatkan kasih sayang dan dukungan sosial dari keluarga

dapat mengurangi tuntutan emosional dalam pekerjaan. Selain itu, keterlibatan

dengan keluarga dan anak juga dapat mempersiapkan mental seseorang dalam

menghadapi masalah pribadi dan konflik emosional.

d. Masa Kerja

Masa kerja menunjukkan berapa lama seseorang bekerja pada masing-masing

pekerjaan atau jabatan. Semakin lama masa kerja individu maka pengalaman yang

diperolehnya semakin bertambah (Siagian, 2009). Walaupun dengan masa kerja yang

lama seorang perawat mendapatkan pengalaman kerja yang banyak, namun pola

pekerjaan perawat yang monoton dan bersifat human service justru menimbulkan

kelelahan fisik, emosi dan psikologi yang mengarah pada burnout syndrome

(Pangastiti, 2011).

34

e. Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan merupakan jenjang ilmu pengetahuan yang di dapat dari

lembaga pendidikan formal terakhir. Tingkat pendidikan adalah suatu proses jangka

panjang yang menggunakan prosedur sistematis dan terorganisir (Mangkunegara,

2003). Seseorang dengan pendidikan sarjana paling berisiko mengalami burnout

syndrome dibandingkan tingkat pendidikan lainnya. Profesional yang berpendidikan

tinggi memiliki harapan atau aspirasi yang idealis, sehingga ketika dihadapkan pada

kesenjangan antara aspirasi dan kenyataan maka muncul kegelisahan dan kekecewaan

yang dapat menimbulkan burnout syndrome. Tingkat pendidikan perawat terdiri dari

SPK, DIII, S1, serta S2 keperawatan (Fatmawati, 2012).

f. Alat Ukur Faktor Demografi

Lembar identitas digunakan untuk mengetahui faktor-faktor demografi yang

akan diteliti, seperti jenis kelamin, usia, status pernikahan, masa kerja, dan tingkat

pendidikan responden.

g. Hubungan Faktor Demografi Terhadap Burnout Syndrome

Penelitian yang dilakukan oleh Chakraborty (2012) yang berjudul “Internal

Predictors of Burnout in Psychiatric Nurses: An Indian Study”, dengan desain

penelitian deskriptif korelasi yang bertujuan untuk mengetahui faktor internal yang

mempengaruhi burnout syndrome pada perawat psikiatrik. Penelitian ini menujukkan

hasil bahwa usia memiliki hubungan yang signifikan dengan burnout syndrome (p

35

value=0,015, p value<0,05) dan tidak terdapat hubungan antara tingkat pendidikan

dengan burnout syndrome (p value=0,285, p value>0,05). Hasil penelitian Fatmawati

(2012) menyebutkan bahwa pustakawan yang berusia 30 tahun ke atas memiliki

tingkat burnout yang lebih tinggi dibandingkan pustakawan yang berusia 30 tahun ke

bawah.

Penelitian yang dilakukan oleh Larasati dan Paramita (2013) yang berjudul

“Tingkat Burnout Ditinjau dari Karakteristik Demografis (Usia, Jenis Kelamin dan

Masa Kerja) Guru SDN Inklusi di Surabaya” yang menunjukkan hasil bahwa tidak

ada hubungan yang signifikan antara usia (p value=0,760), jenis kelamin (p

value=0,283) dan masa kerja (p value=0,674) terhadap burnout syndrome. Namun,

hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Olanrewaju dan Chineye (2013) yang

berjudul “Gender Differences in Burnout Among Health Workers in The Ekiti State

University Teaching Hospital Ado-Ekiti” didapatkan hasil bahwa terdapat perbedaan

yang signifikan antara laki-laki dan perempuan (t (138) = -2,70, P <0,05).

Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Utami (2010) yang berjudul

“Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Kejadian Stres Kerja pada Perawat

Instalasi Rawat Inap B RS. PELNI Petamburan Jakarta” dengan pendekatan cross

sectional yang bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan

kejadian stres kerja pada perawat instalasi rawat inap B RS. PELNI Petamburan

Jakarta. Hasil yang didapatkan adalah terdapat hubungan yang signifikan antara status

pernikahan dan stres kerja perawat (P value=0,031, P value<0,05). Penelitian yang

36

dilakukan oleh Qord (2012) yang menyatakan bahwa pekerja yang sudah menikah

menunjukkan skor emotional exhaustion yang lebih tinggi daripada yang belum

menikah. Kelelahan emosional yang dialami oleh seorang pekerja yang sudah

menikah cenderung disebabkan karena banyaknya tanggung jawab yang harus

dilakukan.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Chakaborty (2012) yang berjudul

“Internal Predictors of Burnout in Psychiatric Nurses: An Indian study” yang

menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara masa kerja perawat dengan burnout

syndrome (p value=0,011, p value<0,05). Selain itu penelitian yang dilakukan oleh

Suska (2011) berjudul “Hubungan Beban Kerja, Umur dan Masa Kerja dengan Stres

Kerja Perawat Shift Malam di Ruang Rawat Inap Kelas III RSUP Dr. Soeradji

Tirtonegoro Klaten” menunjukkan hasil terdapat hubungan yang signifikan antara

masa kerja dan stres kerja perawat (p value=0,001, p value<0,05). Fatmawati (2012)

menyebutkan bahwa pustakawan yang bekerja lebih atau sama dengan lima tahun

memiliki tingkat burnout syndrome yang lebih tinggi dibandingkan pustakawan yang

bekerja kurang dari lima tahun.

2.2.3 Locus of Control

a. Pengertian Locus of control

Locus of control pertama kali dikemukakan oleh Julian B Rotter tahun 1966,

yang didefinisikan sebagai cara pandang seseorang terhadap kemampuannya untuk

mengendalikan sebuah peristiwa yang sedang terjadi. Locus of control merupakan

37

persepsi atau keyakinan seseorang terhadap kontrol diri atas peristiwa yang

mempengaruhi kehidupannya (Greenberg, 2006). Locus of control juga dinyatakan

sebagai keyakinan atau harapan individu mengenai sumber penyebab peristiwa yang

terjadi dalam hidupnya, yaitu kecenderungan untuk merasa apakah peristiwa itu

dikendalikan dari dalam dirinya (internal) atau dari luar dirinya seperti

keberuntungan, nasib, kesempatan, kekuasaan orang lain dan kondisi yang lain yang

dapat dikuasai (eksternal) (Munandar, 2004).

Berdasarkan beberapa definisi dari para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa

locus of control adalah suatu cara pandang individu terhadap kemampuannya untuk

mengontrol sesuatu yang sedang terjadi dalam kehidupannya.

b. Aspek Locus of Control

Pada mulanya Rotter melihat locus of control sebagai hal yang bersifat

unidimensional (internal dan eksternal). Namun pada tahun 1973, Levenson

mengembangkan konsep locus of control dan membaginya menjadi tiga dimensi

independen yaitu: internalisasi (internality), kekuatan orang lain (powerful other),

dan keberuntungan (chance). Menurut model Levenson, seseorang dapat

memunculkan masing-masing dimensi locus of control secara independen dalam

waktu yang sama (Zawawi, 2009).

Tektonika (2012) mengungkapkan bahwa individu yang memiliki orientasi ke

arah internal locus of control yang dalam hal ini adalah internalisasi (internality),

akan memiliki keyakinan yang kuat bahwa semua kejadian atau peristiwa yang terjadi

38

pada dirinya ditentukan oleh usaha dan kemampuannya sendiri. Individu yang

memiliki orientasi pada locus of control eksternal dapat dikelompokkan menjadi dua

kategori, yaitu individu yang meyakini bahwa kehidupan dan peristiwa yang mereka

alami ditentukan oleh orang-orang yang lebih berkuasa yang berada disekitarnya

(powerful other), dan individu yang meyakini bahwa kehidupan dan peristiwa yang

mereka alami ditentukan oleh takdir, nasib keberuntungan serta adanya kesempatan

(chance) (Teknonika, 2012).

Jadi, dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat dua macam locus of

control, yaitu locus of control internal dan locus of control eksternal. Seseorang dapat

dikatakan memiliki locus of control internal bila orang tersebut memiliki keyakinan

yang kuat bahwa dirinya dapat mengontrol dan mengatur semua peristiwa yang akan

terjadi. Seseorang dapat dikatakan memiliki locus of control eksternal apabila orang

tersebut tidak memiliki keyakinan yang kuat bahwa dirinya dapat mengontrol semua

yang akan terjadi pada dirinya, namun orang lain dan nasib yang mengontrol kejadian

yang menimpanya (Tektonika, 2012). Perbedaan karakteristik antara locus of control

internal dan eksternal dapat dilihat pada tabel 2.

39

Tabel 2 Perbedaan antara Locus of Control Internal dan Eksternal

Locus of Control Internal Locus of Control Eksternal

1. Suka bekerja keras

2. Memiliki insiatif yang tinggi

3. Selalu berusaha untuk menemukan

pemecahan masalah

4. Selalu mencoba untuk berfikir seefktif

mungkin

5. Selalu mempunyai persepsi bahwa usaha

harus dilakukan jika ingin berhasil.

1. Kurang memiliki inisiatif

2. Mudah menyerah, kurang suka berusaha

karena mereka percaya bahwa faktor luar

yang mengontrol

3. Kurang mencari informasi

4. Mempunyai harapan bahwa ada sedikit

korelasi antara usaha dan kesuksesan

5. Lebih mudah dipengaruhi dan tergantung

pada petunjuk orang lain.

Ayudiati (2010)

c. Alat Ukur Locus of Control

Skala IPC Levenson adalah skala yang digunakan untuk mengetahui pusat

kendali seseorang. Instrumen ini dikembangkan oleh Levenson yang dalam

konsepnya mengatakan bahwa pusat kendali terbagi atas tiga arah orientasi kendali,

yaitu orientasi internal (I), orientasi powerful others (P), dan orientasi chance (C).

Ketiga skala orientasi ini dituangkan ke beberapa subskala dengan masing-masing

delapan buah item pernyataan. Tujuan pengukuran skala ini adalah untuk memilah

individu menurut arah pusat kendalinya yakni arah kendali internal dan kendali

eksternal. Arah kendali internal diungkap dalam subskala I yang berjumlah delapan

item dengan nomor 1, 4, 5, 9, 18, 21, dan 23. Sedangkan arah kendali eksternal,

diungkapkan dalam subskala P dengan nomor 3, 8, 11, 13, 15, 17, 20, dan 22 dan C

dengan nomor 2, 6, 7, 10, 12, 14, 16, dan 24 yang totalnya berjumlah 16 item

pernyataan. Jadi, jumlah seluruh item pernyataan dalam instrumen ini adalah 24 buah

(Azwar, 2011).

40

Masing-masing item pernyataan dalam instrumen ini diberi skor dalam enam

jenjang, yaitu: 1 (sangat tidak sesuai) , 2 (tidak sesuai), 3 (agak tidak sesuai), 4 (agak

sesuai), 5 (sesuai), dan 6 (sangat sesuai). Setiap subjek mendapat dua skor pusat

kendali, yaitu pada arah orientasi internal (komponen I) dan skor pada arah orientasi

eksternal (komponen P dan C). Rumus untuk menghitung skor individu pada masing-

masing arah orientasi adalah sebagai berikut:

Internal : Xint = (∑XI)/8

Eksternal : Xeks = (∑XP + ∑XC)/16

Dari distribusi kedua skor ini, dapat diperoleh rata-rata (Mint dan Meks) serta

deviasi standarnya (Sint dan Seks) masing-masing. Kemudian, skor mentah subjek

dikonversikan atau diubah menjadi skor Z, yaitu:

Zint = (Xint-Mint)/Sint

Zeks = (Xeks-Meks)/Seks

Skor Z inilah yang digunakan sebagai dasar kategorisasi pusat kendali, dengan

kriteria:

Zint ≥ 0,50 dan Zeks < 0 kendali internal

Zeks ≥ 0,50 dan Zint< 0 kendali eksternal

Instrumen ini sudah dilakukan uji validitas dan reliabilitas pada beberapa

penelitian di Indonesia. Uji validitas dilakukan oleh Agustomo dan Djatmiko

menemukan korelasi yang tidak searah antara I dan P serta I dan C. Sedangkan Hendi

dan Haryanto tidak menemukan korelasi antara I dan P serta I dan C. Temuan ini

mengindikasikan validitas diskriminan. Sedangkan antara variabel C dan P ditemukan

41

korelasi positif yang mengindikasikan validitas konvergen. Koefisien korelasi antar

faktor skala IPC dapat dilihat pada tabel 4.

Tabel 3 Koefisien Korelasi antar Faktor Skala IPC

rIP rIC rCP

Agustomo, n = 50 -0,497 -0,779 0,576

Hendi, n = 60 0,149 0,167 0,596

Djatmiko, n = 72 -0,75 -0,502 0,281

Haryanto, n = 55 0,059 -0,164 0,224

Azwar (2011)

Uji reliabilitas pada instrumen ini menggunakan Anava Hoyt. Agustomo

memperoleh koefisien reliabilitas rxx = 0,750, Hendi koefisien reliabilitas rxx = 0,734,

dan Haryanto koefisien reliabilitas rxx = 0,749 (Azwar, 2011).

d. Hubungan Locus of Control dengan Burnout Syndrome

Salah satu faktor individu yang berpengaruh terhadap burnout syndrome

adalah locus of control. Locus of control berpengaruh terhadap pemilihan strategi

koping individu. Selain itu, kecenderungan locus of control pada individu akan

mempengaruhi karakteristik pekerjaan yang sesuai dengan dirinya (Sukarti, 2007).

Locus of control internal cenderung lebih sukses dalam karir dibandingkan dengan

locus of control eksternal. Seseorang dengan locus of control internal cenderung

mempunyai level kerja yang lebih tinggi, promosi yang lebih cepat dan mendapatkan

penghasilan yang lebih. Selain itu, locus of control internal cenderung memiliki

42

kepuasan kerja yang lebih tinggi dengan pekerjaan mereka dan terlihat lebih mampu

menahan stres dibandingkan dengan locus of control eksternal (Menezes, 2009).

Penelitian yang dilakukan oleh Chakraborty (2012) yang berjudul “Internal

Predictors of Burnout in Psychiatric Nurses: An Indian study” yang menunjukkan

bahwa terdapat hubungan antara locus of control dengan burnout syndrome (p value

=0,005, p value<0,05). Responden dengan locus of control ekternal dalam penelitian

ini didapatkan lebih banyak mengalami burnout syndrome. Penelitian yang dilakukan

oleh McIntyre (2011) berjudul “The Relationship Between Locus of Control and

Teacher Burnout”, didapatkan hubungan yang signifikan antara eksternal locus of

control dan burnout syndrome. Penelitian lain yang dilakukan oleh Intam (2009)

berjudul “Hubungan Locus of Control dan Konsep Diri dengan Stres Kerja pada

Perawat di Rumah Sakit Umum Daerah Undata Palu”, didapatkan hasil korelasi

positif antara locus of control eksternal dan stres kerja dengan koefisin korelasi 0,372,

dimana semakin tinggi locus of control eksternal perawat maka semakin tinggi stres

kerjanya. Berdasarkan dua hasil penelitian tersebut, burnout syndrome cenderung

berkorelasi positif dengan locus of control eksternal.

2.2.4 Harga Diri

a. Pengertian Harga Diri

Baron dan Byrne (2004) mendefinisikan harga diri sebagai penilaian terhadap

diri sendiri yang dibuat individu dan dipengaruhi oleh karakteristik yang dimiliki

orang lain yang menjadi pembanding. Sedangkan Chaplin (2004) memberikan

43

pengertian terhadap harga diri sebagai penilaian diri yang dipengaruhi oleh sikap,

interaksi, penghargaan, dan penerimaan orang lain terhadap individu. Jadi harga diri

merupakan penilaian individu mengenai perasaan berharga atau berarti yang

diekspresikan dalam sikap-sikap orang lain terhadap dirinya.

b. Aspek Harga Diri

Wardhani (2009) menyebutkan bahwa harga diri individu terdiri dari tiga

aspek yaitu:

1) Perasaan Berharga

Perasaan berharga merupakan perasaan yang dimiki individu saat merasa dirinya

dihargai oleh orang lain. Individu yang merasa dirinya berharga akan dapat

mengekspresikan dirinya dengan baik, dapat menerima kritik, dan memiliki

kemampuan untuk mengontrol prilaku.

2) Perasaan Mampu

Perasaan mampu merupakan perasaan yang dimiliki individu pada saat ia merasa

mampu untuk mencapai suatu hasil yang diharapkan. Individu yang memiliki

harga diri positif menyukai tugas baru yang menantang, aktif, dan tidak cepat

bingung jika segala sesuatu tidak sesuai rencana. Perasaan mampu dan merasa

kompeten dalam melaksanakan tugas dapat meningkatkan harga diri seseorang.

3) Perasaan Diterima

Perasaan diterima merupakan perasaan yang dimiliki individu ketika diterima

sebagai dirinya sendiri dalam suatu kelompok. Ketika individu diperlakukan

44

sebagai bagian dari kelompok, ia akan merasa dirinya diterima dan dihargai

dalam kelompok tersebut.

c. Alat Ukur Harga Diri

Skala self-esteem Rosenberg adalah alat ukur yang digunakan untuk

mengukur harga diri secara keseluruhan (global self-esteem). Instrumen ini terdiri

atas sepuluh butir pernyataan, dengan butir yang memiliki kriteria positif

(favourable) sebagai aspek kepercayaan diri (self confidence) dengan nomor item 1,

2, 4, 6, dan 7 serta butir yang memiliki kriteria negatif (unfavourable) sebagai aspek

penurunan kepercayaan diri (self depreciation) dengan nomor item 3, 5, 8, 9, dan 10.

Instrumen ini menggunakan skala likert dengan lima kategori, yaitu: 5 (sangat

setuju), 4 (setuju), 3 (antara setuju atau tidak), 2 (tidak setuju), dan 1 (sangat tidak

setuju). Dengan demikian setiap satuan deviasi standarnya (σ) bernilai 40/6 = 6,67

dibulatkan ke atas menjadi 7, 6 merupakan konstanta. Nilai mean teoritisnya (µ)

adalah skor terendah dikalikan tingkat kategori yaitu, 10 x 3 = 30 (Azwar, 2011).

Menurut Azwar (2011) bila diinginkan penggolongan sebjek ke dalam tiga

kategori diagnosis burnout syndrome, maka satuan deviasi standar itu dibagi dalam

tiga bagian menjadi:

X < (µ-1,0σ) rendah

(µ-1,0σ) ≤ X < (µ+1,0σ) sedang

(µ+1,0σ) ≤ X tinggi

45

Sehingga dengan harga µ = 30 dan σ = 0 akan diperoleh kategori-kategori

harga diri:

X < (30-1,0 (7)) rendah

(30-1,0(7)) ≤ X < (30+1,0(7)) sedang

(30+1,0 (7)) ≤ X tinggi

Instrumen ini sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan sudah

dilakukan uji validitas dan reliabilitas oleh Azwar (2011) dengan hasil koefisien

korelasi item total berada antara 0,415 sampai dengan 0,703 untuk kesepuluh item

dalam skala (n =71), sedangkan koefisien tes ulang dengan tenggang waktu satu hari

menghasilkan rxxi = 0,8587. Hal ini menunjukkan bahwa instrumen ini valid dan

reliabel. Instrumen ini juga digunakan dalam penelitian Widhiarso (2012) dengan

hasil analisis korelasi butir total berkisar antara 0,2581-0,3917 dengan koefisien

alpha sebesar 0,8689.

d. Hubungan Harga Diri dengan Burnout Syndrome

Harga diri merupakan bagian dari konsep diri yang mempunyai arti sebagai

suatu hasil penilaian individu terhadap dirinya yang diungkapkan dalam sikap-sikap

positif maupun negatif (Baron dan Bryne, 2004). Harga diri yang positif akan

membangkitkan rasa percaya diri, penghargaan diri, rasa yakin akan kemampuan diri,

rasa berguna serta yakin kehadirannya diperlukan. Individu yang memiliki harga diri

rendah cenderung merasa bahwa dirinya tidak mampu dan berharga (Tambunan,

2001). Seseorang dengan harga diri tinggi cenderung aktif, ekspresif, berhasil dalam

46

bidang akademik dan sosial, mempunyai motivasi yang kuat untuk mengutarakan

pendapatnya, tidak peka terhadap kritik, mudah menolak, jarang tergantung pada

perasaan cemas dan mempunyai pandangan positif terhadap orang lain. Seseorang

dengan harga diri sedang mempunyai kecenderungan sama dengan individu yang

mempunyai harga diri tinggi. Perbedaannya adalah individu yang mempunyai harga

diri sedang cenderung untuk bergantung pada penerimaan sosial dan sangat

mendukung sistem nilai di masyarakat. Sedangkan, individu dengan harga diri rendah

cenderung diliputi dengan kekhawatiran tentang interaksi sosial dan tidak yakin akan

keberhasilannya. Orang dengan harga diri yang rendah mempunyai sifat-sifat

depresif, terlalu lemah untuk melawan kekurangan diri, disibukkan oleh persoalan

pribadi, cenderung terisolir, tidak mampu mengekspresikan diri dan peka terhadap

kritik (Nurvia & Safitri, 2009).

Penelitian yang dilakukan oleh Nurvia dan Safitri (2009) yang berjudul

“Hubungan antara Harga Diri dengan Burnout pada Karyawan Bidang Pemasaran”

dengan pendekatan cross sectional yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara

harga diri dengan burnout syndrome pada karyawan bidang pemasaran. Hasil yang

yang didapatkan adalah terdapat hubungan yang negatif antara harga diri dengan

burnout syndrome (r= -0,615 (p value=0,01, p value<0,05)). Berarti, semakin tinggi

harga diri yang dimiliki karyawan bidang pemasaran maka akan semakin rendah

burnout yang dialami karyawan tersebut dan sebaliknya. Nurvia dan Safitri (2009)

juga mengungkapkan jika seseorang mengevaluasi dirinya secara negatif, tidak

mampu dalam bekerja, kurang percaya diri, kurang dihargai rekan kerjanya, maka hal

47

tersebut akan menimbulkan tekanan-tekanan yang dapat menguras tenaga sehingga

berisiko menimbulkan kelelahan fisik, emosional maupun mental. Sehingga,

seseorang dengan harga diri rendah cenderung lebih banyak mengalami burnout

syndrome.