27
7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum Ikan Tuna Tuna merupakan ikan ekonomis penting dalam perdagangan perikanan dunia dan termasuk golongan ikan pelagis. Efektivitas tindakan dalam pengontrolan kualitas ikan tuna sangat ditunjang oleh pengetahuan terhadap biologinya. Ikan tuna dapat hidup di air yang lebih dingin dan bertahan dalam kondisi yang beragam. Daging ikan tuna berwarna merah muda sampai merah tua, karena otot ikan tuna lebih banyak mengandung myoglobin dibandingkan ikan lainnya (Nurjanah, 2011). Ikan tuna memiliki kebiasaan untuk bermigrasi sepanjang hidupnya. Kebiasaan ikan tuna untuk bermigrasi didukung oleh sistem metabolisme ikan tuna yang dapat mengatur jumlah panas yang ada di dalam tubuh untuk mencapai kondisi biologis yang efektif (FAO, 2010 dalam Nurjanah, 2011). Ikan tuna terbagi atas beberapa jenis, yaitu : ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares), ikan tuna albakor (Thunnus alalunga), ikan tuna mata besar (Thunnus obesus), dan ikan tuna sirip biru (Thunnus macoyii). 2.1.1 Klasifikasi Ikan Tuna Klasifikasi ikan tuna (FAO 2010 dalam Nurjanah, 2011) adalah: Phylum : Chordata Subphylum : Vertebrata Class : Teleostei Sub class : Actinopterygii Ordo : Perciformes

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum Ikan Tuna II.pdf · Species : Thunnus albacares, Thunnus alalunga, Thunnus obesus, ... identifikasi dari produk yang dikemas (Winarno, 2011)

  • Upload
    vuthien

  • View
    239

  • Download
    9

Embed Size (px)

Citation preview

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum Ikan Tuna

Tuna merupakan ikan ekonomis penting dalam perdagangan perikanan

dunia dan termasuk golongan ikan pelagis. Efektivitas tindakan dalam

pengontrolan kualitas ikan tuna sangat ditunjang oleh pengetahuan terhadap

biologinya. Ikan tuna dapat hidup di air yang lebih dingin dan bertahan dalam

kondisi yang beragam. Daging ikan tuna berwarna merah muda sampai merah tua,

karena otot ikan tuna lebih banyak mengandung myoglobin dibandingkan ikan

lainnya (Nurjanah, 2011). Ikan tuna memiliki kebiasaan untuk bermigrasi

sepanjang hidupnya. Kebiasaan ikan tuna untuk bermigrasi didukung oleh sistem

metabolisme ikan tuna yang dapat mengatur jumlah panas yang ada di dalam

tubuh untuk mencapai kondisi biologis yang efektif (FAO, 2010 dalam Nurjanah,

2011). Ikan tuna terbagi atas beberapa jenis, yaitu : ikan tuna sirip kuning

(Thunnus albacares), ikan tuna albakor (Thunnus alalunga), ikan tuna mata besar

(Thunnus obesus), dan ikan tuna sirip biru (Thunnus macoyii).

2.1.1 Klasifikasi Ikan Tuna

Klasifikasi ikan tuna (FAO 2010 dalam Nurjanah, 2011) adalah:

Phylum : Chordata

Subphylum : Vertebrata

Class : Teleostei

Sub class : Actinopterygii

Ordo : Perciformes

8

Sub ordo : Scombridae

Genus : Thunnus

Species : Thunnus albacares, Thunnus alalunga, Thunnus

obesus, Thunnus macoyii

2.1.2 Morfologi Ikan Tuna

Ikan tuna yang termasuk ke dalam famili scombridae memiliki tubuh

berbentuk tegak, memanjang dan fusiform dengan dua buah sirip dorsal terpisah

yang memliki satu jari-jari keras pada jari-jari pertamanya dan sirip kaudal

berbentuk bulan sabit. Sirip ventral berukuran lebih kecil atau sama dengan sirip

pectoral, serta terletak menjorok ke belakang dari dasar sirip pectoral. Seluruh

ikan scombroids memiliki finlet di belakang sirip dorsal dan sirip anal, serta

sepasang caudal peduncle keel di tengah pangkal ekornya. Ikan ini memiliki

empat lekuk/lengkuk insang pada setiap sisinya dan filament insangnya mengeras

sebagai Gill rays (FAO, 2010 dalam Nurjanah, 2011).

Gambar 2.1 Morfologi ikan tuna (Thunnus albacares). Sumber (Nurjanah, 2011)

Lokasi penyebarannya yakni di ke tiga samudra dan mendekat daerah

tropis. Ikan ini ditangkap sepanjang tahun dengan suhu perairan 10oC -31

oC

dengan ukuran rata-rata 4-9 kg/ekor, tetapi paling banyak yang tertangkap

9

berukuran 14-34 kg/ekor, bahkan diperkirakan ikan tuna masih bisa berukuran

mencapai 160 kg/ekor dengan panjang 260 cm (Nurjanah, 2011).

2.1.3 Komposisi Gizi Ikan Tuna

Komposisi gizi daging ikan tuna bervariasi menurut jenis (Tabel 2.1),

umur, kelamin, dan musim. Perubahan yang nyata terjadi pada kandungan lemak

sebelum dan sesudah memijah. Lemak yang paling banyak terdapat pada dinding

perut yang berfungsi sebagai gudang lemak.

Tabel 2.1

Komposisi gizi beberapa jenis ikan tuna

Komposisi

Jenis Ikan Tuna

Satuan

(per 100g)

Bluefin Skipjack Yellowfin

Energi 121,0 131,0 105,0 Kal

Protein 22,0 26,2 24,1 g

Lemak 2,7 2,1 0,2 g

Abu 1,2 1,3 1,2 g

Kalsium 8,0 8,0 9,0 mg

Fosfor 2,7 4.0 1,1 mg

Besi 90,0 52,0 78,0 mg

Sodium 10,0 10,0 5,0 mg

Retinol 0,1 0,03 0,1 mg

Thiamin 0,06 0,15 0,1 mg

Riboflavin 0,6 0,15 0,1 mg

Niasin 10,0 18,0 12,2 mg

Sumber : Murniyati dan Sunarman (2000)

10

2.2 Penanganan dan Pengolahan Ikan Tuna

2.2.1 Teknik Penanganan dan Pengolahan Ikan Tuna

2.2.1.1 Penerimaan bahan baku

Teknik penanganan yang tepat harus diperhatikan dalam penerimaan

bahan baku. Kaidah penanganan yang tepat yaitu prinsip 3C + 1Q yaitu clean,

carefull, cold and quick atau penanganan harus dilakukan secara cermat, higienis,

selalu pada suhu dingin pada semua tahapan dan dilakukan dengan cepat

(Nurjanah, 2011).

2.2.1.2 Penanganan

Penanganan dilakukan dengan pencucian ikan untuk menghilangkan sisa

kotoran dan darah yang menempel pada tubuh ikan dan bebas dari bakteri

pathogen. Ikan dicuci dengan hati-hati menggunakan air bersih yang dingin dan

mengalir secara cepat dan saniter untuk mempertahankan suhu pusat produk

maksimal 4,40C (Badan Standardisasi Nasional, 2006e).

2.2.1.3 Pengolahan

Tuna steak beku adalah olahan hasil perikanan dengan bahan baku ikan

tuna segar dan beku yang mengalami perlakuan penerimaan bahan baku,

pencucian, penyiangan, pembuatan loin, perapihan, sortir mutu, pembungkusan,

pembekuan cepat sehingga suhu pusat mencapai -180C, pembentukan steak,

penggelasan atau tanpa penggelasan, penimbangan, pengepakan, pengemasan dan

penyimpanan (Badan Standardisasi Nasional, 2006c).

11

2.2.1.4 Pendinginan dan Pembekuan

Pendinginan merupakan suatu proses pengawetan ikan dengan

menggunakan suhu rendah, yaitu antara -10C sampai dengan 5

0C. Pendinginan

disebut chilling, di mana tujuan utamanya adalah menghambat kegiatan

mikroorganisme dan proses – proses lainnya, sehingga ikan itu dalam kondisi

tetap segar sampai jangka waktu yang cukup lama (Iriawan, 1995).

Pendinginan ikan hingga 00C dapat memperpanjang kesegaran ikan antara

12 – 14 hari sejak saat ikan ditangkap dan tergantung pada jenis ikan, cara

penanganan serta teknik pendinginannya. Proses pendinginan hanya mampu

menghambat pertumbuhan mikroba dan menghambat aktivitas mikroba. Secara

umum, cara yang terbaik untuk mendinginkan ikan adalah dengan menggunakan

es, karena dapat mendinginkan ikan dengan cepat tanpa banyak mempengaruhi

keadaan ikan dan biayanya murah (Adawyah, 2007).

Pembekuan ikan berarti mengubah kandungan cairan dalam ikan menjadi

es. Ikan mulai membeku pada suhu antara -0,6ºC sampai -2ºC, atau rata – rata

pada -1ºC. Pada umumnya jika pembekuan sudah mencapai -12ºC hingga -30ºC

dianggap sudah cukup. Suhu keseluruhan pada tubuh ikan yang membeku disebut

eutectic point, jika suhu telah mencapai antara -550C hingga -65

0C (Adawyah,

2007).

Menurut Murniyati dan Sunarman (2000), berdasarkan panjang pendeknya

waktu thermal arrest, pembekuan dibagi menjadi dua sebagai berikut :

1) Pembekuan cepat, yaitu pembekuan dengan thermal arrest time tidak lebih

dari dua jam.

12

2) Pembekuan lambat, yaitu jika thermal arrest time lebih dari dua jam.

Kristal – Kristal es yang terbentuk selama pembekuan berbeda ukurannya

tergantung pada kecepatan pembekuan. Pembekuan cepat menghasilkan kristal

yang kecil-kecil di dalam jaringan daging ikan. Ikan yang dibekukan jika

dicairkan kembali maka kristal-kristal yang ke luar akan diserap kembali oleh

daging dan hanya sedikit yang lolos drip atau cairan yang ke luar dari tubuh ikan

setelah proses thawing yang biasanya kaya akan nutrisi. Pembekuan lambat akan

menghasilkan kristal yang besar-besar sehingga merusak jaringan daging ikan,

sehingga tekstur daging ikan setelah dicairkan menjadi kurang baik, karena akan

berongga-rongga dan banyak sekali drip yang terbentuk. Menurut Adawyah

(2007), faktor yang mempengaruhi proses pembekuan adalah:

1) Jenis ikan, semakin tinggi kandungan lemak ikan maka semakin

rendah kandungan airnya.

2) Suhu freezer, semakin rendah suhu semakin cepat ikan membeku.

3) Suhu produk, semakin rendah suhu maka semakin cepat proses

pembekuannya. Ikan harus didinginkan terlebih dahulu pada saat

penanganan, selain untuk mencegah kerusakan selama proses

pembekuan, juga untuk mempercepat proses pembekuan.

4) Tebal produk, semakin tebal produk, proses pembekuan akan

berlangsung makin lambat.

5) Luas Permukaan dan kepadatan produk, rapatnya persinggungan antara

produk dengan alat pembeku akan meningkatkan kecepatan

pembekuan.

13

2.2.1.5 Pengemasan dan Pelabelan

Pengemasan produk tuna beku harus dilakukan dengan cepat, cermat dan

saniter. Pengemasan pada dasarnya berfungsi untuk melindungi produk dari

kerusakan yang diakibatkan oleh pengaruh pembekuan. Perubahan itu terlihat

pada kenampakan, bau dan rasa sedangkan pelabelan adalah untuk mengetahui

identifikasi dari produk yang dikemas (Winarno, 2011).

2.2.1.6 Penyimpanan

Penyimpanan tuna steak beku dalam gudang beku dengan suhu maksimal -

250C dengan fluktuasi suhu ± 2

0C. Penataan produk dalam gudang beku diatur

sedemikian rupa sehingga memungkinkan sirkulasi udara dapat merata dan

memudahkan pembongkaran (Badan Standardisasi Nasional, 2006e).

Penyimpanan produk harus disusun dengan menggunakan pallet, produk harus

dimuat di dalam cold storage sedemikian rupa sehingga sistem first in first out

dapat dilaksanakan (Murniyati dan Sunarman, 2000).

2.2.2 Persyaratan Bahan Baku dan Produk Akhir

Menurut persyaratan mutu bahan baku ikan segar berdasarkan konsep

Badan Standardisasi Nasional (2006d), bahan baku harus bersih, bebas dari setiap

bau yang menandakan pembusukan, bebas dari tanda dekomposisi dan pemalsuan,

bebas dari sifat-sifat alamiah lain yang dapat menurunkan mutu serta tidak

membahayakan kesehatan. Persyaratan mutu bahan baku ikan segar dapat dilihat

pada Tabel 2.2, sedangkan persyaratan mutu produk steak tuna beku disajikan

pada Tabel 2.3.

14

Tabel 2.2

Persyaratan Mutu Bahan Baku Ikan Segar

Jenis Uji Satuan Persyaratan

a.Organoleptik Angka ( 1 – 9 ) Minimal 7

b.Cemaran Mikroba

- ALT (Angka Lempeng

Total)

- Escherichia coli

- Salmonella

- Vibrio cholerae

Koloni/g

AMP/g

AMP/25g

AMP/25g

Maksimal 5,0 x 105

Maksimal ≤ 3

Negatif

Negatif

c.Cemaran Kimia

- Air Raksa (Hg)*

- Timbal (Pb)*

- Histamin

- Kadmium (Cd)*

mg/kg

mg/kg

mg/kg

mg/kg

Maksimal 1

Maksimal 0,4

Maksimal 100

Maksimal 0,1

d.Fisika

- Suhu Pusat

ºC

Maksimal -18ºC

e.Parasit

Ekor Maksimal 0

*) Apabila diperlukan atau apabila diminta

Sumber: Badan Standardisasi Nasional (2006d)

15

Tabel 2.3

Persyaratan Mutu Produk Steak Tuna Beku

Jenis Uji Satuan Persyaratan

a.Organoleptik Angka ( 1 – 9 ) Minimal 7

b.Cemaran Mikroba

- ALT (Angka Lempeng

Total)

- Escherichia coli

- Salmonella

- Vibrio cholerae

Koloni/g

AMP/g

AMP/25g

AMP/25g

Maksimal 5,0 x 105

Maksimal ≤ 3

Negatif

Negatif

c.Cemaran Kimia

- Air Raksa (Hg)*

- Timbal (Pb)*

- Histamin

- Kadmium (Cd)*

mg/kg

mg/kg

mg/kg

mg/kg

Maksimal 1

Maksimal 0,4

Maksimal 100

Maksimal 0,1

d.Fisika

- Suhu Pusat

ºC

Maksimal -18ºC

e.Parasit

Ekor Maksimal 0

*) Apabila diperlukan atau apabila diminta

Sumber: Badan Standardisasi Nasional (2006c)

Persyaratan mutu tuna steak beku harus diperhatikan oleh produsen untuk

menjamin keamanan pangan terhadap konsumen karena hal ini berhubungan

langsung dengan keamanan dan kesehatan manusia.

16

2.2.3 Persyaratan Bahan Pembantu

Bahan pembantu adalah bahan yang digunakan dalam proses penanganan

dan pengolahan suatu produk untuk dapat mempertahankan mutu produk yang

dihasilkan dan tidak mengubah karakteristik dari produk. Bahan pembantu yang

digunakan untuk pengolahan tuna steak antara lain air dan es.

a. Air

Air merupakan komoditi esensial dalam persiapan dan pengolahan pangan,

baik yang langsung menjadi produk cair maupun digunakan untuk membersihkan

peralatan wadah pangan, membuat es atau glazing. Air di unit pegolahan terdiri

dari air pengolahan, air minum dan air pembersih.

b. Es

Es yang digunakan harus dibuat dari air yang memenuhi persyaratan

sesuai dengan persyaratan dari Badan Standardisasi Nasional, 2006b dan syarat

mutu es disajikan pada Tabel 2.4.

Tabel 2.4

Syarat Mutu Es

Jenis Uji Satuan Persyaratan

A.Organoleptik Angka ( 1 – 9 ) Minimal 7

b. Cemaran Mikroba

- ALT(Angka Lempeng

Total)

- Escherichia coli

- Enterococcus

Koloni/ml

Koloni/ml

Koloni/ml

Maksimal1,0 x 10²

0

0

17

c. Cemaran Kimia

- pH

- Nitrat*

- Besi

- Klorida

Angka (1-14)

mg/ml

mg/l

mg/l

6.5-8.5

Maksimal 0,5

Maksimal 200

Maksimal 250

d.Fisika

- Suhu Pusat

ºC

Maksimal - 3

e. Parasit

Ekor Maksimal 0

*) Untuk es balok jika diperlukan

Sumber: Badan Standardisasi Nasional (2006b)

Dalam penggunaannya, es yang digunakan dalam unit pengolahan harus

dari air yang memenuhi persyaratan air minum, dalam penggunannya es harus

ditangani dan disimpan di tempat yang bersih agar terhindar dari penularan dan

kontaminasi dari luar.

2.2.4. Bahaya Pada Ikan Tuna

2.2.4.1 Bahaya Biologis

a. Bakteri Salmonella

Salmonella adalah bakteri jenis gram negatif, berbentuk batang, bergerak,

bersifat fakultatif anaerob, dan termasuk kelompok Enterobacteriaceae. Penyebab

utama adanya bakteri Salmonella dan Escherichia coli pada ikan adalah karena

kurang memperhatikan kebersihan atau sanitasi/higienenya. Bakteri salmonella

merupakan kuman penyebab penyakit yang dikenal sebagai penyakit

18

Salmonellosis, sehingga telah menjadi isu dunia yang penting bagi kesehatan

masyarakat dan ekonomi secara nasional maupun internasional (Winarno, 2004).

b. Bakteri Escherichia coli

Eschericihia coli termasuk family enterobacteriaceae, berbentuk pendek

bulat, gram negatif. Bakteri ini dibedakan dari enterobacter pada media kultur

dan secara mikroskopis. Bakteri ini muncul pada sistem pencernaan manusia dan

hewan lainnya, banyak ditemukan di minyak, air, dan banyak lagi tempat di alam.

Ikan yang sering hidup di air tercemar kotoran manusia atau hewan sering

mengandung bakteri Escherichia coli. Bakteri ini menyebabkan gangguan pada

usus atau masalah pencernaan (Badan Standardisasi Nasional, 2006a).

c. Vibrio cholerae

Vibrio cholera merupakan bakteri gram-negatif, berbentuk batang pendek

atau koma, dapat memfermentasi sukrosa pada media TCBS (Thiosulfate –

Citrate – Salts – Sucrose) dan dapat bergerak karena adanya flagella polar. Vibro

cholera tumbuh optimum sampai pada suhu 45ºC, pH optimum 10, dan dapat

tumbuh pada larutan NaCI 6% (Winarno, 2012).

2.2.4.2 Bahaya Fisik

a. Dekomposisi/Pembusukan

Dekomposisi mengindikasikan bahwa ikan dapat memproduksi toksin

(senyawa amine, seperti putresin dan cadaverin) yang berpotensi menyebabkan

penyakit. Hadiwiyoto (1993) menjelaskan bahwa terjadinya proses pembusukan

dapat digolongkan dalam tiga tahap, yaitu:

19

Pada tahap awal, sekedar terjadi kontaminasi oleh bakteri pembusuk dan

terjadi perkembangan populasi secara cepat. Pada saat ini belum terjadi

dekomposisi pembongkaran senyawa-senyawa yang ada.

Pada tahap berikutnya, terjadi dekomposisi senyawa-senyawa

mikromolekul yang sudah ada pada daging ikan, seperti : asam-asam amino bebas,

peptide, asam laktat, gula reduksi oleh bakteri menjadi metabolit-metabolit

penyebab bau busuk.

Pada tahap ketiga, terjadi pemecahan senyawa-senyawa mikromolekul

terutama protein oleh enzim-enzim protease yang dihasilkan oleh bakteri

pembusuk. Biasanya hal ini terjadi apabila senyawa-senyawa mikromolekul dalam

daging ikan telah habis digunakan oleh bakteri. Hasil pemecahan protein yaitu

peptida-peptida dan asam-asam amino bebas yang selanjutnya dekomposisi tidak

berkembang lagi karena semua senyawa mikromekul telah terurai menjadi

metabolit-metabolit yang dapat terakumulasi dan kadang-kadang dapat bersifat

racun yang berbahaya. Secara fisik pembusukan ikan akan menyebabkan daging

ikan menjadi rusak, kehilangan teksturnya dan berair.

b. Serpihan Logam

Serpihan logam pada produk berasal dari kontak penggunaan mesin

(seperti mesin pemotong atau mesin pengaduk dan alaat pembuka kaleng) dan

peralatan lain yang terbuat dari bahan logam. Serpihan logam pada produk dapat

melukai konsumen (Winiati, 2011).

20

2.3 Proses Penurunan Mutu Ikan

Ikan adalah bahan pangan yang mudah sekali busuk terutama dalam

keadaan segar akan cepat sekali mengalami kerusakan sehingga mutunya menjadi

rendah (Hadiwiyoto, 1993). Ikan dikatakan mempunyai kesegaran yang maksimal

apabila sifat-sifatnya masih sama dengan ikan hidup, baik rupa, bau, cita rasa,

maupun teksturnya. Penanganan ikan yang kurang baik dapat mengakibatkan

mutu atau kualitas ikan akan turun. Kesegaran ikan tidak dapat ditingkatkan,

tetapi hanya dapat dipertahankan. Sangat penting untuk mengetahui perubahan-

perubahan yang terjadi setelah ikan mati sehingga dapat dilakukan tindakan

penanganan yang baik dalam upaya mempertahankan kesegaran ikan (Junianto,

2003).

Penurunan mutu ikan dapat terjadi lebih cepat akibat adanya kerusakan

fisik. Kerusakan fisik juga sering disebut kerusakan mekanik yang diakibatkan

oleh benturan antara produk dengan produk, dengan bahan pengemasan atau

dinding alat transportasi sehingga produk menjadi lecet, retak, memar, dan busuk

(Winarno, 2004).

2.3.1 Proses Penurunan Mutu Ikan Karena Ativitas Enzim

Enzim masih mempunyai kemampuan untuk bekerja aktif setelah ikan

mati. Sistem kerja enzim menjadi tidak terkontrol karena organ pengontrol tidak

berfungsi, sehingga enzim merusak organ tubuh ikan. Perstiwa ini disebut

autolysis. Perubahan secara autolysis ini ditandai dengan dihasilkannya amoniak

sebagai hasil akhir penguraian protein dan lemak yang menyebabkan perubahan

rasa, tekstur dan penampakan ikan (Junianto, 2003).

21

2.3.2. Proses Penurunan Mutu karena Aktivitas Mikroba

Ikan dalam keadaan hidup dapat dianggap tidak mengandung bakteri yang

sifatnya merusak, walaupun sebenarnya pada tubuh ikan banyak sekali dijumpai

mikroba. Ikan hidup memiliki kemampuan untuk mengatasi aktivitas mikroba.

(Afrianto dan Liviawaty, 1989).

Bakteri yang terdapat dalam saluran pencernaan, insang, saluran darah dan

permukaan kulit tidak dapat merusak atau menyerang bagian – bagian ikan selama

ikan hidup. Bagian-bagian tubuh ikan tersebut mempunyai batas pencegah

(barrier) terhadap penyerangan bakteri. Kemampuan barrier tersebut akan hilang

setelah ikan mati, sehingga bakteri dapat segera masuk ke dalam daging ikan

melalui saluran pencernaan, insang, saluran darah dan permukaan kulit (Junianto,

2003).

2.3.3. Proses Penurunan Mutu Ikan karena Aktivitas Kimiawi

Proses perubahan pada ikan juga dapat terjadi karena proses oksidasi

lemak sehingga timbul aroma tengik yang tidak diinginkan dan perubahan rupa

serta warna daging ke arah coklat kusam. Bau tengik ini dapat merugikan pada

proses pengolahan maupun pengawetan karena dapat menurunkan mutu dan daya

jualnya. Pencegahan proses oksidasi dapat dilakukan dengan mengusahakan

sekecil mungkin terjadinya kontak antara ikan dengan udara bebas di

sekelilingnya dengan menggunakan ruang hampa udara, antioksidan atau

menghilangkan unsur-unsur penyebab proses oksidasi (Murniyati dan Sunarman,

2000).

22

2.4 Penerapan Kelayakan Dasar Unit Pengolahan

2.4.1. Good Manufacturing Practices (GMP) atau Standar Operasi

Pengolahan (SOP)

a) Seleksi Bahan Baku

Menurut Thaheer (2005), pengelolaan sistem manajemen manufaktur yang

baik dimulai dari proses pengendalian bahan baku yang meliputi pengendalian

pemasok, barang yang dibeli dan proses pengadaan. Pengendalian pemasok

paling popular saat ini telah menghadirkan sistem rantai pasokan. Perusahaan

yang telah menerapkan sistem HACCP, secara mudah menjamin barang yang

dibelinya dengan cara mewajibkan pemasoknya untuk menerapkan sistem yang

sama.

b) Penanganan dan Pengolahan

Menurut Suparno (2011), yang perlu diperhatikan dalam penanganan dan

pengolahan fillet ikan antara lain :

- Ikan Segar yang digunakan telah melewati fase pengkakuan (rigormortis).

Fillet yang diperoleh dari ikan yang belum dan sedang mengalami pengkakuan,

filletnya akan mengkerut / berlekuk atau jaringan otot pecah.

- Kebersihan dijaga sebaik-baiknya, karena fillet ikan sangat rentan terhadap

kontaminasi bakteri patogenik yang sukar dihilangkan dengan cara-cara biasa

karena kontaminan dapat menyusup ke dalam jaringan otot daging yang telah

terbuka pada ikan utuh.

- Untuk mencegah pengeringan dan oksidasi selama penyimpanan beku,

fillet harus dibungkus dan dikemas dengan menggunakan vegetable

23

parchmentpaper atau polyethylene film, kemudian dipak dalam waxed paper

board atau fiber board cartons dan dibekukan dalam contact plate freezer.

- Bekerja harus cepat tetapi cermat untuk menghindari pembusukan,

pencemaran dan cacat akibat kecerobohan yang dapat berpengaruh buruk terhadap

produk.

- Limbah yang diperoleh dari pemfilletan agar segera disingkirkan dari

tempat pengolahan untuk menghindari pencemaran terhadap produk.

c) Bahan Pembantu dan Bahan Kimia

Bahan pembantu yang digunakan pada industri pengolahan ikan adalah air

dan es. Air merupakan komoditi yang sangat esensial dalam persiapan dan

pengolahan pangan, baik air yang akan langsung menjadi produk cair maupun

yang digunakan untuk membersihkan peralatan wadah pangan, untuk membuat es

atau glazing, baik sebelum maupun sesudah persiapan dan pengolahan. Air yang

dipakai harus memenuhi persyaratan kualitas air minum (Winarno, 2012).

Jenis bahan kimia utama berbahaya yang dapat mencemari makanan yaitu

bahan pembersih kimia seperti detergen, pestisida, fungisida, rodentisida,

allergen, nitrit dan nitrat, migrasi komponen plastik dan bahan pengemas, residu

antibiotika, aditif kimia dan logam beracun (Thaheer, 2005).

d) Bahan Pengemas

Pewadahan dan/atau pembungkusan harus dirancang sehingga menarik,

menyenangkan, ekonomis dan cukup melindungi produk akhir. Pewadahan

dan/atau pembungkusan produk perikanan beku ke dalam karton dan master

karton harus dilakukan dengan hati-hati dan sempurna agar tahan terhadap

24

pengaruh perlakuan bongkar muat. Produk akhir yang telah diwadahi dan/atau

dibungkus harus selalu dilindungi dengan hati-hati terhadap kemungkinan

terjadinya penularan dan kontaminasi oleh kotoran (Ilyas, 1993).

e) Penyimpanan

Menurut Thaheer (2005), ruang penyimpanan pabrik harus dirancang

sebaik mungkin, tidak lembab, mudah dibersihkan dan terpisah dengan ruang

penyimpanan lainnya untuk mencegah terjadinya kontaminasi silang. Gudang

penyimpanan bahan baku harus terpisah dari gudang penyimpanan produk jadi.

f) Distribusi

Kendaraan (kontainer) untuk mengangkut produk akhir harus mampu

mempertahankan suhu beku atau dingin yang dipersyaratkan. Kontainer harus

dijaga kebersihannya. Pembongkaran harus hati-hati agar tidak merusak produk

(Ditjen P2HP, 2007).

Menurut Ilyas (1993), selama distribusi produk beku, suhu pada pusat

produk harus dipertahankan senantiasa maksimum -18ºC. Produk ikan beku

selama distribusi harus dilindungi terhadap pencemaran oleh mikroba dan

senyawa-senyawa lainnya yang membahayakan kesehatan manusia. Produk harus

ditangani dan diperlakukan dengan cermat, hati-hati dan cepat secara saniter.

2.4.2. Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP) atau Standar

Prosedur Operasi Sanitasi (SPOS)

Dalam proses sanitasi, diperlukan suatu prosedur standar yang dapat

mencakup seluruh area dalam produksi suatu produk pangan mulai dari kebijakan

perusahaan, tahapan kegiatan sanitasi, petugas yang bertanggung jawab

25

melakukan sanitasi, cara pemantauan sampai cara pendokumentasiannya.

Prosedur standar yang digunakan adalah prosedur operasi standar untuk sanitasi

(Sanitation Standard Operating Procedure – SSOP). Prosedur ini dibuat untuk

membantu industri pangan dalam mengembangkan dan menerapkan prosedur

pengawasan sanitasi serta memelihara kondisi dan praktik sanitasi.

Standar prosedur operasi sanitasi dalam proses sanitasi dapat dijelaskan

sebagai berikut (Thaheer, 2005) :

a. Keamanan Air

Standard Sanitation Operational Procedure untuk keamanan air

mencakup petugas dan prosedur standar yang digunakan untuk menjamin

keamanan air. Di dalamnya akan ditetapkan tahapan-tahapan perlakuan untuk air

yang diterapkan agar air yang diperoleh adalah air dengan kualitas tertentu,

misalnya untuk memenuhi standar air minum, untuk air yang kontak dengan

makanan dan untuk pembuatan es, sehingga tidak ada kontaminasi silang antara

air yang siap minum dan air yang tidak siap minum.

b. Kebersihan permukaan yang kontak dengan makanan

Standard Sanitation Operational Procedure untuk kebersihan permukaan

peralatan atau sarana dalam pabrik yang kontrak dengan makanan berisi standar

produser pembersihan dan sanitasi alat frekuensi pembersihan, dan petugas yang

bertanggung jawab. Prosedur pembersihan harus mencakup cara (metode)

pembersihan, baik dengan penyemprotan, busa gel, detergen ionis, detergen non

ionis atau kationik dan konsentrasi yang digunakan. Prosedur sanitasi akan

mencakup cara sanitasi, jenis sanitizer yang digunakan (uap panas, ultraviolet,

26

ozonisasi dan sebagainya) atau bahan kimia yang diizinkan (klorin, amonium

kuartener dan sebagainya) dan konsentrasi yang digunakan.

Kegiatan sanitasi dalam proses pengolahan makanan memiliki dua tujuan

yaitu :

1) Menghilangkan sisa makanan yang mengandung nutrisi yang baik untuk

pertumbuhan mikroba dan dapat berfungsinya peralatan dengan baik. Hal

ini juga dapat dilakukan dengan tindakan fisik, seperti pencucian dan

pengeringan.

2) Desinfeksi yang bertujuan untuk mengurangi populasi mikroba yang ada

dan bertahan pada tingkat di mana kontaminasi yang signifikan dapat

terjadi pada produk yang menyentuh permukaan secara langsung. Area

harus dilindungi setelah dibersihkan dan didesinfeksi dari kontaminasi

ulang sebelum digunakan.

c. Mencegah kontaminasi silang

Standard Sanitation Operational Procedure ini berisi prosedur-prosedur

untuk menghindari produk dari kontaminasi silang dari pekerja, bahan mentah,

pengemas, dan permukaan yang kontak dengan makanan. Di dalam SSOP ini

mencakup tindakan-tindakan yang menyangkut pembersihan bahan baku untuk

mengurangi kontaminasi silang, ketentuan mengenai boleh tidaknya pekerja

pindah atau mengunjungi bagian lain atau melengkapi setiap ruang proses

pengolahan dengan fasilitas pembersihan dan sanitasi desain lay out sarana dan

prasarana.

27

d. Toilet dan tempat cuci tangan

Setiap karyawan yang bekerja di ruang pengolahan harus mencuci tangan

dengan sempurna menggunakan air panas dan sabun, kemudian dibilas dengan air

yang mengandung bahan desinfeksi (klorin 50 ppm), iodophor atau desinfektan

lainnya. Pencucian tangan dilakukan sebelum dan sesudah selesai bekerja,

sebelum dan sesudah makan siang atau istirahat, setelah melakukan pekerjaan lain

yang mungkin menyebabkan kontaminasi.

e. Pencegahan dan perlindungan dari bahan berbahaya

Di dalam program ini tercakup prosedur-prosedur yang lazim digunakan

untuk mencegah tercampurnya bahan-bahan non pangan ke dalam produk pangan

yang dihasilkan, permukaan yang kontak dengan makanan. Bahan-bahan non

pangan yang dimaksud meliputi pelumas, bahan bakar, senyawa pembersih,

saniter, cemaran zat kimia dan cemaran fisik lainnya.

f. Pelabelan dan penyimpanan yang tepat

Standard Sanitation Operational Procedure ini mencakup tata cara dan

jenis pelabelan yang diterapkan pada bahan-bahan kimia yang digunakan, baik

untuk produksi atau pembersihan, fumigasi, desinfeksi dan sebagainya. Pelabelan

dan penyimpanan dapat digolongkan berdasarkan jenis bahan.

g. Pengendalian kesehatan dan higiene karyawan

Standard Sanitation Operational Procedure ini mencakup pengendalian

kesehatan bagi karyawan agar tidak menjadi sumber kontaminasi bagi produk,

bahan kemasan atau permukaan yang kontak dengan makanan. Di dalam SSOP ini

terdapat ketentuan mengenai cara pelaporan karyawan yang sakit atau

28

mendapatkan perawatan karena sakit. Hal ini termasuk penjadwalan bagi

pemeriksaan rutin kesehatan karyawan, imunisasi dan pengujian untuk penyakit-

penyakit tertentu.

h. Pemberantasan Hama

Hama merupakan binatang atau serangga yang tidak dikehendaki

keberadaannya. Beberapa serangga sebenarnya hidup dan berkembangbiak di

poduk pangan dan merusak produk tersebut. Karena itu, perlu dilakukan

pengendalian hama yang tidak diinginkan dalam lingkungan industri. Hama

sering sekali menyebabkan kontaminasi yang membahayakan. Beberapa hama

yang biasa terdapat pada industri pangan dan memerlukan penanganan atau

pembasmian antara lain binatang pengerat dan serangga. Standard Sanitation

Operational Procedure berisikan prosedur standar untuk membrantas atau

menghindarkan hama, termasuk di dalamnya adalah kebersihan ruangan

penyimpanan, fumigasi terjadwal (jenis fumigasi), pemasangan perangkap tikus di

pintu masuk dan sebagainya.

2.5. Penerapan HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point)

Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) adalah suatu sistem

manajemen mutu yang diterapkan untuk memberikan jaminan mutu dan

keamanan pangan serta menentukan titik kritis yang harus dilakukan dengan

pengwasan secara ketat. Thaheer (2005) mengemukakan bahwa HACCP adalah

suatu pendekatan ilmu yang digunakan untuk mengidentifikasi bahaya,

mengendalikan titik-titik bahaya pada setiap tahapan proses makanan, baik dalam

bentuk biologi, kimia maupun fisik guna menjamin keamanan pangan. Hazard

29

Analysis Critical Control Point bukan “Zero Risk System”, tetapi didesain untuk

meminimalisasi resiko bahaya keamanan makanan.

2.5.1. Pembentukan Tim HACCP

Tim HACCP terdiri dari bebagai divisi unit usaha atau yang mempunyai

kekhususan ilmu pengetahuan dan keahlian yang tepat untuk menghasilkan

produk (Thaheer, 2005). Tim HACCP seharusnya beranggotakan divisi-divisi

dari unit usaha seperti : quality assurance, produksi, pemasaran dan lain-lain serta

multidisiplin dengan memperhatikan jenis produk, teknologi pengolahan, teknik

penanganan dan distribusi, cara pemasaran dan cara konsumsi produk serta

potensi bahaya. Tim HACCP juga terdiri atas beberapa level personil (General

Manager, Manager QA, Manager Produksi, Quality Control dan lain-lain)

(Winarno, 2012).

2.5.2. Deskripsi Produk

Thaheer (2005) menjelaskan bahwa deskripsi poduk merupakan sebuah

daftar tentang suatu produk, minimal harus mencakup informasi tentang : nama

produk/nama dagang, komposisi produk, cara penyimpanan dan penyajian, tipe

pengemasan, masa kedaluwarsa, sasaran konsumen yang akan dicapai serta cara

distribusi.

2.5.3. Identifikasi Penggunaan

Identifikasi tujuan penggunaan dan konsumen adalah identifikasi

bagaimana akan digunakan oleh konsumen akhir, contohnya produk harus

dimasak seluruhnya sebelum dikonsumsi. Konsumen yang dituju mungkin

pengguna umum atau pengguna khusus dari populasi, seperti bayi atau lanjut usia.

30

Identifikasi pengguna produk dituju merupakan sasaran konsumen dengan

referensi populasi yang sensitif (Thaheer, 2005).

2.5.4. Penyusunan Diagram Alir

Diagram alir disusun oleh Tim HACCP. Penyusunan diagram alir

mencakup semua tahapan dalam proses produksi untuk produk tertentu.

Diagram/bagan alir sangat penting untuk mengidentifikasi potensi bahaya yang

mungkin timbul (Thaheer, 2005).

2.5.5. Verifikasi Diagram Alir

Pembuatan atau penyusunan diagram alir merupakan suatu step yang

penting dalam penerapan HACCP, karenanya diperlukan informasi ulang terhadap

bagan alir yang telah dibuat oleh Tim HACCP dengan kondisi sesungguhnya yang

ada di lapangan. Perubahan mendasar terhadap diagram alir akan mengubah

proses identifikasi bahaya pada proses tersebut (Thaheer, 2005)

2.5.6. Analisis Bahaya

Risiko keamanan pangan yang harus diperiksa meliputi aspek keamanan

kontaminasi bahan kimia, aspek keamanan kontaminasi fisik dan aspek keamanan

kontaminasi biologis termasuk di dalamnya mikrobiologi, identifikasi bahaya

harus dicegah, dieliminasi, atau dikurangi hingga batas yang dapat diterima

(Ditjen P2HP, 2011). Darwanto dan Murniyati (2003), menegaskan bahwa

identifikasi hazard harus berdasarkan penggunaan akhir suatu produk dan

penentuan potensi hazard (bahaya) yang harus dilakukan pada setiap tahapan

selama proses produksi. Dalam pengembangan Program Manajemen Mutu

Terpadu (PMMT) yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perikanan, analisis

31

bahaya diharuskan meliputi 3 (tiga) aspek yaitu : food safety (keamanan pangan),

wholesomeness (keutuhan) dan economic froud (kecurangan ekonomi).

2.5.7. Identifikasi CCP (Critical Control Point)

Penentuan CCP merupakan kunci dalam usaha menurunkan atau

mnegeliminasi bahaya yang sudah diidentifikasi. Critical Control Point adalah

titik kritis, dimana bila gagal melakukan tindakan pengawasan atau pengontrolan

akan menyebabkan resiko penolakan atau kerugian oleh konsumen. Penentuan

suatu titik kendali kritis dalam sistem HACCP dapat dipermudah dengan

penerapan pohon keputusan (Darwanto dan Murniyati, 2003).

2.5.8. Penetapan Batas Kritis

Batas kritis harus ditentukan untuk semua CCP, dalam beberapa kasus

atau lebih dari satu batas kritis akan diperinci dalam suatu tahap tertentu. Batas

kritis menunjukan perbedaan antara produk yang aman dan tidak aman sehingga

proses produksi dapat dikelola dalam tingkat yang aman. Penetapan batas kritis,

yaitu suatu titik yang telah ditentukan yang tidak boleh dilampaui jika suatu

hazard harus dikendalikan pada suatu CCP. Kriteria yang sering digunakan untuk

batas kritis: waktu, suhu, bahan pengawet, kandungan air, pH, kadar khlor, kadar

garam, berat tuntas, isi dalam kemasan, dan lain sebagainya (Darwanto dan

Murniyati, 2003).

2.5.9. Pengawasan CCP (Critical Control Point)

Penentuan CCP yaitu suatu tindakan pengukuran dan atau pengamatan

yang tetap dicatat oleh perusahaan untuk pelaporan temuan-temuan pada CCP.

32

Kegiatan ini memerlukan tindakan manajemen dan harus jelas siapa, dimana,

bagaimana dan kapan (Darwanto dan Murniyati, 2003).

Thaheer (2005) menyatakan bahwa komponen yang terlibat dalam sistem

monitoring berdasarkan kaidah 1H + 4W, yaitu sebagai berikut:

- What : Apa yang akan dimonitor, pengukuran atau observasi?

- Where : Dimana (titik, tahap prosedur) akan dilakukan monitoring?

- Who : Siapa yang akan melakukan monitoring?

- How : Bagaimana cara memonitor, pengecekan dan/atau pengukuran?

- When : Kapan akan dilakukan monitoring/frekuensi pemantauan?

2.5.10. Penetapan Tindakan Koreksi

Darwanto dan Murniyati (2003) menegaskan bahwa penentuan tindakan

koreksi merupakan prosedur pemantauan yang harus dilakukan ketika suatu

penyimpangan serius atau kritis ditemukan atau ketika suatu batas kritis

dilampaui. Untuk mempermudah tindakan koreksi, dapat digunakan pertanyaan

sebagai berikut :

- Apa sifat masalahnya

- Siapa yang bertanggung jawab melakukannya

- Apa bentuk tindakan koreksi yang diperlukan

2.5.11. Penentuan Prosedur Verifikasi

Verifikasi berfungsi untuk memastikan bahwa sistem yang diterapkan di

unit yang bersangkutan telah mampu memberikan jaminan mutu yang diinginkan,

melacak produk, dan menyediakan informasi akhir (Darwanto dan Murniyati,

2003). Winarno (2012) menyatakan bahwa verifikasi baik internal maupun

33

eksternal secara umum mempunyai empat jenis kegiatan yaitu : validasi HACCP,

peninjauan kembali (review) hasil pemantauan, pengujian produk dan auditing

verifikasi serta metode audit termasuk pengambilan contoh secara acak dan

analisis, dapat digunakan untuk menentukan bila sistem HACCP bekerja secara

benar. Frekuensi verifikasi sebaiknya cukup untuk mengkonfirmasi bahwa sistem

HACCP bekerja secara efektif.

2.5.12. Prosedur Pencatatan dan Dokumentasi

Darwanto dan Murniyati (2003) menyatakan bahwa menetapkan cara

pencatatan (Record Keeping), meliputi :

- Semua yang dipantau harus dicatat.

- Semua tindakan koreksi harus dicatat agar lebih sistematis, pencatatan dilakukan

dengan menggunakan formulir yang distandarkan.

- Pedoman dalam membuat formulir, yaitu membuat semua informasi yang

dipantau, mencantumkan data penunjang untuk memudahkan pelacakan seperti :

waktu, tanggal, jenis, nama/tanda tangan yang melakukan pencatatan dan lain-lain

serta lebih baik bila semua data yang dikumpulkan dapat dikompilasikan di dalam

suatu program komputer sehingga mudah untuk dievaluasi.