Upload
others
View
4
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Hasil Penelitian Terdahulu
1. Berdasarkan penelitian terdahulu oleh Fajrin Anwari, Grasel Rizka
Muslim, Abdul Hadi, dan Agus Mirwa Program Studi Teknik Kimia,
Fakultas Teknik, Unlam Jl. A. Yani Km. 36 Banjarbaru 70714
Kalimantan Selatan Tahun 2011, Jurnal mengenai “STUDI
PENURUNAN KADAR BOD, COD, TSS DAN pH LIMBAH PABRIK
TAHU MENGGUNAKAN METODE AERASI BERTINGKAT”. Di
dapatkan hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah kompertemen dan
lamanya waktu aerasi berpengaruh terhadap jumlah kadar BOD, COD,
TSS, dan pH yang didapatkan. Banyaknya jumlah kompertemen dan
makin lama waktu aerasi maka makin kecil kadar BOD, COD, dan TSS
yang didapatkan serta nilai pH relatif besar.
2. Berdasarkan penelitian terdahulu oleh Reza Faisal Febriyana Jurusan
Kimia Falkutas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas
Negri Semarang Tahun 2014, Jurnal mengenai “PROTOTYPE UNIT
PENGOLAHAN LIMBAH (ACTIVATED SLUDGE BIOSAND
FILTER REACTOR) UNTUK MENURUNKAN KADAR CHEMICAL
OXYGEN DEMAND (COD), BIOLOGICAL OXYGEN DEMAND
(BOD) DAN TOTAL SUSPENDED SOLID (TSS) PADA LIMBAH
CAIR TAHU”. Di dapatkan hasil bahwa parameter limbah awal yang
diperoleh dari penelitian ini menunjukkan angka COD 1990,9 mg/l, BOD
1267 mg/l dan TSS 995 mg/l, dari hasil tersebut air limbah industri tahu
mempunyai kecenderungan mencemari lingkungan yang cukup tinggi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah unit gabungan
activated sludge dan biosand filter reactor dapat menurunkan kadar
COD, BOD dan TSS pada limbah cair tahu. Menggunakan prototype
pengolahan limbah secara activated sludge-biosand filter dapat
8
menurunkan COD sebesar 85 % (292,8 mg/l), BOD 89 % (136,7 mg/l)
dan TSS 97% (27 mg/l) dari pengukuran limbah awal.
3. Berdasarkan penelitian terdahulu oleh Pristian Pradina, Fakultas Ilmu
Kesehatan Program Studi Kesehatan Masyarakat Universitas
Muhammadiyah Surakarta Tahun 2015, Jurnal mengenai
“KEEFEKTIFAN VARIASI DOSIS TAWAS DALAM
MENNURUNKAN KANDUNGAN COD (CHEMICAL OXYGEN
DEMAND) LIMBAH CAIR INDUSTRI PENYAMAKAN KULIT
MAGETAN”. Kadar COD hasil penelitian menunjukkan bahwa COD
mengalami penurunan pada dosis 0 gr/l kontrol 1 menunjukkan nilai rata-
rata. Pada dosis 0,25 gr/l hasil rata-rata sebesar 21,24%, hasil 0,5 sebesar
15,0%, dan hasil 0,75 sebesar 14.4%. Hasil analisa tersebut menunjukkan
bahwa tawas dengan dosis 0,25 gr/l; 0,5 gr/l; dan 0,75 gr/l tidak ada
keefektifan untuk menurunkan kandungan COD limbah cair IPAL LIK
Magetan. Angka COD yang mengalami peningkatan sesudah dilakukan
perlakuan menggunakan tawas pada dosis 0,5 gr/l perlakuan ketiga dan
pada dosis 0,75 gr/l perlakuan ketiga tersebut karena masih terdapatnya
gas terlarut dan hasil samping dari pembusukan bahan organik.
9
Tabel II.1 Matrik Hasil Penelitian Terdahulu
No. Nama
Peneliti
Judul Penelitian Desain
Penelitian
dan Uji
Variabel
Penelitian
Hasil Penelitian
1.
Fajrin
Anwari,
Grasel
Rizka
Muslim,
Abdul
Hadi, dan
Agus
Mirwa
Studi Penurunan Kadar
Bod, Cod, Tss Dan pH
Limbah Pabrik Tahu
Menggunakan Metode
Aerasi Bertingkat
Pra
Eksperimen
tal Uji Coba
Skala Kecil
Lama
Waktu
Aerasi
terhadap
penurunan
kadar BOD,
COD, TSS
dan pH air
limbah tahu
hasil penelitian
menunjukkan bahwa
jumlah kompertemen dan
lamanya waktu aerasi
berpengaruh terhadap
jumlah kadar BOD,
COD, TSS, dan pH yang
didapatkan. Banyaknya
jumlah kompertemen dan
makin lama waktu aerasi
maka makin kecil kadar
BOD, COD, dan TSS
yang didapatkan serta
nilai pH relatif besar.
2. Reza
Faisal
Febriyana
Prototype Unit
Pengolahan Limbah
(Activated Sludge
Biosand Filter Reactor)
Untuk Menurunkan
Kadar Chemical
Oxygen Demand (Cod),
Biological Oxygen
Demand (Bod) Dan
Total Suspended Solid
(Tss) Pada Limbah Cair
Tahu
Pra
Eksperimen
tal Uji Coba
Skala Kecil
Unit
gabungan
activated
sludge dan
biosand
filter
reactor air
limbah tahu
Menggunakan prototype
pengolahan limbah
secara activated sludge-
biosand filter dapat
menurunkan COD
sebesar 85 % (292,8
mg/l), BOD 89 % (136,7
mg/l) dan TSS 97% (27
mg/l) dari pengukuran
limbah awal.
10
No. Nama
Peneliti
Judul Penelitian Desain
Penelitian
dan Uji
Variabel
Penelitian
Hasil Penelitian
3. Pristian
Pradina
Keefektifan Variasi
Dosis Tawas Dalam
Menurunkan
Kandungan Cod
(Chemical Oxygen
Demand) Limbah Cair
Industri Penyamakan
Kulit Magetan
Eksperimen
dengan
rancangan
penelitian
pretest
posttest
with control
group
Variasi
dosis tawas
untuk
menurunkan
COD
limbah cair
industri
penyamaka
n kulit
Hasil analisa tersebut
menunjukkan bahwa
tawas dengan dosis 0,25
gr/l; 0,5 gr/l; dan 0,75
gr/l tidak ada keefektifan
untuk menurunkan
kandungan COD limbah
cair IPAL LIK Magetan.
Angka COD yang
mengalami peningkatan
sesudah dilakukan
perlakuan menggunakan
tawas pada dosis 0,5 gr/l
perlakuan ketiga dan
pada dosis 0,75 gr/l
perlakuan ketiga tersebut
karena masih terdapatnya
gas terlarut dan hasil
samping dari
pembusukan bahan
organik.
B. Telaah Pustaka Lain yang Sesuai
1. Air Limbah
a. Pengertian
Air limbah atau air buangan adalah sisa air yang dibuang yang
berasal dari rumah tangga, industri maupun tempat-tempat umum
11
lainnya, dan pada umumnya mengandung bahan-bahan atau zat-zat
yang dapat membahayakan bagi kesehatan manusia serta menggangu
lingkungan hidup. Sumber lain mengatakan bahwa air limbah adalah
kombinasi dari cairan dan sampah cair yang berasal dari daerah
pemukiman, perdagangan, perkantoran dan industri, yang bercampur
dengan air tanah, air permukaan dan air hujan. Berdasrkan pengertian
diatas dapat disimpulkan bahwa air limbah adalah air yang tersisa dari
kegiatan manusia, baik kegiatan rumah tangga maupun kegiatan lain
seperti industri, perhotelan dan sebagainya.
Air limbah industri adalah jumlah aliran air limbah yang berasal
dari industri sangat bervariasi tergantung dari jenis dan besar kecilnya
industri, pengawasan pada proses industri, derajat prnggunaan air,
derajat. Pengolahan air limbah yang ada. Puncak tertinggi aliran selalu
tidak akan dilewati apabila mengganggu tangki penahan dan bak
pengaman. Untuk memperkirakan jumlah air limbah yang dihasilkan
oleh industri yang tidak menggunakan proses basah diperkirakan
sekitar 50 m3/ha/hari. Sebagai patokan dapat dipergunakan
pertimbangan bahwa 85-95% dari jumlah air yang dipergunakan
adalah berupa air limbah apabila industry tersebut tidak menggunakan
kembali air limbahnya, maka jumlahnya akan lebih kecil lagi. Dengan
demikian jumlah air limbahnya adalah sebanyak jumlah tersebut
dikalikan 85 atau 95% (Sugiharto, 2014).
b. Sumber Air Limbah
Air limbah berasal dari berbagai sumber, secara garis besar air
limbah dapat dikelompokkan menjadi :
1) Air limbah yang bersumber dari rumah tangga (Domestic Wastes
Water), yaitu air limbah yang berasal dari pemukiman penduduk.
Pada umumnya air limbah ini terdiri dari excreta (tinja dan air
seni), air bekas cucian dapur dan kamar mandi, dan umumnya
terdiri bahan-bahan organik.
12
2) Air limbah industri (Industrial Wastes Water), yang berasal dari
berbagai jenis industri akibat proses produksi. Zat-zat yang
terkandung di dalamnya sangat bervariasi sesuai dengan
bahan baku yang dipakai oleh masing-masing industri.
3) Air limbah kotapraja (Municipal Wastes Water), yaitu air
buangaan yang berasal dari daerah: perkotaan, perdagangan,
hotel, restoran, tempat-tempat umum, tempat-tempat ibadah dan
sebagainya. Pada umumnya zat-zat yang terkandung dalam jenis
air limbah ini sama dengan air limbah rumah tangga.
Sumber Asal Air Limbah adalah data mengenai sumber air
limbah dapat dipergunakan untuk memperkirakan jumlah rata-rata
aliran air limbah dari berbagai jenis perumahan, industru dan aliran
air tanah yang ada di sekitarnya. Kesemuanya ini harus dihitung
perkembangannya atau pertumbuhannya sebelum membuat suatu
bangunan pengolah air limbah serta merencanakan pemasangan
saluran pembawanya (Sugiharto, 2014).
c. Komposisi Air Limbah
Komposisi air limbah sebagian besar terdiri dari air (99,9%) dan
sisanya terdiri dari partikel-partikel padat terlarut (dissolved solid) dan
tidak terlarut (suspended solid) sebesar 0,1%. Partikel-partikel padat
ter dari zat organik (± 70%) dan zat anorganik (± 30%). Zat-zat
organik terdiri dari protein (± 65%), karbohidrat (± 25%), dan lemak
(± 10%).
Zat-zat organik tersebut sebagian besar sudah terurai (degradable)
yang merupakan sumber makanan dan media yang baik bagi
reaktorteri dan mikroorganisme yang lain. Sedangkan zat-zat
anorganik terdiri dari grift, salt, dan metals (logam berat) yang
merupakan bahan pencemar yang penting. Solids (dissolved dan
13
suspended) sangat cocok untuk menempel dan bersembunyinya
mikroorganisme baik yang saprophit maupun pathogen.
Komposisi air limbah adalah sesuai dengan sumber asalnya, maka
air limbah mempunyai komposisi yang sangat bervariasi dari setiap
tempat dan setiap saat. Akan tetapi, secara garis besar zat – zat yang
terdapat di dalam air limbah dapat dikelompokkan (Sugiharto, 2014).
d. Baku mutu air limbah
Tabel II.2 baku mutu air limbah
Baku Mutu Air Limbah
Untuk Industri Penyamakan Kulit
Parameter
Proses Penyamakan
Menggunakan Krom
Proses Penyamakan
Menggunakan Daun-daunan
Kadar Maksimum (mg/L) Kadar Maksimum (mg/L)
BOD5 50 70
COD 110 180
TSS 60 50
Krom Total (Cr) 0,60 0,1
Minyak & Lemak 5,0 5,0
NH3-N(Amonia
Total)
0,5 0,50
Sulfida (sbg S) 0,8 0,50
pH 6,0 - 9,0 6,0 - 9,0
Volume Limbah
Maksimum
40 M3 per ton bahan baku 40 M3 per ton bahan baku
Sumber : Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 72 Tahun 2013
Tentang Baku Mutu Air Limbah Bagi Industri Dan/Atau Kegiatan
Usaha Lainnya
14
2. Karakteristik Limbah Cair
Secara umum menurut Puji dan Rahmi (2010) sifat air limbah cair
domestik terbagi atas tiga karakteristik, yaitu karakteristik fisik, kimia,
dan biologi.
a. Karakteristik Fisika
Karakteristik fisika penting dalam limbah cair terdiri dari padatan
total, material terapung, material terendap mengendap, material
koloidal dan material dalam larutan. Karakteristik fisika penting
lainnya termasuk penyebaran ukuran partikel, kekeruhan, warna, bau,
daya hantar (transmittance) suhu, konduktifitas, densitas, specific
gravity, specifity weight. Bau kadang – kadang dipertimbangkan
sebagai factor fisik (Didik Sugeng Purwanto, 2006).
1) Zat Padat (Solids)
Limbah cair mengandung berbagai macam zat padat dari
material yang kasar sampai dengan material yang bersifat
koloidal. Dalam karakteristik limbah cair material kasar selalu
dihilangkan sebelum dilakukan analisis contoh terhadap zat padat.
2) Total Zat Padat Tesuspensi (Total Suspendeds Solids)
Terdapat banyak kertas filter yang digunakan untuk
memisahkan TSS dan TDS tergantung dari ukuran porositas
kertas yang digunakan. Ukuran nominal porositas kertas filter
yang sering digunakan untuk tes TSS bervariasi dari porositas
0,45 µm sampai dengan 2,0 µm. ukuran porositas kertas yang
digunakan penting untuk dicatat, apabila kita akan
membandingkan nilai TSS.
Alasan mendasar dilakukannya tes TSS adalah:
a) Ukuran nilai TSS tergantung pada tipe dan ukuran porositas
kertas yang digunakan
b) Tergantung dari jumlah sampel yang digunakan untuk analisis
penentuan TSS, Autofiltrasi, dimana zat padat tersuspensi yang
15
telah tersaring berfungsi menjadi filter/penyaring
(kemungkinan ini bisa terjadi). Autofiltrasi menyebabkan
pembiasan nilai kandungan TSS yang sebenarnya.
c) Tergantung dari karakteristik ukuran partikel. Partikel –
partikel kecil kemungkinan masih bisa dihilangkan dengan
adsorbs menjadi bahan – bahan yang siap untuk disaring
dengan filter.
d) TSS adalah parameter yang tergumpal, sebab jumlah dan
distribusi ukuran partikel yang ada tidak kita ketahui.
Meskipun hasil tes TSS secara rutin digunakan untuk
mengetahui kinerja proses pengolahan secara konvensional dan
filtrasi effluent bila akan di re-used. Pada akhirnya TSS
menjadi salah satu yang digunakan sebagai standart untuk
mengetahui kinerja dan kontrol proses sebuah instalasi
pengolahan limbah cair.
3) Total Zat Padat Terlarut (Total Dissolved Solids/TDS)
Total zat padat terlarut adalah seluruh padatan yang mampu
melewati saringan kertas berukuran 2,0 µm atau kurang
diklasifikasikan sebagai zat terlarut (Standart Methods, 1998).
Ukuran partikel koloidal dalam limbah cair umumnya pada
kisaran angka 0,01 – 1,0 µm. Perlu dicatat bahwa beberapa
penelitian telah melakukan pengklasifikasian ukuran partikel
koloidal bervariasi anatar 0,001 – 1,0 µm, sedang yang lain
berukuran 0,03 – 1,0 µm. Dalam tulisan teks ini ukuran partikel
koloid disepakati 0,01 – 1,0 µm.
Jumlah partikel koloidal dalam limbah cair yang tidak diolah
dan setelah pengendapan pertama tipikal pada range 108 – 1012
/ml. Kenyataan bahwa perbedaan partikel koloidal dan bahan –
bahan yang betu –betul terlarut, tidak pernah dipermasalahkan
dalam analisis peforma instalasi pengolahan limbah dan dalam
perencanaan proses pengolahan limbah cair.
16
4) Zat Padat Teruap dan Tetap (Volatile and Fixed Soilds)
Bahan – bahan yang dapat dipanaskan pada pembakaran pada
suhu 500 ±0C 50 diklasifikasikan sebagai bahan – bahan padatan
teruap (Volatile and Fixed Soilds / VS) dikelompokkan sebagai
bahan organik, meskipun ada beberapa bahan organik yang tidak
bisa terbakar dan beberapa bahan padatan an-organik akan terurai
pada temperature tinggi. Fixed Soilds (FS) terdiri dari residu dan
sisa – sisa pembakaran. Sehingga TS, TSS dan TDS terdiri
padatan tetap (FS) dan padatan teruap (VS). perbandingan volatile
soilds dan fixed solids sering digunakan untuk mengkarakterrisasi
limbah cair.
5) Penyebaran Ukuran Partikel
Sebagaimana dicatat diatas, TSS adalah parameter gumpalan.
Dalam upaya lebih memahami perilaku partikel yang terdiri dari
TSS dalam limbah cair, melakukan pengukuran diameter partikel
dan menganalisis distribusi ukuran partikel. (Tchobanoglous,
1995). Informasi tentang ukuran pentingnya ukuran partikel
diperlukan untuk memperkirakan efektifitas proses pengolahan
(seperti pengendapan kedua, penyaringan effluent dan desinfeksi
effluen). Sebab efisiensi antara chlorine dan desinfeksi ultraviolet
(UV) tergantung ukuran partikel, sehingga pengukuran diameter
menjadi lebih penting.
b. Karakteristik Kimia
Secara kimiawi buangan limbah cair penting untuk dianalisis,
karena adanya zat–zat atau unsur-unsur yang terkandung didalamnya.
Zat–zat yang dimaksud adalah, senyawa organik, senyawa an-organik
dan gas–gas yang dihasilkan dan terkandung dalam limbah cair.
1) pH (potensial Hidrogen)
pH adalah ukuran konsentrasi ion hidrogen dari larutan.
Pengukuran pH (potensial Hidrogen) akan mengungkapkan jika
17
larutan bersifat asam atau alkali (atau basa). Jika larutan tersebut
memiliki jumlah molekul asam dan basa yang sama, pH dianggap
netral. Air yang sangat lembut umumnya asam, sedangkan air
yang sangat keras umumnya basa, meskipun kondisi yang tidak
biasa dapat mengakibatkan pengecualian.
pH adalah derajat keasaman yang digunakan untuk menyatakan
tingkat keasaman atau kebasaan yang dimiliki oleh suatu larutan
dan didefinisikan sebagai kologaritma aktivitas ion hidrogen (H+)
yang terlarut. Koefisien aktivitas ion hidrogen tidak dapat diukur
secara eksperimental, sehingga nilainya didasarkan pada
perhitungan teoritis. Skala pH bukanlah skala absolut. Ia bersifat
relatif terhadap sekumpulan larutan standar yang pH-nya
ditentukan berdasarkan persetujuan internasional (Anonim A,
2010).
pH air menunjukkan aktivitas ion hidrogen dalam larutan
tersebut dan dinyatakan sebagai konsentrasi ion hidrogen (dalam
mol per liter) pada suhu tertentu, atau dapat ditulis : pH = log (H+)
2) Senyawa Organik
Dalam buangan limbah cair dengan tingkat sedang dan kuat
terdapat senyawa – senyawa organik ± 75% terdiri dari zat padat
tersuspensi (suspended solids) dan 40% zat padat tersaring
(filterable solids).
Senyawa organik dalam buangan limbah cair terbagi menjadi 3
kelompok utama, yaitu :
a) Kelompok senyawa hydrocarbon (karbohydrat 25 – 50%)
b) Kelompok protein yang terdiri dari kombinasi beberapa asam
amino 40 – 60%.
c) Kelompok minyak dan lemak ±10%
Senyawa Hydrocarbon (C,H,O) dan protein merupakan sumber
makanan dan energi bagi bakteri serta hewan dan tumbuh–
tumbuhan atau mikroorganisme lainnya.
18
Contoh zat organik adalah Surfactans, yaitu suatu zat organik
yang bermolekul besar. Zat ini hanya sedikit dapat larut dalam
limbah cair dan menimbulkan busa (gelembung) pada instalasi
pengolahan limbah cair dan juga pada permukaan badan air
penerima dimana limbah cair itu dibuang.
Pada waktu aerasi, surfactans umumnya berkumpul dan
menempel pada permukaan gelembung udara dan membentuk
suatu senyawa yang berupa busa. Penyebab ini dikarenakan
adanya penggunaan detergen sintentis yang sering disebut dengan
alkyl Benzene Sulfonat (ABS) yang tidak dapat diuraikan oleh
bakteri dalam limbah cair. Oleh karena itu detergen dengan jenis
ABS dilarang digunakan dan diganti dengan jenis Linear-Alkyl
Sulfonate (LAS) yang bersifat Biodegradable.
Nama lain dari surfactans adalah Methylene-Blue Active
Subtances (MBAS), yang dapat diperkirakan dengan mengukur
perubahan warna dengan larutan standart Methylene-Blue.
Contoh lain zat organik adalah Nitrogen dan Phospor. Zat ini
berguna untuk pertumbuhan Protista dan tanaman, dikenal sebagai
nutrisi dan biostimulant.
Chlorida, terdapat pada limbah cair karena adanya penapisan
dari batuan dan tanah atau berasal dari limbah pertanian, industri
dan kegiatan rumah tangga.
Gas – gas yang umumnya terkandung dalam limbah cair antara
lain : Nitrogen, Oksigen, Carbon dioksida, hydrogen sulfide,
ammonia dan methan. Ketiga gas pertama biasanya terdapat dalam
limbah cair yang kontak dengan udara, sedangkan ketiga gas
terakhir berasal dari dekomposisi zat organik oleh bakteri.
3) Kandungan BOD, COD
BOD atau Biochemical Oxygen Demand, adalah banyaknya
oksigen terlarut yang diperlukan oleh bakteri untuk menguraikan
19
zat organik secara biologis yang terdapat dalam limbah cair dalam
keadaan aerobik.
Sedangkan COD, atau Chemical Oxygen Demand adalah
banyaknya senyawa oksigen yang digunakan untuk mengoksidasi
secara kimiawi zat – zat organik yang terdapat dalam limbah cair.
BOD dan COD merupakan parameter yang digunakan untuk
menentukan berapa banyak oksigen yang diperklukan dalam
limbah cair, sehingga dapat ditentukan tingkat pengotoran atau
pencemaran buangan liimbah cair tersebut.
Penambahan oksigen terlarut secara alamiah dapat terjadi
melalui proses photosynthesa oleh tumbuhan air dan re-aerasi
atmosfer, misal terjadinya terpaan angin pada permukaan air,
adanya terjunan air dan sebagainya.
c. Karakteristik Bakteriologis
Karakteristik bakteriologis umumnya didomisi buangan dari
aktifitas manusia berupa fases dan urine. Dimana didalam kedua
buangan tersebut terkandung dalam buangan limbah cair rumah
tanggga. Dalam buangan limbah cair umumnya dikenal 3 kelompok
organisme penting yaitu : Protista, tumbuh – tumbuhan dan binatang
atau hewan.
Protista, yang termasuk dalam kelompok ini adalah, bakteri, jamur,
protozoa (amoeba, plasmodium, roifiera, crustacean dan lain-lain).
Kelompok tumbuh – tumbuhan, yaitu jenis paku-pakuan, lumut
(mosses) dan biji tumbuhan (seed).
Kelompok hewan, yaitu invertebrate dan vertebrata.
Bakteri, mempunyai arti yang sangat penting dalam proses
penanganan limbah cair, yaitu adanya bakteri yang berguna sebagai
pengurai zat–zat organik yang terkandung dalam limbah cair.
Sedangkan algae juga mempunyi peran dalam menghasilkan oksigen
dari proses photoseythesis, serta dapat membantu penguraian nitrogen
20
yang terdapat dalam limbah cair. Namun algae mempunyai sisi
negatif yaitu dapat menyebabkan terjadinya Euthrofikasi bila dalam
limbah cair tersebut kandungan nitrogen yang berlebihan.
Protozoa, ada yang menyebabkan penyakit dan ada juga yang dapat
membantu dalam proses pengolahan limbah cair secara biologis,
karena protozoa akan memakan bakteri dan organisme jenis lain yang
lebih kecil.
d. Karakteristik Umum Limbah Cair Industri
Karakteristik air limbah industri sangat bervariasi dari satu industri
ke jenis industri lainnya. Sehingga sebagai konsentrasi proses
pengolahan air limbah industri juga sangat bervariasi, meskipun
banyak proses pengolahan air limbah domestik yang dapat juga
digunakan untuk mengolah air limbah industry (Didik Sugeng
Purwanto, 2004).
Limbah cair industri umumnya mengandung sejumlah pencemar
antara lain :
1) Organik terlarut yang menyebabkan penurunan oksigen terlarut di
perairan.
2) Zat padat tersuspensi, yang dapat terurai menghasilkan gas-gas
yang beracun dan lumpur yang mengandung biota air.
3) Organik beracun berbahaya dan logam berat.
4) Warna dan kekeruhan
5) Nitrogen dan fosfor
6) Zat – zat organik yang tidak bisa diuraikan secara biologis.
7) Minyak dan zat padat terapung.
3. Parameter Penting Pencemar Limbah Cair
a. Oksigen terlarut
Adanya oksigen terlarut di dalam air adalah sangat penting
menunjang kehidupan ikan dan organisme air lainnya. Kemampuan
21
air untuk membersihkan pencemaran secara alamiah banyak
tergantung kepada cukup tidaknya kadar oksigen terlarut.
b. BOD
Biological Oxygen Demand (BOD) atau Kebutuhan Oksigen
Biologis (KOB) adalah suatu analisa empiris yang mencoba
mendekati secara global proses-proses mikrobiologis yang benar-
benar terjadi di dalam air.
c. COD
Chemical Oxygen Demand (COD) atau kebutuhan oksigen kimia
(KOK) adalah jumlah oksigen (mg O2) yang dibutuhkan untuk
mengoksidasi zat – zat organis yang ada dalam 1 liter sampel air,
dimana pengoksidasian K2Cr2O7 digunakan sebagai sumber oksigen.
d. SS (Zat Padat Tersuspensi)
Dalam air di jumpai dua kelompok zat yaitu zat terlarut, seperti
garam dan molekul organik dan zat tersuspensi dan koloidal seperti
tanah liat, kwarts. Perbedaan mendasar antara dua kelompok zat padat
tersebut adalah menurut ukuran dan diameter partikel-partikel
tersebut.
e. pH
pH menunjukkan kadar asam atau basa suatu larutan, melalui
konsentrasi ion Hidrogen H+. Ion Hidrogen merupakan faktor utama
untuk mengetahui reaksi kimiawi dalam ilmu teknik lingkungan
(penyehatan).
f. Phosphat
Phosphat yang terdapat air alam dan air limbah, hadir dalam
bentuk senyawa ortofosfat, polifosfat dan fosfat organis. Ortofosfat
adalah senyawa monomer seperti H2PO4-, HPO4
2- dan PO43-,
sedangkan polifosfat (juga disebut “condensed phospahates”)
merupakan senyawa polimer seperti (PO3)63- (heksametafosfat) P3O10
5-
(tripolifosfat) dan P2O74- (pirofosfat).
22
g. Ammoniak (NH3)
Ammoniak (NH3) merupakan senyawa nitrogen yang menjadi
NH4+ pada pH rendah dan disebut ammoniak, ammoniak sendiri
berada dalam keadaan tereduksi (-3).
4. COD
a. Pengertian
Chemical Oxygen Demand (COD) atau kebutuhan oksigen kimia
(KOK) adalah jumlah oksigen (mg O2) yang dibutuhkan untuk
mengoksidasi zat–zat organik yang ada dalam 1 liter sampel air,
dimana pengoksidasian K2Cr2O7 digunakan sebagai sumber oksigen
(Didik Sugeng Purwanto, 2004).
Angka COD merupakan ukuran bagi pencemaran air oleh zat-zat
organik yang secara alamiah dapat dioksidasikan melalui proses
mikrobiologis, dan mengakibatkan berkurangnya oksigen terlarut
dalam air ( Didik Sugeng Purwanto, 2004).
Chemical Oxygen Demand (COD) adalah Oksigen yang
dibutuhkan untuk oksidasi oleh bahan-bahan kimia reduktor atau
terutama zat organik. Pemeriksaan COD harus segera, terutama untuk
contoh yang tidak stabil. Penangguhan pemeriksaan dapat dilakukan
dengan pengawetan H2SO4 sampai pH 2 ( 0,8 ml H2SO4 pekat /1 lt
contoh ). Untuk COD tinggi melebihi 200 mg/L di lakukan
pengenceran terlebih dahulu. Tidak semua zat-zat organik dalam air
buangan maupun air permukaan dapat dioksidasikan melalui reaksi
COD. Uji COD dapat dilakukan lebih cepat dari pada uji BOD, karena
waktu yang diperlukan hanya sekitar 2 jam. Adapun zat-zat yang
dapat dioksidasi oleh tes COD adalah :
1) Zat organik yang biodegradable ( protein, gula, dsb )
2) Selulosa
3) N Organis yang biodegradable
4) N Organis yang non biodegradable
23
5) Hidrokarbon Aromatik
Metode yang digunakan adalah metode titimetri. Metode titrimetri
ini di dasarkan atas pengoksidasian zat organik oleh kalium dikromat
dalam suasana panas,asam kuat dan Ag2SO4 sebagai katalisator,
kemudian kelebihan K2Cr2O7 dititrasi dengan Fe(NH4)2SO4 indikator
Feroin yang dalam keadaan bebas berwarna biru hijau, sedang dalam
keadaan terikat secara komplek dengan ion Fe berwarna coklat
kemerahan.
Nilai COD memberikan informasi tentang jumlah oksigen yang
diperlukan untuk mengoksidasi senyawa organik menjadi
karbondioksida dan air. Kalium dikromat (K2Cr2O7) merupakan
oksidator kuat yang biasa digunakan dalam analisis COD. Secara
teoritis oksidator ini dapat mengoksidasi senyawa organik sampai
hampir sempurna (95-100%) (Siregar, 2008).
Secara umum penjelasan tentang sumber dan manfaat COD dapat
dilihat pada parameter BOD, karena kedua parameter ini mempunyai
hubungan yang erat, yaitu keduanya berasal dari senyawa organik dan
merupakan parameter petunjuk pencemaran oleh limbah organik.
Seperti halnya BOD, air dengan nilai COD yang tinggi memberikan
dampak negatif terhadap keseimbangan ekosistem perairan. Metode
yang digunakan dalam menganalisis COD yaitu metode
Spektrofotometri Portable. Angka COD merupakan ukuran bagi
pencemaran air oleh zat-zat organis yang secara alamiah dapat
dioksidasikan melalui proses mikrobiologis, dan mengakibatkan
berkurangnya oksigen terlarut di dalam air (Wardhana, 2001).
b. Akibat Tingginya Kadar COD dalam Air Limbah
Tingginya kadar COD dalam air limbah memiliki dampak yang
serius bagi kesehatan manusia dan juga kepada lingkungan.
1) Terhadap kesehatan manusia
Secara umum, konsentrasi COD yang tinggi dalam air
menunjukkan adanya bahan pencemar organik dalam jumlah yang
24
banyak. Sejalan dengan hal ini jumlah mikroorganisme, baik yang
merupakan patogen maupun tidak patogen juga banyak. Adapun
mikroorganisme patogen dapat menimbulkan berbagai macam
penyakit bagi manusia. Karena itu, dapat dikatakan bahwa
konsentrasi COD yang tinggi di dalam air dapat menyebabkan
berbagai penyakit bagi manusia.
2) Terhadap Lingkungan
a) Konsentrasi COD yang tinggi menyebabkan kandungan
oksigen terlarut di dalam air menjadi rendah, bahkan habis
sama sekali. Akibatnya oksigen sebagai sumber kehidupan
bagi makhluk air (hewan dan tumbuh-tumbuhan) tidak dapat
terpenuhi sehingga makhluk air tersebut manjadi mati.
(Monahan,1993).
b) Apabila kadar oksigen terlarut berkurang mengakibatkan
hewan-hewan yang menempati perairan tersebut akan mati.
Dan jika kadar BOD dan COD meningkat menyebabkan
perairan menjadi tercemar (Hilda Zulkifli, 2009). Kandungan
bahan organik tinggi yang ditumbuhi bakteri menimbulkan
bau yang menyengat akibat dari bakteri patogen dan hasil
metabolisnya
c. Analisis COD
Prinsipnya pengukuran COD adalah penambahan sejumlah tertentu
kalium bikromat (K2Cr2O7) sebagai oksidator pada sampel (dengan
volume diketahui) yang telah ditambahkan asam pekat dan katalis
perak sulfat, kemudian dipanaskan selama beberapa waktu.
Selanjutnya, kelebihan kalium bikromat ditera dengan cara titrasi.
Dengan demikian kalium bikromat yang terpakai untuk oksidasi
bahan organik dalam sampel dapat dihitung dan nilai COD dapat
ditentukan.
25
d. Metode Analisa COD
Metoda standar penentuan kebutuhan oksigen kimiawi atau
Chemical Oxygen Demand (COD) yang digunakan saat ini adalah
metoda yang melibatkan penggunaan oksidator kuat kalium bikromat,
asam sulfat pekat, dan perak sulfat sebagai katalis.
Kepedulian akan aspek kesehatan lingkungan mendorong perlunya
peninjauan kritis metoda standar penentuan COD tersebut, karena
adanya keterlibatan bahan-bahan berbahaya dan beracun dalam proses
analisisnya. Berbagai usaha telah dilakukan untuk mencari metoda
alternatif yang lebih baik dan ramah lingkungan.
Perkembangan metoda-metoda penentuan COD dapat
diklasifikasikan menjadi dua kategori. Pertama, metoda yang
didasarkan pada prinsip oksidasi kimia secara konvensional dan
sederhana dalam proses analisisnya. Kedua, metoda yang berdasarkan
pada oksidasi elektrokatalitik pada bahan organik dan disertai
pengukuran secara elektrokimia.
KOK= Kebutuhan Oksigen Kimiawi (Chemical Oxygen Demand =
COD) adalah jumlah oksidan Cr2O7(2-) yang bereaksi dengan contoh
uji dan dinyatakan sebagai mg O2 untuk tiap 1000 ml contoh uji.
Senyawa organik dan anorganik, terutama organik dalam contoh uji
dioksidasi oleh Cr2O7(2-) dalam refluks tertutup menghasilkan
Cr(3+). Jumlah oksidan yang dibutuhkan dinyatakan dalam ekuivalen
oksigen (O2 mg /L) diukur secara spektrofotometri sinar tampak.
Cr2O7(2-) kuat mengabsorpsi pada panjang gelombang 400 nm dan
Cr(3+) kuat mengabsorpsi pada panjang gelombang 600 nm. Untuk
nilai KOK 100 mg/L sampai dengan 900 mg/L ditentukan kenaikan
Cr(3+) pada panjang gelombang 600 nm. Pada contoh uji dengan nilai
KOK yang lebih tinggi, dilakukan pengenceran terlebih dahulu
sebelum pengujian. Untuk nilai KOK lebih kecil atau sama dengan 90
mg/L ditentukan pengurangan konsentrasi Cr2O7(2-) pada panjang
gelombang 420 nm.
26
e. Kelebihan dan Kelemahan Metode Analisis COD
KOK= Kebutuhan Oksigen Kimiawi (Chemical Oxygen Demand =
COD) adalah jumlah oksidan Cr2O7(2-) yang bereaksi dengan contoh
uji dan dinyatakan sebagai mg O2 untuk tiap 1000 ml contoh uji.
Senyawa organik dan anorganik, terutama organik dalam contoh uji
dioksidasi oleh Cr2O7(2-) dalam refluks tertutup menghasilkan
Cr(3+). Jumlah oksidan yang dibutuhkan dinyatakan dalam ekuivalen
oksigen (O2 mg /L) diukur secara spektrofotometri sinar tampak.
Cr2O7(2-) kuat mengabsorpsi pada panjang gelombang 400 nm dan
Cr(3+) kuat mengabsorpsi pada panjang gelombang 600 nm. Untuk
nilai KOK 100 mg/L sampai dengan 900 mg/L ditentukan kenaikan
Cr(3+) pada panjang gelombang 600 nm. Pada contoh uji dengan nilai
KOK yang lebih tinggi, dilakukan pengenceran terlebih dahulu
sebelum pengujian. Untuk nilai KOK lebih kecil atau sama dengan 90
mg/L ditentukan pengurangan konsentrasi Cr2O7(2-) pada panjang
gelombang 420 nm.
f. Penanggulangan Kelebihan dan Kekurangan COD
1) Penanggulangan kelebihan Kadar COD
Pada Trickling filter terjadi penguraian bahan organik yang
terkandung dalam limbah. Penguraian ini dilakukan oleh
mikroorganisme yang melekat pada filter media dalam bentuk
lapisan biofilm. Pada lapisan ini bahan organik diuraikan oleh
mikroorganisme aerob, sehingga nilai COD menjadi turun. Pada
proses pembentukan lapisan biofilm, agar diperoleh hasil
pengolahan yang optimum maka dalam hal pendistribusian larutan
air kolam retensi Tawang pada permukaan media genting harus
merata membasahi seluruh permukaan media. Hal ini penting
untuk diperhatikan agar lapisan biofilm dapat tumbuh melekat
pada seluruh permukaan genting.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat
diketahui bahwa semakin lama waktu tinggal, maka nilai COD
27
akhir semakin turun (prosentase penurunan COD semakin besar).
Hal ini disebabkan semakin lama waktu tinggal akan memberi
banyak kesempatan pada mikroorganisme untuk memecah bahan-
bahan organik yang terkandung di dalam limbah. Di sisi lain dapat
diamati pula bahwa semakin kecil nilai COD awal (sebelum
treatment dilakukan) akan menimbulkan kecenderungan
penurunan nilai COD akhir sehingga persentase penurunan
CODnya. Karena dengan COD awal yang kecil ini, kandungan
bahan organik dalam limbah pun sedikit, sehingga bila dilewatkan
trickling filter akan lebih banyak yang terurai akibatnya COD
akhir turun. Begitu pula bila diamati dari sisi jumlah tray (tempat
filter media). Semakin banyak tray, upaya untuk menurunkan
kadar COD akan semakin baik. Karena dengan penambahan
jumlah tray akan memperbanyak jumlah ruang / tempat bagi
mikroorganisme penurai untuk tumbuh melekat. Sehingga proses
penguraian oleh mikroorganisme akan meningkat dan proses
penurunan kadar COD semakin bertambah. Jadi prosen penurunan
COD optimum diperoleh pada tray ke-3.
Permukaan media bertindak sebagai pendukung
mikroorganisme yang memetabolisme bahan organik dalam
limbah. Penyaring harus mempunyai media sekecil mungkin untuk
meningkatkan luas permukaan dalam penyaring dan organisme
aktif yang akan terdapat dalam volume penyaring akan tetapi
media harus cukup besar untuk memberi ruang kososng yang
cukup untuk cairan dan udara mengalir dan tetap tidak tersumbat
oleh pertumbuhan mikroba. Media berukuran besar seperti genting
(tanah liat kering) berukuran 2-4 in akan berfungsi secara
maksimal. Media yang digunakan berupa genting dikarenakan
lahan diatas permukaan genting cenderung berongga dibanding
media lain yang biasa mensuplai udara dan sinar matahari lebih
28
banyak daripada media lain yang dibutuhkan untuk pertumbuhan
mikroba pada genting.
Pada penelitian ini, efisiensi Trickling Filter dalam penurunan
COD tidak dapat menurunkan sampai 60% dikerenakan :
a) Aliran air yang kurang merata pada seluruh permukaan
genting karena nozzle yang digunakan meyumbat aliran air
limbah karena tersumbat air kolam retensi Tawang.
b) Supplay oksigen dan sinar matahari kurang karena trickling
filter diletakkan didalam ruangan sehingga pertumbuhan
mikroba kurang maksimal.
Dalam penumbuahan mikroba distibusi air limbah dibuat berupa
tetesan agar air limbah tersebut dapat memuat oksigen lebih
banyak jika dibanding dengan aliran yang terlalu deras karena
oksigen sangat diperlukan mikroba untuk tumbuh berkembang
2) Penanggulangan Kekurangan Kadar COD
Senyawa organik yang terdiri dari karbon, hidrogen dan
oksigen dengan elemen aditif nitrogen, sulfur, fosfat, dll
cenderung untuk menyerap oksigen-oksigen yang tersedia dalam
limbah air dikonsumsi oleh mikroorganisme untuk mendegredasi
senyawa organik akhirnya oksigen. Konsentrasi dalam air limbah
menurun, ditandai dengan peningkatan COD, BOD, SS dan air
limbah juga menjadi berlumpur dan bau busuk. Semakin tinggi
konsentrasi COD menunjukkan bahwa kandungan senyawa
organik tinggi tidak dapat terdegredasi secara biologis. EM4
pengobatan 10 hari dalam tangki aerasi harus dilanjutkan karena
peningkatan konsentrasi COD. Fenomena ini menunjukkkan
bahwa EM4 tidak bisa eksis baik di kondisi ini air limbah, karena
populasi yang kuat dan jumlah rendah mikroorganisme dalam air
limbah.
29
5. pH (potensial Hidrogen)
a. Pengertian
Derajat Keasaman (pH). Derajat keasaman (pH) menunjukkan
kadar asam atau basa dalam suatu larutan melalui konsentrasi atau
aktivitas ion H+. pH merupakan suatu parameter fisik penting dalam
pengendalian limbah cair. Karena banyak reaksi-reaksi kimia dan
biologis yang melibatkan mikroorganisme berlangsung dalam pH
tertentu. Apabila pH air sungai mengalami perubahan yang ekstrim,
yaitu pH lebih kecil dari 5 seperti terlihat pada limbah cair Tanpa
Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL), apabila langsung dibuang ke
badan air, maka akan terjadi perubahan dalam air sungai, seperti
terganggunya aktivitas atau kehidupan ikan dan hewan air lainnya,
terlarutnya beberapa mineral atau logam berbahaya tertentu,
terjadinya korosif atau pengkaratan pipa-pipa besi dalam air (Fardiaz.
1992).
Menurut Palar (1994) menyatakan bahwa proses-proses kimia yang
berlangsung dalam badan perairan dapat mengakibatkan terjadinya
peristiwa reduksi dari senyawa-senyawa Cr (VI) menjadi Cr (III)dapat
berlangsung bila badan perairan berada dalam kondisi asam dan untuk
perairan yang bersifat basa, ion-ion Cr (III) akan diendapkan di dasar
perairan. Menurut Baku Mutu Limbah Cair Provinsi DIY No 7 Tahun
2010 pH limbah cair Tanpa Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL)
tidak dapat dibuang langsung ke badan perairan.
b. Dampak pH
Pada umumnya bakteri tak dapat bertambah pada pH >9,5 dan atau
<4,0. pH optimum umumnya berkisaran antara 6,5 sampai 7,5. Air
buangan domestik pada umumnya mempunyai pH netral disebabkan
adanya buffer air, sedangkan pada air limbah industri mempunyai pH
yang bervariasi sehingga perlu diatur pHnya sesuai peruntukan bakteri
dengan cara penambahan kapur (Bowo Djoko Marsono, 1996).
30
Perubahan pH juga dapat terjadi pada saat pengolahan air limbah.
Sebagai contoh pada oksidasi ammonia menjadi nitrat akan dihasilkan
H+ yang akan menyebabkan turunnya pH (Bowo Djoko Marsono,
1996).
Tinggi atau rendahnya nilai pH air tergantung pada beberapa faktor
yaitu:
a) Konsentrasi gas-gas dalam air seperti CO2
b) Konsentrasi garam-garam karbonat dan bikarbonat
c) Proses dekomposisi bahan organik di dasar perairan.
Secara alamiah, pH perairan dipengaruhi oleh konsentrasi
karbondioksida (CO2) dan senyawa bersifat asam. Perairan umum
dengan aktivitas fotosintesis dan respirasi organisme yang hidup
didalamnya akan membentuk reaksi berantai karbonat – karbonat
sebagai berikut:
Semakin banyak CO2 yang dihasilkan dari hasil respirasi, reaksi
bergerak ke kanan dan secara bertahap melepaskan ion H+ yang
menyebabkan pH air turun. Reaksi sebaliknya terjadi pada peristiwa
fotosintesis yang membutuhkan banyak ion CO2, sehingga
menyebabkan pH air naik. Pada peristiwa fotosintesis, fitoplankton
dan tanaman air lainnya akan mengambil CO2 dari air selama proses
fotosintesis sehingga mengakibatkan pH air meningkat pada siang hari
dan menurun pada waktu malam hari.
31
Tabel II.3 Pengaruh pH terhadap komunitas biologi perairan
6. Dampak COD dan pH
a.) Akibat Tingginya Kadar COD dalam Air Limbah
Tingginya kadar COD dalam air limbah memiliki dampak yang serius
bagi kesehatan manusia dan juga kepada lingkungan.
1.) Terhadap kesehatan manusia
Secara umum, konsentrasi COD yang tinggi dalam air
menunjukkan adanya bahan pencemar organik dalam jumlah yang
banyak. Sejalan dengan hal ini jumlah mikroorganisme, baik yang
merupakan patogen maupun tidak patogen juga banyak. Adapun
mikroorganisme patogen dapat menimbulkan berbagai macam
penyakit bagi manusia. Karena itu, dapat dikatakan bahwa
konsentrasi COD yang tinggi di dalam air dapat menyebabkan
berbagai penyakit bagi manusia.
32
2.) Terhadap Lingkungan
Konsentrasi COD yang tinggi menyebabkan kandungan oksigen
terlarut di dalam air menjadi rendah, bahkan habis sama sekali.
Akibatnya oksigen sebagai sumber kehidupan bagi makhluk air
(hewan dan tumbuh-tumbuhan) tidak dapat terpenuhi sehingga
makhluk air tersebut manjadi mati. (Monahan,1993). Apabila
kadar oksigen terlarut berkurang mengakibatkan hewan-hewan
yang menempati perairan tersebut akan mati. Dan jika kadar BOD
dan COD meningkat menyebabkan perairan menjadi tercemar
(Hilda Zulkifli, 2009). Kandungan bahan organik tinggi yang
ditumbuhi bakteri menimbulkan bau yang menyengat akibat dari
bakteri patogen dan hasil metabolisnya
b.) Dampak pH
1.) Terganggunya proses metabolisme ikan
2.) Ikan mudah mati
3.) pH tinggi dapat meningkatkan kandungan ammonia sehingga
kualitas air terganggu
4.) Pertumbuhan ikan yang tidak berkembang dengan baik
5.) Tumbuh – tumbuhan air
pH < 7 dikatakan asam. Asam adalah suatu zat yang dapat
memberi proton (ion H+) kepada zat lain (yang disebut basa), atau
dapat menerima pasangan elektron bebas dari suatu basa. Atau asam
adalah zat (senyawa) yang menyebabkan rasa masam. Contoh : jeruk
nipis, lemon dan tomat. Sedangkan pH > 7 disebut basa. Basa adalah
senyawa kimia yang menyerap ion hidronium ketika dilarutkan dalam
air. Atau basa adalah zat (senyawa) yang dapat bereaksi dengan asam,
menghasilkan senyawa yang disebut garam. Contoh : sabun mandi,
sabun cuci, sampo, pasta gigi, pupuk, obat mag.
33
7. Sistem Pengolahan Limbah Cair
Pengolahan limbah cair sangat tergantung dengan karakteristik limbah
cair. Karakteristik limbah cair akan menentukan kelengkapan rangkaian
sistem pengolahan limbah cair. Sistem pengolahan limbah cair rumah
dibagi dalam pengolahan pertama, pengolahan kedua dan pengolahan
ketiga.
a.) Pengolahan pertama (primary Treatment)
Pengolahan pertama (primary Treatment). Ditujukan untuk mereduksi
bahan-bahan pencemar yang bersifat mengapung, bahan-bahan mudah
mengendap dan tersuspensi. Pengolahan pertama juga disebut dengan
pengolahan fisikan, karena seluruh proses pengolahan pada tingkat
pengolahan pertama menggunakan prinsip-prinsip fisika, seperti
penyaringan, pengapungan dan pengendapan secara gravitasi. Unit-
unit pengolahan limbah cair pada tahap pengolahan pertama, seperti :
alat ukur debit limbah cair, penyaringan, pengapungan, unit
penghancur, unit pengendap pasir dan kerikil (grid chamber),
bangunan sumur pengumpul (sump well), bangunan penangkap lemak
(grease trap) dan unit pengendap awal (primary settling), netralisasi,
equalisasi dan koagulasi (bila diperlukan).
b.) Pengolahan kedua (secondary treatment)
Pengolahan kedua (secondary treatment) atau sering juga disebut
dengan pengolahan biologis, karena dalam proses pengolahan
mengandalkan aktivitas mikroorganisme dengan bantuan oksigen
(aerobik) maupun tanpa bantuan oksigen (an aerobik).
Unit pengolahan limbah cair tahap ini, berdasarkan kelompok aerobik
dan an aerobik.
1) Kelompok aerobik : lumpur aktif, oxydation ditch, trickling filter,
kolam aerasi, bio tower, dan bentuk modifikasi lainnya.
2) Kelompok an aerobik : an aerobik sludge blanked, an aerobik
bio filter dan bentuk modifikasi lainnya.
34
c.) Pengolahan ketiga (tertiery treatment)
Pengolahan ketiga (tertiery treatment), sering juga disebut dengan
pengolahan lanjut (advanced treatment). Pengolahan ketiga
dimaksudkan untuk menyempurnakan hasil pengolahan pertama dan
pengolahan kedua sebelum dilakukan pembuangan akhir ke
lingkungan (badan air penerima). Salah satu bentuk pengolahan ketiga
adalah melakukan desinfeksi terhadap effluen hasil pengolahan
limbah sebelum dibuang ke lingkungan.
Bentuk-bentuk pengolahan ketiga antara lain : desinfeksi, ion
exchange, penghilangan phospor, dan zat-zat pencemar lain yang
belum dapat diselesaikan pada pengolahan pertama dan kedua.
Berikut ini beberapa gambar rangkaian sistem pengolahan limbah cair
yang umum diterapkan
Gambar 2. 1 Typical Sistem Pengolahan Limbah Cair
Air baku
Communicator
Penangkap Air
Alat ukur debit
Pengolahan
35
Gambar 2. 2 Sistem Pengolahan Limbah Cair Metode Lumpur Aktif
Gambar 2. 3 Rangkaian Sistem Pengolahan Limbah Cair Secara Lengkap
Influen
Screen
Grid
Chamber
Pengendap
awal
Tangki
Aerasi Pengendap
Kedua Chlorinator
Lumpur
Kering
Dwatering
An aerobik
Digester
Buangan
Lumpur
Dari unit pengolahan
pertama
Aerator
Pengendap
kedua
Endapan
lumpur
Sirkulasi
lumpur
Pengolahan
lumpur
36
8. Metode Pengolahan Limbah Cair
Metode dan tahapan proses pengolahan limbah cair yang telah
dikembangkan sangat beragam. Limbah cair dengan kandungan polutan
yang berbeda kemungkinan akan membutuhkan proses pengolahan yang
berbeda pula. Proses-proses pengolahan tersebut dapat diaplikasikan
secara keseluruhan, berupa kombinasi beberapa proses atau hanya salah
satu. Proses pengolahan tersebut juga dapat dimodifikasi sesuai dengan
kebutuhan atau faktor finansial.
a. Pengolahan Primer (Primary Treatment)
Tahap pengolahan primer limbah cair sebagian besar adalah berupa
proses pengolahan secara fisika.
1) Penyaringan (Screening)
Pertama, limbah yang mengalir melalui saluran pembuangan
disaring menggunakan jeruji saring. Metode ini disebut
penyaringan. Metode penyaringan merupakan cara yang efisien
dan murah untuk menyisihkan bahan-bahan padat berukuran besar
dari air limbah.
2) Pengolahan Awal (Pretreatment)
Kedua, limbah yang telah disaring kemudian disalurkan kesuatu
tangki atau bak yang berfungsi untuk memisahkan pasir dan
partikel padat teruspensi lain yang berukuran relatif besar. Tangki
ini dalam bahasa inggris disebut grit chamber dan cara kerjanya
adalah dengan memperlambat aliran limbah sehingga partikel–
partikel pasir jatuh ke dasar tangki sementara air limbah terus
dialirkan untuk proses selanjutnya.
3) Pengendapan
Setelah melalui tahap pengolahan awal, limbah cair akan dialirkan
ke tangki atau bak pengendapan. Metode pengendapan adalah
metode pengolahan utama dan yang paling banyak digunakan pada
proses pengolahan primer limbah cair. Di tangki pengendapan,
limbah cair didiamkan agar partikel–partikel padat yang tersuspensi
37
dalam air limbah dapat mengendap ke dasar tangki. Endapan
partikel tersebut akan membentuk lumpur yang kemudian akan
dipisahkan dari air limbah ke saluran lain untuk diolah lebih lanjut.
Selain metode pengendapan, dikenal juga metode pengapungan
(Floation).
4) Pengapungan (Floation)
Metode ini efektif digunakan untuk menyingkirkan polutan berupa
minyak atau lemak. Proses pengapungan dilakukan dengan
menggunakan alat yang dapat menghasilkan gelembung-
gelembung udara berukuran kecil (± 30 – 120 mikron). Gelembung
udara tersebut akan membawa partikel – partikel minyak dan lemak
ke permukaan air limbah sehingga kemudian dapat disingkirkan.
Bila limbah cair hanya mengandung polutan yang telah dapat
disingkirkan melalui proses pengolahan primer, maka limbah cair
yang telah mengalami proses pengolahan primer tersebut dapat
langsung dibuang kelingkungan (perairan). Namun, bila limbah
tersebut juga mengandung polutan yang lain yang sulit dihilangkan
melalui proses tersebut, misalnya agen penyebab penyakit atau
senyawa organik dan anorganik terlarut, maka limbah tersebut
perlu disalurkan ke proses pengolahan selanjutnya.
b. Pengolahan Sekunder (Secondary Treatment)
Tahap pengolahan sekunder merupakan proses pengolahan secara
biologis, yaitu dengan melibatkan mikroorganisme yang dapat
mengurai/ mendegradasi bahan organik. Mikroorganisme yang
digunakan umumnya adalah bakteri aerob. Terdapat tiga metode
pengolahan secara biologis yang umum digunakan yaitu metode
penyaringan dengan tetesan (trickling filter), metode lumpur aktif
(activated sludge), dan metode kolam perlakuan (treatment ponds /
lagoons).
38
9. Aerasi
a. Pengertian
Aerasi adalah proses pengelolahan air dengan cara
menggontakannya dengan udara.
b. Proses Aerasi
Oksigen yang berada di udara, melalui proses aerasi ini selanjutnya
bereaksi dengan senyawa ferus dan manganous terlarut merubah
menjadi ferric (Fe) dan maganic oxide hydrates yang tidak bisa larut.
Setelah itu dilanjutkan dengan pengendapan (sendimentasi) atau
penyaringan (filtrasi). Perlu dicatat bahwa oksidasi terhadap senyawa
besi dan mangan di dalam air yang kecil (waterfall) aerators/aerator
air terjun). Atau dengan mencampur air dengan gelembung-
gelembung udara ( bubble aerator). Dengan kedua cara tersebut
jumblah oksigen pada air bisa dinaikan 60 – 80% (dari jumlah oksigen
yang tertinggi, yaitu air yang mengandung oksigen sampai jenuh)
pada aerator air terjen ( waterfall aerator ) cukup besar bisa
menghilangan gas-gas yang terdapat dalam air.
Penurunan carbon dioxide (CO2) oleh waterfall aerators cukup berarti,
tetapi tidak memadai apabila dari yang sangat corrosive. Pengelolahan
selanjutnya seperti pembubuhan kapur atau dengan sarigan marmar
atau dolomite yang dibakar masih dibutuhkan.
c. Macam-macam Aerator
1.) Multiple Tray Aerator
Pengolahan air aerasi dengan metoda Waterfall / Multiple aerator
seperti pada gambar, susunannya sangat sederhana dan tidak mahal
serta memerlukan ruang yang kecil.
39
Gamabar 2.4 Multiple Tray Aerator
Jenis aerator terdiri atas 4-8 tray dengan dasarnya penuh
lobang-lobang pada jarak 30-50 cm. Melalui pipa berlobang air
dibagi rata melalui atas tray, dari sini percikan-percikan kecil turun
kebawah dengan kecepatan kira-kira 0,02 m /detik per m2
permukaan tray. Tetesan yang kecil menyebar dan dikumpulkan
kembali pada setiap tray berikutnya. Tray-tray ini bisa dibuat
dengan bahan yang cocok seperti lempengan-lempengan absetos
cement berlobang-lobang, pipa plastik yang berdiamter kecil atau
lempengan yang terbuat dari kayu secara paralel.
2.) Cascade Aerator
Pada dasarnya aerator ini terdiri atas 4-6 step/tangga, setiap step
kira-kira ketingian 30 cm dengan kapasitas kira-kira ketebalan 0,01
m3 /det permeter. Untuk menghilangkan gerak putaran
(turbulence) guna menaikan effesien aerasi, hambatan sering
ditepi peralatan pada setiap step. Dibanding dengan tray aerators,
ruang ( tempat ) yang diperlukan bagi casade aerators agak lebih
besar tetapi total kehilangan tekanan lebuh rendah. Keuntungan
lain adalah tidak diperlukan pemiliharaan.
Gambar 2.5 Cascade Aerator
40
Keterangan
A = Air baku
B = Air sudah diaerasi
C = Inlet
D = Lubang pembersih
E = Out let.
Gambar 2.6 Cascade Aerator tampak atas
Aerasi tangga aerator seperti pada gambar di bawah ini
peangkapan udaranya terjadi pada saat air terjun dari lempengan-
lempengan trap yang membawanya. Oksigen kemudian
dipindahkan dari gelembung-gelembung udara kedalam air . Total
ketinggian jatuh kira-kira 1,5 m dibagi dalam 3-5 step. Kapisitas
bervariasi antara 0,005 dan 05 m3 /det per meter luas.
SUMBERGED CASCADE AERATOR
Gambar 2.7 Sumberged Cascade Aerator
41
3.) Multiple Plat Form Aerator
Memakai prinsip yang sama, lempengan-lempengan untuk
menjatuhkan air guna mendapatkan kontak secara penuh udara
terhadap air.
Gambar 2. 8 Multiple Plat From Aerator
4.) Spray Aerator
Terdiri atas nosel penyemprot yang tidak bergerak (Stationary
nozzles) dihubungkan dengan kisi lempengan yang mana air
disemprotkan ke udara disekeliling pada kecepatan 5-7 m /detik.
Spray aerator sederhana dierlihatkan pada gambar, dengan
pengeluaran air kearah bawah melalui batang-batang pendek dari
pipa yang panjangnya 25 cm dan diameter 15 -20 mm. piringan
melingkar ditempatkan beberapa centimeter di bawah setiap ujung
pipa, sehingga bisa berbentuk selaput air tipis melingkar yang
selanjutnya menyebar menjadi tetesan-tetesan yang halus.
Nosel untuk spray aerator bentuknya bermacam-macam, ada juga
nosel yang dapat berputar-putar.
Gambar 2. 9 Spray Aerator
42
5.) Aerator Gelembung Udara ( Bubble aerator)
Jumlah udara yang diperlukan untuk aerasi bublle (aerasi
gelembung udara) tidak banyak, tidak lebih dari 0,3 – 0,5 m3
udara/m3 air dan volume ini dengan mudah bisa dinaikan melalui
suatu penyedotan udara. Udara disemprotkan melalui dasar dari
bak air yang akan diaerasi.
Gambar 2.10 Bubble Aerator
Keterangan
A= Out Let
B= Gelembung Udara
C= Pipa berlupang buat udara
D= Inlet air baku
E= Bak air
10. Diffuser dan Aerator
a. Diffuser
Pada aerasi secara difusi, sejumlah udara dialirkan ke dalam air
limbah melalui diffuser. Udara yang masuk ke dalam air limbah
nantinya akan berbentuk gelembung-gelembung (bubbles).
Gelembung yang terbentuk dapat berupa gelembung halus (fine
bubbles) atau kasar (coarse bubbles). Hal ini tergantung dari
jenis difuser yang digunakan.
43
Gambar 2.11 Diffuser
b. Aerator
Aerator adalah sebuah mesin penghasil gelembung udara yang
gunanya adalah menggerakkan air di dalam kolam atau akuarium agar
air kaya akan oksigen terlarut yang mana sangat dibutuhkan oleh
semua mahkluk yang berada di air. Selain digunakan untuk
melarutkan oksigen ke dalam air dapat juga melepas gas-gas yang
terlarut dalam air untuk menghilangkan oksidasi besi dan mangan
dalam air, mereduksi ammoniak dalam air melalui proses nitrifikasi.
Gambar 2.12 Aerator
11. Lumpur Aktif
Sistem lumpur aktif adalah salah satu proses pengolahan air limbah
secara biologi, dimana air limbah dan lumpur aktif dicampur dalam suatu
reaktor atau tangki aerasi. Padatan biologis aktif akan mengoksidasi
kandungan zat di dalam air limbah secara biologis, yang di akhir proses
akan dipisahkan dengan sistem pengendapan. Proses lumpur aktif mulai
dikembangkan di Inggris pada tahun 1914 oleh Ardern dan Lockett dan
44
dinamakan lumpur aktif karena prosesnya melibatkan massa
mikroorganisme yang aktif, dan mampu menstabilkan limbah secara
aerobik (Badjoeri et al, 2002).
Prinsip dasar sistem lumpur aktif yaitu terdiri atas dua unit proses
utama, yaitu bioreaktor (tangki aerasi) dan tangki sedimentasi. Dalam
sistem lumpur aktif, limbah cair dan biomassa dicampur secara sempurna
dalam suatu reaktor dan diaerasi. Pada umumnya, aerasi ini juga berfungsi
sebagai sarana pengadukan suspensi tersebut. Suspensi biomassa dalam
limbah cair kemudian dialirkan ke tangki sedimentasi (tangki dimana
biomassa dipisahkan dari air yang telah 13 diolah). Sebagian biomassa
yang terendapkan dikembalikan ke bioreaktor, dan air yang telah terolah
dibuang ke lingkungan (Badjoeri et al, 2002). Agar konsentrasi biomassa
di dalam reaktor konstan (MLSS=3-5 gfL), sebagian biomassa
dikeluarkan dari sistem tersebut sebagai excess sludge.
Pada umunya mekanisme pengolahan limbah dengan sistem lumpur
aktif yaitu aliran umpan air limbah atau subtrat, bercampur dengan aliran
lumpur aktif yang dikembalikan sebelum masuk rektor. Campuran lumpur
aktif dan air limbah membentuk suatu campuran yang disebut cairan
tercampur (mixed liquor). Memasuki aerator, lumpur aktif dengan cepat
memanfaatkan zat organik dalam limbah untuk didegradasi. Kondisi
lingkungan aerobik diperoleh dengan memberikan oksigen ke tangki
aerasi. Pemberian oksigen dapat dilakukan dengan penyebaran udara
tekan, aerasi permukaan secara mekanik, atau injeksi oksigen murni.
Aerasi dengan difusi udara tekan atau aerasi mekanik mempunyai dua
fungsi, yaitu pemberi udara dan pencampur agar terjadi kontak yang
sempurna antara lumpur aktif dan senyawa organik di dalam limbah
(Badjoeri et al, 2002).
Pada tangki pengendapan (clarifier), padatan lumpur aktif mengendap
dan terpisah dengan cairan sebagai effluent. Sebagian lumpur aktif dari
dasar tangki pengendap dipompakan kembali ke reaktor dan dicampur
dengan umpan (subtrat) yang masuk, sebagian lagi dibuang. Dalam
45
reaktor mikroorganisme mendegradasi bahan-bahan organik dengan
persamaan stoikiometri pada reaksi di bawah ini: Proses Oksidasi dan
Sintesis : CHONS + O2 + Nutrien CO2 + NH3 + C5H7NO2 + Produksi
lainnya Pada pemisahan senyawa karbon (bahan organik), polutan berupa
bahan organik dioksidasi secara enzimatik oleh oksigen yang berada
dalam limbah cair. Jadi, senyawa karbon dikonversi menjadi karbon
dioksida. Eliminasi nutrien (nitrogen dan fosfor) dilakukan terutama
untuk mencegah terjadinya eutrofikasi pada perairan (Badjoeri et al,
2002).
46
C. Kerangka Studi
Ket : Diteliti
Tidak diteliti
Melebihi baku
mutu Pergub
Proses pengerjaan basah
Proses penyamakan
Penyelesaian akhir
Menghasilkan limbah cair
Industri kulit Magetan
anan
Pengolahan limbah
Primary treatment
Secondary treatment
Tertiary treatment
Memenuhi baku
mutu Pergub
Dapat dibuang
ke badan air
Kadar COD dan pH Kadar COD dan pH
Diffuse
r
Aerator
Proses Aerasi
Lumpur
Aktif
Aerobik
Kulit
Non Aerobik