Upload
others
View
7
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Sapi Potong
Sapi adalah ternak anggota Suku Bovidae dan Anak Suku Bovinae. Sapi
dipelihara terutama untuk dimanfaatkan susu dan dagingnya sebagai bahan
pangan manusia. Hasil sampingan produk pemeliharaan sapi seperti: kulit , jeroan,
dan tanduknya juga dimanfaatkan untuk berbagai keperluan manusia. Pada
sejumlah tempat, sapi juga digunakan sebagai penggerak alat transportasi,
pengolahan lahan (bajak), dan alat industri lain (seperti peremas tebu). Oleh
karena banyaknya kegunaan tersebut, maka sapi telah menjadi bagian dari
kebudayaan manusia sejak lama (Bambang, 2000).
Menurut Bambang (2000), sapi dapat digolongkan menjadi tiga kelompok,
yaitu: Bos Indicus (zebu/sapi berponok) yang berkembang di India dan sudah
tersebar ke berbagai negara terlebih negara tropis; Bos Taurus merupakan bangsa
sapi yang menurunkan bangsa sapi potong dan perah di Eropa serta sudah tersebar
ke seluruh penjuru dunia; serta Bos Sondaicus (Bos Bibos) yang merupakan
sumber asli bangsa sapi di Indonesia. Sapi yang kini ada merupakan keturunan
banteng (Bos Bibos) yang sekarang dikenal sebagai sapi Bali, Madura, Sumatra,
dan sapi Peranakan Ongole (PO).
Ternak sapi, khususnya sapi potong, merupakan salah satu sumber daya
penghasil daging yang memiliki nilai ekonomi tinggi, dan penting artinya didalam
kehidupan masyarakat. Seekor atau kelompok ternak sapi bisa memenuhi berbagai
macam kebutuhan, terutama sebagai bahan makanan berupa daging, disamping
4
hasil ikutan lainnya seperti pupuk kandang, kulit, dan tulang. Tata cara pengaturan
pemeliharaan ternak potong ini dimulai dari cara pemilihan bibit, tempat
berproduksi/kandang, cara pemberian pakan, cara perkawinan dan cara
pencegahan penyakit serta tatalaksana pemeliharaan (Sugeng, 2008).
Sapi Peranakan Ongole (PO)
Sapi peranakan ongole merupakan salah satu rumpun yang telah ditetapkan
berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian nomor 2907/Kpts/OT.140/6/2011, yang
merupakan sapi lokal Indonesia dan telah menyebar di sebagian besar wilayah
Indonesia. Sapi peranakan ongole mempunyai peran dalam penyediaan daging
nasional. Sapi peranakan ongole mempunyai karakteristik bentuk fisik dan
komposisi genetik serta kemampuan beradaptasi pada berbagai lingkungan di
Indonesia (Anonimus, 2015).
Sapi peranakan ongole memiliki ciri-ciri: warna bulu putih, abu-abu, bulu
sekitar mata berwarna hitam, badan besar, gelambir longgar bergantung, punuk
besar, leher pendek dan tanduk pendek. (Gambar 1).
Gambar 1.Sapi Peranakan Ongole (PO)
5
Saat dewasa, jantan PO bisa mencapai bobot sekitar 600 kg dan yang
betina rata-rata 450 kg. Pertambahan bobot sapi PO berkisar antara 0,4-0,8
kg/hari.Persilangan Sapi Ongole dengan sapi lokal Indonesia, tipe sapi pedaging
dan sapi pekerja, mampu beradaptasi terhadap berbagai kondisi lingkungan, cepat
bereproduksi, berat badan 600 kg, dan pertumbuhan bobot harian 0,75
kg/ekor/hari (Murtidjo, 2013)
Sapi Simmental Peranakan Ongole (SimPO)
Sapi Simmental Peranakan Ongole (SimPO) merupakan sapi hasil
persilangan induk sapi PO dengan menggunakan straw pejantan sapi Simmental
melalui metode Inseminasi Buatan atau IB (Hardjosubroto,1994). Karakteristik
sapi ini menyerupai sapi PO, Simmental dan perpaduan kedua ciri sapi PO dan
sapi Simmental, antara lain: warna bulu penutup badan bervariasi mulai dari putih
sampai coklat kemerahan, warna kipas ekor, ujung hidung, lingkar mata, dan
tanduk ada yang berwarna hitam dan coklat kemerahan, profil kepala datar,
panjang dan lebar, dahi berwarna putih, pertulangan besar, postur tubuh panjang
dan besar, warna tracak bervariasi dari hitam dan coklat kemerahan (Murtidjo,
2013). Perbedaan yang lain yaitu adanya punuk pada sapi PO, sedangkan untuk
sapi SimPO tidak memiliki punuk (Hastuti, 2007).
Sapi SimPO memiliki bobot lahir yang tinggi, adaptasi yang baik dengan
lingkungan dan pakan serat kasar serta memiliki penampilan yang eksotik (Parera
& Hadisutanto, 2014). Sapi SimPO memiliki pertumbuhan daging yang lebih
cepat dibandingkan dengan Sapi PO (Hasbullah, 2003). Ciri khas sapi SimPO
6
adalah adanya warna putih berbentuk segitiga diantara kedua tanduknya (Gambar
2).
Gambar 2.Sapi Peranakan Simmental Ongole (SimPO)
Sapi ini memiliki ciri-ciri yaitu ukuran tubuh besar, pertumbuhan otot
bagus, penimbunan lemak di bawah kulit rendah, Ukuran tanduk kecil, bobot sapi
betina mencapai 800 kg dan yang jantan 1.150 kg (Sugeng, 2008). Sapi Simental
memunyai sifat jinak, tenang, dan mudah dikendalikan.
Sapi Limousin Peranakan Ongole (LimPO)
Persilangan sapi limousin dengan sapi ongole dikenal dengan nama sapi
limousin ongole (Limpo). Sapi limpo memiliki ciri tidak berpunuk dan tidak
bergelambir, serta warna bulunya hanya cokelat tua kehitaman dan cokelat muda.
Sapi Limpo merupakan sapi hasil persilangan antara pejantan sapi Limousin
dengan induk sapi PO, kebanyakan sapi-sapi ini merupakan hasil perkawinan IB,
sapi Limpo sebagai turunan sapi tipe besar sehingga secara genetik mempunyai
7
laju pertumbuhan yang lebih besar dan lebih cepat dibanding sapi PO
(Hastuti,2007).
Peternak lebih menyukai sapi jenis ini dibanding sapi lokal (sapi PO)
karena berat lahir yang lebih besar, pertumbuhan lebih cepat, adaptasi baik pada
lingkungan serta pakan yang sederhana, ukuran tubuh dewasa lebih besar dan
penampilan yang eksotik (Anonimus, 2015).
Gambar 3.Sapi Peranakan Limousin Ongole (LimPO)
Sapi Peranakan Friesian Holstein (PFH)
Sapi Peranakan Friesian Holstein (PFH) merupakan hasil persilangan
antara sapi Friesian Holstein (FH) dengan sapi setempat atau sapi lokal yang ada
di Indonesia (Mukhtar, 2006). Sejak tersebarnya sapi FH di Indonesia khususnya
pulau Jawa, telah terjadi perkawinan secara tidak terencana antara sapi FH dengan
sapi lokal dan menghasilkan keturunan yang disebut Peranakan Friesian Holstein
(Soetarno, 2003).
8
Gambar 4. Sapi Peranakan Friesian Holstein (PFH)
Ciri morfologi sapi PFH adalah warna putih dengan belang hitam atau
hitam dengan belang putih. Ekor harus putih, warna hitam tidak diperkenankan,
juga tidak diperbolehkan warna hitam di daerah bawah persendian siku dan lutut,
tetapi warna hitam pada kaki mulai dari bahu atau paha sampai ke kuku
diperbolehkan (Syarief dan Sumoprastowo, 1984). Sapi PFH memiliki ciri-ciri
kepala agak panjang, mulut yang lebar, lubang hidung terbuka luas, ukuran tubuh
besar, pinggang sedang dan ukuran telinga sedang (Sosroamidjojo dan Soeradji,
1984). Sapi PFH betina dewasa memiliki rata-rata bobot badan bekisar antara
570-730 kg dan panjang laktasi rata-rata kurang dari 10 bulan (Siregar, 1992).
Produksi susu sapi PFH relatif tinggi namun masih lebih rendah dibandingkan
dengan sapi FH (Pane, 1993).
Pertumbuhan dan Perkembangan Tubuh Sapi Potong
Pertumbuhan adalah proses bertambahnya ukuran tubuh dan tinggi seekor
ternak serta bobot badan sampai ukuran dewasa tubuh tercapai (Lawrie, 1985).
Perubahan yang terjadi selama pertumbuhan bobot hidup, bentuk, dimensi linier,
9
komposisi tubuh, komponen tubuh (otot, lemak, dan tulang), organ dan komponen
kimia (Field et al., 1995 dan Taylor et al., 1985). Pertumbuhan adalah proses
pertambahan sel (hyperplasia) dan peningkatan ukuran sel (hypertrophy) (Hafez,
1993).
Proses pertumbuhan terdiri dari dua tahapan yaitu pertumbuhan prenatal
dan pertumbuhan postnatal. Pertumbuhan prenatal terjadi pada embrio yang
meliputi perkembangan sel dan pertambahan jumlah sel tubuh serta perubahan
fungsi sel tubuh menjadi organ tubuh (Field et al., 1995., dan Taylor et al., 1985).
Pertumbuhan postnatal meliputi beberapa aspek antara lain proses pematangan
organ reproduksi (Butterfield, 1986).
Philips (2001), menjelaskan laju pertumbuhan tubuh ternak setelah lahir
membentuk suatu kurva sigmoid. Peningkatan bobot badan dari lahir sampai masa
pubertas berlangsung cepat dan cenderung tetap setelah periode pubertas tercapai.
Masa pubertas pada sapi dipengaruhi oleh umur, bobot badan, dan bangsa
(Neuman dan Lusby, 1996). Pertumbuhan otot bagian leher atau tengkuk dan
rongga dada relatif cepat pada awal dewasa kelamin. Laju pertumbuhan
dipengaruhi oleh jenis kelamin, 16 hormon, pakan, gen, iklim, dan kesehatan
induk (Philips, 2001). Lajupertumbuhan sapi tipe besar lebih cepat daripada sapi
tipe kecil. Perbedaan laju pertumbuhan ini mengakibatkan bobot potong sapi tipe
besar lebih tinggi dari pada sapi kecil (Neuman dan Lusby, 1986).
Perkembangan adalah perubahan konformasi dan bentuk serta tubuh
perubahan bermacam-macam fungsi tubuh. Pertumbuhan dan perkembangan
ditentukan oleh faktor genetik, lingkungan, manajemen pakan dan manipulasi
10
genetik (Lawrie, 1985). Maka dalam perhitungan kemampuan/performan seekor
ternak dapat diukur dengan mengukur laju pertumbuhan.
Tulloh (1978) menyatakan bahwa pertumbuhan dapat diukur dengan tiga
cara, yakni: (1) laju pertumbuhan komulatif (comulative growth rate), (2) laju
pertumbuhan relative (relative growth rate) dan (3) laju pertumbuhan absolut
(absolute growth rate). Dua fase yang terjadi selama pertumbuhan adalah self
accelerating dan self inhibitung phase. Pada self accelerating phase terjadi
peningkatan kecepatan pertumbuhan dan pada self inbihitung phase terjadi
penurunan dala bertabah bobot badan per unit sampai mencapai nol. Bobot badan
dewasa telah tercapai. Titik antara kedua fase ini disebut titik balik atau
“inflection point”.
Kurva laju pertumbuhan kumulatif adalah kurva bobot badan versus
waktu, yang kurva berbentuk sigmoid. Menurut Tulloh (1978), pertumbuhan sapi
jantan pada kondisi lingkungan yang terkendali dapat digambarkan sebagai kurva
yang berbentuk sigmoid. Kurva pertumbuhan kumulatif diperoleh dengan cara
menimbang bobot hidup ternak selanjutnya dibuat kurva dengan aksisnya adalah
umur dan koordinatnya adalah bobot hidup. Kurva pertumbuhan sigmoid ternak
dari lahir sampai mati dapat dilihat pada Gambar 4 berikut.
11
Keterangan:
Y : Bobot hidup, pertambahan bobot harian atau persen laju pertumbuhan
X : Umur
M : Dewasa Tubuh
C : Pembuahan
D : Mati
B : Kelahiran
P : Pubertas
Gambar 5. Kurva pertumbuhan sejak lahir sampai ternak mati (Tulloh,1978)
Bobot tubuh ternak muda pada kondisi lingkungan yang terkendali
meningkat dengan laju yang tinggi sampai masa pubertas dicapai. Bobot tubuh
meningkat setelah masa pubertas terus dengan laju yang semakin menurun dan
akhirnya tidak terjadi peningkatan bobot pada saat dewasa tubuh telah tercapai.
Pertumbuhan selanjutnya adalah pertumbuhan negatif atau tidak adanya
penambahan bobot badan bahkan penurunan bobot badan karena ketuaan (Tulloh,
1978; Edey, 1983)
12
Pendugaan Umur Ternak
Umur berpengaruh terhadap pertumbuhan dan bobot tubuh sapi.
Pertumbuhan merupakan suatu proses yang terjadi pada setiap mahluk hidup dan
dimanifestasikan dalam bentuk peningkatan bobot organ dan jaringan tubuh
lainya, antara lain tulang, daging, urat, dan lemak dalam tubuh (Soeparno,2005).
Pendugaan umur pada sapi potong dapat dilakukan dengan cara melihat jumlah
gigi seri permanen.
Gambar 6. Jumlah gigi seri permanen pada sapi untuk pendugaaan umur gigi seri
pada sapi (Abidin, 2002)
Ternak ruminansia termasuk sapi tidak mempunyai gigi taring. Gigi
seripun hanya terdapat pada rahang bawah, sedangkan rahang atas hanyalah
berupa bantalan tenunan pengikat yang kuat. Gigi geraham terdapat pada kedua
rahang. Jumlah gigi seri ada 4 pasang (8 buah). Gigi seri susu ini sifatnya hanya
sementara, karena pada suatu saat akan tanggal (rontok) dan digantikan dengan
13
gigi seritetap. Pergantian gigi seri susu dan gigi seri tetap ini yang digunakan
untuk menaksir umur ternak, sedangkan pada ternak tua ditaksir berdasarkan
keausangigi seri ini, berhubungan dengan kondisi pakan. Ternak yang
dilepas/diangon, gigi serinya relatif lebih cepat tanggal atau aus dari pada ternak
yang dikandang (Sugeng, 2008).
Karkas
Karkas sapi adalah bagian tubuh hasil pemotongan setelah dikurangi
darah, kepala, keempat kaki pada bagian bawah (mulai dari carpus dan tarsus),
kulit, saluran pencernaan, usus, urine, jantung, tenggorokan, paru-paru, limpa, hati
dan jaringan-jaringan lemak yang melekat pada bagian tubuh, sedangkan ginjal
sering dimasukkan sebagai karkas. Faktor utama yang diperhatikan untuk menilai
karkas yang dipasarkan adalah; bobot karkas, potongan karkas yang dapat dijual
(cutability) dan kualitas daging (Soeparno 1992).
Bobot karkas merupakan salah satu parameter yang penting dalam sistem
evaluasi karkas. Sebagai indikator, karkas bukanlah merupakan prediktor
produktivitas karkas yang baik karena adanya variasi tipe bangsa, nutrisi dan jenis
pertumbuhan jaringan, sehingga mengakibatkan penurunan tingkat akurasi.
Untuk memperkecil sumber keragaman tersebut bobot karkas perlu
dikombinasikan dengan variabel lain seperti tebal lemak punggung atau subkutan
dan luas urat daging mata rusuk (Suryadi, 2006).
Faktor genetik dan lingkungan mempengaruhi komposisi tubuh yang
meliputi distribusi berat dan komposisi kimia komponen karkas. Faktor
lingkungan dibagi menjadi dua kategori yaitu fisiologi dan nutrisi. Umur, bobot
14
hidup dan kadar laju pertumbuhan juga dapat mempengaruhi komposisi karkas
(Suryadi, 2006).
Komponen utama karkas yang diharapkan adalah proporsi daging yang
maksimal, proporsi lemak optimal dan proporsi tulang minimal. Pada umumnya
penilaian hasil karkas dilakukan melalui persentase karkas. Semakin tinggi
persentase karkas semakin baik performan karkas. Bobot karkas ada dua macam
yaitu bobot karkas segar (fresh carcass weight) atau bobot karkas sebelum
dilayukan dan bobot karkas layu (cold carcass weight) yaitu bobot karkas setelah
dilayukan selama kurang lebih 24 jam (Berg dan Butterfield, 1976).
Persentase Karkas
Persentase karkas adalah perbandingan antara berat karkas dengan berat
hidup dikalikan 100%. Menurut Berg dan Butterfield (1976), persentase karkas
dipengaruhi oleh bobot karkas, bobot ternak, kondisi,bangsa ternak, proporsi
bagian-bagian non karkas, ransum yang diberikan dan cara pemotongan.
Bobot karkas merupakan salah satu parameter yang penting dalam system
evaluasi karkas. Sebagai indikator, karkas bukanlah merupakan predictor
produktivitas karkas yang baik karena adanya variasi tipe bangsa, nutrisi dan jenis
pertumbuhan jaringan sehingga mengakibatkan penurunan tingkat akurasi. Untuk
memperkecil sumber keragaman tersebut bobot karkas perlu dikombinasikan
dengan variabel lain seperti tebal lemak subkutan dan luas urat daging mata rusuk
(loin eye area) dalam memprediksi bobot komponen karkas dan hasil daging
(Priyanto et al., 1993).
15
Faktor yang Mempengaruhi Persentase Karkas
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi persentase karkas, yang utama
yaitu konformasi tubuh dan derajat kegemukan. Ternak yang gemuk, persentase
karkasnya tinggi dan umumnya berbentuk tebal seperti balok. Sedangkan ternak
yang langsing, badan panjang, leher panjang dan berbentuk segitiga seperti sapi
perah, persentase karkasnya umumnya rendah (Soeparno 1992).
Faktor lain yang berpengaruh terhadap persentase karkas adalah jumlah
pakan yang ada dan air pada saluran pencernaan ternak. Bila jumlahnya cukup
banyak maka persentase karkasnya akan rendah. Kulit yang besar dan juga tebal
akan berpengaruh terhadap persentase karkas (Soeparno 1992).
Menurut Berg dan Butterfield (1978), beberapa faktor yang mempengaruhi
produksi karkas seekor ternak antara lain adalah bangsa, jenis kelamin, umur dan
bobot potong disamping faktor nutrisi. Bangsa yang memiliki bobot potong besar
menghasilkan karkas yang besar. Soeparno (1992) menyatakan bahwa bobot
potong yang semakin meningkat menghasilkan karkas yang semakin meningkat
pula sehingga diharapkan bagian daging menjadi lebih besar. Semakin tinggi
bobot potong menyebabkan bobot karkas segar dan persentase karkas semakin
tinggi. Dalam kaitannya dengan faktor umur, bertambahnya umur ternak yang
sejalan dengan pertambahan bobot hidup maka bobot karkas akan bertambah.
Persentase Daging
Daging didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk
hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak
menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya. Daging yang
16
dihasilkan dari seekor ternak sangat ditentukan oleh bangsa atau tipe ternaknya
sendiri, umur, jenis kelamin dan bobot karkas, yang pada gilirannya akan
mempengaruhi persentase masing-masing jenis potongan daging yang dihasilkan
Kualitas daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan setelah pemotongan. Faktor
sebelum pemotongan antara lain genetik (spesies, bangsa, tipe ternak, jenis
kelamin), umur, dan pakan (Soeparno, 1992).Daging juga merupakan bagian dari
karkas setelah tulang-tulangnya dan sebagian lemaknya (lemak subcutan dan
lemak intermusculer) dikeluarkan (Wello, 1986).
Semakin tinggi bobot badan seekor ternak, maka presentase dari bobot
karkasnya akan semakin tinggi pula. Meatiness (daging yang mengandung
beberapa bagian lemak intramuskular dan lemak subcutan yang dapat diterima
oleh konsumen) dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya bangsa, bobot
tubuh, umur, tingkat kegemukan, bobot karkas, homon dan jenis kelamin
(Awaluddin, 2006).
Faktor yang Mempengaruhi Persentase Daging
a. Bangsa.
Perbedaan bangsa ternak akan berpengaruh terhadap produksi daging sapi.
Bangsa dengan tipe besar akan lebih berdaging (lean) dan mempunyai banyak
protein, proporsi tulang lebih tinggi dan lemak lebih rendah dari pada ternak
tipe kecil (Williams, 1992). Proporsi komponen karkas dapat dipengaruhi oleh
umur ternak. Pertumbuhan ternak paling cepat adalah pada waktu pedet
sampai umur dua tahun, kemudian pada umur empat tahun mulai berkurang
dan setelahnya pertumbuhan mulai konstan (Pane, 1993). Hasil penelitian
17
Zajulie (2015) pada sapi (BX) menunjukkan bahwa kelompok umur ternak
yang lebih tua mempunyai bobot lemak yang lebih tinggi dibandingkan
dengan ternak muda. Komponen lain yang dapat mempengaruhi proporsi
karkas adalah jenis kelamin. Klasifikasi jenis kelamin (sex-class) berpengaruh
nyata terhadap terhadap bobot karkas, luas urat daging mata rusuk, tebal
lemak punggung rusuk ke-12 dan persentase lemak ginjal, pelvis dan jantung
(Harapin, 2006).
b. Bobot Tubuh
Pertambahan bobot tubuh akan diikuti oleh peningkatan bobot karkas dan
menyebabkan pula produksi karkas meningkat. Dilaporkan bahwa 75-80%
dari keragaman karkas ditentukan oleh bobot tubuhnya. Soeparno (2005)
menyatakan bahwa faktor genetik dan lingkungan mempengaruhi laju
petumbuhan dan komposisi tubuh yang meliputi distribusi berat, dan
komposisi kimia komponen karkas. Variasi fenotip yaitu penampilan
performan suatu individu ternak pedaging disebabkan oleh hereditas,
lingkungan atau interaksi keduanya.
c. Tingkat Kegemukan
Tingkat kegemukan berpengaruh terhadap persentase karkas, dimana pada
tingkat kegemukan yang sama persentasenya tidak berubah dengan
meningkatnya bobot tubuh. Juga pada taraf lemak yang sama persentasenya
tidak berubah dengan meningkatnya bobot tubuh. Karkas sapi pada fase awal
penggemukan menunjukan bobot yang lebih rendah. Komposisi karkas sapi
bervariasi antara individu dalam bangsa yang sama. Bangsa ternak tertentu
18
memiliki persentase lemak yang tinggi dibandingkan dengan bangsa ternak
lain pada bobot badan yang sama. (Lawrie, 1985)
d. Makanan
Perbedaan kualitas makanan tidak saja mengakibatkan perbedaan
pertumbuhan secara umum, tetapi juga perbedaan jaringan- jaringan dan organ
tubuh. Karena itu perbedaan kualitas makanan walaupun pada bangsa dan
bobot yang sama akan meyebabkan perbedaan yang sangat nyata dalam
bentuk komponen karkas.
e. Jenis Kelamin dan Hormon
Jenis kelamin (sex) memengaruhi perkembangan jaringan dan komposisi
karkas. Sapi dara (heifer) menyelesaikan fase penggemukan pada bobot tubuh
yang lebih rendah dari pada sapi jantan, sehingga bobot potong optimal sapi
betina lebih rendah daripada sapi jantan. Penggemukan sapi jantan
memerlukan waktu yang lebih lama daripada sapi dara atau sapi kebiri (Berg,
dan Butterfield 1976). Otot sapi jantan lebih banyak namun kandungan lemak
lebih rendah daripada sapi betina. Tulang dan jaringan ikat (connective tissue)
pada sapi jantan dan lebih banyak daripada sapi betina (Fortin et al., 1981).
Persentase urat daging bagian proksimat dan abdomen sapi dara lebih besar
daripada jantan, dan sapi kebiri lebih besar daripada sapi jantan. Proporsi urat
daging bagian leher dan dada sapi jantan lebih tinggi daripada sapi dara
(Mukhoty, dan Berg 1973) Sapi betina lebih ringan jika dibanding dengan sapi
jantan pada umur yang sama, dan sebagian pada hewan mamalia perbedaan
jenis kelamin meyebabkan perbedaan proporsi badan. Karkas sapi jantan lebih
19
banyak mengandung lean kira-kira lemaknya lebih rendah 5-12% dari pada
sapi jantan kebiri pada berat yang sama, sedangkan proporsi tulang merata
hampir sama sehingga sapi jantan memiliki lean lebih banyak, sedangkan sapi
dara lebih berlemak dibanding sapi jantan kebiri pada berat yang sama.
Persentase edible meat dan tulang pada sapi jantan kebiri lebih tinggi, jika
dibandingkan dengan sapi dara dan induk sapi, (Wello, 1986). Hafid (2002)
menyatakan bahwa testosteron atau androgen merupakan suatu hormon steroid
yang dihasilkan oleh testis yang menyebabkan pertumbuhan ternak jantan
lebih cepat dibandingkan betina terutama setelah timbulnya pubertas. Kastrasi
terhadap sapi jantan muda mempengaruhi karakteristik karkas. Ukuran karkas
urat daging bagian paha (round) lebih berat, daging mata rusuk (loin eye area)
lebih luas daripada sapi betina. Selain itu, kualitas daging lebih baik, lemak
yang menyelimuti daging (intramuscullar fat) lebih tebal, persentase serabut
otot “putih” lebih banyak, dan diameter serabut otot pada otot longissimus
lebih kecil daripada sapi betina (Ockerman et al., 1985). Kandungan lemak
sapi pejantan lebih tinggi dibandingkan sapi. Sapi pejantan mempunyai
serabut kolagen di antara otot yang lebih sedikit daripada sapi jantan. Sapi
pejantan dapat memiliki nilai lemak tinggi apabila ternak tersebut mendapat
perlakuan khusus (Kirchgessener et al., 1994). Sapi jantan akan mempunyai
pertumbuhan yang lebih cepat dari pada sapi betina karena adanya hormon
androgen (Bureš dan Barton, 2012).