Upload
vohanh
View
261
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
8
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2.1 Konsep Difusi Inovasi
Sejumlah konsep dan teori mengenai difusi inovasi yang dirujuk dari
Rogers dan Shoemaker (1971) dan Rogers (1995) yang dikemukakan dalam sub-
bab ini dikutip dari Mugniesyah (2006). Rogers dan Shoemaker (1971) dan
Rogers (1995) mendefinisikan difusi inovasi sebagai suatu proses melalui mana
inovasi dikomunikasikan kepada anggota-anggota sistem sosial melalui saluran-
saluran tertentu dalam suatu periode waktu tertentu. Hasil empiris menunjukkan
bahwa adopsi terhadap teknologi baru tidak terjadi serempak, karena seseorang
bisa menerima lebih cepat atau lebih lambat dari orang lain. Hal ini ditunjukkan
oleh Soewardi (1972) yang dalam penelitiannya menemukan bahwa warga petani
pada lapisan atas cenderung lebih responsif terhadap inovasi Panca Usaha
Pertanian dibanding mereka yang berasal dari lapisan bawah. Selanjutnya, warga
lapisan atas ini menyebarkan inovasi tersebut melalui pergaulan sehari-hari
kepada warga lapisan bawah. Juga dikemukakan bahwa pada kasus petani lapisan
bawah tidak aktif bertanya, namun mereka meniru secara diam-diam suatu inovasi
dari petani lapisan atas tersebut.
Sebagaimana dikemukakan Rogers dan Shoemaker (1971) dan Rogers
(1995), proses difusi inovasi terdiri dari empat unsur yang mempengaruhinya.
Unsur pertama adalah inovasi, yang diartikan sebagai suatu gagasan, praktek atau
objek yang dipandang sebagai baru oleh seorang individu. Terdapat sejumlah
karakteristik inovasi yang dapat mempengaruhi petani dalam pengambilan
keputusan untuk menerima atau menolak inovasi, yaitu: keuntungan relatif
(relative advantages), kompatibilitas (compatibility), kompleksitas (complexity),
kemudahan untuk dicoba (trialability), dan kemudahan untuk diamati
(observability). Unsur kedua adalah saluran komunikasi, yaitu cara-cara melalui
mana sebuah pesan diperoleh penerima dari sumber, yang dibedakan ke dalam
saluran interpersonal dan media massa. Saluran komunikasi interpersonal lebih
efektif membangun dan mengubah sikap, sementara saluran media massa efektif
mengubah pengetahuan tentang inovasi. Selain itu, media massa memiliki
9
keunggulan dalam hal kecepatan dan jumlah khalayak yang bisa dijangkau. Pada
Tabel 1 disajikan perbedaan karakteristik saluran komunikasi interpersonal dan
media massa.
Tabel 1 Karakteristik Saluran Komunikasi Interpersonal dan Media Massa
No. Karakteristik Saluran Interpersonal Saluran Media
Massa
1. Arus pesan Cenderung dua arah Cenderung searah
2. Konteks komunikasi Tatap muka Melalui media
3. Tingkat umpan balik Tinggi Rendah
4. Kemampuan mengatasi
tingkat selektivitas *)
Tinggi Rendah
5. Kecepatan jangkauan
terhadap khalayak banyak
Relatif lambat Relatif cepat
6. Efek yang mungkin terjadi Perubahan dan
pembentukan sikap
Perubahan
pengetahuan Sumber: Rogers dan Shoemaker (1971) dalam Mugniesyah (2006)
Keterangan:
*) Terutama selektivitas (untuk) terdedah atau selective exposure
Unsur yang ketiga dalam difusi inovasi adalah waktu. Dalam hal waktu,
ada tiga aspek penting yang berhubungan dengan proses difusi, yakni: (1) proses
pengambilan keputusan inovasi (the innovation-decision process), (2)
keinovativan (innovativeness), dan (3) laju adopsi suatu inovasi (innovation’s rate
of adoption) dalam sistem sosial.
Proses pengambilan keputusan inovasi (selanjutnya ditulis PK Inovasi)
yang terdiri dari lima tahapan, yaitu pengenalan, persuasi, keputusan,
implementasi dan konfirmasi, melibatkan waktu karena setiap tahapannya biasa
terjadi dalam serangkaian tatanan waktu. Terdapat empat tipe proses PK Inovasi,
yaitu opsional, kolektif, otoritas, dan kontingensi, dimana keempatnya dibedakan
berdasarkan unit pengambil keputusan dan unit adopsi dalam PK Inovasi tersebut.
Pada PK Inovasi opsional, individu merupakan unit pengambil keputusan dan unit
adopsi inovasi, sedangkan pada PK Kolektif, baik unit pengambil keputusan
maupun unit adopsi inovasinya adalah kelompok atau suatu sistem sosial. Berbeda
dengan tipe sebelumnya, pada tipe otoritas, PK Inovasi dilakukan oleh seseorang
yang mempunyai posisi kekuasaan atasan (superordinat) sedangkan unit
adopsinya adalah anggota sistem sosial bawahannya (subordinat). Adapun pada
10
tipe kontingensi, pengambilan keputusan merupakan kombinasi dari dua atau
lebih keputusan inovasi, atau keputusan inovasi dibuat setelah ada keputusan tipe
lain yang mendahuluinya.
Menurut Rogers dan Shoemaker (1971) keinovativan (innovativeness)
adalah derajat dimana seorang individu (atau unit pengambil keputusan lainnya)
secara relatif lebih dini atau lebih dahulu mengadopsi sesuatu inovasi daripada
rata-rata anggota sistem sosial dimana dia menjadi anggotanya. Keinovativan
yang berbeda tersebut memungkinkan untuk melihat kategori adopter suatu
inovasi tertentu, yang dibedakan ke dalam inovator (innovator), penganut dini
(early adopter), penganut dini terbanyak (early majority), penganut lambat
terbanyak (late majority) dan penolak (laggards).
Laju adopsi adalah kecepatan relatif dimana suatu inovasi diadopsi oleh
anggota-anggota suatu sistem sosial. Laju adopsi ini biasanya diukur sebagai
jumlah penerima yang mengadopsi inovasi dalam periode waktu tertentu.
Terdapat sejumlah faktor yang menentukan laju adopsi, dan masing-masing
variabel meliputi satu atau lebih unsur. Adapun hubungan beberapa variabel yang
menentukan laju adopsi (independent variables) dan laju adopsi inovasinya
(dependent variable) digambarkan sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 1.
Unsur keempat dalam difusi inovasi adalah sistem sosial, yang diartikan
suatu seperangkat unit-unit (kolektivitas) yang berhubungan satu sama lain dalam
upaya mencapai tujuan bersama, khususnya dalam penyelesaian masalah.
Anggota-anggota sistem sosial bisa terdiri dari individu, kelompok informal,
organisasi, dan/atau subsistem-subsistem. Sistem sosial memiliki seperangkat
batasan di dalam mana inovasi menyebar. Itu sebabnya penting untuk memahami
pengaruh struktur sosial dalam sistem yang mempengaruhi pola-pola difusi
inovasi. Rogers dan Shoemaker, menyatakan bahwa struktur sosial mempengaruhi
difusi inovasi melalui beberapa cara, di antaranya peranan tokoh pemuka
pendapat dan agen perubah. Dalam konteks peranan pemuka pendapat,
dimungkinkan adanya individu yang mengembangkan struktur komunikasi
homofili dan heterofili. Homofili adalah derajat dimana dua orang atau lebih
individu yang berinteraksi memiliki kesamaan atribut atau karakteristik tertentu,
seperti kepercayaan, pendidikan, status sosial, dan lainnya. Adapun heterofili
11
adalah derajat dimana pasangan individu-individu yang berinteraksi memiliki
karakteristik yang berbeda. Menurut Rogers dan Shoemaker (1971), komunikasi
interpersonal yang homofili dapat menghambat proses difusi, karena
memungkinkan penyebaran inovasi hanya secara horizontal, baik hanya di
kalangan lapisan atas atau hanya di kalangan lapisan bawah.
Variabel-variabel Pengaruh Variabel Terpengaruh
Sumber: Rogers dan Shoemaker (1971) dan Rogers (1995) dalam Mugniesyah
(2006)
Gambar 1 Paradigma Laju Adopsi Inovasi
I. KARAKTERISTIK INOVASI
Keuntungan Relatif
Kompabilitas
Kompleksitas
Kemungkinan Dicoba
Kemungkinan Diamati Hasilnya
II. TIPE KEPUTUSAN INOVASI
Opsional
Kolektif
Otoritas
III. SALURAN KOMUNIKASI
Interpersonal
Media Massa
IV. CIRI SISTEM SOSIAL
Tradisional vs Modern
Derajat Integrasi Komunikasi
Dan lain-lain
V. UPAYA PROMOSI OLEH
AGEN PERUBAH
LAJU ADOPSI
INOVASI
12
2.2 Konsep Adopsi Berlebihan (Over Adoption)
Rogers dan Shoemaker (1971) mengemukakan bahwa pada masa lalu
banyak peneliti yang secara implisit mengasumsikan bahwa adopsi inovasi oleh
responden mereka merupakan perilaku yang diinginkan, dan sebaliknya jika
mereka menolak menjadi perilaku yang kurang diinginkan. Pendapat ini menurut
mereka tidak selamanya benar, karena adanya gejala adopsi berlebihan (over
adoption) yaitu adanya adopsi suatu inovasi yang dilakukan oleh seorang individu
padahal menurut ahli seharusnya dia menolaknya.
Terdapat beberapa alasan mengapa terjadi adopsi yang berlebihan, di
antaranya adalah: (1) adopter memiliki pengetahuan yang kurang lengkap tentang
inovasi tersebut, (2) ketidakmampuan adopter meramalkan konsekuensi yang
terjadi, dan (3) maniak inovasi. Namun demikian, dikemukakan bahwa sulit untuk
menentukan apakah seseorang harus atau tidak harus mengadopsi inovasi, karena
kriteria rasionalitas tidak mudah diukur. Selain itu, seringkali yang menjadi dasar
para peneliti dalam membedakan hal itu cenderung didasarkan pada faktor
ekonomi, dengan alasan rasionalitasnya lebih objektif. Selanjutnya, pada Tabel 2
di bawah ini ditunjukkan hasil studi Goldstein dan Eichhorn (1961) yang
menelaah rasionalitas dan irasionalitas adopsi budidaya jagung-4 baris di kalangan
petani Indian, Amerika (Rogers dan Shoemaker 1971).
Tabel 2 Rasionalitas dan Irasionalitas dalam Adopsi dan Menolak Penanaman
Jagung-4 Baris di Kalangan Petani Indian
Keputusan Inovasi
pada Individu
Rekomendasi Ahli Bagi Individu
Adopsi Menolak
Adopsi Pengadopsi Rasional
(37%)
Pengadopsi Berlebihan
yang Irasional
(11%)
Menolak Penolak Irasional (19%) Penolak yang Rasional
(33%) Sumber: Rogers dan Shoemaker (1971) dalam Mugniesyah (2006)
Dalam hal faktor yang menentukan rasionalitas dan irasionalitas, Goldstein
dalam Rogers dan Shoemaker (1971) menyatakan bahwa tipe rasional berbeda
dari yang irasional oleh karena tingkat pendidikan mereka berbeda dan mereka
tidak dipengaruhi kepercayaan tradisional. Dengan perkataan lain, tingkat
13
pendidikan menjadi salah satu faktor yang membawa individu untuk lebih rasional
dan bisa membedakan penting atau tidaknya untuk memutuskan adopsi inovasi.
2.3 Hasil-hasil Studi Penggunaan Ponsel
Terdapat sejumlah studi berkenaan penggunaan teknologi komunikasi,
khususnya ponsel. Studi Mulyandari (2006) menemukan bahwa karakteristik
personal mahasiswa, khususnya jenis kelamin, status ekonomi dan tingkat terpaan
media massa, tidak berhubungan dengan sikap mahasiswa terhadap penggunaan
ponsel, namun tujuan mahasiswa dalam penggunaan ponsel berhubungan dengan
sikapnya terhadap ponsel. Mahasiswa yang membutuhkan ponsel untuk
kepentingan yang menyangkut keluarga dan kegiatan kampus cenderung memiliki
sikap positif terhadap ponsel. Berbeda dengan Mulyandari, Lutfiyah (2007)
menemukan bahwa jenis kelamin berhubungan dengan persepsi remaja terhadap
ponsel, dimana remaja laki-laki memiliki persepsi yang lebih sesuai terhadap
ponsel dibandingkan dengan remaja perempuan. Adapun hasil studi Prayifto
(2010) menunjukkan bahwa sikap remaja desa terhadap ponsel tidak berhubungan
nyata dengan perilakunya dalam menggunakan ponsel baik untuk memperoleh
informasi, berintegrasi, berinteraksi sosial dan memperoleh hiburan, karena
penggunaan ponsel oleh mereka tergantung pada faktor situasional. Selanjutnya
dikemukakan bahwa walaupun mereka memiliki sikap positif terhadap ponsel
belum tentu tingkat perilakunya dalam menggunakan ponsel menjadi tinggi.
Berbeda dari Lutfiyah yang melaporkan bahwa status ekonomi tidak
berhubungan dengan persepsi remaja terhadap ponsel, hasil studi Utaminingsih
(2006) menemukan bahwa tingkat penggunaan ponsel oleh remaja berhubungan
positif dengan status ekonomi keluarga; semakin tinggi status ekonomi keluarga
semakin memungkinkan peningkatan penggunaan ponsel terutama dalam hal
penggunaan pulsa. Yang menarik, studi Utaminingsih menemukan bahwa tujuan
penggunaan ponsel (faktor internal) serta keberadaan teman dekat dan kelompok
sebaya (peer group), pengaruhnya sangat kuat terhadap penggunaan ponsel di
kalangan remaja. Temuan lainnya adalah bahwa tingkat penggunaan ponsel oleh
remaja tersebut tidak mempengaruhi interaksi sosial (tatap muka) mereka dengan
lingkungan sosialnya.
14
2.4 Kerangka Pemikiran
Penelitian yang berjudul Difusi Inovasi Ponsel di Perdesaan” ini dilandasi
sejumlah konsep dan teori difusi inovasi dari Rogers dan Shoemaker (1971) serta
Rogers (1995), khususnya berkenaan keinovativan dan laju adopsi. Oleh karena
itu, dalam penelitian ini, variabel Tingkat Keinovativan (Y1) dan Laju Adopsi
Inovasi Ponsel (Y2) dipandang sebagai variabel terpengaruh. Mengacu pada
paradigma laju adopsi inovasi (Gambar 1), diduga terdapat sejumlah faktor yang
mempengaruhi laju adopsi ponsel, di antaranya adalah penerimaan individu
terhadap karakteristik inovasi ponsel (yang selanjutnya disingkat menjadi
karakteristik inovasi ponsel), tipe pengambilan keputusan inovasi, saluran
komunikasi, karakteristik sistem sosial, dan promosi oleh agen promosi.
Pada faktor karakteristik inovasi ponsel terdapat lima variabel yang diduga
mempengaruhi kedua variabel terpengaruh dalam penelitian ini (Y1 dan Y2),
yaitu: Tingkat Keuntungan Relatif (X1), Tingkat Kesesuaian (X2), Tingkat
Kerumitan (X3), Tingkat Kemungkinan Dicoba (X4), dan Tingkat Kemungkinan
Diamati (X5). Oleh karena di kalangan masyarakat perdesaan dimungkinkan
adanya keragaman unit adopsi dan unit pengambilan keputusan ponsel, Tipe
Pengambilan Keputusan Inovasi (Tipe PK Inovasi) (X6) juga diduga
mempengaruhi kedua variabel terpengaruh di atas.
Dengan merujuk pada paradigma PK Inovasi dan sejumlah hasil penelitian
terdahulu variabel pada saluran komunikasi yang diduga berpengaruh adalah
Tingkat Keragaman Sumber Informasi (X7). Selanjutnya, sebagaimana diketahui,
komunikasi interpersonal merupakan bagian integral dari komunikasi masyarakat
perdesaan. Di pihak lain, para ahli tersebut di atas menyatakan bahwa salah satu
indikator pembeda sistem sosial tradisional dan modern adalah tinggi rendahnya
integrasi anggota sistem sosial yang tercermin dari keanggotaan mereka dalam
beragam kelompok/organisasi serta status mereka di dalamnya. Berdasar hal itu,
dalam penelitian ini terdapat dua variabel pada sistem sosial yang diduga
mempengaruhi difusi inovasi ponsel, yaitu Tingkat Ketaatan Individu dalam
Aktivitas Komunikasi Interpersonal –disingkat Tingkat Ketaatan Individu- (X8)
dan Tingkat Integrasi Sosial Individu (X9). Selanjutnya, oleh karena fakta di
lapangan ada para agen penjual/jasa ponsel yang juga berperan mempromosikan
15
ponsel guna mempengaruhi warga masyarakat untuk membelinya (mengadopsi
ponsel), maka Frekuensi Kunjungan/Pertemuan dengan Penjual/Jasa Ponsel
(X10) merupakan variabel pada aspek promosi oleh agen ponsel yang juga diduga
mempengaruhi difusi inovasi ponsel (Y1 dan Y2).
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, tingkat keinovativan diukur oleh
jumlah individu anggota suatu sistem sosial yang mengadopsi inovasi dalam
satuan waktu tertentu. Sehubungan dengan itu, karakteristik individu diduga juga
mempengaruhi difusi inovasi ponsel (Y1 dan Y2). Merujuk pada pendapat kedua
ahli di atas dan hasil beberapa penelitian terdahulu, variabel-variabel pada
karakteristik individu yang diduga mempengaruhi tingkat keinovativan adalah
Tingkat Pendidikan Formal (X11), Pola Perilaku Komunikasi (X12), Status
Sosial-ekonomi (X13), dan Tingkat Kebutuhan Individu terhadap Inovasi (X14).
Adapun mengenai tujuan penelitian untuk mengetahui adanya gejala adopsi
berlebihan (over adoption), hal tersebut akan ditelaah secara kualitatif, karena
adopsi berlebihan tidak termasuk dalam unsur-unsur difusi inovasi.
Berdasar pada kerangka pemikiran tersebut di atas, hubungan antara
variabel pengaruh (independent variables) dan terpengaruh (dependent variables)
dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.
16
KARAKTERISTIK INOVASI
PONSEL
X1: Tingkat Keuntungan Relatif
X2: Tingkat Kompabilitas
X3: Tingkat Kerumitan
X4: Tingkat Kemungkinan Dicoba
X5: Tingkat Kemungkinan Diamati
KARAKTERISTIK SISTEM SOSIAL
X8 : Tingkat Ketaatan Individu
X9 : Tingkat integrasi individu
X6: Tipe PK Inovasi
PROMOSI OLEH AGEN
PERUBAH
X10: Frekuensi Pertemuan dengan
Agen Penjual /Jasa Ponsel
KARAKTERISTIK INDIVIDU
X11: Tingkat Pendidikan Formal
X12: Pola Perilaku Komunikasi
X13: Tingkat Status Sosial-ekonomi
X14: Tingkat Kebutuhan Individu
Gambar 2 Hubungan antara variabel pengaruh (independent variables) dengan variabel terpengaruh (dependent variables)
dalam Difusi Inovasi Ponsel
DIFUSI INOVASI PONSEL
Y1: Tingkat Keinovativan Individu
Y2: Laju Adopsi Inovasi Ponsel
SALURAN KOMUNIKASI
X7: Tingkat Keragaman Sumber Informasi
Inovasi Ponsel
Keterangan: Hubungan Pengaruh yang Diuji
17
2.5 Hipotesis Penelitian
Terdapat sejumlah hipotesis dalam penelitian ini, sebagai berikut:
1. Semakin tinggi semua variabel pada tingkat penerimaan individu terhadap
karakteritik inovasi ponsel -kecuali pada tingkat kerumitan-, semakin
tinggi tingkat keinovativan individu dan laju adopsi inovasi ponsel.
2. Tipe pengambilan keputusan inovasi opsional berhubungan positif dengan
tingkat keinovativan dan laju adopsi inovasi ponsel.
3. Semakin tinggi tingkat keragaman sumber informasi inovasi ponsel
semakin tinggi tingkat keinovativan individu dan laju adopsi inovasi
ponsel.
4. Semakin tinggi tingkat ketaatan individu dalam berkomunikasi secara
interpersonal, maka semakin rendah tingkat keinovativan dan laju adopsi
inovasi ponsel.
5. Semakin tinggi tingkat integrasi individu dalam kelompok/individu,
semakin tinggi tingkat keinovativan dan laju adopsi inovasi ponsel.
6. Semakin tinggi frekuensi pertemuan individu dengan agen penjual/ jasa
ponsel, semakin tinggi tingkat keinovativan dan laju adopsi inovasi
ponsel.
7. Semakin tinggi semua variabel pada karakteristik individu semakin tinggi
tingkat keinovativan dan laju adopsi inovasi ponsel.
2.6 Definisi Operasional
1. Tingkat Keinovativan (Y1) adalah waktu (tahun) yang dibutuhkan individu
sejak mendengar atau mengenal inovasi ponsel sampai dengan
menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari mereka. Merujuk kepada
fakta bahwa inovasi ponsel telah dikenal warga masyarakat Desa Kemang,
sejak tahun 1995 atau sekitar 15 tahun yang lalu, ketika salah seorang
warga mempunyai ponsel untuk pertama kalinya, variabel ini dibedakan ke
dalam tiga kategori: (1) rendah, jika individu mengadopsi inovasi ponsel
setelah lebih dari 10 tahun sejak digunakan warga Kemang (setelah tahun
2006) (2) sedang, jika individu mengadopsi inovasi ponsel setelah lebih
18
dari lima tahun sejak digunakan warga (periode tahun 2000-2005), dan (3)
tinggi, jika individu mengadopsi inovasi ponsel pada lima tahun pertama
sejak ponsel digunakan warga kemang (periode 1995-1999).
2. Laju Adopsi Inovasi Ponsel (Y2) adalah jumlah individu yang mengadopsi
inovasi ponsel dalam periode waktu (tahun), sejak masuknya ponsel
sampai dengan digunakannya oleh sebagian besar anggota sistem sosial
(kampung). Dari hasil perhitungan diperoleh laju adopsi sebesar 28 persen
dan 17 persen berturut-turut untuk di Kampung Beber dan Kampung
Cikupa. Berdasar hal tersebut, Laju Adopsi dibedakan ke dalam kategori:
(1) rendah (skor 1), untuk responden yang berasal dari Kampung Cikupa
dan (2) tinggi (skor 2), untuk responden yang berasal dari Kampung
Beber.
3. Tingkat Keuntungan Relatif Inovasi Ponsel (X1) adalah derajat dimana
inovasi ponsel dipandang memberikan keuntungan pada individu, berupa:
mengurangi biaya transportasi untuk berhubungan jarak jauh, efisiensi
waktu dalam berkomunikasi, meningkatkan prestise dalam pergaulan,
memperlancar urusan bisnis/pekerjaan, dan menghemat biaya pencarian
informasi; dibedakan dalam tiga kategori: (1) rendah, jika individu
memperoleh satu sampai dua jenis keuntungan atau tidak sama sekali, (2)
sedang, jika individu memperoleh tiga sampai empat jenis keuntungan,
dan (3) tinggi, jika individu memperoleh seluruh jenis keuntungan.
4. Tingkat Kesesuaian Inovasi Ponsel (X2) adalah derajat dimana aktivitas
komunikasi antar individu menggunakan inovasi ponsel dipandang sesuai
dengan nilai-nilai sosial budaya, pengalaman sebelumnya, dan kebutuhan
terhadap inovasi ponsel, yang meliputi: menjalin hubungan interpersonal
antar individu, menyampaikan pesan secara efektif, dan memenuhi
kebutuhan komunikasi. Berdasar hal tersebut, variabel ini dibedakan ke
dalam kategori-kategori: (1) rendah, jika ada satu jenis kesesuaian atau
tidak ada sama sekali, (2) sedang, jika ada dua jenis kesesuaian, dan (3)
tinggi, jika ada tiga jenis kesesuaian.
5. Tingkat Kerumitan Inovasi Ponsel (X3) adalah derajat dimana sejumlah
fitur pada inovasi ponsel dianggap relatif sulit untuk dimengerti dan
19
digunakan oleh individu. Fitur pada ponsel di antaranya: telepon, SMS,
MMS, game, MP3, kamera, video, internet. Mengacu pada jenis fitur
tersebut, variabel ini dibedakan ke dalam tiga kategori: (1) rendah, jika
individu menilai sulit menggunakan satu jenis fitur atau tidak sama sekali,
(2) sedang, jika individu menilai sulit menggunakan dua jenis fitur, dan (3)
tinggi, jika individu menilai sulit dalam menggunakan tiga dan/atau lebih
jenis fitur.
6. Tingkat Kemungkinan Dicobanya Inovasi Ponsel (X4) adalah derajat
dimana inovasi ponsel dianggap relatif mudah diaplikasikan oleh individu
karena tersedianya sarana pendukung: jaringan ponsel, penjual pulsa, dan
aliran listrik; dibedakan ke dalam tiga kategori: (1) rendah, jika hanya satu
sarana pendukung yang tersedia atau tidak sama sekali, (2) sedang, jika
dua sarana pendukung yang tersedia, dan (3) tinggi, jika seluruh sarana
pendukung tersedia.
7. Tingkat Kemungkinan Diamatinya Inovasi Ponsel (X5) adalah derajat
dimana hasil-hasil penggunaan inovasi ponsel dapat diamati (dirasakan
manfaatnya oleh individu), yang meliputi: memperluas pergaulan, update
akan informasi, dan bergengsi. Berdasar hal ini, variabel ini dibedakan ke
dalam kategori-kategori: (1) rendah, jika hanya memperoleh satu jenis
manfaat atau tidak sama sekali, (2) sedang, jika memperoleh dua jenis
manfaat yang dapat diamati, dan (3) tinggi, jika memperoleh semua
manfaat..
8. Tipe PK Inovasi Ponsel (X6) adalah keterlibatan individu sebagai unit
pengambil keputusan dan/atau unit adopsi dalam PK Inovasi Ponsel,
dibedakan ke dalam (1) opsional, jika individu berperan sebagai unit
pengambil keputusan sekaligus unit adopsi inovasi ponsel, (2) kolektif,
jika individu bersama-sama anggota keluarganya menjadi unit pengambil
keputusan dan unit adopsi inovasi ponsel, dan (3) otoritas, jika unit
pengambilan keputusan dilakukan oleh pihak yang memiliki otoritas
(instruksi dari pihak di luar keluarga atau atasan di tempat individu
bekerja). Berdasar kondisi tersebut, variabel ini dibedakan ke dalam tiga
kategori: (1) rendah, jika tipe pengambilan keputusan otoritas, (2) sedang,
20
jika tipe pengambilan keputusan kolektif, dan (3) tinggi, jika tipe
pengambilan keputusan opsional.
9. Tingkat Keragaman Sumber Informasi Inovasi Ponsel (X7) adalah total
skor dari jumlah sumber informasi inovasi ponsel bagi individu, yang
meliputi saluran komunikasi interpersonal dan media massa. Dengan
menetapkan bahwa setiap jenis sumber informasi baik dari saluran
interpersonal maupun media massa diberi skor satu; maka variabel ini
dibedakan ke dalam tiga kategori : (1) rendah, jika hanya satu jenis sumber
informasi inovasi ponsel, (2) sedang, jika ada dua jenis sumber informasi
inovasi ponsel, dan (3) tinggi, jika ada tiga jenis atau lebih sumber
informasi inovasi ponsel.
10. Tingkat Ketaatan Individu Pada Aktivitas Komunikasi Interpersonal (X8)
adalah derajat dimana setelah individu mengadopsi ponsel, dia cenderung
mempertahankan aktivitas komunikasi interpersonalnya. Berdasar batasan
tersebut, variabel ini dibedakan ke dalam kategori-kategori: (1) rendah,
jika individu memutuskan hubungan komunikasi interpersonal, (2) sedang,
jika individu mengurangi hubungan komunikasi interpersonal, dan (3)
tinggi, jika individu tetap berhubungan melalui komunikasi interpersonal.
11. Tingkat Integrasi Individu (X9) adalah total skor dari jumlah kelompok
dan/atau organisasi yang aktivitasnya diikuti oleh individu dan “status”
individu dalam kelompok dan/ atau organisasi tersebut. Keikutsertaan pada
setiap kelompok diberi skor satu; sementara untuk status dalam
kelompok/organisasi pemberian skornya berturut-turut: satu jika berstatus
anggota, dua untuk pengurus namun bukan berstatus ketua dan tiga jika
berstatus ketua. Berdasar hal tersebut, variabel ini dibedakan ke dalam
tiga kategori: (1) rendah, jika total skor keikutsertaan dan status individu
dalam kelompok/organisasi kurang dari 3; (2) sedang, jika total skor
keikutsertaan dan status individu dalam kelompok/ organisasi antara 3-6,
dan (3) tinggi, jika total skor keikutsertaan dan status individu dalam
kelompok lebih dari 6.
12. Frekuensi Pertemuan dengan Agen Penjual/ Jasa Ponsel (X10) adalah total
pertemuan dalam sebulan yang dilakukan antara individu dengan agen
21
penjual/ jasa ponsel; dibedakan ke dalam kategori: (1) rendah, jika
pertemuan individu dengan agen penjual/ jasa ponsel sebanyak kurang
dari lima kali; (2) sedang, jika pertemuan individu dengan agen penjual/
jasa ponsel antara 5-10 kali; dan (3) tinggi, jika pertemuan individu
dengan agen penjual/jasa ponsel lebih dari 10 kali.
13. Tingkat Pendidikan Formal (X11) adalah jenjang pendidikan formal
tertinggi yang pernah diikuti individu, dibedakan ke dalam kategori: (a)
rendah, jika tamat dan/atau sedang SD/sederajat, (2) sedang, jika tamat
dan/atau sedang SLTP/sederajat, dan (3) tinggi, jika tamat dan/atau sedang
SLTA/ sederajat.
14. Pola Perilaku Komunikasi (X12) adalah akumulasi interaksi individu
dengan beragam sumber informasi baik melalui komunikasi interpersonal
lokalit, kosmopolit maupun bermedia. Pada komunikasi interpersonal
lokalit diukur dari pola interaksi dengan sumber-sumber informasi yang
berdomisili sama dengan individu dalam jenjang lingkup wilayah: RT,
RW, kampung, dusun, dan desa. Pada komunikasi interpersonal
kosmopolit diukur dari status sumber informasi yang berinteraksi dengan
individu-individu dari lingkungan pemerintahan dan kontak tani/tokoh
masyarakat di lima tingkatan wilayah administratif: desa, kecamatan,
kabupaten, provinsi, dan nasional. Baik bagi komunikasi interpersonal
maupun kosmopolit, pemberian skornya adalah satu sampai dengan lima
berturut-turut dari jenjang yang terendah ke tertinggi. Untuk komunikasi
bermedia dibedakan menurut jenis medianya: radio, surat kabar, telepon,
televisi, dan internet; dengan pemberian skor satu jika individu
berkomunikasi dengan pihak lain melalui salah satu jenis media atau tidak
sama sekali; skor dua jika individu berkomunikasi dengan memanfaatkan
lebih dari dua jenis media; skor 3, jika individu berkomunikasi dengan
memanfaatkan tiga dan/atau lebih jenis media. Selanjutnya, variabel ini
dibedakan ke dalam tiga kriteria: (1) rendah, jika total skor kurang dari
11, (2) sedang, jika total skor antara 11-19, dan (3) tinggi, jika total skor
lebih dari 19.
22
15. Tingkat Status Sosial Ekonomi (X14) adalah kumulatif dari faktor-faktor:
status penguasaan lahan, pemilikan media elektronik dan pemilikan
kendaraan bermotor. Merujuk pada Mugniesyah (2007), status penguasaan
lahan dibedakan ke dalam: (1) stratum I adalah golongan rumahtangga
yang tidak berlahan, (2) stratum II adalah golongan rumahtangga yang
menguasai 0,1 - 0,7 ha lahan, (3) stratum III adalah golongan rumahtangga
yang menguasai 0,7 - 1,5 ha lahan, dan (4) stratum IV adalah golongan
rumahtangga yang menguasai lebih dari 1,5 ha lahan. Adapun skor yang
diberikan berturut-turut satu sampai dengan empat untuk Stratum I, II, III,
dan IV. Skor untuk pemilikan media elektronik sebesar satu sampai
dengan empat untuk berturut-turut media radio, ponsel, TV berwarna, dan
jaringan internet. Masing-masing diberi skor 1, 2, 3, 4. Pemilikan
kendaraan bermotor dibedakan antara motor dan mobil. Skor masing-
masing adalah 1 dan 2. Berdasar hal tersebut, variabel ini dibedakan ke
dalam tiga kriteria: (1) rendah, jika total skor yang diperoleh individu
kurang dari 7, (2) sedang, jika total skor yang diperoleh individu antara 7–
10, dan (3) tinggi, jika total skor yang diperoleh individu lebih dari 10.
16. Tingkat Kebutuhan Individu terhadap Inovasi Ponsel (X16) adalah
motivasi atau alasan individu dalam konteks tujuan individu untuk
mengadopsi inovasi ponsel. Dengan merujuk pada pendapat Berlo (1960)
dan Tubs dan Moss (1983) dalam Lubis (2009), tujuan komunikasi
meliputi: memperoleh informasi, mendapatkan hiburan, menjalin
hubungan dan membantu bisnis/pekerjaan. Berdasar hal tersebut, variabel
ini dibedakan ke dalam tiga kategori, (1) rendah, jika bermotivasikan satu
tujuan komunikasi atau tidak sama sekali, 2) sedang, jika bermotivasikan
dua tujuan komunikasi, dan (3) tinggi, bermotivasikan tiga atau lebih
tujuan komunikasi.