44
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. DEFINISI IMUNISASI Imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak ia terpajan pada antigen yang serupa tidak terjadi penyakit. Dilihat dari cara timbulnya maka terdapat dua jenis kekebalan aktif. Kekebalan pasif adalah kekebalan yang diperoleh dari luar tubuh, bukan dibuat oleh individu itu sendiri. Contohnya adalah kekebalan pada janin yang diperoleh dari ibu atau kekebalan yang diperoleh setelah pemberian suntikan imunologlobulin. Kekebalan pasif tidak berlangsung lama karena akan di metabolisme oleh tubuh. Waktu paruh IgG misalnya adalah 28 hari, sedangkan waktu paruh imunologlobulin lainnya lebih pendek. Kekebalan aktif adalah kekebalan yang dibuat oleh tubuh sendiri akibat terpajan pada antigen seperti imunisasi, atau terpajan secara alamiah. Kekebalan aktif biasanya berlangsung lebih lama karena adanya memori imunologik. Tujuan imunisasi adalah untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu pada seseorang, dan menghilangnya penyakit tertentu pada sekelompok masyarakat (populasi) atau bahkan menghilangkan penyakit tertentu dari dunia seperti pada imunisasi cacar. Keadaan yang terakhir ini lebih mungkin terjadii pada jenis penyakit yang hanya dapat ditularkan

BAB II TP.doc

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II TP.doc

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI IMUNISASIImunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif

terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak ia terpajan pada antigen yang serupa tidak

terjadi penyakit. Dilihat dari cara timbulnya maka terdapat dua jenis kekebalan aktif.

Kekebalan pasif adalah kekebalan yang diperoleh dari luar tubuh, bukan dibuat oleh

individu itu sendiri. Contohnya adalah kekebalan pada janin yang diperoleh dari ibu atau

kekebalan yang diperoleh setelah pemberian suntikan imunologlobulin. Kekebalan pasif

tidak berlangsung lama karena akan di metabolisme oleh tubuh. Waktu paruh IgG

misalnya adalah 28 hari, sedangkan waktu paruh imunologlobulin lainnya lebih pendek.

Kekebalan aktif adalah kekebalan yang dibuat oleh tubuh sendiri akibat terpajan pada

antigen seperti imunisasi, atau terpajan secara alamiah. Kekebalan aktif biasanya

berlangsung lebih lama karena adanya memori imunologik.

Tujuan imunisasi adalah untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu pada

seseorang, dan menghilangnya penyakit tertentu pada sekelompok masyarakat (populasi)

atau bahkan menghilangkan penyakit tertentu dari dunia seperti pada imunisasi cacar.

Keadaan yang terakhir ini lebih mungkin terjadii pada jenis penyakit yang hanya dapat

ditularkan melalui manusia, seperti misalnya penyakit difteria.

2.2. JADWAL IMUNISASI REKOMENDASI IDAI

Jadwal Imunisasi IDAI secara berkala akan dievaluasi untuk penyimpanan,

berdasarkan pada hasil penelitian mengenai perubahan pola penyakit, kebijakan

Depkes/WHO, kebijakan global, dan pengadaan vaksin di Indonesia.

Page 2: BAB II TP.doc

Gambar 1. Jadwal Imunisasi Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia

2.3. IMUNISASI YANG DIWAJIBKAN (PPI)

Imunisasi yang diwajibkan meliputi BCG, polio, hepatitis B, DTP, dan campak.

1. BCG (Bacillus Calmette Guerine)

Page 3: BAB II TP.doc

Indikasi:

Untuk pemberian kekebalan aktif terhadap

tuberkulosis.

Kontra indikasi:

Adanya penyakit kulit yang berat/menahun seperti: eksin, furunkulosis dan

sebagainya.

Mereka yang sedang menderita TBC.

Reaksi sesudah imunisasi BCG

1. Reaksi normal lokal

2 minggu : indurasi, eritema kemudian menjadi pustula

3 - 4 minggu : pustula pecah menjadi ulkus (tidak perlu pengobatan)

8 - 12 minggu : ulkus menjadi scar diameter 3 - 7 mm

2. Reaksi pada kelenjar

Merupakan respon selular pertahanan tubuh

Kadang terjadi di kelenjar axilla dan supraklavikula

Timbul 2 - 6 bulan sesudah imunisasi

Kelenjar berkonsistensi padat, tidak nyeri, demam (-)

Akan mengecil 1 - 3 bulan kemudian tanpa pengobatan

Komplikasi

1. Abses ditempat suntikan

Abses bersifat tenang (cold abses) sehinggatidak perlu terapi

Abses matang aspirasi

2. Limfadenitis Supurativa

Oleh karena suntikan subkutan atau dosis tinggi

Terjadi 2 - 6 bulan sesudah imunisasi

Gambar 2 :

Vaksin BCG & pelarut

Page 4: BAB II TP.doc

Bila telah matang di aspirasi

Terapi tuberkulostatika mempercepat pengecilan

Reaksi pada yang pernah tertular TBC

Koch phenomen-Reaksi lokal BCG berjalan cepat (2 - 3 hari sesudah imunisasi),4

- 6 minggu timbul scar.

Imunisasi bayi > 2 bulan, dilakukan tes Tuberkulin (Mantoux):

• Untuk menunjukkan apakah pernah kontak dengan kuman TBC

• Menyuntikkan 0,1 ml PPD didaerah flexor lengan bawah secara intrakutan

• Pembacaan dilakukan setelah 48 - 72 jam penyuntikan

• Diukur besarnya diameter indurasi ditempat suntikan

• < 5 mm : Negatif

• 6 - 9 mm : Meragukan

• > 10 mm : Positif

• Test Mantoux (-) : Imunisasi

(+) : Pemeriksaan TBC

• Meragukan : Ulang 2 minggu

Imunisasi BCG diberikan pada umur sebelum 2 bulan. Pada dasarnya untuk

mencapai cakupan yang lebih luas, pedoman Depkes perihal imunisasi BCG, pada

umur 0-l2 bulan, tetap disetujui.

Dosis untuk bayi kurang dari 1 tahun adalah 0,05 ml dan untuk anak 0,10 ml,

diberikan secara intrakutan di daerah insersio M.deltoidus kanan. WHO tetap

menganjurkan pemberian vaksin BCG di insersio M.deltoidus kanan dan tidak di

tempat lain (bokong. paha), penyuntikan secara intradermal di daerah deltoid lebih

mudah dilakukan (tidak tepat lemak subkutis yang tebal), ulkus yang terbentuk tidak

membantu struktur otot setempat (dibandingkan pemberian di daerah gluteal lateral

atau paha anterior), dan sebagai tanda baku untuk keperluan diagnosis apabi!a

diperlukan.

Vaksin BCG ulang tidak dianjurkan oleh karena menfaatnya diragukan mengingat

Page 5: BAB II TP.doc

(1) efektivitas perlindungan hanya 40%, (2) sekitar 70% kasus Tuberkulosis berat

(meningitis) ternyata mempunyai parut BCG, dan (3) kasus dewasa dengan BTA

(bakteri tahan asam) positif di Indonesia cukup tinggi (23-36%) walaupun mereka

telah mendapat BCG pada masa kanak -kanak. Saat ini sedang dikembangkan vaksin

BCG baru yang lebih efektif.

Vaksin BCG merupakan vaksin hidup, mereka tidak diberikan pada pasien

munokompromais (leukemia, dalam pengobatan steroid jangka panjang, atau pada

infeksi HIV).

Apabila BCG diberikan pada umur lebih dari 3 bulan, sebaiknya dilakukan uji

tuberkulin terlebih dahulu.

2. Hepatitis B

Program vaksin hepatitis B (hep-B) segera setelah lahir perlu lebih digalakkan,

mengingat vaksinasi ini merupakan upaya yang sangat efektif untuk memutuskan rantai

transmisi maternal dari ibu kepada bayinya.

Diskripsi:

Vaksin hepatitis B adalah vaksin virus yang telah diinaktivasikan dan bersifat non-

infecious, berasal dari HbsAG yang dihasilkan dalam sel ragi (Hansenula polymorpha)

menggunakan teknologi DNA rekombinan.

Gambar 3 : Kemasan Vakin Hepatitis B

Page 6: BAB II TP.doc

Gambar 4 : Kemasan Vakin Hepatitis B

Indikasi:

Untuk pemberian kekebalan aktif terhadap infeksi yang disebabkan oleh virus

hepatitis B.

Kontra indikasi:

Hipersensitif terhadap komponen vaksi. Sama halnya seperti vaksin-vaksin lain,

vaksin ini tidak boleh diberikan kepada penderita infeksi berat

Efek Samping

Reaksi lokal seperti rasa sakit, kemerahan dan pembekakan disekitar tempat

penyuntikan. Reaksi yang terjadi bersifat ringan dan biasanya hilang setelah 2 hari.

Jadwal imunisasi hepatitis B

Imunisasi hepatitis B diberikan sedini mungkin setelah lahir, mengingat paling tidak

3,9% ibu hamil merupakan pengidap hepatitis dengan resiko transmisi maternal

kurang lebih sebesar 45%.

Hepatitis B-2 diberikan dengan interval 1 bulan dari hep B-1 (saat bayi berumur 1

bulan). Untuk mendapatkan respons imun optimal interval hepB-2 dan hepB-3

minimal 2 bulan, terbaik 5 bulan. Maka hepB-3 diberikan 2-5 bulan setelah hepB-2

Page 7: BAB II TP.doc

yaitu pada umur 3-6 bulan.

Jadwal pemberian hepB-l saat bayi lahir, dibuat berdasarkan status HbsAG positif

yaitu ibu dengan status HbsAG yang tidak diketahui, ibu HbsAG positif atau ibu

HbsAG negatif.

Departemen Kesehatan mulai tahun 2005 memberikan vaksin hepB-1 monoivalen

(uniject) saat lahir, dilanjutkan dengan vaksin kombinasi DTwP/HepB pada umur 2-3-

4 bulan.

Hepatitis B saat bayi lahir

Baru lahir dari ibu dengan status HbsAG yang tidak diketahui, hepB-1 harus

diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir, dan dilanjutkan pada umur 1 dan atara

umur 3-6 bulan. Apabila semula status HbaAG ibu tidak diketahui dan ternyata dalam

perjalanan selanjutnya diketahui bahwa ibu HbsAG positif maka dapat diberikan

HBIg (hepatitis B imunoglobulin) 0,5 ml sebelum bayi berumur 7 hari.

Bayi lahir dari ibu dengan status HbsAG-B ibu positif, dalam waktu 24-48 jam

setelah lahir bersamaan dengan vaksin HepB-I diberikan juga HBIg 0,5 ml.

Ulangan vaksinasi hepatitis B

Telah dilakukan suatu penelitian multisenter di Thailand dan Taiwan terhadap anak

dari ibu pengidap hepatitis B yang telah memperoleh imunisasi dasar 3x pada masa

bayi. Pada umur 5 tahun, sejumlah 90,7% diantaranya masih memiliki titer antibodi

anti HBs yang protektif (titer anti HBs>10ug/ml). Mengingat pola epidemiologi

hepatitis B di Indonesia mirip dengan pola epidemiologi di Thailand, maka dapat

disimpulkan bahwa imunisasi ulang (booster) pada usia 5 tahun tidak diperlukan.

Idealnya, pada usia ini dilakukan pemeriksaan anti HBs.

Apabila sampai dengan usia 5 tahun anak belum pernah memperoleh imunisasi

hepatitis B, maka secepatnya diberikan (catch-up vaccination).

Ulangan imunisasi hepatitis B dapat dipertimbangkan pada umur 10-12 tahun. apabila

titer pencegahan tercapai (catch-upimmunization).

3. DTwP dan DTaP

Diskripsi:

Vaksin jerap DPT (DifteriPertusis Tetanus) adalah vaksin yang terdiri dari toxoid

Page 8: BAB II TP.doc

difteri dan tetanus yang dimurnikan serta bakteri pertusis yang telah diinaktivasi.

Indikasi:

Untuk pemberian kekebalan secara simultan terhadap difteri, pertusis dan tetanus.

Cara pemberian dan dosis:

Sebelum digunakan vaksin harus dikocok terlebih dahulu agar suspensi menjadi

homogen.

Disuntikkan secara intramuskuler dengan dosis pemberian 0,5 ml sebanyak 3 dosis.

Dosis pertama diberikan pada umur 2 bulan, dosis selanjutnya diberikan dengan

interval paling cepat 4 minggu (1 bulan).

Kontra indikasi

Gejala-gejala keabnormalan otak pada periode bayi baru lahir atau gejala serius

keabnormalan pada saraf merupakan kontraindikasi pertusis. Anak yang mengalami

gejala-gejala parah pada dosis pertama, komponen pertusis harus dihindarkan pada dosis

kedua, dan untuk meneruskan imunisasinya dapat diberikan DT.

Efek Samping

Gejala-gejala yang bersifat sementara seperti: lemas, demam, kemerahan, pada

tempat penyuntikan. Kadang-kadang terjadi gejala berat seperti demam tinggi, iritabilitas,

dan merancau yang biasanya terjadi 24 jam setelah imunisasi.

Jadwal Imunisasi

Imunisasi DTwP dan DTaP dasar diberikan 3 kali sejak umur 2 bulan (DTwP atau

Gambar 5 : Vaksin DPT

Page 9: BAB II TP.doc

DTaP tidak boleh diberikan sebelum umur 6 minggu) dengan interval 4-6 minggu,

DTwP atau DTaP-1 diberikan pada umur 2 bulan, DTwP atau DTaP-2 pada umur 3

bulan dan DTwP atau DTaP-3 pada umur 4 bulan. Ulangan selanjutnya (DTwP atau

DTaP-4) diberikan satu tahun setelah DTwP atau DTaP-3 yaitu pada umur 18-24

bulan dan DTwP atau DTaP-5 pada saat masuk sekolah umur 5 tahun.

Vaksinasi ulangan

Pada booster umur 5 tahun dianjurkan tetap diberikan vaksin dengan komponen

partusis (DTwP atau DTaP), mengingat kejadian pertusis pada dewasa muda

penularan pada bayi dan anak.

Sejak tahun 1998, DT-5 diberikan pada kegiatan imunisasi di sekolah. Ulangan DT-6

diberikan pada usia 12 tahun, mengingat masih dijumpai kasus difteria pada umur

lebih dari 10 tahun.

Sebaiknya ulangan DT-6 pada umur 12 tahun diberikan dT (adult dose), tetapi di

Indonesia dT tidak ada di pasaran.

Dosis Vaksinasi DTP

DTwP atau DTaP atau DT adalah 0,5 ml, intramuskular, baik untuk imunisasi dasar

maupun ulangan.

4. Tetanus

Diskripsi:

Vaksin jerap TT (TetanusToksoid) adalah vaksin yang mengandung toxoid tetanus

yang telah dimurnikan dan teradsorbsi kedalam 3 mg/ml aluminium fosfat. Thimerosal

0,1 mg/ml digunakan sebagai pengawet. Satu dosis 0,5 ml vaksin mengandung potensi

sedikitnya 40 IU. Dipergunakan untuk mencegah tetanus pada bayi yang baru lahir

dengan mengimunisasi WUS (Wanita Usia Subur) atau ibu hamil, juga untuk pencegahan

tetanus pada ibu bayi.

Page 10: BAB II TP.doc

Indikasi:

Untuk pemberian kekebalan aktif terhadap tetanus.

Cara pemberian dan dosis:

Sebelum digunakan vaksin harus dikocok terlebih dahulu agar suspensi menjadi

homogen.

Untuk mencegah tetanus/tetanus neonatal terdiri dari 2 dosis primer yang disuntikkan

secara intra muskular atau subkutan dalam, dengan dosis pemberian 0,5 ml dengan

interval 4 minggu. Dilanjutkan dengan dosis ketiga setelah 6 bulan berikutnya. Untuk

mempertahankan kekebalan terhadap tetanus pada wanita usia subur, maka dianjurkan

diberikan 5 dosis. Dosis keempat dan kelima diberikan dengan interval minimal 1

tahun setelah pemberian dosis ketiga dan keempat. Imunisasi TT dapat diberikan

secara aman selama masa kehamilan bahkan pada periode trimester pertama.

Kontra indikasi:

Gejala-gejala berat karena dosis pertama TT.

Efek Samping

Efek samping jarang terjadi dan bersifat ringan. Gejala-gejala seperti lemas, dan

kemerahan pada lokasi suntikan yang bersifat sementara, dan kadang-kadang gejala

demam.

Jadwal Imunisasi

1. Jadwal imunisasi tetanus, sesuai dengan imunisasi difteria dalam vaksin DTwP atau

DTaP

Gambar 6 : Vaksin TT

Page 11: BAB II TP.doc

2. Perkiraan lama waktu perlindungan antibodi tetanus.

Program imunisasi mengharuskan seorang anak minimal mendapat vaksin tetanus

toksoid sebanyak 5 kali untuk memberikan perlindungan seumur hidup. Dengan

demikian, pada saat wanita usia subur telah mendapat perlindungan untuk beyi yang

akan dilahirkan terhadap bahaya tetanus neonatorum.

Perlindungan tersebut dapat diperoleh dengan cara sebagai berikut:

i. Imunisasi DTwP atau DTaP pada bayi 3 kali (3 dosis) akan memberikan

imunitas selama 1-3 tahun. Dari 3 dosis toksoid tetanus pada bayi tersebut,

diperkirakan setara dengan 2 dosis toksoid pada anak yang lebih besar atau

dewasa.

ii. Ulangan DTP pada umur 18-24 bulan (DTP 4) akan memperpanjang imunitas

5 tahun yaitu sampai dengan umur 6-7 tahun, pada umur dewasa dihitung

setara dengan 3 dosis toksoid.

iii. Dosis toksoid tetanus kelima (DTP/DT 5) bila diberikan pada usia masuk

sekolah akan memperpanjang imunitas 10 tahun lagi yaitu pada sampai umur

dewasa dihitung setara 5 dosis toksoid.

iv. Upaya ETN dengan target sasaran TT 5 kali juga dilakukan pada anak

sekolah.

3. Dosis vaksin DTP dan TT diberikan dengan dosis 0,5 ml secara intrmaskular.

5. Polio

Deskripsi:

Vaksin Oral Polio hidup adalah Vaksin Polio Trivalent yang terdiri dari suspensi virus

poliomyelitis tipe 1,2 dan 3 (strain Sabin) yang sudah dilemahkan, dibuat dalam biakan

jaringan ginjal kera dan distabilkan dengan sukrosa.

Page 12: BAB II TP.doc

Gambar 8 : IPV

Indikasi:

Untuk pemberian kekebalan aktif terhadap poliomielitis.

Cara pemberian dan dosis:

Diberikan secara oral (melalui mulut), 1 dosis adalah 2 (dua) tetes sebanyak 4

kali (dosis) pemberian, dengan interval setiap dosis minimal 4 minggu.

Setiap membuka vial baru harus menggunakan penetes (dopper) yang baru.

Kontra indikasi:

Pada individu yang menderita “immune deficiency” tidak ada efek yang berbahaya

yang timbul akibat pemberian polio pada anak yang sedang sakit. Namun jika ada

keraguan, misalnya sedang menderita diare, maka dosis ulangan dapat diberikan

setelah sembuh.

Efek Samping

Pada umumnya tidak terdapat efek samping. Efek samping berupa paralis yang

disebabkan oleh vaksin sangat jarang terjadi.

Pada saat ini telah beredar di Indonesia IPV (Inactivated Polio Vaccine)

disamping OPV (Oral Polio Vaccine) yang telah kita kenal selama ini. Vaksin IPV

berisi antigen polio (polio 1,2, dan 3) yang telah mati, sedangkan OPV berisi virus

polio hidup. Kedua vaksin polio tersebut dapat dipakai secara bergantian. Vaksin IPV

dapat diberikan pada anak sehat, maupun yang menderita imunokompromais. Dapat

pula diberikan dalam waktu bersamaan dengan vaksin DTP.

Jadwal

i. Polio-O diberikan saat bayi lahir, karena Indonesia merupakan daerah endemik

polio maka sesuai pedoman program imunisasi nasional untuk mendapatkan

cakupan imunisasi yang lebih tinggi diperlukan tambahan imunisasi polio yang

Gambar 7 : OPV

Page 13: BAB II TP.doc

diberikan setelah lahir. Mengingat OPV berisi virus polio hidup maka dianjurkan

diberikan saat bayi meninggalkan rumah sakit/ rumah bersalin agar tidak

mencemari bayi lain karena virus polio vaksin dapat diekskresi melalui tinja.

Untuk keperluan ini , IPV dapat menjadi alternatif.

ii. Untuk imunisasi dasar polio (polio 2,3,4), interval diantaranya tidak kurang dari 4

minggu.

iii. Dosis OPV, 2 tetes per-oral sedangkan IPV dalam kemasan 0,5 ml, intramuskular.

iv. Vaksin polio ulangan diberikan satu tahun sejak imunisasi polio-4, selanjutnya saat

masuk sekolah (5-6 tahun).

6. Campak

Diskripsi:

Vaksin campak merupakan vaksin virus yang dilemahkan. Setiap dosis (0,5 ml)

mengandung tidak kurang dari 1000 infective unit virus strain CAM 70 dan tidak lebih

dari 100 mcg residu kanamycin dan 30 mcg residu erythromycin.

Indikasi:

Untuk pemberian kekebalan aktif terhadap penyakit campak.

Cara pemberian dan dosis:

Sebelum disuntikkan vaksin campak terlebih dahulu harus dilarutkan dengan

pelarut steril yang telah tersedia yang berisi 5 ml cairan pelarut.

Gambar 9 : Vaksin Campak

dan Pelarut

Page 14: BAB II TP.doc

Dosis pemberian 0,5 ml disuntikkan secara subkutan pada lengan kiri atas, pada

usia 9-11 bulan. Dan ulangan (booster) pada usia 6-7 tahun (kelas 1 SD) setelah

catch-up campaign campak pada anak Sekolah Dasar kelas 1 – 6.

Kontra indikasi:

Individu yang mengidap penyakit Immune deficiency atau individu yang diduga

menderita gangguan respon imun karena leukemia, limfoma.

Efek Samping

Hingga 15% pasien dapat mengalami demam ringan dan kemerahan selama 3 hari

yang dapat terjadi 8 – 12 hari setelah vaksinasi.

Vaksin campak dianjurkan diberikan dalam satu dosis 0,5 ml secara subkutan,

pada umur 9 bulan.

Hasil penelitian litbangkes Depkes 2000, didapatkan bahwa titer antibodi campak

pada anak usia sekolah 10-12 tahun hanya tinggal 50% diantaranya yang masih

mempunyai antibodi campak diatas ambang pencegahan. Sedangkan 28,3% diantara

kelompok usia 5-7 tahun pernah menderita campak walaupun sudah diimunisasi saat

bayi. Berdasarkan hal tersebut dianjurkan pemberian imunisasi campak ulang pada

saat masuk sekolah dasar (5-6 tahun). Namun apabila telah mendapat vaksinasi MMR

pada usia 15-18 bulan, ulangan campak umur 5 tidak diperlukan.

2.4. IMUNISASI YANG DIANJURKAN

Imunisasi yang dianjurkan kepada bayi/anak namun belum masuk ke dalam

program imunisasi nasional adalah MMR, Hib, tifoid, hepatitis A, varisela dan

influenza.

7. MMR

Page 15: BAB II TP.doc

Gambar 10 : Vaksin MMR

Virus campak Schwarz hidup dilemahkan dlm embrio ayam

Virus gondong Urabe dibiak dalam telur ayam

Virus rubela Wistar dibiak pada sel deploid manusia

Simpan 2 - 8º C,

Kontra indikasi

Imunodepresi, alergi telur, hamil, pasca imunoglobulin, transfusi darah (tunda 6 – 12

minggu), alergi neomisin, kanamisin.

1. Vaksin MMR diberikan pada umur 15-18 bulan dengan dosis satu kali 0,5 ml, secara

subkutan.

2. MMR diberikan minimal 1 bulan sebelum atau setelah penyuntikan imunisasi lainnya.

3. Apabila seorang anak telah mendapat imunisasi MMR pada umur 12-18 bulan

imunisasi campak-2 pada umur 5-6 tahun tidak perlu diberikan.

Ulangan diberikan pada umur 10-12 tahun atau 12-18 tahun.

8. Haemophilus Influenza tipe b (Hib)

Page 16: BAB II TP.doc

Gambar 11. Vaksin Hib

Terdapat dua jenis vaksin Hib konjugasi yang beredar di Indonesia yaitu:

PRP-T dan PRP-OMP (PRP outer membrane protein complex)

Jadwal imunisasi

a. Vaksinasi PRP-T diberikan pada umur 2,4 dan 6 bulan.

b. Vaksin PRP-OMP diberikan pada umur 2 dan 4 bulan, dosis ketiga (6 bulan) tidak

diperlukan.

c. Vaksin Hib dapat diberikan secara bersamaan dengan DTwP atau DTaP dalam

bentuk vaksinasi kombinasi.

Dosis

a. Satu dosis vaksin Hib berisi 0,5 ml, diberikan secara intramuskular.

b. Tersedia vaksin kombinasi DTwP/Hib atau DTaP/Hib (vaksin kombinasi berisi

vaksin PRP-T) dalam kemasan Prefilled syringe 0,5 ml.

Ulangan

a. Vaksin Hib baik PRP-T ataupun PRP-OMP pada umur 18 bulan

b. Apabila anak datang pada umur 1-5 tahun, Hib hanya diberikan 1 kali.

Page 17: BAB II TP.doc

9. Deman Tifoid

Page 18: BAB II TP.doc

Gambar 12 : Vaksin Demam Tifoid

Di Indonesia tersedia 2 jenis vaksin yaitu vaksin suntik (polisakarida) dan oral.

Vaksin capsular Vi polysaccharide diberikan intramuskular atau subkutan pada umur

lebih dari 2 tahun, ulangan di lakukan setiap 3 tahun.

Tifoid oral diberikan pada umur lebih dari 6 tahun, dikemas dalam 3 dosis dengan

interval selang sehari (hari 1,3, dan 5). Imunisasi ulangan dilakukan setiap 3-5 tahun.

Vaksin oral pada umumnya diperlukan untuk turis yang akan berkunjung ke daerah

endemis tifoid.

10. Hepatitis A

Gambar 13 : Vaksin Hepatitis A

Vaksin hepatitis A diberikan pada daerah yang kurang terpajan (under exposure).

Jadwal imunisasi

Vaksin hep A diberikan pada umur lebih dari 2 tahun.

Vaksin kombinasi hepB/hepA tidak diberikan pada bayi kurang dari 12 bulan. Maka

vaksin kombinasi diindikasikan pada anak umur lebih dari 12 bulan, terutama untuk

catch-up immunization yaitu mengejar imunisasi hepB sebelumnya atau vaksin hepB

yang tidak lengkap.

Dosis pemberian

Dosis 720 U diberikan dua kali dengan interval 6 bulan, intramuskular di daerah

Page 19: BAB II TP.doc

deltoid. Kombinasi hepB/hepA (berisi hepB 10 mgr dan hepA 720 ) dalam kemasan

prefilled syringe 0,5 ml intramuskular.

11. Varisela

Gambar 14 : Vaksin Varisela

Kesepakatan Satgas Imunisasi IDAI

Efektif vaksin tidak diragukan lagi, namun cakupan imunisasi tinggi oleh karena

harganya masih mahal sehingga belum terjangkau oleh semua lapisan masyarakat,

maka imunisasi rutin belum dapat terlaksana.

Pada cakupan yang rendah, dapat mengubah epidemiologi penyakit dari masa anak ke

dewasa (pubertas), sehingga akibatnya angka kejadian varisela orang dewasa akan

meningkat dibandingkan anak.

Diketahui bahwa dampak penyakit varisela pada orang dewasa lebih berat daripada

anak, apalagi terjadi pada masa kehamilan dapat mengakibatkan bayi menderita

sindrom varisela konginetal dengan angka yang tinggi.

Page 20: BAB II TP.doc

Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka imunisasi varisela diberikan pada anak

yang lebih besar, namun kurang dari 13 tahun.

Jadwal imunisasi

Untuk menghindarkan perubahan penyakit tersebut, pada saat ini imunisasi varisela

direkomendasikan pada umur 10-12 tahun yang belum terpajan.

Untuk anak yang mengalami kontak dengan pasien varisela, vaksinasi dapat

mencegah apabila diberikan dalam kurun 72 jam setelah kontak.

Dosis

Dosis 0,5 ml, subkutan, satu kali. Untuk umur lebih dari 13 tahun atau dewasa,

diberikan 2 kali dengan jarak 4-8 minggu.

12. Vaksin kombinasi

Gambar 15 : DPaT + Hib Gambar 16 : DPwT + Hib

(Infanrix-Hib ®,Tetract-Hib ®)

Tetract-Hib : kombinasi DPwT+Hib

Infanrix-Hib : kombinasi DPaT+Hib

DPwT/DPaT : dalam vial

Page 21: BAB II TP.doc

Hib dalam PFS (prefilled syringe)

Sebelum disuntikkan, dicampur dengan menyedot DPwT/DPaT ke dalam

Kontra indikasi

Sama dengan komponen masing-masing vaksin.1,20

13. Vaksin Pneumokokus

Gambar 17 : Vaksin Pneumokokus

Mencegah IPD (Invasive Pneumococcus Diseases)

Septikemia / bakteremia

Pneumonia

Meningitis

Mencegah Non IPD :

Otitis media

Sinusitis

Konjugasi antigen dengan protein difteria

T cell dependent à cell memory (+)

kekebalan bertahan lama

Jadwal : 2, 4, 6, 12 -15 bulan.

2.5. JADWAL IMUNISASI TIDAK TERATUR

Pada keadaan tertentu imunisasi tidak dapat dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang

sudah disepakati. Keadaan ini tidak merupakan hambatan untuk melanjutkan imunisasi.

Page 22: BAB II TP.doc

Vaksin yang sudah diterima oleh anak tidak menjadi hilang manfaatnya tetapi tetap sudah

menghasilkan respons imunologi sebagaimana yang diharapkan tetapi belum mempunyai

antibodi yang optimal. Dengan perkataan lain anak belum mempunyai antibodi yang

optimal karena belum mendapat imunisasi lengkap, sehingga kadar antibodi yang

dihasilkan masih dibawah kadar ambang perlindungan untuk kurun waktu yang panjang

(life long immunity) sebagaimana bila imunisasinya lengkap. Dengan demikian kita harus

menyelesaikan jadwal imunisasi dengan melanjutkan imunisasi yang belum selesai.

Tabel 1 : Rekomendasi jadwal untuk vaksinasi yang tidak teratur.

BCG Umur <12 bulan, boleh diberikan kapan saja. Umur >12 bulan,

imunisasi kapan saja namun sebaiknya dilakukan terlebih dahulu

uji tuberkulin apabila negatif berikan BCG dengan dosis 0,1 ml

intrakutan

DTwP

atau

DTaP

Bila dimulai dengan DTwp boleh dilanjutkan dengan DTaP.

Berikan dT pada anak >7 tahun, jangan DTwP atau DTaP apabila

vaksin tersedia. Bila terlambat, jangan mengulang pemberian dari

awal, tetapi lanjutkan dan lengkapi imunisasi seperti jadwal, tidak

peduli berapapun jarak waktu /interval keterlambatan dari

pemberian sebelumnya. Bila belum pernah imunisasi dasar usia

<12 bulan, imunisasi diberikan sesuai imunitas dasar baik jumlah

maupun intervalnya. Bila pemberian ke-4 sebelum ulang tahun ke-

4, maka pemberian ke-5 secepatnya 6 bulan sesudahnya. Bila

pemberian ke-4 setelah umur 4 tahun, maka pemberian ke-5 tidak

perlu lagi

Polio oral Bila terlambat, jangan mengulang pemberian dari awal tetapi

lanjutkan dan lengkapi imunisasi seperti jadwal, tidak perduli

berapapun jarak wawktu/interval keterlambatan dari pemberian

sebelumnya.

Campak Umur antara 9-12 bulan, berikan kapan saja saat bertemu

Umur anak 1 tahun/lebih, berikan MMR

MMR Bila sampai dengan umur 12 bulan belum dapat vaksin campak,

Page 23: BAB II TP.doc

MMR bisa diberikan kapan saja setelah berumur 1 tahun

Hepatitis

B

Bila terlambat, jangan mengulang pemberian dari awal, tetapi

lanjutkan dan lengakapi imunisasi seperti jadwal, tidak peduli

berapapun jarak/interval dan pemberian sebelumnya. Anak dan

remaja yang belum pernah imunisasi hepatitis B pada masa bayi,

bisa mendapatkan serial imunisasi hepatitis B kapan saja saat

berkunjung.

Hib Usia saat ini

(bulan)

6 – 11

12 – 14

12 – 14

15 – 59

Riwayat imunisasi

1 dosis

2 dosis sebelum umur 12

bulan

1 dosis sebelum umur 12

bulan

Jadwal tidak lengkap

Rekomendasi

imunisasi

1x umur 6-11 bulan

Ulangan 1x setelah 2

bulan

Atau 12-15 bulan

Berikan 1 dosis

Berikan 2 dosis

interval 2 bulan

Berikan 1 dosis

2.6. PENYIMPANAN DAN TRANSPORTASI VAKSIN

Secara umum vaksin terdiri dari vaksin hidup dan vaksin mati yang mempunyai

ketahanan dan stabilitas yang berbeda terhadap perbedaan suhu. Syarat-syarat

penyimpanan dan transportasi vaksin harus diperhatikan untuk menjamin potensinya

ketika diberikan kepada seorang anak.

a. Rantai vaksin

Page 24: BAB II TP.doc

Adalah rangkaian proses penyimpanan dan transportasi vaksin dengan menggunakan

berbagai peralatan sesuai prosedur untuk menjamin kualitas vaksin sejak dari pabrik

sampai diberikan kepada pasien. Rantai vaksin terdiri dari proses penyimpanan vaksin di

kamar dingin atau kamar beku, di lemari pendingin, di dalam alat pembawa vaksin,

pentingnya alat-alat untuk mengukur dan mempertahankan suhu. Dampak perubahan

suhu pada vaksin hidup dan mati berbeda. Untuk itu harus diketahui suhu optimum untuk

setiap vaksin sesuai petunjuk penyimpanan dari pabrik masing-masing.

b. Suhu optimum untuk vaksin hidup

Secara umum semua vaksin sebaiknya disimpan pada suhu +2°C sampai dengan

+8ºC, diatas suhu +8ºC vaksin hidup akan cepat mati, vaksin polio hanya bertahan dua

hari, vaksin BCG dan campak yang belum dilarutkan mati dalam tujuh hari. Vaksin hidup

potensinya masih tetap baik pada suhu kurang dari 2ºC sampai dengan beku. Vaksin oral

polio yang belum dibuka lebih bertahan lama (2 tahun) bila disimpan pada suhu -25ºC

sampai dengan -15ºC, namun hanya bertahan enam bulan pada suhu +2°C sampai dengan

+8ºC. Vaksin BCG dan campak berbeda, walaupun disimpan pada suhu -25ºC sampai

dengan -15ºC, umur vaksin tidak lebih lama dari suhu +2°C sampai dengan +8ºC, yaitu

BCG tetap satu tahun dan campak tetap dua tahun. Oleh karena itu vaksin BCG dan

Page 25: BAB II TP.doc

campak yang belum dilarutkan tidak perlu disimpan di suhu -25ºC sampai dengan -15ºC

atau didalam freezer.

c. Suhu optimum

untuk vaksin mati Vaksin mati (inaktif) sebaiknya disimpan dalam suhu +2°C sampai

dengan +8ºC juga, pada suhu dibawah +2ºC (beku) vaksin mati (inaktif) akan cepat

rusak. Bila beku dalam suhu -0.5ºC vaksin hepatitis B dan DPT-Hepatitis B (kombo)

akan rusak dalam ½ jam, tetapi dalam suhu diatas 8ºC vaksin hepatitis B bias bertahan

sampai tiga puluh hari, DPT-hepatitis B kombinasi sampai empat belas hari. Dibekukan

dalam suhu -5ºC sampai dengan -10ºC vaksin DPT, DT dan TT akan rusak dalam 1,5

sampai dengan dua jam, tetapi bisa bertahan sampai empat belas hari dalam suhu di atas

8ºC.

d. Kamar dingin dan kamar beku

Kamar dingin (cold room) dan kamar beku (freeze room) umumya berada dipabrik,

distributor pusat, Dinas Kesehatan Provinsi, berupa ruang yang besar dengan kapasitas 5-

100 m³, untuk menyimpan vaksin dalam jumlah yang besar. Suhu dingin berkisar +2°C

sampai dengan +8ºC, terutama untuk menyimpan vaksin-vaksin yang tidak boleh beku.

Suhu kamar beku berkisar antara -25ºC sampai dengan -15ºC, untuk menyimpan vaksin

yang boleh beku, terutama vaksin polio. Kamar dingin dan kamar beku harus beroperasi

terus menerus, menggunakan dua alat pendingin yang bekerja bergantian. Aliran listrik

tidak boleh terputus sehingga harus dihubungkan dengan pembangkit listrik yang secara

otomatis akan berfungsi bila listrik mati. Suhu ruangan harus dikontrol setiap hari dari

data suhu yang tercatat secara otomatis. Pintu tidak boleh sering dibuka tutup.

Page 26: BAB II TP.doc

Gambar 18 : Cold Room and Freezer Room

e. Lemari es dan freezer

Setiap lemari es sebaiknya mempunyai satu stop kontak tersendiri. Jarak lemari es

dengan dinding belakang 10-15 cm, kanan kiri 15 cm, sirkulasi udara harus baik. Lemari

es tidak boleh terkena sinar matahari langsung. Suhu didalam lemari es harus berkisar

+2°C sampai dengan +8ºC, digunakan untuk menyimpan vaksin-vaksin hidup maupun

mati, dan untuk membuat cool pack (kotak dingin cair). Sedangkan suhu di dalam freezer

berkisar antara -25ºC sampai dengan -15ºC, khusus untuk menyimpan vaksin polio dan

pembuatan cold pack (kotak es beku). Termostat di dalam lemari es harus diatur

sedemikian rupa sehingga suhunya berkisar antara +2 sampai dengan +8ºC dan suhu

Page 27: BAB II TP.doc

freezer berkisar -15ºC sampai dengan -25ºC. Di dalam lemari es lebih baik bila

dilengkapi freeze watch atau freeze tag pada rak ke-3, untuk memantau apakah suhunya

pernah mencapai di bawah 0 derajat. Sebaiknya pintu lemari es hanya dibuka dua kali

sehari, yaitu ketika mengambil vaksin dan mengmbalikan sisa vaksin, sambil mencatat

suhu lemari es.

Lemari es dengan pintu membuka ke atas lebih dianjurkan untuk penyimpanan

vaksin. Karet-karet pintu harus diperiksa kerapatannya, untuk menghindari keluarnya

udara dingin. Bila pada dinding lemari es telah terdapat bunga es, atau di freezer telah

mencapai tebal 2-3 cm harus segera dilakukan pencairan (defrost). Sebelum melakukan

pencairan, pindahkan vaksin ke cool box atau lemari es yang lain. Cabut kontak listrik

lemari es, biarkan pintu lemari es dan freezer terbuka selama 24 jam, kemudian

dibersihkan. Setelah bersih, pasang kembali kontak listerik, tunggu sampai suhu stabil.

Setelah suhu lemari sedikitnya mencapai +8ºC dan suhu freezer-15ºC, masukkan vaksin

sesuai tempatnya.

Gambar 19 : Lemari Es

f. Susunan vaksin di dalam lemari es

Karena vaksin hidup dan vaksin inaktif mempunyai daya tahan berbeda terhadap suhu

dingin, maka kita harus mengenali bagian yang paling dingin dari lemari es. Letakkan

vaksin hidup dekat dengan bagian yang paling dingin, sedangkan vaksin mati jauh dari

Page 28: BAB II TP.doc

bagian yang paling dingin. Di antara kotak-kotak vaksin beri jarak selebar jari tangan

(sekitar 2 cm) agar udara dingin bias menyebar merata ke semua kotak vaksin.

Bagian paling bawah tidak untuk menyimpan vaksin tetapi khusus untuk meletakkan

cool pack, untuk mempertahankan suhu bila listerik mati. Pelarut vaksin jangan disimpan

di dalam lemari es atau freezer, karena akan mengurangi ruang untuk vaksin, dan akan

pecah bila beku. Penetes (dropper) vaksin polio juga tidak boleh di letakkan di lemari es

atau freezer karena akan menjadi rapuh, mudah pecah. Tidak boleh menyimpan makanan,

minuman, obat-obatan atau benda-benda lain di dalam lemari es vaksin, karena

mengganggu stabilitas suhu karena sering di buka.

Gambar 20 : Susunan Vaksin

g. Lemari es dengan pintu membuka ke depan

Bagian yang paling dingin lemari es ini adalah di bagian paling atas (freezer). Di

dalam freezer disimpan cold pack, sedangkan rak tepat di bawah freezer untuk

Page 29: BAB II TP.doc

meletakkan vaksin-vaksin hidup, karena tidak mati pada suhu rendah. Rak yang lebih

jauh dari freezer (rak ke 2 dan 3) untuk meletakkan vaksin-vaksin mati (inaktif), agar

tidak terlalu dekat freezer, untuk menghindari rusak karena beku. Thermometer Dial atau

Muller diletakkan pada rak ke-2, freeze watch atau freeze tag pada rak ke 3.

Page 30: BAB II TP.doc

Gambar 21 : Lemari Es dengan pintu membuka di depan

h. Lemari es dengan pintu membuka ke atas

Bagian yang paling dingin dalam lemari es ini adalah bagian tengah (evaporator)

yang membujur dari depan ke belakang. Oleh karena itu vaksin hidup diletakkan di

kanan-kiri bagian yang paling dingin (evaporator). Vaksin mati diletakkan dipinggir,

jauh dari evaporator. Beri jarak antara kotak-kotak vaksin selebar jari tangan (sekitar 2

cm). Letakkan termometer Dial atau Muller atau freeze watch/freeze tag dekat vaksin

mati.

Gambar 22 : Lemari Es dengan pintu membuka ke atas

i. Wadah pembawa vaksin

Untuk membawa vaksin dalam jumlah sedikit dan jarak tidak terlalu jauh dapat

menggunakan cold box (kotak dingin) atau vaccine carrier (termos). Cold box berukuran

lebih besar, dengan ukuran 40-70 liter, dengan penyekat suhu dari poliuretan, selain

untuk transportasi dapat pula untuk menyimpan vaksin sementara. Untuk

mempertahankan suhu vaksin di dalam kotak dingin atau termos dimasukkan cold pack

atau cool pack.

Page 31: BAB II TP.doc

Gambar 23 : Wadah pembawa vaksin

j. Cold pack dan cool pack

Cold pack berisi air yang dibekukan dalam suhu -15ºC sampai dengan -25ºC selama

24 jam, biasanya di dalam wadah plastik berwarna putih. Cool pack berisi air dingin

(tidak beku)yang didinginkan dalam suhu +2°C sampai dengan +8ºC selama 24 jam,

biasanya di dalam wadah plastik berwarna merah atau biru. Cold pack (beku) dimasukkan

ke dalam termos untuk mempertahankan suhu vaksin ketika membawa vaksin hidup

sedangkan cool pack (cair) untuk membawa vaksin hidup dan vaksin mati (inaktif).

Page 32: BAB II TP.doc

Gambar 24 : Cold Pack and Cool Pack

k. Menilai kualitas vaksin

Vaksin hidup akan mati pada suhu di atas batas tertentu, dan vaksin mati akan rusak

di bawah suhu tertentu.

1. Kualitas rantai vaksin dan tanggal kadaluwarsa

Page 33: BAB II TP.doc

Untuk mempertahankan kualitas vaksin maka penyimpanan dan transportasi vaksin

harus memenuhi syarat rantai vaksin yang baik, antara lain : disimpan di dalam lemari es

atau freezer dalam suhu tertentu, transportasi vaksin di dalam kotak dingin atau termos

yang tertutup rapat, tidak terendam air, terlindung dari sinar matahari langsung, belum

melewati tanggal kadaluarsa, indikator suhu berupa VVM (vaccine vial monitor) atau

freeze watch/tag belum melampaui batas suhu tertentu.

2. VVM (vaccine vial monitor)

Untuk menilai apakah vaksin sudah pernah terpapar suhu di atas batas yang

dibolehkan, dengan membandingkan warna kotak segi empat dengan warna lingkaran di

sekitarnya. Bila warna kotak segi empat lebih muda daripada lingkaran dan sekitarnya

(disebut kondisi VVM A atau B) maka vaksin belum terpapar suhu di atas batas yang

diperkenankan. Vaksin dengan kondisi VVM B harus segera dipergunakan. Bila warna

kotak segi empat sama atau lebih gelap daripada lingkaran dan sekitarnya (disebut

kondisi VVM C atau D) maka vaksin sudah terpapar suhu di atas batas yang

diperkenankan, tidak boleh diberikan pada pasien.

Gambar 25 : Vaksin Vial Monitor

3. Freeze watch dan freeze tag

Alat ini untuk mengetahui apakah vaksin pernah terpapar suhu dibawah 0°C. Bila

dalam freeze watch terdapat warna biru yang melebar ke sekitarnya atau dalam freeze tag

ada tanda silang (X), bearti vaksin pernah terpapar suhu di bawah 0°C yang dapat

merusak vaksin mati. Vaksin-vaksin tersebut tidak boleh diberikan kepada pasien.

Page 34: BAB II TP.doc

Gambar 26 : Freeze watch and freeze Tag

4. Warna dan kejernihan vaksin

Warna dan kejernihan beberapa vaksin dapat menjadi indikator praktis untuk menilai

stabilitas vaksin. Vaksin polio harus berwarna kuning oranye. Bila warnanya berubah

menjadi pucat atau kemerahan berarti pHnya telah berubah, sehingga tidak stabil dan

tidak boleh diberikan kepada pasien.

Vaksin toksoid, rekombinan dan polisakarida umumnya berwarna putih jernih sedikit

berkabut. Bila menggumpal atau banyak endapan berarti sudah pernah beku, tidak boleh

digunakan karena sudah rusak. Untuk meyakinkan dapat dilakukan uji kocok seperti

dibawah ini. Bila vaksin setelah dikocok tetap menggumpal atau mengendap maka vaksin

tidak boleh digunakan karena sudah rusak.

5. Pemilihan vaksin

Vaksin yang harus segera dipergunakan adalah : vaksin yang belum dibuka tetapi

telah dibawa ke lapangan, sisa vaksin telah dibuka (dipergunakan), vaksin dengan VVM

B, vaksin dengan tanggal kadaluarsa sudah dekat (EEFO = Early Expire First Out),

vaksin yang sudah lama tersimpan dikeluarkan segera (FIFO = First In First Out).