Upload
daniel-situngkir
View
219
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. DEFINISI IMUNISASIImunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif
terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak ia terpajan pada antigen yang serupa tidak
terjadi penyakit. Dilihat dari cara timbulnya maka terdapat dua jenis kekebalan aktif.
Kekebalan pasif adalah kekebalan yang diperoleh dari luar tubuh, bukan dibuat oleh
individu itu sendiri. Contohnya adalah kekebalan pada janin yang diperoleh dari ibu atau
kekebalan yang diperoleh setelah pemberian suntikan imunologlobulin. Kekebalan pasif
tidak berlangsung lama karena akan di metabolisme oleh tubuh. Waktu paruh IgG
misalnya adalah 28 hari, sedangkan waktu paruh imunologlobulin lainnya lebih pendek.
Kekebalan aktif adalah kekebalan yang dibuat oleh tubuh sendiri akibat terpajan pada
antigen seperti imunisasi, atau terpajan secara alamiah. Kekebalan aktif biasanya
berlangsung lebih lama karena adanya memori imunologik.
Tujuan imunisasi adalah untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu pada
seseorang, dan menghilangnya penyakit tertentu pada sekelompok masyarakat (populasi)
atau bahkan menghilangkan penyakit tertentu dari dunia seperti pada imunisasi cacar.
Keadaan yang terakhir ini lebih mungkin terjadii pada jenis penyakit yang hanya dapat
ditularkan melalui manusia, seperti misalnya penyakit difteria.
2.2. JADWAL IMUNISASI REKOMENDASI IDAI
Jadwal Imunisasi IDAI secara berkala akan dievaluasi untuk penyimpanan,
berdasarkan pada hasil penelitian mengenai perubahan pola penyakit, kebijakan
Depkes/WHO, kebijakan global, dan pengadaan vaksin di Indonesia.
Gambar 1. Jadwal Imunisasi Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia
2.3. IMUNISASI YANG DIWAJIBKAN (PPI)
Imunisasi yang diwajibkan meliputi BCG, polio, hepatitis B, DTP, dan campak.
1. BCG (Bacillus Calmette Guerine)
Indikasi:
Untuk pemberian kekebalan aktif terhadap
tuberkulosis.
Kontra indikasi:
Adanya penyakit kulit yang berat/menahun seperti: eksin, furunkulosis dan
sebagainya.
Mereka yang sedang menderita TBC.
Reaksi sesudah imunisasi BCG
1. Reaksi normal lokal
2 minggu : indurasi, eritema kemudian menjadi pustula
3 - 4 minggu : pustula pecah menjadi ulkus (tidak perlu pengobatan)
8 - 12 minggu : ulkus menjadi scar diameter 3 - 7 mm
2. Reaksi pada kelenjar
Merupakan respon selular pertahanan tubuh
Kadang terjadi di kelenjar axilla dan supraklavikula
Timbul 2 - 6 bulan sesudah imunisasi
Kelenjar berkonsistensi padat, tidak nyeri, demam (-)
Akan mengecil 1 - 3 bulan kemudian tanpa pengobatan
Komplikasi
1. Abses ditempat suntikan
Abses bersifat tenang (cold abses) sehinggatidak perlu terapi
Abses matang aspirasi
2. Limfadenitis Supurativa
Oleh karena suntikan subkutan atau dosis tinggi
Terjadi 2 - 6 bulan sesudah imunisasi
Gambar 2 :
Vaksin BCG & pelarut
Bila telah matang di aspirasi
Terapi tuberkulostatika mempercepat pengecilan
Reaksi pada yang pernah tertular TBC
Koch phenomen-Reaksi lokal BCG berjalan cepat (2 - 3 hari sesudah imunisasi),4
- 6 minggu timbul scar.
Imunisasi bayi > 2 bulan, dilakukan tes Tuberkulin (Mantoux):
• Untuk menunjukkan apakah pernah kontak dengan kuman TBC
• Menyuntikkan 0,1 ml PPD didaerah flexor lengan bawah secara intrakutan
• Pembacaan dilakukan setelah 48 - 72 jam penyuntikan
• Diukur besarnya diameter indurasi ditempat suntikan
• < 5 mm : Negatif
• 6 - 9 mm : Meragukan
• > 10 mm : Positif
• Test Mantoux (-) : Imunisasi
(+) : Pemeriksaan TBC
• Meragukan : Ulang 2 minggu
Imunisasi BCG diberikan pada umur sebelum 2 bulan. Pada dasarnya untuk
mencapai cakupan yang lebih luas, pedoman Depkes perihal imunisasi BCG, pada
umur 0-l2 bulan, tetap disetujui.
Dosis untuk bayi kurang dari 1 tahun adalah 0,05 ml dan untuk anak 0,10 ml,
diberikan secara intrakutan di daerah insersio M.deltoidus kanan. WHO tetap
menganjurkan pemberian vaksin BCG di insersio M.deltoidus kanan dan tidak di
tempat lain (bokong. paha), penyuntikan secara intradermal di daerah deltoid lebih
mudah dilakukan (tidak tepat lemak subkutis yang tebal), ulkus yang terbentuk tidak
membantu struktur otot setempat (dibandingkan pemberian di daerah gluteal lateral
atau paha anterior), dan sebagai tanda baku untuk keperluan diagnosis apabi!a
diperlukan.
Vaksin BCG ulang tidak dianjurkan oleh karena menfaatnya diragukan mengingat
(1) efektivitas perlindungan hanya 40%, (2) sekitar 70% kasus Tuberkulosis berat
(meningitis) ternyata mempunyai parut BCG, dan (3) kasus dewasa dengan BTA
(bakteri tahan asam) positif di Indonesia cukup tinggi (23-36%) walaupun mereka
telah mendapat BCG pada masa kanak -kanak. Saat ini sedang dikembangkan vaksin
BCG baru yang lebih efektif.
Vaksin BCG merupakan vaksin hidup, mereka tidak diberikan pada pasien
munokompromais (leukemia, dalam pengobatan steroid jangka panjang, atau pada
infeksi HIV).
Apabila BCG diberikan pada umur lebih dari 3 bulan, sebaiknya dilakukan uji
tuberkulin terlebih dahulu.
2. Hepatitis B
Program vaksin hepatitis B (hep-B) segera setelah lahir perlu lebih digalakkan,
mengingat vaksinasi ini merupakan upaya yang sangat efektif untuk memutuskan rantai
transmisi maternal dari ibu kepada bayinya.
Diskripsi:
Vaksin hepatitis B adalah vaksin virus yang telah diinaktivasikan dan bersifat non-
infecious, berasal dari HbsAG yang dihasilkan dalam sel ragi (Hansenula polymorpha)
menggunakan teknologi DNA rekombinan.
Gambar 3 : Kemasan Vakin Hepatitis B
Gambar 4 : Kemasan Vakin Hepatitis B
Indikasi:
Untuk pemberian kekebalan aktif terhadap infeksi yang disebabkan oleh virus
hepatitis B.
Kontra indikasi:
Hipersensitif terhadap komponen vaksi. Sama halnya seperti vaksin-vaksin lain,
vaksin ini tidak boleh diberikan kepada penderita infeksi berat
Efek Samping
Reaksi lokal seperti rasa sakit, kemerahan dan pembekakan disekitar tempat
penyuntikan. Reaksi yang terjadi bersifat ringan dan biasanya hilang setelah 2 hari.
Jadwal imunisasi hepatitis B
Imunisasi hepatitis B diberikan sedini mungkin setelah lahir, mengingat paling tidak
3,9% ibu hamil merupakan pengidap hepatitis dengan resiko transmisi maternal
kurang lebih sebesar 45%.
Hepatitis B-2 diberikan dengan interval 1 bulan dari hep B-1 (saat bayi berumur 1
bulan). Untuk mendapatkan respons imun optimal interval hepB-2 dan hepB-3
minimal 2 bulan, terbaik 5 bulan. Maka hepB-3 diberikan 2-5 bulan setelah hepB-2
yaitu pada umur 3-6 bulan.
Jadwal pemberian hepB-l saat bayi lahir, dibuat berdasarkan status HbsAG positif
yaitu ibu dengan status HbsAG yang tidak diketahui, ibu HbsAG positif atau ibu
HbsAG negatif.
Departemen Kesehatan mulai tahun 2005 memberikan vaksin hepB-1 monoivalen
(uniject) saat lahir, dilanjutkan dengan vaksin kombinasi DTwP/HepB pada umur 2-3-
4 bulan.
Hepatitis B saat bayi lahir
Baru lahir dari ibu dengan status HbsAG yang tidak diketahui, hepB-1 harus
diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir, dan dilanjutkan pada umur 1 dan atara
umur 3-6 bulan. Apabila semula status HbaAG ibu tidak diketahui dan ternyata dalam
perjalanan selanjutnya diketahui bahwa ibu HbsAG positif maka dapat diberikan
HBIg (hepatitis B imunoglobulin) 0,5 ml sebelum bayi berumur 7 hari.
Bayi lahir dari ibu dengan status HbsAG-B ibu positif, dalam waktu 24-48 jam
setelah lahir bersamaan dengan vaksin HepB-I diberikan juga HBIg 0,5 ml.
Ulangan vaksinasi hepatitis B
Telah dilakukan suatu penelitian multisenter di Thailand dan Taiwan terhadap anak
dari ibu pengidap hepatitis B yang telah memperoleh imunisasi dasar 3x pada masa
bayi. Pada umur 5 tahun, sejumlah 90,7% diantaranya masih memiliki titer antibodi
anti HBs yang protektif (titer anti HBs>10ug/ml). Mengingat pola epidemiologi
hepatitis B di Indonesia mirip dengan pola epidemiologi di Thailand, maka dapat
disimpulkan bahwa imunisasi ulang (booster) pada usia 5 tahun tidak diperlukan.
Idealnya, pada usia ini dilakukan pemeriksaan anti HBs.
Apabila sampai dengan usia 5 tahun anak belum pernah memperoleh imunisasi
hepatitis B, maka secepatnya diberikan (catch-up vaccination).
Ulangan imunisasi hepatitis B dapat dipertimbangkan pada umur 10-12 tahun. apabila
titer pencegahan tercapai (catch-upimmunization).
3. DTwP dan DTaP
Diskripsi:
Vaksin jerap DPT (DifteriPertusis Tetanus) adalah vaksin yang terdiri dari toxoid
difteri dan tetanus yang dimurnikan serta bakteri pertusis yang telah diinaktivasi.
Indikasi:
Untuk pemberian kekebalan secara simultan terhadap difteri, pertusis dan tetanus.
Cara pemberian dan dosis:
Sebelum digunakan vaksin harus dikocok terlebih dahulu agar suspensi menjadi
homogen.
Disuntikkan secara intramuskuler dengan dosis pemberian 0,5 ml sebanyak 3 dosis.
Dosis pertama diberikan pada umur 2 bulan, dosis selanjutnya diberikan dengan
interval paling cepat 4 minggu (1 bulan).
Kontra indikasi
Gejala-gejala keabnormalan otak pada periode bayi baru lahir atau gejala serius
keabnormalan pada saraf merupakan kontraindikasi pertusis. Anak yang mengalami
gejala-gejala parah pada dosis pertama, komponen pertusis harus dihindarkan pada dosis
kedua, dan untuk meneruskan imunisasinya dapat diberikan DT.
Efek Samping
Gejala-gejala yang bersifat sementara seperti: lemas, demam, kemerahan, pada
tempat penyuntikan. Kadang-kadang terjadi gejala berat seperti demam tinggi, iritabilitas,
dan merancau yang biasanya terjadi 24 jam setelah imunisasi.
Jadwal Imunisasi
Imunisasi DTwP dan DTaP dasar diberikan 3 kali sejak umur 2 bulan (DTwP atau
Gambar 5 : Vaksin DPT
DTaP tidak boleh diberikan sebelum umur 6 minggu) dengan interval 4-6 minggu,
DTwP atau DTaP-1 diberikan pada umur 2 bulan, DTwP atau DTaP-2 pada umur 3
bulan dan DTwP atau DTaP-3 pada umur 4 bulan. Ulangan selanjutnya (DTwP atau
DTaP-4) diberikan satu tahun setelah DTwP atau DTaP-3 yaitu pada umur 18-24
bulan dan DTwP atau DTaP-5 pada saat masuk sekolah umur 5 tahun.
Vaksinasi ulangan
Pada booster umur 5 tahun dianjurkan tetap diberikan vaksin dengan komponen
partusis (DTwP atau DTaP), mengingat kejadian pertusis pada dewasa muda
penularan pada bayi dan anak.
Sejak tahun 1998, DT-5 diberikan pada kegiatan imunisasi di sekolah. Ulangan DT-6
diberikan pada usia 12 tahun, mengingat masih dijumpai kasus difteria pada umur
lebih dari 10 tahun.
Sebaiknya ulangan DT-6 pada umur 12 tahun diberikan dT (adult dose), tetapi di
Indonesia dT tidak ada di pasaran.
Dosis Vaksinasi DTP
DTwP atau DTaP atau DT adalah 0,5 ml, intramuskular, baik untuk imunisasi dasar
maupun ulangan.
4. Tetanus
Diskripsi:
Vaksin jerap TT (TetanusToksoid) adalah vaksin yang mengandung toxoid tetanus
yang telah dimurnikan dan teradsorbsi kedalam 3 mg/ml aluminium fosfat. Thimerosal
0,1 mg/ml digunakan sebagai pengawet. Satu dosis 0,5 ml vaksin mengandung potensi
sedikitnya 40 IU. Dipergunakan untuk mencegah tetanus pada bayi yang baru lahir
dengan mengimunisasi WUS (Wanita Usia Subur) atau ibu hamil, juga untuk pencegahan
tetanus pada ibu bayi.
Indikasi:
Untuk pemberian kekebalan aktif terhadap tetanus.
Cara pemberian dan dosis:
Sebelum digunakan vaksin harus dikocok terlebih dahulu agar suspensi menjadi
homogen.
Untuk mencegah tetanus/tetanus neonatal terdiri dari 2 dosis primer yang disuntikkan
secara intra muskular atau subkutan dalam, dengan dosis pemberian 0,5 ml dengan
interval 4 minggu. Dilanjutkan dengan dosis ketiga setelah 6 bulan berikutnya. Untuk
mempertahankan kekebalan terhadap tetanus pada wanita usia subur, maka dianjurkan
diberikan 5 dosis. Dosis keempat dan kelima diberikan dengan interval minimal 1
tahun setelah pemberian dosis ketiga dan keempat. Imunisasi TT dapat diberikan
secara aman selama masa kehamilan bahkan pada periode trimester pertama.
Kontra indikasi:
Gejala-gejala berat karena dosis pertama TT.
Efek Samping
Efek samping jarang terjadi dan bersifat ringan. Gejala-gejala seperti lemas, dan
kemerahan pada lokasi suntikan yang bersifat sementara, dan kadang-kadang gejala
demam.
Jadwal Imunisasi
1. Jadwal imunisasi tetanus, sesuai dengan imunisasi difteria dalam vaksin DTwP atau
DTaP
Gambar 6 : Vaksin TT
2. Perkiraan lama waktu perlindungan antibodi tetanus.
Program imunisasi mengharuskan seorang anak minimal mendapat vaksin tetanus
toksoid sebanyak 5 kali untuk memberikan perlindungan seumur hidup. Dengan
demikian, pada saat wanita usia subur telah mendapat perlindungan untuk beyi yang
akan dilahirkan terhadap bahaya tetanus neonatorum.
Perlindungan tersebut dapat diperoleh dengan cara sebagai berikut:
i. Imunisasi DTwP atau DTaP pada bayi 3 kali (3 dosis) akan memberikan
imunitas selama 1-3 tahun. Dari 3 dosis toksoid tetanus pada bayi tersebut,
diperkirakan setara dengan 2 dosis toksoid pada anak yang lebih besar atau
dewasa.
ii. Ulangan DTP pada umur 18-24 bulan (DTP 4) akan memperpanjang imunitas
5 tahun yaitu sampai dengan umur 6-7 tahun, pada umur dewasa dihitung
setara dengan 3 dosis toksoid.
iii. Dosis toksoid tetanus kelima (DTP/DT 5) bila diberikan pada usia masuk
sekolah akan memperpanjang imunitas 10 tahun lagi yaitu pada sampai umur
dewasa dihitung setara 5 dosis toksoid.
iv. Upaya ETN dengan target sasaran TT 5 kali juga dilakukan pada anak
sekolah.
3. Dosis vaksin DTP dan TT diberikan dengan dosis 0,5 ml secara intrmaskular.
5. Polio
Deskripsi:
Vaksin Oral Polio hidup adalah Vaksin Polio Trivalent yang terdiri dari suspensi virus
poliomyelitis tipe 1,2 dan 3 (strain Sabin) yang sudah dilemahkan, dibuat dalam biakan
jaringan ginjal kera dan distabilkan dengan sukrosa.
Gambar 8 : IPV
Indikasi:
Untuk pemberian kekebalan aktif terhadap poliomielitis.
Cara pemberian dan dosis:
Diberikan secara oral (melalui mulut), 1 dosis adalah 2 (dua) tetes sebanyak 4
kali (dosis) pemberian, dengan interval setiap dosis minimal 4 minggu.
Setiap membuka vial baru harus menggunakan penetes (dopper) yang baru.
Kontra indikasi:
Pada individu yang menderita “immune deficiency” tidak ada efek yang berbahaya
yang timbul akibat pemberian polio pada anak yang sedang sakit. Namun jika ada
keraguan, misalnya sedang menderita diare, maka dosis ulangan dapat diberikan
setelah sembuh.
Efek Samping
Pada umumnya tidak terdapat efek samping. Efek samping berupa paralis yang
disebabkan oleh vaksin sangat jarang terjadi.
Pada saat ini telah beredar di Indonesia IPV (Inactivated Polio Vaccine)
disamping OPV (Oral Polio Vaccine) yang telah kita kenal selama ini. Vaksin IPV
berisi antigen polio (polio 1,2, dan 3) yang telah mati, sedangkan OPV berisi virus
polio hidup. Kedua vaksin polio tersebut dapat dipakai secara bergantian. Vaksin IPV
dapat diberikan pada anak sehat, maupun yang menderita imunokompromais. Dapat
pula diberikan dalam waktu bersamaan dengan vaksin DTP.
Jadwal
i. Polio-O diberikan saat bayi lahir, karena Indonesia merupakan daerah endemik
polio maka sesuai pedoman program imunisasi nasional untuk mendapatkan
cakupan imunisasi yang lebih tinggi diperlukan tambahan imunisasi polio yang
Gambar 7 : OPV
diberikan setelah lahir. Mengingat OPV berisi virus polio hidup maka dianjurkan
diberikan saat bayi meninggalkan rumah sakit/ rumah bersalin agar tidak
mencemari bayi lain karena virus polio vaksin dapat diekskresi melalui tinja.
Untuk keperluan ini , IPV dapat menjadi alternatif.
ii. Untuk imunisasi dasar polio (polio 2,3,4), interval diantaranya tidak kurang dari 4
minggu.
iii. Dosis OPV, 2 tetes per-oral sedangkan IPV dalam kemasan 0,5 ml, intramuskular.
iv. Vaksin polio ulangan diberikan satu tahun sejak imunisasi polio-4, selanjutnya saat
masuk sekolah (5-6 tahun).
6. Campak
Diskripsi:
Vaksin campak merupakan vaksin virus yang dilemahkan. Setiap dosis (0,5 ml)
mengandung tidak kurang dari 1000 infective unit virus strain CAM 70 dan tidak lebih
dari 100 mcg residu kanamycin dan 30 mcg residu erythromycin.
Indikasi:
Untuk pemberian kekebalan aktif terhadap penyakit campak.
Cara pemberian dan dosis:
Sebelum disuntikkan vaksin campak terlebih dahulu harus dilarutkan dengan
pelarut steril yang telah tersedia yang berisi 5 ml cairan pelarut.
Gambar 9 : Vaksin Campak
dan Pelarut
Dosis pemberian 0,5 ml disuntikkan secara subkutan pada lengan kiri atas, pada
usia 9-11 bulan. Dan ulangan (booster) pada usia 6-7 tahun (kelas 1 SD) setelah
catch-up campaign campak pada anak Sekolah Dasar kelas 1 – 6.
Kontra indikasi:
Individu yang mengidap penyakit Immune deficiency atau individu yang diduga
menderita gangguan respon imun karena leukemia, limfoma.
Efek Samping
Hingga 15% pasien dapat mengalami demam ringan dan kemerahan selama 3 hari
yang dapat terjadi 8 – 12 hari setelah vaksinasi.
Vaksin campak dianjurkan diberikan dalam satu dosis 0,5 ml secara subkutan,
pada umur 9 bulan.
Hasil penelitian litbangkes Depkes 2000, didapatkan bahwa titer antibodi campak
pada anak usia sekolah 10-12 tahun hanya tinggal 50% diantaranya yang masih
mempunyai antibodi campak diatas ambang pencegahan. Sedangkan 28,3% diantara
kelompok usia 5-7 tahun pernah menderita campak walaupun sudah diimunisasi saat
bayi. Berdasarkan hal tersebut dianjurkan pemberian imunisasi campak ulang pada
saat masuk sekolah dasar (5-6 tahun). Namun apabila telah mendapat vaksinasi MMR
pada usia 15-18 bulan, ulangan campak umur 5 tidak diperlukan.
2.4. IMUNISASI YANG DIANJURKAN
Imunisasi yang dianjurkan kepada bayi/anak namun belum masuk ke dalam
program imunisasi nasional adalah MMR, Hib, tifoid, hepatitis A, varisela dan
influenza.
7. MMR
Gambar 10 : Vaksin MMR
Virus campak Schwarz hidup dilemahkan dlm embrio ayam
Virus gondong Urabe dibiak dalam telur ayam
Virus rubela Wistar dibiak pada sel deploid manusia
Simpan 2 - 8º C,
Kontra indikasi
Imunodepresi, alergi telur, hamil, pasca imunoglobulin, transfusi darah (tunda 6 – 12
minggu), alergi neomisin, kanamisin.
1. Vaksin MMR diberikan pada umur 15-18 bulan dengan dosis satu kali 0,5 ml, secara
subkutan.
2. MMR diberikan minimal 1 bulan sebelum atau setelah penyuntikan imunisasi lainnya.
3. Apabila seorang anak telah mendapat imunisasi MMR pada umur 12-18 bulan
imunisasi campak-2 pada umur 5-6 tahun tidak perlu diberikan.
Ulangan diberikan pada umur 10-12 tahun atau 12-18 tahun.
8. Haemophilus Influenza tipe b (Hib)
Gambar 11. Vaksin Hib
Terdapat dua jenis vaksin Hib konjugasi yang beredar di Indonesia yaitu:
PRP-T dan PRP-OMP (PRP outer membrane protein complex)
Jadwal imunisasi
a. Vaksinasi PRP-T diberikan pada umur 2,4 dan 6 bulan.
b. Vaksin PRP-OMP diberikan pada umur 2 dan 4 bulan, dosis ketiga (6 bulan) tidak
diperlukan.
c. Vaksin Hib dapat diberikan secara bersamaan dengan DTwP atau DTaP dalam
bentuk vaksinasi kombinasi.
Dosis
a. Satu dosis vaksin Hib berisi 0,5 ml, diberikan secara intramuskular.
b. Tersedia vaksin kombinasi DTwP/Hib atau DTaP/Hib (vaksin kombinasi berisi
vaksin PRP-T) dalam kemasan Prefilled syringe 0,5 ml.
Ulangan
a. Vaksin Hib baik PRP-T ataupun PRP-OMP pada umur 18 bulan
b. Apabila anak datang pada umur 1-5 tahun, Hib hanya diberikan 1 kali.
9. Deman Tifoid
Gambar 12 : Vaksin Demam Tifoid
Di Indonesia tersedia 2 jenis vaksin yaitu vaksin suntik (polisakarida) dan oral.
Vaksin capsular Vi polysaccharide diberikan intramuskular atau subkutan pada umur
lebih dari 2 tahun, ulangan di lakukan setiap 3 tahun.
Tifoid oral diberikan pada umur lebih dari 6 tahun, dikemas dalam 3 dosis dengan
interval selang sehari (hari 1,3, dan 5). Imunisasi ulangan dilakukan setiap 3-5 tahun.
Vaksin oral pada umumnya diperlukan untuk turis yang akan berkunjung ke daerah
endemis tifoid.
10. Hepatitis A
Gambar 13 : Vaksin Hepatitis A
Vaksin hepatitis A diberikan pada daerah yang kurang terpajan (under exposure).
Jadwal imunisasi
Vaksin hep A diberikan pada umur lebih dari 2 tahun.
Vaksin kombinasi hepB/hepA tidak diberikan pada bayi kurang dari 12 bulan. Maka
vaksin kombinasi diindikasikan pada anak umur lebih dari 12 bulan, terutama untuk
catch-up immunization yaitu mengejar imunisasi hepB sebelumnya atau vaksin hepB
yang tidak lengkap.
Dosis pemberian
Dosis 720 U diberikan dua kali dengan interval 6 bulan, intramuskular di daerah
deltoid. Kombinasi hepB/hepA (berisi hepB 10 mgr dan hepA 720 ) dalam kemasan
prefilled syringe 0,5 ml intramuskular.
11. Varisela
Gambar 14 : Vaksin Varisela
Kesepakatan Satgas Imunisasi IDAI
Efektif vaksin tidak diragukan lagi, namun cakupan imunisasi tinggi oleh karena
harganya masih mahal sehingga belum terjangkau oleh semua lapisan masyarakat,
maka imunisasi rutin belum dapat terlaksana.
Pada cakupan yang rendah, dapat mengubah epidemiologi penyakit dari masa anak ke
dewasa (pubertas), sehingga akibatnya angka kejadian varisela orang dewasa akan
meningkat dibandingkan anak.
Diketahui bahwa dampak penyakit varisela pada orang dewasa lebih berat daripada
anak, apalagi terjadi pada masa kehamilan dapat mengakibatkan bayi menderita
sindrom varisela konginetal dengan angka yang tinggi.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka imunisasi varisela diberikan pada anak
yang lebih besar, namun kurang dari 13 tahun.
Jadwal imunisasi
Untuk menghindarkan perubahan penyakit tersebut, pada saat ini imunisasi varisela
direkomendasikan pada umur 10-12 tahun yang belum terpajan.
Untuk anak yang mengalami kontak dengan pasien varisela, vaksinasi dapat
mencegah apabila diberikan dalam kurun 72 jam setelah kontak.
Dosis
Dosis 0,5 ml, subkutan, satu kali. Untuk umur lebih dari 13 tahun atau dewasa,
diberikan 2 kali dengan jarak 4-8 minggu.
12. Vaksin kombinasi
Gambar 15 : DPaT + Hib Gambar 16 : DPwT + Hib
(Infanrix-Hib ®,Tetract-Hib ®)
Tetract-Hib : kombinasi DPwT+Hib
Infanrix-Hib : kombinasi DPaT+Hib
DPwT/DPaT : dalam vial
Hib dalam PFS (prefilled syringe)
Sebelum disuntikkan, dicampur dengan menyedot DPwT/DPaT ke dalam
Kontra indikasi
Sama dengan komponen masing-masing vaksin.1,20
13. Vaksin Pneumokokus
Gambar 17 : Vaksin Pneumokokus
Mencegah IPD (Invasive Pneumococcus Diseases)
Septikemia / bakteremia
Pneumonia
Meningitis
Mencegah Non IPD :
Otitis media
Sinusitis
Konjugasi antigen dengan protein difteria
T cell dependent à cell memory (+)
kekebalan bertahan lama
Jadwal : 2, 4, 6, 12 -15 bulan.
2.5. JADWAL IMUNISASI TIDAK TERATUR
Pada keadaan tertentu imunisasi tidak dapat dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang
sudah disepakati. Keadaan ini tidak merupakan hambatan untuk melanjutkan imunisasi.
Vaksin yang sudah diterima oleh anak tidak menjadi hilang manfaatnya tetapi tetap sudah
menghasilkan respons imunologi sebagaimana yang diharapkan tetapi belum mempunyai
antibodi yang optimal. Dengan perkataan lain anak belum mempunyai antibodi yang
optimal karena belum mendapat imunisasi lengkap, sehingga kadar antibodi yang
dihasilkan masih dibawah kadar ambang perlindungan untuk kurun waktu yang panjang
(life long immunity) sebagaimana bila imunisasinya lengkap. Dengan demikian kita harus
menyelesaikan jadwal imunisasi dengan melanjutkan imunisasi yang belum selesai.
Tabel 1 : Rekomendasi jadwal untuk vaksinasi yang tidak teratur.
BCG Umur <12 bulan, boleh diberikan kapan saja. Umur >12 bulan,
imunisasi kapan saja namun sebaiknya dilakukan terlebih dahulu
uji tuberkulin apabila negatif berikan BCG dengan dosis 0,1 ml
intrakutan
DTwP
atau
DTaP
Bila dimulai dengan DTwp boleh dilanjutkan dengan DTaP.
Berikan dT pada anak >7 tahun, jangan DTwP atau DTaP apabila
vaksin tersedia. Bila terlambat, jangan mengulang pemberian dari
awal, tetapi lanjutkan dan lengkapi imunisasi seperti jadwal, tidak
peduli berapapun jarak waktu /interval keterlambatan dari
pemberian sebelumnya. Bila belum pernah imunisasi dasar usia
<12 bulan, imunisasi diberikan sesuai imunitas dasar baik jumlah
maupun intervalnya. Bila pemberian ke-4 sebelum ulang tahun ke-
4, maka pemberian ke-5 secepatnya 6 bulan sesudahnya. Bila
pemberian ke-4 setelah umur 4 tahun, maka pemberian ke-5 tidak
perlu lagi
Polio oral Bila terlambat, jangan mengulang pemberian dari awal tetapi
lanjutkan dan lengkapi imunisasi seperti jadwal, tidak perduli
berapapun jarak wawktu/interval keterlambatan dari pemberian
sebelumnya.
Campak Umur antara 9-12 bulan, berikan kapan saja saat bertemu
Umur anak 1 tahun/lebih, berikan MMR
MMR Bila sampai dengan umur 12 bulan belum dapat vaksin campak,
MMR bisa diberikan kapan saja setelah berumur 1 tahun
Hepatitis
B
Bila terlambat, jangan mengulang pemberian dari awal, tetapi
lanjutkan dan lengakapi imunisasi seperti jadwal, tidak peduli
berapapun jarak/interval dan pemberian sebelumnya. Anak dan
remaja yang belum pernah imunisasi hepatitis B pada masa bayi,
bisa mendapatkan serial imunisasi hepatitis B kapan saja saat
berkunjung.
Hib Usia saat ini
(bulan)
6 – 11
12 – 14
12 – 14
15 – 59
Riwayat imunisasi
1 dosis
2 dosis sebelum umur 12
bulan
1 dosis sebelum umur 12
bulan
Jadwal tidak lengkap
Rekomendasi
imunisasi
1x umur 6-11 bulan
Ulangan 1x setelah 2
bulan
Atau 12-15 bulan
Berikan 1 dosis
Berikan 2 dosis
interval 2 bulan
Berikan 1 dosis
2.6. PENYIMPANAN DAN TRANSPORTASI VAKSIN
Secara umum vaksin terdiri dari vaksin hidup dan vaksin mati yang mempunyai
ketahanan dan stabilitas yang berbeda terhadap perbedaan suhu. Syarat-syarat
penyimpanan dan transportasi vaksin harus diperhatikan untuk menjamin potensinya
ketika diberikan kepada seorang anak.
a. Rantai vaksin
Adalah rangkaian proses penyimpanan dan transportasi vaksin dengan menggunakan
berbagai peralatan sesuai prosedur untuk menjamin kualitas vaksin sejak dari pabrik
sampai diberikan kepada pasien. Rantai vaksin terdiri dari proses penyimpanan vaksin di
kamar dingin atau kamar beku, di lemari pendingin, di dalam alat pembawa vaksin,
pentingnya alat-alat untuk mengukur dan mempertahankan suhu. Dampak perubahan
suhu pada vaksin hidup dan mati berbeda. Untuk itu harus diketahui suhu optimum untuk
setiap vaksin sesuai petunjuk penyimpanan dari pabrik masing-masing.
b. Suhu optimum untuk vaksin hidup
Secara umum semua vaksin sebaiknya disimpan pada suhu +2°C sampai dengan
+8ºC, diatas suhu +8ºC vaksin hidup akan cepat mati, vaksin polio hanya bertahan dua
hari, vaksin BCG dan campak yang belum dilarutkan mati dalam tujuh hari. Vaksin hidup
potensinya masih tetap baik pada suhu kurang dari 2ºC sampai dengan beku. Vaksin oral
polio yang belum dibuka lebih bertahan lama (2 tahun) bila disimpan pada suhu -25ºC
sampai dengan -15ºC, namun hanya bertahan enam bulan pada suhu +2°C sampai dengan
+8ºC. Vaksin BCG dan campak berbeda, walaupun disimpan pada suhu -25ºC sampai
dengan -15ºC, umur vaksin tidak lebih lama dari suhu +2°C sampai dengan +8ºC, yaitu
BCG tetap satu tahun dan campak tetap dua tahun. Oleh karena itu vaksin BCG dan
campak yang belum dilarutkan tidak perlu disimpan di suhu -25ºC sampai dengan -15ºC
atau didalam freezer.
c. Suhu optimum
untuk vaksin mati Vaksin mati (inaktif) sebaiknya disimpan dalam suhu +2°C sampai
dengan +8ºC juga, pada suhu dibawah +2ºC (beku) vaksin mati (inaktif) akan cepat
rusak. Bila beku dalam suhu -0.5ºC vaksin hepatitis B dan DPT-Hepatitis B (kombo)
akan rusak dalam ½ jam, tetapi dalam suhu diatas 8ºC vaksin hepatitis B bias bertahan
sampai tiga puluh hari, DPT-hepatitis B kombinasi sampai empat belas hari. Dibekukan
dalam suhu -5ºC sampai dengan -10ºC vaksin DPT, DT dan TT akan rusak dalam 1,5
sampai dengan dua jam, tetapi bisa bertahan sampai empat belas hari dalam suhu di atas
8ºC.
d. Kamar dingin dan kamar beku
Kamar dingin (cold room) dan kamar beku (freeze room) umumya berada dipabrik,
distributor pusat, Dinas Kesehatan Provinsi, berupa ruang yang besar dengan kapasitas 5-
100 m³, untuk menyimpan vaksin dalam jumlah yang besar. Suhu dingin berkisar +2°C
sampai dengan +8ºC, terutama untuk menyimpan vaksin-vaksin yang tidak boleh beku.
Suhu kamar beku berkisar antara -25ºC sampai dengan -15ºC, untuk menyimpan vaksin
yang boleh beku, terutama vaksin polio. Kamar dingin dan kamar beku harus beroperasi
terus menerus, menggunakan dua alat pendingin yang bekerja bergantian. Aliran listrik
tidak boleh terputus sehingga harus dihubungkan dengan pembangkit listrik yang secara
otomatis akan berfungsi bila listrik mati. Suhu ruangan harus dikontrol setiap hari dari
data suhu yang tercatat secara otomatis. Pintu tidak boleh sering dibuka tutup.
Gambar 18 : Cold Room and Freezer Room
e. Lemari es dan freezer
Setiap lemari es sebaiknya mempunyai satu stop kontak tersendiri. Jarak lemari es
dengan dinding belakang 10-15 cm, kanan kiri 15 cm, sirkulasi udara harus baik. Lemari
es tidak boleh terkena sinar matahari langsung. Suhu didalam lemari es harus berkisar
+2°C sampai dengan +8ºC, digunakan untuk menyimpan vaksin-vaksin hidup maupun
mati, dan untuk membuat cool pack (kotak dingin cair). Sedangkan suhu di dalam freezer
berkisar antara -25ºC sampai dengan -15ºC, khusus untuk menyimpan vaksin polio dan
pembuatan cold pack (kotak es beku). Termostat di dalam lemari es harus diatur
sedemikian rupa sehingga suhunya berkisar antara +2 sampai dengan +8ºC dan suhu
freezer berkisar -15ºC sampai dengan -25ºC. Di dalam lemari es lebih baik bila
dilengkapi freeze watch atau freeze tag pada rak ke-3, untuk memantau apakah suhunya
pernah mencapai di bawah 0 derajat. Sebaiknya pintu lemari es hanya dibuka dua kali
sehari, yaitu ketika mengambil vaksin dan mengmbalikan sisa vaksin, sambil mencatat
suhu lemari es.
Lemari es dengan pintu membuka ke atas lebih dianjurkan untuk penyimpanan
vaksin. Karet-karet pintu harus diperiksa kerapatannya, untuk menghindari keluarnya
udara dingin. Bila pada dinding lemari es telah terdapat bunga es, atau di freezer telah
mencapai tebal 2-3 cm harus segera dilakukan pencairan (defrost). Sebelum melakukan
pencairan, pindahkan vaksin ke cool box atau lemari es yang lain. Cabut kontak listrik
lemari es, biarkan pintu lemari es dan freezer terbuka selama 24 jam, kemudian
dibersihkan. Setelah bersih, pasang kembali kontak listerik, tunggu sampai suhu stabil.
Setelah suhu lemari sedikitnya mencapai +8ºC dan suhu freezer-15ºC, masukkan vaksin
sesuai tempatnya.
Gambar 19 : Lemari Es
f. Susunan vaksin di dalam lemari es
Karena vaksin hidup dan vaksin inaktif mempunyai daya tahan berbeda terhadap suhu
dingin, maka kita harus mengenali bagian yang paling dingin dari lemari es. Letakkan
vaksin hidup dekat dengan bagian yang paling dingin, sedangkan vaksin mati jauh dari
bagian yang paling dingin. Di antara kotak-kotak vaksin beri jarak selebar jari tangan
(sekitar 2 cm) agar udara dingin bias menyebar merata ke semua kotak vaksin.
Bagian paling bawah tidak untuk menyimpan vaksin tetapi khusus untuk meletakkan
cool pack, untuk mempertahankan suhu bila listerik mati. Pelarut vaksin jangan disimpan
di dalam lemari es atau freezer, karena akan mengurangi ruang untuk vaksin, dan akan
pecah bila beku. Penetes (dropper) vaksin polio juga tidak boleh di letakkan di lemari es
atau freezer karena akan menjadi rapuh, mudah pecah. Tidak boleh menyimpan makanan,
minuman, obat-obatan atau benda-benda lain di dalam lemari es vaksin, karena
mengganggu stabilitas suhu karena sering di buka.
Gambar 20 : Susunan Vaksin
g. Lemari es dengan pintu membuka ke depan
Bagian yang paling dingin lemari es ini adalah di bagian paling atas (freezer). Di
dalam freezer disimpan cold pack, sedangkan rak tepat di bawah freezer untuk
meletakkan vaksin-vaksin hidup, karena tidak mati pada suhu rendah. Rak yang lebih
jauh dari freezer (rak ke 2 dan 3) untuk meletakkan vaksin-vaksin mati (inaktif), agar
tidak terlalu dekat freezer, untuk menghindari rusak karena beku. Thermometer Dial atau
Muller diletakkan pada rak ke-2, freeze watch atau freeze tag pada rak ke 3.
Gambar 21 : Lemari Es dengan pintu membuka di depan
h. Lemari es dengan pintu membuka ke atas
Bagian yang paling dingin dalam lemari es ini adalah bagian tengah (evaporator)
yang membujur dari depan ke belakang. Oleh karena itu vaksin hidup diletakkan di
kanan-kiri bagian yang paling dingin (evaporator). Vaksin mati diletakkan dipinggir,
jauh dari evaporator. Beri jarak antara kotak-kotak vaksin selebar jari tangan (sekitar 2
cm). Letakkan termometer Dial atau Muller atau freeze watch/freeze tag dekat vaksin
mati.
Gambar 22 : Lemari Es dengan pintu membuka ke atas
i. Wadah pembawa vaksin
Untuk membawa vaksin dalam jumlah sedikit dan jarak tidak terlalu jauh dapat
menggunakan cold box (kotak dingin) atau vaccine carrier (termos). Cold box berukuran
lebih besar, dengan ukuran 40-70 liter, dengan penyekat suhu dari poliuretan, selain
untuk transportasi dapat pula untuk menyimpan vaksin sementara. Untuk
mempertahankan suhu vaksin di dalam kotak dingin atau termos dimasukkan cold pack
atau cool pack.
Gambar 23 : Wadah pembawa vaksin
j. Cold pack dan cool pack
Cold pack berisi air yang dibekukan dalam suhu -15ºC sampai dengan -25ºC selama
24 jam, biasanya di dalam wadah plastik berwarna putih. Cool pack berisi air dingin
(tidak beku)yang didinginkan dalam suhu +2°C sampai dengan +8ºC selama 24 jam,
biasanya di dalam wadah plastik berwarna merah atau biru. Cold pack (beku) dimasukkan
ke dalam termos untuk mempertahankan suhu vaksin ketika membawa vaksin hidup
sedangkan cool pack (cair) untuk membawa vaksin hidup dan vaksin mati (inaktif).
Gambar 24 : Cold Pack and Cool Pack
k. Menilai kualitas vaksin
Vaksin hidup akan mati pada suhu di atas batas tertentu, dan vaksin mati akan rusak
di bawah suhu tertentu.
1. Kualitas rantai vaksin dan tanggal kadaluwarsa
Untuk mempertahankan kualitas vaksin maka penyimpanan dan transportasi vaksin
harus memenuhi syarat rantai vaksin yang baik, antara lain : disimpan di dalam lemari es
atau freezer dalam suhu tertentu, transportasi vaksin di dalam kotak dingin atau termos
yang tertutup rapat, tidak terendam air, terlindung dari sinar matahari langsung, belum
melewati tanggal kadaluarsa, indikator suhu berupa VVM (vaccine vial monitor) atau
freeze watch/tag belum melampaui batas suhu tertentu.
2. VVM (vaccine vial monitor)
Untuk menilai apakah vaksin sudah pernah terpapar suhu di atas batas yang
dibolehkan, dengan membandingkan warna kotak segi empat dengan warna lingkaran di
sekitarnya. Bila warna kotak segi empat lebih muda daripada lingkaran dan sekitarnya
(disebut kondisi VVM A atau B) maka vaksin belum terpapar suhu di atas batas yang
diperkenankan. Vaksin dengan kondisi VVM B harus segera dipergunakan. Bila warna
kotak segi empat sama atau lebih gelap daripada lingkaran dan sekitarnya (disebut
kondisi VVM C atau D) maka vaksin sudah terpapar suhu di atas batas yang
diperkenankan, tidak boleh diberikan pada pasien.
Gambar 25 : Vaksin Vial Monitor
3. Freeze watch dan freeze tag
Alat ini untuk mengetahui apakah vaksin pernah terpapar suhu dibawah 0°C. Bila
dalam freeze watch terdapat warna biru yang melebar ke sekitarnya atau dalam freeze tag
ada tanda silang (X), bearti vaksin pernah terpapar suhu di bawah 0°C yang dapat
merusak vaksin mati. Vaksin-vaksin tersebut tidak boleh diberikan kepada pasien.
Gambar 26 : Freeze watch and freeze Tag
4. Warna dan kejernihan vaksin
Warna dan kejernihan beberapa vaksin dapat menjadi indikator praktis untuk menilai
stabilitas vaksin. Vaksin polio harus berwarna kuning oranye. Bila warnanya berubah
menjadi pucat atau kemerahan berarti pHnya telah berubah, sehingga tidak stabil dan
tidak boleh diberikan kepada pasien.
Vaksin toksoid, rekombinan dan polisakarida umumnya berwarna putih jernih sedikit
berkabut. Bila menggumpal atau banyak endapan berarti sudah pernah beku, tidak boleh
digunakan karena sudah rusak. Untuk meyakinkan dapat dilakukan uji kocok seperti
dibawah ini. Bila vaksin setelah dikocok tetap menggumpal atau mengendap maka vaksin
tidak boleh digunakan karena sudah rusak.
5. Pemilihan vaksin
Vaksin yang harus segera dipergunakan adalah : vaksin yang belum dibuka tetapi
telah dibawa ke lapangan, sisa vaksin telah dibuka (dipergunakan), vaksin dengan VVM
B, vaksin dengan tanggal kadaluarsa sudah dekat (EEFO = Early Expire First Out),
vaksin yang sudah lama tersimpan dikeluarkan segera (FIFO = First In First Out).