58
59 BAB IV FORMULASI MODEL OPTIMASI PRODUKSI AGRO ECO- INDUSTRIAL PARK Bab IV berisi tentang formulasi model optimasi (pembentukan formula matematis untuk persoalan optimasi) jumlah produksi Agro Eco-Industrial Park (AEIP) berbasis industri tahu. Formulasi model terdiri dari pemilihan model optimasi, batasan dan asumsi, penentuan variabel keputusan, perumusan fungsi kendala, perumusan fungsi tujuan, perhitungan parameter, formula model optimasi Goal Programming, uji verifikasi dan karakteristik model. 1.1 Pemilihan Model Optimasi Fungsi model dalam penelitian ini adalah untuk menggambarkan konsep Agro Eco-Industrial Park (AEIP) dan mengoptimalkan interaksi pertukaran material (baik produk maupun non-produk) di antara anggotanya yang terdiri dari industri tahu sebagai industri basis, serta usaha ternak sapi, usaha budidaya kedelai, usaha pengolahan pupuk organik, dan biodigester sebagai unit-unit pendukung. Model optimasi dipilih untuk mendapatkan jumlah produksi masing-masing agroindustri yang seimbang dan memberikan hasil kinerja optimal. Keseimbangan jumlah produksi ditunjukkan dengan sisa pertukaran material yang minimal. Oleh karena itu, model optimasi yang dipilih adalah model optimasi yang mampu meminimalkan sisa pertukaran material antar agroindustri. Terdapat delapan jenis pertukaran material dalam sistem AEIP berbasis industri tahu yang diteliti dalam kasus ini: (1) pertukaran kedelai antara usaha budidaya

BAB IV FORMULASI MODEL OPTIMASI PRODUKSI AGRO …media.unpad.ac.id/thesis/240120/2017/240120170001_4_8571.pdf · optimasi dipilih untuk mendapatkan jumlah produksi masing-masing agroindustri

Embed Size (px)

Citation preview

59

BAB IV

FORMULASI MODEL OPTIMASI PRODUKSI AGRO ECO-

INDUSTRIAL PARK

Bab IV berisi tentang formulasi model optimasi (pembentukan formula

matematis untuk persoalan optimasi) jumlah produksi Agro Eco-Industrial Park

(AEIP) berbasis industri tahu. Formulasi model terdiri dari pemilihan model

optimasi, batasan dan asumsi, penentuan variabel keputusan, perumusan fungsi

kendala, perumusan fungsi tujuan, perhitungan parameter, formula model optimasi

Goal Programming, uji verifikasi dan karakteristik model.

1.1 Pemilihan Model Optimasi

Fungsi model dalam penelitian ini adalah untuk menggambarkan konsep Agro

Eco-Industrial Park (AEIP) dan mengoptimalkan interaksi pertukaran material

(baik produk maupun non-produk) di antara anggotanya yang terdiri dari industri

tahu sebagai industri basis, serta usaha ternak sapi, usaha budidaya kedelai, usaha

pengolahan pupuk organik, dan biodigester sebagai unit-unit pendukung. Model

optimasi dipilih untuk mendapatkan jumlah produksi masing-masing agroindustri

yang seimbang dan memberikan hasil kinerja optimal. Keseimbangan jumlah

produksi ditunjukkan dengan sisa pertukaran material yang minimal. Oleh karena

itu, model optimasi yang dipilih adalah model optimasi yang mampu

meminimalkan sisa pertukaran material antar agroindustri.

Terdapat delapan jenis pertukaran material dalam sistem AEIP berbasis industri

tahu yang diteliti dalam kasus ini: (1) pertukaran kedelai antara usaha budidaya

60

kedelai dan agroindustri tahu; (2) pertukaran biogas antara unit biodigester dengan

industri tahu; (3) pertukaran jerami antara usaha budidaya kedelai dan usaha ternak

sapi; (4) pertukaran ampas tahu antara agroindustri tahu dan usaha ternak sapi; (5)

pertukaran pupuk organik antara usaha pembuatan pupuk organik dan usaha

budidaya kedelai; (6) pertukaran kotoran sapi antara usaha ternak sapi dan unit

pengolahan pupuk; (7) pertukaran limbah cair antara industri tahu, usaha ternak

sapi dan unit biodigester; serta (8) pertukaran air antara unit biodigester, usaha

ternak sapi dan usaha budidaya kedelai. Pertukaran material antar agroindustri

masih dapat menghasilkan sisa limbah yang tidak terolah. Oleh karena itu, optimasi

pertukaran material dilakukan dengan meminimasi sisa dari setiap jenis pertukaran

material. Dengan kata lain, terdapat delapan tujuan dalam optimasi sistem AEIP

berbasis agroindustri tahu dan ternak sapi, yaitu: (1) meminimasi sisa pertukaran

kedelai; (2) meminimasi sisa pertukaran ampas tahu; (3) meminimasi sisa

pertukaran jerami; (4) meminimasi sisa pertukaran pupuk organik; (5) meminimasi

sisa pertukaran kotoran sapi; (6) meminimasi sisa pertukaran limbah cair; (7)

meminimasi sisa pertukaran air; dan (8) meminimasi sisa pertukaran biogas.

Berdasarkan alasan di atas, maka model optimasi Goal Programming dipilih

untuk memodelkan konsep AEIP berbasis agroindustri tahu beserta pertukaran

material antar anggotanya. Model optimasi Goal Programming memiliki kekhasan

dibanding model optimasi lainnya, yaitu mengakomodasi beberapa tujuan

sekaligus, baik maksimasi, minimasi, atau pemenuhan nilai target tertentu.

Kekhasan model optimasi Goal Programming tersebut sesuai dengan tujuan

61

pemodelan AEIP berbasis agroindustri tahu, yaitu meminimasi sisa dari berbagai

pertukaran material antar agroindustri.

1.2 Batasan dan Asumsi

Batasan dan asumsi digunakan untuk menyederhanakan sistem, mempermudah

pembuatan model serta memfokuskan pandangan pada tujuan penelitian. Pada

penelitian ini, formulasi model dibatasi pada hal-hal sebagai berikut:

1) Model menggunakan metode non-preemptive Goal Programming, yaitu

metode Goal Programming yang tidak mempertimbangkan urutan prioritas

maupun bobot;

2) Model hanya memasukkan lima jenis agroindustri dan lima variabel

keputusan yang mewakili jumlah produksi dari masing-masing

agroindustri;

3) Model hanya mempertimbangkan pertukaran material, air dan energi sesuai

konsep AEIP yang dibuat, yaitu pertukaran kedelai, ampas tahu, jerami,

kotoran sapi, pupuk organik, limbah cair tahu, limbah cair ternak sapi,

limbah cair biodigester, dan biogas;

4) Model hanya mempertimbangkan batasan ketersediaan sumber daya air,

sumber daya lahan dan jumlah permintaan produk industri basis;

5) Model hanya memasukkan parameter kebutuhan lahan untuk usaha tani

kedelai;

6) Lahan budidaya kedelai hanya menggunakan lahan sawah, baik irigasi

maupun non-irigasi;

62

7) Model hanya memasukkan parameter kebutuhan air pada usaha ternak sapi,

usaha tani kedelai dan biodigester;

8) Nilai parameter hanya berlaku pada rentang waktu dan lokasi penelitian.

Terdapat dua hal yang diasumsikan dalam model ini, yaitu kondisi dan nilai. Pada

penelitian ini, asumsi digunakan untuk beberapa kondisi yang menjadi syarat model

optimasi Goal Programming dan beberapa nilai yang sulit diukur atau dihitung.

Asumsi-asumsi yang digunakan dalam model optimasi ini adalah sebagai berikut:

1) Variabel keputusan dan parameter yang diteliti bersifat linier;

2) Kedelai yang dihasilkan dapat diterima dan digunakan untuk produksi tahu;

3) Jerami kedelai dapat diterima dan digunakan sebagai pakan ternak sapi;

4) Output ampas tahu dari produksi tahu menggunakan kedelai impor sama

dengan output ampas tahu dari produksi tahu menggunakan kedelai lokal;

5) Output kotoran sapi sama untuk setiap ekor sapi;

6) Produksi biogas dari limbah cair tahu sama dengan produksi biogasi dari

limbah cair ternak sapi;

7) Kelebihan ampas tahu, pupuk organik, dan biogas dapat dijual;

8) Kekurangan material dapat dipenuhi dari luar sistem;

9) Nilai parameter tidak berubah/sama dengan pada saat penelitian

(pengambilan data);

10) Harga-harga tidak berubah/sama dengan pada saat penelitian (pengambilan

data);

11) Seluruh tujuan (goal) memperoleh prioritas dan bobot yang sama;

63

12) Pengembangan dan peningkatan kapasitas agroindustri dimungkinkan

sampai batas ketersediaan sumber daya yang dipertimbangkan.

Asumsi lain yang terkait dengan nilai parameter akan dicantumkan dalam

pembahasan yang terkait.

1.3 Penentuan Variabel Keputusan

Variabel keputusan adalah faktor terkendali yang berpengaruh terhadap hasil

yang ingin dicapai dalam pengambilan keputusan. Dalam hal optimasi jumlah

produksi AEIP berbasis agroindustri tahu, hasil yang diinginkan adalah

meningkatnya kinerja sistem melalui pertukaran material yang optimal (atau

dengan kata lain menghasilkan sisa pertukaran material seminimal mungkin).

Pertukaran material yang optimal dapat dicapai melalui penyeimbangan jumlah

produksi masing-masing agroindustri. Oleh karena itu, variabel keputusan yang

dipilih dalam persoalan optimasi ini adalah jumlah produksi masing-masing

agroindustri yang menghasilkan sisa pertukaran material yang minimal. Variabel

jumlah produksi masing-masing agroindustri disimbolkan dengan (xi), dengan

i=1,2,3,4,5 adalah jenis produk dari masing-masing agroindustri,

𝑥1= jumlah produksi tahu (baki/hari);

𝑥2= jumlah produksi ternak sapi (ekor);

𝑥3= jumlah produksi kedelai (kg/hari);

𝑥4= jumlah produksi pupuk organik (kg/hari); dan

𝑥5= jumlah produksi biogas (m³/hari).

64

1.4 Perumusan Fungsi Kendala

Struktur model Goal Programming memiliki dua jenis fungsi kendala, yaitu

fungsi kendala terkait sasaran dan fungsi kendala fungsional. Fungsi kendala terkait

sasaran dimaksudkan untuk mengakomodasi tujuan-tujuan yang ingin dicapai dari

persoalan optimasi. Sedangkan fungsi kendala fungsional dimaksudkan untuk

mengakomodasi persyaratan fungsional sistem (misalnya ketersediaan sumber

daya, kapasitas minimal produksi, dan lainnya). Selain itu, terdapat pula batasan

nilai variabel, yaitu seluruh variabel keputusan maupun variabel deviasional harus

bernilai non-negatif.

Dalam persoalan optimasi jumlah produksi AEIP berbasis agroindustri tahu,

tujuan yang ingin dicapai adalah meminimasi sisa pertukaran material, yaitu:

kedelai, ampas tahu, jerami, pupuk organik, kotoran sapi, limbah cair, air terolah

(treated water), dan biogas. Oleh karena itu, terdapat delapan fungsi kendala terkait

sasaran minimasi sisa pertukaran material dalam struktur model yang dibangun.

Penentuan jumlah produksi agroindustri dalam AEIP juga perlu

mempertimbangkan ketersediaan sumber daya air, lahan dan permintaan yang ada.

Oleh karena itu, model optimasi AEIP berbasis agroindustri tahu sapi memasukkan

fungsi kendala ketersediaan air, ketersediaan lahan, dan pemenuhan permintaan.

1.4.1 Fungsi Kendala terkait Sasaran Minimasi Sisa Pertukaran Kedelai

Pertukaran kedelai melibatkan usaha budidaya kedelai yang memproduksi

kedelai dan agroindustri tahu yang menggunakan bahan baku kedelai. Jumlah

produksi kedelai (x3) diupayakan sama dengan jumlah penggunaan kedelai dalam

produksi tahu (b13x1) agar tidak terjadi sisa atau kekurangan dalam pertukaran

65

kedelai. Penyimpangan negatif (jumlah kekurangan) maupun penyimpangan positif

(jumlah kelebihan/sisa) dalam pertukaran kedelai masih dimungkinkan dengan

dimunculkannya variabel deviasional (𝑑1−) dan (𝑑1

+) yang akan diminimasi dalam

fungsi tujuan. Sehingga, fungsi kendala sasaran minimasi sisa pertukaran kedelai

dirumuskan sebagai berikut:

𝑥3 + 𝑑1− − 𝑑1

+ = 𝑏13𝑥1 ... [31]

atau −𝑏13𝑥1 + 𝑥3 + 𝑑1− − 𝑑1

+ = 0 ... [32]

dengan

𝑥1 = jumlah produksi tahu (baki);

𝑏13 = kebutuhan kedelai per unit tahu (kg/kg/hari);

𝑥3 = jumlah produksi kedelai (kg);

𝑑1− = penyimpangan negatif (jumlah kekurangan material) dalam pertukaran

kedelai;

𝑑1+ = penyimpangan positif (jumlah kelebihan/sisa material) dalam pertukaran

kedelai.

1.4.2 Fungsi Kendala terkait Sasaran Minimasi Sisa Pertukaran Jerami

Pertukaran jerami melibatkan usaha budidaya kedelai yang menghasilkan jerami

kedelai dan usaha ternak sapi yang menggunakan jerami sebagai pakan hijauan

untuk ternak sapi. Jumlah output jerami dari usaha budidaya kedelai (m32x3)

diupayakan sama dengan penggunaan jerami oleh usaha ternak sapi (b23x2) agar

tidak terjadi sisa atau kekurangan dalam pertukaran jerami. Penyimpangan negatif

(jumlah kekurangan) maupun penyimpangan positif (jumlah kelebihan/sisa) dalam

pertukaran jerami masih dimungkinkan dengan dimunculkannya variabel

66

deviasional (𝑑2−) dan (𝑑2

+) yang akan diminimasi dalam fungsi tujuan. Sehingga,

fungsi kendala sasaran minimasi sisa pertukaran jerami dirumuskan sebagai

berikut:

𝑚32𝑥3 + 𝑑2− − 𝑑2

+ = 𝑏23𝑥2 ... [33]

atau −𝑏23𝑥2 +𝑚32𝑥3 + 𝑑2− − 𝑑2

+ = 0 ... [34]

dengan

𝑏23 = kebutuhan jerami per unit ternak sapi (kg/ekor/hari);

𝑥2 = jumlah ternak sapi (ekor);

𝑚32 = output jerami per unit kedelai (kg/kg/hari);

𝑥3 = jumlah produksi kedelai (kg);

𝑑2− = penyimpangan negatif (jumlah kekurangan material) dalam pertukaran

jerami;

𝑑2+ = penyimpangan positif (jumlah kelebihan/sisa material) dalam pertukaran

jerami.

1.4.3 Fungsi Kendala terkait Sasaran Minimasi Sisa Pertukaran Ampas Tahu

Pertukaran ampas tahu melibatkan agroindustri tahu yang menghasilkan ampas

tahu dan usaha ternak sapi yang menggunakan ampas tahu sebagai pakan sapi.

Jumlah keluaran ampas tahu dari industri tahu (m12x1) dimanfaatkan semaksimal

sama dengan penggunaan ampas tahu oleh usaha ternak sapi (b21x2) agar tidak

terjadi sisa atau kekurangan dalam pertukaran ampas tahu. Penyimpangan negatif

(jumlah kekurangan) maupun penyimpangan positif (jumlah kelebihan/sisa) dalam

pertukaran ampas tahu masih dimungkinkan dengan dimunculkannya variabel

deviasional (𝑑3−) dan (𝑑3

+) yang akan diminimasi dalam fungsi tujuan. Sehingga,

67

fungsi kendala sasaran minimasi sisa pertukaran ampas tahu dirumuskan sebagai

berikut:

𝑚12𝑥1 + 𝑑3− − 𝑑3

+ = 𝑏21𝑥2 ... [35]

atau 𝑚12𝑥1 − 𝑏21𝑥2 + 𝑑3− − 𝑑3

+ = 0 ... [36]

dengan

𝑚12 = keluaran ampas tahu per unit tahu (kg/kg/hari);

𝑥1 = jumlah produksi tahu (kg);

𝑏21 = kebutuhan ampas tahu per unit ternak sapi (kg/kg/hari);

𝑥2 = jumlah ternak sapi (ekor);

𝑑3− = penyimpangan negatif (jumlah kekurangan material) dalam pertukaran

ampas tahu;

𝑑3+ = penyimpangan positif (jumlah kelebihan/sisa material) dalam pertukaran

ampas tahu.

1.4.4 Fungsi Kendala terkait Sasaran Minimasi Sisa Pertukaran Pupuk

Organik

Pertukaran pupuk organik melibatkan usaha pembuatan pupuk organik yang

memproduksi pupuk organik dan usaha budidaya kedelai yang menggunakan

pupuk organik. Jumlah produksi pupuk organik (x4) diupayakan sama dengan

penggunaan pupuk organik oleh usaha budidaya kedelai (b34x3) agar tidak terjadi

sisa atau kekurangan dalam pertukaran pupuk organik. Penyimpangan negatif

(jumlah kekurangan) maupun penyimpangan positif (jumlah kelebihan/sisa) dalam

pertukaran pupuk organik masih dimungkinkan dengan dimunculkannya variabel

deviasional (𝑑4−) dan (𝑑4

+) yang akan diminimasi dalam fungsi tujuan. Sehingga,

68

fungsi kendala sasaran minimasi sisa pertukaran pupuk organik dirumuskan sebagai

berikut:

𝑥4 + 𝑑4− − 𝑑4

+ = 𝑏34𝑥3 ... [37]

atau −𝑏34𝑥3 + 𝑥4 + 𝑑4− − 𝑑4

+ = 0 ... [38]

dengan

𝑥4 = jumlah produksi pupuk organik (kg);

𝑏34 = kebutuhan pupuk organik per unit kedelai (kg/kg/hari);

𝑥3 = jumlah produksi kedelai (kg);

𝑑4− = penyimpangan negatif (jumlah kekurangan material) dalam pertukaran

pupuk organik;

𝑑4+ = penyimpangan positif (jumlah kelebihan/sisa material) dalam pertukaran

pupuk organik.

1.4.5 Fungsi Kendala terkait Sasaran Minimasi Sisa Pertukaran Kotoran Sapi

Pertukaran kotoran sapi melibatkan usaha ternak sapi yang menghasilkan

kotoran sapi dan usaha pembuatan pupuk organik yang mengolah kotoran sapi

menjadi pupuk organik. Jumlah output kotoran sapi dari usaha ternak sapi (m24x2)

diupayakan sama dengan penggunaan kotoran sapi oleh usaha pembuatan pupuk

organik (b42x4) agar tidak terjadi sisa atau kekurangan dalam pertukaran kotoran

sapi. Penyimpangan negatif (jumlah kekurangan) maupun penyimpangan positif

(jumlah kelebihan/sisa) dalam pertukaran kotoran sapi masih dimungkinkan dengan

dimunculkannya variabel deviasional (𝑑6−) dan (𝑑6

+) yang akan diminimasi dalam

fungsi tujuan. Sehingga, fungsi kendala sasaran minimasi sisa pertukaran kotoran

sapi dirumuskan sebagai berikut:

69

𝑚24𝑥2 + 𝑑5− − 𝑑5

+ = 𝑏42𝑥4 ... [39]

atau 𝑚24𝑥2 − 𝑏42𝑥4 + 𝑑5− − 𝑑5

+ = 0 ... [40]

dengan

𝑚24 = output kotoran sapi per unit ternak sapi (kg/ekor/hari);

𝑥2 = jumlah ternak sapi (ekor);

𝑏42 = kebutuhan kotoran sapi per unit pupuk organik (kg/kg/hari);

𝑥4 = jumlah produksi pupuk organik (kg);

𝑑5− = penyimpangan negatif (jumlah kekurangan material) dalam pertukaran

kotoran sapi;

𝑑5+ = penyimpangan positif (jumlah kelebihan/sisa material) dalam pertukaran

kotoran sapi.

1.4.6 Fungsi Kendala terkait Sasaran Minimasi Sisa Pertukaran Limbah Cair

Pertukaran limbah cair melibatkan industri tahu dan usaha ternak sapi yang

memproduksi limbah cair dengan unit biodigester yang memanfaatkan limbah cair

untuk membuat biogas. Jumlah output limbah cair dari industri tahu (w1x1) dan

limbah cair dari usaha ternak sapi (w2x2) diupayakan sama dengan kebutuhan

limbah cair oleh unit biodigester (a5x5) agar tidak terjadi sisa atau kekurangan

dalam pertukaran limbah cair. Penyimpangan positif (jumlah kelebihan/sisa) dan

penyimpangan negatif (jumlah kekurangan) dalam pertukaran limbah cair masih

dimungkinkan dengan dimunculkannya variabel deviasional (𝑑6+) dan (𝑑6

−) yang

akan diminimasi dalam fungsi tujuan. Sehingga, fungsi kendala sasaran minimasi

sisa pertukaran limbah cair dirumuskan sebagai berikut:

𝑤1𝑥1 + 𝑤2𝑥2 + 𝑑6− − 𝑑6

+ = 𝑎5𝑥5 ... [41]

70

atau 𝑤1𝑥1 + 𝑤2𝑥2 − 𝑎5𝑥5 + 𝑑6− − 𝑑6

+ = 0 ... [42]

dengan

𝑤1 = output limbah cair per unit tahu (liter/baki/hari);

𝑥1 = jumlah produksi tahu (baki);

𝑤2 = output limbah cair ternak sapi per unit ternak (liter/ekor/hari);

𝑥2 = jumlah produksi ternak sapi (ekor);

𝑎5 = kebutuhan limbah cair per unit biogas (liter/m3/hari);

𝑥5 = jumlah produksi biogas (m3);

𝑑6− = penyimpangan negatif (jumlah kekurangan) dalam pertukaran limbah cair;

𝑑6+ = penyimpangan positif (jumlah kelebihan/sisa) dalam pertukaran limbah

cair.

1.4.7 Fungsi Kendala terkait Ketersediaan Air

Unit biodigester menghasilkan air limbah terolah (treated water) yang dapat

dimanfaatkan untuk pembersihan kandang ternak sapi dan irigasi tanaman kedelai.

Kebutuhan air untuk pembersihan ternak sapi (a2x2) dan kebutuhan air irigasi

tanaman kedelai (a3x3) diharapkan tidak melebihi jumlah air limbah terolah dari

biodigester (w5x5) dan air irigasi yang tersedia pada satu musim tanam.

Penyimpangan positif (jumlah kelebihan/sisa) maupun penyimpangan negatif

(jumlah kekurangan) masih dimungkinkan dalam pertukaran air dengan

dimunculkannya variabel deviasional (𝑑7+) dan (𝑑7

−) yang akan diminimasi dalam

fungsi tujuan. Fungsi kendala sasaran ketersediaan air dirumuskan sebagai berikut:

𝑤5𝑥5 + 𝐴 + 𝑑7− − 𝑑7

+ = 𝑎2𝑥2 + 𝑎3𝑥3 ... [43]

atau −𝑎2𝑥2 − 𝑎3𝑥3 +𝑤5𝑥5 + 𝑑7− − 𝑑7

+ = −𝐴 ... [44]

71

dengan

𝑎2 = kebutuhan air untuk pembersihan per unit ternak sapi (liter/ekor/hari);

𝑥2 = jumlah produksi ternak sapi (ekor);

𝑎3 = kebutuhan air irigasi per unit kedelai (liter/kg/hari);

𝑥3 = jumlah produksi kedelai (kg);

𝑤5 = output air limbah terolah per unit biogas (liter/m3/hari);

𝑥5 = jumlah produksi biogas (m3);

𝑑7− = penyimpangan negatif (jumlah kekurangan) dalam pertukaran air;

𝑑7+ = penyimpangan positif (jumlah kelebihan/sisa) dalam pertukaran air.

𝐴 = jumlah air irigasi yang tersedia.

1.4.8 Fungsi Kendala terkait Sasaran Minimasi Sisa Pertukaran Biogas

Pertukaran biogas melibatkan unit biodigester yang memproduksi biogas

dengan industri tahu yang memanfaatkan biogas untuk produksi tahu. Jumlah

output biogas dari unit biodigester (x5) diupayakan sama dengan kebutuhan biogas

oleh industri tahu (e1x1) agar tidak terjadi sisa atau kekurangan dalam pertukaran

biogas. Penyimpangan positif (jumlah kelebihan/sisa) maupun penyimpangan

negatif (jumlah kekurangan) masih dimungkinkan dalam pertukaran biogas dengan

dimunculkannya variabel deviasional (𝑑8+) dan (𝑑8

−) yang akan diminimasi dalam

fungsi tujuan. Sehingga, fungsi kendala sasaran minimasi sisa pertukaran biogas

dirumuskan sebagai berikut:

𝑥5 + 𝑑8− − 𝑑8

+ = 𝑒1𝑥1 ... [45]

atau −𝑒1𝑥1 + 𝑥5 + 𝑑8− − 𝑑8

+ = 0 ... [46]

dengan

72

𝑒1 = kebutuhan biogas per unit tahu (kg/baki/hari);

𝑥1 = jumlah produksi tahu (baki);

𝑥5 = jumlah produksi biogas (kg);

𝑑8− = penyimpangan negatif (jumlah kekurangan) dalam pertukaran biogas;

𝑑8+ = penyimpangan positif (jumlah kelebihan/sisa) dalam pertukaran biogas.

1.4.9 Fungsi Kendala terkait Ketersediaan Lahan Budidaya

Faktor lahan tidak berpengaruh secara signifikan dan linier terhadap produksi

tahu, ternak sapi, biogas dan pupuk organik, namun berpengaruh signifikan dan

linier terhadap produksi kedelai. Jumlah produksi kedelai ditentukan oleh luas lahan

yang digunakan dan produktivitas tanaman kedelai. Ketersediaan lahan (pertanian)

akan membatasi jumlah produksi kedelai. Artinya penggunaan lahan untuk

budidaya kedelai tidak boleh melebihi luas lahan budidaya yang tersedia di lokasi

usaha budidaya kedelai. Sehingga, fungsi kendala sasaran ketersediaan lahan untuk

usaha budidaya kedelai dirumuskan sebagai berikut:

𝑓3𝑥3 ≤ 𝐹3 ... [47]

dengan

𝑓3 = kebutuhan lahan per unit kedelai (m2/kg);

𝑥3 = jumlah produksi kedelai (kg);

𝐹3 = luas lahan pertanian yang dapat digunakan untuk budidaya kedelai (m2).

1.4.10 Fungsi Kendala terkait Pemenuhan Permintaan

Permintaan tahu sangat ketat sehingga industri tahu sangat berhati-hati dalam

menentukan jumlah produksi tahu. Kelebihan produksi tahu berisiko tahu tidak

73

terjual, sebaliknya kekurangan produksi tahu berisiko kehilangan keuntungan. Oleh

karena itu, jumlah produksi tahu harus sama dengan jumlah permintaan.

Industri tahu juga menjadi industri basis dalam konsep AEIP ini. Artinya

agroindustri lainnya berperan sebagai pendukung dalam memenuhi kebutuhan

industri tahu dan memanfaatkan limbah industri tahu, baik secara langsung maupun

tidak langsung. Pemenuhan permintaan tahu merupakan hal yang paling utama

dalam penentuan kapasitas agroindustri-agroindustri dalam AEIP berbasis industri

tahu. Permintaan ternak sapi, kedelai, pupuk organik dan biogas diasumsikan

mengikuti permintaan tahu. Oleh karena itu, fungsi kendala terkait pemenuhan

permintaan hanya berisi satu fungsi yang menentukan jumlah produksi tahu.

Kondisi tersebut dapat dirumuskan ke dalam persamaan sebagai berikut:

𝑥1 = 𝑞1 ... [48]

dengan

𝑥1 = jumlah produksi tahu (baki);

𝑞1 = permintaan tahu (baki).

1.4.11 Fungsi Kendala terkait Nilai Variabel

Model optimasi Goal Programming mensyaratkan nilai variabel non-negatif.

Sehingga, fungsi kendala terkait nilai variabel non-negatif ditambahkan sebagai

berikut:

𝑥𝑖 , 𝑑𝑘+, 𝑑𝑘

− ≥ 0 ... [49]

dengan

𝑥𝑖 = jumlah produksi industri i (unit);

74

dk- = penyimpangan negatif (kekurangan material) dalam jenis pertukaran

material k;

dk+ = penyimpangan positif (kelebihan/sisa material) dalam jenis pertukaran

material k.

1.5 Perumusan Fungsi Tujuan

Fungsi tujuan berkaitan dengan kendala sasaran. Variabel-variabel

penyimpangan yang terkait dengan tujuan dalam fungsi kendala sasaran diminimasi

dalam fungsi tujuan. Oleh karena itu, perumusan fungsi tujuan harus melihat

kembali pada fungsi-fungsi kendala sasaran yang telah dirumuskan sebelumnya.

Tujuan dari persoalan optimasi jumlah produksi AEIP berbasis industri tahu dan

usaha ternak sapi adalah meminimasi sisa dan/atau kekurangan dari setiap

pertukaran material antar agroindustri. Sisa dan/atau kekurangan dari setiap

pertukaran material antar agroindustri direpresentasikan dengan variabel

deviasional positif (𝑑𝑘+) dan variabel deviasional negatif (𝑑𝑘

−). Oleh karena itu,

fungsi tujuan dalam persoalan optimasi kapasitas produksi AEIP berbasis

agroindustri tahu dan usaha ternak sapi adalah sebagai berikut:

Minimasi 𝑍 = ∑ (𝑑𝑘− + 𝑑𝑘

+)8𝑘=1 ... [50]

dengan

𝑘 = urutan jenis pertukaran material antar agroindustri/agribisnis;

(1=pertukaran kedelai; 2=pertukaran jerami; 3=pertukaran ampas tahu;

4=pertukaran pupuk organik; 5=pertukaran kotoran sapi; 6=pertukaran

limbah cair; 7=pertukaran air; 8=pertukaran biogas);

75

dk- = penyimpangan negatif (kekurangan material) dalam jenis pertukaran

material k;

dk+ = penyimpangan positif (kelebihan/sisa material) dalam jenis pertukaran

material k.

Keseluruhan formulasi model AEIP berbasis industri tahu ditampilkan dalam

Lampiran 1.

1.6 Perhitungan Parameter

Parameter-parameter yang masuk dalam formulasi model optimasi jumlah

produksi AEIP berbasis industri tahu dan usaha ternak sapi meliputi: output

material per unit produk (mij), output limbah cair per unit produk (wrs), kebutuhan

material per unit produk (bij), kebutuhan air per unit produk (aij), kebutuhan energi

per unit produk (egh), kebutuhan lahan per unit produk (fi), serta permintaan

terhadap produk agroindustri basis (qi). Penjelasan mengenai simbol dan variabel

keputusan yang menyertai setiap parameter di atas terdapat dalam Lampiran 1.

1.6.1 Perhitungan Parameter Output Limbah Padat per Unit Produk (mij)

Parameter output limbah padat per unit produk (mij) merupakan jumlah limbah

padat per unit produk yang dihasilkan oleh agroindustri i yang digunakan oleh

agroindustri j sebagai bahan baku melalui pertukaran material. Parameter output

limbah padat per unit produk (mij) digunakan dalam fungsi kendala sasaran

minimasi sisa pertukaran material. Simbol parameter output limbah padat per unit

produk mencantumkan angka yang menunjukkan agroindustri yang menghasilkan

limbah padat dan agroindustri yang menggunakan limbah padat. Misalnya

76

parameter (m12) berarti output limbah padat per unit produk yang dihasilkan

agroindustri 1 (agroindustri tahu) dan digunakan oleh agroindustri 2 (usaha ternak

sapi), atau dengan kata lain output ampas tahu per unit tahu.

Terdapat tiga jenis limbah padat yang dihasilkan yaitu ampas tahu (dihasilkan

oleh agroindustri tahu), kotoran sapi (dihasilkan oleh usaha ternak sapi), dan jerami

kedelai (dihasilkan oleh usaha budidaya kedelai) sehingga terdapat pula tiga

parameter output limbah padat per unit yang mewakili ketiga jenis limbah padat.

Perhitungan parameter output limbah padat per unit produk (mij) dilakukan

dengan membagi jumlah limbah padat yang dihasilkan dengan jumlah produksi

pada suatu proses produksi agroindustri. Misalnya, nilai output limbah ampas tahu

per unit tahu diperoleh dari jumlah output limbah tahu (3.825 kg) dibagi jumlah

produksi tahu (1.260 baki) sehingga diperoleh rata-rata output limbah ampas tahu

per unit tahu sebesar 3,04 kg/baki tahu. Nilai parameter output kotoran sapi per unit

sapi diasumsikan sebesar 70% dari jumlah pakan, sedangkan nilai parameter output

jerami kedelai per unit kedelai diasumsikan sebesar dua kali dari berat kedelai yang

dipanen (Usman, dkk., 2015). Perhitungan parameter output limbah padat per unit

produk (mij) disajikan dalam Lampiran 6. Tabel 10 menyajikan nilai hasil

perhitungan parameter output limbah padat per unit produk.

Tabel 1. Nilai Parameter Output Limbah Padat per Unit Produk (mij)

Parameter Simbol Nilai Satuan

Output Ampas Tahu per Unit Tahu m12 3,04 kg/baki/hr

Output Kotoran Sapi per Unit Sapi m24 14 kg/ekor/hr

Output Jerami Kedelai per Unit Kedelai m32 2 kg/kg/MT (Sumber: Pengolahan Data, 2018)

77

1.6.2 Perhitungan Parameter Output Limbah Cair per Unit Produk (wi)

Parameter kebutuhan limbah cair per unit produk (wi) merupakan jumlah limbah

cair yang dihasilkan per unit produk agroindustri i. Parameter output limbah cair

per unit produk (wi) digunakan dalam fungsi kendala sasaran minimasi sisa

pertukaran limbah cair. Simbol parameter output limbah cair per unit produk (wrs)

mencantumkan angka yang menunjukkan agroindustri (i) yang yang menghasilkan

limbah cair. Misalnya parameter (w1) berarti output limbah cair yang dihasilkan per

unit produk agroindustri 1 (industri tahu), atau dengan kata lain output limbah cair

tahu per baki tahu.

Terdapat tiga jenis limbah yang dihasilkan oleh agroindustri yang dihasilkan

oleh sistem AEIP yaitu limbah cair tahu, limbah cair ternak sapi, dan air limbah

terolah (treated water) dari biodigester. Oleh karena itu, terdapat tiga parameter

output limbah cair per unit yang mewakili ketiga jenis limbah cair tersebut.

Perhitungan parameter kebutuhan limbah cair per unit produk (wi) dilakukan

dengan membagi jumlah limbah cair yang dibutuhkan dengan jumlah produksi pada

satu kali proses produksi di suatu agroindustri. Misalnya, nilai output limbah cair

tahu per unit tahu diperoleh dari jumlah output limbah cair tahu (65.420 liter) dibagi

jumlah produksi tahu (1.260 baki) sehingga diperoleh rata-rata output limbah cair

tahu sebesar 51,92 liter/baki tahu. Nilai output limbah cair ternak sapi dan

biodigester diasumsikan sama dengan jumlah air yang dikonsumsi. Perhitungan

parameter kebutuhan limbah cair per unit produk (wi) disajikan dalam Lampiran 6.

Tabel 11 menyajikan nilai hasil perhitungan parameter output limbah cair per unit

produk.

78

Tabel 2. Perhitungan Parameter Output Limbah Cair per Unit Produk (wi)

Parameter Simbol Nilai Satuan

Output Limbah Cair Tahu per Unit w1 51,92 liter/baki/hr

Output Limbah Cair Ternak Sapi per Unit w2 50 liter/ekor/hr

Output Air Limbah Terolah per Unit w5 71,43 liter/m3/hr (Sumber: Pengolahan Data, 2018)

1.6.3 Perhitungan Parameter Kebutuhan Material per Unit Produk (bji)

Parameter kebutuhan material per unit produk (bji) merupakan jumlah material

yang dibutuhkan suatu agroindustri j dari agroindustri i melalui pertukaran material

untuk memproduksi satu unit produk. Parameter kebutuhan material baku per unit

produk (bji) digunakan dalam fungsi kendala sasaran minimasi sisa pertukaran

material. Simbol parameter kebutuhan material per unit produk (bji) mencantumkan

angka yang menunjukkan agroindustri (j) yang membutuhkan/menggunakan

material dan agroindustri (i) yang menghasilkan material. Misalnya parameter (b21)

berarti kebutuhan material per unit produk agroindustri 2 (usaha ternak sapi) yang

diperoleh dari agroindustri 1 (agroindustri tahu), atau dengan kata lain kebutuhan

ampas tahu per unit ternak sapi.

Terdapat lima jenis material yang dibutuhkan oleh agroindustri yang dipenuhi

dari dalam sistem melalui pertukaran material antar agroindustri anggota AEIP

yaitu kedelai, jerami, ampas tahu, pupuk organik dan kotoran sapi. Oleh karena itu,

terdapat lima parameter kebutuhan material per unit yang mewakili kelima jenis

material tersebut.

Perhitungan parameter kebutuhan material per unit produk (bji) dilakukan

dengan membagi jumlah material baku yang dibutuhkan dengan jumlah produksi

pada satu periode produksi di suatu agroindustri. Misalnya, nilai kebutuhan kedelai

79

per unit tahu diperoleh dari jumlah kebutuhan kedelai untuk satu hari (2.082 kg)

dibagi jumlah produksi tahu dalam satu hari (1.260 baki) sehingga diperoleh rata-

rata kebutuhan kedelai sebesar 1,65 kg/baki tahu. Nilai kebutuhan jerami per unit

ternak sapi diasumsikan sebesar 10,1 kg/ekor/hari (Usman, dkk., 2015), sedangkan

kebutuhan kotoran sapi per unit pupuk organik diasumsikan sebesar 1,38 kg/kg/hari

(Apiat & Dinar, 2016). Perhitungan parameter kebutuhan material per unit produk

(bji) disajikan dalam Lampiran 5. Tabel 12 menyajikan nilai hasil perhitungan

parameter kebutuhan material per unit produk.

Tabel 3. Perhitungan Parameter Kebutuhan Material per Unit Produk (bji)

Parameter Simbol Nilai Satuan

Kebutuhan Kedelai per Unit Tahu b13 1,65 kg/baki/hr

Kebutuhan Ampas Tahu per Unit Ternak Sapi b21 5 kg/ekor/hr

Kebutuhan Jerami per Unit Ternak Sapi b23 10,1 kg/ekor/hr

Kebutuhan Pupuk Organik per Unit Kedelai b34 0,34 kg/kg/MT

Kebutuhan Kotoran Sapi per Unit Pupuk Organik b42 1,38 kg/kg/hr (Sumber: Pengolahan Data, 2018)

1.6.4 Perhitungan Parameter Kebutuhan Air per Unit Produk (ai) dan

Ketersediaan Air (A)

Parameter kebutuhan air per unit produk (ai) merupakan jumlah air yang

dibutuhkan oleh suatu agroindustri i untuk setiap unit produk yang diproduksi.

Sedangkan parameter ketersediaan air agroindustri merupakan jumlah air yang

tersedia yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan agroindustri. Parameter

kebutuhan air (ai) dan ketersediaan air (Ai) digunakan dalam fungsi kendala

ketersediaan air.

Penelitian ini dibatasi pada penggunaan sumber daya air untuk pembersihan

kandang ternak sapi dan irigasi tanaman kedelai. Keduanya menggunakan dua

80

sumber air, yaitu air limbah terolah dari biodigester dan air irigasi. Oleh karena itu,

terdapat dua parameter kebutuhan air per unit, yaitu kebutuhan air per unit ternak

sapi (a2) dan kebutuhan air per unit kedelai (a3), serta satu parameter ketersediaan

air irigasi (A). Ketersediaan air limbah terolah ditentukan dari nilai parameter

output air limbah terolah dari biodigester (w5) dan jumlah produksi biogas (x5)

Nilai parameter kebutuhan air (ai) diperoleh dengan membagi jumlah air yang

digunakan dengan jumlah produk yang dihasilkan oleh agroindustri (lihat Lampiran

5). Misalnya, nilai kebutuhan air per unit kedelai diperoleh dari jumlah kebutuhan

air tanaman kedelai untuk satu musim tanam (1.491.000 liter/ha) dibagi jumlah

produksi kedelai untuk satu musim tanam (1.464 kg/ha) sehingga diperoleh rata-

rata kebutuhan air tanaman kedelai sebesar 8,49 liter/kg kedelai/hari.

Parameter ketersediaan air irigasi (A) diperoleh dengan menghitung kebutuhan

air tanaman pada saat musim ketiga untuk luas panen efektif dengan asumsi bahwa

pada periode tersebut air yang tersedia tepat mencukupi luas panen efektif.

Perhitungan kebutuhan air tanaman pada musim ketiga dapat dilihat pada Lampiran

12. Tabel 13 menyajikan nilai hasil perhitungan parameter kebutuhan air per unit

produk dan ketersediaan air agroindustri.

Tabel 4. Nilai Parameter Kebutuhan Air per Unit Produk (ai) dan

Ketersediaan Air Agroindustri (Ai)

Parameter Simbol Nilai Satuan

Kebutuhan air per unit ternak sapi a2 40 liter/ekor/hr

Kebutuhan air per unit kedelai a3 745,50 liter/kg/hr

Kebutuhan air per unit biogas a5 71,43 liter/m3/hr

Ketersediaan air irigasi A3 422.253,33 liter/hr (Sumber: Pengolahan Data, 2018)

81

1.6.5 Perhitungan Parameter Kebutuhan Energi per Unit Produk (ei)

Parameter kebutuhan energi per unit produk (ei) merupakan jumlah energi yang

dibutuhkan oleh suatu agroindustri i untuk setiap unit produk yang diproduksi.

Parameter kebutuhan energi (ei) digunakan dalam fungsi kendala terkait tujuan

minimasi sisa energi.

Terdapat satu parameter kebutuhan energi per unit, yaitu kebutuhan biogas per

unit tahu (e1). Nilai kebutuhan biogas per unit tahu diperoleh dari jumlah kebutuhan

biogas untuk satu kali proses produksi dibagi jumlah produksi tahu untuk satu kali

proses produksi. Jika 3 kg LPG diasumsikan dapat digunakan untuk dua kali proses

perebusan bubur kedelai, maka kebutuhan energi untuk satu kali proses produksi

adalah 1,5 kg LPG. Menurut Elizabeth & Rusdiana (2011), 1 kg LPG setara dengan

2 m3 biogas. Berdasarkan asumsi tersebut, kebutuhan energi untuk satu kali proses

adalah 3 m3 biogas untuk 5 baki tahu sehingga diperoleh rata-rata kebutuhan biogas

sebesar 0,6 m3/baki tahu.

1.6.6 Perhitungan Parameter Kebutuhan Lahan per Unit Kedelai (f3) dan

Ketersediaan Lahan Budidaya Kedelai (F3)

Parameter kebutuhan lahan per unit kedelai (f3) dan ketersediaan lahan budidaya

kedelai (F3) digunakan dalam fungsi kendala ketersediaan lahan. Jumlah produksi

kedelai dibatasi dengan luas lahan yang dapat digunakan untuk budidaya kedelai.

Nilai parameter kebutuhan lahan per unit kedelai (f3) diperoleh dengan membagi

luas lahan yang digunakan untuk budidaya kedelai dengan jumlah produksi kedelai

yang dihasilkan dalam satu musim tanam, sedangkan parameter ketersediaan lahan

diperoleh dari data luas lahan sawah irigasi dan sawah non-irigasi (tadah hujan) di

82

Desa Kebonjati. Produktivitas kedelai varietas Anjasmoro pada lahan dengan

ketinggian menengah bisa mencapai 2,71 ton/ha (Sumadi, dkk., 2017). Pada

penelitian ini, produktivitas kedelai diasumsikan sebesar 2 ton/ha dengan

mempertimbangkan produktivitas kedelai sebelumnya. Perhitungan parameter

kebutuhan lahan per unit kedelai dan ketersediaan lahan budidaya kedelai disajikan

dalam Tabel 14.

Tabel 5. Perhitungan Parameter Kebutuhan Lahan per Unit Kedelai (f3) dan

Ketersediaan Lahan Budidaya Kedelai (F3)

No. Item Nilai Satuan

1 Produktivitas Kedelai 2.000 kg/ha

2 Kebutuhan Lahan per Unit Kedelai 5 m2/kg

3 Ketersediaan Lahan per musim tanam 798.300 m2

4 Ketersediaan Lahan per hari 6652,5 m2 (Sumber: Pengolahan Data, 2018)

Nilai parameter kebutuhan lahan per unit kedelai tergantung dari produktivitas

tanaman. Semakin tinggi produktivitas kedelai, semakin rendah nilai kebutuhan

lahan per unit kedelai, artinya semakin kecil luasan lahan yang diperlukan untuk

memproduksi 1 kg kedelai. Sebaliknya, semakin rendah produktivitas kedelai,

semakin tinggi nilai kebutuhan lahan per unit kedelai, artinya semakin besar luas

lahan yang diperlukan untuk memproduksi 1 kg kedelai. Produktivitas tanaman

dipengaruhi oleh faktor varietas tanaman, lingkungan (kesesuaian lahan) dan teknik

budidaya. Setiap varietas memiliki potensi hasil yang berbeda-beda. Demikian pula

setiap lokasi dan lingkungan memberikan dampak berbeda terhadap hasil tanaman.

Teknik budidaya (misalnya penyediaan air, pupuk/nutrisi dan pemeliharaan

tanaman) juga akan berpengaruh terhadap hasil dan produktivitas tanaman.

83

1.6.7 Perhitungan Parameter Permintaan (qi)

Nilai parameter permintaan (qi) berkaitan dengan fungsi kendala permintaan,

yaitu jumlah produksi tahu (x1) harus sama dengan jumlah permintaan tahu (q1).

Nilai parameter permintaan tahu (q1) ditentukan dari permintaan rata-rata harian,

yaitu 1.260 baki/hari. Seluruh parameter yang terlibat dalam formulasi model

optimasi jumlah produksi AEIP dirangkum dalam Lampiran 4.

1.7 Formulasi Model Optimasi Goal Programming

Berdasarkan hasil identifikasi variabel keputusan, perumusan fungsi kendala

dan fungsi tujuan serta perhitungan parameter, maka formulasi model optimasi

jumlah produksi AEIP berbasis industri tahu adalah sebagai berikut:

Fungsi Tujuan:

Minimasi 𝑍 = ∑ (𝑑𝑘+ + 𝑑𝑘

−)8𝑘=1 ... [50]

Fungsi Kendala:

Pertukaran kedelai: −1,65𝑥1 + 𝑥3 + 𝑑1− − 𝑑1

+ = 0 ... [51]

Pertukaran jerami: −10,1𝑥2 + 2,27𝑥3 + 𝑑2− − 𝑑2

+ = 0 ... [52]

Pertukaran ampas tahu: 3,04𝑥1 − 5𝑥2 + 𝑑3− − 𝑑3

+ = 0 ... [53]

Pertukaran pupuk organik: −𝑥3 + 𝑥4 + 𝑑4− − 𝑑4

+ = 0 ... [54]

Pertukaran kotoran sapi: 14𝑥2 − 1,38𝑥4 + 𝑑5− − 𝑑5

+ = 0 ... [55]

Pertukaran limbah cair: 51,92𝑥1 + 50𝑥2 − 71,43𝑥5 + 𝑑6− − 𝑑6

+ = 0 ... [56]

Ketersediaan air: −40𝑥2 − 745,5𝑥3 + 71,43𝑥5 + 𝑑7− − 𝑑7

+ = −422.253,33 [57]

Pertukaran biogas: −0,6𝑥1 + 𝑥5 + 𝑑8− − 𝑑8

+ = 0 ... [58]

Ketersediaan lahan: 6,83𝑥3 ≤ 798.300 ... [59]

84

Pemenuhan permintaan tahu: 𝑥1 = 1.260 ... [60]

𝑥1, 𝑥2, 𝑥3, 𝑥4, 𝑥5, 𝑑1−, 𝑑1

+, 𝑑2−, 𝑑2

+, 𝑑3−, 𝑑3

+, 𝑑4−, 𝑑4

+, 𝑑5−, 𝑑5

+, 𝑑6−, 𝑑6

+, 𝑑7−, 𝑑7

+ ≥ 0 ... [61]

Formulasi secara lengkap dan penjelasannya dapat dilihat pada Lampiran 2.

1.8 Uji Verifikasi Model

Uji verifikasi model dilakukan dengan melakukan pemeriksaan dimensi atau

satuan pada parameter dan variabel yang terlibat dalam fungsi yang sama.

Pemeriksaan dilakukan untuk memastikan bahwa setiap suku hasil perkalian

parameter dan variabel dalam suatu fungsi memiliki satuan yang sama. Hal tersebut

menunjukkan bahwa penarikan parameter dan variabel telah dilakukan dengan

benar. Pemeriksaan satuan parameter dan variabel pada setiap fungsi dalam model

optimasi AEIP dapat dilihat pada Lampiran 3. Tabel 15 menampilkan hasil

verifikasi pada setiap fungsi dalam model optimasi AEIP berbasis industri tahu.

Tabel 6. Hasil Verifikasi pada Setiap Fungsi dalam Model Optimasi AEIP

Berbasis Industri Tahu

No. Fungsi Hasil Verifikasi

1 Pertukaran Kedelai OK

2 Pertukaran Jerami OK

3 Pertukaran Ampas Tahu OK

4 Pertukaran Pupuk Organik OK

5 Pertukaran Kotoran Sapi OK

6 Pertukaran Limbah Cair OK

7 Pertukaran Biogas OK

8 Pertukaran Air Limbah Terolah OK

9 Ketersediaan Lahan OK

10 Pemenuhan Permintaan OK

85

1.9 Karakteristik Model

Berdasarkan jenis agroindustri dan kondisi wilayah, konsep dan model AEIP

berbasis industri tahu ini memiliki karakteristik sebagai berikut:

1) terdapat agroindustri basis, yaitu industri tahu, yang menjadi agroindustri

utama dan memicu munculnya agroindustri pendukung;

2) terdapat pengolah limbah, yaitu usaha ternak sapi, usaha pupuk organik dan

biodigester, yang secara langsung maupun tidak langsung mengolah limbah

yang dihasilkan oleh industri tahu maupun agroindustri lainnya;

3) terdapat penyedia energi, yaitu biodigester, yang menyediakan energi (biogas)

untuk industri tahu;

4) terdapat penyedia material, yaitu: usaha tani kedelai yang menyediakan kedelai

untuk industri tahu dan jerami untuk usaha ternak sapi, usaha pupuk organik

yang menyediakan pupuk organik untuk usaha tani kedelai, serta industri tahu

yang menyediakan pakan ampas tahu untuk usaha ternak sapi;

5) terdapat usaha budidaya tanaman (kedelai), budidaya ternak (sapi potong), dan

usaha pengolahan hasil pertanian (industri tahu dan usaha pupuk organik) yang

dapat saling bertukar material;

6) terdapat sumber daya air dan lahan yang mendukung kegiatan agroindustri;

7) adanya kesesuaian jenis output yang dihasilkan dengan kebutuhan input antar

agroindustri.

Berdasarkan struktur formulasinya, model optimasi AEIP berbasis indusri tahu

telah memasukkan beberapa tujuan (goal) sekaligus yang akan dicapai, yaitu

minimasi sisa pertukaran kedelai, minimasi sisa pertukaran ampas tahu, minimasi

86

sisa pertukaran jerami, minimasi sisa pertukaran kotoran sapi, minimasi sisa

pertukaran pupuk organik, minimasi sisa pertukaran limbah cair, minimasi sisa

pertukaran air, dan minimasi sisa pertukaran biogas. Sisa pertukaran material, air

dan energi tersebut direpresentasikan dalam bentuk variabel deviasi yang muncul

dalam fungsi kendala terkait tujuan minimasi pertukaran. Variabel deviasi tersebut

digabungkan dalam fungsi tujuan untuk diminimasi secara bersama-sama. Model

optimasi AEIP berbasis industri tahu telah berhasil memasukkan delapan tujuan

sekaligus.

Karakteristik lain yang dapat ditemui dalam model optimasi AEIP berbasis

industri tahu adalah adanya fungsi kendala terkait pemenuhan permintaan yang

menggunakan tanda operasi ‘=’ namun tidak memasukkan variabel deviasi. Hal

tersebut disebabkan adanya persyaratan untuk memenuhi seluruh permintaan tanpa

adanya kekurangan atau kelebihan atau dengan kata lain variabel deviasi bernilai

nol. Dengan demikian, fungsi kendala terkait pemeuuhan permintaan tahu

sebenarnya memiliki variabel deviasi d+ dan d- dengan nilai nol.

Model optimasi AEIP berbasis industri tahu masih memiliki beberapa

kekurangan. Model ini mengasumsikan bahwa seluruh tujuan minimasi sisa

pertukaran memiliki prioritas dan bobot yang sama. Pada kenyataannya, beberapa

limbah memiliki dampak negatif yang lebih besar pada lingkungan, sedangkan

beberapa limbah yang lain justru memiliki nilai ekonomis, sehingga prioritas dan

bobot dari masing-masing pertukaran material sebaiknya turut dipertimbangkan.

Catatan tersebut dapat menjadi masukan untuk penelitian selanjutnya.

87

BAB V

ANALISIS OPTIMASI JUMLAH PRODUKSI

Bab ini membahas mengenai hasil analisis optimasi terhadap model optimasi

AEIP berbasis industri tahu berdasarkan output dari POM-QM for Windows. Hasil

analisis optimasi yang utama adalah jumlah produksi yang optimal untuk masing-

masing agroindustri dalam Agro Eco-Industrial Park (AEIP) berbasis industri tahu.

Bab ini terdiri dari: (1) analisis variabel keputusan (decision variable analysis); (2)

analisis prioritas (priority analysis); dan (3) analisis kendala (constraint analysis).

Jumlah produksi optimal untuk masing-masing agroindustri terdapat dalam analisis

variabel keputusan. Output lengkap dari dari POM-QM for Windows untuk model

AEIP berbasis industri tahu dapat dilihat pada Lampiran 20.

2.1 Analisis Variabel Keputusan

Analisis variabel keputusan berisi nilai optimal untuk masing-masing variabel

keputusan. Nilai ini merepresentasikan jumlah produksi optimal untuk masing-

masing agroindustri. Perbandingan jumlah produksi pada sistem existing dengan

jumlah produksi optimal dari model optimasi AEIP ditampilkan dalam Tabel 16.

Tabel 7. Perbandingan Jumlah Produksi pada Sistem Existing dengan

Jumlah Produksi Optimal dari Model Optimasi AEIP

Agroindustri Jumlah Produksi

Simbol Existing Optimal Satuan

Industri Tahu x1 1260 1260 baki/hari

Usaha Ternak Sapi x2 40 147,47 ekor/periode

Usaha Tani Kedelai x3 0 656,13 kg/hari

Usaha Pupuk Organik x4 0 1496,05 kg/hari

Unit Biodigester x5 336 1019,08 m3/hari (Sumber: Pengolahan Data, 2018)

88

Analisis jumlah produksi optimal dari masing-masing agroindustri akan

dijelaskan pada subbab berikut ini.

2.1.1 Jumlah Produksi Tahu Optimal

Berdasarkan hasil analisis optimasi (Tabel 16), jumlah produksi tahu yang

optimal adalah sejumlah 1.260 baki/hari. Jumlah ini sesuai dengan permintaan

harian yang harus dipenuhi oleh industri tahu, yaitu 1.260 baki/hari, yang telah

didefinisikan dalam fungsi [46] yang mewakili kendala pemenuhan permintaan.

Jika jumlah produksi tahu lebih dari 1.260 baki/hari, maka produk tahu akan

berlebih dan sulit untuk dipasarkan. Sebaliknya, jika produksi tahu kurang dari

1.260 baki/hari, maka ada permintaan pelanggan yang tidak terpenuhi. Jumlah

produksi tahu sebanyak 1.260 baki/hari juga berkaitan dengan jumlah kebutuhan

sumber daya untuk produksi dan jumlah limbah yang dihasilkan. Jumlah kebutuhan

sumber daya dan limbah yang dihasilkan industri tahu pada tingkat produksi

optimal ditampilkan dalam Tabel 17 dan Tabel 18.

Tabel 8. Jumlah Kebutuhan Sumber Daya Industri Tahu pada Tingkat

Produksi Optimal

No. Sumber Daya

Kebutuhan

per Unit

Jumlah Kebutuhan

per Hari

Jumlah Satuan Jumlah Satuan

1 Kedelai 8 kg/baki 10.080 kg/hr

2 Biogas 0,6 m3/baki 756 m3/hr (Sumber: Pengolahan Data, 2018)

Tabel 9. Jumlah Output Limbah Dihasilkan Industri Tahu pada Tingkat

Produksi Optimal

No. Limbah

Output

per Unit

Jumlah Output per

Hari

Jumlah Satuan Jumlah Satuan

1 Ampas Tahu 3,04 kg/baki 3.830,4 kg/hr

2 Limbah Cair Tahu 51,92 liter/baki 65.419,2 liter/hr (Sumber: Pengolahan Data, 2018)

89

Pada tingkat produksi optimal jumlah kedelai yang dibutuhkan industri tahu

adalah 10.080 kg/hari atau 10,08 ton/hari (yang diharapkan dapat dipenuhi oleh

usaha budidaya kedelai) dan jumlah biogas yang dibutuhkan industri tahu adalah

756 m3/hari (yang diharapkan dapat dipenuhi oleh unit biodigester) (Tabel 17).

Pada tingkat produksi yang sama, jumlah ampas tahu yang dihasilkan industri tahu

adalah 3.830,4 kg/hari (Tabel 18). Jika menggunakan asumsi kebutuhan pakan sapi

dari ampas tahu adalah 5 kg/ekor/hari, maka jumlah ampas tahu tersebut dapat

memenuhi kebutuhan sekitar 766 ekor sapi. Jumlah limbah cair yang dihasilkan

industri tahu adalah 65.419,2 liter/hari (Tabel 18). Jika menggunakan asumsi bahwa

setiap 71,43 liter limbah cair dapat dioleh menjadi 1 m3 biogas, maka jumlah limbah

cair tersebut dapat diolah menjadi sekitar 915,8 m3 biogas.

2.1.2 Jumlah Produksi Ternak Sapi Optimal

Berdasarkan hasil analisis optimasi (Tabel 16), jumlah produksi ternak sapi yang

optimal adalah sejumlah 147,47 ekor per periode produksi (4 bulan). Nilai tersebut

dapat dibulatkan menjadi 147 ekor untuk operasionalisasi keputusan. Jumlah

produksi tersebut akan berkaitan dengan jumlah kebutuhan sumber daya untuk

produksi dan jumlah limbah yang dihasilkan. Jumlah kebutuhan sumber daya dan

limbah yang dihasilkan usaha ternak sapi pada tingkat produksi optimal

ditampilkan dalam Tabel 19 dan Tabel 20.

Pada tingkat produksi optimal, jumlah ampas tahu yang dibutuhkan usaha ternak

sapi adalah 737,35 kg/hari yang diharapkan dapat dipenuhi oleh usaha ternak sapi.

Jumlah kebutuhan ampas tahu tersebut jauh dapat terpenuhi dari ampas tahu yang

dihasilkan industri tahu pada tingkat produksi optimal (3.830,4 kg/hari). Jumlah

90

jerami yang dibutuhkan usaha ternak sapi adalah 1.489,45 kg/hari yang diharapkan

dapat dipenuhi dari usaha budidaya kedelai. Jumlah air yang dibutuhkan untuk

membersihkan kandang ternak sapi adalah 5.898,80 liter/hari yang diharapkan

dapat dipenuhi dari air limbah terolah yang dihasilkan biodigester. Jumlah kotoran

sapi yang dihasilkan usaha ternak sapi adalah 2.064,58 kg/hari yang akan

dimanfaatkan oleh usaha pengolahan pupuk organik untuk memproduksi pupuk

organik. Jumlah limbah cair yang dihasilkan usaha ternak sapi adalah 7.373,50

liter/hari yang akan dimanfaatkan oleh biodigester untuk memproduksi biogas.

Tabel 10. Jumlah Sumber Daya yang Dibutuhkan Usaha Ternak Sapi pada

Tingkat Produksi Optimal

No. Sumber Daya

Kebutuhan

per Unit

Jumlah

Kebutuhan/hari

Jumlah Satuan Jumlah Satuan

1 Ampas Tahu 5 kg/ekor/hr 737,35 kg/hr

2 Jerami Kedelai 10,1 kg/ekor/hr 1.489,45 kg/hr

3 Air Kebersihan 40 liter/ekor/hr 5.898,80 liter/hr (Sumber: Pengolahan Data, 2018)

Tabel 11. Jumlah Limbah yang Dihasilkan Usaha Ternak Sapi pada Tingkat

Produksi Optimal

No. Limbah

Output

per Unit

Jumlah

Output/hari

Jumlah Satuan Jumlah Satuan

1 Kotoran Sapi 14 kg/ekor/hr 2.064,58 kg/hr

2 Limbah Cair Sapi 50 liter/ekor/hr 7.373,50 liter/hr (Sumber: Pengolahan Data, 2018)

2.1.3 Jumlah Produksi Kedelai Optimal

Berdasarkan hasil analisis optimasi (Tabel 16), jumlah produksi kedelai yang

optimal adalah sejumlah 656,13 kg/hari. Jumlah ini masih jauh di bawah kebutuhan

kedelai industri tahu, yaitu 10.080 kg/hari (lihat Tabel 17). Hal tersebut berarti

bahwa terdapat kebutuhan 1.740 kg kedelai di industri tahu yang belum dapat

91

dipenuhi dari usaha budidaya kedelai. Jumlah produksi kedelai sebanyak 65,7

ton/tahun juga berkaitan dengan jumlah kebutuhan sumber daya untuk produksi dan

jumlah limbah yang dihasilkan. Jumlah kebutuhan sumber daya dan limbah yang

dihasilkan usaha budidaya kedelai pada tingkat produksi optimal ditampilkan dalam

Tabel 21 dan Tabel 22.

Tabel 12. Jumlah Kebutuhan Sumber Daya dan Jumlah Limbah Dihasilkan

Usaha Budidaya Kedelai pada Tingkat Produksi Optimal

No. Sumber Daya

Kebutuhan

per Unit

Jumlah

Kebutuhan/hari

Jumlah Satuan Jumlah Satuan

1 Pupuk Organik 1 kg/kg 656,13 kg

2 Air Irigasi 745,5 liter/kg 489.144,92 liter (Sumber: Pengolahan Data, 2018)

Tabel 13. Jumlah Limbah yang Dihasilkan Usaha Ternak Sapi pada Tingkat

Produksi Optimal

No. Limbah

Output

per Unit

Jumlah

Output/hari

Jumlah Satuan Jumlah Satuan

1 Lahan Budidaya 1 m2/kg 3.280,65 m2

2 Jerami Kedelai 227 kg/kg 1.489,42 kg (Sumber: Pengolahan Data, 2018)

Berdasarkan Tabel 21, pada tingkat produksi optimal, jumlah pupuk organik

yang dibutuhkan usaha budidaya kedelai adalah 656,13 kg/tahun yang diharapkan

dapat dipenuhi oleh unit pengolahan pupuk organik. Jumlah air irigasi yang

dibutuhkan usaha budidaya kedelai pada tingkat produksi optimal adalah adalah

489.144,92 liter/hari yang diharapkan dapat dipenuhi dari limbah cair terolah yang

dihasilkan unit biodigester. Luas lahan yang dibutuhkan oleh usaha budidaya

kedelai pada tingkat produksi optimal adalah 3.280,65 m² atau setara dengan 39,37

ha per musim tanam (dengan asumsi 1 musim tanam = 120 hari). Jumlah tersebut

92

masih lebih kecil dibanding luas lahan sawah (irigasi dan non-irigasi) yang tersedia

di Desa Kebonjati, yaitu 79,83 ha.

Berdasarkan Tabel 22, jumlah jerami kedelai yang dihasilkan usaha budidaya

kedelai pada tingkat produksi optimal adalah 1.489,42 kg/hari. Jumlah tersebut

hampir tepat sama dengan kebutuhan jerami usaha ternak sapi pada tingkat produksi

optimal yaitu 1.489,45 kg/hari. Hal tersebut menunjukkan bahwa jumlah produksi

kedelai pada tingkat optimal dapat memenuhi kebutuhan jerami pada usaha ternak

sapi.

2.1.4 Jumlah Produksi Pupuk Organik Optimal

Berdasarkan hasil analisis optimasi (Tabel 16), jumlah produksi pupuk organik

yang optimal adalah sejumlah 1.496,05 kg/hari. Pupuk organik dibutuhkan oleh

usaha tani kedelai untuk pupuk dasar dalam budidaya kedelai. Kebutuhan pupuk

organik pada usaha tani kedelai pada jumlah produksi optimal mencapai 656,13

kg/hari. Hal tersebut berarti bahwa pada tingkat produksi optimal, produksi pupuk

organik dapat mencukup kebutuhan pupuk organik pada usaha tani kedelai, bahkan

terdapat sisa produksi sejumlah 839,92 kg/hari. Sisa produksi pupuk organik

tersebut dapat dijual untuk memenuhi kebutuhan pupuk organik di luar sistem.

Jumlah produksi pupuk organik berkaitan dengan jumlah kebutuhan sumber

daya untuk produksi dan jumlah limbah yang dihasilkan. Jumlah kebutuhan sumber

daya dan limbah yang dihasilkan usaha pengolahan pupuk organik pada tingkat

produksi optimal ditampilkan dalam Tabel 23.

93

Tabel 14. Jumlah Kebutuhan Sumber Daya Usaha Pengolahan Pupuk

Organik pada Tingkat Produksi Optimal

No. Sumber Daya

Kebutuhan

per Unit

Jumlah

Kebutuhan/hari

Jumlah Satuan Jumlah Satuan

1 Kotoran Sapi 1,38 kg/kg/hr 2.064,55 kg/hr (Sumber: Pengolahan Data, 2018)

Jumlah kebutuhan kotoran sapi untuk memproduksi pupuk organik pada tingkat

produksi optimal adalah 2.064,55 kg/hari yang diperoleh dari usaha ternak sapi.

Jumlah tersebut hampir tepat sama dengan jumlah kotoran sapi yang dihasilkan

usaha ternak sapi pada tingkat produksi optimal, yaitu 2.064,58 kg/hari (Tabel 16).

Hal tersebut menunjukkan bahwa kebutuhan kotoran sapi pada usaha pupuk

organik dapat terpenuhi dari usaha ternak sapi.

2.1.5 Jumlah Produksi Biogas Optimal

Berdasarkan hasil analisis optimasi (Tabel 16), jumlah produksi biogas yang

optimal adalah sejumlah 1.019,08 m3/hari, lebih besar dibanding jumlah produksi

biogas pada sistem existing (336 m3/hari). Biogas digunakan untuk bahan bakar di

industri tahu. Kebutuhan biogas untuk produksi tahu pada tingkat optimal adalah

756 m3/hari. Hal tersebut berarti bahwa kebutuhan biogas pada industri tahu dapat

terpenuhi dan terdapat sisa produksi biogas sejumlah 263,08 m3/hari. Sisa produksi

biogas tersebut dapat didistribusikan ke masyarakat sekitar. Jumlah produksi biogas

juga berkaitan dengan jumlah kebutuhan sumber daya untuk produksi dan jumlah

limbah yang dihasilkan. Jumlah kebutuhan sumber daya dan limbah yang

dihasilkan unit biodigester pada tingkat produksi optimal ditampilkan dalam Tabel

24 dan Tabel 25.

94

Tabel 15. Jumlah Kebutuhan Sumber Daya Unit Biodigester pada Tingkat

Produksi Optimal

No. Sumber Daya

Kebutuhan per

Unit

Jumlah

Kebutuhan/hari

Jumlah Satuan Jumlah Satuan

1 Limbah Cair 71,43 liter/m3 72.791,43 liter/hr (Sumber: Pengolahan Data, 2018)

Tabel 16. Jumlah Limbah yang Dihasilkan Unit Biodigester pada Tingkat

Produksi Optimal

No. Limbah

Output

per Unit

Jumlah

Output/hari

Jumlah Satuan Jumlah Satuan

1 Air limbah terolah (treated

water)

71,43 liter/m3 72.791,43 liter/hr

(Sumber: Pengolahan Data, 2018)

Pada tingkat produksi optimal, jumlah limbah cair yang dibutuhkan unit

biodigester adalah 72.791,43 liter/hari. Kebutuhan limbah cair tersebut diperoleh

dari industri tahu sebesar 65.419,2 liter/hari (Tabel 18) dan usaha ternak sapi

sebesar 7.373,50 liter/hari (Tabel 20) yang jika dijumlah menjadi 72.792,70

liter/hari. Jumlah tersebut hampir tepat sama dengan jumlah kebutuhan limbah cair

pada unit biodigester. Hal tersebut menunjukkan bahwa kebutuhan limbah cair pada

unit biodigester dapat dipenuhi dari industri tahu dan usaha ternak sapi.

Air limbah terolah (treated water) yang dihasilkan biodigester berjumlah

72.791,43 liter/hari. Air limbah terolah dimanfaatkan oleh usaha ternak sapi untuk

membersihkan kandang dan usaha tani kedelai untuk mengairi tanaman kedelai.

Kebutuhan air untuk membersihkan kandang ternak mencapai 5.898,80 liter/hari,

sedangkan kebutuhan air irigasi tanaman kedelai mencapai 489.144,92 liter/hari

(masing-masing pada jumlah produksi optimal) sehingga jika dijumlah menjadi

495.043,72 liter/hari. Air irigasi yang tersedia berjumlah 422.253,33 liter/hari

95

(Tabel 13) yang jika digabung dengan air limbah terolah menjadi 495.044,76

liter/hari. Jumlah tersebut hampir tepat sama dengan gabungan kebutuhan air

kebersihan pada usaha ternak sapi dan kebutuhan air tanaman kedelai. Hal tersebut

berarti bahwa pada jumlah produksi optimal, gabungan air limbah terolah dari

biodigester dan air irigasi dapat mencukupi kebutuhan air kebersihan pada industri

ternak sapi dan kebutuhan air irigasi pada usaha tani kedelai.

2.2 Analisis Prioritas

Analisis prioritas berisi nilai total ketidaktercapaian sasaran (nonachievement)

dari masing-masing prioritas sasaran. Nilai ini diperoleh dari penjumlahan seluruh

nilai penyimpangan (baik penyimpangan positif maupun penyimpangan negatif)

untuk masing-masing prioritas. Pada penelitian ini, seluruh sasaran dianggap

memiliki prioritas yang sama (non-preemptive) sehingga hanya terdapat satu nilai

ketidaktercapaian. Pada Lampiran 20 tertera nilai ketidaktercapaian sasaran

(nonachievement) sebesar 5.618,84 yang merupakan jumlah total penyimpangan

negatif dan penyimpangan positif dari kedelapan target sasaran yang ada. Dengan

kata lain terdapat 5.618,84 total sisa dan kekurangan dalam pertukaran material di

antara agroindustri dalam AEIP berbasis industri tahu. Nilai setiap penyimpangan

dari masing-masing pertukaran dapat dilihat dalam analisis kendala yang dijelaskan

pada bagian berikutnya.

96

2.3 Analisis Kendala

Analisis kendala berisi nilai-nilai target kendala sasaran dan batasan kendala

fungsional beserta dengan nilai penyimpangan negatif dan penyimpangan positif

yang dicapai oleh model. Output analisis kendala dari model optimasi jumlah

produksi AEIP berbasis industri tahu dan usaha ternak sapi ditampilan dalam Tabel

26.

Tabel 17. Output Analisis Kendala (Constraint Analysis)

Constraint Analysis RHS d+ (row i) d- (row i)

Pertukaran Kedelai 0 1422.87 0

Pertukaran Jerami 0 0 0

Pertukaran Ampas Tahu 0 0 3093.06

Pertukaran Pupuk Organik 0 0 839.91

Pertukaran Kotoran Sapi 0 0 0

Pertukaran Limbah Cair 0 0 0.01

Pertukaran Air Limbah Terolah 422253.3 0.06 0

Pertukaran Biogas 0 0 263.08

Ketersediaan Lahan 6652.5 0 3371.83

Pemenuhan Permintaan 1260 0 0 (Sumber: Pengolahan Data, 2018)

Kolom pertama (Constraint Analysis) berisi kendala yang dipertimbangkan

dalam model optimasi. Kolom kedua (Right Hand Side/RHS) berisi nilai ruas kanan

dari setiap fungsi dalam model optimasi. Kolom ketiga dan keempat masing-masing

secara berturut-turut berisi nilai variabel penyimpangan positif dan variabel

penyimpangan negatif yang dihasilkan dari proses optimasi.

2.3.1 Analisis Kendala Terkait Pertukaran Kedelai

Pada kendala pertama yang terkait pertukaran kedelai, nilai ruas kanan (RHS)

adalah nol yang berarti target yang diharapkan dari sisa pertukaran kedelai adalah

nol atau dengan kata lain jumlah kebutuhan kedelai sama dengan jumlah produksi

97

kedelai. Pada kolom ketiga {d- (row i)} terdapat nilai penyimpangan positif sebesar

1.422,87. Hal tersebut berarti bahwa terdapat kelebihan kebutuhan kedelai yang

tidak terpenuhi sebesar 1.422,87 kg/hari.

2.3.2 Analisis Kendala Terkait Pertukaran Jerami

Pada kendala kedua yang terkait pertukaran jerami, nilai ruas kanan (RHS)

adalah nol yang berarti target yang diharapkan dari sisa pertukaran jerami adalah

nol atau dengan kata lain jumlah kebutuhan jerami diharapkan sama dengan jumlah

produksi kedelai. Pada kolom ketiga {d- (row i)} maupun kolom keempat {d+ (row

i)} nilai penyimpangan adalah nol. Hal tersebut berarti bahwa tidak terdapat sisa

limbah dalam pertukaran jerami karena jumlah kebutuhan jerami sama dengan

jumlah jerami yang dihasilkan.

2.3.3 Analisis Kendala Terkait Pertukaran Ampas Tahu

Pada kendala ketiga yang terkait pertukaran ampas tahu, nilai ruas kanan (RHS)

adalah nol yang berarti target yang diharapkan dari sisa pertukaran ampas tahu

adalah nol atau dengan kata lain jumlah kebutuhan ampas tahu diharapkan sama

dengan jumlah produksi kedelai. Pada kolom keempat {d- (row i)} terdapat nilai

penyimpangan negatif sebesar 3.093,06. Hal tersebut berarti bahwa terdapat jumlah

kebutuhan ampas tahu lebih kecil dibandingkan jumlah ampas tahu yang dihasilkan

sehingga menyisakan limbah ampas tahu sejumlah 3.093,06 kg/hari. Meskipun

demikian, ampas tahu merupakan limbah yang relatif tidak berbahaya dan dapat

dijual karena memiliki nilai ekonomis. Sisa limbah ampas tahu dapat dijual dan

akan memberikan tambahan pendapatan bagi pengusaha tahu.

98

2.3.4 Analisis Kendala Terkait Pertukaran Pupuk Organik

Pada kendala keempat yang terkait pertukaran pupuk organik, nilai ruas kanan

(RHS) adalah nol yang berarti target yang diharapkan dari sisa pertukaran pupuk

organik adalah nol atau dengan kata lain jumlah kebutuhan pupuk organik

diharapkan sama dengan jumlah produksi kedelai. Pada kolom keempat {d- (row

i)} terdapat nilai penyimpangan negatif sebesar 839.91. Hal tersebut berarti bahwa

jumlah kebutuhan pupuk organik lebih kecil dibandingkan jumlah pupuk organik

yang dihasilkan sehingga menyisakan pupuk organik sejumlah 839.91 kg/hari.

Meskipun demikian, pupuk organik merupakan produk yang dibutuhkan dalam

usaha tani lainnya. Sisa produk pupuk organik dapat dijual dan akan memberikan

tambahan pendapatan bagi pengusaha pupuk organik.

2.3.5 Analisis Kendala Terkait Pertukaran Kotoran Sapi

Pada kendala kelima yang terkait pertukaran kotoran sapi, nilai ruas kanan

(RHS) adalah nol yang berarti target yang diharapkan dari sisa pertukaran kotoran

sapi adalah nol atau dengan kata lain jumlah kebutuhan kotoran sapi diharapkan

sama dengan jumlah kotaran sapi yang dihasilkan. Pada kolom ketiga {d- (row i)}

maupun kolom keempat {d+ (row i)} nilai penyimpangan adalah nol. Hal tersebut

berarti bahwa tidak terdapat sisa limbah dalam pertukaran kotoran sapi karena

jumlah kebutuhan kotoran sapi sama dengan jumlah kotoran sapi yang dihasilkan.

2.3.6 Analisis Kendala Terkait Pertukaran Limbah Cair

Pada kendala keenam yang terkait pertukaran limbah cair, nilai ruas kanan

(RHS) adalah nol yang berarti target yang diharapkan dari sisa pertukaran limbah

cair adalah nol atau dengan kata lain jumlah kebutuhan limbah cair diharapkan sama

99

dengan jumlah limbah cair yang dihasilkan. Pada kolom keempat {d- (row i)}

terdapat nilai penyimpangan negatif sebesar 0.01. Hal tersebut berarti bahwa

jumlah kebutuhan limbah cair sedikit lebih kecil dibandingkan jumlah limbah cair

yang dihasilkan sehingga menyisakan limbah cair sejumlah 0,01 liter/hari atau 10

cc/hari. Jumlah tersebut tidak terlalu signifikan sehingga dampaknya bisa

diabaikan.

2.3.7 Analisis Kendala Terkait Pertukaran Air

Pada kendala ketujuh yang terkait pertukaran air limbah terolah, nilai ruas kanan

(RHS) adalah nol yang berarti target yang diharapkan dari sisa pertukaran air

limbah terolah adalah nol atau dengan kata lain jumlah kebutuhan air limbah terolah

diharapkan sama dengan jumlah air limbah terolah yang dihasilkan. Pada kolom

ketiga {d+ (row i)} terdapat nilai penyimpangan positif sebesar 0.06. Hal tersebut

berarti bahwa jumlah kebutuhan limbah cair sedikit lebih besar dibandingkan

jumlah limbah cair yang dihasilkan sehingga ada kekurangan air limbah terolah

sejumlah 0,06 liter/hari atau 60 cc/hari. Jumlah tersebut tidak terlalu signifikan

sehingga bisa diabaikan.

2.3.8 Analisis Kendala Terkait Pertukaran Biogas

Pada kendala kedelapan yang terkait pertukaran biogas, nilai ruas kanan (RHS)

adalah nol yang berarti target yang diharapkan dari sisa pertukaran biogas adalah

nol atau dengan kata lain jumlah kebutuhan biogas diharapkan sama dengan jumlah

produksi biogas. Pada kolom keempat {d- (row i)} terdapat nilai penyimpangan

negatif sebesar 263.08. Hal tersebut berarti bahwa jumlah kebutuhan biogas lebih

kecil dibandingkan jumlah biogas yang dihasilkan sehingga menyisakan biogas

100

sejumlah 263.08 m3/hari. Sisa biogas tersebut dapat dialirkan ke masyarakat untuk

kebutuhan rumah tangga. Jika diasumsikan bahwa efisiensi pemanfaatan biogas

7,7% dan kebutuhan biogas rumah tangga adalah 0.4 m3/hari, maka sisa biogas

tersebut dapat digunakan oleh sekitar 50 rumah tangga.

2.3.9 Analisis Kendala Terkait Ketersediaan Lahan

Pada kendala kesembilan yang terkait ketersediaan lahan, nilai ruas kanan

(RHS) adalah 6.652,5 yang berarti tersedia lahan seluas 6.652,5 m2/hari (atau 79,83

ha/musim tanam) yang dapat digunakan untuk budidaya kedelai. Pada kolom

keempat {d- (row i)} terdapat nilai penyimpangan negatif sebesar 3.371,83. Hal

tersebut berarti bahwa jumlah kebutuhan lahan lebih kecil dibandingkan luas lahan

yang tersedia sehingga menyisakan lahan seluas 3.371,83 m3/hari yang tidak

ditanami kedelai.

2.3.10 Analisis Kendala Terkait Pemenuhan Permintaan

Pada kendala kesepuluh yang terkait pemenuhan permintaan, nilai ruas kanan

(RHS) adalah 1.260 yang berarti terdapat permintaan tahu sejumlah 1.260 baki/hari

yang harus dipenuhi. Pada kolom ketiga {d+ (row i)} maupun keempat {d- (row i)}

tidak terdapat nilai penyimpangan. Hal tersebut berarti bahwa seluruh permintaan

tahu telah terpenuhi.

101

BAB VI

ANALISIS KINERJA MODEL

Kinerja model optimasi Agro Eco-Industrial Park (AEIP) berbasis industri tahu

dilakukan melalui perhitungan dan perbandingan antara sistem yang sedang

berjalan saat ini dengan model optimasi yang diusulkan. Analisis tersebut dilakukan

untuk mengetahui apakah model memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan

dengan sistem yang berjalan saat ini sehingga dapat digunakan untuk mendukung

pengambilan keputusan. Kinerja model dan sistem yang sedang berjalan dilihat dari

lima parameter, yaitu: sisa limbah padat, sisa limbah cair, Recycle Rate (Derajat

Daur Ulang), total kesempatan kerja, dan total profit usaha.

3.1 Analisis Sisa Limbah Padat

Pada penelitian, terdapat tiga jenis limbah padat yaitu ampas tahu yang

dihasilkan oleh industri tahu, kotoran sapi yang dihasilkan oleh usaha ternak sapi,

dan jerami kedelai yang dihasilkan oleh usaha tani kedelai. Pertukaran limbah di

antara agroindustri dalam Agro Eco-Industrial Park (AEIP) diharapkan dapat

mengurangi bahkan menghilangkan limbah yang dihasilkan menjadi produk lain

yang bernilai.

Hasil optimasi jumlah produksi pada konsep AEIP berbasis industri tahu

menghasilkan jumlah produksi untuk masing-masing agroindustri. Jumlah produksi

masing-masing agroindustri akan menentukan jumlah limbah yang dihasilkan dan

jumlah pemanfaatan limbah dari agroindustri lainnya. Tabel 27 menampilkan sisa

102

limbah padat yang dihasilkan dari pertukaran limbah dalam sistem yang berjalan

(sistem existing) dan model optimasi. Perhitungan sisa limbah padat untuk kedua

sistem dapat dilihat pada Lampiran 22 dan Lampiran 25.

Tabel 18. Perbandingan Sisa Limbah Padat pada Sistem yang Sedang

Berjalan (Existing) dan Model Optimasi

No. Jenis Limbah Padat

Sisa Limbah Padat

Sistem Existing

(kg/hari)

Model Optimasi

(kg/hari)

1 Ampas Tahu 2.765 3.088

2 Kotoran Sapi 1.000 0

3 Jerami Kedelai - 0

Jumlah 3.765 3.088

Pada sistem yang sedang berjalan (sistem existing) hanya terdapat industri tahu,

usaha ternak sapi dan biodigester sehingga limbah yang dihasilkan hanya berupa

ampas tahu dan kotoran sapi. Sebagian limbah ampas tahu telah dimanfaatkan oleh

usaha ternak sapi, namun masih bersisa sejumlah 2.765 kg/hari. Sisa limbah ampas

tahu tersebut biasa dijual untuk pakan ternak di luar daerah. Limbah kotoran sapi

belum dimanfaatkan sehingga masih bersisa sejumlah 1.000 kg/hari. Limbah

kotoran sapi biasa dibuang ke sungai sehingga menyebabkan pencemaran air

sungai.

Pada model optimasi terdapat industri tahu, usaha ternak sapi, usaha tani kedelai,

usaha pupuk organik dan biodigester sehingga limbah yang dihasilkan berupa

ampas tahu, kotoran sapi dan jerami kedelai. Limbah ampas tahu dimanfaatkan oleh

usaha ternak sapi, namun masih bersisa 3.088 kg/hari. Sisa limbah ampas tahu

tersebut masih dapat dijual untuk pakan ternak sapi di luar daerah. Limbah kotoran

ternak sapi telah dimanfaatkan seluruhnya menjadi pupuk organik sehingga tidak

103

meninggalkan sisa. Limbah jerami kedelai telah dimanfaatkan seluruhnya untuk

pakan ternak sapi sehingga tidak meninggalkan sisa.

Berdasarkan perbandingan tersebut dapat disimpulkan bahwa sistem yang

sedang berjalan masih menyisakan limbah kotoran sapi yang mencemari sungai

selain limbah ampas tahu yang dijual, sedangkan model optimasi hanya

meninggalkan sisa limbah ampas tahu yang dijual.

3.2 Analisis Sisa Limbah Cair

Terdapat tiga jenis limbah cair dalam konsep AEIP berbasis industri tahu, yaitu

limbah cair dari industri tahu, limbah cair dari usaha ternak sapi, dan limbah cair

dari biodigester. Limbah cair dari industri tahu dan usaha ternak sapi dapat

dimanfaatkan oleh biodigester untuk memproduksi biogas. Limbah cair dari

biodigester (berupa air limbah terolah) dapat dimanfaatkan untuk pembersihan

kandang ternak sapi dan irigasi tanaman kedelai. Pertukaran limbah cair di antara

agroindustri dalam AEIP tersebut diharapkan dapat mengurangi bahkan

menghilangkan limbah cair yang dihasilkan. Tabel 28 menampilkan sisa limbah

cair yang dihasilkan dari pertukaran limbah cair dalam sistem yang berjalan (sistem

existing) dan model optimasi. Perhitungan sisa limbah padat untuk kedua sistem

dapat dilihat pada Lampiran 22 dan Lampiran 25.

Pada sistem yang sedang berjalan (sistem existing) terdapat tiga jenis limbah cair

yang dihasilkan, yaitu limbah cair industri tahu, limbah cair ternak sapi, dan limbah

cair biodigester. Sebagian limbah cair tahu telah diolah di biodigester menjadi

biogas, namun masih bersisa sejumlah 41.420 liter/hari. Seluruh limbah cair ternak

104

sapi belum diolah sehingga terdapat sisa limbah cair ternak sapi sejumlah 4.000

liter/hari. Limbah cair biodigester belum dimanfaatkan sehingga masih menyisakan

sebanyak 24.000 liter air limbah biodigester setiap hari. Total sisa limbah cair dari

sistem yang sedang berjalan adalah 69.420 liter/hari. Sisa limbah cair tersebut biasa

dibuang ke sungai sehingga menimbulkan pencemaran.

Tabel 19. Perbandingan Sisa Limbah Cair pada Sistem yang Sedang Berjalan

(Existing) dan Model Optimasi

No. Jenis Limbah Cair

Sisa Limbah Cair

Sistem Existing

(liter/hari)

Model Optimasi

(liter/hari)

1 Limbah Cair Industri Tahu 41.420 2,07

2 Limbah Cair Ternak Sapi 4.000

3 Limbah Cair Biodigester (Treated

Water) 24.000 1,05

Jumlah 69.420 3,12

Model optimasi juga menghasilkan tiga jenis limbah cair, yaitu limbah cair

industri tahu, limbah cair ternak sapi dan limbah cair biodigester. Limbah cair

industri tahu dan limbah cair ternak sapi telah diolah di biodigester dan hanya

menyisakan 2,07 liter limbah per hari. Limbah cair biodigester dimanfaatkan untuk

pembersihan kandang ternak sapi dan irigasi tanaman kedelai hingga bersisa 1,05

liter air limbah terolah setiap hari. Total sisa limbah cair dari model optimasi adalah

3,12 liter/hari.

Berdasarkan perbandingan tersebut dapat disimpulkan bahwa sistem yang

sedang berjalan masih menyisakan jauh lebih banyak limbah cair dan jauh lebih

berpotensi mencemari sungai.dibandingkan model optimasi.

105

3.3 Analisis Recycle Rate

Recycle Rate (Derajat Daur Ulang) menunjukkan seberapa besar suatu sistem

industri mendaur ulang kembali limbah yang dihasilkannya. Nilai Recycle Rate

ditentukan dari jumlah limbah yang dihasilkan dan jumlah limbah yang didaur-

ulang. Gambar 10 menyajikan perbandingan nilai Recycle Rate untuk setiap

agroindustri pada sistem yang sedang berjalan saat ini (sistem existing) dan model

optimasi AEIP. Perhitungan Recycle Rate untuk kedua sistem dijabarkan pada

Lampiran 22 – 27.

Gambar 1. Perbandingan Nilai Recycle Rate Masing-masing Agroindustri

pada Sistem Existing dan Model Optimasi

Pada sistem yang sedang berjalan saat ini (existing), terdapat tiga agroindustri

yang berjalan, yaitu industri tahu, usaha ternak sapi dan unit biodigester. Nilai

Recycle Rate dari masing-masing agroindustri tersebut ditentukan dari jumlah

limbah padat dan limbah cair yang dihasilkan dan didaur-ulang. Pada industri tahu,

hanya 32,2% limbah yang didaur-ulang, sedangkan pada usaha ternak sapi dan

32.2%

0% 0.0% 0.0% 0%

23.8%

59.6%

100% 100%

0.0%

100%

79.1%

0.0%

20.0%

40.0%

60.0%

80.0%

100.0%

120.0%

Industri Tahu Usaha TernakSapi

Usaha TaniKedelai

Usaha PupukOrganik

Biodigester SistemKeseluruhan

Sistem Existing Model Optimasi

106

biodigester tidak ada limbah yang didaur-ulang. Secara keseluruhan, sistem yang

berjalan saat ini memiliki nilai Recycle Rate sebesar 23,8% yang berarti terdapat

23,8% limbah yang didaur-ulang (Gambar 10).

Pada model optimasi, terdapat lima agroindustri yang tergabung dalam AEIP,

namun hanya empat agroindustri yang menghasilkan dan mendaur-ulang limbah

(selain usaha pupuk organik). Industri tahu mendaur-ulang 59,6% limbahnya,

sedangkan usaha ternak sapi, usaha tani kedelai, dan biodigester mendaur-ulang

100% limbah yang dihasilkan. Secara keseluruhan, model optimasi mendaur-ulang

79,1% limbah yang dihasilkan (Gambar 10).

3.4 Analisis Total Kesempatan Kerja

Kesempatan kerja merupakan potensi penggunaan tenaga kerja dalam sistem

agroindustri. Kesempatan kerja dilihat dari rata-rata kebutuhan tenaga kerja per hari

dari setiap agroindustri. Perhitungan total kesempatan kerja dapat dilihat pada

Lampiran 28, sedangkan perbandingan kesempatan kerja antara sistem agroindustri

yang berjalan sekarang dengan model optimasi AEIP ditampilkan dalam Gambar

11. Seluruh agroindustri (kecuali industri tahu) dalam model optimasi AEIP

menunjukkan rata-rata kebutuhan tenaga kerja yang lebih tinggi dibandingkan

dalam sistem yang sedang berjalan saat ini (existing). Hal tersebut dapat dipahami

mengingat adanya peningkatan jumlah produksi dan pendirian agroindustri baru

yang tidak ada dalam sistem yang sedang berjalan saat ini. Pada sistem existing

maupun model optimasi AEIP, industri tahu memiliki rata-rata kebutuhan tenaga

kerja per hari yang sama karena jumlah produksi tahu pada kedua sistem juga sama.

107

Gambar 2. Perbandingan Kesempatan Kerja antara Sistem yang Berjalan

Sekarang (Sistem Existing) dengan Model Optimasi AEIP (Sumber: Pengolahan Data, 2018)

Secara total, model optimasi AEIP memberikan kesempatan kerja yang lebih

tinggi (107 orang) dibandingkan sistem existing (66 orang). Selisih jumlah

keduanya (41 orang) menunjukkan bahwa ada kesempatan untuk mengurangi

pengangguran sebanyak 41 orang. Jika dikaitkan dengan jumlah pencari kerja di

Desa Kebonjati sejumlah 850 orang, maka diharapkan tingkat pengangguran di

Desa Kebonjati akan menurun hingga 809 orang dengan adanya pengembangan

AEIP berbasis industri tahu di Desa Kebonjati.

Pada sisi lain, peningkatan jumlah kesempatan kerja perlu disertai dengan

ketrampilan dan minat kerja di bidang terkait, dalam hal ini usaha budidaya ternak

sapi, budidaya kedelai, pengolahan pupuk organik, dan operasional biodigester.

Bidang-bidang tersebut umumnya kurang diminati oleh pencari kerja usia muda.

Oleh karena itu perlu adanya upaya untuk menyiapkan tenaga kerja yang trampil

57

6 3

66 57

2316

110

107

-

20

40

60

80

100

120

Industri Tahu(orang)

Usaha TernakSapi (orang)

Usaha TaniKedelai(orang)

Usaha PupukOrganik(orang)

Biodigester(orang)

TotalKesempatanKerja (orang)

Sistem Existing Model Optimasi

108

dan berminat dalam bidang-bidang tersebut. Selain itu, kesempatan kerja tersebut

tidak selalu dalam bentuk lowongan pekerjaan yang sudah disiapkan pengusaha,

melainkan bisa berupa peluang usaha baru. Pelatihan kerja dan pelatihan wirausaha

dapat menjadi salah satu alternatif dalam menyiapkan tenaga kerja untuk mengisi

kesempatan kerja yang dihasilkan dari penerapan konsep AEIP berbasis

agroindustri tahu.

3.5 Analisis Total Profit

Profit atau keuntungan usaha merupakan faktor yang mendorong pengusaha

dalam melakukan usaha, termasuk dalam menerapkan konsep AEIP. Profit juga

menjadi parameter kinerja ekonomi yang merupakan salah satu aspek keberlanjutan

suatu sistem industri. Tabel 29 menyajikan perbandingan profit agroindustri antara

sistem yang sedang berjalan saat ini (existing) dan model optimasi AEIP.

Perhitungan total profit dari sistem agroindustri yang berjalan sekarang dan model

optimasi AEIP berbasis industri tahu dan ternak sapi dapat dilihat dalam Lampiran

29-43.

Tabel 20. Perbandingan Profit Agroindustri pada Sistem Existing dan Model

Optimasi

No. Jenis Agroindustri Profit (Rp/hari)

Sistem Existing Model Optimasi

1 Industri Tahu 15.762.071,50 17.214.802,84

2 Usaha Ternak Sapi 188.287,04 2.904.305,59

3 Usaha Tani Kedelai - 723.383,33

4 Usaha Pupuk Organik - 163.069,45

5 Biodigester 12.181,27 92.400,00

6 Total 15.962.539,81 21.097.961,20

109

Seluruh agroindustri pada model optimasi AEIP menunjukkan jumlah profit

yang lebih tinggi dibanding dengan agroindustri pada sistem yang berjalan saat ini.

Pada industri tahu terdapat peningkatan profit dari Rp 15.762.071,50/hari (pada

sistem existing) menjadi Rp 17.214.802,84/hari (pada model optimasi).

Peningkatan profit tersebut diperoleh dari penghematan biaya bahan bakar yang

semula menggunakan sekam padi dengan biaya Rp 350.000,00/bulan menjadi

biogas dengan biaya Rp 150.000,00/bulan (lihat Lampiran 29).

Pada usaha ternak sapi terdapat peningkatan profit dari Rp 188,287.04/hari (pada

sistem existing) menjadi Rp 2,904,305.59/hari (pada model optimasi). Peningkatan

profit tersebut diperoleh dari peningkatan produktivitas dan peningkatan jumlah

produksi ternak sapi. Pada sistem yang berjalan saat ini, pemberian pakan belum

mengikuti komposisi yang dianjurkan sehingga menghasilkan rata-rata peningkatan

bobot sapi harian hanya 0,53 kg/ekor/hari. Pada model optimasi AEIP, rata-rata

peningkatan bobot sapi harian ditingkatkan menjadi 1 kg/ekor/hari melalui

perbaikan komposisi pakan. Peningkatan jumlah produksi dari semula 40 ekor sapi

pada sistem yang berjalan saat ini menjadi 147 ekor sapi pada model optimasi AEIP

juga turut meningkatkan profit usaha ternak sapi.

Usaha tani kedelai dan usaha pupuk organik belum ada dalam sistem yang

berjalan saat ini dan baru diusulkan dalam model optimasi AEIP. Pendirian usaha

tani kedelai dan usaha pupuk organik memberikan peningkatan profit masing-

masing sebesar Rp 723.383,33/hari dan Rp 163.069,45/hari pada model optimasi

AEIP.

110

Unit biodigester memperoleh profit dalam bentuk selisih antara manfaat yang

diterima oleh konsumen biogas dengan biaya operasional yang dikeluarkan oleh

pengelola. Tabel 30 menyajikan perbandingan ekonomis antara pengelolaan

biodigester pada sistem yang berjalan saat ini (existing) dengan pengelolaan

biodigester pada model optimasi AEIP. Biaya operasional bulanan (tanpa biaya

penyusutan) unit biodigester mencapai Rp 2.700.000,00/bulan dan diasumsikan

tidak berubah terhadap peningkatan produksi biogas. Pada sistem yang berjalan saat

ini, pemanfaatan limbah cair industri tahu menghasilkan 13.902 m3 biogas dengan

jumlah pemanfaatan mencapai 1.068 m3 setiap bulan. Jumlah biogas yang

dimanfaatkan tersebut diperkirakan bernilai Rp 3.204.000,00 sehingga profit

(selisih antara manfaat dan biaya) yang diperoleh sebesar Rp 504.000,00/bulan.

Pada model optimasi, pemanfaatan limbah cair industri tahu dan limbah cair ternak

sapi menghasilkan 30.572 m3 biogas dengan jumlah pemanfaatan mencapai 1.824

m3 setiap bulan. Jumlah biogas yang dimanfaatkan tersebut diperkirakan bernilai

Rp 5.472.000,00 sehingga profit yang diperoleh sebesar Rp 2.772.000,00/bulan.

Tabel 21. Perbandingan Ekonomis antara Pengelolaan Biodigester pada

Sistem Existing dan Model Optimasi

No. Item Sistem

Existing

Model

Optimasi

1 Biaya Operasional (Rp/bulan) 2.700.000,00 2.700.000,00

2 Produksi Biogas (m³) 13.902 30.572

3 Efisiensi Pemanfaatan (%) 7,7 7,7

4 Biogas Dimanfaatkan (m³) 1.068 1.824

5 Nilai Biogas (Rp/m³) 3.000,00 3.000,00

6 Nilai Manfaat (Rp) 3.204.000 5.472.000

7 Profit (Rp/bulan) 504.000,00 2.772.000,00

111

3.6 Analisis Kinerja Sistem Keseluruhan

Pada penelitian ini, kinerja sistem secara keseluruhan dilihat dari lima

parameter, yaitu: sisa limbah padat, sisa limbah cair, Recycle Rate, total kesempatan

kerja, dan total profit. Gambar 12 menyajikan perbandingan antara kinerja sistem

yang berjalan saat ini (existing) dengan kinerja model optimasi AEIP. Pada sistem

yang berjalan saat ini (existing), terdapat sisa limbah padat sejumlah 3,77 ton/hari,

sisa limbah cair sejumlah 69,42 m3/hari, Recycle Rate 23,83%, total kesempatan

kerja 66 orang, dan total profit Rp 15,96 juta/hari. Pada model optimasi AEIP,

terdapat sisa limbah padat sejumlah 3.09 ton/hari (penurunan 18%), sisa limbah cair

0,00 m3/hari (penurunan 100%), Recycle Rate 79,08% (peningkatan 232%), total

kesempatan kerja bagi 104 orang (peningkatan 58%), dan total profit Rp 20,73

juta/hari (peningkatan 32%). Berdasarkan nilai parameter tersebut, model optimasi

AEIP menunjukkan kinerja keseluruhan yang relatif lebih baik dibandingkan sistem

yang berjalan saat ini (existing).

Gambar 3. Perbandingan antara Kinerja Sistem Existing dengan Kinerja

Model Optimasi

3.77

69.42

23.83

66.00

15.96

3.09 0.00

79.08

104.00

20.73

-

20.00

40.00

60.00

80.00

100.00

120.00

Sisa LimbahPadat

(ton/hr)

Sisa LimbahCair

(m³/hr)

Recycle Rate(%)

TotalKesempatan

Kerja(orang)

Total Profit(juta

rupiah/hr)

Sistem Existing Model Optimasi

112

Pada model optimasi AEIP berbasis industri tahu terjadi pertukaran material, air,

dan energi di antara agroindustri-agroindustri di dalamnya. Industri tahu

menghasilkan 3.830 kg ampas tahu per hari yang dapat digunakan untuk memenuhi

kebutuhan pakan 766 ekor sapi (di dalam dan di luar sistem). Usaha ternak sapi

memanfaatkan 1.489,45 kg jerami yang dihasilkan usaha tani kedelai sebagai pakan

hijauan (selain ampas tahu sebagai pakan tambahan) dan 5.898,80 liter air limbah

terolah dari biodigester untuk pembersihan kandang.

Usaha ternak sapi juga mensuplai kebutuhan bahan untuk produksi pupuk

organik dan kebutuhan limbah cair untuk produksi biogas sehingga menurunkan

seluruh (100%) limbah padat dan limbah cair yang dihasilkannya. Usaha tani

kedelai mampu mensuplai 6,5% kebutuhan kedelai pada industri tahu. Usaha ini

juga memanfaatkan air limbah terolah dari biodigester untuk tambahan irigasi

tanaman.

Usaha pupuk organik mengolah seluruh kotoran sapi yang dihasilkan usaha

ternak sapi dan mengubahnya menjadi pupuk organik. Sebagian pupuk organik

(656,13 kg/hari) digunakan dalam usaha tani kedelai dan sebagian lainnya (839,92

kg/hari) dapat dijual untuk memenuhi kebutuhan di luar sistem.

Unit biodigester memanfaatkan seluruh limbah cair yang dihasilkan oleh

industri tahu dan usaha ternak sapi lalu mengubahnya menjadi biogas. Sebanyak

1.019,08 m3 biogas yang dihasilkan setiap hari dapat digunakan untuk memenuhi

kebutuhan biogas pada industri tahu (756 m3) dan masih bersisa 263,08 m3. Sisa

tersebut dapat disalurkan ke warga sekitar untuk kebutuhan memasak.

113

Pertukaran material, air dan energi di antara agroindustri-agroindustri dalam

model optimasi AEIP akan memberikan manfaat berupa penghematan sumber daya

(air, material, energi), pengurangan limbah padat dan cair, peningkatan profit serta

peningkatan kesempatan kerja (Tabel 31).

Tabel 22. Perbandingan Sistem Existing dengan Model Optimasi AEIP

Berbasis Industri Tahu

Aspek Sistem Existing Model Optimasi Keterangan

Penggunaan Air Tanah

- Usaha ternak sapi 4.000 liter/hari 1.474,7 liter/hari Turun 63,13%

Penggunaan Material Impor

- Industri tahu

(kedelai)

2.082 kg/hari 1.425,87 kg/hari Turun 31,52%

Penggunaan Energi

- Industri tahu Rp 350.000,00/hari Rp 150.000,00/hari Turun 57,14%

Sisa Limbah Padat 1.000 kg/hari 0 kg/hari Turun 100%

- Ampas tahu 0 kg/hari 0 kg/hari Habis dijual sebagai

pakan ternak

- Kotoran sapi 1.000 kg/hari 0 kg/hari Habis digunakan se-

bagai pupuk organik

- Jerami kedelai (belum ada) 0 kg/hari Habis digunakan se-

bagai pakan ternak

Sisa Limbah Cair 69.420 liter/hari 3,12 liter/hari Turun 99,99%

- Industri tahu 41.420 liter/hari 2,07 liter/hari Turun 99,99%

- Usaha ternak sapi 4.000 liter/hari

- Unit biodigester 24.000 liter/hari 1,05 liter/hari Turun 99,99%

Profit per musim* Rp 1.915.504.777,00 Rp 2.531.755.346,00 Naik 32,17%

- Industri tahu Rp 1.891.448.580,00 Rp 2.065.776.341,00 Naik 9,22

- Usaha ternak sapi Rp 22.594.444,80 Rp 348.516.671,00 Naik 1.442,49%

- Usaha tani kedelai (belum ada) Rp 86.805.999,60 Unit usaha baru

- Usaha pupuk

organik

(belum ada) Rp 19.568.334,00 Unit usaha baru

- Unit biodigester Rp 1.461.752,40 Rp 11.088.000,00 Naik 658,54%

Kesempatan Kerja 66 orang 107 orang Naik 62,12%

- Industri tahu 57 orang 57 orang Jumlah kebutuhan

T.K. tetap

- Usaha ternak sapi 6 orang 23 orang Kebutuhan T.K.

naik 283,33%

- Usaha tani kedelai (belum ada) 16 orang Unit usaha baru

- Usaha pupuk

organik

(belum ada) 1 orang Unit usaha baru

- Unit biodigester 3 orang 10 orang Kebutuhan T.K.

naik 233,33% *1 musim = 4 bulan

114

3.7 Rekomendasi dalam Penerapan Model

Penerapan model optimasi AEIP berbasis industri tahu mensyaratkan kesediaan

para pelaku agroindustri untuk melakukan beberapa hal sebagai berikut:

1) melengkapi sistem dengan membangun unit usaha pendukung, yaitu usaha tani

kedelai dan usaha pupuk organik;

2) melakukan kolaborasi antar agroindustri berupa pertukaran material, air dan

energi sesuai konsep AEIP;

3) melakukan penyesuaian jumlah produksi sesuai hasil analisis optimasi; serta

4) memperbaiki teknik produksi sesuai rekomendasi.

Beberapa kendala yang mungkin muncul dalam implementasi model optimasi

AEIP berbasis industri tahu adalah:

1) kurangnya minat petani untuk membudidayakan kedelai karena rendahnya

keuntungan usaha tani kedelai dibanding komoditas lainnya;

2) kurangnya minat tenaga kerja untuk bekerja di sektor pertanian dan

agroindustri;

3) modal untuk pengembangan usaha, khususnya bagi peternak sapi dan

pengusaha pupuk organik;

4) komitmen dan kerja sama antar pelaku agroindustri untuk saling bertukar

produk, produk samping dan limbah; dan

5) resistensi pelaku usaha untuk merubah kebiasaan dalam melakukan usaha dan

mengelola limbah.

Implementasi model optimasi AEIP berbasis industri tahu dalam meningkatkan

kinerja ekonomi, sosial dan lingkungan juga membutuhkan dukungan dari

115

pemerintah, lembaga pendidikan tinggi, serta masyarakat. Peran pemerintah

dibutuhkan dalam hal:

1) membuat dan mengawasi pelaksanaan regulasi yang mendorong pengelolaan

limbah agroindustri dan pembentukan agroindustri pendukung;

2) mensosialisasikan regulasi, program, dan manfaat-manfaat yang terkait dengan

pembangunan agroindustri berkelanjutan, termasuk konsep AEIP berbasis

industri tahu kepada pelaku usaha dan masyarakat

3) memberikan pelatihan kepada tenaga kerja, pengusaha, pencari kerja dan

masyarakat mengenai pendirian usaha, pengelolaan dan perbaikan teknis usaha

serta pemanfaatan limbah;

4) menjamin dan mengendalikan harga dan pasokan komoditas, khususnya

kedelai, agar pelaku agroindustri mendapatkan kepastian harga dan

pemasasran;

5) memfasilitasi kerjasama antar pelaku agroindustri dalam bertukar produk,

produk samping maupun limbah, serta akses modal bagi pelaku usaha maupun

calon wirausaha agar dapat mengembangkan usaha.

Peran lembaga pendidikan tinggi dalam implementasi AEIP berbasis industri tahu

dapat diwujudkan:

1) membuat inovasi dalam bentuk teknologi tepat guna yang dapat diserap oleh

masyarakat dan pelaku usaha dalam meningkatkan produktivitas maupun

efisiensi usaha;

2) mensosialisasikan hasil-hasil temuan dan inovasi kepada masyarakat dan

pelaku usaha yang terkait;

116

3) membantu membangun kesadaran masyarakat dan pelaku usaha dalam

penerapan konsep AEIP dan produksi bersih.

Masyarakat juga dapat ikut berperan dengan cara:

1) turut serta dalam aktivitas agroindustri, baik sebagai tenaga kerja, pelaku

usaha, penyedia sumber daya, maupun pengguna;

2) mengawasi aktivitas pelaku agroindustri, terutama dalam pengelolaan limbah,

agar sesuai dengan aturan yang berlaku;

3) menjaga fasilitas yang digunakan dalam mendukung pengelolaan kawasan

agroindustri berwawasan lingkungan