Upload
leque
View
236
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
68
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Bab ini akan membahas gambaran variabel dan data yang digunakan dalam
penelitian ini, hasil analisis statistik dan ekonomi berdasarkan hasil penelitian pada
PDRB per kapita, pendidikan yang diukur dengan rata-rata lama sekolah, kesehatan
yang diukur dengan angka harapan hidup, tingkat pengangguran terbuka, dan upah
minimum terhadap tingkat kemiskinan selama tahun 2010 hingga 2015 di Provinsi
Jawa Tengah.
Analisis ekonometrik digunakan untuk melihat seberapa besar pengaruh
variabel independen mempengaruhi variabel dependen sedangakan analisis statistik
digunakan untuk melihat sejauh mana variabel independen dapat menjelaskan
variabel dependen serta untuk melihat tingkat signifikansi dalam penelitian melalui
pengujian statistik terhadap model yang digunakan. Analisis ekonomi akan
menjelaskan arti dari parameter-parameter yang didapat melalui hasil perkiraan
yang meliputi keseuaian arah parameter yang diteliti dengan hipotesis-hipotesis
yang telah ditetapkan berdasarkan teori ekonomi, serta melihat seberapa besar
pengaruh perubahan variabel independen terhadap variabel dependen.
4.1. Gambaran Variabel dan Data Penelitian
Pada bagian ini akan diuraikan deskripsi secara umum terhadap berbagai
variabel yang menjadi bahan kajian dalam penelitian ini dalam kurun waktu tahun
2010 hingga 2015. Variabel yang diteliti tersebut adalah tingkat kemiskinan, PDRB
per kapita, pendidikan yang diukur dengan rata-rata lama sekolah, kesehatan yang
69
diukur dengan angka harapan hidup, tingkat pengangguran terbuka, dan upah
minimum pada 35 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. Berikut merupakan
deskripsi statistik dari seluruh variabel yang digunakan dalam penelitian ini.
Tabel 4.1. Hasil Deskripsi Statistik
Variable Obs Mean Std. Dev Min Max
POV 210 14.23181 4.618817 4.97 24.58
GRDPCap 210 22293676.56 14753803.08 8928726.62 78239880.71
Educ 210 7.046143 1.277165 4.94 10.36
Health 210 74.311 2.066428 67.29 77.46
Unem 210 5.993381 2.07249 1.5 14.22
MinWage 210 928431.7 189758.6 662000 1685000
Sumber: Hasil pengolahan data
4.1.1. Tingkat Kemiskinan
Tingkat kemiskinan adalah persentase jumlah penduduk yang memiliki
rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Berdasarkan
data pada Tabel 4.1. secara umum tingkat kemiskinan yang ditunjukkan oleh
variabel POV antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah dalam kurun waktu
tahun 2010 – 2015 rata-rata sebesar 14,23%. Tingkat kemiskinan paling rendah
selama periode penelitian terdapat di Kota Semarang pada tahun 2015 yakni sebesar
4,97% sedangkan tingkat kemiskinan yang paling tinggi selama periode penelitian
terdapat di Kabupaten Purbalingga pada tahun 2010 yakni sebesar 25,58%.
Grafik 4.1. menunjukkan keadaan tingkat kemiskinan di 35 kabupaten/kota
di Jawa Tengah di mana rata-rata kabupaten/kota memiliki tingkat kemiskinan yang
cenderung mengalami penurunan dari tahun 2010 hingga tahun 2015. Kota
Semarang merupakan kota dengan tingkat kemiskinan yang paling rendah
dibanding kabupaten/kota lainnya dengan tingkat kemiskinan sebesar, kemudian
disusul dengan Kota Salatiga yang memiliki tingkat kemiskinan kedua terendah
70
selama periode penelitian. Adapun daerah yang memiliki tingkat kemiskinan
tertinggi selama periode penelitian adalah Kabupaten Wonosobo.
Grafik 4.1. Tingkat Kemiskinan per Kabupaten/Kota di Jawa Tengah Tahun
2010 - 2015
Sumber: Badan Pusat Statistik (data diolah)
4.1.2. PDRB Per Kapita
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita digunakan untuk
mengetahui tingkat perekonomian suatu daerah secara nyata per kapita. PDRB per
kapita didapat dengan membagi PDRB dengan jumlah penduduk pertengahan tahun
yang tinggal disuatu wilayah. PDRB yang digunakan adalah PDRB harga konstan
berdasarkan lapangan usaha. PDRB atas dasar harga konstan adalah penghitungan
PDRB berdasarkan harga tetap atau konstan pada tahun tertentu. PDRB dari sisi
lapangan usaha merupakan penjumlahan seluruh komponen nilai tambah bruto
yang mampu diciptakan oleh sektor-sektor ekonomi atas berbagai aktivitas
produksinya. Berdasarkan data pada Tabel 4.1. secara umum PDRB per kapita yang
0
5
10
15
20
25
30
Kab
up
aten
Cila
cap
Kab
up
aten
Ban
yum
as
Kab
up
aten
Pu
rbal
ingg
a
Kab
up
aten
Ban
jarn
egar
a
Kab
up
aten
Keb
um
en
Kab
up
aten
Pu
rwo
rejo
Kab
up
aten
Wo
no
sob
o
Kab
up
aten
Mag
elan
g
Kab
up
aten
Bo
yola
li
Kab
up
aten
Kla
ten
Kab
up
aten
Su
koh
arjo
Kab
up
aten
Wo
no
giri
Kab
up
aten
Kar
anga
nya
r
Kab
up
aten
Sra
gen
Kab
up
aten
Gro
bo
gan
Kab
up
aten
Blo
ra
Kab
up
aten
Re
mb
ang
Kab
up
aten
Pat
i
Kab
up
aten
Ku
du
s
Kab
up
aten
Je
par
a
Kab
up
aten
Dem
ak
Kab
up
aten
Sem
aran
g
Kab
up
aten
Tem
angg
un
g
Kab
up
aten
Ken
dal
Kab
up
aten
Bat
ang
Kab
up
aten
Pek
alo
nga
n
Kab
up
aten
Pem
alan
g
Kab
up
aten
Teg
al
Kab
up
aten
Bre
bes
Ko
ta M
age
lan
g
Ko
ta S
ura
kart
a
Ko
ta S
alat
iga
Ko
ta S
emar
ang
Ko
ta P
ekal
on
gan
Ko
ta T
egal
Kem
iski
nan
(%
)
Kabupaten/Kota, Tahun
2010 2011 2012 2013 2014 2015
71
ditunjukkan oleh variabel GRDPCap antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah
dalam kurun waktu tahun 2010 – 2015 rata-rata sebesar Rp.22.293.676,56. PDRB
per kapita paling tinggi selama periode penelitian terdapat di Kabupaten Kudus
pada tahun 2015 yakni Rp78.239.880,71 sedangkan PDRB per kapita yang paling
rendah selama periode penelitian terdapat di Kabupaten Purbalingga pada tahun
2010 yakni sebesar Rp 8.928.726,62.
Grafik 4.2. menunjukkan kondisi perekonomian yang digambarkan dengan
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita. Berdasarkan Grafik 4.2. dapat
dilihat bahwa nilai PDRB per kapita di masing-masing kabupaten/kota cenderung
mengalami peningkatan selama periode penelitian. Nilai PDRB per kapita yang
paling tinggi di Jawa Tengah adalah Kabupaten Kudus dan selanjutnya ada Kota
Semarang. Sedangkan nilai PDRB per kapita yang paling rendah berada di
Kabupaten Pemalang.
Untuk melihat hubungan antara PDRB per kapita dengan tingkat
kemiskinan di 35 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah sepanjang tahun 2010 –
2015 dapat terlihat scatter plot yang menunjukkan korelasi yang negatif
sebagaimana dapat dilihat pada Grafik 4.3.
72
Grafik 4.2. PDRB per Kapita per Kabupaten/Kota di Jawa Tengah Tahun
2010 - 2015
Sumber: Badan Pusat Statistik (data diolah)
Grafik 4.3. Keterkaitan Tingkat Kemiskinan dan PDRB Per Kapita
Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah
Sumber: Badan Pusat Statistik (data diolah)
4.1.3. Rata-rata Lama Sekolah
Rata-rata lama sekolah menurut Badan Pusat Statistik rata-rata jumlah tahun
belajar yang telah diselesaikan oleh penduduk yang berusia 25 tahun ke atas dan
0100000002000000030000000400000005000000060000000700000008000000090000000
Kab
up
ate
n C
ilaca
pK
abu
pat
en
Ban
yum
asK
abu
pat
en
Pu
rbal
ingg
aK
abu
pat
en
Ban
jarn
ega
raK
abu
pat
en
Keb
um
enK
abu
pat
en
Pu
rwo
rejo
Kab
up
ate
n W
on
oso
bo
Kab
up
ate
n M
age
lan
gK
abu
pat
en
Bo
yola
liK
abu
pat
en
Kla
ten
Kab
up
ate
n S
uko
har
joK
abu
pat
en
Wo
no
giri
Kab
up
ate
n K
aran
gan
yar
Kab
up
ate
n S
rage
nK
abu
pat
en
Gro
bo
gan
Kab
up
ate
n B
lora
Kab
up
ate
n R
emb
ang
Kab
up
ate
n P
ati
Kab
up
ate
n K
ud
us
Kab
up
ate
n J
epar
aK
abu
pat
en
Dem
akK
abu
pat
en
Se
mar
ang
Kab
up
ate
n T
em
angg
un
gK
abu
pat
en
Ken
dal
Kab
up
ate
n B
atan
gK
abu
pat
en
Pek
alo
nga
nK
abu
pat
en
Pem
alan
gK
abu
pat
en
Te
gal
Kab
up
ate
n B
reb
esK
ota
Mag
elan
gK
ota
Su
raka
rta
Ko
ta S
alat
iga
Ko
ta S
emar
ang
Ko
ta P
eka
lon
gan
Ko
ta T
egal
PD
RB
Per
Kap
ita
(Rp
)
Kabupaten/Kota, Tahun
2010 2011 2012 2013 2014 2015
0.00
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
30.00
0 20000000 40000000 60000000 80000000 100000000
Tin
gkat
Kem
iski
nan
(%
)
PDRB Per Kapita (Rp)
73
tidak termasuk tahun yang mengulang. Rata-rata lama sekolah dihitung untuk usia
25 tahun ke atas dengan asumsi pada umur 25 tahun proses pendidikan sudah
berakhir. Penghitungan rata-rata lama sekolah pada usia 25 tahun ke atas juga
mengikuti standar internasional yang digunakan oleh UNDP. Rata-rata lama
sekolah merupakan salah satu indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
Berdasarkan data pada Tabel 4.1. secara umum pendidikan yang diukur dengan
rata-rata lama sekolah dan ditunjukkan oleh variabel Educ antar kabupaten/kota di
Provinsi Jawa Tengah dalam kurun waktu tahun 2010 – 2015 rata-rata sebesar 7,05
tahun. Rata-rata lama sekolah paling tinggi selama periode penelitian terdapat di
Kota Surakarta pada tahun 2015 yakni 10,36 tahun sedangkan rata-rata lama
sekolah yang paling rendah selama periode penelitian terdapat di Kabupaten
Pemalang pada tahun 2010 yakni 4,94 tahun.
Grafik 4.4. menggambarkan keadaan tingkat pendidikan di kabupaten/kota
di Jawa Tengah yang diwakili oleh rata-rata lama sekolah. Angka rata-rata lama
sekolah di setiap kabupaten/kota di Jawa Tengah menunjukkan kecenderungan
peningkatan setiap tahunnya selama periode penelitian. Daerah perkotaan
menempati 4 urutan terbesar dari angka rata-rata lama sekolah yakni Kota
Magelang, Kota Surakarta, Kota Semarang, dan Kota Salatiga. Sementara
Kabupaten Brebes menempati urutan yang paling rendah dalam angka rata-rata
lama sekolah.
74
Grafik 4.4. Rata-rata Lama Sekolah per Kabupaten/Kota di Jawa Tengah
Tahun 2010 – 2015
Sumber: Badan Pusat Statistik (data diolah)
Untuk melihat hubungan antara pendidikan yang diukur dengan rata-rata
lama sekolah dengan tingkat kemiskinan di 35 kabupaten/kota di Provinsi Jawa
Tengah sepanjang tahun 2010 – 2015 dapat terlihat scatter plot yang menunjukkan
korelasi yang negatif sebagaimana dapat dilihat pada grafik berikut ini.
Grafik 4.5. Keterkaitan Tingkat Kemiskinan dan Rata-rata Lama Sekolah
Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah
Sumber: Badan Pusat Statistik (data diolah)
0
2
4
6
8
10
12K
abu
pat
en
Cila
cap
Kab
up
ate
n B
anyu
mas
Kab
up
ate
n P
urb
alin
gga
Kab
up
ate
n B
anja
rne
gara
Kab
up
ate
n K
ebu
men
Kab
up
ate
n P
urw
ore
joK
abu
pat
en
Wo
no
sob
oK
abu
pat
en
Mag
ela
ng
Kab
up
ate
n B
oyo
lali
Kab
up
ate
n K
late
nK
abu
pat
en
Su
koh
arjo
Kab
up
ate
n W
on
ogi
riK
abu
pat
en
Kar
anga
nya
rK
abu
pat
en
Sra
gen
Kab
up
ate
n G
rob
oga
nK
abu
pat
en
Blo
raK
abu
pat
en
Rem
ban
gK
abu
pat
en
Pat
iK
abu
pat
en
Ku
du
sK
abu
pat
en
Jep
ara
Kab
up
ate
n D
emak
Kab
up
ate
n S
em
aran
gK
abu
pat
en
Te
man
ggu
ng
Kab
up
ate
n K
end
alK
abu
pat
en
Bat
ang
Kab
up
ate
n P
ekal
on
gan
Kab
up
ate
n P
emal
ang
Kab
up
ate
n T
ega
lK
abu
pat
en
Bre
bes
Ko
ta M
agel
ang
Ko
ta S
ura
kart
aK
ota
Sal
atig
aK
ota
Sem
aran
gK
ota
Pe
kalo
nga
nK
ota
Teg
alRat
a-ra
ta L
ama
Seko
lah
(Tah
un
)
Kabupaten/Kota, Tahun
2010 2011 2012 2013 2014 2015
0.00
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
30.00
0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 12.00Tin
gkat
Kem
iski
nan
(%
)
Rata-rata Lama Sekolah (Tahun)
75
4.1.4. Angka Harapan Hidup
Angka harapan hidup menurut Badan Pusat Statistik adalah perkiraan rata-
rata jumlah tahun yang akan dijalani seseorang sejak orang tersebut lahir. Angka
harapan hidup merupakan salah satu indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
yang mencerminkan derajat kesehatan. Berdasarkan data pada Tabel 4.1. secara
umum kesehatan yang diukur dengan angka harapan hidup dan ditunjukkan oleh
variabel Health antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah dalam kurun waktu
tahun 2010 – 2015 rata-rata sebesar 74,31 tahun. Angka harapan hidup paling tinggi
selama periode penelitian terdapat di Kota Sukoharjo pada tahun 2015 yakni 77,46
tahun sedangkan angka harapan hidup yang paling rendah selama periode penelitian
terdapat di Kabupaten Brebes pada tahun 2010 yakni 67,29 tahun.
Grafik 4.6. menunjukkan keadaan tingkat kesehatan pada masing-masing
kabupaten/kota di Jawa Tengah yang diwakilkan oleh angka harapan hidup. Setiap
tahunnya, angka harapan hidup cenderung mengalami peningkatan di masing-
masing kabupaten/kota pada periode penelitian. Kabupaten Sukoharjo menempati
urutan pertama dalam angka harapan hidup tertinggi, selanjutnya Kota Semarang
menempati urutan berikutnya. Sedangkan Kabupaten Brebes memiliki angka
harapan hidup yang paling rendah di Jawa Tengah pada periode penelitian.
Untuk melihat hubungan antara kesehatan yang diukur dengan angka
harapan hidup dengan tingkat kemiskinan di 35 kabupaten/kota di Provinsi Jawa
Tengah sepanjang tahun 2010 – 2015 dapat terlihat scatter plot yang menunjukkan
korelasi yang negatif sebagaimana dapat dilihat pada Grafik 4.7.
76
Grafik 4.6. Angka Harapan Hidup per Kabupaten/Kota di Jawa Tengah
Tahun 2010 – 2015
Sumber: Badan Pusat Statistik (data diolah)
Grafik 4.7. Keterkaitan Tingkat Kemiskinan dan Angka Harapan Hidup
Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah
Sumber: Badan Pusat Statistik (data diolah)
4.1.5. Tingkat Pengangguran Terbuka
Tingkat pengangguran terbuka menurut Badan Pusat Statistik merupakan
persentase pengangguran dari angkatan kerja. Pengangguran terbuka meliputi
62646668707274767880
An
gka
Har
apan
Hid
up
(Tah
un
)
Kabupaten/Kota, Tahun
2010 2011 2012 2013 2014 2015
0.00
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
30.00
66.00 68.00 70.00 72.00 74.00 76.00 78.00
Tin
gkat
Kem
iski
nan
(%
)
Angka Harapan Hidup (Tahun)
77
penduduk yang tidak punya pekerjaan dan sedang mencari pekerjaan, atau sedang
mempersiapkan suatu usaha, atau merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan,
atau sudah punya pekerjaan tetapi belum mulai bekerja. Berdasarkan data pada
Tabel 4.1. secara umum tingkat pengangguran terbuka yang ditunjukkan oleh
variabel Unem antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah dalam kurun waktu
tahun 2010 – 2015 rata-rata sebesar 5,99%. Tingkat pengangguran terbuka paling
rendah selama periode penelitian terdapat di Kabupaten Temanggung pada tahun
2015 yakni sebesar 1,5% sedangkan tingkat pengangguran yang paling tinggi
selama periode penelitian terdapat di Kota Tegal pada tahun 2010 yakni sebesar
14,22%.
Grafik 4.8. menunjukkan tingkat pengangguran terbuka di setiap
kabupaten/kota di Jawa Tengah. Tingkat pengangguran terbuka untuk setiap
kabupaten/kota di Jawa Tengah mengalami fluktuasi pada periode penelitian.
Kabupaten Temanggung memiliki rata-rata tingkat pengangguran paling rendah di
Jawa Tengah pada periode penelitian, selanjutnya Kabupaten Wonogiri pada urutan
berikutnya. Sedangkan Kota Tegal memiliki rata-rata tingkat pengangguran
tertinggi di Jawa Tengah selama periode penelitian.
Untuk melihat hubungan antara tingkat pengangguran terbuka dengan
tingkat kemiskinan di 35 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah sepanjang tahun
2010 – 2015 dapat terlihat scatter plot yang menunjukkan korelasi yang negatif,
tetapi tidak terlalu curam dan hampir tidak menunjukkan korelasi yang negatif
sebagaimana dapat dilihat pada grafik berikut ini.
78
Grafik 4.8. Tingkat Pengangguran Terbuka per Kabupaten/Kota di Jawa
Tengah Tahun 2010 – 2015
Sumber: Badan Pusat Statistik (data diolah)
Grafik 4.9. Keterkaitan Tingkat Kemiskinan dan Tingkat Pengangguran
Terbuka Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah
Sumber: Badan Pusat Statistik (data diolah)
4.1.6. Upah Minimum
Upah Minimum menurut Badan Pusat Statistik adalah upah minimum
bulanan yang terdiri dari upah pokok termasuk tunjangan tetap yang berlaku di
suatu daerah dalam penelitian ini adalah kabupaten/kota. Berdasarkan data pada
02468
10121416
Kab
up
aten
Cila
cap
Kab
up
aten
Ban
yum
as
Kab
up
aten
Pu
rbal
ingg
a
Kab
up
aten
Ban
jarn
egar
a
Kab
up
aten
Keb
um
en
Kab
up
aten
Pu
rwo
rejo
Kab
up
aten
Wo
no
sob
o
Kab
up
aten
Mag
elan
g
Kab
up
aten
Bo
yola
li
Kab
up
aten
Kla
ten
Kab
up
aten
Su
koh
arjo
Kab
up
aten
Wo
no
giri
Kab
up
aten
Kar
anga
nya
r
Kab
up
aten
Sra
gen
Kab
up
aten
Gro
bo
gan
Kab
up
aten
Blo
ra
Kab
up
aten
Re
mb
ang
Kab
up
aten
Pat
i
Kab
up
aten
Ku
du
s
Kab
up
aten
Je
par
a
Kab
up
aten
Dem
ak
Kab
up
aten
Sem
aran
g
Kab
up
aten
Tem
angg
un
g
Kab
up
aten
Ken
dal
Kab
up
aten
Bat
ang
Kab
up
aten
Pek
alo
nga
n
Kab
up
aten
Pem
alan
g
Kab
up
aten
Teg
al
Kab
up
aten
Bre
bes
Ko
ta M
age
lan
g
Ko
ta S
ura
kart
a
Ko
ta S
alat
iga
Ko
ta S
emar
ang
Ko
ta P
ekal
on
gan
Ko
ta T
egal
TIn
gkat
Pen
gan
ggu
ran
Ter
bu
ka (
%)
Kabupaten/Kota, Tahun
2010 2011 2012 2013 2014 2015
0.00
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
30.00
0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 12.00 14.00 16.00
Tin
gkat
Kem
iski
nan
(%
)
Tingkat Pengangguran Terbuka (%)
79
Tabel 4.1. secara umum Upah Minimum yang ditunjukkan oleh variabel MinWage
antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah dalam kurun waktu tahun 2010 –
2015 rata-rata sebesar Rp 928.431,7. Upah minimum paling tinggi selama periode
penelitian terdapat di Kota Semarang pada tahun 2015 yakni Rp 1.685.000,-
sedangkan upah minimum yang paling rendah selama periode penelitian terdapat di
Kabupaten Banjarnegara pada tahun 2010 yakni sebesar Rp 662.000,-
Grafik 4.10. menunjukkan Upah Minimum Kabupaten/Kota di Jawa
Tengah. Kecenderungan upah minimum di Jawa Tengah selama periode penelitian
meningkat untuk setiap kabupaten/kota setiap tahunnya. Upah minimum tertinggi
di Jawa Tengah selama periode penelitian adalah Kota Semarang, kemudian urutan
berikutnya adalah Kabupaten Demak. Sedangkan Upah Minimum yang terkecil di
Jawa Tengah selama periode penelitian adalah Kabupaten Banjarnegara.
Grafik 4.10.
Upah Minimum Kabupaten/Kota di Jawa Tengah Tahun 2010 – 2015
Sumber: Badan Pusat Statistik (data diolah)
0200000400000600000800000
10000001200000140000016000001800000
Kab
up
aten
Cila
cap
Kab
up
aten
Ban
yum
as
Kab
up
aten
Pu
rbal
ingg
a
Kab
up
aten
Ban
jarn
egar
a
Kab
up
aten
Keb
um
en
Kab
up
aten
Pu
rwo
rejo
Kab
up
aten
Wo
no
sob
o
Kab
up
aten
Mag
elan
g
Kab
up
aten
Bo
yola
li
Kab
up
aten
Kla
ten
Kab
up
aten
Su
koh
arjo
Kab
up
aten
Wo
no
giri
Kab
up
aten
Kar
anga
nya
r
Kab
up
aten
Sra
gen
Kab
up
aten
Gro
bo
gan
Kab
up
aten
Blo
ra
Kab
up
aten
Re
mb
ang
Kab
up
aten
Pat
i
Kab
up
aten
Ku
du
s
Kab
up
aten
Je
par
a
Kab
up
aten
Dem
ak
Kab
up
aten
Sem
aran
g
Kab
up
aten
Tem
angg
un
g
Kab
up
aten
Ken
dal
Kab
up
aten
Bat
ang
Kab
up
aten
Pek
alo
nga
n
Kab
up
aten
Pem
alan
g
Kab
up
aten
Teg
al
Kab
up
aten
Bre
bes
Ko
ta M
age
lan
g
Ko
ta S
ura
kart
a
Ko
ta S
alat
iga
Ko
ta S
emar
ang
Ko
ta P
ekal
on
gan
Ko
ta T
egal
Up
ah M
inim
um
(R
p)
Kabupaten/Kota, Tahun
2010 2011 2012 2013 2014 2015
80
Untuk melihat hubungan antara upah minimum dengan tingkat kemiskinan
di 35 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah sepanjang tahun 2010 – 2015 dapat
terlihat scatter plot yang menunjukkan korelasi yang negatif sebagaimana dapat
dilihat pada grafik berikut ini.
Grafik 4.11. Keterkaitan Tingkat Kemiskinan dan Upah Minimum
Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah
Sumber: Badan Pusat Statistik (data diolah)
4.2.Hasil Estimasi
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah random effect model
untuk melihat pengaruh dari variabel independen PDRB per kapita, pendidikan
yang diukur dengan rata-rata lama sekolah, kesehatan yang diukur dengan angka
harapan hidup, tingkat pengangguran terbuka, dan upah minimum terhadap tingkat
kemiskinan. Sebelum melakukan estimasi, untuk menentukan apakah model dalam
penelitian ini menggunakan pooled least square, fixed effect model, atau random
effect model, maka dilakukan beberapa pengujian untuk menentukan hasil estimasi
yang terbaik. Berikut adalah perbandingan hasil estimasi dengan menggunakan
pooled least square, fixed effect model, dan random effect model.
0.00
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
30.00
0.00 500000.00 1000000.00 1500000.00 2000000.00
Tin
gkat
Kem
iski
nan
(%
)
Upah Minimum (Rp)
81
Tabel 4.2. Perbandingan Hasil Estimasi
VARIABLES Pooled Least Square Fixed Effect Model Random Effect Model
lnGRDPCap -1.821*** -7.572*** -3.940***
(0.643) (2.152) (1.163)
Educ -0.124 -0.358 -0.363
(0.278) (0.366) (0.326)
Health -1.028*** -1.460** -0.875***
(0.147) (0.611) (0.274)
Unem -0.429*** 0.0148 0.0140
(0.122) (0.0334) (0.0338)
lnMinWage -6.714*** -0.916 -2.744***
(1.257) (0.791) (0.488)
Constant 216.7*** 264.7*** 185.4***
(20.36) (38.57) (20.09)
Observations 210 210 210
R-squared 0.5721 0.5062 0.5310
Standard errors in parentheses
*** p<0.01, ** p<0.05, * p<0.1
Sumber: Hasil pengolahan data
4.2.1. Uji Chow
Uji Chow dilakukan untuk mengetahui mdoel manakah antara pooled least
square atau fixed effect model yang lebih baik digunakan dalam penelitian ini. Hasil
dari uji chow adalah sebagai berikut:
Tabel 4.3. Hasil Uji Chow
Prob > F Signifikansi α
0.0000 0.05
Sumber: Hasil pengolahan data
Berdasarkan hasil dari uji Chow, dapat dilihat bahwa model ini memiliki
nilai probabilitas sebesar 0.0000 yang mana angka tersebut lebih besar
dibandingkan dengan nilai α yaitu sebesar 0.05. Oleh karena itu dapat diambil
kesimpulan bahwa fixed effect model lebih baik digunakan dalam penelitian ini.
82
4.2.2. Uji Hausman
Pada uji Chow yang dilakukan sebelumnya, disimpulkan bahwa fixed effect
model lebih baik digunakan dalam penelitian ini. Akan tetapi perlu dilakukan
pengujian kembali untuk mengetahui model manakah yang lebih baik antara fixed
effect model dan random effect model yang diuji dengan uji Hausman. Adapun hasil
dari uji Hausman adalah sebagai berikut:
Tabel 4.4. Hasil Uji Hausman Prob > 𝜒2 Signifikansi α
0.1439 0.05
Sumber: Hasil pengolahan data
Berdasarkan hasil uji Hausman dapat dilihat bahwa nilai probabilitasnya
adalah sebesar 0.1439 sedangkan angka tersebut lebih besar dari pada signifikansi
α sebesar 0.05 sehingga dapat disimpulkan bahwa model yang lebih baik digunakan
dalam penelitian ini adalah random effect model.
4.2.3. Uji Breusch-Pagan Lagrangian Multiplier
Setelah dilakukan uji Hausman pada bagian sebelumnya, kesimpulan yang
didapat adalah model yang lebih baik digunakan dalam penelitian ini adalah
random effect model. Namun, perlu dilakukan pengujian kembali untuk mengetahui
model mana yang lebih baik antara random effect model dengan pooled least
square. Adapun pengujiannya dilakukan dengan uji Breusch-Pagan Lagrangian
Multiplier. Hasil dari uji tersebut adalah sebagai berikut.
Tabel 4.5. Hasil Uji Breusch-Pagan Lagrangian Multiplier
Prob > �̅�2 Signifikansi α
0.0000 0.05
Sumber: Hasil pengolahan data
83
Berdasarkan hasil uji Breusch-Pagan Lagrangian Multiplier terlihat bahwa
nilai probabilitasnya adalah sebesar 0.0000, lebih kecil dibandingkan dengan
signifikansi α yaitu sebesar 0.05 maka dapat dikatakan bahwa model yang lebih
baik digunakan dalam penelitian ini adalah random effect model.
Setelah dilakukan proses regresi dengan menggunakan random effect
model, maka diperoleh hasil sebagai berikut:
Tabel 4.6. Hasil Estimasi
VARIABLES POV
lnGRDPCap -3.940***
(1.163)
Educ -0.363
(0.326)
Health -0.875***
(0.274)
Unem 0.0140
(0.0338)
lnMinWage -2.744***
(0.488)
Constant 185.4***
(20.09)
Observations 210
Number of Code 35
R-Squared 0.5310
Standard errors in parentheses
*** p<0.01, ** p<0.05, * p<0.1
Sumber: Hasil pengolahan data
4.3. Pengujian Masalah dalam Regresi Linear
4.3.1. Uji Multikolinearitas
Multikolinearitas merupakan masalah yang terdapat pada variabel
independen yang memiliki ikatan erat atau hubungan yang saling berpengaruh.
Multikolinearitas dapat dideteksi dengan melihat korelasi antar variabel
84
independen. Apabila korelasi antar variabel lebih dari 0,8 maka dapat dikatakan
terjadi masalah multikolinearitas dalam model (Gujarati & Porter, 2009).
Tabel 4.7. Hasil Penghitungan Koefisien Korelasi
lnGDRPCap Educ Health Unem lnMinWage
lnGDRPCap 1.0000
Educ 0.7238 1.0000
Health 0.5264 0.6513 1.0000
Unem 0.2684 0.1495 -0.1502 1.0000
lnMinWage 0.3218 0.3340 0.2254 -0.2192 1.0000
Sumber: Hasil pengolahan data
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa nilai koefisien korelasi pada
setiap variabel independen tidak menunjukkan angka yang lebih dari 0,80.
Sehingga model penelitian ini menunjukkan tidak terdapat masalah
multikolinearitas.
4.3.2. Uji Heteroskedastisitas
Masalah heteroskedastisitas lebih sering terjadi pada data cross section
dibandingkan dengan data time series. Untuk mengatasi permasalahan
kemungkinan adanya heteroskedastis ini, maka digunakan estimasi GLS
(Generalized Least Square). Menurut Gujarati & Porter (2009) pada hasil regresi
menggunakan random effect model merupakan estimasi yang dilakukan dengan
generelize least square (GLS) yakni transformasi variabel sehingga memenuhi
asumsi standar kuadrat terkecil, dimana hasil estimasi dari GLS yakni
homoskedastis sehingga pada metode GLS tidak terdapat masalah
heteroskedastisitas, di mana persebaran data menjadi konstan atau tidak terdapat
outlier pada data. Pada random effect model juga terbebas dari masalah asumsi
klasik lainnya di mana pada random effect model, estimasi yang dihasilkan
85
konsisten dan terdistribusi dengan normal atau menghasikan estimasi yang tidak
bias (Wooldridge, 2012).
4.3.3. Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi digunakan untuk mengetahui adanya korelasi antara
anggota observasi yang satu dengan yang lain yang berlainan periode/waktu.
Metode random effect model menurut Wooldridge (2012) memiliki keunggulan
dibandingkan dengan fixed effect model dan pooled least square dimana tidak
terdapat korelasi antara error term, yakni error terms pada periode tertentu tidak
berkorelasi dengan variabel yang ada pada periode lain sehingga tidak terdapat
masalah autokorelasi. Sedangkan menurut Gujarati & Porter (2009) pada model
random effect tidak terdapat korelasi dari error secara individual dan tidak ada
autokorelasi antara unit cross section dan time series.
4.4. Pengujian Statistik
4.4.1. Koefisien Determinasi (𝑹𝟐)
Penggunaan koefisien determinasi adalah untuk mengukur seberapa besar
kemampuan variabel independen dalam menjelaskan variabel dependen pada
model. Hasil estimasi menunjukkan nilai 𝑅2 pada model memiliki nilai sebesar
0,5310 atau 53,10% yang artinya bahwa adanya perubahan variabel independen
(PDRB per kapita, pendidikan yang diukur dengan rata-rata lama sekolah,
kesehatan yang diukur dengan angka harapan hidup, tingkat pengangguran terbuka,
dan upah minimum) dalam model ini mampu menjelaskan 53,10% dari variabel
86
dependennya (tingkat kemiskinan), sedangkan sisanya sebesar 46,90% dijelaskan
oleh faktor lain di luar model yang tidak digunakan dalam penelitian ini.
4.4.2. Uji Signifikansi Simultan
Pada hasil estimasi random effect model dalam software STATA 13,
digunakan uji Wald Chi-Square untuk melihat apakah semua variabel independen
mempengaruhi variabel dependen secara signifikan (StataCorp, 2013). Berikut
adalah tabel hasil pengujian signifikansi simultan dengan uji Wald 𝜒2 yang didapat
dari hasil estimasi software STATA 13.
Tabel 4.8. Hasil Pengujian dengan Uji Wald 𝝌𝟐
Prob > 𝜒2 Signifikansi α
0.0000 0.01
Sumber: Hasil pengolahan data
Berdasarkan hasil uji Wald 𝜒2 terlihat bahwa nilai probabilitasnya adalah
sebesar 0.0000, lebih kecil dibandingkan dengan signifikansi α yaitu sebesar 1%.
Artinya, variabel independen yang terdiri dari PDRB per kapita, pendidikan yang
diukur dengan rata-rata lama sekolah, kesehatan yang diukur dengan angka harapan
hidup, tingkat pengangguran terbuka, dan upah minimum secara bersama-sama
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kemiskinan di provinsi Jawa Tengah
pada tahun 2010 – 2015.
4.4.3. Uji Signifikansi Parsial
Pada hasil estimasi random effect model pada software STATA 13 digunakan
uji z untuk melihat pengaruh masing-masing variabel independen terhadap variabel
87
dependen (StataCorp, 2013). Berikut merupakan tabel hasil pengujian signifikansi
parsial dengan uji z:
Tabel 4.9. Hasil Pengujian Signifikansi Parsial dengan Uji Z
Variabel 𝑃𝑟𝑜𝑏 𝑧 𝐻0 Keterangan
lnGDRPCap 0.001 𝐻0 ditolak Signifikan pada 𝛼 = 1%
Educ 0.266 𝐻0 tidak dapat ditolak Tidak signifikan
Health 0.001 𝐻0 ditolak Signifikan pada 𝛼 = 1%
Unem 0.679 𝐻0 tidak dapat ditolak Tidak signifikan
lnMinWage 0.000 𝐻0 ditolak Signifikan pada 𝛼 = 1%
Sumber: Hasil pengolahan data
Berdasarkan hasil pengujian, variabel PDRB per kapita, kesehatan yang
diukur dengan angka harapan hidup, dan upah minimum secara parsial
mempengaruhi tingkat kemiskinan secara signifikan pada tingkat signifikansi 1%.
Sedangakan variabel pendidikan yang diukur dengan rata-rata lama sekolah dan
tingkat pengangguran secara parsial tidak mempengaruhi tingkat kemiskinan secara
signifikan.
4.5. Analisis Model
4.5.1. Pengaruh PDRB Per Kapita terhadap Tingkat Kemiskinan
Koefisien dari PDRB per kapita terhadap tingkat kemiskinan adalah sebesar
-3,940 dan signifikan pada tingkat signifikansi 1%. Hal ini menunjukkan bahwa
setiap terjadi kenaikkan satu persen pada PDRB per kapita, maka tingkat
kemiskinan akan mengalami penurunan sebesar 3,940% dengan asumsi ceteris
paribus.
88
4.5.2. Pengaruh Pendidikan terhadap Tingkat Kemiskinan
Koefisien dari pendidikan yang diukur dengan rata-rata lama sekolah
terhadap tingkat kemiskinan adalah sebesar -0,363 namun tidak signifikan. Hal ini
menunjukkan bahwa ketika lamanya pendidikan bertambah satu tahun, maka
tingkat kemiskinan akan mengalami penurunan sebesar 0,363% dengan asumsi
ceteris paribus.
4.5.3. Pengaruh Kesehatan terhadap Tingkat Kemiskinan
Koefisien dari kesehatan yang diukur dengan angka harapan hidup terhadap
tingkat kemiskinan adalah sebesar -0,875 dan signifikan pada tingkat signifikansi
1%. Hal ini menunjukkan bahwa ketika harapan hidup bertambah satu tahun, maka
tingkat kemiskinan akan mengalami penurunan sebesar 0,875% dengan asumsi
ceteris paribus.
4.5.4. Pengaruh Pengangguran terhadap Tingkat Kemiskinan
Koefisien dari pengangguran terhadap tingkat kemiskinan adalah sebesar
0,0140 namun tidak signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa setiap terjadi
kenaikkan satu persen pada pengangguran, maka tingkat kemiskinan akan
mengalami kenaikkan sebesar 0,0140% dengan asumsi ceteris paribus.
4.5.5. Pengaruh Upah Minimum terhadap Tingkat Kemiskinan
Koefisien dari upah minimum terhadap tingkat kemiskinan adalah sebesar -
2,744 dan signifikan pada tingkat signifikansi 1%. Hal ini menunjukkan bahwa
setiap terjadi kenaikkan satu persen pada upah minimum, maka tingkat kemiskinan
akan mengalami penurunan sebesar 2,744% dengan asumsi ceteris paribus.
89
4.6. Analisis Ekonomi
4.6.1. Pengaruh PDRB Per Kapita terhadap Tingkat Kemiskinan
Berdasarkan hasil estimasi, variabel PDRB per kapita berpengaruh secara
signifikan terhadap tingkat kemiskinan di Jawa Tengah dan memiliki koefisien
sebesar -3,940. Angka tersebut menunjukkan bahwa setiap terjadi kenaikkan
sebesar 1% pada PDRB per kapita maka tingkat kemiskinan akan menurun sebesar
3,940%, dalam keadaan ceteris paribus.
Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Miranti
(2017) yang menyebutkan bahwa kenaikkan PDRB per kapita akan menurunkan
kemiskinan. Jika dibandingkan dengan penelitian tersebut, pengaruh dari PDRB per
kapita dalam mengurangi kemiskinan sebesar 0,203, artinya setiap terjadi
kenaikkan PDRB per kapita sebesar 1%, maka akan menurunkan kemiskinan
sebesar 0,203%. Pengaruhnya lebih kecil dibandingkan penelitian ini, yakni sebesar
3,940%. Rata-rata PDRB per kapita dalam penelitian ini adalah sebesar 22,2 juta
rupiah, angka ini lebih besar dibandingkan penelitian sebelumnya di mana rata-rata
PDRB per kapita pada penelitian sebelumnya sebesar 8,83 juta rupiah. Rata-rata
PDRB per kapita yang lebih besar pada penelitian ini memungkinkan penurunan
kemiskinan yang disebabkan oleh meningkatnya PDRB per kapita dalam penelitian
ini pengaruhnya lebih besar dibandingkan dengan penelitian sebelumnya.
Berdasarkan hasi estimasi, dapat disimpulkan bahwa PDRB per kapita
memiliki hubungan negatif terhadap tingkat kemiskinan. Semakin tinggi PDRB per
kapita menggambarkan bahwa provinsi Jawa Tengah memiliki kinerja ekonomi
yang cukup baik sehingga dapat mengurangi angka kemiskinan. Olavaria-Gambi
90
(2003) menyebutkan bahwa kenaikkan PDB per kapita sejalan dengan penurunan
kemiskinan. Pradeep Agrawal (2008) mengatakan bahwa daerah dengan laju
pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi akan berdampak pada penurunan
kemiskinan yang lebih cepat. Adapun peningkatan pada pengeluaran yang
dialokasikan untuk pendidikan dan kesehatan, yang disebabkan oleh peningkatan
PDRB, juga berpengaruh signifikan dan mengurangi tingkat kemiskinan.
Pendapatan per kapita merupakan salah satu ukuran kemakmuran bagi tiap daerah.
Semakin tinggi pendapatan tersebut maka semakin tinggi daya beli penduduk, dan
daya beli yang bertambah ini akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat
(Sukirno, 2006).
4.6.2. Pengaruh Pendidikan terhadap Tingkat Kemiskinan
Berdasarkan hasil estimasi, variabel pendidikan yang diukur dengan rata-
rata lama sekolah tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel tingkat
kemiskinan. Hasil dari penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan
oleh Olavarria-gambi (2003) yang mengatakan meningkatnya tingkat pendidikan
akan menyebabkan penurunan tingkat kemiskinan secara signifikan. Meskipun
pada hasil estimasi variabel pendidikan tidak berpengaruh signifikan terhadap
kemiskinan, variabel pendidikan memiliki hubungan yang berkebalikan terhadap
tingkat kemiskinan.
Berdasarkan teori yang dikemukan oleh Arsyad (1999) mengatakan bahwa
pendidikan (baik formal maupun non formal) dapat berperan penting dalam
mengurangi kemiskinan dalam jangka panjang, baik secara tidak langsung, yaitu
91
melalui perbaikan produktivitas dan efisiensi secara umum, maupun secara
langsung, yaitu melalui pelatihan golongan miskin dengan bekal keterampilan yang
dibutuhkan untuk meningkatkan produktivitas mereka yang pada gilirannya akan
mampu meningkatkan pendapatan mereka. Semakin tinggi tingkat pendidikan
seseorang, maka pengetahuan dan keahlian juga akan meningkat sehingga akan
mendorong peningkatan produktivitas seseorang. Pada akhirnya seseorang yang
memiliki produktivitas yang tinggi akan memperoleh kesejahteraan yang lebih
baik, yang dapat diperlihatkan melalui peningkatan pendapatan maupun
konsumsinya.
Pendidikan yang diukur dengan rata-rata lama sekolah tidak berpengaruh
signifikan terhadap tingkat kemiskinan. Ditemukan tidak adanya pengaruh rata-rata
lama sekolah terhadap tingkat kemiskinan menandakan bahwa meningkatnya rata-
rata lama sekolah kurang berdampak bagi tingkat produktivitas. Hal ini sesuai
dengan penelitian Balisacan, dkk (2003) yang menyatakan bahwa perlunya ada
peningkatan kualitas sekolah sehingga kualitas sumber daya manusia dan
produktivitas meningkat. Rata-rata lama sekolah penduduk Provinsi Jawa Tengah
tahun 2015 masih tergolong rendah sebesar 7,03 tahun atau setara dengan Sekolah
Menengah Pertama dan belum menamatkan pendidikan Sekolah Menengah Atas
(SMA) serta belum mencapai target pendidikan 15 tahun yang telah diusulkan
United National Development Program (UNDP). Rata-rata lama sekolah yang
rendah mengakibatkan kemampuan pengembangan diri menjadi terbatas sehingga
tidak berpengaruh signifikan terhadap pengurangan kemiskinan di Jawa Tengah.
92
Rendahnya tingkat pendidikan menyebabkan penduduk di Provinsi Jawa
Tengah minim akan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Akibatnya,
sebagian besar penduduk Provinsi Jawa Tengah memilih bekerja di sektor-sektor
yang tidak membutuhkan pendidikan tinggi dan keahlian khusus. Sektor yang
mendominasi di Provinsi Jawa Tengah yaitu sektor perdagangan, hotel, dan
restoran serta sektor pertanian.
4.6.3. Pengaruh Kesehatan terhadap Tingkat Kemiskinan
Berdasarkan hasil estimasi, variabel kesehatan memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap tingkat kemiskinan di Jawa Tengah. Kesehatan memiliki
koefisien sebesar -0,875. Angka ini menunjukkan bahwa setiap kenaikkan angka
harapan hidup selama satu tahun maka tingkat kemiskinan akan turun sebesar
0,875%, tanpa dipengaruhi oleh variabel lain. Hal ini mengindikasikan bahwa
kesehatan yang diukur dengan angka harapan hidup memiliki hubungan yang
negatif terhadap tingkat kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah selama periode
penelitian, yaitu tahun 2010 hingga 2015.
Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
Bakhtiari & Meisami (2010) yang menyebutkan bahwa kenaikkan angka harapan
hidup akan menurunkan tingkat kemiskinan. Jika dibandingkan dengan penelitian
tersebut, pengaruh dari angka harapan hidup dalam mengurangi tingkat kemiskinan
sebesar 0,15, artinya setiap angka harapan hidup meningkat satu tahun, maka akan
menurunkan tingkat kemiskinan sebesar 0,15%. Pengaruhnya lebih kecil
dibandingkan penelitian ini, yakni sebesar 0,875%. Rata-rata angka harapan hidup
93
yang digunakan dalam penelitian ini adalah 74,3 tahun. Rata-rata angka harapan
hidup pada penelitian ini lebih besar dibandingkan dengan penelitian sebelumnya
yakni sebesar 66,4 tahun. Perbedaan rata-rata angka harapan hidup yang mana
dalam penelitian ini rata-rata angka harapan hidupnya lebih tinggi memungkinkan
penurunan kemiskinan yang disebabkan oleh peningkatan angka harapan hidup
dalam penelitian ini pengaruhnya lebih besar dibandingkan penelitian sebelumnya.
Olavaria-Gambi (2003) menyebutkan bahwa adanya peningkatan di bidang
kesehatan akan berpotensi menurunkan tingkat kemiskinan. Strauss dan Thomas
(1998) berpendapat bahwa ada keterkaitan yang kuat antara kesehatan dengan
kemiskinan. Kesehatan individu menentukan produktivitas sehingga semakin
rendah tingkat kesehatan, semakin besar kemungkinan individu untuk terjebak
dalam kemiskinan. Upaya pemerintah dalam memperbaiki sarana dan prasarana
kesehatan cukup penting dalam mengentaskan kemiskinan (Arsyad, 1999).
Peningkatan kualitas pelayanan kesehatan dalam jangka panjang akan
meningkatkan produktivitas, khususnya bagi masyarakat yang tergolong kurang
mampu.
4.6.4. Pengaruh Pengangguran terhadap Tingkat Kemiskinan
Berdasarkan hasil estimasi, variabel pengangguran tidak berpengaruh
signifikan terhadap variabel tingkat kemiskinan. Hasil dari penelitian ini tidak
sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Pradeep Agrawal (2008) yang
mengatakan bahwa bertambahnya tingkat pengangguran akan menyebabkan
peningkatan pula terhadap tingkat kemiskinan secara signifikan. Meskipun pada
94
hasil estimasi variabel pengangguran tidak berpengaruh signifikan terhadap
kemiskinan, variabel pengangguran memiliki hubungan yang searah terhadap
tingkat kemiskinan.
Menurut Brady (2005) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa
pengangguran tidak berpengaruh signifikan terhadap tingkat kemiskinan. Hal
tersebut disebabkan karena adanya transfer jaminan sosial yang diberikan oleh
pemerintah kepada masyarakat. Lim (1994) menyebutkan bahwa tidak selalu orang
yang menganggur adalah miskin, melainkan mereka mempunyai sumber
pendapatan lain (bukan bekerja) yang dapat mendukung keuangan mereka.
Pemerintah Indonesia memberi bantuan sosial kepada masyarakat miskin melalui
Program Keluarga Harapan (PKH) yang sudah dimulai dari tahun 2007. Pada tahun
2017, bantuan sosial yang diberikan pemerintah kepada masyarakat sebesar Rp
1.890.000,-.
Arsyad (1999) menyatakan belum tentu setiap orang yang tidak mempunyai
pekerjaan adalah miskin. Hal ini karena kadang kala ada pekerja di perkotaan yang
tidak bekerja secara sukarela karena mencari pekerjaan yang lebih baik yang lebih
sesuai dengan tingkat pendidikannya. Mereka menolak pekerjaan yang mereka
rasakan lebih rendah dan mereka bersikap demikian karena mereka mempunyai
sumber lain yang bisa membantu masalah keuangan mereka.
4.6.5. Pengaruh Upah Minimum terhadap Tingkat Kemiskinan
Berdasarkan hasil estimasi, variabel upah minimum memiliki pengaruh
yang signifikan terhadap tingkat kemiskinan di Jawa Tengah. Kesehatan memiliki
95
koefisien sebesar -2,744. Angka ini menunjukkan bahwa setiap kenaikkan upah
minimum sebesar satu persen maka tingkat kemiskinan akan turun sebesar 2,744%,
tanpa dipengaruhi oleh variabel lain. Hal ini mengindikasikan bahwa upah
minimum memiliki hubungan yang negatif terhadap tingkat kemiskinan di Provinsi
Jawa Tengah selama periode penelitian, yaitu tahun 2010 hingga 2015.
Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan Stevans dan
Sessions (2001) yang menyebutkan bahwa kenaikkan upah minimum akan
menurunkan kemiskinan. Jika dibandingkan dengan penelitian tersebut, pengaruh
dari upah minimum dalam mengurangi kemiskinan sebesar 1,20, artinya setiap
terjadi kenaikkan upah minimum sebesar 1%, maka akan menurunkan kemiskinan
sebesar 1,20%. Pengaruhnya lebih kecil dibandingkan penelitian ini, yakni sebesar
2,744%. Penelitian Stevans dan Sessions (2001) menggunakan data upah minimum
Amerika Serikat. Berikut adalah perbandingan upah minimum di Amerika Serikat
dengan di Indonesia.
Tabel 4.10. Upah Minimum di Amerika Serikat, Indonesia, dan Provinsi
Jawa Tengah Tahun 1996 – 2015
Tahun
Amerika Serikat
(dalam Dolar AS
per jam)
Indonesia
(dalam Rupiah
per bulan)
Jawa Tengah
(dalam Rupiah
per bulan)
1996 4,75 - -
1997 5,15 135000 113000
1998 5,15 150900 130000
1999 5,15 175400 153000
2000 5,15 216500 185000
2001 5,15 290500 245000
2002 5,15 362700 314500
2003 5,15 414700 340400
2004 5,15 458500 365000
2005 5,15 507697 390000
96
2006 5,15 602702 450000
2007 5,85 672480 500000
2008 6,55 745709 547000
2009 7,25 841530 575000
2010 7,25 908824 660000
2011 7,25 988829 675000
2012 7,25 1088903 765000
2013 7,25 1296908 830000
2014 7,25 1584391 910000
2015 7,25 1790342 910000
Sumber: United States Department of Labor dan Badan Pusat Statistik
Penentuan upah minimum di Indonesia didasarkan pertumbuhan ekonomi
dan inflasi serta mengalami penyesuaian upah minimum setiap tahun. Penyesuaian
upah minimum di Indonesia dilakukan supaya menjaga daya beli masyarakat agar
terhindar dari kemiskinan. Sedangkan di Amerika Serikat penyesuaian upah
minimum tidak diberlakukan setiap tahun. Perbedaan inilah yang memungkinkan
pengaruh penurunan kemiskinan yang disebabkan oleh peningkatan upah minimum
dalam penelitian ini pengaruhnya lebih besar dibandingkan penelitian sebelumnya.
]Stevans dan Sessions (2001) menyebutkan bahwa upah minimum
mempunyai hubungan terbalik dengan tingkat kemiskinan. Jika upah minimum
meningkat, maka tingkat kemiskinan akan turun. Kaufman (2000) menyebutkan
bahwa meningkatkan tingkat upah minimum akan meningkatkan pendapatan
masyarakat sehingga kesejahteraan juga meningkat dan sehingga terbebas dari
kemiskinan. Tujuan dari diberlakukannya upah minimum yaitu untuk
meningkatkan kesejahteraan pekerja, sehingga terbebas dari kemiskinan. Penetapan
upah minimum yang mendekati KHM (Kebutuhan Hidup Minimum) dan di atas
garis kemiskinan telah tepat karena mampu menurunkan tingkat kemiskinan di
Jawa Tengah.