23
Isi Skenario PBL V. Seorang pasien berusia 62 tahun datang ke rumah sakit dengan karsinoma kolon yang telah terminal. Pasien masih cukup sadar berprndidikan cukup tinggi. Ia memahami benar posisi kesehatannya dan keterbatasan kemampuan ilmu kedokteran saat ini, ia juga memiliki pengalaman pahit sewaktu kakaknya menjelang ajalnya dirawat di ICU dengan peralatan bermacam-macam tampak sangat menderita , dan alat-alat tersebut tampaknya hanya memperpanjang penderitaannya saja. Oleh karena itu ia meminta kepada dokter apabila dia mendekati ajalnya agar menerima terapi yang minimal saja (tanpa antibiotika, tanpa peralatan ICU, dll), dan ia ingin mati dengan tenang dan wajar. Namun ia tetap setuju apabila ia menerima obat-obatan penghilang rasa sakit bila memang dibutuhkan. Dari skenario ini rumusan masalahnya adalah

Bsdaa

Embed Size (px)

DESCRIPTION

aaaaaaa

Citation preview

Isi

Skenario PBL V. Seorang pasien berusia 62 tahun datang ke rumah sakit dengan karsinoma kolon yang telah terminal. Pasien masih cukup sadar berprndidikan cukup tinggi. Ia memahami benar posisi kesehatannya dan keterbatasan kemampuan ilmu kedokteran saat ini, ia juga memiliki pengalaman pahit sewaktu kakaknya menjelang ajalnya dirawat di ICU dengan peralatan bermacam-macam tampak sangat menderita , dan alat-alat tersebut tampaknya hanya memperpanjang penderitaannya saja. Oleh karena itu ia meminta kepada dokter apabila dia mendekati ajalnya agar menerima terapi yang minimal saja (tanpa antibiotika, tanpa peralatan ICU, dll), dan ia ingin mati dengan tenang dan wajar. Namun ia tetap setuju apabila ia menerima obat-obatan penghilang rasa sakit bila memang dibutuhkan. Dari skenario ini rumusan masalahnya adalah seorang pasien (62) yang menderita carcinoma colon stadium terminal, dimana pasien tersebut meminta dokter untuk hanya memberikan pelayanan minimal kepadanya. Dalam kasus ini dokter menyetujui permintaan pasien setelah dilakukan informed consent.I. EtikaEtika adalah disiplin ilmu yang mempelajari baik buruk atau benar salahnya suatu sikap dan atau perbuatan seseorang individu atau institusi dilihat dari moralitas. Dalam menangani pasien sangatlah dibutuhkan etika. Karena dengan adanya standar etika tersebut, kita dapat mampu menangani pasien dengan baik. Dengan menggunakan dasar etika yang benar kita dapat menangani pasien secara holistik. Untuk itulah disusun suatu dasar etika untuk praktek kedokteran. Etika secara umum dapat dibagi menjadi :A. Etika Umum. Mengenai kondisi-kondisi dasar bagaimana manusia bertindak secara etis, tentang bagaimana manusia mengambil keputusan etis, teori-teori etika dan prinsip-prinsip moral dasar yang menjadi pegangan bagi manusia dalam bertindak serta tolak ukur dalam menilai baik atau buruknya suatu tindakan. Etika umum dapat di analogkan dengan ilmu pengetahuan, yang membahas mengenai pengertian umum dan teori-teori.B. Etika khusus. Penerapan prinsip-prinsip moral dasar dalam bidang kehidupan yang khusus. Penerapan ini bisa berwujud :1. mengambil keputusan dan bertindak dalam bidang kehidupan dan kegiatan yang dilakukan2. menilai perilaku diri dan orang lain dalam bidang kegiatan dan kehidupan khusus yang3. dilatarbelakangi oleh kondisi yang memungkinkan manusia bertindak etis 4. mengambil suatu keputusan atau tindakan, dan teori serta prinsip moral dasar yang ada dibaliknya.Etika khusus dibagi lagi menjadi dua bagian :1. Etika individual, yaitu menyangkut kewajiban dan sikap manusia terhadap dirinya sendiri.2. Etika sosial, yaitu berbicara mengenai kewajiban, sikap dan pola perilaku manusia sebagai anggota umat manusia.1Etika Kedokteran. Ada dua macam etika yang harus kita pahami bersama dalam menentukan baik dan buruknya perilaku manusia terutamanya apabila menyangkut ilmu profesi kedokteran yang berhadapan dengan pasien:A. Etika deskriptif :Yaitu etika yang berusaha meneropong secara kritis dan rasional sikap dan prilaku manusia dan apa yang dikejar oleh manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu yang bernilai. Etika deskriptif memberikan fakta sebagai dasar untuk mengambil keputusan tentang prilaku atau sikap yang mau diambil.B. Etika normatif:Yaitu etika yang berusaha menetapkan berbagai sikap dan pola prilaku ideal yang seharusnya dimiliki oleh manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu yang bernilai. Etika normatif memberi penilaian sekaligus memberi norma sebagai dasar dan kerangka tindakan yang akan diputuskan.2Prinsip-Prinsip Etika Profesi. Beauchamp and childress (1994) menguraikan bahwa untuk mencapai suatu keputusan etis diperlukan empat kaedah dasar moral dan beberapa rules dibawahnya, yaitu:2A. Prinsip beneficence, yaitu prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang ditunjukan kepada kebaikan pasien. Dokter harus mengusahakan agar pasien yang dirawatnya terjaga keadaan kesehatannya. Pengertian berbuat baik di sini adalah bersikap ramah atau menolong, lebih dari sekedar memenuhi kewajibannya. Tindakan konkrit dari beneficience meliputi:1. Mengutamakan altruisme (menolong tanpa pamrih, rela berkorban untuk kepentingan orang lain)2. Menjamin nilai pokok harkat dan martabat manusia3. Memandang pasien/keluarga/sesuatu tidak hanya sejauh menguntungkan dokter4. Mengusahakan agar kebaikan/manfaatnya lebih banyak dibandingkan dengan keburukannya5. Paternalisme bertanggung jawab/berkasih sayang6. Menjamin kehidupan baik 7. Pembatasan goal based8. Maksimalisasi pemuasan kebahagiaan / preferensi pasien9. Minimalisasi akibat buruk10. Kewajiban menolong pasien gawat darurat11. Menghargai hak-hak pasien secara keseluruhan12. Tidak menarik honorarium di luar kepantasan13. Maksimalisasi kepuasan tertinggi secara keseluruhan14. Mengembangkan profesi secara terus-menerus15. Memberikan obat berkhasiat namun murah16. Menerapkan Golden Rule Principle, dimana kita harus memperlakukan orang lain seperti kita ingin diperlakukan oleh orang lain.B. Prinsip non-maleficence, yaitu prinsip moral yang melarang tindakan yang memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini dikenal sebagai primum non nocere atau do not harm. Tindakan konkrit dari non-maleficence meliputi:1. Menolong pasien emergensi2. Kondisi untuk menggambarkan criteria ini adalah:3. Mengobati pasien yang luka4. Tidak membunuh pasien (tidak melakukan euthanasia)5. Tidak menghina/mencaci maki/memanfaatkan pasien6. Tidak memandang pasien hanya sebagai objek7. Mengobati secara tidak proporsional8. Mencegah pasien dari bahaya9. Menghindari misinterpretasi dari pasien10. Tidak membahayakan kehidupan pasien karena kelalaian11. Memberiksan semangat hidup12. Melindungi pasien dari serangan13. Tidak melakukan white collar crime dalam bidang kesehatan/ kerumah-sakitan yang merugikan pihak pasien/ keluarganya.C. Prinsip autonomy, yaitu prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien (the rights to self determinations). Maksudnya tiap individu harus diperlakukan sebagai makhluk hidup yang memiliki otonomi (hak untuk menentukan nasibnya sendiri). Tindakan konkrit dari autonomi meliputi:11. Menghargai hak menentukan nasibnya sendiri2. Tidak mengintervensi pasien dalam membuat keputusan (pada kondisi elektif)3. Berterus terang4. Menghargai privasi5. Menjaga rahasi pasien6. Menghargai rasionalitas pasien7. Melaksanakan informed consent8. Membiarkan pasien dewasa dan kompeten mengambil keputusan sendiri9. Tidak mengintervensi atau menghalangi autonomi pasien10. Mencegah pihak lain ,emgintervensi pasien dalam membuat keputusan, termasuk keluarga pasien sendiri11. Sabar menunggu keputusan yang akan diambil pasien pada kasus non emergensi12. Tidak berbohong kepada pasien meskipun demi kebaikan pasien13. Menjaga hubungan.D. Prinsip justice, yaitu prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan dalam mendistribusikan sumber daya (distributive justice). Maksudnya adalah memperlakukan semua pasien sama dalam kondisi yang sama. Tindakan konkrit yang termasuk justice meliputi:1. Memberlakukan segala sesuatu secara universal2. Mengambil porsi terakhir dari proses membagi yang telah ia lakukan3. Memberi kesempatan yang sama terhadap pribadi dalam posisi yang sama4. Menghargai hak sehat pasien (affordability, equality, accessibility, availability, quality)5. Menghargai hak hukum pasien6. Menghargai hak orang lain7. Menjaga kelompok yang rentan (yang paling merugikan)8. Tidak membedakan pelayanan pasien atas dasar SARA, status social, dll9. Tidak melakukan penyalahgunaan10. Memberikan kontribusi yang relative sama dengan kebutuhan pasien11. Meminta partisipasi pasien sesuai kemampuannya12. Kewajiban mendistribusi keuntungan dan kerugian (biaya, beban, sanksi) secara adil13. Mengembalikan hak kepada pemiliknya pada saat yang tepat dan kompeten14. Tidak memberi beban berat secara tidak merata tanpa alasan sah/tepat15. Menghormati hak populasi yang sama-sama rentan penyakit/gangguan kesehatan16. Bijak dalam makroalokasi.Peranan Etika Dalam Profesi:A. Suatu kelompok diharapkan akan mempunyai tata nilai untuk mengatur kehidupan bersama kerana nilai-nilai etika itu tidak hanya milik satu atau dua orang, atau segolongan orang saja, tetapi milik setiap kelompok masyarakat, bahkan kelompok yang paling kecil yaitu keluarga sampai pada suatu bangsa.B. Salah satu golongan masyarakat yang mempunyai nilai-nilai yang menjadi landasan dalam pergaulan baik dengan kelompok atau masyarakat umumnya maupun dengan sesama anggotanya, yaitu masyarakat profesional. Golongan ini sering menjadi pusat perhatian karena adanya tata nilai yang mengatur dan tertuang secara tertulis (yaitu kode etik profesi) dan diharapkan menjadi pegangan para anggotanya.C. Sorotan masyarakat menjadi semakin tajam manakala perilaku-perilaku sebagian para anggota profesi yang tidak didasarkan pada nilai-nilai pergaulan yang telah disepakati bersama (tertuang dalam kode etik profesi), sehingga terjadi kemerosotan etik pada masyarakat profesi tersebut. 2Tujuan Kode Etik Profesi:A. Untuk menjunjung tinggi martabat profesi.B. Untuk menjaga dan memelihara kesejahteraan para anggota.C. Untuk meningkatkan pengabdian para anggota profesi.D. Untuk meningkatkan mutu profesi.E. Untuk meningkatkan mutu organisasi profesi.F. Meningkatkan layanan di atas keuntungan pribadi.G. Mempunyai organisasi profesional yang kuat dan terjalin erat.1Praktek kedokteran juga berpegang kepada prinsip-prinsip moral kedokteran, prinsip-prinsip moral yang dijadikan arahan dalam membuat keputusan dan bertindak, arahan dalam menilai baik-buruknya atau benar-salahnya suatu keputusan atau tindakan medis dilihat dari segi moral. Pengetahuan etika ini dalam perkembangannya kemudian disebut sebagai etika biomedis. Etika biomedis memberi pedoman bagi para tenaga medis dalam membuat keputusan klinis yang etis (clinical ethics) dan pedoman dalam melakukan penelitian di bidang medis.Nilai-nilai materialisme yang dianut masyarakat harus dapat dibendung dengan memberikan latihan dan teladan yang menunjukkan sikap etis dan profesional dokter.Pembuatan keputusan etik terutama dalam situasi klinik, dapat juga dilakukan dengan pendekatan yang berbeda dengan pendekatan kaidah dasar moral diatas. Jonsen, Siegler, dan Winslade mengembangkan teori etik yang menggunakan 4 topik yang esensial dalam pelayanan klinik, yaitu :A. Medical indication. Pada topik ini dimasukkan semua prosedur diagnostik dan terapi yang sesuai untuk mengevaluasi keadaan pasien dan mengobatinya. Penilaian aspek indikasi medis ini ditinjau dari sisi etiknya, terutama menggunakan kadiah beneficence dan non-maleficence. Pertanyaan etika pada topic ini adalah serupa dengan seluruh informasi yang selayaknya disampaikan kepada pasien pada informed consent.B. Patient preferences. Pada topik ini kita memperhatikan nilai dan penilaian pasien tentang manfaat dan beban yang akan diterimanya, yang berarti cerminan kaidah autonomy. Pertanyaan etiknya meliputi pertanyaan tentang kompetensi pasien, sifat volunteer sikap dan keputusannya, pemahaman atas informasi, siapa pembuat keputusan bila pasien tidak kompeten, nilai dan keyakinan yang dianut pasien, dan lain-lain.C. Quality of life. Topik ini merupakan aktualisasi salah satu tujuan kedokteran, yaitu, memperbaiki, menjaga, atau meningkatkan kualitas hidup insani. Apa, siapa, dan bagaimana melakukan penilaian kualitas hidup merupakan pertanyaan etik sekitar prognosis, yang berkaitan dengan beneficence, non-maleficence, dan autonomy. D. Contextual features. Dalam topik ini dibahas pertanyaan etik seputar aspek non medis yang mempengaruhi keputusan, seperti faktor keluarga, ekonomi, agama, budaya, kerahasiaan, alokasi sumber daya, dan faktor hukum.2,3II. Euthanasia Euthanasia dalam Oxford English Dictionary dirumuskan sebagai kematian yang lembut dan nyaman, dilakukan terutama dalam kasus penyakit yang penuh penderitaan dan tak tersembuhkan. Istilah yang sangat populer untuk menyebut jenis pembunuhan ini adalah mercy killing (Tongat, 2003 :44). Sementara itu menurut Kamus Kedokteran Dorland euthanasia mengandung dua pengertian. Pertama, suatu kematian yang mudah atau tanpa rasa sakit. Kedua, pembunuhan dengan kemurahan hati, pengakhiran kehidupan seseorang yang menderita penyakit yang tak dapat disembuhkan dan sangat menyakitkan secara hati-hati dan disengaja. Secara konseptual dikenal tiga bentuk euthanasia, yaitu A. Voluntary euthanasia: euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien itu sendiri karena penyakitnya tidak dapat disembuhkan dan dia tidak sanggup menahan rasa sakit yang diakibatkannyaB. Non voluntary euthanasia: di sini orang lain, bukan pasien, mengandaikan, bahwa euthanasia adalah pilihan yang akan diambil oleh pasien yang berada dalam keadaan tidak sadar tersebut jika si pasien dapat menyatakan permintaannyaC. Involuntary euthanasia :merupakan pengakhiran kehidupan pada pasien tanpa persetujuannya.4Dari penggolongan Euthanasia, yang paling praktis & mudah dimengerti adalah:A. Euthanasia aktif, tindakan secara sengaja dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lain untuk memperpendek atau mengakhiri hidup pasien. Merupakan tindakan yang dilarang, kecuali di negara yang telah membolehkannya lewat peraturan perundangan.B. Euthanasia pasif, dokter atau tenaga kesehatan lain secara sengaja tidak (lagi) memberikan bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien, misalnya menghentikan pemberian infus, makanan lewat sonde, alat bantu nafas, atau menunda operasi.C. Auto euthanasia, seorang pasien menolak secara tegas dengan sadar untuk menerima perawatan medis & dia mengetahui bahwa hal ini akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dengan penolakan tersebut ia membuat sebuah codicil (pernyataan tertulis tangan). Auto euthanasia pada dasarnya adalah euthanasia pasif atas permintaan.5Etika Profesi dalam Kasus EuthanasiaDalam KODEKI pasal 2 dijelaskan bahwa Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi tertinggi. Jelasnya bahwa seorang dokter dalam melakukan kegiatan kedokterannya sebagai seorang profesi dikter harus sesuai dengan ukuran ilmu tertinggi. Yang dimaksud dengan ukuran tertinggi dalam melakukan protesi kedokteran mutakhir, yaitu yang sesuai dengan perkembangan IPTEK Kedokteran, etika umum, etika kedokteran, hukum dan agama, sesuai tingkat/jenjang pelayanan kesehatan, serta kondisi dan situasi setempat.KODEKI pasal 7d juga menjelaskan bahwa Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup insani. Artinya dalam setiap tindakan dokter harus bertujuan untuk memelihara kesehatan dan kebahagiaaan manusia. Mengenai euthanasia, ternyata dapat digunakan dalam tiga arti, yaitu A. Berpindah ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan dan bagi yang beriman dengan nama Allah di bibir.B. Waktu hidup akan berakhir (sakaratul maut) penderitaan pasien diperingan dengan memberi obat penenang. C. Mengakhiri penderitaan dan hidup pasien dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri dan keluanganya.5III. Informed ConsentDalam praktek kedokteran sehari-hari sangatlah wajib dan penting untuk melakukan informed consent kepada pasien. Dalam hal ini kita telah menjelaskan segala hal tentang kondisi pasien serta meminta persetujuan pasien atas tindakan yang akan dilakukan ataupun menerima penolakan dari pasien. Informed Consent terdiri dari dua kata yaitu informed yang berarti telah mendapat penjelasan atau keterangan (informasi), dan consent yang berarti persetujuan atau memberi izin. Jadi informed consent mengandung pengertian suatu persetujuan yang diberikan setelah mendapat informasi. Dengan demikian informed consent dapat didefinisikan sebagai persetujuan yang diberikan oleh pasien dan atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medis yang akan dilakukan terhadap dirinya serta resiko yang berkaitan dengannya.Suatu informed consent baru sah diberikan oleh pasien jika memenuhi minimal 3 (tiga) unsure sebagai berikut :A. Keterbukaan informasi yang cukup diberikan oleh dokterB. Kompetensi pasien dalam memberikan persetujuanC. Kesukarelaan (tanpa paksaan atau tekanan) dalam memberikan persetujuan.Di Indonesia perkembangan informed consent secara yuridis formal, ditandai dengan munculnya pernyataan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tentang informed consent melalui SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 pada tahun 1988. Kemudian dipertegas lagi dengan PerMenKes No. 585 tahun 1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik atau Informed Consent. Hal ini tidak berarti para dokter dan tenaga kesehatan di Indonesia tidak mengenal dan melaksanakan informed consent karena jauh sebelum itu telah ada kebiasaan pada pelaksanaan operatif, dokter selalu meminta persetujuan tertulis dari pihak pasien atau keluarganya sebelum tindakan operasi itu dilakukan.Secara umum bentuk persetujuan yang diberikan pengguna jasa tindakan medis (pasien) kepada pihak pelaksana jasa tindakan medis (dokter) untuk melakukan tindakan medis dapat dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu:A. Persetujuan Tertulis, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang mengandung resiko besar, sebagaimana ditegaskan dalam PerMenKes No. 585/Men.Kes/Per/IX/1989 Pasal 3 ayat (1) dan SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 butir 3, yaitu intinya setiap tindakan medis yang mengandung resiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis, setelah sebelumnya pihak pasien memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis serta resiko yang berkaitan dengannya (telah terjadi informed consent);B. Persetujuan Lisan, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang bersifat non-invasif dan tidak mengandung resiko tinggi, yang diberikan oleh pihak pasien;C. Persetujuan dengan isyarat, dilakukan pasien melalui isyarat, misalnya pasien yang akan disuntik atau diperiksa tekanan darahnya, langsung menyodorkan lengannya sebagai tanda menyetujui tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya.6Tujuan Pelaksanaan Informed Consent. Dalam hubungan antara pelaksana (dokter) dengan pengguna jasa tindakan medis (pasien), maka pelaksanaan informed consent, bertujuan :A. Melindungi pengguna jasa tindakan medis (pasien) secara hukum dari segala tindakan medis yang dilakukan tanpa sepengetahuannya, maupun tindakan pelaksana jasa tindakan medis yang sewenang-wenang, tindakan malpraktek yang bertentangan dengan hak asasi pasien dan standar profesi medis, serta penyalahgunaan alat canggih yang memerlukan biaya tinggi atau over utilization yang sebenarnya tidak perlu dan tidak ada alasan medisnya;B. Memberikan perlindungan hukum terhadap pelaksana tindakan medis dari tuntutan-tuntutan pihak pasien yang tidak wajar, serta akibat tindakan medis yang tak terduga dan bersifat negatif, misalnya terhadap risk of treatment yang tak mungkin dihindarkan walaupun dokter telah bertindak hati-hati dan teliti serta sesuai dengan standar profesi medik. Perlunya dimintakan informed consent dari pasien karena informed consent mempunyai beberapa fungsi sebagai berikut :A. Penghormatan terhadap harkat dan martabat pasien selaku manusiaB. Promosi terhadap hak untuk menentukan nasibnya sendiriC. Untuk mendorong dokter melakukan kehati-hatian dalam mengobati pasienD. Menghindari penipuan dan misleading oleh dokterE. Mendorong diambil keputusan yang lebih rasionalF. Mendorong keterlibatan publik dalam masalah kedokteran dan kesehatanG. Sebagai suatu proses edukasi masyarakat dalam bidang kedokteran dan kesehatan.1Aspek Hukum Informed ConsentDalam hubungan hukum, pelaksana dan pengguna jasa tindakan medis (dokter, dan pasien) bertindak sebagai subyek hukum yakni orang yang mempunyai hak dan kewajiban, sedangkan jasa tindakan medis sebagai obyek hukum yakni sesuatu yang bernilai dan bermanfaat bagi orang sebagai subyek hukum, dan akan terjadi perbuatan hukum yaitu perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum, baik yang dilakukan satu pihak saja maupun oleh dua pihak.Dalam masalah informed consent dokter sebagai pelaksana jasa tindakan medis, disamping terikat oleh KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) bagi dokter, juga tetap tidak dapat melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan hukun perdata, hukum pidana maupun hukum administrasi, sepanjang hal itu dapat diterapkan.Pada pelaksanaan tindakan medis, masalah etik dan hukum perdata, tolok ukur yang digunakan adalah kesalahan kecil (culpa levis), sehingga jika terjadi kesalahan kecil dalam tindakan medis yang merugikan pasien, maka sudah dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum. Hal ini disebabkan pada hukum perdata secara umum berlaku adagium barang siapa merugikan orang lain harus memberikan ganti rugi. Sedangkan pada masalah hukum pidana, tolok ukur yang dipergunakan adalah kesalahan berat. Oleh karena itu adanya kesalahan kecil (ringan) pada pelaksanaan tindakan medis belum dapat dipakai sebagai tolok ukur untuk menjatuhkan sanksi pidana.Aspek Hukum Perdata, suatu tindakan medis yang dilakukan oleh pelaksana jasa tindakan medis (dokter) tanpa adanya persetujuan dari pihak pengguna jasa tindakan medis (pasien), sedangkan pasien dalam keadaan sadar penuh dan mampu memberikan persetujuan, maka dokter sebagai pelaksana tindakan medis dapat dipersalahkan dan digugat telah melakukan suatu perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer). Hal ini karena pasien mempunyai hak atas tubuhnya, sehingga dokter dan harus menghormatinya;Aspek Hukum Pidana, informed consent mutlak harus dipenuhi dengan adanya pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penganiayaan. Suatu tindakan invasive (misalnya pembedahan, tindakan radiology invasive) yang dilakukan pelaksana jasa tindakan medis tanpa adanya izin dari pihak pasien, maka pelaksana jasa tindakan medis dapat dituntut telah melakukan tindak pidana penganiayaan yaitu telah melakukan pelanggaran terhadap Pasal 351 KUHP.Sebagai salah satu pelaksana jasa tindakan medis dokter harus menyadari bahwa informed consent benar-benar dapat menjamin terlaksananya hubungan hukum antara pihak pasien dengan dokter, atas dasar saling memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak yang seimbang dan dapat dipertanggungjawabkan. Masih banyak seluk beluk dari informed consent ini sifatnya relative, misalnya tidak mudah untuk menentukan apakah suatu inforamsi sudah atau belum cukup diberikan oleh dokter. Hal tersebut sulit untuk ditetapkan secara pasti dan dasar teoritis-yuridisnya juga belum mantap, sehingga diperlukan pengkajian yang lebih mendalam lagi terhadap masalah hukum yang berkenaan dengan informed consent ini.1,7IV. Aspek Hukum PidanaDalam pengambilan keputusan dalam praktek kedokteran, selain prinsip-prinsip etis, moral, dan ketentuan-ketentuan profesi, sangatlah perlu untuk mempertimbangkan aspek pidana juga yang berlaku di Indonesia. Terutama dalam hal euthanasia, masih banyak hal yang menjadi perdebatan, sehingga perlu diperhatikan banyak aspek yang menyangkut didalamnya. Undang-undang yang tertulis dalam KUHP hanya melihat dari sisi dokter sebagai pelaku utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif dan dianggap sebagai pembunuhan berencana, atau dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang. Sehingga dalam aspek hukum, dokter selalu pada pihak yang dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa melihat latar belakang dilakukannya euthanasia tersebut, tidak peduli apakah tindakan tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya, untuk mengurangi penderitaan pasien dalam keadaan sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang belum diketahui pengobatannya. Meskipun euthanasia bukan merupakan istilah yuridis, namun mempunyai implikasi hukum yang sangat luas, baik pidana maupun perdata. Pasal-pasal dalam KUHP menegaskan bahwa euthanasia baik aktif maupun pasif tanpa permintaan adalah dilarang. Demikian pula dengan euthanasia aktif dengan permintaan. Berikut adalah bunyi pasal-pasal dalam KUHP tersebut: Pasal 344 KUHP. Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.Pasal 345 KUHP. Barangsiapa dengan sengaja membujuk orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu atau memberi sarana kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun, kalau orang itu jadi bunuh diri.Bertolak dari ketentuan Pasal 344 KUHP tersebut tersimpul, bahwa pembunuhan atas permintaan korban sekalipun tetap diancam pidana bagi pelakunya. Dengan demikian, dalam konteks hukum positif di Indonesia euthanasia tetap dianggap sebagai perbuatan yang dilarang. Dengan demikian dalam konteks hukum positif di Indonesia, tidak dimungkinkan dilakukan pengakhiran hidup seseorang sekalipun atas permintaan orang itu sendiri. Perbuatan tersebut tetap dikualifikasi sebagai tindak pidana, yaitu sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana bagi siapa yang melanggar larangan tersebut.Dalam ketentuan Pasal 338 KUHP secara tegas dinyatakan, Barang siapa sengaja merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. Sementara dalam ketentuan Pasal 340 KUHP dinyatakan, Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana lebih dulu merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan berencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.Di luar dua ketentuan di atas juga terdapat ketentuan lain yang dapat digunakan untuk menjerat pelaku euthanasia, yaitu ketentuan Pasal 356 (3) KUHP yang juga mengancam terhadap Penganiayaan yang dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa dan kesehatan untuk dimakan atau diminum.Selain itu patut juga diperhatikan adanya ketentuan dalam Bab XV KUHP khususnya Pasal 304 dan Pasal 306 (2). Dalam ketentuan Pasal 304 KUHP dinyatakan, Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan, dia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.Sementara dalam ketentuan Pasal 306 (2) KUHP dinyatakan, Jika mengakibatkan kematian, perbuatan tersebut dikenakan pidana penjara maksimal sembilan tahun.Dua ketentuan terakhir tersebut di atas memberikan penegasan, bahwa dalam konteks hukum positif di Indonesia, meninggalkan orang yang perlu ditolong juga dikualifikasi sebagai tindak pidana. Dua pasal terakhir ini juga bermakna melarang terjadinya euthanasia pasif yang sering terjadi di Indonesia.1,7

Penutup

KesimpulanPermintaan pasien tersebut dapat dikabulkan.

Daftar Pustaka

1. Kode Etik Kedokteran. http://www.ilunifk83.com/t130-kode-etik-kedokteran-indonesia. 18 Januari 2009. Diunduh 7 Januari 2014.2. Sampurna B. Bioetik dan hukum kedokteran. Jakarta: Pustaka Dwipar, 20073. Samil, Suprapti R. Etika kedokteran indonesia. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2001.4. Euthanasia. http://www.fk.uwks.ac.id/elib/arsip/departemen/.../euthanasia%20(13).pdf. 30 Desember 2008. Diunduh 7 Januari 2014. 5. Aspek Hukum dalam Pelaksanaan Euthanasia diIndonesia. http://hukumkes.wordpress.com/2008/03/15/aspek-hukum-dalam-pelaksanaan-euthanasia-di-indonesia/. 15 maret 2008. Diunduh 7 Januari 2014. 6. Rekam Medisdan Informed Consent. http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/11/b6fa37a62692182ad455b08bac8ac3d8bc639f55.pdf. 27 April 2009. Diunduh 7 Januari 2014. 7. Staf pengajar bagian kedokteran forensik fakultas kedokteran UI. Peraturan perundang-undangan bidang kedokteran. Jakarta: Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1994.

8