12
EXPEDISI MEMBANGUN BUDAYA KRITIS EDISI III OKTOBER 2015 Pembahasan UU Partai Mahasiswa: Lamban!

Buletin Expedisi Edisi III Oktober 2015 - Pembahasan UU Parma Lamban

Embed Size (px)

DESCRIPTION

 

Citation preview

Page 1: Buletin Expedisi Edisi III Oktober 2015 - Pembahasan UU Parma Lamban

EXPEDISIM E M B A N G U N B U D A Y A K R I T I S

EDIS I I I I OKTOBER 2015

Pembahasan UU Partai Mahasiswa: Lamban!

Page 2: Buletin Expedisi Edisi III Oktober 2015 - Pembahasan UU Parma Lamban

Pimpinan Proyek Triyo Handoko | Sekretaris Indra Ristianto | Bendahara Fara Famular | Redaktur Pelaksana Putra Ramadan | Redaktur Ade Luqman, Andhika Widyawan, Ghozali Saputra,Indra Ristianto, Putra Ramadan, Triyo Handoko | Reporter Ahmad, Bayu, Khusnul, Putra | Redaktur Foto Ayuningtyas Rachmasari | Artistik Ade Luqman, Andhika Widyawan, Dinda Sekar | Produksi Devi Ellok | Iklan Ahmad Wijayanto, Fajar Azizi, Ghozali Saputra | Tim Polling Andi Vangeran, Ervina Nur, Khusnul Khitam, Urlik Hufum | Sirkulasi Bayu Hendrawati| Alamat Gedung Student Center Lt. 2 Karangmalang Yogyakarta 55281 | Email [email protected] | Web Ekspresionline.com | Redaksi menerima artikel, opini dan surat pembaca. Redaksi berhak mengedit tulisan tanpa mengubah isi.

editorial

sempil

2 edisi iii | oKtoBer 2015

surat pemBaca

+ “Saya diundang tiga kali, sekali

molor, dua kali dibatalkan.”

- “Teman saya nembak cewek

tiga kali, ditolak semua!”

Jaringan wifi susah, mahasiswa resah

Akhir-Akhir ini koneksi wifi di kampus sering mengalami gangguan. keadaan seperti itu sudah berlangsung beberapa minggu terakhir ini. ini sangat berbeda dengan dulu ketika saya masih Maba. Jaringan YSU bisa terjangkau dari sudut mana saja. Namun akhir-akhir ini saya harus mencari tempat-tempat strategis untuk mencari jaringan YSU dengan kualitas yang bagus. Bahkan di dalam ruang kelas pun, jaringan wifi kadang tidak terjangkau. Saya jadi kesulitan ketika mau mencari referensi materi kuliah.

ini tentunya sangat mengganggu kenyamanan mahasiswa, terlebih lagi di era yang serba digital ini banyak kebutuhan kuliah yang membutuhkan koneksi internet. Saya berharap pihak kampus segera merespons keresahan yang

dirasakan mahasiswa terkait jaringan YSU ini. Sehingga kegiatan belajar mahasiswa tidak menuai kendala.

Feri FidiantoPendidikan Mekatronika 2014

Omong Kosong Birokrat

Di Fakultas ilmu keolahragaan, banyak mahasiswa yang gelagapan mengikuti perkuliahan. Selain kuliah, kami disibukkan dengan latihan untuk menunjung prestasi yang digeluti. Meninggalkan kuliah merupakan hal yang wajar di kampus ini. Sekadar untuk membela nama universitas atau Negara. Tetapi yang jadi permasalahan yaitu perlakuan tidak adil bagi setiap mahasiswa. Mata kuliah yang kami tinggalkan tidak mendapatkan pengecualian dari beberapa dosen. Banyak dari kami yang akhirnya mengulang mata kuliah yang ditinggalkan.

Janji dari para birokrat hanya omong kosong. Mereka menjanjikan akan memberikan pengecualian apabila dipanggil Negara untuk mengikuti Pelatnas. ”kalian fokus Pelatnas saja, masalah kuliah nanti saya bantu melobi”. kami semua berharap dapat mendapatkan jalan keluar dari problematika ini, sehingga kita bisa membela atas nama Negara tanpa memperlama proses studi.

Wandi Prasetyo Pendidikan Kepelatihan Olahraga 2013

Dosen Lupakan Kewajiban

Di Fakultas ilmu keolahragaan (Fik), banyak dosen merangkap mengajar di beberapa tingkatan yang berbeda seperti S1, S2, bahkan S3. Namun, ketika salah satu dosen mengajar di S2 atau S3, S1-nya kerap kali dilupakan. Menurut pengalaman saya, beberapa dosen lebih mengutamakan pengabdian di luar atau di tingkatan atas kami (S1). Dari semester kemarin pun, seorang dosen hanya mengajar 3-4 kali. Sisanya hanya memberikan materi kuliah yang sangat sedikit. Tetapi di akhir semester ketika penilaian, dosen itu memberikan penilaian yang sangat subjektif dan tidak bisa objektif karena di antara teman-teman saya ada yang kurang atau lebih pintar pada bidang tersebut namun semua nilai itu dipukul rata. Saya menginginkan agar dosen dapat total dan fokus pada bidang masing-masing sehingga tidak ada yang terlalaikan atau dilupakan.

Arvan Fetura

Pendidikan Jasmani dan Keolahragaan 2013

kAMiS 15 Oktober 2015 lalu, Undang- Undang Partai Maha siswa (UU Parma) di sah kan. Undang- Undang Dasar republik Maha siswa (UUD rema) sebagai konsti tusi ter tinggi ke giat an Organi sasi Maha siswa (Ormawa), meng amanah kan Pemilwa meng guna kan sis tem ke partai an, yang mana calon yang akan meng isi legis latif dan ekse kutif di usung oleh partai. Tuju an utama per alih an sistem ini adalah sebagai pen didik an politik.

Soe hok Gie, dalam Catatan Seorang Demostran, menulis bahwa politik seperti hal nya lumpur: kotor. Namun, jika tak mungkin untuk meng hidar, maka terjun lah. Saat itulah kita di godok dan ditempa. Tentu saja, maha siswa dan politik sulit untuk di pisah kan, karena kodrat maha siswa adalah meng awal dan me lawan.

Melihat kondisi mayoritas maha siswa UNY yang apatis, minim kajian sosial, dan ter pisah dengan masyarakat, maka per ganti an sistem men jadi rema adalah tepat. Namun komitmen komponen legislatif untuk meng hasil kan instrumen penguat sistem rema, masih minim. Partisi pasi dalam bentuk ke hadir an sidang

pem bahas an dihadiri sedikit anggota DPM dan DPF, bahkan sebagian pengurus lebih mementingkan agenda lain.

Padahal, UU Parma yang baru saja di sah kan me maksa maha siswa yang ingin maju ke Pemilwa untuk mem bentuk Partai Maha siswa. Waktu yang ada mungkin cukup untuk mem bentuk Parma, namun sekadar syarat adminis tratif. Bukan kah sistem rema adalah lahan belajar politik dan Parma dibuat untuk kaderisasi? Bukan syarat adminis tratif belaka.

imbas dari ini adalah Pemilwa pada per tengah an Desember terancam pelaksanaannya. Belum lagi masa jabatan eksekutif, legislatif, dan yudikatif ke pengurus an rema 2015 tidak sesuai dengan amanah UUD rema, yakni 11 bulan. Bisa pula Pemilwa ber langsung pada per tengah an Desember dengan segala macam ke ruwet an nya yang, belum di tangan i!

keluar nya FBS dari rema pasca- OSPEk dan FiP yang belum meng guna kan sistem ke partai an adalah perkara serius, dan sampai saat ini belum di musyawarah kan bersama.

Redaksi

Tidak Siap dengan Rema

Page 3: Buletin Expedisi Edisi III Oktober 2015 - Pembahasan UU Parma Lamban

3oKtoBer 2015 | edisi iii

sentra

UU Partai Mahasiswa Molor

Keterlambatan pengesahan Undang-Undang Partai Mahasiswa dapat berdampak pada jalannya Pemilwa, termasuk terganggunya perancangan Undang-Undang Pemilwa.

Undang-Undang Partai Mahasiswa (UU Parma) yang ditargetkan rampung awal Juli, belum

disahkan hingga awal Oktober. Titik temu waktu pembahasan menjadi penyebab molornya UU Parma ini. Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM), Dewan Perwakilan Fakultas (DPF), dan Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa republik Mahasiswa (BEM rema) adalah komponen yang membahas dan mengesahkan UU Parma.

“Tiga komponen itu salah satunya presiden (BEM rema.red). Dibanding DPM atau DPF yang kolektif dan bisa diwakilkan, presiden itu harus datang langsung,” kata rizky romadhon, Wakil ketua DPM rema. ia menerangkan bahwa mayoritas anggota DPM rema adalah mahasiswa angkatan 2012 sehingga selama kurun waktu pertengahan tahun kepengurusan banyak yang menjalani kuliah kerja Lapangan (kkL). hal ini yang menyebabkan pembahasan UU Parma molor. ia juga menambahkan, “Mayoritas anggota DPF sendiri adalah angkatan 2013 sehingga sibuk kuliah.”

rizky menyadari partisipasi anggota DPM rema, dari 21 hanya lima orang yang sering aktif. “Apakah dalam musyawarah lima orang bisa mewakili 21 orang tersebut?” Selain itu, Thoriq Abdunnasir, Wakil i MPM, menilai DPF kurang total dalam pembahasan undang-undang karena lebih mementingkan tanggung jawab di fakultas. Namun, DPM rema sendiri tidak memiliki ketentuan jumlah perwakilan DPM dan DPF untuk membahas sebuah undang-undang bersama Presiden BEM rema. hal ini menurut ibnu Nugraha, Presiden korps Mahasiswa ilmu Pemerintahan (kOMAP) UGM, adalah hal yang janggal. “Lantas bagaimana kelegalan proses, pemberhentian dan hasil pembahasan, jika rambu-rambunya tidak jelas.” DPM rema dalam menggodok undang-undang selalu berpegang pada konsep mayoritas keterwakilan. “Yang jelas diusahakan semuanya bisa hadir untuk pembahasan dan pengesahan. Syarat jumlah minimal

untuk sidang memang tidak ditentukan, karena syarat itu hanya untuk sidang akhir tahun.” kata rizky. Terhadap hal ini, ibnu mempertanyakan bukankah sedari awal jumlah DPM dan DPF adalah tetap dan bisa dihitung, sehingga bisa dirumuskan minimal berapa jumlah peserta sidang pembahasan agar sah. “Tentunya dengan instrumen peraturan seperti ini akan jelas dan terang,” imbuhnya. hal ini juga diamini rohmat Munasikin ketua DPF, menurutnya peraturan persidangan tersebut bagaimana untuk menertibkan dan mendisiplinkan sidang pembahasan undang-undang.

Minim Koordinasikoordinasi tiga komponen sidang

pembahasan juga menjadi permasalahan, hal ini diakui rohmat. “Waktu itu DPF lupa diundang untuk membahas UU Parma,” katanya. Akhirnya sidang dibatalkan karena tidak ada perwakilan DPF. hal ini juga dialami harris Fadhillah, Presiden BEM rema, “Saya diundang tiga kali sidang pembahasan UU Parma, sekali molor dan dua kali dibatalkan,“ katanya. kemudian harris meminta agar internal DPM rema dikuatkan terlebih dahulu sebelum melaksanakan sidang pembahasan dan pengesahan UU Parma.

rohmat pun menyampaikan penundaan sidang pembahasan undang-undang membuat anggota DPF menjadi jenuh. rohmat menyadari fungsi DPF adalah corong suara fakultas dalam pembahasan undang-undang. “Permasalahannya, keterbatasan waktu untuk menghadiri rapat, karena orangnya sudah punya tempat di fakultas,” katanya. Padahal keanggotaan DPF seharusnya tidak rangkap jabatan, namun karena tidak ada yang mengisi maka terpaksa diisi oleh yang sudah memiliki jabatan. “karena susah mencari yang bisa mengisi DPF selain yang sudah bergabung Ormawa,“ tambahnya. hal ini disayangkan Thoriq, minimnya jumlah DPF dalam pembahasan UU Parma meninggalkan pertanyaan apakah itu

menjadi representasi keadaan fakultas. Akan disayangkan bila sudah disahkan namun tidak bisa diimplementasikan di fakultas, karena dianggap tidak sesuai dengan fakultas. “Sehingga dalam pembahasan undang-undang, fungsi DPF haruslah optimal agar mampu mengakomodasi setiap fakultas,” tambahnya.

Sejalan dengan hal ini, Mela Melinda, ketua DPM FBS, berharap DPM rema satu langkah lebih depan dalam mengesahkan UU Parma, untuk kemudian membahas UU Pemilwa. Mengingat pertengahan Desember akan

Senin (5/10) Haris Fadillah menjelaskan kronogis undangan pembahasan UU Parma.

Ahmad | Expedisi

Page 4: Buletin Expedisi Edisi III Oktober 2015 - Pembahasan UU Parma Lamban

sentra

4 edisi iii | oKtoBer 2015

diadakan Pemilwa yang melingkupi pemilihan Presiden-Wakil Presiden BEM rema, DPM rema, DPF, ketua BEM fakultas, anggota DPMF, dan ketua hima. Yang mana Pemilwa ini mengunakan sistem kepartaian. Di mana calon-calon yang diajukan untuk mengisi pos-pos eksekutif dan legislatif baik di tingkat universitas dan fakultas diusung oleh partai mahasiswa. Semua itu dijelaskan dalam UUD rema.

Parma Sebagai Wadah Kaderisasi“Partai adalah instansi yang tidak

bisa dibentuk atau dirancang sekali waktu,” kata kukuh Prasetyo, ketua DPM FMiPA. Tidak kunjung diselesaikannya UU Parma akan menjadi permasalahan serius, melihat Pemilwa yang semakin dekat. ibnu Nugroho menjelaskan bahwa partai mahasiswa hendaknya menjadi institusi kaderisasi dan bukan hanya menjadi syarat administrasi untuk maju ke Pemilwa. “UGM sendiri masih seperti itu, dan keterlaluan jika datang hanya ketika Pemilwa saja,” katanya.

ibnu menambahkan bahwa partai harus memiliki dasar ideologi, visi-misi dan program yang jelas, memperbanyak kajian dan diskusi terhadap permasalahan-permasalahan sosial akan meningkatakan kualitas kader. Partai harus mendidik kader untuk siap menjalankan amanah dan menelurkan kebijakan atau program yang memajukan. hal tersebut juga diamini Thoriq, sehingga pembentukan partai memang perlu waktu yang tidak singkat.

Agus Setiawan, ketua BEM FBS, meyakini tidaklah mudah membuat partai. “karena tingkatnya universitas sehingga perlu lobi politik untuk merangkul fakultas-fakultas lain untuk bergabung,” katanya. Sehingga jika dilihat dalam sisa waktu ini sistem Pemilwa kepartaian agak sulit diimplementasikan dengan baik.

Belum 100% Diterapkan Sistem kepartaian untuk Pemilwa

tahun ini belum secara tegas diterapkan karena masih memberi toleransi untuk

calon independen nonpartai. Menurut rizky, hal tersebut karena masih dalam masa transisi. Tahun ini Pemilwa FiP belum menggunakan sistem partai. “UU Parma sudah jadi pun, FiP belum bisa menerapkannya. kami ingin lihat dan evaluasi dulu, sudah baik atau belum, tapi FiP sendiri tetap konsisten ikut rema,” terang Alvian, ketua DPM FiP. Thoriq menganggap hal ini sangat ganjil. “ketika sudah menyepakati ikut rema maka UUD rema adalah konstitusi tertinggi, dan UUD rema mengatur Pemilwa dengan kepartaian.” hal ini menurutnya membingungkan. Akan sangat aneh dalam Pemilwa bila ada fakultas yang tidak menerapkan kepartaian, namun dalam sebuah partai ada anggota dari fakultas yang tidak menerapkan kepartaian.

hampir semua fakultas sudah membuka pendaftaran komisi Pemilihan Umum (kPU). Pembukaan ini dilakukan

oleh DPM Fakultas, bahkan di berbagai fakultas peraturan pemilwa sudah siap disahkan. “DPM FT sendiri sudah siap. kami tinggal menunggu UU dari DPM rema,” kata rohmat Munasikin yang juga anggota DPM FT. Selain FT, FiP pun sudah menyelesaikan peraturan Pemilwa. “Di sana (DPM rema.red), kalau belum jadi pun tidak masalah, di sini sudah jadi kok.” terang Alvian, ketua DPM FiP.

Jika FT dan FiP sudah menyelesaikan peraturan Pemilwa, FMiPA masih menunggu UU Pemilwa dari DPM rema, untuk kemudian diturunkan dalam peraturan fakultas dengan berbagai penyesuaian. Menanggapi hal tersebut, ibnu Nugraha mengatakan, “kita tahu sistem rema adalah hierarki, top-down, artinya dari atas diturunkan ke bawah. Akan aneh kalau atas belum apa-apa tapi yang di bawah sudah selesai, kelegalannya seperti apa.”

Terkait kPU dengan sistem kepartian, Mela juga mengingatkan bahwa kPU harus dibekali terlebih

dahulu karena menurutnya akan mudah tersulut gesekan. ibnu Nugraha berpendapat dalam pemilihan, komponen kPU harus independen dan netral. Namun ia menyayangkan pembentukan kPU sebelum pengesahan UU Parma, karena ditakutkan ada peraturan yang tumpang tindih. “Seharusnya UU Pemilwa sudah jadi baru kemudian membentuk kPU,” tambahnya. Menurut Thoriq, jika Pemilwa harus

ditunda karena molornya undang-undang maka tidak masalah, karena itu adalah konsekuensi logis, daripada menjalankan dengan setengah matang.

“Pada intinya peraturan kepartaian menjelang pemilwa harus jelas, saya harap teman-teman di universitas segera merapatkan barisan,” terang Zakiyudi, ketua BEM FE. ia menambahkan, DPM rema dan Presiden BEM rema harus bahu-membahu dan tidak saling menuntut. “karena ini membahas UU kepartaian, marilah kita melepas jaket, atribut, dan kepentingan-kepentingan kelompok, menurunkan ego masing-masing, untuk memperkuat sisitem kaderisasi,” ujar kukuh, ketua DPM FMiPA.

Triyo HandokoAhmad, Khusnul, Putra

Marilah kita melepas jaket, atribut, dan kepentingan-kepentigan kelompok,

menurunkan ego masing-masing.

Minggu (4/10) Kukuh Prasetyo, Ketua DPM FMIPA.

Ahmad | Expedisi

Page 5: Buletin Expedisi Edisi III Oktober 2015 - Pembahasan UU Parma Lamban

memengaruhi Pemilwa, terdapat 32,2% responden menjawab sangat setuju dan 61,5% responden menjawab setuju. Sebaliknya, 4,7% responden menjawab tidak setuju, adapun 0,9% responden menjawab sangat tidak setuju dan sisanya 0,7% tidak menjawab.

Ditinjau dari tahu atau tidaknya tentang peraturan perundangan BEM rema, terdapat 17% responden menjawab tahu, sedangkan 82,6% responden menjawab tidak tahu, dan 0,4% tidak menjawab. Terkait tahu tidaknya sistem Pemilwa rema, terdapat 23% responden menjawab tahu, sedangkan 76,3% responden menjawab tidak tahu. Adapun sisanya 0,7% responden tidak menjawab.

Mengenai pernyataan kesiapan mahasiswa tentang sistem rema,

terdapat 21,8% responden menjawab sangat

belum siap, dan 65,0% m e n j a w a b belum siap. Sebaliknya

1 0 , 1 % r e s p o n d e n

m e n y a t a k a n siap dan 2,5%

responden menyatakan sangat siap. Adapun

0.6% responden tidak menjawab.

Tim Polling

sampel yang digunakan adalah accidental, yaitu pembagian angket secara langsung kepada responden. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah menggunakan angket dengan masing-masing enam pertanyaan dan enam pernyataan. Banyaknya sampel ditentukan menggunakan rumus slovin dengan sampling error 5%, memperoleh sampel sebanyak 394 mahasiswa untuk mewakili dari 24.973 mahasiswa UNY. Angket selanjutnya disebar merata ke suluruh fakultas di UNY.

Berdasarkan angket yang disebar tersebut menunjukkan hanya 7,9% responden yang mengetahui tentang UU Parma. Sedangkan 91,2% responden tidak mengetahui, dan sisanya 0,9 tidak menjawab. Mengenai pernyataan keterlambatan pengesahan UU Parma

polling

5oKtoBer 2015 | edisi iii

Sistem Kepartaian Minim PersiapanBukan tanpa alasan, tidak adanya

peraturan dasar keluarga Mahasiswa (kM) sebagai

permasalahan administratif dan sebagai pendidikan politik kepada mahasiswa, adalah alasan kuat perubahan kM menjadi republik Mahasiswa (rema). hal ini menuntut kesiapan instrumen-instrumen primer dan sekunder untuk menjalankan sistem rema. Salah satunya Undang-Undang Partai Mahasiswa (UU Parma) dan Undang-Undang Pemilwa (UU Pemilwa). UU tersebut sangat vital untuk menjalankan sistem rema. Namun, UU tersebut belum juga selesai dibahas hingga pertengahan Oktober, padahal Pemilwa dilaksanakan pada Desember nanti.

Titik temu waktu pembahasan menjadi penyebab molornya UU Parma ini. Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM), Dewan Perwakilan Fakutas (DPF), dan Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa republik Mahasiswa ( BEM rema) adalah komponen yang membahas dan mengesahkan UU Parma.

Untuk itu LPM EkSPrESi melalui buletin EXPEDiSi melakukan polling guna mengetahui t a n g g a p a n mahasiswa dari seluruh fakultas di UNY. Metode p e n g a m b i l a n

Andhika | Expedisi

Page 6: Buletin Expedisi Edisi III Oktober 2015 - Pembahasan UU Parma Lamban

persepsi

6 edisi iii | oKtoBer 2015

Kepalsuan dan Kebuntuan

Maraknya pemberitaan media massa tentang ijazah palsu akhir-akhir ini menghiasi

karut-marut penyelenggaraan pendidikan. Logika pemerintah dalam menindaklanjuti laporan pun mudah ditebak. Yakni menyalahkan mahasiswa yang “membeli” ijazah palsu tersebut.

Mari kita tanyakan kembali konstruksi baku pada nilai sosial-fungsional yang melekat pada ijazah. Penggunaan ijazah sebagai tuntutan saat pendaftaran lowongan kerja mungkin adalah deretan paling populer saat ini. kebutuhan masyarakat akan bukti otentik “pernah berkuliah” termanifestasikan ke dalam ijazah. inilah yang dilirik oleh penjual ijazah palsu.

Akan tetapi, jangan hanya salahkan si penjual, karena ia tergerak atas dasar peluang keuntungan, jiwa ekonomis alamiah manusia. kita sendiri sama-sama terjerembab ke dalam perspektif yang sungguh keji, tidak pernah membahas kondisi-kondisi yang menyebabkan

penjual dan pembeli (ijazah palsu.red) ini bertransaksi.

Pembeli, mengalami tekanan kondisi hidup yang distorsinya tak kunjung reda. Melamar kerja tanpa membawa ijazah, berarti ia akan diterima di posisi rendahan. Sedangkan hidup harus terus berlanjut (baca: kebutuhan pangan, sandang, papan). Belum lagi tekanan sosial yang akan ia pikul jika hanya bekerja kasaran dan berderet hal lainnya.

Si penjual lain lagi, ia hanya tergerak kepada logika ekonomistik dengan slogan “Anda Butuh, kami Sediakan”. Si penjual ini bukan orang bodoh. ia mampu melihat peluang dan membuatkan jalan pintas bagi pembeli yang sedang berhadapan dengan jalan buntu seperti disebutkan sebelumnya.

Logika Naif PemerintahBerdalih bahwa mahasiswa (pembeli

ijazah.red) tersebut adalah orang yang pragmatis dan malas berproses. Namun pertanyaannya adalah, apakah jalan buntu yang dihadapi para pembeli ijazah ini mereka yang ciptakan sendiri?

Berbicara pendidikan tanpa berbicara aspek politik-ekonomi-kebudayaan, memiliki satu ujung yang sama, analisis yang hambar nan positivistik. Dilanggarnya UU Sisdiknas No.20 Tahun 2003 Pasal 69 Ayat 1 bukanlah titik hulu persoalan ijazah palsu. Penggunaan dalil hukum untuk mendakwa hanyalah eksekusi akhir setelah didapatkan evaluasi kebijakan secara komprehensif.

Perihal seperti ini semestinya diberlakukan asas Prima Causa dengan pemahaman yang kritis. Menindaklanjuti tersangka pemalsuan ijazah memang harus dilakukan, namun ada yang harus ditindaklanjuti secara lebih jauh dan integratif lagi. Yakni kondisi-kondisi di mana seseorang ternyata mengalami jalan buntu dalam kehidupannya. Sedangkan landasan konstitusi kita menjamin seluruh warga negara bisa hidup dengan layak (baca: manusiawi).

Freire (1986) memaparkan bahwa kondisi kesadaran naif merupakan kondisi kesadaran di mana manusia adalah sumber masalah yang harus

dibenahi dan cenderung menyalahkan si korban. Maka, jangan heran ketika isu ijazah palsu memasuki ruang publik. konstruksi wacana yang mendominasi adalah man power development, yakni seputar pelanggaran hukum, etika yang harus diperbaiki, kemalasan belajar dan harus ada motivasi. kesadaran naif ini meyakini bahwa kondisi struktur dan sistem merupakan pemberian (takdir) Tuhan yang sudah baik dan benar. Maka manusianyalah yang perlu dibenahi.

Haluan Pembangunan dan Pengembangan Pendidikan

Medio tahun 2013 beberapa portal berita online dan cetak indonesia merilis data tentang kegemilangan Finlandia dalam membangun dan mengembangkan dunia pendidikannya, walaupun berkali-kali berganti pemerintah dan partai penguasa. Bagaimana bisa mereka menerapkannya sedangkan kita tidak?

Pertama, terhapusnya Garis-Garis Besar haluan Negara (GBhN) dari sistem pemerintahan kita, menyebabkan negara kehilangan visinya. GBhN ditetapkan sebagai rel berjalannya negara sehingga ia digunakan sebagai acuan tata kelola kebijakan yang diambil hingga tahun-tahun yang akan datang. Terhapusnya GBhN dan digantikan dengan rencana Pembangunan Jangka Pendek-Menengah-Panjang merupakan salah satu kebijakan paling fatal yang pernah dibuat negeri ini. Belum lagi pembangunan tersebut sangat terfokus pada pembangunan industri pada jangkauan menengah-hilir.

Kedua, menetapkan pendidikan sebagai salah satu sektor industri jasa, akan segera menghapuskan secara perlahan peran negara dalam membangun pendidikan yang ideal bagi kehidupan bangsa. Patut kita pertanyakan, ke manakah aliran distribusi ekonomi pemerintah yang menjamin kecerdasan dan kelayakan hidup bangsa dan seluruh warganya? Ketiga, sebagai bumbu pamungkas, bahwa Finlandia menerapkan konsep pendidikan ki hadjar Dewantara dengan sistem among dan Tri Pusat Pendidikannya: keluarga, sekolah, dan masyarakat.

Mirza Ahmad Mahasiswa Teknologi Pendidikan 2011

Repro. Ade

Page 7: Buletin Expedisi Edisi III Oktober 2015 - Pembahasan UU Parma Lamban

Wisma Olahraga (Wismor) merupakan sebuah fasilitas yang juga tempat tinggal bagi

mahasiswa Fakultas ilmu keolahragaan UNY. Sampai saat ini, Wismor juga masih menjadi tempat persinggahan mahasiswa sekaligus membantu aktivitas dalam kegiatan perkuliahan. Banyak pula kegiatan kemahasiswaan berpusat Wismor, seperti sekre BEM Fik dan Ormawa-ormawa Fik lain.

Wismor memang kabarnya akan segera digusur dan digantikan oleh Sport Health Center (ShC). ShC sendiri adalah bagian dari kerja sama dengan islamic Development Bank (iDB) yang bertujuan untuk memberikan bantuan dana pinjaman kepada UNY. Bantuan tersebut dialokasikan untuk menambah fasilitas mahasiswa berupa konstruksi bangunan baru dan infrastruktur pendukung, sebagai program pengembangan kurikulum, pengembangan staf, bantuan riset, dan unit implementasi proyek. Namun dari yang katanya akan dibangun 14 gedung baru di 7 fakultas, rektorat dan program pasca sarjana UNY, hingga sekarang baru 1 gedung yang baru dibangun, yaitu di Fakultas Bahasa dan Seni berupa Laboraturium Seni Musik dan Tari.

Sebagai produk iDB, ShC sekarang-sekarang ini menjadi perbincangan di kalangan petinggi dan seluruh mahasiswa Fik. kabar hangat tersebut terfokus pada Wismor sebagai salah satu yang menjadi korban dari proses pembangunan iDB. Wismor yang nanti akan digantikan sebagai ShC itu memang fungsinya masih belum dilihat dan diterawang secara pasti. karena pada dasarnya

ShC ini memang memiliki fungsi yang hampir sama dengan klinik Olaharaga atau Laboraturiumnya Fakultas ilmu keolahragaa. Lalu apa bedanya ShC dengan klinik Fik yang sudah ada di samping Fakultas ilmu keolahragaan dan masih baik keadaaanya.

Efektivitas ShC juga masih diragukan, mengingat apakah dapat difungsikan dengan baik sesuai tujuan dan dapat diakses oleh mahasiswa, atau malah hanya akan mangkrak? Dana besar pembangunan ShC juga perlu diperhatikan. hal itu berkaitan dengan seberapa besarkah urgensi pembangunan ShC untuk mahasiswa—khususnya Fik—karena hanya akan percuma jika ternyata pembangunan ShC tidak terlalu mendesak.

kehadiran ShC ini memang bisa dibilang merugikan banyak pihak, diantaranya pihak Wismor sendiri yang menjadi korban dibongkarnya Wismor untuk digantikan bangunan baru. Selain itu peran ShC akan tumpang tindih dengan klinik Fik. Selanjutnya, yang patut dipertanyakan adalah klinik Fik akan masih terus berlanjut dengan memindahkan semua fasilitasnya ke ShC atau bangunan klinik Fik ini benar-benar digantikan oleh yang lainnya. Paling penting tentu saja nasib mahasiswa yang bertempat tinggal di Wismor.

kabar pembangunan ShC dengan membongkar Wismor juga mencuatkan pertanyan baru. Yakni apakah nantinya akan dibangun Wismor baru sebagai ganti yang lama.

Mengingat fungsi Wismor memang sangat penting bagi masyarakat luar maupun dalam Wismor sendiri. Misal, peran wismor bagi seluruh mahasiswa Fik yang tinggal di sana, seperti mahasiswa Bidikmisi. Wismor juga membantu para mahasiswa yang menempatinya karena dekat dengan lapangan olahraga ketika praktik kuliah sedang berlangsung. Sementara itu, bagi masyarakat luar, Wismor juga sangat penting sebab digunakan sebagai tempat persinggahan atau beristirahatnya para peserta lomba dari luar—UNY bahkan Di Yogyakarta—yang sedang mengikuti perlombaan di UNY.

Oleh karena itu, jika memang nantinya Wismor akan dibongkar dan digantikan oleh ShC, sebaiknya perlu ada tindakan antisipatif untuk mahasiswa yang bertempat tinggal di Wismor. Selain itu, sebelum nantinya benar-benar akan dibongkar, pertimbangkan pula peran penting Wismor sebagai tempat tinggal mahasiswa dibandingkan dengan ShC.

Ade Lukman Hakim

Andhika | Expedisi

persepsi

7oKtoBer 2015 | edisi iii

SPACE I

KLAN

SPACE I

KLAN

Balada Warga Wismor

Andhika | Expedisi

Page 8: Buletin Expedisi Edisi III Oktober 2015 - Pembahasan UU Parma Lamban

tepi

8 edisi iii | oKtoBer 2015

Malam sudah mengintip di balik pintu senja. Namun, aktivitas perkuliahan di Fakultas Ekonomi masih belum usai, malah ada yang baru dimulai.

Hari Sudah Gelap, Kelas Masih Benderang

Senin (5/10) Dekan FE, Dr. Sugiharsono, M. Si., saat diwawancarai di ruangannya.

Sore itu matahari mulai mengemasi sinarnya, tanda petang sudah menjemput untuk mengantarkannya

pulang pada malam. Seiring dengan itu, aktivitas-aktivitas “berat” pun sudah mulai berganti menjadi aktivitas yang ringan. Terlihat kelompok-kelompok mahasiswa di sekitar Student Center juga Fakultas Bahasa dan Seni membentuk forum-forum diskusi. Bukan lagi duduk sepaneng di dalam kelas. Melainkan di atas rumputlah mereka asyik berdiskusi sambil sesekali tertawa dan bercanda.

Namun, pemandangan menjadi berbeda jika kita tengok di Fakultas Ekonomi (FE). Gedung utama FE yang menghadap ke utara itu ternyata masih terisi oleh mahasiswa- mahasiswa yang baru memulai atau sedang melakukan kegiatan perkuliahan. Mahasiswa program studi Akuntansi misalnya, petang itu (8/11) mereka masih ada kelas Akuntansi keuangan Lanjutan ii sampai pukul 19.20. Dua mahasiswi bernama Clara dan intan mengaku bahwa kuliah sampai malam membuat mereka tidak teliti dalam mengerjakan soal hitungan. “Enggak fokus, capek, waktu dikasih soal jadi enggak teliti. Jadi ingin cepat- cepat selesai terus pulang,” keluh Clara dan intan sambil membuka jari-jarinya

meperlihatkan gerakan menghitung.Sudah hampir pukul 18.00, azan

dikumandangkan. hari sudah gelap dan lampu- lampu dinyalakan. Begitu pun dalam gedung FE nan elegan itu. Lampu sengaja dinyalakan karena memang sedang digunakan untuk aktivitas perkuliahan. “Maaf ya, Mas, menunggu lama,” ucapnya spontan begitu muncul dari koridor di sebelah kami duduk. Dosen Akuntansi keuangan Lanjutan ii, Patriani Wahyu Dewantii, S.E., M.Acc., yang mengajar pada petang itu terlihat begitu lelah ketika menyambut kami. Baju batik warna biru dan merah yang ia kenakan sudah tampak kusut. Wajahnya pun sudah nampak lelah. Begitu obrolan kami mengalir, ia bercerita tentang jadwal kuliah malam yang membuatnya kesulitan untuk menyampaikan materi. “karena mahasiswanya sudah enggak fokus, ketika saya mengajar sampai ke mahasiswanya juga sulit,” ungkap Patriani penuh penekanan pada kata sulit. “Walaupun mahasiswa saya tidak mengeluh langsung pada saya, tapi dari ekspresi mereka, saya sebagai dosen tahu kalau mereka sudah lelah dan jenuh. Makanya saya tidak mau memaksakan satu bab penuh untuk satu pertemuan,” terangnya.

Selain itu, dosen perempuan yang sudah berkeluarga ini merasa keberatan dan serba salah dengan adanya jadwal kuliah malam. “kalau boleh memilih, ya enggak mau kuliah malam, Mas. ketika dihadapkan pada jam terakhir, diharapkan jangan mata kuliah yang berat seperti hitungan. Di sini juga ada dosen sepuh, dan enggak mungkin kan diberikan jadwal malam. Jadi serba salah, banyak pertimbangan juga saya kira,” tutur Patriani sambil menaruh tangannya di dada. Dosen muda yang dulu pernah menjadi praktisi di BNi Multifinance dan Ge Lighting indonesia itu, mengaku tidak begitu mengetahui alasan pasti mengenai jadwal kuliah malam yang diterapkan di FE. ia memohon agar alasan yang diungkapkannya dikonfirmasi lagi. “Mohon alasan yang saya dengar ini dikonfirmasi ya, Mas. karena saya tidak mendengar langsung dari pihak yang berwenang. Setahu saya karena FE membuka kelas PkS (Program kelanjutan Studi.red) dan kelas unggulan. kelasnya bertambah dan gedung kita terbatas, ya mau enggak mau harus ada kelas malam,” jelas Patriani.

Sementara itu, Dekan FE, Dr. Sugiharsono, M. Si., dari ruang kerjanya menjelaskan sebab-sebab FE menerapkan

Ghoza | Expedisi

Page 9: Buletin Expedisi Edisi III Oktober 2015 - Pembahasan UU Parma Lamban

tepi

9oKtoBer 2015 | edisi iii

“Walaupun mahasiswa saya tidak mengeluh langsung pada saya, saya sebagai dosen tahu kalau mereka sudah lelah dan jenuh”

jadwal kuliah malam yang salah satunya telah diungkapkan Patriani. “karena tahun ini gedung sebelah masjid sudah harus dirobohkan, ditambah ditiadakannya gedung merah untuk kemahasiswaan itu, jadi kekurangan lebih dari 10 ruang. hal ini menyebabkan kita terpaksa kuliah sampai malam. Sementara ada tambahan lagi untuk kelas unggulan, tiga program studi. Makanya harus segera membangun gedung baru,” ungkap Sugiharsono panjang lembar sambil menunjuk arah gedung-gedung yang ia sebut.

Begitu ditanya m e n g a p a a d a penambahan kelas unggulan sementara ruangan semakin terbatas, Sugiharsono menjawab bahwa kelas unggulan itu sudah diprogram sejak lama. “kita sudah memprogramkan bahwa tahun 2015 harus membuka kelas unggulan untuk selain Pendidikan Akuntansi. Tahun 2015 ini sudah target dibuka.” Menindaklanjuti hal itu, Sugiharsono mengatakan bahwa dengan kuliah malamlah kegiatan perkuliahan tidak terbengkalai. “Ya, bisa diatasi. kurang ruang, tapi bisa diatasi dengan kuliah sampai 19.20,” paparnya.

Di ruangan yang barang-barangnya tertata rapi itu, Sugiharsono beranggapan bahwa kuliah malam tidak akan memberi dampak yang berarti terhadap mahasiswa. Menurutnya, kuliah malam itu lebih enak karena suasananya tenang. “Saya kira itu bukan masalah, di luar negeri biasa. Di luar Jogja pun banyak yang kuliah malam. Sebenarnya kalau dinikmati, kuliah malam itu malah enak kok. Lebih tenang,” sambil tertawa Sugiharsono mengungkapkan pendapatnya.

Sementara itu, Clara dan intan mengaku kuliah malam yang harus mereka jalani itu tidak efektif. Dari raut wajah mereka jelas terlihat ketidaksetujuan terhadap kebijakan kuliah malam. ketika ditemui, dua mahasiswi ini menceritakan semua keluh kesahnya. “Enggak setuju. Pulang malam capek, kuliah dari pagi. Apalagi yang PkS transfer dari D3 ke S1 itu, yang pernah ikut kelas malam sama kita, dia 12 SkS penuh. Dari setengah delapan pagi sampai setengah delapan malam!” kata mereka menggebu-gebu. Belum lagi sore sampai malam adalah jadwal untuk

mahasiswa berorganisasi dan kegiatan ekstra lainnya. “kukira kalau yang ikut organisasi pasti terganggu banget. rapat-rapat juga biasanya malam kan. Tapi jujur kalau aku terganggu masalah istirahat saja,” kata Clara. “Apalagi aku juga ikut les, dan kalau ada kuliah malam terpaksa harus bolos les,” tambah intan, berkeluh.

Seorang mahasiswi FE yang tidak mau disebutkan namanyamempunyai pendapat yang sama. ia menyatakan tidak setuju dengan adanya jadwal kuliah

malam. “Tidak setuju. Selain mahasiswanya yang le lah, dosen pun mengajarnya tidak optimal,” katanya ketika d i t emui d i Student Center lantai 3. Selain

mahasiswi FE, Mutia dan risa, mahasiswi FBS dan FiS, juga sependapat. Menurut mereka jadwal kuliah malam jadi tidak efektif lagi karena mahasiswa banyak yang sudah lelah. “Tidak efektif. Apalagi banyak teman-temanku dari FE yang mengeluh soal jam kuliah malam itu. kasihan.”

Di sisi lain, dosen psikologi FiP, Dr. rita Eka izzaty, M.Si., mengatakan bahwa belajar di dalam kelas idealnya dua sampai tiga pelajaran, atau 6 SkS saja. Jika berlebihan, yang terjadi pada mahasiswa adalah kelelahan. Selain itu,

secara psikologis, unsur jiwa ternyata cukup berdampak pada peserta didik, terutama mahasiswi. “Jadi kalau kognitifnya sudah berpikir yang tidak-tidak. kemudian muncul rasa khawatir yang berlebihan. Akhirnya mahasiswi tersebut jadi tidak konsentrasi. kalau kita melihat dari unsur jiwa itu saja, sudah sangat mengganggu,” jelas rita. Tidak hanya itu, rita juga menyarankan agar hal ini sebaiknya dikomunikasikan dua arah. “kalau harus menerapkan kuliah sampai malam, harus tahu dulu subjek didiknya seperti apa. kan tidak semata-mata mengeluarkan kebijakan itu hanya dari satu arah saja, tetapi dari subjek didik juga. Artinya ketika ada kebijakan seperti itu harus ada komunikasi dua arah,” tambahnya.

Membenarkan hal di atas, Clara dan intan mengatakan bahwa tidak ada sosialisasi terlebih dahulu terkait jadwal kuliah malam. “Belum sama sekali. Di sistem krS kita enggak tahu jadwalnya hari apa, jam berapa, apalagi ruang kuliahnya, membingungkan. Tapi kalau dari awal kita sudah dikasih tahu semuanya dengan jelas gitu kan enak, kita tinggal menyesuaikan saja,” ungkap mereka. Sementara itu, Sugiharsono menjelaskan bahwa sosialisasi kepada mahasiswa otomatis melalui jadwal. “kalau ke mahasiswanya otomatis. Melalui jadwalnya itu,” jelasnya.

Ghozali SaputraBayu, Vathir

““

Repro. Andhika

Page 10: Buletin Expedisi Edisi III Oktober 2015 - Pembahasan UU Parma Lamban

resensi

10 edisi iii | oKtoBer 2015

Hikayat Orang Kampung

Ahmad | Expedisi

Mitos tidak pernah benar-benar hilang oleh tawaran modernitas. kenyataannya, mitos tetap ada

di mana-mana. Manusia-manusia urban sekalipun, belum sepenuhnya terlepas dari yang namanya mitos. Tengok saja pada kota-kota besar yang menghindari pemakaian angka 4 dan 13 di gedung-gedung mewah. Melalui kumpulan cerpen Anak-Anak Masa Lalu, Damhuri Muhammad mengajak kita merefleksikan pelbagai perspektif kampung, seperti tradisi, legenda, dan mitos itu sendiri.

Payung tematik kumcer—yang terpilih menduduki 10 besar kusala Literary Award 2015—ini adalah kenangan tentang kampung halaman dan masa lalu. Dalam epilognya, Damhuri menuturkan kampung lebih banyak menyisakan derita dan nestapa ketimbang keriangan, apalagi kerinduan yang menyala-nyala. Namun demikian, terhadap kenangan-kenangan yang telah memfosil di kepalanya itu, Damhuri

meneroka dan “memberi mereka nyawa” (hal.119) hingga menjadi hidangan cerita yang enak dan empuk untuk dibaca.

Mitos tentang ilmu hitam yang tak lepas dari dunia kampung, dapat kita temui dalam cerpen Tembiluk. kisahnya tentang seorang tuan yang mampu hidup abadi, akan tetapi menerima kemalangan dalam sebuah ritual. Narasi tentang mitos juga dapat kita cerna pada cerpen lain. Simaklah Badar Besi yang memuat kisah orang-orang yang amat percaya pada batu yang membuat badan kebal. Cerpen ini menyuguhkan keadaan di mana dulu dan sekarang, kita tetap dengan sebegitunya memercayai sifat keramat pada benda-benda.

Sementara itu, dalam cerpen Anak-Anak Masa Lalu—yang juga menjadi judul buku ini—kita mendapati praktik mistik oleh seorang kontraktor. ketika kepala bocah-bocah kampung setempat disembelih, untuk tumbal di balik

kokohnya pembangunan sebuah jembatan. Cerpen satiris ini sekaligus mempertanyakan bahwa, tidakkah kita selalu menggembar-gemborkan pembangunan fisik dalam setiap kata modernitas? Padahal pembangungan fisik itu justru seringkali mengorbankan rakyat.

Adapun melalui cerpen Luka Kecil di Jari Kelingking, Damhuri memandang sebuah tragedi besar dari sudut pandang yang acapkali tak dihiraukan banyak orang. Bahwa nasib lain selalu terjadi di balik tragedi besar. Berkisah tentang seorang ibu yang ditinggal Wi, anak semata wayangnya, lantaran menjadi buronan pascatragedi 1965. Si ibu harus membiasakan diri menerima pesan-pesan rahasia

yang dibawa oleh para penyamar suruhan Wi. hanya melalui para penyamar itulah si ibu dapat mengetahui kabar Wi. Sambil setia menunggu para pembawa pesan yang kadang menyamar sebagai pedagang barang pecah belah maupun pekerjaan lain, si ibu senantiasa berharap kepulangan Wi lebih cepat dari ajalnya.

Di cerpen Banun, kita diperlihatkan pada sebuah getir wanita tua yang dipergunjingkan lantaran prinsipnya sebagai petani. Orang-orang kampung menjulukinya “Banun kikir”. Anak-anaknya memprotes tabiat kikirnya yang menakjubkan. hingga akhirnya, kepada anak-anaknya, ia menyingkap ajaran mendiang suaminya. ia menjelaskan kata tani sebagai penyempitan dari “tahani”, yang dalam terjemahan bahasa masa kini berarti “menahan diri” (hal. 26). Menahan diri dari keharusan membeli segala sesuatu selama kebutuhannya dapat dipenuhi dengan bercocok tanam. Di masa kini, tinjaulah iklan–iklan modernitas yang mengarahkan kita pada laku konsumtif. Maka keteguhan Banun itu adalah anitesis konsumerisme.

Tak melulu mengangkat cerita kampung yang bersusila, dalam cerpen Rumah Amplop, Damhuri menyetir kita pada keamoralan orang kampung. Tentang seorang pegawai negeri sipil yang haus harta. Menerima suap dari mereka yang ingin memenangkan proyek adalah hal biasa. karena itulah si “aku” menamai rumahnya sebagai “rumah amplop” karena hampir tiap hari selalu ada amplop yang diterima ayahnya.

kumcer ini akan lebih mengena jika kita lebih dahulu membaca epilognya. Sebab, di epilog inilah kita dipertemukan dengan latar belakang atau basis sekaligus konteks kemunculan setiap cerpennya.

Pada akhi rnya , tanpa bermaksud m e m b e n a r k a n atau menyalahkan, Damhuri memilih untuk lebih melihat kejernihan dari ha l -ha l be rbau “kampungan”.

Putra Ramadan

Judul : Anak-Anak Masa LaluPengarang : Damhuri MuhammadPenerbit : Marjin kiriTahun Terbit : 2015Tebal : 121 halaman

Page 11: Buletin Expedisi Edisi III Oktober 2015 - Pembahasan UU Parma Lamban

wacana

11oKtoBer 2015 | edisi iii

Akronim Gestok (Gerakan Satu Oktober) diperkenalkan oleh Bung karno karena peristiwa yang

memilukan tersebut berlangsung setelah tengah malam. Pandangan masyarakat indonesia tentang Gerakan 1 Oktober terbelah menjadi dua kelompok, pro dan kontra. Pada dasarnya posisi kedua kelompok ini masih belum berubah dari posisi mereka ketika peristiwa Gerakan 1 Oktober 1965. Dilansir kompas 30 September 2015, telah ada pernyataan publik dari Jaksa Agung bahwa kasus-kasus pelanggaran hAM masa lalu akan diselesaikan melalui rekonsiliasi. kesimpangsiuran informasi yang ada dan belum berkembangnya rencana pemer in tah dapat dikatakan karena tidak adanya pemahaman tentang konsep penyelesaian pelanggaran hAM berat di masa lalu, khususnya yang akan diselesaikan dengan jalan rekonsiliasi.

i d e a l n y a , s e m u a pelanggaran hAM berat d i se lesa ikan dengan p e n g a d i l a n . h a n y a pelanggaran hAM berat masa lalu yang tidak dapat diselesaikan dengan pengadilan—karena tak memenuhi syarat—yang dapat diselesaikan dengan rekonsi l ias i . Mandat untuk penyelesaian dengan rekonsilisasi ini dinyatakan dalam pasal 47a Bab X ketentuan Penutup UU No 26/2000 tentang Pengadilan hak Asasi Manusia. UU tersebut menyatakan, penyelesaian kasus pelanggaran hAM berat yang terjadi sebelum UU ini disahkan tidak menutup kemungkinan dilakukan oleh komisi kebenaran dan rekonsiliasi. UU ini juga menyatakan pelanggaran hAM berat meliputi kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan. karenanya, pelanggaran hAM berat termasuk tindakan pelanggaran hak asasi manusia yang spesifik.

Disebutkan 10 bentuk kejahatan kemanusiaan, yaitu pembunuhan, pemusnahan atau genosida, perbudakan,

pengusiran atau pemindahan penduduk, perampasan kemerdekaan/ kebebasan fisik lain, penganiayaan, pemerkosaan, perbudakan seksual, penyiksaan terhadap kelompok—berdasarkan alasan politik, ras, kebangsaan, etnis, kebudayaan, agama, jenis kelamin (gender). Selanjutnya adalah penghilangan seseorang secara paksa, kejahatan apartheid, dan perbuatan lainnya yang tak berperikemanusiaan yang dilakukan secara sengaja sehingga mengakibatkan penderitaan, luka parah baik tubuh

maupun mental. Berbeda dengan tujuan proses pengadilan untuk membuktikan seorang bersalah atau tidak. rekonsiliasi lebih berimbang sebagai upaya pembuktian suatu kesalahan dengan perhatian yang perlu diberikan kepada korban agar tidak terulang kembalinya peristiwa serupa pada generasi-generasi berikutnya. Akhirnya, rekonsiliasi bertujuan untuk memulihkan harkat dan martabat manusia dalam masyarakat baru indonesia yang telah berdamai dengan masa lalunya.

rekonsiliasi punya 4 elemen penting jika ingin mencapai tujuan tersebut. Yaitu keadilan, pencarian kebenaran, reformasi kelembagaan, dan reparasi.

keadilan, perdamaian, dan demokrasi bukan merupakan sasaran yang eksklusif terpisah satu sama lain, tapi merupakan imperatif yang saling memperkuat dan memerlukan perencanaan strategis, satuan rencana, dan penahapan yang cermat. Elemen pencarian kebenaran jadi penting sebagai wujud dari hak korban atas kebenaran.

reparasi merupakan proyek pemerintah yang dapat menyatakan pengakuan kepada mereka yang hak-hak dasarnya telah dilanggar, meliputi

pengakuan atas pelanggaran hak korban, pengakuan atas tanggung jawab negara, dan pengakuan terhadap cedera yang diderita korban sebagai bentuk tindak kekerasan. Jelas bahwa rekonsiliasi bukanlah konsep yang mementingkan salah satu kelompok yang terlibat dalam tindak kekerasan. rekonsiliasi bukan untuk siapa salah dan benar. Juga bukan untuk menjustifikasi tuntutan salah satu pihak terhadap pihak lain. ini adalah upaya penyelesaian konflik yang selalu berpihak pada kepentingan bangsa.

rekonsil iasi memiliki lingkup bangsa dan jika kita ingat tragedi 1965 merupakan puncak perebutan kekuasaan politik terbesar, yaitu Presiden Soekarno, Pki, dan TNi AD. kita harus melawan lupa terhadap memori institusional 3 kekuatan

politik tersebut untuk membuka jalan bagi rekonsiliasi nasional tragedi 1965. Tidak boleh kita lupakan proses politik yag memuncak pada tragedi 1965 merupakan proses sebab-akibat dari apa yang terjadi sebelum 1 Oktober 1965. Terhadap perspektif korban eks-Pki dan keluarganya bahwa banyak di antara mereka telah menjadi korban—baik korban jiwa maupun dirampasnya hak-hak dasar mereka sebagai warga negara tanpa hak membela diri dan hak pengadilan. Apabila memang terjadi, mengapa hal itu tidak dicatat dalam sejarah sebagai kepahitan yang pernah dialami dan diakui sebagai kenyataan.

Indra Ristianto

Rekonsiliasi Nasional Gerakan 1 Oktober

Repro. Andhika

Page 12: Buletin Expedisi Edisi III Oktober 2015 - Pembahasan UU Parma Lamban

Adakah dari kalian yang telah mengetahui apa itu gastronomi molekuler? Adalah teknik seni

memasak yang kini semakin marak diperbincangkan di kalangan pencinta kuliner. Tidak mau ketinggalan dengan perkembangan teknologi dari cabang lain, teknologi dalam dunia kuliner ternyata juga mengalami perkembangan yang cukup pesat. Dengan gastronomi molekuler ini, koki dituntut tidak hanya ahli memasak, tetapi harus memiliki pengetahuan lebih mengenai perubahan molekul bahan-bahan makanan yang akan dia olah nantinya. Bagaimana tidak, dalam prosesnya, teknik dalam gastronomi molekuler sangat dipengaruhi oleh proses kolaborasi dari unsur fisika dan kimia dalam proses memasaknya.

Munculnya perkembangan teknologi di bidang kuliner berupa gastronomi molekuler, tidak hanya dipengaruhi oleh faktor semakin pesatnya perkembangan teknologi global. Faktor lainnya adalah, para koki modern yang beranggapan bahwa cara memasak tradisional dirasa

belum tentu menjamin kandungan nutrisi dalam makanan. Sebab, setelah diolah makanan akan tetap utuh, begitu juga dengan jaminan kesehatannya. karena itulah teknologi ini muncul. harapannya teknologi gastronomi molekuler dapat menjadikan para koki lebih mampu mengembangkan dan mengeksplorasi inovasi-inovasi baru secara lebih luas. Sehingga mampu menghasilkan kuliner yang lebih variatif dan unik layaknya karya seni. harapan lain tentunya mampu mendongkrak minat dan kepuasan konsumen akan hasil kuliner yang enak, lezat, dan sehat.

Gastronomi molekuler sendiri sangat unik, karena merupakan perpaduan ilmu pengetahuan yang kemudian menghasilkan produk yang dapat dikatakan sebagai karya seni. ia menyajikan perubahan bentuk yang cukup signifikan pada hasil akhir, untuk kemudian disajikan dengan sangat indah.Tentu dua teknik pengolahan makanan ini dikatakan berbeda dan tidak dapat

disamakan. hal inilah yang membuat gastronomi molekuler memiliki kekhasan tersendiri jika dibandingkan dengan gaya memasak lainnya.

Andhika WidyawanDikutip dari berbagai sumber

eKsprespedia

12 edisi iii | oKtoBer 2015

SPACE I

KLAN

SPACE I

KLAN

SPACE I

KLAN

SPACE I

KLAN

SPACE I

KLAN

SPACE I

KLAN

Gastronomi Molekuler Kian Populer

Dok Istimewa