47
LAPORAN KASUS ANESTESI UMUM PADA PASIEN LAPAROSKOPI CHOLESISTECTOMY DENGAN RIWAYAT ASMA BRONKIAL DAN HIPERTENSI Pembimbing : dr. Nurgani Aribinuko, Sp.An (KIC) Disusun oleh : Fitria Ahdiyanti W. 030.09.094 Nanda Soraya 030.10.202 Putri Sarah 030.10.225

Case Anest

Embed Size (px)

DESCRIPTION

gkjhlk

Citation preview

LAPORAN KASUSANESTESI UMUM PADA PASIEN LAPAROSKOPI CHOLESISTECTOMY DENGAN RIWAYAT ASMA BRONKIAL DAN HIPERTENSIPembimbing :

dr. Nurgani Aribinuko, Sp.An (KIC)

Disusun oleh : Fitria Ahdiyanti W. 030.09.094

Nanda Soraya 030.10.202

Putri Sarah 030.10.225KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESIRUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATIPERIODE 18 AGUSTUS 2014 20 SEPTEMBER 2014

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTIBAB I

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN

Nomor RM

: 01307850

Nama

: Ny. SP

Tempat, tanggal lahir: Banyumas, 16 Juni 1951

Jenis kelamin

: Perempuan

Agama

: Islam

Alamat

: Jl. Rambutan No. 33 Pesanggrahan Jakarta

Selatan, DKI Jakarta

Pendidikan

: SLTP

Pekerjaan

: Pensiunan

Status Perkawinan: Kawin

Tanggal Masuk Rawat Inap : 2 September 2014 Tanggal operasi

: 3 September 2014II. ANAMNESIS

Keluhan Utama

Nyeri perut kanan atas sejak 2 bulan SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang

OS merasa nyeri perut di perut kanan atas sejak 2 bulan SMRS. Nyeri perut hilang timbul. Keluhan ini pernah dirasakan os pada tahun 2005, setelah dilakukan pemeriksaan fisik dan rontgen, os mengatakan bahwa dokter mendiagnosis adanya batu empedu sebesar 2 cm. Dokter menyarankan untuk dilakukan operasi, namun os menolak karena pada saat itu suami os sedang sakit juga. Akhirnya dokter hanya memberikan obat anti nyeri saja. Setelah itu, os merasa sakitnya sudah tidak pernah begitu terasa lagi sehingga os merasa tidak perlu kembali berobat ke dokter. Sekitar bulan Juli 2014, os merasa nyeri perut di kanan atas kembali timbul dan mulai mengganggu aktivitas, sehingga os berobat ke RS Suyoto. Di RS Suyoto, belum sempat dilakukan observasi lebih lanjut, os meminta untuk dirujuk ke RSUP Fatmawati Jakarta. OS mengaku mual muntah. Buang air besar lancar. Demam disangkal. Di RSUP Fatmawati Jakarta, di poli bedah disarankan untuk melakukan USG perut. Hasil USG ditemukan batu di kandung empedu dan disarankan untuk dilakukan operasi pengangkatan batu empedu. Os dan keluarga setuju untuk dilakukan operasi. Sebelum operasi, dilakukan konsultasi ke dokter spesialis jantung, paru, dan penyakit dalam.

Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat maag

Riwayat operasi disangkal

Riwayat perawatan di rumah sakit disangkal

Riwayat batuk lama disangkal

Riwayat asma sejak usia muda, namun jarang kambuh Riwayat alergi obat dan makanan disangkal

Riwayat Hipertensi tidak terkontrol dan oleh dokter diberikan Captopril apabila tensi sedang tinggi Riwayat Diabetes Mellitus disangkal

Pasien tidak sedang dalam pengobatan suatu penyakit tertentu dan tidak mengkonsumsi obat-obatan apapunRiwayat Penyakit Keluarga

Os mengatakan bahwa salah satu anaknya menderita keluhan yang sama Riwayat penyakit diabetes melitus atau kencing manis disangkal

Riwayat penyakit darah tinggi disangkal

III. PEMERIKSAAN FISIK

KEADAAN UMUM

Kesadaran

: Compos MentisKesan sakit

: Sakit Sedang

Kesan gizi

: Gizi lebih

TANDA VITAL

Tekanan Darah

: 170/89 mmHg

Nadi

: 75 x/ menit

Suhu

: 36,50 C

Respirasi

: 20 x/ menit

STATUS GENERALIS

Kepala :

Mata

: Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), refleks cahaya (+/+), pupil isokor. Hidung: Bentuk normal, deviasi septum (-), sekret (-)

Telinga: Normotia, nyeri tekan, sekret (-/-) Mulut

: Bibir kering (+), pucat (-), pecah-pecah (-),

Mallampati gradasi 1Leher

: Deformitas (-), pembesaran kelenjar getah bening (-)

Thoraks: Inspeksi: dinding dada simetris (+), sikatrik (-), retraksi sela iga (-)

Palpasi

: nyeri tekan (-), fremitus sama kuat kanan kiri, Auskutasi: suara nafas vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing -/-,

suara jantung S1 dan S2 normal, murmur (-),

gallop (-) Perkusi : sonor pada kedua lapang paru, batas jantung

normal

Abdomen: Inspeksi: tampak buncit lemas Auskultasi: bising usung (+) normal Palpasi : Nyeri Tekan (+) epigastrium sampai ke

hipokondria kanan. Perkusi: timpani Ekstremitas:

atas : akral hangat, sianosis (-/-), deformitas (-/-), oedema (-/-) bawah: akral hangat, sianosis (-/-), deformitas (-/-), oedema (-/-)IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

LABORATORIUM

LaboratoriumHasilNilai Rujukan

Hemoglobin13,9 g/dL11,7 - 15,5 g/dL

Hematokrit42 %33 - 45 %

Leukosit7600/ul5000 - 10000/ul

Trombosit242000/ul150000 - 440000/ul

Fungsi Hepar

SGOT27 U/L0 - 34 U/L

SGPT22 U/L0 - 40 U/L

Fungsi Ginjal

Ureum39 mg/dl22 - 40 mg/dl

Kreatinin1,4 mg/dl0,6 - 1,5 mg/dl

Hemostasis

APTT25,827,4' - 39,1'

PT12,411,4' - 14,7'

Diabetes

GDS 112 mg/dl< 140 mg/dl

GDPP118 mg/dl80 - 140 mg/dl

Lemak

Trigliserida

Kolesterol total

HDL

LDL193 mg/dl235 mg/dl43 mg/dl153 mg/dl< 150 mg/dl< 200 mg/dl< 37 92 mg/dl< 130 mg/dl

Elektrolit darah

Natrium

Kalium

Klorida147 mmol/l3.91 mmol/l114 mmol/l135 - 147 mmol/l3.10 - 5.10 mmol/l95 - 108 mmol/l

Urinalisa

Urobilinogen

Protein urine

Berat jenis

Bilirubin

Keton

Nitrit

pH

Lekosit

Darah/HB

Glukosa

Warna

Kejernihan

Sedimen urine

Epitel

Lekosit

Eritrosit

Silinder

Kristal

Bakteri

Lain-lain0.2 E.U./dlNegatif

1.025

Negatif

Negatif

Negatif

6.0

Negatif

Trace

Negatif

Kuning

Jernih

Positif

0 - 1

0 - 2

Negatif

Asam urat positif

Negatif

Negatif160Atau>100

Penilaian preoperatif penderita-penderita hipertensi esensial yang akan menjalani prosedur pembedahan, harus mencakup 4 hal dasar yang harus dicari, yaitu:Jenis pendekatan medikal yang diterapkan dalam terapi hipertensinya.

Penilaian ada tidaknya kerusakan atau komplikasi target organ yang telah terjadi.

Penilaian yang akurat tentang status volume cairan tubuh penderita.

Penentuan kelayakan penderita untuk dilakukan tindakan teknik hipotensi, untuk prosedur pembedahan yang memerlukan teknik hipotensi.

Semua data-data di atas bisa didapat dengan melakukan anamnesis riwayat perjalanan penyakitnya, pemeriksaan fisik, tes laboratorium rutin dan prosedur diagnostik lainnya. Penilaian status volume cairan tubuh adalah menyangkut apakah status hidrasi yang dinilai merupakan yang sebenarnya ataukah suatu hipovolemia relatif (berkaitan dengan penggunaan diuretika dan vasodilator). Disamping itu penggunaan diuretika yang rutin, sering menyebabkan hipokalemia dan hipomagnesemia yang dapat menyebabkan peningkatan risiko terjadinya aritmia. Untuk evaluasi jantung, EKG dan x-ray toraks akan sangat membantu. Adanya LVH dapat menyebabkan meningkatnya risiko iskemia miokardial akibat ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen. Untuk evaluasi ginjal, urinalisis, serum kreatinin dan BUN sebaiknya diperiksa untuk memperkirakan seberapa tingkat kerusakan parenkim ginjal. Jika ditemukan ternyata gagal ginjal kronis, maka adanya hiperkalemia dan peningkatan volume plasma perlu diperhatikan. Untuk evaluasi serebrovaskuler, riwayat adanya stroke atau TIA dan adanya retinopati hipertensi perlu dicatat. Tujuan pengobatan hipertensi adalah mencegah komplikasi kardiovaskuler akibat tingginya TD, termasuk penyakit arteri koroner, stroke, CHF, aneurisme arteri dan penyakit ginjal. Diturunkannya TD secara farmakologis akan menurunkan mortalitas akibat penyakit jantung sebesar 21%, menurunkan kejadian stroke sebesar 38%, menurunkan penyakit arteri koronaria sebesar 16%.

Pertimbangan Anestesia Penderita Hipertensi

Sampai saat ini belum ada protokol untuk penentuan TD berapa sebaiknya yang paling tinggi yang sudah tidak bisa ditoleransi untuk dilakukannya penundaan anestesia dan operasi.12,13 Namun banyak literatur yang menulis bahwa TDD 110 atau 115 adalah cut-off point untuk mengambil keputusan penundaan anestesia atau operasi kecuali operasi emergensi.11,12 Kenapa TD diastolik (TDD) yang dijadikan tolak ukur, karena peningkatan TD sistolik (TDS) akan meningkat seiring dengan pertambahan umur, dimana perubahan ini lebih dianggap sebagai perubahan fisiologik dibandingkan patologik. Namun beberapa ahli menganggap bahwa hipertensi sistolik lebih besar risikonya untuk terjadinya morbiditas kardiovaskuler dibandingkan hipertensi diastolik. Pendapat ini muncul karena dari hasil studi menunjukkan bahwa terapi yang dilakukan pada hipertensi sistolik dapat menurunkan risiko terjadinya stroke dan MCI pada populasi yang berumur tua. Dalam banyak uji klinik, terapi antihipertensi pada penderita hipertensi akan menurunkan angka kejadian stroke sampai 35%-40%, infark jantung sampai 20-25% dan angka kegagalan jantung diturunkan sampai lebih dari 50%. Menunda operasi hanya untuk tujuan mengontrol TD mungkin tidak diperlukan lagi khususnya pada pasien dengan kasus hipertensi yang ringan sampai sedang. Namun pengawasan yang ketat perlu dilakukan untuk menjaga kestabilan hemodinamik, karena hemodinamik yang labil mempunyai efek samping yang lebih besar terhadap kardiovaskular dibandingkan dengan penyakit hipertensinya itu sendiri. Penundaan operasi dilakukan apabila ditemukan atau diduga adanya kerusakan target organ sehingga evaluasi lebih lanjut perlu dilakukan sebelum operasi.

The American Heart Association / American College of Cardiology (AHA/ACC) mengeluarkan acuan bahwa TDS > 180 mmHg dan/atau TDD > 110 mmHg sebaiknya dikontrol sebelum dilakukan operasi, terkecuali operasi bersifat urgensi. Pada keadaan operasi yang sifatnya urgensi, TD dapat dikontrol dalam beberapa menit sampai beberapa jam dengan pemberian obat antihipertensi yang bersifat rapid acting. Perlu dipahami bahwa penderita hipertensi cenderung mempunyai respon TD yang berlebihan pada periode perioperatif. Ada 2 fase yang harus menjadi pertimbangan, yaitu saat tindakan anestesia dan postoperasi. Contoh yang sering terjadi adalah hipertensi akibat laringoskopi dan respons hipotensi akibat pemeliharaan anestesia. Pasien hipertensi preoperatif yang sudah dikontrol tekanan darahnya dengan baik akan mempunyai hemodinamik yang lebih stabil dibandingkan yang tidak dikontrol dengan baik.Perlengkapan Monitor

Berikut ini ada beberapa alat monitor yang bisa kita gunakan serta maksud dan tujuan penggunaanya: EKG: minimal lead V5 dan II atau analisis multipel lead ST, karena pasien hipertensi punya risiko tinggi untuk mengalami iskemia miokard.

TD: monitoring secara continuous TD.

Pulse oxymeter: digunakan untuk menilai perfusi dan oksigenasi jaringan perifer.

Analizer end-tidal CO2: Monitor ini berguna untuk membantu kita mempertahankan kadar CO2.

Suhu atau temperature.

Premedikasi

Premedikasi dapat menurunkan kecemasan preoperatif penderita hipertensi. Untuk hipertensi yang ringan sampai dengan sedang mungkin bisa menggunakan ansiolitik seperti golongan benzodiazepine atau midazolam. Obat antihipertensi tetap dilanjutkan sampai pada hari pembedahan sesuai jadwal minum obat. Beberapa klinisi menghentikan penggunaan ACE inhibitor dengan alasan bisa terjadi hipotensi intraoperatif. Induksi Anestesi

Induksi anestesia dan intubasi endotrakea sering menimbulkan goncangan hemodinamik pada pasien hipertensi. Saat induksi sering terjadi hipotensi namun saat intubasi sering menimbulkan hipertensi. Hipotensi diakibatkan vasodilatasi perifer terutama pada keadaan kekurangan volume intravaskuler sehingga preloading cairan penting dilakukan untuk tercapainya normovolemia sebelum induksi. Disamping itu hipotensi juga sering terjadi akibat depresi sirkulasi karena efek dari obat anestesi dan efek dari obat antihipertensi yang sedang dikonsumsi oleh penderita, seperti ACE inhibitor dan angiotensin receptor blocker. Hipertensi yang terjadi biasanya diakibatkan stimulus nyeri karena laringoskopi dan intubasi endotrakea yang bisa menyebabkan takikardia dan dapat menyebabkan iskemia miokard. Angka kejadian hipertensi akibat tindakan laringoskopi-intubasi endotrakea bisa mencapai 25%. Dikatakan bahwa durasi laringoskopi dibawah 15 detik dapat membantu meminimalkan terjadinya fluktuasi hemodinamik. Beberapa teknik dibawah ini bisa dilakukan sebelum tindakan laringoskopi-intubasi untuk menghindari terjadinya hipertensi. Dalamkan anestesia dengan menggunakan gas volatile yang poten selama 5-10 menit.

Berikan opioid (fentanil 2,5-5 mikrogram/kgbb, alfentanil 15-25 mikrogram/kgbb, sufentanil 0,25- 0,5 mikrogram/kgbb, atau ramifentanil 0,5-1 mikrogram/kgbb).

Berikan lidokain 1,5 mg/kgbb intravena atau intratrakea.

Menggunakan beta-adrenergik blockade dengan esmolol 0,3-1,5 mg/kgbb, propanolol 1-3 mg, atau labetatol 5-20 mg).

Pemeliharaan Anestesia dan Monitoring

Tujuan pencapaian hemodinamik yang diinginkan selama pemeliharaan anestesia adalah meminimalkan terjadinya fluktuasi TD yang terlalu lebar. Mempertahankan kestabilan hemodinamik selama periode intraoperatif adalah sama pentingnya dengan pengontrolan hipertensi pada periode preoperatif. Pada hipertensi kronis akan menyebabkan pergeseran ke kanan autoregulasi dari serebral dan ginjal. Sehingga pada penderita hipertensi ini akan mudah terjadi penurunan aliran darah serebral dan iskemia serebral jika TD diturunkan secara tiba-tiba. Terapi jangka panjang dengan obat antihipertensi akan menggeser kembali kurva autregulasi kekiri kembali ke normal. Dikarenakan kita tidak bisa mengukur autoregulasi serebral sehingga ada beberapa acuan yang sebaiknya diperhatikan, yaitu:8 Penurunan MAP sampai dengan 25% adalah batas bawah yang maksimal yang dianjurkan untuk penderita hipertensi. Penurunan MAP sebesar 55% akan menyebabkan timbulnya gejala hipoperfusi otak. Terapi dengan antihipertensi secara signifikan menurunkan angka kejadian stroke. Pengaruh hipertensi kronis terhadap autoregulasi ginjal, kurang lebih sama dengan yang terjadi pada serebral. Anestesia aman jika dipertahankan dengan berbagai teknik tapi dengan memperhatikan kestabilan hemodinamik yang kita inginkan. Anestesia dengan volatile (tunggal atau dikombinasikan dengan N2O), anestesia imbang (balance anesthesia) dengan opioid + N2O + pelumpuh otot, atau anestesia total intravena bisa digunakan untuk pemeliharaan anestesia. Anestesia regional dapat dipergunakan sebagai teknik anesthesia, namun perlu diingat bahwa anestesia regional sering menyebabkan hipotensi akibat blok simpatis dan ini sering dikaitkan pada pasien dengan keadaan hipovolemia. Jika hipertensi tidak berespon terhadap obat-obatan yang direkomendasikan, penyebab yang lain harus dipertimbangkan seperti phaeochromacytoma, carcinoid syndrome dan tyroid storm. Kebanyakan penderita hipertensi yang menjalani tindakan operasi tidak memerlukan monitoring yang khusus. Monitoring intra-arterial secara langsung diperlukan terutama untuk jenis operasi yang menyebabkan perubahan preload dan afterload yang mendadak. EKG diperlukan untuk mendeteksi terjadinya iskemia jantung. Produksi urine diperlukan terutama untuk penderita yang mengalami masalah dengan ginjal, dengan pemasangan kateter urine, untuk operasi-operasi yang lebih dari 2 jam. Kateter vena sentral diperlukan terutama untuk memonitoring status cairan pada penderita yang mempunyai disfungsi ventrikel kiri atau adanya kerusakan end organ yang lain.Hipertensi Intraoperatif

Hipertensi pada periode preoperatif mempunyai risiko hipertensi juga pada periode anestesia maupun saat pasca bedah. Hipertensi intraoperatif yang tidak berespon dengan didalamkannya anestesia dapat diatasi dengan antihipertensi secara parenteral, namun faktor penyebab bersifat reversibel atau bisa diatasi seperti anestesia yang kurang dalam, hipoksemia atau hiperkapnea harus disingkirkan terlebih dahulu.Pemilihan obat antihipertensi tergantung dari berat, akut atau kronik, penyebab hipertensi, fungsi baseline ventrikel, heart rate dan ada tidaknya penyakit bronkospastik pulmoner dan juga tergantung dari tujuan dari pengobatannya atau efek yang diinginkan dari pemberian obat tersebut. Berikut ini ada beberapa contoh sebagai dasar pemilihan obat yang akan digunakan: Beta-adrenergik blockade: digunakan tunggal atau tambahan pada pasien dengan fungsi ventrikuler yang masih baik dan dikontra indikasikan pada bronkospastik.

Nicardipine: digunakan pada pasien dengan penyakit bronkospastik.

Nifedipine: refleks takikardia setelah pemberian sublingual sering dihubungkan dengan iskemia miokard dan antihipertensi yang mempunyai onset yang lambat.

Nitroprusside: onset cepat dan efektif untuk terapi intraoperatif pada hipertensi sedang sampai berat.

Nitrogliserin: mungkin kurang efektif, namun bisa digunakan sebagai terapi atau pencegahan iskemia miokard.

Fenoldopam: dapat digunakan untuk mempertahankan atau menjaga fungsi ginjal.

Hydralazine: bisa menjaga kestabilan TD, namun obat ini juga punya onset yang lambat sehingga menyebabkan timbulnya respon takikardia.

Manajemen Postoperatif

Hipertensi yang terjadi pada periode pasca operasi sering terjadi pada pasien yang menderita hipertensi esensial. Hipertensi dapat meningkatkan kebutuhan oksigen miokard sehingga berpotensi menyebabkan iskemia miokard, disritmia jantung dan CHF. Disamping itu bisa juga menyebabkan stroke dan perdarahan ulang luka operasi akibat terjadinya disrupsi vaskuler dan dapat berkonstribusi menyebabkan hematoma pada daerah luka operasi sehingga menghambat penyembuhan luka operasi. Penyebab terjadinya hipertensi pasca operasi ada banyak faktor, disamping secara primer karena penyakit hipertensinya yang tidak teratasi dengan baik, penyebab lainnya adalah gangguan sistem respirasi, nyeri, overload cairan atau distensi dari kandung kemih.

Sebelum diputuskan untuk memberikan obat-obat antihipertensi, penyebab-penyebab sekunder tersebut harus dikoreksi dulu.3 Nyeri merupakan salah satu faktor yang paling berkonstribusi menyebabkan hipertensi pasca operasi, sehingga untuk pasien yang berisiko, nyeri sebaiknya ditangani secara adekuat, misalnya dengan morfin epidural secara infus kontinyu. Apabila hipertensi masih ada meskipun nyeri sudah teratasi, maka intervensi secara farmakologi harus segera dilakukan dan perlu diingat bahwa meskipun pasca operasi TD kelihatannya normal, pasien yang prabedahnya sudah mempunyai riwayat hipertensi, sebaiknya obat antihipertensi pasca bedah tetap diberikan. Hipertensi pasca operasi sebaiknya diterapi dengan obat antihipertensi secara parenteral misalnya dengan betablocker yang terutama digunakan untuk mengatasi hipertensi dan takikardia yang terjadi. Apabila penyebabnya karena overload cairan, bisa diberikan diuretika furosemid dan apabila hipertensinya disertai dengan heart failure sebaiknya diberikan ACE-inhibitor. Pasien dengan iskemia miokard yang aktif secara langsung maupun tidak langsung dapat diberikan nitrogliserin dan beta-blocker secara intravena sedangkan untuk hipertensi berat sebaiknya segera diberikan sodium nitroprusside. Apabila penderita sudah bisa makan dan minum secara oral sebaiknya antihipertensi secara oral segera dimulai.PERTIMBANGAN PERIOPERATIF PASIEN ASMA

Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan proses inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan. Di seluruh dunia, kondisi ini diperkirakan terjadi pada 300 juta orang sementara prevalensinya di Amerika Serikat sekitar 6,7 % dari populasi, dalam satu hari diperkirakan 250 orang mengalami kematian.

Pasien asma seringkali menjalani pembedahan yang berisiko menimbulkan morbiditas dan mortalitas perioperatif. Sebuah tinjauan retrospektif mengungkapkan bahwa komplikasi pasca operasi lebih sering terjadi dibandingkan dengan kejadian bronkospasme intraoperatif. Sebuah analisis mengungkapkan bahwa meskipun angka kejadian bronkospasme perioperatif hanya berkisar 2%, akan tetapi lebih dari 90% kasus dapat berupa cedera otak parah dan kematian. Singkatnya, walaupun angka kejadian bronkospasme intraoperatif sangat rendah akan tetapi komplikasi perioperatif terbilang sangat merugikan.

Sejarah menunjukan bahwa riwayat asma memiliki beberapa implikasi perioperatif. Seringkali pasien mengalami eksaserbasi akut di meja operasi. Hal ini disebabkan oleh hiper-reaktivitas saluran napas yang dapat dengan mudah diinduksi oleh peralatan bedah, berbagai agen anestesi, aspirasi, infeksi, atau trauma. Risiko ini diperburuk dengan adanya penyakit kronis pada paru seperti penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) atau merokok aktif.

Patofisiologi

Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang. Gejala tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.

Bronkokonstriksi adalah hasil dari kontraksi otot polos bronkus yang disebabkan faktor ekstrinsik maupun intrinsik seperti, alergen, olahraga, stres, atau udara dingin. Rangsang vagal dan simpatik secara langsung memodulasi saluran napas. Inflamasi mukosa menyebabkan edema dan memperburuk aliran udara dan respons terhadap terapi bronkodilator. Proses inflamasi kronik pada asma akan menimbulkan kerusakan jaringan yang akan diikuti oleh proses penyembuhan (healing process) yang menghasilkan perbaikan (repair) dan pergantian sel-sel rusak dengan sel-sel yang baru. Pada asma, kedua proses tersebut berkontribusi dalam proses penyembuhan dan inflamasi yang kemudian akan menghasilkan perubahan struktur yang dikenal dengan airway remodeling.

Jalur inflamasi yang terlibat dalam patogenesis asma sangat kompleks, termasuk limfosit (Th1 dan Th2), imunoglobulin E, eosinofil, neutrofil, sel mast, leukotrien, dan sitokin. Jalur ini dipicu dan dimodifikasi oleh faktor ekstrinsik dan faktor lingkungan seperti alergen, pernapasan infeksi, asap, dan pekerjaan.

Efek Kardiopulmonal pada Bronkospasme

Bronkokonstriksi akut progresif yang terjadi sangat cepat dapat meningkatkan respiration rate, retensi udara (hiperinflasi), (V/Q) missmatch, dan resistensi vaskular, mengakibatkan overload ventrikel kanan. Selama bronkospasme akan terjadi penurunan volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1), kapasitas vital paru (KVP), volume cadangan ekspirasi, kapasitas inspirasi, rasio VEP1/ KVP < 80% juga menurun, sedangkan volume residu, kapasitas residu fungsional, dan kapasitas total paru-paru meningkat.

Udara yang terperangkap disertai dengan obstruksi saluran nafas menyebabkan retensi udara dalam paru-paru sehingga daya regang paru-paru tidak mampu untuk mendorong udara keluar dari paru, pada saat ini otot-otot bantu nafas digerakan semaksimal mungkin. Bersamaan dengan hal itu, kebutuhan O2 dalam tubuh semakin meningkat dan CO2 dalam tubuh semakin menumpuk yang pada akhirnya dapat menyebabkan gangguan oksigenasi miokard.

Pada bronkospasme yang parah, analisis gas darah menunjukkan hasil V/Q missmatch. Obstruksi pada asma menimbulkan hiperinflasi dan hipoinflasi yang dapat menyebabkan hypoxic pulmonary vasoconstriction (HPV). Pada bronkospasme akut, hiperventilasi menyebabkan alkalosis respiratorik, meningkatkan air trap level dan kelelahan otot bantu nafas sehingga tubuh mengalami retensi CO2. Pada akhirnya akan terjadi tamponade pulmo yang menyebabkan jantung kehilangan aktivitas elektriknya.

Selama serangan akut, pembuluh darah paru mengalami resistensi yang mengakibatkan peningkatan tekanan alveolar yang ditandai dengan hipoksemia dan asidosis. Tingginya resistensi vaskular paru menyebabkan ketidakseimbangan oksigenasi miokard yang dapat berimbas pada ventrikel kanan, pada saat yang bersamaan, tekanan vena sentral dan tekanan diastol arteri pulmo akan meningkat yang menyebabkan gagal jantung akut pada ventrikel kanan.

Evaluasi Pre-Operasi

Asesmen dan intervensi yang baik merupakan salah satu kunci keberhasilan manajemen penderita asma. Ketika keadaan telah terkontrol dengan baik, maka kemungkinan komplikasi perioperasi akan semakin kecil.

Anamnesis

Pasien dapat datang dengan tanpa gejala. Oleh karena itu perlu ditanyakan riwayat keparahan serangan yaitu frekuensi eksaserbasi, mondok, intubasi trakhea atau penggunaan ventilator mekanik. Pasien juga harus ditanya tentang alergen yang mungkin memicu serangan. Riwayat pengobatan juga menjadi perhatian penting pada pasien asma. Tanyakan bagaimana respons pengobatan selama ini dan tanyakan pula obat-obatan yang mungkin digunakan, terutama penggunaan steroid baik secara inhalasi atau sistemik, sudah berapa lama penggunaan dan tanyakan kemungkinan efek samping yang muncul.

Pasien asma sedang sampai berat harus dilakukan uji Arus Puncak Ekspirasi (APE), nilai normal rata-rata APE harian didasarkan pada umur, jenis kelamin, tinggi dan berat badan (pada umumnya nilai normal 200 600 lpm). American Lung Association mengklasifikasikan derajat fluktuasi penderita asma berdasarkan nilai APE dibandingkan dengan tinggi badan-berat badan, hijau (80% prediksi), kuning (50-80%), dan merah ( 6 detik menandakan rasio antara VEP1/KVP menurun.

Penunjang

Pemeriksaan laboratorium adalah penunjang anamnesis, dan pemeriksaan fisik untuk menegakkan diagnosis asma, untuk mengklasifikasikan tingkat keparahan asma dapat dilakukan pulmonary function test (PFTs) walaupun terkadang hasilnya kurang signifikan. Selain itu dapat dilakukan analisis gas darah untuk mengevaluasi adanya asidosis. Pemeriksaan EKG dapat dilakukan untuk mengidentifikasi adanya hipertrofi ventrikel kanan, deviasi aksis, atau right bundle branch block (RBBB). Foto radiologi berguna juga untuk menentukan apakah terdapat hiperinflasi, oedem, infiltrat, atau kongesti paru.

Rencana Tindakan Anestesi

Rencana tindakan anestesi harus mempertimbangkan kemungkinan adanya bronkospasme perioperatif agar pasien aman, nyaman, dan tenang. Pilihan metode anestesi, prosedur, klinis penilaian, dan preferensi dari semua terlibat harus disesuaikan dengan kondisi pasien. Hal yang harus diwaspadai adalah kecemasan atau nyeri pada daerah anestesi yang dapat memicu bronkospasme. Jelas, risiko tertinggi adalah di mana saluran pernafasan itu sendiri menjadi objek operasi, atau operasi yang melibatkan dada atau perut bagian atas di mana intubasi trakea harus dilakukan.

Persiapan Pre-Operasi

Jika evaluasi dapat dilakukan dalam jangka waktu lama, pasien harus disarankan untuk berhenti merokok minimal 12-18 jam sebelum operasi untuk menurunkan kadar carboxyhemoglobin. Fungsi paru-paru harus membaik dengan mengoptimalkan obat dan kepatuhan, atau mempertimbangkan kortikosteroid oral dalam jangka waktu terbatas. Metilprednisolon oral 40 mg selama 5 hari sebelum operasi telah terbukti menurunkan angka kejadian wheezing pasca-intubasi. Konsumsi steroid sistemik selama > 2 minggu dalam jangka waktu 6 bulan pertama sebelum operasi dapat menganggu fungsi adrenal dan dapat menginduksi supresi perioperatif. Oleh karena itu, pasien harus dirawat dengan short-acting steroid seperti hidrokortison (misalnya 100 mg iv setiap 8 jam) selama periode perioperatif. Terapi profilaksis dengan MDI atau nebulizer sangat tepat untuk digunakan. Operasi elektif tidak boleh dilakukan ketika penderita sedang mengalami bronkospasme aktif atau infeksi pernapasan akut dan gejala harus diobati sampai pasien kembali ke status dasar.

Pre-medikasi yang optimal dapat mencegah kecemasan, menurunkan kerja pernafasan, dan mencegah bronkospasme, oversedasi, dan depresi pernafasan. Dexmedetomidine agonis alfa 2 memiliki efek yang menguntungkan sebagai anxiolysis, sympatholysis, dan pengeringan sekresi tanpa depresi pernapasan. Agen antikolinergik seperti atropin atau glycopyrrolate dapat menurunkan reaktivitas saluran napas dan harus dipertimbangkan.

Pemantauan yang lain harus diarahkan pada pada penilaian mekanika saluran napas (volume, tekanan, saluran napas arus). Hal ini sangat berguna untuk mengevaluasi volume tidal dan kadar CO2 dalam darah.

Manajemen Intraoperatif

Bronkospasme dapat dipacu dengan tindakan laringoskopi, intubasi trakea, suction, ekstubasi trakea. Level PEEP (positive end-respiratory pressure) dapat memburuk dan meningkatkan retensi CO2 dalam paru-paru. Sementara itu, banyak obat-obatan perioperatif yang dapat menginduksi bronkospasme melalui induksi histamin. Agen blok neromuskular merupakan salah satu obat yang paling sering menyebabkan reaksi alergi, contohnya antara lain mivacurium dan rapacuronium.

Propofol tampaknya memiliki efek lebih kuat dibandingkan thiopental dan etomidate dalam menghambat peningkatan resistensi saluran napas.

Ketamine memiliki karakteristik induksi yang sangat baik dan menginduksi bronkodilatasi, cara kerjanya belum diketahui secara pasti mungkin dengan mengganggu jalur endotel. Seperti bius lainnya agen, bukti yang mendukung ketamin sebagian besar didasarkan pada studi hewan dan laporan kasus dan bukan acak. Lidokain dapat mencegah bronkospasme karena lidokain menyebabkan kelemahan respon sensorik saluran napas. Namun, inhalasi lidokain sendiri dapat memicu atau memperburuk bronkospasme. Injeksi lidokain intravena lebih dianjurkan karena lebih aman dan dapat dengan cepat mencapai saluran napas.

Bronkospasme Akut Intraoperasi

Tanda-tanda obstruksi jalan napas atau bronkospasme adalah peningkatan tekanan inspirasi puncak, memanjangnya fase ekspirasi, dan melambatnya pergerakan dinding dada. Pasien harus diberikan bantuan nafas agar saturasi oksigen menjadi 100% dan ventilasi manual harus segera dilakukan dengan bagging untuk menilai pernafasan. Dinding dada harus segera di-auskultasi untuk menilai ada tidaknya wheezing. Suara dasar vesikuler yang rendah di kedua lapang paru menunjukkan sedikitnya udara yang masuk ke paru-paru. Diferensial diagnosis pada kasus ini termasuk obstruksi jalan nafas karena adanya lendir atau oedem paru. Wheezing yang terjadi unilateral menjadi salah satu indikasi intubasi endobronchial, bisa disebabkan karena obstruksi benda asing seperti gigi copot, atau bahkan tension pneumothorax.

Jika setelah ditangani kondisi ini masih tetap ada atau jika bronkospasme tetap ada setelah dikoreksi, algoritma pengobatan untuk bronkospasme akut intraoperatif harus dilakukan, seperti analisis gas darah untuk mengevaluasi hipoksemia dan hiperkarbia.

Pada kasus seperti ini, pemakaian ventilasi manual lebih menguntungkan karena dapat mengatur kelegangan paru dan dapat mengatur irama ekspirasi. Ventilator manual juga dapat memfasilitasi paru untuk mencapai arus inspirasi yang cepat agar waktu ekspirasi dapat memanjang.

Ringkasan dan Pedoman

Insiden asma meningkat di seluruh dunia, akan tetapi morbiditas dan mortalitasnya menurun karena adanya perkembangan dalam perawatan medis. Meskipun kejadian bronkospasme perioperatif relatif rendah pada penderita asma yang menjalani anestesi, peristiwa tersebut dapat merupakan kegawatan yang mengancam jiwa. Kunci keberhasilan perioperatif tidak rumit. Agen pemicu potensial harus diidentifikasi dan dihindari. Banyak agen anestesi rutin memiliki pengaruh pada penyempitan saluran napas. Terutama pada pemakaian agen induksi dan harus segera dikelola dengan metode yang benar.ANESTESI PADA LAPAROSKOPIKOLESISTEKTOMI

Dewasa ini penyakit batu empedu (kolelitiasis) yang terbatas pada kantung empedu biasanya asimtomatis dan menyerang 10 20 % populasi umum di dunia. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan ultrasonografi abdomen.Kira-kira 20% wanita dan 10 % pria usia 55 sampai 65 tahun memiliki batu empedu.Cholesistectomy diindikasikan pada pasien simtomatis yang terbukti menderita penyakit batu empedu (cholelitiasis). Indikasi laparoskopi untuk Cholesistectomy sama dengan indikasi open cholesistectomy.Karena teknik minimal invasif memiliki aplikasi diagnosis dan terapi di banyak pembedahan, bedah laparoskopi meningkat penggunaannya baik pada pasien rawat inap ataupun rawat jalan.Keuntungan melakukan prosedur laparoskopi pada cholesistectomy yaitu: laparoskopi cholesistectomy menggabungkan manfaat dari penghilangan gallblader dengan singkatnya lama tinggal di rumah sakit, cepatnya pengembalian kondisi untuk melakukan aktivitas normal, rasa sakit yang sedikit karena torehan yang kecil dan terbatas, dan kecilnya kejadian ileus pasca operasi dibandingkan dengan teknik open laparotomi. Namun kerugiannya, trauma saluran empedu lebih umum terjadi setelah laparoskopi dibandingkan dengan open cholesistectomy dan bila terjadi pendarahan perlu dilakukan laparotomi.9 Kontra indikasi padalaparoskopi cholesistectomy antara lain: penderita ada resiko tinggi untuk anestesi umum; penderita denganmorbid obesity; ada tanda-tanda perforasi seperti abses, peritonitis, fistula; batu kandung empedu yang besar atau curiga keganasan kandung empedu; dan hernia diafragma yang besar.3 Walaupun prosedur laparoskopi memiliki keuntungan untuk pasien, namun prosedur ini juga merupakan tantangan untuk spesialis anestesi.Pada laparoskopi cholesistectomy, jenis anestesi yang direkomendasikan adalah anestesi umum dengan intubasi endotrakeal dengan antibiotik profilaksis preoperatif untuk mengatasi pathogen empedu.3Laparoskopi Definisi LaparoskopiLaparoskopi adalah sebuah prosedur pembedahanminimally invasivedengan memasukkan gasCO2ke dalam rongga peritoneum untuk membuat ruang antara dinding depan perut dan organ viscera, sehingga memberikan akses endoskopi ke dalam rongga peritoneum tersebut.7Teknik laparoskopi atau pembedahanminimally invasive diperkirakan menjaditrendbedah masa depan. Laparoskopi cholecystectomymenjadi prosedur baku untuk penyakit-penyakit kantung empedu di beberaparumah sakit besar di Jakarta dan beberapa kota besar di Indonesia. Prosedur LaparoskopiProsedur praoperasi laparoskopi hampir sama dengan operasi konvensional. Pasien harus puasa empat hingga enam jam sebelumnya, dibuat banyak buang air besar agar ususnya mengempis. Sebelum puasa pasien laparoskopi diberikan makanan cair atau bubur, makanan yang mudah diserap, tapi rendah sisa, untuk mengurangi jumlah kotoran di saluran cerna.8Setelah pasien teranestesi, tindakan operasi pertama yang dilakukan adalah membuat sayatan di bawah lipatan pusar sepanjang 10 mm, kemudian jarumveres disuntikkan untuk memasukkan gas CO2sampai batas kira-kira 12-15 milimeter Hg. Dengan pemberian gas CO2itu, perut pasien akan menggembung. Itu bertujuan agar usus tertekan ke bawah dan menciptakan ruang di dalam perut.

CO2 adalah gas pilihan untuk insuflasi karena tidak mudah terbakar, mudah berdifusi melewati membrane, mudah keluar dari paru-paru, mudah larut dalam darah dan risiko embolisasi CO2 kecil. Kadar CO2 dalam darah mudah diukur, dan pengeluarannya dapat ditambah dengan memperbanyak ventilasi. Selama persediaan O2cukup, konsentrasi CO2darah dapat ditolelir.

Kerugian utamanya adalah fakta bahwa CO2lembam. Hal ini menyebabkan iritasi peritoneal langsung dan rasa sakit selama laparoskopi karena CO2 membentuk asam karbonat saat kontak dengan permukaan peritoneum. CO2 tidak terlalu larut pada darah bila terjadi kekurangan sel darah merah, oleh karena itu CO2 bisa tersisa di intraperitoneum dalam bentuk gas setelah laparoskopi, sehingga menyebabkan sakit pada bahu. Hiperkarbia danrespiratory acidosisterjadi saat kapasitas CO2dalam darah melampaui batas. Selain itu, CO2 dapat menimbulkan efek lokal maupun sistemik, sehingga dapat terjadi hipertensi, takikardi, vasodilatasi pembuluh darah serebral, peningkatan CO, hiperkarbi, danrespiratory acidosis.7 Respon Fisiologi Selama Bedah LaparoskopiGoncangan hemodinamik dan ventilasi dapat terjadi pada pasien yang menjalani prosedur laparoskopi. Penyebab utama perubahan fisiologis pada prosedur laparoskopi ini adalah insuflasi CO2.Insuflasi CO2ke dalam rongga peritoneum menyebabkan terjadinya pneumoperitoneum yang bermanfaat untuk visualisasi selama prosedur laparoskopi. Insuflasi CO2ini juga meningkatkan tekanan intraabdomen dan meningkatkan resistensi pembuluh darah sehingga curah jantung menjadi turun sementara tekanan darah meningkat. Posisi pasien bisa merubah respon ini. Pada saat posisi tredelenburg penurunan preload dan peningkatan afterload tidak terlalu mencolok dibandingkan posisi anti tredelenburg.

Selama prosedur Laparoskopi, efek respirasi yang disebabkan oleh insuflasi CO2 memegang peranan utama. Setelah insiflasi CO2terjadi hiperkapnia selama beberapa menit dimana kenaikan CO2biasanya mencapai 30%, namun keadaan ini akan menjadi stabil kembali selama satu jam sewaktu operasi. Hiperkapnia ini dapat menimbulkan stimulasi simpatis dan berpotensi untuk terjadi disritmia dan respiratori asidosis. Hal ini dapat dikoreksi dengan meningkatkan ventilasi. Pengaruh tambahan dari pneumoperitoneum adalah efek mekanik dari peningkatan tekanan intra abdomen yang menyebabkan penurunanpulmonary compliancedan kapasitas residu fungsionalserta peningkatandead space.Manajemen Anestesi pada Laparoskopi Evaluasi PreoperasiSecara umum sebelum memulai anestesi, dilakukan terlebih dulu anamnesis dan pemeriksaan fisik. Karena perubahan tekanan hemodinamik dan respirasi terjadi pada pasien selama prosedur laparoskopi, evaluasi sebelum operasi difokuskan untuk mengidentifikasi pasien dengan penyakit paru berat dan gangguan fungsi jantung.

Manajemen IntraoperatifPasien biasanya menjalani prosedur laparoskopi dengan anestesi umum dengan menggunakan monitor standar. Pengukuran tekanan darah noninvasive dan kapnografi penting untuk mengikuti efek hemodinamik dan pneumoperitoneum pada respirasi dan perubahan posisi. Dalam situasi tertentu, monitor pengukuran tekanan arteri sebaiknya dilakukan. Indikasi tindakan monitor tekanan arteri secara invasif antara lain: penyakit paru berat, end tidal CO2.arteri yang sangat tinggi, dan fungsi ventrikel yang menurun. Sama halnya dengan monitor pengukuran tekanan vena sentral, pemasangan kateter arteri paru atau transesofageal echocardiografi bisa berguna untuk pasien dengan gangguan fungsi jantung atau hipertensi paru.1Akses untuk memasukkan obat secara intravena harus memadai pada prosedur laparoskopi, seperti pada keadaan kehilangan darah. Akses untuk memasukkan obat secara intravena yang adekuat adalah kunci dari resusitasi cairan yang tepat untuk keadaan pendarahan yang tidak terkontrol atau emboli gas. Akses ke vena sentral harus dipertimbangkan pada pasien dengan gangguan vena perifer.1Untuk mencegah aspirasi paru dan menjaga jalan nafas, perlu pemasangan pipa endotrakeal. Pemasangan sebuah pipa orogastrik atau nasogastrik setelah jalan nafas dikuasai dapat mengurangi tekanan udara lambung, menurunkan resiko kerusakan gaster, dan memperbaiki visualisasi selama operasi. Pada saat tekanan intraabdomen meningkat karena pneumoperitoneum, pipa endotracheal dapat digunakan untuk memberikan tekanan ventilasi yang positif untuk mencegah hipoksemia dan untuk mengekskresikan kelebihan CO2yang diabsorbsi. Pneumoperitoneum dapat menyebabkan perubahan posisi pipa endotrakeal pada pasien dengan trakea yang pendek, dimana ketika carina bergerak ke atas pipa endotrakeal bisa masuk ke salah satu bronkus, sehingga memasang pipa endotrakeal sebaiknya pada pertengahan trakea dan disarankan untuk lebih sering mengecek posisi pipa endotrakeal pada pasien.1Obat anestesi yang digunakan biasanya berupavolatile agent, opioid intravena, dan obat pelumpuh otot. Ada studi yang mengatakan bahwa N2O sebaiknya dihindari selama prosedur laparoskopi karena ini akan meningkatkan pelebaran usus dan resiko mual pasca operasi. Penggunaan klinis N2O ini masih menjadi perdebatkan.

Selama prosedur laparoskopi, pasien biasanya diposisikan Trendelenburg atau Reverse Trendelenburg. Trauma saraf pada pasien sebaiknya dihindari dengan mengamankan dan membantali seluruh ekstremitas. Tekanan pernafasan bisa meningkat dengan perubahan posisi dan ventilasi, biasanya butuh penyesuaian.Dua tujuan utama selama pemeliharaan pasien selama bedah laparoskopi dengan anestesi umum adalah menjaga agar tetap normokapnia dan mencegah ketidakseimbangan hemodinamik. Hiperkapnia biasanya berawal beberapa menit setelah insuflasiCO2. Untuk menormalkan kembaliCO2ini, ventilasi ditingkatkan biasanya dengan meningkatkan RR (respiratory rate) dengan volume tidal yang tetap. Jika hiperkapnia memburuk, misalnya pada kasus sulit prosedur bedah diubah menjadi prosedur bedah terbuka.Perubahan hemodinamik harus diantisipasi dan dimanajemen selama prosedur laparoskopi. Jika tekanan darah meningkat maka pemberian kadar obat anestesi inhalasi dapat ditingkatkan. Walaupun pasien yang sehat dapat mentoleransi perubahan hemodinamik, namun pasien dengan fungsi jantung yang buruk bisa dipengaruhi menjadi lebih buruk. Hal ini dapat dicegah dengan penggunaan monitor secara invasif (arterial line, central line, transesofageal echocardiografi) selama prosedur berlangsung. Manajemen Pasca OperasiPada ruang pemulihan pasca anestesi, hiperkapnia bisa tetap terjadi selama 45 menit setelah prosedur selesai. Insiden mual muntah pasca operasi laparoskopi dilaporkan cukup tinggi yaitu mencapai 42%.7Mual muntah pasca operasi setelah prosedur laparoskopi dipengaruhi oleh tipe dari prosedur, sisa dari pneumoperitoneum, dan karakteristik pasien. Beberapa obat baik itu tunggal maupun dalam kombinasi untuk mencegah dan mengobati komplikasi ini meliputi metoclopramide, ondansentron, dan dexamethasone. Untuk menurunkan insiden mual dan muntah pasca operasi dapat dilakukan dengan meminimalkan dosis opioid dan mempertimbangkan pemberian propofol untuk anestesi. Karena banyak prosedur laparoskopi direncanakan pada pasien rawat jalan, evaluasi pada saat pasien akan pulang juga diperlukan.Penggunaan analgetik setelah prosedur laparoskopi umumnya lebih sedikit dibandingkan dengan sesudah bedah terbuka. Modalitas penggunaan analgesik harus menghilangkan nyeri yang bisa terjadi karena insisi, visceral, atau akibat gas residu dan pneumoperitoneum. Manajemen nyeri diawali sebelum atau selama prosedure pembedahan. Pemberian opioid intravena (fentanyl, morfin) dalam kombinasi dengan NSAID intravena membantu agar pasien nyaman pada akhir dari prosedur. Infiltrasi dari anestesi lokal, seperti bupivacaine padaport siteskulit dan peritoneum memblock nyeri somatik dan visceral.