cdk_099_tuberkulosis_2

Embed Size (px)

Citation preview

99. Tuberkulosis Maret 1995

Cermin Dunia Kedokteran1995International Standard Serial Number: 0125 913X

Daftar Isi :2. Editorial 4. English Summary 5. 9. Patogenesis Sindrom Obstruksi Pasca Tuberkulosis Nur Aida Uji Faal Paru Penderita Tuberkulosis Paru yang Berobat Jalan di Polildinik Paru URJ RSAL Dr. Ramelan, SurabayaDidik Supardi, Caecilia L, Soemarno 11 Penyebab Kematian Penderita Penyakit Paru Tjandra Yoga Aditama, Hadiarto Mangunnegoro, Sutji Astuti, Herry Budi 14. Penggunaan Gliseril Guaiakolat untuk Meningkatkan Cakupan BTA (+) pada Tersangka Tuberkulosis Paru Sudyo 18. Nilai Diagnostik Uji PAP-TB pada Tuberkulosis di Luar Paru Indro Handojo 22. Perbandingan Hasil Uji ELISA-Mikro padaPenderitaTuberkulosis Biakan Positif dan Biakan Negatif Anik Widijanti 25. Potensi Mikrobiologi dan Efek Teratogenitas Senyawa Hasil Oksidasi Rifampisina Akmal 29. Perkembangan Mutakhir Diagnosis Tuberkulosis Paru Tjandra Yoga Aditama 32. Bronkhitis, Bronkhopneumoni dan Bronkhiektasis di Lingkungan Keluarga Penderita Tuberkulosis Paru Kusnindar Atmosukarto 35. Penatalaksanaan Bronkhitis Khronik Faisal Yunus 39. Efusi Pleura Keganasan Bambang Kisworo 43. Heat-Shock Protein Zuljasri Albar 48. Taxol sebagai Antikanker Usman Suwandi 51. Aspek Genetik dan Irnunologik Kanker PayudaraSofia Mubarika Haryana, Marsetyawan Soesatyo 55. Pengaruh Filter Aluminium pada Tegangan Puncak (kVp) dan Dosis Sinar X Diagnostik dari Pesawat Tanka RTO-125 Susetyo Trijoko, C. Tuti Budiantari 58. Efek Antidiare Infus Batang Kayu Kuning (Archangelisia flava L) pada Tikus Putih dan Toksisitas Akutnya Sa'roni, Adjirni, Wien Winarso 62. Abstrak 64. RPPIK

Penyakit tuberkulosis telah sering dibahas; kendati demikian masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang menonjol, apalagi dengan mewabah kembalinya penyakit ini di negara-negara maju seiring dengan meningkatnya jumlah penderita AIDS. Pembahasan tuberkulosis dalam Cermin Dunia Kedokteran edisi ini lebih menitikberatkan segi/masalah komplikasi dan diagnostik, baik melalui pemeriksaan yang lazim seperti pemeriksaan BTA sputum maupun dengan cara lain yang lebih sensitif, terutama untuk mendeteksi adanya tuberkulosis di luar paru. Masalah paru lain yang juga disinggung di sini ialah bronkiektasis kronik dan efusi pleura; di samping itu masih ada beberapa artikel lain mengenai kanker dan mengenai heat-shock protein. Selamat Tahun Baru 1995. Redaksi

2

Cermin Dunia Kedokteran No. 99, 1995

Cermin Dunia Kedokteran1995International Standard Serial Number: 0125 913X KETUA PENGARAH Prof. Dr Oen L.H. MSc KETUA PENYUNTING Dr Budi Riyanto W PEMIMPIN USAHA Rohalbani Robi PELAKSANA Sriwidodo WS TATA USAHA Sigit Hardiantoro ALAMAT REDAKSI Majalah Cermin Dunia Kedokteran P.O. Box 3105 Jakarta 10002 Telp. 4892808 Fax. 4893549, 4891502 NOMOR IJIN 151/SK/DITJEN PPG/STT/1976 Tanggal 3 Juli 1976 PENERBIT Grup PT Kalbe Farma PENCETAK PT Temprint REDAKSI KEHORMATAN Prof. DR. Kusumanto SetyonegoroGuru Besar Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Prof. DR. Sumarmo Poorwo SoedarmoStaf Ahli Menteri Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

Prof. Dr. R.P. SidabutarGuru Besar Ilmu Penyakit Dalam Sub Bagian Ginjal dan Hipertensi Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Prof. DR. B. ChandraGuru Besar Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya.

Prof. Dr. R. Budhi DarmojoGuru Besar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang.

Prof. Dr. Sudarto PringgoutomoGuru Besar Ilmu Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

DR. Arini SetiawatiBagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta,

Prof. Drg. Siti Wuryan A. Prayitno SKM, MScD, PhD.Bagian Periodontologi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, Jakarta

Prof.DR.Hendro Kusnoto Drg.,Sp.OrtLaboratorium Ortodonti Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti, Jakarta

REDAKSI KEHORMATAN

Dr. B. Setiawan Ph.D DR. Ranti AtmodjoPETUNJUK UNTUK PENULIS

Prof. Dr. Sjahbanar Soebianto Zahir MSc. Dr. P.J. Gunadi Budipranoto

Cermin Dunia Kedokteran menerima naskah yang membahas berbagai aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, juga hasil penelitian di bidangbidang tersebut. Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk diterbitkan oleh Cermin Dunia Kedokteran; bila telah pernah dibahas atau dibacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan mengenai nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang berlaku. Istilah media sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhak mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus disertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia. Untuk memudahkan para pembaca yang tidak berbahasa Indonesia lebih baik bila disertai juga dengan abstrak dalam bahasa Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak berbahasa Inggris untuk karangan tersebut. Naskah diketik dengan spasi ganda di atas kertas putih berukuran kuarto/ folio, satu muka, dengan menyisakan cukup ruangan di kanan-kirinya, lebih disukai bila panjangnya kira-kira 6 - 10 halaman kuarto. Nama (para) pengarang ditulis lengkap, disertai keterangan lembaga/fakultas/institut tempat bekerjanya. Tabel/skema/grafik/ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelasjelasnya dengan tinta hitam agar dapat langsung direproduksi, diberi nomor

sesuai dengan urutan pemunculannya dalam naskah dan disertai keterangan yang jelas. Bila terpisah dalam lembar lain, hendaknya ditandai untuk menghindari kemungkinan tertukar. Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan pemunculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated Index Medicus dan/atau Uniform Requirements for Manuscripts Submitted to Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9). Contoh: Basmajian JV, Kirby RL. Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore. London: William and Wilkins, 1984; Hal 174-9. Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading microorganisms. Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic physiology: Mechanisms of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974; 457-72. Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin Dunia Kedokt. l990 64 : 7-10. Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih, sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk. Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran, Gedung Enseval, JI. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta 10510 P.O. Box 3117 Jakarta. Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahu secara tertulis. Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertai dengan amplop beralamat (pengarang) lengkap dengan perangko yang cukup.

Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis dan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga/bagian tempat Cermin Dunia Kedokteran No. 99, 1995 kerja si penulis.

3

English SummaryTHE USE OF GLYCERYL GUAIACOLATE IN ACID-FAST BACTERIA SPUTUM EXAMINATION SudijoHealth Regional Office, Lamongan, East Java Indonesia

Pulmonary Tuberculosis remains a problem in Indonesia with a fairly high (0.29%) prevalence combined with low (16%) coverage of treatment and low (10%) BTA(+) findings. Tuberculosis control program still relies heavily on BTA(+) as the main positive diagnostic finding of pulmonary tuberculosis, butthe main difficulty of BTA(+) finding is in obtaining good sputum samples for laboratory examination. This investigation was aimed at solving this problem by administering glyceril guaiacolate to Pulmonary Tuberculosis suspects prior to sputum examination. The study was conducted in the program area of the Babat and Sekaran health centers in the Lamongan regency from April to June 1994, Two hundred and fifty seven (257) subjects were assigned to experimental and control groups and each group was examined twice, before and after the administration of glyceril guaiacolate or placebo. BTA(+) cases found among the experimental group before and after the administration of glyceril guaiacolate are 19.2% and 46.4% respectively; and positive cases found among the control group before and after the administration of placebo are 23.9% 4

and 19% respectively. It seemed that there were39.1% changes from BTA(-) to BTA(+) in experimental group and 10.9% in control group. Statistical anaiyses proved that the administration of glyceril guaiacolate can significantly improve the BTA(+) findings based on 'sputum examination on new pulmonary tuberculosis suspects (p = 4.13E-09 p = 8,034E-06).Cermin Dunia Kedokt. 1995; 99: 147 sj

DIAGNOSTIC VALUE OF PAP-TB TEST IN EXTRA PULMONARY TUBERCULOSISDr. dr. Indro Handojo Clinical Pathology Lab., Faculty of Medicine Airlangga University, Dr. Sutomo General Hospital, Surabaya, Indonesia

that for the diagnosis of extrapulmonary TB, the PAP-TB test has a diagnostic sensitivity as high as 87.5%, a diagnostic specificity as high as 90.6%, a diagnostic efficiency as high as 89.1%, a diagnostic positive predictive value as high as 89.4% and a negative predictive value as high as 88.9%. From the analysis on data obtained in this study, it can be concluded that the PAP-TB test is a reliable diagnostic tool for the diagnosis of extrapulmonary TB with high diagnostic value based on the criterion of Handojo.Cermin Dunia Kedokt. 1995; 99: 1821 Ih

MICRO ELISA TEST ON SERA FROM, CULTURE-POSITIVE- AND CULTURENEGATIVE PULMONARY TUBERCULOSIS PATIENTSAnik Widijanti Dept. of Clinical Pathology. Dr. Sjaiful Anwar Hospital/Faculty of Medicine Brawijaya University, Malang, Indonesia

A laboratory study to evaluate the diagnostic value of PAP-TB test for the diagnosis of extrapulmonary tuberculosis (TB) was carried out on 48 patients with extrapulmonary TB and 53 non-TB patients attending the TB Centre di Malang, several hospitals and other treatment centres in East Java during the period of 1989 until 1992. Histopathological test was used to confirm the diagnosis of extrapulmonary TB in this study. PAP-TB tests (Handojo's method) were performed on the sera of the above mentioned patients. The cut-off titre of the PAP-TB test used in this study is related to a serum dilution of 1: 5000. The result of this study showed

This study was carried out on 61 sera from pulmonary tuberculosis patients; 35 sera from patients with positive sputum cultures, and 26 sera from patients with negative sputum cultures. The concentration of specific lgG against M. tuberculosis of the abovementioned sera was determined by the micro Elisa technique. The result showed that the concentration of specific IgG from patients with positive sputum culture did not differ significantly from patients with negative sputum culture (p > 0,05).Cermin Dunia Kedokt. 1995; 99: 22-4 Aw

Cermin Dunia Kedokteran No. 99, 1995

Artikel Patogenesis Sindrom Obstruksi Pasca TuberkulosisNur Aida Bagian Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Unit Paru Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta

PENDAHULUAN Sindrom obstruksi difus yang berhubungan dengan TB paru dikenal dengan berbagai nama. Di Bagian Unit Paru RSUP PersahabaUaa Jakarta, dikenal dengan nama TB paru dengan sindrom obstruksi dan sindrom obstruksi pasca TB (SOPT). Kekerapan sindrom obstruksi pada TB paru bervariasi antara 16%50%. Patogenesis timbulnya sindrom obstruksi pada TB paru yang mengarah ke timbulnya sindrom pasca TB sangat kompleks; pada penelitian terdahulu dikatakan akibat destruksi jaringan paru oleh proses TB. Kemungkinan lain adalah akibat infeksi TB, dipengaruhi oleh reaksi imunologis perorangan sehingga menimbulkan reaksi peradangan nonspesifik yang luas karena tertariknya neutrofil ke dalam parenkim paru makrofag aktif. Peradangan yang berlangsung lama ini menyebabkan proses proteolisis dan beban oksidasi sangat meningkat untuk jangka lama sehingga destruksi matriks alveoli terjadi cukup luas menuju kerusakan paru menahun dan mengakibatkan gangguan faal paru yang dapat dideteksi secara spirometri. Pada tulisan ini akan dibicarakan patogenesis sindrom obstruksi pasca TB. SINDROM OBSTRUKSI PASCA TB Kelainan obstruksi yang berhubungan dengan proses TB dikenal dengan berbagai nama. Cugger 1955 (dikutip dari 1) menyebutnya emfisma obstruksi kronik. Martin dan Hallet(2) menggunakan istilah emfisema obstruksi difus. Bomberg dan Robin(3) menyebutnya sebagai emfisema obstruksi difus; Vargha dan Bruckner(4) menyebutnya sindrom ventilasi obstruksi; Tanuwtharj menyebutnya sirldronrobstruksi difus(5). Di Unit Paru RSUP Persahabatan Jakarta kelainan obstruksi pada penderita TB paru didiagnosis sebagai TB paru dengan sindrom obstruksi, sedangkan kelainan obstruksi pada penderita bekas

TB paru didiagnosis sebagai obstruksi pasca TB (SOPT). KEKERAPAN Terdapar variasi kekerapan sindrom obstrtiksi difus yang pernah diteliti (Tabel 1).Tabel 1. Kekerapan Sindrom Obstruksi Difus pada TB Peneliti Cuggel Gaensler Martin dan Haller Lancaster dan Tomasshesfki Malik dan Martin Snider et al Tanuwiharja Tanuwiharja Sardikin Giriputro Tahun 1955 1959 1961 1963 1969 1971 1980 1988 1989 Kekerapan 44 % 42,6 % 50,4 % 34 % 32 % 41,8 % 50,4 % 46,9 % 16,7 % Ref. 1 5 2 6 7 8 9 10 11

PATOGENESIS Gangguan faal paru akibat proses tuberkulosis paru berupa kelainan restriksi dan obstruksi telah banyak diteliti; kelainan yang bersifat obstruksi dan menetap akan mengarah pada terjadinya sindrom. obstruksi pasca TB (SOPT). Destruksi parenkim paru pada emfisema menyebabkan elastisitas berkurang sehingga terjadi mekanisme ventil yang menjadi dasar terjadinya obstruksi arus udara(3). Emfisema kompensasi yang ditemukan pasca reseksi paru dan akibat atelektasis lobus atas karena TB paru seharusnya tidak obstruktif. Sedangkan Gaensler(5) dan Snider et al(8) menyatakan bahwa kelainan obstruksi pada TB paru tidak berasal dari emfisema kompensasi. Hirasawa (1965) (dikutip dari 8) tidak menemukan perbedaan morfologik yang nyata antara jenis emfisema pada kasus TB dan non TB, perubahan emfisema yang tidak merata lebih menonjol pada TB dengan kesan sebagai efek lokal dalam

perkembangan emfisema. Gaensler dan Lindgren(5) berpendapat bahwa bronkitis kronis spesifik lebih mungkin merupakan faktor etiologi timbulnya emfisema obstruksi pada tuberkulosis paru dibandingkan dengan over distention jaringan paru di dekat daerah retraksi. Bell(11) berhasil menimbulkan bula emfisematous pada kelinci yang ditulari mikobakterium tuberkulosis secara trakeal dan menyimpulkan bahwa proses emfisema dimulai dengan destruksi jaringan lalu diikuti ekspansi. Vargha dan Bruckner menyatakan bahwa bronkitis kronis difus yang disebabkan sekret dari kavitas menimbulkan kelainan obstruksi(12). Baum(13), Crofton dan Douglas(14) menyatakan bahwa reaksi hipersensitif terhadap fokus TB atau hasil sampingan kuman TB yang mati sering tampak berupa perubahan non spesifik yaitu peradangan yang kadang-kadang jauh lebih luas daripada lesi spesifiknya sendiri. Hennes et al(15) menemukan bahwa zat anti terhadap ekstrak paru manusia penderita TB merangsang pembentukan zat anti terhadap jaringan yang rusak. Pada emfisema mungkin timbul zat anti terhadap jaringan retikulum paru, yang dapat berperan penting pada patogenesis emfisema. Hubungan kelainan obstruksi pada tuberkulosis paru dengan beberapa faktor antara lain umur, jenis kelamin, merokok, lama sakit, luas lesi telah diteliti oleh beberapa peneliti(2,611,13) Pemeriksaan spirometri pada penderita tuberkulosis paru lanjut di RSUP Persahabatan Jakarta, menyimpulkan bahwa kelainan obstruksi berhubungan dengan jenis kelamin dan lama sakit, tetapi tidak berhubungan dengan umur, kebiasaan merokok, luas kelainan dan distribusi lesi(9). Pemeriksaan perubahan faal ventilasi penderita TB paru yang diobati paduan obat jangka pendek dengan.tujuan khusus pada gangguan obstruksi di RSUP Persahabatan menyimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan positif antara derajat obstruksi dan restriksi dengan luas lesi, kelainan obstruksi pada penderita TB paru maupun bekas TB paru bersifat ireversibel, dan obstruksi yang ireversibel ini merupakan akibat proses TB. Pemeriksaan spirometri pada penderita TB paru dan bekas TB paru dengan lesi minimal dan moderately advanced di RSTP Cipaganti Bandung mendapatkan sindrom obstruksi difus pada 46,9% penderita TB paru dan 30% sindrom obstruksi ditemukan pada lesi minimal; sindrom obstruksi difus mempunyai hubungan dengan faktor merokok dan luas lesi dan tidak mempunyai hubungan dengan jenis kelamin dan lama sakit(9). Salah satu kemungkinan lain patogenesis timbulnya sindrom obstruksi difus pada penderita TB adalah karena infeksi kuman TB, dipengaruhi reaksi imunologik perseorangan, dapat menimbulkan reaksi radang nonspesifik luas karena tertariknya netrofil ke dalam parenkim paru oleh makrofag aktif. Peradangan yang berlangsung lama ini menyebabkan beban proteolitik dan oksidasi meningkat dan merusak matriks alveoli sehingga menimbulkan sindrom obstruksi difus yang dapat diketahui dari pemeriksaan spirometri. SISTIM IMUNITAS TUBUH Sistim pertahanan tubuh terdiri atas sistim pertahanan spesifik dan nonspesifik(16,17) (Gambar 1).

Gambar 1. Sistem Imun(16)

Sistim imun nonspesifik merupakan pertahanan tubuh terdepan dalam menghadapi serangan berbagai mikroorganisme, oleh karena dapat memberikan respon langsung terhadap antigen, sedangkan sistim imun spesifik membutuhkan waktu untuk mengenal antigen terlebih dahulu sebelum memberikan responnya(17,18). Paru merupakan salah satu organ tubuh yang mempunyai daya proteksi melalui suatu mekanisme pertahanan paru, berupa sistim pertahanan tubuh yang spesifik maupun nonspesifik(1922). Di alveolus makrofag merupakan komponen sel fagosit yang paling aktif memfagosit partikel atau mikroorganisme(20,22). Makrofag ini penting dalam sistim imun karena kemampuan memfagosit serta respon imunologiknya(20). Kemampuan untuk menghancurkan mikroorganisme terjadi karena sel ini mempunyai sejumlah lisozim di dalam sitoplasma. Lisozim ini mengandung enzim hidrolase maupun peroksidase yang merupakan enzim perusak. Selain itu makrofag juga mempunyai reseptor terhadap komplemen. Adanya reseptor-reseptor ini meningkatkan kemampuan sel makrofag untuk menghancurkan benda asing yang dilapisi oleh antibodi atau komplemen(17,20,21). Selain bertindak sebagai sel fagosit, makrofag juga dapat mengeluarkan beberapa bahan yang berguna untuk menarik dan mengaktifkan neutrofil serta bekerja sama dengan limfosit dalam reaksi inflamasi(20). TUBERKULOSIS PARU SERTA RESPON IMUN Apabila tubuh terinfeksi hasil tuberkulosis, maka pertamatama lekosit polimorfonukleus (PMN) akan berusaha mengatasi infeksi tersebut. Sel PMN dapat menelan hasil tapi tidak dapat menghancurkan selubung lemak dinding hasil, sehingga hasil dapat terbawa ke jaringan yang lebih dalam dan mendapat perlindungan dari serangan antibodi yang bekerja ekstraseluler. Hal ini tidak berlangsung lama karena sel PMN akan segera mengalami lisis(18). Selanjutnya hasil tersebut difagositosis oleh makrofag. Sel makrofag aktif akan mengalami perubahan metabolisme, metabolisme oksidatif meningkat sehingga mampu memproduksi zat yang dapat membunuh hasil, zat yang terpenting adalah hidrogen peroksida (H2O2). Chaparas 1984(23) menerangkan bahwa mikobakterium tuberkulosis mempunyai dinding sel lipoid tebal yang melin-

dunginya terhadap pengaruh luar yang merusak dan juga mengaktifkan sistim imunitas. Mikobakterium tuberkulosis yang jumlahnya banyak dalam tubuh menyebabkan : Penglepasan komponen toksik kuman ke dalam jaringan Induksi hipersensitif seluler yang kuat dan respon yang meningkat terhadap antigen bakteri yang menimbulkan kerusakan jaringan, perkejuan dan penyebaran kuman lebih lanjut. Akhirnya populasi sel supresor yang jumlahnya banyak akan muncul menimbulkan anergik dan prognosis jelek. Perjalanan dan interaksi imunologis dimulai ketika makrofag bertemu dengan kuman TB, memprosesnya lalu menyajikan antigen kepada limfosit. Dalam keadaan normal, infeksi TB merangsang limfosit T untuk mengaktifkan makrofag sehingga dapat lebih efektif membunuh kuman. Makrofag aktif melepaskan interleukin-1 yang merangsang limfosit T. Limfosit T melepaskan interleukin-2 yang selanjutnya merangsang limfosit T lain untuk memperbanyak diri, matang dan memberi respon lebih baik terhadap antigen. Limfosit T supresi (TS) mengatur keseimbangan imunitas melalui peranan yang komplek dan sirkuit imunologik. Bila TS berlebihan seperti pada TB progresif, maka keseimbangan imunitas terganggu sehingga timbul anergi dan prognosis jelek. TS melepas substansi supresor yang mengubah produksi sel B, sel T aksi-aksi mediatornya. Mekanisme makrofag aktif membunuh hasil tuberkulosis masih belum jelas, salah satu adalah melalui oksidasi dan pembentukan peroksida. Pada makrofag aktif, metabolisme oksidatif meningkat dan melepaskan zat bakterisidal seperti anion superoksida, hidrogen peroksida, radikal hidroksil dan ipohalida sehingga terjadi kerusakan membran sel dan dinding sel, lalu bersama enzim lisozim atau medoator, metabolit oksigen membunuh hasil tuberkulosis. Beberapa hasil tuberkulosis dapat bertahan dan tetap mengaktifkan makrofag, dengan demikian hasil tuberkulosis terlepas dan menginfeksi makrofag lain. Diduga dua proses yaitu proteolisis dan oksidasi sebagai penanggungjawab destruksi matriks(24). Komponen utama yang membentuk kerangka atau matriks dinding alveoli terdiri dari : kolagen interstisial (tipe I dan II), serat elastin (elastin dan mikrofibril), proteoglikaninterstisial, fibrokinetin. Kolagen adalah yang paling banyak jumlahnya dalam janingan ikat paru(24). Proteolisis berarti destruksi protein yang membentuk matriks dinding alveoli oleh protease, sedangkan oksidasi berarti pelepasan elektron dani suatu molekul. Bila kehilangan elektron terjadi pada suatu struktur maka fungsi molekul itu akan berubah. Sasaran oksidasi adalah protein jaringan ikat, sel epitel, sel endotel dan anti protease. Sel neutrofil melepas beberapa protease yaitut(24,25) : 1) Elastase adalah yang paling kuat memecah elastin dan protein janingan ikat lain sehingga sanggup menghancurkan dinding alveoli. 2) Catepsin G menyerupai elastase tetapi potensinya lebih rendah dan dilepas bersama elastase. 3) Kolagenase cukup kuat tetapi hanya bisa memecah kolagen tipe I, bila sendiri tidak dapat menimbulkan emfisema. 4) Plasminogen aktivator yaitu urokinase dan tissue plasmin aktivator merubah plasminogen menjadi plasmin. Plasmin selain

merusak fibrin juga mengaktifkan proenzim elastase dan bekerja sama dengan elastase. Oksidan merusak alveoli melalui beberapa cara seperti(25) : a) Peningkatan beban oksidan ekstraseluler yang tinggi, secara langsung merusak sel terutama pneumosit I. b) Secara langsung memodifikasi jaringan ikat sehingga lebih peka terhadap proteolisis. c) Secara langsung berinteraksi dengan 1-antitripsin sehingga daya antiproteasenya menurun. Tuberkulosis paru merupakan infeksi menahun sehingga sistim imunologis diaktifkan untuk jangka lama, akibatnya beban proteolisis dan beban oksidasi sangat meningkat untuk jangka yang lama sekali sehingga destruksi matriks alveoli cukup luas menuju kerusakan paru menahun dan gangguan faal paru yang akhirnya dapat dideteksi secara spirometri. KESIMPULAN Patogenesis sindrom obstruksi difus pada penderita TB paru yang kelainan obstruksinya menuju terjadinya sindrom obstruksi pasca TB (SOPT), sangat kompleks; kemungkinannya antara lain : 1) Infeksi TB dipengaruhi oleh reaksi imunologis perorangan, sehingga dapat menimbulkan reaksi peradangan nonspesifik yang luas karena tertariknya neutrofil ke dalam parenkim paru makrofag aktif. 2) Akibatnya timbul destruksi janingan paru oleh karena proses TB. 3) Destruksi jaringan pant disebabkan oleh proses proteolisis dan oksidasi akibat infeksi TB. 4) TB"paru merupakan infeksi menahun sehingga sistim imunologis diaktifkan untuk jangka lama, akibatnya proses.proteolisis dan oksidasi sangat meningkat untuk jangka lama sehingga destruksi matriks alveoli terjadi cukup luas menuju kerusakan pant yang, menahun dan mengakibatkan gangguan faal pant yang dapat dideteksi secara spirometri. SARAN Untuk mengetahui apakah pada sindrom obstruksi ditemui peradangan kronis maka penulis menyarankan pemeriksaan hipereaktifitas bronkus.KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. Gaensler EA, Lindgren I. Chronic bronchitis as an aetiologic factor in obstructive emphysema. Am. Rev. Resp. Dis. 1959; 80: 185. Martin CJ, Haller WY. The diffuse obstructive pulmonary syndrome in a tuberculosis sanatorium. II: incidence and symptoms. Ann. Intem. Med. 1961; 54: 1156. Bromerg PA, Robin ED. Abnormalities of lung function in tuberculosis. Adv. Tuberc. Res. 1963; 12: 127. Vargha G, Bruckner P. Study of relationship between cavity and obstructive ventilatory syndrome in tuberculosis. Am. Rev. Respir. Dis. 1964; 89: 8304. Tanuwijaya BY. Sindrom obstruktif difus pada tuberkulosis paru. Kumpulan Makalah Ilmiah Simposium Penyakit paru obstruktif menahun. 5465. Lancaster IF, Thomashefski IF. Tuberculosis a cause of emphysema. Am. Rev. Respir. Dis. 1963; 87: 435.

7. 8. 9. 10. 11. 13. 15. 16. 17.

Malik SK, Martin CJ. Tuberculosis, corticosteroid therapy and pulmonary function. Am. Rev. Respir. Dis. 1969; 100: 13. Snider GL, Doctor L, Demas TA, Shaw AR. Obstructive airways disease in patient with treated pulmonary tuberculosis. Am. Rev. Respir. Dis. 1971; 103: 625. Tanuwiharja BJ. Pemeriksaan spirometri pada penderita TB paru lanjut di RS. Persahabatan Jakarta. Naskah Konas IDPI II, Surabaya, 18-20 Juni 1980. p. 7784. Sardikin Giriputro. Perubahan faal inhalasi penderita TB paru yang diobati pada jangka pendek dengan tinjauan khusus pads gangguan obstruktif. Tesis: Bag. Pulmonologi FKUI, 1989. Bell JW. Experimental pulmonary emphysema. Production of emphysematous bullae in the rabbit by infection with tuberculosis. Am. Rev. Tuberc. 1958; 78: 848861. Baum GL. Textbook of Pulmonary Disease. Boston: Little Brown and Company. 2nd ed., 1974; p. 263. Hennes AR, Moore MZ, Carpenter RL, Hammarsten IF. Am. Rev. Respir. Dis. 1961; 83: 354. Kamen GB. Imunologi Dasar. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 1988: 172. Siti BK. Imunologi: Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Edisi ke 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 1991.

18. Bellanti JA. Immunology II. Asian ed. Tokyo:lgaku Shoin Ltd. 1978 : 35587. 19. Reynolds HY. Normal and Defective Respiratory Host Defenses. In: Respiratory Infections: Diagnosis and Management. Penington JE eds. 2nd ed. New York: Raven Press. 1989: 133. 20. Harada RN, Repine M. Pulmonary host defense mechanism. Chest 1985; 87: 24752. 21. Daniela RP. Immune Defenses of the Lung. In: Pulmonary Disease and Disorders. Fishman AP eds. 2nd ed. New York: Mc Graw Hill Book Co. 1988: 58998. 22. Murray JF. Defence Mechanism. In: The Normal Lung: The Basic for Diagnosis and Treatment of Pulmonary Disease. 2nd ed. Philadelphia: WB. Saunders Co. 1986: 31339. 23. Chaparas SD. Tuberculosis Immunology. Asian Pacific J. Allerg. Immunol. 1984; 2: 126. 24. Hubbard RC, Crystal RG. Antiproteases and antioxydant: Strategies for the pharmacologic prevention of lung destruction. Respiration 1986; 50(Suppl. 1) : 56. 25. Campbell EJ, Senior RM, Welgus HG. Extracellular matrix injury during lung inflammation. Chest 1987; 92: 161.

Uji Faal Paru Penderita Tuberkulosis Paru yang Berobat Jalan di Poliklinik Paru URJ RSAL Dr. Ramelan, SurabayaDidik Supardi*, Caecllia L**, Soemarno*** * Bagian Uji Coba Lakesla Ditkes TNI-AL,Surabaya ** Sub. Dept. Paru RSAL Ramelan, Surabaya *** Kepala Bagian Paru RSAL Dr Ramelan Surabaya

PENDAHULUAN Tuberkulosis Paru (TB-Paru) telah dikenal hampir di seluruh dunia, sebagai penyakit kronis yang dapat menurunkan daya tahan fisik penderitanya secara serius; hal ini disebabkan oleh terjadinya kerusakan jaringan paru yang bersifat permanen. Di samping proses destruksi terjadi pula secara simultan proses restorasi atau penyembuhan jaringan paru sehingga terjadi perubahan struktural yang bersifat menetap serta bervariasi yang menyebabkan berbagai macam kelainan faal paru. Hutchinson pada tahun 1846, untuk pertama kalinya mengadakan penelitian faal paru atas sejumlah pasien TB-Paru yang dirawatnya. Secara umum TB-Paru akan menyebabkan radang paru kronis yang di kemudian hari akan memberikan perubahan-perubahan jaringan yang berupa emfisema sehingga mengakibatkan kelainan faal paru restriktif, campuran maupun obstruktif pada penderita. Berikut ini disampaikan hasil pemeriksaan faal paru para penderita TB-Paru yang berobat jalan di poll Paru URJ - RSAL Dr Ramelan Surabaya, bekerja sama dengan bagian Faal Paru Lakesla Ditkesal Surabaya. BAHAN DAN CARA Data diperoleh secara prospektip dengan mencatat hasil pengukuran Mal paru penderita TB-Paru yang berobat jalan di poli Paru URJ RSAL Dr Ramelan Surabaya antara kurun waktu 21 Desember 1992 s/d akhir April 1993. Pada masing-masing penderita dilakukan pengukuran VC, FVC FeV-1, MBC dan MEFR dengan mempergunakan alat Spirometer Collins dengan kapasitas 7 liter. Pemeriksaan dikerjakan dengan posisi penderita berdiri; hidung penderita dijepit dengan nose-clip. PengukuranDibacakan pada Konas VI PDPI 1993 di Surakarta 4 Juli 1993.

faal paru penderita dilaksanakan oleh petugas perawat di bagian faal paru yang telah menekuni bidangnya cukup lama, yakni lebih kurang 20 tahun. Yang dimaksudkan dengan penderita TB-Paru di sini adalah para penderita TB-Paru yang telah terbukti/terdiagnosis secara klinis, rontgenologis dan laboratoris, maupun para penderita TB-Paru tersangka, secara klinis dan rontgenologis. Dari data yang terkumpul dilakukan interpretasi kelainan faal parunya (Tabel 1).Tabel 1. Kelas 0 I II III IV Parameter Kelainan Faal Paru Restriktif Derajat Kerusakan VC FEV1 Normal Ringan Sedang Berat Sangat berat > 80 6080 5060 3550 < 35 > 75 > 75 > 75 > 75 N/ Obstruktif VC > 80 > 80 > 80 FEV1 > 75 6075 4060 < 40 < 40

HASIL PEMERIKSAAN Selama kurun waktu penelitian, telah diperoleh hasil uji faal paru 111 orang penderita dan hanya 1 orang saja yang normal faal parunya.Tabel 2. Umur 1019 2029 3039 4049 5059 6069 70 Jumlah Pembagian menurut Umur dan Sex Penderita TB-paru yang diperiksa taal parunya di Lakesla Ditkesal Surabaya Laki-laki 5 12 2 11 20 12 7 69 Perempuan 4 8 6 13 10 1 0 42 Jumlah 9 20 8 24 30 13 7 111 Persentase 8,1 18,1 7,9 21,6 27,0 11,7 6,3 100,0

Usia termuda pasien kami adalah 13 tahun sedangkan yang paling tua berusia 74 tahun.Tabel 3. Pembagian menurut Jenis kelamin 110 penderita TB-Paru yang Mengalami Kelalnan Faal Paru Jumlah 68 42 Persentase 61,3 37,8

Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Tabel 4.

Kelainan Faal Paru 110 penderita TB-Paru yang Diperiksa di Lakesla Ditkesal Surabaya Laki-Iaki n % 28.8 1,8 30,6 0,9 Perempuan n 26 1 15 0 % 23,4 0,9 13,5 0,0 n 58 3 49 1 Jumlah % 52,3 2,7 44,1 0,9

Kelainan Restriksi Obstruksi Campuran Normal Tabel 5.

32 2 34 1

orang penderita TB-Paru mendapatkan hasil sebagai berikut : 24,4% restriktif, 23,2% obstruktif, 18,6% campuran antara restriktif dan obstruktif, akhirnya normal 37,7%(7). Tanuwiharja dick pada penelitiannya di RS Persahabatan Jakarta mendapatkan hasil 40,2% restriktif, 6,5% obstruktif, kemudian 43,9% campuran dan 9,4% tanpa kelainan faal paru(8). Peneliti yang lain memperoleh hasil yang hampir serupa, terbanyak adalah tipe campuran kemudian restriktif selanjutnya terakhir tipe obstruktif(6). Pada tabel 5 dapat dilihat derajat berat ringannya faal paru yang diketemukan; terbanyak adalah restriksi berat (56,8%), restriksi sedang 20,7% dan restriksi ringan sebesar 18,9%. Kelainan obstruktif terbagi menjadi : 9% obstruksi berat, 10,8% obstruksi sedang dan 27% obstruksi ringan. Secara umum ditemukan pada penelitian kami 96,4% kelainan restnktif dan 46,8% kelainan obstruktif. KESIMPULAN Telah dilakukan penelitian faal paru path 111 orang penderita TB-Paru yang berobat jalan di Poll Paru URJ RS AL Dr. Ramelan Surabaya dengan hasil 99,1% penderita mengalami kelainan faal paru, yang secara umum terdiri atas 96,4% restriktif dan 46,8% obstruktif. Ditinjau dari macam kelainan faal parunya, 52,3% restriktif, 44,1% tipe campuran dan 2,7% obstruktif. Kemudian dari derajatnya diketemukan kelainan restriksi berat sebesar 56,8% sedang obstruksi ringan 27%. Tuberkulosis pant akan mengakibatkan terjadinya kerusakan parenkhim paru yang sangat bervariasi dan tidak spesifik; pada tahap awal penyakit TB-Paru memberikan kelainan faal paru restriktif, selanjutnya pada keadaan yang lanjut berakhir dengan obstruktif.

Derajat Kelainan Faal Paru pada 110 Penderita TB-Paru yang Diperiksa Faal Parunya di Lakesla Ditkesal Surabaya Ringan n % 21 18,9 30 27,0 Sedang n % 23 20,7 12 10,8 Berat n % 63 56,8 10 9,0 Jumlah n % 107 96,4 52 46,8

Kelainan Restriksi Obstruksi

Tabel 5 menggambarkan distribusi kelainan faal paru 110 penderita TB-Paru yang diperiksa; apabila seorang penderita mengalami gangguan faal paru campuran antara restriktif dan obstruktif, maka dicatat secara terpisah dalam kolom restriksi ataupun obstruksi; itulah sebabnya mengapa dalam tabel 4 hanya diketemukan kelainan faal paru obstruktif murni sebesar 2,7% kasus saja, sedang dalam tabe15 terdapat lebih banyak tercatat kelainan faal paru obstruktifnya; hal tersebut berasal dari kasus yang mempunyai kelainan faal paru campuran yang jumlahnya cukup banyak, yakni sebesar 44,1% kasus. DISKUSI Umur penderita TB-Paru yang berhasil diperiksa faal parunya berkisar antara 13 74 tahun dengan golongan usia terbanyak adalah sekitar usia 50 59 tahun. Perbandingan antara penderita priadan wanita yakni 61,3% penderita pria dan 37,8% penderita wanita. Dari 111 orang penderita TB-Paru yang berhasil diperiksa faal parunya ternyata 99,1% mengalami kelainan faal paru dan 0,9% normal (1 orang penderita). Pada tabel 4 tampak jenis kelainan faal paru yang didapat, yakni kelainan restriktif sebesar 52,3% kemudian disusul kelainan campuran antara restriktif dan obstruktif sebesar 44,1% dan selanjutnya kelainan obstruktif sebesar 2,7%. Angka-angka tersebut tampaknya sesuai dengan hasil penelitian terdahulu yang melaporkan bahwa proses radang TB-Paru akan banyak memberikan kelainan faal paru restriktif pada tahap awal perjalanan penyakitnya, selanjutnya berakhir dengan kelainan yang obstruktif pada akhir perjalanan penyakitnya(4). Snider dick pada penelitiannya yang meliputi sejumlah 1403

KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Caensler EA, Lindgren I. Chronic bronchitis as an etiological factor in obstructive emphysema. Am Rev Respir Dis 1989; 80: 185. Hood Alsegaff dkk. Penelitian faal pare pada penderita TB-Paru di RSUD Dr Soetomo Surabaya. Laporan Pendahuluan. Part 1983; 3: 1638. Leulallen EC, Fowler WS. Maximal mid expiratory flow rate. Am Rev Tuberc 1955; 72: 78399. Malik SK, Martin Cl. Tuberculosis corticosteroid therapy and pulmonary function. Am Rev Respir Dis 1969; 100: 138. Martin CJ, Hawlett WY. The diffuse obstructive pulmonary syndrome in a tuberculosis sanatorium. II. Incidence and Symptoms. Ann Intern Med 1961; 54: 115664. Pasiyan R, Prihadi M. Uj faal part penderita TB-Pam di RS Karyadi Semarang. Medika 1986; 9: 8248. Snider GL, Doctor L, Demas TA, Shaw AR Obstructive airway disease in patient treated for puhnonary tuberculosis. Am Rev Respir Dis 1971; 103: 62540. Tanuwiharja BY. Pemeriksaan spirometrik pads penderita TB-Para lanjut di RS Persahabatan Jakarta. Skripsi bagian Pulmonologi FKUI Jakarta. 1979. Tjandra YA, Husaeri F. Uji faal pans penderita TB-Pam di Laboratorium Spirometri Unit Paru RS Persahabatan Jakarta. Medika 1984; 3: 83941.

Penyebab Kematian Penderita Penyakit ParuTjandra Yoga Aditama, Hadiarto Mangunnegoro, Sutji Astuti, Harry Budi Bagian Pulmonologi Fakultas Kedokteran Indonesia UPF Paru Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan, Jakarta

PENDAHULUAN Berbagai penyakit paru kini merupakan masalah kesehatan. Penyakit infeksi, tuberkulosis maupun nontuberkulosis, asma dan penyakit paru obstruktif menahun, kanker paru dan juga penyakit paru akibat kerja merupakan contoh penyakit-penyakit yang punya dampak luas di masyarakat. Kedokteran Respirasi (Respiratory Medicine) saat ini agaknya merupakan istilah yang lebih tepat dan lebih banyak dikemukakan oleh karena cakupan yang luas serta mempunyai pengaruh sosial ekonomi dan budaya. Hal ini tidak mengherankan karena paru merupakan organ di dalam tubuh yang berhubungan langsung dengan udara luar (lingkungan), hingga perubahan tersebut di atas berpengaruh langsung terhadap kesehatan paru, contohnya ialah Smoking Related Diseases, penyakit paru kerja, Tb, Asma dan lain-lain. Hal-hal tersebut berarti bila ingin menanggulangi penyakit paru dan meningkatkan kesehatan paru secara menyeluruh, aspek kuratif menjadi sebagian saja dari pendekatan yang harus dilakukan. Upaya promotif, preventif, dan rehabilitatif sudah waktunya diperluas cakupan kegiatannya. Khusus untuk Indonesia, penyakit-penyakit infeksi paru masih merupakan penyebab kematian yang amat penting dan masih sering pula dijumpai dalam pola morbiditas yang ada, demikian pula dengan asma bronkial dan penyakit paru obstruktif. Hasil survai kesehatan rumah tangga 1980 menunjuk hampir sepertiga (28,4%) kematian di Indonesia disebabkan oleh penyakit paru. Pada survai berikutnya di tahun 1986 angka ini ternyata meningkat menjadi 30,5%, sehingga berdasarkan Survai Kesehatan Rumah Tangga Nasional terbaru ini tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa 1 di antara 3 kematian di negara kita disebabkan oleh penyakit paru. Berikut ini disampaikan data pola kematian pada penderita yang dirawat di unit Paru RSU Persahabatan tahun 1991. SepertiTabel 2. Distribusi Umur

diketahui RSU Persahabatan adalah pusat rujukan untuk penyakit paru di Indonesia. Data penyebab kematian dikumpulkan dari catatan medik, dan sebab kematian ditentukan pada suatu diskusi atau rapat kematian oleh peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis Pulmonologi dan staf pengajar bagian Pulmonologi FKUI/UPF Paru RSU Persahabatan. DATA KEMATIAN Data kematian yang dikumpulkan selama tahun 1991 dari bagian Ilmu Kedokteran Respirasi FKUUUnit Paru RSU Persahabatan, penyebab kematian utama adalah Tb paru (41,7%) sebanyak 73 kasus dari 175 jumlah total kematian, disusul kanker paru (29,1%) sebanyak 51 kasus dan kemudian pneumonia (9,1%) sebanyak 16 kasus (tabel 1).Tabel 1. Distribusi Diagnosis Penyakit Penyebab Kematian Nama Penyakit 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. TB paru Tumor paru Pneumonia Bronkhiektasi Cor pulmonal PPOK Tumormediastinum Pneumotoraks Empiema toracis Abses paru Asma Total Jumlah 73 51 16 15 7 4 3 3 2 1 0 175 % 41,71 29,14 9,14 8,57 4,10 2,29 1,71 1,71 1,14 0,57 0 100

Usia terbanyak adalah 26 30 tahun sebanyak 27 kasus (15,4%), disusul oleh 31 35 tahun sebanyak 17 kasus (9,7%) (tabel 2). Penyebab kematian terbanyak adalah karena gagal napas (40%) pada 70 kasus, disusul oleh stadium akhir dari suatu ke-

Umur 65 Total

Jumlah 7 13 30 24 28 36 37 175

% 4,0 7,43 17,14 13,72 16,0 20,57 21,14 100

Pada kanker paru, yang terhanyak adalah jenis adeno Ca (29,4%) 15 kasus, kemudian karsinoma (19,6%) sebanyak 10 kasus (tabel 6).Tabel 6. Distribusi Jenis Kanker Paru n Dengan effusi pleura Adeno ca Epidermoid Sel kecil Belum terdiagnosis jenisnya Total 8 15 10 1 17 51 % 15,69 29,41 19,61 1,96 33,33 100

ganasan pada 38 kasus (21,7%), kemudian sebab asfiksi pada 28 kasus (16%) (tabel 3).Tabel 3. Distribusi Sebab Kematian n 70 4 5 7 28 14 8 1 38 175 % 40 2,28 2,85 4 16 8 4,57 0,5 21,7 100

Sebab Kematian Gagal napas Gagal jantung Gagal jantung paru Gagal multi organ Asfiksia Sepsis Asidosis metabolik Gagal ginjal Stadium akhir keganasan Total

Usia yang terbanyak 5665 tahun (35,3%) 18 kasus, disusul 46 55 tahun (27,45%) sebanyak 14 kasus (tabel 7).Tabel 7. Distribusi Usia Pasien Kanker Paru Usia (tahun) 65 Total n 1 3 7 14 18 8 51 % 1,96 5,88 13,72 27,45 35,29 15,69 100

Pada Tb paru, sebagai penyebab kematian tertinggi adalah karena hemoptisis yang tidak teratasi sebanyak 33 kasus (34%), disusul dengan penderita Tb paru yang disertai keadaan umum buruk (gizi buruk, dehidrasi dan sebagainya) sebanyak 23 kasus (23,7%) (tabel 4).Tabel 4. Distribusi Sebab Kematian Pasien Tb Paru n Dengan hemoptoe Dengan komplikasi : Ca Decomp cordis NIDDM Pneumotoraks Bronchopneumonia enterim Tb paru dupleks KU lemah Destroyed Lung Total Tabel 5. Distribusi Usia Pasien Tb Paru Usia (tahun) < 18 18 25 26 35 36 45 46 55 56 65 > 65 Total n 6 8 32 13 10 10 18 97 % 6,18 8,24 32,98 13,4 10,3 10,3 18,55 100 33 1 2 4 11 7 1 10 23 15 97 % 34 1,03 2,06 4,12 1,03 7,21 1,03 10,3 23,7 15,46 100

Umumnya penderita kanker paru yang dirawat di RSUP Persahabatan meninggal dunia karena mereka datang dalam keadaan Stadium akhir dari suatu keganasan (72,5% 37 kasus) (tabel 8).Tabel 8. Distribusi Sebab Kematian pada Kanker Paru n Stadium akhir Gagal napas Gagal jantung Total 37 13 1 51 % 72,55 25,49 1,96 100

Penyakit infeksi paru sebagai penyebab kematian adalah pneumonia. Umumnya terjadi di usia 26 35 tahun (41,7%) sebanyak 5 kasus (tabel 9).Tabel 9. Distribusi Umur Pasien Pneumonia yang Meninggal Dunia Usia (tahun) < 18 18 25 26 35 36 45 46 55 56 65 > 65 Total n 1 5 2 3 1 12 % 8,333 41,67 16,67 25,00 8,333 100

Sebab kematian yang terbanyak pada pneumonia adalah karena gagal napas (50%) sebanyak 6 kasus, disusul asidosis metabolik yang tidak terkompensasi (25% 3 kasus) (tabel 10).

12

Tabel 10. Distribusi Sebab Kematian pada Pasien Pneumonia n Gagal jantung paru Gagal napas Sepsis Asid metab Total 1 6 2 3 12 % 8,333 50,00 16,67 25,00 100

Tabel 14. Distribusi Sebab Kematian pada PPOK n Dengan bronch emfisema Bronkhiektasi TB paru tsk Gagal ginjal Pneumotoraks KU lemah Tidak disebut jenisnya Total Tabel 15. Distribusi Usia Pasien PPOK Usia (tahun) 65 Total n 3 3 5 11 % 27,27 27,27 45,45 100 2 1 1 1 1 1 4 11 % 18,18 9,10 9,10 9,10 9,10 36,36 100

Selain pneumonia, bronkiektasis juga menyebabkan kematian pada urutan ke 4 karena hemoptisis yang tidak teratasi pada 6 kasus (54,5%) (tabel 11).Tabel 11. Distribusi Sebab Kematian pada Pasien Bronkiektasis n Dengan infeksi Hemoptoe Cor pulmonale Total 4 6 1 11 % 36,36 54,54 9,10 100

Umur penderita bronkiektasis terbanyak antara 26 35 tahun (36,4% 4 kasus) (tabel 12). Tabel 12. Distribusi Umur pada Pasien BronkiektasisUsia (tahun) < 18 18 25 26 35 36 45 46 55 56 65 > 65 Total n 1 4 1 1 1 3 11 % 9,10 36,36 9,10 9,10 9,10 27,27 100

Tabel 16. Distribusi Sebab Kematian Pasien PPOK n Gagal napas Gaga] jantung Gagal multiorgan Total 9 1 1 11 % 81,82 9,10 9,10 100

Sebab kematian yang terbanyak pada bronkiektasis adalah karena asfiksi (36,4% 4 kasus), disusul dengan gagal napas (27,3% 3 kasus) (tabel 13).Tabel 13. Distribusi Sebab Kematian pada Bronkiektasis n Asfiksia Gaga] napas Sepsis Gagal jantung paru Asid metob Total 4 3 2 1 1 11 % 36,36 27,27 18,18 9,10 9,10 100

Pada penyakit paru obstruksi kronis, kematian yang terbanyak tidak diketahui sebabnya sebanyak 4 kasus (36,4%) (tabel 14). Usia pada penderita PPOK adalah terutama lebih dari 65 tahun (45,45% 5 kasus) (tabel 15). Gagal napas merupakan penyebab kematian utama pada penderita PPOK (9 kasus 87,8%) (tabel 16). KESIMPULAN Dari data yang dikumpulkan selama tahun 1991 di bagian Pulmonologi FKUUUPF Paru RSUP Persahabatan penyakit infeksi masih menduduki urutan pertama sebagai penyebab

kematian, disusul dengan tumor paru. Tuberkulosis merupakan penyebab kematian pertama pada laporan kali ini. Kanker paru yang dirawat di RSUP Persahabatan umumnya datang pada stadium yang sudah lanjut sehingga meningkatkan penyebab kematian. Distribusi umur pasien yang meninggal tampaknya merata, 41,71% diantaranya berusia di atas 56 tahun. Dalam proses akhir penyebab kematian, gaga] napas merupakan penyebab utama, disusul dengan stadium akhir keganasan dan asfiksia. Pola penyebab kematian pada laporan ini tentu dipengaruhi oleh pola diagnosis dan keadaan penderita yang datang ke punt rujukan di RSUP Persahabatan ini. Laporan ini telah membahas berbagai aspek penyebab kematian pada penyakit paru, dan tampaknya perlu disusul dengan laporan-laporan selanjutnya secara berkala.KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. Hadiarto M. Pengembangan IPTEK Kedokteran Bidang Respirasi PJPT II. Jakarta, 1993; 15. Hadiarto M. Penyakit Paru di Indonesia dan Penanggulangannya dalam Pulmonologi Klinik. Ed. Faisal Yunus dkk Bagian Pulrnonologi FKUI. Jakarta, 1992; 38. Ratna Budiarso dkk. Survei Kesehatan Rumah Tangga 1986. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Pusat. Penclitian Ekologi Kesehatan. Jakarta. Tjandra YA. Situasi dan Dampak Penyakit Paru pada Pusat Kesehatan Masyarakat. Dalam: Pulmonologi Klinik. Ed. Faisal Yunus dkk. Jakarta, 1992; 914.

13

Penggunaan Gliseril Guaiakolat untuk Meningkatkan Cakupan BTA(+) pada Tersangka Tuberkulosis ParuSudijo Staf Dinas Kesehatan Kabupaten Lamongan, Jawa Timur

ABSTRAK Penyakit tuberkulosis paru masih menjadi masalah di Indonesia karena prevalensi BTA (+) masih tinggi (0,29%), penemuan penderita rendah (10%), cakupan pengobatan rendah (16%). Penemuan BTA (+) masih dipakai sebagai kriteria diagnosis pasti pada program pemberantasan tuberkulosis paru di lapangan. Salah satu kesulitan penemuan BTA (+) adalah pada pengumpulan dahak yang berkualitas untuk bahan pemeriksaan laboratorium. Penelitian ini dimaksudkan untuk mencoba memecahkan masalah tersebut dengan pemberian gliseril guaiakolat (GG) pada tersangka TB paru. Studi ini dilakukan di wilayah Puskesmas Babat dan Sekaran Kabupaten Lamongan dari April sampai Juni 1994. Telah diperiksa 257 kasus yang dibagi menjadi dua kelompok, kelompok studi dan kontrol, setiap kelompok diperiksa dua kali yaitu sebelum dan sesudah pemberian GG atau plasebo. BTA (+) yang ditemukan sebelum dan sesudah pemberian GG adalah 19,2% dan 46,4%, sebelum dan sesudah pemberian plasebo 23,9% dan 19%. Perubahan BTA ( ) menjadi BTA (+) pada kelompok studi 39,1%, kelompok kontrol 10,9%. Dengan uji statistik dapat disimpulkan bahwa pemberian GG dapat meningkatkan penemuan BTA (+) dalam dahak penderita (sangat bermakna P = 4,13E-09 dan P = 8,034E-06).

PENDAHULUAN WHO memperkirakan 1700 juta penduduk dunia telah terinfeksi TB paru dengan ditandai test tuberkulin (+); dari jumlah itu 4 juta merupakan penderita baru dengan BTA (+), dan 4 juta BTA () setiap tahunnya(1,2). Sedangkan di Indonesia diperkirakan pada akhir Pelita IV sekitar 714000 orang terserang TB paru; sekitar 440000 orang dengan BTA (+), dan 145000 orang di antaranya adalah penderita baru(3). Kuman BTA akan terlihat bila jumlahnya sekitar 5000

100000 dalam 1 ml dahak(5,6). Rendahnya penemuan BTA (+) di lapangan salah satu disebabkan karena dahak yang diperiksa kurang adekuat(7). Penggunaan ekspektoran (gliseril guaiakolat) menyebabkan dahak lebih mudah dikeluarkan, dahak berasal dari tempat radang yang jumlah kumannya banyak, dahak lebih encer sehingga kuman tersebar merata(8). Dengan demikian kuman lebih mudah terambil saat membuat sediaan atau positive ratenya lebih tinggi bila dibandingkan dengan cara biasa.

14

PATOGENESIS TB PARU TB paru terdiri dari primer dan post primer, TB paru primer adalah infeksi yang menyerang pada orang yang belum mempunyai kekebalan spesifik, sehingga tubuh melawan dengan cara tidak spesifik. Pada fase ini kuman merangsang tubuh membentuk sensitized cell yang khas sehingga uji PPD (Purified Protein Derivative) akan positif. Di paru terdapat fokus primer dan pembesaran kelenjar getah bening hilus atau regional yang disebut komplek primer. Pada infeksi primer ini biasanya masih sulit ditemukan kuman dalam dahak. TB paru post primer adalah TB paru yang mehyerang orang yang telah mendapatkan infeksi primer dan dalam tubuh orang tersebut sudah ada reaksi hipersensitif yang khas. Infeksi ini berasal dari reinfeksi dari luar atau reaktivasi dari infeksi sebelumnya. Proses awal berupa satu atau lebih pnemonia lobuler yang disebut fokus dari Assman. Fokus ini dapat sembuh sendiri atau menjadi progresif (meluas), melunak, pengejuan, timbul kavitas yang menahun dan mengadakan penyebaran ke beberapa tempat. Gejala penting TB paru post primer adalah : 1) Batuk lebih dari 4 minggu, gejala ini paling dini dan paling sering dijumpai, biasanya ringan dan makin lama makin berat. 2) Batuk darah atau bercak saja. 3) Nyeri dada yang berkaitan dengan proses pleuritis di apikal. 4) Sesak nafas yang berkaitan dengan retraksi, obstruksi, thrombosis, atau rusaknya parenkhim paru yang luas. 5) Wheezing yang berkaitan dengan penyempitan lumen endobronkhial. 6) Gejala umum yang tidak khas yaitu lemah badan, demam, anoreksia, berat badan turun. WHO merekomendasikan gejala penting TB paru berturutturut adalah batuk lebih dari 4 minggu, batuk darah, nyeri dada, dan demam(7). GLISERIL GUAIAKOLAT(8,9,10,11) Ekspektoran adalah zat kimia yang mengubah jumlah dan kekentalan cairan saluran pernafasan; merupakan zat yang mendorong ekspektorasi atau meningkatkan buangan mukus dari saluran nafas. Gliseril guaiakolat atau guaefenesin adalah ekspektoran yang diintrodusir sekitar tahun 1948, pemakaiannya sangat luas baik untuk campuran obat batuk maupun obat tersendiri. Food and Drug Administration (FDA) mengklasifikasikan obat ini sebagai kategori I yaitu obat yang secara umum aman dan efektif. Mekanisme kerjanya adalah meningkatkan keenceran dan produksi cairan dari saluran nafas. Penulis lain menduga melalui efek emetik di vagal dan glandula sekretorik di saluran pernafasan. Lokasi aktivitas obat ini pada jaringan otot trakhea dan bronkhial. Beberapa penulis melaporkan bahwa pemberian GG dapat meningkatkan dahak sampai 200% pada pasien yang tidak ada respon dengan potasium karbonat dan sulfonat(8). Penelitian double blind dari 65 kasus menyimpulkan GG dapat mengurangi kekentalan dahak dan meningkatkan jumlahnya(11). Robinson

yang meneliti 239 kasus dengan batuk kering dan produktif menyimpulkan terjadi penurunan frekuensi dan intensitas batuk, sedang peningkatan volume dahak yang menonjol hanya pada batuk yang produktif saja(8). Studi in vivo menunjukkan bahwa tidak terjadi perubahan volume namun ekspektorasi jadi lebih mudah(8). Dosis yang dianjurkan adalah 200 400 mg tiap 4 6 jam, tidak boleh melebihi 2400 mg per hari. Efek obat telah tampak pada 15 30 menit setelah pemberian per os. Efek samping biasanya ringan dan jarang berupa skin rash, drowsiness, nausea, stomach pain, diare. Kontra indikasi absolut tidak ada namun harus hati-hati pada penderita ulkus peptikum, batuk darah, muntah darah serta penderita yang mendapat obat antikoagulan. BAHAN DAN CARA Penelitian dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Babat dan Sekaran Kabupaten Lamongan pada bulan April Juni 1994. Rancangan penelitian adalah eksperimental semu (quasi experimental) dengan jenis rancangan ulang non random (non randomized pretest-posttest control group design(12,13). Pencarian kasus dilakukan secara aktif dan pasif oleh peneliti, dokter puskesmas, paramedis pengelola program P2TB paru kedua puskesmas tersebut. Pembuatan dan pemeriksaan kuman oleh tenaga laboratorium Puskesmas Babat (pendidikan analis medis). Dahak yang diambil adalah dahak semalam setelah atau sebelum diberi GG atau plasebo. Dosis obat 200 mg single dose diminum malam sebelum tidur; pagi harinya dahak diambil untuk.diperiksa. Kelompok studi adalah kasus di wilayah Puskesmas Babat dan kelompok kontrol kasus di Puskesmas Sekaran. Populasi penelitian adalah kasus TB paru klinis yang berdas3r gejala sesuai dengan rekomendasi WHO, umur di atas 15 tahun, belum pernah mendapat obat antituberkulosis, tidak sedang batuk darah dan muntah darah.

HASIL Jumlah TB paru klinis yang dapat diperiksa sebanyak 257 orang terdiri dari 136 orang kelompok studi dan 121 kelompok kontrol, usia termuda 16 tahun, tertua 90 tahun, usia rata-rata 49,7 tahun. Kelompok studi pria 70 orang, wanita 66 orang; BTA (+) sebelum pemberian GG (pre GG) 26 orang (19,2%) dan setelah pemberian GG (post GG) BTA (+) 63 orang (46,4%). Kelompok kontrol pria 60 orang, wanita 61 orang; BTA (+) sebelum pemberian plasebo (pre pia) 29 orang (23,9%) dan setelah diberi plasebo (post pia) BTA (+) 23 orang (19%) (Tabel 1).

PEMBAHASAN Penelitian ini mendapatkan hasil pre GG 19,2%, post GG 46,4%, pre pla 23,9%, post pla 19% (tabel 1). BTA (+) di kelompok studi naik 27,2% antara sebelum dan sesudah pemberian GG, sedang di kelompok kontrol terjadi penurunan sebesar 4,9% antara sebelum dan sesudah pemberi an plasebo. Dengan uji

15

Tabel 1.

Hasil Penelitian BTA (+) Berdasarkan Jenis Kelamin Bulan April Juni 1994 Puskesmas Babat dan Sekaran Babat Pre GG + % + BTA+ 9,6 9,6 Post GG % + BTA+ 24,3 22,1 46,4 Sekaran Pre Pla % + BTA+ 10,7 13,2 23,9 Post Pla % BTA+ 7,4 11,6 19

Tabel 5.

Hasil Penelitian BTA (+) Berdasarkan Gejala Penyakit April Juni 1994 Puskesmas Babat dan Sekaran Babat Sekaran Post GG BTA % 19,1 8,8 8 14,7 2,9 11 + 63 35 35 44 6 38 % 46,3 25,7 26,5 32,4 4,4 27,9 + 29 25 18 17 19 19 Pre Pla BTA % 23,9 20,7 14,9 14 15,7 15,7 + 23 20 15 19 18 13 Post Pla BTA % 19 16,5 12,4 15,7 14,9 10,7

Gejala Penderita

Pre GG BTA +

Laki-laki 13 57 Perempuan 13 53 Jumlah Tabel 2.

33 37 30 36

13 47 16 45 29 92

9 51 14 47 23 98

26 110 19,2 63 73

Batuk Nyeri dada Batuk darah Sesak nafas Demam Lain-lain Tabel 6.

26 12 11 20 4 15

Hasil Penelitian BTA (+) Berdasarkan Umur Bulan April Juni 1994 Babat Sekaran Post GG BTA % 0 1,5 2,9 6,6 5,2 2,9 19,2 + 2 8 10 14 19 I2 63 % 1,5 4,4 7,4 10,3 13,9 8,8 46,4 + 0 0 3 11 9 6 29 Pre Pla BTA % 0 0 2,5 9,1 7,4 5 23,9 + 0 0 3 9 9 2 23 Post Pla BTA % 0 0 2,5 7,4 7,4 1,7 19

Umur

Pre GG BTA +

Hasil Penelitian Berdasarkan Perolehan BTA Sebelum dan Se sudah Percobaan Post + + Babat 43 66 6 21 Sekaran 10 82 16 13

Pre + +

20 30 40 50 60 60 Jumlah Tabel 3.

0 2 4 9 7 4 26

Hasil Penelitian BTA (+) Berdasarkan Pekerjaan April Juni 1994 Puskesmas Babat dan Sekaran Babat Sekaran Post GG BTA % 5,9 2,9 3,8 2,2 2,2 2,2 19,2 + 28 12 7 7 5 5 63 % 20,6 8,8 5,2 5,2 3,8 3,8 46,4 + 23 2 0 2 1 1 29 Pre Pla BTA % 19 1,7 0 1,7 0,8 0,8 23,9 + 22 0 0 0 1 0 23 Post Pla BTA % 18,2 0 0 0 0,8 0 19

Pekerjaan

Pre GG BTA +

Petani Pedagang Pegawai Buruh Ibu R T Lain-lain Jumlah

8 4 5 3 3 3 26

Tabel 4.

Hasil Penelitian BTA (+) Berdasarkan Lama Sakit Bulan April Juni 1994 Puskesmas Babat dan Sekaran Babat Pre GG Post GG BTA % 2,9 3,8 3,8 8,8 19,2 + 8 13 12 30 63 % 5,9 9,6 8,8 22,1 46,4 + 6 4 2 17 29 Sekaran Pre Pla BTA % 4,9 3,3 1,7 14 23,9 + 5 4 2 12 23 Post Pla BTA % 4,1 3,3 1,7 9,9 19

Lama Sakit BTA + - 3 bulan - 6 bulan - 1 tahun > tahun Jumlah 4 5 5 12 26

statistik pre 6G-post GG P = 0,0000, pre pla-post pla P = 0,3268, pre GG-pre pla P=0,4273, post GG-post pla P=6,803E-06 maka dapat disimpulkan bahwa pemberian GG dapat meningkatkan BTA (+) yang diketemukan, dan tidak dipengaruhi oleh kondisi awal dari sampel penelitian(14,15). Peneliti lain membandingkan hasil BTA (+) dengan beberapa cara antara lain: Noor Rachman membandingkan hapusan langsung, biakan, flourescen mendapatkan hasil berturut-turut 21,6%, 32,1%, 38,1%. Atasiati mendapatkan hasil (dikutip Noor Rachman) hapusan langsung 9,3%, biakan 35,6%. Yosep memperoleh hasil hapusan langsung 25%, flourescen 41%(16) sedangkan Yan Hendrokusumo: hapusan langsung 28,7%, homogenisasi 53% dan Gopixathan: hapusan langsung 18,36%, konsentrasi 35,4%(17). Berdasarkan jenis kelamin, kedua kelompok tidak ada perbedaan antara laki dan wanita. Hal ini sesuai dengan laporan Askandar (1982) di RS. dr. Sutomo Surabaya(18), Gunadi (1982) di tempat yang sama, Faisal Yunus (19851990)(19). Berbeda dengan Taufik (Bukit Tinggi)(20), Bachtiar (Jakarta)(21) yang mendapatkan pria 2 kali lebih besar dari wanita. Demikian pula laporan dari beberapa negara lain yaitu Singapura, Brunei, Philipina, Malaysia, Tanzania yang melaporkan pria 1,5-2 kali dari wanita(1,22). Berdasarkan kelompok umur (tabel 2) BTA (+) yang tertinggi adalah di kelompok usia 5060 tahun (kelompok studi) dan di kelompok kontrol pada usia 4050 tahun. Makin tinggi usia makin tinggi frekuensi BTA (+) dari kedua kelompok tersebut. Hal ini sesuai dengan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga 1980 (dikutip Kusnindar). Berbeda dengan yang dilaporkan Taufik, usia terbanyak adalah 2130 tahun, Faisal Yunus juga menemukan usia tertinggi 2130 tahun, masingmasing 21,01% dan 40,6%. Perbedaan ini mungkin disebabkan karena perbedaan lokasi penelitian antara populasi di lapangan

16

dan di rumah sakit. Berdasarkan jenis pekerjaan (Tabel 3) petani frekuensinya BTA (+) paling tinggi, dan terendah ibu rumah tangga. Hal ini karena mayoritas pekerjaan populasi adalah petani. Abdul Manaf dalam evaluasi program pemberantasan TB paru melaporkan BTA (+) berturut-turut adalah petani 47%, pegawai 28%, pedagang 16,9%, ibu rumah tangga 1% (dikutip Kusnindar)(3). Taufik menemukan frekuensi BTA (+) pada petani 44,8%, pedagang 16,9%, ibu rumah tangga 8,8%, pegawai 7,5%(20). Berdasarkan lamanya sakit (Tabel 4) dari kedua kelompok frekuensi BTA (+) tertinggi adalah bila lebih daii satu tahun; makin laifia sakit makin tinggi frekuensinya; demikian pula makin tinggi peningkatan BTA (+) nya setelah diberi GG. Keadaan ini mungkin disebabkan karena makin lama sakit makin parah kerusakan paru, dan batuk lebih produktif sehingga lebih memberi respon dengan GG; pada kelompok kontrol keadaan ini tidak didapatkan(8,11). Perubahan BTA () ke BTA (+) (tabel 6) pada kelompok studi sebanyak 43 orang dari 110 orang yang BTA () (39,1%), sedang kelompok kontrol 10 orang dari 92 orang yang BTA () (10,9%) perbedaan sebesar 28,8% ini sangat bermakna (p = 8,034E-06). Ini berarti pemberian GG meningkatkan perubahan dari BTA () ke BTA (+) atau positive rate pemeriksaan dahak meningkat. KESIMPULAN Pemberian gliseril guaiakolat pada tersangka TB paru sebelum pengambilan dahak untuk diperiksa, ternyata dapat meningkatkan cakupan BTA (+) karena positive ratenya meningkat. Makin lama sakit makin mudah dipengaruhi oleh obat ini sehingga BTA (+) yang ditemukan juga tinggi. Peningkatan BTA (+) terjadi pada semua golongan umur namun yang menonjol pada umur di atas 40 tahun. SARAN Dianjurkan gliseril guaiakolat digunakan pada program pemberantasan penyakit TB paru di lapangan untuk membantu meningkatkan cakupan BTA (+), mengingat cakupan selama ini masih rendah dan obat ini cukup tersedia di Puskesmas. Perlu penelitian lebih lanjut dosis yang optimal sehingga lebih berdaya guna dan berhasil guna.

UCAPAN TERIMA KASIH Disampaikan kepada Prof: Sabdoadi dr., MPH., Priyono Saryabhakti dr., MS., MPH. atas bimbingan, saran, dorongannya .celama penelitian dan pembuatan tulisan ini. Kepada dokter Puskesmas Babat dan Sekaran beserta staf atas partisipasi dan kerja samanya selama penelitian berlangsung. KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. Aditama T. Tuberculosis situation in Indonesia, Singapura, Brunei Darussalam, and the Philippines. Cermin Dunia Kedokt. 1990; 63: 37. Aditama T. Pola gejala dan kecenderungan berobat penderita tuberkulosis paru, Cermin Dunia Kedokt. 1990; 63: 179. Kusnindar. Masalah Penyakit Tuberkulosis dan Pemberantasannya di Indonesia. Cermin Dunia Kedokt. 1990; 63: 812. Depkes RI. Pedoman Pemberantasan Tuberkulosis Paru, 1990. Kabat, Rai, Hood, dkk. Tuberkulosis Pam, Lab. UPF Paru RS U. dr. Sutomo Surabaya, tanpa tahun. Depkes RI. Pedoman Pemeriksaan Kuman Tuberkulosis Pada Program Pemberantasan Tuberkulosis Paru, 1990. Dinkes TK I Jatim. Program Pemberantasan Penyakit TB Paru di Jatim tahun 19901991. Berit Epidemiol Jatim, Juli 1991. Modell W. Drug of Choice. 1973, p: 431432. Farmakope Indonesia, 1979. Ed. 3, 272273. Long WJ. The Essential Guide to Prescription Drug, 1993: 307309. Reynolds EJ. Martindale: The Extra Pharmacopeia. London: The Pharmaceutical Press Ed. XXIX, 1993: 910911. Zainudin M. Metodologi Penelitian, 1988: 5661. Pratiknyo. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta: CV Rajawali 1986: 7887. Steel R, Tome H. Statistika Nonparametrik, Prinsip dan Prosedur Statistika, Gramedia Pnstaka Utama Jakarta, Ed. II, 1991: 633644. Windu Purnomo. Analisa Data Kategorial. Kumpulan Makalah Penataran Penelitian Unair, 1992: Ed. II. Noor Rachman. Kumpulan Simposium Penyakit Infeksi FK. UNAIR 1979. Hendrokusumo, Rai. Penemuan Hasil Tahan Asamdengan Metode Apusan Dahak Homogenisasi-Konsentrasi dan Biakan Media Ogawa. Mai. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia 1992; 12 (2): 313. Askandar dkk. Pengobatan dan Perawatan Penderita Diabetes Mellitus dengan Tuberkulosis Paru, Naskah LengkapSimposiumTuberkulosis Paru 1982. Yunus Faisal dkk. Aspek Diagnosadan Pengobatan pada Penderita TB Paru yang Berobat Jalan di bagian Pulmonologi FKUI RS. Persahabatan, Maj. PDPI 1992; 12 (2): 1424. Taufik. Naskah Lengkap Kongres Nasional Ke II IDPI Surabaya, 1980. Bachtiar. Tuberkulosis Miliaris di bagian Pulmonologi FKUI. Naskah Lengkap Simposium TB dan Kesempatan Kerja FK UNAIR Surabaya 1983. Chum HJ. Eight Years Experience of The National Tuberculosis and Leprosy Programe in Tanzania. Paper. World Conference of the International Union Against Tuberculosis. Singapura, 1986.

PEMBERITAHUAN Atas permintaan pengarangnya (DH), maka mohon agar artikel berjudul 'Infeksi Anaerob pada Alat Genital' yang diterbitkan di Cermin Dunia Kedokteran 1994, no. 98, di halaman 24 27 dianggap tidak ada. Mohon maklum dan maaf atas timbulnya masalah akibat penerbitan artikel tersebut. Redaksi

Nilai Diagnostik Uji PAP-TB pada Tuberkulosis di Luar ParuDr. dr. Indro Handojo Laboratorium Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga RSUD Dr. Sutomo, Surabaya

PENDAHULUAN Walaupun paru merupakan predileksi utama penyakit tuberkulosis (TB), namun bukan merupakan satu-satunya tempat infeksi, sebab TB praktis dapat mengenai semua jaringan tubuh manusia(1,2,3). Oleh karena sifat kuman TB yang obligat aerob, maka tidak mengherankan bahwa prevalensi TB di luar paru lebih rendah daripada TB paru. Menurut Starke), TB di luar paru merupakan 30% dan semua kasus TB pada anak, sedangkan pada penderita dengan AIDS, TB di luar paru merupakan manifestasi TB yang tersering. Walaupun secara umum prevalensi TB di luar paru tidak setinggi TB paru, namun penyakit ini masih banyak menimbulkan permasalahan, baik dari segi diagnostik, pengobatan maupun dari segi pemantauan hasil pengobatannya, teristimewa di daerahdaerah endemis TB. Dan segi diagnostik, TB di luar paru dapat memberikan masalah-masalah sebagai berikut : 1) Pemeriksaan radiografis tak selalu .dapat dipakai sebagai penunjang diagnosis penyakit TB di luar paru, misalnya pada TB kelenjar, meningitis TB, peritonitis TB dan lain sebagainya. 2) Tidak semua jaringan di luar paru mempunyai hubungan dengan dunia luar, sehingga sukar membuat diagnosis secara mikrobiologis. Walaupun suatu organ tubuh mempunyai hubungan dengan dunia luar, seperti ginjal dan usus, namun hanya sedikit saja basil TB (1012%) yang dapat ditemukan secara mikroskopis, sedangkan pemeriksaan biakan membutuhkan waktu yang lama dan peralatan yang tidak murah(2,5,6). Pemeriksaan histopatologis merupakan pemeriksaan yang spesifik tetapi tidak begitu sensitif, invasif dan juga tidak murah. Permasalahan dalam pemantauan hasil pengobatan penyakit, hampir sama dengan perma'salahan yang dihadapi oleh segi diagnostiknya.

Berpijak pada masalah-masalah tersebut di atas, para pakar Ilmu Kedokteran Laboratorium berusaha untuk mencari suatu sarana diagnostik yang andal, praktis dan murah untuk penyakit TB di luar paru. Pada tahun 1988 Handojo(6) melaporkan hasil yang baik dari penggunaan uji peroksidase-antiperoksidase (PAPTB) sebagai sarana diagnostik dan pemantauan hasil pengobatan penyakit tuberkulosis paru. Keandalan dari tes ini pada penyakit TB di luar paru tentunya perlu diteliti lebih lanjut. Permasalahan tersebut mendorong pelaksanaan penelitian ini dengan tujuan untuk menentukan nilai diagnostik dari uji PAP-TB pada penyakit TB di luar paru. BAHAN DAN CARA KERJA Penelitian laboratoris ini dilakukan terhadap sera yang berasal dari 48 penderita TB di luar paru dan 53 penderita bukan TB yang datang berobat di BP4 Malang, beberapa rumah sakit dan pusat kesehatan lain di Jawa Timur selama kurun waktu 1989 sampai dengan tahun 1992. Diagnosis TB di luar paru ditegakkan atas dasar : 1) Hasil pemeriksaan fisik mencurigakan adanya proses TB di luar paru. 2) Uji tuberkulin positif ( 10 mm). 3) Pada pemeriksaan histopatologis jaringan yang dicurigai ditemukan hasil TB, tuberkel yang mengalami pengejuan (caseated tubercle) atau tuberkel yang tidak mengalami pengejuan (non-caseated tubercle) tetapi disertai uji kompleks imun TB yang positif. Tolok ukur yang dipakai untuk menentukan penderita bukan TB yaitu : 1) Pada pemeriksaan fisik dan x-foto paru tidak ditemukan tanda-tanda proses tuberkulosis. 2) Pada pemeriksaan histopatologis tidak ditemukan proses TB atau yang mencurigakan adanya tuberkulosis di jaringan

18

yang dicurigai. Pada sera dari 101 penderita tersebut di atas dilakukan uji PAP-TB dengan metode Handojo(6) yang secara singkat adalah sebagai berikut : Sebagai antigen dipakai polimer protein dan sitoplasma M. tuberculosis var. bovis BCG (Glaxo) yang dihancurkan secara ultrasonis dan dipisahkan dari dinding selnya dengan cara ultrasentrifugasi. Polimerisasi dilakukan dengan metode Avrameas dan Ternynck~71. Sebagai perekat antigen dipakai suspensi 5% kuning telur ayam cram 7 hari dalam larutan dapar fosfat salin (PBS) dan sebagai reagensia dipakai histoset immunoperoxidase staining kit for IgG dari Cambridge Research Laboratory. Sepuluh mikroliter suspensi antigen polimer yang diencerkan 1 : 100 dalam PBS dan disonikasi selama 1 menit, diteteskan di atas gelas objek yang telah diberi lapisan perekat antigen pada suatu area berbentuk lingkaran dengan diameter 1 cm dan dibuat dengan pengerat kaca. Setelah dikeringkan di udara dan difiksasi dengan aseton (4C selama 10 menit), ditambahkan 20 ul serum atau kontrol (pengenceran 1 : 10000) dan diinkubasikan dalam kotak lembab pada suhu 4C selama semalam, kemudian dicuci dengan larutan PBS (pH 7,4) selama 3 kali 3 menit. Untuk memblokade peroksidase endogen, ditambahkan 1 tetes H2O2 3% dan diinkubasikan selama 8 menit pada 37C, lalu dicuci dengan PBS selama 5 tnenit. Dalam tahap berikutnya, ditambahkan antibodi primer (rabbit antihuman IgG) dan diinkubasikan selama 10 menit pada 37C dalam kotak lembab. Setelah dicuci dengan PBS 3 kali 3 menit, ditambahkan serum domba normal (normal sheep serum) dan diinkubasikan selama 8 menit pada 37C untuk mencegah terjadinya pengecatan latar belakang akibat pelekatan antibodi penghubung pada celah-celah di antara antibodi primer atau pada perekat antigen. Selanjutnya ditambahkan antibodi penghubung dan diinkubasikan selama 8 menit pada 37C dalam kotak lembab. Setelah dicuci dengan PBS selama 2 kali 5 menit, ditambahkan kompleks imuno-enzim peroksidaseantiperoksidase (PAP) kelinci dan diinkubasikan selama 8 menit pada 37C dalam kotak lembab. Setelah direndam selama 2 kali 5 menit dalam PBS, ditambahkan substrat (H2O2 0,02% dan aminoethylcarbozole) dan diinkubasikan pada 37C selama 7 menit. Setelah dicuci dengan larutan PBS, ditambahkan cat Mayer's hematoxylin selama 3 menit lalu dicuci dengan air. Selanjutnya sediaan dikeringkan di udara dan dilihat di bawah mikroskop cahaya (putih) dengan pembsaran 10 kali 10. Uji PAP-TB dikatakan positif bila ada 3 atau lebih antigen polimer yang tercat merah. Nilai diagnostik dari uji PAP-TP ditentukan dengan menilai validitas klinis uji PAP-TB yang diperoleh dalam penelitian ini dan meliputi sensitivitas diagnostik, spesifisitas diagnostik, efisiensi diagnostik, nilai ramal positif diagnostik dan nilai ramal negatif(8,9). HASIL Hasil dari uji PAP-TB pada 48 penderita dengan TB di luar paru yang termasuk dalam penelitian ini diringkas dalam tabel 1

Tabel 1.

Hasil Uji PAP-TB dan Pemeriksaan Histopatologis pada 48 Penderita dengan TB di Luar Paru Hasil Uji Laboratoris

Diagnosis Klinis Histopatologis TB Kelenjar (N = 26) TB Tulang (N = 4) TB sendi Peritonitis TB (N = 4) Salphingitis TB Cervicitis TB Ovaritis TB Pleuritis TB Otitis TB Laryngitis TB TB kulit & Jaringan Lunak Tuberkuloma Otak Jumlah Caseated tubercle Non-caseated tubercle Caseated tubercle Non-caseated tubercle Caseated tubercle Caseated tubercle Non-caseated tubercle Caseated tubercle Caseated tubercle Caseated tubercle Non-caseated tubercle Caseated tubercle Caseated tubercle Caseated tubercle Caseated tubercle

PAP-TB N Positif Negatif n n 18 18 0 8 6 2 3 3 0 1 0 1 4 4 0 3 2 1 1 0 1 1 1 0 1 1 0 l 1 0 2 1 1 1 1 0 1 1 0 1 1 0 1 1 0 48 42 6

Dari 48 penderita TB di luar paru yang termasuk dalam penelitian ini, 42 penderita (87,5%) menunjukkan basil uji PAP-TB positif dan 6 penderita (12,5%) menunjukkan basil uji PAP-TB negatif. Dari 6 penderita yang memberikan basil uji PAP-TB yang negatif, 5 orang menunjukkan adanya non-caseated tubercle pada pemeriksaan histopatologisnya dan hasil pemeriksaan uji kompleks imun TB yang positif. Di samping itu, dalam pemantauan basil pengobatan, kelima penderita dengan noncaseated tubercle tersebut di atas memberikan respons yang baik dengan pengobatan anti-TB jangka pendek (6 bulan) dan bifasik dengan regimen pengobatan yang mengandung rifampisin, sedangkan pengobatan non-spesifik selama 3 minggu yang diberikan sebelumnya, tidak memberikan kemajuan. Dengan demikian maka sensitivitas diagnostik dari uji PAPTB pada penderita TB di luar paru yang termasuk dalam penelitian ialah 87,5%. Di antara 53 penderita bukan TB yang termasuk dalam penelitian ini, 48 penderita (90,6%) menunjukkan basil uji PAPTB negatif. Hanya 5 penderita (9,4%) yang menunjukkan hasil uji PAP-TB positif semu. Pada 4 penderita dengan limfadenitis non-spesifik (pada pemeriksaan histopatologis ditemukan selsel radang tak spesifik), pengobatan non-spesifik yang diberikan selama 3 minggu, memberikan hasil yang baik. Dengan demikian spesifisitas diagnostik uji PAP-TB pada TB di luan paru dalam penelitian ini ialah 90,6%. Hasil uji PAP-TB pada 53 penderita bukan TB yang termasuk dalam penelitian ini, diringkas dalam Tabel 2. Dari data tersebut dapat ditentukan bahwa efisiensi diagnostik uji PAP-TB pada TB di luar paru ialah 89,1%, nilai ramal positif diagnostiknya 89,4% dan nilai ramal negatifnya 88,9%. PEMBAHASAN Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai diagnostik

19

Tabel 2.

Hasil Uji PAP-TB pada 53 Penderita Bukan TB Hasil Uji PAP-TB Diagnosis Klinis n Negatif % 89,5 87,5 100,0 100,0 100,0 100,0 90,6 n 4 1 0 0 0 0 5 Positif % 10,5 12,5 0 0 0 0 9,4

Limfadenitis tak spesifik Artritis rematoid (RF positif) Lekemia (CML) Karsinoma bronkogenik Karsinoma payudara Limfoma Maligna Jumlah

38 8 1 4 1 2 53

34 7 1 4 1 2 48

Keterangan : RF = faktor rematoid; CML = chronic meylocytic leukemia

(sensitivitas, spesifisitas, efisiensi, nilai ramal positif dan nilai ramal negatif) uji PAP-TB pada tuberkulosis di luar paru, walaupun tidak setinggi nilai diagnostiknya pada TB paru, menurut kriteria dari Handojo(6) masih tergolong tinggi (8094%). Bila dibandingkan dengan hasil yang diperoleh Handojo(6) pada TB paru (98,3%), sensitivitas diagnostik uji PAP-TB dalam penelitian ini (87,5%) masih jauh lebih rendah. Hal ini dapat dimengerti mengingat sifat dari hasil TB yang obligat aerob sehingga pertumbuhan kuman ini di paru lebih baik daripada di organ lain yang tekanan oksigennya tidak setinggi di paru. Dengan demikian, populasi hasil TB pada TB paru akan jauh lebih tinggi daripada populasinya pada TB di luar paru. Akibatnya, rangsangan untuk pembentukan antibodi spesifik terhadap M. tuberculosis pada TB paru menjadi lebih kuat daripada TB di luar paru, sehingga sensitivitas diagnostik uji PAP-TB pada TB paru lebih tinggi daripada sensitivitasnya pada TB di luar paru. Spesifisitas diagnostik dari uji PAP-TB pada penelitian ini, sedikit lebih rendah (90,6%) bila dibandingkan dengan hasil yang dilaporkan oleh Handojo (9394%) dalam penelitiannya(6,10). Seperti diketahui, spesifisitas dari suatu uji laboratoris dipengaruhi oleh jenis dan kemurnian antigen yang dipakai serta profil spesifisitas dari reagensia yang dipakai. Antigen polimer untuk uji PAP-TB yang dipakai dalam penelitian ini hampir tidak berbeda dengan antigen polimer yang dipakai Handojo(6) dalam penelitiannya pada TB paru. Perbedaannya hanya terletak pada batch pembuatannya saja, sehingga diharapkan tidak memberikan perbedaan spesifisitas yang bermakna. Reagensia yang dipakai oleh Handojo(6) dalam penelitiannya pada TB paru memang sedikit berbeda dengan reagensia yang dipakai dalam penelitian ini. Bila dalam penelitian pada TB paru, Handojo memakai reagensia buatan Ortho Diagnostic Systems, maka dalam penelitian ini dipakai reagensia buatan Cambridge Research Laboratory. Walaupun demikian, diharapkan tidak terdapat perbedaan yang berarti dalam spesifisitas diagnostik yang didapatkan dalam kedua penelitian tersebut. Hal lain yang mungkin menjadi sebab dari perbedaan tersebut ialah populasi dari sampel yang dipakai dalam kedua penelitian tersebut. Dalam penelitian pada TB paru(6,10), jumlah sampel yang dipakai jauh lebih banyak (120150 orang) dan

jenis penyakit yang diteliti juga lebih luas dibandingkan dengan sampel yang dipakai dalam penelitian ini. Perbedaan-perbedaan tersebutdi atas mungkin menjadi sebab perbedaan spesifisitas diagnostik yang ditemukan pada kedua penelitian tersebut. Berbeda dengan hasil yang diperoleh dalam penelitian ini (sensitivitas 87,5%), Rahardja dan kawan-kawan(11), dengan menggunakan antigen dan reagensia yang sama, mendapatkan sensitivitas uji PAP-TB pada 41 penderita limfadenitis TB di leher yang lebih rendh (85,4%). Walaupun Rahardja memakai hasil pemeriksaan histopatologis sebagai standar emas dalam penelitiannya, namun tidak dirinci dengan jelas jenis kelainan histopatologis yang ditemukan dalam penelitiannya. Sayangnya hanya dilaporkan sebagai histopatologis positif TB atau negatif TB saja. Perlu ditekankan di sini bahwa tidak setiap penderita dengan TB kelenjar memiliki kelainan histopatologis yang spesifik. Salah satu jenis kelainan histopatologis yang tidak spesifik dalam hal ini adalah tuberkel yang tidak mengalami pengejuan (non-caseated tubercle). Patogen yang lain, seperti jamur, dapat juga memberikan kelainan semacam ini. Adanya noncaseated tubercle bersama-sama dengan hasil uji PAP-TB dan kompleks imun TB yang negatif, menunjukkan bahwa tuberkulosis bukan merupakan penyebab dari kelainan tersebut. Sebaliknya, bila hasil pemeriksaan histopatologis kelenjar yang dicurigai negatif (tak ada kelainan yang spesifik), sedangkan uji PAP-TB positif, tak dapat menjamin bahwa penderita tersebut tidak menderita tuberkulosis di lain bagian tubuhnya misalnya di paru (covert TB, hidden TB dan unusual manifestation of pulmonary TB), atau di organ=brgan lain di luar kelenjar yang dicurigai. Uji tuberkulin yang negatif tidak dapat memastikan bahwa penderita tersebut tidak menderita TB, sebab kira-kira 10% dari kasps TB memberi uji tuberkulin yang negatif(12,13). Walaupun spesifisitas dari tes ini cukup tinggi, namun penggunaannya untuk mendeteksi TB di luar paru pada penderita-penderita dengan lepra, khususnya lepra tipe lepromatus (L), tidak dianjurkan. Hasil positif semu dapat dijumpai pada 33,3% dari kasus yang diperiksa(6). Interpretasi hasil uji PAP-TB pada penderita artritis rematoid dengan faktor rematoid positif, perlu dilakukan dengan hatihati, sebab penyakit ini dapat memberikan hasil positif semu pada 12,5% dari kasus yang diperiksa (tabel 2). Di samping itu perlu diingatkan bahwa uji PAP-TB tidak dapat menentukan lokasi dari proses TB di luar paru. Hasil uji PAP-TB yang positif, hanya menunjukkan bahwa dalam tubuh penderita terdapat proses TB yang aktif(14). Dari analisis data yang diperoleh dalam penelitian ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa uji PAP-TB merupakan sarana diagnostik yang andal untuk diagnosis TB di luar paru dengan nilai diagnostik yang menurut kriteria Handojo(6) tergolong tinggi. RINGKASAN Suatu penelitian laboratoris untuk mengevaluasi nilai diagnostik dari uji PAP-TB pada tuberkulosis (TB) di luar paru telah dilakukan terhadap 48 penderita TB di luar paru dan 53

20

penderita bukan TB yang datang berobat di BP4 Malang, beberapa rumah sakit dan pusat kesehatan yang lain di Jawa Timur selama kurun waktu 1989 sampai 1992. Konfirmasi diagnosis dari TB di luar paru dalam penelitian ini dilakukan dengan pemeriksaan histopatologis. Pada sera dari 101 penderita tersebut di atas dilakukan uji PAP-TB dengan metode dari Handojo. Sebagai batas atas titer rujukan dipakai titer 1 : 5000. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini, menunjukkan bahwa untuk diagnosis TB di luar paru, uji PAP-TB memiliki sensitivitas diagnostik sebesar 87,5%, spesifisitas diagnostik sebesar 90,6%, efisiensi diagnostik sebesar 89,1%, nilai ramal positif diagnostik sebesar 89,4% dan nilai ramal negatif sebesar 88,9%. Dari analisis data yang diperoleh dalam penelitian ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa uji PAP-TB merupakan sarana diagnostik yang andal untuk diagnosis TB di luar paru dengan nilai diagnostik yang menurut kriteria Handojo tergolong tinggi.

4. 5.

6. 7. 8. 9. 10. 11.

12. KEPUSTAKAAN 13. 1. 2. 3. Davies PDO. The pathogenesis of tuberculosis. Postgrad Doctor 1984; 4: 23640. Toman K. Tuberculosis case finding and chemotherapy. Questions and answers. Geneve: WHO, 1979. Koneman EW et al. Mycobacteria. In: Diagnostic Microbiology. Third ed. Philadelphia: JB Lippincott Co, 1988: 53570.

14.

Starke JR, Jacobs RF, Jereb J. Resurgence of tuberculosis in children. J. Pediatr. 1992; 120: 83955. Handojo I, Adimasta MR, Handojo R A. Uji imunoperoksidase tak langsung dalam diagnosis penyakit tuberkulosis paru. Naskah lengkap Simposium dan Lokakarya Penanggulangan Penyakit Tuberkulosis Paru secara Terpadu melaiui Pendekatan Imunoepedemiologis, 1984. Handojo I. Uji peroksidase-antiperoksidase (PAP) pada penyakit Tuberkulosis Paru. Surabaya, Indonesia: Universitas Airlangga, 1988. 213 pp. Disertasi. Avrameas S, Ternynck T. Biologically active water insoluble protein polymer. I. Their use for isolation of antigens and antibodies. J Biol Chemistry 1976; 242: 165159. Galen RS. Application of the predictive value model in the analysis of test effectiveness. Clin Laboratory Medicine 1982; 2: 68593. Snider DE. The tuberculin skin test. Am Rev Resp Dis 1982; 125 (Koch centennial supplement): 10818. Handojo I. The clinical value of peroxidase-antiperoxidase (PAP-TB) test in the serodiagnosis of tuberculosis. South-East Asian J Trop Med and Publ Health 1993; In press. Rahardja T, Reksoprawiro S, Marmowinoto RM. Limfadenitis tuberkulosis leher. Uji peroksidase-antiperoksidase tuberkulosis (PAP-TB) dan pemeriksaan histopatologi sebagai sarana diagnostik. Surabaya, Indonesia: Universitas Airlangga, 1992. 32 pp. Karya Akhir. WHO Reg Off for South-East Asia. Tuberculosis control in Indonesia 19521965. Report on WHO Projects: SEARO 0003 and Indonesia 0050, 1968. Handojo RA. Review hasil-hasil penelitian mengenai tuberkulosis paru. Laporan kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Dep. Kes. RI. Balai Pemberantasan Penyakit Pam-paru (BP4), Malang, 1978. Handojo I. Peranan uji peroksidase-antiperoksidase tuberkulosis (PAP-TB) dalam diagnosis dan pemantauan hasil pengobatan tuberkulosis. Dexa Media 1993; 5: 115.

Man's second childhood begins when a woman gets hold of him (J.M. Barrie)

Perbandingan Hasil Uji ELISA-Mikro pada Penderita Tuberkulosis Biakan Positif dan Biakan NegatifAnik Widijanti Instalasi Patologi Klinik RSUD Dr Saiful Anwar/Fakultas Kedokteran Universitas Brawidjaja, Malang

ABSTRAK Penelitian dilakukan pada 61 sera penderita tuberkulosis paru, 35 sera dengan biakan dahak positif dan 26 sera dengan biakan dahak negatif. Pada sera ditentukan kadar IgG spesifiknya terhadap M. tuberculosis dengan cara Elisa mikro. Hasil uji Elisa mikro yang diperoleh menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna antara kadar IgG spesifik pada penderita dengan biakan positif dan biakan negatif (p > 0,05).

PENDAHULUAN Penyakit Tuberkulosis (TB) masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia(1). Berdasarkan program pemberantasan penyakit TB di Indonesia maka pengobatan ditentukan dengan adanya kuman di dalam dahak(2). Hal tersebut berdasar padapertimbangan bahwapemeriksaan dahak mikroskopik yang positif lebih mempunyai arti epidemiologi dibandingkan dengan biakan yang positif. Untuk mendapatkan hasil positif pada pemeriksaan mikroskopik dibutuhkan 500010000 kuman per ml dahak, sedangkan untuk biakan yang positif hanya dibutuhkan 2550 kuman per ml dahako). Pemeriksaan mikroskopik yang positif belum tentu menemukan kuman hidup, tetapi biakan yang positif selalu disebabkan adanya kuman hidup, hanya sayangnya pemeriksaan biakan selain membutuhkan waktu lama (12 bulan) juga relatif lebih mahal(4). Penderita dengan kuman mati (biakan negatif) seharusnya mempunyai kadar IgG spesifik yang berbeda bila dibandingkan dengan penderita dengan kuman hidup (biakan positif). Kadar IgG spesifik terhadap M. tuberculosis sering meningkat sesudah penderita TB mendapatkan pengobatan dan akan normal kembali pada 23 bulan sesudah pengobatan dihentikan,

serta akan meningkat lagi jika terjadi kekambuhan(1). Kadar IgG spesifik terhadap M. tuberculosis dapat ditentukan dengan cara Elisa Mikro. Sensitivitas dan presisi Elisa Mikro lebih buruk dibandingkan dengan Elisa Makro, tetapi Elisa Mikro lebih sesuai untuk jumlah sampel besar (survei). dan harganya lebih murah dari Elisa Makro(5). Dalam penelitian ini akan dibuktikan apakah ada perbedaan hasil Elisa Mikro antara biakan positif dan negatif. MATERIAL DAN METODF, Sampel diambil dari 61 penderita TB Paru dengan kriteria : 1) BTA dahak (mikroskopik) yang positif (Ziehl Nielsen). 2) Kelainan radiologis yang relevan untuk TB Paru. 3) Belum pernah mendapat pengobatan anti TB (wawancara cermat). 4) Keadaan umum baik, tidak menderita penyakit lain. 5) Tidak minum obat yang dapat menekan imunitas Immoral. Pelaksanaan : 1) Dilakukan pemeriksaan biakan dahak. 2) Pemeriksaan kadar IgG dengan cara Elisa Mikro (menurut Kardjito dkk)(5).

22

Ke dalam sumuran polistiren dimasukkan 0,2 ml antigen sitoplasmik dari Mycobacterium tuberculosis var bovis BCG (ultrasonicated) pengenceran 1 : 100 dan diinkubasikan dalam kotak lembab pada 4C selama semalam. Kemudian sumuran polistiren dicuci dengan larutan dapar fosfat salin-tween (PBS tween) sebanyak 3 kali. Sesudah itu ditambahkan 0,2 ml serum (pengenceran 1 : 500) dan diinkubasikan selama 2 jam pada suhu kamar, kemudian dicuci seperti di atas. Berikutnya ditambahkan 0,2 ml konyugat (antihuman IgG berlabel ensim peroksidase) dengan pengenceran 1 : 1000, diinkubasikan semalam pada 4C. Sesudah inkubasi sisanya dibuang dan sumuran dicuci seperti di atas. Selanjutnya dimasukkan 0,2 ml substrat (H202 0,03% dan ABTS), inkubasi 30 menit. Tambahkan 0,050 ml NaF 1 N sebagai larutan penghenti reaksi. Pembacaan dilakukan pada micro Elisa reader dengan panjang gelombang 420 nm(5). Dalam tiap seri pemeriksaan dipakai serum kontrol yang sama, yang juga berguna untuk menghitung CV antar seri (between run) dan dalam 1 seri (intra run). 3) Penentuan batas atas nilai rujukan (cut off) pemeriksaan dilakukan dengan memeriksa 34 perawat sehat, dan dipakai rumus :Cut off = Mean + 2 SD

dilakukan perhitungan cut off sebagai berikut. a) Cut off 40,40% lebih tinggi : 0,279 b) Cut off 40,40% lebih rendah : 0,119 c) Cut off mean + 3 SD : 0,244Tabel 1. = Hasil Elisa Mikro pada penderita TB Paru barn dengan cut off mean + 2 SD Biakan positif Jumlah kasus Mean SD (simpangan baku) Rentangan Cut off f Sensitifitas 35 0,46 0,419 0,035 1,625 0,199 57,14 % Biakan negatif 26 0,371 0,358 0,035 1,36, 0,199 65,38 %

Perbedaan tidak bermakna dengan p > 0,05Tabel 2. Hasil sensitifitas Elisa Mikro dengan berbagai batas atas nilai rujukan (cut off) Dahak positif N=61 81,97 % * 60,65 % $ 52,45 % # 54,09 % # Biakan positif N=35 80,00 % * 57,14 % $ 54,28 % # 54,28 % # Biakan negatif N=26 84,61 % # 65,38 % $ 50,00 % # 53,85 % #

Cut off value 0,119 0,199 0,279 0,244

Nilai cut off dipakai untuk menentukan apakah hasil Elisa mikro positif atau negatif. Nilai absorbance test di atas nilai cut off memberikan hasil positif, sebaliknya nilai absorbance di bawah nilai cut off memberikan hasil tes negatif. 4) Perhitungan CV (koefisien variasi) dari Elisa Mikrodenganrumus : = SD Mean

Keterangan $ cut off = mean + 2 SD (lama) * perbedaan sensitifitas yang bennakna antara cut off baru dan lama (p < 0,05) # perbedaan sensitifitas tidak bermakna antara batas atas nilai rujukan baru dan lama (p > 0,05)

Pengaruh CV terhadap sensitifitas (nilai diagnostik) pemeriksaan ElisaMikro diperbandingkan pada kedua kelompok biakan. 5) Untuk membandingkan kadar IgG spesifik antara 2 kelom pok biakan positif dan negatif dipakai uji statistik Student t(6). 6) Penentuan sensitifitas pemeriksaan dengan rumus := Jumlah penderita dengan Elisa Mikro positif Jumlah penderita Tb dalam penelitian

7) Perbedaan sensitifitas (nilai diagnostik) uji Elisa Mikro dari kedua kelompok biakan positif dan negatif dihitung dengan uji statistik Mc Nemar(7). HASIL 1) Pemeriksaan biakan : 35 positif, 26 negatif. 2) Pemeriksaan Elisa Mikro.pada 34 perawat sehat. Mean (nilai rata-rata) = 0,109 absorbance unit Deviasi Standar (SD) 1 = 0,045 Cut-off pemeriksaan = 0,199 3) CV (koefisien variasi) between run = 40,40% within run = 13,02% 4) Untuk mengetahui pengaruh besarnya CV pemeriksaan terhadap sensitifitas (nilai diagnostik) pada Elisa Mikro, maka

PEMBAHASAN Pada penderita TB yang sudah mendapat pengobatan, kadar IgG spesifiknya akan meningkat dan mencapai puncaknya pada 3 bulan sesudah pengobatan dimulai, kemudian menurun secara perlahan dan mencapai kadar orang normal pada 3 bulan sesudah pengobatan berakhir(1). Pengobatan dapat juga menyebabkan perubahan pengeluaran kuman hidup dalam dahak menjadi kuman mati (dahak mikroskopik positif tetapi biakan negatif). Pada penelitian ini penderitanya adalah penderita baru, tetapi hanya dari wawancara yang cermat, sehingga sering kurang representatif. Hal tersebut terbukti di sini yaitu dari 61 penderita dengan dahak mikroskopik yang positif hanya 35 yang menunjukkan biakan positif. Dari kenyataan di atas maka kadar IgG spesifik pada penderita dengan biakan positif seharusnya berbeda dari penderita dengan biakan negatif (kuman mati), tetapi ternyata hasil penentuan kadar IgG spesifik dengan Elisa Mikro tidak menunjukkan perbedaan bermakna (p > 0,05). Ketidak sesuaian hasil penentuan kadar IgG spesifik pada Elisa Mikro mungkin disebabkan karena : detektabilitas ElisaMikro yang rendah besarnya CV pada Elisa Mikro (between run = 40,40%) jumlah sampel kurang besar Pada Elisa Makro dengan detektabilitas dan sensitifitas yang lebih tinggi, kadar IgG spesifik pada kelompok biakan positif

23

lebih rendah dari pada kelompok biakan negatif (p < 0,05), padahal jumlah dan macam sampelnya sama(8). mempengaruhi hasil sensitifitas (nilai diagnostik)nya. Perbedaan sensitifitas ElisaMikro yang terjadi pada penggunaan cut-off (baru) hanya pada cut-off 40,40% lebih rendah dari cut-off (lama) mean + 2 SD (p < 0,05). Pengaruh CV antar seri terhadap sensitifitas tes tidak terjadi pada Elisa Makro(8).

CV antar seri pemeriksaan Elisa Mikro yang besar jugaKEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. Handojo I. Uji Peroksidase-Antiperoksidase (PAP) pada Penyakit Tuberkulosis Paru (Disertation) Surabaya, Indonesia : Universitas Airlangga Surabaya, 1988. 213 p. Dit Jen P3M Dep Kes RI. Rencana Induk Pemberantasan Penyakit Tuberkulosis Paru di Indonesia. Surabaya : Konggres PPTI ke III September 1984. 4769. Handojo RA. Review Hasil-hasil Penelitian mengenai Tuberkulosis Paru. Laporan kepada Kepala Badan Penelitian & Pengembangan Kesehatan, Dep Kes RI. Balai Pemberantasan Penyakit Paru-paru (BP4) Malang 1978. Koneman EW et al. Color Atlas and Texbook of Diagnostic Microbiology. 3th ed. United States of America: JB Lippincott Co 1988: 53572. Anik W, Handoyo I. Nilai Diagnostik Uji Elisa Makro Pada Penyakit Tuberkulosis Paru (Karya akhir di bagian Patologi Klinik FK) Surabaya, Indonesia : Universitas Airlangga Surabaya, 1990. Sutrisno Hadi. Statistik, jilid 2. 9th ed. Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi UGM Yogyakarta, 1987: 256284. Siegel S. Statistik Non Parametrik untuk llmu-ilmu Sosial. 2nd ed. Gramedia Jakarta Indonesia 1986: 7781. Anik W. Perbedaan hasil uji Elisa Makro pada penyakit Tuberkulosis Paru berdasar biakannya : Poster pada Kongres Nasional IAPI ke Juli 1990 di Surabaya (Indonesia).

KESIMPULAN Pada penentuan kadar IgG spesifik secara Elisa Mikro : 1) Tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara kadar IgG spesifik pada penderita dengan biakan positif (kuman hidup) maupun negatif (kuman mati) (p > 0,05). 2) Pengaruh CV terhadap perubahan sensitifitas pemeriksaan (nilai diagnostik) hanya terjadi pada cut off 40,40% di