18
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Aspirin 2.1.1 Uraian Umum Aspirin (Ditjen POM, 1995) Rumus Bangun : Gambar 2.1 Rumus Bangun Aspirin Rumus Molekul : C 9 H 8 O Berat Molekul : 180,16 4 Pemerian : Hablur putih, umumnya seperti jarum atau lempengan tersusun, atau serbuk hablur putih; tidak berbau atau berbau lemah. Stabil di udara kering; di dalam udara lembab secara bertahap terhidrolisa menjadi asam salisilat dan asam asetat. Kelarutan : Sukar larut dalam air, mudah larut dalam etanol, larut dalam kloroform dan dalam eter. pKa : 3,5. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Chapter

Embed Size (px)

DESCRIPTION

chapter

Citation preview

  • BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Aspirin

    2.1.1 Uraian Umum Aspirin (Ditjen POM, 1995)

    Rumus Bangun :

    Gambar 2.1 Rumus Bangun Aspirin

    Rumus Molekul : C9H8O

    Berat Molekul : 180,16

    4

    Pemerian : Hablur putih, umumnya seperti jarum atau

    lempengan tersusun, atau serbuk hablur putih;

    tidak berbau atau berbau lemah. Stabil di udara

    kering; di dalam udara

    lembab secara bertahap terhidrolisa menjadi asam

    salisilat dan asam asetat.

    Kelarutan : Sukar larut dalam air, mudah larut dalam etanol,

    larut dalam kloroform dan dalam eter.

    pKa : 3,5.

    UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

  • 2.1.2 Farmakologi Aspirin

    Asam asetil salisilat yang lebih dikenal sebagai asetosal atau aspirin adalah

    analgesik, antipiretik, dan anti-inflamasi yang banyak digunakan sebagai

    golongan obat bebas (Wilmana, 1995).

    Dosis oral aspirin untuk memperoleh efek analgesik dan antipiretik pada

    manusia adalah 325 650 mg empat kali sehari,konsentrasi dalam plasmanya 100

    300 mcg/ml. Untuk memperoleh efek antiinflamasi adalah 4 6 gram secara

    oral per hari, dan untuk mendapatkan efek anti agregasi platelet adalah 60 80

    mg sacara oral per hari (Mycek, et al., 2001).

    2.1.2.1 Aspirin Sebagai Anti Inflamasi

    Aspirin menghambat aktivitas siklooksigenase, sehingga aspirin

    mengurangi pembentukan prostaglandin dan juga memodulasi beberapa aspek

    inflamasi pada arthritis, tetapi tidak menghentikan progresivitas penyakit maupun

    menginduksi remisi (Mycek, et al., 2001).

    2.1.2.2 Aspirin Sebagai Analgesik

    Aspirin menghambat sintesa prostaglandin E2

    2.1.2.3 Aspirin Sebagai Antipiretik

    dengan menginhibisi enzim

    siklooksigenase (Mycek, et al., 2001).

    Demam terjadi jika rangsangan pada pusat pengatur panas di hipotalamus

    anterior meningkat. Hal ini dapat disebabkan oleh sintesis PGE2 yang dirangsang

    bila suatu zat penghasil demam endogen (pirogen) seperti sitokin dilepaskan dari

    sel darah putih yang diaktivasi oleh infeksi atau hipersensitivitas. Aspirin

    menurunkan suhu tubuh dengan jalan menghalangi sintesis dan pelepasan PGE2

    (Mycek, et al., 2001).

    UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

  • 2.1.2.4 Aspirin Sebagai Anti Agregasi Platelet

    Tromboksan A2 bersifat vasokonstriktor dan juga merangsang platelet

    menempel di endothelium jaringan yang rusak (adhesi-platelet). Aspirin

    menghambat sintesis tomboksan A2

    2.1.3 Efek Samping Aspirin

    sehingga terjadi penghambatan agregasi

    trombosit dan perpanjangan waktu pendarahan. Efek hemostatik dapat kembali

    normal kira-kira 36 jam setelah pemberian dosis obat yang terakhir. (Mycek, et

    al., 2001).

    a. Saluran cerna : efek aspirin terhadap saluran cerna yang paling umum

    adalah distress epigastrum, mual, dan muntah. Pendarahan mikroskopik saluran

    cerna hamper umum terjadi pada penderita yang mendapatkan pengobatan aspirin.

    Aspirin bersifat asam, pada pH lambung tidak dibebaskan, akibatnya mudah

    menembus sel mukosa dan aspirin mengalami ionisasi (menjadi bermuatan

    negatif), dan terperangkap, jadi berpotensi menyebabkan kerusakan sel secara

    langsung.

    b. Darah : asetilasi irreversibel siklooksigenase trombosit menurunkan kadar

    tomboksan A2

    c. Pernafasan : pada dosis toksis,aspirin menimbulkan depresi pernafasan

    dan suatu kombinasi pernafasan yang tidak terkompensasi dan asidosis metabolic.

    , mengakibatkan penghambatan agregasi trombosit dan

    perpanjangan waktu pendarahan.

    d. Proses metabolik : dosis besar aspirin melepaskan fosforilasi oksidatif.

    Energi yang dikeluarkan untuk menghasilkan ATP secara normal dikeluarkan

    sebagai panas, yang menyebabkan terjadinya hipertemia.

    e. Hipersensitivitas : sekitar 15% pasien yang menggunakan aspirin

    mengalami reaksi hipersensitivitas terutama urtikaria, bronkokonstriksi, atau

    edema angioneutotik (Mycek, et al., 2001).

    UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

  • 2.2 Kapsul

    Kapsul dapat didefinisikan sebagai bentuk sediaan padat, dimana satu

    macam obat atau lebih dan/atau bahan inert lainnya yang dimasukkan ke dalam

    cangkang atau wadah kecil yang dapat larut dalam air. Pada umumnya cangkang

    kapsul terbuat dari gelatin. Tergantung pada formulasinya kapsul dapat berupa

    kapsul gelatin lunak atau keras. Bagaimana pun, gelatin mempunyai beberapa

    kekurangan, seperti mudah mengalami peruraian oleh mikroba bila menjadi

    lembab atau bila disimpan dalam larutan berair (Ansel, 2005).

    Kapsul tidak berasa, mudah pemberiannya, mudah pengisiannya tanpa

    persiapan atau dalam jumlah yang besar secara komersil. Didalam praktek

    peresepan, penggunaan kapsul gelatin keras diperbolehkan sebagai pilihan dalam

    meresepkan obat tunggal atau kombinasi obat pada perhitungan dosis yang

    dianggap baik untuk pasien secara individual. Fleksibilitasnya lebih

    menguntungkan daripada tablet. Beberapa pasien menyatakan lebih mudah

    menelan kapsul daripada tablet, oleh karena itu lebih disukai bentuk kapsul bila

    memungkinkan. Pilihan ini telah mendorong pabrik farmasi untuk memproduksi

    sediaan kapsul dan di pasarkan, walaupun produknya sudah ada dalam bentuk

    sediaan tablet (Gennaro, 2000).

    Stabilitas disolusi dari sediaan kapsul gelatin keras terutama ditentukan

    oleh kandungan uap lembab dari cangkang, yang kemudian dihubungkan dengan

    kondisi penyimpanan. Normalnya cangkang kapsul gelatin mengandung air 13-

    16% dan aman disimpan dengan kelembapan 30-60% kelembapan relatif (KR).

    Kandungan air di bawah 12%, cangkang menjadi rapuh dan mudah pecah. Di atas

    18% uap air, cangkang akan menjadi lembab, lembut dan menyimpang cenderung

    memindahkan lembabnya ke dalam isi kapsul jika isi kapsulnya bersifat

    higroskopik.

    Belakangan ini, beberapa bahan telah diuji untuk menggantikan gelatin

    sebagai bahan untuk pembuatan cangkang kapsul, salah satunya adalah dengan

    alginat. Masalah-masalah dari kapsul gelatin mungkin dapat diatasi oleh kapsul

    alginat. Alginat merupakan polimer -D mannuronic dan -L guluronic yang

    UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

  • diperoleh dari alga coklat (Phaeophyceae) (Belitz, dkk., 1987). Pada penelitian

    sebelumnya diperoleh bahwa cangkang kapsul alginat mengandung kadar air 20-

    25% dan disimpan pada suhu kamar dengan kelembapan relatif 75-90% (Hendra,

    2011).

    Kapsul delayed-release

    Kapsul dapat disalut, atau, lebih umumnya, granul yang dienkaspulasi dapat

    disalut untuk menahan pelepasan obat dalam cairan lambung dimana suatu

    penundaan penting untuk mengurangi masalah yang mungkin terjadi pada

    inaktifasi obat atapun iritasi mukosa lambung. Istilah delayed-release

    digunakan pada monografi Farmakope pada kapsul salut enterik yang ditujukan

    untuk menunda pelepasan dari bahan obat hingga kapsul melewati lambung (USP

    XXXII, 2009).

    2.3 Natrium Alginat

    Natrium alginat merupakan produk pemurnian karbohidrat yang

    diekstraksi dari alga coklat (Phaeophyceae) dengan menggunakan basa lemah.

    Natrium alginat larut dengan lambat dalam air, membentuk larutan kental, tidak

    larut dalam etanol dan eter. Alginat ini diperoleh dari spesies Macrocystis

    pyrifera, Laminaria, Ascophyllum dan Sargassum (Belitz, dkk., 1987).

    Gambar 2.2 Struktur G: - L asam guluronat dan M: - D asam mannuronat

    Gambar 2.3 Struktur Alginat

    UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

  • Asam alginat adalah kopolimer biner yang terdiri dari residu -D-

    mannuronat (M) dan -L-asam guluronat (G) yang tersusun dalam blok-blok yang

    membentuk rantai linear (Grasdalen, dkk., 1979). Kedua unit tersebut berikatan

    pada atom C1 dan C4 dengan susunan homopolimer dari masing-masing residu

    (MM dan GG) dan suatu blok heteropolimer dari dua residu (MG) (Thom, dkk.,

    1980).

    Asam alginat tidak larut dalam air, karena itu yang digunakan dalam

    industri adalah dalam bentuk garam natrium dan garam kalium. Salah satu sifat

    dari natrium alginat adalah mempunyai kemampuan membentuk gel dengan

    penambahan larutan garam-garam kalsium seperti kalsium glukonat, kalsium

    tartrat dan kalsium sitrat (Thom, dkk., 1980). Pembentukan gel alginat dengan ion

    kalsium, disebabkan oleh adanya ikatan silang membentuk khelat antara ion

    kalsium dan anion karboksilat pada blok G-G melalui mekanisme antar rantai.

    Natrium alginat mempunyai rantai poliguluronat menunjukkan sifat pengikatan

    ion kalsium yang lebih besar (Morris, et al., 1980).

    Untuk kepentingan farmasetik digunakan natrium alginat, dimana

    larutannya dalam air bereaksi netral sampai asam lemah. Sediaan alginat paling

    stabil pada daerah pH 6-7, pada pH 4,5 asam bebasnya akan mengendap.

    Pemanasan yang kuat dan lama, terutama >70o

    Di Laboratorium Farmasi Fisik Fakultas Farmasi USU dalam beberapa

    tahun terakhir telah dikembangkan kapsul yang tahan terhadap asam lambung.

    Cangkang kapsul ini dibuat dari natrium alginat dengan kalsium klorida

    menggunakan cetakan. Telah terbukti bahwa cangkang kapsul alginat tahan atau

    tidak pecah dalam cairan lambung buatan (pH 1,2). Kapsul mengembang dan

    pecah dalam cairan usus buatan yaitu pH 4,5 dan pH 6,8 (Bangun, dkk., 2005)

    C dihindari, karena akan

    mengalami kehilangan viskositas akibat terjadinya polimerisasi. Sediaan disimpan

    dingin dan dilindungi dari cahaya dalam wadah tertutup baik (Voight, 1995).

    Utuhnya cangkang kapsul kalsium alginat di dalam medium pH 1,2

    disebabkan komponen penyusun cangkang alginat yaitu kalsium guluronat masih

    utuh, sedangkan pelepasan kalsium kemungkinan berasal dari kalsium yang

    UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

  • terperangkap dalam kapsul dan terikat dengan manuronat saja. Hal itu berarti

    kalsium guluronat yang bertanggung jawab terhadap keutuhan kapsul di dalam

    medium pH 1,2 (Bangun, dkk., 2005).

    Cangkang kapsul kalsium alginat dapat mengembang dan pecah di dalam

    medium pH 4,5 dan 6,8 (cairan usus buatan). Hal ini disebabkan terjadi

    pertukaran ion kalsium dari kalsium alginat (kalsium guluronat) dengan ion

    natrium yang terdapat pada cairan usus buatan, sehingga terbentuk natrium alginat

    (natrium guluronat). Pembentukan natrium alginat pada kapsul dapat

    menyebabkan kapsul bersifat hidrofilik, sehingga mudah menyerap air,

    mengembang dan pecah (Bangun, dkk. 2005).

    2.4 Titanium Dioksida

    Titanium dioksida berwarna putih dan dapat menyebabkan warna menjadi

    opak. Titanium dioksida telah banyak digunakan dalam industri manisan

    (permen), makanan, kosmetik, plastik dan dalam bidang farmasi untuk pembuatan

    sediaan oral dan topikal sebagai pigmen pemutih. Karena indeks bias yang tinggi,

    titanium dioksida mempunyai sifat yang dapat memancarkan cahaya dalam

    penggunaannya sebagai pigmen pemutih atau pengopak (Rowe, dkk., 2003).

    Titanium dioksida merupakan senyawa yang tidak mengiritasi dan tidak

    bersifat toksik. Penelitian yang dilakukan terhadap beberapa spesies hewan,

    termasuk manusia, menunjukkan tidak terjadi penyerapan yang signifikan

    terhadap konsumsi titanium dioksida dan juga tidak tersimpan didalam jaringan

    (Rowe, dkk., 2003).

    Penggunaan titanium dioksida diijinkan sejak tahun 1966 dengan batas 1%

    dari berat badan (Winarno, 1997). Peraturan di Amerika Serikat mengesahkan

    penggunaannya secara umum sebagai warna aditif tidak lebih dari 1 %. Uni Eropa

    juga mengizinkan penggunannya dalam makanan. India membatasi

    penggunaannya dalam permen karet tidak lebih dari 1 % dan untuk minuman

    mengandung buah tidak melebihi 100 mg/kg. Sedangkan di Jepang digunakan

    tanpa batasan dalam makanan (Rowe, dkk., 2003).

    UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

  • Dalam bidang farmasi, titanium dioksida digunakan sebagai zat pemutih

    dalam suspensi salut film, tablet salut gula dan kapsul gelatin. Titanium dioksida

    dapat juga dicampurkan dengan zat warna yang lain (Rowe, dkk., 2003).

    Titanium dioksida sangat stabil pada temperatur tinggi, berwarna

    putih,amorf, tidak berasa dan tidak higroskopis. Tidak larut dalam H2SO4 encer,

    HCL, HNO3 pelarut-pelarut organik dan air, tetapi larut dalam asam hidrofluoric

    dan H2SO4

    2.5 Polimer

    panas (Rowe, dkk., 2003).

    2.5.1 Polietilen Glikol (PEG)

    Nama lain dari basis ini adalah Carbowax, Carbowax Sentry, Lipoxol,

    Lutrol E dan Phenol E (Raymond, 2006). Polietilenglikol merupakan polimer dari

    etilen oksida dan air. Pemberian nomor menunjukan berat molekul rata-rata dari

    masing-masing polimer. Polietilenglikol yang memiliki berat rata-rata 200, 400,

    dan 600 berupa cairan bening tidak berwarna dan yang memiliki berat molekul

    rata-rata lebih dari 1000 berupa lilin putih, padat, dan kepadatannya bertambah

    dengan bertambahnya berat molekul. Polietilenglikol memiliki beberapa

    keuntungan karena sifatnya yang inert, tidak mudah terhidrolisis, tidak membantu

    pertumbuhan jamur dan dapat dikombinasikan berdasarkan bobot molekulnya

    sehingga didapatkan suatu basis supositoria yang dikehendaki (Rowe, dkk., 2003).

    Polietilenglikol 400 adalah polietilenglikol H(O-CH2-CH2)n OH dimana

    harga n antara 8,2 dan 9,1.Pemerian : cairan kental jernih, tidak berwarna atau

    praktis tidak berwarna,bau khas lemah, agak higroskopik. Kelarutan : larut dalam

    air, dalam etanol (95%) P, dalam aseton P, dalam glikol lain dan dalam

    hidrokarbon aromatik, praktis tidak larut dalam eter P dan dalam hidrokarbon

    alifatik. Bobot molekul rata-rata : 380-420, Kandungan Lembab : Sangat

    higroskopis walaupun higroskopis turun dengan meningkatnya bobot molekul,

    titik beku 4-8 0

    Salah satu polimer yang umum digunakan pada pembuatan dispersi padat

    adalah polietilen glikol (PEG). Polietilenglikol (PEG) disebut juga makrogol,

    C (Rowe, dkk., 2003).

    UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

  • merupakan polimer sintetik dari oksietilen dengan rumusstruktur

    H(OCH2CH2)nOH, dimana n adalah jumlah rata-rata gugus oksietilen. PEG

    umumnya memiliki bobot molekul antara 200300000. Penamaan PEG umumnya

    ditentukan dengan bilangan yang menunjukkan bobot molekul rata-rata.

    Konsistensinya sangat dipengaruhi oleh bobot molekul. PEG dengan bobot

    molekul 200-600 (PEG 200-600) berbentuk cair, PEG 1500 semi padat, dan PEG

    3000-20000 atau lebih berupa padatan semi kristalin, dan PEG dengan bobot

    molekul lebih besar dari 100000 berbentuk seperti resin pada suhu kamar.

    Umumnya PEG dengan bobot molekul 1500-20000 yang digunakan untuk

    pembuatan dispersi padat (Leuner and Dressman, 2000; Weller, 2003). Polimer

    ini mudah larut dalam berbagai pelarut, titik leleh dan toksisitasnya rendah,

    berada dalam bentuk semi kristalin (Craig, 1990). Kebanyakan PEG yang

    digunakan memiliki bobot molekul antara 4000 dan 20000, khususnya PEG 4000

    dan 6000. Proses pembuatan dispersi padat dengan PEG 4000, umumnya

    menggunakan metode peleburan, karena lebih mudah dan murah (Rowe, dkk.,

    2003).

    PEG (polietilen glikol) merupakan salah satu jenis bahan pembawa yang

    sering digunakan sebagai bahan tambahan dalam suatu formulasi untuk

    meningkatkan pelarutan obat yang sukar larut. Bahan ini merupakan salah satu

    jenis polimer yang dapat membentuk komplek polimer pada molekul organik

    apabila ditambahkan dalam formulasi untuk meningkatkan kecepatan pelarutan

    yang dapat membentuk komplek dengan berbagai obat. Cangkang kapsul dengan

    menggunakan basis polietilenglikol memiliki beberapa keuntungan karena

    sifatnya yang inert, tidak mudah terhidrolisis, tidak membantu pertumbuhan jamur

    (Martin, 1993).

    2.6 Stabilitas Fisik Cangkang Kapsul Gelatin dan HPMC

    2.6.1 Warna

    Warna, merupakan salah satu aspek yang mempengaruhi penilaian

    konsumen terhadap kualitas produk. Warna suatu bahan dapat berasal dari warna

    alamiahnya atau warna yang terjadi selama proses pengolahannya (Morales dan

    van Boekoel, 1998).

    UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

  • Temperatur dan kadar uap air yang relatif tinggi selama proses

    pengolahan dan penyimpanan yang berkepanjangan merupakan salah satu faktor

    utama yang menyebabkan terjadinya reaksi pengcoklatan (enzimatik dan non-

    enzimatik) (Labuza, 1972).

    Reaksi pengcoklatan adalah suatu reaksi dimana suatu bahan berubah

    menjadi coklat, baik melalui proses enzimatik maupun non-enzimatik.

    Pengcoklatan enzimatik ini melibatkan polifenol oksidase atau enzim lain yang

    menghasilkan melanin, sehingga menimbulkan warna coklat. Sedangkan

    pengcoklatan non-enzimatik dapat menimbulkan warna coklat tanpa adanya

    aktivitas enzim (Marshall, dkk., 2000).

    Ogura dkk (1998) mengisi cangkang kapsul gelatin dan HPMC dengan

    asam askorbat dan membungkusnya dalam botol polietilen tanpa desikan dan

    menyimpannya pada suu 400

    Reaksi Maillard merupakan suatu reaksi kimia pengcoklatan non-

    enzimatik antara gula pereduksi dengan protein atau asam amino. Tergantung

    pada jenis bahan dan jalannya reaksi, perubahan warna yang terjadi bisa dari

    kuning lemah sampai coklat gelap. Banyak faktor yang mempengaruhi reaksi

    Maillard, seperti temperatur, aktivitas air, pH, kadar uap air dan komposisi kimia

    suatu bahan (Morales, dkk., 1998).

    C/RH 75% selama 2 bulan. Cangkang kapsul gelatin

    menjadi berwarna coklat, sedangkan cangkang kapsul HPMC tidak mengalami

    perubahan warna. Hal ini menandakan bahwa perubahan warna yang terjadi

    merupakan reaksi antara asam askorbat dan cangkang kapsul gelatin (dikenal

    dengan reaksi Maillard) (Honkanen, 2004).

    2.6.2 Kerapuhan Perlu diketahui bahwa cangkang kapsul bukan tidak reaktif, secara fisika

    atau kimia. Perubahan kondisi penyimpanan seperti temperatur dan kelembaban

    dapat mempengaruhi sifat kapsul. Dengan terjadinya kenaikan temperatur dan

    kelembaban dapat menyebabkan kapsul mengikat/melepaskan uap air. Sebagai

    akibatnya kapsul dapat menjadi rapuh atau lunak (Margareth, dkk., 2009).

    UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

  • Laju pengeringan kapsul juga mempengaruhi kekerasan dan kerapuhan

    kapsul, kemampuan pelarutan, dan kecenderungan untuk melekat satu sama lain..

    Kadar uap air yang rendah pada kapsul dapat menghambat pertumbuhan mikroba.

    Jika kadar uap air pada kapsul gelatin kurang dari 10%, kapsul cenderung menjadi

    rapuh, dan sebaliknya jika kadar air lebih tinggi dari 18% kapsul gelatin melunak.

    Kondisi penyimpanan yang direkomendasikan untuk bentuk sediaan kapsul

    gelatin berkisar 15-300

    Perubahan kerapuhan kapsul oleh kelembaban relatif telah dipelajari oleh

    Kontny dan Mulski. Pemantauan terhadap karakteristik kapsul yang disimpan

    pada kelembaban yang bervariasi membuktikan bahwa kelembaban merupakan

    salah satu parameter yang penting dalam pembuatan dan penyimpanan kapsul.

    Kriteria yang diterima bahwa kerapuhan kapsul yang signifikan tidak boleh

    terdeteksi pada kapsul yang disimpan pada kelembaban relatif 30% dan 50%

    selama 4 minggu (Kontny dan Mulski, 1989

    C dan 30%-60% kelembaban relatif (RH). (Margareth,

    dkk., 2009).

    Gambar 2.5 Kelembaban Relatif (RH), Kandungan Uap Air Gelatin dan Sifat Kapsul Gelatin Keras (Kontny dan Mulski, 1989).

    UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

  • 2.6.3 Waktu Hancur

    Chiwele dkk. (2000) telah meneliti mengenai waktu hancur cangkang

    kapsul gelatin kosong dan kapsul HPMC (Hydroxypropyl Methylcellulose) setelah

    penyimpanan selama 24 jam pada kondisi tropis lembab (suhu 370

    Hasil ini tidak jauh berbeda dengan yang dilaporkan Ogura (1998) bahwa

    cangkang kapsul HPMC yang telah diisi dengan spiramisin dan disimpan pada

    suhu 60

    C, RH 75%)

    dan pada temperatur kamar. Dalam metode ini, mereka menggunakan bola besi

    sebagai bahan pengisi dalam kapsul. Pada penyimpanan kondisi tropis lembab,

    cangkang kapsul gelatin tidak mengalami perubahan waktu hancur dalam medium

    apapun, sedangkan waktu hancur kapsul HPMC tidak berubah hanya dalam

    medium cairan lambung buatan (Honkanen, 2004).

    0

    C, RH 75% selama 10 hari tidak mengalami perubahan sifat waktu

    hancur. Tetapi, mereka menggunakan prosedur standar uji waktu hancur dalam

    farmakope, yang tidak dapat menentukan waktu hancur cangkang kapsul dan

    bahan obat secara terpisah. Sedangkan dalam metode yang digunakan Chiwele

    dkk. (2000), bola besi yang digunakan tidak mempengaruhi waktu hancur

    (Honkanen, 2004).

    2.7 Viskositas Viskositas adalah suatu sifat dari cairan yang lebih bertahan untuk

    mengalir. Viskositas dapat dianggap sebagai suatu sifat yang relatif dengan air

    sebagai bahan rujukan dan semua viskositas dinyatakan dalam istilah-istilah

    viskositas air murni pada suhu 200

    C. Viskositas air dianggap satu centipoise

    (sebenarnya 1,008 centipoise). Suatu bahan cair yang 10 kali kental (viscous)

    dengan suhu yang sama viskositasnya sama dengan 10 centipoise. Singkatan

    centipoise cp (dan jamaknya cps) merupakan istilah yang lebih sesuai dari pada

    unit dasar satu poise sama dengan 100 centipoise (Ansel, 2005). Makin kental

    suatu cairan, makin besar kekuatan yang diperlukan agar cairan tersebut mengalir

    dengan laju tertentu (Martin, 1993).

    UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

  • 2.8 Studi Stabilitas

    Waktu nyata dan studi dipercepat dilaksanakan pada bets primer atau bets

    yang ditetapkan sesuai protocol uji stabilitas untuk menetapkan atau memastikan

    masa uji ulang dari suatu zat aktif dengan masa simpan atau edar suatu produk.

    2.8.1 Uji Dipercepat

    Studi didesain untuk meningkatkan derajat degradasi kimiawi atau

    perubahan fisis dari zat aktif atau produk dengan menggunakan kondisi

    penyimpanan berlebihan sebagai bagian dari studi stabilitas formal. Data yang

    diperoleh dari studi ini, dapat digunakan untuk menilai efek kimiawi jangka

    panjang pada kondisi yang tidak dipercepat. Uji dipercepat dilakukan selama 3-6

    bulan.

    2.8.2 Pengujian Jangka Panjang atau Waktu Nyata.

    Pengujian jangka panjang biasanya dilaksakan setiap 3 bulan selama tahun

    pertama, setiap 6 bulan selama tahun ke 2 dan selanjutnya tiap tahun selama masa

    simpan atau edar pada paling sedikit 3 bets primer. Studi stabilitas lanjutan atau

    jangka panjang dilakukan selama 3, 6, 9, 12, 18, 24, 36 dan seterusnya akan

    dilaksanakan sesuai panduan uji stabilitas setempat dan ASEAN.

    2.8.3 Pengujian Pasca Pemasaran

    Studi stabilitas hendaknya dilakukan tiap tahun terhadap produk yang

    dipasarkan. Studi tersebut hendaknya dilaksanakan pada 1 bets dari tiap

    produk/tahun dan meliputi paling sedikit selama 12 bulan untuk jangka waktu

    yang cukup mencakup masa simpan/edar yang diusulkan (Balai POM, 2009).

    2.9 Pengujian Stabilitas

    Parameter pengujian stabilitas adalah :

    a. Pemerian

    b. Identifikasi sesuai dengan monografinya

    c. Uji disolusi

    d. Kadar bahan aktif

    UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

  • e. Degradasi

    Sebagai contoh, untuk sediaan tablet parameter pemeriksaan selama proses

    yang dapat dikurangi antara lain keseragaman bobot, kekerasan, kerenyahan dan

    waktu hancur (Balai POM, 2009)

    2.9.1 Warna

    Warna merupakan salah satu aspek yang mempengaruhi penilaian

    konsumen terhadap kualitas produk. Stabilitas formulasi obat dapat dideteksi

    dalam beberapa hal dengan suatu perubahan fisik, warna, bau dan tekstur dari

    formulasi tersebut. Temperatur, pH, kekuatan ion, intensitas cahaya dapat

    mempengaruhi perubahan kestabilan pada obat (Ansel, 2005).

    2.9.2 Kerapuhan

    Perlu diketahui bahwa cangkang kapsul bukan tidak reaktif, secara fisika

    atau kimia. Perubahan kondisi penyimpanan seperti temperatur dan kelembaban

    dapat mempengaruhi sifat kapsul. Dengan terjadinya kenaikan temperatur dan

    kelembaban dapat menyebabkan kapsul mengikat atau melepaskan uap air.

    Sebagai akibatnya kapsul dapat menjadi rapuh atau lunak (Margareth, dkk., 2009).

    Laju pengeringan kapsul juga mempengaruhi kekerasan dan kerapuhan

    kapsul, kemampuan pelarutan, dan kecenderungan untuk melekat satu sama lain.

    Kadar air yang rendah pada kapsul dapat menghambat pertumbuhan mikroba. Jika

    kadar air pada kapsul kurang dari 10%, kapsul cenderung menjadi rapuh, dan

    sebaliknya jika kadar air lebih tinggi dari 18% kapsul melunak. Kondisi

    penyimpanan yang direkomendasikan untuk bentuk sediaan kapsul berkisar 15-

    300

    Perubahan kerapuhan kapsul oleh kelembaban relatif telah dipelajari oleh

    Kontny dan Mulski. Pemantauan terhadap karakteristik kapsul yang disimpan

    pada kelembaban yang bervariasi membuktikan bahwa kelembaban merupakan

    salah satu parameter yang penting dalam pembuatan dan penyimpanan kapsul.

    Kriteria yang diterima bahwa kerapuhan kapsul yang signifikan tidak boleh

    C dan 30%-60% kelembaban relatif (RH) (Margareth, dkk., 2009).

    UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

  • terdeteksi pada kapsul yang disimpan pada kelembaban relatif 30% dan 50%

    selama 4 minggu (Kontny dan Mulski, 1989).

    2.9.3 Disolusi

    Proses melarutnya suatu obat disebut disolusi (Ansel, 1989). Uji disolusi

    yaitu uji pelarutan invitro mengukur laju dan jumlah pelarutan obat dalam suatu

    media aqueous dengan adanya satu atau lebih bahan tambahan yang terkandung

    dalam produk obat. Pelarutan obat merupakan bagian penting sebelum kondisi

    absorbsi sistemik (Shargel dan Andrew, 1988).

    Faktor-faktor yang mempengaruhi disolusi dibagi atas 3 kategori yaitu:

    a. Faktor-faktor yang berhubungan dengan sifat fisikokimia obat, meliputi:

    i. Efek kelarutan obat. Kelarutan obat dalam air merupakan faktor utama

    dalam menentukan laju disolusi. Kelarutan yang besar menghasilkan laju

    disolusi yang cepat.

    ii. Efek ukuran partikel. Ukuran partikel berkurang dapat memperbesar luas

    permukaan obat yang berhubungan dengan medium, sehingga laju

    disolusi meningkat.

    b. Faktor-faktor yang berhubungan dengan sediaan obat, meliputi:

    i. Efek formulasi. Laju disolusi suatu bahan obat dapat dipengaruhi bila

    dicampur dengan bahan tambahan. Bahan pengisi, pengikat dan

    penghancur yang bersifat hidrofil dapat memberikan sifat hidrofil pada

    bahan obat yang hidrofob, oleh karena itu disolusi bertambah,

    sedangkan bahan tambahan yang hidrofob dapat mengurangi laju

    disolusi.

    ii. Efek faktor pembuatan sediaan. Metode granulasi dapat mempercepat

    laju disolusi obat-obat yang kurang larut. Penggunaan bahan pengisi

    yang bersifat hidrofil seperti laktosa dapat menambah hidrofilisitas

    bahan aktif dan menambah laju disolusi.

    c. Faktor-faktor yang berhubungan dengan uji disolusi, meliputi :

    UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

  • i. Tegangan permukaan medium disolusi. Tegangan permukaan

    mempunyai pengaruh nyata terhadap laju disolusi bahan obat. Surfaktan

    dapat menurunkan sudut kontak, oleh karena itu dapat meningkatkan

    proses penetrasi medium disolusi ke matriks. Formulasi tablet dan

    kapsul konvensional juga menunjukkan penambahan laju disolusi obat-

    obat yang sukar larut dengan penambahan surfaktan kedalam medium

    disolusi.

    ii. Viskositas medium. Semakin tinggi viskositas medium, semakin kecil

    laju disolusi bahan obat.

    iii. pH medium disolusi. Larutan asam cenderung memecah tablet sedikit

    lebih cepat dibandingkan dengan air, oleh karena itu mempercepat laju

    disolusi (Gennaro, 2000). Obat-obat asam lemah disolusinya kecil

    dalam medium asam, karena bersifat nonionik, tetapi disolusinya besar

    pada medium basa karena terionisasi dan pembentukan garam yang

    larut (Martin, dkk., 1993).

    United States Pharmacopeia (USP) XXXII memberi beberapa metode

    resmi untuk melaksanakan uji pelarutan yaitu:

    a. Metode Keranjang (Basket )

    Metode keranjang terdiri atas keranjang silindrik yang ditahan oleh

    tangkai motor. Keranjang menahan cuplikan dan berputar dalam suatu labu bulat

    yang berisi media pelarutan. Keseluruhan labu tercelup dalam suatu bak yang

    bersuhu konstan 37o

    b. Metode Dayung (Paddle)

    C. Kecepatan berputar dan posisi keranjang harus memenuhi

    rangkaian syarat khusus dalam USP yang terakhir beredar. Tersedia standar

    kalibrasi pelarutan untuk meyakinkan bahwa syarat secara mekanik dan syarat

    operasi telah dipenuhi.

    Metode dayung terdiri atas suatu dayung yang dilapisi khusus, yang

    berfungsi memperkecil turbulensi yang disebabkan oleh pengadukan. Dayung

    diikat secara vertikal ke suatu motor yang berputar dengan suatu kecepatan yang

    terkendali. Tablet atau kapsul diletakkan dalam labu pelarutan yang beralas bulat

    yang juga berfungsi untuk memperkecil turbulensi dari media pelarutan. Alat

    UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

  • ditempatkan dalam suatu bak air yang bersuhu konstan, seperti pada metode

    basket dipertahankan pada 37o

    c. Metode Disintegrasi yang Dimodifikasi

    C. Posisi dan kesejajaran dayung ditetapkan dalam

    USP. Metode dayung sangat peka terhadap kemiringan dayung. Pada beberapa

    produk obat, kesejajaran dayung yang tidak tepat secara drastis dapat

    mempengaruhi hasil pelarutan. Standar kalibrasi pelarutan yang sama digunakan

    untuk memeriksa peralatan sebelum uji dilaksanakan.

    Metode ini dasarnya memakai disintegrasi USP basket and rack dirakit

    untuk uji pelarutan. Bila alat ini dipakai untuk pelarutan maka cakram

    dihilangkan. Saringan keranjang juga diubah sehingga selama pelarutan partikel

    tidak akan jatuh melalui saringan. Metode ini jarang digunakan dan dimasukkan

    dalam USP untuk suatu formulasi obat lama. Jumlah pengadukan dan getaran

    membuat metode ini kurang sesuai untuk uji pelarutan yang tepat (Shargel dan

    Andrew, 1988).

    2.10 Pengemasan

    Pengemasan berperan untuk melindungi pindahnya kelembapan dari

    lingkungan luar terhadap kandungan produk dan melindungi produk dari oksidasi

    dan cahaya. Pengemasan dapat berupa bahan kertas, botol kaca, foil blister, dan

    lain-lain. Hubungan antara kondisi penyimpanan dan variabel pengemasan pada

    stabilitas disolusi produk dipengaruhi oleh sifat-sifat bahan pengemasnya

    mengenai ketahanan terhadap kelembapan. Misalnya sediaan tablet salut enterik

    yang dibungkus dengan kertas kurang stabil dari sudut pandang sifat-sifat disolusi

    sedangkan yang disimpan dalam botol kaca tidak mempengaruhi laju disolusi

    walaupun terpapar suhu 40oC, RH 75% atau 50oC, RH 50% selama 40 hari. Dari

    penelitian lain juga disebutkan bahwa tablet yang disimpan di foil blister lebih

    terlindungi dibandingkan sampel yang dikemas dalam polivinilklorida/polietilen

    menunjukkan perlambatan laju disolusi. Pada studi mengatakan bahwa ibuprofen

    dalam kapsul gelatin keras disimpan pada suhu dan kelembapan tinggi dengan

    atau tanpa cahaya. Ternyata laju disolusi mengalami perlambatan ketika terkena

    cahaya pada kondisi dipercepat (Dey, 1993).

    UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

  • Pada penelitian sebelumnya dilakukan pengujian stabilitas kapsul alginat

    yang disimpat dalam botol dan ditambahkan silika gel, diperoleh hasil bahwa

    kapsul alginat tidak stabil, ditandai dengan adanya perubahan warna pada

    cangkang kapsul, yaitu menjadi warna coklat (Hendra, 2011).

    2.11 Pengukuran Hasil Disolusi Aspirin Menggunakan Spektrofotometer

    UV

    Spektrofotometri serapan adalah pengukuran serapan radiasi elektromagnit

    panjang gelombang tertentu yang sempit, mendekati monokromatik yang diserap

    zat. Pengukuran serapan dapat dilakukan pada daerah ultraviolet (panjang

    gelombang 200 nm-400 nm).

    Penetapan kadar Aspirin bisa dilakukan dengan Spektrofotometri UV,

    High Perfomance Liquid Chromatography (HPLC), Infra-red Spectrum dan

    Massa Spectrum. Untuk Uji disolusi Aspirin menggunakan spekrofotomertri UV

    dengan panjang gelombang pada suasana asam yaitu 237,0 nm dan suasana basa

    yaitu 275,0 nm (Moffats, 2005).

    Disolusi Aspirin kapsul delayed-release, dalam medium HCl 0,1 N

    sebanyak 900 ml, menggunakan metode dayung dengan kecepatan 100 rpm

    selama 2 jam. Selanjutnya diganti dengan medium dapar posfat pH 6,8 sebanyak

    900 ml, menggunakan metode dayung dengan kecepatan pengadukan 100 rpm

    selama 90 menit dihitung jumlah terlarut Aspirin yang terlarut dengan

    menggunakan spektrofotometer UV (USP XXXII, 2009).

    UNIVERSITAS SUMATERA UTARA