Upload
siti-hardiyanti
View
122
Download
6
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Bedah
Citation preview
REFLEKSI KASUS
CHOLELITHIASIS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. SA
Umur : 46 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
B. PEMERIKSAAN
Os datang dengan keluhan muntah-muntah ke RS dengan keluhan muntah-muntah
sejak 1 minggu sebelumnya. Pasien juga mengeluh demam, menggigil (-), berkeringat
banyak, pusing, lemes, nyeri ulu hati dan nyeri perut kanan atas. Nyeri datang tidak
menentu dan berkurang setelah makan namun tidak selalu, terkadang nyeri dirasakan
memberat hingga pasien diberi suntik analgetik. Dari pemeriksaan fisik didapatkan
murphy’s sign (+), sklera ikterik. Hasil USG menunjukkan cholelithiasis.
C. PEMBAHASAN
Pada pembahasan refleksi kasus ini akan dibahas tentang penegakan diagnosis
cholelithiasis.
1. Definisi
Cholelithiasis (kalkuli/kalkulus, batu empedu) merupakan suatu keadaan dimana
terdapatnya batu empedu di dalam kandung empedu (vesica fellea) yang memiliki
ukuran, bentuk dan komposisi yang bervariasi. Cholelithiasis lebih sering dijumpai
pada individu berusia diatas 40 tahun terutama pada wanita dikarenakan memiliki
factor resiko,yaitu: obesitas, usia lanjut, diet tinggi lemak dan genetik.
2. ANATOMI DAN FISIOLOGI
Kandung empedu (Vesica fellea) adalah kantong berbentuk buah pear yang terletak
pada permukaan visceral hepar, panjangnya sekitar 7 – 10 cm. Kapasitasnya sekitar
30-50 cc dan dalam keadaan terobstruksi dapat menggembung sampai 300 cc.
Vesica fellea dibagi menjadi fundus, corpus dan collum. Fundus berbentuk bulat
dan biasanya menonjol dibawah pinggir inferior hepar yang dimana fundus
berhubungan dengan dinding anterior abdomen setinggi ujung rawan costa IX
kanan. Corpus bersentuhan dengan permukaan visceral hati dan arahnya keatas,
belakang dan kiri. Collum dilanjutkan sebagai duktus cysticus yang berjalan dalam
omentum minus untuk bersatu dengan sisi kanan ductus hepaticus comunis
membentuk duktus koledokus. Peritoneum mengelilingi fundus vesica fellea
dengan sempurna menghubungkan corpus dan collum dengan permukaan visceral
hati.
Pembuluh arteri kandung empedu adalah arteri cystica, cabang arteri hepatica
kanan. Vena cystica mengalirkan darah lengsung kedalam vena porta. Sejumlah
arteri yang sangat kecil dan vena – vena juga berjalan antara hati dan kandung
empedu. Pembuluh limfe berjalan menuju ke nodi lymphatici cysticae yang
terletak dekat collum vesica fellea. Dari sini, pembuluh limfe berjalan melalui nodi
lymphatici hepaticum sepanjang perjalanan arteri hepatica menuju ke nodi
lymphatici coeliacus. Saraf yang menuju kekandung empedu berasal dari plexus
coeliacus.
Gambar 1. Anatomi vesica fellea.
Vesica fellea berperan sebagai resevoir empedu dengan kapasitas sekitar 50 ml.
Vesica fellea mempunya kemampuan memekatkan empedu. Dan untuk membantu
proses ini, mukosanya mempunyai lipatan-lipatan permanen yang satu sama lain
saling berhubungan. Sehingga permukaanya tampak seperti sarang tawon. Sel- sel
thorak yang membatasinya juga mempunyai banyak mikrovilli. Empedu dibentuk
oleh sel-sel hati ditampung di dalam kanalikuli. Kemudian disalurkan ke duktus
biliaris terminalis yang terletak di dalam septum interlobaris. Saluran ini kemudian
keluar dari hati sebagai duktus hepatikus kanan dan kiri. Kemudian keduanya
membentuk duktus biliaris komunis. Pada saluran ini sebelum mencapai doudenum
terdapat cabang ke kandung empedu yaitu duktus sistikus yang berfungsi sebagai
tempat penyimpanan empedu sebelum disalurkan ke duodenum.
Pengosongan Kandung Empedu
Empedu dialirkan sebagai akibat kontraksi dan pengosongan parsial kandung
empedu. Mekanisme ini diawali dengan masuknya makanan berlemak kedalam
duodenum. Lemak menyebabkan pengeluaran hormon kolesistokinin dari mukosa
duodenum, hormon kemudian masuk kedalam darah, menyebabkan kandung
empedu berkontraksi. Pada saat yang sama, otot polos yang terletak pada ujung
distal duktus coledokus dan ampula relaksasi, sehingga memungkinkan masuknya
empedu yang kental ke dalam duodenum. Garam – garam empedu dalam cairan
empedu penting untuk emulsifikasi lemak dalam usus halus dan membantu
pencernaan dan absorbsi lemak. Proses koordinasi kedua aktifitas ini disebabkan
oleh dua hal yaitu:
a. Hormonal: Zat lemak yang terdapat pada makanan setelah sampai duodenum
akan merangsang mukosa sehingga hormon Cholecystokinin akan terlepas.
Hormon ini yang paling besar peranannya dalam kontraksi kandung empedu.
b. Neurogen:
Stimulasi vagal yang berhubungan dengan fase Cephalik dari sekresi
cairan lambung atau dengan refleks intestino-intestinal akan
menyebabkan kontraksi dari kandung empedu.
Rangsangan langsung dari makanan yang masuk sampai ke duodenum
dan mengenai Sphincter Oddi. Sehingga pada keadaan dimana kandung
empedu lumpuh, cairan empedu akan tetap keluar walaupun sedikit.
Etiologi
Batu empedu kolesterol, pigmen hitam dan coklat memiliki patogenesis dan faktor
resiko yang berbeda. Di Amerika Serikat, batu kolesterol hampir 75% sampai 80% dari
semua cholelithiasis. Batu kolesterol mengandung 50-90% kolesterol dari total berat badan.
Dari analisis beberapa batu, ada yang miskin kolesterol. Garam kalsium pigmen bilirubin,
karbonat dan protein terkandung dalam batu. Faktor resiko pembentukan batu empedu
meliputi obesitas, penurunan berat badan mendadak, trauma tulang belakang, jenis kelamin
wanita lebih beresiko, paritas dan penggunaan estrogen. Batu pigmen dikategorikan batu
hitam dan coklat tergantung komposisi kimia dan penampakan batu. Batu ini juga dibedakan
berdasarkan patogenesis dan manifestasi klinisnya.
Tiga faktor utama dalam pembentukan batu kolesterol antara lain perubahan komposisi
empedu hepar, pembentukan inti kolesterol dan gangguan fungsi kandung empedu.
Peranan infeksi – walaupun infeksi dikatakan menjadi faktor penting dalam pembentukan
batu kolesterol, DNA bakteri ditemukan dalam batu ini. Secara konsep, bakteri mungkin
terdekonjugasi dalam garam empedu selama absorpsi dan penurunan kelarutan kolesterol.
Infeksi bilier berperan dalam pembentukan batu pigmen coklat, mayoritas mengandung
bakteri pada pemeriksaan dengan mikroskop elektron.
Umur – peningkatan prevalensi cholelithiasis secara bermakna tiap tahunnya, kemungkinan
peningkatan isi kolesterol dalam empedu. Pada umur 75 tahun, 20% laki-laki dan 35% wanita
memiliki cholelithiasis. Cholelithiasis kedua batu pigmen dan tipe kolesterol sudah
dilaporkan pada anak.
Genetik – pasien dengan cholelithiasis secara relatif frekuensi batu meningkat dua sampai
empat kali, tidak tergantung pada umur, berat badan dan diet mereka. Alel apoE4 lipoprotein
E memiliki predisposisi pembentukan batu kolesterol. Frekuensi apoE4 lebih tinggi pada
pasien dengan riwayat kolesistektomi dibandingkan penderita tanpa batu empedu. Adanya
apoE4 memiliki prediksi kekambuhan batu secara cepat setelah litotripsi. Mekanisme ini
masih belum jelas walaupun apolipoprotein E mungkin memainkan peranan absorpsi lipid
diet, transport dan distribusi ke jaringan. ApoE4 tidak dihubungkan dengan pembentukan
cholelithiasis baru selama kehamilan.
Obesitas – sindrom metabolik pada obesitas, resistensi insulin, diabetes mellitus tipe II,
hipertensi dan hiperlipidemia erat kaitannya dengan peningkatan sekresi kolesterol hepar dan
merupakan faktor resiko pembentukan batu kolesterol. Biasanya terjadi pada wanita dengan
umur kurang dari 50 tahun. Obesitas erat kaitannya dengan peningkatan sintesis kolesterol.
Tidak ada perubahan yang konsisten pada volume kandung empedu post prandial. Pola
makan (2100 kJ per hari) bisa menghasilkan cairan empedu dan pembentukan batu empedu
simtomatis pada individu dengan obesitas. Sejumlah kecil lemak dalam diet untuk menjaga
pengosongan kandung empedu dapat menurunkan resiko pembentukan batu empedu.
Diet – peningkatan diet kolesterol meningkatkan kolesterol empedu tetapi tidak ada data
epidemiologi dan pola makan yang memaparkan asupan kolesterol dengan cholelithiasis.
Sirosis hepatis – sekitar 30% pasien sirosis menderita cholelithiasis. Resiko pembentukan
cholelithiasis sangat berhubungan kuat dengan sirosis Child’s grade C dan sirosis alkoholik
dengan insiden tiap tahunnya 5%. Mekanismenya masih belum jelas. Semua pasien dengan
penyakit hepatoseluler menunjukkan derajat hemolisis yang bervariasi. Walaupun sekresi
asam empedu menurun, batu yang terbentuk biasanya merupakan batu pigmen hitam.
Phospolipid dan sekresi kolesterol juga menurun sehingga empedu tidak tersaturasi.
Tipe dan Komposisi Batu Empedu
Secara normal, empedu terdiri atas 70% garam empedu (terutama cholic dan asam
chenodeoxycholic), 22% pospholipid (lechitin), 4% kolesterol, 3% protein dan 0,3%
bilirubin. Terdapat tiga tipe utama batu empedu antara lain batu kolesterol, pigmen hitam dan
pigmen coklat. Di negara barat lebih banyak ditemukan batu kolesterol. Walaupun batu ini
predominan terdiri atas kolesterol (51-99%), diantara semua tipe, memiliki komponen
kompleks dan mengandung proporsi yang bervariasi dari kalsium karbonat, fosfat,
bilirubinate, dan palmitat, fospolifid, glikoprotein dan mukopolisakarida. Batu pigmen hitam
terdiri atas 70% kalsium bilirubinat dan lebih banyak terjadi pada pasien dengan anemia
hemolitik dan sirosis. Batu pigmen coklat jarang terjadi, dibentuk dalam saluran empedu
intrahepatik dan ekstrahepatik sama halnya yang terjadi pada kandung empedu. Batu pigmen
coklat dibentuk dari stasis dan infeksi dalam sistem empedu oleh bakteri E. coli dan
Klebsiella spp.
Batu Pigmen
Istilah batu pigmen empedu digunakan untuk batu yang mengandung kolesterol kurang dari
30%. Terdapat dua tipe yaitu batu pigmen hitam dan coklat.
Batu pigman hitam sebagian besar mengandung pigmen bilirubin polimer terlarut dengan
kasium fosfat dan karbonat. Tidak mengandung kolesterol. Mekanisme pembentukan batu
masih belum jelas, tetapi hipersaturasi empedu dengan bilirubin terkonjugasi, mengubah pH
dan kalsium dan overproduksi matrik organik (glikoprotein) juga berperan. Dari semua kasus,
20-30% cholelithiasis adalah batu pigmen coklat. Insiden ini meningkat dengan
bertambahnya umur. Batu empedu hitam biasanya menyertai hemolisis kronis, biasanya pada
penyakit sickle cell atau spherocytosis herediter dan prostese mekanik misalnya pada katup
jantung dalam sirkulasi. Semua penyakit tersebut diatas menunjukkan peningkatan prevalensi
dengan segala bentuk sirosis khususnya alkoholik.
Batu pigmen coklat mengandung kalsium bilirubinat, kalsium palmitat dan stearat seperti
halnya kolesterol. Bilirubinat dipolimeralisasi tidak seluas batu hitam. Batu coklat jarang
ditemukan dalam kandung empedu. Batu ini terbentuk di duktus biliaris dan berhubungan
dengan stasisnya empedu dan infeksi empedu. Penampakan biasanya radiolusen. Bakteri
ditemukan lebih dari 90%. Pembentukan batu berhubungan dengan dekonjugasi bilirubin
diglukuronide oleh bakteri β-glukoronidase.
Patofisiologi
Sekitar 75% pasien, batu empedu terdiri atas kolesterol, dan sisanya merupakan batu
pigmentasi yang terutama mengandung bilirubin tidak terkonjugasi. Secara normal, kolesterol
tidak mengendap dalam empedu, karena mengandung garam empedu terkonjugasi dan
phosphatidylcholine secukupnya dalam bentuk micellar solution. Jika rasio konsentrasi
kolesterol : garam empedu dan phosphatidylcholine meningkat, kelebihan kolesterol dalam
batas minimal, kejenuhannya akan meningkat (supersaturasi) dalam larutan lumpur. Adanya
supersaturasi oleh peningkatan rasio kolesterol, akan menyebabkan hepar mensekresi
kolesterol konsentrasi tinggi sebagai inti vesikel unilamelar dalam kandung empedu dimana
phosphatidylcholine menjadi kulit luar pembungkus vesikel dengan diameter 50-100 nm. Jika
jumlah kandungan kolesterol relatif meningkat, vesikel multilamelar akan terbentuk
(diameter melebihi 1000 nm). Vesikel-vesikel ini tidak stabil dan mengendap lingkungan
cairan dalam bentuk kristal kolesterol. Kristal kolesterol ini merupakan prekursor batu
empedu.
Penyebab penting peningkatan rasio kolesterol : garam empedu dan phosphatidylcholine
adalah:
1. Peningkatan sekresi kolesterol, baik oleh karena peningkatan sintesis kolesterol
(peningkatan aktivitas enzim 3-hydroxy-3-methylglutaryl [HMG]-CoA-kolesterol
reduktase) ataupun penghambatan esterifikasi kolesterol seperti progesterone selama
kehamilan
2. Penurunan sekresi garam empedu oleh karena penurunan simpanan garam empedu pada
penyakit Crohn’s atau setelah reseksi ataupun selama puasa dan nutrisi parenteral
3. Penurunan sekresi phosphatidylcholine sebagai penyebab batu kolesterol ditemukan pada
wanita Chili yang hidup hanya memakan sayuran.
Batu pigmen terdiri atas sebagian besar kalsium bilirubinat (50%) yang memberikan warna
hitam atau coklat pada empedu. Batu hitam juga mengandung kalsium karbonat dan fosfat,
dimana batu coklat juga mengandung stearat, palmitat dan kolesterol. Peningkatan jumlah
bilirubin tak terkonjugasi pada empedu, yang dipecahkan hanya dalam micelles, ini
merupakan penyebab utama pembentukan batu empedu, dimana normalnya mengandung
hanya 1-2% dalam empedu.
Adapun sebagai penyebab meningkatnya konsentrasi bilirubin tidak terkonjugasi adalah:
1. Meningkatnya pemecahan hemoglobin seperti pada anemia hemolitik, yang mana
terdapat banyak bilirubin yang akan mengalami proses konjugasi dengan perantara enzim
glukorunidase dalam hepar, ditemukan kelainan sebagai berikut:
Penurunan kapasitas konjugasi dalam hepar seperti pada sirosis hepar
Dekonjugasi non-enzimatik bilirubin dalam empedu khususnya monoglukoronat
Dekonjugasi enzimatik (β-glucosidase) oleh bakteri.
Gambar 2. Skema patofisiologi pembentukan batu empedu kolesterol
Bakteri juga tidak mengkonjugasi secara enzimatik garam empedu sehingga terjadi
pembebasan palmitat dan stearat (dari phoshatidylcholine) dalam presipitat sebagai garam
kalsium. Batu hitam dibentuk oleh tiga mekanisme pertama diatas, mengandung komponen
tambahan, kalsium karbonat dan fosfat, inilah yang akan menurunkan kapasitas keasaman
dalam kandung empedu.
Kandung empedu, dimana komponen spesifik (kolesterol, garam empedu,
phoshatidylcholine) terkonsentrasi dalam waktu yang lama keterikatan dalam air, juga
merupakan bagian penting dalam pembentukan batu empedu. Gangguan pengosongan
kandung empedu bisa menjadi salah satu penyebab baik karena insufisiensi CCK (tidak ada
asam lemak bebas yang dilepaskan dalam lumen pada insufisiensi pancreas) sehingga
rangsangan kontraksi ke kandung empedu melemah, ataupun karena vagotomy nonselektif
tidak terdapat sinyal kontraksi dan asetilkolin. Kontraksi kandung empedu melemah juga
pada keadaan kehamilan. Saat itu menjadi waktu yang sangat cukup terjadi endapan kristal
untuk membentuk batu yang besar. Peningkatan sekresi mukus (dirangsang oleh
prostaglandin) bisa memicu peningkatan jumlah inti kristalisasi.
Konsekuensi yang mungkin terjadi pada cholelithiasis adalah kolik. Jika terjadi
penghambatan saluran empedu oleh sumbatan batu empedu, tekanan akan meningkat dalam
saluran empedu dan peningkatan kontraksi peristaltik di daerah sumbatan menyebabkan nyeri
viseral pada daerah epigastrik, mungkin dengan penyebaran nyeri ke punggung dan disertai
muntah.
Gambar 3. Skema patofisiologi pembentukan batu pigmen empedu
Gejala Klinis
Pasien dengan batu empedu dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu pasien dengan batu
asimtomatik, pasien dengan batu empedu simtomatik dan pasien dengan komplikasi batu
empedu. Sedangkan dilihat dari tahapan penyakitnya, dapat dibagi menjadi 4 stadium yaitu
stadium litogenik, dimana kondisi yang memungkinkan terbentuknya batu; batu empedu
asimtomatis; episode kolik biliaris dan cholelithiasis terkomplikasi. Gejala dan komplikasi
cholelithiasis merupakan efek yang terjadi dalam kandung empedu atau dari batu yang keluar
dari kandung empedu ke saluran duktus biliaris komunis.
Sebagian besar (80%) pasien dengan batu empedu tanpa gejala baik waktu diagnosis maupun
selama pemantauan. Studi perjalanan penyakit dari 1307 pasien dengan batu empedu selama
20 tahun memperlihatkan bahwa sebanyak 50% pasien tetap asimtomatik, 30% mengalami
kolik bilier dan 20% mendapat komplikasi.
Batu empedu asimtomatis – mayoritas penderita cholelithiasis secara klinis tersembunyi dan
tanpa memberikan gejala. Pada pemantauan jangka panjang pasien asimtomatis, resiko
kumulatif timbulnya gejala akan berkembang dengan waktu yaitu 10% dalam 5 tahun, 15%
dalam 10 tahun dan 18% dalam 15 tahun. Pada pasien cholelithiasis asimtomatis ditemukan
secara insidental. Pada kebanyakan kasus cholelithiasis asimtomatis tidak memerlukan
penanganan.
Kolik bilier – kolik bilier timbul secara episodik, nyeri hebat, berlokasi di epigastrium atau di
kuadran kanan atas. Nyeri ini menyebar ke belakang atau daerah punggung kanan tetapi
biasanya tidak fluktuatif, sebagaimana istilah kolik pada umumnya. Nyeri ini mula-mula
timbul secara tiba-tiba di daerah epigastrium atau kuadran kanan atas dan menyebar di sekitar
punggung tepatnya di interskapula. Secara umum, nyeri timbul secara cepat, kurang dari 30
menit sampai 3 jam, dan secara berangsur-angsur mereda. Kolik bilier benigna tidak
berhubungan dengan demam, leukositosis atau tanda peritoneal akut. Adanya gejala ini atau
nyeri bilier lebih lama dari 4 sampai 6 jam, kemungkinan kecurigaan kolekistitis akut. Kolik
bilier timbul akibat desakan batu empedu pada duktus kistikus selama kontraksi kandung
empedu, peningkatan tekanan dinding kandung empedu. Konstraksi kandung empedu ini
timbul akibat pelepasan kolekistokinin yang dirangsang oleh diet lemak. Pada kebanyakan
kasus, obstruksi akan kembali ke relaksasi kandung empedu dan nyeri akan mereda. Nyeri
bersifat konstan dan tidak ditimbulkan oleh muntah, antasid, defekasi atau perubahan posisi.
Nyeri ini diikuti oleh mual dan muntah.
Gejala komplikasi – kolesistitis akut maupun kronis terjadi bila batu menyumbat dan terjepit
dalam duktus kistikus menyebabkan kandung empedu menjadi distensi dan inflamasi
progresif. Pasien akan merasakan nyeri kolik biliaris tetapi secara spontan hilang timbul dan
kadang akan memberat. Pertumbuhan koloni bakteri yang banyak pada kandung empedu
sering terjadi, dan pada kasus yang berat, akumulasi pus dalam kandung empedu yang
dikenal dengan empiyema kandung empedu. Dinding kandung empedu akan menjadi
nekrotik kemudian timbul perforasi dan abses polikistik. Kolekistitik akut merupakan
kedaruratan bedah, walaupun nyeri dan inflamasi dapat ditangani secara konservatif seperti
dengan hidrasi dan antibiotik. Jika serangan akut timbul secara spontan, inflamasi kronis
berubah berlangsung lama dengan eksaserbasi akut.
Fistula biliaris interna atau fistula kolekistoenterik merupakan komplikasi penyerta migrasi
batu empedu akut atau biasanya kronis. Batu kandung empedu dapat lolos ke dalam saluran
cerna melalui terbentuknya fistel kolesitoduodenal. Apabila batu empedu cukup besar dapat
menyumbat pada bagian tersempit saluran cerna (ileum terminal) dan menimbulkan ileus
obstruksi.
VI. DIAGNOSIS
Anamnesis
Setengah sampai dua pertiga penderita cholelithiasis adalah asimtomatis. Keluhan yang
mungkin timbul adalah dispepsia yang kadang disertai intoleran terhadap makanan berlemak.
Pada yang simtomatis, keluhan utama berupa nyeri di daerah epigastrium, kuadran kanan atas
atau perikondrium. Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang mungkin berlangsung lebih
dari 15 menit dan kadang baru menghilang beberapa jam kemudian. Timbulnya nyeri
kebanyakan perlahan-lahan tetapi pada 30% kasus timbul tiba-tiba.
Penyebaran nyeri pada punggung bagian tengah, skapula atau ke puncak bahu, disertai mual
dan muntah. Lebih kurang seperempat penderita melaporkan bahwa nyeri berkurang setelah
menggunakan antasida. Kalau terjadi cholelithiasis, keluhan nyeri menetap dan bertambah
pada waktu menarik nafas dalam.
Pemeriksaan Fisik
Batu kandung empedu – apabila ditemukan kelainan, biasanya berhubungan dengan
komplikasi, seperti kolesistitis akut dengan peritonitis lokal atau umum, hidrop kandung
empedu, empiyema kandung empedu, atau pankreatitis. Pada pemeriksaan ditemukan nyeri
tekan dengan punktum maksimum di daerah letak anatomis kandung empedu. Tanda Murphy
positif apabila nyeri tekan bertambah sewaktu penderita menarik nafas panjang karena
kandung empedu yang meradang tersentuh ujung jari tangan pemeriksa dan pasien berhenti
menarik nafas.
Batu saluran empedu – batu saluran empedu tidak menimbulkan gejala dalam fase tenang.
Kadang teraba hati dan sklera ikterik. Perlu diketahui bahwa bila kadar bilirubin darah kurang
dari 3 mg/dl, gejala ikterik tidak jelas. Apabila sumbatan saluran empedu bertambah berat,
akan timbul ikterus klinis.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium – batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak
menunjukkan kelainan pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut,
dapat terjadi leukositosis.
Tes laboratorium sangat membantu, tetapi memberikan hasil yang tidak spesifik untuk
diagnosis cholelithiasis. Karena pasien dengan cholelithiasis tidak menimbulkan gejala atau
sering asimptomatik sehingga hasil tes laboratorium normal berarti tidak ditemukan kelainan.
Pada pasien dilakukan pemeriksaan darah yaitu bilirubin, tes fungsi hati, dan enzim
pankreatik. Hasil yang diperoleh, diantaranya :
Meningkatnya serum kolesterol.
Meningkatnya fosfolipid.
Menurunnya ester kolesterol.
Meningkatnya protrombin serum time
Tes fungsi hati ; meningkatnya bilirubin total lebih dari 3mg/dL, transaminase (serum
glumatic-pyruvic transaminase dan serum glutamic-oxaloacetic transaminase) meningkat
pada pasien choledocholithiasis dengan komplikasi cholangitis, pankreatitis atau keduanya.
Pemeriksaan Radiologis
Manfaat pemeriksaan radiologi intervensional, diantaranya :
Digunakan pemeriksaan endoscopic retrograde cholangiopancreatography dan
percutaneous transhepatic cholangiography.
Radiologi intervensional memiliki keakuratan yang sangat tinggi untuk mendeteksi
cholelithiasis dan sebagai akses dalam memberikan terapi.
Merupakan suatu tatacara yang invasif dengan risiko terjadinya pankreatitis, hemoragik
dan sepsis.
Ultrasonografi
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi untuk
mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intrahepatik maupun ekstra
hepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding kandung empedu yang menebal karena
fibrosis atau udem yang diakibatkan oleh peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat
pada duktus koledukus distal kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh udara di dalam
usus. Dengan USG punktum maksimum rasa nyeri pada batu kandung empedu yang
ganggren lebih jelas daripada dengan palpasi biasa.
Pelebaran saluran empedu merupakan tabung (tubulus) yang anekoik (cairan) dengan
dinding hiperekoik yang berkelok-kelok dan sering berlobulasi. Kadang-kadang
berkonfluensi membentuk gambaran stellata yang tidak terdapat pada vena porta. Pada
dinding bawah bagian posteriornya mengalami penguatan akustik (acoustic
enhancement). Bila kita ragu-ragu apakah suatu duktus choledochus melebar atau tidak, maka
pemeriksaan dilakukan setelah penderita diberi makan lemak terlebih dahulu. Pada keadaan
obstruksi duktus choledochus, maka setelah fatty meal tersebut akan terlihat lebih lebar;
sedangkan pelebaran fisiologik, misalnya pada usia tua, di mana elastisitas dinding saluran
sudah berkurang, maka diameternya akan menjadi lebih kecil. Prosedur ini akan memberikan
hasil yang paling akurat jika pasien sudah berpuasa pada malam harinya sehingga kandung
empedunya berada dalam keadaan distensi.
Foto Polos Abdomen
Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena hanya
sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang kandung empedu
yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat dilihat dengan foto polos.
Pada peradangan akut dengan kandung empedu yang membesar atau hidrops, kandung
empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di kuadran kanan atas yang menekan
gambaran udara dalam usus besar, di fleksura hepatica.
Computed Tomography (CT)
Batu ginjal dengan kalsifikasi memberikan gambaran yang khas pada pemeriksaan CT
scan tapi tidak jelas menggambarkan batu ginjal tanpa kalsifikasi.
Komplikasi seperti sumbatan saluran empedu dan kolesistitis juga dapat terlihat pada
pemeriksaan ini tapi USG merupakan tes investigasi yang utama.
Pemeriksaan Cholecystography
Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena relatif murah,
sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen sehingga dapat dihitung jumlah
dan ukuran batu. Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan ileus paralitik, muntah, kadar
bilirubun serum diatas 2 mg/dl, okstruksi pilorus, dan hepatitis karena pada keadaan-keadaan
tersebut kontras tidak dapat mencapai hati. Pemeriksaan kolesitografi oral lebih bermakna
pada penilaian fungsi kandung empedu.
Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)
ERCP terutama digunakan untuk mendiagnosa dan mengobati penyakit-penyakit
saluran empedu termasuk batu empedu. Sampai saat ini, endoscopic retrograde
cholangiopancreatography (ERCP) menjadi kriteria standar untuk diagnosis dan terap.
Karena ERCP merupakan pedoman tehnik diagnostik untuk visualisasi lithiasis traktus
biliaris. Bagaimanapun ini merupakan teknik yang invasif dan dihubungkan dengan kelahiran
maupun kematian.
ERCP merupakan kombinasi antara sebuah endoskopi (panjang,fleksibel, pipa
bercahaya) dengan prosedur fluoroskopi yang menggunakan sinar X pada biliaris
memberikan efek yang sama seperti MRCP, tetapi keuntungan yang didapatkan pada sesuai
dengan prosedur terapi seperti sfingterotomi dengan pengangkatan batu dan penempatan
biliaris. ERCP dikerjakan dengan menyuntikkan bahan kontras di bawah fluoroskopi melalui
jarum sempit, gauge berada di dalam parenkim hati. Ini penting, keuntungannya
memungkinkan operator mengadakan drainage empedu, bila perlu biopsi jarum (needle
biopsy). Drainage dari kumpulan cairan dan menempatkan eksternal dan internal drainage
stents dapat dikerjakan secara perkutan.
Pemeriksaan ERCP memerlukan waktu sekitar 30 menit hingga 2 jam. Sebaiknya untuk
prosedur yang aman dan akurat, perut dan duodenum harus dikosongkan. Tidak boleh makan
atau minum apapun setelah tengah malam sebelum malam melakukan prosedur, atau untuk 6
hingga 8 jam sebelumnya, tergantung dari waktu sesuai dengan prosedur dan juga operator
harus mengetahui adanya alergi atau tidak, khususnya terhadap iodine.
Penatalaksanaan
Jika tidak ditemukan gejala, maka tidak perlu dilakukan pengobatan. Nyeri yang hilang-
timbul bisa dihindari atau dikurangi dengan menghindari atau mengurangi makanan
berlemak. Pilihan penatalaksanaan antara lain :
Kolesistektomi terbuka – operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien
dengan cholelithiasis simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna yang dapat terjadi
adalah cedera duktus biliaris yang terjadi pada 0,2% pasien. Angka mortalitas yang
dilaporkan untuk prosedur ini kurang dari 0,5%. Indikasi yang paling umum untuk
kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut.15
Kolesistektomi laparaskopi – indikasi awal hanya pasien dengan cholelithiasis simtomatik
tanpa adanya kolesistitis akut. Karena semakin bertambahnya pengalaman, banyak ahli bedah
mulai melakukan prosedur ini pada pasien dengan kolesistitis akut dan pasien dengan batu
duktus koledukus. Secara teoritis, keuntungan tindakan ini dibandingkan prosedur
konvensional adalah dapat mengurangi perawatan di rumah sakit dan biaya yang dikeluarkan,
pasien dapat cepat kembali bekerja, nyeri menurun dan perbaikan kosmetik. Masalah yang
belum terpecahkan adalah keamanan dari prosedur ini, berhubungan dengan insiden
komplikasi seperti cedera duktus biliaris yang mungkin dapat terjadi lebih sering pada
kolesistektomi laparaskopi.
Disolusi medis – masalah umum yang mengganggu semua zat yang pernah digunakan adalah
angka kekambuhan yang tinggi dan biaya yang dikeluarkan. Zat disolusi hanya
memperlihatkan manfaatnya untuk batu empedu jenis kolesterol. Penelitian prospektif acak
dari asam xenodeoksikolat telah mengindikasikan bahwa disolusi dan hilangnnya batu secara
lengkap terjadi sekitar 15%. Jika obat ini dihentikan, kekambuhan batu tejadi pada 50%
pasien.
Disolusi kontak – meskipun pengalaman masih terbatas, infus pelarut kolesterol yang poten
seperti metil-ter-butil-eter (MTBE) ke dalam kandung empedu melalui kateter yang
diletakkan per kutan telah terlihat efektif dalam melarutkan batu empedu pada pasien-pasien
tertentu. Prosedur ini invasif dan kerugian utamanya adalah angka kekambuhan yang tinggi
(50% dalam 5 tahun).
Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL) – sangat populer digunakan beberapa tahun yang
lalu, analisis biaya-manfaat pada saat ini memperlihatkan bahwa prosedur ini hanya terbatas
pada pasien yang telah benar-benar dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini.
Kolesistotomi – dapat dilakukan dengan anestesia lokal bahkan disamping tempat tidur
pasien terus berlanjut sebagai prosedur yang bermanfaat, terutama untuk pasien yang sakitnya
kritis.