View
54
Download
9
Embed Size (px)
DESCRIPTION
makro
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembangunan kesehatan merupakan upaya seluruh potensi bangsa bagi
masyarakat, swasta maupun pemerintah, untuk mencapai tujuan akhirnya yaitu
kesejahteraan masyarakat.Berdasarkan Survei Demografi Kesehatan Indonesia
pada tahun 1997, angka kematian bayi (AKB ) di Indonesia adalah sekitar 46
per 1000 kelahiran, kemudian mengalami penurunan pada tahun 2007
sebanyak 35 per 10000 kelahiran, bila dirincikan 157000 bayi meninggal per
tahun dan 430 bayi meninggal per hari. Hasil tersebut menunjukkan bahwa
angka kematian bayi di Indonesia tertinggi jika dibandingkan dengan negara-
negara ASEAN( USU, 2007).
Hydrocephalus adalah suatu kondisi patologis berupa ketidakseimbangan
antara pembentukan dan penyerapan cairan cerebrospinal yang menyebabkan
terkumpulnya cairan tersebut dalam jumlah berlebih di dalam ventrikel
serebri. Hydrocephalus adalah suatu kondisi patologis berupa
ketidakseimbangan antara pembentukan dan penyerapan cairan cerebrospinal
yang menyebabkan terkumpulnya cairan tersebut dalam jumlah berlebih di
dalam ventrikel serebri. Hydrocephalus dapat terjadi pada semua golongan
umur karena berbagai hal yang menyebabkannya. Sekarang dokter mulai
mengidentifikasi dan menemukan hal yang berbeda dari hydrocephalus yang
muncul pada golongan dewasa. Tekanan normal intracranial ditemukan pada
orang dewasa yang menderita hydrochepalus berbeda pada hydrocephalus
yang didiagnosis pada bayi dan kanak-kanak ( USU, 2007).
Hydrocephalus komunikans merupakan salah satu dari klasifikasi
berdasarkan sirkulasi cairan cerebrospinal. Hydrocephalus komunikans dapat
disebabkan oleh meningitis bakterialis, toksoplasmosis, infeksi virus
sitomegalo, dan perdarahan subarachnoid. Hydrocephalus ini terjadi ketika
aliran CSF diblokir setelah keluar dari ventrikel ( USU, 2007).
Secara keseluruhan insiden hydrocephalus infantile di dunia tahun 2002
adalah sekitar 1-2 per 1000 kelahiran.Insiden hydrocephalus pada orang
1
dewasa tidak diketahui karena terjadi sebagai akibat dari cedera, penyakit atau
faktor lingkungan. Hydrocephalus pada orang dewasa dapat terjadi pada 1 per
1000 orang ( USU, 2007).
Di Inggris tahun 2005 hydrocephalus terjadi 6,46 pada 10000 kelahiran, 1
kematian janin akibat hydrocephalus dan 5 kasus aborsi diinduksi terjadi
setelah diagnosis pralahir hydrocephalus (USU, 2007).
Insiden hydrocephalus kongenital di Amerika serikat pada tahun 2008
adalah 3 per 1000 kelahiran hidup, kasus spina bifida disertakan bawaan
hydrocephalus terjadi 2-5 per 1000 kelahiran. Sedangkan insidens
hydrocephalus akuisita tidak diketahui persis karena berbagai gangguan yang
menyebabkan itu (USU, 2007).
Prevalensi hydrocephalus pada tahun 2008 cukup tinggi, di Belanda
dilaporkan terjadi sekitar 6,5 per 10000 kelahiran per tahun dan di Amerika
sekitar 2 per 1000 kelahiran per tahun. Pada tahun 1996 kasus hydrocephalus
di Indonesia mencapai 26 per 10000 kelahiran. Sementara itu berdasarkan
penelitian Thanman (2006) melaporkan bahwa insidens hydrocephalus antara
2-40 per 10000 kelahiran. Dari hasil survey di RSUP H. Adam Malik Medan
tahun 2005-2009 di peroleh jumlah penderita hydrocephalus sebanyak 141
orang, dengan rincian tahun 2005 sebanyak 33 orang, 2006 sebanyak 36
orang, 2007 sebanyak 39 orang, tahun 2008 sebanyak 21 orang dan tahun
2009 sebanyak 12 orang (USU, 2007).Tingginya prevalensi hydrocephalus
menunjukkan penanganan yang lebih adekuat diperlukan.
B. Tujuan
Tujuan dari presentasi kasus ini adalah memaparkan mengenai kasus
operasi pada pasien Makrosefali et causa SDH bilateral kronik, hidrosefalus
dan disgenesis cerebri pro burhole drainase dengan general anestesi mulai dari
saat preoperatif hingga postoperatif.
2
C. Manfaat
Manfaat dari presentasi kasus ini adalah membuat pembaca mengerti
manajemen anestesi pada kasus hydrosersefalus serta penanganannya saat
preoperatif, intraoperatif, dan postoperatif.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. HIDROSEFALUS
1. Definisi
Hidrosefalus berasal dari kata hidro yang berarti air dan chepalon yang
berarti kepala. Hidrosefalus merupakan penumpukan cairan serebrospinal
(CSS) secara aktif yang menyebabkan dilatasi sistem ventrikel otak
dimana terjadi akumulasi CSS yang berlebihan pada satu atau lebih
ventrikel atau ruang subarachnoid. Keadaan ini disebabkan oleh karena
terdapat ketidak seimbangan antara produksi dan absorpsi dari CSS. Bila
akumulasi CSS yang berlebihan terjadi diatas hemisfer serebral, keadaan
ini disebut higroma subdural atau koleksi cairan subdural. Pada kasus
akumulasi cairan yang berlebihan terjadi pada sistem ventrikuler, keadaan
ini disebut sebagai hidrosefalus internal (Sjamsuhidayat&Jong, 2004).
2. Epidemiologi
Angka kejadian hidrosefalus secara pasti blum diketahui, namun angka
kejadian hidrosefalus kongenital adalah 2-5 bayi setiap 1000 kelahiran.
Angka kejadian hidrosefalus yang di dapat belum diktahui secara pasti
(Engelhard, 2012).
3. Klasifikasi
Hidrosefalus dapat diklasifikasikan atas beberapa hal, antara lain
(Sjamsuhidayat&Jong, 2004; Engelhard, 2012):
a. Berdasarkan Anatomi / tempat obstruksi CSS
1) Hidrosefalus tipe obstruksi / non komunikan
Terjadi bila CSS otak terganggu (Gangguan di dalam atau pada
sistem ventrikel yang mengakibatkan penyumbatan aliran CSS
dalam sistem ventrikel otak), yang kebanyakan disebabkan oleh
kongenital : stenosis akuaduktus Sylvius (menyebabkan dilatasi
ventrikel lateralis dan ventrikel III. Ventrikel IV biasanya normal
dalam ukuran dan lokasinya). Yang agak jarang ditemukan sebagai
4
penyebab hidrosefalus adalah sindrom Dandy-Walker, Atresia
foramen Monro, malformasi vaskuler atau tumor bawaan. Radang
(Eksudat, infeksi meningeal). Perdarahan/trauma (hematoma
subdural). Tumor dalam sistem ventrikel (tumor intraventrikuler,
tumor parasellar, tumor fossa posterior).
2) Hidrosefalus tipe komunikans
Jarang ditemukan. Terjadi karena proses berlebihan atau gangguan
penyerapan (Gangguan di luar system ventrikel).
3) Perdarahan akibat trauma kelahiran menyebabkan perlekatan lalu
menimbulkan blokade villi arachnoid.
4) Radang meningeal
5) Kongenital :
a) Perlekatan arachnoid/sisterna karena gangguan pembentukan.
b) Gangguan pembentukan villi arachnoid
c) Papilloma plexus choroideus
b. Berdasarkan Etiologinya :
1) Tipe obstruksi
a) Kongenital
i. Stenosis akuaduktus serebri
Mempunyai berbagai penyebab. Kebanyakan disebabkan oleh
infeksi atau perdarahan selama kehidupan fetal; stenosis
kongenital sejati adalah sangat jarang. (Toxoplasma/T.gondii,
Rubella/German measles, X-linked hidrosefalus).
ii. Sindrom Dandy-Walker
Malformasi ini melibatkan 2-4% bayi baru lahir dengan
hidrosefalus. Etiologinya tidak diketahui. Malformasi ini
berupa ekspansi kistik ventrikel IV dan hipoplasia vermis
serebelum. Hidrosefalus yang terjadi diakibatkan oleh
hubungan antara dilatasi ventrikel IV dan rongga
subarachnoid yang tidak adekuat; dan hal ini dapat tampil
pada saat lahir, namun 80% kasusnya biasanya tampak dalam
3 bulan pertama. Kasus semacam ini sering terjadi bersamaan
5
dengan anomali lainnya seperti agenesis korpus kalosum,
labiopalatoskhisis, anomali okuler, anomali jantung, dan
sebagainya.
iii. Malformasi Arnold-Chiari
Anomali kongenital yang jarang dimana 2 bagian otak yaitu
batang otak dan cerebelum mengalami perpanjangan dari
ukuran normal dan menonjol keluar menuju canalis spinalis
iv. Aneurisma vena Galeni
Kerusakan vaskuler yang terjadi pada saat kelahiran, tetapi
secara normal tidak dapat dideteksi sampai anak berusia
beberapa bulan. Hal ini terjadi karena vena Galen mengalir di
atas akuaduktus Sylvii, menggembung dan membentuk
kantong aneurisma. Seringkali menyebabkan hidrosefalus.
v. Hidrancephaly
Suatu kondisi dimana hemisfer otak tidak adadan diganti
dengan kantong CSS.
b) Didapat (Acquired)
i. Stenosis akuaduktus serebri (setelah infeksi atau perdarahan)
Infeksi oleh bakteri Meningitis , menyebabkan radang pada
selaput (meningen) di sekitar otak dan spinal cord.
Hidrosefalus berkembang ketika jaringan parut dari infeksi
meningen menghambat aliran CSS dalam ruang subarachnoid,
yang melalui akuaduktus pada sistem ventrikel atau
mempengaruhi penyerapan CSS dalam villi arachnoid. Jika
saat itu tidak mendapat pengobatan, bakteri meningitis dapat
menyebabkan kematian dalam beberapa hari. Tanda-tanda dan
gejala meningitis meliputi demam, sakit kepala, panas tinggi,
kehilangan nafsu makan, kaku kuduk. Pada kasus yang
ekstrim, gejala meningitis ditunjukkan dengan muntah dan
kejang. Dapat diobati dengan antibiotik dosis tinggi.
ii. Herniasi tentorial akibat tumor supratentorial
iii. Hematoma intraventrikuler
6
Jika cukup berat dapat mempengaruhi ventrikel,
mengakibatkan darah mengalir dalam jaringan otak sekitar
dan mengakibatkan perubahan neurologis. Kemungkinan
hidrosefalus berkembang disebabkan oleh penyumbatan atau
penurunan kemampuan otak untuk menyerap CSS.
iv. Tumor (ventrikel, regio vinialis, fosa posterior)
Sebagian besar tumor otak dialami oleh anak-anak pada usia
5-10 tahun. 70% tumor ini terjadi dibagian belakang otak
yang disebut fosa posterior. Jenis lain dari tumor otakyang
dapat menyebabkan hidrosefalus adalah tumor
intraventrikuler dan kasus yang sering terjadi adalah tumor
plexus choroideus (termasuk papiloma dan carsinoma).
Tumor yang berada di bagian belakang otak sebagian besar
akan menyumbat aliran CSS yang keluar dari ventrikel IV.
Pada banyak kasus, cara terbaik untuk mengobati hidrosefalus
yang berhubungan dengan tumor adalah menghilangkan
tumor penyebab sumbatan.
v. Abses/granuloma
vi. Kista arakhnoid
Kista adalah kantung lunak atau lubang tertutup yang berisi
cairan. Jika terdapat kista arachnoid maka kantung berisi CSS
dan dilapisi dengan jaringan pada membran arachnoid. Kista
biasanya ditemukan pada anak-anak dan berada pada ventrikel
otak atau pada ruang subarachnoid. Kista subarachnoid dapat
menyebabkan hidrosefalus non komunikans dengan cara
menyumbat aliran CSS dalam ventrikel khususnya ventrikel
III. Berdasarkan lokasi kista, dokter bedah saraf dapat
menghilangkan dinding kista dan mengeringkan cairan kista.
Jika kista terdapat pada tempat yang tidak dapat dioperasi
(dekat batang otak), dokter dapat memasang shunt untuk
mengalirkan cairan agar bisa diserap. Hal ini akan
menghentikan pertumbuhan kista dan melindungi batang otak.
7
c. Berdasarkan Usia
1) Hidrosefalus tipe kongenital / infantil ( bayi )
2) Hidrosefalus tipe juvenile / adult ( anak-anak / dewasa )
Selain pembagian berdasarkan anatomi, etiologi, dan usia, terdapat juga
jenis Hidrosefalus Tekanan Normal ; sesuai konvensi, sindroma
hidrosefalik termasuk tanda dan gejala peninggian TIK, seperti kepala
yang besar dengan penonjolan fontanel. Akhir-akhir ini, dilaporkan
temuan klinis hidrosefalus yang tidak bersamaan dengan peninggian TIK.
Seseorang bisa didiagnosa mengalami hidrosefalus tekanan normal jika
ventrikel otaknya mengalami pembesaran, tetapi hanya sedikit atau tidak
ada peningkatan tekanan dalam ventrikel. Biasanya dialami oleh pasien
usia lanjut, dan sebagian besar disebabkan aliran CSS yang terganggu dan
compliance otak yang tidak normal.
Pada dewasa dapat timbul “hidrosefalus tekanan normal” akibat dari
Perdarahan subarachnoid, Meningitis, trauma kepala, dan idiopathic.
Dengan trias gejala yaitu gangguan mental (dementia), gangguan
koordinasi (ataksia), dan gangguan kencing (inkontinentia urin)
4. Patofisiologi
CSS dihasilkan oleh plexus choroideus dan mengalir dari ventrikel lateral
ke dalam ventrikel III, dan dari sini melalui aquaductus masuk ke ventrikel
IV. Di sana cairan ini memasuki spatium liquor serebrospinalis externum
melalui foramen lateralis dan medialis dari ventrikel IV. Pengaliran CSS
ke dalam sirkulasi vena sebagian terjadi melalui villi arachnoidea, yang
menonjol ke dalam sinus venosus atau ke dalam lacuna laterales; dan
sebagian lagi pada tempat keluarnya nervi spinalis, tempat terjadinya
peralihan ke dalam plexus venosus yang padat dan ke dalam selubung-
selubung saraf (suatu jalan ke circulus lymphaticus)
(Sjamsuhidayat&Jong, 2004; Engelhard, 2012):.
Kecepatan pembentukan CSS 0,3-0,4 cc/menit atau antara 0,2- 0,5%
volume total per menit dan ada yang menyebut antara 14-38 cc/jam.
Sekresi total CSS dalam 24 jam adalah sekitar 500-600cc, sedangkan
8
jumblah total CSS adalah 150 cc, berarti dalam 1 hari terjadi pertukaran
atau pembaharuan dari CSS sebanyak 4-5 kali/hari. Pada neonatus jumblah
total CSS berkisar 20-50 cc dan akan meningkat sesuai usia sampai
mencapai 150 cc pada orang dewasa. Hidrosefalus timbul akibat terjadi
ketidak seimbangan antara produksi dengan absorpsi dan gangguan
sirkulasi CSS (Sjamsuhidayat&Jong, 2004; Engelhard, 2012):.
5. Gejala Klinis
Gambaran klinis pada permulaan adalah pembesaran tengkorak yang
disusul oleh gangguan neurologik akibat tekanan likuor yang meningkat
yang menyebabkan hipotrofi otak.
a. Hidrosefalus pada bayi (sutura masih terbuka pada umur kurang dari 1
tahun) didapatkan gambaran :
1) Kepala membesar
2) Sutura melebar
3) Fontanella kepala prominen
4) Mata kearah bawah (sunset phenomena)
5) Nistagmus horizontal
6) Perkusi kepala : “cracked pot sign” atau seperti semangka masak.
b. Gejala pada anak-anak dan dewasa:
1) Sakit kepala
2) Kesadaran menurun
3) Gelisah
4) Mual, muntah
5) Hiperfleksi seperti kenaikan tonus anggota gerak
6) Gangguan perkembangan fisik dan mental
7) Papil edema; ketajaman penglihatan akan menurun dan lebih lanjut
dapat mengakibatkan kebutaan bila terjadi atrofi papila N.II.
Tekanan intrakranial meninggi oleh karena ubun-ubun dan sutura sudah
menutup, nyeri kepala terutama di daerah bifrontal dan bioksipital.
Aktivitas fisik dan mental secara bertahap akan menurun dengan gangguan
mental yang sering dijumpai seperti : respon terhadap lingkungan lambat,
kurang perhatian tidak mampu merencanakan aktivitasnya.
9
6. Penatalaksanaan
a. Terapi medikamentosa
Ditujukan untuk membatasi evolusi hidrosefalus melalui upaya
mengurangi sekresi cairan dari pleksus khoroid atau upaya
meningkatkan resorpsinya. Dapat dicoba pada pasien yang tidak
gawat, terutama pada pusatpusat kesehatan dimana sarana bedah saraf
tidak ada.
Obat yang sering digunakan adalah: Asetasolamid per oral 2-3 x 125
mg/hari, dosis ini dapat ditingkatkan sampai maksimal 1.200 mg/hari,
Furosemid per oral, 1,2 mg/kgBB 1x/hari atau injeksi iv 0,6
mg/kgBB/hari. Bila tidak ada perubahan setelah satu minggu pasien
diprogramkan untuk operasi.
b. Lumbal pungsi berulang (serial lumbar puncture)
Mekanisme pungsi lumbal berulang dalam hal menghentikan
progresivitas hidrosefalus belum diketahui secara pasti. Pada pungsi
lumbal berulang akan terjadi penurunan tekanan CSS secara intermiten
yang memungkinkan absorpsi CSS oleh vili arakhnoidalis akan lebih
mudah.
Indikasi : umumnya dikerjakan pada hidrosefalus komunikan terutama
pada hidrosefalus yang terjadi setelah perdarahan subarakhnoid,
periventrikular-intraventrikular dan meningitis TBC. Diindikasikan
juga pada hidrosefalus komunikan dimana shunt tidak bisa dikerjakan
atau kemungkinan akan terjadi herniasi (impending herniation)
c. Terapi Operasi
Operasi biasanya langsung dikerjakan pada penderita hidrosefalus.
Pada penderita gawat yang menunggu operasi biasanya diberikan :
Mannitol per infus 0,5-2 g/kgBB/hari yang diberikan dalam jangka
waktu 10-30 menit.
1) “Third Ventrikulostomi”/Ventrikel III
Lewat kraniotom, ventrikel III dibuka melalui daerah khiasma
optikum, dengan bantuan endoskopi. Selanjutnya dibuat lubang
sehingga CSS dari ventrikel III dapat mengalir keluar.
10
2) Operasi pintas/”Shunting”
Ada 2 macam :
a) Eksternal
CSS dialirkan dari ventrikel ke luar tubuh, dan bersifat hanya
sementara. Misalnya: pungsi lumbal yang berulang-ulang untuk
terapi hidrosefalus tekanan normal.
b) Internal
CSS dialirkan dari ventrikel ke dalam anggota tubuh lain.
i. Ventrikulo-Sisternal, CSS dialirkan ke sisterna magna
(Thor- Kjeldsen)
ii. Ventrikulo-Atrial, CSS dialirkan ke atrium kanan.
iii. Ventrikulo-Sinus, CSS dialirkan ke sinus sagitalis superior
iv. Ventrikulo-Bronkhial, CSS dialirkan ke Bronkhus
v. Ventrikulo-Mediastinal, CSS dialirkan ke mediastinum
vi. Ventrikulo-Peritoneal, CSS dialirkan ke rongga peritoneum
c) Lumbo Peritoneal Shunt
CSS dialirkan dari Resessus Spinalis Lumbalis ke rongga
peritoneum dengan operasi terbuka atau dengan jarum Touhy
secara perkutan.
d. Komplikasi
pembesaran ukuran kepala yang cepaat merupakan permasalahan pada
bayi. Pada berbagi kasus, makrosefali disebabkan oleh hidrosefalus
komunikans maupun non komunikan. Makrosefali sering disebut juga
sebagai eksternal hidrosefalus, dimana terjadi pelebaran ruang
subarakhnoid dengn atau tanpa pelebaran ventrikel. Eksternal
hidrosefalus banyak menimbulkan atrofi otak pada bayi (Maytal et.al.,
1987).
B. PEDIATRIK ANESTESI
Anak-anak bukanlah miniatur orang dewasa. Neonatus (0-1 bulan),
bayi (1-12 bulan), toddlers (1-3 tahun), anak-anak (4-12 tahun) memiliki
perbedaan dalam kebutuhan terhadap obat-obat anestesi. Pemberian obat
11
anestesi yang aman harus mempertimbangkan karakteristik dari faktor
fisiologi, anatomi dan farmakologi dari masing-masing tingkatan usia.
Karateristik inilah yang membedakan mereka dengan orang dewasa, sehingga
membutuhkan peralatan dan teknik yang berbeda dalam anestesi. Neonatus
dan bayi memiliki risiko morbiditas dan mortalitas yang lebih besar terhadap
obat anestesi dibanding anak dengan usia yang lebih tua (Morgan, 2006).
Table 2.1. Karakteristik pada neonatus dan bayi yang berbeda dengan pasien dewasa.
Fisiologi
Heart-rate-tergantung pada cardiac output
Heart rate yang cepat
Tekanan darah rendah
Frekuensi nafas cepat
Compliance paru rendah
Compliance dinding dada tinggi
Functional residual capacity rendah
Ratio of body surface area terhadap body weight besar
Total body water content tinggi
Anatomis
Noncompliant left ventricle
Residual fetal circulation
Venous and arterial cannulasi sulit
Lidah dan kepala lebih besar
Nasal passages dangkal
Anterior and cephalad larynx
Epiglottis panjang
Trachea dan leher pendek
Prominent adenoids dan tonsils
Otot intercostal dan diaphragmatic lemah
Resistance aliran udara tinggi
12
Farmakologis
Immature hepatic biotransformation
Protein binding menurun
Peningkatan FA/FI cepat
Induksi dan pemulihan cepat
Minimum alveolar concentration meningkat
Volume distribusi obat-obat yang larut air meningkat
Immature neuromuscular junction
1. Perbedaan-Perbedaan Farmakologi
Dosis obat pada anak diberikan berdasarkan per kilo gram berat
badan. Berat anak dapat diukur secara kasar berdasarkan umur dengan
rumus:
Atau
Keterangan : N dalam bulan
Atau
Keterangan: N dalam tahun
Namun, berat badan tidak dapat digunakan dalam menilai
besarnya cairan intravaskuler dan ekstraseluler, imaturitas jalur
biotransformasi hepatik, meningkatnya aliran darah ke organ, rendahnya
protein binding, atau meningkatnya nilai metabolic. Variable-variabel ini
harus dipertimbangkan secara tersendiri (Morgan, 2006).
Neonatus dan bayi memiliki kadar cairan yang lebih tinggi yaitu
sekitar 70-75% sedangkan orang dewasa sekitar 50-60%. Total cairan
tubuh akan menurun seiring dengan meningkatnya kadar lemak dan otot
dalam tubuh. Hal ini mengakibatkan volume distribusi obat yang diberikan
secara intravena lebih besar pada anak dibandingkan dengan orang
13
50th percentile weight (kg) = (umur x 2) + 9
¼ N + 4
2 N + 8
dewasa. Rendahnya massa otot pada neonaus menyebabkan pemanjangan
efek farmakologis dari thiopental dan fentanyl. Selain itu, neonatus juga
memiliki GFR dan aliran darah ke hati yang relatif lebih rendah, akibat
dari tubulus renal dan sistem enzim hepar yang imatur (Morgan, 2006).
Tabel 2.2. Dosis Obat pada Anak
Drug Comment Dosage
Atropine IV 0.01–0.02 mg/kg
IM 0.02 mg/kg
Minimum dose 0.1 mg
Premedication (PO) 0.03–0.05 mg/kg
Dexamethasone IV 0.1–0.5 mg/kg
Ketorolac IV 0.5–0.75 mg/kg
Fentanyl Pain relief (IV) 1–2 g/kg
Pain relief (Intranasal) 2 g/kg
Premedication (Actiq) 10–15 g/kg
Anesthetic adjunct (IV) 1–5 g/kg
Maintenance infusion 2–4 g/kg/h
Main anesthetic (IV) 50–100 g/kg
a. Anestesi Inhalasi
14
Neonatus, bayi, dan anak-anak memiliki ventilasi alveolar yang
relatif lebih tinggi dan FRC yang lebih rendah dibandingkan dengan
anak yang lebih besar dan orang dewasa. Namun, koefisien volatil
anestesi dalam darah lebih rendah pada neonatus dan bayi sehingga
dapat mempercepat proses induksi dan m emiliki risiko yang lebih
besar untuk terjadi overdosis (Morgan, 2006).
The minimum alveolar concentration (MAC) bahan halogen
lebih tinggi pada bayi dibandigkan pada nenatus dan orang dewasa.
Tidak seperti agen lainnya, sevfluran memiliki nilai MAC yang sama
anataraneonatus dan bayi (Morgan, 2006).
Table 2.2. Approximate MAC Values for Pediatric Patients.
Agent Neonates Infants Small Children Adults
Halothane 0.87 1.1–1.2 0.87 0.75
Sevoflurane 3.2 3.2 2.5 2.0
Isoflurane 1.60 1.8–1.9 1.3–1.6 1.2
Desflurane 8–9 9–10 7–8 6.0
Tekanan darah pada neonatus dan bayi sangat sensitif terhadap
anestesi volatil, hal ini mungkin disebabkan karena tidak
berkembangnya sistem kompensasi (vasokonstriksi dan takikardi) serta
miokardium yang imatur sehingga sangat mudah untuk terjadi depresi
miokardium. Depresi sistem kardiovaskuler, bradikardi, dan aritmia
lebih jarang terjadi setelah pemberian sevofluran dibandingan dengan
setelah pemberian halothan. Halothan dan sevofluran dapat
menimbulkan iritasi pada jalan nafas dan dapat menyebabkan
terjadinya laringospasme selama induksi. Volatil anestesi lebih sering
menimbulkan depresi sistem pernapasan pada bayi dibandingkan pada
15
anak yang lebh besar. Sevofluran sangat berhubungan dengan depresi
sistem pernapasan (Morgan, 2006).
b. Anestesi Nonvolatile
Berdasarkan berat badan, bayi dan anak-anak membutuhkan
dosis propofol yang lebih besar karena besarnya volume distribusinya
lebih besar dibandingkan pada orang dewasa. Selain itu, pemberian
propofol pada anak-anak memiliki eliminasi waktu paruh yang lebih
singkat dan clearance plasma yang lebih tinggi. Namun, pemulihan
setelah pemberian bolus tunggal tidak jauh berbeda dengan orang
dewasa, sedangkan pemulihan setelah pemberian melalui infus lebih
cepat. Sehingga anak-anak membutuhkan dosis yang lebih tinggi pada
pemberian anestesi melalui infus (hingga 250 µg/kg/min). Pemberian
propofol tidak direkomendasikan pada anak-anak yang dalam keadaan
kritis di ICU. Pemberian obat ini menyebabkan mortalitas yang lebih
tinggi dibandingkan obat serta dapat meyebabkan terjadinya propofol
infusion syndrom. Gambaran klinisnya dapat berupa asidosis
metabolik, hemodinamik yang tidak stabil, hepatomegali,
rhabdomiolisis, dan kegagalan multiorgan. Meskipun sindrom ini
biasanya terjadi pada anak-anak yang kritis, sindrom ini juga pernah
diaporkan terjadi pada pasien dewasa yang diberikan propofol infus
dalam jangka waktu yang panjang (lebih dari 48 jam) dengan dosis
sedasi lebih dari 5mg/kgBB/jam (Morgan, 2006).
Anak-anak membutuhkan dosis thiopental relatif lebih tinggi
dibandingkan dengan orang dewasa. Eiminasi waktu paruhnya lebih
singkat dan plasma clearance lebih tinggi dibandingkan pada orang
dewasa (Morgan, 2006).
c. Pelemah Otot
Secara umum semua pelemah otot memiliki onset yang lebih
singkat (hingga kurang dari 50%) pada anak-anak karena waktu
sirkuasi pada anak-anak lebih singkat dibanding orang dewasa. Bayi
membutuhkan dosis pelemah otot yang lebih rendah diabndingkan
16
anak yang lebih besar, kecuali pada pemberian suksinilkolin,
mivacurium, cisatracurium. Bayi membutuhkan dosis suksinilkolin
yang lebih tinggi (2-3 mg/kg) dibangdingkan anak yag lebih tua dan
orang dewasa, hal ini disebabkan karena besarnya volume
distribusinya (ruang ekstraselular). Ketidaksesuain ini akan tampak
jika dosis berdasarkan luas permukaan tubuh (Morgan, 2006).
2. Risiko Anestesi Pada Pediatrik
Berdasarkan data yang didapatkan dari Pediatric Periopertaif
Cardiac Arrest (POCA), dari 289 kasus henti jantung pada pasien pediatri,
150 kasus berhubungan dengan pemberian obat anestesi. Pasien dengan
status fisik ASA 1 dan 2 memiliki angka mortalitas sebesar 4%, sedangkan
pasien dengan ASA 3-5 sebesar 37% (Morgan, 2006).
Lebih dari 82% kasus henti jantung selama induksi dengan anestesi
didahului dengan gejala bradikardi, hipotensi, dan rendahnya saturasi
oksigen. Penyebab henti jantung pada anestesi disebabkan karena
gangguan pada sistem kardiovaskuer, sistem respirasi, obat-obatan dan
berhubungan dengan peralatan anestesi (Morgan, 2006).
Penyebab gangguan pada sistem kardiovaskuler secara pasti tidak
jelas, tapi lebih dari 50% kasus ditemukan pada pasien dengan penyakit
jantung bawaan. Pada gangguan kardiovaskuler yang teridentifikasi,
biasanya berhubungan dengan perdarahan, transfusi dan terapi cairan yang
tidak adekuat. Sedangkan gangguan pada sistem respirasi biasanya
berhubbungan dengan spasme laring, obstruksi jalan napas dan kesulitan
dalam intubasi. Pada banyak kasus, spasme laring terjadi selama induksi
(Morgan, 2006).
3. Pertimbangan-pertimbangan Preoperatif
a. Infeksi Saluran Pernapasan Bagian Atas
Anak-anak biasanya sering menderita demam, pilek, batuk dan nyeri
tenggorokan. Infeksi virus dalam 2 hingga 4 minggu sebelum
dilakukan general anetesi dan intubasi endotrakea dapat meningkat
risiko terjadinya komplikasi perioperatif pada paru seperti wheezing,
spasme laring, hipoksemia, dan atelektasis. Pertimbangan anestesi
17
pada anak dengan gejala infeksi saluran napas bagian atas yang cukup
berat menimbulkan berbagai kontroversi, sehingga harus
dipertimbangkan kembali urgensi dari tindakan bedah yang akan
dilakukan. Jika operasi harus tetap dlakukan, maka pasien dapat
diberikan premedikasi dengan antikolinergik, mask ventilation, dan di
tempatkan di ruangpemulihan dalam waktu yag lebih lama (Morgan,
2006).
b. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium preoperatif harus memandang dari
segi cost effective. Pada beberapa pusat kesehatan, pemeriksaan
labolatorium pada anak yang sehat dan akan dilakukan tindakan bedah
minor tidaklah diperlukan. Namun, pada pasien dengan tindakan bedah
yang rumit akan diperiksa oleh bagian anestesi, bedah dan anak untuk
melakukan prosedur preoperatif (Morgan, 2006).
c. Puasa Preoperatif
Anak-anak sangat rentan untuk menderita dehidrasi, sehingga
kebutuhan cairan preoperatif harus dijaga. Pada berbagai studi
menunjukan bahwa rendahnya kadar asam lambung (pH < 2,5) dan
volume residu yang relatif tinggi pada pasien yang dijadwalkan untuk
melakukan operasi berisiko untuk mengalami aspirasi. Kejadian ini
dilaporkan pada 1:1000 kasus. Puasa yang panjang tidaklah
dibutuhkan untuk menghindari bahaya ini, pada beberapa studi
memperlihatkan bahwa rendahnya volume residual dan tingginya pH
lambung terjadi pada pasien yang mendapatkan air putih beberapa jam
sebelum dilakukannya induksi (Morgan, 2006).
Puasa preoperatif biasanya dilakukan 4-8 jam sebelum operasi,
tergantung dari usianya. Anak dengan usia kurang dari 6 bulan dapat
mengkonsumsi makanan padat atau susu formula 2-4 jam sebelum
operasi, meminum air putih 2 jam sebelum operasi. Anak usia 6 hingga
36 bulan dapat mengkonsumsi makanan padat atau susu formula 4-6
jam sebelum operasi, meminum air putih 3 jam sebelum operasi.
18
Sedangkan anak dengan usia lebih dari 36 bulan dapat mengkonsumsi
makanan padat atau susu formula 6-8 jam sebelum operasi, meminum
air putih 3 jam sebelum operasi (Morgan, 2006).
d. Premedikasi
Terdapat berbagai variasi rekomendasi terhadap premedikasi
pada pasien pediatri. Pemberian obat-obat sedatif sebagai premedikasi
sebaiknya dihindari pada neonatus dan bayi yang sedang sakit. Namun,
anak-anak yang tidak kooperatif dapat diberikan sedatif seperti
midazolam (0,3-0,5 mg/kgBB, dosis maksimal 15 mg). Pemberian per
oral lebih dianjurkan karena efek traumatiknya lebih kecil dibanding
dengan pemberian secara intramuskular, meskipun efeknya timbul 20-
45 menit setelah pemberian (Morgan, 2006).
Beberapa anestesiolog biasanya memberikan premedikasi pada
anak-anak dengan antikolinegik (Atropine 0.02 mg/kgBB i.m) untuk
mengurangi bradikardi selama induksi. Atropine dapat mengurangi
kejadian hipotensi selama induksi pada neonatus dan bayi kurang dari
3 bulan. Atropine juga dapat mencegah terjadinya akumulasi sekret
yang dapat menyumbat jalan napas kecil dan endotrakeal tube
(Morgan, 2006).
19
BAB III
LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien
Nama : Tn. I
Jenis Kelamin : Laki - laki
Usia : 73 Tahun
Berat badan : 65 Kg
No. RM : 049255
B. Primary Survey
1. Airway
Clear,
2. Breathing
Napas spontan, gerakan dada simetris, RR 24x per menit, reguler, suara
dasar bronkovesikuler, whezzing.
3. Circulation
Heart rate 69x per menit, S1 > S2, regular, tidak terdapat murmur dan
gallop.
4. Disability
Keadaan umum aktif, kesadaran compos mentis, Suhu 36,3 0C, Berat
Badan 65 kg.
C. Secondary Survey
1. Anamnesis ( Alloanamnesis, 28 /6/2012 pukul 15.00 )
a. Keluhan utama : nyeri perut kanan bawah
b. Keluhan tambahan : batuk, muntah, mual, sesak, demam, cepat lelah,
c. RPS : Pasien datang dengan keluhan nyeri perut disebelah kanan
bawah.. Keluhan ini mulai dirasakan sejak 5 bulan yang lalu.
20
d. RPD :
Riwayat Asma positif
Riwayat Alergi disangkal
Riwayat Kebiruan/kuning disangkal
Riwayat Kejang disangkal
Riwayat Batuk pilek disangkal
Riwayat Diare disangkal
Riwayat Operasi sebelumnya disangkal
e. Riwayat asma, alergi, hipertensi, DM, penyakit jantung dan penyakit
yang sama pada keluarga disangkal
2. Pemeriksaan Fisik
KU / Kesadaran: aktif / menangis kuat
Vital Sign
TD : 100/70 mmHg
Nadi : HR = 69 x . menit, reguler
Suhu : 36,3 oC
RR : 24 x/menit
Status Generalis
a. Kulit
Warna kulit sawo matang, tidak ikterik, tidak sianosis, turgor kulit
cukup, capilary refill kurang dari 2 detik dan teraba hangat.
b. Mata
Tidak terdapat konjungtiva anemis dan sklera ikterik
c. Hidung
21
Tidak terdapat deviasi septum. Tidak terdapat discharge
d. Mulut/gigi
Tidak terdapat bibir sianosis
e. Telinga
Simetris dan tidak didapatkan discharge(darah atau cairan).
f. Thorax
Jantung : S1 > S2 reguler, tidak ditemukan gallop dan murmur
Paru : Tidak terdapat ketertinggalan gerak, suara dasar vesikuler
Terdapat wheezing,
g. Abdomen
Datar, simetris, tegang.
h. Ekstremitas
Inspeksi: Tidak terdapat jejas, bekas trauma, massa, dan sianosis
Palpasi : Turgor kulit cukup, Tidak terdapat edema, Akral hangat
3. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan 20-6-2012 Nilai normal
Hematologi
Hemoglobin 11,7 g/dL 13-18 g/dL
Eritrosit 3,8 x106/mm3 4,5-6,5
Leukosit 7,5 x 103/mm3 4 – 11
Hematokrit 32,9 37- 47 %
RDW 14,2 % 11 – 15 %
Trombosit 268 x 103/mm3 150-450 x/L
CT 8 detik 5 - 11 detik
BT 2 detik < 5 detik
22
D. Diagnosis
Makrosefali et causa SDH bilateral kronik, hidrosefalus dan disgenesis
cerebri; pro burhole drainage
E. Kesimpulan
ASA II dengan Spinal Anestesi
F. Tindakan
1. Informed consent
2. Puasa ± 4-6 jam pre-operasi ( makanan padat/ susu) atau puasa 3 jam pre-
operasi ( air putih)
3. Pasang RL 30 gtt/i
4. O2 kanul 2l / i
5. Premedikasi di ruang operasi
G. Laporan Anestesi
1. Diagnosis pra bedah Apendisitis
2. Penatalaksanaan Durante Operasi
a. Jenis pembedahan : Apendektomi
b. Jenis anestesi : Sub Arachnoid Block
c. Teknik anestesi : Regional
d. Mulai anestesi : 10.25
e. Mulai operasi : 10.30
f. Respirasi : Spontan
g. Posisi : Supine
h. Review durante operasi
Jam Keterangan
10.25 Terpasang Infus RL
HR 76x/mnt Sp O2 99%
TD 132/65
Masuk Bivucain spinal
10.30 Operasi mulai
HR 76x/mnt Sp O2 98%
TD 123/55
10.31 HR 76x/mnt Sp O2 99
23
TD 117/52
10.33 HR 75/mnt Sp O2 98%
TD 106/51
10.34 HR 74x/mnt Sp O2 99%
TD 96/48
Masuk Efedrin 2cc
10.36 HR 76x/mnt Sp O2 98%
TD 112/54
10.38 HR 73 x/mnt Sp O2 97%
TD 106 /51 mmHg
10.41 HR 73 x/mnt Sp O2 97%
TD 95 /50 mmHg
10.43 Masuk efedrin 2cc
HR 70 x/mnt Sp O2 92%
TD 88 /47 mmHg
10.45 HR 79 x/mnt Sp O2 98%
TD 110 /56 mmHg
10.47 HR 75 x/mnt Sp O2 97%
TD 123 /59 mmHg
10.50 HR 77 x/mnt Sp O2 97%
TD 120 /57 mmHg
10.52 HR 72 x/mnt Sp O2 97%
TD 120 /57 mmHg
10.57 Ganti infis ke 23
HR 76 x/mnt Sp O2 97%
TD 113 /57 mmHg
10.59 HR 76 x/mnt Sp O2 97%
TD 108 /56 mmHg
11.01 HR 73 x/mnt Sp O2 97%
TD 106 /51 mmHg
11.05 HR 73 x/mnt Sp O2 97%
TD 105 /54 mmHg
24
11.07 HR 73 x/mnt Sp O2 98%
TD 111 /59 mmHg
11.14 Masuk petidin 2,5 cc
HR 75 x/mnt Sp O2 99%
TD 102 /53 mmHg
11.17 HR 70 x/mnt Sp O2 99%
TD 98 /51 mmHg
11.20 HR 69 x/mnt Sp O2 99%
TD 100 /52 mmHg
Operasi selesai
11.37 HR 73 x/mnt Sp O2 99%
Pasien dijemput
i. Selesai operasi : 11.20
j. Selesai anestesi : 11.37
k. Perdarahan : ± 50 cc
3. Penatalaksanaan Post Operasi
Rawat bedah pria
BAB IV
PEMBAHASAN
25
A. Preoperatif
Pasien di rawat di ruang bedah pria, pasien dalam keadaan stabil,
bergerak aktif. Saat di ruang bedah pria pasien diberikan infus RL.
Pasien yang akan dioperasi terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan
yang meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang
untuk menentukan ASA. Kondisi pasien yang akan di operasi dalam kasus ini
adalah ASA III yaitu pasien dengan penyakit sistemik berat, tetapi belum
mengancam jiwa. Selanjutnya ditentukan rencana jenis anestesi yang akan
digunakan yaitu sub arachnoid block/ spinal anestesi. Persiapan yang
dilakukan pada pasien ini sebelum operasi :
a. Informed consent
Informed consent digunakan sebagai bukti bahwa pasien telah
menyetujui tindakan yang akan dilakukan setelah mendapatkan informasi
selengkap – lengkapnya tentang manfaat dan risiko tindakan yang akan
dilakukan. Dalam kasus ini, informed consent ditandatangani pasien
sendiri. Informed consent yang dilakukan meliputi penjelasan mengenai
penyakit yang diderita pasien, tindakan-tindakan yang akan dilakukan,
alasan dilakukannya tindakan tersebut, resiko dilakukannya tindakan,
komplikasi, prognosis, biaya dan hal-hal lainnya yang berhubungan
dengan kondisi pasien maupun tindakan yang dilakukan kepada pasien dan
keluarga terdekat yang bertanggung jawab terhadap pasien. Tujuannya
untuk mendapatkan persetujuan dan ijin dari pasien atau keluarga pasien
dalam melakukan tindakan anestesi dan operasi sehingga resiko-resiko
yang mungkin akan terjadi pada saat operasi dapat dipertimbangkan
dengan baik.
b. Puasa
Tujuan puasa adalah untuk mencegah terjadinya aspirasi isi
lambung karena regurgitasi atau muntah pada saat dilakukannya tindakan
anestesi akibat efek samping dari obat anastesi yang diberikan sehingga
refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Puasa preoperatif
biasanya dilakukan 4-8 jam sebelum operasi, tergantung dari usianya.
26
c. Laboratorium
Hasil pemeriksaan laboratorium pada pasien ini secara umum baik
sehingga memenuhi toleransi operasi. Adapun pemeriksaan laboratorium
pada pasien ini meliputi: pemeriksaan darah lengkap, waktu perdarahan
dan, waktu pembekuan. Pemeriksaan darah lengkap dilakukan untuk
menilai ada tidaknya gangguan dan merencanakan koreksi jika terdapat
gangguan.
Kadar hemoglobin yang baik, diperlukan guna memfasilitasi
distribusi oksigenasi ke jaringan dan pengangkutan karbon dioksida.
Oksigenasi atau perfusi yang baik diperlukan jaringan guna mencegah
terjadinya syok. Jumlah trombosit, masa pembekuan dan defisiensi faktor
pembekuan perlu dievaluasi agar dapat diantisipasi risiko komplikasi
perdarahan. Trombosit merupakan unsur dasar dalam darah yang dapat
meningkatkan koagulasi. Penurunan trombosit dalam sirkulasi sebanyak
kurang dari 50% nilai normal akan menyebabkan perdarahan. Protombin
time (PT) akan mengukur kemampuan pembekuan faktor I (fibrinogen), II
(protrombin), V, VII, dan X. Protrombin akan dikonversi menjadi trombin
akibat aksi tromboplastin, yang diperlukan dalam pembekuan darah.
Activated protrombin time (APTT) digunakan untuk mendeteksi apakah
terdapat defisiensi terhadap seluruh faktor pembekuan kecuali faktor VII
dan XII. Pada pasien ini, nilai PT, dan APTT dalam batas normal sehingga
diharapkan tidak terjadi perdarahan hebat (Latief, 2001).
Elektrolit penting juga untuk dievaluasi mengingat peranannya
dalam berbagai proses fisiologis tubuh. Natrium adalah ion yang
dominan berada di petak cairan ekstrasel dengan nilai normal 136-145
mEq/L. Keadaan hiponatremia, bila tidak dikoreksi secara cepat dan tepat
dapat mengakibatkan edema otak, selanjutnya menimbulkan kerusakan
otak yang ireversibel. Hipernatremia jarang terjadi, sebagai akibat ginjal
sangat efisien dalam mengeksresikan Na. Hipo dan hiperkalemia
merupakan keadaan yang gawat karena dapat menyebabkan aritmia
jantung dan perlu segera dikoreksi (Mangku dan Senapathi, 2010).
27
B. Intraoperatif
Pasien pada kasus menjalani operasi dengan Spinal Anestesi.
Kebutuhan cairan selama operasi harus dijaga agar pasien tetap dalam
keadaan optimal dalam menjalani operasi. Kebutuhan cairan pasien adalah
sebagai berikut.
1. Maintenance (4 x BB) = 40 cc
2. Stress operasi (8 x BB) = 80 cc
3. Pengganti puasa (6 x maintenance) = 120 cc
4. EBV (70 x BB) = 700 cc
5. ABL (20% x EBV) = 140 cc
Kebutuhan cairan pasien pada jam pertama operasi adalah
Maintenance + Stress operasi + 50% Pengganti puasa yaitu 180 cc. Selama
operasi, 10% EBV pasien harus diganti dengan cairan kristaloid (70 cc
kristaloid). Pasien tidak mengalami perdarahan melebihi Allowed Blood Loss
(ABL) sehingga tidak harus mendapatkan transfusi darah selama operasi
berlangsung. Manajemen cairan selama operasi berjalan dengan baik. Operasi
berlangsung 1 jam, pasien mendapatkan 500 cc KAEN 1B.
C. Postoperatif
Keadaan pasien post operasi harus diawasi dengan ketat hingga pasien
sadar dan stabil kondisinya. Keadaan pasien pada kasus ini cukup stabil pada
saat postoperatif sehingga pasien langsung d rawat di bangssal cempaka dan
mendapat pengawasan disana.
Selama di Ruang Cempaka, jalan nafas dalam keadaaan baik,
pernapasan spontan dan adekuat serta kesadaran composmentis. Setelah 3 hari
perawatan di ruang Cempaka, pasien diperbolehkan pulang.
28
BAB V
KESIMPULAN
1. An. I pada kasus ini mengalamiMakrosefali et causa SDH bilateral kronik,
hidrosefalus dan disgenesis cerebridan menjalani burhole drainage.
2. Operasi dilakukan dengan General Anestesi, medikasi yang diberikan adalah
fentanil 10 µg, sulfas atropine 0,125 mg, dexamethasone 2,5 mg, ketorolac1
ampul, maintenance menggunakan isoflurane.
29
3. Cairan yang diberikan selama operasi adalah 250 cc KAEN 1B,Pasien tidak
mengalami perdarahan melebihi Allowed Blood Loss (ABL) sehingga tidak
harus mendapatkan transfusi darah selama operasi berlangsung.
4. Operasi berjalan selama 1 jam. Keadaan pasien pada kasus ini cukup stabil
pada saat postoperatif sehingga pasien langsung di rawat di bangsal cempaka,
selama di Ruang Cempaka, jalan nafas dalam keadaaan baik, pernapasan
spontan dan adekuat serta kesadaran composmentis. Setelah 3 hari perawatan
di ruang Cempaka, pasien diperbolehkan pulang.
DAFTAR PUSTAKA
Engelhard, HH. 2011. Neurosurgery for Hydrocephalus treatment mangement.
Available from: http://www.emedicine.com. Retrivied on July 9 2012.
Katzung, Betram G. Farmkologi Dasar dan Klinik. Edisi VI Jakarta: EGC.
Latief, 2001. Petunjuk Praktis Anestesiologi Edisi II. Jakarta: FK UI.
Listiono, L. Djoko. 1998. Ilmu Beda Saraf. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
30
Mangku, G., dan Senapathi, T. G. A. 2010. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan
Reanimasi. Jakarta: Indeks Jakarta.
Maytal J, Alvarez LA., Elkin CM, & Shinnar S. 1987. External Hydrochepalus:
Radioogic Spectrum and Differentiation from Cerebral Atrophy. American
Roentgen Ray Society. 148:1223-1230.
Morgan GE., Maget SM., Michael JM. 2006. Clinical anesthesiology 4th Edition.
USA: Mc Graw-Hill Companies, Inc.
Sjamsuhidayat & Jong WD. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. EGC: Jakarta.
USU, 2005.Hydrocephalus. Available from: www.respiratoryusu.ac.id
Vallery et al. 2007.Hydrochepalus.. Available from :isjd.pdii.lipi.go.id
31