Upload
dwinta-rara-dyota-srawana
View
147
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
KAJIAN PROGRAM PENCAIRAN BATUBARA
Gandhi Kurnia Hudaya, Bukin Daulay, Miftahul Huda, Nining Sudini
Ningrum, Hermanu Prijono, Darsa Permana, Lely Agustiana, Slamet
Suprapto, Datin Fatia Umar, Yuliani Maulizar, Tuti Hernawati, Iwan
Rijwan, Dedy Yaskuri, Fahmi Sulistyohadi
i
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah. Kami mengucapkan rasa sukur kepada Allah SWT karena berkat rahmat
dan karuniaNyalah maka laporan kegiatan litbang Kajian Program Pencairan Batubara dapat
selesai dilaksanakan. Kegiatan ini merupakan salah satu kegiatan Kelompok Pelaksana Litbang
Teknologi Pengolahan dan Pemanfaatan Batubara pada Pusat Penelitian dan Pengembangan
Teknologi Mineral dan Batubara Tahun Anggaran 2011.
Penggunaan bahan bakar minyak di Indonesia saat ini sudah melebihi dari produksinya
sehingga pemerintah harus mengimpor bahan bakar minyak yang pada ujungnya menguras
devisa negara serta mengakibatkan rawannya keuangan negara apabila terjadi fluktuasi harga
bahan bakar minyak di dunia internasional. Disisi lain, cadangan minyak di indonesia juga
tinggal sedikit sehingga sangat sulit bagi pemerintah untuk meningkatkan jumlah produksinya.
Oleh karena itu pemerintah harus mencari bahan bakar alternatif. Salah satu sumber daya alam
yang dapat dijadikan baan bakar alternatif adalah batubara. Jumlah cadangan batubara di
indonesia saat ini yang cukup meimpah serta telah tersedianya teknologi untuk mengkonversi
batubara menjadi bahan bakar minyak atau teknologi pencairan batubara menyebabkan
semakin pentingnya peran batubara sebagai pengganti minyaks. Yang saat ini perlu dilakukan
adalah keseriusan pemerintah untuk mendukung terwujudnya pabrik komersial pencairan
batubara di Indonesia.
Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk menentukan arah program pencairan batubara
sehubungan dengan perkembangan terbaru dalam bidang IPTEK, bisnis dan lingkungan. Kajian
kebijakan teknis di bidang pencairan batubara ini diperlukan sebagai upaya komprehensif
pemerintah untuk menyiapkan kebijakan yang tepat dalam upaya penerapan teknologi
pencairan batubara di Indonesia dengan cara menampung aspirasi, pendapat, informasi dan
masukan lainnya baik dari pemerintah, pihak swasta dan akademisi.
Kami mengucapkan terima kasih atas kerjasama rekan-rekan khususnya anggota tim
pencairan batubara dan umumnya karyawan Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi
Mineral dan Batubara (tekMIRA) atas bantuan dan kontribusinya selama ini sehingga kegiatan
ii
penelitian dan pengembangan tim pencairan batubara dapat berjalan dengan baik dan lancar
sebagaimana yang direncanakan dalam Rencana Operasional Tim. Ucapan terima kasih dan
penghargaan yang sebesar-besarnya juga kami berikan kepada para narasumber, undangan dan
pihak-pihak yang telah bersedia membantu diskusi, pengisian kuesioner serta membantu
kelancaran penyelenggaraan FGD 1 dan 2 sehingga kami dapat memperoleh data dan informasi
yang berguna sebagai bahan analisa dalam kegiatan kajian program pencairan batubara ini.
Mudah-mudahan laporan ini dapat bermanfaat sehingga data yang diperoleh kemudian
dianalisa serta diharapkan dapat dibuat semacam policy paper yang akan menjadi acuan baik
bagi pemerintah maupun bagi kalangan usaha dalam hal penerapan teknologi pencairan
batubara di Indonesia.
Bandung, Desember 2011
Kepala Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara,
Ir. Hadi Nursarya, M.Sc.
NIP. 19540306 197803 1 001
iii
Sari
Pemerintah saat ini menghadapi krisis akibat kenaikan harga minyak mentah dunia
internasional. Status Indonesia sebagai negara pengimpor minyak dan adanya subsidi BBM
mengakibatkan keuangan pemerintah rentan. Padahal, sesuai dengan Undang-undang Nomor 4
Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara serta Peraturan Pemerintah Nomor 23
Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara
ditambah juga telah adanya Perpres No. 1 dan No. 5 serta Inpres No. 2 tahun 2006 maka
pemerintah dapat memaksimalkan pengolahan batubara di dalam negeri. Salah satu teknologi
pengolahan batubara yang akan diaplikasikan adalah teknologi pencairan batubara.
Pembangunan pabrik pencairan batubara akan mengoptimalkan manfaat batubara dalam
negeri, meningkatkan penerimaan negara, lapangan kerja, dan menciptakan multiplier effect
batubara. Mengingat dampak positif atas keberadaan pabrik pencairan batubara yang sangat
besar, maka sudah selayaknya pemerintah memberikan prioritas tinggi bagi berdirinya pabrik
pencairan batubara di Indonesia.
Proses pencairan batubara adalah proses mengkonversi batubara menjadi minyak seperti bensin
atau solar. Proses ini sering diistilahkan sebagai coal liquefaction atau coal to liquids (CTL). Ada
dua cara menghasilkan minyak dari batubara yaitu melalui pencairan batubara secara langsung
(direct coal liquefaction/DCL) dan pencairan batubara secara tidak langsung (in-direct coal
liquefaction/ICL) yang masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan.
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan arah program pencairan batubara sehubungan
dengan perkembangan terbaru dalam bidang IPTEK, bisnis dan lingkungan. Kajian kebijakan
teknis di bidang pencairan batubara ini diperlukan sebagai upaya komprehensif pemerintah
untuk menyiapkan kebijakan yang tepat dalam upaya penerapan teknologi pencairan batubara
di Indonesia dengan cara menampung aspirasi, pendapat, informasi dan masukan lainnya baik
dari pemerintah, pihak swasta dan akademisi.
Metode penelitian yang dilakukan adalah pengumpulan data dan informasi melalui pembuatan
dan pengumpulan kuesioner, diskusi dan wawancara serta pelaksanaan FGD. Kemudian
dilakukan pengolahan data serta analisa untuk menghasilkan policy paper.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dibutuhkan keseriusan dan konsistensi pemerintah jika
ingin membangun pabrik komersial pencairan batubara di Indonesia. Beberapa faktor yang
harus menjadi perhatian adalah faktor kepastian supplai batubara, harga batubara dan modal
besar. Kebijakan pemerintah untuk faktor-faktor tersebut sangat menentukan kelayakan pabrik
pencairan di indonesia yang komersial.
iv
Kata Kunci : pencairan batubara, kebijakan, batubara
DAFTAR ISI
Kata Pengantar . i
Sari iii
Daftar Isi iv
Daftar Gambar . vii
Daftar Tabel . viii
Daftar Foto. ix
BAB I PENDAHULUAN I-1
1.1. Latar Belakang . I-1
1.2. Ruang Lingkup Kegiatan .. I-3
1.3. Tujuan I-4
1.4. Sasaran . I-4
1.5. Lokasi Kegiatan . I-4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .. II-1
2.1. Kondisi Industri Batubara Indonesia . II-1
2.1.1 Sumber Daya dan Kualitas Batubara II-1
2.1.1.1 Sumber Daya Batubara .. II-1
2.1.1.2 Kualitas Batubara II-3
2.1.2 Pengusahaan, Produksi dan Penjualan . II-6
2.1.2.1 Pengusahaan Batubara .. II-6
2.1.2.2 Produksi Batubara II-9
2.1.2.3 Penjualan Batubara . II-10
2.1.2.3.1 Penjualan Batubara Dalam Negeri .. II-10
2.1.2.3.2 Ekspor II-11
2.2. Perkembangan Teknologi Pencairan Batubara.. II-12
2.2.1 Pengertian Pencairan Batubara . II-12
2.2.2 Sejarah Teknologi Pencairan Batubara . II-15
v
2.2.3 Status Teknologi Pencairan Batubara
II-19
BAB III PROGRAM KEGIATAN .. III-1
3.1. Pembuatan Kuesioner 1.. III-1
3.2. Pembagian Kuesioner dan Diskusi III-2
3.3. Pelaksanaan Focus Group Discussion (FGD) III-3
3.4. Koordinasi dengan Instansi Terkait ... III-3
BAB IV METODOLOGI .. IV-1
4.1. Pendekatan Metodologi .. IV-1
4.2. Pelaksana Kegiatan Penelitian Pencairan Batubara ... IV-2
4.3. Anggaran Kegiatan . IV-4
4.4. Pelaksanaan Kegiatan Pencairan Batubara IV-5
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN... V-1
5.1. Hasil Kegiatan .. V-1
5.1.1 Hasil Pembagian Kuesioner V-1
5.1.2 Pelaksanaan Focus Group Discussion (FGD) .. V-6
5.1.3 Koordinasi dengan Instansi Terkait .. V-7
5.2. Pembahasan ... V-8
5.2.1 Analisa Kelayakan Bisnis ....................................................... V-9
5.2.2 Keekonomian Pabrik Pencairan Batubara . V-13
5.2.2.1 Teknologi BCL, Jepang .. V-13
5.2.2 2 Teknologi SASOL, Afrika Selatan . V-16
5.2.2.3 Teknologi CCT FT, Afrika Selatan ... V-22
5.2.3 Rekomendasi Teknologi Pencairan Batubara V-27
5.2.3.1 Teknologi SASOL .. V-27
5.2.3.2 Teknologi CCT FT . V-29
5.2.4 Potensi Batubara untuk Bahan Baku Pencairan Batubara V-32
5.2.4.1 Pertimbangan Pemilihan Batubara Sebagai Bahan Baku V-32
5.2.4.1.1 Batubara Pendopo, Sumatera Selatan . V-33
5.2.4.1.2 Batubara Muara Wahau, Kalimantan Timur V-35
vi
5.2.5 Landasan Hukum Program Pencairan Batubara V-37
5.2.6 Aspek Lingkungan .. V-38
5.2.7 Tantangan Pembangunan Pabrik Pencairan Batubara . V-39
5.2.8 Upaya Implementasi yang Dilakukan oleh Pemerintah Indonesia
Dalam Pembangunan Pabrik Pencairan Batubara
V-41
5.2.8.1 Status Kerjasama Indonesia Jepang . V-42
5.2.8.2 Status Kerjasama Indonesia SASOL . V-44
5.2.8.3 Status Kerjasama CCT FT Swasta Indonesia .. V-46
BAB VI REKOMENDASI KEBIJAKAN VI-1
6.1. Pendirian Unit/Badan Pelaksana Pencairan Batubara .. VI-3
6.2. Kebijaksanaan Penggunaan dan Harga Batubara untuk Energi Domestik VI-4
6.3. Kebijakan Harga BBM Produk Pencairan Batubara .. VI-7
6.4. Kebijakan Permodalan (Jaminan Pinjaman) VI-8
6.5. Pemberian Insentif . VI-9
BAB VII PENUTUP VII-1
7.1. Kesimpulan . VII-1
7.2. Saran VII-1
Daftar Pustaka
LAMPIRAN
vii
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
I.1 Perkiraan Kebutuhan Energi dari Berbagai Skenario I-2
II.1 Perkembangan Sumber Daya Batubara Indonesia ................................ II-2
II.2 Penyebaran Sumber Daya dan Cadangan Batubara Per Wilayah
Koridor
Ekonomi ..
II-2
II.3 Penyebaran Sumber Daya dan Cadangan Batubara Per Wilayah . II-3
II.4 Fasilitas Terminal Batubara di Indonesia II-4
II.5 Cadangan Batubara Tiap Pulau di Indonesia Berdasarkan Nilai Kalori
.
II-5
II.6 Produksi dan Penjualan Batubara Indonesia ......................................... II-9
II.7 Proses Pencairan Batubara .. II-13
II.8 Proses Pencairan Batubara Teknologi BCL . II-20
II.9 Sejarah Pengembangan Pabrik SASOL . II-22
V.1 Mata Rantai Nilai Tambah Batubara V-9
V.2 Pengaruh Harga Batubara pada IRR Pabrik Pencairan Batubara
Teknologi
BCL-Jepang dengan Menggunakan Batubara Pendopo ..
V-16
V.3 Target IRR yang Diinginkan SASOL V-20
V.4 Pengaruh Biaya Investasi Pada IRR Teknologi CCT FT .. V-25
V.5 Pengaruh Harga Jual Diesel Pada IRR Teknologi CCT FT V-25
V.6 Pengaruh Harga Jual Naptha Pada IRR Teknologi CCT FT . V-26
V.7 Pengaruh Harga Batubara Pada IRR Teknologi CCT FT .. V-26
V.8 Alur Proses Teknologi SASOL V-28
V.9 Distribusi Produk Pencairan Batubara SASOL V-29
V.10 Proces CCT FT .. V-30
V.11 Proses dan Beberapa Jenis Produk Dari Teknologi CCT FT .. V-31
V.12 Peta Lokasi Batubara Pendopo . V-34
V.13 Peta Lokasi Batubara Muara Wahau .. V-36
VI.1 Perkembangan Harga Batubara pada Tahun 2009 dan 2011 ... VI-6
viii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
II.1 Perkembangan Proyek Pencairan Batubara Dunia Sampai Tahun 1945
II-16
II.2 Percobaan Teknologi Pencairan Batubara . II-17
II.3 Pabrik Percontohan Pencairan Batubara Secara Langsung, 1960- 2008
..
II-20
IV.1 Pelaksana Kegiatan IV-2
IV.2 Anggaran Kegiatan IV-4
IV.3 Jadwal Pelaksanaan Kegiatan .. IV-5
V.1 Nilai Tambah Pencairan Batubara dengan Teknologi BCL Jepang . V-10
V.2 Nilai Tambah Pencairan Batubara dengan Teknologi CCT FT V-10
V.3 Nilai Tambah Pencairan Batubara dengan Teknologi SASOL . V-10
V.4. Arus Kas (cash Flow) Pabrik Pencairan Batubara Teknologi BCL-Japan
kapasitas 26905 barel/hari
V-14
V.5. Arus Kas (cash Flow) Pabrik Pencairan Batubara Teknologi ICL-SASOL
kapasitas 80.000 barel/hari ..
V-18
V.6 Ringkasan Asumsi ......................................................................... V-21
Tabel V.7 V.7 Perhitungan Arus Kas Untuk IRR ......................................................... V-24
V.8 Total Sumber Daya Batubara di Daerah Pendopo (dalam Jutaan Ton)
V-34
V.9 Sumber Daya Batubara di Daerah Muara Wahau . V-37
VI.1 Fasilitas Bidang Usaha Energi dan Sumber Daya Mineral Sesuai
Lampiran I PP No. 62 Tahun 2008 .
VI-11
ix
DAFTAR FOTO
FOTO Halaman
II.1 Pabrik DCL Shenhua di Inner Mongolia, 2008 . II-18
II.2 Pabrik Pencairan SASOL di Afrika Selatan . II-19
I-1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia pada tahun 2011 ini khususnya dalam aspek politik menjadi panas oleh
rencana pembatasan pembelian bahan bakar minyak (BBM) khususnya premium. Tujuan
pembatasan ini memang baik yaitu untuk mengurangi pengeluaran negara khususnya subsidi
BBM, namun karena efek tidak langsungnya akan meningkatkan biaya transportasi, inflasi dan
meningkatkan harga-harga barang khususnya sembako maka banyak kalangan yang
menentangnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa kasus seperti ini tidak hanya terjadi saat ini
namun di masa mendatang juga dapat terjadi lagi. Itulah risiko menjadi negara pengimpor
minyak bumi. Meskipun demikian, seharusnya rencana pembatasan BBM ini tidak akan muncul
apabila Indonesia mampu memproduksi BBM sesuai dengan permintaan pasar.
Seperti diketahui bahwa salah satu tantangan krusial dalam pembangunan nasional adalah
masalah penyediaan energi cair (BBM). Kebutuhan akan bahan bakar minyak (BBM) semakin
meningkat sejalan dengan laju pembangunan. Konsumsi minyak pada tahun 2010 adalah
sebesar 497 juta barel, sedangkan realisasi produksi minyak bumi pada tersebut adalah 344,7
juta barel atau sekitar 941.000 barel per hari, sehingga ada kekurangan sekitar 152 juta barel.
Kondisi seperti ini akan terus berlangsung karena konsumsi minyak pada tahun 2025 diprediksi
akan mencapai 1.793 juta barel (skenario bisnis as usual/BAU) atau 640 juta barel/hari (skenario
Perpres No.5 Tahun 2006) atau sekitar 857 juta barel (skenario visi 25/25; Indonesia tetap defisit
minyak walaupun digunakan energi baru terbarukan sebesar 25% dan dilakukan penghematan
sampai 33%), seperti terlihat pada Gambar I.4. Di sisi lain produksi minyak bumi Indonesia
cenderung turun terus.
Produksi minyak bumi tidak lagi sebesar 1 juta barel per hari atau lebih seperti pada tahun-
tahun sebelumnya. Saat ini (2011) produksi minyak bumi hanya sekitar 907.000 barel per hari,
walaupun ditargetkan produksinya sekitar 970.000 barel perhari. Penurunan produksi ini terjadi
secara alamiah di beberapa sumur minyak, sehingga diperlukan eksplorasi yg efektif dan
I-2
investasi besar utk pencarian cadangan baru atau diperlukan teknologi enhanced oil recovery
(EOR) untuk mendorong minyak dari sumur-sumur tua.
Gambar I.1 Perkiraan Kebutuhan Energi dari Berbagai Skenario
Pemenuhan kebutuhan BBM di dalam negeri dalam jangka panjang akan menghadapi
banyak tantangan antara lain sebagai berikut:
a) Pasokan minyak mentah: Produksi minyak mentah dalam negeri diperkirakan akan menurun
30% pada tahun 2020, sementara produksi minyak mentah import yang saat ini diolah
(sebagai tambahan dari ketersediaan minyak mentah domestik entitlement pemerintah)
juga akan menurun. Minyak mentah pengganti yang akan tersedia di pasar kedepan akan
lebih banyak dari jenis sour crude dari pada sweet crude. Sementara sebagian besar kilang
Pertamina di desain untuk mengolah sweet crude.
b) Rendahnya minat investasi pembangunan kilang: Pembangunan kilang membutuhkan biaya
investasi yang sangat besar, memakan waktu lama, sementara marginnya sangat volatile
tergantung pada spread harga dibandingkan dengan alternatif investasi di bidang lainnya.
I-3
Dalam kondisi seperti ini, investor mensyaratkan diberikannya paket insentif baik fiskal
maupun non fiskal serta terintegrasinya kilang dengan retail untuk meningkatkan
keekonomian.
c) Kualitas BBM: Seiring dengan perkembangan kemajuan teknologi industri automotif yang
menuntut perbaikan kualitas bahan bakar dan kesadaran masyarakat yang meningkat akan
kualitas lingkungan hidup yang semakin baik, memberikan pengaruh pada peningkatan
standar kualitas bahan bakar yang harus disediakan oleh kilang.
Batubara cair (coal to liquid/CTL) dari hasil proses pencairan batubara dapat menjadi
alternatif untuk penyediaan bahan bakar cair di dalam negeri karena cadangan batubara
tersedia dalam jumlah banyak yang dapat dikonversi menjadi bahan bakar cair yang fungsinya
sama dengan BBM yang berasal dari minyak bumi. Teknologi pencairan batubara saat ini sudah
terbukti dan dapat diaplikasikan secara menguntungkan. Afrika Selatan dengan SASOL-nya
adalah bukti nyata keberhasilan komersialisasi pencairan batubara.
Meskipun demikian, usaha penerapan teknologi pencairan batubara di Indonesia hingga
saat ini belum terlihat akan mewujud dalam waktu dekat. Banyak hambatan dan tantangan yang
menghadang baik bagi pemerintah maupun bagi kalangan pengusaha sendiri. Oleh karena
itulah kajian kebijakan teknis di bidang pencairan batubara ini diperlukan sebagai upaya
komprehensif pemerintah untuk menyiapkan kebijakan yang tepat dalam upaya penerapan
teknologi pencairan batubara di Indonesia dengan cara menampung aspirasi, pendapat,
informasi dan masukan lainnya. Data yang diperoleh kemudian dianalisa dan diharapkan dapat
dibuat makalah kebijakan (policy paper) yang akan menjadi acuan baik bagi pemerintah maupun
bagi kalangan usaha dalam hal penerapan teknologi pencairan batubara di Indonesia.
1.2. Ruang Lingkup Kegiatan
Ruang lingkup kegiatan penelitian meliputi:
Studi literatur mengenai industri perbatubaraan di Indonesia, teknologi dan
perkembangan pencairan batubara, dan kebijakan-kebijakan yang membantu penerapan
teknologi pencairan batubara.
I-4
Inventarisasi penelitian dan pengembangan pencairan batubara hingga saat ini, termasuk
prospek batubara sebagai bahan baku dan upaya-upaya yang telah dilakukan dalam upaya
implementasi.
Pembuatan kuesioner dan distribusi kuesioner.
Melakukan wawancara dan diskusi
Melakukan Focus Group Discussion (FGD) I dan II
Evaluasi kegiatan dan analisa data
Membuat Laporan
1.3. Tujuan
Tujuan diadakannya penelitian ini adalah menghimpun data dan informasi yang akan
dipergunakan untuk menentukan arah program pencairan batubara di Indonesia sehubungan
dengan perkembangan terbaru dalam bidang IPTEK, bisnis dan lingkungan.
1.4. Sasaran
Ada 3 sasaran yang diharapkan tercapai dalam penelitian ini, yaitu :
a. Mendapatkan data dan informasi mengenai kemajuan program pencairan batubara di
Indonesia, termasuk di dalamnya tentang peluang, hambatan dan tantangan selama ini.
b. Mendapatkan data dan informasi mengenai pendapat masyarakat batubara khususnya
pelaku bisnis, aparat pemerintah dan ilmuwan/peneliti tentang program pencairan batubara
khususnya di Indonesia.
c. Menghasilkan rekomendasi mengenai perlu tidaknya program pencairan batubara di
Indonesia.
d. Menghasilkan policy paper tentang program pencairan batubara di Indonesia
1.5. Lokasi Kegiatan
Lokasi kegiatan penelitian dipusatkan pada beberapa perusahaan penambangan
batubara besar di Indonesia yang diprediksi dapat menyediakan (supplai) bahan baku untuk
I-5
pencairan batubara. Selain itu dilakukan juga pembagian kuesioner pada saat ada kegiatan
dimana yang menghadiri kegiatan tersebut adalah target responden dari program penelitian
pencairan batubara. Lokasi-lokasi kegiatan itu adalah :
a. Melakukan diskusi dan wawancara dengan perusahaan PT DH Energy dan PT Pendopo
Energi Batubara yang memiliki tambang batubara di Sumatera Selatan dengan cadangan
sebesar 700 juta ton dan sumber daya 2 milyar ton. Lokasi pertemuan di kantor PT DH
Energy dan PT Pendopo Energi Batubara, Jakarta.
b. Melakukan diskusi dan wawancara dengan perusahaan PT Bhakti Energi Persada yang
memiliki tambang batubara di Wahao, Kalimantan Timur dengan cadangan sebesar 5,9
milyar ton dan sumber daya sekitar 10 milyar ton. Lokasi pertemuan di kantor PT Bhakti
Energi Persada, Jakarta.
c. Melakukan diskusi dan wawancara dengan perusahaan PT Ilthabi Bara Utama yang memiliki
tambang batubara di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur dengan cadangan 270 juta ton
dan sumber daya sekitar 3,3 milyar ton. Lokasi pertemuan di kantor PT Ilthabi Bara Utama,
Jakarta.
d. Melakukan diskusi dan wawancara dengan perusahaan PT Tambang Batubara Bukit Asam
(Persero) Tbk yang memiliki tambang batubara di Sumatera Selatan dengan sumber daya
sekitar 7,5 milyar ton. Lokasi pertemuan di kantor PT Tambang Batubara Bukit Asam
(Persero) Tbk, Jakarta.
e. Melakukan diskusi dan wawancara dengan perusahaan PT Adaro Indonesia Tbk yang
memiliki tambang batubara di Tanjung, Kalimantan Selatan dengan cadangan sebesar 824
juta ton dan sumber daya sekitar 3,4 milyar ton. Lokasi pertemuan di kantor PT Adaro
Indonesia, Jakarta.
f. Melakukan diskusi dan wawancara dengan perusahaan Clean Coal Technology-SA LTd,
Afrika Selatan dan Stern Stewart Capital Partners Pte Ltd, Afrika Selatan yang memiliki
teknologi pencairan batubara berbasiskan modul fixed bed dan model bisnis batubara yang
rencananya akan dikembangkan di Indonesia. Lokasi pertemuan di Hotel Gran Melia, Jakarta.
g. Melakukan diskusi dan wawancara dengan pemerintah daerah Sumatera Selatan khususnya
Dinas Pertambangan dan Energi pada tanggal 23-27 Mei 2011 untuk membicarakan
I-6
pencairan batubara dan perusahaan batubara di Sumatera Selatan yang memiliki potensi
untuk terlibat di dalamnya serta pembicaraan mengenai peningkatan nilai tambah batubara
di Sumatera Selatan pada umumnya. Lokasi pertemuan di Kantor Dinas Pertambangan dan
Energi Provinsi Sumatera Selatan, Palembang.
h. Melakukan kegiatan Focus Group Discussion 1 pada tanggal 25 Juli 2011 dengan tema Quo
Vadis Pencairan Batubara di Indonesia. Lokasi kegiatan di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan
dengan jumlah undangan 90 orang dari kalangan akademisi, pengusaha dan aparat
pemerintah pusat dan daerah. Kegiatan dilangsungkan setengah hari yang diakhiri dengan
makan siang bersama.
i. Melakukan serangkaian pertemuan dengan Ditjen Migas sehubungan dengan program
pencairan batubara terkait dengan teknologi CCT-SA Ltd dan teknologi Coal to Etanol yang
dipresentasikan oleh PT Sanggaran Dwi Makmur dan Chelanese dari Amerika Serikat.
Laporan pertemuan terlampir.
j. Mengikuti acara FGD tentang program pencairan batubara yang dilaksanakan oleh BKPM di
Palembang, Sumatra Selatan dan di Samarinda, Kalimantan Timur pada tanggal 13-14 Juli
2011.
k. Melakukan diskusi dan wawancara dengan pemerintah daerah Kalimantan Selatan
khususnya Dinas Pertambangan dan Energi pada tanggal 9-11 November 2011 untuk
membicarakan pencairan batubara dan perusahaan batubara di Kalimantan Selatan yang
memiliki potensi untuk terlibat didalamnya serta pembicaraan mengenai peningkatan nilai
tambah batubara di Kalimantan Selatan pada umumnya. Lokasi pertemuan di Kantor Dinas
Pertambangan dan Energi Provinsi Kalimantan Selatan.
l. Melakukan kegiatan Focus Group Discussion 2 pada tanggal 13 Desember 2011 dengan
tema Peranan Pemerintah untuk Mendorong Pembangunan Pabrik Pencairan Batubara di
Indonesia. Lokasi kegiatan di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan dengan jumlah undangan 40
orang dari kalangan akademisi, pengusaha dan aparat pemerintah pusat dan daerah.
Kegiatan dilangsungkan setengah hari diakhiri dengan makan siang bersama.
m. Melakukan diskusi dengan instansi-instansi terkait di lingkungan Kementrian Energi dan
Sumber Daya Mineral (KESDM) di Jakarta seperti Ditjen Minerba, Ditjen EBTKE, Ditjen Migas
I-7
dan Balitbang ESDM serta instansi lain di luar KESDM di Jakarta seperti BKPM, Kemenko
Ekonomi, DEN dan lainnya. Diskusi ini dilakukan sepanjang tahun 2011 selama penelitian
berlangsung.
II-1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kondisi Industri Batubara Indonesia
Pada saat ini perkembangan industri batubara di Indonesia sudah sangat maju, ditandai
dengan banyaknya perusahaan yang menanamkan modalnya, baik dari investor luar maupun
dalam negeri untuk melakukan kegiatan eksplorasi dan produksi batubara, sehingga terjadi
kenaikan produksi batubara yang sangat signifikan dalam kurun waktu 15 tahun terakhir ini.
Perkembangan industri batubara Indonesia juga ditandai dengan tingginya ekspor batubara dari
tahun ketahun, namun sayangnya tidak didukung dengan penggunaan batubara di dalam
negeri yang cenderung sangat rendah.
2.1.1 Sumber Daya dan Kualitas Batubara
2.1.1.1 Sumber Daya Batubara
Endapan batubara Indonesia tersebar luas di seluruh kepulauan, namun batubara yang
bernilai ekonomis hanya terkonsentrasi pada cekungan-cekungan Tersier di Indonesia bagian
barat yaitu di Pulau Kalimantan dan Sumatera. Endapan batubara dengan potensi kecil (
II-2
Dengan potensi batubara yang sedemikian besar di atas (belum termasuk potensi
batubara untuk tambang bawah tanah), tantangan kedepan adalah mengupayakan
perimbangan strategis antara peran penting batubara sebagai energi primer yang ekonomis
bagi kegiatan produksi di Indonesia dan mengubah cara pandang konvesional sekedar untuk
penerimaan negara.
Gambar II.1 Perkembangan Sumber Daya Batubara Indonesia (milyar ton)
11.549,25
9.580,63
0,12
CADANGAN BATUBARA (JUTA TON)
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
60,51 61,37 65,40
93,40104,76 104,94 105,19
7,00 6,76 9,4818,71 18,78 21,13 21,13
Sumberdaya Cadangan
II-3
Gambar II.2 Penyebaran Sumber Daya dan Cadangan Batubara
Per Wilayah Koridor Ekonomi
Sumberdaya batubara PKP2B dan IUP BUMN tahap produksi (juta ton)
Cadangan batubara PKP2B tahap produksi (juta ton)
21.8239.00
79142045
90.2498.54
23872898
60933603
16519
8699
RIAU
-Riau Bara Harum
-Adaro-Arutmin-Antang-BCS-Baramarta-Baramulti-Jorong
-Kadya CM-SKB-Tanjung AJ-Bangun B-KEL-Liangang C-Borneo IB
KALSEL
-Berau
-Dharma PM
-G. Bayan
-Indominco
-Insani BP
-Interex SC
-KPC
-Kartika SM
-Kideco JA
-Lanna Harita
-MSJ
-Mandiri IP
-MHU
-Tanito
-Trubaindo
KALTIMKALTENG-Marunda Graha M-Multi Tambang Jaya Utama
Jumlah Sumberdaya = 16,51 milyar ton, Cadangan = 8,69 milyar ton
Sumber Data Laporan RKAB PKP2B Tahun 2010
SUMBAR
-Batu Alam Selaras
-Intitirta Prima Sakti
-Pendopo Energi Batubara
-Baturona Adimulya
-Bukit Asam (IUP BUMN)
IUP
IUP
IUP
IUP
KP
IUP
IUP
IUP
IUP:Sumber daya 82,8 milyar tonCadangan 1,8 milyar ton
Gambar II.3 Penyebaran Sumber Daya dan Cadangan Batubara Per Wilayah
Gambar II.4 memperlihatkan peta lokasi fasilitas dan kapasitas terminal angkutan
batubara di beberapa wilayah Indonesia, terutama di bagian timur dan selatan Pulau Kalimantan
serta bagian selatan dan barat pulau Sumatera. Seperti diketahui bahwa konsumen domestik
batubara terutama terdapat di Pulau Jawa dan Sumatera.
2.1.1.2 Kualitas Batubara
Kualitas batubara Indonesia sangat bervariasi. Hal ini sangat erat hubungannya dengan
kondisi atau lingkungan pengendapan tempat dimana batubara tersebut terbentuk. Mengingat
sebagian besar batubara Indonesia terbentuk pada cekungan-cekungan sedimentasi Tersier
berumur Neogen, maka batubara tersebut memiliki peringkat lignit dan subbituminus dengan
nilai kalori rendah dan sedang. Hanya di beberapa tempat, seperti di daerah Bukit Asam -
II-4
Sumatera Selatan, Bengkulu Sumatera dan Kubah Pinang (Sangata), Kalimantan Timur,
dimana batubara peringkat rendah di daerah-daerah tersebut terpengaruh oleh panas dari
intrusi magma sehingga menyebabkan kualitas (nilai kalor) batubara meningkat, ada yang
mencapai peringkat antrasit.
Kapasitas maksimum terminal (DWT)
Grissik Palembang
Semarang
Pacific Ocean
AUSTRALIA
Indian
Ocean
Bangkok
Phnom
Penh
Ban
Mabtapud
Ho Chi
Minh City
CAMBODIA
VIETNAM
THAILAND LAOS
Khanon
Songkhla
Erawan
Bangkot
LawitJerneh
WEST
MALAYSIA
Penang
Kerteh
Kuala
Lumpur
Manila
Philipines
South
China
Sea
NatunaAlpha
Kota
KinibaluBRUNEI
Bandara Seri
Begawan
Bintul
uEASTMALAYSIA
Kuchin
g
Banda Aceh
Lhokseumawe
Medan
Duri
Padang
Jambi
BintanSINGAPORE
Samarinda
Balikpapan
Bontang
KALIMANTAN
Banjarmasin
Manado
SULAWESI
Ujung
Pandang
BURU SERAM
Ternate HALMAHERA
Sorong
IRIAN JAYA
JakartaJ A V A
Surabaya
Bangkalan
BALI SUMBAWA
Pagerungan
LOMBOK
FLORES
SUMBATIMOR
I N D O N E S I A
Duyong
West
Natuna
Port
Dickson
Port Klang
Mogpu
Dumai
Batam
Guntong
MADURA
TOTALCAPACITY
24,000 MW
Jayapura
Merauke
Apar Bay 6.000Tanjung Pemancingan 8.000North Pulau Laut 150.000 Tanjung Peutang 8.000IBT 200.000Sembilang 7.500Air Tawar* 7.500Muara Satui 7.500S a t u i* 5.000Kelanis* 10.000Jorong 7.000Taboneo 15.000
Tarakan 7.500
Muara Pantai 150.000
Tanjung Redep 5.000 Tanjung Bara 210.000 Tanjung Meranggas 90.000
Muara Berau 8.000
B el o r o 8.000Loa Tebu 8.000
Balikpapan 65.000 Tanah Merah 60.000
Tarahan 40.000
Pulau Baai 40.000
Kertapati 7.000
Teluk Bayur 35.000
Gambar II.4 Fasilitas Terminal Batubara di Indonesia
Klasifikasi batubara Indonesia mengacu pada Keppres No. 13 Tahun 2000 yang
diperbaharui dengan PP No. 45 Tahun 2003 tentang Tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan
Pajak yang berlaku pada Departemen Pertambangan dan Energi bidang Pertambangan Umum.
Berdasarkan klasifikasi itu maka batubara Indonesia dibagi menjadi empat macam yaitu :
Batubara Kalori Rendah, adalah jenis batubara yang paling rendah peringkatnya, bersifat
lunak-keras, mudah diremas, mengandung kadar air tinggi (10-70%), memperlihatkan
struktur kayu, nilai kalorinya < 5100 kal/gr (adb).
Batubara Kalori Sedang, adalah jenis batubara yang peringkatnya lebih tinggi, bersifat lebih
keras, mudah diremas tidak bisa diremas, kadar air relatif lebih rendah, umumnya struktur
kayu masih tampak, nilai kalorinya 5100 6100 kal/gr (adb).
II-5
Batubara Kalori Tinggi, adalah jenis batubara yang peringkatnya lebih tinggi, bersifat lebih
keras, tidak mudah diremas, kadar air relatif lebih rendah, umumnya struktur kayu tidak
tampak, nilai kalorinya 6100 - 7100 kal/gr (adb).
Batubara Kalori Sangat Tinggi, adalah jenis batubara dengan peringkat paling tinggi,
umumnya dipengaruhi intrusi ataupun struktur lainnya, kadar air sangat rendah, nilai
kalorinya >7100 kal/gr (adb). Kualitas ini dibuat untuk membantasi batubara kalori tinggi.
Sebagian besar batubara Indonesia termasuk kalori rendah dan sedang hingga mencapai
88% dari total cadangan batubara Indonesia. Jumlah cadangan batubara Indonesia berdasarkan
klasifikasi dapat dilihat pada Gambar II.5.
Gambar II.5 Cadangan Batubara Tiap Pulau di Indonesia Berdasarkan Nilai Kalori
Sumber : Data Neraca Batubara Indonesia Tahun 2010, Badan Geologi, Kementerian ESDM
Secara rinci, batubara Indonesia terdiri atas batubara kalori rendah (
II-6
tinggi (>7.100 kkal/kg). Distribusi kualitas batubara tersebut dihitung dengan basis air dried
basis (adb). Jumlah batubara kalori rendah diperkirakan akan mencapai 60% dari total sumber
daya batubara Indonesia bila perhitungan dilakukan dengan basis as received (ar).
Secara umum kandungan mineral atau abu yang terdiri atas mineral lempung, kuarsa,
pirit dan kalsit umumnya bervariasi dari 1 sampai 16%. Kandungan sulfur pada sebagian besar
batubara umumnya adalah rendah (
II-7
Terbuka bagi perusahaan PMDN dan PMA dengan luas awal daerah yang diminta dapat
mencapai 100.000 hektar;
Kegiatan pertambangan tidak dilakukan berdasarkan izin, tetapi berdasarkan kontrak
yang meliputi seluruh tahapan operasi penambangan;
Kontraktor bertanggung jawab penuh terhadap manajemen operasi dan membayar bagi
hasil bagian pemerintah sebesar 13,5% dari batubara yang terjual;
Kontraktor memiliki kewajiban untuk membayar pajak dengan besar sesuai peraturan
yang berlaku pada waktu kontrak ditandatangani.
Kontraktor dapat memulai program eksploitasi lebih awal dan melakukan tambang
percobaan untuk mendapat contoh uji coba penggunaannya.
Kontrak PKP2B Generasi I adalah kontrak penambangan batubara yang ditandatangani
selama kurun waktu tahun 1981 1993. Pada saat itu penandatanganan kontrak masih dalam
bentuk Kontrak Kerja Sama batubara (KKS Batubara) antara investor penambangan batubara
dengan PTBA mewakili pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan. KKS batubara pada
awalnya berjumlah 11 kontraktor, tetapi pada saat ini yang masih beroperasi hanya 10
kontraktor. Satu kontraktor tidak melanjutkan operasi, yaitu PT. Chung Hua.
Kontrak PKP2B Generasi II adalah kontrak yang ditandatangani selama periode tahun
1993 1996. Mulai tahun 1993, bentuk kontrak diubah menjadi PKP2B. Pada saat kontrak PKP2B
Generasi II ditandatangani, Kuasa Pertambangan masih dipegang oleh PTBA. Kontraktor PKP2B
Generasi II ada 16 perusahaan, yang merupakan perusahaan penanaman modal dalam negeri
(PMDN). Beberapa kontraktor Generasi II diantaranya telah mulai berproduksi hingga saat ini.
Kontrak PKP2B Generasi III adalah kontrak yang ditandatangani selama kurun waktu
tahun 1996 2000. Dalam kontrak PKP2B Generasi III, Kuasa Pertambangan langsung dipegang
oleh pemerintah dengan pelaksananya adalah Direktorat Jenderal Pertambangan Umum (DJPU).
Kontrak PKP2B Generasi III telah menarik banyak investor besar untuk mengusahakan sektor
batubara, baik PMDN maupun PMA (Penanaman Modal Asing), dan saat ini tercatat sebanyak
79 kontraktor PKP2B Generasi III yang beroperasi.
II-8
Kontrak PKP2B generasi terakhir adalah Generasi III+ (susulan), yaitu kontrak
penambangan yang ditandatangani mulai tahun 2001 hingga sekarang. Pada saat ini ada dua
kontraktor PKP2B Generasi III+, yaitu PT. Kurnia Sarana Lestari dan PT. Mahakam Sumber Jaya,
keduanya berlokasi di wilayah Kalimantan Timur, dan masih dalam tahap penyelidikan umum
dan studi kelayakan.
Pengusahaan pertambangan batubara dalam bentuk Kuasa Pertambangan (KP)
dikelompokkan menjadi dua, yaitu KP swasta dan KP koperasi. Kedua jenis KP ini dikeluarkan
oleh pemerintah cq DJPU (waktu itu) atau Direktorat Jenderal Mineral, Batubara dan Panas Bumi
(setelah itu) dan Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara sekarang). Pada awal tahun 2009
disyahkan UU No. 4 Tahun 2009 sebagai pengganti UU No. 11 Tahun l967 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Pertambangan. UU No. 4 Tahun 2009, yang diantaranya memuat hal-hal
sebagai berikut :
a. Mengakhiri skema kontrak namun menghormati keberadaan kontrak yang ada;
b. Memberikan kepastian hukum kepada semua pelaku pertambangan;
c. Menciptakan iklim yang kondusif bagi investasi;
d. UU Minerba mengamanatkan optimalisasi penerimaan Negara;
e. Ditetapkan Wilayah Usaha Pertambangan (WUP), Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) dan
Wilayah Pencadangan Negara (WPN);
f. Skema Perizinan berdasarkan UU Minerba: lzin Usaha Pertambangan (lUP):
IUP eksplorasi dan IUP Operasi Produksi;
lzin Pertambangan Rakyat;
IUP Khusus (IUPK) pada area eks Wilayah Cadangan Negara;
IUP dan IUPK terbuka baik untuk investor melalui lelang;
g. Penetapan IUP melalui sistem lelang, IUPK bisa diberikan oleh izin menteri di ex WPN
(WUPK);
h. Klarifikasi wewenang dan ruang lingkup Pemerintah Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota;
i. Kewajiban Pemrosesan dan pemurnian logam harus dilakukan di Indonesia;
j. Pengembangan masyarakat difokuskan pada kesejahteraan rakyat;
II-9
k. Demi kepentingan nasional. Pemerintah menetapkan domestic market obligation (DMO)
untuk mineral dan batubara;
l. Perusahaan tambang dengan skema IUPK memiliki kewajiban untuk membagikan
keuntungan bersih setelah produksi sebersar 4% kepada Pemerintah dan 6% kepada Pemda;
m. Adanya mekanisme sanksi untuk pelanggaran;
n. Adanya ketentuan peralihan bagi perjanjian/kontrak yang sudah ada.
2.1.2.2 Produksi Batubara
Tambang batubara terutama berlokasi di Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan dan
Sumatera Selatan,. Produksi batubara meningkat sebesar 16% per tahun selama 5 tahun
terakhir. Selama periode 2005-2010 produksi batubara Indonesia menunjukkan kenaikan yang
sangat signifikan. Pada tahun 2005 produksi batubara berjumlah 154 juta ton, dan pada tahun
2010 mencapai 275 juta ton, seperti diperlihatkan pada Gambar II.6. Perlu diinformasikan bahwa
data produksi tidak mencantumkan klasifikasi jenis batubara yang diproduksi, sehingga tidak
diketahui berapa jumlah dan presentase batubara peringkat rendah dari total produksi batubara
tersebut.
II-10
Pertumbuhan Rata-rata Per Tahun :
Produksi = 12%
Domestik = 13%
Ekspor = 13%
Catatan:
Domestik berdasarkan serapan dalam negeri sisanya ke ekspor (tahun 2007-2009)
Ekspor berdasarkan kompilasi data DJMB dan Pusdatin Kementerian Perdagangan
0
50
100
150
200
250
300
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
22 27 29 31 3641 48
54 4956 5757 65
7385
94
111
145
163
191198
192
76
92103
114131
154
193
217
240
256248
To
na
se (
Ju
ta t
on
)
Tahun
Domestik Ekspor Produksi
0
50
100
150
200
250
300
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010Produksi 77 93 103 114 132 153 194 217 240 256 275
Ekspor 58 65 74 86 94 111 144 163 191 198 208
Domestik 19 27 29 29 39 42 50 54 49 58 67
Juta
To
n
Gambar II.6 Produksi dan Penjualan Batubara Indonesia
Realisasi produksi batubara pada tahun 2010 sebesar 275 juta ton dihasilkan oleh PKP2B
217 juta ton dan KP/IUP 57 juta ton. Untuk rencana produksi batubara pada tahun 2011
diperkirakan sekitar 327 juta ton dan tahun 2012 adalah sebesar 332 juta ton (Kepmen ESDM
No. 1991 Tahun 2011). Mengacu kepada jumlah cadangan dan rata-rata tingkat produksi
sebesar 275 juta ton per tahun untuk tambang terbuka, maka cadangan batubara Indonesia
akan habis dalam waktu 77 tahun terkecuali kalau ditemukan cadangan batubara baru. Padahal
pertumbuhan rata-rata produksi batubara adalah sekitar 12% pertahunnya.
2.1.2.3 Penjualan Batubara
II-11
2.1.2.3.1 Penjualan Batubara Dalam Negeri
Dari segi penggunaannya dalam dunia industri dan perdagangan, sebagian besar
batubara Indonesia termasuk kedalam jenis batubara uap (steam coal/termal coal). Batubara
Indonesia tergolong bersih dengan kandungan abu (
II-12
sebesar 14,18 juta ton dari end user domestik lainnya. Sementara untuk tahun 2012 sesuai
Kepmen ESDM No. 1991 K/30/MEM/2011 sebesar 82,07 juta ton dimana PLTU membutuhkan
69,52 juta ton dan sisanya diserap oleh end user domestik lainnya.
Dari total produksi batubara nasional, pasar domestik saat ini hanya mampu menyerap
24% karena keterbatasan pemanfaatannya, karena itu untuk meningkatkan serapan domestik
maka pemanfaatan batubara perlu ditingkatkan dengan memperbanyak kegiatan ekonomi
berbasis batubara.
Pemakai batubara domestik terbagi menjadi 2 (dua), pertama pemakai batubara yang
digunakan sebagai bahan baku seperti, pembuatan briket batubara, pengolahan logam,
pencairan batubara (coal liquefaction), penggasan batubara (coal gasifaction) dan peningkatan
mutu batubara (coal upgrading). Kedua, pemakai batubara yang digunakan sebagai bahan bakar
seperti, sektor pembangkit listrik, sektor industri, sektor usaha kecil, dan rumah tangga.
Penggunaan batubara sebagai bahan bakar PLTU meningkat dari waktu ke waktu, pada
tahun 2005 proporsinya sebesar 63% dan meningkat menjadi 83% pada tahun 2010.
Pemenuhan batubara untuk PLTU 10.000 MW Tahap I sudah terpenuhi secara kotraktual dari 4
PKP2B dan PTBA hingga jangka waktu 5 tahun kedepan.
2.1.2.3.2 Ekspor
Saat ini, sekitar 75% dari total produksi batubara diekspor, terutama ke Jepang, Taiwan,
Korea Selatan dan Eropa. Indonesia akan tetap mempertahankan presentasi ekspor batubara di
masa mendatang. Sebagian besar dari kualitas batubara yang di ekspor adalah batubara sub-
bituminous dan bituminous, walaupun akhir-akhir ini batubara lignit sudah mulai ada
peminatnya, terutama dari India yang menggunakan batubara tersebut sebagai campuran
(blending) batubara peringkat tinggi dengan kandungan abu tinggi. Pembeli batubara Indonesia
dari mancanegara tahun 2010 didominasi oleh China dan India, di samping Jepang, Malaysia,
Korea, negara-negara Eropa, dan Afrika.
Penjualan batubara saat ini bervariasi, yaitu FOB barge, FOB vessel, CIF, dan CNF. Sesuai
dengan Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 17 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penetapan
II-13
Harga Patokan Mineral dan Batubara, seluruh Badan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara
dalam menjual mineral dan batubara harus mengacu pada Harga Patokan Mineral dan Batubara
yang dikeluarkan oleh pemerintah.
2.2. Perkembangan Teknologi Pencairan Batubara
2.2.1 Pengertian Pencairan Batubara
Proses pencairan batubara adalah proses mengkonversi batubara menjadi minyak seperti
bensin atau solar. Proses ini sering diistilahkan sebagai coal liquefaction atau coal to liquids
(CTL). Ada dua cara menghasilkan minyak dari batubara yaitu melalui pencairan batubara secara
langsung (direct coal liquefaction/DCL) dan pencairan batubara secara tidak langsung (in-direct
coal liquefaction/ICL) seperti diperlihatkan pada Gambar II.7, yang masing-masing mempunyai
kelebihan dan kekurangan.
II-14
Gambar II.7 Proses Pencairan Batubara
Pencairan batubara dengan teknologi DCL dilakukan dengan cara mereaksikan batubara
dengan hydrogen pada suhu antara 370-4800C dan tekanan hidrogen antara 100 dan 270 atm
dengan bantuan katalis dan pelarut/solvent. Suhu yang tinggi diperlukan agar terjadi
perengkahan termal (thermal cracking) pada batubara menghasilkan radikal bebas sedangkan
pelarut (solvent) diperlukan sebagai media reaksi dan transfer hydrogen untuk menstabilkan
radikal bebas sehingga dihasilkan produk cair yang stabil. Teknologi DCL menghasilkan fraksi
nafta yang sangat cocok sebagai bahan baku pembuatan bensin tetapi menghasilkan fraksi solar
yang kurang baik sehingga perlu di upgrade lagi untuk meningkatkan angka setana-nya.
Pencairan batubara dengan teknologi ICL diawali oleh proses gasifikasi batubara atau
reforming gas alam untuk menghasilkan sintesis gas (syngas) yaitu suatu gas dengan komposisi
sebagian besar adalah hydrogen (H2) dan karbon monooksida (CO). Proses selanjutnya adalah
sintesa Fischer-Tropsch (FT). Pada proses ini hydrogen direaksikan dengan karbon mono-oksida
dengan bantuan katalis menghasilkan minyak (hidrokarbon) alcohol, aldehydes dan fatty acids.
Senyawa yang mengandung oxygen (oxygenated compounds) kurang dikehendaki sebagai
produk reaksi.
Dalam proses pencairan batubara akan diperoleh bahan bakar minyak, antara lain
berupa bensin, solar dan naphta dengan beberapa produk samping, antara lain LPG dan bahan
II-15
baku untuk industri petrokimia. Proses ini sering diistilahkan sebagai coal liquefaction atau coal
to liquids (CTL).
Produk cair dari proses pencairan batubara biasanya disebut minyak mentah batubara.
Untuk mendapatkan minyak yang mempunyai kesamaan karakteristiknya dengan minyak bumi,
diperlukan suatu proses pemurnian (refining) yang disebut upgrading melalui proses
hidrogenasi dan hidrocracking. Produk dari proses upgrading diantaranya minyak berat dan
distilat menengah. Fraksi minyak berat setelah melalui proses hidrogenasi lebih lanjut dengan
bantuan katalis akan diperoleh naphta dan minyak tanah (kerosene), sedangkan distilat
menengah di upgrade lagi menjadi gasoline dan minyak diesel. Fraksi-fraksi minyak sintetis
tersebut dievalusi dan dianalisa dengan parameter-parameter standar yang berhubungan
dengan bahan bakar. Hasil evaluasi kemudian ditingkatkan mutunya sehingga dapat digunakan
sebagai bahan bakar siap pakai.
Mekanisme pencairan batubara peringkat rendah sangat menarik, karena umumnya
batubara memiliki berat molekul kelompok yang lebih kecil yang dapat memberikan konversi
lebih baik disebabkan memiliki jaringan ikatan lebih reaktif, yaitu hubungan ether yang mudah
putus, dan ada grup fungsional hidroksil dan karbonil yang berkonstribusi dalam pemecahan
hubungan C-C. Perengkahan termal yang cepat dari batubara akan diikuti oleh reaksi retrogresif
produk primer kecuali jika tersedia hidrogen reaktif yang dapat ditransfer dalam jumlah cukup.
Maka pengendalian yang efektif dari pencairan batubara muda tersebut membutuhkan
keseimbangan antara proses pemutusan ikatan dan stabilisasi hidrogenatif dari pecahan yang
terbentuk.
2.2.2 Sejarah Teknologi Pencairan Batubara
Teknologi pencairan batubara ditemukan pada awal abad ke-20 di Jerman yaitu DCL
oleh Friedrich Bergius pada tahun 1913 yang kemudian mendapatkan hadiah Nobel di bidang
kimia pada tahun 1931. Bergius melakukan teknik penambahan hidrogen ke dalam batubara
pada tekanan 200 atmosfir dan suhu 450OC (Shah and Gray, 1981). Pada kondisi tersebut terjadi
dekomposisi batubara membentuk radikal bebas dan hidrogen menstabilkan radikal bebas
II-16
tersebut membentuk suatu cairan yang mirip dengan minyak bumi yang dapat diolah kembali
menjadi minyak diesel dan gasolin (bensin). Pada reaksi pencairan batubara tersebut, oksigen
dalam batubara juga terhidrogenasi menjadi air dan sejumlah belerang menjadi hidrogen
sulfida. Teknologi lainnya adalah ICL oleh Franz Fischer dan Hans Tropsch di tahun 1923 yang
kemudian terkenal dengan nama F-T synthesis atau FTS (Dadyburjor dan Liu, 2004).
Setelah itu perkembangan teknologi pencairan batubara melalui beberapa tahap yang
ditentukan oleh ketersediaan minyak bumi. Tahap pertama adalah sebelum dan saat Perang
Dunia ke II di Jerman, Inggris, Perancis dan Jepang yang dipicu oleh kebutuhan bahan bakar
transportasi. Proses DCL saat itu dioperasikan pada suhu 4700 C dan 70 MPa dengan katalis besi
dengan produksi 4,23 Mt/tahun (Jerman) sementara FTS beroperasi pada 100-4000 C dan 0,1-0,2
MPa dengan katalis kobalt serta pada tekanan 5-100 MPa dengan tambahan katalis ruthenium.
Pada tahun 1933 Pott-Broche dari Jerman mengembangkan proses Bergius, yaitu proses
pencairan batubara dengan menggunakan metode ekstraksi pelarut pada tekanan 2.000 psig
(136 atm) (Wikipedia,2011). Proses ini merupakan awal dari proses SRC (Solvent Refine Coal).
Tahun 1944 Saarbegwerke AG, suatu perusahaan di Jeman yang bergerak dalam penambangan
batubara, telah melakukan penelitian mengenai hidrogenasi batubara dan
mengembangankannya. Penelitian permulaan dilakukan dalam skala laboratorium. Metoda ini
menggunakan keaktifan katalis pada tekanan yang rendah. Pada tahun 1981 Saarbegwerke
mengoperasikan suatu pilot plant kapasitas 6 ton/hari dengan menggunakan tekanan operasi
lebih rendah yaitu 300 atm dan katalis besi. Pada periode ini banyak pabrik percontohan dan
komersil diberbagai lokasi telah dibangun pada seperti terlihat pada Tabel II.1. Namun dengan
pertimbangan keekonomian dan pencemaran lingkungan maka semua pabrik pencairan
tersebut sudah tidak dioperasikan lagi.
Tabel II.1 Perkembangan Proyek Pencairan Batubara Dunia Sampai Tahun 1945
Tahun mulai
operasi
Lokasi Bahan Baku Kapasitas (ton
minyak/tahun)
1927
1936
Leuna
Boehlen
Brown coal & tar
Brown coal tar
650.000
250.000
II-17
1936
1936
1937
1939
1940
1940
1940
1941
1942
1943
Magdeburg
Scholven
Welheim
Gelsenberg
Luetzkendorf
Zeitz
Poelitz
Wesseiling
Bruex
Blechhammer
Brown coal tar
Bituminous coal
Coal Tar Pitch
Bituminous coal
Tar
Brown coal tar
Bituminous coal
Brown coal
Brown coal tar
Bituminous coal & oils
220.000
280.000
130.000
400.000
50.000
280.000
700.000
250.000
600.000
420.000
Catatan: Total jumlah pabrik 12 dengan kapaistas 4.23 juta ton/tahun atau sekitar
100.000 barel/hari
Ketersediaan minyak bumi murah pada tahun 1950-an setelah ditemukannya tambang di
Timur Tengah membuat lesu perkembangan teknologi pencairan batubara kecuali di Afrika
Selatan yang saat itu tidak dapat mendapat minyak bumi. Teknologi Sasol yang dikembangkan
di Afrika Selatan hingga saat ini telah sukses diaplikasikan. Awalnya Sasol 1 difokuskan untuk
menghasilkan bahan bakar minyak , namun kemudian di pertengahan 1970-an produksi Sasol II
dan Sasol III lebih dipusatkan pada bahan kimia.
National Coal Board (Inggris) pada pertengahan tahun 1970-an mengembangkan suatu
proses baru yang dikenal sebagai proses pencairan batubara generasi ketiga (Third Generation
Liquefaction Processes) yaitu dengan melakukan ekstraksi batubara menggunakan pelarut
donor hidrogen dalam fase gas bertekanan tinggi. Pada proses ini, sebagai pelarut donor
hydrogen digunakan toluen pada suhu reaksi 350OC. Di Amerika Serikat, Hydrocarbon Research
Inc., mengembangkan proses hidrogenasi langsung dengan katalis yang dilakukan pada suhu
450-500OC dan tekanan sekitar 200 bar.
Mahalnya harga minyak bumi pada tahun 1970-an mengakibatkan meningkatnya
kembali minat negara-negara seperti Amerika Serikat, Jerman, Jepang, Inggris dan Uni Soviet
II-18
untuk mengembangkan teknologi DCL. Teknologi-teknologi yang dikembangkan dalam tahap
penelitian dan pengembangan dapat dilihat pada Tabel II.2.
Tabel II.2 Percobaan Teknologi Pencairan Batubara
Negara Proses/ Teknologi Kapasitas (ton/hari) Periode
Amerika Serikat SCR1
SCRI/II
EDS
H-Coal
CTSL
HTI
6
50/25
250
600
2
3
1974
1974-1981
1979-1983
1979-1982
1985-1992
1990-an
Jerman IGOR
PYROSOL
200
6
1981-1987
1977-1988
Jepang BCL
NEDOL
50
150
1986-1990
1996-1998
Inggris LSE 2.5 1983-1995
Uni Soviet CT-5 7 1986-1990
China Shenhua
Shenhua
6
3000
2002
2004 -
Jepang telah berhasil melakukan ujicoba pilot plant pencairan kapasitas 50 ton
batubara/hari di Victoria, Australia. Amerika Serikat telah membangun pilot plant kapasitas 600
ton batubara/hari di Catlettsburg, Kentucky, USA. China bekerjasama dengan Amerika sedang
membangun demo plant kapasitas 3.000 ton batubara/hari (Foto 1). Saat ini negara-negara yang
masih aktif mengembangkan teknologi pencairan batubara adalah Afrika Selatan, Amerika,
Jepang, China, India dan Indonesia.
II-19
Foto II.1 Pabrik DCL Shenhua di Inner Mongolia, 2008 ( Sumber : Sun, 2008)
Saat ini terdapat beberapa teknologi gasifikasi batubara skala komersial seperti
teknologi Shell, Texaco, Prenflo, Sasol-Lurgi dan lain-lain. Dalam hal teknologi sintesa Fischer-
Tropsch, Shell telah membangun pabrik GTL di Bintulu Malaysia untuk menghasilkan minyak
solar dan wax. Rentech perusahaan yang berkantor di Amerika juga sedang mengembangkan
teknologi GTL yang terintegrasi dengan pabrik pupuk untuk menghasilkan pupuk dengan
produk samping berupa senyawa hidrokarbon. Walaupun teknologi gasifikasi batubara dan
teknologi sintesa Fischer-Tropsch telah sukses dikembangkan tetapi sampai saat ini hanya
SASOL (Suid Afrikaanse Stenkool en Olie) di Afrika Selatan sebagai satu-satunya perusahaan
yang dapat mengintegrasikan teknologi gasifikasi batubara dan teknologi GTL menjadi fasilitas
coal to liquid (CTL) dalam skala komersial (Foto 2).
II-20
Foto II.2 Pabrik Pencairan SASOL di Afrika Selatan
2.2.3 Status Teknologi Pencairan Batubara
Teknologi pencairan batubara secara langsung telah dikembangkan di Jepang dengan
proses atau teknologi brown coal liquefaction (BCL) dan NEDOL, China dengan proses HTI-
Shenhua dan Amerika Serikat dengan berbagai proses, namun sampai saat ini belum ada
satupun dari teknologi pencairan batubara secara langsung tersebut yang mencapai tahapan
komersil seperti terlihat pada Tabel II.3. Rangkaian proses teknologi BCL yang telah
dikembangkan oleh Jepang dapat dilihat pada Gambar II.8.
II-21
Tabel II.3 Pabrik Percontohan Pencairan Batubara Secara Langsung, 1960- 2008
Tahun Nama Proses/Negara Kapasitas (Ton
batubara/hari)
1962-1980
1963-1972
1960-1980
1965-1980
1980-1984
1990-1993
1995-1998
2008-
Solvent Refined Coal (SRC)/USA
Consol Synthetic Fuels (CSF)/USA
EXXON Donor Solvent (EDS)/USA
H-Coal/USA
Integrated Two-Stage Liquefaction (ITSL)/USA
Brown Coal Liquefaction/Japan
NEDOL/Japan
HTI-Shenhua/China
50
20
250
250
6
50
150
7000
Gambar II.8 Proses Pencairan Batubara Teknologi BCL
II-22
Indonesia telah menjalin kerja sama dengan Pemerintah Jepang sejak tahun 1994, yakni
melakukan pra-studi kelayakan pencairan batubara di 3 (tiga) wilayah, yaitu Banko (Sumatera
Selatan), Mulia (Kalimantan Selatan) dan Berau (Kalimantan Timur) yang hasilnya cukup bagus.
Namun mengingat teknologi BCL yang akan diterapkan dalam program pencairan batubara di
Indonesia belum terbukti secara komersial, maka perlu dilakukan pembangunan pabrik
pencairan batubara skala demo terlebih dahulu dengan kapasitas 13.500 barel perhari dengan
biaya yang diperlukan sekitar US$ 1,5 miliar, sehingga Pemerintah Indonesia menunda rencana
untuk mengimplementasikan teknologi BCL ini di Indonesia.
Secara ringkas hasil penelitian pencairan batubara peringkat rendah di Indonesia
menghasilkan bahwa batubara tersebut mempunyai sifat yang sangat baik untuk dicairkan
menjadi BBM sintetis dengan hasil perolehan yang cukup tinggi yaitu untuk 1 ton batubara (daf)
dapat menghasilkan 4,45 barel BBM sintetis (crude synthetic oil).
Pada proses pencairan batubara secara tidak langsung, batubara dijadikan gas terlebih
dahulu (coal to gas) kemudian gas tersebut disintesa menjadi minyak (Gas to liquid/GTL). Proses
sintesa gas menjadi minyak umumnya menggunakan proses Fischer-Tropsch. Keuntungan
proses ini adalah setiap peringkat batubara dapat diubah menjadi produk cair, komposisi
produk dapat dikontrol dan produk akhirnya mengandung sulfur yang sangat rendah.
Kerugiannya adalah harus melalui proses gasifikasi dan gas yang dihasilkan harus mempunyai
kemurnian yang tinggi untuk dijadikan produk cair, peralatan yang digunakan lebih komplek
sehingga memerlukan biaya yang lebih tinggi serta effisiensi panasnya lebih rendah
dibandingkan dengan proses hidrogenasi batubara.
Proses Fischer-Tropsch merupakan salah satu proses pencairan batubara secara tidak
langsung yang dilakukan pertama kali pada tahun 1925 di Jerman tetapi kemudian dihentikan.
Proses ini menghasilkan hidrokarbon cair dari reaksi gas karbon monoksida dengan hydrogen
melalui bantuan katalis. Namun pada tahun 1980, perusahaan SASOL dari Afrika Selatan
menggunakan teknologi ini lagi setelah melakukan beberapa kali modifikasi, seperti terlihat
pada Gambar II.9.
II-23
Sama halnya dengan SASOL, perusahaan clean coal technology (CCT) dari South Afrika
juga mengimplementasikan proses pencairan batubara tidak langsung dalam mengembangkan
proyeknya di beberapa tempat, antara lain China dan Indonesia. Teknologinya diberi nama clean
coal technology Fischer-Tropsch (CCT FT).
Gambar II.9 Sejarah Pengembangan Pabrik SASOL
III-1
BAB III
PROGRAM KEGIATAN
Program kegiatan penelitian pencairan batubara dalam rangka memberikan
rekomendasi kebijakan kepada pengambil keputusan dilakukan dengan 4 (empat) cara, yaitu
pembuatan kuesioner, pembagian kuesioner dan diskusi, melaksanakan focus group discussion
(FGD) dan koordinasi dengan instansi terkait.
3.1. Pembuatan Kuesioner
Salah satu instrument pengumpulan data untuk penelitian adalah kuesioner atau disebut
juga daftar pertanyaan (terstruktur). Kuesioner adalah pertanyaan tertulis yang diberikan kepada
responden untuk menjawab. Tujuan kuesioner adalah untuk memperoleh data yang sesuai
dengan tujuan penelitian atau sebagai penjabaran dari hipotesis. Kuesioner yang baik adalah
kuesioner yang valid dan reliable. Valid artinya mengukur apa yang seharusnya diukur
sementara reliable artinya instumen pengukuran yang digunakan untuk mengukur objek yang
sama sebanyak beberapa kali hasilnya akan stabil atau sama. Syarat lain dalam pembuatan
kuesioner yang harus dipenuhi adalah adanya relevansi antara pertanyaan dengan tujuan
penelitian dan dengan responden. (www.kti-skripsi.net, 2011).
Ada dua jenis pertanyaan dalam kuesioner yaitu pertanyaan dengan jawaban terbuka
dan pertanyaan dengan jawaban tertutup. Pertanyaan dengan jawaban terbuka adalah
pertanyaan yang memberikan kebebasan penuh kepada responden untuk menjawabnya. Pada
kondisi ini, peneliti tidak memberikan satupun alternatif jawaban. Sementara untuk pertanyaan
dengan jawaban tertutup adalah sebaliknya, yakni semua alternatif jawaban responden sudah
disediakan oleh peneliti sehingga responden tinggal memilih alternatif jawaban yang
dianggapnya paling sesuai. Pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner yang diajukan oleh penulis
dalam penelitian ini adalah berupa gabungan antara pertanyaan tertutup dan terbuka. Hasil dari
pembuatan kuesioner berupa Kuesioner dapat dilihat pada Lampiran 1 (www.tesis-petrus.tk).
III-2
3.2. Pembagian Kuesioner dan Diskusi
Tujuan pembuatan kuesioner dan diskusi adalah untuk mendapatkan data penelitian. Orang
yang menjadi sumber data disebut responden. Untuk penghematan waktu, biaya dan tenaga
maka pembagian kuesioner dilakukan dengan metode sampling non acak yaitu menggunakan
sampel yang bertujuan atau purposive sample dimana sampel dilakukan dengan cara mengambil
subjek, bukan didasarkan atas strata, random atau daerah tetapi didasarkan atas adanya tujuan
tertentu. Sampel yang mempunyai tujuan tertentu dapat dilakukan dengan syarat-syarat khusus
seperti :
pengambilan sampel harus didasarkan atas ciri-ciri, sifat-sifat atau karakteristik tertentu
yang merupakan ciri-ciri pokok populasi,
subjek yang diambil sebagai sampe,l benar-benar merupakan subjek yang paling banyak
mengandung cirri-ciri yang terdapat pada populasi, dan
penentuan karakteristik populasi dilakukan dengan cermat pada studi pendahuluan
(www.kuesionerpenelitian.blogspot.com).
Target penelitian ini adalah populasi orang-orang yang mengerti tentang pencairan
batubara atau orang-orang yang dapat berpengaruh dalam pengambilan kebijakan di
pemerintah atau instansinya baik pusat maupun daerah terkait program pencairan batubara.
Kuesioner ini juga disampaikan ke swasta/pelaku bisnis penambangan batubara untuk
mendapatkan masukan dalam rangka penentuan lokasi, bahan baku serta keikutsertaan dalam
pembangunan pabrik pencairan batubara di Indonesia. Oleh karena itu kuesioner atau diskusi
akan dilakukan dalam kegiatan atau lokasi dimana target responden itu berada.
Lokasi kegiatan yang dipilih adalah :
a. Provinsi Sumatera Selatan;
Provinsi ini memiliki sumber daya batubara sebesar 47,08 miliar ton dengan kategori
cadangan sebanyak 9,54 miliar ton.
b. Provinsi Kalimantan Selatan;
Provinsi ini memiliki sumber daya batubara sebesar 12,26 miliar ton dengan kategori
cadangan sebanyak 3,6 miliar ton.
c. Provinsi Kalimantan Timur;
Provinsi ini memiliki sumber daya batubara sebesar 37,9 miliar ton dengan kategori
cadangan sebanyak 5,9 miliar ton.
III-3
d. DKI Jakarta;
Kegiatan dilakukan di beberapa lokasi seminar dan instansi pemerintah terkait dan
swasta/pelaku bisnis penambnagan batubara yang sebagian besar mempunyai kantor di
Jakarta.
e. Provinsi Bali;
Peserta yang mengikuti seminar tentang bisnis, kebijakan dan penyedia teknologi
pemanfaatan batubara merupakan target responden.
3.3. Pelaksanaan FGD
FGD secara sederhana dapat didefinisikan sebagai suatu diskusi yang dilakukan secara
sistematis dan terarah mengenai suatu isu atau masalah tertentu. Irwanto (2006) mendefinisikan
FGD sebagai suatu proses pengumpulan data dan informasi yang sistematis mengenai suatu
permasalahan tertentu yang sangat spesifik melalui diskusi kelompok.
Sebagai alat penelitian, FGD dapat digunakan sebagai metode primer maupun sekunder.
FGD berfungsi sebagai metode primer jika digunakan sebagai satu-satunya metode penelitian
atau metode utama (selain metode lainnya) pengumpulan data dalam suatu penelitian. FGD
sebagai metode penelitian sekunder umumnya digunakan untuk melengkapi riset yang bersifat
kuantitatif dan atau sebagai salah satu teknik triangulasi. Dalam kaitan ini, baik berkedudukan
sebagai metode primer atau sekunder, data yang diperoleh dari FGD adalah data kualitatif.
Dalam kaitannya dengan penelitian, FGD berguna untuk:
a) Memperoleh informasi yang banyak secara cepat;
b) Mengidentifikasi dan menggali informasi mengenai kepercayaan, sikap dan perilaku
kelompok tertentu;
c) Menghasilkan ide-ide untuk penelitian lebih mendalam; dan
d) Cross-check data dari sumber lain atau dengan metode lain.
(sumber : www.bincangmedia.wordpress.com)
III-4
3.4. Koordinasi dengan Instansi Terkait
Program pencairan batubara adalah program yang sudah lama berjalan di Indonesia
dimana sejak penelitiannya sendiri sudah berjalan sejak tahun 1995, baik dilakukan oleh
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Badan Pengkajian dan Perekayasaan Teknologi
(BPPT) maupun Perguruan Tinggi. Dengan demikian tidak aneh jika hingga saat ini banyak
instansi yang terlibat baik dalam hal penelitian maupun dalam hal kebijakan atau pengeluaran
peraturan pemerintah yang berkaitan dengan program pencairan batubara.
Di dalam lingkungan ESDM sendiri saat ini ada 4 lembaga eselon 1 yang terkait dengan
kegiatan ini baik menyangkut bahan baku maupun hilir atau produknya. Keempat lembaga itu
adalah Ditjen Minerba, Ditjen Migas, Balitbang ESDM, dan Ditjen EBTKE. Ditjen EBTKE saat ini
merupakan ditjen yang paling bertanggungjawab mengurus pencairan batubara setelah
pencairan batubara dimasukkan sebagai energi baru. Untuk instansi lain di luar ESDM juga
cukup banyak, antara lain BPPT, Kementrian Ristek, Kementrian Keuangan dan Kementrian
Perindustrian.
Perguruan Tinggi dan pelaku bisnis penambangan batubara yang terlibat dalam
program pencairan batubara, antara lain adalah Universitas Sriwijaya, ITB, PT Tambang Batubara
Bukit Asam Tbk, PT Bumi Resources TBK dan PT BEP. Oleh karena itu diperlukan koordinasi dan
kerjasama antara instansi-instansi yang terkait tersebut sehingga kegiatan yang dilakukan
nantinya tidak tumpang tindih yang akhirnya diperoleh hasil yang konkret.
IV-1
BAB IV
METODOLOGI
4.1. Pendekatan Metodologi
Metoda yang digunakan dalam melaksanakan kegiatan kajian kebijakan teknis program
pencairan batubara adalah metode policy research (penelitian kebijaksanaan) yaitu suatu proses
penelitian yang dilakukaan pada, atau analisis terhadap masalah-masalah social yang mendasar,
sehingga temuannya dapat direkomendasikan kepada pembuat keputusan untuk bertindak
dalam menyelesaikan masalah. Didalam metode penelitian kebijaksanaan ini meliputi
pengumpulan data sekunder dan data primer.
Data sekunder, berupa informasi yang dihimpun berasal dari studi literatur baik berupa
laporan-laporan hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Pusat Penelitian dan
Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara (Puslitbang tekMIRA) dan pihak lain,
peraturan/perda di sektor pertambangan dan investasi, data cadangan dan sumber daya
batubara termasuk data yang tidak dipublikasikan dari pelaku penambangan batubara, buku,
majalah, jurnal ataupun informasi lainya, baik dari media cetak maupun media internet.
Data primer, berupa peninjauan langsung ke lapangan untuk melakukan wawancara dan
diskusi di perusahaan penambangan batubara, perusahaan daerah dan instansi terkait. Informasi
dari pelaksanaan FGD serta hasil pendistribusian kuesioner juga merupakan data primer.
Wawancara, diskusi dan kuesioner yang dilaksanakan kepada responden tertentu yaitu para
narasumber sebagai orang yang ahli di bidangnya, perusahaan-perusahaan batubara dan
pejabat-pejabat di instansi terkait serta para ilmuwan yang berkaitan dengan teknologi
pencairan batubara merupakan kategori data primer.
Data dan Informasi yang diperoleh kemudian diolah dan dianalisa serta dievaluasi untuk
menghasilkan rekomendasi kebijakan terkait penelitian dan pengembangan pencairan batubara
di Indonesia.
Kriteria keberhasilan kegiatan yang diperoleh akan tergambar pada dipergunakannya
rekomendasi yang dihasilkan sebagai rekomendasi Puslitbang tekMIRA, Balitbang ESDM kepada
IV-2
Ditjen Mineral dan Batubara, instansi yang didukungnya, sebagai bahan pertimbangan dalam
menentukan kebijakan nasional terkait program pencairan batubara di Indonsia.
4.2. Pelaksana Kegiatan Penelitian Pencairan Batubara
Dalam pelaksanaan kegiatan penelitian dibantu oleh anggota-anggota tim seperti terlihat pada
Tabel IV.1.
Tabel IV.1. Pelaksana Kegiatan
No Nama Personil Kedudukan Keahlian Tugas
1 Ir. Hadi Nursarya,
M.Sc
Penanggung Jawab Kepala Pusat
Tekmira
Memberi masukan dalam
semua tahap kegiatan
2 Gandhi Kurnia
Hudaya, ST
Kepala Tim/
Peneliti Muda
Sarjana Teknik
Industri
Mengkoordinir semua
tahap kegiatan secara
optimal dan
melaksanakan tertib
administrasi
3 Ir. Suganal Tenaga Ahli/
Peneliti Madya
Ahli Konversi
Batubara
Memberi masukan dalam
semua tahap kegiatan
4 Prof. Dr. Bukin
Daulay, M.Sc
Peneliti
Utama/Moderator/
Pembahas
Ahli Petrografi
Batubara
Melakukan penelitian/
kajian program pencairan
batubara
5 Dr. Ir. Miftahul Huda Peneliti
Muda/Pembahas
Ahli Pencairan
Batubara
Melakukan penelitian/
kajian program pencairan
batubara
6 Dr. Datin Fatia Umar Peneliti Utama Ahli Pemanfaatan
Batubara
Melakukan penelitian/
kajian program pencairan
batubara
7 Nining Sudini
Ningrum, M.Sc
Peneliti Utama Ahli Pencairan
Batubara
Melakukan penelitian/
kajian program pencairan
batubara
8 Ir. Darsa Permana Peneliti Madya Ahli Kebijakan Melakukan penelitian/
kajian program pencairan
batubara
9 Iwan Rijwan, S.Si Peneliti Muda Sarjana Kimia
Murni
Melakukan penelitian/
kajian program pencairan
batubara
10 Ikin Sodikin, ST Peneliti Muda Sarjana Tambang Melakukan penelitian/
kajian program pencairan
batubara
IV-3
11 Fahmi Sulistyohadi,
ST
Peneliti Pertama Sarjana Teknik
Kimia
Melakukan penelitian/
kajian program pencairan
batubara
12 Dedy Yaskuri, ST Peneliti Pertama Sarjana Teknik
Mesin
Melakukan penelitian/
kajian program pencairan
batubara
13 Drs Ijang Suherman Peneliti Madya Ahli Statistik Melakukan penelitian/
kajian program pencairan
batubara
14 Ir. Rochman
Saefudin
Peneliti Muda Ahli Tekno
Ekonomi
Melakukan penelitian/
kajian program pencairan
batubara
15 Drs. Hermanu
Prijono
Perekayasa Madya Analis Batubara Melakukan penelitian/
kajian program pencairan
batubara
16 Lely Agustiana Litkayasa Analis Batubara Melakukan kajian dan
membantu
kesekretariatan 17 Yuliani Maulizar Arsiparis Ahli Kearsipan Melakukan kajian dan
membantu
kesekretariatan 18 Tuti Hernawati, S.Si. Peneliti Pertama Sarjana Statistik Melakukan kajian dan
membantu
kesekretariatan 19 Arlina Ardisasmita Pembahas Direktur BKPM Melakukan pembahasan
di FGD 1
20 Eddy Prasojo Pembahas Sekretaris Ditjen
Minerba ESDM
Melakukan pembahasan
di FGD 1
21 Yunirwansyah Pembahas Kasubdit
Peraturan ppH
Badan Dit PP2-
Ditjen Pajak
Melakukan pembahasan
di FGD 1
22 Bob Kamandanu Pembahas Direktur APBI Melakukan pembahasan
di FGD 2
23 Nanang Eko Indarto Pembahas Kasubdit - BKPM Melakukan pembahasan
di FGD 2
24 F Harry Christiono Pembahas Manajer Medco
Energi
Melakukan pembahasan
di FGD 2
IV-4
4.3. Anggaran Kegiatan
Anggaran biaya kegiatan penelitian pencairan batubara dapat dilihat pada Tabel IV.2.
Tabel IV.2. Anggaran Kegiatan
No Tahapan Biaya (Rp)
1. Persiapan 76.176.000,-
2. Kegiatan Lapangan 166.994.000,-
3. Pelaksanaan Focus Group Discussion (FGD) 255.970.000,-
4. Analisis dan Pengolahan Data 87.150.000,-
5. Pelaporan 39.673.000,-
Jumlah 625.963.000,-
IV-5
4.4. Pelaksanaan Kegiatan Pencairan Batubara
Pelaksanaan kegiatan penelitian pencairan batubara dapat dilihat pada Tabel IV.3.
Tabel IV.3. Jadwal Pelaksanaan Kegiatan
No.
KEGIATAN
Bulan ke
1 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
1 Persiapan:
a. Studi literatur dan evaluasi data
skunder tentang pencairan
batubara dan kebijakannya.
2 Kegiatan Lapangan :
a. Melakukan diskusi dan
wawancara
b. Membuat dan mendistribusikan
kuesioner
c. Melakukan evaluasi hasil diskusi,
wawancara dan kuesioner
d. Melakukan FGD
5 Pelaporan
Target Kegiatan Fisik Bulanan, % 5 5 5 10 10 10 10 10 10 10 10 5
Target Fisik Kumulatif, % 5 10 15 25 35 45 55 65 75 85 95 100
V-1
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Hasil Kegiatan
5.1.1 Hasil Pembagian Kuesioner
Lembar kuesioner yang telah dibagikan kepada target responden adalah 100
lembar. Lokasi pembagian antara lain di acara FGD 1 di Jakarta, FGD Pencairan yang
dilaksanakan oleh Badan Kordinasi Penanaman Modal (BKPM) masing-masing di
Palembang Sumatera Selatan dan Samarinda Kalimantan Timur serta rapat masyarakat
pertambangan Indonesia di Bali. Dari 100 lembar kuesioner tersebut, yang dapat dihitung
hasilnya adalah 19 lembar kuesioner. Sisanya tidak dapat digunakan sebagai hasil
penelitian karena jawaban yang diberikan dalam kuesioner tidak lengkap sehingga tidak
dapat digunakan sebagai sumber data yang lengkap.
Berikut hasil penjaringan pendapat dan informasi melalui kuesioner :
I. Data Responden
Responden terdiri dari :
15
4 Pria
Wanita
V-2
Pengetahuan responden mengenai progam pencairan batubara cukup baik karena
sebagian besar menjawab telah mengetahui tentang pelaksanaan program pencairan
batubara, kontribusi pencairan batubara dalam bauran energi serta landasan hukum
tentang pencairan batubara meskipun hanya sepertiganya yang benar-benar pernah
terlibat langsung dalam penelitian atau upaya mencari teknologi pencairan batubara.
Dengan demikian target responden sebagai purposive sample telah terwakili. Hal ini
tergambar dalam 4 pertanyaan dibawah ini :
4
11
2
2
Pengusaha
PNS
KaryawanSwasta/BUMN
Peneliti/Akademisi
12
7
Sudah tahukah Anda bahwa penelitian pencairan batubara di Indonesia sudah dilaksanakan sejak lebih dari 20 tahun yang lalu ?
Sudah
Belum
15
4
Sudah tahukah Anda bahwa pemerintah Indonesia telah memiliki target bahwa pada tahun 2025 nanti kontribusi pencairan batubara dalam bauran energi mencapai minimal 2% ?
Sudah
Belum
V-3
II. Pendapat Responden
Pada bagian ini target responden diminta untuk memberikan pendapatnya mengenai
program pencairan batubara di Indonesia. Pendapat-pendapat responden itu adalah
sebagai berikut :
1. Dari 19 responden, 18 responden menyatakan bahwa pencairan batubara perlu
diterapkan di Indonesia.
2. Alasan utama perlunya pencairan batubara adalah :
a. karena pencairan batubara merupakan energi alternatif untuk mengatasi krisis
BBM dan sumber energi di masa depan (11 responden),
b. meningkatkan nilai tambah batubara di dalam negeri (2 responden),
c. memanfaatkan cadangan batubara yang ada (2 responden), dan
d. teknologi pencairan batubara sudah ada (1 responden).
12
7
Sudah tahukah Anda bahwa Inpres No. 2 tahun 2006 adalah tentang percepatan penerapan teknologi pencairan batubara di Indonesia ?
Sudah
Belum
6
13
Apakah Anda pernah terlibat dalam program pencairan batubara misalnya penelitian atau mencari teknologi pencairan batubara yang dapat diaplikasikan di perusahaan Anda ?
Pernah
Belum
V-4
3. Alasan mengapa tidak perlu pencairan batubara diterapkan di Indonesia adalah
karena Indonesia belum dapat mengembangkan teknologi pencairan batubara sendiri
serta kurangnya dukungan pemerintah.
4. Faktor-faktor yang penting dalam mewujudkan pabrik pencairan batubara di
Indonesia adalah :
a. Cadangan batubara (13 responden)
b. Teknologi pencairan batubara (17 responden)
c. Pemerintah menjamin investasi pencairan batubara (12 responden)
d. Emisi pencairan batubara rendah (8 responden)
e. Peraturan/kebijakan yang berlaku (14 responden)
f. Terbentuknya Badan Khusus untuk mengatur (1 responden)
g. Keseriusan pemerintah (4 responden)
5. Faktor-faktor yang menjadi kekuatan Indonesia dalam rangka penerapan teknologi
pencairan batubara adalah :
a. Sumber daya batubara yang cukup (19 responden)
b. Sumber daya manusia yang ahli (5 responden)
c. Kebijakan pemerintah yang kuat (4 responden)
6. Faktor-faktor yang menjadi kelemahan atau penghambat Indonesia dalam
menerapkan teknologi pencairan batubara adalah :
a. Pasokan batubara yang kurang terjamin (5 responden)
b. Harga batubara yang berfluktuasi mengikuti pasar internasional (7 responden)
c. Kebijakan pemerintah yang belum lengkap (17 responden)
d. Sumber daya manusia di Indonesia yang belum terampil (7 responden)
e. Pembiayaan (2 responden)
f. Teknologi bangsa Indonesia (1 responden)
7. Teknologi pencairan batubara seperti apa yang sebaiknya diterapkan di Indonesia :
a. Diciptakan sendiri oleh Indonesia meskipun butuh waktu lama (3 responden)
b. Membeli teknologi luar kemudian dimodifikasi di Indonesia, butuh waktu agak
lama dan biaya besar (5 responden)
V-5
c. Bekerja sama dengan pihak luar negeri untuk diterapkan di Indonesia (15
responden)
8. Sektor yang perlu diprioritaskan adalah penyediaan energi (10 responden) dan
pemberantasan korupsi (9 responden). Sementara sector pangan hanya mendapat 2
responden. Mungkin karena responden yang ditanya keseluruhan berasal dari sector
ESDM atau karena hingga saat ini masalah pangan masih bisa diatasi oleh
pemerintah.
9. Untuk sektor energi, sub sektor yang menjadi prioritas utama adalah pengembangan
energi terbarukan (14 responden), kemudian pencairan batubara (5 responden) dan
listrik (3 responden).
10. Mengenai pendanaan program pencairan batubara, sebagian besar mengharapkan
berasal dari kombinasi PMA, PMDN dan pemerintah (13 responden), sebagian lagi
mengharapkan berasal murni dari Pemerintah (3 responden) dan PMDN (3
responden). Tidak ada yang memilih dana berasal dari PMA seluruhnya.
11. Hampir seluruh responden berpendapat bahwa pemerintah boleh memberi
kemudahan atau insentif khusus pada perusahaan yang hendak membangun pabrik
pencairan batubara (16 responden) sementara yang berpendapat tidak boleh hanya 1
responden.
III. Saran-saran Responden
Berikut ini adalah saran-saran yang diberikan oleh responden dalam kuesioner
berkaitan dengan penerapan program pencairan batubara di Indonesia :
a. Program ini harus cepat dilaksanakan mengingat kebutuhan Indonesia akan BBM
semakin meningkat serta untuk menghindari krisis energi dimasa depan.
b. Kebijakan pemerintah yang tepat diperlukan dalam hal blue print pemanfaatan
batubara, perubahan paradigma batubara sebagai energi dan kebijakan insentif
berupa kebijakan fiscal.
c. Perlunya dukungan dari seluruh stakeholder dan koordinasi antar lembaga
pemerintah yang lebih baik.
V-6
d. Pemilihan teknologi pencairan batubara yang tepat dan hemat dalam
penggunaan sumber daya alam dan sebisa mungkin ramah lingkungan.
e. Perlu persiapan sumber daya manusia untuk menguasai teknologi pencairan
batubara
5.1.2 Pelaksanaan Focus Group Discussion (FGD)
A. Focus Group Discussion 1
Focus Group Discussion (FGD) 1 dilaksanakan di Hotel Bidakara Jakarta pada
tanggal 25 Juli 2011 dengan tema Quo Vadis Program Pencairan Batubara di Indonesia.
Tujuannya adalah mengumpulkan saran dan pendapat dari masyarakat khususnya
masyarakat batubara mengenai program pencairan batubara di Indonesia. Sedangkan
sasarannya adalah mendapatkan informasi dan pendapat narasumber dan responden
tentang program pencairan batubara di Indonesia sehubungan dengan kondisi krisis
energy saat ini baik di Indonesia maupun di dunia.
FGD dibuka oleh Kepala Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara (tekMIRA) Ir.
Hadi Nursarya, MSc dan dihadiri oleh 58 orang peserta (diluar panitia) serta 5 orang
pembahas yang dimoderatori oleh Prof. Bukin Daulay. Pembahas yang hadir adalah Arlina
Ardisasmita (Direktur Pelayanan Perizinan-BKPM), Drs. Eddy Prasojo, M.Sc (Sekretaris
Ditjen Minerba _ KESDM), Dr. Ir. Miftahul Huda (Peneliti dari Puslitbang tekMIRA),
Yunirwansyah (Kasubdit Peraturan ppH Badan Dit PP2-Ditjen Pajak) dan tim Clean Coal
Technology-CCT dari Afrika Selatan. Materi bahasan dan dokumentasi kegiatan berupa
foto-foto secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 4 dan 5.
Kesimpulan FGD 1 secara ringkas adalah bahwa Indonesia memerlukan investasi
dari pihak selain pemerintah untuk menggerakkan perekonomian negara serta
mengurangi pengangguran. Pabrik komersial pencairan batubara adalah salah satu
V-7
alternatif investasi yang padat modal serta mampu meningkatkan perekonomian di
daerah sekitarnya. Pemerintah telah menyiapkan skema subsidi yang dapat digunakan
investor untuk membangun pabrik komersial pencairan batubara, selain itu dengan
fasilitas DMO-nya pemerintah Indonesia juga dapat membantu menjamin pasokan
batubara sebagai bahan baku pabrik pencairan batubara. Salah satu teknologi yang dapat
diterapkan di Indonesia adalah teknologi CCT yang memiliki beberapa keunggulan
dibandingkan teknologi SASOL. Keunggulan itu antara lain kapasitas produksinya lebih
sedikit untuk mencapai skala ekonomis sehingga biaya modal juga lebih sedikit dan
bantuan konsultasi untuk pencarian modal yang dijembatani oleh Stan Stewart Capital.
B. Focus Group Discussion 2
Focus Group Discussion (FGD) 2 dilaksanakan di Hotel Bidakara Jakarta pada
tanggal 13 Desember 2011 dengan tema Peranan Pemerintah untuk Mendorong
Pembangunan Pabrik Pencairan Batubara di Indonesia. Tujuannya adalah untuk
berdiskusi dan mencari solusi dalam upaya membuat rekomendasi kebijakan (policy
paper) kepada pemerintah dalam rangka mempercepat realisasi pabrik pencairan
batubara di Indonesia.
FGD dibuka oleh Kepala Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara (tekMIRA) Ir.
Hadi Nursarya, MSc dan dihadiri oleh 40 orang peserta serta 4 orang pembahas yang
dimoderatori oleh Prof. Bukin Daulay. Pembahas yang hadir adalah Nanang Eko Indarto
(Kasubdit -BKPM), Bob Kamandanu (APBI), Prof. Bukin Daulay (Peneliti dari Puslitbang
Tekmira) dan F. Hary Christiono (Medco Energi). Materi bahasan dan dokumentasi
kegiatan berupa foto-foto dapat dilihat pada Lampiran 6 dan 7.
Kesimpulan FGD 2 secara ringkas adalah bahwa pemerintah perlu memiliki
ketegasan sikap tentang rencana pemanfaatan batubara di Indonesia terutama berkaitan
dengan teknologi pencairan batubara. Jika memang pemerintah menginginkan
terwujudnya pabrik pencairan batubara secara komersial di Indonesia maka perlu
dikeluarkan kebijakan-kebijakan yang mendukung ke arah tersebut. Factor utama
penghambat pembangunan pabrik komersial pencairan batubara adalah
V-8
keekonomiannya. Dengan harga bahan baku yaitu batubara yang tinggi saat ini serta
kemudahan pengusaha untuk menjual batubara dalam bentuk wantah maka tidak ada
investor yang tertarik. Jika ekspor batubara wantah dibatasi serta pemerintah
menetapkan kebijakan terkait harga batubara di dalam negeri untuk pabrik pencairan
batubara maka kemungkinan besar secepatnya Indonesia akan memiliki pabrik komersial
pencairan batubara.
5.1.3 Koordinasi dengan Instansi Terkait
Selama pelaksanaan penelitian ini terdapat beberapa kegiatan koordinasi dengan
instansi terkait yang dilaksanakan. Beberapa kegiatan penting yang dilakukan antara lain :
Kegiatan pertemuan dengan CCT Afrika Selatan dan Dirjen Migas dan beberapa
perusahaan batubara di Jakarta pada tanggal 28-29 Maret 2011 (laporan pada
Lampiran 2). Dari hasil pertemuan dapat diambil kesimpulan bahwa pemerintah
(Dirjen Migas) sangat mendorong penerapan teknologi pencairan batubara sepanjang
pemerintah tidak perlu menyediakan dana, sementara itu perusahaan-perusahaan
batubara sebagian besar tertarik dan mereka bermaksud bekerjasama dengan CCT
setelah ada pembicaraan lebih lanjut.
Kegiatan pertemuan dengan Ditjen Migas, PT Sanggaran Mega Makmur dan
Chelanese terkait rencana pengembangan teknologi pengolahan batubara menjadi
etanol pada bulan Februari April 2011 (laporan pada Lampiran 3).
Aktif mengikuti kegiatan Peningkatan Nilai Tambah (PNT) dalam rangka
mempersiapkan draft Permen tentang upaya PNT khususnya bagi batubara
sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 4 tahun 2009 dan PP No. 23 tahun 2010.
Kegiatan berlangsung sepanjang tahun 2011. Hasil kegiatan antara lain adalah
selesainya draft Permen PNT Batubara yang kemudian diserahkan