29
Jumat, 17 Oktober 2008 Analisi Dampak Sosial Pariwisata Di Indonesia 2.1 Aspek Sosial yang Tertinggal Pariwisata adalah fenomena kemasyarakatan, yang menyangkut manusia, masyarakat, kelompok organisasi, kebudayaan, dan sebagainya, yang merupakan objek kajian sosiologi. Namun demikian kajian sosiologi belum begitu lama dilakukan terhadap pariwisata, meskipun pariwisata sudah mempunyai sejarah yang sangat panjang. Hal ini terkait dengan kenyataan bahwa pariwisata pada awalnya lebih dipandang sebagai kegiatan ekonomi, dan tujuan utama pengembangan pariwisata adalah untuk mendapatkan keuntungan ekonomi, baik bagi masyarakat maupun daerah (negara). Sebagaimana halnya dengan pembangunan secara umum, ada beberapa hal yang menyebabkan aspek-aspek sosial-budaya atau aspek sosiologis kurang mendapat perhatian. Dengan mengikuti teori modernisasi klasik, pembangunan di dunia ketiga umunya memberikan penekanan pada aspek ekonomi. Paradigma dan program-program yang memfokuskan perhatian pada aspek ekonomi seringkali bertentangan dengan program-program dengan penekanan aspek sosial. Dalam konflik kepentingan ini, aspek sosial lebih sering dikalahkan. Masih dalam kaitan dengan focus ekonomi, salah satu tujuan setiap program pembangunan adalah untuk mengejar produktivitas, dan dalam usaha ini manusia (tenaga kerja) dipandang sebagai ‘faktor produksi’ yang mekanis, maka berbagai aspek sosial- budaya kurang mendapatkan perhatian. Faktor lain yang memarginalisasi aspek sosial-budaya adalah karena performance indicator (kinerja atau keberhasilan) umumnya diukur secara statistika atau kuantitatif. Sementara itu sebagian besar dari isu sosial-budaya bersifat kualitatif, sehingga tidak termasuk dalam indikator keberhasilan ‘pembangunan’. Dengan demikian, pelaksanaan

Dampak Pariwisata.doc

  • Upload
    ebudhy

  • View
    31

  • Download
    3

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Dampak Pariwisata

Citation preview

Jumat, 17 Oktober 2008

Analisi Dampak Sosial Pariwisata Di Indonesia

2.1 Aspek Sosial yang Tertinggal

Pariwisata adalah fenomena kemasyarakatan, yang menyangkut manusia, masyarakat, kelompok organisasi, kebudayaan, dan sebagainya, yang merupakan objek kajian sosiologi. Namun demikian kajian sosiologi belum begitu lama dilakukan terhadap pariwisata, meskipun pariwisata sudah mempunyai sejarah yang sangat panjang. Hal ini terkait dengan kenyataan bahwa pariwisata pada awalnya lebih dipandang sebagai kegiatan ekonomi, dan tujuan utama pengembangan pariwisata adalah untuk mendapatkan keuntungan ekonomi, baik bagi masyarakat maupun daerah (negara).

Sebagaimana halnya dengan pembangunan secara umum, ada beberapa hal yang menyebabkan aspek-aspek sosial-budaya atau aspek sosiologis kurang mendapat perhatian. Dengan mengikuti teori modernisasi klasik, pembangunan di dunia ketiga umunya memberikan penekanan pada aspek ekonomi. Paradigma dan program-program yang memfokuskan perhatian pada aspek ekonomi seringkali bertentangan dengan program-program dengan penekanan aspek sosial. Dalam konflik kepentingan ini, aspek sosial lebih sering dikalahkan. Masih dalam kaitan dengan focus ekonomi, salah satu tujuan setiap program pembangunan adalah untuk mengejar produktivitas, dan dalam usaha ini manusia (tenaga kerja) dipandang sebagai faktor produksi yang mekanis, maka berbagai aspek sosial-budaya kurang mendapatkan perhatian.

Faktor lain yang memarginalisasi aspek sosial-budaya adalah karena performance indicator (kinerja atau keberhasilan) umumnya diukur secara statistika atau kuantitatif. Sementara itu sebagian besar dari isu sosial-budaya bersifat kualitatif, sehingga tidak termasuk dalam indikator keberhasilan pembangunan. Dengan demikian, pelaksanaan pembangunan tidak memberikan perhatian serius terhadap aspek sosial-budaya ini. Apalagi aspek sosial budaya memang sangat sulit diukur. Kesulitan mengukur ini ditambah lagi dengan kesulitan menentukan hasil dari program-program dalam bidang sosial-budaya sangat sulit diisolisasi, sehingga sulit juga untuk menentukan secara pasti adanya hubungan sebab-akibat (cause and effect), apalagi dalam waktu yang singkat.

Penggunaan perencana dari luar,sesuai dengan dalil-dalil teori modernisasi, sering secara tidak sadar membawa nilai-nilai luar, serta memaksakan penerapan nilai-nilai tersebut di daerah yang dibangun. Sifat etnosentrisme perencana dari luar ini sering menihilkan budaya lokal. Etnosentrisme perencana (konsultan) luar ini didukung kemudian oleh sentralisasi pengambilan keputusan, dimana masyarakat lokal tidak mempunyai peran di dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi hidup atau menentukan masa depan mereka.

Belakangan aspek sosial-budaya mulai diperhatikan, karena berbagai alasan. Di kalangan ahli pembangunan, mulai muncul wacana bahwa pembangunan tersebut sesungguhnya adalah untuk manusia, sebagai suatu proses belajar (social-learning process), dan dalam hal ini manusia merupakan pusat dan penggerak, sekaligus untuk siapa pembangunan tersebut dilakukan, sesuai dengan konsep people-centred development (David Korten, 1987). Jadi manusia bukan sekedar faktor produksi.

Kritik tajam juga banyak ditujukan kepada teori modernisasi klasik, dan mengingatkan akan pentingnya unsur non-material dalam pembangunan, seperti human dignity (Julius Nyerere), social needs (Maslow), atau spiritual needs (Apthorpe). Menurut faham humanism, pembangunan harus diusahakan untuk memanusiakan manusia, sebagaimana berkembang dalam wacana pembangunan di Zambia dan Tanzania. Dalam pemanusiaan manusia ini, pembangunan harus memberikan penghargaan terhadap nilai rasa, yang mungkin tidak rasional dalam konsep masyarakat lokal (the rational of irrationality).

Pengalaman empiris juga telah banyak membuktikan bahwa begitu banyak dana dan waktu dikeluarkan untuk melakukan pembangunan, tetapi mengalami kegagalan. Tidak jarang, pembangunan justru mengundang protes dari masyarakat di mana pembangunan dilaksanakan (indigenous people). Kegagalan program yang tidak adaktif secara sosial-budaya ini ini memberikan pelajaran penting, betapa aspek sosial-budaya harus mendapatkan tempat dalam perencanaan pembangunan, bukan saja sebagai aspek pinggiran.

Berkembangnya kembali kajian ekologi manusia (human ecology) yang sangat menghargai pengetahuan masyarakat lokal (ethnoscience) juga sangat mendorong perencana dan pelaksana pembangunan untuk melihat aspek-aspek sosial-budaya secara lebih serius.

2.2 Dampak Sosial Pariwisata

Pariwisata adalah suatu kegiatan yang secara langsung menyentuh dan melibatkan masyarakat, sehingga membawa berbagai dampak terhadap masyarakat setempat. Bahkan pariwisata dikatakan mempunyai energi dobrak yang luar biasa, yang mampu membuat masyarakat setempat mengalami metamorphose dalam berbagai aspeknya. Dampak pariwisata merupakan wilayah kajian yang paling banyak mendapatkan perhatian dalam literatur, terutama dampak terhadap masyarakat lokal. Di lain pihak, dampak pariwisata terhadap wisatawa dan/atau negara asal wisatawan belum banyak mendapatkan perhatian.

Meskipun pariwisata juga menyentuh berbagai aspek kehidupan masyarakat secara politik, keamanan, dan sebagainya, dampak pariwisata terhadap masyarakat dan daerah tujuan wisata yang banyak mendapat ulasan adalah:

1. Dampak terhadap sosial-ekonomi.2. Dampak terhadap sosial-budaya.

1.2.1 Dampak Sosial Ekonomi

Dampak pariwisata terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat lokal dapat dikategorikan menjadi delapan kelompok besar (Cohen, 1984), yaitu:

1. Dampak terhadap penerimaan devisa,2. Dapat terhadap pendapata masyarakat,3. Dampak terhadap kesempatan kerja,4. Dampak terhadap harga-harga,5. Dampak terhadap distribusi manfaat/keuntungan,6. Dampak terhadap kepemilikan dan control7. Dampak terhadap pembangunan pada umumnya, dan8. Dampak terhadap pendapatan pemerintah.

Hampir semua literature dan kajian studi lapangan menunjukkan bahwa pembangunan pariwisata pada suatu daerah mampu memberikan dampak-dampak yang dinilai positif, yaitu dampak yang diharapkan, bahwa peningkatan pendapatan masyarakat, peningkatan penerimaan devisa, peningkatan kesempatan kerja dan peluang usaha, peningkatan pendapatan pemerintah dari pajak dan keuntungan badan usaha milik pemerintah, dan sebagainya. Pariwisata diharapkan mampu menghasilkan angka pengganda (multiplier effect) yang tinggi, melebihi angka pengganda pada berbagai kegiatan ekonomi lainnya. Meskipun sulit melakukan penghitungan secara pasti terhadap angka pengganda ini, dari beberapa daerah/negara telah dilaporkan besarnya angka pengganda yang bervarisasi.

Peranan pariwisata juga sangat besar di Indonesia. Devisa yang diterima secara berturut-turut pada tahun 1996, 1997, 1998, 1999, dan 2000 adalah sebesar 6,307.69; 5,321.46; 4,331.09; 4,710.22; dan 5,748.80 juta dollar AS (Santosa, 2001). Pada tahun 2002 dan 2003, meskipun mengalami tragedi Kuta (Bom Bali), nilai devisa juga masih tetap tinggi, yaitu US$ 4.496 Milyard tahun 2002 dan US$ 4.307 Milyard tahun 2003 (Nirwandar, 2004).

Perananan pariwisata dalam pembangunan ekonomi DTW seperti Bali, yang memang sudah terkenal sebagai salah satu daerah tujuan wisata dunia, tidak perlu dipertanyakan lagi. Dengan tidak tersedianya sumber daya alam seperti migas, hasil hutan, ataupun industri manufaktur yang berskala besar, maka pariwisata telah menjadi sektor andalan dalam pembangunan. Kontribusi pariwisata menunjukkan trend yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 1985 penukaran valuta asing senilai 95,105 juta dollar AS. Angka ini mengalami kenaikan, menjadi 456,105 juta dollar AS pada tahun 1990, dan pada tahun1997 (sesaat sebelum krismon) menjadi 1.380,454 juta dollar AS. Selanjutnya, karena nilai tukar dollar yang melonjak, penukaran valuta asing hanya mencapai nilai 865,078 juta dollar AS pada tahun 2000.

Erawan (1999) menemukan bahwa pada tahun1998, dampak pengeluaran wisatawan terhadap pendapatan masyarakat mencapai 45,3%, sedangkan dampak dari investasi di sektor pariwisata adalah 6,3%. Ini berarti bahwa secara keseluruhan, industri pariwisata menyumbang sebesar 51,6% terhadap pendapatan masyarakat Bali. Dilihat dari kesempatan kerja, pada tahun 1998 sebesar 38,0% dari seluruh kesempatan kerja yang ada di Bali dikontribusikan untuk pariwisata. Ini terjadi dari kesempatan kerja yang ditimbulkan oleh pengeluaran wisatawan sebesar 36,1% dan akibat investasi di sektor pariwisata sebesar 1,9%. Angka 38% ini sudah mengalami peningkatan dibandingkan dengan angka tahun1995 (yaitu sebesar 34,14%), dan nampaknya peningkatan akan terus terjadi dari tahun ke tahun. Erawan lebih lanjut mengatakan bahwa dampak pengeluaran wisatawan terhadap perekonomian di Bali terdistribusikan ke berbagai sektor, bukan saja hotel dan restoran. Distribusi juga terserap ke sektor pertanian (17,93%), sektor industri dan kerajinan (22,73%), sektor pengangkutan dan komunikasi (12,62%), sektor jasa-jasa (12,59%), dan sebagainya. Hal ini sejalan dengan data mengenai distribusi pengeluaran wisatawan. Data menunjukkan bahwa selama di Bali, pengeluaran wisatawan yang terserap ke dalam perekonomian rakyat cukup tinggi.

Di samping berbagai dampak yang dinilai positif, hampir semua penelitian juga menunjukkan adanya berbagai dampak yang tidak diharapkan (dampak negatif), seperti semakin memburuknya kesenjangan pendapatan antarkelompok masyarakat, memburuknya ketimpangan antardaerah, hilangnya kontrol masyarakat lokal terhadap sumberdaya ekonomi, munculnya neo-kolonialisme atau neo-imperialisme, dan sebagainya. Banyak peneliti menyebutkan bahwa pariwisata telah menjadi wahana eksploitasi dari negara-negara maju (negara asal wisatawan) terhadap negara-negara berkembang (daerah tujuan wisata). Berbagai fasilitas wisata yang di DTW, sebagian besar adalah fasilitas yang diimpor dari negara asal wisatawan. Sebuah lukisan secara karikaturis menggambarkan bahwa muatan lokal dari kegiatan pariwisata sangat kecil, karena segala kebutuhan wisatawan maupaun aktivitas pendukungnya didatangkan dari berbagai negara maju. Berbagai fasilitas dimaksud antara lain:

Mobil didatangkan dari Jerman, computer dari Jepang, printer dari Hongkong, lampu dari Inggris, whisky dari Scotlandia, vodka dari Rusia, makanan dari Perancis, tas dari Itali, karpet dari Irlandia, fire equipment dari USA, furniture dari Swedia (Fennel, 1999: 164).

1.2.2 Dampak Sosial Budaya

Secara teoritikal-idealistis, antara dampak sosial dan dampak kebudayaan dapat dibedakan. Namun demikian, Mathieson and Wall (1982:37) menyebutkan bahwa there is no clear distinction between social and cultural phenomena, sehingga sebagian besar ahli menggabungkan dampak sosial dan dampak budaya di dalam pariwisata ke dalam judul dampak sosial budaya (The sosiocultural impact of tourism in a broad context).

Studi tentang dampak sosial budaya pariwisata selama ini lebih cenderung mengasumsikan bahwa akan terjadi perubahan sosial-budaya akibat kedatangan wisatawan, dengan tiga asumsi yang umum, yaitu: (Martin, 1998:171):

1. perubahan dibawa sebagai akibat adanya intrusi dari luar, umumnya dari sistem sosial-budaya yang superordinat terhadap budaya penerima yang lebih lemah;

2. perubahan tersebut umumnya destruktif bagi budaya indigenous;

3. perubahan tersebut akan membawa pada homogenisasi budaya, dimana identitas etnik lokal akan tenggelam dalam bayangan sistem industri dengan teknologi barat, birokrasi nasional dan multinasional, a consumer-oriented economy, dan jet-age lifestyles.

Asumsi di atas menyiratkan bahwa di dalam melihat dampak sosial-budaya pariwisata terhadap masyarakat setempat, pariwisata semata-mata dipandang sebagai faktor luar yang menghantam masyarakat. Asumsi ini mempunyai banyak kelemahan. Sebagaimana dikemukakan oleh Wood (1984), selama ini banyak peneliti yang menganggap bahwa pengaruh pariwisata dapat dianalogikan dengan bola-bilyard, di mana objek yang bergerak (pariwisata) secara langsung menghantam objek yang diam (kebudayaan daerah), atau melalui objek perantara (broker kebudayaan). Dalam hal ini tersirat juga asumsi bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang diam, tidur, atau pasif, dan seolah-olah kebudayaan tersebut adalah sesuatu yang homogen. Pendekatan seperti ini mengingkari dinamika masyarakat dimana pariwisata mulai masuk, dan tidak mampu melihat berbagai respons aktif dari masyarakat terhadap pariwisata.

Wood selanjutnya menganjurkan, di dalam melihat pengaruh pariwisata terhadap masyarakat (kebudayaan) setempat, harus disadarai bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang secara internal terdeferensiasi, aktif, dan selalu berubah. Oleh karena itu pendekatan yang kiranya lebih realistis adalah dengan menganggap bahwa pariwisata adalah pengaruh luar yang kemudian terintegrasi dengan masyarakat, dimana masyarakat mengalami proses menjadikan pariwisata sebagai bagian dari kebudayaannya, atau apa yang disebut sebagai proses turistifikasi (touristification). Di samping itu perlu juga diingat bahwa konsekuensi yang dibawa oleh pariwisata bukan saja terbatas pada hubungan langsung host-guest. Pengaruh di luar interaksi langsung ini justru lebih penting, karena mampu menyebabkan restrukturisasi pada berbagai bentuk hubungan di dalam masyarakat (Wood, 1984).

Secara teoritis, Cohen (1984) mengelompokkan dampak sosial budaya pariwisata ke dalam sepuluh kelompok besar, yaitu:

1) dampak terhadap keterkaitan dan keterlibatan antara masyarakat setempat dengan masyarakat yang lebih luas, termasuk tingkat otonomi atau ketergantungannya;

2) dampak terhadap hubungan interpersonal antara anggota masyarakat;

3) dampak terhadap dasar-dasar organisasi/kelembagaan sosial;

4) dampak terhadap migrasi dari dan ke daerah pariwisata;

5) dampak terhadap ritme kehidupan sosial masyarakat;

6) dampak terhadap pola pembagian kerja;

7) dampak terhadap stratifikasi dan mobilitas sosial;

8) dampak terhadap distribusi pengaruh dan kekuasaan;

9) dampak terhadap meningkatnya penyimpangan-penyimpangan sosial; dan

10) dampak terhadap bidang kesenian dan adat istiadat.

Sifat dan bentuk dari dampak sosial-budaya dipengaruhi oleh berbagai faktor. Pitana (1999) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang ikut menentukan dampak sosial budaya tersebut adalah sebagai berikut:

1) Jumlah wisatawan, baik absolute maupun relatif terhadap jumlah penduduk lokal;

2) Objek dominan yang menjadi sajian wisata (the tourist gaze) dan kebutuhan wisatawan terkait dengan sajian tersebut;

3) Sifat-sifat atraksi wisata yang disajikan, apakah alam, situs arkeologi, budaya kemasyarakatan, dan seterusnya;

4) Struktur dan fungsi dari organisasi kepariwisataan di DTW;

5) Perbedaan tingkat ekonomi dan perbedaan kebudayaan antara wisatawan dengan masyarakat lokal;

6) Perbedaan kebudayaan atau wisatawan dengan masyarakat lokal;

7) Tingkat otonomi (baik politik, geografis, dan sumberdaya) dari DTW;

8) Laju/kecepatan pertumbuhan pariwisata;

9) Tingkat perkembangan pariwisata (apakah awal, atau sudah jenuh);

10) Tingkat pembangunan ekonomi DTW;

11) Struktur sosial masyarakat lokal;

12) Tipe resort yang dikembangkan (open ataukah enclave resorts)

13) Peranan pariwisata dalam ekonomi DTW.

Lebih jauh Douglass mengetengahkan bahwa ada hubungan paralel antara tinggi dan makna dampak sosial-budaya pariwisata dengan variabel-variabel di bawah:

1) Besarnya perbedaan sosial, ekonomi, dan budaya antara wisatawan dengan masyarakat lokal.

2) Perbandingan antara jumlah wisatawan dengan masyarakat lokal.

3) Distribusi dan kenampakan dari pembangunan pariwisata.

4) Laju dan intensitas perkembangan pariwisata.

5) Tingkat kepemilikan investasi asing dan tenaga kerja asing di DTW.

2.2.3 Kesenian, Adat Istiadat, dan Agama

Dampak pariwisata terhadap bidang kesenian, adat istiadat, dan dampak keagamaan mungkin paling menarik untuk dibahas, karena aspek budaya ini merupakan modal dasar pengembangan pariwisata di sebagian besar DTW. Pengaruh terhadap aspek-aspek ini bisa terjadi secara langsung karena adanya proses komoditifikasi terhadap berbagai aspek kebudayaan, atau terjadi secara tidak langsung melalui proses jangka panjang. Sekularisasi berbagai tradisi di Thailand dikhawatirkan akan membawa dampak yang sangat structural dalam jangka panjang karena masyarakat akan kehilangan collective memory, dan interpretasi terhadap berbagai tradisi akan mengalami dekonstruksi.

Sementara banyak yang khawatir dengan terjadinya proses kehilangan otentisitas dalam kebudayaan lokal, bagi Urry (1990), kebudayaan memang selalu beradaptasi, termasuk dalam mengahadapi pariwisata, dan di dalam proses tersebut tidak berarti makna atau otentisitas otomatis hilang. Akulturasi merupakan proses yang wajar dalam setiap pertemuan antarbudaya. Namun demikian ia juga mengakui adanya komoditisasi dari berbagai aspek keagamaan, yang memunculkan konflik, karena pengaruh pariwisata. Pendapat ini didukung oleh Burns and Holden (1995), yang melihat perubahan fungsi kebudayaan, karena kebudayaan dipandang sebagai sumberdaya komersial. Mengenai hal ini, Cohen (1988) melihat ada kesan terjadinya dampak negatif akibat adanya komoditisasi.

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pariwisata telah merusak atau menghancurkan kebudayaan lokal. Pariwisata secara tidak langsung memaksa ekspresi kebudayaan lokal untuk dimodifikasi, agar sesuai dengan kebutuhan pariwisata. Ekspresi budaya dikomoditifikasi agar dapat dijual kepada wisatawan. Hal ini antara lain dikatakan oleh Britton (1977):

Cultural expression are bastardized in order to be more comprehensible and therefore saleable to mass tourism (Britton, 1977: 272).

Untuk pariwisata Indonesia khususnya daerah Bali banyak yang mengkhawatirkan akan terjadi pengikisan kebudayaan akibat kebudayaan asing yang menyerbu masuk yang menyebabkan terjadinya pendangkalan terhadap kualitas kebudayaan Bali serta hilangnya bentuk-bentuk sosial yang telah terbukti mampu menopang integritas masyarakat Bali.

Dalton (1990, dalam Picard, 1990: 26) mengatakan:

Karena gejala komersialisasi, sebagai salah satu dampak pariwisata, telah menyusupi semua aspek kehidupan orang Bali, maka jelaslah sekarang bahwa jalinan sosial dan keagamaan Bali yang begitu kompleks, ketat dan rapi, akhirnya tercerai berai di bawah pengaruh pariwisata.

Namun tidak semua pengamat pesimis terhadap keberlanjutan kebudayaan Bali. Bahkan cukup banyak ahli sosiologi dan antropologi yang melihat sebaliknya. McKean (1978: 94) menyatakan bahwa perubahan sosial ekonomi sedang terjadi di Bali terjadi secara bergandengan tangan dengan usaha konservasi kebudayaan tradisional. Pariwisata pada kenyataanya telah memperkuat proses konservasi, reformasi, dan penciptaan kembali berbagai tradisi. McKean menilai bahwa pariwisata secara selektif telah memperkuat tradisi lokal, melalui suatu proses yang disebut cultural involution (involusi kebudayaan). Stephen Langsing (1974) secara tegas mengatakan bahwa lembaga tradisional Bali mempunyai vitalitas dan kemampuan yang tinggi untuk beradaptasi terhadap kondisi-kondisi baru. Dikatakannya bahwa dampak pariwisata di Bali adalah bersifat aditif, dan bukan substitutif. Artinya, dampak tersebut tidak menyebabkan transformasi secara struktural, melainkan terintegrasi dengan kehidupan tradisional masyarakat.

Bagus, di sela-sela kekhawatirannya terhadap berbagai dampak negatif, juga mengakui adanya kenyataan bahwa pariwisata telah memberikan kesadaran tentang nilai seni-budaya yang mendorong orang Bali untuk melestarikan kebudayaan, dan bahkan pariwisata telah mendorong kreativitas dalam berbagai bidang (1989: 17).

Dengan temuan-temuan lapangan seperti ini maka tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa kebudayaan Bali sampai saat ini masih sangat kuat melekat pada identitas orang Bali, dan kekhawatiran bahwa simpul-simpul budaya telah tercerai-berai tidaklah benar. Bahkan pada beberapa sisi, dapat dikatakan bahwa kebudayaan Bali mengalami take-off menuju masa pencerahan (enlightenment). Data lapangan seperti ini telah banyak mengubah pandangan orang yang semula bersikap pesimistis terhadap kelestarian kebudayaan Bali.

Diposkan oleh shandika-hirawan di 10:14 1 komentar:

UNITED's LOVER mengatakan...

Hai, thanks bgt ya artikelnya..ngebantu bgt wat tugas perkindo q...once more, thanks!plis visit my blog yaa

PARIWISATA BERKELANJUTAN : Prinsip-Prinsip Pembangunan Pariwisata BerkelanjutanMar.08, 2006 in Research - 3,616 views

Pembangunan pariwisata harus didasarkan pada kriteria keberlanjutan yang artinya bahwa pembangunan dapat didukung secara ekologis dalam jangka panjang sekaligus layak secara ekonomi, adil secara etika dan sosial terhadap masyarakat(Piagam Pariwisata Berkelanjutan, 1995)

Pembangunan pariwisata harus didasarkan pada kriteria keberlanjutan yang artinya bahwa pembangunan dapat didukung secara ekologis dalam jangka panjang sekaligus layak secara ekonomi, adil secara etika dan sosial terhadap masyarakat(Piagam Pariwisata Berkelanjutan, 1995)

Pembangunan pariwisata berkelanjutan, seperti disebutkan dalam Piagam Pariwisata Berkelanjutan (1995) adalah pembangunan yang dapat didukung secara ekologis sekaligus layak secara ekonomi, juga adil secara etika dan sosial terhadap masyarakat. Artinya, pembangunan berkelanjutan adalah upaya terpadu dan terorganisasi untuk mengembangkan kualitas hidup dengan cara mengatur penyediaan, pengembangan, pemanfaatan dan pemeliharaan sumber daya secara berkelanjutan.Hal tersebut hanya dapat terlaksana dengan sistem penyelenggaraan kepemerintahan yang baik (good governance) yang melibatkan partisipasi aktif dan seimbang antara pemerintah, swasta, dan masyarakat. Dengan demikian, pembangunan berkelanjutan tidak saja terkait dengan isu-isu lingkungan, tetapi juga isu demokrasi, hak asasi manusia dan isu lain yang lebih luas. Tak dapat dipungkiri, hingga saat ini konsep pembangunan berkelanjutan tersebut dianggap sebagai resep pembangunan terbaik, termasuk pembangunan pariwisata.

Pembangunan pariwisata yang berkelanjutan dapat dikenali melalui prinsip-prinsipnya yang dielaborasi berikut ini. Prinsip-prinsip tersebut antara lain partisipasi, keikutsertaan para pelaku (stakeholder), kepemilikan lokal, penggunaan sumber daya secara berkelanjutan, mewadahi tujuan-tujuan masyarakat, perhatian terhadap daya dukung, monitor dan evaluasi, akuntabilitas, pelatihan serta promosi.

1. PartisipasiMasyarakat setempat harus mengawasi atau mengontrol pembangunan pariwisata dengan ikut terlibat dalam menentukan visi pariwisata, mengidentifikasi sumber-sumber daya yang akan dipelihara dan ditingkatkan, serta mengembangkan tujuan-tujuan dan strategi-strategi untuk pengembangan dan pengelolaan daya tarik wisata. Masyarakat juga harus berpartisipasi dalam mengimplementasikan strategi-strategi yang telah disusun sebelumnya.

2. Keikutsertaan Para Pelaku/Stakeholder InvolvementPara pelaku yang ikut serta dalam pembangunan pariwisata meliputi kelompok dan institusi LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), kelompok sukarelawan, pemerintah daerah, asosiasi wisata, asosiasi bisnis dan pihak-pihak lain yang berpengaruh dan berkepentingan serta yang akan menerima dampak dari kegiatan pariwisata.

3. Kepemilikan LokalPembangunan pariwisata harus menawarkan lapangan pekerjaan yang berkualitas untuk masyarakat setempat. Fasilitas penunjang kepariwisataan seperti hotel, restoran, dsb. seharusnya dapat dikembangkan dan dipelihara oleh masyarakat setempat. Beberapa pengalaman menunjukkan bahwa pendidikan dan pelatihan bagi penduduk setempat serta kemudahan akses untuk para pelaku bisnis/wirausahawan setempat benar-benar dibutuhkan dalam mewujudkan kepemilikan lokal. Lebih lanjut, keterkaitan (linkages) antara pelaku-pelaku bisnis dengan masyarakat lokal harus diupayakan dalam menunjang kepemilikan lokal tersebut.

4. Penggunaan Sumber daya yang berkelanjutanPembangunan pariwisata harus dapat menggunakan sumber daya dengan berkelanjutan yang artinya kegiatan-kegiatannya harus menghindari penggunaan sumber daya yang tidak dapat diperbaharui (irreversible) secara berlebihan. Hal ini juga didukung dengan keterkaitan lokal dalam tahap perencanaan, pembangunan dan pelaksanaan sehingga pembagian keuntungan yang adil dapat diwujudkan. Dalam pelaksanaannya, kegiatan pariwisata harus menjamin bahwa sumber daya alam dan buatan dapat dipelihara dan diperbaiki dengan menggunakan kriteria-kriteria dan standar-standar internasional.

5. Mewadahi Tujuan-Tujuan MasyarakatTujuan-tujuan masyarakat hendaknya dapat diwadahi dalam kegiatan pariwisata agar kondisi yang harmonis antara pengunjung/wisatawan, tempat dan masyarakat setempat dapat terwujud. Misalnya, kerja sama dalam wisata budaya atau cultural tourism partnership dapat dilakukan mulai dari tahap perencanaan, manajemen, sampai pada pemasaran.

6. Daya DukungDaya dukung atau kapasitas lahan yang harus dipertimbangkan meliputi daya dukung fisik, alami, sosial dan budaya. Pembangunan dan pengembangan harus sesuai dan serasi dengan batas-batas lokal dan lingkungan. Rencana dan pengoperasiannya seharusnya dievaluasi secara reguler sehingga dapat ditentukan penyesuaian/perbaikan yang dibutuhkan. Skala dan tipe fasilitas wisata harus mencerminkan batas penggunaan yang dapat ditoleransi (limits of acceptable use).

7. Monitor dan EvaluasiKegiatan monitor dan evaluasi pembangunan pariwisata berkelanjutan mencakup penyusunan pedoman, evaluasi dampak kegiatan wisata serta pengembangan indikator-indikator dan batasan-batasan untuk mengukur dampak pariwisata. Pedoman atau alat-alat bantu yang dikembangkan tersebut harus meliputi skala nasional, regional dan lokal.

8. AkuntabilitasPerencanaan pariwisata harus memberi perhatian yang besar pada kesempatan mendapatkan pekerjaan, pendapatan dan perbaikan kesehatan masyarakat lokal yang tercermin dalam kebijakan-kebijakan pembangunan. Pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam seperti tanah, air, dan udara harus menjamin akuntabilitas serta memastikan bahwa sumber-sumber yang ada tidak dieksploitasi secara berlebihan.

9. PelatihanPembangunan pariwisata berkelanjutan membutuhkan pelaksanaan program-program pendidikan dan pelatihan untuk membekali pengetahuan masyarakat dan meningkatkan keterampilan bisnis, vocational dan profesional. Pelatihan sebaiknya meliputi topik tentang pariwisata berkelanjutan, manajemen perhotelan, serta topik-topik lain yang relevan.

10. PromosiPembangunan pariwisata berkelanjutan juga meliputi promosi penggunaan lahan dan kegiatan yang memperkuat karakter lansekap, sense of place, dan identitas masyarakat setempat. Kegiatan-kegiatan dan penggunaan lahan tersebut seharusnya bertujuan untuk mewujudkan pengalaman wisata yang berkualitas yang memberikan kepuasan bagi pengunjung.

Sumber:Bater, J. et al. (2001) Planning for Local Level: Sustainable Tourism Development, Canadian Universities Consortium: Urban Environmental Management Project Training & Technology Transfer Program, Canadian International Development Agency (CIDA).

Source: http://www.p2par.itb.ac.id

Related Posts:

Lowongan CPNS Lipi 2009 Sidoarjo - Setelah membaca beberapa email di Forestgam ada posting tentang lowongan CPNS Lipi Tahun 2009. Akan tetapi setalah saya buka web-nya ternyata ada penundaan pendaftaran, untuk informasi lebih lanjut ... Dampak Kepariwisataan Terhadap Erosi Di Kawasan Wisata Kaliurang Kegiatan kepariwisataan akhir-akhir ini banyak mendapat sorotan, baik sebagai alternatif pengelolaan hutan yang berbasis non timber yang lebih ramah terhadap lingkungan juga karena adanya dampak yang ditimbulkan akibat dari kegiatan ... Singo Kromo Water Fall Surabaya - Kalau Anda punya kesempatan jalan-jalan ke Kab. Nganjuk, jika memiliki waktu luang yang lebih banyak silahkan mengunjung air terjun Singo Kromo yang ada di BKPH Pace. Lokasi air ... Dr. Eric E. Schmidt, Ketua dan CEO Google Tim Manajemen Google (1) Dr. Eric E. Schmidt ditunjuk sebagai CEO pada Agustus 2001, lima bulan setelah bergabung dengan dewan direksi Google sebagai ketua. Schmidt juga menjadi ketua dewan direktur Novell, tempat dia terlibat ... Perencekan, Tidak Benar Tapi Mau Apa? Temayang Beberapa waktu yang lalu ketika perjalanan menuju Temayang dari Nganjuk aku melihat sepeda motor sedang membawa rencekan (kayu kering/basah di hutan yang digunakan kayu bakar oleh masyarat) dan ...

___________________________________________________________________Perkembangan pariwisata di Objek Wisata Pantai Senggigi telah memberikan dampak positif dan negatif terhadap sosial budaya masyarakat lokal. Dampak-dampak positif yang timbul antara lain; pelestarian budaya, adat istiadat, cara hidup, kesenian, penyediaan lapangan pekerjaan, dan membangkitkan kegiatan perekonomian masyarakat lokal. Sedangkan dampak-dampak negatif yang timbul antara lain; terjadinya praktek prostitusi, kebiasaan mmeminum minuman beralkohol, dan tindak kejahatan. Dampak Positif SosialBudaya Pariwisata di Objek Wisata Pantai SenggigiSehubungan dengan pengembagan pariwisata di Objek Wisata Pantai Senggigi, secara umum kebudayaan-kebudayaan masyarakat lokal seperti cara hidup, adat istiadat, agama, dan kesenian yang diwariskan oleh nenek moyangnya masih terjaga kelestariannya. Artinya, walaupun sudah berbaur dan dipengaruhi oleh budaya-budaya asing namun kebudayaan masyarakat tersebut masih dapat ditemukan dengan mudah dan dilakukan secara rutin oleh masyarakat setempat, seperti upacara pernikahan, perayaan hari besar nasional. Dengan adanya pengembangan pariwisata di Objek Wisata Pantai Senggigi juga ditemukan adanya revitalisasi pada beberapa jenis budaya dan kesenian masyarakat lokal. Organisasi keagamaan Remaja Masjid merupakan salah satu contoh budaya masyarakat lokal yang masih ditemukan di era pengembangan pariwisata di Objek Wisata Pantai Senggigi. Organisasi generasi muda muslim ini melakukan berbagai kegiatan yang berhubungan dengan budaya dan agama seperti; pengajian, dakwah, belajar membaca dan menulis Bahasa Arab, diskusi tentang isi dan makna yang tertera dalam kitab suci Al-quran. Kegiatan-kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang sudah ditekuni oleh masyarakat lokal sebagai upaya melindungi diri dari pengaruh budaya dari luar (industri pariwisata) dan telah dilakukan sejak dahulu kala sampai sekarang. Organisasi kemasyarakatan ini juga menjadi media pemersatu antar umat muslim di Nusa Tenggara Barat khususnya di Senggigi. Organisasi kemasyarakatan lain yang melakukan kegiatan sebagaimana tersebut di atas adalah pondok pesantren. Di pondok pesantren, para santri (orang yang secara khusus menuntut ilmu keagamaan di pondok pesantren) diberikan pelajaran lebih terfokus pada keagamaan dan etika dalam kehidupan. Pesertanya juga tinggal di dalam pondok pesantren sehingga tertanam rasa bakti kepada agama secara lebih mendalam dan diberikan situasi yang nyata tentang bagaimana kehidupan muslim dan muslimah yang sebenarnya yang diharapkan setelah keluar dari pondok pesantren bisa diterapkan dalam kehidupan masyarakat. Model pendidikan yang diberikan di organisasi pemuda Remaja Masjid dan Pondok Pesantren merupakan cara pembelajaran budaya dan agama yang sangat efektif karena sesuai dengan karakteristik budaya masyarakat lokal. Sehubungan dengan pengembangan pariwisata di Objek Wisata Pantai Senggigi, beberapa industri pariwisata seperti hotel dan restoran mendukung kegiatan-kegiatan Remaja Masjid dan Pondok Pesantren tersebut karena dapat dijadikan sebagai salah satu daya tarik wisata. Dukungan terhadap kegiatan pelestarian budaya dan agama di kedua organisasi kemasyarakatan tersebut diwujudkan dalam pemberian sumbangan secara material dalam bentuk uang secara berkala untuk menunjang kegiatan yang dilaksanakan. Bentuk lain sumbangan dari industri pariwisata terhadap upaya pelestarian budaya dan agama masyarakat lokal berupa pembangunan fisik bangunan, seperti Masjid dan Mushola atau gedung dan pengadaan sarana dan alat yang diperlukan untuk memperlancar jalannya kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan. Perkembangan pariwisata di Objek Wisata Pantai Senggigi juga turut serta dalam melestarikan budaya-budaya masyarakat yang lainnya seperti kesenian dan adat istiadat. Kesenian tradisional masyarakat lokal yang masih terjaga kelestarianya adalah Tari Rudat dan Gendang Beleq. Tari Rudat merupakan kesenian tradisional dalam bentuk seni tari (gerakan tubuh) diiringi dengan musik tradisional gambelan yang dimainkan oleh tujuh sampai sebelas orang. Fungsi kesenian ini adalah sebagai penyambutan terhadap wisatawan dan sering kali dipersembahkan untuk penghargaan terhadap tamu kenegaraan. Secara singkat, Tari Rudat mengisahkan sepasang muda-mudi yang saling jatuh cinta yang berlanjut hingga ke pernikahan. Pesan-pesan yang disampaikan berupa nasihat-nasihat hidup yang membangkitkan rasa saling mencintai dan menyayangi sesama dan lingkungan, sehingga dengan pertunjukan kesenian ini diharapkan dapat meningkatan persaudaraan dan persahabatan antar manusia dan lingkungan hidup.Tokoh kesenian Tari Rudat yang masih menekuni dan mengembangkan secara aktif adalah Haji Rusdi, seorang tokoh masyarakat lokal dari Desa Senggigi Dusun Kerandangan. Beliau menuturkan bahwa di tengah gencarnya perkembangan pariwisata di Objek Wisata Pantai Senggigi, Tari Rudat sama sekali tidak surut keberadaannya. Sebaliknya, tari tersebut semakin lestari dan terjaga keberadaanya karena dijadikan sebagai salah satu daya tarik wisata yang ditampilkan pada acara-acara yang diorganisir oleh hotel-hotel dan event organizer yang berada di Objek Wisata Pantai Senggigi. Gendang Beleq merupakan kesenian tradisional yang dimainkan dengan alat musik tradisional Gendang Beleq yang berfungsi sebagai musik penyambutan. Makna yang terkandung dalam pertunjukan kesenian ini adalah adanya kebersamaan antara umat yang tinggal di Lombok Barat yaitu antara umat Suku Sasak Lombok yang beragama Islam dengan umat Hindu dari Bali yang tinggal menentap di Lombok. Sebelum berkembangnya pariwisata di Objek Wisata Pantai Senggigi, kedua kesenian tradisional ini hanya dipentaskan pada saat-saat tertentu saja khususnya pada upacara adat dan keagamaan sehingga tidak banyak dikenal oleh masyarakat umum di luar daerah Senggigi. Pertumbuhan pariwisata yang semakin pesat dari tahun ke tahun turut serta membangkitkan dan merevitalisasi kesenian tradisional tersebut dan sekarang ini sering kali dipertunjukan di hadapan para wisatawan sebagai atraksi wisata yang bercirikan kedaerahan yang dipentaskan langsung oleh masyarakat asli. Seni tari tradisional lain yang sering dipentaskan sebagai atraksi wisata di Objek Wisata Pantai Senggigi adalah Tari Topeng. Tari ini mengisahkan pengembala beberapa jenis ternak seperti; sapi, kerbau, dan kambing yang dengan bangga dan berbahagia mengembalakan ternaknya di kebun yang juga menunjukan tingkat status sosial dan martabat seseorang di Desa Senggigi. Tari ini dimainkan oleh empat sampai delapan orang dengan menggunakan pakaian khas Adat Sasak, topeng dengan beberapa karakter, dan pecut. Keberadaan tari ini sebenarnya sudah hampir punah. Tetapi sejak Desa Senggigi ditetapkan sebagai salah satu objek wisata di Nusa Tenggara Barat maka diadakan terobosan-terobosan untuk menambah daya tarik wisata dan atraksi wisata untuk menambah keanekaragaman daya tarik wisata yang salah satunya adalah kesenian tradisional Tari Topeng. Sejak dijadikan sebagai salah satu atraksi wisata, Tari Topeng terus direvitalisasi dan dikembangkan dengan membangun sanggar-sanggar tari yang dilakukan oleh perorangan dan ada juga yang merupakan hasil kerjasama antara para pengelola industri pariwisata di sekitar Objek Wisata Pantai Senggigi dengan masyarakat lokal. Pementasan kesenian-kesenian tradisional tersebut di atas sudah dilakukan sejak bulan Maret 2005, biasanya diadakan setiap hari Jumat sore (jam 16.00-selesai) yang bertempat di Pasar Seni Senggigi. Pementasan ini terselenggara atas kerjasama antara Qunci Villas, Sundancer Hotel, dan pemerintahan desa. Pertunjukan ini disajikan tanpa dipungut biaya sehingga banyak dikunjungi wisatawan baik wisatawan nusantara maupun manca negara. Selain bentuk positif tersebut di atas, terjadi juga akulturasi budaya yaitu perpaduan antara budaya asli masyarakat yang mendapatkan pengaruh dari budaya asing, namun kedua unsur budaya tersebut sama-sama terlihat dan menonjol. Salah satu bentuk akulturasi budaya yang terjadi adalah gaya hidup terutama dalam penampilan dan berpakaian. Sebelum dikembangkan pariwisata di Objek Wisata Pantai Senggigi, jenis pakaian yang dipakai oleh masyarakat lokal sehari-hari berupa sarung dan baju kaos bagi kalangan laki-laki, sedangkan perempuan umumnya memakai sarung, baju lengan panjang, dan kerudung atau jilbab. Sekarang ini beberapa masyarakat lokal telah mengadopsi pola penampilan dan cara berpakaian para wisatawan. Sebagai contoh, Pak Edy (seorang sopir yang merangkap sebagai pemandu wisata freelance) telah mengubah penampilannya sejak tahun 1998 dengan begitu juga dengan cara berpakaiannya. Sebelum dipengaruhi oleh model berpakaian para wisatawan, cara berpakaiannya seperti layaknya masyarakat lokal pada umumnya. Motivasinya untuk mengubah cara berpenampilan dan berpakaian adalah agar lebih percaya diri dalam berkomunikasi dengan wisatawan asing. Perubahan cara berpenampilan dan berpakaian tersebut hanya dilakukan apabila sedang berhubungan dengan wisatawan saja. Tetapi pada saat mengikuti kegiatan adat dan keagamaan masih menggunakan pakaian khas masyarakat lokal seperti; sarung dan batik (khas muslim), begitu juga dengan cara berpenampilannya. Budaya-budaya yang diserap dari budaya wisatawan memang benar-benar dilepaskan pada saat mengikuti kegiatan keagamaan dan adat. Jadi, kedua budaya tersebut (budaya masyarakat lokal dan budaya wisatawan) dapat berjalan secara harmonis sesuai dengan waktu, situasi, dan kondisi. Akulturasi budaya juga terjadi pada bangunan-bangunan fasilitas pariwisata seperti hotel, villa dan restoran. Sebagai contoh, Hotel Lombok Intan Laguna dibangun dengan perpaduan model Eropa dan arsitektur tradisional. Dari luar bangunan tersebut tampak megah, tetapi di dalamnya didesain dengan menampilkan bangunan khas Senggigi. Begitu juga dengan makanan yang disuguhkan di hotel ini. Selain menyuguhkan makanan-makanan Eropa, disajikan juga beberapa menu makanan khas Desa Senggigi. Contoh makanan tradisional yang biasanya disajikan kepada wisatawan adalah ayam bakar taliwang dan pelecing kangkung. Ayam bakar taliwang terbuat dari satu ekor ayam kampung Lombok yang dibakar dengan bumbu tradisional. Pelecing kangkung terbuat dari kangkung lokal khas Lombok yang direbus dan dibumbui dengan bumbu-bumbu tradisional, biasanya disuguhkan dengan beberuk (terong berwarna hijau atau ungu yang mentah dan diiris tipis-tipis). Contoh lain makanan tradisional yang disajikan kepada wisatawan adalah sate balayag, terbuat dari lima belas sampai dua puluh tusuk daging ayam atau sapi berbumbu kacang. Sate ini biasanya disuguhkan dengan sepuluh biji balayag (beras dibungkus dengan daun kelapa muda yang dibentuk memanjang, kemudian direbus sampai matang menyerupai ketupat). Selain disuguhkan di restoran dan hotel, sate balayag juga dapat ditemukan di sepanjang Pantai Senggigi dengan harga yang relatif murah sehingga banyak warga masyarakat yang menikmati makanan tradisional ini khususnya pada akhir pekan (hari Sabtu dan Minggu) di sore hari pada saat matahari terbenam. Para penjual sate balayag ini merupakan warga masyarakat lokal yang bermukim di wilayah Desa Senggigi sehingga secara tidak langsung penjualan makanan tradisional ini kepada wisatawan mancanegara maupun wisatawan nusantara ikut serta membangkitkan perekonomian masyarakat lokal. Dampak Negatif Sosial Budaya Pariwisata di Objek Wisata Pantai Senggigi Perkembangan pariwisata di Objek Wisata Pantai Senggigi tidak hanya berdampak secara positif terhadap kehidupan sosial dan budaya masyarakat lokal, tetapi juga mengakibatkan dampak negatif. Bentuk-bentuk dampak negatif yang dapat dilihat dengan jelas yang timbul sehubungan dengan pengembangan pariwisata di Objek Wisata Pantai Senggigi adalah pendatang yang bekerja sebagai penjaja seks komersial (PSK) dan pelaku tindak kriminal.Mbak Aminah salah seorang penjaja seks komersial yang berasal dari Banyuwangi dan beroperasi di Objek Wisata Pantai Senggigi menuturkan bahwa yang melatarbelakangi dirinya untuk menekuni pekerjaan tersebut adalah tuntutan ekonomi dan pendidikannya yang sangat rendah sehingga tidak memungkinkan untuk mencari pekerjaan pada sektor formal atau bekerja pada industri pariwisata seperti hotel dan restoran. Dirinya menyadari bahwa pekerjaan yang digeluti sekarang ini bertentangan dan dilarang oleh agama dan norma-norma sosial masyarakat lokal serta memiliki resiko yang tinggi terhadap penularan beberapa jenis penyakit seks seperti HIV (human immune deficiency virus) dan AIDS (acquired immune deficiency syndrome), tetapi tidak banyak yang bisa dilakukan olehnya karena keterbatasan pengetahuan dan keahlian yang dimilikinya. Usaha yang dilakukan pemerintah (Dinas Ketentraman dan Ketertiban) dan masyarakat (lembaga swadaya masyarakat Lang-lang Senggigi) untuk menekan jumlah penjaja seks komersial adalah dengan mengadakan razia secara rutin di tempat-tempat hiburan malam yang ada di Objek Wisata Senggigi. Bagi penjaja seks komersial yang terjaring dalam razia selanjutnya diberikan pembinaan agar tidak beroperasi kembali. Bentuk lain dampak negatif yang muncul sehubungan dengan pengembangan pariwisata di Objek Wisata Pantai Senggigi adalah adanya peraktik perjudian yang dilakukan dalam skala kecil berupa permainan kartu domino yang dilakukan oleh para pedagang asong, pedagang kaki lima, dan sopir freelance sambil menunggu wisatawan yang menggunakan jasanya. Uang yang dipertaruhkan berkisar antara Rp.500 sampai Rp.1.000. Kecilnya uang yang dipertaruhkan sering kali dianggap bukan kegiatan perjudian bagi para pemainnya. Mereka hanya menganggap sebagai kegiatan hiburan semata sambil menghabiskan waktu luangnya untuk menunggu para wisatawan. Kegiatan perjudian ini diadakan di bawah pohon-pohon yang digunakan sebagai post tunggu di beberapa ruas Jalan Raya Pantai Senggigi. Pengembangan pariwisata di Objek Wisata Pantai Senggigi juga memberikan dampak negatif terhadap prilaku anak-anak muda khususnya budaya meminum minuman beralkohol. Berkembangnya pariwisata yang dibarengi dengan meningkatnya jumlah tempat-tempat hiburan malam yang menyuguhkan minuman beralkohol seperti diskotik, caf, dan pub menyebabkan beberapa pemuda terbiasa untuk meminum minuman beralkohol. Sebelum berkembangnya pariwisata di Objek Wisata Pantai Senggigi (tahun 1989), masyarakat lokal Desa Senggigi tidak terbiasa menikmati minuman-minuman beralkohol karena merupakan minuman yang diharamkan dan dilarang oleh agama. Dari dampak negatif tersebut, masyarakat dan tokoh masyarakat yang ada di Objek Wisata Pantai Senggigi lebih mengaktifkan organisasi keagamaan yang mana para pemuda tersebut selalu diikutsertakan dalam berbagai kegiatan keagamaan, hasilnya jumlah para pemuda yang telah terbiasa minum minuman beralkohol tersebut mulai sadar dan mengurangi minum minuman yang mengandung alkohol, begitu juga dengan terserapnya para penduduk lokal lebih banyak ke usaha pariwisata secara formal juga dapat mengurangi kegiatan-kegiatan yang berdampak negatif.Berdasarkan temuan dampak-dampak yang timbul sebagaimana dijelaskan di atas dan melihat fakta yang ada, maka pengembangan pariwisata di Objek Wisata Pantai Senggigi lebih banyak memberikan dampak positif daripada dampak negatif terhadap sosial budaya masyarakat lokal Desa Senggigi. Oleh karena itu, keberadaan pariwisata di Objek Wisata Pantai Senggigi masih mendapat sambutan yang positif dari masyarakat lokal, ini tidak terlepas dari upaya pemerintah dan pengusaha yang bergerak dalam bidang industri pariwisata untuk melibatkan masyarakat lokal dalam setiap perencanaan, pengembangan, dan pengevaluasian kegiatan pariwisata di Objek Wisata Pantai Senggigi. Dilihat dari sambutan masyarakat yang positif ini, maka dapat dikatakan bahwa pada saat ini Objek Wisata Pantai Senggigi berada pada fase involvement / local control yaitu adanya keterlibatan masyarakat lokal dalam pengembangan pariwisata, keikutsertaan masyarakat lokal dalam menyediakan berbagai keperluan yang dibutuhkan oleh wisatawan, dan adanya komunikasi yang baik antara masyarakat lokal dengan wisatawan. Hubungan yang baik dan harmonis antara masyarakat lokal dengan wisatawan yang diimplementasikan pada keakraban dan keramah-tamahan turut serta dalam upaya untuk mempromosikan Objek Wisata Pantai Senggigi oleh wisatawan dari mulut ke mulut (word of mouth) kepada wisatawan lain di negaranya agar tertarik untuk berkunjung ke Objek Wisata Pantai Senggigi. Sejauh ini belum ditemukan adanya kebencian dan penolakan terhadap pengembangan Objek Wisata Pantai Senggigi. OoooooooooooooooPrinsip-Prinsip Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan di SamosirOleh : Bejo Bolon | 22-Jul-2009,03:33:40 WIB

KabarIndonesia - Menjadi Kabupaten Pariwisata 2010 merupakan harga mati bagi Kabupaten Samosir seperti tertuang dalam RPJMD Kabupaten Samosir yang ditetapkan pada Perda No. 1 Tahun 2006 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Kabupaten Samosir 2006- 2010. Dengan kata lain, bila visi ini tidak tercapai, maka dapat dikatakan bahwa kepemimpinan Bupati/Wakil Bupati dalam periode ini dapat dikatakan gagal. Dari segi SDAnya, kekayaan alam Samosir merupakan modal yang sangat besar bahkan dapat dikatakan modal yang berlebihan untuk menjadi destinasi pariwisata internasional.

Dari Panorama Alam, kekayaan adat istiadat, potensi ekowisata sampai ke berbagai legenda-legenda, merupakan produk daerah yang sudah layak go-internasional. Dalam mewujudkan visi ini, pemerintah dituntut untuk bekerja secara ekstra keras, termasuk dalam menyusun berbagai strategi dan kebijakan pengembangan pariwisata kedepan, salah satunya adalah prinsip-prinsip pembangunan pariwisata berkelanjutan. Pembangunan secara ekologis dalam jangka panjang (berkelanjutan) sekaligus layak secara ekonomi, adil secara etika dan sosial terhadap masyarakat merupakan salah satu syarat utama untuk mewujudkan pembangunan, khususnya pada pembangunan pariwisata. Artinya, pembangunan berkelanjutan adalah upaya terpadu dan terorganisasi untuk mengembangkan kualitas hidup dengan cara mengatur penyediaan, pengembangan, pemanfaatan dan pemeliharaan sumber daya secara berkelanjutan. Hal tersebut dapat terlaksana tentunya harus dengan sistem penyelenggaraan kepemerintahan yang baik (good governance) yang melibatkan partisipasi aktif dan seimbang antara pemerintah, swasta, dan masyarakat. Dengan demikian, pembangunan berkelanjutan tidak saja terkait dengan isu-isu lingkungan, tetapi juga isu demokrasi, hak asasi manusia dan isu lain yang lebih luas.

Tak dapat dipungkiri, hingga saat ini konsep pembangunan berkelanjutan tersebut dianggap sebagai resep pembangunan terbaik, termasuk pembangunan pariwisata. Pembangunan pariwisata yang berkelanjutan dapat dikenali melalui prinsip-prinsipnya. Prinsip-prinsip tersebut antara lain partisipasi, keikutsertaan para pelaku (stakeholder), kepemilikan lokal, penggunaan sumber daya secara berkelanjutan, mewadahi tujuan-tujuan masyarakat, perhatian terhadap daya dukung, monitor dan evaluasi, akuntabilitas, pelatihan serta promosi.

1. Partisipasi

Masyarakat setempat harus mengawasi atau mengontrol pembangunan pariwisata dengan ikut terlibat dalam menentukan visi pariwisata, mengidentifikasi sumber-sumber daya yang akan dipelihara dan ditingkatkan, serta mengembangkan tujuan-tujuan dan strategi-strategi untuk pengembangan dan pengelolaan daya tarik wisata. Masyarakat juga harus berpartisipasi dalam mengimplementasikan strategi-strategi yang telah disusun sebelumnya.

2. Keikutsertaan Para Pelaku/Stakeholder Involvement

Para pelaku yang ikut serta dalam pembangunan pariwisata meliputi kelompok dan institusi LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), kelompok sukarelawan, pemerintah daerah, asosiasi wisata, asosiasi bisnis dan pihak-pihak lain yang berpengaruh dan berkepentingan serta yang akan menerima dampak dari kegiatan pariwisata.

3. Kepemilikan Lokal

Pembangunan pariwisata harus menawarkan lapangan pekerjaan yang berkualitas untuk masyarakat setempat. Fasilitas penunjang kepariwisataan seperti hotel, restoran, dan sebagainya. seharusnya dapat dikembangkan dan dipelihara oleh masyarakat setempat. Pendidikan dan pelatihan bagi penduduk setempat serta kemudahan akses untuk para pelaku bisnis/wirausahawan setempat benar-benar dibutuhkan dalam mewujudkan kepemilikan lokal. Lebih lanjut, keterkaitan (linkages) antara pelaku-pelaku bisnis dengan masyarakat lokal harus diupayakan dalam menunjang kepemilikan lokal tersebut.

4. Penggunaan Sumber daya yang berkelanjutan

Pembangunan pariwisata harus dapat menggunakan sumber daya dengan berkelanjutan yang artinya kegiatan-kegiatannya harus menghindari penggunaan sumber daya yang tidak dapat diperbaharui (irreversible) secara berlebihan. Hal ini juga didukung dengan keterkaitan lokal dalam tahap perencanaan, pembangunan dan pelaksanaan sehingga pembagian keuntungan yang adil dapat diwujudkan. Dalam pelaksanaannya, kegiatan pariwisata harus menjamin bahwa sumber daya alam dan buatan dapat dipelihara dan diperbaiki dengan menggunakan kriteria-kriteria dan standar-standar internasional.

5. Mewadahi Tujuan-tujuan Masyarakat

Tujuan-tujuan masyarakat hendaknya dapat diwadahi dalam kegiatan pariwisata agar kondisi yang harmonis antara pengunjung/wisatawan, tempat dan masyarakat setempat dapat terwujud. Misalnya, kerja sama dalam wisata budaya atau cultural tourism partnership dapat dilakukan mulai dari tahap perencanaan, manajemen, sampai pada pemasaran.

6. Daya Dukung

Daya dukung atau kapasitas lahan yang harus dipertimbangkan meliputi daya dukung fisik, alami, sosial dan budaya. Pembangunan dan pengembangan harus sesuai dan serasi dengan batas-batas lokal dan lingkungan. Rencana dan pengoperasiannya seharusnya dievaluasi secara reguler sehingga dapat ditentukan penyesuaian/perbaikan yang dibutuhkan. Skala dan tipe fasilitas wisata harus mencerminkan batas penggunaan yang dapat ditoleransi (limits of acceptable use).

7. Monitor dan Evaluasi

Kegiatan monitor dan evaluasi pembangunan pariwisata berkelanjutan mencakup penyusunan pedoman, evaluasi dampak kegiatan wisata serta pengembangan indikator-indikator dan batasan-batasan untuk mengukur dampak pariwisata. Pedoman atau alat-alat bantu yang dikembangkan tersebut harus meliputi skala nasional, regional dan lokal.

8. AkuntabilitasPerencanaan pariwisata harus memberi perhatian yang besar pada kesempatan mendapatkan pekerjaan, pendapatan dan perbaikan kesehatan masyarakat lokal yang tercermin dalam kebijakan-kebijakan pembangunan. Pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam seperti tanah, air, dan udara harus menjamin akuntabilitas serta memastikan bahwa sumber-sumber yang ada tidak dieksploitasi secara berlebihan.

9. PelatihanPembangunan pariwisata berkelanjutan membutuhkan pelaksanaan program-program pendidikan dan pelatihan untuk membekali pengetahuan masyarakat dan meningkatkan keterampilan bisnis, vocational dan profesional. Pelatihan sebaiknya meliputi topik tentang pariwisata berkelanjutan, manajemen perhotelan, serta topik-topik lain yang relevan.

10. Promosi

Pembangunan pariwisata berkelanjutan juga meliputi promosi penggunaan lahan dan kegiatan yang memperkuat karakter lansekap, sense of place, dan identitas masyarakat setempat. Kegiatan-kegiatan dan penggunaan lahan tersebut seharusnya bertujuan untuk mewujudkan pengalaman wisata yang berkualitas yang memberikan kepuasan bagi pengunjung.(*)

Blog: http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com/ Alamat ratron (surat elektronik): [email protected] Berita besar hari ini...!!! Kunjungi segera: http://www.kabarindonesia.com//