25

Click here to load reader

Dialektika Peradaban Dan Konsep Pemerintahan Islam Dengan Cara Dekonstruksi Epistemologi Islam

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Dialektika Peradaban Dan Konsep Pemerintahan Islam Dengan Cara Dekonstruksi Epistemologi Islam

DIALEKTIKA PERADABAN DAN KONSEP PEMERINTAHAN ISLAM DENGAN CARA DEKONSTRUKSI EPISTEMOLOGI ISLAM

Makalah

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Mengikuti

“INTERMEDIATE TRAINING (LK II)” TINGKAT NASIONAL

HMI CABANG KARAWANG

Aula Islamic Centre Karawang 28 Juli s/d 04 Agustus 2007

Page 2: Dialektika Peradaban Dan Konsep Pemerintahan Islam Dengan Cara Dekonstruksi Epistemologi Islam

Oleh :

WILLY RAMADAN

HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM (HMI)

CABANG BANJARMASIN

KALIMANTAN SELATAN

2007

Page 3: Dialektika Peradaban Dan Konsep Pemerintahan Islam Dengan Cara Dekonstruksi Epistemologi Islam

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Segala puji bagi Allah, Tuhan Yang Maha Esa Yang senantiasa memberikan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya kepada kita sekalian sehingga kita dapat menjalankan aktivitas sehari-hari. Shalawat serta salam selalu terhatur kepada nabi dan rasul kita, Rasul yang menjadi panutan semua ummat, yakni Nabi Besar Muhammad SAW serta keluarga dan sahabat beliau yang telah membawa kita dari jurang yang penuh kesesataan menuju sebuah kehidupan yang penuh kebahagiaan dan kedamaian.

Suatu rahmat yang besar dari Allah SWT yang selanjutnya penulis syukuri, karna dengan kehendaknya, taufiq dan rahmatnya pulalah akhirnya penulis dapat menyelasaikan makalah ini guna persyaratan untuk mengikuti Intermediate Training (LK II) Tingkat Nasional Yang dilaksanakan oleh Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Karawang pada tanggal 28 Juli s/d 4 Agustus 2007 di Aula Islamic Centre Karawang. Adapun judul makalah ini adalah: Dialektika Peradaban Dan Konsep Pemerintahan Islam Dengan Cara Dekonstruksi Epistemologi Islam.

Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada HMI Cabang Banjarmasin dan juga rekan-rekan kader-kader HMI yang selalu berjuang, yang selalu memberikan saran, koreksi dan motivasi yang sangat membangun. Dan juga tidak lupa penulis mengucapkan ribuan terima kasih kepada Kanda-Kanda Alumni (KAHMI) yang juga tidak luput memberi bantuan kepada penulis, dari segi moril maupun materil serta ucapan terima kasih juga penulis sampaikan untuk semua kader HMI Cabang

Page 4: Dialektika Peradaban Dan Konsep Pemerintahan Islam Dengan Cara Dekonstruksi Epistemologi Islam

Karawang yang telah berjuang untuk mengadakan Latihan Kader (LK II) ini dengan harapan dan tujuan yang sangat mulia.

Makalah ini merupakan hasil jerih payah penulis yang sangat maksimal sebagai manusia yang tidak lepas dari salah dan khilaf. Namun penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurang dan jauh dari kesempurnaan. Jadi saran, kritik dan koreksi yang membangun sangat penulis harapkan dari rekan-rekan semua.

Akhirnya, kepada Allah jualah kita memohon. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita sebagai penambah wawasan dan cakrawala pengetahuan. Dan dengan memanjatkan doa dan harapan semoga apa yang kita lakukan ini menjadi amal dan mendapat ridho dan balasan serta ganjaran yang berlipat ganda dari Allah SWT yang maha pengasih lagi maha penyayang.

Billahittaufiq Wal Hidayah

Banjarmasin, 25 Juli 2007

Page 5: Dialektika Peradaban Dan Konsep Pemerintahan Islam Dengan Cara Dekonstruksi Epistemologi Islam

Penulis

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL................................................................................ I

KATA PENGANTAR……………………………………..…................ II

DAFTAR ISI……………………………………………………………. IV

BAB I Pendahuluan………………………….……………............. 1

BAB II Dialektika Peradaban dan Konsep Pemerintahan Islam

Dengan Cara Dekonstruksi Epistimologi Islam……………. 3

Page 6: Dialektika Peradaban Dan Konsep Pemerintahan Islam Dengan Cara Dekonstruksi Epistemologi Islam

A. Sekitar Permasalahan Politik…………………............... 5

B. Kontroversi Dikalangan Pemikir-Pemikir Islam 7

C. Setitik Pendapat Penulis……………..………………… 10

BAB III PENUTUP............................................................................. 12

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………. 13

BAB I

PENDAHULUAN

Page 7: Dialektika Peradaban Dan Konsep Pemerintahan Islam Dengan Cara Dekonstruksi Epistemologi Islam

Allah SWT telah menurunkan risalah Islam. Dimana Dia menjadikan risalah tersebut berdiri diatas landasan akidah tauhid, yaitu akidah la Ilaha Illa Allah, Muhammadur Rasulullah.

Islam merupakan risalah yang universal, yang mengatur seluruh manusia. Ia juga mengatur seluruh masalah kehidupan, serta seluruh hubungan antara kehidupan itu dengan sesuatu yang ada dan sesudah kehidupan. Ia juga memecahkan seluruh masalah manusia, sebagai manusia (yang memiliki kebutuhan jasmani, naluri dan akal). Juga mengatur interaksi manusia---secara vertical---dengan penciptannya, dan secara diagonal---dengan dirinya, serta--- secara horizontal---denagn sesame manusia, disetiap waktu dan tempat.

Islam juga menyelasaikan hubungan antara Allah, sebagai sang pencipta, dengan alam. Manusia dan kehidupan,, dari aspek penciptaan dan pengaturan, penghidupan dan pembinasaan, petunjukan dan kesesatan, termasuk aspek rezki dan pertolongan. Serta aspek-aspek lain yang menjadi sifat-sifat Allah SWT. Baik yang bersifat kuasa, pengatur, pengendali, mengetahui segala hal yang meliputi seluruh makhluk, maupun sifat iradah yang mleiputi segala kemungkinan.

Islam juga telah memecahkan maslah interaksi antara antara manusia besserta kehidupan tersebut dengan Allah sbagai sang khaliq, dengan disertai keharusan beribadah dan menyembah kepadanya semata-mata dan tidak menyekutukannya.dengan sesuatu apapun. Disamping itu Islam juga wajib menjadikan hanya Muhammad sebagai utusan Allah yang wajib diikuti ajaran-ajarannya.Islam memang membawa corak pemikiran yang khas, dimana dengan pemikiran-pemikiran itu ia bisa melahirkan sebuah peradaban yang lain dan beda sama-skali dengan peredaban-peradaban manapun. Dengan pemikiran-pemikiran itu pula, ia mampu melahirkan kumpulan konsepsi kehidupan. Serta pemikiran-pemikiran itu juga menjadikan benak penganutnya telah mendarah daging dengan corak peradaban tersebut. Pemikiran-pemikiran tersebut juga telah melahirkan pandangan hidup tertentu, yaitu pandangan hala dan harambeserta sebuah tuntunan hidupnya yang khas.

Begitu pula Islam juga telah membawa aturan paripurna, yang bersangkutan dengan berbagai problem interaksi didalam negara dan masyrakat, baik dalam maslah pemerintahan , ekonomi, sosial, pendidikan maupun politik, baik yang menyangkut interaksi yang bersangkut umum, antara negara dengan anggota masyarakat.

Page 8: Dialektika Peradaban Dan Konsep Pemerintahan Islam Dengan Cara Dekonstruksi Epistemologi Islam

BAB II

Dialektika Peradaban Dan Konsep Pemerintahan Islam Dengan Cara Dekonstruksi Epistemologi Islam

Terma agama dan terma kebudayaan memang sangat popular. Agama telah berusia ribuan tahun dan kebudayaan walaupun istilahnya baru muncul pada akhir abad ke- XIX namun usianya sudah jauh lebuh lama. Kendatipun demikian, sampai kini belum ada satu definisi baik tentang agama maupun tentang kebudayaan yang disepakati oleh semua orang.definisi-definisi yang diberikan sangat beragam, tergantung pada minat dan keahlian orang yang merumuskannya. Ada yang berpendapat bahwa agama adalah bagian dari kebudayaan.[1]

Melihat beragamnya definisi dan pendapat tentang agama dan kebudayaan menjadi sebuah petunjuk bagaimana rumitnya kedua masalah ini. Karena itu ada orang yang mengatakan bahwa masalah agama dan kebudayaan sangat peka dalam kajian sosiologi dan politik.

Peradaban kita, peradaban Islam, telah memainkan peranan penting dalam sejarah kemajuan manusia dan meninggalkan tapaknya baik dalam akidah, Ilmu, hukum, filsafat, seni, sastra, dan lain sebagainya yang jauh cakupannya dan kuat pengaruhnya terhadap hasil yang dicapai oleh peradaban modern.

Adapun peninggalan- peninggalan abadi peradaban Islam secara garis besar ada lima bidang:

Page 9: Dialektika Peradaban Dan Konsep Pemerintahan Islam Dengan Cara Dekonstruksi Epistemologi Islam

Bidang Akidah Dan Agama

Bidang Filsafat dan Ilmu

Bidang Bahasa Sastra

Bidang Perundang-Perundangan

Pengertian Negara Dan Hubungan Rakyat Dengan Pemerintah (Politik).[2]

Menurut Fahmi Amhar bahwa Persoalan pelik yang melanda Dunia Islam seperti kebodohan, kemiskinan, dan keterbelakangan, adalah terjadi karena dua faktor: internal dan eksternal.[3] Kelemahan pada faktor internal hanya dapat diatasi oleh umat Islam sendiri, dengan ajaran Islam sebagai obatnya, dan para pemimpin umat sebagai dokternya. Sebaliknya, faktor eksternal berasal dari musuh-musuh Islam, yang sejak zaman Nabi Saw memang ingin menghancurkan Islam. Tujuan dari penghancuran Islam adalah demi melestarikan kekuasaan, dominasi pandangan, serta cara hidup mereka.

Target Penghancuran Islam secara umum target penghancuran Islam terdiri dari tiga hal: akidah, syariat, dan Islam politik.

1) Pendangkalan akidah Islam

Akidah Islam didangkalkan dengan cara-cara yang bervariasi, sebagian cukup canggih, sehingga tidak banyak orang yang menyadarinya. Berikut ini adalah sebagian cara itu:

a. Dogmatisasi akidah Islam

b. Manipulasi akidah Islam

Page 10: Dialektika Peradaban Dan Konsep Pemerintahan Islam Dengan Cara Dekonstruksi Epistemologi Islam

c. Substitusi akidah Islam

2) Substitusi akidah Islam

Ketika pendangkalan akidah terjadi pada tingkat individu, maka penghancuran syariat terjadi secara lebih massal.

a. Tidak diterapkannya syariat adalah kampanye negatif yang paling efisien

b. Pendidikan yang dikotomis[/i]

c. Stigma Negataif dan Penafsiran Ulang

3. Peminggiran Islam Politik

Page 11: Dialektika Peradaban Dan Konsep Pemerintahan Islam Dengan Cara Dekonstruksi Epistemologi Islam

Setelah akidah didangkalkan dan syariat dihancurkan, maka peminggiran Islam politik adalah langkah yang relatif mudah. Hal ini karena aktivitas politik dari banyak kelompok Islam juga sudah tidak lagi dilandasi dan diikat oleh akidah Islam semata-mata, namun tercampur dengan nasionalisme dan semangat golongan (‘ashabiyah) atau mazhab tertentu. Gerakan politik Islam menjadi tidak banyak bedanya dengan gerakan politik lain —dari Kristen, misalnya. Karena itu, Islam politik sering dianggap kelompok sektarian yang hanya memikirkan pemeluk agamanya saja.

Karena landasan dan ikatannya bukan dari akidah Islam semata-mata, Islam politik ini mudah terbawa arus kepentingan pragmatis dari para tokohnya. Para tokohnya juga cukup mengandalkan karisma dan ikatan primordial, belum mencerminkan sosok dengan ‘aqliyyah (pola pikir) dan nafsiyyah (pola jiwa) Islam yang kental.

Karenanya, tidak aneh jika Islam politik ini mudah diadu-domba, mudah pecah, dan mudah berubah tatkala suatu agenda politik pragmatisnya tidak tercapai. Citra dari para tokoh Islam politik jadi tidak bagus di mata umat. Hasilnya secara umum, umat Islam kecewa dengan Islam politik, dan beralih pada politik yang berhaluan non-sektarian, yang notabene adalah politik sekular.

Kalaupun kemudian muncul Islam politik yang sahih, maka dilakukan langkah-langkah isolasi, seperti dibatasi ruang geraknya dengan undang-undang parpol atau ormas, atau dibuat rekayasa agar Islam politik ini hancur citranya —misalnya dengan memancing anggota atau simpatisannya agar terlibat dalam perbuatan melawan hukum, seperti aksi kekerasan atau teror.

A. SEKITAR PERMASALAHAN POLITIK ISLAM

Sebagaimana yang kita ketahui politik merupakan suatu permasalahan yang menjadi “perdebatan besar” yang terjadi dikalangan kaum muslimin.

Seperti realita yang terjadi sekarang ini, bagi sarjana Islam maupun bukan permaslahan tentang politik nampaknya menjadi problem-problem yang serius. Bagi orang Islam yang mempelajari bidang ini, keadaannya semakin sulit karena mempelajarinya dibawah bayang-bayang empat batasan yaitu Al-Quran, Hadist, fiqih dan riwayat. Banyak ulama menganggap keempat referen ini yang membentuk

Page 12: Dialektika Peradaban Dan Konsep Pemerintahan Islam Dengan Cara Dekonstruksi Epistemologi Islam

fondasi literature politik Islam, sebagai sandaran yang suci dan tak dapat dihindari. Sekarang pun sering kita temukan kaum muslimin mencemohkan seorang ulama lain hanya karena menolak sebuah hadis yang dirawi oleh seseorang yang selama ini dianggap otoritas. Dikalangan tertentu malah menolak sesuatu ketentuan fikih yang ditulis oleh ulama abad ke-15 atau hanya merupakan rijal telah dianggap sesat.

Padahal apabila diteliti secara cermat pada masa seribu empat ratus tahun terakhir sejarah Islam, telah terjadi penemuan-penemuan hasilnya baik dan adakalanya buruk. Disamping itu, masa kemunduran Islam sesudah masa seribu tahun pertama yang cemerlang, berlarut-larut dan menyengsarakan. Para ulama berpendapat bahwa sebaiknya memepertahankan syariah dengan menyatakan bahwa ijtihad tidak diperlakukan lagi. Secara moral mereka merasa aman berada dalam keterperincilan, jauh dari politik kotor pemerintahan. Mereka berusaha mengamankan syariah dengan mengisolasinya dengan harapan bahwa syariah akan diterapkan oleh penguasa-penguasa yang baik pada masa suatu kelak.[4]

Demikianlah dalam masa klasik dan abad pertenghan Islam tidak ada ulama yang mempersoalkan apakah Islam mempunyai konsep negara atau tidak. Tetapi bagaimanapun mereka telah berbuat, artinya sejumlah orang muslim telah mendirikan negara dan mengadopsi hukun-hukum Allah yang ditafsirkan dari Al-Qur’an dan hadis Nabi. Bahkan semua sepakat bahwa Nabi Muhammad ketika hijrah ke Madinah telah mendirikan negara.

Demikian juga beberapa ulama telah menulis mengenai teori-teori kenegaraan sejauh pemahaman yang dimilikinya dan sesuai dengan perkembangan peradaban ketika itu. Kenyataanya penulis-penulis teori kenegaraan ketika itu selalu dihubungkan dengan ajaran agama baik ajaran tauhid , fikih, maupun akhlak. Seperti juga telah dilihat dari sejarah dimasa klasik pasca khulafur al-Rasyidin dan masa pertengahan tidak ada yang memberikan alternatif bentuk pemerintahan selain bentuk monarki.

B. KONTROVERSI DIKALANGAN PEMIKIR-PEMIKIR ISLAM TENTANG PEMERINTAHAN ISLAM

Dimasa kontemporer ini ada terlihat kecendrungan para pakar Islam menyangkut negara. Tampaknya perbedaan pendapat ini dilatarbelakangi oleh pengaruh hegemoni barat untuk beberapa dasawarsa di dunia Islam. Dalam menghadapi kenyatan ini timbul tiga golongan pemikir sesuai dengan cara mereka merespon dengan kehadiran barat yang serba maju.

Page 13: Dialektika Peradaban Dan Konsep Pemerintahan Islam Dengan Cara Dekonstruksi Epistemologi Islam

Golongan pertama tidak mau mengakui kelebihan barat dan menolak barat dengan penuh apriori sehingga mereka menolak semua apa saja tyang dibawa oleh barat. Dengan demikian apa saja kebutuhan umat harus dilihat dalam ajaran agamanya sendiri. Golongan kedua kagum denang kehebatan Barat sehingga kehilangan kepercayaan terhadap agamanya sendiri. Mereka sering mengadopsi sesuatu yang datang dari barat tanpa melihat ada tidaknya sebenarnya ajaran itu dalam agamanya sendiri. Golongan ketiga mengakui kelebihan Barat dalam hal-hal tetentu dan berusaha mengambilnya tetapi tetap memperhatikan kejanggalan-kejanggaln barat yang disikapi dengan harus diwaspadai dan kemudian bahkan dilarang untuk meniru.[5]

Setiap umat Islam seperti diterangkan diatas telah juga membentuk pola tersendiri dalam memberi tanggapan mereka dalam merumuskan kembali definisi negara Islam. Dalam masalah ini pemikiran terbagi menjadi tiga kelompok pendapat.[6]

Pendapat pertama menyatakan bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan lengkap dengan pengaturan untuk segala aspek kehidupan manusia termasuk masalah kehidupan bernegara. Karena itu menurut mereka umat Islam tidak perlu mengadopsi sistem kenegaraan Barat.. malah sebaliknya agama Islam dihimbau kembali kepada sistem ketatanegaraan Islam sendiri dengan menunjukan contoh negara yang dibentuk oleh Nabi Muhammad dan empat khulafur Rasyidin.

Golongan kedua berpendapat bahwa Islam adalah hanya sebagai suatu agama saja, tidak ada hubunganya dengan masalah kenegaraan. Menurut mereka Nabi Muhammad hanya diutus kedunia hanyalah seorang rasul biasa seperti halnya rasul-rasul sebelumnya dengan tugas hanya untuk menyempurnakan akhlak manusia. Nabi tidak pernah mendapat tugas untuk mendirikan dan menggepalai suatu negera. Dia sendiripun tidak pernah bermaksud seperti itu.

Golongan yang ketiga berpendapat bahwa Islam tidak merupakan suatu agama yang serba lengkap yang didalamnya terdapat suatu sistem kenegaraan yang lengkap pula. Namun mereka berpendapat disana terdapat sejumlah tata nilai dan etika yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan negara.[7]

Dalam paradigma Munawir Sjadzali sedikit berbeda M. Din Syamsuddin merumuskan dalam bentuk peradigma lain. Ada tiga paradigma yang dimunculkan oleh beliau mengenai hubungan agama dan negara. Pertama, agama dan negara tidak dapat dipisahkan (Integreted). Wilayah agama juga meliputi

Page 14: Dialektika Peradaban Dan Konsep Pemerintahan Islam Dengan Cara Dekonstruksi Epistemologi Islam

politik. Dengan kata lain negara merupakan lembaga politik dan sekaligus lembaga keagamaan. Dalam negara ini pemerintahan negara diselenggarakan atas dasar kedaulatan Tuhan karena memang kedaulatan itu berasal dan berada di Tangan Tuhan. Paragdima ini dianut oleh kelompok syiah. Paradigma politik syiah memandang bahwa negara adalah lembaga keagamaan dan punya fungsi keagamaan. Paradigma menurut M. Din Syamsuddin juga dianut oleh kelompok Fundamentalis Islam yang diantara pemimpinnya adalah Mawdudi. Kedua ,memandang agama dan negara sehubungan secara simbolik yaitu berhubunggan timbal balik dan saling memerlukan. Dalam hal ini agama memerlukan negara, karena dengan negara agama dapat berkembang. Sebaliknya negara memerlukan agama karena dengan agama negara dapat berkembang dalam bimbinggan dan etika dan moral.

Menurut Din Syamsuddin pandangan ini juga didapati pada tokoh abad pertengahan seperti Al-mawardi dan Al-Ghazali. Ketiga, bersifat sekularistik.Paradigma ini menolak baik hubungan integralistik maupun simbiotik antara agama dan negara. Paradigma ini mengajukan pemisahan antara agama dan negara dan menolak pendasaran negara kepada Islam. Salah seorang pemrakarsa paradigma ini adalah Ali Abd Al-Raziq. Islam tidak mempunyai kaitan apapun dengan sistem pemerintahan kehkalifahan. Termasuk khalifah Ar-rasyidun bukanlah sebuah sistem politik keagamaan atau keislaman tetapi sisten duniawi[8]

Masih dalam permasalahan- permasalahn diatas Kuntowijoyo misalnya mengatakan: “ Banyak orang, bahkan pemeluk Islam sendiri, tidak sadar bahwa Islam bukan hanya agama, tetapi juga sebuah komonitas tersendiri yang mempunyai pemahaman , kepentingan dan tujuan-tujuan politik sendiri. Banyak orang beragama Islam adalah agama individual , dan lupa kalau Islam juga merupakan kolektivitas. Sebagai kolektivitas , Islam mempunyai kesadaran, struktur dan mampu melakukan aksi bersama”.[9]

Peryataan tersebut selanjutnya dibuktikan oleh beliau secara meyakinkan dalam bukunya itu, bahwa Islam memiliki konsep tentang politik.

Keterkaitan agama Islam dengan aspek politik selanjutnya dapat diikuti dari uraian yang diberikan Harun Nasution dalam bukunya Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya Jilid II. Dalam bukunya Harun Nasution malah menegaskan bahwa persoalan yang peretama-tama timbul dalam Islam menurut sejarah bukanlah persoalan tentang keyakinan melainkan persoalan politik.[10]

Ketika Nabi Muhammad berada di kota Madinah misalnya bukan hanya mempunyai sifat rasul Allah, tetapi juga mempunyai sifat kepala negara, maka setelah beliau wafat mesti diganti oleh orang lain untuk memimpin negara yang beliau tinggalkan.

Page 15: Dialektika Peradaban Dan Konsep Pemerintahan Islam Dengan Cara Dekonstruksi Epistemologi Islam

Para peneliti sejarah politik ada yang mengatagorikan bahwa corak politik yang diterapkan oleh Nabi Muhammad adalah bercorak teo-demokratis, yaitu pola pemerintahan yang dalam menyelesaikan setiap persoalan terlebih dahulu melakukan musyawarah baru kemudian menunggu ketetapan dari Tuhan . Hal ini dimungkinkan karna pada masa Nabi Muhammad SAW wahyu masih dalam proses turunnya.

C. SETITIK PENDAPAT PENULIS

Terlepas dari semua perbedaan pendapat para pemikir-pemikir Islam tersebut. Penulis berpendapat bahwa apa yang diperdebatkan masing-masing kelompok itu tidaklah sepenuhnya salah dan juga tidak sepenuhnya benar. Kita sebenarnya tidak perlu saling memojokan satu sama lain karena inilah kelemahan-kelemahan Islam yang melanda umat sekarang. Mereka saling mengajukan argument-argumen masing-masing dan tidak melihat argument orang lain yang sebenarnya mereka itu adalah bersaudara. Satu hal yang sebenarnya yang perlu kita sadari bahwa Al-Quran tidak pernah menyinggung dan juga tidak pernah menentukan bagaimana sistem pemerintahan yang baku menurut Al-quran. Namun Al-quran tetap memerintahkan akan adanya sebuah kepemimpinan dikalangan kaum muslimin. Karena seorang pemimpin itu sangat diperlukan dalam sebuah kelompok. Sebagaimana dalam Al-quran surah al-Nisa ayat 47 terdapat perintah mentaati ulil amri . Dalam makna ayat tersebut dimaksudkan bahwa Islam tidak mengajarkan ketaatan buta terhadap pemimpin. Islam menghendaki suatu ketaatan kritis, yaitu ketaatan yang didasarkan pada tolak ukur kebenaran dari tuhan, jika pemimpin tersebut berpegang teguh pada tuntunan Allah dan Rasul-Nya maka wajib ditaati. Sebaliknya jika pemimpin tersebut bertentangan dengan kehendak Allah dan rasul-Nya maka boleh diberi kritik atau diberi saran agar kembali kejalan yang benar dengan cara-cara persuasif. Dan jika cara tersebut juga tidak dihiraukan oleh pemimpin tersebut, maka boleh saja untuk tidak dipatuhi.[11]

Dalam sejarah kita mengenal berbagai bentuk pemerintahan seperti republik yang dipimpin presiden, Kerajaan yang dipimpin raja, dan banyak sitem-sistem yang lain. Namun, Islam tidak pernah menentukan bentuk pemerintahan tertentu. Jadi setiap bangsa boleh saja menentukan bentuk negaranya masing-masing sesuai seleranya. Namun, yang terpenting bentuk pemerintahan tersebut harus digunakan sebagai alat untuk menegakkan keadilan, kemakmuran, kesejahteraan keamanaan, kedamaian dan ketentraman masyarakat.

Page 16: Dialektika Peradaban Dan Konsep Pemerintahan Islam Dengan Cara Dekonstruksi Epistemologi Islam

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Dari berbagai permasalahan-permasalahan (perbedaan pendapat) yang terjadi dikalangan pemikir-pemikir Islam tentang sebuah pemerintahan Islam seharusnya tidaklah menjadi sebuah kelompok yang saling menjatuhkan. Islam memang perlu seorang pemimpin, yang menjadi panutan seluruh masyarakat. Namun perlunya sebuah pemerintahan atau sistemnya, nampaknya tidak usah terlalu mempermasalahkan hal tersebut dengan cara kekerasan, apalagi saling tuding satu-sama lain. Karena sebenarnya Rasulullah sendiri tidak pernah memjelaskan secara terperinci bagaimana sistem pemerintahan itu. Yang terpenting bentuk pemerintahan tersebut harus digunakan sebagai alat untuk menegakkan keadilan, kemakmuran, kesejahteraan keamanaan, kedamaian dan ketentraman masyarakat.

Sebagai umat Islam yang beriman dan bersaudara kita hendaknya jangan terlalu mementing sebuah keegoisan kita masing-masing. Kita hidup bersosial yang tak lepas dari sebuah kehidupan yang saling memerlukan. Apapun perbedaan yang terjadi diantara kita, apalagi diantara kaum muslimin, kita seharusnya bisa berlaku bijak bahwa pemikiran kita tidaklah sama dengan apa yang pikirkan.orang lain.

Page 17: Dialektika Peradaban Dan Konsep Pemerintahan Islam Dengan Cara Dekonstruksi Epistemologi Islam

SARAN

Berdasarkan hal tersebut diatas penulis menyarankan agar para pemikir-pemikir Islam agar lebih bersatu dan lebih memikirkan keadaan ummat yang semakin jauh dari keimanaan. Hal ini lebih penting dari pada kita harus berlomba saling menguatkan untuk kepentingan suatu kelompok. Karena kita adalah agama yang satu dan jangan biarkan kaum yang selalu ingin perpecahan antara kita terus tertawa dengan penuh kepuasan.

DAFTAR PUSTAKA

Amiruddin, M. Hasbi. 2000. Konsep Negara Islam menurut Fazlur Rahman. Yogyakarta; UII Press

Page 18: Dialektika Peradaban Dan Konsep Pemerintahan Islam Dengan Cara Dekonstruksi Epistemologi Islam

An-Nabhani, Taqiyuddin. 1996. Sistem pemerintahan Islam. Bangil; Al- Izzah

As-Siba’I, Mustafa. 1992. Peradaban Islam dulu, kini, dan Esok. Jakarta; Gema Insani Press

Jindan, Khalid Ibrahim. 1994. Teori Pemerintahan Islam menurut Ibnu Taimiyah. Jakarta; Rineka Cipta

Maududi, Sayyid Abul A’la. 2000. Islam Way of Life. Jakarta: Darul Falah

Nata, Abuddin.2000. Metodologi Studi Islam. Jakarta: Pt. Raja Grafindo Persada

Yatim, Badri. 1998. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta; Raja Grafindo Persada

Page 19: Dialektika Peradaban Dan Konsep Pemerintahan Islam Dengan Cara Dekonstruksi Epistemologi Islam

Shiddiqi, Naurrouzzaman 1996. Jeram-Jeram Peradaban Muslim. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

[1].Prof.Dr. Nourrouzzaman shiddiqi, M.A. Jeram-Jeram Peradaban Muslim,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 257

[2].Dr. Mustafa As-Siba’I. Peradaban Islam Dulu, Kini, Dan Esok.(Jakarta: Gema Insani Press, 1992), h.47

[3] Lihat Majalah Al-Wa’ie, Edsisi 58

[4] M. Hasbi Amiruddin. Konsep Negara Islam menurut Fazrlur Rahman (Yogyakarta: UII Press, 2000), h. 77

[5] Ibid.h.78

[6] Ibid.h.78

[7] Penggolongan semacam ini telah dirumuskan oleh H. Munawir Sjadzali dalam bukunya, Islam dan Tata Negara, Ajaran Sejarah dan Pemikir ( Jakarta: UI Press, 1990), Hal. 1-2.

[8] Lihat Din Syamsuddi, “ Usaha Pencarian Konsep Negara Dalam Sejarah Pemikiran Politik Islam “ Ulumul Quran , No. 2, Vol. IV ( 1993 ), Hal. 4-9. Nampaknya perbedaan perumusan paradigma Munawir Syadzali dan M. Din Syamsuddin adalah karena berbeda pendekatan masalah . Munawir syadzali lebih melihat teori yang timbul pada para pakar masa kontemporer disebabkan hegemoni politik Barat

Page 20: Dialektika Peradaban Dan Konsep Pemerintahan Islam Dengan Cara Dekonstruksi Epistemologi Islam

terhadap islam beberapa dasawarsa sementara M. Din Syansuddin lebih melihat pada metodologis, misalnya pada pendekatan penafsiran Al-qur’an yaitu antara skiptularistik dan rasionalistik, antara idealistic dan realistic dan antara formalistic dan substantivistik.

[9] Dr. H. Abduddin Nata, MA. Metodologi Studi Islam, .(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000) h.269 lihat juga Kuntowijoyo, Identitas Politik Ummt Islam, (Bandung: Mizan, 1997), h. 27.

[10] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, (Jakarta: UI Press, 1979), Cet. I, h. 92.

[11] Dalam Hadis Nabi Muhammad SAW. Kita jumpai petunjuknya, bahwa mentaati pemimpin bagi setiap muslim adalah merupakan kewajiban, tetapi apabila pemimpin tersebut memerintah perbuatan dosa, maka boleh ditentang (HR. Bukhari Musliam)