TUGAS AKHIR STUDI EVALUASI SISTEM DRAINASE KOTA UNGARAN BAGIAN BARAT DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0 ”HUBUNGAN ANTARA VOLUME TAMPUNGAN DENGAN DEBIT ALIRAN PADA HILIR STORAGEDI POSISI OFFLINE” Diajukan Sebagai Syarat Untuk Menyelesaikan Pendidikan Tingkat Sarjana Strata 1 (S-1) Pada Fakultas Teknik Program Studi Teknik Sipil Universitas Katolik SoegijapranataDisusun Oleh : METHA OCTO LYNA SULISTYO BUDI MARYOKO NIM : 03.12.0012 NIM : 03.12.0058 FAKULTAS TEKNIK PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA SEMARANG 2008 Perpustakaan Unika
BAGIAN BARAT DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
”HUBUNGAN ANTARA VOLUME TAMPUNGAN DENGAN DEBIT ALIRAN
PADA HILIR STORAGE DI POSISI OFFLINE”
Diajukan Sebagai Syarat Untuk Menyelesaikan Pendidikan Tingkat
Sarjana
Strata 1 (S-1) Pada Fakultas Teknik Program Studi Teknik
Sipil
Universitas Katolik Soegijapranata
NIM : 03.12.0012 NIM : 03.12.0058
STUDI EVALUASI SISTEM DRAINASE KOTA UNGARAN
BAGIAN BARAT DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
”HUBUNGAN ANTARA VOLUME TAMPUNGAN DENGAN DEBIT ALIRAN
PADA HILIR STORAGE DI POSISI OFFLINE”
Oleh:
NIM: 03.12.0012 NIM: 03.12.0058
Telah diperiksa dan disetujui
Disahkan oleh:
Perpustakaan Unika
Segala puji dan syukur kami haturkan kepada Tuhan Yang Maha
Esa, karena atas rahmat serta kehendak-Nya, kami dapat
menyelesaikan Tugas
Akhir yang berjudul: ” Studi Simulasi Sistem Drainase Kota Ungaran
Bagian
Barat dengan Program EPA SWMM 5.0. Adapun maksud dan tujuan
dari
penyusunan Proposal ini adalah untuk memenuhi salah satu
syarat untuk
memperoleh gelar kesarjanaan ( S-1 ) pada Fakultas Teknik Program
Studi Teknik
Sipil Universitas Katolik Soegijapranata Semarang.
Kami sepenuhnya menyadari bahwa Tugas Akhir ini masih jauh
dari
kesempurnaan baik dari segi materi maupun dalam hal melakukan
analisis. Oleh
karena itu, segala kritik dan saran yang membangun yang berkenaan
dengan
Tugas Akhir ini akan kami terima dengan senang hati.
Dalam menyelesaikan Tugas Akhir ini, tidak sedikit bantuan moril
dan
materiil yang kami terima, dan pada kesempatan ini kami ingin
menyampaikan
ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
1. Dr. Rr. MI Retno. S ST, MT Selaku Dekan Fakultas Teknik
Program
StudiTeknik Sipil Universitas Katolik Soegijapranata.
2. Ir. Budi Santosa, MT selaku dosen pembimbing I yang telah
membimbing
kami dalam menyusun Tugas Akhir.
3. Daniel Hartanto ST,MT selaku dosen pembimbing II yang
telah
membimbing kami dalam menyusun Tugas Akhir.
4.
angkatan 2003.
5. Semua pihak yang terkait yang tidak dapat kami sebutkan
satu per satu.
Akhir kata kami berharap semoga Tugas Akhir ini dapat bermanfaat
bagi
semua pihak yang membutuhkannya.
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
2.3 Inflow
(masukan)...................................................................................11
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
2.7.2.1 Rain
Gage..........................................................................25
2.7.2.2
Subcatchment ....................................................................25
2.7.2.3
Junction….........................................................................26
2.7.2.4
Conduit ..............................................................................26
4.1 Permodelan DAS Kota Ungaran Kondisi
Sebenarnya...........................35
4.2 Data Hujan.
...........................................................................................
35
4.6 Peta Subcatchmen Drainase Kota Ungaran Bgian Baratt
.................... 44
4.7
Subcatchment ........................................................................................
54
4.8
Junction .................................................................................................
59
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
5.1
Kesimpulan.............................................................................................82
5.2
Saran.......................................................................................................83
DAFTAR
PUSTAKA.....................................................................................84
LAMPIRAN...................................................................................................85
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
Gambar 2.5 Pola Jaringan Drainase Grid
Iron...................................................17
Gambar 2.6 Pola Jaringan Drainase
Alamiah.....................................................17
Gambar 2.7 Pola Jaringan Drainase
Radial........................................................18
Gambar 2.8 Pola Jaringan Drainase
Jaring-jaring..............................................18
Gambar 2.9 Kota Ungaran dilihat dari
Satelit....................................................29
Gambar 4.1 Grafik Curah Hujan Maksimum Stasiun Ungaran
1997-2006.......36
Gambar 4.2 Grafik Curah Hujan Harian
Maksimum.........................................37
Gambar 4.3 Peta
Subcatchment ..........................................................................44
Gambar 4.5 Tampilan Menu Area di
Autocad...................................................55
Gambar 4.6 Tampilan Menu Width di
Autocad.................................................56
Gambar 4.7 Grafik Curah Hujan Rancangan
....................................................67
Gambar 4.8 Grafik Perbandingan antara Volume dan Debit
Conduit 26..........70
Gambar 4.9 Grafik Perbandingan antara Volume dan Debit
Conduit 39..........72
Gambar 4.10 Grafik Perbandingan antara Volume dan
DebitConduit 40........74
Gambar 4.11 Grafik Perbandingan antara Aliran dan
WaktuConduit 26.........76
Gambar 4.12 Grafik Perbandingan antara Aliran dan
WaktuConduit 39.........78
Gambar 4.13 Grafik Perbandingan antara Aliran dan
WaktuConduit 40.........80
Perpustakaan Unika
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
Tabel 2.2 Hubungan antara Suction
Head , Conductivity,dan Initial
Devisit .......23
Tabel 2.3 Percentage
Impervious.......................................................................24
Tabel 2.4 Bentuk Potongan Melintang Conduit dalam EPA
SWMM 5.0..........28
Tabel 2.5 Hubungan Weir Type, Cross Section Shape dan
Flow Formula........30
Tabel 4.1 Curah Hujan Harian Maksimum Stasiun
Ungaran.............................35
Tabel 4.2 Curah Hujan Rata-rata Maksimum Stasiun
Ungaran.........................37
Tabel 4.3 Analisis Distribusi Frekuensi Log Person
III .....................................41
Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Log Person
III ..................................................42
Tabel 4.5 Perhitungan Hujan Rancangan Log Person
III ..................................43
Tabel 4.6 Kumpulan Data
Subcatchment...........................................................46
Tabel 4.7 Kumpulan
Data Junction....................................................................60
Tabel 4.9 Data Distribusi
Rancangan.................................................................66
Tabel 4.13 Hasil Rekapitulasi Aliran dan Waktu pada
Conduit 26...................75
Tabel 4.14 Hasil Rekapitulasi Aliran dan Waktu
pada Conduit 39...................77
Tabel 4.15 Hasil Rekapitulasi Aliran dan Waktu
pada Conduit 40...................79
Perpustakaan Unika
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
merupakan aset daerah, karena merupakan subyek sekaligus obyek
dari
pembangunan. Oleh karenanya faktor penduduk berkompetensi
untuk ditinjau
sehubungan dengan pembangunan suatu daerah, demi terwujudnya
pembangunannya. Berdasarkan data sekunder diketahui bahwa
jumlah
penduduk kota Ungaran pada tahun 2003 adalah sebesar 112.251
jiwa. Dari data
kependudukan di atas maka kota Ungaran dapat digolongkan kepada
kelas kota
sedang, dimana berdasar kriteria BPS (Badan Pusat Statistik)
mengenai kelas
kota, kota sedang adalah kota dengan jumlah penduduk antara 100.000
sampai
500.000 (Rencana Umum Tata Ruang Kota Ungaran, 1993).
Perkembangan kota Ungaran dipengaruhi oleh aspek eksternal dan
aspek
internal yang terangkai dalam sistem perkotaan. Faktor eksternal
merupakan
faktor yang berasal dari luar yang mempengaruhi perkembangan
kota,
misalnya aspek yuridis (peraturan perundang-undangan) yang
diterapkan pada
level pemerintahan yang lebih tinggi, rencana pengembangan wilayah
regional,
dan interaksi kota dengan wilayah sekitarnya. Sedangkan faktor
internal
merupakan faktor yang berasal dari dalam, meliputi aspek fisik
wilayah kota,
ekonomi, sosial, politik, maupun budaya kota tersebut.
Faktor-faktor tersebut
saling berpengaruh, sehingga makin cepat perkembangan sosial
ekonomi
kota, makin tinggi pula dinamika kepentingan penggunaan lahan
yang
otomatis mempercepat proses perkembangan kota. Dilihat dari
keberadaan
wilayahnya, jarak Kota Ungaran berdekatan dengan Kota Semarang (±
20
km), bahkan mempunyai batas yang bersinggungan. Hal ini
membuat
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
Semarang. Hal tersebut dapat dilihat dari limpahan pemukiman
penduduk dari
Kota Semarang. Keunggulan Kota Ungaran sebagai wilayah
hunian/permukiman terdapat pada kondisi udaranya yang relatif lebih
sejuk
dan mempunyai suasana yang lebih tenang daripada Kota Semarang.
Dengan
jarak yang relatif dekat dengan Kota Semarang, memungkinkan
masyarakat
untuk tetap bekerja di Kota Semarang tetapi bertempat tinggal di
Kota
Ungaran dengan kelebihan-kelebihannya. Sesuai dengan hukum
ekonomi
keruangan, biaya transportasi yang dikeluarkan untuk melakukan
perjalanan
dari Kota Ungaran ke Kota Semarang dikompensasikan dengan
keuntungan-
keuntungan yang diperolehnya dari lokasi tempat tinggalnya.
Keuntungan-
keuntungan tersebut antara lain suasana yang lebih tenang,
pemandangan
yang indah, udara yang relatif lebih sejuk, aksesibilitas ke
pusat-pusat aktivitas
mudah, fasilitas serta utilitas dasar yang memadai, dan tentunya
harga lahan
yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan harga lahan di
Kota
Semarang.
Wilayah Kota Ungaran juga dilalui oleh beberapa aliran sungai,
baik
sungai besar maupun sungai kecil. Sungai besar yang terdapat di
Kota
Ungaran adalah Sungai Garang. Sungai ini berhulu di kelurahan
Candirejo
dan melewati sebelah barat kota hingga Kota Semarang dan berakhir
di Laut
Jawa. Sungai-sungai lainnya, antara lain Kali Gung, Kali Pangus,
Kali
Belang, Kali Krasak, Kali Kliwonan, Kali Jengkolan, Kali Gintungan,
Kali
Slengkong, Kali Siwarung dan Kali Katak.
Keberadaan sungai-sungai yang mengalir melaui wilayah Kota
Ungaran merupakan potensi untuk menunjang drainase kota, yaitu
sebagai
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
3
saluran sekunder ataupun primer yang ada di wilayah Ungaran,
sehingga bisa
menghindari terjadinya genangan air. Selain itu, keberadaan sungai
tersebut
berpotensi sebagai sumber irigasi untuk menunjang kegiatan
pertanian di
Kota Ungaran, mengingat belum semua sawah yang ada merupakan
sawah
beririgasi teknis.
tidak dapat menampung limpahan air pada musim penghujan dengan
intensitas
curah hujan tinggi, sehingga debit air pada DAS (Daerah Aliran
Sungai) Kota
Ungaran ini mengalami debit maksimum. Penanggulangan banjir
merupakan
salah satu usaha dalam rangka pengendalian banjir, sedangkan
pengendalian
banjir merupakan salah satu manfaat dari pengaturan sungai
(Sudaryoko, 1987).
1.2 Permasalahan
luas. Akibatnya banyak sawah diurug untuk kawasan perumahan baru.
Hal
tersebut terjadi karena pada musim penghujan air hujan yang jatuh
pada daerah
tangkapan air (catchments area) tidak banyak yang dapat meresap ke
dalam
tanah melainkan lebih banyak melimpas sebagai debit air sungai.
Jika debit
sungai ini terlalu besar dan melebihi kapasitas tampung sungai,
maka akan
menyebabkan banjir.
1.3 Tujuan
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
Manfaat dari analisa pada DAS Kota Ungaran bagian barat
dengan
menggunakan model EPA-SWMM 5.0, diharapkan:
1. Mampu mempelajari dan memahami dasar-dasar hidrologi untuk
permodelan
banjir.
3. Mampu menerapkan program EPA-SWMM 5.0 dalam aplikasi
yang
sebenarnya.
1.5 Batasan masalah
Agar tidak terlalu luas dalam penelitian ini, hal-hal yang akan
kami bahas untuk
analisa hanya mengenai :
a. Simulasi ini hanya menggunakan program EPA-SWMM 5.0,
b. Data hujan yang digunakan adalah data hujan 10 tahun
terakhir
(Stasiun Ungaran).
Adapun batas-batas wilayah Kota Ungaran bagian barat adalah:
a. Sebelah Utara : Kelurahan Plalangan
b. Sebelah Selatan : Desa Pakopen, Desa Sidomukti,
Desa
Duren
d. Sebelah Barat : Desa Medono, Desa Gondoharjo, Desa
Pasigitan, Desa Branjang
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
Desa Pakopen
Jalan Semarang-Solo
Desa Medono
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
1.7 Sistematika Penyusunan
Laporan Tugas Akhir ini terdiri dari 5 (lima) bab yang
sistematika
penyusunannya adalah sebagai berikut:
manfaat, batasan masalah, dan sistematika penyusunan,
Bab II Tinjauan Pustaka menguraikan tentang tinjauan pustaka yang
terdiri
uraian umum, siklus hidrologi, inflow (limpasan,
infiltrasi,
penguapan, gambar aliran, daerah aliran sungai), fungsi lain
dari
program EPA SWMM,
Bab IV Analisis dengan menggunakan program EPA-SWMM 5.0 pada
DAS Ungaran bagian barat,
Bab V Kesimpulan merupakan hasil yang di dapat dari analisis
dengan
menggunakan program EPA SWMM 5.0 dalam bentuk persamaan
matematis hubungan antara debit dan volume, serta saran-saran
yang kiranya berguna dalam pengendalian banjir di wilayah
Kota
Ungaran bagian barat.
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
pengkajian pada kawasan perkotaan yang erat kaitannya dengan
kondisi
lingkungan fisik dan lingkungan sosial budaya yang ada dikawasan
kota
tersebut. Drainase adalah ilmu yang mempelajari usaha untuk
mengalirkan air
yang berlebihan dalam suatu konteks pemanfaatan tertentu. (HA
Hamsar,
2002).
Menurut Sri Harto (1993) hidrologi merupakan ilmu yang
mempelajari
seluk beluk, kejadian dan distribusinya , sifat alami dan sifat
kimianya, serta
reaksinya terhadap kebutuhan manusia. Secara umum dapat dikatakan
bahwa
hidrologi adalah ilmu yang menyangkut masalah kuantitas dan
kualitas air di
bumi, dapat dikategorikan menjadi 2 yaitu, hidrologi
pemeliharaan
(menyangkut data-data operasional dan peralatan teknisnya) dan
hidrologi
terapan (menyangkut analisis hidrologi).
dalam perancangan bangunan-bangunan hidraulik, baik dalam
perancangan,
pelaksanaan dan pengoperasiannya. Pengertian yang terkandung
di dalamnya
adalah bahwa informasi dan besaran - besaran yang terkandung dalam
analisis
hidrologi merupakan masukan penting bagi analisis selanjutnya. Di
dalam
hidrologi, salah satu aspek analisis yang diharapkan dihasilkan
untuk
menunjang perancangan bangunan-bangunan hidraulik adalah
penetapan
besaran-besaran rancangan, baik hujan, banjir maupun
unsur-unsur hidrologi
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
dalam analisis hidrologi harus benar-benar dipahami.
2.1.1. Siklus Hidrologi
Memperhatikan pengertian tentang hidrologi yang telah
disebutkan
diatas, maka ilmu hidrologi mencakup semua air di alam. Pemahaman
dan
penerapan ilmu hidrologi menyangkut pemahaman mengenai
proses
transformasi atau pengalihragaman dari satu set masukan menjadi
satu set
keluaran melalui satu proses dalam siklus hidrologi.
Inflow atau Masukan
adalah jumlah air yang masuk kedalam suatu sistem DAS sebagai
bagian
penting dari proses hidrologi. Konsep yang disebutkan diatas
menjadi sederhana
jika dilihat dari skema berikut ini :
Gambar 2.1 Konsep Siklus Hidrologi.
(Sumber : H.A Hamsar, Halim, 2002)
Matahari merupakan sumber tenaga bagi alam. Dengan adanya
tenaga
tersebut, maka seluruh permukaan bumi akan mengalami penguapan,
baik dari
muka tanah, permukaan pepohonan (transpiration) dan permukaan
air
(evaporation).
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
keadaan klimatologi memungkinkan, awan dapat terbawa ke darat dan
dapat
terbentuk menjadi awan pembawa hujan (rain could). Hujan baru
akan terjadi
bila berat butir-butir air hujan tersebut telah lebih besar
dari gaya tekan udara ke
atas. Dalam keadaan klimatologis tertentu, maka air hujan yang
terus melayang
tersebut dapat teruapkan kembali menjadi awan. Air hujan yang
sampai ke
permukaan tanah disebut hujan, dan dapat diukur. Hujan yang
terjadi tersebut
sebagian juga akan tertahan oleh mahkota dan dedaunan pada
pepohonan dan
bangunan-bangunan yang selanjutnya ada yang diuapkan
kembali.
Air yang jatuh ke permukaan tanah terpisah menjadi dua bagian,
yaitu
bagian yang mengalir di permukaan yang selanjutnya menjadi
aliran limpasan
(overland flow), yang selanjutnya dapat menjadi limpasan
(run-off), yang
seterusnya merupakan aliran sungai menuju ke laut. Aliran limpasan
sebelum
mencapai saluran dan sungai, mengalir dan tertahan di permukaan
tanah dalam
cekungan-cekungan, dan sampai jumlah tertentu merupakan bagian air
yang
hilang karena proses infiltrasi, yang disebut sebagai
tampungan-cekungan
(depression storage).
Tergantung dari struktur geologinya, dapat terjadi aliran mendatar
yang disebut
aliran antara (interflow). Bagian air ini juga mencapai sungai
dan atau ke laut.
Bagian lain dari air yang terinfiltrasi dapat diteruskan
sebagai air perkolasi yang
mencapai aquifer. Air ini selanjutnya juga mengalir sebagai
aliran air tanah
menuju ke sungai atau laut.
2.1.2 Siklus Air di Bumi
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
Air laut menguap karena radiasi matahari menjadi awan kemudian
awan
yang terjadi oleh penguapan air bergerak di atas daratan karena
tertiup angin.
Presipitasi yang terjadi karena adanya tabrakan antara butir-butir
uap air akibat
desakan angin, dapat berbentuk hujan atau salju. Setelah jatuh ke
permukaan
tanah, akan menimbulkan limpasan (run off ) yang mengalir
kembali ke laut.
Dalam usahanya untuk mengalir kembali ke laut beberapa diantaranya
masuk
kedalam tanah (infiltrasi) dan bergerak terus ke bawah (perkolasi)
ke dalam
daerah jenuh (saturated zone) yang terdapat dibawah permukaan air
tanah atau
yang juga dinamakan permukaan freatik. Air dalam daerah ini
bergerak perlahan-
lahan melewati aquifer masuk ke sungai atau
kadang-kadang langsung masuk ke
laut.
Air yang masuk ke dalam tanah (infiltrasi) memberi hidup
kepada
tumbuhan namun ada diantaranya naik ke atas lewat
aquifer diserap akar dan
batangnya, sehingga terjadi transpirasi, yaitu evaporasi
(penguapan) lewat
tumbuh-tumbuhan melalui bagian bawah daun (stomata).
Air yang tertahan dipermukaan tanah (surface detention) sebagian
besar
mengalir masuk ke sungai-sungai sebagai limpasan permukaan (surface
runoff )
ke dalam palung sungai. Permukaan sungai dan danau juga mengalami
penguapan
(evaporasi), sehingga masih ada lagi air yang dipindahkan menjadi
uap. Akhirnya
air yang tidak menguap ataupun mengalami infiltrasi tiba kembali ke
laut lewat
palung-palung sungai. Air tanah yang bergerak jauh lebih
lambat mencapai laut
dengan jalan keluar melewati alur-alur masuk ke sungai atau
langsung merembes
ke pantai-pantai. Dengan demikian seluruh daur telah dijalani,
kemudian akan
berulang kembali. Daur hidrologi dapat disajikan secara
skematik seperti gambar
2.2 berikut ini.
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
2.2 Menentukan debit sungai berdasarkan hujan.
Untuk menentukan besarnya debit sungai berdasarkan hujan
perlu
ditinjau hubungan antara hujan dan aliran sungai. Besarnya aliran
didalam
sungai ditentukan terutama oleh besarnya hujan, intensitas hujan,
luas daerah
hujan, lama waktu hujan, luas daerah aliran sungai dan ciri-ciri
daerah aliran itu
(Subarkah, 1980).
Inflow atau Masukan adalah jumlah air yang masuk
kedalam suatu
sistem DAS sebagai bagian penting dari proses hidrologi (Denny,
2007).
2.3.1 Limpasan ( Run Off )
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
bahwa air yang jatuh dipermukaan tanah sebagian mengalir
dipermukaan
tanah dan menjadi aliran limpasan yang selanjutnya menjadi
limpasan
yang nantinya akan mengalir ke laut setelah melewati beberapa
proses
dengan yang keadaan berbeda setiap musim, yang disebut sebagai
daur
limpasan.
cycle), yang dapat dijelaskan dengan menyederhanakannya empat
tahapan:
a. Tahap I (pada akhir musim kering)
Pada akhir musim kering dapat diamati bahwa sama sekali tidak
ada
pasokan air hujan (kemungkinan adanya pasokan hanya lewat
bawah
permukaan tanah diabaikan), sehingga yang terjadi hanya
keluaran
berupa penguapan yang intensif dari permukaan dan terjadi
dalam
waktu yang relatif lama. Kekurangan kelembaban lapisan tanah
dilapisan atas akan diganti oleh kelembaban (moisture) yang
berada
dilapisan bawahnya sehingga lapisan-lapisan tanah menjadi jauh
lebih
kering. Aliran yang terjadi pada sungai-sungai hanya bersumber
dari
aliran air tanah pada aquifer saja. Sampai dengan tahap
ini tidak
pernah ada masukan (hujan), sehingga kandungan air dalam
aquifer
pun menjadi semakin turun karena aliran yang terus menerus
ke
sungai.
Akibat adanya hujan dengan jumlah air yang relatif sedikit
maka
permukaan menjadi basah. Sebagian besar air hujan tertahan
akibat
intersepsi. Apabila terjadi aliran maka akan tertampung dalam
tampungan permukaan misalnya sebagai tampungan-cekungan.
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
memberikan sumbangan pada limpasan permukaan. Bagian air yang
terinfiltrasi, jumlahnya dipandang belum mencukupi karena
masih
digunakan massa tanah untuk mengembalikan kandungan airnya
sampai maksimum, selama hal ini belum tercapai maka belum
terjadi
perkolasi, yang berarti belum ada tambahan air dalam
aquifer ,
sehingga muka air dalam aquifer juga belum
berubah.
c. Tahap III (pada pertengahan musim hujan)
Pada tahap ini hujan sudah cukup banyak sehingga terjadi
beberapa
perubahan pada proses hidrologi. Kapasitas intersepsi
telah
terlampaui. Demikian pula aliran limpasan sudah cukup besar,
sehingga kapasitas tampungan pada cekungan telah terlampaui,
dan
terjadi limpasan permukaan. Selanjutnya dapat terjadi perubahan
yang
relatif cepat pada muka air sungai. Bagian air yang
terinfiltrasi,
jumlahnya telah cukup dan terjadi perkolasi. Akibatnya
jumlah
kandungan air dalam aquifer bertambah, dengan ditandai
berubahnya
tinggi muka air dalam aquifer , keadaan ini berlangsung sampai
akhir
musim hujan.
d. Tahap IV (pada awal musim kering)
Pada tahap ini hujan telah berhenti sama sekali, dan sekali
lagi
prosesnya akan terjadi mirip tahap I hanya saja pada tahap
ini keadaan
DAS masih dalam keadaan basah, jika keadaan ini berlangsung
terus-
menerus dengan tanpa masukan sama sekali, maka keadaan ini
akan
kembali seperti pada tahap I.
2.3.2 Infiltrasi
permukaan tanah. Proses ini merupakan salah satu bagian
penting
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
hujan menjadi aliran sungai. Dalam kaitan ini terdapat dua
pengertian tentang kuantitas infiltrasi, yaitu kapasitas
infiltrasi
adalah laju infiltrasi maksimum untuk suatu jenis tanah
tertentu,
dan laju infiltrasi nyata suatu jenis tanah tertentu
Beberapa faktor yang mempengaruhi infiltrasi yaitu :
1. jenis tanah,
2. kepadatan tanah,
3. kelembapan tanah,
4. tutup tumbuhan,
6. pemampatan oleh curah hujan,
7. udara yang terdapat dalam tanah.
2.3.3 Penguapan ( Evaporation)
Penguapan adalah proses perubahan dari molekul air dalam
bentuk zat cair ke dalam bentuk gas. Sudah barang tentu pada
saat
yang sama akan terjadi pula perubahan molekul air dari gas ke
zat
cair, dalam hal ini di sebut pengembunan (condensation).
Penguapan hanya terjadi bila terjadi perbedaan tekanan uap
udara
di atasnya. Dapat dimengerti bila kelambapan udara mencapai
100%, maka penguapan akan terhenti.
Beberapa faktor yang mempengaruhi laju penguapan antara lain
:
1. temperatur,
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
bersumber dari radiasi matahari, panas yang tersedia,
di
atmosfer, maupun dari dalam tanah,atau massa air itu sendiri.
2. angin,
menggantikannya dengan lapisan udara lain, sehingga
penguapan dapat berjalan terus.
sebanding dengan kadar salinitas tersebut. Sebagai contoh,
air
laut mampunyai kandungan garam 2-3% mempunyai laju
penguapan yang juga 2-3% lebih rendah dari air tawar.
Penguapan yang terjadi pada tanaman disebut transpirasi
sedangkan penguapan yang terjadi dari permukaan lahan yang
tertutup dengan tutup tumbuhan disebut evapotranspirasi.
Apabila kandungan air dalam tanah tidak terbatas, maka
digunakan istilah evapotranspirasi potensial.
Daerah Aliran Sungai (DAS) (catchment area) merupakan kawasan
titik air hujan yang jatuh di atasnya, dan kemudian mengalir diatas
permukaan
kawasan dan menuju out fall (muara). (S. Hindarko,
2000).
Memperhatikan kembali daur hidrologi yang telah dijelaskan di
atas,
maka dapat diketahui bahwa air yang berada di bumi ini, langsung
maupun
tidak langsung berasal dari air hujan (precipitation) . Hujan
merupakan
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
sungai, baik melalui limpasan permukaan, aliran antara, maupun
sebagai aliran
air tanah.
Untuk mendapatkan perkiraan besarnya banjir yang terjadi di
suatu
penampang sungai tertentu, maka kedalaman hujan yang terjadi
pun harus dapat
diketahui pula. Dalam hal ini perlu diketahui bahwa yang diperlukan
adalah
besaran kedalaman hujan yang terjadi di seluruh DAS. Jadi,
tidak hanya besaran
hujan yang terjadi di satu sstasiun pengukuran hujan. Data yang
diperlukan
adalah data kedalaman hujan dari banyak stasiun hujan yang tersebar
di seluruh
DAS. Oleh karena itu diperlukan sejumlah stasiun hujan yang
dipasang
sedemikian rupa sehingga dapat mewakili besaran hujan DAS
tersebut.
Terdapat dua faktor penting yang sangat menentukan ketelitian
pengukuran
hujan, yaitu jumlah dan pola penyebaran stasiun hujan (Wirastowo,
2007).
Untuk melakukan pengukuran hujan diperlukan alat pengukur
hujan
(raingauge), yaitu:
Merupakan alat ukur yang paling sering digunakan, yang terdiri
dari
corong dan bejana, sedangkan jumlah air hujan diukur dengan
bilah
ukur (graduated stick ).
Pengukuran yang dilakukan dengan cara-cara di atas adalah
untuk
memperoleh data hujan yang terjadi pada satu tempat saja. Akan
tetapi
dalam analisis umumnya yang diinginkan adalah data hujan
rata-rata
DAS. Untuk menghitung besaran ini dapat ditempuh dengan cara
yang
sampai saat ini sangat lazim digunakan, yaitu:
a. Rata-rata aljabar
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
setiap stasiun hujan dianggap mempunyai bobot yang sama.
b. Polygon Thiessen
dengan pengertian bahwa setiap stasiun hujan dianggap
mewakili
hujan dalam suatu daerah dengan luas tertentu, dan luas
tersebut
merupakan faktor koreksi bagi hujan di stasiun yang
bersangkutan.
c. Isohyet
mempunyai kedalaman hujan sama pada saat yang bersamaan.
Klasifikasi Drainase
yang berada ditengah kota dijadikan sebagai saluran
pembuang akhir.
saluran caban
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
(Sumber: H.A Hamsar, Halim, 2002)
b. Paralel
saluran cabang. Apabila terjadi perkembangan kota, saluran-
saluran tersebut akan dapat menyesuaikan diri.
Gambar 2.4 Pola Jaringan Drainase Paralel.
(Sumber: H.A Hamsar, Halim, 2002)
c. Grid Iron
pinggir kota, sehingga saluran-saluran cabang
dikumpulkan
dahulu pada saluran pengumpul.
saluran utamasaluran pengumpul
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
(Sumber: H.A Hamsar, Halim, 2002)
d. Alamiah
topografi sedikit lebih tinggi dari sungai dan beban sungan
pada pola jaringan alamiah lebih besar. Sungai yang
berada
ditengah kota dijadikan sebagai saluran pembuang akhir.
Gambar 2.6 Pola Jaringan Drainase Alamiah.
(Sumber: H.A Hamsar, Halim, 2002)
e. Radial
saluran caban
saluran caban
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
(Sumber: H.A Hamsar, Halim, 2002)
f. Jaring-jaring
pembuang yang mengikuti arah jalan raya, sehingga cocok
untuk daerah dengan topografi datar.
Gambar 2.8 Pola Jaringan Drainase Jaring-Jaring.
(Sumber: H.A Hamsar, Halim, 2002)
Rumus Manning
mengemukakan sebuah rumus yang akhirnya diperbaiki menjadi rumus
yang
sangat dikenal sebagai
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
S = kemiringan energi
Wujud dasar dan Dinding Saluran Drainase
Koefisien Manning ”n”
A. Pipa Tertutup
Berdinding Baja 0.013-0.017
Berdinding Beton Pracetak 0.011-0.013
B. Saluran Terbuka
Dasar dan Dinding Beton 0.014-0.019
Tabel 2.1 Nilai Koefisien Kekasaran Angka Manning
(lanjutan)
Wujud dasar dan Dinding Saluran Drainase
Koefisien Manning ”n”
Dasar dan Dinding Pasangan Bata 0.012-0.018
Dasar dan Dinding Pasangan Batu Kali 0.017-0.030
Dasar dan Dinding Tanah Asli Bersih 0.016-0.020
Dasar dan Dinding Tanah Rumput 0.025-0.033
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
Dasar dan Dinding Tanah Tak Dirawat 0.050-0.140
Saluran Alam 0.075-0.150
Besar koefisien kekasaran manning yang tertera di atas,
berlaku untuk
saluran dengan dinding dan dasar yang terbuat dari bahan yang sama.
Tetapi
dalam prakteknya banyak saluran yang memakai dinding dan dasar yang
terbuat
dari bahan yang berbeda, misalnya saluran berinding pasangan batu
kali, tetapi
dasarnya tetap dibiarkan berwujud tanah asli (S.
Hindarko,2000).
Tabel 2.2 Hubungan Suction Head ,Conductivity, Initial Devisit
dengan USDA Texture
Classification
(Vol of Air/ Vol of Voids
expressed as afraction
Moist Soil
Loamy Sand 2.41 61.3 2.35 59.8 .312 .382
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
Loam 3.50 88.9 0.52 13.2 .193 .346
Silt Loam 6.57 166.8 0.27 6.8 .171 .368
Sandy Clay
Clay Loam 8.22 208.8 0.08 2.0 .146 .267
Silty Clay Loam 10.75 273.0 0.08 2.0 .105 .263
Sandy Clay 9.41 239.0 0.05 1.2 .91 .191
Silty Clay 11.50 292.2 0.04 1.0 .92 .229
Clay 12.45 316.3 0.02 0.6 .79 .203
Sumber:
www.water-research.net/waterlibrary/stromwater/greenamp.pdf
berlempung, dan lain - lain. (Wustianti Melyani,2007).
Tabel 2.3 Percentage Imperviuos
Business :
Apartement 80
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
Streets :
guna lahan.
simulasi hujan limpasan dinamik.
limpasan dari suatu wilayah pada sistim drainase untuk jangka
pendek maupun panjang.
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
subcatchment area pada studi wilayah. Beberapa data
hujan yang berbeda dapat dipakai sebagaimana format
standar yang dibuat sendiri. Input data untuk rain gage
meliputi tipe data hujan (contoh, intensitas, volume, atau
volume kumulatif).
2.7.2.2 Subcatchment
topografi dan elemen sistem drainase menujukan
permukaan runoff pada satu titik pelepasan.
Subcatchment
dapat dibagi ke dalam pervious dan impervious sub
area.
Infiltrasi air hujan dari pervious area dalam
daerah
tangkapan dapat digambarkan dengan tiga model berbeda :
a. Horton infiltration
b. Green-Ampt infiltration
2.7.2.3
Junction
saluran air yang alami, lubang pada sistem pembuangan,
atau sambungan pipa-pipa. Aliran masuk dari luar dapat
memasuki aliran dari junction.
Junction ditempatkan pada
elevasi terendah (sungai) yang berbatasan dengan
subcatchment lain. Junction dapat
menampilkan
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
sistim pembuangan, atau pipa penghubung.
Parameter input untuk junction meliputi:
1. Elevasi / ketinggian,
2. Kedalaman maksimum
air dari satu junction ke junction yang
lain dalam sistem
pengairan. Penampang saluran untuk conduit dapat
dipilih
dari tipe saluran tertutup atau terbuka yang dapat dilihat
pada tabel 2.4 pada halaman 28. Bentuk saluran yang
tidak
beraturan juga dapat dilihat pada tabel 2.4 halaman 28.
Conduit dapat dihitung dengan mengukur panjang
alur
sungai. Parameter-parameter yang digunakan meliputi:
1. Shape (bentuk saluran trapesium),
2. Max depth (kedalaman maksimum saluran)
3. Length (panjang saluran),
2.7.2.5 Outfall
biasanya ditetapkan akhir dari batas hilir. Hanya satu
saluran yang bisa tersambung ke titik outfall. Kondisi
outfall bisa dijelaskan dengan salah satu dari
tahap-tahap
berikut:
penghubung,
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
3. Data hujan yang sudah ditentukan sendiri dan waktu.
2.7.2.6 Flow Divider
dialihkan pada conduit tertentu. Sebuah flow
divider dapat
memiliki tidak lebih dari dua conduit pada satu
sistemnya.
2.7.2.7 Storage Units
Fasilitas tampungan dapat sekecil kolam atau sebesar
danau.. Parameter storage unit meliputi:
1. Elevasi / ketinggian,
2. Kedalaman maksimum.
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
meninggikan elevasi air. Hidup dan mati pompa dapat
diatur secara dinamik sepanjang pengaturan kontrol yang
telah ditetapkan oleh pengguna.
digunakan untuk mengontrol atau mengalihkan aliran
(Manual EPA SWMM). Sistem ini biasanya digunakan
untuk :
2. mencegah kelebihan air yang tidak diharapkan.
Macam flow regulator dalam SWMM :
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
pengalihan dalam sistim drainase. Biasanya terdapat di
lubang got, fasilitas tampungan atau pintu kontrol.
Aliran pada orifices dihitung dengan rumus :
Q = CA
√2gh............................................................(2.2)
C = koefisien Chezy A = luas penampang orifices (m²)
g = percepatan gravitasi (m²/dtk)
h = tinggi orifices (m)
digunakan sebagai unit tampungan outlet.
Tabel 2.5 Hubungan Antara Weir Type, Cross Section Shape
dan Flow Formula
(Sumber : EPA SWMM 5.0)
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
biasanya digunakan untuk mengontrol outflow dari
unit
tampungan.
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
memecahkan suatu permasalahan dengan mengumpulkan, mencatat,
mempelajari, dan menganalisa data yang diperoleh. Untuk penelitian
kasus
diperlukan adanya metodologi yang berfungsi sebagai panduan
kegiatan yang
dilaksanakan dalam pengumpulan data data sekunder (studi pustaka).
Pada
pemodelan dengan menggunakan EPA-SWMM 5.0 ada parameter yang
di
gunakan dalam pengolahan data, dari parameter itu kami memiliki
tujuan untuk
membandingkan parameter – parameter apa yang dapat berpengaruh
terhadap
perubahan tampungan di sekitar DAS wilayah Kota Ungaran
bagian barat.
EPA SWMM adalah suatu model simulasi yang dipergunakan untuk
memperkirakan banyaknya run off baik pada suatu DAS
(Daerah Aliran
Sungai). EPA SWMM pertama kali dikembangkan pada tahun 1971 dan
telah
dipergunakan secara meluas di seluruh dunia untuk perencanaan,
analisa, dan
desain drainase, saluran pembuangan, dan sebagainya.
Pada pemodelan dengan menggunakan EPA SWMM ada parameter
yang digunakan dalam pengolahan data, dari parameter itu kami
memiliki
tujuan untuk membandingkan parameter-parameter apa yang dapat
berpengaruh terhadap kapasitas volume tampungan dengan debit
pada hilir
storage, adapun parameter itu adalah:
Parameter tetap :
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
3. Bentuk saluran
mendapatkan suatu out put berupa:
1. Report status
storage pada posisi offline.
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
Selesai
Hubungan intensitas antara :
Kesimpulan
Input Data ke EPA SWMM 5.0 : 1. Subcatchment s: - area -
width
- % slope - imperv.
- N-imperv. - N-perv.
- flow unit - conduit length
Ponded area = 20000
n = n + 1
Run Pro ram
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
Pengumpulan data – data sekunder meliputi: tabel angka
manning,
peta topografi ungaran dan data curah hujan. Kemudian
menginput data ke
EPA SWMM dengan parameter – parameternya Area, elevasi,
infiltrasi,
width, % Slope, N – Imperv, N – Perv, D-store
Imprev, D-store Perv, %
Zero Imprev. Tahap yang pertana melakukan run program untuk
mencari
Q (debit) pada kondisi tanpa storage. Kemudian
menentukan letak
tampungan dan mendesain tampungannya (max depth, ponded
area).
Melakukan run program sebanyak 40 kali guna mencari
hubungan antara
volume tampungan dan Q aliran pada hilir storage pada posisi
offline.
Kesimpulannya mendapatkan persamaan perbandingan antara
volume
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
Pemodelan DAS Kota Ungaran bagian barat untuk tahap pertama
menggunakan EPA SWMM 5.0
1. Data hujan Ungaran periode 10 tahun terakhir (lihat
Tabel
2. Koefisien angka Manning (lihat Tabel 2.1, halaman
21)
3. Percentage Impervious ( lihat tabel 2.3, halaman
24)
4.2 Data Hujan
Data hujan yang dipakai disini hanya berupa satu Stasiun hujan
yaitu
Stasiun hujan Ungaran. Panjang data yang digunakan pada Stasiun
Ungaran
adalah 10 tahun, dari tahun 1997-2006. (lihat Grafik 4.1 )
4.3 Distribusi Curah Hujan
Tabel 4.1 Curah Hujan Harian Maksimum Stasiun Ungaran (mm)
Tahun Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des
1997 152 44 124 64 41 - - - - - - -
1999 - - - 96 17 14 3 23 125 74 51 29
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
Tabel 4.1 Curah Hujan Harian Maksimum Stasiun Ungaran (mm)
Lanjutan
Tahun Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des
2005 38 28 5 37 0 0 0 0 0 0 0 45
2006 67 62 37 57 17 5 0 0 0 16 23 15
Keterangan : - Rusak
Grafik Hujan Harian
0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
J an P eb Mar A pr Mei J un J ul A g s S ep Okt Nop D es
Bulan
C
Gambar 4.1 Grafik Curah Hujan Maksimum Stasiun Ungaran Tahun 1997 –
2006.
Dari gambar 4.1 tersebut dapat dilihat curah hujan harian maksimum
dari
tahun 1997-2006. Besar curah hujan tertinggi terjadi pada bulan
maret, sedangkan
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
Tabel 4.2 menunjukkan curah hujan harian maksimum yang diperoleh
dari
besar curah hujan harian maksimum / R24 maksimum dalam satu
tahun.
Tabel 4.2 Curah Hujan Rata - Rata Maksimum Stasiun Ungaran
No. Tahun Hujan Daerah
0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
C
u
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
38
Dari grafik diatas dapat dilihat bahwa curah hujan harian maksimum
tertinggi
adalah pada tahun 2000 sebesar 165 mm, sedangkan curah hujan harian
maksimum
terendah adalah pada tahun 2005 sebesar 38 mm. Pada tahun 1998
Tidak terdapat
nilai dikarenakan selama setahun alat penakar hujan tersebut
mengalami kerusakan.
Maksud dari perhitungan distribusi hujan dibawah, untuk mengetahui
metode
distribusi frekuensi apa yang tepat dari ke-4 macam metode
distribusi frekuensi.
Disini metode yang dipakai metode distribusi log pearson
type III, karena dilihat dari
syarat Cs > 0 yaitu Cs = 0,3691 > 0 dan Ck ≈ 1,5 Cs² + 3
yaitu Ck ≈ (1,5*0,3691²+3)
= 3.2435
n
n = banyaknya hujan (tahun 1997-2006)
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
− 2
x x = jumlah ( basar hujan maksimum dari tahun ke tahun
dikurangi
jumlah hujan rata-rata) / (mean)
Nilai Koefisien Skweness ( Cs ) diperoleh dari
perhitungan hasil bagi antara
banyaknya curah hujan dengan standard deviasi, dikali
jumlah hujan daerah
maksimum (X – Xrt)³.
serangkaian data curah hujan disuatu daerah pengaliran sungai.
Lengkung ini
menunjukan suatu nilai atau besaran harga yang kemungkinan disamai
atau dilampaui
dalam suatu periode tertentu. Hujan rancangan diperhitungkan dengan
periode ulang
50 tahun.
Di dalam analisa dan perhitungan curah hujan rancangan, agar
diperoleh
distribusi frekuensi terbaik maka data yang ada dianalisa dengan 4
(empat) macam
metode distribusi frekuensi yaitu :
Metode Distribusi Log-Pearson Type III
Syarat : Cs > 0 dan Ck ≈ 1,5 Cs² + 3
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
X = S ≥ 68 % dan X = 2S ≥ 95 %
Metode Distribusi Log-Normal 2 Parameter.
Syarat : Cs (ln X) ≈ 0 dan Ck (ln X) ≈3
Disini metode yang dipakai metode distribusi Log-Pearson type
III sesuai
dengan perhitungan diatas, karena dilihat dari syarat Cs > 0
yaitu Cs = 0.3691 > 0 dan
Ck ≈ 1,5 Cs² + 3 yaitu Ck ≈ (1,5*0.3691² +3) =
3.2043
Data yang tersusun kemudian diolah dengan bantuan EPA SWMM
5.0,
tentunya dengan parameter dan variabel yang telah diketahui. Hasil
dari pengolahan
data kemudian di anggap sebagai pedoman untuk data
berikutnya.
4.5 Uji Distribusi Frekuensi
Pengujian distribusi frekuensi disini menggunakan metode distribusi
Log-
Pearson type III , dan dari tabel dibawah, cara menentukan log
X, (Log X-Log Xrt)²,
(Log X-Log Xrt)³ adalah sebagai berikut :
contoh (1):
Log X = log 165 (165 adalah angka dari curah hujan harian
maksimum)
(Log X-Log Xrt)² = (log 165-log 14,555)² (0,0495 adalah angka dari
mean
pada perhitungan syarat metode distribusi)
(Log X-Log Xrt)³ = (log 165-log 14,555)³ (0,0110 adalah angka dari
mean
pada perhitungan syarat metode distribusi)
Semua hasil perhitungan dapat dilihat pada tabel 4.3
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
HUJAN MAKSIMUM
No. LOG PEARSON – III
X Log X (Log X-Log Xrt)^2 (Log X-Log Xrt)^3
1 152 2.1818 0.03489 0.0065
2 125 2.0969 0.0104 0.0011
3 165 2.2175 0.0495 0.0110
4 80 1.9031 0.0085 -0.0008
5 112 2.0492 0.0029 0.0002
6 90 1.9542 0.0017 -6.79E-05
7 112 2.0492 0.0029 0.0002
8 38 1.5798 0.1724 -0.0716
9 67 1.8261 0.0285 -0.0048
Σ 941 17.8578 0.3221 -0.0484
Perhitungan Distribusi Log–Pearson III
n = 9
Jumlah (LogX-LogXrt) ³ = -0.0484
1
2
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
= -1,1757
Nilai Cs = -1,1757, maka dapat menghitung nilai K dengan
melihat tabel Persamaan
Log Pearson III per 50 tahunan, maka didapat nilai
K 1,3926.
Tabel 4.4 Distibusi Frekuensi Log Pearson III
Koefisien
1.0 0.164 0.852 1.128 1.366 1.492
-1.1 0.180 0.848 1.107 1.324 1.435
-1.1757 Hasil Interpolasi 1.3926
( Sumber : Santosa Budi, 2007 )
Contoh perhitungan Log-Pearson III
= 2.2593 mm
XT = 2593,210
= 181,6770 mm
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
50 1,3926 2.2593 181.6770
Dengan perhitungan persamaan Log – Pearson III ,
dapat diperoleh nilai K per 50
tahunan 1.3926, XT=2.2593 mm, 181.677 mm
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
Gambar 4.3 Peta Subcathment Drainase Kota Ungaran Bagian
Barat.
Gambar 4.3 merupakan peta subcatchment drainase kota ungaran bagian
barat
lengkap dengan junction, conduit, outfall dan penempatan
storage.
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
Gambar 4.4 merupakan skema jaringan hubungan antara
subcatchment,
junction, conduit, out fall yang di plot dari peta
subcatchment, agar lebih jelas dalam
memeriksa parameter tetap.
Data yang ada kemudian disusun menjadi tabel untuk memudahkan
dalam
pengolahan data. Data yang berhasil dikumpulkan yaitu pada
Tabel 4.6 dibawah:
Tabel 4.6 Kumpulan Data Subcatchment
Data Subcatcment
1 Subcatchment
2 Subcatchment
3 Subcatchment
4 Subcatchment
5 Subcatchment
% slope 0.061 0.0736 0.0541 0.0625 0.0232 0.0075
% Impervius 50 50 65 70 70 70
N-Impervius 0,011 0,0101 0,01165 0,0185 0,012 0,012
N-Pervius 0,11 0,101 0,11165 0,185 0,12 0,12
Dstore-Imp (mm) 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05
Dstore-Pervius (mm)
% zero impervius 25 25 25 25 25 25
Method Green Amp Green Amp Green Amp Green Amp Green Amp Green
Amp
Sution Head (mm) 282.19 84.25 146.69 245.19 250.61 240.3
Conductivity (mm/hr)
Initial Deficit (mm) 0.22445 0.3138 0.31255 0.25115 0.24575
0.2535
Node max depth (m)
Flow units CMS CMS CMS CMS CMS CMS
Shape trapesium trapesium trapesium trapesium trapesium
trapesium
Max depth (m) 3.3 3.3 3.3 3.3 3.3 3.3
Bottom width (m) 4 4 4 4 4 4
Left slope (m) 1.3 1.3 1.3 1.3 1.3 1.3
Right slope (m) 1.25 1.25 1.25 1.25 1.25 1.25
Conduit roughness 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
Data Subcatcment
7 Subcatchment
8 Subcatchment
9 Subcatchment
10 Subcatchment
11 Subcatchment
% slope 0.00328 0.0303 0.108 0.0474 0.0312 0.0139
% Impervius 70 70 65 65 65 70
N-Impervius 0,0195 0,0122 0,0118 0,0118 0,0118 0,0119
N-Pervius 0,195 0,122 0,118 0,118 0,118 0,119
Dstore-Imp (mm) 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05
Dstore-Pervius (mm)
% zero impervius 25 25 25 25 25 25
Method Green Amp Green Amp Green Amp Green Amp Green Amp Green
Amp
Sution Head (mm)
Conductivity (mm/hr)
Initial Deficit (mm) 0.25655 0.2636 0.2577 0.2434 0.2434
0.2589
Node max depth (m)
Flow units CMS CMS CMS CMS CMS CMS
Shape trapesium trapesium trapesium trapesium trapesium
trapesium
Max depth (m) 3.3 3.3 3.3 3.3 3.3 3.3
Bottom width (m) 4 4 4 4 4 4
Left slope (m) 1.3 1.3 1.3 1.3 1.3 1.3
Right slope (m) 1.25 1.25 1.25 1.25 1.25 1.25
Conduit roughness
Routing model DW DW DW DW DW DW
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
Tabel 4.6 Kumpulan Data Subcatchment (lanjutan)
Data Subcatcment
13 Subcatchment
14 Subcatchment
15 Subcatchment
16 Subcatchment
17 Subcatchment
% slope 0.0841 0.0326 0.0458 0.005471 0.0039 0.0266
% Impervius 60 70 70 80 95 75
N-Impervius 0,01185 0,0116 0,01185 0,0118 0,0113 0,0221
N-Pervius 0,1185 0,116 0,1185 0,118 0,113 0,221
Dstore-Imp (mm)
Dstore-Pervius (mm)
% zero impervius
25 25 25 25 25 25
Method Green Amp Green Amp Green Amp Green Amp Green Amp Green
Amp
Sution Head (mm)
Conductivity (mm/hr)
Initial Deficit (mm)
Node max depth (m)
Flow units CMS CMS CMS CMS CMS CMS
Shape trapesium trapesium trapesium trapesium trapesium
trapesium
Max depth (m) 3.3 3.3 3.3 3.3 3.3 3.3
Bottom width (m)
Left slope (m) 1.3 1.3 1.3 1.3 1.3 1.3
Right slope (m) 1.25 1.25 1.25 1.25 1.25 1.25
Conduit roughness
Routing model DW DW DW DW DW DW
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
Data Subcatcment
19 Subcatchment
20 Subcatchment
21 Subcatchment
22 Subcatchment
23 Subcatchment
% slope 0.0143 0.0089 0.012 0.0133 0.00892 0.00742
% Impervius 70 90 75 85 85 85
N-Impervius 0,01115 0,01175 0,01175 0,01175 0,0116 0,0116
N-Pervius 0,115 0,175 0,1175 0,175 0,116 0,116
Dstore-Imp (mm) 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05
Dstore-Pervius (mm)
% zero impervius 25 25 25 25 25 25
Method Green Amp Green Amp Green Amp Green Amp Green Amp Green
Amp
Sution Head (mm) 213.2 137.19 219.68 178.44 173.02 152.4
Conductivity (mm/hr)
Initial Deficit (mm) 0.2805 0.331 0.269 0,25 0.305 0.32
Node max depth (m)
Flow units CMS CMS CMS CMS CMS CMS
Shape trapesium trapesium trapesium trapesium trapesium
trapesium
Max depth (m) 3.3 3.3 3.3 3.3 3.3 3.3
Bottom width (m) 4 4 4 4 4 4
Left slope (m) 1.3 1.3 1.3 1.3 1.3 1.3
Right slope (m) 1.25 1.25 1.25 1.25 1.25 1.25
Conduit roughness 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01
Routing model DW DW DW DW DW DW
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
Data Subcatcment
25 Subcatchment
26 Subcatchment
27 Subcatchment
28 Subcatchment
29 Subcatchment
% slope 0.00849 0.1653 0.00106 0.0248 0.0024 0.0166
% Impervius 80 80 70 70 25 70
N-Impervius 0,01175 0,0113 0,0113 0.0112 0.01 0.0116
N-Pervius 0,175 0,113 0,113 0,112 0,1 0,116
Dstore-Imp (mm) 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05
Dstore- Pervius(mm)
% zero impervius 25 25 25 25 25 65
Method Green Amp Green Amp Green Amp Green Amp Green Amp Green
Amp
Sution Head (mm)
Conductivity (mm/hr)
Initial Deficit (mm)
Node max depth (m)
Flow units CMS CMS CMS CMS CMS CMS
Shape trapesium trapesium trapesium trapesium trapesium
trapesium
Max depth (m) 3.3 3.3 3.3 3.3 3.3 3.3
Bottom width (m) 4 4 4 4 4 4
Left slope (m) 1.3 1.3 1.3 1.3 1.3 1.3
Right slope (m) 1.25 1.25 1.25 1.25 1.25 1.25
Conduit roughness
Routing model DW DW DW DW DW DW
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
Data Subcatcment
31 Subcatchment
32 Subcatchment
33 Subcatchment
34 Subcatchment
% slope 0.0181 0.061 0.061 0.0143 0.00462
% Impervius 70 50 50 65 75
N-Impervius 0.0116 0.001 0.0011 0.011 0.022
N-Pervius 0,116 0,01 0.011 0,11 0,22
Dstore-Imp (mm)
Dstore-Pervius (mm)
% zero impervius
70 25 25 25 30
Method Green Amp Green Amp Green Amp Green Amp Green Amp
Sution Head (mm)
Conductivity (mm/hr)
Initial Deficit (mm)
Node max depth (m)
Flow units CMS CMS CMS CMS CMS
Shape trapesium trapesium trapesium trapesium trapesium
Max depth (m) 3.3 3.3 3.3 3.3 3.3
Bottom width (m)
Left slope (m) 1.3 1.3 1.3 1.3 1.3
Right slope (m)
Conduit roughness
Routing model DW DW DW DW DW
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
Data Subcatcment
36 Subcatchment
37 Subcatchment
38 Subcatchment
39 Subcatchment
% slope 0.072 0.0468 0.106 0.0651 0.108
% Impervius 70 70 65 50 65
N-Impervius 0.0118 0.0195 0.0118 0.011 0.0118
N-Pervius 0.118 0.195 0.118 0.11 0.118
Dstore-Imp (mm)
Dstore-Pervius (mm)
% zero impervius
70 25 25 25 25
Method Green Amp Green Amp Green Amp Green Amp Green Amp
Sution Head (mm)
Conductivity (mm/hr)
Initial Deficit (mm)
Node max depth (m)
Flow units CMS CMS CMS CMS CMS
Shape trapesium trapesium trapesium trapesium trapesium
Max depth (m) 3.3 3.3 3.3 3.3 3.3
Bottom width (m)
Left slope (m) 1.3 1.3 1.3 1.3 1.3
Right slope (m)
Conduit roughness
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
Tabel 4.6 Kumpulan Data Subcatchment (lanjutan)
Data Subcatcment
41 Subcatchment
Sution Head (mm)
Bottom width (m)
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
Tabel kumpulan data sucatchment di peroleh dari
perhitungan dan
asumsi pada parameter subcatchment dalam EPA SWMM
5.0.
4.7.1 Subcatchment
elemen sistem drainase yang langsung mengalir ke muara. Pengguna
bertugas
untuk membagi area studi menjadi beberapa subcatchment
yang sesuai dan
menetapkan titik keluaran dari tiap subcatchment . Titik
pengeluaran tersebut
bisa jadi keluar dari system drainase atau menuju
subcatchment yang lain.
Subcatchment bisa dibagi menjadi daerah yang kedap air dan yang
tidak kedap
air. Untuk DAS (Daerah Aliran Sungai) Ungaran Barat yang diamati,
kami
membagi sebanyak 35 subcatchment . Pembagian
subcatchment dilakukan
dengan cara melihat kontur tanah elevasi tertinggi (bagian punuk)
yang
dihubungkan menjadi suatu bentuk subcatchment . Setelah
terbagi menjadi 35
subcatchment , langkah selanjutnya adalah mencari
parameter-parameter untuk
melengkapi data subcatchment . Parameter-parameter tersebut
antara lain:
1. Area
daerah resapan air. Menentukan area yaitu dengan menghitung
luasan
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
dengan skala peta (1:25000).
2. Width
cara klik Linear pada autocad. Setiap subcatchment
dibagi menjadi 3
bagian yang dimana nantinya akan diambil rata-ratanya,
kemudian
hasil yang di dapat dikalikan skala peta.
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
3. Percent Slope
menentukan dengan cara beda elevasi pada batas
subcatchment dibagi
panjang sungai setiap subcatchment kemudian
dikalikan 100 %.
4. Percent Impervious
Percent Impervious adalah daerah atau suatu bagian dari daerah
yang
kedap air, tidak dapat menyerap air, misalnya jalan beraspal,
rumah
tinggal, perkantoran, pabrik, pertokoan, dll. Percent
Impervious
ditentukan berdasarkan persentase. Menentukannya dilihat dari
peta
tata guna lahan, dimana dalam tiap subcatchment terdapat
beberapa
tata guna lahan selanjutnya dikalikan tabel Percentage
Impervious.
Nilai Percentage Impervious didapat pada tabel 2.3,
halaman 22.
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
N-Impervious adalah koefisien angka manning untuk
daerah yang
kedap air, contoh pemukiman, jalan raya, dll, (dapat dilihat pada
Tabel
2.1 halaman 21). Menentukannya dilihat dari peta tata guna
lahan
(daerah yang kedap air) dengan menentukan angka manning,
dimana
dalam tiap subcatchment terdapat beberapa tata guna
lahan yang
berbeda.
N-Pervious koefisien angka manning untuk daerah
yang tidak kedap
air, contoh sawah, kebun dan hutan, (dapat dilihat pada Tabel
2.1
halaman 21).
dalam tiap subcatchment terdapat beberapa tata guna lahan
yang
berbeda.
menentukannya dengan memakai angkadefault pada EPA
SWMM.
8. D-Store Perv
menentukannya yaitu dengan memakai angka default pada
EPA
SWMM.
kedap air, (menggunakan angka default pada EPA
SWMM).
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
tabel Percentage Impervious.
Suction head, Conductivity, dan Initial deficit adalah
nilai yang
berdasarkan penggolongan jenis tanah, misalnya tanah
lempung,
pasir, pasir berlempung, dan lain - lain. Menentukannya
dengan
melihat tabel hubungan Section head, Conductivity, dan Initial
defisit
dari tata guna lahan dimana dalam tiap subcatchment terdapat
jenis
tanah yang berbeda. ( Bagus Wirastowo,2007).
11. Node Max Depth
diasumsikan 3,3 m.
12. Flow Unit
Flow unit adalah satuan aliran (debit), dipakai
CMS (Cubic Meter per
Second ).
14. Bottom Width
Bottom Width adalah lebar dasar saluran, diasumsikan 4
m. Jika masih
banjir, lebar dasar saluran dapat diubah menjadi lebih besar
agar
saluran dapat mengatasi luapan air.
15. Left slope, Right slope
Left slope dan Right slope adalah kemiringan sisi
kanan dan kiri
saluran. Cara menentukannya yaitu dengan
mengasumsikan Left
slope 1:3 , Right slope 1:2,5.
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
junction dilihat dari peta kontur kota Ungaran bagian
barat dan
angkanya didapat dari elevasi terendah dari suatu
subcatchment
17. Conduit Length
18. Routing Model
jenis aliran. Routing Model yang dipakai adalah
Dynamic Wave,
karena dengan metode ini dapat menempatkan storage pada
luar
saluran atau di luar area baik di kanan-kiri
subcatchment tanpa harus
berpatokan pada penempatan pada
titik junction.
4.7.2 Junction
Tabel 4.7 Kumpulan Data Junction
Maks Depth = 3,3
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
(lanjutan)
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
subcatchment lain. Jumlah junction ada 41
buah, karena daerah subcatchment
cukup banyak dengan padatnya pemukiman.
Parameter input untuk junction meliputi:
1. Elevasi / ketinggian
2. Kedalaman maksimum
4.7.3 Conduit
Conduit adalah pipa atau saluran yang memindahkan air
dari satu junction ke
junction yang lain dalam sistem pengairan. Penampang
saluran untuk conduit
dapat dipilih dari tipe saluran tertutup atau terbuka yang dapat
dilihat pada
tabel 2.4 hal 26. Conduit dapat dihitung dengan mengukur
panjang alur sungai.
Parameter-parameter yang digunakan meliputi:
2. Max depth (kedalaman),
3. Length (panjang saluran),
Conduit dapat dihitung dengan mengukur panjang alur
sungai, Misalnya
panjang alur sungai dari Junction 1 ke
Junction 2 3218.25 m (Conduit
Length).
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
Data Conduit 1 Conduit 2 Conduit 3
Conduit 4
Inlet Node J1 J2 J3 J4
Outlet Node J2 J3 J4 J32
Shape Trapezoidal Trapezoidal Trapezoidal Trapezoidal
Max Depth (m) 3.3 3.3 3.3 3.3
Length (m) 3218.25 2250.625 1507.8125 724.0635
Roughness 0.01 0.01 0.01 0.01
Tabel 4.8 Kumpulan Data Conduit (lanjutan)
Data Conduit 5 Conduit 6 Conduit 7
Conduit 8
Inlet Node J34 J35 J36 J40
Outlet Node J35 J36 J40 J37
Shape Trapezoidal Trapezoidal Trapezoidal Trapezoidal
Max Depth (m) 3.3 3.3 3.3 3.3
Length (m) 4561.6625 2361.6875 468 2468.75
Roughness 0.01 0.01 0.01 0.01
Tabel 4.8 Kumpulan Data Conduit (lanjutan)
Data Conduit 9 Conduit 10 Conduit 11
Conduit 12
Inlet Node J6 J5 J10 J33
Outlet Node J5 J10 J11 J7
Shape Trapezoidal Trapezoidal Trapezoidal Trapezoidal
Max Depth (m) 3.3 3.3 3.3 3.3
Length (m) 1299.9375 3161.375 559.6875 774.8125
Roughness 0.01 0.01 0.01 0.01
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
Tabel 4.8 Kumpulan Data Conduit (lanjutan)
Data Conduit 37 Conduit 38 Conduit 39 Conduit 40 Conduit 41
Inlet Node J32 J39 J37 J38 J20
Outlet Node J37 J37 J38 Outfall Storage1
Shape Trapezoidal Trapezoidal Trapezoidal Trapezoidal
Trapezoidal
Max Depth
Length (m) 236.346 119.34 236.356 119.34 1873.118
Roughness 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01
Tabel 4.8 Kumpulan Data Conduit (lanjutan)
Data Conduit 42 Conduit 43 Conduit 44 Conduit 45 Conduit 46 Conduit
47
Inlet Node Storege 1 J19 J39 Storage 2 J37
Storage3
Outlet
Node
Shape Trapezoidal Trapezoidal Trapezoidal Trapezoidal Trapezoidal
Trapezoidal
Max Depth
Length (m) 532.177 112.591 1813.818 413.229 397.125
397.125
Roughness 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01
Simulasi ini terdapat 47 conduit , berbeda dengan
junction dan
subcatcchment yang terdapat 41 buah. Hal ini terjadi karena adanya
storage
yang dihubungkan dengan conduit , sehingga perlu adanya
penambahan
conduit baru. Bentuk penampang saluran memakai
trapesium, dengan max
depth asumsi 3.3 m.
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
Data hujan didapat dari hasil simulasi sendiri atau data
eksternal.
Beberapa data hujan yang berbeda dapat dipakai sebagaimana format
standar
yang dibuat sendiri. Input data rain gage meliputi data
hujan, intensitas,
volume, atau volume kumulatif.
Waktu Hujan
(Jam:Menit) (mm)
0:00 0
0:05 0
0:10 0
0:15 29.06832
0:20 45.41925
0:25 59.95341
0:35 16.35
0:45 10.900621
0:50 0
0:55 0
1:00 0
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
Grafik di atas merupakan rancangan distribusi log - pearson
III yang
di masukkan dalam Time Series pada EPA SWMM 5.0. Hasil yang di
dapat
adalah grafik hubungan antara waktu dengan curah hujan.
4.7.5 Outfall
Outfall adalah titik paling akhir dari sistem drainase.
Kondisi outfall bisa
dijelaskan dengan salah satu dari tahap-tahap berikut:
1. Kedalaman aliran normal pada saluran penghubung,
2. Tingkat Elevasi yang telah ditentukan.
Parameter input outfall adalah elevasi / ketinggian.
4.7.6 Storage units
Simulasi drainase Kota Ungaran ini memakai 3 (tiga) storage,
yang
semuanya mempunyai fungsi sebagai pengendalian dan pencegahan
banjir .
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
mengendalikan banjir. Untuk dapat mengetahui apakah storage
itu mampu
mengatasi banjir atau tidak, dapat mensimulasi dan mengasumsi
sendiri
kapasitas max depth dan ponded area dengan
melakukan run simulation pada
program EPA SWMM 5.0.
NO Max Depth
Flow (m³/s) VOLUME (m³)
Dengan Storage Tanpa Storage
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
NO Max Depth
Flow (m³/s) VOLUME (m³)
Dengan Storage Tanpa Storage
Tabel 4.10 merupakan hasil dari proses rekapitulasi simulasi
pada tiap
storage maupun tidak ada storage. Pada rekapan ini yang
digunakan adalah debit dari
conduit 11, karena letak dari conduit 11 berada pada
hilir storage.
Max depth ditentukan berdasarkan asumsi, misalnya dengan
max depth 0.3 m
masih terdapat banjir pada junction maka max
depth dapat diperbesar. Ponded area di
rancang juga berdasakan asumsi, seluas 20000 m². Perhitungan volume
berdasarkan
dari max depth dikalikan dengan ponded area, maka
didapat hasil volume
tampungan.
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
3 /
Gambar 4. 8 Grafik Perbandingan Antara Volume dan Debit
Conduit 26.
Grafik perbandingan antara volume dan debit di dapatkan dalam
hasil
rekapitulasi simulasi conduit 26 dengan
storage maupun tanpa storage, lengkap
dengan persamaan grafik. Debit pada keadaan dengan storage lebih
kecil
dibandingkan dengan tanpa storage. Hal ini disebabkan karena aliran
air masuk dan
ditampung dengan storage, jika semakin besar max depth pada
storage maka
kapasitas volume tampung juga akan semakin besar. Debit aliran
maksimum pada
kondisi dengan Storage sebesar 223.673 m³/s,
sedangkan pada kondisi tanpa storage
debit aliran konstan sebesar 231.359 m³/s.
Tabel 4.11 Hasil Rekapitulasi Simulasi pada Conduit 39
NO Max Depth
Flow (m³/s) VOLUME (m³)
Dengan Storage Tanpa Storage
y = 0.2187x 2 - 0.6625x + 170.48
R 2 = 0.9791
Vol m3
3 /
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
NO Max Depth
Flow (m³/s) VOLUME (m³)
Dengan Storage Tanpa Storage
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
Tabel diatas merupakan hasil rekapitulasi simulasi pada tiap
storage maupun tidak
ada storage. Pada rekapan ini yang digunakan adalah debit dari
conduit 39 karena
letak dari conduit 39 berada pada hilir storage.
y = 229.262
3 /
Gambar 4. 9 Grafik Perbandingan Antara Volume dan Debit
Conduit 39.
Grafik perbandingan antara volume dan debit di dapatkan dalam
hasil
rekapitulasi simulasi conduit 39 dengan storage
maupun tanpa storage, lengkap
dengan persamaan grafik. Debit pada keadaan dengan storage lebih
kecil
dibandingkan dengan tanpa storage. Hal ini disebabkan karena
aliran air masuk dan
ditampung dengan storage, jika semakin besar max depth pada
storage maka
kapasitas volume tampung juga akan semakin besar. Debit aliran
maksimum pada
kondisi dengan storage conduit 39
sebesar 229.262 m³/s, sedangkan pada kondisi
tanpa storage debit aliran konstan sebesar 618.849 m³/s.
y = 0.1337x2 + 3.4083x + 109.27
Vol (m3)
STO39 C 39 Poly. (STO39 )
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
NO Max Depth
(m) PONDED AREA
Dengan Storage Tanpa Storage
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
Tabel diatas merupakan hasil rekapitulasi simulasi pada tiap
storage maupun
tidak ada storage. Pada rekapan ini yang digunakan adalah debit
dari conduit 40,
karena letak dari conduit 40 berada pada hilir
storage.
Max depth ditentukan berdasarkan asumsi, misalnya dengan
max depth 1.5 m
masih terdapat banjir pada junction, maka max
depth dapat diperbesar dengan asumsi
sendiri. Ponded area di rancang juga berdasakan asumsi,
seluas 20000 m².
Perhitungan volume berdasarkan dari max depth dikalikan
dengan ponded area, meka
didapat hasil volume tampungan.
Sto C 40 C 40 Poly. (Sto C 40)
Gambar 4.10 Grafik Perbandingan Antara Volume dan Debit Conduit
40.
Grafik perbandingan antara volume dan debit di dapatkan dalam
hasil
rekapitulasi simulasi conduit 40 dengan storage
maupun tanpa storage, lengkap
dengan persamaan grafik. Debit pada keadaan dengan storage lebih
kecil
dibandingkan dengan tanpa storage. Hal ini disebabkan karena
aliran air masuk dan
y = 0.0805x 2 + 13.804x + 103.97
R 2 = 0.9844
STO C40 C 40 Poly. (STO C40)
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
75
ditampung dengan storage, jika semakin besar max depth pada
storage maka
kapasitas volume tampung juga akan semakin besar. Debit aliran
maksimum pada
kondisi dengan Storage conduit 40
sebesar 390.441 m³/s, sedangkan pada kondisi
tanpa storage debit aliran konstan sebesar 582.16 m³/s.
Tabel 4.13 Hasil Rekapitulasi Aliran dan Waktu
(Conduit 26)
NO TIME FLOW
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
(Lanjutan)
Dengan Storage Tanpa Storage
33 8:15 5.39 5.09
34 8:30 5.06 4.77
35 8:45 4.76 4.48
36 9:00 4.48 4.22
37 9:15 4.22 3.98
38 9:30 3.98 3.75
39 9:45 3.76 3.55
40 10:00 3.5 3.36
41 10:15 3.37 3.19
42 10:30 3.2 3.03
43 10:45 3.05 2.88
44 11:00 2.91 2.75
45 11:15 2.77 2.63
46 11:30 2.65 2.51
47 11:45 2.54 2.4
48 12:00 2.43 2.3
Tabel 4.12 merupakan hasil dari variabel aliran
conduit 26 dari EPA SWMM
5.0. Data ini di gunakan untuk mengetahui perbandingan antara waktu
dan aliran.
Grafik Perbandingan Antara Aliran dengan Waktu
0
20
40
60
80
100
120
140
160
Dengan Storage
Tanpa Storage
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
Hidrograf diatas menunjukkan hubungan antara aliran dengan waktu.
Titik
puncak conduit 26 pada kondisi tanpa storage
144.32 m³/s, sedangkan pada kondisi
dengan storage titik puncak mencapai 129.42 m³/s.
Tabel 4.14 Hasil Rekapitulasi Aliran dan Waktu
Conduit 39
NO TIME FLOW
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
39 (Lanjutan)
Dengan Storage Tanpa Storage
33 8:15 8.38 16.12
34 8:30 7.84 15.05
35 8:45 7.34 14.07
36 9:00 6.88 13.19
37 9:15 6.47 12.37
38 9:30 6.08 11.63
39 9:45 5.73 10.94
40 10:00 5.41 10.32
41 10:15 5.11 9.74
42 10:30 4.83 9.2
43 10:45 4.57 8.71
44 11:00 4.34 8.25
45 11:15 4.11 7.83
46 11:30 3.91 7.43
47 11:45 3.72 7.07
48 12:00 3.54 6.73
Tabel 4.12 merupakan hasil dari variabel aliran conduit 39 dari EPA
SWMM
5.0. Data ini di gunakan untuk mengetahui perbamdingan antara waktu
dan aliran.
Grafik Perbandingan Antara Aliran dengan Waktu
0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
Dengan Storage
Tanpa Storage
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
Hidrograf diatas menunjukkan hubungan antara aliran dengan waktu.
Titik
puncak conduit 39 pada kondisi
tanpa storage 405,95 m³/s, sedangkan pada kondisi
dengan storage titik puncak mencapai 161.18 m³/s.
Tabel 4.15 Hasil Rekapitulasi Aliran dan Waktu
Conduit 40
NO TIME FLOW
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
40 (Lanjutan)
Dengan Storage Tanpa Storage
33 8:15 16.95 16.26
34 8:30 15.82 15.18
35 8:45 14.8 14.19
36 9:00 13.86 13.3
37 9:15 13 12.48
38 9:30 12.22 11.73
39 9:45 11.5 11.04
40 10:00 10.84 10.4
41 10:15 10.23 9.82
42 10:30 9.67 9.28
43 10:45 9.15 8.78
44 11:00 8.66 8.32
45 11:15 8.22 7.89
46 11:30 7.8 7.5
47 11:45 7.41 7.13
48 12:00 7.05 6.29
Tabel 4.14 merupakan hasil dari variabel aliran
conduit 40 dari EPA SWMM
5.0. Data ini di gunakan untuk mengetahui perbamdingan antara
aliran dengan waktu.
Grafik Perbandingan Antara Aliran dengan Waktu
0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
Dengan Storage
Tanpa Storage
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
Hidrograf diatas menunjukkan hubungan antara aliran dengan
waktu. Titik
puncak conduit 40 pada kondisi tanpa
storage 409.4 m³/s, sedangkan pada kondisi
dengan storage titik puncak mencapai 383.9 m³/s.
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
disusun persamaan-persamaan matematis dengan variabel-variabel
Volume
(x) dan Debit (y) yang diambil dari conduit-conduit di
hilir storage, yaitu
conduit 26, 39, dan 40, yang dipilih berdasarkan nilai
koefisien korelasi
penentuan (R²) yang lebih mendekati 1,0 sebagai
berikut:
a. Conduit 26
Debit aliran maksimum pada kondisi dengan
storage conduit 26 sebesar
223.673 m³/s, sedangkan pada kondisi tanpa storage conduit 26
debit
aliran konstan sebesar 231.359 m³/s.
b. Conduit 39
Debit aliran maksimum pada kondisi dengan
storage conduit 39 sebesar
390.441 m³/s, sedangkan pada kondisi tanpa storage
conduit 39 debit
aliran konstan sebesar 618.849m³/s.
y = 0.2187x² - 0.6625x + 170.48
R² = 0.9791
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
Debit aliran maksimum pada kondisi dengan
Storage conduit 40 sebesar
390.441 m³/s, sedangkan pada kondisi tanpa Storage debit
aliran
konstan sebesar 582.16 m³/s.
Dalam perbandingan antara volume dengan debit, posisi conduit
tanpa storage mempunyai aliran dan volume yang besar karena
saat flow
mengalami puncak tidak ada yang menampung atau membelokkan ke
saluran lain sehingga terjadi banjir diwilayah tersebut.
5.2 Saran
mencantumkan perhitungan perubahan ponded area. Kekurangan
EPA
SWMM adalah tidak adanya menubar ”UNDO TYPING). Pada saat
membuat subcatchment jika terjadi sedikit saja kesalahan,
(misalnya
garisnya tidak pas dengan yang diharapkan) maka harus mengulang
dari
awal titik.
R² = 0.9844
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
DAFTAR PUSTAKA
Arcement G. J., Jr and Schneider V. R., 2008, Guide for Selecting
Manning's
Roughness Coefficients for Natural Channels and Flood Plains
.
www.google.com/manning coefficient/ wsp2339
Chow V. Te., 1989, Hidrolika Saluran Terbuka, Penerbit
Erlangga, Jakarta.
Diyanto Wirastowo, 2007, Tugas Akhir , Unika Soegijapranata,
Semarang.
H.A Halim Hamsar, 2002, Drainase Perkotaan, Universitas Islam
Indonesia,
Yogyakarta.
Imam Subarkah, 1980, Hidrologi Untuk Perencanaan Bangunan
Air , Penerbit Idea
Dharma, Bandung.
Development U.S. Environmental Protection Agency, 2005, Storm
Water
Management Model User’s Manual Version 5.0, Cincinnati.
Soemarto C. D, 1999, Hidrologi Teknik , Penerbit
Erlangga, Jakarta.
Sudaryoko Y, 1987, Pedoman Penanggulangan Banjir , Badan
Penerbit Pekerjaan
Umum, Jakarta.
Pradnya Paramita, Jakarta.
Tim Perguruan Tinggi Swasta, 1997, Irigasi dan Bangunan
Air , Penerbit Gunadarma,
Jakarta.
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Nama Stasiun UNGARAN
Tanggal Bulan Tahunan
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des
1 17 23 5 23 3 0 0 0 0 0 0 0
2 37 62 3 18 13 0 0 0 0 0 0 0
3 19 37 2 12 15 5 0 0 0 0 0 0
4 32 14 8 9 17 0 0 0 0 0 3 13
5 67 48 12 22 8 0 0 0 0 0 0 5
6 0 23 0 0 6 0 0 0 0 0 0 0
7 48 18 7 4 4 2 0 0 0 0 5 6
8 18 34 5 26 2 0 0 0 0 0 0 0
9 26 15 3 17 0 0 0 0 0 0 8 9
10 17 9 0 14 0 0 0 0 0 0 0 0
11 12 0 0 6 3 0 0 0 0 0 14 0
12 0 0 9 0 0 0 0 0 0 0 5 0
13 9 0 0 11 0 0 0 0 0 0 0 10
14 27 5 37 0 0 0 0 0 0 0 0 3
15 15 0 0 7 0 0 0 0 0 0 4 0
16 29 14 8 6 0 0 0 0 0 0 7 0
17 17 11 4 0 0 0 0 0 0 5 0 0
18 8 22 0 0 0 0 0 3 0 0 0 4
19 13 17 16 0 0 0 0 0 0 0 8 3
20 23 8 0 17 7 0 0 0 0 0 0 0
21 12 27 23 7 3 0 0 0 0 0 13 0
22 7 12 5 5 12 0 0 0 0 0 5 0
23 15 23 22 0 2 0 0 0 0 0 0 0
24 28 6 0 0 4 0 0 0 0 0 3 0
25 32 7 13 9 0 0 0 0 0 0 0 11
26 7 18 7 4 0 0 0 0 0 16 0 31
27 14 9 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
28 35 0 0 11 0 0 0 0 0 0 0
29 9 13 0 0 0 0 0 0 0 23 4
30 0 14 0 2 0 2 0 0 0 2 15
31 0 17 0 0 0 0 0
Hujan Maximum 67 62 37 57 17 5 0 0 0 16 23 15 67
Jml Curah Hujan 593 462 233 217 112 7 0 0 0 21 100 114 1859
Jml. Hari Hujan 27 23 21 18 16 2 0 0 0 2 13 12 134
Perpustakaan Unika
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
--------------------------------------------------------------
****************
************************** Volume Depth
************************** --------- -------
Continuity Error (%) ..... -1.520
************************** --------- ---------
Groundwater Inflow ....... 0.000 0.000
RDII Inflow .............. 0.000 0.000
External Inflow .......... 0.000 0.000
External Outflow ......... 12.467 124.674
Surface Flooding ......... 21.554 215.547
Evaporation Loss ......... 0.000 0.000
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
Continuity Error (%) ..... -0.725
--------------------------------------------------------------------------------------
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
--------------------------------------------------------------------------------------
******************
Depth Depth HGL Occurrence Ponded Minutes
Node Type Meters Meters Meters days hr:min ha-mm
Flooded
----------------------------------------------------------------------------------------
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
Inflow Inflow Occurrence Overflow Occurrence
Node Type CMS CMS days hr:min CMS days hr:min
------------------------------------------------------------------------------------
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
Sto1 STORAGE 0.000 94.941 0 00:32 94.940 0 00:32
Sto2 STORAGE 0.000 72.625 0 00:31 72.624 0 00:31
Sto3 STORAGE 0.000 28.658 0 00:31 0.000
**********************
Volume Pcnt Volume Pcnt Occurrence Outflow
--------------------------------------------------------------------------------------
***********************
-----------------------------------------------
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
Flow Occurrence Velocity Full Full Minutes
Link Type CMS days hr:min m/sec Flow Depth Surcharged
------------------------------------------------------------------------------------------
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
***************************
Adjusted --- Fraction of Time in Flow Class ---- Avg. Avg.
/Actual Up Down Sub Sup Up Down Froude Flow
-----------------------------------------------------------------------------------------
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
27
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
Analysis begun on: Tue Jun 24 02:20:16 2008
Analysis ended on: Tue Jun 24 02:20:21 2008
Total elapsed time: 00:00:05
DENGAN PROGRAM EPA SWMM 5.0
Metha Octo Lyna 03.12.0012
Sulistyo Budi Maryoko 03.12.0058
pengolahan data dilakukan untuk mengetahui hasil dari
simulasi yang akan
dilakukan.
1. File >> new
2. Project >> Defaults
DENGAN