Upload
vanquynh
View
217
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
2 Buletin EPIKD PENA Edisi I/2013
REDAKSI Penasehat: Direktur dan Para Kasubdit di EPIKD Pemimpin redaktur: Moza Pandawa Sakti Sekretaris redaksi: Siti Mulyanah Artistik & Publikasi: Dhani Kurniawan, Lukman Adi Santoso Redaktur Pelaksana: Lesmana Musa Nurcahya, Wahyu Widjayanto, Arif Zainudin Fansyuri Redaktur Subdit: Radies Kusprihanto Purbo, Beny Trias Oktora, Ratna Dwi Nuryani Fadliya, Catur Panggih Pamungkas
Sigit Wahyu Kartiko Redaktur Lipsus: Ganjar Prihatmoko.
Redaksi menerima sumbangan tulisan dan dana yang sesuai dengan misi penerbitan.Tulisan dapat dikirim ke [email protected]. Redaksi berhak mengubah isi tulisan tanpa mengubah maksud dan substansi.
Tahukah Anda siapa pejabat/
pegawai EPIKD yang terlama
bekerja di EPIKD?
DJPK memang baru terbentuk
semenjak 2007, tapi EPIKD sudah
ada sejak 2001 lho… Hanya saja
nomenklaturnya saja yang berbeda…
EPIKD 2001-2007 itu kependekan dari
Evaluasi Pembiayaan dan Informasi
Keuangan Daerah, sedangkan EPIKD
2007-sekarang adalah Evaluasi
Pendanaan dan Informasi Keuangan
Daerah.
Nah, siapa saja pejabat/pegawai yang
masih bertahan di EPIKD semenjak
2001 sampai sekarang? Ini dia:
Bapak Putut Semenjak 30 Maret 2001
Arif Zainudin Fanyuri Semenjak 1 April 2001
Bapak Nuran Semenjak 30 Maret 2001
Bapak Mat Yusuf. Semenjak 30 Maret 2001
Bapak Agus Kris Semenjak 30 Nov 2001
Bapak Dastam Semenjak 1 Des 2001
Bapak Zuhri Semenjak 1 Des 2001
Ada satu lagi yang meski sudah
pensiun tapi bisa lah kita masukan
kategori ini, yaitu….. Ibu Tini…!
Hm, kita harus angkat topi pada
Bapak-bapak dan Ibu di atas. Karena
bisa dibilang bahwa merekalah
‘founding fathers (or mother)’
EPIKD. Kami SALUT, Bapak dan Ibu!
Nasihat dari salah satu sesepuh
EPIKD:
“Kalau mengembalikan buku Perda
APBD, harap pada tempatnya dan
pada nomor urutnya”, (Nuran,
penggagas penomoran buku Perda
APBD){}
On De Sepot!!!
3Edisi I/2013 Buletin EPIKD PENA
Alhamdulillah, buletin EPIKD akhirnya
terbit perdana ditengah berbagai
kendala. Iya Alhamdulillah, karena
keinginan menerbitkan buletin EPIKD
sudah lama direncanakan, sebagai
wadah bagi seluruh "warga" EPIKD
untuk mau dan belajar menulis.
Dengan menulis, semua orang boleh
berpendapat, lintas batas melewati
sekat "subdit"nya, tentu berdasarkan
latar belakang pendidikan dan
pengalaman pekerjaan. Boleh jadi,
diantara kita, ada yang "malu" atau
"takut" berpendapat, maka menulis
adalah sebuah solusi.
Kendala menerbitkan buletin ini
lumayan banyak. Sejak awal rapat
perdana sampai akhirnya terbit
perdana memakan waktu 3 bulan.
Kendala itu antara lain: padat agenda
kegiatan dilingkup subdit, koordinasi
yang tidak mudah, sifatnya yang
volunteer (hehehe...) dan yang utama
adalah membangkitkan kepercayaan
diri untuk mau dan mampu menulis.
Untuk itu dalam edisi perdananya,
kami tidak menentukan tema utama,
tapi membebaskan tema yang akan
ditulis. Siapa saja boleh menulis,
tidak ada sekat eselonisasi. Kami
berharap, edisi perdana akan
menstimulus keinginan teman-
teman untuk menulis, menuangkan
ide gagasan dan fikiran, berbagi
pengalaman dan wawasan. Sebagian
besar tulisan dituangkan dengan gaya
bercerita, berharap enak dibaca tanpa
mengurangi substansi.
Kami mengucapkan terima kasih
kepada teman-teman yang telah
bersedia menjadi kontributor dalam
edisi ini. Kami menantikan kritikan dan
saran yang membangun sehingga
bisa lebih baik lagi. Dengan slogan
"Semua BISA Menulis", berharap
suatu saat nanti, banyak warga EPIKD
yang tulisannya dimuat di media
massa.
Salam
Semua BISA Menulis
EDITORIAL
"Bila kau bukan anak raja, juga bukan anak
ulama besar, maka menulislah.” (Imam Al Ghazali)
4 Buletin EPIKD PENA Edisi I/2013
SUMPAH PEMUDA
MASIHKAH INDONESIA ADA PADA JIWA PEMUDA BANGSA INI?
Putut Hari Satyaka (pemerhati budaya yang lulusan Ilmu ekonomi)
Tanggal 28 Oktober 2013 malam hari, saya menonton berita di televisi dan
pada saat itu juga baru saya ingat bahwa ternyata bangsa Indonesia tercinta
ini sedang memperingati “Sumpah Pemuda”. Begitu terlenanya saya dengan
pernak pernik kehidupan, baik pekerjaan maupun kehidupan pribadi hingga
akhirnya lupa sama sekali bahwa ada yang namanya “Hari Sumpah Pemuda”.
Atau mungkin juga karena peringatan Sumpah Pemuda sudah tidak kuat lagi
gaungnya, sebagaimana peringatan sebelum-sebelumnya pada waktu saya
masih kecil. Atau jangan-jangan para pemuda sekarangpun juga sudah tidak
tahu lagi dengan yang namanya Sumpah Pemuda. Coba kita tengok acara-
acara di TV yang banyak disii oleh para ABG yang “pating plejing” itu, saya
rasanya pesimis untuk membayangkan bahwa mereka tahu Sumpah Pemuda
itu apa dan apa isinya. Tapi mungkin bisa dimaklumi juga ya, kan pejabat yang
menaungi masalah kepemudaan saja juga nggak hapal dengan yang namanya
lagu Indonesia Raya, ha ha ha,
BUDAYA & SASTRA
5Edisi I/2013 Buletin EPIKD PENA
Anyway, yang ingin saya sampaikan
adalah bahwa menurut feeling
saya, peringatan sumpah pemuda
sudah mulai tidak lagi se-sakral
jaman dulu. Kalau peringatannya
sudah tidak heboh lagi, sudah tidak
gegap gempita lagi, pertanyaannya,
apakah semangat Sumpah Pemuda
juga sudah ikut tergerus dari hati
dan jiwa pemuda Indonesia? Untuk
menjawabnya, mari kita analisa
(mungkin sudah mendarah daging
kerjaan analisa ya, sampe yang kayak
beginian juga dianalisa).
Apa sih makna sumpah pemuda.
Menurut Wikipedia (mengingat
ini bukan tulisan ilmiah, makanya
referensi cukup Wikipedia saja),
“Sumpah Pemuda” adalah tonggak
utama dalam sejarah pergerakan
kemerdekaan Indonesia, dimana ikrar
dalam sumpah tersebut dianggap
sebagai kristalisasi semangat untuk
menegaskan cita-cita berdirinya
negara Indonesia. Kata kunci yang
bisa diambil adalah “kristalisasi
semangat berdirinya negara
Indonesia”. Dalam kata kunci tersebut
dapat diambil pemaknaan semangat
persatuan, semangat untuk berjuang
dan berkorban, dan semangat
untuk menjunjung tinggi harkat dan
martabat negara Indonesia.
Berangkat dari pemaknaan tersebut,
mari kita uji apakah pemuda di
Indonesia mempunyai jiwa dan
semangat seperti tersebut di atas.
Pertama, semangat persatuan. Mari
kita lihat fenomena yang terjadi saat
ini. Sering sekali kita mendengar anak
remaja tawuran, ada yang sekolah
masih SMA ada juga yang sudah
kuliah, bahkan ada juga antar warga,
yang notabene tentunya banyak juga
yang sudah tua-tua. Atau fenomena
nggegirisi setiap selesai Pilkada,
dimana pemuda-pemuda kita saling
baku hantam, bahkan kadang bawa
linggis atau pedang untuk membela
calon kepala daerah yang sebenarnya
mereka juga nggak kenal. Berbagai
fenomena bentrokkan yang terjadi di
kalangan muda Indonesia tersebut,
hampir selalu tidak dilandasi oleh
sesuatu yang prinsipil, alasannya
sangat cemen dan gak masuk
akal. Ada yang bentrok gara-gara
saling melirik, ada yang karena
rebutan cewek, ada yang karena
srempetan naik motor, atau yang
konyol lagi hanya karena ikut-ikutan.
Hmmm, perih rasanya hati kita kalau
membaca atau mendengar berita
semacam itu. Dimana persatuan
untuk Indonesiaku ini? Tapi mari kita
lihat dari sisi yang lain. Belum lama
kita menyaksikan Tim Indonesia
6 Buletin EPIKD PENA Edisi I/2013
U-19 mengalahkan Korsel. Kita lihat
supporter kita, anak-anak muda,
cowok maupun cewek, kaya maupun
miskin, dari semua suku bangsa
meneriakkan garuda di dada mereka.
Bergandengan tangan mereka
meneriakkan “Indonesia!!!”. Ternyata
bisa bersatu juga, bahkan mungkin
diantara mereka ada yang seminggu
sebelumnya saling bentrok dalam
sebuah tawuran nggak jelas. Artinya
apa? Rasa persatuan telah tergerus,
ya, saya yakin itu, akan tetapi benih
nasionalisme yang menggelorakan
persatuan Indonesia juga masih
kuat. Tinggal PR bersama adalah
bagaimana menumbuhkannya ke arah
yang positif.
Kedua, semangat berjuang dan
berkorban. Di pemberitaan, saat ini
marak sekali berita tokoh-tokoh muda
bangsa ini “mengorbankan” uang
rakyat untuk kesenangan pribadi, ada
yang politisi, ada yang birokrat, ada
yang temen di Kemenkeu sendiri,
ada yang artis, dll. Hmm…., alih-alih
berjuang dan berkorban, ternyata
beberapa orang muda bangsa ini ada
yang justru mengorbankan Indonesia
untuk kepentingan sesaat. Tapi di sisi
lain, kita melihat juga bagaimana para
pemuda dari semua kalangan bersatu
padu berjuang menolong para korban
bencana, di Aceh, di Jogja, atau
di tempat-tempat lainnya. Selalu
saja tampil anak-anak muda yang
tidak berpamrih berjuang menolong
sesamanya. Atau kembali ke contoh
Timnas U-19, mereka berjuang dan
berkorban dengan berlatih keras
dan bertanding sekuat tenaga dan
pikiran mereka untuk kejayaan
Indonesia. Sungguh sebuah ironi
yang menusuk pelung hati apabila
kita membandingkan mentalitas para
pengemplang duit rakyat dengan para
relawan bencana atau Timnas kita.
Tetapi sekali lagi, itu membuktikan
bahwa potensi semangat perjuangan
dan pengorbanan masih ada dan
membara di hati pemuda Indonesia.
Ada beberapa anak muda yang
keblinger, itulah yang menjadi PR
bangsa ini untuk meminimalkannya.
Ketiga, semangat menjunjung harkat
dan martabat bangsa Indonesia.
Saya tidak ingin menulis lagi contoh
negative, karena setiap guratan
huruf yang saya tulis rasanya
seperti guratan pisau berkarat yang
menyayat kulitku (hmmm… lebay
juga ya bahasanya…). Kita lihat saja
contoh positif yang seringkali kita
lihat. Adik-adik remaja kita ternyata
banyak sekali yang berprestasi di
kancah internasional, ada juara
7Edisi I/2013 Buletin EPIKD PENA
olimpiade matematika, fisika, juara
lomba robotic, juara bulutangkis,
dll. Kita melihat dengan jelas contoh
nyata bagaimana anak muda kita
menjunjung tinggi harkat dan
martabat bangsa Indonesia melalui
karya-karya dan pencapaian mereka.
Selain itu, dari aspek rasa dignity
sebagai sebuah bangsa, kita semua,
anak muda Indonesia seringkali
tersentak dan terusik mendengar
oknum di negara tentangga menyiksa
atau memperkosa saudara-saudara
kita yang berkerja disana. Atau kita
marah karena kapal patroli temen-
temen bea cukai ditabrak oleh kapal
patroli negara tetangga yang dengan
arogansinya melanggar batas negara
kita. Itu semua menunjukkan bahwa
sebagai sebuah bangsa, masih
terdapat gelora semangat untuk bela
bangsa.
Dari ketiga ulasan di atas, kita
melihat bahwa memang nampak
nyata lemahnya semangat persatuan,
perjuangan, pengorbanan pada
sebagian anak muda Indonesia.
Meski demikian, dengan melihat
uraian dari sisi positif, saya meyakini
bahwa di dada setiap insan muda
Indonesia masih tersimpan bara
untuk menjaga dignity bangsa ini.
Artinya potensi untuk meningkatkan
persatuan, mengobarkan semangat
perjuangan dan pengorbanan,
serta mengharumkan nama bangsa
masih tetap ada, tinggal disiram
terus dengan oksigen agar semakin
menyala dan menuju ke arah yang
positif.
Caranya? Ya, mari kita isi waktu anak
muda bangsa ini dengan kegiatan
positif. Sekolah, kuliah, kerja itu sudah
pasti. Kalau masih ada waktu luang,
jangan dihabiskan dengan nongkrong
aja. Saya ingat analisa pak Agus
Kris (bukan Agus Marto ya, yang ini
masih Kasubdit), beliau mengatakan,
banyaknya orang tawuran, ikut
demo yang gak jelas, ikut sweeping
yang anarkis, itu karena orang-
orang tersebut banyak waktu luang
alias gak ada kegiatan. Coba kalau
mereka sibuk kursus menyanyi, atau
sibuk latihan sepak bola, atau sibuk
ngurusi organisasi karang taruna
(pengalaman pribadi nih…) tentu
saja mereka gak akan kepikir untuk
tawuran.
Terus, apa yang bisa kita lakukan
sebagai individu yang notabene PNS
di EPIKD? Kalau masih muda, fisik
masih tok cer, perbanyak kegiatan
positif, pulang kerja atau pas libur
nge-gym, atau main futsal, atau
8 Buletin EPIKD PENA Edisi I/2013
kuliah lagi, atau apapun yang penting
beraktifitas yang positif, jangan
sekedar nongkrong atau clubbing
aja. Ajak temen-temen yang lain.
Kalau yang sudah mulai tidak muda
lagi, ya dorong anaknya, adiknya,
tetangganya yang masih muda untuk
punya aktifitas postif. Atau aktif di
organisasi sosial, meski mungkin
cuma di RT setempat, kita bisa
dorong warga untuk menyediakan
kegiatan yang positif bagi anak
mudanya. Jangan ragu untuk ikut
iuran, jangan ngomong doang ya
…… Yang tidak kalah penting adalah
memberikan teladan. Anak muda
biasanya akan mencontoh seniornya,
apalagi kalau dia atasannya. Kalau
seniornya keblinger apalagi korup,
ada kemungkinan besar juniornya
akan ngikut, so jangan sampai itu
terjadi. Intinya, marilah kita kobarkan
semangat Sumpah Pemuda,
semangat untuk bersatu, berjuang
dan berkorban demi mengangkat
martabat bangsa Indonesia melalui
diri kita sendiri terlebih dahulu. Kita
isi kepala kita dengan semangat
positif, pikiran positif dan kita lakukan
kegiatan positif, kegiatan yang tidak
korup. Kita mulai dari hal-hal yang
paling sederhana, gak usah muluk-
muluk, sesederhana ikut kerja bhakti
RT (nggak usah pura-pura sakit – itu
korup juga namanya). Dan terakhir,
mari kita mulai dari sekarang, gak
usah nunggu-nunggu besok, minggu
depan, habis gajian, … sekarang!!!
Semoga Indonesia masih ada di
jiwa pemuda Indonesia. Hidup
Indonesia!!!! {}
Keluarga Besar EPIKD dalam acara Family Gathering EPIKD 2013
OPIS9Edisi I/2013 Buletin EPIKD PENA
Ada yang berpendapat bahwa dengan sudah berjalannya desentralisasi/otonomi daerah dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang merupakan azas dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan akan terkoreksi dan berevolusi menjadi skema hibah. Dasar pemikiran yang menjadi argumentasi adalah pada perjalanan akhir pelaksanaan urusan dalam hal ini urusan pemerintah pusat di daerah dengan azas dekonsentrasi dan tugas pembantuan adalah peng-hibah-an seluruh aset hasil pelaksanaan dekonsentrasi dan tugas pembantuan di daerah sehingga diargumentasikan jika pada akhirnya adalah akan dihibahkan kenapa tidak dari awal melalui hibah saja.
Pendapat ini melihat dari sisi kepraktisan semata yang tidak memperhatikan
substansi utama dari dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Jelas sekali bahwa
dekonsentrasi dan tugas pembantuan adalah salah satu azas pelaksanaan/
penyelenggaraan urusan pusat yang ada di daerah (UU No. 32/2004 dan UU
No. 33/2004). Yang berarti bahwa pemerintah pusat bertanggungjawab atas
urusan tersebut yang pelaksanaannya oleh pemerintah daerah. Pelimpahan
Catatan:
Apakah Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan bisa digantikan Hibah?Oleh: Beny Trias Oktora - Economist Wanna Be...
10 Buletin EPIKD PENA Edisi I/2013
delegasi melalui dekonsentrasi dan
tugas pembantuan kepada daerah
dilakukan dengan adanya pedoman
dana dan teknis dengan maksud
adanya kesamaan tujuan dan adanya
kontrol oleh pemberi mandat. Dalam
masa pelaksanaan juga diadakan
pendampingan dan bimibingan
teknis oleh kementerian/lembaga.
Pada penghujung pelaksanaan
dekonsentrasi dan tugas pembantuan
BPK akan memeriksa yang apabila
pelaksanaan ada penyimpangan
pemberi mandat (kementerian/
lembaga) akan diberikan opini
yang tidak wajar. Esensinya
adalah penyelenggaraan urusan
pemerintah pusat di daerah yang
menjadi tanggungjawab pemerintah
pusat kemudian didelegasikan
ke pemerintah daerah dengan
pedoman yang pada akhirnya
dipertanggungjawabkan oleh
kementerian/lembaga.
Yang menjadi pertanyaan inti adalah
apakah urusan pemerintah pusat
bisa dihibahkan ke pemerintah
daerah. Karena hibah mempunya
nuansa "memberikan" dan "melepas"
maka urusan yang dihibahkan akan
memberikan dan menghibahkan
tanggungjawab pemerintah pusat ke
pemerintah daerah. Dengan pijakan
PP No. 38/2007, urusan sudah dibagi
antara pemerintah pusat dan daerah
sehingga jika tingkat pemerintah yang
lebih tinggi melepas urusan yang
menjadi tanggungjawabnya akan
menimbulkan preseden buruk bagi
penyelenggaraan urusan.Disatu sisi
hibah merupakan alat atau muara
dari penyelenggaraan urusan bukan
landasan/azas penyelenggaraan
urusan. Cakupan hibah pun terbatas
hanya pada aset dan dana.
Bisa disimpulkan bahwa sungguh
tidak mungkin azas penyelenggaraan
urusan pemerintahan yaitu azas
dekonsentrasi dan tugas pembantuan
diganti sepenuhnya dengan hibah.
Penyelenggaraan urusan adalah
sesuatu yang melekat pada semua
tingkatan pemerintahan sehingga
tidak bisa melepas urusan yang
sudah menjadi tanggung jawabnya.
Dekonsentrasi dan tugas pembantuan
merupakan azas, pokok dan landasan
dalam penyelenggaraan urusan
pemerintah sedangkan hibah adalah
"alat" bukan azas sehingga keduanya
tidak bisa saling menggantikan.
Umpan Lambung Gan.
Semoga bermanfaat.
OPIS11Edisi I/2013 Buletin EPIKD PENA
Ribet ya, nyebut nama Subdit
ini? Yaaa..gimana lagi, memang
begitulah Subdit ini dilahirkan.
Banyak sih, yang nyebut Subdit ini
Aklap alias Akuntansi dan Pelaporan.
Biar gampang aja gitu, gak belibet
di lidah. Tapi, kalo ada yang bilang
Aklap, bisa jadi yang dimaksud
adalah Sub Bagian Akuntansi dan
Pelaporan di Bagian Keuangan.
Jadi rancu kan? Padahal Apetede
adalah singkatan dari Akuntansi dan
Pelaporan Transfer ke Daerah. Jelas
beda donngg.. wong dari namanya
aja udah bisa diperkirakan kalo
Subdit ini kerjaannya nyatetin keluar
masuknya transfer sama bikin-bikin
laporan transfer. Tapi kenapa bukan
Subdit Transfer aja yang bikin laporan
sendiri?
Selidik punya selidik (kayak trio
detektif aja..), ternyata Apetede itu
kerjaannya nyatetin duit negara yang
ditransfer ke daerah sama Subdit
Transfer,tapi nyatetnya gak sesuka-
suka kita sendiri. Ada aturan mainnya.
Ada PP 71 tahun 2010 tentang
Standar Akuntansi Pemerintahan
yang ngatur cara nyatet masing-
masing jenis pendapatan, belanja,
penerimaan dan pengeluaran dari
kas negara, dan PMK 171 tahun
2007 tentang Sistem Akuntansi dan
Pelaporan Keuangan Pemerintah
Pusat. Kalo yang khusus ngatur
dana transfer, aturannya pake PMK
06 tahun 2012 tentang Pelaksanaan
dan Pertanggungjawaban Anggaran
Transfer ke Daerah. Hasil catet
mencatet ini dilaporkan dalam
bentuk Laporan Keuangan Transfer
ke Daerah yang disingkat LKTD, ada
semesteran sama tahunan. Elkatede
ini diaudit lho sama BPK. Hasilnya,
alhamdulillah udah tiga tahun ini
dapat Wetepe alias Wajar Tanpa
Pengecualian, nilai paling tinggi
Apetede Dilihat dari Monas
Ratna Dwi Nuryani Fadliya
12 Buletin EPIKD PENA Edisi I/2013
yang bisa diberikan untuk Laporan
Keuangan. Keren ya…
Nah..kalo laporan sudah selesai, Itjen
akan segera mereview LKTD sebelum
diperiksa sama BPK. Tapi kadang-
kadang (eh…semakin sering ding),
Itjen datang sebelum LKTD selesai
dibuat (katanya yang begini namanya
“pendampingan”), dan BPK datang
sebelum Itjen selesai mereview…
(pada semangat banget yak?).
Jadilah berkas-berkas di Apetede
digilir kesana kemari…ckckck.. Dan
jangan heran kalo di lantai 8 sering
banget ketemu orang-orang Itjen
dan BPK. Soalnya sekali datang,
mereka harus nongkrong sebulan dua
bulan melototin aturan, surat-surat,
dan angka-angka yang terkait dana
transfer. Oalaaaahhhh…
Habis diperiksa BPK, Apetede harus
bikin Elkatede lagi, tapi versi yang
audited. Versi audited ini mirip-
mirip sama versi awalnya, cuma,
angka-angkanya di-update lagi, dan
perbaikan-perbaikan yang disarankan
sama BPK dimasukin. Kalo udah
selesai versi audited, selesai sudah
satu siklus penyusunan Elkatede.
Tapi, urusan elkatede ini gak
berhenti di situ aja. Soalnya habis
meriksa, BPK tuh bikin Laporan
Hasil Pemeriksaan yang harus a.k.a
wajib ditindaklanjuti sama terperiksa.
Apetede lagi deh yang mesti
ngejawab laporan BPK itu. Termasuk,
kalo tindak lanjutnya harus dilakukan
sampe beberapa tahun, Apetede
wajib mantengin tindak lanjut itu.
Jadi please jangan risih kalo Apetede
nanyain hasil kerjaan yang Subdit-
Subdit lain udah pada lupain ya..
Selain Elkatede, Apetede juga
menyusun Konsolidasi Laporan
Keuangan Transfer ke Daerah dengan
Laporan Keuangan Pemerintah
Daerah (Konsolidasi LKTD dengan
LKPD). Data LKPD didapat dari
teman-teman Subdit DKD yang
ngumpulin APBD dari daerah (terima
kasih kerjasamanya ya…). Dengan
adanya konsolidasi ini, jadi ketahuan
deh asetnya seluruh pemda se-
Indonesia, ketahuan juga berapa
belanja pegawai seluruh pemda se-
Indonesia, dan detil lain seperti yang
tercantum di APBD. Tidak hanya total
se-Indonesia, konsolidasi juga dibuat
per wilayah, jadi bisa dibandingin
wilayah mana yang aset tetapnya
paling besar, mana yang belanja
pegawainya paling besar, mana yang
PAD-nya paling besar… atau paling
kecil, terserah deh… Sip kan?
13Edisi I/2013 Buletin EPIKD PENA
Kalo belakangan sering kelihatan
Apetede pergi rombongan seruangan,
bukan mau kendurian lho ya…
Apetede punya beberapa gawe. Ada
workshop penyusunan konsolidasi,
ada juga rekonsiliasi data dengan
pemda. Tujuannya supaya data
pemda sesuai dengan realisasi dana
yang ditransfer DJPK, dan pemda
juga mencatatnya pada posisi yang
sesuai dengan aturan yang ada
(apalagi Kasubdit Apetede sekarang
kan anggota Pokja Komite Standar
Akuntansi Keuangan, tau banget dong
aturan akuntansi publik..). Dengan
begitu, kualitas data konsolidasi
bisa ditingkatkan, dan pemda juga
terbantu dalam pencatatan akuntansi
mereka. Karena simbiosis mutualisme
ini, jangan heran kalo dalam setiap
acara peserta selalu membludak.
Bukan hoax lho ini, tuh foto-foto
acaranya…
Foto Kegiatan Subdit Aklap dalam Workshop Peneriapan Basis Akrual
14 Buletin EPIKD PENA Edisi I/2013
Kejadiannya beberapa tahun yang lalu. Seperti biasa, pembelian tiket melalui
agen travel dengan cara berhutang. Pada saat keberangkatan dan tiba di
daerah tujuan tidak ada masalah, tetapi pada saat pulang ternyata pesawatnya
mengalami delay. Kemudian bertanya pada petugas maskapai yang ada di
bandara, sampai kapan delaynya. Petugas itu tidak bisa memastikan apakah
delaynya 1 jam atau lebih. Petugas itu hanya mengatakan bahwa pesawat yang
akan mengangkut penumpang mengalami kerusakan di bandara lain, sehingga
belum bisa terbang.
Lalu, saya minta uang tiket dikembalikan dan dicarikan penerbangan lain.
Ternyata dipenuhi, petugas itu membawa uang sejumlah yang tertera di
tiket, kemudian petugas itu mencarikan tiket dimaskapai lain. Akhirnya 1 jam
kemudian, alhamdulillah, saya dapat terbang dengan maskapai yang lain.
Tiketnya masih ngutang tapi dapat diuangkan... :)
pernak-pernik dl
Pertanyaan: Kenapa standar harga tidak diatur saja
oleh pemerintah pusat?
Jawab: Istilah standar harga berbeda antara
pemerintah pusat dan daerah. Di
pemerintah pusat, sebelumnya dikenal
istilah standar biaya umum dan
standar biaya khusus, yang dalam
perkembangannya berubah menjadi
standar biaya masukan dan standar
biaya keluaran. Kewenangan Menteri
Keuangan dalam menetapkan standar
biaya untuk program dan kegiatan
yang didanai dari APBN.
Sementara untuk pemerintah daerah,
istilah yang ada dalam PP 58/2005
tentang Pengelolaan Keuangan Daerah
adalah "Standar Satuan Harga" (SSH)
yang ditetapkan Keputusan Kepala
Daerah. SSH adalah harga satuan
setiap unit barang/jasa yang berlaku
di suatu daerah, menjadi acuan bagi
setiap SKPD dalam menyusun RKA
nya masing-masing. SSH ditetapkan
di daerah masing-masing karena
perbedaan harga antara satu daerah
dengan daerah lain yang sangat
bervariasi, sehingga tidak dapat
distandarisasi oleh pemerintah pusat.
KEUANGAN ON CLINIC
15Edisi I/2013 Buletin EPIKD PENA
Setiap tahun, tak kurang
ribuan buku-buku APBD
selalau memenuhi gudang
lt 8. Bayangkan saja, ada 2
jenis pelaporan utama tiap
tahunnya yaitu APBD dan
Pertanggungjawaban APBD.
Katakanlah rata-rata tiap daerah
menyampaikan buku tiap
tahunnya ada 4 buku tebal untuk
masing-masing jenis pelaporan.
Berarti minimal dalam satu
tahun kita menerima sebanyak
4192 buku tebal. Dengan
kapasitas tempat penyimpanan
yang terbatas jelas sekali akan
membawa permasalahan dalam
pengarsipan dokumen-dokumen
ini.
Perlu cara yang efektif untuk
menangani masalah ini. Seiring
dengan berkembangnya teknologi
informasi, penyampaian informasi
keuangan daerah ditikberatkan pada
penyampaian data softcopy yang
diwadahi dengan aplikasi yang kita
CARA AMPUH MENGURANGI
PENUMPUKAN ARSIP BUKU APBDCatur Panggih Pamungkas
Kondisi Gudang APBD di lt. 8
OPIS
16 Buletin EPIKD PENA Edisi I/2013
sebut KOMANDAN SIKD (Komunikasi
dan Manajemen Data Nasional
Sistem Informasi Keuangan Daerah).
Sebenarnya KOMANDAN itu sendiri
merupakan bagian dari kerangkan
penyampaian IKD yang telah diatur
dalam PMK 04/PMK.07/2011.
Lantas pertanyaan yang muncul
bagaimana PMK tersebut mengatasi
masalah penumpukan arsip buku
ini tanpa mengurangi esensi dan
kelengkapan data??
PMK 04/PMK.07/2011 ini melingkupi
format pelaporan IKD baik hardcopy
maupun softcopy. Nah poin terpenting
dari PMK ini dalam mengurangi
arsip buku tebal APBD adalah PMK
ini hanya berisi format-format yang
cukup ringkas, mungkin paling
banyak hanya sekitar 40an lembar.
Jadi jika keseluruhan Pemda
menyampaikan format PMK 04/2011
maka akan sangat mengurangi
tumpukan-tumpukan buku di gudang.
Kemudian bagaimanakah dengan
kelengkapan datanya?? Tentu saja
kebijakan baru yang dibuat ini harus
bisa mengakomodir kebutuhan
data yang semakin detil dan
kompleks, sehingga dengan format
penyampaian hardcopy yang baru ini,
maka untuk data-data yang lengkap
seperti tercantum dalam buku yang
tebal disampaikan dalam bentuk
softcopy melalui KOMANDAN SIKD.
Dalam pelaksanaan PMK itu sendiri
memang masih banyak mengalami
kendala-kendala baik anggaran
maupun pemahaman secara teknis
di daerah. Meskipun telah disahkan
pada tahun 2011, namun sosialisasi
secara resmi untuk PMK tersebut baru
terlaksana pada TA 2013 sedangkan
di tahun sebelumnya sosialisasi
dilakukan dari mulut ke mulut ato
melalui pemberitaan di website. Dari
monitoring penyampaian APBD yang
kita lakukan, pada TA 2013, jumlah
daerah yang telah menyampaikan
format sesuai PMK 04/2011 sebanyak
179 daerah.
Satu pertanyaan penting lagi yang
muncul adalah bagaimana kita bisa
mempercayai data softcopy yang
disampaikan melalui KOMANDAN
mengingat data tersebut merupakan
data yang tanpa menggunakan
legalitas seperti tandatangan atau
stempel. Untuk permasalahan
itu kita telah siapkan mekanisme
verifikasi yang diwujudkan dalam
kegiatan di TA 2013 ini. Jadi yang kita
gunakan patokan data yang benar
17Edisi I/2013 Buletin EPIKD PENA
adalah yang hardcopy baik berupa
lampiran-lampiran di buku APBD
maupun lampiran PMK 04/2011.
Hasilnya, dari 354 daerah yang telah
diverifikasi, sebanyak 218 daerah
data softcopynya telah sesuai dengan
hardcopy.
Selanjutnya, upaya terus dilakukan
guna meningkatkan jumlah daerah
yang menyampaikan IKD sesuai PMK
04/2011 baik itu melalui komunikasi
informal dengan pihak Pemda
maupun dengan surat permintaan
resmi ke masing-masing Pemda.
Diharapkan dengan upaya-upaya ini,
pemda tidak lagi menyampaikan IKD
dalam bentuk buku tebal. { }
Ada 2 agenda kegiatan dilingkup Direktorat EPIKD yang direncanakan:
1. Lomba antar Subdit Kegiatan ini akan melibatkan seluruh pegawai dan staf yang
melombakan berbagai pertandingan, seperti futsal, bola volley,
tenis meja, tenis lapangan, dan lain-lain. Kegiatan ini sekaligus
untuk mencari bakat yang nantinya bisa mewakili EPIKD dalam
pertandingan antar Direktorat.
2. Family Gathering 2014 Kegiatan Family Gathering 2014 rencananya akan diselenggarakan
pada bulan Februari 2014 yang diharapkan akan lebih seru
dibandingkan kegiatan sebelumnya. Diharapkan dengan kegiatan ini
bisa meningkatkan keakraban dan soliditas di Direktorat EPIKD.
Kami menantikan saran dan masukan terkait persiapan dan pelaksanaan
kegiatan ini.
epikd on the way
18 Buletin EPIKD PENA Edisi I/2013
Kisruh Kuota Impor
Sapi: Bukti Tesis
Perdagangan Bebas? Beny Trias Oktora- Economist Wanna Be...
Memang bisa dimaklumi bahwa setiap negara punya visi untuk
memajukan industrinya. Dengan semangat itu setiap negara akan membuat
kebijakan yang arahnya menguntungkan industri dalam negeri. Bagaimana
arah kebijakan pemerintah dalam rangka memajukan industri dalam negeri?
Tentu di awal anak tangga pertama adalah dengan memanjakan industri yang
sifatnya padat tenaga kerja serta berteknologi sederhana semisal tekstil,
manufaktur produk minuman dan makanan dan industri sejenisnya. Hal ini
disesuaikan dengan sifat dasar pengembangan perekonomian suatu negara
yang pola banyak diadopsi sepanjang pembangunan ekonomi. Saya merujuk
bagaimana revolusi industri di Inggris dimulai dengan pengembangan tekstil.
Serta pola-pola yang diterapkan oleh negara-negara Asia Timur semisal
Jepang, Korea, Singapura, Malaysia, Hongkong, Taiwan dan tentunya
Indonesia. Begitu seterusnya mengikuti tingkat kesulitan dari industri di anak
tangga selanjutnya.
Hanya saja tiap negara mempunyai kelas tersendiri dalam perdagangan
sehingga tidak semua negara bisa langsung berkompetisi. Kebijakan umum
yang dilakukan adalah proteksi industri dalam negeri. Beberapa negara
memang diuntungkan dengan memproteksi industri dalam negeri sehingga
dalam kurun waktu tertentu akan memajukan industri dalam negeri sehingga
dapat dilepas tanpa proteksi. Di sisi yang bertolak belakang ada negara
yang berlarut-larut dalam kekisruhan dengan dalih perlindungan industri
OPINI
19Edisi I/2013 Buletin EPIKD PENA
dalam negeri. Siapa yang akan
mendapatkan "pain" jauh lebih besar
dari kebijakan proteksi industri dalam
negeri? Tentunya adalah konsumen.
Dengan merujuk pada ketentuan WTO
dimana negara-negara di dunia ketiga
punya masa tertentu untuk tetap
memproteksi industri dalam negeri
sampai industri dalam negeri itu bisa
berkompetisi dengan peer-nya dari
negara lain, dapat diperkirakan bahwa
masa transisi untuk menyiapkan
industri dalam negeri tangguh
menghadapi persaingan dengan
peer-nya dari negara lain merupakan
masa-masa krusial. Banyak "tangan"
yang akan turut serta merubah peta
alokasi. Ini dapat dideteksi lebih awal
karena model-model proteksi bukan
merupakan model baru melainkan
permainan lama yang sudah banyak
dipelajari dan dibukukan di fakultas-
fakultas ekonomi. Pasar yang awal
terbuka bisa diakses oleh siapa
saja dengan adanya proteksi maka
impor barang dibatasi maka akan
memunculkan kelangkaan barang dan
siapa saja yang boleh mengimpor.
Dampak yang akan segera terasa
tentunya adalah kelangkaan
barang karena adanya pembatasan
barang. Lalu pembatasan impor
dilakukan dengan memberi beberapa
perusahaan "jatah" impor. Lebih
jauh lagi, terbatasnya barang
akan menaikan harga. Bagaimana
menentukan "jatah" impor kepada
perusahaan importir? Pengelolaan
pembatasan impor yang tidak
canggih akan menambah "pain"
yang jauh lebih besar. Harga yang
terkerek naik ditambah perilaku
korup dari penyelenggara negara
merupakan kombinasi yang merusak
perekonomian.
Selanjutnya yang menjadi pertanyaan,
apakah perdagangan bebas
menunjukan bukti dengan kisruh
daging sapi dengan memperlihatkan
bukti pertama bahwa perdagangan
yang dibatasi merugikan konsumen
lalu tingkah korup dari penyelenggara
negara? Sebaiknya saya uraikan
secara jernih satu per satu. Tesis
perdagangan bebas menekankan
bahwa pembatasan perdagangan
menaikan harga karena negara
membatasi pasokan barang yang
tidak bisa mereka produksi dari dalam
negeri sementara konsumsi pada
level yang sama akan mendorong
harga naik. Dengan mekanisme
apapun, harga-harga akan terkerek
naik. Harga daging sapi (saat
penulis meng edit tulisan ini) masih
20 Buletin EPIKD PENA Edisi I/2013
di tingkat harga Rp. 100.000 http://
finance.detik.com/read/2013/07/17
/125826/2305471/4/harga-daging-
tembus-rp-120-ribu-cabai-turun-jadi-
rp-80-ribu-di-grogol?f9911023 yang
sebelumnya dikisaran Rp. 50.000.
Adapun dampak pengelolaan yang
salah karena mental aji mumpung
juga terjadi jika kita membaca berita
penyelenggara negara yang terlibat
suap dari pengelolaan kuota daging
sapi impor ini.
Saya berargumen bahwa tesis
perdagangan bebas sepenuhnya
terbukti dari kisruh pembatasan
daging sapi impor bahwa
pembatasan barang dengan dalih
apapun akan menaikan harga barang
karena alasan yang sederhana
yaitu kelangkaan barang disaat
yang bersamaan industri dalam
negeri belum mampu memenuhi
kebutuhannya. Dampak ikutan
terjadi karena sistem pembatasan
kuota impor tidak dibuat dengan
baik sehingga banyak "tangan" yang
terlibat hanya untuk mencari "rente".
Sebaiknya juga perlu dicermati bahwa
impor daging sapi yang terbuka
(baca bebas) bukan semata-mata
untuk konsumsi kemungkinan impor
itu merupakan bagian dari input
produksi turunan daging sapi semisal
sosis atau restoran steak ataupun
sop konro yang lezat. Keduanya
banyak memperkerjakan tenaga
kerja domestik. Perdagangan identik
negosiasi yang alot dan panjang di
atas meja perundingan. Negosiasi
yang alot serta berkepanjangan
membuka ruang untuk menumpahkan
emosi yang lebih beradab dibanding
jika masing-masing negara
bersikukuh untuk tetap menutup
pasarnya dengan dalih proteksi yang
berujung malah pada semangat
perang senjata. Terakhir tiap negara
punya spesialisasi yang unik dan
tidak dimiliki oleh negara lain. Contoh,
Afrika punya eksotisme safari melihat
kawanan singa untuk diperdagangkan
di lain sisi Asia punya stabilitas
politik yang relatif stabil untuk
mengembangkan pusat produksi
manufaktur dan seterusnya. Masing-
masing negara sebaiknya memang
mempunyai spesialisasi sebagai
currencies unik untuk berdagang.
Umpan Lambung Gan.
Semoga bermanfaat.
21Edisi I/2013 Buletin EPIKD PENA
Itu bukan teriakan para pendemo
di depan kantor Bappeda, Kepala
Daerah ataupun DPRD, namun
merupakan curahan hati sesaat dari
beberapa teman Bappeda saya di
ruang tunggu Kantor Pemkot Sydney,
sembari makan siang dan menunggu
sesi diskusi dengan Pejabat Treasury
dari Negara Bagian New South Wales.
Waktu itu kami sedang melaksanakan
tugas studi visit perencanaan dan
penganggaran pemda di Australia
pada medio Mei 2013 yang lalu.
Teman-teman Bappeda yang ikut
study visit itu berasal dari Bappeda
Prov. Papua, Bappeda Kab. Fak-Fak,
Bappeda Prov. NTT, Bappeda Prov.
NTB, dan Bappeda Jatim.
Saya waktu itu jadi agak kaget,
kenapa teman-teman Bappeda
tersebut bisa secara ekstrim
berencana bahwa sekembalinya
mereka ke tanah air akan
mengusulkan ke pimpinan mereka
masing-masing agar Bappeda
dibubarkan saja. Lha mengapa kok
bisa begitu? Saya bertanya secara
langsung saking penasarannya.
Sebagian dari teman Bappeda saya
berargumentasi bahwa ternyata
fungsi perencanaan keuangan dan
aset pada pemda-pemda di Australia
cukup dilakukan oleh para pejabat
treasury disana. Para treasury dari
Kota Clarence, Hobart, dan Sydney
saat presentasi memaparkan
bagaimana mereka bisa membuat
proyeksi perencanaan jangka panjang
yang selaras dari sisi keuangan
maupun asetnya. Kalau di daerah
mereka, boro-boro Bappeda bisa
membuat perencanaan jangka
menengah dan jangka panjang,
terkadang data keuangan maupun
aset yang akan digunakan sulit
Bubarkan
BAPPEDA
Oleh : Wahyu Widjayanto Seksi Evaluasi Perekonomian Daerah.
OPINI
22 Buletin EPIKD PENA Edisi I/2013
untuk dipastikan keandalan dan
validitasnya.
Saya jadi penasaran untuk bertanya
lagi, masak sih Bappeda dalam
membuat perencanaan dan
penganggarannya kesulitan dalam
mendapatkan data keuangan?
Realitanya begitu, kata mereka,
misalnya untuk membuat data
proyeksi sepuluh tahun ke depan,
mereka terkadang sulit mendapatkan
data-data keuangan yang sifatnya
time series. Teman saya dari Bappeda
NTT malah menambahkan bahwa
kalau dia butuh data-data historis
keuangan daerah untuk provinsinya
dia seringkali memanfaatkan data
keuangan daerah yang terpampang
di website DJPK. Teman-teman
Bappeda lain juga meng-amin-i
bahwa adanya informasi keuangan
daerah di website DJPK juga
bermanfaat bagi mereka.
Wait, wait, wait, disatu sisi dalam
hati saya merasa senang dengan
kenyataan itu, tapi disisi lain saya
merasa miris, kok bisa mereka
yang diinternal pemda sulit sekali
mendapatkan data-data historis
keuangan daerahnya. Masak sih
dinas keuangan gak ada data-
data tersebut? Bukannya dalam
perencanaan dan penganggaran
selalu dikerjakan secara bersama-
sama antara Bappeda, Dinas
Keuangan, Setda dan dinas teknis
lainnya. Ya benar memang ada TAPD,
tapi Bappeda perannya dirasakan
kurang atau malah nggak ada dikala
pembahasan mengenai proyeksi
Gambar 1:
Model Perencanaan Jangka Panjang Hobart City Council
23Edisi I/2013 Buletin EPIKD PENA
pendapatan, belanja dan pembiayaan
daerah, karena itu semua menjadi
domain dari dinas keuangan.
Jangan-jangan mereka merasa
inferior dengan peran treasurer
di pemda Australia yang sangat
dominan dalam perencanaan dan
penganggaran keuangan, serta
ketika mereka refleksikan lagi
dengan kondisi di daerah mereka
sendiri, mereka menjadi gamang
dengan tugas dan fungsinya. Saya
berusaha mengingatkan kembali
bahwa sebenarnya kita tidak boleh
langsung men-judge bahwa praktek
perencanaan dan penganggaran
di Pemda Australia adalah yang
paling benar dan paling sempurna
dan secara mentah-mentah bisa
langsung dipraktekkan di negara kita.
John Ravliv, CEO dari LGMA (Local
Government Managers Australia)
juga senada dengan saya agar
saat melakukan studi banding kami
perlu untuk mengetahui perbedaan
karakteristik desentralisasi dan
federalisme.
Sel-sel kelabu otak saya lalu bekerja
secara lebih cepat untuk mengingat-
ingat perbedaan mendasar dari
desentralisasi di Indonesia dan
Australia berdasarkan diskusi
dengan para pemda setempat.
Lalu saya berusaha sampaikan,
bahwa jumlah layanan publik yang
disediakan oleh pemerintah daerah
di sana cukup spesifik dan tidak
banyak sehingga struktur organisasi
pemda cukup ramping. Misalnya
di Hobart City Council, SKPD yang
ada dibawah general manager kota,
setara dengan Sekretaris Daerah,
hanya ada enam yaitu Infrastructure
Services, Corporate Services,
Financial Services, Development and
Environment Services, Community
Development dan Park & Customer
Services. Struktur organisasi di
Kota Clarence dan Sydney juga
relatif ramping dengan SKPD teknis
layanan publik yang agak berbeda
karena tergantung dari prioritas
layanan publik yang mereka miliki.
Beberapa pemkot disana bisa saja
fokus pada beberapa layanan publik
yang langsung bersentuhan dengan
masyarakat semisal layanan taman
kota yang bersih, rapi dan indah.
Lalu juga ada layanan parkir, layanan
kebersihan, dan layanan-layanan
lainnya yang jumlahnya sangat
terbatas.
Kayaknya enak sekali kerjaan pemkot
disana, karena layanan publik yang
harus disediakan sangat terbatas dan
24 Buletin EPIKD PENA Edisi I/2013
terukur. Bahkan layanan transportasi
massal berupa bis kota disediakan
oleh pemerintah setingkat negara
bagian, bukan Local Government.
Sehingga terlihat bahwa dengan
layanan yang terbatas, dana yang
terbatas, serta aset pendukung
layanan yang mudah dipetakan
secara jelas, tentunya akan
mempermudah bagi para treasurer
disana untuk melakukan perencanaan
dan penganggaran keuangan
dan aset jangka pendek, jangka
menengah, dan jangka panjang.
Sangatlah kontras bila kita
bandingkan dengan pelaksanaan
otonomi daerah dan hubungan
keuangan antara pusat dan daerah
di negara kita yang tercinta ini.
Jumlah kewenangan pemda provinsi,
kabupaten dan kota di negara ini
meliputi 26 urusan wajib dan 8 urusan
pilihan (sesuai PP No. 38 Tahun
2007), sehingga membuat organisasi
Pemda pun jadi jauh lebih gemuk
bila dibandingkan dengan struktur
organisasi pemda di Australia.
Selain itu dari setiap kewenangan
atau urusan yang ditangani pemda,
tentunya lebih dari satu pelayanan
publik yang harus disediakan, semisal
urusan pendidikan yang pasti ada
layanan publik berupa pendidikan
dasar yang terdiri dari SD, SMP dan
SMA. Selain itu kita juga menganut
standar pelayanan minimum yang
sedianya dijadikan acuan dasar bagi
penganggaran, walaupun hingga
sekarang penentuan unit cost SPM
sendiri masih rumit untuk dilakukan
oleh kementerian dan lembaga
maupun SKPD.
Jumlah layanan publik menyebabkan
perlu unit organisasi yang banyak
Gambar 2: Struktur Organisasi Kota Hobart
25Edisi I/2013 Buletin EPIKD PENA
dan berkonsekuensi pada jumlah
pegawai yang banyak dan sumber
pendanaan yang relatif terbatas
tentunya memerlukan koordinasi
intensif antar unit organisasi pemda
dalam melakukan perencanaan
dan penganggaran, menurut saya
disinilah peran Bappeda harus
dioptimalkan. Tidak mudah lho,
melakukan koordinasi perencanaan
pembangunan terutama saat
mendisain prioritas sektor
pembangunan, layanan publik
maupun proyeksi pembangunan dan
perekonomian daerah untuk jangka
menengah dan jangka panjang,
belum lagi adanya intervensi dari
DPRD terhadap perencanaan prioritas
pembangunan di daerah yang
merupakan warna tersendiri dari
dinamika demokrasi di tingkat pusat
dan daerah.
Fungsi koordinasi Bappeda yang
optimal dalam TAPD sebenarnya
sangatlah andal untuk mendorong
adanya konsolidasi data dari seluruh
dinas teknis maupun dinas keuangan.
Berawal dari keseriusan pembahasan
anggaran bersama TAPD serta
kesadaran akan pentingnya data
yang valid dan akurat untuk proyeksi
anggaran ke depan, bukan tidak
mungkin Pemda akan bisa membuat
RPJMD yang lebih baik dengan
outcomes yang bisa diprediksikan
arah keberhasilannya, dan tentunya
update data dan informasi memang
harus selalu dilakukan setiap
tahunnya.
Akhirnya setelah diskusi ngalor-
ngidul, teman-teman saya rupanya
juga menjadi sepakat bahwa
pendapat mereka yang reaktif tentang
kurangnya peran Bappeda bisa jadi
salah. Sepertinya mereka merasa
puas bila mengingat bahwa fungsi
Bappeda sangatlah penting. Bahkan
mereka tiba pada kesimpulan yang
lain lagi, bahwa fungsi Bappeda lebih
penting dari dinas keuangan. Jadi
kesimpulan baru mereka, nantinya
pada saat mereka kembali ke tanah
air, Bappeda tidak akan dibubarkan,
fungsi proyeksi keuangan dialihkan
ke Bappeda dan dinas keuangannya
saja yang dibubarkan. Adooh, tipikal
ego sektoral dari para pejabat di
negeri ini....#tepokjidat, udahlah saya
gak komen aja kalau gitu.
26 Buletin EPIKD PENA Edisi I/2013
Beberapa bulan yang lalu saya
dipanggil oleh rekan-rekan Itjen di
ruang rapat Pak Sesditjen. Dalam hati
saya bertanya-tanya, ada masalah
apa ya? Kok Itjen manggil saya.
Begitu sampai di ruang rapat ternyata
rekan-rekan Itjen mewawancarai
tentang sistem mutasi yang berjalan
di DJPK. Fiuh… Mereka menanyakan
pola mutasi saya di DJPK dari
masuk pertama sampai sekarang.
Lalu masukan apa kira-kira terkait
pola mutasi yang lebih baik dalam
rangka transformasi kelembagaan
Kementerian Keuangan. Ternyata gitu
aja, kirain ada apa? Slamet..slamet..
Setelah sesi tersebut salah satu rekan
itjen minta waktu sebentar terkait
data dan informasi transfer karena
kebetulan saya ditempatkan di IDT.
Saya ditanya apakah anda mengelola
data dan informasi transfer? Ya saya
jawab tidak, sebab data dan informasi
itu wilayahnya Seksi Pengelolaan
Basis Data. Dan kebetulan juga saya
hanya menangani aplikasi dan data
terkait APBD.
Pembukuan, Akuntansi,
dan EkonomiSigit Wahyu Kartiko
OPINI
27Edisi I/2013 Buletin EPIKD PENA
Saya beri penjelasan seperti itu
sepertinya rekan tersebut masih
penasaran, maklum naluri auditor
kan suka begitu batin saya. Rekan
itu mempertanyakan kenapa masih
ada selisih dana transfer bagi hasil
di tahun 2012 berdasarkan laporan
keuangan DJPK dengan laporan
keuangan pemerintah daerah (LKPD).
Weks..?!? aneh, orang ini ngurusin
audit SDM apa dana transfer pikir
saya.
Ya saya jawab aja dengan pertanyaan
begini, “Perbedaan angka itu menurut
Mas material apa tidak? Berapa
nilainya?” Rekan itu menjawab bahwa
informasi yang dipublikasi di web
berubah-ubah terus. Pernah Rp 1
miliar lebih, tapi laporan terakhir sih di
bawah Rp 1 miliar.
Saya menanggapinya enteng saja,
“Kalo misalnya nilai tersebut tidak
material, maka secara ekonomi juga
dampaknya bagi perekonomian
daerah ya kurang signifikan”. Gak
puas dengan tanggapan saya,
penasaran juga rekan kita yang
satu ini. “Maksudnya gimana?”,
tanya rekan Itjen tersebut sambil
mengernyitkan dahi.
Dengan nada agak sok tahu saya
menjawab “Maaf, seharusnya auditor
itu memandang suatu nilai, angka,
sumber daya ekonomi itu seberapa
jauh mempengaruhi keputusan
pemilik entitas pemerintah tersebut
yang dalam akuntansi dikenal
dengan konsep materialitas”. Selama
perbedaan nilai tersebut dianggap
wajar dan relatif kecil dibandingkan
dengan nilai seluruh aset pemilik ya
tidak jadi masalah. Saya yakin nilai
selisih transfer tersebut paling-paling
karena beda waktu atau salah saji
namun nilainya secara keseluruhan
relatif kecil. Kalaupun datanya
berubah-ubah hal itu mungkin
secara IT disebabkan karena proses
migrasi database dari server DJPK ke
Pusintek membutuhkan waktu.
“Itulah bedanya pembukuan dan
akuntansi.”, lanjut saya. Kalo pola
pikir pembukuan atau bookkeeping
di jaman belanda ibaratnya selisih
satu rupiah pun sampai ke ujung
dunia juga pasti dicari. Padahal
secara manfaat nilai tersebut tidak
ada artinya dibandingkan ongkos
yang diperlukan untuk mencari selisih
tersebut. Itulah prinsip cost benefit
constraint dalam akuntansi. Jadi
dengan dinaikkan derajatnya dari
pola pembukuan (bookeeping) ke
28 Buletin EPIKD PENA Edisi I/2013
akuntansi (accounting) seharusnya
seorang akuntan memiliki tingkat
pemahaman yang lebih jika dibanding
seorang bookkeeper.
Lalu kalau bicara tentang ekonomi
maka pola pikirnya akan jauh lebih
abstrak lagi karena menyangkut
perilaku agen ekonomi (negara,
pemda, perusahaan, konsumen,
perbankan dsb) dalam menentukan
pilihan baik memproduksi atau
mengkonsumsi dengan menggunakan
keterbatasan sumber daya yang
ada untuk memperoleh kepuasan
semaksimal mungkin. Oleh karena
sifatnya yang abstrak maka dalam
ekonomi bisa saja suatu variabel
perilaku seperti tingkat produktifitas,
penawaran, permintaan, kepuasan
dsb ditetapkan dalam bentuk
simbolisasi atau proksi.
Jadi berbicara tentang dana transfer
untuk selevel DJPK maka seberapa
jauh kebijakan dana transfer yang
sampai sekarang ini berjalan telah
mempengaruhi geliat perekonomian
di daerah, yang pada akhirnya secara
agregat mempengaruhi perekonomian
nasional. Bisa jadi ketika dilakukan
analisis perekonomian atas
komponen dana transfer tersebut
setelah diolah secara statistik justru
dibulatkan jadi jutaan, milyaran
bahkan trilyunan rupiah. Tuh kan jadi
gak ada artinya kan nilai segitu secara
ekonomi…
Itu baru secara ekonomi, kalau
kebijakan publik (public policy)
lebih luas lagi sebab dimensinya
tidak hanya ekonomi namun aspek
sosial, budaya, hukum, bahkan
politik. Diperlukan pemahaman yang
lebih menyeluruh dan bijak dalam
menyikapi realita kompleksnya
permasalahan publik (multifacet).
Sampai disitu rekan Itjen itu bertanya,
“Oh iya dulu kuliahnya kebijakan
publik ya?” Saya jawab: “Ya
begitulah”, lama juga ditanya yang
enggak-enggak batin saya. Akhirnya
saya balik tanya, “Lalu menurut BPK
selaku auditor eksternal, bagaimana
hasil pemeriksaan atas selisih dana
transfer tersebut?”. Dia menjawab,
“Iya sih menurut BPK nilai tersebut
tidak dipermasalahkan karena tidak
material...”. Nah lho, jadi dari tadi
nanyain panjang lebar buat apa ya?.
Cape deh….#tepokjidat
29Edisi I/2013 Buletin EPIKD PENA
Dalam beberapa diskusi
keuangan daerah, ada sebagian
peserta yang secara langsung
maupun tidak, mempertanyakan
eksistensi sekretaris daerah (sekda)
dalam pengelolaan keuangan daerah.
Permasalahan yang dikemukakan,
antara lain (1) posisi sekda sebagai
koordinator Pengelolaan Keuangan
Daerah dalam PP 58/2005 yang tidak
diatur secara eksplisit dalam UU
17/2003 tentang Keuangan Negara.
Selain itu, (2) keterlibatan sekda
dalam "evaluasi" RKA-SKPD.
Menarik untuk dikaji lebih dalam
terkait keberadaan sekda dalam PKD.
Kita lihat butir pertama, posisi sekda
sebagai koordinator Pengelolaan
Keuangan Daerah dalam PP 58/2005.
Dalam UU 17/2003, memang
tidak terdapat istilah sekda, yang
disebutkan hanyalah gubernur/bupati/
walikota selaku kepala pemerintahan
daerah, kepala satuan kerja pengelola
keuangan daerah selaku pejabat
pengelola APBD/ pejabat pengelola
keuangan daerah, dan kepala satuan
kerja perangkat daerah selaku pejabat
pengguna anggaran/barang daerah.
Eksistensi Sekda dalam Pengelolaan Keuangan Daerah
Moza Pandawa Sakti
OPINI
30 Buletin EPIKD PENA Edisi I/2013
Keberadaan sekda muncul
dalam pembahasan RPP tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah
seiring dengan munculnya istilah
Tim Anggaran pemerintah Daerah
(TAPD). Sebagai pejabat karir
tertinggi dilingkup pemda, figur sekda
dibutuhkan dalam memimpin TAPD,
sekaligus sebagai penengah berbagai
macam konflik kepentingan SKPD.
Diharapkan kebijakan sekda dapat
diikuti oleh seluruh kepala SKPD
selaku pengguna anggaran, itulah
mengapa figur sekda ditunjuk sebagai
koordinator pengelola keuangan
daerah, bukan "sekedar" pengguna
anggaran saja.
Dalam pasal 6 PP 58/2005, sekda
selaku Koordinator Pengelolaan
Keuangan Daerah mempunyai
tugas koordinasi di bidang: a.
penyusunan dan pelaksanaan
kebijakan pengelolaan APBD; b.
penyusunan dan pelaksanaan
kebijakan pengelolaan barang
daerah; c. penyusunan rancangan
APBD dan rancangan perubahan
APBD; d. penyusunan Raperda
APBD, Perubahan APBD, dan
pertanggungjawaban pelaksanaan
APBD; e. tugas-tugas pejabat
perencana daerah, PPKD, dan
pejabat pengawas keuangan
daerah; dan f. penyusunan laporan
keuangan daerah dalam rangka
pertanggungjawaban pelaksanaan
APBD.
Selain itu, sekda juga mempunyai
tugas: a. memimpin tim anggaran
pemerintah daerah; b. menyiapkan
pedoman pelaksanaan APBD; c.
menyiapkan pedoman pengelolaan
barang daerah; d. memberikan
persetujuan pengesahan DPA-SKPD;
dan e. melaksanakan tugas-tugas
koordinasi pengelolaan keuangan
daerah lainnya berdasarkan kuasa
yang dilimpahkan oleh kepala daerah.
Dalam memimpin TAPD, sekda
dibantu oleh PPKD, kepala Bappeda
selaku pejabat perencana daerah,
dan pejabat lain yang dibutuhkan.
Selanjutnya, kita lihat butir kedua,
dimana keberadaan sekda dalam
mengevaluasi, bahkan lebih dari
itu terlalu jauh untuk menentukan
program dan kegiatan dalam RKA
disetiap SKPD. Sejatinya, tugas sekda
lebih bersifat koordinatif sebagaimana
tercantum dalam pasal 6 di atas.
Kalau kita analogikan di pemerintah
pusat, maka tugas sekda mirip seperti
menteri koordinator yang bertugas
31Edisi I/2013 Buletin EPIKD PENA
mengkoordinasi tugas fungsi para
menteri dibawahnya.
RKA yang merupakan tindak lanjut
dari Rencana Kerja SKPD tentu
merupakan kewenangan SKPD,
karena SKPD yang lebih mengetahui
terkait tugas fungsi, renstra, program,
kegiatan dilingkupnya masing-
masing. Jadi, "intervensi" sekda
terlalu jauh dalam penyusunan
RKA menjadi kontraproduktif dalam
penyelenggaraan pemerintahan.
Tentu saja, ini hanya terjadi di
beberapa daerah, tapi paling tidak
ada gambaran bahwasanya ada
permasalahan yang mungkin timbul
dan terulang pada pemerintah daerah
lainnya. Selain itu juga, ini menjadi
tantangan pemerintah pusat dalam
penyempurnaan peraturan di masa
yang akan datang. (mps)
DIPADaftar Isian Pelaksana Anggaran
disingkat dengan DIPA adalah
dokumen pelaksanaan anggaran
yang disusun oleh Pengguna
Anggaran / Kuasa Pengguna
Anggaran dan di sahkan oleh
Direktur Jenderal Perbendaharaan
atau Kepala Kantor Wilayah
Direktorat Jenderal Perbendaharaan
atas nama Menteri Keuangan selaku
Bendaharawan Umum Negara
(BUN).
DIPA berlaku untuk satu
tahun anggaran dan memuat
informasi satuan-satuan terukur
yang berfungsi sebagai dasar
pelaksanaan kegiatan dan
penggunaan anggaran. Selain
itu, DIPA berfungsi sebagai
alat pengendali, pelaksanaan,
pelaporan, pengawasan, dan
sekaligus merupakan perangkat
akuntansi pemerintah. Pagu dalam
DIPA merupakan batas pengeluaran
tertinggi yang tidak boleh dilampaui
dan pelaksanaannya harus dapat
dipertanggungjawabkan.
PRIMBON KEUANGAN
32 Buletin EPIKD PENA Edisi I/2013
DPADokumen Pelaksanaan Anggaran
SKPD yang selanjutnya disingkat
DPA-SKPD merupakan dokumen
yang memuat pendapatan
dan belanja setiap SKPD yang
digunakan sebagai dasar
pelaksanaan oleh pengguna
anggaran. DPA-SKPD digunakan
sebagai dasar pelaksanaan
anggaran oleh kepala SKPD
selaku pengguna anggaran/barang.
Pejabat Pengelola Keuangan Daerah
(PPKD) akan mengesahkan DPA-
SKPD dengan persetujuan Sekretariat
Daerah.
33Edisi I/2013 Buletin EPIKD PENA
Ketika menjelaskan tentang
teknik penggalian data dalam mata
kuliah metodologi penelitian, seorang
dosenku bertanya kepadaku berapa
biaya hidupku sebulan. Dengan
enggan kujawab sejumlah angka –
karena bagaimana pun menurutku
biaya hidup merupakan hal pribadi
yang tabu dibicarakan kepada orang
lain, yang tentu saja kuhubungkan
dengan penghasilan rutinku. Dengan
pedenya, dosen itu mengatakan
bahwa biaya hidupku pasti dua kali
lipat dari angka tersebut.
Tentu saja hatiku melotot. Gila,
yang bener aja! Dari mana aku
mendapat sumber penghasilan
untuk menyumpal angka tersebut?
Dari Hongkong, bisik hatiku yang
lain iseng. Mulailah analisa dosen
itu menegaskan pernyataannya.
Dengan berbekal data diriku – aku
menyebut jumlah 4 anakku yang
semua sudah sekolah, 1 istriku (he
he..jangan ada yang usil ya dengan
angka yang kusebut, memang satu
kok), lokasiku yg dipinggiran Jakarta
sementara tempat kerjaku di pusat
kota serta hal-hal lain keseharianku
– beliau ngotot bahwa tak mungkin
bisa dengan jumlah angka awal
yang kusebutkan tadi aku bertahan
hidup apalagi biaya transportasi yang
membengkak gara-gara kuliahku.
Secara matematis, angka tadi akan
kleleb menghadapi biaya hidup yang
makin menggunung.
ILMU EKONOMI PUN TAK AKAN MAMPU
MENJELASKANArif Zainudin Fansyuri
BUDAYA & SASTRA
34 Buletin EPIKD PENA Edisi I/2013
Meskipun tidak setuju seratus
persen – soalnya analisanya sudah
menyerempet gaya hidup yang dia
akrabi yang tentu saja aku merasa
bukan gue banget, kuakui bahwa
jumlah angka yang kusebut tadi
sesungguhnya memang tak akan
sepadan dengan biaya hidup yang
sesungguhnya kukeluarkan. Namun
ajaibnya, jumlah tersebut cukup tuh,
dengan kelayakan yang kuanggap
alhamdulillah banget (meskipun
kusadari, soal layak tidak itu adalah
hal yang sangat subyektif).
Penghasilan dan biaya hidup, dua hal
yang akan saling terus berhadapan.
Jika menghitungnya dengan
matematis ekonomi konvensional
(baca : sekuler) – yang hanya
memasukkan varibel dan parameter
yang kasat mata dan hanya
mengandalkan rasio – kalkulator
mana pun tak akan sanggup untuk
menghitungnya. Apalagi namanya
ilmu ekonomi yang terkenal dengan
andalannya yaitu asumsi ceteris
paribusnya – sementara tak ada di
dunia ini yang tak berubah bukan? —
tentu penghitungan penghasilan dan
biaya hidup akan selalu dipandang
sebagai ketidakpastian yang akan
sulit dibuat rumusannya. Apalagi, jika
unsur religius dimasukkan. Bisa-bisa
komentar para ekonom: capek,deh!.
Coba saja, ekonom mana yang
akan berani memasukkan unsur-
unsur sedekah , zakat, infak dan
sebagainya sebagai faktor penambah
penghasilan serta menjadikan unsur
bunga (interest) sebagai faktor
pengurang (baca: penghancur) nya.
Sebaliknya, mereka akan selalu
memasukkan unsur yang disebutkan
di depan sebagai penambah biaya
serta menganggap bunga sebagai
pendongkrak penghasilan. Artinya,
zakat, sedekah, dan infak tak akan
mungkin dijadikan dasar oleh ekonom
sebagai faktor untuk menghitung
PDB karena fungsinya yang
dianggap kontra produktif terhadap
penghasilan. (Kecuali mungkin para
Keynesian mau memasukkannya
sebagai bagian dari konsumsi
untuk menghitungnya dari sisi
pengeluaran?)
Tapi hidup termasuk persoalan
ekonomi di dalamnya tidak akan
mampu dipecahkan oleh sekedar
rumusan ilmu ekonomi konvensional.
Ada banyak kalkulator dan rumus
perhitungan dengan sudut pandang
lainnya yang perlu digunakan
dalam memahaminya. Misalnya,
35Edisi I/2013 Buletin EPIKD PENA
sebagai seorang muslim, saya
ingat akan ajaran agamaku yang
menyatakan bahwa sedekah (juga
bentuk-bentuk lain pengeluaran
harta di jalan 4JJ seperti zakat
dan infak) adalah penyubur harta
dan sebaliknya, bunga (baca:riba)
adalah penghancurnya. Membiakkan
harta dengan bunga sama saja
menghancurkan harta kita ke akar-
akarnya meskipun awalnya terlihat
harta kita bertambah. Sebaliknya,
sedekah akan memberkahkannya
seperti padi yang berbiak ke cabang-
cabangnya. Belum asuransi yang
dijaminkan sebagai penyelamat harta
dari gangguan seperti musibah dan
bencana karena keberkahan sedekah
yang kita lakukan tersebut.
Siapa yang akan menolak kenyataan
bahwa sumber penghasilan bisa
bertambah dan berkurang tanpa
bisa kita cegah atau kita paksa
datangnya? Melalui penghasilan tidak
rutin, keperluan hidup dapat dengan
mudahnya tercukupi meskipun tak
mampu dipahami dengan rasio mana
pun. Justru di situ letak seninya. Kita
tidak akan tahu kapan tiba-tiba Allah
menambah penghasilan kita. Atau
mengurangi biaya hidup dengan
bantuan orang lain yang secara
tak terduga diberikan kepada kita.
Keberkahan kesehatan dan keluarga
– seperti anak-anak yang berbakti dan
penuh pengertian kepada orang tua –
jika Anda mau mengukur dengan nilai
uang, berapa yang akan dapat Anda
hemat jika dibandingkan dengan
anak-anak yang penuh masalah yang
membuat jantung kita seperti berhenti
berdenyut setiap hari?
Sebaliknya kita juga tak akan mampu
mencegah musibah yang tiba-tiba
saja menimpa kita. Bisa melalui
penyakit, kebakaran, banjir atau
apa pun yang dijadikan-Nya untuk
mengurangi harta kita. Bencana krisis
global seharusnya dapat mengajarkan
kepada kita bahwa sangat mudah
bagi-Nya untuk menghilangkan
harta kita dalam sekejab bahkan
dengan alat/sistem yang justru
sebelumnya kita gunakan untuk
memperbanyaknya.
Seperti yang kusebutkan di atas,
salah satu ketentuannya adalah
bahwa harta akan bertambah dengan
sedekah dan hancur dengan riba
– termasuk bunga. Aku yakin akan
hal itu, meskipun rasio tidak akan
mampu mendeteksinya secara
langsung. Namun, jika Anda bersedia
mengumpulkan data dengan hati-hati
dan penuh kesabaran, akan banyak
36 Buletin EPIKD PENA Edisi I/2013
muncul fakta yang dapat dijadikan
bukti. Aku masih ingat, sewaktu
kecil, seorang tetangga desa yang
terkenal sebagai rentenir – tentu
saja kaya raya dan kontras dengan
tetangganya yang saat itu mayoritas
miskin – akhirnya harus meninggal
dalam keaadan jatuh miskin
karena penyakit yang dideritanya
membuatnya harus kehilangan
seluruh harta bendanya. Jika mau
melihat contoh lain, sinetron-sinetron
religi atau kisah-kisah pada majalah
Hidayah seringkali menampilkan kisah
tersebut – meskipun seringkali aku
jengah juga karena ditampilkan terlalu
sarkastis dan bombastis. Contoh
lain yang lebih luas dapat diperoleh
dengan mengumpulkan data dari
negara-negara yang terjerat sistem
ekonomi riba binaan IMF atau World
Bank seperti Argentina serta sejumlah
negara-negara latin lainnya ( mungkin
Indonesia juga?). (Mengenai IMF
mudah-mudahan ada kesempatan
lain untuk membahasnya secara
tersendiri).
Tapi please deh, jangan salah lho. Aku
bukannya seratus persen menolak
gagasan-gagasan ilmu ekonomi yang
teorinya susah payah dibangun oleh
ekonom hebat itu — baik mikro atau
pun makro. Banyak manfaat dari
bangunan teori ilmu ekonomi tersebut
terutama untuk membantu kita dalam
memahami fenomena ekonomi yang
ada di sekeliling kita – sekali lagi
kutegaskan – yang kasat mata. Yang
dapat kita jadikan alat pendukung
dalam mengambil keputusan-
keputusan ekonomi berdasarkan
pendekatan ilmiah.
Aku hanya meyakini bahwa masih
banyak fenomena ekonomi yang
tidak akan bisa dipahami, dihitung,
dan dirumuskan oleh ilmu ekonomi
konvensional dan oleh karena itu,
diperlukan pendekatan dan sudut
pandang lain dalam memahaminya.
Dan karena kehidupan serta
seluruh aspeknya sudah ada yang
menciptakan dan mengatur, maka
dengan memahami aturan-Nya , kita
akan menemukan alat yang dapat
dijadikan sarana untuk memahami
sekaligus mengatur kehidupan ini
sehingga bermanfaat bagi kita semua
Bandung, 25 Maret 2009
37Edisi I/2013 Buletin EPIKD PENA
Tindakan Tegas
Sebuah andong ketika akan melewati
satu jembatan yang sempit, tiba-tiba
di hadapannya sudah ada satu konvoi
rombongan Kepala Desa yang baru
saja menang pilkades, yang juga
akan lewat jembatan tersebut dari
arah berlawanan, karena jembatannya
cukup sempit, kedua belah pihak jadi
berhenti semua, sama-sama tidak
bisa maju.
Akhirnya kusir andong dan Kades
turun dari kendaraannya, dan
kusir andong berkata kepada
Kades tersebut: "kalau bapak tidak
mau mundur SAYA AKAN AMBIL
TINDAKAN TEGAS !!! kata kusir
andong dengan suara mantap.
Mendapat perkataan seperti itu,
Kades jadi kaget keder juga (dia
pikir siapa ini) dan kebetulan letak
jembatan tersebut bukan di wilayah
desanya, hingga tanpa pikir panjang
di perintahkan rombongannya untuk
mundur dulu, agar andong tersebut
bisa lewat, tapi setelah andong lewat
timbul rasa penasaran dari Kades dan
dia menghampiri kusir andong.
Kades : "tadi bapak bilang, kalau
kami tidak mundur bapak mau ambil
tindakan tegas, maksudnya itu apa?"
Kusir andong : "yaaa, maksudnya
kalau bapak tidak mau mundur, ya
saya yang mundur!" jawab kusir
andong kalem.
Kades : hadeeh...&%#$#?
Minuman dengan Ciri Khas Daerah
6 orang pesan minuman di cafe
- orang bugis : krating "daeng"
- orang manado : extra "jo"
- orang buton : "La" segar
- orang papua : "ale - ale"
- orang jawa : mari "mas"
- orang ambon bingung semua pesan
dengan ciri khas daerah masing-
masing..karna tidak mau kalah dia
teriak "beta" din...
Obed Masuk Neraka (Humor Papua)
Pace Obed meninggal baru dia
masuk neraka, rupanya ada banyak
HUMOR NUSANTARA
38 Buletin EPIKD PENA Edisi I/2013
neraka sesuai negara masing-masing,
ada neraka amerika, jepang, korea,
cina, inggris dan indonesia.
Jadi Obed dia disuruh pilih mau
masuk neraka negara mana? Pas
dia keliling-keliling begini dia lihat, di
neraka amerika ada orang di setrum
di kursi listrik, di cambuk sama
penjaga neraka, di neraka cina,
korea, jepang, dan negara lain sama
juga ada kursi listrik, tempat tidur
paku, dan di cambuk.., jadi obed dia
bilang ah seram nerakanya.., jadi dia
tidak mau.
Pas kebetulan Obed dia sampai
di neraka indonesia, Obed kaget
rupanya orang banyak antri di
neraka indonesia, jadi obed karena
penasaran jadi dia tanya ke salah
satu pengantri.
Obed: “kenapa kam semua antri di
neraka indonesia kah?”
pengantri : "Di neraka indonesia ini
paling enak.”
Obed: bah enak bagaimna?
Pengantri: iyalah, di neraka indonesia
itu, kursi listriknya tidak berfungsi,
paku-paku di tempat tidurnya di
cabut dan di jual, lagi pula tukang
cambuknya PNS ,yang cuma datang
saat absen pagi dan pulang.
Belajar Berhitung (Humor Papua)Ada anak kecil satu, de dapat PR
matematika dari de pu Bu guru. Karna
de tra tau matematika jadi de pi tanya
sama de pu tete...
Anak : Tete... dulu waktu tete sekolah
tete pintar ka..?
Tete : Wetss... tete nih paling pintar di
kelas dari SD sampe SMA, pringkat 1
trus...
Anak : Kalo matematika tete biasa
dapat nilai brapa...??
Tete : Dari SD sampe SMA dapat
100... itu juga guru bilang kalo
seandainya ada nilai 200 akan de
kase tete juga...
Anak : Klo begitu... tiga tambah dua
sama dengan brapa tete???
Tete : Oh... itu kalo zaman tete dulu
masih delapan... kurang tau mungkin
skarang su naik dua belas ka...
Kamus Papua:sa = saya, ko = kamu, su = sudah,
pi = pergi, tong = kita, kam = kalian,
trada = tidak ada, pace = orang laki,
mace = orang cewek, maitua = istri,
pacar cewek, paitua = suami, pacar
cowok, baku = saling, tete = kakek,
nene = nenek, de = dia, deng =
dengan, tra = tidak, dong = mereka
39Edisi I/2013 Buletin EPIKD PENA
PEJABAT EPIKD “EKSPRESI”
FAMILY GATHERING EPIKD 2013
GALERIEPIKD
COUPLE 2013
PERPISAHAN PAK EDISON