Upload
vutruc
View
218
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
EFEKTIFITAS PERAN MEDIATOR DALAM MENYELESAIKAN
PERKARA PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA
JAKARTA SELATAN (STUDI IMPLEMENTASI
PERMA NO. 1 TAHUN 2016)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
Hilman Fauzi
NIM: 11140440000057
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2018 M / 1440 H
iv
ABSTRAK
Hilman Fauzi. NIM 11140440000057. EFEKTIFITAS PERAN MEDIATOR
DALAM MENYELESAIKAN PERKARA PERCERAIAN DI PENGADILAN
AGAMA JAKARTA SELATAN (STUDI IMPLEMENTASI PERMA NO. 1 TAHUN
2016). Skripsi, Program Studi Hukum Hukum Keluarga (Akhwal Syakhshiyyah),
Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta, 1439 H/2018 M. (ix halaman, 89 halaman, dan 24 halaman)
Studi ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana efektifitas mediasi dalam
penyelesaian perkara perceraian, dan optimalisasi peran mediator dalam menjalankan
tugasnya sebagai penengah yang netral bagi para pihak yang berperkara di Pengadilan
Agama Jakarta Selatan. Sebagaimana yang diatur dalam PERMA Nomor 1 Tahun
2016. Peraturan yang mengatur mediasi ini juga terdapat pada Undang-undang Nomor
30 Tahun 1999 dan PP Nomor 54 Tahun 2000 yang mana merupakan landasan yuridis
bagi penyelenggaraan mediasi di luar pengadilan. Surat Edaran Mahkamah Agung
(SEMA) Nomor 1 Tahun 2002 tentang kesungguhan semua hakim untuk
mengusahakan perdamaian. Dan juga terdapat dalam PERMA yang mengatur yaitu
PERMA Nomor 2 Tahun 2003, PERMA Nomor 1 Tahun 2008, dan yang terbaru
PERMA Nomor 1 Tahun 2016. Dimana PERMA tersebut semuanya mengatur tentang
Prosedur Mediasi di Pengadilan.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian studi kasus, yaitu penelitian
bersifat pendekatan survei fakta dalam penerapannya dan melakukan observasi
langsung serta melakukan wawancara kepada Mediator. Dan juga melalui penelitian
perundang-undangan, dan melalui buku-buku yang berkaitan dengan skripsi ini.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam proses penerapannya mediasi di
Pengadilan Agama Jakarta Selatan belum sesuai dengan PERMA Nomor 1 Tahun
2016. Sehingga, apa yang diharapkan dari terbitnya PERMA ini belum tercapai secara
maksimal. Karena nyatanya angka perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Selatan
masih sangat tinggi. Sehingga efektifitas PERMA dan optimalisasi peran Mediator
dalam meminimalisir angka perkara perceraian belum tercapai, dikarenakan oleh
beberapa faktor yaitu. Kepatuhan terhadap PERMA, waktu proses mediasi, budaya
masyarakat Indonesia, pola berfikir masyarakat Indonesia, tenaga ahli, data terkait
mediasi, dan pembekalan ilmu sebelum menikah (pra nikah).
Kata Kunci : mediasi, efektifitas, optimalisasi, perceraian, PERMA, dan
Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
Pembimbing : Dr. H. Muchtar Ali, M.Hum.
Daftar Pustaka : 1977 s.d. 2018
v
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi Rabbil ‘aalamiin. Puji syukur kehadirat Ilahi Rabbi penulis
panjatkan atas segala rahmat dan karunia-Nya. Atas segala beribu-ribu nikmat yang
telah Allah SWT berikan, terkhusus nikmat kesehatan dan Iman Islam. Sehingga
penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini hingga akhir. Dan shalawat beserta
salam semoga tetap terlimpahkan dan tercurahkan kepada junjungan alam Nabi
Muhammad SAW., Nabi akhir zaman Nabi yang paling mulia sekaligus penutup para
Nabi terdahulu. Serta iringi do’a untuk keluarga, sahabat dan seluruh pengikutnya yang
selalu setia kepada Nabi Muhammad SAW., baik masih hidup di dunia maupun setelah
meninggal dunia. Semoga kita semua menjadi ummatnya yang senantiasa mendapat
syafa’at hingga akhir zaman. Aamiin
Tidak terasa perjalanan panjang menempuh pendidikan di Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta ini telah berakhir, banyak suka maupun duka telah
penulis lalui di sini. Alhamdulillah pada tahun 2014 menjadi tahun pertama penulis
lalui sebagai mahasiswa baru, dengan mengikuti berbagai kegiatan baik di dalam
maupun di luar kampus. Waktu 4,5 tahun sudah penulis lalui dalam berbagai hiruk
pikuk kegiatan di kampus maupun di luar sebagai mahasiswa. Penulis sadar,
bahwasanya akhir dari perkuliyahan dengan menyelesaikan tugas skripsi bukanlah
akhir dari sebuah perjuangan. Melainkan awal dari sebuah perjuangan, karena suatu
perjuangan sejati akan dimulai setelah terjun ke masyarakat. Bagaimana harus bisa
menerapkan dan mengamalkan ilmu yang didapat.
Maka dari itu penulis sadar bahwa pada prosesnya dalam menyelesaikan tugas
skripsi ini, begitu banyak hambatan dan halangan pada saat prosesnya, penulis sadar
bahwa tidak akan sanggup. Akan tetapi berkat kekuatan doa dan dorongan motivasi
dari orang-orang tercinta. Baik yang bersifat materil maupun spritual, baik secara
langsung maupun tidak langsung dari berbagai pihak. Akhirnya penulisan skripi ini
dapat terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan
vi
terimakasih sebanyak-banyaknya dari hati yang tulus dan ikhlas penulis kepada semua
pihak yang terlibat yaitu:
1. Dr. Phil. H. Asep Saepudin Jahar, M.A., selaku Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta beserta
Wakil Dekan I, II, dan III Fakultas Syariah dan Hukum.
2. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag. Ketua Program Studi Hukum Keluarga Islam
beserta Indra Rahmatullah, S.HI., M.H. Sekretaris Program Studi Hukum
Keluarga, yang terus mendukung dan memotivasi mahasiswanya agar segera
menyelesaikan tugas skripsi.
3. Dr. H. Muchtar Ali, M. Hum., selaku dosen pembimbing penulis yang selalu
setia dan memberikan arahan sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan
baik.
4. Dr. K.H. A. Juaini Syukri, L.c., M.A. dan Bapak Qasim Arsadani, M.A. Selaku
penguji skripsi yang telah memberikan masukan dan arahannya kepada penulis.
5. Hj. Rosdiana, M.A., selaku dosen penasehat akademik yang memberikan
motivasi dan arahan kepada penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini.
6. Ketua Pengadilan Agama Jakarta Selatan beserta pihak-pihak terkait, terkhusus
kepada Bapak Drs. H. Nawawi Ali, S.H., Bapak Drs. Syamsul Huda, S.H.,
Bapak Drs. H. Kadi Satrowirjono, S.H., dan Ibu Dra. Hj. Fadhilah Ahmad.
Selaku Mediator Non Hakim di Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Sekaligus
yang menjadi para pihak yang penulis wawancarai, dan Ibu Denti Rahmayanti
sebagai sekretaris mediasi terimakasih penulis ucapkan dengan kerendahan
hati.
7. Para Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan ilmu yang
bermanfaat bagi penulis.
8. Kedua orang tua penulis, ayahanda Zuhri (abah) dan Ibunda Junaiti (umi), yang
selalu memberikan cinta, doa, yang tulus kepada penulis. Dan kepada seluruh
keluarga besar tercinta. Aa Ahmad, a Iwan, cece Aan, dan a Jemi merekalah
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................. i
LEMBAR PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ............................. iii
ABSTRAK ........................................................................................................ iv
KATA PENGANTAR ...................................................................................... v
DAFTAR ISI ..................................................................................................... viii
BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1
B. Identifikasi Masalah.......................................................................... 8
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................................. 8
D. Tujuan Penelitian.............................................................................. 9
E. Tinjauan Kajian Teredahulu ........................................................... 9
F. Metode Penelitian ........................................................................... 11
G. Sistematika Penulisan .................................................................... 14
BAB II MEDIASI DALAM PENGERTIAN DAN DASAR HUKUM ......... 15
A. Sejarah dan Perkembangan Mediasi di Indonesia ............................ 15
B. Pengertian Mediasi ........................................................................... 22
C. Dasar Hukum Mediasi ...................................................................... 25
D. Mediator ........................................................................................... 44
E. Mediasi Menuju Asas Peradilan Cepat dan Biaya Ringan ............... 46
BAB III PROFIL PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN .......... 50
A. Sejarah Singkat dan Letak Geografis ............................................... 50
B. Visi dan Misi .................................................................................... 55
C. Struktur Organisasi ........................................................................... 55
D. Sarana dan Prasarana.........................................................................56
E. Kewenangan Pengadilan....................................................................58
ix
BAB IV ANALISIS TENTANG EFEKTIFITAS MEDIASI DALAM
PENYELESAIAN PERKARA PERCERAIAN DAN
OPTIMALISASI PERAN MEDIATOR DI PENGADILAN
AGAMA JAKARTA SELATAN ........................................................... 60
A. Efektifitas Mediasi Dalam Penyelesaian Perkara Perceraian .............. 60
B. Optimalisasi Peran Mediator di Pengadilan Agama Jakarta
Selatan ................................................................................................ 69
C. Analisis Penulis Terhadap Efektifitas Mediasi Dalam
Penyelesaian Perkara Perceraian dan Optimalisasi Peran Mediator
di Pengadilan Agama Jakarta Selatan ................................................. 75
BAB V PENUTUP ................................................................................................. 85
A. Kesimpulan........................................................................................... 85
B. Rekomendasi ........................................................................................ 86
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 87
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hukum dibuat untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat.
Agar kepentingan masyarakat terlindungi, hukum harus dilaksanakan.
Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, damai, tetapi dapat
terjadi pula karena pelangagaran hukum. Dalam hal ini, hukum yang telah
dilanggar harus ditegakkan. Melalui penegakan hukum inilah hukum
menjadi kenyataan.1
Dalam gugatan class action dimungkinkan terjadi perdamaian atau
yang dikenal dengan istilah mediasi, antara penggugat dan tergugat. Hakim
berkewajiban mendorong para pihak untuk menyelesaikan perkara
dimaksud melalui perdamaian, baik pada awal persidangan maupun selama
berlangsungnya pemeriksaan perkara (Pasal 6 Perma No. 1 Tahun 2002).
Umumnya upaya perdamaian dilakukan di luar proses persidangan. Apabila
penggugat (wakil kelompok) dan tergugat sepakat dilakukan perdamaian,
maka diantara para pihak dilakukan perjanjian perdamaian. Lazimnya
perjanjian perdamaian dibuat secara tertulis di atas kertas bermaterai.
Berdasarkan perjanjian perdamaian antara kedua belah pihak, maka hakim
menjatuhkan putusannya (acta van vergelijk) yang isinya menghukum
kedua belah pihak mematuhi isi perdamaian yang telah dibuat. Kekuatan
putusan perdamaian sama dengan putusan biasa dan dapat dilaksanakan
seperti putusan-putusan lainnya. Dalam hal para pihak sepakat melakukan
perdamaian maka tidak dimungkinkan upaya banding.2
Al-Qur’an menjelaskan bahwa konflik dan sengketa yang terjadi di
kalangan umat manusia adalah suatu realitas. Hal tersebut dijelaskan, di
dalam Surah Al-Hujarat: 9.
1 Sudikno Mertokusumo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, (Jakarta: Citra
Aditya Bakti, 1993), h. 1. 2 Zainal Asikin, Hukum Acara Perdata di Indonesia, (Jakarta: Prenamedia Group,
2015), h. 74.
2
هما على األخرى ن من المؤمنين اقتتلوا فأصلحوا بينهما فإن بغت إحدا وإن طآئفتا
بينهما بالعدل وأقسطوا فقاتلوا التي تبغي حتى تفىء إلى أمر هللا فإن فآءت فأصلحوا
(9)الحجرات: . إن هللا يحب المقسطين
Artinya: “Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu
berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya, tapi kalau jika yang
satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar
perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah.
Kalau dia telah surut, damaikanlah keduanya menurut keadilan, dan
hendaklah kamu berlaku adil. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang berlaku adil”. (QS. Al-Hujarat: 9).
Manusia sebagai khilafah-Nya di bumi dituntut untuk
menyelesaikan sengketa, karena manusia dibekali akal dan wahyu dalam
menata kehidupannya. Manusia harus mencari dan menemukan pola
penyelesaian sengketa sehingga penegakan keadilan dapat terwujud.
Selanjutnya dalam Al-Qur’an Allah menegaskan dalam surat an-Nisa: 35.
ن أهلهآوإن خفتم شقا ن أهله وحكما م إصالحا يوفق إن يريدآ ق بينهما فابعثوا حكما م
(35)النساء: هللا بينهمآإن هللا كان عليما خبيرا
Artinya: “Dan jika kamu khawatir terjadi persengketaan antara
keduanya, maka kirimlah seorang juru damai dari keluarga laki-laki dan
seorang juru damai dari keluarga perempuan. Jika keduanya (juru damai itu)
bermaksud mengadakan perdamaian, niscaya Allah memberi taufik kepada
suami istri itu. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.” (QS. An-
Nisa: 35).
Penegakan keadilan menurut Al-Qur’an dapat dilakukan melalui
proses pengadilan (mahkamah) maupun di luar proses pengadilan.
Pemenuhan hak dan penegakan keadilan melalui mahkamah mengikuti
ketentuan formal yang diatur dalam ajaran Islam. Yaitu melibatkan
kekuasaan negara dalam menjalankannya. Oleh karena itu, perhatian Al-
Qur’an diberikan serius kepada orang yang mendapat kepercayaan
menegakkan keadialan di mahkamah, yaitu hakim atau qadhi. Nabi
Muhammad SAW sendiri telah menunjukkan sikap tegas, tidak dskriminasi,
memperlakukan sama para pihak yang bersengketa, sehingga orang yang
lemah dan orang yang kuat memiliki kedudukan yang sama di mata Nabi
3
Muhammad SAW dalam mendapatkan hak dan keadilan.3 Hal ini
ditegaskan dalam hadis Nabi Muhammad SAW.
عليه وسلم بلغه أن عن سهل صلى هللا عنه أن رسول هللا بن سعد الساعدي رضي هللا
عليه فخرج كان بينهم شيء بني عمرو بن عوف صلى هللا يصلح وسلم رسول هللا
بينهم في أناس معه .4
Artinya: “Dari Sahal ibn Sa’ad As-Sa’idi ra., bahwasanya
Rasulullah SAW. Mendengar berita bahwa dikalangan Bani Amr ibn Auf
terjadi persengketaan. Ditemani beberapa orang sahabat beliau pergi ke sana
untuk mendamaikan mereka.” (HR. Bukhori).
Arus globalisasi telah mempengaruhi pola pikir masyarakat,
sehingga masalah dan problematika timbul silih berganti dengan berbagai
macam jenisnya. Terkadang tidak sedikit masyarakat di Indonesia harus
menyelesaikan setiap permasalahan mereka di Pengadilan. Dan hasilnya
selalu ada pihak-pihak yang kalah maupun menang. Sehingga tidak
memikirkan solusi ataupun cara yang terbaik bagi kedua belah pihak yang
berperkara, sehingga terjadinya perdamaian antara keduanya, tanpa
menyampingkan kerugian di salah satu pihak. Fiat Justitia Ruat Coelum
(hukum harus ditegakkan walaupun langit runtuh). Istilah ini berasal dari
bahasa Romawi, yang diungkapkan oleh seorang Gubernur yang bernama
Lucius Calpurnius Piso Caesoninus. Ungkapan yang menyanjung tinggi
hukum ini mengacu pada keadilan yang harus ditegakkan apapun yang
terjadi. Penegakkan dan penerapan hukum khususnya di Indonesia
seringkali menghadapi kendala berkaitan dengan berkembangnya
masyarakat. Sejalan dengan pesatnya arus globalisasi yang menyebaban
tingginya potensi sengketa, diperlukan penyelesaian secara hukum dengan
3 Syahrizal Abbas, Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum
Nasional, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), h. 152-157.
4 Imam al- Bukhori, Shohih al- Bukhori, Jilid 2, (Beirut: Dar Thuq al- Najah), h.
70.
4
tidak mengenyampingkan norma-norma dan asas yang hidup dan tumbuh
dalam tatanan kehidupan masyarakat.5
Perkembangan masyarakat lebih cepat dari perkembangan peraturan
perundang-undangan, hal ini juga mengakibatkan perkembangan dalam
masyarakat tersebut menjadi titik balik dari keberadaan suatu peraturan.
Pada kenyataanya hukum tidak selamanya dapat berfungsi dengan baik
seperti yang diharapkan. Dalam peraktik, sebagai bagian dari proses
mediasi, mediator berbicara secara rahasia dengan masing-masing pihak. Di
sini me diator perlu membangun kepercayaan para pihak yang bersengketa
lebih dahulu. Banyak cara yang dapat dilakukan untuk menanamkan
kepercayaan, misalnya dengan memperkenalkan diri dan melakukan
penelusuran kesamaan dengan para pihak. Apabila perlu, mediator dapat
melakukan kaukus. Yaitu pertemuan antara mediator dengan salah satu
pihak tanpa dihadiri oleh pihak lainnya.6
Terbitnya PERMA Nomor 2 Tahun 2003 yang kemudian direvisi
dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi Pengadilan
merupakan sejarah baru bagi hukum acara perdata Indonesia bahwa
Mahkamah Agung yang mendasarkan pemikirannya pada Pasal 130 HIR/
154 Rbg membuat aturan dalam persidangan pertama yaitu para pihak yang
bersengketa diwajibkan untuk menempuh proses mediasi terlebih dahulu.7
Satu permasalahan besar yang dihadapi bangsa kita adalah dilema
yang terjadi di bidang penegakan hukum. Di satu sisi kuantitas dan kualitas
sengketa yang terjadi dalam masyarakar cendrung mengalami peningkatan
dari waktu ke waktu. Sedangkan di sisi lain, pengadilan Negara yang
5 Dwi Rezki Sri Astarini, Mediasi Pengadilan Salah Satu Bentuk Penyelesaian
Sengketa Berdasarkan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, Biaya Ringan, (Bandung: P.T.
Alumni, 2013), h. 1.
6 Gatot Soemarno, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2006), h. 120.
7 Dwi Rezki Sri Astarini, Mediasi Pengadilan Salah Satu Bentuk Penyelesaian
Sengketa Berdasarkan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, Biaya Ringan, (Bandung: P.T.
Alumni, 2013), h. 141.
5
memegang kewenangan mengadili menurut undang-undang mempunyai
kemampuan yang relatif terbatas.8
Pada penerapannya di Pengadilan. Yang mengatur tentang mediasi
itu merupakan implementasi dari “PERMA Nomor 1 Tahun 2008
merupakan revisi dari PERMA No. 2 Tahun 2003. Yang kemudian PERMA
No. 1 Tahun 2008 ini juga direvisi oleh PERMA Nomor 1 Tahun 2016
tentang Perosedur Mediasi di Pengadilan.”
Meski demikian PERMA ini terus dilakukan penyempurnaan dalam
menjawab kebutuhan-kebutuhan dalam peraktik. Kenyataan sejarahnya
sebelum dikeluarkan PERMA Nomor 1 Tahun 2016 ini Mahkamah Agung
sebelumnya juga sudah mengeluarkan PERMA Nomor 1 Tahun 2008
sebagai upaya mempercepat, mempermudah, serta memberikan akses yang
lebih besar kepada pencari keadilan. Mediasi diharapkan untuk terus
sebagai instrumen efektif yang dapat mengatasi penumpukan perkara di
Pengadilan, dan sekaligus memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan
dalam menyelesaikan sengketa, di samping proses pengadilan yang bersifat
memutus (ajudikasi).9
Pada kenyataannya salah satu yang menjadi pertimbangan
dikeluarkan PERMA Nomor 1 Tahun 2016 ini adalah bahwa Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan belum optimal memenuhi kebutuhan pelaksanaan Mediasi yang
lebih berdayaguna dan mampu meningkatkan keberhasilan Mediasi di
Pengadilan.
Namun setelah saya melakukan observasi di Pengadilan Agama
Jakarta Selatan dalam rangka memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah
Praktikum Peradilan Agama beberapa waktu yang lalu. Pada kenyataannya,
saya mendapati informasi setelah melakukan wawancara. Bahwa tingkat
8 Rachmadi Usman, Mediasi di Pengadilan Dalam Teori dan Praktik, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2012), h. 1. 9 Dwi Rezki Sri Astarini, Mediasi Pengadilan Salah Satu Bentuk Penyelesaian
Sengketa Berdasarkan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, Biaya Ringan, (Bandung: P.T.
Alumni, 2013), h. 141.
6
keberhasilan dari pada penyelesaian dalam tahap mediasi itu sangat kecil.
Dari pemaparan yang didapat setelah melakukan wawancara kepada salah
satu Mediator Non Hakim di Pengadilan Agama Jakarta Selatan bahwa pada
tahun 2016 untuk tingkat keberhasilan persentase di Pengadilan Agama
Jakarta Selatan sendiri tidak lebih dari 10%. Dari setiap perkara yang
diterima oleh Bapak Nawawi Ali yang merupakan salah satu Mediator Non
Hakim di Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Untuk tingkat keberhasilan
sangat kecil, terlebih dalam kasus percerairan baik cerai gugat maupun
talak. Dari jumlah perkara 272 hanya 4 perkara yang berhasil. Dan dari
ratusan perkara tersebut kebanyakan adalah jenis perkara perceraian, baik
karena cerai talak maupun gugat.
Sudah diketahui bersama bahwa budaya masyakat Indoensia adalah
budaya timur, dimana persoalan rumah tangga itu merupakan hal yang tabu
dan beranggapan menjadi aib apabila diceritakan kepada orang lain.
Sehingga apabila ada permasalahan yang terjadi itu sangat jarang untuk
diceritakan maupun dicari jalan solusi dari setiap permasalahan.
Menceritakan permasalahan disini, dalam arti mencari solusi terbaik bagi
rumah tangga mereka.
Beda halnya di luar negeri seperti Australia dan Amerika mereka
sudah terbiasa dengan mediasi, atau konsultan yang sudah mempunyai
kapasitas dibidangnya masing-masing. Sehingga bisa menjadi bahan
pertimbangan bagi mereka untuk mencari solusi jalan keluar dalam setiap
permasalahan yang terjadi sehigga tidak perlu untuk menyelesaikan
perkaranya di Pengadilan.10
Hal ini jelas menjadi perbandingan letak keberhasilan dalam sebuah
proses mediasi, sehingga jelaslah peranan Hakim Mediator dan Mediator
Non Hakim dalam menjalankan tugasnya sebagaimana yang telah diatur
dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2016 bahwa Mediasi pada prinsipnya
merupakan cara penyelesaian sengketa secara damai yang tepat, efektif dan
10 Nawawi Ali, Mediatror Non Hakim di Pengadilan Agama Jakarta Selatan,
Interview Pribadi, Jakarta, 17 Oktober 2017.
7
dapat membuka akses yang lebih luas kepada para pihak untuk memperoleh
penyelesaian yang memuaskan serta berkeadilan.
Akan tetapi fungsi sebenarnya adanya mediator sebagai tujuan untuk
mencapai penyelesaian sengketa dalam berperkara masih belum
mendapatkan hasil yang memuaskan, terlebih pada kasus perkara perceraian
yang terjadi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan masih sangat tinggi
terjadi. Karena terkesan proses mediasi dipermudah dan dipercepat dalam
proses penerapannya dengan alasan bahwa para pihak tidak ingin berdamai
melainkan ingin tetap bercerai, dengan dalih bahwa permasalahan yang
dialami oleh para pihak tidak pernah dicari solusi maupun jalan keluarnya.
Sehingga apabila telah terjadi permasalahan langsung datang ke Pengadilan
dan ingin tetap bercerai.
Hal ini tidak relevan dengan PERMA Nomor 1 Tahun 2016 Pasal
24 Ayat (2) yang berbunyi; Proses Mediasi berlangsung paling lama 30 (tiga
puluh) hari terhitung sejak sejak penetapan perintah melakukan Mediasi.11
Sehingga apabila waktu yang telah ditetapkan itu dapat dimaksimalkan
dengan sebaik-baiknya.
Sehingga hasil dalam proses pencapaian mediasi tidak maksimal,
dari berbagai pemaparan di atas dapat penulis simpulkan bahwa peran
Mediator di Pengadilan Agama Jakarta Selatan belum maksimal, dan
terkesan dipercepat dalam proses penyelesaiannya tanpa memikirkan
keberhasilan dari proses mediasi itu sendiri. Sehingga dari permasalahan
yang terjadi di atas penulis mengambil judul yaitu Efektifitas Peran
Mediator Dalam Menyelesaikan Perkara Perceraian di Pengadilan
Agama Jakarta Selatan (Studi Implementasi PERMA No. 1 Tahun 2016).
11 PERMA Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
8
B. Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah merupakan beberapa permasalahan yang berkaitan
dengan tema yang sedang dibahas. Ragam masalah yang akan muncul
dalam latar belakang di atas, akan penulis paparkan beberapa diantaranya,
yaitu:
1. Bagaimana Penerapan Mediasi Dalam Perkara Perceraian di
Pengadilan Agama Jakarta Selatan Dalam Teori dan Praktik?
2. Bagaimana Efektifitas Peran Mediator Dalam Penyelesaian Perkara
Perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Selatan?
3. Bagaimana Perbandingan Antara Lembaga Mediasi di Indonesia dan
Luar Negeri?
4. Faktor-Faktor Apa Saja Yang Melatar Belakangi Terjadinya
Keberhasilan dan Kegagalan Dalam Peroses Mediasi?
5. Apakah Perlu Dibentuk Suatu Badan di Luar Pengadilan Untuk
Membantu Peran Mediator Dalam Menjalankan Tugasnya?
6. Bagaimana Cara Mengoptimalkan Peran Mediator di Pengadilan
Agama Jakarta Selatan dan Apakah Telah Sesuai PERMA Nomor 1
Tahun 2016 Dalam Penerapannya di Pengadilan Agama Jakarta
Selatan?
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Dari pemaparan di atas dan untuk menghindari pembahasan yang
melebar dan kurang sesuai dengan judul, dalam hal ini agar pembahasan ini
menghasilkan pembahasan yang obyektif dan terarah, dalam penulisan ini
penulis membatasi masalah pada ruang lingkup mediasi.
Namun yang menjadi fokusnya disini adalah efektifitas mediator,
faktor apa saja yang menjadi penghambat dalam kegagalan pada proses
mediasi, dan perlukah dibentuk suatu badan di luar pengadilan untuk
membantu memaksimalkan peran mediator dalam menjalankan tugasnya.
2. Rumusan Masalah.
9
Maka permasalahan yang akan penulis uraikan yaitu, bagaimana
efektifitas mediasi dalam penyelesaian perkara perceraian dan optimalisasi
peran Mediator di Pengadilan Agama Jakarta Selatan?
D. Tujuan Penelitian
Dari pemaparan rumusan di atas dapat penulis ambil tujuan
peneletian yaitu, untuk mengetahui bagaimana efektifitas mediasi dalam
penyelesaian perceraian dan optimalisasi peran Mediator di Pengadilan
Agama Jakarta Selatan.
E. Tinjauan Kajian Terdahulu
Dalam tujuan pustaka ini bahwa penulis jika merujuk kepada
PERMA Nomor 1 Tahun 2008 merupakan revisi dari PERMA No. 2 Tahun
2003. Yang kemudian PERMA No. 1 Tahun 2008 ini juga direvisi oleh
PERMA Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perosedur Mediasi di Pengadilan.
Memiliki tujuan fungsi secara umum sama yaitu upaya mediator dalam
mendamaikan para pihak yang berperkara.
Akan tetapi pada setiap perubahan PERMA yang dilakuakan pasti
mempunyai dasar tersendiri, sebagai upaya untuk melengkapi dari PERMA
sebelumnya. Karena zaman yang selalu berubah dan permasalahan yang
terjadi juga begitu komplek. Maka dari itu sudah selayaknya ada peraturan
baru yang mengatur.
Penulis juga menyadari telah ada sebelumnya dan telah banyak
kajian yang membahas tentang penerapan dan optimalisasi fungsi mediator
dalam pengadilan-pengadilan agama yang tersebar diberbagai wilayah
Indonesia, terlebih ada pula di Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
Akan tetapi penelitian terdahulu itu mengacu kepada PERMA
Mediasi sebelumya. Namun disini penulis memiliki pandangan yang
berbeda karena penulis mengacu kepada PERMA terbaru, yaitu PERMA
Nomor 1 Tahun 2016. Berikut pembahasan-pembahasan terdahulu akan
penulis paparkan pada tabel berikut:
10
NO IDENTITAS SUBSTANSI PEMBEDA
1 Nama : Nur
Hidayat
Jurusan/prodi : Hukum
Keluarga
Tahun : 1432H/
2011 M
Judul :
“Efektifitas Mediasi di
Pengadilan Agama
(Studi Implementasi
Perma No. 1 Tahun 2008
tentang Prosedur Mediasi
di Pengadilan Agama
Bekasi)”
Pada judul skripsi tersebut
hanya membahas tentang
faktor-faktor pengahmbat
dan pendukung proses
mediasi di Pengadilan
Agama, yang mana dalam
kenyataannya banyak di
Pengadilan Agama yang
tidak sesuai dengan
PERMA tentang mediasi.
Dan dalam proses
penerapannya juga berbeda-
beda.
Perbedaannya dengan
skripsi yang penulis tulis
adalah dalam skripsi yang di
tulis oleh Nur Hidayat lebih
menekankan kepada faktor
penghambat dan
pendukung, sedangkan
penulis lebih meneliti
tentang keefektifan mediasi
di Pengadilan Agama
Jakarta Selatan, apakah
berhasil guna atau tidaknya
sesuai PERMA Nomor 1
Tahun 2016.
2 Nama : Chouru -
nnisya
Jurusan/prodi : Hukum
Keluarga
Tahun : 1437 H/
2016 M
Judul :
“Optimalisasi Peranan
Mediator Dalam Rangka
Meminimalisir
Perceraian di Pengadilan
Agama Depok”
Pada judul skripsi tersebut
hanya membahas tentang
pengoptimalisasian peranan
mediator dalam
menyelesaikan perkara
mediasi dalam rangka untuk
meminimalisir terjadinya
angka perceraian.
Perbedaannya adalah pada
skripsi yang penulis tulis
lebih ditekankan kepada
fungsi lembaga di luar
pengadilan, untuk bisa
dioptimalkan dalam
menekan angka perceraian.
3 Nama : Suaeb
Jurusan/prodi : Perban -
dingan Mazhab Hukum
Tahun : 1427 H/
2006 M
Judul :
“Peran Hakim Dalam
Mendamaikan Perkara
Perceraian di Pengadilan
Agama Bekasi”
Menjelaskan tentang
perceraian yang terdiri dari
pengertian perceraian,
sebab perceraian dan akibat
yang ditimbulkan dari
perceraian. Kemudian
membahas tentang upaya
perdamaian dalam perkara
cerai di Pengadilan Agama,
pengertian perdamaian,
maksud perdamaian dalam
perceraian, serta tekhnik
dan tatacara hakim dalam
mendamaikan para pihak
pada kasus perceraian.
Dalam skripsi yang penulis
tulis ini lebih ditekankan
peran Mediator yang
mendamaikan para pihak
dalam artian penulis lebih
melihat dari segi objeknya,
yaitu mediasi yang
dilaksanakannya, berhasil
atau tidak. Sesuai dengan
PERMA Nomor 1 Tahun
2016.
11
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penilitian adalah ini adalah dengan cara menggunakan jenis
penelitian kualitatif, yaitu menggunakan pemusatan kepada perinsip-
perinsip umum yang mendasari kepada perwujudan satuan-satuan gejala
dalam kehidupan manusia.12
2. Pendekatan Penelitian
Adapun jenis penelitian yang digunakan adalah studi kasus, yaitu
penelitian bersifat pendekatan survei fakta dan melakukan observasi
langsung serta melakuklan wawancara kepaada Mediator.
3. Sumber Data
Dalam penyusunan skripsi ini penulis menggunakan dua jenis
sumber data yaitu:
a. Data Primer
Data primer adalah data yang secara langsung diperoleh dari
sumber data pertama di lokasi penelitian atau obyek penelitian.13
Atau dengan kata lain adalah sumber data penelitian yang diperoleh
secara langsung dari sumber aslinya yang berupa wawancara, jajak
pendapat dari individu atau kelompok (orang) maupun hasil
observasi dari suatu obyek, kejadian atau hasil pengujian (benda).
Dengan kata lain, peneliti membutuhkan pengumpulan data dengan
cara menjawab pertanyaan riset (metode survei) atau penelitian
benda (metode observasi).14
12 File:///C:/Users/ACER/Downloads/1576-3030-1-SM.pdf Jumat, 17/11/2017.
Pkl. 09:17 WIB 13 Modul Perancangan Undang-Undang, (Jakarta: Sekretaris Jendral DPR RI,
2008), h. 7.
14 https://www.kanalinfo.web.id/2016/10/pengertian-data-primer-dan-data-
sekunder.html Jumat, 17/11/2017. Pkl. 09:17 WIB
12
b. Data Sekunder
Pengertian data sekunder adalah sumber data penelitian yang
diperoleh melalui media perantara atau secara tidak langsung yang
berupa buku, catatan, bukti yang telah ada, atau arsip baik yang
dipublikasikan maupun yang tidak dipublikasikan secara umum.
Dengan kata lain, peneliti membutuhkan pengumpulan data dengan
cara berkunjung ke perpustakaan, pusat kajian, pusat arsip atau
membaca banyak buku yang berhubungan dengan penelitiannya.15
4. Teknik Pengumpulan Data
Karena penelitian ini menggunakan metode kualitatif, maka teknik
yang digunakan adalah dengan metode wawancara. Wawancara
dilakuakn kepada pihak yang terlibat dalam proses mediasi. Dan
melakukan observasi langsung ke Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
Selain itu penelitian ini menggunakan metode documenter untuk
mendapatkan data yang lebih lengkap. Teknik ini sanagat penting,
karena beberapa materi terdapat dalam buku, jurnal, arsip, dan
dokumen. Dalam upaya pengumpulan data yang dikumpulkan,
digunakanlah metode sebagai berikut:
a) Metode Dokumentasi
Metode dokumentasi adalah mencari hal-hal variable berupa
catatan, transkip, buku, surat kabar, media online, majalah prasasti,
notulen, rapat, agenda, dan sebagainya.16
b) Metode Interview
Metode interview adalah sebuah dialog yang dilakukan oleh
pewawancara untuk memperoleh informasi dari terwawancara.
Dalam penyusunan skripsi ini penulis akan melakukan wawancara
15 https://www.kanalinfo.web.id/2016/10/pengertian-data-primer-dan-data-
sekunder.html Jumat, 17/11/2017. Pkl. 09:17 WIB 16 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Pustaka Pelajar,
1992), h. 201.
13
kepada hakim mediator maupun mediator non hakim dan juga
kepada para pakar hukum lainnya.
c) Landasan Teori
Landasan teori yang penulis gunakan dalam penulisan
skripsi ini, yaitu menggunakan teori analisis tentang efektifitas
mediasi dalam penyelesaian perkara perceraian dan optimalisasi
peran mediator di Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
Secara etimologi efektifitas berasal dari kata efektif, dalam
bahasa inggris effectife, dalam Kamus John M. Echols dan Hassan
Shadily artinya adalah berhasil dan ditaati.17 Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, efektif artinya “dapat membawa hasil, berhasil
guna” tentang usaha atau tindakan. Dapat berarti “sudah berlaku”
tentang undang-undang atau peraturan. Artinya usaha yang
dilakukan oleh seseorang itu harus benar-benar mencapai apa yang
diharapkan, sehingga bisa meraih hasil yang memuaskan yang
sesuai keinginan.18
Sedangkan secara terminologi efektivitas adalah hasil
membuat keputusan yang mengarahkan melakukan sesuatu dengan
benar, yang membantu memenuhi misi suatu perusahaan atau
pencapaian tujuan yang diharapkan, artinya efektivitas adalah
keadaan atau kemampuan berhasilnya suatu pekerjaan yang
dilakuakan oleh manusia untuk memberikan sesuatu yang
diharapkan dengan target pencapaian yang diinginkan.19
17 John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1996), h. 207.
18 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi
Ketiga, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), cet. Ke-2.
19 Wijaya, Amin Tunggal, Manajemen suatu Pengantar, (Jakarta: Ribeka Cipta
Jaya, 1993), h. 32.
14
G. Sitematika Penulisan
Sistematika merupakan pola dasar untuk mengarahkan suatu tulisan
dalam pembahasan skripsi berbentuk bab dan sub bab yanng saling
berkaitan satu sama lainnya, dari setiap permasalahan yang dijadikan objek
penelitian.
Pertama, pendahuluan. Yaitu memuat latar belakang masalah,
identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan
penelitian, tinjauan kajian terdahulu, metode penelitian, dan sistematika
penulisan.
Kedua, pembahasan. Yaitu meliputi sejarah dan perkembangan
mediasi di Indonesia, pengertian mediasi, dasar hukum mediasi, mediator,
dan mediasi menuju asas peradilan cepat dan biaya ringan.
Ketiga, berisi tentang profil Pengadilan Agama Jakarta Selatan
yakni meliputi sejarah singkat dan letak geografis, visi dan misi, struktur
organisasi, sarana dan prasarana, dan kewenangan pengadilan.
Keempat, berisi tentang bagaimana efektifitas mediasi dalam
penyelesaian perkara perceraian, optimalisasi peran mediator di Pengadilan
Agama Jakarta Selatan, dan analisis penulis terhadap efektifitas mediasi
dalam penyelesaian perkara perceraian dan optimalisasi peran mediator di
Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
Kelima, berisi penutup yang memuat kesimpulan dan rekomendasi.
15
BAB II
MEDIASI DALAM PENGERTIAN DAN DASAR HUKUM
A. Sejarah dan Perkembangan Mediasi di Indonesia
Mediasi adalah satu diantara sekian banyak alternatif penyelesaian
sengketa di luar pengadilan (non litigasi) yang dapat juga berwujud mediasi
pengadilan (court mediation). Penyelesaian konflik (sengketa) secara damai
sebenarnya telah dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia
berabad-abad tahun lalu. Masyarakat Indonesia merasakan penyelesaian
sengketa secara damai telah mengantarkan mereka pada kehidupan yang
harmonis, adil, seimbang dan terpeliharanya nilai-nilai kebersamaan
(komunitas) dalam masyarakat.20
Tujuan utama dari mediasi sendiri adalah membantu mencarikan
jalan keluar atau alternatif penyelesaian atas sengketa yang timbul diantara
para pihak yang disepakati dan dapat diterima oleh para pihak yang
bersengketa. Dalam mediasi ini yang hendak dicapai bukanlah mencari
kebenaran atau dasar hukum yang ditetapkan, namun kepada penyelesaian
masalah.21
Mediasi, mendapat pengaturan sendiri dalam produk hukum Hindia
Belanda maupun dalam produk hukum Indonesia setelah merdeka hingga
saat ini. Pengaturan alternatif sengketa dalam aturan hukum amat penting,
mengingat Indonesia adalah negara hukum (rechsstaat). Mediasi sebagai
institusi penyelesaian sengketa dapat dilakukan oleh hakim (aparatur
negara) di pengadilan atau pihak lain di luar pengadilan, sehingga
keberadaannya memerlukan aturan hukum.22
20 Dwi Rezki Sri Astarini, Mediasi Pengadilan Salah Satu Bentuk Penyelesaian
Sengketa Berdasarkan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, Biaya Ringan, (Bandung: P.T.
Alumni, 2013), h. 81.
21 Rachmadi Usman, Mediasi di Pengadilan Dalam Teori dan Praktik, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2012), h. 67.
22 Dwi Rezki Sri Astarini, Mediasi Pengadilan Salah Satu Bentuk Penyelesaian
Sengketa Berdasarkan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, Biaya Ringan, (Bandung: P.T.
Alumni, 2013), h. 82.
16
Berikut penjelasan proses mediasi, sebagai suatu perbandingan pada
masa kolonial Belanda, masa kemerdekaan, hingga perbandingan proses
mediasi di Australia dan Indonesia:
1. Masa Kolonial Belanda
Pada masa kolonial Belanda, pengaturan penyelesaian sengketa
melalui upaya damai lebih banyak ditujukan pada proses damai di
lingkungan peradilan, sedangkan penyelesaian sengketa di luar pengadilan,
kolonial Belanda cendrung memberi kepada hukum adat. Pada zaman itu
hakim diharapkan mangambil peran maksimal dalam proses mendamaikan
para pihak yang bersengketa.
Ketentuan dalam Pasal 130 HIR/154 R.Bg/31 Rv mengambarkan
bahwa penyelesaian sengketa melalui jalur damai merupakan bagian dari
proses penyelesaian sengketa di Pengadila. Upaya damai menjadi
kewajiban hakim, dan ia tidak boleh memutus perkara sebelum upaya damai
dilakukan terlebih dahulu. Bila kedua belah pihak setuju menempuh jalur
damai, hakim harus segera melakukan mediasi terhadap kedua belah pihak,
sehingga kedua belah pihak menemukan bentuk-bentuk kesepakatan yang
dapat menyelesaikan sengketa melalui proses damai dikenal dengan istilah
dading. Peraturan-peraturan pada masa kolonial Belanda sebagaimana
diatur dalam Pasal 615-651 Rv (Reglement op de Rechtsvording, Staatsblad
1874:54) atau Pasal 377 HIR (Het Herziene Indonesich Reglement,
Staatsblad 1941:44) juga mengatur penyelesaian sengketa melalui upaya
damai di luar pengadilan. Namun, upaya tersebut baru mengenalkan istilah
arbitrase.23
2. Masa Kemerdekaan Sampai Sekarang
Indonesia adalah negara berdasarkan hukum, Indonesia sendiri
memakai pengertian sistem ‘hukum Pancasila’ untuk mewadahi berbagai
nilai karakteristik yang ingin diwadahi oleh sistem hukum kita seperti
23 Dwi Rezki Sri Astarini, Mediasi Pengadilan Salah Satu Bentuk Penyelesaian
Sengketa Berdasarkan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, Biaya Ringan, (Bandung: P.T.
Alumni, 2013), h. 82-83.
17
kekeluargaan, kebapakan, keserasian, keseimbangan, dan musyawarah.
Nilai-nilai tersebut merupakan akar-akar dari budaya hukum kita.24
Pasal 24 UUD 1945 ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada
dibawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama,
Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara dan oleh Mahkamah
Konstitusi. Ketentuan pasal 24 UUD 1945 mengisyaratkan bahwa
penyelesaian sengketa yang terjadi dikalangan masyarakat dilakukan
melalui jalur litigasi. Meskipun demikian, sitem hukum Indonesia juga
membuka peluang menyelesaikan sengketa di luar jalur pengadilan (non
litigasi). Masih ketentuan dalam Undang-undang kekuasaan Kehakiman
dalam Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Nomor 48 Tahun
2009.
Disebutkan peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya
ringan. Pada praktiknya, penerapan asas sederhana, cepat dan biaya ringan
mengalami banyak kendala, karena banyaknya perkara yang masuk,
terbatasnya tenaga hakim, dan minimnya dukungan fasilitas bagi lembaga
peradilan tingkat pertama yang wilayah hukumnya meliputi kabupaten/kota.
Penumpukan perkara ini tidak hanya terjadi pada tingkat pertama dan
banding, tetapi juga pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung. Hal ini
disebabkan sistem hukum di Indonesia memberikan peluang setiap perkara
dapat dilakukan upaya hukum, baik banding, kasasi, bahkan peninjauan
kembali.25
Pengintegrasian mediasi dalam proses beracara di pengadilan dapat
mengintensifkan para pihak menempuh jalur damai penyelesaian sengketa
pada tingkat pertama. Pelaksanaan mediasi di pengadilan juga akan
mempercepat proses penyelesaian sengketa, serta memberikan akses kepada
24 Satjipto Rahardjo, Sisi-Sisi Lain Dari Hukum di Indonesia, (Jakarta: PT
Kompas Media Nusantara, 2003), h. 10. 25 Dwi Rezki Sri Astarini, Mediasi Pengadilan Salah Satu Bentuk Penyelesaian
Sengketa Berdasarkan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, Biaya Ringan, (Bandung: P.T.
Alumni, 2013), h. 84-85.
18
para pihak untuk memperoleh keadilan melalui penyelesaian sengketa yang
memuaskan. Kelembagaan mediasi di lembaga peradilan juga bermanfaat
secara kelembagaan dimana mediasi dapat dijadikan instrumen efektif
untuk mengatasi penumpukan perkara di pengadilan, terutama pada
pengadilan tingkat banding dan keadilan (acces to juistice) secara cepat
kepada masyarakat.26
3. Mediasi di Australia
Dari kunjungan tim Pokja Mediasi ke sejumlah lembaga dan diskusi
dengan para ahli dan praktisi penanganan alternatif penyelesaian sengketa
di Australia, ada satu kesamaan yang ditemukan. Mediasi dan konsiliasi
yang dijalankan di negeri Kanguru ini menunjukkan tingkat kesuksesan
yang tinggi. Beberapa lembaga di Australia seperti Family Court of
Australia, Magistrate Court of Victoria dan Neighbourhood Community
Justice of Victoria, semuanya melaporkan tingkat keberhasilan mediasi
yang tinggi. Lembaga lain seperti Dispute Settlement Centre of Victoria,
Roundtable Dispute Management of Victoria Legal Aid, dan Australian
Human Rights Commission di Sydney, juga menyebutkan hal yang sama.
Begitu juga dengan mediasi yang dijalankan oleh Community Justice Center
(CJC) di Negara bagian New South Wales.
Tingkat keberhasilan mediasi lembaga ini sangat tinggi, mencapai
angka 80 %. Hal itu dipaparkan oleh Jocelyn Luff, Practice Manager of CJC,
di gedung Family Court of Australia di Sydney. CJC bukan bagian dari
pengadilan tapi merupakan lembaga independen yang didirikan pemerintah
bagian New South Wales. Lembaga ini diundang ke Family Court Sydney
atas bantuan Leisha Lister, Executive Adviser Family Court of Australia.
Peran Leisha sangat membantu tim Pokja Mediasi untuk fokus pada target
kunjungan kerja. CJC secara penuh didanai oleh pemerintah. Sejak resmi
berdiri pada tahun 1983, lembaga ini secara konsisten menunjukkan tingkat
26 Syahrizal Abbas, Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum
Nasional, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), h. 301-302.
19
keberhasilan mediasi yang tinggi. Tingkat kepuasan masyarakat atas
pelayanan yang diberikan juga.27
Seluruh warga New South Wales dapat memanfaatkan pelayanan
mediasi dan manajemen konflik yang disediakan CJC. Layanan yang
diberikan pun bersifat gratis. Tidak ada biaya yang dipungut dari
masyarakat. Tidak hanya gratis, pelayanan mediasi juga dilaksanakan di
dekat tempat tinggal para pihak yang bersengketa layaknya sidang keliling
yang dijalankan pengadilan agama di Indonesia. Model pelayanan mediasi
yang didirikan oleh CJC New South Wales ini merupakan yang pertama
eksis di Australia. Karena kesuksesannya, kemudian banyak negara bagian
lainnya di Australia yang sekarang telah mengadopsi pelayanan serupa.28
a) Tiga Faktor Suksesnya Mediasi di Australia
Sedikitnya ada tiga faktor yang memberikan kontribusi atas
tingginya tingkat kesuksesan mediasi di Australia yaitu:
Pertama, pelayanan mediasi secara cuma-cuma. Dari sejumlah
lembaga pelaksana mediasi yang dikunjungi, semuanya memberikan
jasa pelayanan mediasi secara gratis. Lembaga-lembaga ini semuanya
memang didanai oleh negara dan negara menentukan bahwa jasa yang
diberikan harus bebas dari pungutan biaya. Dengan gratisnya pelayanan
mediasi yang diberikan, masyarakat benar-benar menjadikan mediasi
dan juga konsiliasi menjadi alternatif penyelesaian sengketa yang
sesungguhnya. Apalagi jika dihubungkan dengan faktor kedua, yakni
mahalnya biaya berperkara di pengadilan Australia. Belum lagi jika
harus membayar jasa pengacara yang melangit.
Masyarakat tentu akan memilih jasa pelayanan yang gratis dengan
hasil yang sesuai dengan harapan mereka karena berdasarkan
kesepakatan daripada harus menang dan kalah oleh putusan pengadilan
27 https://badilag.mahkamahagung.go.id/seputar-ditjen-badilag/seputar-ditjen-
badilag/kenapa-mediasi-begitu-sukses-di-australia Sabtu, 17/02/2018. Pkl. 10:17 WIB
28 https://badilag.mahkamahagung.go.id/seputar-ditjen-badilag/seputar-ditjen-
badilag/kenapa-mediasi-begitu-sukses-di-australia Sabtu, 17/02/2018. Pkl. 10:17 WIB
20
yang membutuhkan biaya tinggi dan kemungkinan waktu yang cukup
lama.
Kedua, keterlibatan penuh dari eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Pemerintah Australia terlibat penuh dalam usaha tersedianya lembaga
yang menangani alternatif penyelesaian sengketa. Baik di tingkat
federal maupun di negara bagian, keterlibatan dan kepedulian
pemerintah sangat nyata. Hal itu dapat dilihat dari banyaknya lembaga
penyelesaian alternatif sengketa yang didirikan dan didanai oleh
pemerintah. Baik lembaga yang bersifat publik maupun swasta.
Alternatif penyelesaian sengketa menjadi sesuatu yang sangat familiar
di telinga masyarakat.
Begitu juga dengan keterlibatan legislatif yang mendukung dengan
dibuatkannya peraturan perundang-undangan yang mendukung
komitmen pemerintah dan masyarakat.Yudikatifnya juga begitu, banyak
bentuk alternatif penyelesaian sengketa yang dijalankan sebelum
perkara disidangkan, tidak hanya mediasi.
Ketiga, adalah kultur masyarakat, aturan yang jelas dan penegakkan
hukum yang baik. Budaya masyarakat yang rata-rata patuh pada hukum
juga sangat mempengaruhi keberhasilan mediasi. Ditambah dengan
aturan yang jelas dan penegakannya yang begitu kuat.
Berkaca dari keberhasilan mediasi di Australia, nampaknya masih
banyak yang harus dibenahi agar mediasi yang diinisiasi oleh
Mahkamah Agung dan pengadilan di Indonesia berjalan dan berhasil
sesuai harapan.29
b) Perbedaan Mediasi di Indonesia dan Australia
Dalam konteks Indonesia, peraktik penyelesaian sengketa melalui
mediasi ada dua cara yaitu: melalui lembaga peradilan (judikasi) dan
lembaga non peradilan. Di dalam lembaga peradilan yang berlaku di
Indonesia, penyelesaian sengketa melalui mediasi wajib dilakukan
29 https://badilag.mahkamahagung.go.id/seputar-ditjen-badilag/seputar-ditjen-
badilag/kenapa-mediasi-begitu-sukses-di-australia Sabtu, 17/02/2018. Pkl. 10:17 WIB
21
sebelum memasuki pokok perkara, baik itu oleh Peradilan Agama
maupun Peradilan Umum. Sedangkan penyelesaian sengketa yang
melalui lembaga non peradilan, yaitu lembaga khusus yang menangani
masalah penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau disebut juga
Alternative Dispute Resolution (ADR) melalui cara negosisasi, mediasi,
konsiliasi dan penetapan ahli. Akan tetapi, biasanya penyelesaian
sengketa melalui ADR ini lebih banyak dalam bidang bisnis.
Penyelesaian sengketa melalui mediasi dalam lembaga ini sifatnya tidak
formal, sukarela, melihat ke depan, kooperatif dan berdasarkan
kepentingan.30
Mediasi yang dilakukan di Pengadilan diharapkan tidak hanya
meringankan beban pengadilan, tetapi juga menolong rakyat banyak
agar tidak berperkara terlalu lama di Pengadilan sehingga ada peran
fungsi sosial dalam mediasi ini.31
Di Australia praktik mediasi diatur lebih koneksitas dengan
pengadilan (mediation connected to the court). Pada umumnya yang
bertindak sebagai mediator adalah pejabat pengadilan. Dengan
demikian, compromise solution yang diambil bersifat compulsory
kepada kedua belah pihak. Namun agar resolusinya memiliki potensi
memaksa, harus meminta lebih dulu persetujuan para pihak. Dan jika
disetujui, resolusi mengikat dan tidak ada daya apapun yang dapat
mengurangi daya kekuatannya.32
Urgensi dari perbandingan proses mediasi Australia dan Indonesia,
yaitu untuk menjadi tolak ukur bagaimana keberhasilan proses mediasi
di Indonesia. Karena dari berbagai sumber penelitian proses
keberhasilan mediasi di Australia sangat baik. Hal ini bisa dijadikan
30 Rachmadi Usman, Mediasi di Pengadilan Dalam Teori dan Praktik, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2012), h. 62.
31 Dwi Rezki Sri Astarini, Mediasi Pengadilan Salah Satu Bentuk Penyelesaian
Sengketa Berdasarkan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, Biaya Ringan, (Bandung: P.T.
Alumni, 2013), h. 191.
32 Rachmadi Usman, Mediasi di Pengadilan Dalam Teori dan Praktik, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2012), h. 64.
22
contoh bagi proses mediasi di Indonesia agar kedepannya bisa lebih
baik.
B. Pengertian Mediasi
Istilah mediasi cukup gencar dipopulerkan oleh para akademisi dan
praktisi akhir-akhir ini. Para ilmuan berusaha mengungkap secara jelas
makna mediasi dalam berbagai literatur ilmiah melalui riset dan studi
akademik. Dalam penjelasan berikut, akan dikemukakan makna mediasi
secara etimologi dan terminologi yang diberikan oleh para ahli. Secara
etimologi, istilah mediasi berasal dari bahasa Latin. Mediare yang berarti
berada di tengah. Makna ini menunjuk pada peran yang ditampilkan pihak
ketiga sebagai mediator dalam menjalankan tugasnya menengahi dan
menyelesaikan sengketa antara para pihak. ‘Berada di tengah’ juga
bermakna mediator harus berada pada posisi netral dan tidak memihak
dalam menyelesaikan sengketa.33
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata mediasi diberi arti
sebagai proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian sebagai
penasihat. Pengertian yang diberikan Kamus Besar Bahasa Indonesia
mengandung tiga unsur penting. Pertama, mediasi merupakan proses
penyelesaian perselisihan atau sengketa yang terjadi antara dua pihak atau
lebih. Kedua, pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa adalah pihak-
pihak yang berasal dari luar pihak yang bersengketa. Ketiga, pihak yang
terlibat dalam penyelesaian sengketa tersebut bertindak sebagai penasihat
dan tidak memilliki kewenangan apa-apa dalam pengambilan keputusan.34
Selain itu, kata “mediasi” juga berasal dari bahasa Inggris
“mediation”, yang artinya penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak
ketiga sebagai penengah, atau penyelesaian sengketa secara menengahi,
33 Syahrizal Abbas, Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum
Nasional, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), h. 1. 34 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988), h.
569.
23
yang menengahinya dinamakan mediator atau orang yang menjadi
penengah.35
Dalam hukum Islam, secara terminologi perdamaian disebut dengan
istilah Islah (As-sulh) yang menurut bahasa adalah memutuskan suatu
persengketaan antara dua pihak. Menurut syara’ adalah suatu akad dengan
maksud untuk mengakhiri suatu persengketaan antara dua pihak yang saling
bersengketa.36
Sedangkan secara terminologi mediasi pada dasarnya negosiasi
yang melibatkan pihak ketiga yang memiliki keahlian mengenai prosedur
mediasi yang efektif, dapat membantu dalam konflik untuk
mengordinasikan aktivitas mereka sehingga lebih efektif dalam proses
tawar-menawar. Bila tidak ada negosiasi, tidak ada mediasi.37 Dan
ditegaskan pula oleh PERMA Nomor 1 Tahun 2016 bahwa mediasi adalah
cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh
kesepakatan para pihak dengan dibantu ole Mediator.38
Sebagaimana diketahui, mediasi adalah sebuah intervensi terhadap
sebuah negosiasi atau atas suatu konflik yang dilakukan oleh pihak ketiga
yang tidak memihak. Oleh karena itu, mediasi sering dinilai sebagai
perluasan dari proses negosiasi. Hal itu disebabkan para pihak yang tidak
mampu menyelesaikan sengketanya sendiri menggunakan jasa pihak ketiga
yang bersikap netral untuk membantu mereka mencapai suatu kesepakatan.
Sedangkan negosiasi sendiri merupakan komunikasi langsung yang
didesain untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak
mempunyai kepentingan yang sama atau berbeda.39
35 Rachmadi Usman, Mediasi di Pengadilan Dalam Teori dan Praktik, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2012), h. 24.
36 Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer (Arab Indonesia),
(Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1999) h. 1188. Lihat Juga Sayyid Sabiq, Fiqih As
Sunnah, Juz III (Beirut: Dara al Fikr, 1977), h. 305. 37 Nurmaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di
Pengadilan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h. 28.
38 PERMA No. 1 Tahun 2016 Pasal 1 ayat (1)
39 Gatot Soemarno, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2006), h. 121-123.
24
Oleh karena itu budaya suatu bangsa ditentukan oleh nilai-nilai
tertentu yang menjadi acuan dalam memperaktikkan hukumnya. Problema
yang dihadapi oleh bangsa-bangsa di luar Eropa adalah bahwa nilai-nilai
yang ada dalam hukum yang mereka pakai, yaitu hukum modern, tidak
persis sama dengan yang ada dalam masyarakat.40
Alasan yang melatarbelakangi penerbitan Peraturan Mahkamah
Agung yaitu untuk mengatasi penumpukan perkara, proses mediasi lebih
cepat, kurang formal dan teknis, biaya proses mediasi lebih murah dan dapat
memberikan akses kepada para pihak yang bersengketa untuk memperoleh
keadilan atau dapat memberi penyelesaian yang lebih memuaskan atas
penyelesaian sengketa. Mediasi menurut Peraturan Mahkamah Agung
adalah proses penyelesaian sengketa di Pengadilan melalui perundingan
antara pihak yang berperkara dengn dibantu oleh Mediator yang memiliki
kedudukan dan fungsi sebagai pihak ketiga yang netral dan tidak memihak
(imparsial) dan sebagai pembantu atau penolong (helper) untuk mencari
berbagai kemungkinan atau alternatif penyelesaian sengketa yang terbaik
dan saling menguntungkan kepada para pihak.41
Dalam proses mediasi ini terjadi pemufakatan di antara para pihak
yang bersengketa, yang merupakan kesepakatan (konsensus) bersama yang
diterima para pihak yang besengketa. Penyelesaian sengketa dengan dibantu
oleh mediator. Penyelesaian sengketa melalui mediasi tersebut hasilnya
dituagkan dalam kesepakatan tertulis, yang juga bersifat final dan mengikat
para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik. Penyelesaian sengketa
melalui mediasi dapat dicapai atau dihasilkan jika semua pihak yang
bersengketa dapat menerima penyelesaiannya itu.
Namun, ada kalanya beberapa faktor para pihak tidak mampu
mencapai penyelesaian, sehingga mediasi berakhir dengan jalan buntu
40 Satjipto Rahardjo, Sisi-Sisi Lain Dari Hukum di Indonesia, (Jakarta: PT
Kompas Media Nusantara, 2003), h. 96. 41 M. Hatta Ali, Peradilan Sederhana Cepat & Biaya Ringan Menuju Keadilan
Restoratif, (Bandung: PT. Alumni, 2012), h. 359-360.
25
(deadloc, stalemate). Situasi ini yang membedakan mediasi dari litigasi.
Litigasi pasti berkhir pada penyelesaian hukum, berupa putusan hakim,
meskipun penyelesaian hukum belum tentu mengakhiri sebuah sengketa,
karena ketegangan di antara para pihak masih berlangsung dan pihak yang
kalah selalu tidak puas.42
C. Dasar Hukum Mediasi
1. Pola Mediasi Dalam Islam
Hukum Islam merupakan bagian dari agama Islam. Sebagai sistem
hukum, sistem hukum Islam tidak hanya hasil permufakatan dan budaya
manusia di suatu tempat pada suatu masa. Al-Qur’an menjelaskan bahwa
konflik dan sengketa yang terjadi di kalangan umat manusia adalah suatu
realitas. Hal tersebut dijelaskan, di dalam Surah Al-Hujarat: 9.
هما على األخرى صلحوا بينهما فإن بغت إحدا ن من المؤمنين اقتتلوا فأ ن طآئفتاوإ
تبغي حتى تفىء إلى أمر هللا فإن فآءت فأصلحوا بينهما بالعدل وأقسطوا فقاتلوا التي
(9)الحجرات: . يحب المقسطين إن هللا
Artinya: “Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu
berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya, tapi kalau jika yang
satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar
perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah.
Kalau dia telah surut, damaikanlah keduanya menurut keadilan, dan
hendaklah kamu berlaku adil. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang berlaku adil”. (QS. Al-Hujarat: 9).
Manusia sebagai khilafah-Nya di bumi dituntut untuk
menyelesaikan sengketa, karena manusia dibekali akal dan wahyu dalam
menata kehidupannya. Manusia harus mencari dan menemukan pola
penyelesaian sengketa sehingga penegakan keadilan dapat terwujud.
Selanjutnya di dalam Al-Qur’an Allah menegaskan pada surat an-Nisa: 35.
ن أهلهآ ن أهله وحكما م إصالحا يوفق إن يريدآ وإن خفتم شقاق بينهما فابعثوا حكما م
(35)النساء: هللا بينهمآإن هللا كان عليما خبيرا
42 Rachmadi Usman, Mediasi di Pengadilan Dalam Teori dan Praktik, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2012), h. 23-25.
26
Artinya: “Dan jika kamu khawatir terjadi persengketaan antara
keduanya, maka kirimlah seorang juru damai dari keluarga laki-laki dan
seorang juru damai dari keluarga perempuan. Jika keduanya (juru damai itu)
bermaksud mengadakan perdamaian, niscaya Allah memberi taufik kepada
suami istri itu. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.” (QS. An-
Nisa: 35).
Penegakan keadilan menurut Al-Qur’an dapat dilakukan melalui
proses pengadilan (mahkamah) maupun di luar proses pengadilan.
Pemenuhan hak dan penegakan keadilan melalui mahkamah mengikuti
ketentuan formal yang diatur dalam ajaran Islam. Yaitu melibatkan
kekuasaan negara dalam menjalankannya. Oleh karena itu, perhatian Al-
Qur’an diberikan serius kepada orang yang mendapat kepercayaan
menegakkan keadialan di mahkamah, yaitu hakim atau qadhi. Nabi
Muhammad SAW sendiri telah menunjukkan sikap tegas, tidak
diskriminasi, memperlakukan sama para pihak yang bersengketa, sehingga
orang yang lemah dan orang yang kuat memiliki kedudukan yang sama di
mata Nabi Muhammad SAW dalam mendapatkan hak dan keadilan.43 Hal
ini ditegaskan dalam hadis Nabi Muhammad SAW.
عليه وسلم بلغه صلى هللا عنه أن رسول هللا أن عن سهل بن سعد الساعدي رضي هللا
عليه فخرج كان بينهم شيء بني عمرو بن عوف صلى هللا يصلح وسلم رسول هللا
بينهم في أناس معه .44
Artinya: “Dari Sahal ibn Sa’ad As-Sa’idi ra., bahwasanya
Rasulullah SAW. Mendengar berita bahwa dikalangan Bani Amr ibn Auf
terjadi persengketaan. Ditemani beberapa orang sahabat beliau pergi ke sana
untuk mendamaikan mereka.” (HR. Bukhori).
Dasar inilah yang membedakan hukum Islam secara fundamental
dengan hukum-hukum lain yang semata-mata lahir dari kebiasaan hasil
pemikiran atau buatan manusia belaka. Manusia harus mencari dan
43 Syahrizal Abbas, Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum
Nasional, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), h. 152-157.
44 Imam al- Bukhori, Shohih al- Bukhori, Jilid 2, (Beirut: Dar Thuq al- Najah), h.
70.
27
menemukan pola penyelesaian sengketa sehingga penegakan keadilan dapat
terwujud.45 Selanjutnya dalam Al-Qur’an Allah menegaskan dalam surat
an-Nisa: 128.
نشوزا أو إعراضا فالجناح عليهمآ أن يصلحا بينهما صلحا وإن امرأة خافت من بعلها
و لح خير ح والص كان بما تعملون وإن تحسنوا وتتقوا فإن هللا أحضرت األنفس الش
(128)النساء: خبيرا
Artinya: “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap
tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan
perdamaian yang sebenar-benarnya dan perdamaian itu lebih baik (bagi
mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu
bergaul dengan istrimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan
sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa
yang kamu kerjakan”. (QS. An-Nisa: 128).
Makna “wal shulhu khair” yakni “dan perdamaian itu lebih baik”.
Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas ra, ia berkata: “yaitu
memberikan pilihan”. Maksudnnya apabila suami memberikan pilihan
kepada istri bertahan atau bercerai, itu lebih baik daripada si suami terus
menerus mengutamakan istri yang lain daripada dirinya. Dzahir ayat ini
bahwa perdamaian di antara keduanya dengan cara istri merelakan sebagian
haknya bagi suami dan suami menerima hal tersebut, lebih baik daripada
terjadi perceraian secara total. Sebagaimana yang dilakukan Nabi
Muhammad SAW, beliau tetap mempertahankan Saudah binti Zam’ah
dengan memberikan malam gilirannya kepada ‘Aisyah RA. Beliau tidak
menceraikannya dan tetap menjadikannya sebagai istri. Hal ini ditegaskan
dalam hadis Nabi Muhammad SAW.
أكون فى مسالخها من سودة بنت زمعة عن عائشة قالت ما رأيت امرأة أحب إلى أن
من رسول هللا صلى هللا عليه وسلم فلما كبرت جعلت يومها قالت من امرأة فيها حدة
45 Syaikh Shafiyyurahman al-Mubarakfuri, Terjemahan Tafsir Ibnu Katsir, Jilid
2, cet.2, (Bogor: Pustaka Ibnu Katsir, 2008), h. 683.
28
صلى هللا فكان رسول هللا لعائشة. يومى منك قالت يا رسول هللا قد جعلت ئشة لعا
46يقسم لعائشة يومين يومها ويوم سودة. -عليه وسلم
Artinya: “Dari Aisyah RA, dia berkata, “Aku tidak pernah melihat
orang yang lebih aku sayangi dalam keteladananya daripada Saudah binti
Zam’ah yang memiliki kecerdasan.” Kata Aisyah, “Ketika Saudah telah tua,
dia memberikan jatah gilirannya dengan Rasulullah SAW kepadaku.” Ia
(Saudah) berkata, “Ya Rasulullah! Hari giliranku aku berikan kepada
Aisyah.” Dengan demikian maka Rasulullah SAW menggilir Aisyah selama
dua hari, satu hari dari jatah Aisyah sendiri dan satu hari dari jatah Saudah.”
(HR. Muslim).
Beliau melakukan hal itu agar diteladani oleh umatnya, bahwasanya
hal tersebut disyari’atkan dan dibolehkan. Hal itu lebih utama pada hak Nabi
Muhammad SAW. Kesepakatan itu lebih dicintai oleh Allah daripada
perceraian. Firman Allah (QS. An-Nisa: 128), “wal shulhu khair” yakni
“dan perdamaian itu lebih baik”, bahkan perceraian sangat dibenci Allah
SWT.47 Ayat ini berkaitan dengan perdamaian masalah perkawinan.
Salah satu prinsip yang dibebankan kepada hakim adalah prinsip
sulh (perdamaian). Hal ini yang ditegaskan oleh Khalifah Umar pada surat
yang dituliskannya kepada Abu Musa as-‘Asyari, seorang hakim di Kufah.
Kesepakatan damai (islah) tidak hanya dapat diterapkan di pengadilan,
tetapi dapat juga digunakan di luar pengadilan sebagai bentuk alternatif
penyelesaian sengketa. Penerapan sulh dapat dilakukan terhadap seluruh
sengketa baik sengketa politik, ekonomi, hukum, sosial, dan lain-lain.
Rasulullah hanya menegaskan sulh tidak boleh dilakukan jika bertujuan
menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Namun, secara
teknis dalam kasus hukum, tidak semua perkara yang diajukan ke
pengadilan dapat diselesaikan melalui jalur sulh. Yang dapat ditempuh jalur
sulh adalah perkara yang di dalamnya mengandung hak manusia (hak al-
‘ibad) dan bukan perkara yang menyangkut hak Allah (haq Allah). Maka
dapat ditarik kesimpulan bahwa konsep perdamaian (sulh) itu sama halnya
46 Imam Muslim, Shohih Muslim, Jilid 4, (Beirut: Dar al- Jail Beirut), h. 174.
47 Syaikh Shafiyyurahman al-Mubarakfuri, Terjemahan Tafsir Ibnu Katsir, Jilid
2, cet.2, (Bogor: Pustaka Ibnu Katsir, 2008), h. 683-684.
29
dengan mediasi yaitu upaya untuk mendamaikan para pihak yang
berperkara. Namun yang menjadi perbedaan disini adalah bahwa mediasi
itu istilah upaya perdamaian yang dilakukan di pengadilan dan perdamaian
(sulh) merupakan istilah upaya perdamaian yang dapat dilakukan di dalam
maupun di luar pengadilan sebagai alternatif penyelesaian sengketa.48
Penyelesaian sengketa melalui pembuktian fakta hukum dilakukan
dengan pengajuan sejumlah alat bukti oleh para pihak dalam menuntut dan
mempertahankan haknya dihadapan pengadilan. Dalam konteks ini Nabi
Muhammad SAW menyatakan: “alat bukti dibebankan kepada
penggugat.”49 Hal ini berdasarkan hadis Nabi Muhammad SAW.
البينة على المدعى واليمين على المدعى عليه .50
Artinya: “Dan mengajukan bayyinah (saksi)/(alat bukti) adalah
tugas pihak penggugat. Sedangkan mengucapkan sumpah adalah tugas
pihak tergugat.” (HR. Tirmidzi).
أن اليمين على المدعى عليه .51 Artinya: “Dan mengucapkan sumpah adalah tugas pihak tergugat.” (HR.
Bukhori).
Kemudian Allah juga berfirman pada (QS. Al-Hujarat: 9) yang telah
dituliskan di atas, seraya memerintahkan untuk mendamaikan dua kubu
kaum mukmin yang saling bertikai. Mereka tetap disebut sebagai orang-
orang beriman meski saling menyerang satu sama lain.52
Sulh adalah suatu proses penyelesaian sengketa dimana para pihak
bersepakat untuk mengakhiri perkara mereka secara damai. Hal ini
ditegaskan dalam Al-Qur’an (QS. An-Nisa/4: 128). Sulh memberikan
48 Syahrizal Abbas, Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum
Nasional, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), h. 162-163.
49 Syahrizal Abbas, Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum
Nasional, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), h. 157.
50 Imam at- Tirmidzi, Sunan at- Tirmidzi, Jilid 5, (Mesir: Mauqi’ Wizzarat al-
Awqaf), h. 324.
51 Imam al- Bukhori, Shohih al- Bukhori, Jilid 3, (Beirut: Dar Thuq al- Najah,
1422 H), h. 143.
52 Syaikh Shafiyyurahman al-Mubarakfuri, Terjemahan Tafsir Ibnu Katsir, Jilid
2, cet.2, (Bogor: Pustaka Ibnu Katsir, 2008), h. 470.
30
kesempatan para pihak untuk memikirkan jalan terbaik dalam penyelesaian
sengketa, dan mereka tidak lagi terpaku secara ketat pada pengajuan alat
bukti. Oleh karenanya, hakim harus senantiaya mengupayakan para pihak
untuk menempuh jalur damai (Islah). Sulh dilakukan secara sukarela, tidak
ada paksaan dan hakim memfaslitasi para pihak agar mereka mencapai
kesepakatan-kesepakatan demi mewujudkan perdamaian. Sulh adalah
kehendak para pihak yang bersengketa untuk membuat kesepakatan
damai.53
Dalam Al-Qur’an selanjutnya Allah menegaskan dalam surat An-
Nisa: 35.
ن أهلهآ ن أهله وحكما م إصالحا يوفق إن يريدآ وإن خفتم شقاق بينهما فابعثوا حكما م
(35)النساء: هللا بينهمآإن هللا كان عليما خبيرا
Artinya: “Dan jika kamu khawatir terjadi persengketaan antara
keduanya, maka kirimlah seorang juru damai dari keluarga laki-laki dan
seorang juru damai dari keluarga perempuan. Jika keduanya (juru damai itu)
bermaksud mengadakan perdamaian, niscaya Allah memberi taufik kepada
suami istri itu. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.” (QS. An-
Nisa: 35).
Pemahaman ataupun tafsir dari ayat di atas yaitu (dan jika kamu
khawatir timbulnya persengketaan di antara keduanya) maksudnya di antara
suami dengan istri terjadi pertengkeran (maka kirimlah/utuslah) kepada
mereka atas kerelaan kedua belah pihak (seorang penengah) yakni seorang
laki-laki yang adil (dari keluarga laki-laki) atau kaum kerabatnya (dan
seorang penengah dari keluarga wanita) yang masing-masingnya mewakili
pihak suami tentang putusannya untuk menjatuhkan talak atau menerima
khuluk atau tebusan dari pihak istri dalam putusannya untuk menyetujui
khuluk.
Yaitu permintaan cerai yang diajukan oleh istri terhadap suami
dengan memberikan ganti rugi sebagai tebusan, yakni istri memisahkan diri
dari suaminya dengan memberikan ganti rugi kepadanya. Mereka berdua
53 Syahrizal Abbas, Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum
Nasional, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), h. 160.
31
akan berusahan sungguh-sungguh dan menyuruh pihak yang aniaya supaya
sadar dan kembali, atau jika dianggap perlu untuk memisahkan antara suami
istri itu. Firman Nya: (jika mereka berdua bermaksud) maksudnya kedua
penengah itu (mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberikan taufiq
kepada mereka) artinya suami istri ditakdirkan-Nyalah mana-mana yang
sesuai untuk keduanya, apakah perbaikan atau perceraian. (Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui) segala sesuatu (Lagi Maha Mengenali) yang
bathin seperti halnya yang lahir.54
Dalam proses penegakkan hukum dan keadilan, Nabi Muhammad
SAW telah menunjukkan sikap tegas, tidak diskriminasi, memperlakukan
sama para pihak yang bersengketa, sehingga orang yang lemah dan orang
yang kuat memiliki kedudukan yang sama di mata Nabi Muhammad dalam
mendapatkan hak dan keadilan. Dalam kaitannya ini Nabi Muhammad
mengatakan: “Jika Fatimah binti Muhammad mencuri pasti akan saya
potong tangannya”. Hal ini ditegaskan dalam hadis Nabi Muhammad
SAW.
د سرقت لقطعت يدها.55 وإنى والذى نفسى بيده لو أن فاطمة بنت محم
Artinya:“ Demi dzat yang jiwaku berada ditangan-Nya, kalau
seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri, niscaya saya akan
memotong tangannya.” (HR. Muslim).
Pernyataan ini mengindikasikan bahwa kekuasaan tidak dapat
mempengaruhi penegakan hukum dan keadilan dalam Islam. Hakim dalam
islam semata-mata menegakkan hukum Allah, sehingga ia tidak dapat
dilakukan intervensi oleh kekuasaan apapun. Hakim memiliki sikap
independen dan ia akan mempertanggungjawabkan putusan itu kepada
Allah.56
54 Jalaluddin Asy-Syuyuthi, Jalaluddin Muhammad Ibn Ahmad Al-Mahally,
Terjemahan Kitab Tafsir Jalalain, (Surah an-Nisa/4: 35)
55 Imam Muslim, Shohih Muslim, Jilid 5, (Beirut: Dar al- Jail Beirut), h. 114.
56 Syahrizal Abbas, Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum
Nasional, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), h. 157.
32
Urgensi dan motivasi dari mediasi adalah agar pihak-pihak yang
berperkara menjadi damai dan tidak melanjutkan perkaranya dalam proses
pengadilan. Maka mediasi merupakan sarana untuk mempertemukan pihak-
pihak yang berperkara dengan difasilitasi oleh seorang atau lebih mediator
untuk menfilter persoalan-persoalan agar menjadi jernih dan pihak-pihak
yang bertikai mendapatkan kesadaran akan pentingnya perdamaian antara
mereka.57
2. Mediasi dalam hukum adat
Hukum adat sebagai suatu sistem hukum memiliki pola tersendiri
dalam menyelesaikan sengketa. Hukum adat memiliki karakter yang khas
dan unik bila dibandingkan sistem hukum lain. Hukum adat lahir dan
tumbuh dari masyarakat, sehingga keberadaannya bersenyawa dan tidak
dapat dipisahkan dari masyarakat. Hukum adat tersusun dan terbangun atas
nilai, kaidah, dan norma yang disepakati dan diyakini kebenarannya oleh
komunitas masyarakat adat. Hukum adat Indonesia merupakan penjelmaan
dari kebudayaan masyarakat Indonesia. Soepomo, menyebutkan bahwa
hukum adat merupakan penjelmaan dan perasaan hukum yang nyata dari
rakyat. Hukum adat dibangun dari bahan kebudayaan baik yang bersifat riil
dari bangsa Indonesia khususnya dan bangsa Melayu pada umumnya.58
Hukum dan undang-undang tidak berdiri sendiri. Ia tidak
sepenuhnya otonom dan punya otoritas absolut. Apabila kita menyoroti
kehidupan hukum suatu bangsa hanya dengan menggunakan tolak ukur
undang-undang, maka biasanya hasil yang kita peroleh tidak memuaskan.
Artinya, kita tidak dapat memperoleh gambaran tentang keadaan hukum
yang sebenarnya hanya dengan membaca peraturan perundangannya saja.
57 Rachmadi Usman, Mediasi di Pengadilan Dalam Teori dan Praktik, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2012), h. 39.
58 Syahrizal Abbas, Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum
Nasional, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), h. 235.
33
Diperlukan potret kenyataan hukum yang hanya dapat dilihat melalui
perilaku hukum sehari-hari.59
Penyelesaian sengketa dalam masyarakat hukum adat didasarkan
pada pandangan hidup yang dianut oleh masyarakat itu sendiri. Pandangan
hidup ini dapat diidentifikasikan dari ciri masyarakat hukum adat yang
berbeda dengan masyarakat modern. Dalam masyarakat hukum adat nilai
moral dan spritual mendapat tempat yang tertinggi, tetapi bukan menafikan
kepentingan materiil. Usaha mengejar kepandaian, keterampilan,
kedudukan, dan harta kekayaan haruslah dilandasi bekal moral yang kuat.
Nilai moral dan spiritual berdampak pada kehidupan masyarakat hukum
adat yang bersahaja dan sederhana.60
Tradisi penyelesaian sengketa masyarakat hukum adat didasarkan
pada nilai filosofi kebersamaan (komunal), pengorbanan, nilai supernatural,
dan keadilan. Dalam masyarakat hukum adat kepentingan bersama
merupakan filosofi hidup yang meresap pada dada setiap anggota
masyarakat. Kepentingan bersama dijunjung tinggi yang melebihi
kepentingan individu, sehingga dalam masyarakat adat dikenal adanya
kepentingan bersama. Bila kepentingan bersama terwujud, maka dengan
sendirinya kepentingan individual tidak terinjak-injak. Masyarakat hukum
adat dalam kesadarannya selalu mementingkan kepentingan komunal, dan
mencegah tejadinya intervensi kepentingan individual dalam kehidupan
sosial mereka. Sengketa yang tejadi antar-individu maupun antarkelompok,
dalam pandangan masyarakat hukum adat adalah tindakan yang
mengganggu kepentingan bersama (komunal), dan oleh karena itu harus
cepat diselesaikan secara arif dengan menggunakan pola penyelesaian
adat.61
59 Satjipto Rahardjo, Sisi-Sisi Lain Dari Hukum di Indonesia, (Jakarta: PT
Kompas Media Nusantara, 2003), h. 95. 60 Syahrizal Abbas, Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum
Nasional, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), h. 235-242. 61 Bushar Muhammad, Pokok-Pokok Hukum Adat, (Jakarta: Pradnya Paramita,
1995), h. 61-62.
34
3. Mediasi dalam hukum nasional
a. Mediasi di luar lembaga pengadilan
Undang-undang No. 30 Tahun 1999 dan PP No. 54 Tahun
2000 merupakan landasan yuridis bagi penyelenggaraan mediasi
di luar pengadilan. Undang-undang No. 30 Tahun 1999
menekankan penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan
menempuh cara arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa
yang di dalamnya meliputi konsultaasi, negosiasi, fasilitasi,
mediasi, atau peniali ahli. Sedangkan PP No. 54 Tahun 2000
menekankan pada penyelesaian sengeketa lingkungan hidup
melalui jalur mediasi atau arbitrase. Penyelesain sengketa
melalui mediasi di luar pengadilan bukan berarti mediasi tidak
ada kaitan sama sekali dengan pengadilan. Mediasi tetap
memiliki keterkaitan dengan pengadilan terutama menyangkut
hasil kesepakatan para pihak dalam mediasi. Dalam Pasal 24 PP
No. 54 Tahun 2000 disebutkan dalam waktu paling lama 30 (tiga
puluh hari) terhitung sejak tanggal ditandatanganinya
kesepakatan tersebut, lembar asli atau salinan autentik
kesepakatan diserahkan atau didaftarkan oleh mediator atau
pihak ketiga lainnya, atau salah satu pihak, atau para pihak yang
bersengketa kepada Panitera Pengadilan.62
b. Mediasi di dalam lembaga peradilan
1) Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 1
Tahun 2002
Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung
(SEMA) Nomor 1 Tahun 2002, kepada semua hakim
(majelis) yang menyidangkan perkara dengan sungguh-
sungguh mengusahakan perdamaian dengan menerapkan
62 Dwi Rezki Sri Astarini, Mediasi Pengadilan Salah Satu Bentuk Penyelesaian
Sengketa Berdasarkan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, Biaya Ringan, (Bandung: P.T.
Alumni, 2013), h. 128.
35
ketentuan dalam Pasal 130 HIR/154RBg, tidak hanya
sekedar formalitas menganjurkan perdamaian belaka.63
Surat Edaran Mahkamah Agung (Sema) Nomor 1
Tahun 2002 tentang pemberdayaan. Pengadilan tingkat
pertama menerapkan lembaga damai. Surat Edaran
Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 merupakan
tindak lanjut hasil Rapat Kerja Nasional (RAKERNAS)
1 Mahkamah Agung yang dilaksanakan di Yogyakarta
pada tanggal 24-27 September 2001. Surat edaran ini
menekankan kembali pada pemberdayaan pengadilan
tingkat pertama dalam menerapkan upaya damai
(lembaga dading) sebagaimana ditentukan dalam Pasal
130 HIR/Pasal Rbg. Isi SEMA Nomor 1 Tahun 2002 ini
mencakup:
Upaya perdamaian hendaklah dilakukan dengan
sungguh-sungguh dan optimal serta tidak sekedar
formalitras, melibatkan hakim yang ditunjuk dan dapat
bertindak sebagai fasilotator atau mediator, tetapi bukan
hasil majelis (namun hasil RAKERNAS membolehkan
mediator ditunjuk dari hakim majelis dengan alasan
kurangnya tenaga hakim di daerah dan karena lebih
mengetahui permasalahannya). Untuk pelaksanaan tugas
sebagai fasilitator maupun mediator kepada hakim yang
bersangkutan diberikan waktu paling lama 3 (tiga) bulan,
dan dapat diperpanjang apabila terdapat alasan untuk itu
dengan persyaratan Ketua Pengadilan Negeri. Apabila
mediasi gagal, hakim yang bersangkutan harus
melaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri/Ketua
Majelis dan pemeriksaan perkara dilanjutkan oleh
63 Rachmadi Usman, Mediasi di Pengadilan Dalam Teori dan Praktik, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2012), h. 48.
36
majelis hakim dengan tidak menutup peluang bagi para
pihak untuk berdamai selama pemeriksaan berlangsung.
Keberhasilan penyelesaian perkara melalui perdamain,
dapat dijadikan bahan penilaian (reward) bagi hakim
yang menjadi fasilitator/mediator.64
2) PERMA Nomor 2 Tahun 2003.
Setidaknya ada lima pesan yang terdapat dalam
PERMA RI untuk memenuhi atas penyelenggaraan
negara, khususnya di bidang peradilan, yaitu: pertama,
PERMA RI sebagai pengisi kekosongan hukum. Kedua,
PERMA RI sebagai pelengkap ketentuan undang-
undang yang kurang jelas mengatur sesuatu hal,
berkaitan dengan hukum acara. Ketiga, PERMA RI
sebagai sarana penemuan hukum. Keempat, PERMA RI
sebagai sarana penegakan hukum. Kelima, PERMA RI
sebagai sumber hukum bagi masyarakat hukum,
khususnya para hakim di dalam menyelesaikan
kesulitan-kesulitan teknis penerapan hukum acara yang
ternyata sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan saat
ini.65
Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun
2003 menjadikan mediasi sebagai bagian dari proses
beracara pada pengadilan. Ia menjadi bagian integral
dalam penyelesaian sengketa di pengadilan. Mediasi
pada pengadilan memperkuat upaya damai sebagaimana
yang tertuang dalam hukum acara Pasal 130 HIR atau
Pasal 154 R.Bg. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 2
64 Dwi Rezki Sri Astarini, Mediasi Pengadilan Salah Satu Bentuk Penyelesaian
Sengketa Berdasarkan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, Biaya Ringan, (Bandung: P.T.
Alumni, 2013), h. 128-129.
65 Ronald S. Lumbun, PERMA RI Wujud Keracuan Antara Praktik Pembagian
dan Pemisahan Kekuasaan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), h. 14.
37
PERMA Nomor 2 Tahun 2003, yaitu semua perkara
perdata yang diajukan ke pengadilan tingkat pertama
wajib untuk terlebih dahulu diselesaikan melalui
perdamaian dengan bantuan mediator.66
Pada prosesnyan seiring berjalannya waktu,
Mahkamah Agung menyadari bahwasanya SEMA No. 1
Tahun 2002 tidak efektif sebagai landasan hukum yang
mendamaikan para pihak. Pada akhirnya, SEMA ini
tidak jauh berbeda dengan ketentuan Pasal 130 HIR/154
RBg, bahwa SEMA ini hanya memberikan peran yang
sedikit untuk hakim dalam upaya mendamaikan serta
memiliki kewenangan untuk didaftarkan ke Pengadilan
dengan terlebih dahulu melalui proses perdamaian.
Karena itu, SEMA No. 1 Tahun 2002 dicabut oleh
Mahkamah Agung yang pada saat itu hanya berumur 1
tahun 9 bulan, dan pada tanggal 11 September 2003
Mahkamah Agung berdasarkan Undang-undang No. 14
Tahun 1985 tentang Kekuasaan Kehakiman memberikan
wewenang kepada Mahkamah Agung untuk membuat
peraturan sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan
atau kekosongan hukum yang diperlukan bagi
kelancaran jalannya peradilan, dengan mengeluarkan
Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 2 Tahun
2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan).67
3) PERMA Nomor 1 Tahun 2008
PERMA ini diterbitkan pada tanggal 31 Juli 2008
yang berjudul “Prosedur Mediasi di Pengadilan”.
66 Syahrizal Abbas, Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum
Nasional, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), h. 306. 67 Dwi Rezki Sri Astarini, Mediasi Pengadilan Salah Satu Bentuk Penyelesaian
Sengketa Berdasarkan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, Biaya Ringan, (Bandung: P.T.
Alumni, 2013), h. 129.
38
PERMA ini merupakan penyempurnaan terhadap Perma
sebelumnya. Penyempurnaan ini dilakukan karena MA
menemukan beberapa masalah dalam PERMA Nomor 2
Tahun 2003, sehingga tidak efektif penerapannya di
Pengadilan. Mahkamah Agung mengeluarkan PERMA
Nomor 1 Tahun 2008 sebagai upaya mempercepat,
mempermurah, mempermudah penyelesaian sengketa
serta memberi akses yang lebih besar kepada pencari
keadilan.68
PERMA mediasi ini merupakan revisi dari PERMA
Mediasi No. 2 Tahun 2003 yang merupakan
penyempurnaan dari aturan sebelumnya yang
implementasinya dirasakan masih banyak kelemahan,
sehingga diharapkan dapat menjawab segala kebutuhan
di dalam praktik. Pada dasarnya Mahkamah Agung
mengeluarkan PERMA Nomor 1 Tahun 2008 sebagai
upaya mempercepat, mempermudah serta memberikan
akses yang lebih besar kepada pencari keadilan. Mediasi
diharapkan untuk terus sebagai instrumen efektif yang
dapat mengatasi penumpukan perkara di Pengadilan, dan
sekaligus memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan
dalam menyelesaikan sengketa, di samping proses
pengadilan yang bersifat memutus (adjudikatif).69
Perubahan-perubahan penting atau hal-hal baru yang
membedakan PERMA Nomor 1 Tahun 2008 dari
PERMA Nomor 2 Tahun 2003 berkaitan dengan hal-hal
berikut:
68 https://www.suduthukum.com/2016/08/upaya-damai-mediasi-pengertian-
sejarah.html Rabu, 21/02/2018. Pkl. 19:17 WIB
69 Rachmadi Usman, Mediasi di Pengadilan Dalam Teori dan Praktik, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2012), h. 57.
39
a) Penegasan sifat wajib mediasi yang jika tidak
dipatuhi berakhir putusan atas perkara yang
bersangkutan batal demi hukum (Pasal 2 Ayat (3)).
Dalam PERMA sebelumnya tidak ada penegasan
seperti ini;
b) Pihak penggugat lebih dahulu menanggung biaya
pemanggilan para pihak (Pasal 3). Dalam PERMA
sebelumnya tidak ada;
c) Hakim memeriksa perkara diperkenankan menjadi
mediator (Pasal 8 ayat (1) d). Dalam PERMA
sebelumnya, hakim pemeriksa perkara tidak
dibolehkan menjadi mediator dengan alasan
kekhawatiran jika hakim memeriksa perkara tidak
mampu mengadili perkara yang dimediasinya secara
objektif dan netral setelah mediasi gagal dalam
menghasilkan kesepakatan;
d) Dimungkinkan mediator lebih dari satu orang (Pasal
8 ayat (1) huruf e dan ayat (2)). Dalam PERMA
sebelumnya, hal ini tidak diatur;
e) Pembuatan resume perkara oleh para pihak tidak lagi
bersifat wajib (Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2)). Dalam
PERMA sebelumnya, pembuatan resume bersifat
wajib;
f) Lama proses mediasi 40 (empat puluh) hari dan dapat
diperpanjang serta masa untuk proses mediasi itu
terpisah dari masa pemeriksaan perkara selama 6
(enam) bulan. Dalam PERMA Nomor 2 Tahun 2003
selama 21 (dua puluh satu) hari dan termasuk masa
pemeriksaan perkara (Pasal 13 ayat (3) dan ayat (5));
40
g) Mengenai kewenangan mediator untuk menyatakan
mediasi gagal dan tidak layak (Pasal 15). Dalam
PERMA sebelumnya, pengaturan ini tidak ada;
h) Hakim wajib mendorong para pihak menempuh
perdamaian pada setiap tahap pemeriksaan perkara
sebelum pembacaan putusan (Pasal 18 ayat (3)).
Dalam PERMA sebelumnya, hal ini tidak diatur;
i) Mediator tidak bertanggung jawab secara perdata dan
pidana atas isi kesepakatan (Pasal 19 ayat (4)). Dalam
PERMA sebelumnya, hal ini tidak diatur;
j) Pengaturan lebih rinci tentang perdamaian pada
tingkat banding dan kasasi (Pasal 21 dan Pasal 22).
Dalam PERMA sebelumnya, hal ini tidak diatur;
k) Pengaturan kesepakatan perdamaian yang
diselenggarakan di luar pengadilan (Pasal 23). Dalam
PERMA sebelumnya, hal ini tidak diatur.70
4) PERMA Nomor 1 Tahun 2016
Terbitnya peraturan Mahkamah Agung (PERMA)
No. 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan disambut baik oleh Asosiasi Pengacara
Syariah Indonesia (APSI). Pengelola Pusdiklat APSI,
Thalis Noor Cahyadi, mengatakan ada beberapa hal
penting yang menjadi pembeda antara PERMA No.1
Tahun 2016 dengan PERMA No.1 Tahun 2008 tentang
Mediasi. Pertama, terkait batas waktu mediasi yang lebih
singkat dari 40 hari menjadi 30 hari terhitung sejak
penetapan perintah melakukan Mediasi. Kedua, adanya
kewajiban bagi para pihak (inpersoon) untuk menghadiri
secara langsung pertemuan Mediasi dengan atau tanpa
70 Rachmadi Usman, Mediasi di Pengadilan Dalam Teori dan Praktik, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2012), h. 57-60.
41
didampingi oleh kuasa hukum, kecuali ada alasan sah
seperti kondisi kesehatan yang tidak memungkinkan
hadir dalam pertemuan Mediasi berdasarkan surat
keterangan dokter; di bawah pengampuan; mempunyai
tempat tinggal, kediaman atau kedudukan di luar negeri;
atau menjalankan tugas negara, tuntutan profesi atau
pekerjaan yang ditinggalkan. Ketiga, hal yang paling
baru adalah adanya aturan tentang Iktikad Baik dalam
proses mediasi dan akibat hukum para pihak yang tidak
beriktikad baik dalam proses mediasi.71
Salah satu yang menjadi bahan pertimbangan dari
Mahkamah Agung untuk dikeluarkannya PERMA
Nomor 1 Tahun 2016 adalah. “Bahwa Peraturan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
2008 tentang prosedur mediasi di Pengadilan belum
optimal memenuhi kebutuhan pelaksanaan Mediasi yang
lebih berdayaguna dan mampu meningkatkan
keberhasilan Mediasi di Pengadilan”.72
Pasal 7 menyatakan: (1) Para Pihak dan/atau kuasa
hukumnya wajib menempuh Mediasi dengan iktikad
baik. 2) Salah satu pihak atau Para Pihak dan/atau kuasa
hukumnya dapat dinyatakan tidak beriktikad baik oleh
Mediator dalam hal yang bersangkutan: a. tidak hadir
setelah dipanggil secara patut 2 (dua) kali berturut-turut
dalam pertemuan Mediasi tanpa alasan yang sah; b.
menghadiri pertemuan Mediasi pertama, tetapi tidak
pernah hadir pada pertemuan berikutnya meskipun telah
dipanggil secara patut 2 (dua) kali berturut-turut tanpa
71 http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt56bb2d4541fd5/ini-poin-penting-
yang-diatur-dalam-perma-no1-tahun-2016 Kamis, 22/02/2018. Pkl. 09:17 WIB
72 PERMA Nomor 1 Tahun 2016, menimbang: huruf e
42
alasan sah; c. ketidakhadiran berulang-ulang yang
mengganggu jadwal pertemuan Mediasi tanpa alasan
sah; d. menghadiri pertemuan Mediasi, tetapi tidak
mengajukan dan/atau tidak menanggapi Resume Perkara
pihak lain; dan e. tidak menandatangani konsep
Kesepakatan Perdamaian yang telah disepakati tanpa
alasan sah.73
Para pihak dan kuasa hukumnya wajib menempuh
Mediasi dengan iktikad baik.74 Apabila penggugat
dinyatakan tidak beriktikad baik dalam proses Mediasi,
maka berdasarkan Pasal 23 ayat (1), gugatan dinyatakan
tidak dapat diterima oleh Hakim Pemeriksa Perkara.75
Hal ini ditegaskan dalam Pasal 22 PERMA Nomor 1
Tahun 2016. Penggugat yang dinyatakan tidak beriktikad
baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai pula
kewajiban pembayaran Biaya Mediasi. Mediator
menyampaikan laporan penggugat tidak beriktikad baik
kepada Hakim Pemeriksa Perkara disertai rekomendasi
pengenaan Biaya Mediasi dan perhitungan besarannya
dalam laporan ketidak berhasilan atau tidak dapat
dilaksanakannya Mediasi.76
Berdasarkan laporan Mediator sebagaimana
dimaksud pada Pasal 23 ayat (2), sebelum melanjutkan
pemeriksaan, Hakim pemeriksa dalam persidangan yang
ditetapkan berikutnya wajib mengeluarkan putusan yang
menyatakan tergugat tikad beriktikad baik dan tidak
73 http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt56bb2d4541fd5/ini-poin-penting-
yang-diatur-dalam-perma-no1-tahun-2016 Kamis, 22/02/2018. Pkl. 09:17 WIB
74 PERMA Nomor 1 Tahun 2016 Pasal 7 ayat (1)
75 PERMA Nomor 1 Tahun 2016 Pasal 23 ayat (1)
76 http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt56bb2d4541fd5/ini-poin-penting-
yang-diatur-dalam-perma-no1-tahun-2016 Kamis, 22/02/2018. Pkl. 09:17 WIB
43
dapat diterima disertai penghukuman pembayaran Biaya
Mediasi.77
Mediator menyampaikan laporan tergugat tidak
beriktikad baik kepada Hakim Pemeriksa Perkara
disertai rekomendasi pengenaan Biaya Mediasi dan
perhitungan besarannya dalam laporan ketidakberhasilan
atau tidak dapat dilaksanakannya Mediasi. Berdasarkan
laporan Mediator sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
sebelum melanjutkan pemeriksaan, Hakim Pemeriksa
Perkara dalam persidangan yang ditetapkan berikutnya
wajib mengeluarkan penetapan yang menyatakan
tergugat tidak beriktikad baik dan menghukum tergugat
untuk membayar Biaya Mediasi. Biaya Mediasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan bagian
dari biaya perkara yang wajib disebutkan dalam amar
putusan akhir.78
77 PERMA Nomor 1 Tahun 2016 Pasal 23 ayat (3)
78 http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt56bb2d4541fd5/ini-poin-penting-
yang-diatur-dalam-perma-no1-tahun-2016 Kamis, 22/02/2018. Pkl. 09:17 WIB
44
D. Mediator
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa Mediator
adalah pihak ketiga yang membantu penyelesaian sengketa para pihak, yang
mana ia tidak melakukan intervensi terhadap pengambilan keputusan.79
Dapat diketahui bahwa keterlibatan mediator dalam proses perundingan
adalah “membantu” para pihak yang bersengketa.80
Mediator membantu para pihak untuk memahami pandangan
masing-masing dan membantu mencari (locate) persoalan-persoalan yang
dianggap penting bagi mereka. Mediator mempermudah pertukaran
informasi, mendorong diskusi perbedaan-perbedaan kepentingan, persepsi,
penafsiran terhadap situasi dan persoalan-persoalan dan juga mediator
membantu para pihak memprioritaskan persoalan-persoalan dan
menitikberatkan pembahasan mengenai tujuan dan kepentingan umum.81
Mediator adalah hakim atau pihak lain yang memiliki Sertifikat
Mediator yang sebagai pihak netral yang membantu para pihak dalam
proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian
sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah
penyelesaian.82
Dalam ketentuan Pasal 8 ayat (1) Perma Nomor 1 Tahun 2008 yang
menentukan mediator sebagai berikut:
Para pihak berhak berhak memilih mediator diantara pilihan-pilihan
berikut:
1. Hakim bukan pemeriksa perkara pada pengadilan yang
bersangkutan;
2. Advokat atau akademisi hukum;
79 Syahrizal Abbas, Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum
Nasional, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), h. 57
80 Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di
Pengadilan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h. 62.
81 Rachmadi Usman, Mediasi di Pengadilan Dalam Teori dan Praktik, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2012), h. 83.
82 PERMA Nomor 1 T ahun 2016 Pasal 1 ayat (2)
45
3. Profesi bukan hukum yang dianggap oleh para pihak menguasai
atau berpengalaman dalam pokok sengketa;
4. Hakim majelis pemeriksa perkara;
5. Gabungan antara mediator yang disebut dalam butir b dan d, atau
gabungan butir c dan d.
Sebaliknya PERMA Nomor 1 Tahun 2008 mengatur mengenai
jumlah mediator dalam sebuah proses mediasi, yaitu paling sedikit 1 orang.
Sebagaimana ditentukan dalam dalam Pasal 8 ayat (1), bahwa
dimungkinkannya jumlah mediator dalam sebuah proses mediasi terdapat
lebih dari satu orang mediator, sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 8 ayat
(2) PERMA Nomor 1 Tahun 2008, maka para mediator sendiri yang akan
menentukan dan mengatur pembagian tugas sebagai mediator diantara
mereka. Persyaratan seseorang yang menjadi seorang mediator di
pengadilan tidak diatur dengan rinci, hanya saja secara implisit meupun
eksplisit telah diatur dalam ketentuan. Berdasarkan ketentuan-ketentuan
dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2008 dimaksud, persyaratan menjadi
mediator meliputi:
1. Pihak yang netral dan tidak memihak;
2. Memiliki sertifikat mediator;
3. Mengikuti pelatihan atau Pendidikan Mediasi dan berpengalaman
sebagai mediator.83
Untuk Mediator Hakim dan pegawai Pengadilan tidak dikenakan
biaya. Sedangkan Mediator nonhakim dan bukan pegawai Pengadilan
ditanggung bersama atau berdasarkan kesepakatan para pihak.84 Mediasi
diselenggarakan di ruang Mediasi Pengadilan atau di tempat lain di luar
pengadilan yang disepakati oleh para pihak. Mediator Hakim dan Pegawai
Pengadilan dilarang menyelenggarakan Mediasi di luar Pengadilan. Mediator
non hakim dan bukan Pegawai Pengadilan yang dipilih atau ditunjuk
83 Rachmadi Usman, Mediasi di Pengadilan Dalam Teori dan Praktik, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2012), h. 85-86.
84 PERMA Nomor 1 Tahun 2016 Pasal 8 ayat (1-2)
46
bersama-sama dengan Mediator Hakim atau Pegawai Pengadilan dalam satu
perkara wajib menyelenggarakan Mediasi bertempat di Pengadilan.
Penggunaan ruang Mediasi Pengadilan untuk Mediasi tidak dikenakan
biaya.85
Setiap mediator wajib memiliki Sertifikat Mediator yang diperoleh
setelah mengikuti dan dinyatakan lulus dalam pelatihan sertifikasi Mediator
yang diselenggarakan oleh Mahkamah Agung atau lembaga yang telah
memperoleh akreditasi dari Mahkamah Agung.86
E. Mediasi Menuju Asas Peradilan Cepat dan Biaya Ringan
Salah satu tujuan Negara Republik Indonesia adalah melindungi
segenap warganya dan menjamin tercapainya cita-cita bangsa Indonesia
dengan tertib dan selamat. Ini berarti bahwa di dalam pelaksanaannya, tertib
hukum wajib senantiasa ditumbuhkan sesuai dengan perkembangan
kepentingan dan aspirasi di dalam masyarakat. Salah satu sarana penting
dalam penegakan hukum adalah adanya sistem peradilan bebas yang
sederhana cepat dan biaya ringan.87
Pada penerapannya proses mediasi malah terkesan memperlambat
proses persidangan, sehingga asas-asas peradilan cepat, sederhana, dan
biaya ringan tidak tercapai, disebabkan persidangan menjadi lambat dan
tidak cepat. Karena itu, diperlukan filter untuk dapat memilih perkara-
perkara mana yang memang layak untuk dimediasikan dan mana yang
tidak.88
Sebagai suatu sistem, peradilan mempunyai mekanisme yang
bergerak menuju kearah pencapaian misi dari hakikat keberadaan peradilan.
Sistem peradilan menuntut adanya visi yang jelas agar aktivitas atau
85 PERMA Nomor 1 Tahun 2016 Pasal 11 ayat (1-4)
86 PERMA Nomor 1 Tahun 2016 Pasal 13 ayat (1)
87 M. Hatta Ali, Peradilan Sederhana Cepat & Biaya Ringan Menuju Keadilan
Restoratif, (Bandung: PT. Alumni, 2012), h. 52.
88 Dwi Rezki Sri Astarini, Mediasi Pengadilan Salah Satu Bentuk Penyelesaian
Sengketa Berdasarkan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, Biaya Ringan, (Bandung: P.T.
Alumni, 2013), h. 199-200.
47
pelaksanaan peran peradilan berproses secara efektif dan efesien. Asas
peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya ringan ini pada dasarnya telah lama
ada di Pengadilan dan peradilan di Indonesia, antara lain tentang dalam UU
Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman (Pasal 4 ayat (2))
dan penjelasan umum KUHAP angka 3 hurue e. Namun, kedua undang-
undang tersebur dan UU Nomor 48 Tahun 2009 (yang menggantikan UU
Nomor 4 Tahun 2004) tidak menetapkan ukuran, norma atau nilai-nilai yang
digunakan dalam menentukan ukuran, norma atau nilai-nilai yang
digunakan dalam menentukan bagaimana suatu peradilan dapat
dikategorikan sebagai sederhana, cepat dan biaya ringan.89
Dalam menjalankan fungsinya, Kekuasaan Kehakiman selain
melaksanakan fungsinya “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa” juga dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan. Pasal
2 ayat (4) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman dinyatakan bahwa peradilan dilakukan dengan sederhana cepat
dan biaya ringan, selanjutnya diuraikan lagi dalam penjelasannya bahwa
peradilan harus memenuhi harapan para pencari keadilan yang selalu
menghendaki peradilan cepat, tepat, adil dan biaya ringan. Dimaksud
dengan “sederhana” adalah pemerikasaan dan penyelesaian perkara
dilakukan dengan cara efesien dan efektif dengan cara atau prosedur yang
jelas, mudah dimengerti, dipahami dan tidak rumit atau tidak berbelit-
belit.90
“Biaya ringan” adalah biaya yang serendah mungkin, sehingga
dapat dipikul oleh masyarakat. Meskipun demikian, dalam pemeriksaan dan
penyelesaian perkara tidak mengorbankan ketelitian dalam mencari
kebenaran dan keadilan. Biaya ringan, maksudnya hanya yang serendah
mungkin sehingga dapat dipikul oleh rakyat. Peradilan cepat adalah
89 M. Hatta Ali, Peradilan Sederhana Cepat & Biaya Ringan Menuju Keadilan
Restoratif, (Bandung: PT. Alumni, 2012), h. 229.
90 Cicut Sutiarso, Pelaksanaan Putusan Arbitrase dalam Sengketa Bisnis,
(Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011), h. 71.
48
menyangkut masalah jalannya peradilan dengan ukuran waktu atau masa
acara persidangan berlangsung. Masih ketentuan dalam Undang-undang
kekuasaan Kehakiman dalam Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 5 ayat (2) Undang-
undang Nomor 48 Tahun 2009.
Disebutkan peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya
ringan. Pada praktiknya, penerapan asas sederhana, cepat dan biaya ringan
mengalami banyak kendala, karena banyaknya banyaknya perkara yang
masuk, terbatasnya tenaga hakim, dan minimnya dukungan fasilitas bagi
lembaga peradilan tingkat pertama yang wilayah hukumnya meliputi
kabupaten/kota. Penumpukan perkara ini tidak hanya terjadi pada tingkat
pertama dan banding, tetapi juga pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung.
Hal ini disebabkan sistem hukum di Indonesia memberikan peluang setiap
perkara dapat dilakukan upaya hukum, baik banding, kasasi, bahkan
peninjauan kembali.91
Jadi kesimpulan dari pemaparan di atas bahwa, dalam proses
penerapannya mediasi di Pengadilan harus memiliki asas peradilan cepat
dan biaya ringan. Dengan tidak dijadikan suatu alasan bahwa, dengan
adanya asas peradilan cepat para mediator tidak bisa maksimal dalam
menjalankan tugasnya. Sehingga apa yang ingin dicapai dari suatu
keberhasilan mediasi itu tidak tercapai. Hal ini yang menjadi keliru, karena
yang menjadi landasan dalam asas tersebut adalah sistem peradilan
menuntut adanya visi yang jelas agar aktivitas atau pelaksanaan peran
peradilan berproses secara efektif dan efesien. Sehingga keberhasilan yang
diharapkan dapat tercapai.
Untuk biaya ringan sendiri, bahwa pengadilan bersifat
mempermudah bagi para pihak yang berperkara dengan serendah mungkin
dengan tidak memberatkan dalam biaya di Pengadilan bagi para pihak.
91 Dwi Rezki Sri Astarini, Mediasi Pengadilan Salah Satu Bentuk Penyelesaian
Sengketa Berdasarkan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, Biaya Ringan, (Bandung: P.T.
Alumni, 2013), h. 83-84.
49
Sehingga seluruh masyarakat Indonesia dapat memperoleh keadilan secara
keseluruhan.
50
BAB III
PROFIL PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN
A. Sejarah Singkat dan Letak Geografis
1. Sejarah Singkat
Pengadilan Agama Jakarta Selatan sebagai salah satu instansi yang
melaksanakan tugasnya, memiliki dasar hukum dan landasan kerja sebagai
berikut:
1. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 24;
2. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, tentang Kekuasaan Kehakiman;
3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974;
4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana diubah dengan
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, tentang perubahan kedua atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, tentang Peradilan Agama;
5. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975;
6. Keputusan Menteri Agama RI Nomor 69 Tahun 1963, tentang
Pembentukan Pengadilan Agama Jakarta Selatan;
7. Peraturan-peraturan lain yang berhubungan dengan Tata Kerja dan
Wewenang Pengadilan Agama.
Pengadilan Agama Jakarta Selatan dibentuk berdasarkan surat
keputusan Menteri Agama RI Nomor 69 Tahun 1963. Pada mulanya
Pengadilan Agama di wilayah DKI Jakarta hanya terdapat tiga kantor yang
dinamakan Kantor Cabang, yaitu:
1. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Utara
2. Kantor Pengadilan Agama Jakarta Tengah
3. Pengadilan Agama Istimewa Jakarta Raya sebagai induk
Semua Pengadilan Agama tersebut di atas termasuk Wilayah
Hukum Cabang Mahkamah Islam Tinggi Surakarta. Kemudian setelah
berdirinya Cabang Mahkamah Islam TInggi Bandung berdasarkan surat
keputusan Menteri Agama Nomor 71 Tahun 1976 tanggal 16 Desember
1976, semua Pengadilan Agama di Propinsi Jawa Barat termasuk
51
Pengadilan Agama yang berada di Daerah Ibu Kota Jakarta Raya berada
dalam Wilayah Hukum Mahkamah Islam Tinggi Cabang Bandung.
Dalam perkembangan selanjutnya istilah Mahkamah Islam Tinggi
menjadi Pengadilan Tinggi Agama (PTA).
Berdasarkan surat keputusan Menteri Agama RI Nomor 61 Tahun
1985, Pengadilan Tinggi Agama Surakata dipindah ke Jakarta, akan
tetapi realisasinya baru terlaksana pada tanggal 30 Oktober 1987 dan
secara otomatis Wilayah Hukum Pengadilan Agama di wilayah DKI
Jakarta adalah menjadi Wilayah Hukum Pengadilan Tinggi Agama
Jakarta.
Terbentuknya kantor Pengadilan Agama Jakarta Selatan merupakan
jawaban dari perkembangan masyarakat Jakarta, yang ketika itu pada
tahun 1967 merupakan cabang di Pengadilan Agama Istimewa Jakarta
Raya yang berkantor di jalan Otista Raya Jakarta Timur
Sebutan pada waktu itu adalah cabang Pengadilan Agama Jakarta
Selatan. Kantor cabang Pengadilan Agama Jakarta Selatan dibentuk
sesuai dengan banyaknya jumlah penduduk dan bertambahnya
pemahaman penduduk serta tuntutan masyarakat Jakarta Selatan yang
wilayahnya cukup luas. Keadaan kantor ketika itu masih dalam keadaan
darurat yaitu menempati gedung bekas kantor Kecamatan Pasar Minggu
di suatu gang kecil yang sampai saat ini dikenal dengan gang Pengadilan
Agama Pasar Minggu Jakarta Selatan, pimpinan kantor dipegang oleh
H. Polana.
Penanganan kasus-kasus hanya berkisar perceraian, kalaupun ada
tentang warisan, masuk kepada komparisi. Itu pun dimulai pada tahun
1969, kerjasama dengan Pengadilan Negeri yang ketika itu dipimpin
oleh Bismar Siregar, S.H.
Sebelum tahun 1969, pernah pula membuat fatwa waris, akan tetapi
hal itu ditentang oleh pihak keamanan karena bertentangan dengan
kewenangannya sehingga sempat beberapa orang termasuk Hasan
Mughni ditahan karena Penetapan Fatwa Waris. Oleh karenanya, sejak
52
saat itu Fatwa Waris ditambah dengan kalimat "jika ada harta
peninggalan".
Pada tahun 1976, gedung kantor cabang Pengadilan Agama Jakarta
Selatan pindah ke blok D Kebayoran Baru Jakarta Selatan dengan
menempati serambi Masjid Syarief Hidayatullah dan sebutan kantor
cabang pun dihilangkan menjadi Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
Kemudian diangkat pula beberapa hakim honorer yang di antaranya
adalah H. Ichtijanto, S.A., S.H.
Penunjukan tempat tersebut atas inisiatif kepala Kandepag Jakarta
Selatan yang waktu itu dijabat pula oleh Drs. H. Muhdi Yasin. Seiring
dengan perkembangan tersebut, diangkat pula 8 karyawan untuk
menangani tugas-tugas kepaniteraan yaitu, Ilyas Hasbullah, Hasan
Jauhari, Sukandi, Saimin, Tuwon Haryanto, Fathullah AN., Hasan
Mughni, dan Imron. Keadaan penempatan kantor di serambi Masjid
tersebut, bertahan hingga tahun 1979.
Selanjutnya pada akhir April 2010, gedung baru Pengadilan Agama
Jakarta Selatan diresmikan oleh Ketua Mahkamah Agung RI. Kemudian
pada awal Mei 2010, diadakan tasyakuran dan sekaligus dimulainya
aktifitas perkantoran di gedung baru tersebut. Pada saat itu Ketua
Pengadilan Agama Jakarta Selatan dijabat oleh Drs. H. Ahsin A. Hamid,
S.H.
Sejak menempati gedung baru yang cukup megah dan representatif
tersebut, di Pengadilan Agama Jakarta Selatan dilakukan pembenahan
dalam segala hal, baik dalam hal pelayanan terhadap pencari keadilan
maupun dalam hal peningkatan TI (Teknologi Informasi) yang sudah
semakin canggih disertai dengan aplikasi-aplikasi yang menunjang
pelaksanaan tugas pokok, seperti aplikasi SIADPA (Sistem Informasi
Administrasi Perkara Pengadilan Agama) yang sudah berjalan, sistem
informasi mandiri dengan layar sentuh (touchscreen), serta situs web
"http://www.pa-jakartaselatan.go.id".
53
Anggaran pembangunan Gedung Pengadilan Agama Jakarta
Selatan:
1. Tahun 2007 s/d 2008: pengadaan tanah untuk bangunan gedung baru
seluas ± 6000 m2 yang terletak di jalan Harsono RM Ragunan, Jakarta
Selatan dengan anggaran Rp. 19.353.700.000 (sembilan belas milyar
tiga ratus lima puluh tiga juta tujuh ratus ribu rupiah) yang berasal dari
DIPA PTA Jakarta.
2. Tahun 2008: tahap pertama pembangunan gedung baru sesuai
dengan purwarupa Mahkamah Agung RI dengan anggaran Rp.
7.393.270.000 (tujuh milyar tiga ratus sembilan puluh tiga juta dua ratus
tujuh puluh ribu rupiah) yang berasal dari DIPA Pengadilan Agama
Jakarta Selatan.
3. Tahun 2009: tahap kedua pembangunan gedung baru dengan
anggaran Rp. 14.110.820.000 (empat belas milyar seratus sepuluh juta
delapan ratus dua puluh ribu rupiah) yang berasal dari DIPA Pengadilan
Agama Jakarta Selatan.92
92 http://pa-jakartaselatan.go.id/en/features/2012-01-17-02-53-24/sejarah Rabu,
11/04/2018. Pkl. 11:10 WIB
54
2. Letak Geografis
Wilayah Yurisdiksi.93
93 http://pa-jakartaselatan.go.id/en/features/2012-01-17-02-53-24/wilayah-
yuridiksi Rabu, 11/04/2018. Pkl. 11:19 WIB
55
B. Visi dan Misi
1. Visi
Mewujudkan Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang bersih, ramah,
berwibawa dan melayani menuju peradilan Indonesia yang agung.
2. Misi
a. Meningkatkan integritas dan profesionalisme hakim dan seluruh
aparatur Pengadilan Agama Jakarta Selatan;
b. Mewujudkan manajemen perkara yang modern dan pelayan yang
bersifat prima;
c. Meningkatkan kualitas sistem pemberkasan perkara, minutasi,
banding, kasasi dan peninjauan kembali;
d. Meningkatkan kajian syari’ah hukum acara dan materil yang
berkenaan dengan kewenangan Peradilan Agama;
e. Mewujudkan pelayanan prima bagi para pencari keadilan.94
C. Struktur Organisasi
Struktur organisasi Pengadilan Agama Jakarta Selatan mengacu
pada Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Surat
Keputusan Ketua Mahkamah Agung nomor KMA/004/II/92 tentang
organisasi dan Tata Kerja Kepaniteraan Pengadilan Agama dan Pengadilan
Tinggi Agama, KMA Nomor 5 tahun 1996 tentang Struktur Organisasi
Peradilan, dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2015 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kepaniteraan dan Kesekretariatan Peradilan.95
94 http://pa-jakartaselatan.go.id/en/features/2012-01-17-02-53-24/visi-dan-misi
Rabu, 11/04/2018. Pkl. 11:33 WIB
95 http://pa-jakartaselatan.go.id/en/features/2012-01-17-02-53-24/struktur-
organisasi Rabu, 11/04/2018. Pkl. 11:42 WIB
56
D. Sarana dan Prasarana.
Sarana dan Prasarana Secara Umum.96
Dalam Gedung
Lantai I
Lantai II
1. Ruang Informasi 1. Ruang Ketua
2. Ruang Pendaftaran Perkara 2. Ruang Wakil Ketua
3. Ruang Kasir 3. Ruang Panitera/Sekretaris
4. Ruang Kepaniteraan 4. Ruang Wakil Panitera
5. Ruang Panitera Muda
Permohonan 5. Ruang Wakil Sekretaris
6. Ruang Panitera Muda
Hukum 6. Ruang Hakim 1
7. Ruang Panitera Muda
Gugatan 7. Ruang Hakim 2
96 http://pa-jakartaselatan.go.id/en/features/2012-01-17-02-53-24/sarana-dan-
prasarana Rabu, 11/04/2018. Pkl. 11:51 WIB
57
8. Ruang Mediasi 8. Ruang Hakim 3
9. Ruang Sidang Utama 9. Ruang Hakim 4
10. Ruang Sidang 1 10. Ruang Kesekretariatan
11. Ruang Sidang 2 11. Ruang Kepala Sub Bagian Umum
12. Ruang Sidang 3 12. Ruang Kepala Sub Bagian
Kepegawaian
13. Ruang Sidang 4 13. Ruang Kepala Sub Bagian
Keuangan
14. Ruang Tunggu Sidang 14. Ruang Panitera Pengganti
15. Ruang Antrian Sidang 15. Ruang Jurusita/Jurusita Pengganti
16. Ruang Menyusui 16. Ruang Server Komputer
17. Ruang Pos Bantuan Hukum 17. Ruang Perpustakaan
18. Ruang Arsip Berkas Perkara 18. Gudang
19. Ruang Arsip Perkara Digital 19. Kamar Mandi Pegawai
20. Ruang Koperasi
21. Kamar Mandi Umum
Luar Gedung
1. Masjid
2. Bank Syariah Mandiri
3. Pos Satpam
4. Area Parkir Kendaraan Beroda Empat
5. Area Parkir Kendaraan Beroda Dua Khusus Tamu/Umum
6. Area Parkir Kendaraan Beroda Dua Khusus Pegawai
58
E. Kewenangan Pengadilan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menentukan dalam pasal 24 ayat (2) bahwa Peradilan Agama merupakan
salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung
bersama badan peradilan lainnya di lingkungan Peradilan Umum, Peradilan
Tata Usaha Negara, dan Peradilan Militer, merupakan salah satu badan
peradilan pelaku kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan hukum
dan keadilan bagi rakyat pencari keadilan perkara tertentu antara orang-
orang yang beragama Islam.
Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang merupakan Pengadilan
Tingkat Pertama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam di bidang: perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat,
infaq, shadaqah dan ekonomi syariah sebagaimana diatur dalam pasal 49
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Di samping tugas pokok dimaksud di atas, Pengadilan Agama
Jakarta Selatan mempunyai fungsi, antara lain sebagai berikut:
1. Fungsi mengadili (judicial power), yakni menerima, memeriksa, mengadili
dan menyelesaikan perkara-perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan
Agama dalam tingkat pertama (vide: Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006).
2. Fungsi pembinaan, yakni memberikan pengarahan, bimbingan, dan
petunjuk kepada pejabat struktural dan fungsional di bawah jajarannya, baik
menyangkut teknis yudisial, administrasi peradilan, maupun administrasi
umum/perlengkapan, keuangan, kepegawaian, dan pembangunan.(vide:
Pasal 53 ayat (3) Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 jo. KMA Nomor
KMA/080/VIII/2006).
59
3. Fungsi pengawasan, yakni mengadakan pengawasan melekat atas
pelaksanaan tugas dan tingkah laku Hakim, Panitera, Sekretaris, Panitera
Pengganti, dan Jurusita/Jurusita Pengganti di bawah jajarannya agar
peradilan diselenggarakan dengan seksama dansewajarnya (vide: Pasal 53
ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 3 Tahun 2006) dan terhadap
pelaksanaan administrasi umum kesekretariatan serta pembangunan.( vide:
KMA Nomor KMA/080/VIII/2006).
4. Fungsi nasehat, yakni memberikan pertimbangan dan nasehat tentang
hukum Islam kepada instansi pemerintah di daerah hukumnya, apabila
diminta. (vide: Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang No. 3 Tahun 2006).
5. Fungsi administratif, yakni menyelenggarakan administrasi peradilan
(teknis dan persidangan), dan administrasi umum (kepegawaian, keuangan,
dan umum/perlengkapan) (vide: KMA Nomor KMA/080/ VIII/2006).
6. Fungsi Lainnya:
- Melakukan koordinasi dalam pelaksanaan tugas hisab dan rukyat
dengan instansi lain yang terkait, seperti DEPAG, MUI, Ormas Islam
dan lain-lain (vide: Pasal 52 A Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006).
- Pelayanan penyuluhan hukum, pelayanan riset/penelitian dan
sebagainya serta memberi akses yang seluas-luasnya bagi masyarakat
dalam era keterbukaan dan transparansi informasi peradilan, sepanjang
diatur dalam Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor
KMA/144/SK/VIII/2007 tentang Keterbukaan Informasi di
Pengadilan.97
97 http://pa-jakartaselatan.go.id/en/features/2012-01-17-02-53-24/tupoksi Rabu,
11/04/2018. Pkl. 14:12 WIB
60
BAB IV
ANALISIS TENTANG EFEKTIFITAS MEDIASI DALAM
PENYELESAIAN PERKARA PERCERAIAN DAN OPTIMALISASI
PERAN MEDIATOR DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN
A. Efektifitas Mediasi Dalam Penyelesaian Perkara Perceraian
Setelah terbitnya Perma No. 1 Tahun 2016, mediasi memang telah
menjadi keharusan ataupun kewajiban dalam penyelesaian perkara perdata,
termasuk juga perdata agama. Putusan perkara yang diperoleh tanpa
didahului proses mediasi maka dinilai batal demi hukum. Karena
pentingnya mediasi, para hakim di Pengadilan Agama pun dituntut mampu
menjadi Mediator, meskipun bisa saja Mediator berasal dari nonhakim.
Dengan catatan harus memiliki Sertifikat Mediator sebagai pihak netral
yang membantu para pihak guna mencari kemungkinan penyelesaian
sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan cara
penyelesaian.
Pada penerapannya proses mediasi di Pengadilan Agama Jakarta
Selatan. Mediator berupaya mendamaikan para pihak yang berperkara,
namun kembali lagi kepada pihak-pihak yang berperkara tersebut, apakah
ingin ada upaya damai atau tidak, karena dari sekian banyak perkara yang
masuk ke mediasi, sangat sedikit keberhasilannya. Dikarenakan sudah
mencapai puncak permasalahan yang terjadi dan terkadang tidak ada upaya
iktikad baik dari kedua belah pihak. Dalam hal proses mediasi, para pihak
yang berperkara sering menganggap remeh proses mediasi tersebut.
Sehingga dalam pelaksanaannya sering terjadi ada salah satu pihak yang
tidak mematuhi peraturan tersebut.98 Seharusnya jika mengacu pada
PERMA Nomor 1 Tahun 2016. “Bahwa para pihak dan kuasa hukumnya
wajib menempuh Mediasi dengan iktikad baik”.99
98 Syamsul Huda, Mediator Non Hakim di Pengadilan Agama Jakarta Selatan,
Interview Pribadi, Jakarta, 17 April 2018.
99 PERMA Nomor 1 Tahun 2016 Pasal 7 ayat (1)
61
Hal yang mendasar diterbitknnya Perma No. 1 Tahun 2016 ini yaitu.
Pertama, terkait batas waktu mediasi yang lebih singkat dari 40 hari menjadi
30 hari terhitung sejak penetapan perintah melakukan Mediasi. Kedua,
adanya kewajiban bagi para pihak (inpersoon) untuk menghadiri secara
langsung pertemuan Mediasi dengan atau tanpa didampingi oleh kuasa
hukum, kecuali ada alasan sah seperti kondisi kesehatan yang tidak
memungkinkan hadir dalam pertemuan Mediasi berdasarkan surat
keterangan dokter; di bawah pengampuan; mempunyai tempat tinggal,
kediaman atau kedudukan di luar negeri; atau menjalankan tugas negara,
tuntutan profesi atau pekerjaan yang tidak dapat ditinggalkan.
Ketiga, hal yang paling baru adalah adanya aturan tentang Iktikad Baik
dalam proses mediasi dan akibat hukum para pihak yang tidak beriktikad
baik dalam proses mediasi. Pasal 7 menyatakan: (1) Para Pihak dan/atau
kuasa hukumnya wajib menempuh Mediasi dengan iktikad baik. 2) Salah
satu pihak atau Para Pihak dan/atau kuasa hukumnya dapat dinyatakan tidak
beriktikad baik oleh Mediator dalam hal yang bersangkutan: a. tidak hadir
setelah dipanggil secara patut 2 (dua) kali berturut-turut dalam pertemuan
Mediasi tanpa alasan sah.100
Pada proses penerapannya, kepatuhan terhadap ketentuan PERMA
tidak berjalan efektif, karena dalam proses penerapannya para pihak tidak
sesuai dengan PERMA Nomor 1 Tahun 2016 dimana waktu yang telah
ditetapkan selama 30 hari. Karena proses mediasi terkesan dipercepat dalam
prosesnya, sehingga apa yang diharapkan dari proses mediasi itu tidak
berhasil. Dari waktu maksimal waktu yang benar-benar dapat
dimaksimalkan, selama proses mediasi itu berlangsung paling lama 30 (tiga
puluh) hari terhitung sejak penetapan perintah melakukan Mediasi. Atau
atas dasar kesepakatan para pihak, jangka waktu mediasi dapat diperpanjang
paling lama 30 (tiga puluh) hari.101
100 http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt56bb2d4541fd5/ini-poin-penting-
yang-diatur-dalam-perma-no1-tahun-2016
101 PERMA Nomor 1 Tahun 2016 Pasal 24 ayat (2-3)
62
Namun dalam penerapan mediasi hanya melakukan pertemuan 3-4
kali, jelaslah ini menjadi perhatian penulis. Karena berdasarkan pemantauan
dan penelitian yang didapat di Pengadilan Agama Jakarta Selatan masih
banyak kegagalan dalam proses mediasi, khususnya perkara perceraian.
Sehingga angka perceraian masih sangat tinggi, karena dari sekian banyak
perkara yang masuk yaitu perkara perceraian.
Yang melatarbelakangi dikeluarkannya mediasi yaitu, karena
keterbatasan majelis hakim. Sehingga usaha perdamaian dianggap oleh
Mahkamah Agung kurang maksimal, karena hanya beberapa menit dipakai
untuk proses mediasi tersebut, kemudian langsung dipakai untuk pokok
perkaranya. Maka dari itu Mahkamah Agung berinisiatif untuk
memperpanjangan waktu proses mediasi. Sebagai perpanjangan tangan
hakim, maka ditentukanlah waktu yang khsusus untuk proses mediasi,
sehingga bisa efektif tugas hakim dan memeriksa dan memutus perkara di
Penagadilan, dengan dibentuknya suatu prosedur yang dalam proses
jalannya perkara di Pengadilan harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
PERMA No 1 Tahun 2016 yaitu tentang mediasi di Pengadilan.102
Karena salah satu yang menjadi bahan pertimbangan dari
Mahkamah Agung untuk dikeluarkannya PERMA Nomor 1 Tahun 2016
adalah “Bahwa Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 2008 tentang prosedur mediasi di Pengadilan belum optimal
memenuhi kebutuhan pelaksanaan Mediasi yang lebih berdayaguna dan
mampu meningkatkan keberhasilan Mediasi di Pengadilan”.103
Cerita lama jika orang menuduh bahwa Pengadilan Agama itu
lembaga yang angka perceraian yang masih tinggi, dari Pengadilan Negeri
banyak yang mencemooh kita dengan alasan Pengadilan Agama itu tidak
berhasil. Orang kita ini adalah orang timur, dan selama masih bisa direda
maka ditahan permasalahan tersebut, tanpa meminta solusi kepada orang
102 Nawawi Ali, Mediatror Non Hakim di Pengadilan Agama Jakarta Selatan,
Interview Pribadi, Jakarta, 17 April 2018.
103 PERMA Nomor 1 Tahun 2016, menimbang: huruf e
63
lain terhadap permasalahan yang terjadi. Sehingga jika ia telah melangkah
ke Pengadilan artinya perkara itu telah sampai puncak ubun-ubun, dengan
kata lain sudah sangat susah bisa dibantu dalam mencari solusi
permasalahan mereka. Karena dari awal kebanyakan para pihak yang
berperkara di Indonesia tidak menceritakan permasalahan mereka kepada
orang-orang terdekat baik keluarga dan lain sebagainya. Kebanyakan
dipendam sendiri karena malu dengan orang lain, dengan alasan malu orang
islam dan lain sebagainya, begitu sudah meledak di Pengadilan sangat susah
untuk didamaikan. Berbeda dengan Pengadilan Negeri, karena perkara yang
diurus hanya seputar hutang piutang, pinjam, dan bisnis. Dalam ruang
lingkup perdata lebih umum seperti itu, dan jarang mengurusi urusan
perceraian. Apalagi orang-orang non muslim dilarang agamanya untuk
bercerai, berbeda halnya dengan islam. sehingga kecil kemungkinan untuk
adanya perkara perceraian di Pengadilan Negeri.
Dalam menangani perkara itu saya tidak lama-lama, dari waktu yang
diberikan satu bulan, apabila pihak-pihak tidak mengalami kemajuan maka
saya tidak lama-lama cukup 3 sampai 4 kali dalam menangani perkara
perceraian. Berbeda halnya dengan waris bisa sampai 10 kali pertemuan
dalam sebulan, karena ada iktikad baik untuk berdamai namun belum
menemukan kesepakatan.104 Padahal seharusnya harus ada upaya baik
antara para pihak dan kuasa hukumnya wajib menempuh Mediasi dengan
iktikad baik.105
Untuk di Indonesia sendiri lembaga yang menangani
mediasi/kunsultan itu sebenarnya suudah ada yang dinamakan BP4, namun
belum optimal dan efektif. Hanya saja kekurangan orang yang ahli
dibidangnya, kebanyakan orang KUA yang direkrut di BP4 itu, sehingga
tidak bisa optimal dengan keterbatasan kemampuan. Saya pernah
mengusulkan untuk dimasukkan ahli psikolognya, ahli hukum dan lain
104 Nawawi Ali, Mediatror Non Hakim di Pengadilan Agama Jakarta Selatan,
Interview Pribadi, Jakarta, 17 April 2018.
105 PERMA Nomor 1 Tahun 2016 Pasal 7 ayat (1)
64
sebagainya jadi permasalahan orang itu bisa diberikan solusi yang terbaik
melalui tenaga ahlinya. Jadi semestinya para pihak yang berperkara sebelum
masuk ke Pengadilan itu mereka sudah melalui tahap di BP4 itu yang berada
di bawah Departemen Agama, dengan catatatan apabila lembaga tersebut
benar-benar bisa efektif dan optimal dalam menjalankan tugasnya sehingga
bisa membantu dalam proses perdamaian kedua belah pihak.
Sekarang seharusnya lembaga peradilan khususnya peran
pemerintah untuk memperhatikan mediasi ini lebih baik lagi kedepannya.
Yaitu seharusnya kita harus merubah pola pikir masyarakat. Artinya pola
pikir yang lebih maju. Kemudian menambah pengetahuan pranikah. Seperti
halnya di Indonesia seseorang yang ingin menikah ia hanya mendapatkan
tausiah ataupun ceramah sekali pleh KUA atau Penghulu kurang lebih
setengah jam. Berbeda halnya di Malaysia itu ada program khusus pranikah
selama 6 bulan. Sebelum ia menikah telah didaftarkan 6 bulan sebelumnya,
kemudian satu bulan bulak-balik untuk mengikuti pelatihan pranikah. Jadi
benar-benar telah dibekali ilmu. Kemudian benar-benar dioptimalkan peran
BP4, karena jarang ada pasangan yang ingin menikah datang ke BP4 untuk
konsultasi, jadi hanya beranggapan jika ingin menikah datang ke BP4 hanya
sekedar untuk melaksanakan pernikahan semata, padahal konsultasi itu
sangat perlu.106
Dalam menikah itu tidak cukup hanya dengan naluri saja yang hanya
sebatas hawa nafsu, tidak hanya cukup dengan perasaan saja, dan tidak tau
hak dan kewajiban suami istri. Seharusnya kita sebagai umat islam harus
mencontoh segala sunnah yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW
dalam berprilaku kepada istri-istrinya, seperti mencium kening istrinya
sebelum shalat, kita terkadang hanya mempermasalahkan prihal hukum
batal atau tidaknya wudhu’. Sebenarnya ada hal yang lebih penting yaitu
untuk selalu menumbuhkan rasa cinta terhadap pasangan suami istri,
106 Nawawi Ali, Mediatror Non Hakim di Pengadilan Agama Jakarta Selatan,
Interview Pribadi, Jakarta, 17 April 2018.
65
sehingga selalu terjalin keharmonisan rumah tangga. Seharusnya pranikah
itu diisi seperti ini, sehingga calon-calon yang ingin melaksanakan pernikah
telah dibekali ilmu.
Kita berharap bahwa dalam rangkaian proses mediasi bertujuan
ingin mendamaikan kedua belah pihak, kita berusaha semaksimal mungkin
ketika proses mediasi berlangsung. Kembali kepada diri pasangan masing-
masing, ada yang mau didamaikan ada yang tidak. Artinya datang ke
Pengadilan sudah 75% ingin bercerai, imbasnya kemana terhadap anak-
anak. Apabila belum mumayyiz hak asuhnya ada di ibu. Apabila pihak-
pihak yang ingin bercerai kita pikirkan anak-anak mereka, bukan hanya
pribadi pasangan. Ada anak-anak distiu, anak apabila orangtuanya sudah
pisah siapa yang harus menanggung apabila ia masih mumayyiz, bagaimana
nafkahnya.
Untuk penerapannya kita tulis dalam sebuah nota kesepakatan baik
berhasil maupun tidak. Kita berusaha semaksimal mungkin, walupun
hasilnya ada pada pihak-pihak yang bersangkutan mau berdamai ataupun
tidak. Untuk itu adanya tim mediasi di Pengadilan Agama supaya tidak
bercerai itu yang pertama, kedua kalo seandainya mereka sudah kekeh ingin
bercerai kita harus mengawal anaknya sampai dia memberikan nafkah
kepada anaknya.107
Berikut akan penulis cantumkan data terkait mediasi pada tahun
2016-2017 dan keseluruhan perkara yang masuk di Pengadilan Agama
Jakarta Selatan pada tahun 2016.
107 Fadhilah Ahmad, Mediator Non Hakim di Pengadilan Agama Jakarta Selatan,
Interview Pribadi, Jakarta, 24 Mei 2018.
66
Tabel jumlah keseluruhan Mediasi tahun 2016
Laporan Mediasi (Bulan Januari-Desember 2016)
No Bulan
Mediasi
Yang
Tidak
Berhasil
Mediasi
Yang
Berhasil
Jumlah Keseluruhan
Perkara Yang di Mediasi
1 Januari 74 4 78
2 Februari 67 1 68
3 Maret 97 2 99
4 April 104 1 105
5 Mei 89 1 90
6 Juni 69 3 72
7 Juli 43 1 44
8 Agustus 83 0 83
9 September 115 0 115
10 Oktober 82 0 82
11 November 98 0 98
12 Desember 81 1 82
Sumber: Laporan Mediasi Tahun 2016 Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Tabel jumlah keseluruhan Mediasi tahun 2017
Laporan Mediasi (Bulan Januari-Desember 2017)
No Bulan
Mediasi
Yang Tidak
Berhasil
Mediasi
Yang
Berhasil
Jumlah Keseluruhan
Perkara Yang di
Mediasi
1 Januari 86 1 87
2 Februari 66 2 68
3 Maret 79 1 80
4 April 75 1 76
5 Mei 89 1 90
6 Juni 60 0 60
7 Juli 72 2 74
8 Agustus 109 5 114
9 September 96 3 99
10 Oktober 95 0 95
11 November 107 2 109
12 Desember 87 0 87
Sumber: Laporan Mediasi Tahun 2017 Pengadilan Agama Jakarta Selatan
67
Perkara yang diterima Pengadilan Agama Jakarta Selatan Pada Tahun 2016
NO JENIS
PERKARA
JAN FEB MAR APR M EI JUN JUL AGT SEP OKT NOV DES JML
1 Izin Poligami 1 1 2 1 2 2 2 2 - 1 14
2 Pencegahan
Perkawinan
- - - - - - - - - - - - 0
3 Penolakan
Perkara. Oleh
PPN
- - - - - - - - - - - - 0
4 Pembatalan
Perkawinan
- - 1 - - - - - - 1 1 1 4
5 Kelelaian Atas
Kew. Sm/is
- - - - - - - - - - - - 0
6 Cerai Talak 72 106 100 77 89 66 71 113 80 92 116 75 1057
7 Cerai Gugat 234 230 257 214 235 134 191 304 268 262 251 180 2780
8 Harta Bersama 1 3 1 1 2 2 - 4 2 3 4 2 25
9 Penguasaan
Anak
5 6 5 4 3 4 2 2 4 4 6 4 49
10 Nafkah Anak
Oleh Ibu Karena
Ayah Tidak
Mampu
- - - - - - - - - - - - 0
11 Hak-hak Bekas
Istri
- - - - - - - - - - - - 0
12 Pengesahan
Anak
- - - - - - - - - - - - 0
13 Pencabutan Kek.
Orang Tua.
- - - - - - - - - - - - 0
14 Perwalian 2 6 2 6 6 2 2 6 3 6 6 3 50
15 Pencabutan
Kekuasaan Wali
- - - - - - - - - - - - 0
68
16 Penunjukan
Orang Lain
Sebagai Wali
Oleh Pengadilan
- - - - - - - - - - - - 0
17 Ganti Rugi
Terhadap Wali
- - - - - - - - - - - - 0
18 Asal Usul Anak 1 2 5 3 3 3 2 3 2 2 7 2 35
19 Penolakan
Kawin
Campuran
- - - - - - - - - - - - 0
20 Isbat Nikah 15 20 16 14 25 4 5 24 22 18 17 14 194
21 Izin Nikah - - - - - - - - - - - - 0
22 Dispensasi
Nikah
3 - 2 1 3 2 4 6 4 3 4 3 35
23 Wali Adhol 1 2 - - 2 - - 1 - - - 1 7
24 Ekonomi Syariah - 1 1 - 1 1 1 - - - - 3 8
25 Kewarisan 7 2 3 2 2 1 - 1 3 6 3 6 36
26 Wasiat - - - - - - - - - - - - 0
27 Hibah 1 - 1 - 1 - - - - 1 - - 4
28 Wakaf 1 - - - - - - - - - - - 1
29 Zakat/Infaq/Shad
aqah
- - - - - - - - - - - - 0
30 Pengangkatan
Ahli Waris
14 22 17 16 15 15 8 17 17 14 17 14 186
31 Lain-Lain 1 4 3 0 3 2 1 3 4 5 4 5 35
32 Jumlah
Keseluruhan
359 405 416 339 392 235 289 486 409 419 439 315 4500
33 Jumlah Perkara
Pdt G
323 350 372 299 342 208 267 427 359 376 382 273 3978
34 Jumlah Perkara
Pdt P
36 55 44 40 50 27 22 59 50 43 54 42 522
Sumber: Laporan Perkara Tahun 2016 Pengadilan Agama Jakarta Selatan
69
B. Optimalisasi Peran Mediator di Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Bahwa Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan belum optimal
memenuhi kebutuhan pelakasanaan Mediasi yang lebih berdayaguna dan
mampu meningkatkan keberhasilan Mediasi di Pengadilan.108
Hal itulah salah satu yang mendasar melatarbelakangi diterbitkanya
PERMA Nomor 1 Tahun 2016, untuk mengoptimalkan peran Mediator
dalam menjalankan tugasnya sebagaimana yang ditetapkan dalam Perma
tersebut.
Namun dalam penerapannya sangat terbatas dengan hanya 4
Mediator Non Hakim yang bertugas dengan jadwal yang berbeda, yaitu
senin sampai dengan jumat. Sehingga keterbatasan waktu dan tenaga, dan
juga upaya damai yang sangat susah didapat atau dengan kata lain kecil
kemungkinan untuk berhasil dalam proses mediasi ini.109
Jumlah Mediator Hakim di Pengadilan Agama itu berjumlah 8
orang, dan Mediator Non Hakim itu berjumlah 4 orang. Dan wajib
mempunyai sertifikat. Akan tetapi dalam penerapannya di Pengadilan
Agama Jakarta Selatan itu hanya 4 orang dari Mediator Non Hakim, karena
dengan alasan sibuknya Mediator Hak. Karena dalam peraturannya,
mediator hakim bertugas apabila benar-benar dibutuhkan. Misal mediator
non hakim menolak semua perkara mediasi dengan berbagai alasan,
kemudian pimpinan itu harus menunjuk hakim. Dalam penerapannya
mediator hakim wajib diruang sidang tidak boleh di luar, berbeda halnya
mediator non hakim itu fleksibel. Artinya bisa menyesuaikan tempat sesuai
kesepakatan dengan para pihak yang berperkara. Akan tetapi lebih efesien
waktu dan biaya apabila mediasi itu dilaksanakan di dalam ruang mediasi
yang sudah disediakan oleh Pengadilan.110
108 Perma Nomor 1 Tahun 2016. Menimbang: e
109 Nawawi Ali, Mediatror Non Hakim di Pengadilan Agama Jakarta Selatan,
Interview Pribadi, Jakarta, 17 April 2018.
70
Dapat dikatakan Mediator itu berhasil dalam menjalankan tugasnya
apabila ia telah menjalankan secara optimal, sebagaimana yang telah diatur
oleh PERMA Nomor 1 Tahun 2016. Dalam menjalankan fungsinya sebagai
Mediator, yaitu bertugas sebagai berikut:
1. Memperkenalkan diri dan memberi kesempatan kepada para pihak untuk
memperkenalkan diri;
2. Menjelaskan maksud, tujuan, dan sifat mediasi kepada para pihak;
3. Menjelaskan kedudukan dan peran Mediator yang netral dan tidak
mengambil keputusan;
4. Membuat aturan pelaksanaan mediasi bersama para pihak;
5. Menjelaskan bahwa Mediator dapat mengadakan pertemuan dengan satu
pihak tanpa kehadiran pihak lainnya (kaukus);
6. Menyusun jadwal mediasi bersama para pihak;
7. Mengisi formulir jadwal mediasi;
8. Memberikan kesempatan kepada para pihak untuk menyampaikan
permasalahan dan usulan perdamaian;
9. Menginventarisasi permasalahan dan mengagendakan pembahasan
berdasarkan skala prioritas;
10. Memfasilitasi dan mendorong para pihak untuk:
a) Menulusuri dan menggali kepentingan para piahk;
b) Mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik bagi para pihak;
dan
c) Bekerja sama mencapai penyelesaian;
11. Membantu para pihak dalam membuat dan merumuskan kesepakatan
perdamain;
12. Menyampaikan laporan keberhasilan, ketidakberhasilan dan/atau tidak
dapat dilaksanakannya mediasi kepada Hakim pemeriksa perkara.111
Permasalahan yang sering terjadi dikalangan para Hakim Mediator
maupun Mediator Non Hakim adalah munculnya berbagai pertanyaan.
111 PERMA Nomor 1 Tahun 2016 Pasal 14, Tahapan Tugas Mediator
71
Bahkan pertanyaan dari MA juga dan teman-teman dari Pengadilan Negeri.
Bahwa mengapa keberhasilan dari Pengadilan Agama minim sekali, inilah
menurut saya yang menjadi perbedaan masalah yang ditangani. Karena dari
berbagai masalah seperti harta dan waris itu bisanya bisa didamainkan. Tapi
jika sudah menyangkut masalah perceraian itu berat sekali untuk menembus
perdamaian, karena sudah menyangkut masalah hati.
Permasalahan ini sudah menjadi kebiasaan atau tradisi pada
masyarakat Indonesia pada umumnya itu dipendam sendiri tidak
dibicarakan dengan orang lain, dianggap aib, dianggap tidak baik oleh orang
luar jadi disimpan terus sampai memasuki persidangan dan ke proses
mediasi. Artinya itu sudah di puncak permasalahan akibat permasalahan tadi
dipendam tidak dibicarakan.
Berbeda sekali dengan masyarakat di Negara maju seperti Australia
dan Amerika. Mereka sudah akrab dengan mediasi ini, misalnya konsultan.
Jadi apabila ada masalah sedikit mereka lari ke konsultan. Bagaimana
permasalahan mereka untuk mencari jalan keluar dan memberikan inspirasi
bagi mereka. Jadi mereka tidak kaku-kaku dalam mencari solusi terhadap
permasalahan. Itulah yang menjadi perbedaan masyarakat kita dengan
orang-orang di luar Negeri sana.
Karena itulah yang dilihat oleh Mahkamah Agung dari teman-teman
di Pengadilan Agama itu sedikit dalam keberhasilannya, sedangkan di
Pengadilan Negeri itu banyak hasilnya. Karena yang banyak itu bukan
masalah cerai, tetapi masalah hutang piutang, masalah bisnis, masalah
ekonomi yang memang kebanyakan menginginkan supaya diselesaikan
dengan damai dan baik-baik tidak usah memasuki proses litigasi yaitu
proses sidang pengadilan. Karena mereka hanya berkutat dimasalah uang,
bukan masalah hati.
Sedangkan perceraian masalah hati, selagi orang itu bisa menahan
ia tidak menceritakan ke orang lain, ditambah kultur budaya masyarakat
Indoensia yang haru berubah, berfikir maju kedepan. Sehingga apabila
terjadi permasalahan mereka dapat segera menyelesaikan masalah mereka
72
melalui konsultasi kepada keluarga maupun orang yang dianggap bisa pada
bidangnya, seperti halnya Konsultan.112
Karena berdasarkan keputusan Peraturan Menteri Agama jika
sebelum kepengadilan ke BP4 sebelumnya, tetapi permasalahan riwet
karena permasalahan di BP4 tidak terselesaikan akan tetapi peraturan
tersebut dihapus. Mediasi tetap perlu, hanya saja permasalaahnnya. Jika
mediasi itu perkara telah masuk ke pengadilan, tapi jika yang belum dalam
arti di luar pengadilan, sebenarnya Departemen Agama hanya perlu
menguatkan BP4. Perlu dibentuk badan di luar pengadilan untuk membantu
meminimalisir perkara perceraian, dalam hal ini adanya usaha untuk
meminimalisir terjadinya perceraian, apabila berhasil itu bagus untuk
semuanya.
Perbedaanya di luar negeri karena permasalahannya berbeda seperti
di Indonesia, dan banyak non muslimnya. Katakanlah seperti Australia
karena jumlah penduduk yang lebih sedikit dibandingkan Indonesia,
sehingga permasalahan yang muncul tidak sekomlek permasalahan yang
terjadi di Indonesia. Sehingga lebih dominan keberhasilannya. Jadi kita
tidak usah memperbandingkan, kita cari solusinya agar mediasi itu supaya
bagaimana perceraian jangan sampai terjadi, maupun meningkat.
Peran kami selaku Mediator, selalu berusaha mengoptimalkan
dalam penugasan kami selaku Mediator yaitu dengan cara menerapkan
peraturan yang ada di PERMA tersebut, dalam arti tidak keluar dari aturan-
aturan yang berlaku. Namun dalam kenyataannya tingginya angka
perceraian yang terjadi karena kurangnya optimalisasi peran lembaga terkait
seperti BP4 untuk membina calon-calon pasangan suami istri.113
Dan juga disamping permasalahan yaitu kurangnya keberhasilan
mediasi, terkhusus perkara perceraian. Salah satu faktornya adalah adanya
112 Nawawi Ali, Mediatror Non Hakim di Pengadilan Agama Jakarta Selatan,
Interview Pribadi, Jakarta, 17 April 2018.
113 Syamsul Huda, Mediator Non Hakim di Pengadilan Agama Jakarta Selatan,
Interview Pribadi, Jakarta, 17 April 2018.
73
pihak ketiga, yaitu perselingkuhan. Dan juga sering terjadinya cekcok
karena faktor ekonomi yaitu suami yang tidak bekerja. Dan masih banyak
yang lainnya.
Perlu dibentuk suatu badan di luar pengadilan, untuk memperkuat
peran lembaga peradilan dalama meminimalisir angka perceraian. Dan
proses mediasi di pihak keluarga juga sangat penting, misal orangtua
mendamaikan itu termasuk proses mediasi. Artinya sebelum masuk ke ranah
pengadilan.
Karena itu saya selaku Mediator berharap adanya di Pengadilan
Agama Jakarta Selatan, punya laporan terkait kegagalan maupun
keberhasilan dalam proses mediasi. Setiap bulan apa saja yang
melatarbelakangi terjadinya angka perceraian, sehingga Mediator juga dapat
menganalisa hasil dari usaha mereka. Akan tetapi hingga saat ini masih
belum ada. Hanya ada laporan keberhasilan mediasi selama satu tahun
secara keseluruhan.114
Mediator itu tidak bisa digugat, kecuali curang. Digugat karena
kecurangannya. Mediator Hakim itu tidak dibayar, beda halnya Mediator
Non Hakim itu dibayar karena ada istilah uang jasa Mediator Non Hakim.
Dalam pelaksanannya Mediator Hakim itu menyerahkan kepada Mediator
Non Hakim untuk mediasi. Dan telah disepakati dengan ketua pengadilan
bahwa besaran biaya untuk melaksanakan mediasi itu adalah untuk
membayar jasa Mediator Non Hakim itu 150 ribu pada saat mendaftar untuk
melaksanakan mediasi.115 Sebenarnya aturan biaya jasa Mediator dan bukan
pegawai pengadilan, itu berdasarkan kesepakatan Mediator dengan para
pihak yang bersangkutan.116
Akan tetapi dalam penerapannya dengan alasan untuk menghemat
waktu sehingga lebih efesien waktunya. Dan apabila para pihak tidak
114 Fadhilah Ahmad, Mediator Non Hakim di Pengadilan Agama Jakarta Selatan,
Interview Pribadi, Jakarta, 24 Mei 2018.
115 Kadi Satrowirjono, Mediator Non Hakim di Pengadilan Agama Jakarta
Selatan, Interview Pribadi, Jakarta, 24 Mei 2018.
116 PERMA Nomor 1 Tahun 2016 Pasal 8 ayat (2)
74
sanggup bayar tidak apa-apa. Pada dasarnya biaya mediasi itu wajib, akan
tetapi apabila para pihak keberatan tidak apa-apa. Karena yang terpenting
para pihak itu melakukan mediasi.117 Hal ini juga tidak relevan dengan
PERMA Nomor 1 Tahun 2016.
Untuk proses pendaftaran mediasi yaitu, setelah sidang pertama para
pihak mengikuti dan masuk ke ruangan sidang, kemudian hakim
memberikan instrumen mediasi baru kemudian mendaftar. Jadi setelah
adanya sidang pertama langsung mendaftar, biasanya daftarnya setelah hari
pertama sidang, apabila perkara itu tidak bisa dilanjutkan untuk proses
mediasi, maka akan dibuat skejul hari untuk bertemu Mediatornya. Jadi
menurut kesepakatan pihak yang berperkara dan Mediator tersebut untuk
melakuakan mediasi, tapi kebanyakan pada hari itu juga diadakannya
mediasi. Untuk perkembangan mediasi sendiri setelah adanya Perma Nomor
1 Tahun 2016 itu bagus. Tergantung perkara saja, jika perkara perceraian itu
sangat susah untuk didamaikan dan mencapai keberhasilan. Dan pekerjaan
saya sendiri tidak ada kendala yang berarti. Maksudnya bagus, lebih rapih
sekarang. Laporan mediasi dibuat lebih komplit, lebih ditata dengan bagus.
Artinya lebih jelas prosesnya.
Dalam pembuatan laporan terkait mediasi saya hanya membuat
berupa kolom pendaftaran, jadi ditentukan hari, tanggal, tahun, dan jenis
perkaranya. Tanpa adanya catatan khusus hanya berpaku pada tulisan
tangan di buku, tanpa adanya soft file. Untuk pembuatan laporan mediasi,
apabila ada instruksi langsung dari Mediator baru diketik dan dibuat
laporannya. Dan untuk laporannya biasanya seminggu setelah adanya
proses mediasi, baru kemudiaan laporan tersebut diberikan ke Panitera
Pengganti. Keberhasilan gagal atau tidak proses mediasi itu saya terima dari
Mediatornya.118
117 Kadi Satrowirjono, Mediator Non Hakim di Pengadilan Agama Jakarta
Selatan, Interview Pribadi, Jakarta, 24 Mei 2018.
118 Ajeng Denti Rahmayanti, Sekretaris Pendaftaran Mediasi di Pengadilan
Agama Jakarta Selatan, Interview Pribadi, Jakarta, 17 April 2018.
75
C. Analisis Penulis Terhadap Efektifitas Mediasi Dalam Penyelesaian
Perkara Perceraian dan Optimalisasi Peran Mediator di Pengadilan
Agama Jakarta Selatan
Sejak terbitnya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016
terkait prosedur mediasi di Pengadilan, maka sudah menjadi suatu
kewajiban bagi lembaga Pengadilan untuk mendamaikan para pihak yang
berperkara. Karena ketentuan yang sudah diatur dan menjadi kewajiban
yang telah diatur oleh Perma Nomor 1 Tahun 2016. Dan juga sebagai
penyempurna dari Perma sebelumnya, yaitu Perma Nomor 2 Tahun 2003
dan Perma Nomor 1 Tahun 2008. Yang mana sama-sama mengatur tentang
mediasi, namun Perma Nomor 1 Tahun 2016 ini adalah sebagai
penyempurna dan pelengkap dari perma sebelumnaya.
Hal ini jelas sudah menjadi perhatian bagi penulis yang melakukan
penelitian terkait prosedur mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan,
apakah telah sesuai atau sebaliknya. Akan tetapi setelah melakukan
observasi berupa wawancara kepada Mediator maupun mencari data terkait
mediasi masih sangat minim keberhasilannya. Sehingga belum efektif dalam
penerapannya dan belum juga bisa optimal bagi Mediator dalam
menjalankan tugasnya.
Oleh karenanya penulis akan menjelaskan terkait efektifitas
PERMA dan optimalisasi peran mediator dalam menjalankan tugasnya.
Sehingga apa yang diharapkan dari terbitnya Perma Nomor 1 Tahun 2016
tersebut yaitu yaitu untuk meminimalisir angka perceraian dapat terwujud
dan terealisasikan dengan baik.
Dari hasil penelitian, berikut beberapa faktor yang menjadi
hambatan yaitu:
1. Kepatuahan Hukum Terhadap Ketentuan PERMA
Pada kenyataanya, para pihak tidak patuh terhadap ketentuan
PERMA yang telah ditetapkan. Bahwasanya para pihak harus ada iktikad
baik, akan tetapi pada proses penerapannya para pihak yang berperkara yang
telah memasuki proses mediasi pada umunya itu tidak ingin berdamai (tidak
76
ada iktikad baik). Mereka hanya semata ikut proses mediasi karena
berdasarkan kewajiban yang sudah ditetapkan oleh Pengadilan.
Misalnya perkara cerai gugat, pihak tergugat setelah keluar dari
ruang sidang tidak langsung menuju ruang mediasi tetapi langsung pulang,
mungkin karena alasan tidak ingin bercerai. Akibatnya, yang hadir pada
ruang mediasi hanya salah satu pihak yaitu pihak penggugat. Tentu saja
proses mediasi tidak bisa dilaksanakan.
Ditambah lagi mengikuti proses mediasi bukan dari hati nurani
mereka untuk berdamai, sehingga dalam proses mediasi tidak dicapai apa
yang diharapkan. Seharusnya jika mengacu pada PERMA Nomor 1 Tahun
2016. “Bahwa para pihak dan kuasa hukumnya wajib menempuh Mediasi
dengan iktikad baik”.119
Kedepannya diharapkan bagi para Mediator maupun para pihak
harus lebih berkomitmen terlebih dahulu untuk ada upaya saling berdamai
antara kedua belah pihak. Sehingga yang diharapkan dapat terwujud dalam
menekan angka perceraian di Indonesia.
2. Waktu Proses Mediasi
Pada penerapannya, tidak ada kepatuhan terhadap waktu yang telah
ditetapkan oleh PERMA agar dapat dimaksimalkan dengan sebaik-baiknya.
Baik Mediator maupun para pihak yang berperkara, pada prosesnya mediasi
terkesan dipercepat dalam pelaksanaanya, sehingga apa yang diharapkan
dari proses mediasi itu tidak berhasil. Dari waktu maksimal waktu yang
benar-benar dapat dimaksimalkan, selama proses mediasi itu berlangsung
paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak penetapan perintah
melakukan Mediasi. Atau atas dasar kesepakatan para pihak, jangka waktu
mediasi dapat diperpanjang paling lama 30 (tiga puluh) hari.120
Namun dalam penerapan mediasi hanya melakukan pertemuan 3-4
kali, jelaslah ini menjadi perhatian penulis. Karena berdasarkan pemantauan
dan penelitian yang didapat di Pengadilan Agama Jakarta Selatan masih
119 PERMA Nomor 1 Tahun 2016 Pasal 7 ayat (1)
120 PERMA Nomor 1 Tahun 2016 Pasal 24 ayat (2-3)
77
banyak kegagalan dalam proses mediasi, khususnya perkara perceraian. Hal
ini yang menjadi faktor penghambat keefektifan proses mediasi yaitu
masalah waktu. Kedepannya Mediator di Pengadilan Agama Jakarta Selatan
dapat memaksimalkan waktu mediasi dengan sebaik-baiknya. Sehingga
angka perceraian dapat ditekan, dan tujuan dari PERMA tersebut dapat
tercapai.
3. Budaya Masyarakat Indonesia
Sudah kita ketahui budaya masyakat Indoensia adalah budaya timur,
dimana persoalan rumah tangga itu merupakan hal yang tabu dan
beranggapan menjadi aib apabila diceritakan kepada orang lain. Sehingga
apabila ada permasalahan yang terjadi itu sangat jarang untuk diceritakan
maupun dicari jalan solusi dari setiap permasalahan. Menceritakan
permasalahan disini, dalam arti mencari solusi terbaik bagi rumah tangga
mereka.
Jika ia telah melangkah ke Pengadilan artinya perkara itu telah
sampai puncak ubun-ubun artinya sudah sangat tidak bisa dibantu, karena
dari awal kebanyakan para pihak di Indonesia tidak menceritakan
permasalahan mereka kepada orang-orang terdekat baik keluarga dan lain
sebagainya. Kebanyakan dipendam sendiri karena malu dengan orang lain,
dengan alasan malu orang islam dan lain sebagainya. Bila dibandingkan
dengan Masyarakat di luar negeri misal, Australia maupun Amerika dimana
mereka selalu konsultasi apabila terjadi permasalahan.
Relasi ataupun keterkaitan budaya masayarakat Indonesia dengan
efektifitas mediasi di Pengadilan. Bahwa apabila masyarakat Indonesia
telah sadar, dan tidak menganggap suatu permasalahan di dalam rumah
tangga sebagai suatu aib. Melainkan mereka mencari solusi dari setiap
permasalahn yang mereka hadapi, hal ini dengan sendirinya akan menekan
angka perceraian. Karena itu merupakan cara terbaik bagi mereka yang
mempunyai permasalahan dalam rumah tangga, untuk berkonsultasi kepada
pihak keluarga terdekat maupun konsultasi kepada ahlinya dengan
78
mendatangi para konsultan yang berkompeten pada bidangnya. Sehingga
permasalahan yang terjadi dapat terselesaikan dengan baik.
Karena dalam proses penyelesaian di Pengadilan, Mediator dapat
terbantu dengan budaya masyarakat Indonesia yang berfikir terbuka dan
maju dengan hal yang positif. Sehingga tujuan PERMA Nomor 1 Tahun
2016 dapat tercapai, dengan keterkaitan berbagai unsur.
4. Pola Berfikir Masyarakat Indonesia
Dalam cara berfikir masyarakat Indonesia masih terlalu kaku dalam
hal menerima hal-hal yang baru. Sehingga perkembangan selalu tertinggal
dari Negara-Negara maju dalam hal berinofasi.
Seharusnya kita sebagai umat islam harus mencontoh dan
mengamalkan segala apa yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan semua
sunnah yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam berprilaku
kepada istri-istrinya, seperti mencium kening istrinya sebelum shalat, kita
terkadang hanya mempermasalahkan prihal hukum batal atau tidaknya
wudhu’. Sebenarnya ada hal yang lebih penting yaitu untuk selalu
menumbuhkan rasa cinta terhadap pasangan suami istri, sehingga selalu
terjalin keharmonisan rumah tangga. Seharusnya pranikah itu diisi seperti
ini, sehingga calon-calon yang ingin melaksanakan pernikahan telah
dibekali ilmu.
Sekarang seharusnya lembaga peradilan khususnya peran
pemerintah untuk memperhatikan mediasi ini lebih baik lagi kedepannya.
Yaitu dengan cara merubah pola berfikir masyarakat. Dengan cara
melakukan sosisalisasi pentingnya untuk berkunsultasi apabila terjadi
permasalahan dalam rumah tangga kepada sanak keluarga maupun
konsultan yang ahli dibidangnya. Artinya pola pikir yang lebih maju untuk
menerima hal-hal baru yang baik, dengan tidak meninggalkan budaya
kebiasaan yang baik pula.
Kemudian selanjutnya yang menjadi kendala Mediator dalam
menjalankan tugasnya, sehingga belum bisa optimal dari apa yang
79
diharapkan. Ada beberapa faktor yang menjadi penghambat dalam
keberhasilan yaitu:
a) Tenaga Ahli Dalam Bidangnya
Pada kenyataanya di lapangan, tenaga ahli dalam bidangnya sangat
susah untuk dicari. Karena sudah menjadi rahasia umum, pegawai yang
bekerja di BP4 maupun lembaga terkaitnya itu hanya mereka yang mengerti
dalam hal pernikahan dan perceraian semata. Atau dengan kata lain hanya
dari orang-orang KUA saja.
Kedepannya diharapkan ada tenaga ahli, dimasukkan dalam BP4,
maupun lembaga terkait. Seperti ahli psikolog, ahli hukum, ahli pembaca
kejiwaan dan lain sebagainya. Sehingga para pihak yang berperkara apabila
ingin kunsultasi mereka benar-benar bisa mendapatkan jawaban dari
persoalan mereka. Tanpa memasuki proses di Pengadilan yang dapat
memakan waktu dan biaya.
Kemudian para petugas benar-benar dilatih untuk bisa memahami
berbagai persoalan yang terjadi pada masyarakat Indonesia, menggunakan
cara pendekatan kekeluargaan dan budaya Indonesia yang ramah dan sopan
dalam menghadapi segala persoalan yang terjadi dalam proses konsultasi
maupun mediasi tersebut.
b) Data Terkait Jumlah Perkara Mediasi
Dari hasil penelitian yang dilakukan penulis di Pengadilan Agama
Jakarta Selatan. Masih tumpang tindih data terkait proses mediasi, maupun
perkara secara keseluruhan. Karena masih terpisah antara data Mediator satu
dan lainnya. Dan juga masih dalam hal penyimpanan data untuk registrasi
masih dalam bentuk tulisan dibuku registrasi. Kemudian juga dalam hal
pengambilan data tertulis, penulis hanya bisa mendapatkan dari buku yang
difoto kemudian penulis tulis ulang kembali. Karena pada saat penulis ingin
meminta soft filenya tidak ada, melainkan telah menjadi buku laporan
tahunan secara keseluruhan. Terkhusus untuk data perkara di tahun 2017
secara keseluruhan belum ada, hanya data perkara di 2016 yang sudah ada.
80
Namun terkait data mediasi secara umum pada tahun 2016-2017 sudah ada
dalam buku tersebut.
Kedepannya diharapkan Pengadilan Agama Jakarta Selatan untuk
lebih bisa memperhatikan terkait data tersebut. Karena sangat berguna bagi
evaluasi para Mediator Hakim maupun Non Hakim dalam meningkatkan
keberhasil proses mediasi. Dan untuk memudahkan dalam hal penelitian
bagi para akademisi dan praktisi.
c) Pembekalan Ilmu Sebelum Menikah (Pra Nikah)
Sudah menjadi keharusan bagi penyelenggara pengadilan khususnya
pemerintah untuk lebih memperhatikan persoalan seperti ini, karena melihat
angka perceraian yang begitu tinggi di Indonesia. Terlebih angka perceraian
itu masyarakat Indonesia yang beragama Islam.
Terlepas dari berbagai alasan dari perceraian tersebut, seharusnya
pemerintah harus cermat yaitu dengan menambah pengetahuan pranikah.
Seperti halnya di Indonesia seseorang yang ingin menikah ia hanya
mendapatkan tausiah ataupun ceramah sekali oleh KUA atau Penghulu
kurang lebih setengah jam.
Berbeda halnya di Malaysia itu ada program khusus pranikah selama
6 bulan. Sebelum ia menikah telah didaftarkan 6 bulan sebelumnya,
kemudian satu bulan bulak-balik untuk mengikuti pelatihan pranikah. Jadi
benar-benar telah dibekali ilmu. Sehingga pernikahan tidak sebatas hawa
nafsu saja, melainkan untuk membina rumah tangga sampai akhir hayat
bersama. Sesuai ketentuan agama, budaya, dan hukum yang berlaku di
Indonesia.
d) Memperkuat Peran Mediator, BP4 Maupun Lembaga Terkait Lainnya
Badan Penasehatan, Pembinaan, dan Pelestarian Perkawinan
disingkat dengan BP4 adalah organisasi profesional yang bersifat sosial
keagamaan sebagai mitra Kementerian Agama dan Instansi terkait dalam
tugas meningkatkan mutu perkawinan dengan mengembangkan gerakan
81
keluarga sakinah.121 Dan tidak ada kerjasama antara organisasi, lembaga
atau pihak lainnya. Seharusnya harus ada pengembangan kerjasama dengan
organisasi, lembaga atau pihak lainnya, baik tingkat nasional, regional,
maupun internasional dalam bidang mediasi.122
Kelahiran BP4 dalam bidang konsultasi perkawinan dan keluarga
berawal dari hasil riset Departemen Agama Republik Indonesia yang
menunjukkan tingginya angka perceraian di Indonesia pada tahun 1950
sampai dengan tahun1954. Data statistik menunjukkan bahwa angka
perceraian mencapai 60-80% (rata-rata 1300-1400 kasus perceraian
perhari).
Kondisi ini mendorong M. Nasaruddin Latif yang menjabat sebagai
Kepala Kantor Urusan Agama Kotapraja Jakarta Raya mencetuskan
gagasan tentang organisasi penasehatan perkawinan. Besarnya angka
perceraian merupakan kondisi darurat bagi bangsa dan negara. Perceraian
yang dilakukan secara sewenang-wenang menyebabkan kaum wanita
menderita dan membuat anak-anak menjadi terlantar. Perceraian tidak
hanya merusak sendi-sendi kehidupan kemasyarakatan, bahkan juga akan
meruntuhkan akhlak dan kepribadian serta meluasnya kemaksiatan.123
Disini akan penulis cantumkan hasil dalam Lokakarya Pendidikan/Kursus
Pranikah BP4 2015. Hadir sebagai narasumber:
(1) Dr.H. Muchtar Ali, M.Hum, Direktur Urais Binsyar Kemenag RI
yang menyajikan materi Tentang Kebijakan Teknis Pendidikan/
Kursus Pranikah;
(2) Drs.H. Wahyu Widiana,M.A, Ketua Umum BP4 Pusat dengan tema
Kesiapan BP4 dalam Penyelenggaraan Pendidikan/ Kursus
Pranikah;
121 Keputusan Musyawarah Nasional Badan Penasihatan, Pembinaan dan
Pelestarian Perkawinan (BP4) Ke XV Tahun 2014 Nomor 260/2-P/BP4/ VIII/2014 tentang
Anggaran Dasar Badan Penasihatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) Tahun
2014.
122 PERMA Nomor 1 Tahun 2016 Pasal 12 ayat (1), huruf e.
123 H.S.M. Nasaruddin Latif, Biografi dan Pemikiran (Jakarta:GIP, 1996), h. 7.
82
(3) Drs.H.Mohd. Iqbal Romzie, Anggota DPR RI Komisi VIII yang
menyampaikan makalah tentang Dukukungan Politik dan Anggaran
Pelaksanaan Pendidikan/ Kursus Pranikah bagi Calon Pengantin;
(4) Dr.Hj. Ekawati Mughni, dari unsur UIN/ Ormas Wanita Muslimat
NU dengan tema Dukungan dan Kesiapan Ormas Islam dalam
Penyelenggaraan Pendidikan/ Kursus Pranikah bagi Calon
Pengantin;
(5) Prof.Dr.Hj. Nurhayati Djamas,M.A, Ketua BP4/ Guru Besar di
Universitas Al-Azhar Indonesia Jakarta dengan tema Fungsi
Pendidikan Pranikah dalam Mewujudkan Ketahanan Keluarga dan
Mengurangi Perceraian.
(6) Prof.Dr.Hj.Lydia Freyani Hawadi, Psi, Guru Besar Universitas
Indonesia Jakarta dengan tema Kurikulum dan Strategi Pendidikan/
Kursus Pranikah bagi Catin.
Dalam lokakarya ini dihasilkan beberapa rumusan dan rekomendasi
yang pada dasarnya menunjukkan pentingnya segera dilaksanakan
Pendidikan/ Kursus Pranikah bagi calon pengantin mengingat
meningkatnya kasus perceraian di Pengadilan Agama. Dari 2.218.130
peristiwa pernikahan tahun 2013, menurut Dr.H. Muchtar Ali M.Hum
sebanyak 324.527 bercerai. Tahun 2014, Menurut Drs. H.Wahyu
Widiana,M.A, Ketua Umum BP4 yang juga Mantan Dirjen Badan Peradilan
Agama Mahkamah Agung ini mengutip data terakhir dar Badilag pada tahun
2014 kasus perceraian meningkat lagi menjadi 336.769 kasus. Drs. H.
Mohd. Iqbal Romzie, Anggota DPR RI Komisi VIII menyatakan bahwa
DPR selalu memperjuangkan kepentingan masyarakat antara lain melalui
alokasi anggaran khusus untuk Ditjen Bimbingan Masyarakat Islam
sebanyak 4,9 trilyun lebih dari 57 trilyun lebih anggaran Kementerian
Agama RI. Ketahanan keluarga sangatlah penting, kata Prof. Dr. Hj.
Nurhayati karena semakin melemahnya komitmen, bonding dan passion
dalam perkawinan maka pendidikan/ kursus pranikah sebagai upaya
preventif bagi calon pengantin. Kurikulum dan strategi sudah dibuat oleh
83
institusi Kementerian seperti Kemendikbud, kata Prof.Dr.Hj.Reni Akbar
Hawadi, dan Kementerian Agama pun sudah membuatnya sejak lama hanya
tidak berjalan maksimal di lapangan, kebanyakan cakap-cakap melalui
seminar, workshop dan lain-lain.
Pada dasarnya segenap masyarakat dan unsur ormas mendukung
program ini hanya terkendala payung hukum yang hanya setingkat perdirjen
kalau bisa dibuat Undang-undang ketahanan keluarga, karena sudah
melibatkan lintas Kementerian yaitu Kemenag, Kemendikbud, Kemeneg PP
& PA, Kemendagri dan Kemenkes. Peran serta dari segenap komponen
bangsa sangat diperlukan mengingat besarnya jumlah peristiwa nikah 2 juta
pasang lebih pertahun yang harus dibekali & dibina sebelum menjalani
bahtera rumah tangga yang diharapkan kekal dan abadi seperti kata UU
No.1 tahun 1974. Untuk membinanya direpresentasikan oleh seorang Kasi
Keluarga Sakinah (eselon 4) di subdit Pemberdayaan KUA(eselon
3) Direktorat Urais (eselon 2) dan Ditjen Bimas Islam (eselon 1). Sementara
haji dan umroh yang mengurus 200 ribu orang pertahun diurus oleh seorang
Ditjen (eselon 1). Jadi bagaimana terwujud keluarga sakinah umat Islam
Indonesia?
Angka cerai 300 ribu pertahun, lebih dari 10% tentu akan menggerus
ketahanan keluarga keluarga bangsa dan ujungnya ketahanan nasional
secara keseluruhan karena mayoritas penduduk negeri ini mayoritas
muslim, 85 % dari 255 juta perkiraan tahun 2015 atau 237,5 juta sensus BPS
tahun 2010.124
Oleh karena itu dari pemaparan di atas, diharapkan kedepannya
peran BP4 benar-benar dioptimalkan sesuai dengan fungsinya, sehingga apa
yang diharapkan oleh kita semua yaitu bisa meminimalisir angka perceraian.
Dan juga lembaga-lembaga terkait yang di luar Pengadilan dapat
menjalankan tugas dengan sebaik-bainya. Kemudian kedepannya
diharapkan tugas lembaga peradilan dalam hal ini Mediator bisa lebih
124 http://www.bp4pusat.or.id/index.php/128-lokakarya-pendidikan-kursus-
pranikah-bp4-2015 Kamis, 17/05/2018. Pkl. 10:17 WIB
84
efektif dan optimal dalam menjalankan tugasnya sesuai dengan peraturan
yang berlaku yaitu Perma Nomor 1 Tahun 2016.
85
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah menyelesaikan pembahasan skripsi ini, setelah melalui
berbagai tahapan. Mulai dari penulisan yang bersumber dari buku-buku, dan
observasi terkait mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Baik berupa
wawancara, pengumpulan data, dan kemudian dipaparkan dalam
pembahasan skripsi ini. Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa:
Mediasi adalah satu diantara sekian banyak alternatif penyelesaian
sengketa di luar pengadilan (non litigasi) yang dapat juga berwujud mediasi
pengadilan (court mediation). Penyelesaian konflik (sengketa) secara damai
sebenarnya telah dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia
berabad-abad tahun lalu. Masyarakat Indonesia merasakan penyelesaian
sengketa secara damai telah mengantarkan mereka pada kehidupan yang
harmonis, adil, seimbang dan terpeliharanya nilai-nilai kebersamaan
(komunitas) dalam masyarakat.
Dalam proses penerapannya PERMA Nomor 1 Tahun 2016 di
Pengadilan Agama Jakarta Selatan belum efektif, dan peran Mediator selaku
pihak penengah ataupun pendamai para pihak yang berperkara belum bisa
optimal dalam menjalankan fungsinya. Sehingga angka perceraian di
Pengadilan Agama Jakarta Selatan masih sangat tinggi. Dan juga kurangnya
perhatian pemerintah dalam mencari solusi atau jalan keluar dari Lembaga
Peradilan Agama di Indonesia pada umumnya, dan belum berjalan fungsi
lembaga terkait lainnya di luar Pengadilan untuk saling mendukung
Lembaga Peradilan dalam menjalankan fungsinya.
Adapun yang menjadi faktor penghambat keberhasilan mediasi di
Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Setelah penulis melakukan penelitian di
Pengadilan Agama Jakarta Selatan, berikut beberapa faktor yang menjadi
hambatan keefektifan mediasi:
1. Kepatuahan Hukum Terhadap Ketentuan PERMA;
86
2. Waktu Proses Mediasi;
3. Budaya Masyarakat Indonesia;
4. Pola Berfikir Masyarakat Indonesia.
Kemudian selanjutnya yang menjadi kendala Mediator dalam
menjalankan tugasnya, sehingga belum bisa optimal dari apa yang
diharapkan oleh PERMA Nomor 1 Tahun 2016. Ada beberapa faktor yang
menjadi penghambat dalam keberhasilan yaitu:
a. Tenaga Ahli Dalam Bidangnya;
b. Data Terkait Jumlah Perkara Mediasi;
c. Pembekalan Ilmu Sebelum Menikah (Pra Nikah);
d. Memperkuat Peran Mediator, BP4 Maupun Lembaga Terkait Lainnya.
B. Rekomendasi
Diakhir penulisan skripsi ini, penulis dapat merekomendasikan
terkait hasil dari penelitian penerapan mediasi di Pengadilan Agama Jakarta
Selatan. Diharapkan kedepannya PERMA Mediasi dapat diterapkan dengan
optimal dan bisa berjalan efektif. Khususnya di Pengadilan Agama Jakarta
Selatan dan umumnya pada semua lembaga Peradilan yang berasda di
seluruh Indonesia. Sebagaimana harapan dikeluarkan PERMA tersebut,
yaitu untuk menekan angka perceraian.
Dan juga dalam penulisan skripsi ini, sekiranya masih terdapat
kekurangan penulis mohon maaf dan kepada Allah SWT penulis mohon
ampun. Semoga kedepannya penelitian yang terkait mediasi terus dilakukan
untuk bisa selalu mencari cara ataupun solusi untuk menekan angka
perceraian di Indonesia. Sehingga semua pihak kedepannya, baik
pemerintah, lembaga peradilan, masyarakat, maupun akademis dan praktisi
bahu membahu untuk bisa memberikan rekomendasi ataupun saran
terhadap semua permasalahan yang terjadi. Kritik, rekomendasi ataupun
saran penulis selalu mengharapkan dari berbagai pihak, untuk membangun
peradaban yang lebih maju dan mulia.
87
DAFTAR PUSTAKA
Al- Qur’an dan Terjemahnya Depag RI.
Amriani, Nurmaningsih, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata
di Pengadilan, Jakarta: Rajawali Pers, 2011.
Asikin, Zainal, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Jakarta: Prenamedia Group,
2015.
Abbas, Syahrizal, Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum
Nasional, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009.
Astarini, Dwi Rezki Sri, Mediasi Pengadilan Salah Satu Bentuk Penyelesaian
Sengketa Berdasarkan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, Biaya Ringan,
Bandung: P.T. Alumni, 2013.
Ali, Atabik dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer (Arab Indonesia),
Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1999. Lihat Juga Sabiq, Sayyid. Fiqih
As Sunnah, Juz III Beirut: Dara al Fikr, 1977.
Al- Bukhori Imam, Shohih al- Bukhori, Jilid 3, Beirut: Dar Thuq al- Najah.
Ali, M. Hatta, Peradilan Sederhana Cepat & Biaya Ringan Menuju Keadilan
Restoratif, Bandung: PT. Alumni, 2012.
Asy-Syuyuthi, Jalaluddin dan Jalaluddin Muhammad Ibn Ahmad Al-Mahally,
Terjemahan Kitab Tafsir Jalalain, (Surah an-Nisa/4: 35).
At- Tirmidzi Imam, Sunan at- Tirmidzi, Jilid 5, Mesir: Mauqi’ Wizzarat al- Awqaf.
Lumbun, Ronald S, PERMA RI Wujud Keracuan Antara Praktik Pembagian dan
Pemisahan Kekuasaan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011
Latif, H.S.M. Nasaruddin, Biografi dan Pemikiran, Jakarta: GIP, 1996.
Muslim Imam, Shohih Muslim, Jilid 4, Beirut: Dar al- Jail Beirut.
Mertokusumo, Sudikno, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Jakarta: Citra
Aditya Bakti, 1993.
Modul Perancangan Undang-Undang, Jakarta: Sekretaris Jendral DPR RI, 2008.
M. Echols, John dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1996.
Muhammad, Bushar, Pokok-Pokok Hukum Adat, Jakarta: Pradnya Paramita, 1995.
Rahardjo, Satjipto, Sisi-Sisi Lain Dari Hukum di Indonesia, Jakarta: PT Kompas
Media Nusantara, 2003.
Soemarno, Gatot, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2006.
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Pustaka Pelajar, 1992.
88
Syaikh al-Mubarakfuri, Shafiyyurahman, Terjemahan Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 2,
cet.2, Bogor: Pustaka Ibnu Katsir, 2008.
Sutiarso, Cicut, Pelaksanaan Putusan Arbitrase dalam Sengketa Bisnis, Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga,
Jakarta: Balai Pustaka, 2002.
Tunggal, Amin dan Wijaya, Manajemen suatu Pengantar, Jakarta: Ribeka Cipta
Jaya, 1993.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988.
Usman, Rachmadi. Mediasi di Pengadilan Dalam Teori dan Praktik, Jakarta: Sinar
Grafika, 2012.
Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 1 Tahun 2002 tentang
kesungguhan semua majelis hakim untuk mengusahakan perdamaian.
Undang-undang No. 30 Tahun 1999 dan PP No. 54 Tahun 2000 merupakan
landasan yuridis bagi penyelenggaraan mediasi di luar pengadilan.
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman.
Pasal 24 UUD 1945 tentang kekuasaan kehakiman.
PERMA Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
PERMA Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
File:///C:/Users/ACER/Downloads/1576-3030-1-SM.pdf Jumat, 17/11/2017. Pkl. 09:17
WIB
https://www.kanalinfo.web.id/2016/10/pengertian-data-primer-dan-datasekunder.
html Jumat, 17/11/2017. Pkl. 09:17 WIB
https://badilag.mahkamahagung.go.id/seputarditjenbadilag/seputarditjenbadilag/k
enapa-mediasi-begitu-sukses-di-australia Sabtu, 17/02/2018. Pkl. 10: 17
WIB
https://www.suduthukum.com/2016/08/upayadamaimediasipengertiansejarah.html
Rabu, 21/02/2018. Pkl. 19:17 WIB
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt56bb2d4541fd5/ini-poin-pentingyang-
diatur-dalam-perma-no1-tahun-2016 Kamis, 22/02/2018. Pkl. 09:17 WIB
http://pajakartaselatan.go.id/en/features/20120117025324/sejarahRabu,11/04/201
8. Pkl. 11:10 WIB
89
http://pa-jakartaselatan.go.id/en/features/2012-01-17-02-53-24/wilayah-yuridiksi
Rabu, 11/04/2018. Pkl. 11:19 WIB
http://pa-jakartaselatan.go.id/en/features/2012-01-17-02-53-24/visi-dan-misiRabu,
11/04/2018. Pkl. 11:33 WIB
http://pa-jakartaselatan.go.id/en/features/2012-01-17-02-53-24/struktur-organisasi
Rabu, 11/04/2018. Pkl. 11:42 WIB
http://pa-jakartaselatan.go.id/en/features/2012-01-17-02-5324/saranadanprasarana
Rabu, 11/04/2018. Pkl. 11:51 WIB
http://pajakartaselatan.go.id/en/features/20120117025324/tupoksiRabu,11/04/201
8. Pkl. 14:12 WIB
http://www.bp4pusat.or.id/index.php/128-lokakarya-pendidikan-kursus-pranikah-
bp4-2015 Kamis, 17/05/2018. Pkl. 10:17 WIB
Syamsul Huda, Mediator Non Hakim di Pengadilan Agama Jakarta Selatan,
Interview Pribadi, Jakarta, 17 April 2018.
Fadhilah Ahmad, Mediator Non Hakim di Pengadilan Agama Jakarta Selatan,
Interview Pribadi, Jakarta, 24 Mei 2018.
Kadi Satrowirjono, Mediator Non Hakim di Pengadilan Agama Jakarta Selatan,
Interview Pribadi, Jakarta, 24 Mei 2018.
Syamsul Huda, Mediator Non Hakim di Pengadilan Agama Jakarta Selatan,
Interview Pribadi, Jakarta, 17 April 2018.
Ajeng Denti Rahmayanti, Sekretaris Pendaftaran Mediasi di Pengadilan Agama
Jakarta Selatan, Interview Pribadi, Jakarta, 17 April 2018.
Lampiran Text Wawancara
Interview Pribadi
Nama : Bapak Drs. Syamsul Huda S.H.
Jabatan : Mediator Non Hakim di Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
Hari/Waktu : Selasa, 17 April 2018
Penulis : Bagaimana Efektifitas Mediasi Dalam Penyelesaian Perceraian dan
Optimalisasi Peran Mediator di Pengadilan Agama Jakarta Selatan?
Narasumber : Bahwasanya selaku Mediator, kami mendamaikan kedua belah pihak,
apabila bisa kami damaikan maka perkaranya harus diselesaikan atau
dicabut, tapi jika para pihak tidak ingin berdamai maka perkara kami
serahkan kepada kedua belah pihak yang berperkara tersebut.
Permasalahan ekonomi itulah yang paling susah dan paling banyak
faktor tersebut yang terjadi dalam perkara perceraian. Khususnya laki-
laki yang tidak bekerja. Faktor lain seperti pertengkeran apalagi
perselingkuhan yang susah untuk didamaikan. Saya tetap
mengoptimalkan supaya jangan sampai ada perpisahan. Alhamdulillah
sudah berlaku efektif, dari hasil yang didapat itu satu bulan satu yang
bisa didamaikan.
Penulis : Bagaimana Penerapan Mediasi Dalam Perkara Perceraian di
Pengadilan Agama Jakarta Selatan?
Narasumber : Penerapannya yaitu setelah sidang pertama langsung mediasi, yang
benar dibenarkan yang tidak jangan dibenarkan. Karena permohonan
cerai maupun pengadilan cerai itu pada dasarnya sepihak. Dan harus
kita ungkap kebenarannya, sehingga bisa kita cari solusinya.
Penuilis : Bagaimana Efektifitas Peran Mediator Dalam Penyelesaian Perkara
Perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Selatan?
Narasumber : Peran kami selaku Mediator yaitu dengan membantu para pihak untuk
berdamai mencari jalan solusi perdamaian yang kami beri solusi bagi
mereka dengan mengacu pada Perma yang ada, artinya kami
menjalankan fungsi kami sebagaimana mestinya.
Penulis : Bagaimana Dalam Penerapannya Apakah Telah Sesuai Dengan Perma
No. 1 Tahun 2016 Dalam Teori dan Praktik?
Narasumber : Ya saya alhamdulillah telah sesuai dalam dengan Perma No. 1 Tahun
2016 tidak bertentangan ataupun berlawanan dengan aturan yang
berlaku. Tetapi saya berprinsip pihak-pihak harus hadir dalam proses
mediasi, karena ini menunjukkan iktikad baik bagi pihak yang
berperkara dengan hadirnya mereka.
Penulis : Faktor-Faktor Apa Saja Yang Melatar Belakangi Terjadinya
Keberhasilan dan Kegagalan Dalam Peroses Mediasi?
Narasumber : Faktor yang paling dominan adalah faktor ekonomi yang
melatarbelakangi terjadinya perceraian. Dan apabila faktor ini yang
melatarbelakangi maka kami selaku Mediator sungguh susah untuk
mendamaikan. Jika yang lainnya seperti perselingkuihan bisa kita
damaikan yang penting dia menyadari bahwa perbuatan itu tidak baik.
Penulis : Apakah Perlu Dibentuk Suatu Badan di Luar Pengadilan Untuk
Membantu Peran Mediator Dalam Menjalankan Tugasnya?
Narasumber : Karena berdasarkan keputusan Peraturan Menteri Agama jika sebelum
kepengadilan ke BP4 sebelumnya, tetapi permasalahan riwet juga karena
permasalahan di BP4 tidak terselesaikan akan tetapi peraturan tersebut
dihapus. Mediasi tetap perlu, Cuma permasalaahnnya. Jika mediasi itu
perkara telah masuk ke pengadilan, tapi jika yang belum sebetulnya
tinggal meningkatkan Departemen Agama masalah BP4. Perlu dibentuk
badan di luar pengadilan untuk membantu meminimalisir perkara
perceraian, dalam hal ini kan masuknya usaha, apabila berhasil ya kan
bagus.
Penulis : Bagaimana Perbandingan Antara Lembaga Mediasi di Indonesia dan
Luar Negeri?
Narasumber : Perbedaanya karena permasalahannya berbeda seperti Indonesia, dan
banyak non muslimnya. Katakanlah seperti Australia karena jumlah
penduduk yang lebih sedikit dibandingkan Indonesia, sehingga
permasalahan yang muncul tidak sekomlek permasalahan yang terjadi di
Indonesia. Sehingga lebih dominan keberhasilannya. Jadi kita tidak usah
memperbandingkan, kita cari solusinya agar mediasi itu supaya
bagaimana perceraian jangan sampai terjadi, maupun meningkat.
Penulis : Bagaimana Cara Mengoptimalkan Peran Mediator di Pengadilan Agama
Jakarta Selatan dan Apakah Telah Sesuai PERMA Nomor 1 Tahun 2016
Dalam Penerapannya di Pengadilan Agama Jakarta Selatan?
Narasumber : Peran kami selaku Mediator, cara mengoptimalkan dalam penugasan
kami selaku Mediator yaitu dengan cara menerapkan peraturan yang ada
di Perma tersebut, dalam arti tidak keluar dari aturan-aturan yang berlaku.
Interview Pribadi
Nama : Bapak Drs. H. Nawawi Ali, S.H.
Jabatan : Mediator Non Hakim di Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
Hari/Waktu : Selasa, 17 April 2018
Penulis : Bagaimana Efektifitas Mediasi Dalam Penyelesaian Perceraian dan
Optimalisasi Peran Mediator di Pengadilan Agama Jakarta Selatan?
Narasumber : Sekarang dengan Perma Nomor 1 Tahun 2016 mediasi itu dikasih
waktu satu bulan. Jadi bisa digunakan para pihak untuk proses mediasi
mencari jalan keluar. Sebelumnya tidak ada, sehingga dioharapkan
mereka dapat menyeselesaikan sengketa mereka sebelum melalui vonis
majelis hakim. Waalupun nanti dikuatkan juga oleh hakim dalam
bentuk akta. Tapi akta yang diselesaikan dalam proses mediasi, tanpa
melalui proses persidangan selanjutnya.
Penulis : Faktor-Faktor Apa Saja Yang Melatar Belakangi Terjadinya
Keberhasilan dan Kegagalan Dalam Peroses Mediasi?
Narasumber :Yang melatarbelakangi dikeluarkannya mediasi yaitu, karena
keterbatasan majelis hakim. Sehingga usaha perdamaian dianggap oleh
Mahkamah Agung kurang maksimal, karena hanya beberapa menit
dipakai untuk proses mediasi tersebut, kemudian langsung dipakai
untuk pokok perkaranya. Maka dari itu MA berinisiatif untuk
perpanjangan. Sebagai perpanjangan tangan hakim, maka
ditentuakanlah waktu yang khsusus untuk proses mediasi
Penulis : Bagaimana Perbandingan Antara Lembaga Mediasi di Indonesia dan
Luar Negeri?
Narasumber : Karena tradisi pada masyarakat Indonesia itu dipendam sendiri tidak
dibicarakan, dianggap aib, dianggap tidak baik oleh orang luar jadi
disimpan terus sampai memasuki persidangan dan ke proses mediasi.
Artinya itu sudah di puncak permasalahan akibat permasalahan tadi
dipendam tidak dibicarakan. Berbeda sekali dengan masyarakat di Negara
maju seperti Australia, Amerika. Mereka sudah akrab dengan mediasi ini,
misalnya konsultan. Jadi apabila ada masalah sedikit mereka lari ke
konsultan.
Bagaimana permasalahan mereka untuk mencari jalan keluar
dan memberikan inspirasi bagi mereka. Jadi mereka tidak kaku-kaku
dalam mencari solusi terhadap permasalahan. Itulah yang menjadi
perbedaan masyarakat kita dengan orang-orang di luar Negeri sana.
Orang Indonesia pada umumnya seperti itu, lain dengan di Barat. Ada
sedikit masalah masyarakat disana langsung datanng ke konsultan untuk
konsultasi, jadi mereka banyak menerima ilmu. Jadi lebih kepada kultur
budaya yang berbeda, jika di barat pola pikir lebih maju dan terbuka untuk
umum, jika di Indonesia masyarakat Indonesia berfikir bahwa kesannya
itu merupakan aib dan malu. Sehinngga mereka tidak menceritakan
permasalahan mereka saampai kepada puncaknya. Dari ribuan perkara
yang masuk setiap tahun tidak mencapai seratus perkara yang berhasil
didamaikan. Karena kebanyakan perkara yang masuk di Pengadilan
Agama itu menyangkut masalah hati, privasi, sehingga sulit untuk
didamaikan
Penulis : Bagaimana Dalam Penerapannya Apakah Telah Sesuai Dengan Perma
No. 1 Tahun 2016 Dalam Teori dan Praktik?
Narasumber : Terus terang sejak saya aktif, pertanya dari MA juga dan teman-teman
dari Pengadilan Negeri juga. Bahwa kita dari Pengadilan Agama juga
minim sekali, nah ini menurut saya berbeda dengan orang di PN. Karena
dari berbagai masalah seperti harta dan waris itu bisanya bisa
didamainkan. Tapi jika sudah menyangkut masalah persseraian itu berat
sekali untuk menembus perdamaian. Karena itulah yang dilihat oleh
Mahkamah Agung dari teman-teman di pengadilan agama itu sedikit,
sedangkan di pengadilan negeri itu banyak hasilnya. Karena yang banyak
itu bukan masalah cerai, tetapi masalah hutang piutang, masalah bisnis,
masalah ekonomi yang memang kebanyakan menginginkan supaya
diselesaikan dengan damai dan baik-baik tidak usah memasuki proses
litigasi yaitu proses sidang pengadilan.
Karena mereka hanya berkutat dimasalah uang, bukan masalah
hati. Sedangkan perceraian masalah hati, selagi orang itu bisa menahan ia
tidak menceritakan ke orang lain. Analisa saya itu menujukkan persentase
tidak sampai 10%. Sekarang ini untuk tahun 2017 Mahakamah Aguang
mengadakan perubahan sedikit, bisa yang berhasil sebagaian itu dianggap
berhasil yang sebagian cerai. Misal dia minta untuk hak asuh anak, biaya
anaknya. Cerainya mereka tetap berlanjut, akan tetapi untuk biaya masa
iddah, biaya pengasuhan anak mereka bisa kompromi misal bersama-
sama. Yang seperti ini dianggap berhasil, walaupun sebagian. Jika
peraturan sebelumnya tidak, artinya jika cerai ya sudah dianggap tidak
ada keberhasilan. Walupun pada kenyataannya ada kesepakatan-
kesepakatan yang dihasilkan. Sekarang ada perubahan misal ada 4
tuntutatn, 3 berhasil 1 tidak maka mediasi itu dianggap berhasil. Jika
sebelum-sebelumnya tolak ukur keberhasilan dalam proses mediasi ini
hanya dalam proses cerai atau tidaknya, dengan mengenyampingkan
kesepakatan-kesekatan yang didapat. Jika melihat itu banyak yang gagal,
karena itu dirubah jika banyak berhasil, misal biaya anak. Apabila cerai
talak nafkah iddahnya, biasanya mudah para pihak menerima. Dan itu
dianggap berhasil sekarang.
Penulis : Bagaimana Efektifitas Peran Mediator Dalam Penyelesaian Perkara
Perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Selatan?
Narasumber : Jumlah mediator hakim di Pengadilan Agama itu berjumlah 8 orang, dan
mediator nonhakim itu berjumlah 4 orang. Dan wajib mempunya
sertifikat. Akan tetapi dalam penerapannya di PA Jaksel itu hanya 4 orang
dari mediator non hakim, karena dengan alasan sibuknya mediator hakim.
Sekiranya dibutuhkan itu dalam peraturannya, misal mediator non hakim
menolak semua dengan berbagai alasan, kemudian pimpinan itu harus
menunjuk hakim. Dalam penerapannya mediator hakim wajib diruang
sidang tidak boleh di luar, berbeda halnya mediator non hakim itu
fleksibel. Artinya bisa menyesuaikan tempat sesuai kesepakatan dengan
para pihak yang berperkara. Akan tetapi lebih efesien waktu dan biaya
apabila mediasi itu dilaksanakan di dalam ruang mediasi yang sudah
disediakan oleh pengadilan.
Penulis : Faktor-Faktor Apa Saja Yang Melatar Belakangi Terjadinya
Keberhasilan dan Kegagalan Dalam Peroses Mediasi?
Narasumber : Dalam menikah itu tidak cukup hanya dengan naluri saja yang hanya
sebatas hawa nafsu, tidak hanya cukup dengan perasaan saja, dan tidak
tau hak dan kewajiban suami istri. Seharusnya kita sebagai umat islam
harus mencontoh segala sunnah yang diajarkan oleh Nabi Muhammad
SAW dalam berprilaku kepada istri-istrinya, seperti mencium kening
istrinya sebelum shalat, kita terkadang hanya mempermasalahkan prihal
hukum batal atau tidaknya wudhu’. Sebenarnya ada hal yang lebih
penting yaitu untuk selalu menumbuhkan rasa cinta terhadap pasangan
suami istri, sehingga selalu terjalin keharmonisan rumah tangga.
Seharusnya pranikah itu diisi seperti ini, sehingga calon-calon yang ingin
melaksanakan pernikah telah dibekali ilmu.
Penulis : Bagaimana Cara Mengoptimalkan Peran Mediator di Pengadilan Agama
Jakarta Selatan dan Apakah Telah Sesuai PERMA Nomor 1 Tahun 2016
Dalam Penerapannya di Pengadilan Agama Jakarta Selatan?
Narasumber : Dalam menangani perkara itu saya tidak lama-lama, dari waktu yang
diberikan satu bulan, apabila pihak-pihak tidak mengalami kemajuan
maka saya tidak lama-lama cukup 3 sampai 4 kali dalam menangani
perkara perceraian. Berbeda halnya dengan waris bisa sampai 10 kali
pertemuan dalam sebulan, karena ada iktikad baik untuk berdamai namun
belum menemukan kesepakatan. Mediator dibagi menjadi dua, Mediator
nonhakim dan Mediator Hakim. Sesekali mediator hakim itu mereka
memegang mediasi ini, akan tetapi medaitor nonhakim itu pokok tugas
mereka diberikan artinya harus karena sudah tugas mereka. Dan
jumlahnya 4 orang untuk mediator nonhakim, yang hakim banyak.
Untuk di Indonesia sendiri lembaga yang menangani
mediasi/kunsultan itu sebenarnya suudah ada yang dinamakan BP4,
namun belum optimal dan efektif. Hanya saja kekurangan orang yang ahli
dibidangnya, kebanyakan orang KUA yang direkrut di BP4 itu, sehingga
tidak bisa optimal dengan keterbatasan kemampuan. Saya pernah
mengusulkan untuk dimasukkan ahli psikolognya, ahli hukum dan lain
sebagainya jadi permasalahan orang itu bisa diberikan solusi yang terbaik
melalui tenaga ahlinya. Jadi semestinya para pihak yang berperkara
sebelum masuk ke pengadilan itu mereka sudah melalui tahap di BP4 itu
yang berada di bawah Departemen Agama, dengan catatatan apabila
lembaga tersebut benar-benar bisa optimal dalam menjakankan tugasnya
sehingga bisa membantu dalam proses perdaian kedua belah pihak.
Kesimpulan yang harus diterapkan agar mediasi ini lebih baik
lagi kedepannya yaitu, seharusnya kita harus merubah pola pikir
masyarakat. Artinya pola pikir yang lebih maju. Kemudian menambah
pengetahuan pranikah. Seperti halnya di Indonesia seseorang yang ingin
menikah ia hanya mendapatkan tausiah ataupun ceramah sekali pleh
KUA atau Penghulu kurang lebih setengah jam. Berbeda halnya di
Malaysia itu ada program khusus pranikah selama 6 bulan. Sebelum ia
menikah telah didaftarkan 6 bulan sebelumnya, kemudian satu bulan
bulak-balik untuk mengikuti pelatihan pranikah. Jadi benar-benar telah
dibekali ilmu. Kemudian benar-benar dioptimalkan peran BP4, karena
jarang ada pasangan yang ingin menikah datang ke BP4 untuk konsultasi,
jadi hanya beranggapan jika ingin menikah datang ke BP4 hanya sekedar
untuk melaksanakan pernikahan semata, padahal konsultasi itu sangat
perlu.
Interview Pribadi
Nama : Bpk. Drs. H. Kadi Satrowirjono, S.H
Jabatan : Mediator Non Hakim di Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
Hari/Waktu : Selasa, 25 Mei 2018
Penulis : Bagaimana Efektifitas Mediasi Dalam Penyelesaian Perceraian dan
Optimalisasi Peran Mediator di Pengadilan Agama Jakarta Selatan?
Narasumber : Mediator itu tidak bisa digugat, kecuali curang. Digugat karena
kecurangannya. Mediator Hakim itu tidak dibayar, beda halnya
Mediator Non Hakim itu dibayar karena ada istilah uang jasa mediator
nonhakim.
Penulis : Bagaimana Penerapan Mediasi Dalam Perkara Perceraian di
Pengadilan Agama Jakarta Selatan?
Narasumber : Dalam pelaksanannya Mediator Hakim itu menyerahkan kepada
Mediator Non Hakim untuk mediasi. Dan telah disepakati dengan ketua
pengadilan bahwa besaran biaya untuk melaksanakan mediasi itu adalah
untuk membayar jasa mediator nonhakim itu 150 ribu pada saat
mendaftar untuk melaksanakan mediasi. Sebenarnya aturan biaya itu
berdasarkan kesepakatan mediator dengan para pihak yang
bersangkutan, tapi dengan alasan untuk menghemat waktu dan apabila
para pihak tidak sanggup bayar tidak apa-apa. Pada dasarnya biaya
mediasi itu wajib, akan tetapi apabila para pihak keberatan tidak apa-
apa. Karena yang terpenting para pihak itu melakukan mediasi.
Interview Pribadi
Nama : Ibu Dra. Hj. Fadhilah Ahmad
Jabatan : Mediator Non Hakim di Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
Hari/Waktu : Selasa, 25 Mei 2018
Penulis : Bagaimana Efektifitas Mediasi Dalam Penyelesaian Perceraian dan
Optimalisasi Peran Mediator di Pengadilan Agama Jakarta Selatan?
Narasumber : Kita berharap bahwa dalam rangkaian bahwa bertujuan ingin
mendmaikan kedua belah pihak, kita berusaha semaksimal mungkin
ketika proses mediasi berlangsung. Kembali kepada diri pasangan
masing-masing, ada yang mau didamaikan ada yang tidak. Artinya
kesini sudah 75% ingin bercerai, imbasnya kemana terhadap anak-anak.
Apabila belum mumayyiz hak asuhnya ada di ibu. Apabila pihak-pihak
yang ingin bercerai kita pikirkan anak-anak mereka, bukan hanya
pribadi pasangan. Ada anak-anak dsitiu, anak apabila orangtuanya
sudah pisah siapa yang harus menanggung apabila ia masih mumayyiz,
bagaiumana nafkahnya. Terkadang sudah pisah sudah, tidak mau
diberikan beban. Mungkin misalnya ayahnya mau nikah lagi dengan
orang lain. Jadi saya selaku sesuai kesepakatan antara ayah dan ibunya.
Yaitu ayahnya yang memberikan nafkah kepada anaknya, saya kasih
bayangan, psoisi kita seperti anak itu. Anak itu amanat dari Allah, dan
berarti kita harus menjaga ia hingga dewasa. Itu merupakan tanggung
jawab orang tua. Untuk itu saya bilang kita coba supaya pelan, agar
pihak-pihak itu bisa menerima, terkadang pihak yang berperkara hanya
ingin bercerai namun imbasnya tidak dipikirkan selanjutnya.
Kebanyakan gagal, namun ada pula yang berhasil.
Penulis : Bagaimana Penerapan Mediasi Dalam Perkara Perceraian di
Pengadilan Agama Jakarta Selatan?
Narasumber : Sudah berjalan, namun kita pada awal kita gedor hati mereka dan harus
ada iktikad baik antara kedua belahpihak, dan membuka wacana pikiran
dia. Jadi jangan semata-mata, sudah cerai habis tanggung jawab, akan
tetapi masih ada anak-anak. Misal anak-anak masih sekolah ayahnya
harus memberi nafkah, tidak bisa begitu saja lepas tanggung jawab.
Karena harus dikawal setelah proses perceraian itu secara sungguh-
sungguh, jadi jangan hanya ada yang baru, yang lama ditingalkan.
Penulis : Bagaimana Efektifitas Peran Mediator Dalam Penyelesaian Perkara
Perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Selatan?
Narasumber : Untuk penerapannya kita tulis dalam sebuah nota kesepakatan baik
berhasil maupun tidak. Kita berusaha semaksimal mungkin, walupun
hasilnya ada pada pihak-pihak yang bersangkutan mau berdamai
ataupun tidak. Untuk itu adanya tim mediasi di Pengadilan Agama
supaya tidak bercerai itu yang pertama, kedua kalo seandainya mereka
sudah kekeh ingin bercerai kita harus mengawal anaknya sampai dia
memberikan nafkah kepada anaknya.
Penulis : Faktor-Faktor Apa Saja Yang Melatar Belakangi Terjadinya
Keberhasilan dan Kegagalan Dalam Peroses Mediasi?
Narasumber : Faktor yang melatarbelakangi terkadang terjadinya perceraian adalah
adanya pihak ketiga, selingkuh. Dan juga sering terjadinya cekcok
karena faktor ekonomi yaitu suami yang tidak bekerja. Jadi bermacam-
macam.
Penulis : Apakah Perlu Dibentuk Suatu Badan di Luar Pengadilan Untuk
Membantu Peran Mediator Dalam Menjalankan Tugasnya?
Narasumber : Perlu dibentuk, dulu sempat ada dio BP4 namun sekarang sudah tidak
ada. Namun proses mediasi di pihak keluarga juga penting, misal orang
tua mendamaikan itu termasuk proses mediasi. Artinya sebelum masuk
ke ranah pengadilan.
Penulis : Bagaimana Cara Mengoptimalkan Peran Mediator di Pengadilan
Agama Jakarta Selatan dan Apakah Telah Sesuai PERMA Nomor 1
Tahun 2016 Dalam Penerapannya di Pengadilan Agama Jakarta
Selatan?
Narasumber : Karena itu saya berharap adanya di sini itu, punya setiap bulan apa saja
yang terjadi selama proses perceraian itu yang melarbelakangi, akan
tetapi masih belum ada. Prose mediasi itu sendiri itu wajib, jadi
setelah masuk sidang pertama langsung diarahkan kesini baru
kemudian sidang lagi, jadi memberi waktu supaya mereka bisa
dimediasi supaya berhasil. Sebagaimana tujuan mediasi yaitu berhasil.
Interview Pribadi
Nama : Ibu Denti Rahmayanti
Jabatan : Sekretaris mediasi/bagian pendaftaran.
Hari/Waktu : Selasa, 17 April 2018
Penulis :Bagaimana proses pendaftaran mediasi di Pengadilan Agama Jakarta
Selatan?
Narasumber : Untuk proses pendafatran mediasi yaitu, setelah sidang pertama para
pihak mengikuti dan masuk ke ruangan sidang, kemudian hakim
memberikan instrumen mediasi baru kemudian mendaftar. Jadi setelah
adanya sidang pertama langsung mendaftar, biasanya daftarnya setelah
hari pertama sidang, apabila perkara itu tidak bisa dilanjutkan untuk
proses mediasi, maka akan dibuat skejul hari untuk bertemu Mediatornya.
Jadi menurut kesepakatan pihak yang berperkara dan Mediator tersebut
untuk melakuakan mediasi, tapi kebanyakan pada hari itu juga
diadakannya mediasi.
Penulis : Bagaimana perkembangan mediasi setelah adanya Perma No. 1 Tahun
2016?
Narasumber : Untuk perkembangan mediasi setelah adanya Perma No 1 Tahun 2016
itu bagus. Tergantung perkara saja, untuk pekerjaan saya sendiri tidak ada
kendala yang berarti. Maksudnya bagus, lebih rapih sekarang. Laporan
mediasi dibuat lebih komplit, lebih ditata dengan bagus. Artinya lebih
jelas prosesnya.
Penulis : Bagaimana proses penulisan dan pendataan untuk registrasi mediasi?
Narasumber : Saya hanya membuat berupa kolom pendafatarn, jadi ditentukan hari,
tanggal, tahun, dan jenis perkaranya. Tanpa adanya catatan khusus hanya
berpaku pada tulisan tangan di buku, tanpa adanya soft file. Untuk
pembuatan laporan mediasi, apabila ada instruksi langsung dari Mediator
baru diketik dan dibuat laporannya. Dan untuk laporannya biasanya
seminggu setelah adanya proses mediasi, baru kemudiaan laporan
tersebut diberikan ke Panitera pengganti. Keberhasilan gagal atau tidak
proses mediasi itu saya terima dari Mediatornya.
Lampiran Foto-Foto
Foto Bersama Bapak Nova, Petugas Staf di Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
Jadwal Tugas Mediator Non Hakim di Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
Foto Bersama Bapak Drs. H. Nawawi Ali, S.H., Mediator Non Hakim di Pengadilan Agama Jakarta
Selatan.
Foto Bersama Bapak Drs. H. Kadi Satrowirjono, S.H., Mediator Non Hakim di Pengadilan Agama
Jakarta Selatan.
Foto Bersama Bapak Drs. Syamsul Huda, S.H., Mediator Non Hakim di Pengadilan Agama Jakarta
Selatan.
Foto Bersama Ibu Dra. Hj. Fadhilah Ahmad Mediator Non Hakim di Pengadilan Agama Jakarta
Selatan.
Alur Administrasi Mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
Foto Ruang Mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
Foto Gedung Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
Buku Registrasi Mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan Tahun 2016.
Buku Registrasi Mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan Tahun 2017.
Buku Laporan Mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan Tahun 2016.
Buku Laporan Mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan Tahun 2017.
Laporan Perkara di Pengadilan Agama Jakarta Selatan Tahun 2016.