43
KASUS BANK GLOBAL SEJAK 14 Desember 2004, Bank Indonesia (BI) membekukan kegiatan usaha (BKU) PT Bank Global Tbk. Sekitar 8.000 nasabah yang tercatat di 13 kantor cabang terpaksa kerepotan mengurus dananya. Bukan hanya itu, ratusan investor publik pemegang saham juga menjadi tak jelas investasinya. Belum lagi bank dan pihak lain yang memiliki tagihan. Nasib ratusan karyawan pun menjadi tak menentu di tengah sulitnya lapangan kerja. Apa jadinya kalau mereka di-PHK? Jelas, akan menambah deretan panjang pengangguran. Semua itu tentu akan menambah beban pemerintah dalam memulihkan roda perekonomian, terutama sektor real. Menurut Deputi Senior Gubernur BI Dr. Miranda S Goeltom, ada empat alasan yang melatarbelakangi ditutupnya Bank Global. Pertama, terus memburuknya kondisi keuangan Bank Global. Karena bank publik ini terbukti memperjualbelikan surat berharga fiktif dan memberi kredit fiktif. BI menemukan sekitar Rp 30 milyar kredit fiktif dan Rp 400 milyar obligasi fiktif. Sehingga, rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio -- CAR) anjlok di bawah 8%. Dengan CAR yang terus anjlok, sebuah bank bukan hanya sulit berkembang, namun juga sulit bertahan. Kedua, tidak menyetorkan tambahan modal yang diminta BI sejak bank tersebut masuk pengawasan khusus (special surveillance unit) pada 27 Oktober hingga 13 Desember 2004. Ketiga, direksi Bank Global tidak menunjukkan iktikad baik untuk patuh pada aturan. Bahkan, dalam pengawasan BI dan kepolisian ada upaya

Etbis Global

Embed Size (px)

DESCRIPTION

etika bisnis global contoh kasus

Citation preview

Page 1: Etbis Global

KASUS BANK GLOBAL

SEJAK 14 Desember 2004, Bank Indonesia (BI) membekukan kegiatan usaha (BKU)

PT Bank Global Tbk. Sekitar 8.000 nasabah yang tercatat di 13 kantor cabang terpaksa

kerepotan mengurus dananya. Bukan hanya itu, ratusan investor publik pemegang saham juga

menjadi tak jelas investasinya. Belum lagi bank dan pihak lain yang memiliki tagihan. Nasib

ratusan karyawan pun menjadi tak menentu di tengah sulitnya lapangan kerja. Apa jadinya

kalau mereka di-PHK? Jelas, akan menambah deretan panjang pengangguran. Semua itu

tentu akan menambah beban pemerintah dalam memulihkan roda perekonomian, terutama

sektor real.

Menurut Deputi Senior Gubernur BI Dr. Miranda S Goeltom, ada empat alasan yang

melatarbelakangi ditutupnya Bank Global. Pertama, terus memburuknya kondisi keuangan

Bank Global. Karena bank publik ini terbukti memperjualbelikan surat berharga fiktif dan

memberi kredit fiktif. BI menemukan sekitar Rp 30 milyar kredit fiktif dan Rp 400 milyar

obligasi fiktif. Sehingga, rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio -- CAR) anjlok di

bawah 8%. Dengan CAR yang terus anjlok, sebuah bank bukan hanya sulit berkembang,

namun juga sulit bertahan.

Kedua, tidak menyetorkan tambahan modal yang diminta BI sejak bank tersebut masuk

pengawasan khusus (special surveillance unit) pada 27 Oktober hingga 13 Desember 2004.

Ketiga, direksi Bank Global tidak menunjukkan iktikad baik untuk patuh pada aturan.

Bahkan, dalam pengawasan BI dan kepolisian ada upaya secara sengaja dari pihak bank

tersebut untuk memusnahkan dan menghilangkan barang bukti. Keempat, direksi, pejabat

eksekutif, dan beberapa karyawan bank publik itu diduga telah melakukan tindak pidana

perbankan dengan merusak dan menghilangkan dokumen-dokumen penting bank.

Terkait dengan itu, ada sejumlah hal yang menarik dicermati dari kasus ini. Pertama,

sebagai perusahaan terbuka, semestinya Bank Global transparan dan menerapkan dengan

seksama asas good corporate governance. Tak boleh ada informasi material yang

disembunyikan. Penurunan CAR dari 44,84 % per September 2004 menjadi minus 39 %

dalam tempo dua bulan menunjukkan ada informasi material yang disembunyikan. Para

investor yang hanya mengandalkan data September 2004 tentu akan terkecoh.

Page 2: Etbis Global

Kedua, seperti dilansir Investor Daily Online (14/12/2004), bahwa kehancuran Bank Global

sangat boleh jadi disebabkan oleh sebuah kolusi antara pengelola Bank Global dengan

Prudence Asset Management (PAM). Bank Global memperdagangkan surat berharga

yang disebut reksadana, di mana para pembelinya adalah nasabah bank itu. Karena

reksadana yang dijual bernama prudence, wajar saja jika orang langsung menghubungkan

dengan PAM. Meski pihak PAM membantah, masyarakat cenderung berpendapat bahwa

reksadana prudence diterbitkan oleh PAM.

Pertanyaannya kemudian, jika PAM bukanlah penerbit reksadana prudence, lantas pihak

manakah yang menerbitkan surat berharga itu? Mengapa PAM tidak menuntut Bank Global

jika memang prudence bukanlah reksadana yang diterbitkannya? Data Bappepam memang

mengungkapkan bahwa PAM yang didirikan 22 April 2003 itu menerbitkan reksadana

prudence dana mantap. Total dana yang dikelola PAM sekitar Rp 11,5 milyar. Kecurigaan

juga diarahkan masyarakat ke pihak manajemen Bank Global, bahwa bank yang 9 %

sahamnya dimiliki PT Permata Prima Jaya dan 11,5 % sahamnya dimiliki PT Intermed

Pharmatama adalah penerbit reksadana fiktif itu. Bisa jadi, reksadana prudence adalah produk

kolusi PAM dan Bank Global.

Ketiga, kasus Bank Global mencoreng citra reksadana, sebuah instrumen pasar modal yang

mengalami pertumbuhan pesat selama dua tahun terakhir. Pada Oktober 2004, Nilai Aktiva

Bersih (NAB) reksadana mencapai Rp 101 trilyun, naik dari posisi Rp 69,5 trilyun per

Desember 2003 lalu. Keempat, kasus Bank Global mencerminkan lemahnya pengawasan BI

dan Bappepam.

Sebenarnya jika mengamati trend laporan keuangan Bank Global selama sepuluh bulan

(Desember 2003-September 2004), masyarakat mestinya sudah dapat menilai. Misalnya dari

sisi aset saja, tiap bulan terus berkurang dari Rp 2,27 trilyun per Desember 2003 menjadi Rp

1,79 trilyun per Juni 2004. Dana pihak ketiga juga menurun, dari Rp 1,37 trilyun menjadi Rp

890,1 milyar dalam periode yang sama. Dalam hal penyaluran kredit yang merupakan ''darah

bank'' untuk menghasilkan pendapatan bunga, Bank Global tidak menunjukkan kenaikan

yang signifikan. Nilai kredit tidak begitu besar hanya Rp 450 milyar per Desember 2003.

Bahkan kualitas kredit pun bukan semakin bagus, justru kian melorot.

Sementara penempatan dana pada instrumen surat berharga cukup besar mencapai Rp 1,1

trilyun per Desember 2003. Anehnya lagi, dalam hal perolehan dana dan permodalan, bank

Page 3: Etbis Global

ini sempat menerbitkan obligasi subdebt sekitar Rp 400 milyar. Tetapi justru dalam

penempatan dana itu kembali ditempatkan pada obligasi. Dari sini jelas terlihat, bisnis

Bank Global bukan layaknya bank yang menyalurkan kredit, tetapi lebih seperti

manajer investasi yang memainkan portofolionya pada instrumen-instrumen surat

berharga. Dengan realitas ini, semestinya nasabah mulai meragukan pengelolaan bank ini

sejak Juni 2004 lalu.

Keroposnya Manajemen

Pelajaran apa yang bisa kita petik dari kasus ini? Lagi-lagi persoalan modal yang rendah,

keroposnya pengelolaan manajemen perbankan kita, kelemahan struktural dalam pengelolaan

usaha bank sebagai lembaga kepercayaan, kurangnya transparansi dan pemahaman nasabah

terhadap laporan keuangan bank bersangkutan, serta kelemahan infrastruktur pengawasan

bank, kerapkali menjadi kendala hampir kebanyakan bank di Indonesia. Mungkin hal ini juga

tidak terlepas dari kondisi perbankan nasional secara menyeluruh. Sudahkah sektor pemicu

krisis ini sehat kembali dan telah berfungsi sebagaimana mestinya?

Sayangnya, lebih dari lima tahun dalam supervisi BPPN (yang telah dilikuidasi) dan BI,

bank-bank besar terutama bank-bank ''pelat merah'' masih sakit. Sampai kini, sektor

perbankan masih harus disusui oleh pemerintah. Memang, krisis telah menciutkan jumlah

bank. Tetapi, pengorbanan masyarakat sungguh luar biasa. Bank telah disuntik obligasi

rekapitalisasi senilai Rp 650 trilyun. Ini belum termasuk dana BLBI senilai Rp 144,5 trilyun.

Kini, apa hasilnya? Dari sekitar Rp 850 trilyun dana masyarakat yang dihimpun di

perbankan, hanya 48% yang disalurkan kembali sebagai kredit. Sisanya menumpuk di BI

dalam bentuk SBI dan obligasi rekapitalisasi yang bunganya dibayar (disubsidi) APBN. Pada

tahun 2004, subsidi bunga obligasi rekapitalisasi itu mencapai sekitar Rp 48 trilyun.

Kwik Kian Gie (2003) pernah menghitung, jika obligasi rekapitalisasi itu ditarik dari bank,

maka 10 bank besar (Mandiri, BNI, BRI, Danamon, BTN, BII, Permata, Lippo, Niaga dan

BCA) akan rugi Rp 37,6 trilyun. Sudah begitu, bank-bank ternyata mudah sekali ''dibobol

maling''. Pertanyaannya, apakah masih ada gunanya pemerintah (harus) memiliki bank? Apa

maknanya Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yang digembar-gemborkan BI?

Kita pun menyadari, usaha BI sebagai otoritas perbankan dalam mengangkat citra dunia

perbankan melalui berbagai pola pembinaan dan pengawasan justru seringkali tidak

Page 4: Etbis Global

memperoleh umpan balik yang produktif dari para pelaku, sehingga permasalahan-

permasalahan yang timbul seringkali merupakan dampak dari niat yang kurang baik dari para

pengurus dan pemilik bank itu sendiri.

Sehatnya sebuah bank tidak hanya berpatokan pada aset (modal) semata, tetapi juga harus

memperhitungkan faktor manajemen risiko yang meliputi delapan faktor, yakni risiko kredit,

risiko pasar, risiko likuiditas, risiko operasional, risiko hukum, risiko strategi, risiko

kepatuhan dan risiko reputasi. Tidak sedikit para bankir yang tidak bisa mengelola

manajemen risiko dengan baik, sehingga terjadi pelanggaran prinsip kehati-hatian bank. Yang

terpenting dari kasus-kasus pembekuan bank adalah pembelajaran bagi pemilik maupun

pengurus bank untuk bercermin diri dalam pengelolaan keuangan dan manajemen perbankan

agar tidak menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang ada, serta diharuskan menerapkan

prudent banking. Lebih khusus lagi, bagi para nasabah agar tidak gegabah dan senantiasa

berhati-hati jika ingin menempatkan dananya pada lembaga perbankan maupun lembaga

keuangan lainnya.

http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2004/12/23/o2.htm

Page 5: Etbis Global

Kasus Pelanggaran Kode Etik pada Kantor Akuntan Publik Jasa Audit di

PT.Telekomunikasi Indonesia

Pembacaan Putusan terhadap Dugaan Pelanggaran UU No. 5/1999 yang dilakukan oleh KAP

Drs. Hadi Sutanto & Rekan (KAP Pricewaterhouse Coopers)

Tidak lebih dari 8 bulan, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) melakukan

pemeriksaan dan menyusun putusan terhadap perkara No: 08/KPPU-L/2003 yaitu dugaan

pelanggaran UU No: 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan

Usaha Tidak Sehat yang dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) Drs. Hadi Sutanto &

Rekan -sekarang bernama KAP Haryanto Sahari & Rekan- yang merupakan member firm

dari Kantor Akuntan Publik Asing Pricewaterhouse Coopers (PwC) yang selanjutnya disebut

Terlapor.

Perkara ini muncul setelah adanya laporan yang pada pokoknya tindakan Terlapor

dengan sengaja memberikan interpretasi yang menyesatkan kepada PT. Telkom, PT.

Telkomsel, dan US SEC mengenai Standar Audit Amerika khususnya AU 543. Tindakan

Terlapor tersebut mengakibatkan rusaknya kualitas audit yang dilakukan oleh KAP Eddy

Pianto atas Laporan Keuangan Konsolidasi PT. Telkom tahun Buku 2002 sehingga

menghalangi KAP Eddy Pianto untuk bersaing dengan Terlapor sehubungan dengan

penyediaan layanan audit ke perusahaan-perusahaan besar yang tercatat di lantai bursa (BEJ).

Pada pemeriksaan pendahuluan, Tim Pemeriksa telah mendengar keterangan dari

Pelapor -identitas dirahasiakan sesuai dengan Pasal 38 UU No: 5 Tahun 1999- dan Terlapor;

hasilnya Tim Pemeriksa menemukan adanya indikasi pelanggaran terhadap Pasal 19 huruf a

dan huruf b UU No: 5 Tahun 1999 sehingga perlu ditindaklanjuti dengan pemeriksaan

lanjutan. Pada pemeriksaan lanjutan, Majelis Komisi telah mendengar keterangan para Saksi

di bawah sumpah, Ahli, dan Terlapor, serta memberikan kesempatan kepada Pelapor dan

Terlapor untuk menyampaikan data dan/atau informasi dan/atau tanggapan yang relevan

dengan pemeriksaan, dan Majelis Komisi telah menerima tanggapan tertulis dari Pelapor dan

Terlapor.

Inti permasalahan dari perkara ini adalah Terlapor -yang mengaudit Laporan

Keuangan PT. Telkomsel Tahun Buku 2002- tidak bersedia terasosiasi dengan pekerjaan

audit KAP Eddy Pianto karena Terlapor menghindari risiko yang dapat merugikan jika

terasosiasi dengan pekerjaan audit KAP Eddy Pianto. Ketidaksediaan Terlapor karena

Page 6: Etbis Global

keraguan kelayakan hak berpraktek KAP Eddy Pianto dihadapan US SEC serta meminta

kesempatan untuk membaca dan atau me-review seluruh copy Form 20-F PT. Telkom

sebelum diajukan ke US SEC. Untuk itu Terlapor menolak hasil auditnya untuk diacu dalam

pekerjaan audit KAP Eddy Pianto dalam Form 20-F PT. Telkom. KAP Eddy Pianto tetap

mengacu kapada hasil audit Terlapor dan menyelesaikan audit Laporan Keuangan

Konsolidasi PT. Telkom. Sementara itu, untuk tetap tidak terasosiasi dengan pekerjaan audit

KAP Eddy Pianto, Terlapor tidak memberi ijin laporan auditnya dilampirkan dalam Form 20-

F PT. Telkom.

Menurut Majelis Komisi, Terlapor tidak memiliki kewenangan untuk menilai

kualifikasi KAP Eddy Pianto untuk berpraktek di hadapan US SEC. Kewenangan tersebut

sepenuhnya merupakan kewenangan US SEC, untuk itu seharusnya Terlapor meminta

klarifikasi kepada US SEC. Dan hal ini tidak pernah dilakukan oleh Terlapor, akan tetapi

telah melakukan penilaian mengenai kualifikasi KAP Eddy Pianto. Dengan demikian,

tindakan Terlapor tidak berdasar hukum dan tidak wajar.

Terlapor mendasarkan Standar Audit SAS 8-merupakan standar audit yang berlaku di

Amerika Serikat (AS) mengenai informasi lain dalam dokumen yang berisi laporan keuangan

auditan- dalam kewajibannya untuk membaca terlebih dahulu Form 20-F PT. Telkom secara

keseluruhan adalah tidak memiliki dasar hukum yang jelas dan berlebihan. Karena, SAS 8

hanya mengatur hubungan antara auditor dengan auditan/kliennya, dan tidak mengatur

hubungan antara auditor dengan pihak lain selain auditan/kliennya. PT. Telkom bukanlah

auditan/klien dari Terlapor dan Form 20-F adalah dokumen lain yang diterbitkan oleh PT.

Telkom dalam rangka filing ke US SEC. Form 20-F PT. Telkom, tidak hanya memuat

keterangan-keterangan yang berkaitan dengan auditan/klien dari Terlapor namun juga

memuat keterangan-keterangan yang tidak berkaitan dengan auditan/klien dari Terlapor.

Alasan Terlapor mengenai risiko bila terasosiasi dengan pekerjaan audit KAP Eddy

Pianto dalam rangka filing Form 20-F PT. Telkom yang cacat dapat mengakibatkan Terlapor

dihukum atau ditolak baik secara sementara maupun permanen oleh US SEC didasarkan pada

ketentuan 17 C.F.F § 102 (e) The Commission Rules of Practice adalah tidak tepat. Terlapor

salah menerapkan ketentuan tersebut karena ketentuan tersebut hanya berlaku bagi

profesional yang berpraktek di hadapan US SEC dalam rangka mewakili pihak lain untuk

menyampaikan pemberitahuan, permohonan, laporan, pernyataan pendaftaran, dan dokumen

lain. Sedangkan dalam rangka filing Form 20-F PT. Telkom, Terlapor tidak dalam kapasitas

Page 7: Etbis Global

mewakili pihak manapun untuk berpraktek di hadapan US SEC. Terlapor adalah subyek

hukum badan usaha yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia sehingga tidak terikat oleh

ketentuan yang berlaku di AS tersebut. Sedangkan PwC, LL.P. -PwC berkedudukan di AS-

tidak terasosiasi dengan audit yang dikerjakan oleh Terlapor dan oleh karenanya juga tidak

terasosiasi dengan filing Form 20-F PT. Telkom. Tindakan Terlapor lebih banyak

dipengaruhi oleh afiliasinya (PwC, LL.P.) yang kemudian mencampuradukkan ketentuan

yang berlaku di AS tersebut.

Menurut Terlapor, berdasarkan AU 543, KAP Eddy Pianto harus meminta ijin

kepada Terlapor sebelum mengacu kepada hasil audit atas Laporan Keuangan PT. Telkomsel

Tahun Buku 2002. AU 543 paragraf 7 tidak mengharuskan auditor utama mendapatkan

persetujuan auditor lain apabila auditor utama mengacu pada hasil audit dari auditor lain

tersebut. Persetujuan tersebut diperlukan bila auditor utama menyebutkan nama auditor lain

dan laporannya disajikan bersama laporan auditor utama. KAP Eddy Pianto mengacu hasil

audit Terlapor tanpa menyebutkan nama Terlapor, sehingga penolakan Terlapor agar hasil

auditnya diacu oleh KAP Eddy Pianto adalah tidak berdasar hukum dan tidak wajar.

Berdasarkan AU 543 paragraf 7 terdapat catatan kaki nomor 3 yang pada pokoknya

menyatakan keperluan filing ke US SEC harus merujuk kepada Regulation S-X 205 yaitu bila

auditor utama mengacu kepada pekerjaan auditor lain, maka laporan audit dari auditor lain

tersebut harus disampaikan oleh perusahaan (registrant) ke US SEC dalam rangka filing Form

20-F. Untuk itu PT. Telkom berkewajiban melampirkan laporan audit Terlapor dalam Form

20-F yang disampaikan ke US SEC, dan KAP Eddy Pianto telah mengingatkan PT. Telkom

perihal tersebut, namun PT. Telkom berpendapat tidak memerlukan ijin dari Terlapor untuk

melampirkan laporan audit Terlapor dalam Form 20-F, dan Terlapor juga tidak memberi ijin

laporan auditnya dilampirkan dalam Form 20-F PT. Telkom karena tidak mau terasosiasi

dengan pekerjaan audit KAP Eddy Pianto. Oleh karena itu tindakan Terlapor berupa tidak

memberikan ijin pelampiran sebagai upaya tidak terasosiasi adalah tidak berdasar hukum dan

tidak wajar.

Tindakan Terlapor menyebabkan competitive harm dan consumer harm. Bagi KAP Eddy

Pianto, yaitu menimbulkan pernilaian bahwa KAP Eddy Pianto tidak dapat menyelesaikan

dan tidak mampu melakukan pekerjaan audit terhadap Laporan Keuangan PT. Telkom

tersebut. Penilaian tersebut berakibat menurunkan reputasi KAP second layer pada umumnya

Page 8: Etbis Global

di mata perusahaan pengguna jasa audit first layer, sehingga pilihan perusahaan pengguna

jasa audit first layer tetap terkonsentrasi pada KAP first layer. Bagi PT. Telkom, sebagai

pengguna jasa audit terpaksa harus mengeluarkan tambahan waktu, tenaga, dan biaya yang

seharusnya tidak perlu dikeluarkan bila proses pelaksanaan audit atas Laporan Keuangan

Konsolidasi PT. Telkom Tahun Buku 2002 berjalan normal/tidak terganggu oleh tindakan

Terlapor. Seluruh tambahan biaya yang dikeluarkan oleh PT. Telkom untuk melaksanakan

audit Laporan Keuangan tersebut menjadi beban PT. Telkom dan merugikan pemegang

saham PT. Telkom. Tidak dapat masuknya KAP Eddy Pianto ke dalam pasar bersangkutan

menyebabkan pilihan bagi perusahaan pengguna jasa audit first layer tidak bertambah,

sehingga menghilangkan potensi harga jasa audit yang lebih bersaing di pasar bersangkutan.

Berdasarkan fakta dan kesimpulan, Majelis Komisi memutuskan menyatakan

Terlapor terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar ketentuan Pasal 19 huruf a dan huruf

b UU No: 5/1999, dan menghukum Terlapor membayar denda sebesar Rp20.000.000.000,-

(dua puluh milyar rupiah).

Pemeriksaan dan penyusunan putusan terhadap perkara tersebut di atas dilakukan

oleh KPPU dengan prinsip independensi-tidak memihak siapapun- semata-mata sebagai

pengemban amanat pengawasan terhadap pelaksanaan UU No: 5/1999 agar terwujudnya

kepastian berusaha yang sama bagi setiap pelaku usaha dan menjamin persaingan usaha yang

sehat dan efektif.

Jakarta, 24 Juni 2004Komisi Pengawas Persaingan Usaha

Page 9: Etbis Global

KASUS PELANGGARAN ETIKA KAP Hans Tuanakotta and Mustofa

(Deloitte Touche Tohmatsu's affiliate)

Terkait dengan kasus penggelembungan dana yang diduga telah dilakukan oleh KAP

ini dan juga keterlibatannya dengan beberapa perusahaan, sebut saja PT. Kimia Farma yang

juga melibatkan Ludovicus Sensi W rekan KAP Hans Tuanakota Mustofa (HTM) selaku

auditor PT.Kimia Farma.

Seperti diberitakan sebelumnya, KAEF terpaksa melakukan audit ulang laporan

keuangan 2001 setelah akuntan publik perseroan, Hans Tuanakotta & Mustofa (HTM),

menemukan sejumlah kesalahan pencatatan yang berdampak pada naiknya jumlah laba

bersih. Setelah dilakukan audit ulang, ditemukan kesalahan pencatatan bernilai total Rp

32,558 miliar dengan porsi terbesar di pos pajak.

Menurut auditor dari HTM, Ludovicus Sensi W, restated tersebut dilakukan karena

adanya fundamental error dalam laporan keuangan 2001 Kimia Farma. Dia mengakui

kesalahan pencatatan ditemukan sejak Mei 2001 pada saat pihaknya melakukan audit

sehubungan dengan rencana go public Kimia Farma pada Juli 2001.

Penemuan itu, lanjut Ludovicus, kemudian diinformasikan kepada manajemen perseroan dan

pihak terkait, yakni Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) dan Kementerian Badan Usaha

Milik Negara (BUMN).

“Kami informasikan bahwa ada salah saji secara material dalam laporan keuangan tersebut.

Untung saja manajemen Kimia Farma tidak menolak dilakukan restated, sehingga kami tidak

jadi menarik opini kami,” kata Ludovicus.

Dalam restated laporan keuangan 2001, penjualan bersih turun dari Rp 1,422 triliun menjadi

Rp 1,409 triliun dan beban pokok penjualan naik dari Rp 909,290 miliar menjadi Rp 950,875

miliar. Sementara beban usaha turun dari Rp 339,589 miliar menjadi Rp 331,351 miliar dan

laba usaha turun dari Rp 173,882 miliar menjadi Rp 127,340 miliar.

Selain itu, laba sebelum pajak turun dari Rp 185,154 miliar menjadi Rp 138,612 miliar.

Dengan koreksi beban pajak dari Rp 52,891 miliar menjadi Rp 39,017 miliar, laba bersih

menjadi hanya Rp 99,594 miliar dari sebelumnya Rp 132,263 miliar.

Page 10: Etbis Global

Seperti diketahui, perusahaan farmasi terbesar di Indonesia itu telah mencatatkan laba bersih

2001 sebesar Rp 132,3 miliar. Namun kemudian Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam)

menilai, pencatatan tersebut mengandung unsur rekayasa dan telah terjadi penggelembungan.

Terbukti setelah dilakukan audit ulang, laba bersih 2001 seharusnya hanya sekitar Rp 100

miliar. Sehingga diperlukan lagi audit ulang laporan keuangan per 31 Desember 2001 dan

laporan keuangan per 30 Juni 2002 yang nantinya akan dipublikasikan kepada publik.

Berikut hasil dari pengamatan Bapepam mengenai kasus tersebut:

1. Kasus ini bermula dari ditemukannya hal-hal sebagai berikut:

a. Dalam rangka retrukturisasi PT Kimia Farma Tbk. (PT KAEF), Sdr. Ludovicus Sensi W

selaku partner dari KAP HTM yang diberikan tugas untuk mengaudit laporan keuangan PT

KAEF untuk masa 5 bulan yang berakhir pada 31 Mei 2002, menemukan dan melaporkan

adanya kesalahan dalam penilaian persediaan barang jadi dan kesalahan pencatatan penjualan

untuk tahun yang berakhir per 31 Desember 2001.

b. Selanjutnya diikuti dengan pemberitaan di harian Kontan yang menyatakan bahwa

Kementerian BUMN memutuskan penghentian proses divestasi saham milik Pemerintah di

PT KAEF setelah melihat adanya indikasi penggelembungan keuntungan (overstated) dalam

laporan keuangan pada semester I tahun 2002.

2. Berdasarkan hasil pemeriksaan Bapepam, diperoleh bukti sebagai berikut :

a. Terdapat kesalahan penyajian dalam laporan keuangan PT KAEF, adapun dampak

kesalahan tersebut mengakibatkan overstated laba pada laba bersih untuk tahun yang berakhir

31 Desember 2001 sebesar Rp 32,7 miliar yang merupakan 2,3% dari penjualan dan 24,7%

dari laba bersih PT Kimia Farma Tbk.

b. Kesalahan tersebut terdapat pada unit-unit sebagai berikut:

Unit Industri Bahan Baku

− Kesalahan berupa overstated pada penjualan sebesar Rp 2,7 miliar.

Unit Logistik Sentral

− Kesalahan berupa overstated pada persediaan barang sebesar Rp 23,9 miliar Unit Pedagang

Besar Farmasi (PBF)

Page 11: Etbis Global

− Kesalahan berupa overstated pada persediaan barang sebesar Rp 8,1 miliar.

− Kesalahan berupa overstated pada penjualan sebesar Rp 10,7 miliar.

c. Bahwa kesalahan penyajian tersebut, dilakukan oleh Direksi periode 1998–Juni 2002

dengan cara:

− Membuat 2 (dua) daftar harga persedian (master prices) yang berbeda masing-masing

diterbitkan pada tanggal 1 Februari 2002 dan 3 Februari 2002, dimana keduanya merupakan

master prices yang telah diotorisasi oleh pihak yang berwenang yaitu Direktur Produksi PT

KAEF. Master prices per 3 Februari 2002 merupakan masterprices yang telah disesuaikan

nilainya (penggelembungan) dan dijadikan dasar sebagai penentuan nilai persediaan pada unit

distribusi PT KAEF per 31 Desember 2001.

− Melakukan pencatatan ganda atas penjualan pada unit PBF dan unit Bahan Baku.

Pencatatan ganda tersebut dilakukan pada unit-unit yang tidak disampling oleh Akuntan.

d. Berdasarkan uraian tersebut di atas, tindakan yang dilakukan oleh PT KAEF terbukti

melanggar:

− Peraturan Bapepam Nomor VIII.G.7 tentang Pedoman Penyajian Laporan Keuangan.

e. Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan, terbukti bahwa Akuntan yang melakukan

audit Laporan Keuangan per 31 Desember 2001 PT KAEF:

− Telah melakukan prosedur audit termasuk prosedur audit sampling yang telah diatur dalam

Standar Profesional Akuntan Publik, dan tidak diketemukan adanya unsur kesengajaan

membantu manajemen PT KAEF dalam penggelembungan keuntungan tersebut. Namun

demikian proses audit tersebut tidak berhasil mendeteksi adanya penggelembungan laba yang

dilakukan oleh PT KAEF.

3. Sehubungan dengan temuan tersebut, maka sesuai dengan Pasal 102 Undang-undang

Nomor 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal jo Pasal 61 Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun

1995 jo Pasal 64 Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1995 tentang Penyelenggaraan

Kegiatan di Bidang Pasar Modal maka PT Kimia Farma (Persero) Tbk. Dikenakan sanksi

administratif berupa denda yaitu sebesar Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah);

Page 12: Etbis Global

4. Sesuai Pasal 5 huruf n Undang-undang Nomor 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal maka:

a. Direksi Lama PT Kimia Farma (Persero) Tbk. periode 1998 – Juni 2002 diwajibkan

membayar sejumlah Rp 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) untuk disetor ke Kas Negara,

karena melakukan kegiatan praktek penggelembungan atas laporan keuangan per 31

Desember 2001;

b. Sdr. Ludovicus Sensi W, Rekan KAP Hans Tuanakotta dan Mustofa selaku auditor PT

Kimia Farma (Persero) Tbk. diwajibkan membayar sejumlah Rp. 100.000.000,- (seratus juta

rupiah) untuk disetor ke Kas Negara, karena atas resiko audit yang tidak berhasil mendeteksi

adanya penggelembungan laba yang dilakukan oleh PT Kimia Farma (Persero) Tbk. tersebut,

meskipun telah melakukan prosedur audit sesuai dengan Standar Profesional Akuntan Publik

(SPAP), dan tidak diketemukan adanya unsur kesengajaan.

Analisis:

1. Jenis pelanggaran?

Pelanggaran yang telah dilakukan oleh KAP Hans Tuanakotta and Mustofa (Deloitte

Touche Tohmatsu's affiliate) adalah melanggar prinsip dasar etika profesi akuntan, terutama

integritas, objektivitas, dan perilaku profesional.

2.Siapa yang melakukan pelanggaran?

Akuntan publik Hans Tuanakotta & Mustofa ikut bersalah dalam manipulasi laporan

keuangan, karena sebagai auditor independen akuntan publik Hans Tuanakotta & Mustofa

(HTM) seharusnya mengetahui laporan-laporan yang diauditnya itu apakah berdasarkan

laporan fiktif atau tidak. Juga Sdr. Ludovicus Sensi W sebagai rekan kerjanya.

Untuk kasus PT. Kimia Farma, Direksi lama dan pihak manajemen yang melakukan

pelanggaran.

3.Apa akibatnya?

Risiko ini berdampak pada reputasi HTM dimata pemerintah ataupun publik, dan pada

akhirnya HTM harus menghadapi konsekuensi risiko seperti hilangnya kepercayaan publik

dan pemerintah akan kemampuan HTM, penurunan pendapatan jasa audit, hingga yang

terburuk adalah kemungkinan ditutupnya Kantor Akuntan Publik tersebut.

Page 13: Etbis Global

Diluar risiko bisnis, risiko etika yang dihadapi KAP HTM ini cenderung pada kemungkinan

dilakukannya kolaborasi dengan manajemen Kimia Farma dalam manipulasi laporan

keuangan. Walaupun secara fakta KAP HTM terbukti tidak terlibat dalam kasus manipulasi

tersebut, namun hal ini bisa saja terjadi.

4.Apa tindakan Pemerintah terhadap pelanggaran tersebut?

Tindakan pemerintah dilakukan dimulai dari Bapepam (Badan Pengawas Pasar Modal) yang

melakukan pemeriksaan laporan keuangan dan menemukan kesalahan yang terjadi. Lalu

ditindaklanjuti oleh BP2AP (Badan Peradilan Profesi Akuntan Publik) yaitu lembaga non

pemerintah yang dibentuk oleh Ikatan Akuntan Indonesa (IAI) dan pemberian sanksi

administratif berupa denda, peringatan tertulis, pembekuan izin usaha, atau pencabutan izin

usaha.

5. Melanggar UU pasal berapa?

Melanggar UU nomor 5 tahun 2011 tentang akuntan publik (Pasal 55 dan Pasal 56).

Tanggapan:

Menurut saya, dengan adanya kasus seperti ini terutama melibatkan salah satu KAP besar di

Indonesia membuat publik terutama menjadi kesulitan untuk menemukan KAP mana yang

dapat dipercaya. Tentunya semua pihak berharap agar tidak ada lagi kasus seperti ini. Untuk

itu diperlukan kerjasama lagi di antara pihak pemerintah, IAI, maupun akuntan publik sendiri

untuk bersama-sama membangun kepercayaan publik kembali terhadap profesi akuntan.

Sumber:

1. http://www.bumn.go.id/22368/publikasi/berita/kasus-salah-catat-laporan-keuangan-kimia-

farma-usulkan-nilai-dividen-2001-tetap/

2. www.bapepam.go.id

Page 14: Etbis Global

I. KONTROVERSI BANK LIPPO

A. Skandal Laporan Keuangan Ganda Bank Lippo

Kasus PT. Bank Lippo Tbk ini berawal dari laporan keuangan Triwulan III tahun

2002 yang dikeluarkan tanggal 30 September 2002 oleh PT. Bank Lippo Tbk, yaitu terjadi

perbedaan informasi atas Laporan Keuangan yang disampaikan ke public melalui iklan di

sebuah surat kabar nasional pada tanggal 28 November 2002 dengan Laporan Keuangan yang

disampaikan ke Bursa Efek Jakarta (BEJ).

Dalam laporan tersebut dimuat adanya pernyataan manajemen PT. Bank Lippo Tbk

bahwa Laporan Keuangan tersebut disusun berdasarkan Laporan Keuangan Konsolidasi yang

telah diaudit oleh KAP Prasetio, Sarwoko, Sandjaja (penanggung jawab Drs. Ruchjat

Kosasih) dengan Pendapat Wajar Tanpa Pengecualian.

Penyajian laporan tersebut dibuat dalam bentuk komparasi per 30 September 2002

(audited) dan per 30 september 2001 (unaudited). Dicantumkan, Nilai Agunan Yang Diambil

Alih (“AYDA”) per 30 September 2002 sebesar Rp. 2,393 triliun, total aktiva per 30

September 2002 sebesar Rp. 24,185 triliun, Laba tahun berjalan per 30 September 2002

sebesar Rp. 98,77 miliar, dan Rasio Kewajiban Modal Minimum Yang Tersedia (CAR)

sebesar 24,77%.

Pada Laporan Keuangan PT. Bank Lippo Tbk per 30 September 2002 –tanggal yang sama-

yang disampaikan ke Bursa Efek Jakarta (BEJ) pada tanggal 27 Desember 2002, ternyata

disampaikan laporan yang berbeda. Laporan itu mencantumkan Pernyataan manajemen PT.

Bank Lippo Tbk bahwa Laporan Keuangan yang disampaikan adalah Laporan Keuangan

“audited” yang tidak disertai dengan laporan auditor independen yang berisi opini Akuntan

Publik.

Penyajian laporan juga dilakukan dalam bentuk komparasi per 30 September 2002

(audited) dan 30 September 2001 (unaudited). Dicantumkan Nilai Agunan Yang Diambil

Alih Bersih (“AYDA”) per 30 September 2002 sebesar Rp. 1,42 triliun, total aktiva per 30

September 2002 sebesar Rp. 22,8 triliun, Rugi bersih per 30 September 2002 sebesar Rp.

1,273 triliun, dan Rasio Kecukupan Modal Minimum (CAR) sebesar 4,23%.

Dapat dilihat, bahwa pada tanggal yang sama ditemukan perbedaan. Perbedaan

tersebut baik dalam jumlah AYDA, total aktiva, CAR, bahkan kondisi untung rugi. Atas hal

Page 15: Etbis Global

tersebut, Pada tanggal 6 Januari 2003, Akuntan Publik KAP Prasetio, Sarwoko & Sandjaja

menyampaikan Laporan Keuangan PT. Bank Lippo Tbk per 30 September 2002 kepada

manajemen PT. Bank Lippo.

Dalam laporan tersebut dikemukakan bahwa Laporan Auditor independen yang berisi

opini Akuntan Publik Drs. Ruchjat Kosasih dari KAP Prasetio, Sarwoko & Sandjaja dengan

pendapat Wajar Tanpa Pengecualian. Laporan Auditor independen tersebut tertanggal 20

November 2002, kecuali untuk catatan 40a tertanggal 22 November 2002 dan catatan 40c

tertanggal 16 Desember 2002.

Penyajian dalam bentuk komparasi per 30 September 2002, 31 Desember 2001 dan 31

Desember 2000. Total aktiva per 30 September 2002 sebesar Rp. 22,8 triliun, Nilai Agunan

Yang Diambil Alih Bersih (AYDA) per 30 September 2002 sebesar Rp. 1,42 triliun, Rugi

bersih per 30 September 2002 sebesar Rp. 1,273 triliun, Rasio Kecukupan Modal sebesar Rp.

4,23%.

B. Saham

Pada periode yang sama sejumlah broker melakukan transaksi jual dalam jumlah sangat

besar. Ironisnya, pada 14 Februari broker yang sama berbalik melakukan transaksi beli dalam

volume signifikan. Praktik semacam itu menguatkan dugaan memang terjadi manipulasi

laporan keuangan serta insider trading.Dengan tujuan, manajemen (khususnya pemilik lama)

bisa masuk dan menguasai saham mayoritas bank itu.

Banyak yang menduga skenario yang mereka inginkan adalah pihak manajemen ingin

menawar saham terbatas (rights issue). Lewat cara itu pemegang saham mayoritas saat ini,

yaitu pemerintah, mau tidak mau harus mengeluarkan banyak uang. Karena jika tidak

dilakukan, kepemilikan sahamnya terdilusi.Ringkas kata, pemilik lama menginginkan

pemerintah merekapitalisasi tahap kedua terhadap bank itu.

C. Bank Lippo Menyokong Dana Kampanye Bill Clinton

Hubungan erat antara grup Lippo dengan Partai Demokrat AS bermula dari tahun 1976 James

Riady, anak Mochtar Riady si bos Lippo, berangkat ke New York untuk bekerja di Irving

Trust Banking Company di tahun 1975. Tak lama, James Riady pindah ke Little Rock,

Arkansas (kota kelahiran Bill Clinton) di tahun 1976.

Page 16: Etbis Global

Di Arkansas, James Riady bersama Jack Steven mendirikan Worthen Bank dengan

modal awal US$ 20 juta. Jack Steven, yang disebut-sebut sebagai Godfathernya Arkansas ini

adalah rekan dekat Mochtar Riady. Melalui Jack Steven inilah, James Riady bisa kenalan

dengan Jimmy Carter, Bill Clinton dan sebagainya.

Pada tahun 1984, James Riady ditunjuk Jack Steven menjadi Direktur Utama Worthen

Bank.James Riady pun lalu menunjuk Hillary Clinton sebagai pengacara Worthen Bank.

Disinilah hubungan James Riady dengan pasutri Clinton merapat

Pada tahun 1990an, Bill Clinton menyatakan kepada James Riady kalau ia berencana

maju ke pemilu presiden AS. James Riady pun memberitakan kabar tersebut kepada ayahnya,

Mochtar Riady.Mochtar Riady pun langsung memerintahkan James Riady partisipasi aktif

dalam kampanye Bill Clinton. Tak cuma James Riady, seluruh anggota dan jaringan yang

dimiliki Lippo Group pun dikerahkan untuk membantu kampanye Bill Clinton

Bentuk sokongan James Riady dan Ted Sioeng pada Bill Clinton – Al Gore adalah

pengumpulan dana kampanye. Fokus dari tim pengumpulan dana kampanye Clinton – Al

Gore yang ditangani James Riady dan Ted Sioeng adalah dari pengusaha-pengusaha Asia.

jumlahnya dana yang dikumpulkan James Riady – Ted Sioeng untuk Clinton – Al Gore

mencapai US$ 7,5 juta.

Secara pribadi dan perusahaan, keluarga Riady dan Lippo Group mendapat jaringan

dan keleluasaan berbisnis di AS . Indonesia pun mendapat ‘Keringanan bea impor’ ke AS

pada masa Bill Clinton. Karena para pengusaha Tionghoa di Indonesia ikut menyetor dana ke

Clinton, maka mereka melobi kemudahan perdagangan, Tak cuma Indonesia, RRC pun

ikutan memperoleh kemudahan impor produk-produk RRC ke AS semasa Clinton.

Hasil kerja #LippoGate inilah yang menjadi salah satu pemicu kenapa para pengusaha

Tionghoa Indonesia mulai eksodus ke pasar global.Sejak tahun 1994, satu per satu para

pengusaha besar memindahkan markas besar usahanya ke luar negeri.Indonesia hanya

menjadi tempat beroperasinya alat-alat produksi, tapi hasil, uang dan keuntungannya semua

dibawa ke Singapura dan Hong Kong.Dampak migrasi dana-dana para pengusaha ini bagi

Indonesia??Rupiah mengalami pelemahan berturut-turut dan menjadi salah satu pemicu krisis

moneter Asia.

Ketika skandal sumbangan Lippo Grup utk kampanye Clinton tsb terbongkar, Partai

Demokrat terpaksa kembalikan hampir US$ 500 ribu. Sementara itu, Muchtar dan James

Page 17: Etbis Global

Riady /Lippo Grup dinyatakan bersalah oleh pengadilan AS atas pelanggaran UU dana

kampanye AS karena terbukti melanggar hukum terkait pemberian sumbangan dana

kampanye Capres PD, Bill Clinton. Keluarga Riady /Lippo Grup dihukum membayar denda

US$ 8.6 juta atau Rp. 86 milyar atas pelanggaran tersebut.

II. PELANGGARAN HUKUM OLEH BANK LIPPO

Di dalam kasus PT. Lippo Bank Tbk tersebut mengandung 3 (tiga) unsur dari pasal 93

Undang-Undang Pasar Modal.Pertama, tindakan tersebut mempengaruhi harga Efek di Bursa

Efek.

Dari fakta menunjukan bahwa tindakan PT. Bank Lippo Tbk dengan memberikan

informasi yang menyesatkan pada laporan keuangan per 30 September 2002 telah

menimbulkan ketidakpastian di masyarakat sehingga mempengaruhi harga Efek di

Bursa.Saham PT. Lippo Bank Tbk pun mengalami fluktuasi yang tajam disebabkan oleh

missleading information tersebut.

Terlihat bahwa akibat laporan keuangan yang diterbitkan tersebut menggerakkan

harga.Bahkan, tidak semata-mata berdampak pada saham PT Bank Lippo, tbk semata, tetapi

juga bursa efek secara keseluruhan.

Kedua, setiap Pihak dilarang dengan cara apapun, membuat pernyataan atau

memberikan keterangan yang secara material tidak benar atau menyesatkan. Dalam kasus

tersebut ditemukan fakta sebagai berikut bahwa dalam Laporan Keuangan per 30 September

2002 yang diiklankan di media massa pada tanggal 28 November 2002, Manajemen PT.

Bank Lippo Tbk menyatakan bahwa Laporan Keuangan tersebut disusun berdasarkan

Laporan Keuangan Konsolidasi yang telah diaudit oleh KAP Prasetyo, Sarwoko dan Sandjaja

dengan opini Wajar Tanpa Pengecualian.

Akan tetapi, Hasil pemeriksaan Bapepam menunjukan bahwa laporan keuangan PT.

Bank Lippo Tbk per 30 September 2002 yang diiklankan pada tanggal 28 November 2002

adalah laporan keuangan yang tidak diaudit meskipun angka-angkanya sama seperti yang

tercantum dalam Laporan Auditor Independen. Hal ini menunjukan bahwa pernyataan atau

keterangan yang diberikan oleh pihak manajemen PT. Bank Lippo Tbk dalam laporan

tersebut secara material tidak benar atau menyesatkan.

Page 18: Etbis Global

Ketiga, pihak yang bersangkutan mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa

pernyataan atau keterangan tersebut secara material tidak benar atau menyesatkan atau tidak

cukup berhati-hati dalam menentukan kebenaran material dari pernyataan atau keterangan

tersebut.

Pencantuman kata “audited” pada Laporan Keuangan PT. Bank Lippo Tbk per 30

September 2002 membawa implikasi pada perhitungan akun-akun didalamnya yang terlihat

baik namun sesungguhnya bukan keadaan yang sebenarnya. Laporan keuangan yang

disampaikan ke publik tanggal 28 November 2002 mencatat total aktiva per 30 September

2002 sebesar Rp. 24,185 triliun, laba tahun berjalan sebesar Rp. 98,77 miliar dan CAR

sebesar 24,77%.

Sekilas dengan membaca laporan ini, Investor melihat bahwa kinerja perusahaan

berjalan dengan bagus. Dengan demikian keputusan-keputusan yang diambil investor akan

menguntungkan perusahaan misalnya Investor melakukan pembelian saham Lippo secara

besar-besaran.

Hal ini tentunya merugikan Investor sebab dengan dasar informasi yang salah maka

keputusan yang diambilnya juga tidak tepat. Keadaan yang sebenarnya adalah sebagaimana

Laporan Keuangan per 30 September yang disampaikan ke BEJ tanggal 27 Desember 2002

yang sudah diaudit oleh KAP Prasetyo, Sarwoko dan Sandjaja dimana total aktiva per 30

September 2002 sebesar Rp. 22,8 triliun, rugi bersih sebesar Rp. 1,273 triliun dan CAR

sebesar 4,23%.

III. PENJELASAN DARI PIHAK BANK LIPPO

Dari fakta yang telah diuraikan sebelumnya, PT. Bank Lippo Tbk telah dua kali

memberikan penjelasan dan pemaparan kepada publik berkaitan dengan adanya perbedaan

dalam Laporan Keuangan per 30 September 2002 yang disampaikannya.

Pertama, dalam pengumuman penjelasan di Harian Investor tanggal 17 Januari 2003.

PT Bank Lippo Tbk menegaskan bahwa Laporan Keuangan PT. Bank Lippo Tbk per 30

September 2002 adalah informasi yang akurat dan benar serta mencerminkan kinerja Bank

Lippo yang sesungguhnya yakni CAR 24,77% dan NPL 9,03%.

Kedua, dalam paparan publik di Hotel Aryaduta Jakarta tanggal 11 Februari 2003.

Manajemen PT. Bank Lippo Tbk kembali menegaskan bahwa angka-angka yang disajikan

Page 19: Etbis Global

dalam Laporan Keuangan per 30 September 2002 yang telah dipublikasikan ke media massa

pada 28 November 2002 dalam rangka memenuhi peraturan BI adalah angka-angka yang

akurat dan benar serta telah disajikan sesuai dengan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan

(PSAK) dan Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia (PAPI).

Sementara itu dilain pihak, Auditor dari laporan keuangan Bank Lippo per 30

September 2002 yakni Ernst & Young and Partner (Prasetyo, Sarwoko dan Sandjaja) dalam

penjelasan tertulisnya kepada Bapepam menyatakan bahwa mengaudit satu laporan. Laporan

keuangan itulah yang disampaikan kepada BEJ tanggal 27 Desember 2002. Dijelaskan bahwa

dalam laporan keuangan hasil audit Ernst & Young and Partner (Prasetyo, Sarwoko dan

Sandjaja) berbeda dengan laporan konsolidasi yang dipublikasikan.

Laporan keuangan yang dipublikasikan tanggal 28 November 2002 menyebutkan

aktiva Bank Lippo sebesar Rp. 24 triliun dan laba bersih sebesar Rp. 28 miliar. Padahal

menurut laporan yang diaudit oleh tim audit dari Ernst & Young and Partner (Prasetyo,

Sarwoko dan Sandjaja) sebagaimana dilaporkan kepada BEJ tanggal 27 Desember 2002

menyebutkan aktiva Rp. 22,8 triliun dan rugi bersih Rp. 1,3 triliun. Dengan demikian terdapat

ketidakcocokan antara keterangan yang diberikan oleh pihak manajemen dengan pihak

auditornya.

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pihak manajemen PT. Bank Lippo Tbk

tidak cukup berhati-hati dalam menentukan kebenaran material dari pernyataan atau

keterangannya dalam laporan keuangan per 30 September 2002 yang disampaikan ke publik

tanggal 28 November 2002.Pihak manajemen dalam mempublikasikan laporan keuangan

tersebut terbukti tidak berkoordinasi terlebih dahulu dengan pihak auditor Ernst & Young and

Partner (Prasetyo, Sarwoko dan Sandjaja).

Oleh karena ketiga unsur dalam pasal 93 Undang-undang Pasar Modal telah terpenuhi

maka tindakan pihak manajemen PT. Bank Lippo Tbk dalam memberikan keterangan atau

informasi laporan keuangan per 30 September 2002 yang disampaikan ke publik merupakan

suatu tindakan penyesatan informasi publik (misleading information). Dengan demikian,

memang benar telah terdapat pelanggaran hukum yang dilakukan oleh PT. Bank Lippo, Tbk.

IV. PUTUSAN ATAS KASUS LAPORAN GANDA BANK LIPPO

Page 20: Etbis Global

Sanksi BEJ atas Bank Lippo adalah berupa peringatan keras, selain itu BEJ

mewajibkan Bank Lippo menyerahkan laporan kemajuan (progress report) setiap minggu

sekali mulai 24 Februari sampai keluarnya laporan keuangan auditan tahun 2002.

Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) pun memberikan sanksi. Dalam siaran

persnya tanggal 17 Maret 2003 mengumumkan pemberian sanksi administratif kepada

Direksi PT. Bank Lippo Tbk berupa kewajiban menyetor uang ke Kas Negara sejumlah Rp.

2,5 miliar. Sedangkan terhadap PT. Bank Lippo Tbk diwajibkan untuk memberikan

penjelasan kepada pemegang saham perihal kekurang hati-hatian yang telah dilakukan serta

sanksi administratif yang diterima oleh PT. Bank Lippo Tbk dalam Rapat Umum Pemegang

Saham berikutnya.

Pihak yang bertanggung jawab dalam pelanggaran ini adalah Akuntan Publik Drs.

Ruchjat Kosasih dari KAP Prasetyo, Sarwoko dan Sandjaja sebagai penanggung jawab

pemeriksaan atau audit atas laporan keuangan PT. Bank Lippo Tbk per 30 September 2002.

Atas kelalaian yang dilakukannya Bapepam menjatuhkan sanksi administratif berupa

kewajiban menyetor uang ke Kas Negara sebesar Rp. 3,5 juta.

V. KESIMPULAN

Jadi dari penjelasan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa Bank Lippo Tbk. terbukti

melakukan pelanggaran hukum atas Pasal 93 Undang Undang Pasar Modal.Pelanggaran

hukum ini terjadi karena sistem yang ada dalam soal laporan keuangan memang cukup

rumit.Kerumitan ini rentan menghadirkan kelalaian dari pihak pelaku pasar modal.

Dan dalam hal pengenaan sanksi, sanksi nya tidak tepat karena sanksi yang dikenakan

(hanya bersifat administratif) tidak sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 93 Undang-

Undang Pasar Modal yang sangat jelas mencederai asas kepastian hukum dan menyebabkan

ketidakpastian hukum.

Page 21: Etbis Global

KASUS PTKAI TENTANG PENGGELEMBUNGAN DANA

PT KERETA API INDONESIA (PT KAI) terdeteksi adanya kecurangan dalam

penyajian laporan keuangan. Ini merupakan suatu bentuk penipuan yang dapat menyesatkan

investor dan stakeholder lainnya. Kasus ini juga berkaitan dengan masalah pelanggaran kode

etik profesi akuntansi. Diduga terjadi manipulasi data dalam laporan keuangan PT KAI tahun

2005, perusahaan BUMN itu dicatat meraih keutungan sebesar Rp6,9 Miliar. Padahal apabila

diteliti dan dikaji lebih rinci, perusahaan justru menderita kerugian sebesar Rp63 Miliar.

Komisaris PT KAI Hekinus Manao yang juga sebagai Direktur Informasi dan

Akuntansi Direktorat Jenderal Perbendaharaan Negara Departemen Keuangan mengatakan,

laporan keuangan itu telah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik S. Manan. Audit terhadap

laporan keuangan PT KAI untuk tahun 2003 dan tahun-tahun sebelumnya dilakukan oleh

Badan Pemeriksan Keuangan (BPK), sedangkan untuk tahun 2004 diaudit oleh BPK dan

akuntan publik.

Hasil audit tersebut kemudian diserahkan Direksi PT KAI untuk disetujui sebelum

disampaikan dalam Rapat Umum Pemegang Saham, dan Komisaris PT KAI yaitu Hekinus

Manao menolak menyetujui laporan keuangan PT KAI tahun 2005 yang telah diaudit oleh

akuntan publik. Setelah hasil audit diteliti dengan seksama, ditemukan adanya kejanggalan

dari laporan keuangan PT KAI tahun 2005 sebagai berikut:

1. Pajak pihak ketiga sudah tiga tahun tidak pernah ditagih, tetapi dalam

laporan keuangan itu dimasukkan sebagai pendapatan PT KAI selama tahun 2005.

Kewajiban PT KAI untuk membayar surat ketetapan pajak (SKP) pajak pertambahan nilai

(PPN) sebesar Rp 95,2 Miliar yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak pada akhir

tahun 2003 disajikan dalam laporan keuangan sebagai piutang atau tagihan kepada beberapa

pelanggan yang seharusnya menanggung beban pajak itu. Padahal berdasarkan Standar

Akuntansi, pajak pihak ketiga yang tidak pernah ditagih itu tidak bisa dimasukkan sebagai

aset. Di PT KAI ada kekeliruan direksi dalam mencatat penerimaan perusahaan selama tahun

2005.

2. Penurunan nilai persediaan suku cadang dan perlengkapan sebesar Rp24 Miliar

yang diketahui pada saat dilakukan inventarisasi tahun 2002 diakui manajemen PT KAI

sebagai kerugian secara bertahap selama lima tahun. Pad akhir tahun 2005 masih tersisa

Page 22: Etbis Global

saldo penurunan nilai yang belum dibebankan sebagai kerugian sebesar Rp6 Miliar, yang

seharusnya dibebankan seluruhnya dalam tahun 2005.

3. Bantuan pemerintah yang belum ditentukan statusnya dengan modal total nilai

kumulatif sebesar Rp674,5 Miliar dan penyertaan modal negara sebesar Rp70 Miliar oleh

manajemen PT KAI disajikan dalam neraca per 31 Desember 2005 sebagai bagian dari

hutang.

4. Manajemen PT KAI tidak melakukan pencadangan kerugian terhadap

kemungkinan tidak tertagihnya kewajiban pajak yang seharusnya telah dibebankan kepada

pelanggan pada saat jasa angkutannya diberikan PT KAI tahun 1998 sampai 2003.

Perbedaan pendapat terhadap laporan keuangan antara Komisaris dan auditor akuntan

publik terjadi karena PT KAI tidak memiliki tata kelola perusahaan yang baik. Ketiadaan tata

kelola yang baik itu juga membuat komite audit (komisaris) PT KAI baru bisa mengakses

laporan keuangan setelah diaudit akuntan publik. Akuntan publik yang telah mengaudit

laporan keuangan PT KAI tahun 2005 segera diperiksa oleh Badan Peradilan Profesi Akuntan

Publik. Jika terbukti bersalah, akuntan publik itu diberi sanksi teguran atau pencabutan izin

praktik.

Kasus PT KAI berawal dari pembukuan yang tidak sesuai dengan standar yang telah

ditetapkan. Sebagai akuntan sudah selayaknya menguasai prinsip akuntansi berterima umum

sebagai salah satu penerapan etika profesi. Kesalahan karena tidak menguasai prinsip

akuntansi berterima umum bisa menyebabkan masalah yang sangat menyesatkan.

Laporan Keuangan PT KAI tahun 2005 disinyalir telah dimanipulasi oleh pihak-

pihak tertentu. Banyak terdapat kejanggalan dalam laporan keuangannya. Beberapa data

disajikan tidak sesuai dengan standar akuntansi keuangan. Hal ini mungkin sudah biasa

terjadi dan masih bisa diperbaiki. Namun, yang menjadi permasalahan adalah pihak auditor

menyatakan Laporan Keuangan itu Wajar Tanpa Pengecualian. Tidak ada penyimpangan dari

standar akuntansi keuangan. Hal ini lah yang patut dipertanyakan.

Dari informasi yang didapat, sejak tahun 2004 laporan PT KAI diaudit oleh Kantor

Akuntan Publik. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yang melibatkan BPK sebagai

auditor perusahaan kereta api tersebut. Hal itu menimbulkan dugaan kalau Kantor Akuntan

Publik yang mengaudit Laporan Keuangan PT KAI melakukan kesalahan.

Page 23: Etbis Global

Profesi Akuntan menuntut profesionalisme, netralitas, dan kejujuran. Kepercayaan

masyarakat terhadap kinerjanya tentu harus diapresiasi dengan baik oleh para akuntan. Etika

profesi yang disepakati harus dijunjung tinggi. Hal itu penting karena ada keterkaitan kinerja

akuntan dengan kepentingan dari berbagai pihak. Banyak pihak membutuhkan jasa akuntan.

Pemerintah, kreditor, masyarakat perlu mengetahui kinerja suatu entitas guna mengetahui

prospek ke depan. Yang Jelas segala bentuk penyelewengan yang dilakukan oleh akuntan

harus mendapat perhatian khusus. Tindakan tegas perlu dilakukan.

PEMBAHASAN KASUS

Kasus di atas merupakan Kasus Manipulasi Laporan Keuangan PT KAI yang

dilakukan oleh Manajemen PT KAI dan Ketidakmampuan KAP dalam mengindikasi

terjadinya manipulasi.

Analisis 5 Question Approach:

• Profitable

1. Pihak yang diuntungkan adalah Manajemen PT KAI karena kinerja keuangan

perusahaan seolah-olah baik (laba Rp6.9 M), meskipun pada kenyataannya menderita

kerugian Rp 63 M. Tidak tertutup kemungkinan, pihak manajemen memperoleh bonus dari

“laba semu” tersebut.

2. Pihak lain yang diuntungkan adalah KAP S. Manan & Rekan, dimana

dimungkinkan memperoleh Fee khusus karena memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian.

• Legal

1. PT KAI melanggar Pasal 90 UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal “Dalam kegiatan

perdagangan efek, setiap pihak dilarang secara langsung maupun tidak langsung:

1.Menipu atau mengelabui Pihak lain dengan menggunakan sarana dan atau cara apa pun;

2. Turut serta menipu atau mengelabui Pihak lain; dan

3. Membuat pernyataan tidak benar mengenai fakta yang material atau tidak mengungkapkan

fakta yang material agar pernyataan yang dibuat tidak menyesatkan mengenai keadaan yang

terjadi pada saat pernyataan dibuat dengan maksud untuk menguntungkan atau

Page 24: Etbis Global

menghindarkan kerugian untuk diri sendiri atau Pihak lain atau dengan tujuan mempengaruhi

Pihak lain untuk membeli atau menjual Efek.”

PT KAI dapat dikenakan sanksi sesuai Pasal 107 UU No.8 Tahun 1995 yang

menyatakan: “Setiap Pihak yang dengan sengaja bertujuan menipu atau merugikan Pihak lain

atau menyesatkan Bapepam, menghilangkan, memusnahkan, menghapuskan, mengubah,

mengaburkan, menyembunyikan, atau memalsukan catatan dari Pihak yang memperoleh izin,

persetujuan, atau pendaftaran termasuk Emiten dan Perusahaan Publik diancam dengan

pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima

miliar rupiah).”

(2) KAP S. Manan & Rekan melanggar Standar Profesi Akuntan Publik (SPAP)

• Fair

Perbuatan manajemen PT.KAI merugikan publik/masyarakat dan pemerintah.

1) Publik (investor); dirugikan karena memperoleh informasi yang menyesatkan,

sehingga keputusan yang diambil berdasarkan informasi keuagan PT. KAI menjadi tidak

akurat/salah.

2) Pemerintah; dirugikan karena dengan rekayasa keuangan tersebut maka pajak

yang diterima pemerintah lebih kecil.

• Right

1) Hak-hak Publik; dirugikan karena investor memperoleh informasi yang

menyesatkan, sehingga keputusan yang diambil menjadi salah/tidak akurat.

2) Pemerintah; dirugikan karena pajak yang diterima pemerintah menjadi lebih kecil.

• Suistainable Development

1) Rekayasa yang dilakukan manajemen PT KAI bersifat jangka pendek dan bukan

jangka panjang, karena hanya menginginkan keuntungan/laba untuk kepentingan

pribadi/manajemen (motivasi bonus).

3. Prinsip Etika Yang Dilanggar:

Page 25: Etbis Global

Selain akuntan eksternal dan komite audit yang melakukan kesalahan dalam hal

pencatatan laporan keuangan, akuntan internal di PT. KAI juga belum sepenuhnya

menerapkan 8 prisip etika akuntan. Dari kedelapan prinsip akuntan yaitu tanggung jawab

profesi, kepentingan publik, integritas, objektifitas, kompetensi dan kehati-hatian profesional,

kerahasiaan, perilaku profesional, dan standar teknis, prinsip-prinsip etika akuntan yang

dilanggar antara lain :

1) Tanggung jawab profesi ;

Dimana seorang akuntan harus bertanggung jawab secara professional terhadap

semua kegiatan yang dilakukannya. Akuntan Internal PT. KAI kurang bertanggung jawab

karena dia tidak menelusuri kekeliruan dalam pencatatan dan memperbaiki kesalahan tersebut

sehingga laporan keuangan yang dilaporkan merupakan keadaan dari posisi keuangan

perusahaan yang sebenarnya.

2) Kepentingan Publik ;

Dimana akuntan harus bekerja demi kepentingan publik atau mereka yang

berhubungan dengan perusahaan seperti kreditur, investor, dan lain-lain. Dalam kasus ini

akuntan PT. KAI diduga tidak bekerja demi kepentingan publik karena diduga sengaja

memanipulasi laporan keuangan sehingga PT. KAI yang seharusnya menderita kerugian

namun karena manipulasi tersebut PT. KAI terlihat mengalami keuntungan. Hal ini tentu saja

sangat berbahaya, termasuk bagi PT. KAI. Karena, apabila kerugian tersebut semakin besar

namun tidak dilaporkan, maka PT. KAI bisa tidak sanggup menanggulangi kerugian tersebut.

3) Integritas ;

Dimana akuntan harus bekerja dengan profesionalisme yang tinggi. Dalam kasus ini

akuntan PT. KAI tidak menjaga integritasnya, karena diduga telah melakukan manipulasi

laporan keuangan.

4) Objektifitas ;

Dimana akuntan harus bertindak obyektif dan bersikap independen atau tidak

memihak siapapun. Dalam kasus ini akuntan PT. KAI diduga tidak obyektif karena diduga

telah memanipulasi laporan keuangan sehingga hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu

yang berada di PT. KAI.

Page 26: Etbis Global

5) Kompetensi dan kehati-hatian professional ;

Akuntan dituntut harus melaksanakan jasa profesionalnya dengan penuh kehati-

hatian, kompetensi, dan ketekunan, serta mempunyai kewajiban untuk mempertahankan

pengetahuan dan keterampilan profesionalnya pada tingkat yang diperlukan. Dalam kasus ini,

akuntan PT. KAI tidak melaksanakan kehati-hatian profesional sehingga terjadi kesalahan

pencatatan yang mengakibatkan PT. KAI yang seharusnya menderita kerugian namun dalam

laporan keuangan mengalami keuntungan.

6) Perilaku profesional ;

Akuntan sebagai seorang profesional dituntut untuk berperilaku konsisten selaras

dengan reputasi profesi yang baik dan menjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan

profesinya. Dalam kasus ini akuntan PT. KAI diduga tidak berperilaku profesional yang

menyebabkan kekeliruan dalam melakukan pencatatanlaporan keuangan, dan hal ini dapat

mendiskreditkan (mencoreng nama baik) profesinya.

7) Standar teknis ;

Akuntan dalam menjalankan tugas profesionalnya harus mengacu dan mematuhi

standar teknis dan standar profesional yang relevan. Sesuai dengan keahliannya dan dengan

berhati-hati, akuntan mempunyai kewajiban untuk melaksanakan penugasan dari penerima

jasa selama penugasan tersebut sejalan dengan prinsip integritas dan obyektifitas. Dalam

kasus ini akuntan tidak melaksanakan prinsip standar teknis karena tidak malaporkan laporan

keuangan sesuai dengan standar akuntansi keuangan. Contohnya, pada saat PT Kereta Api

Indonesia telah tiga tahun tidak dapat menagih pajak pihak ketiga. Tetapi, dalam laporan

keuangan itu, pajak pihak ketiga dinyatakan sebagai pendapatan. Padahal, berdasarkan

standar akuntansi keuangan tidak dapat dikelompokkan dalam bentuk pendapatan atau asset.

4. Sikap Yang Diambil :

1) Manajemen PT KAI

a) Melakukan koreksi atas salah saji atas: pajak pihak ketiga yang dimasukkan

sebagai asset; penurunan nilai persediaan suku cadang dan perlengkapan yang belum

dibebankan; bantuan pemerintah yang seharusnya disajikan sebagai bagian modal perseroan.

Page 27: Etbis Global

b) Meminta maaf kepada stakeholders melalui konferensi pers dan berjanji tidak

mengulangi kembali di masa datang.

2) KAP S. Manan & Rekan & Rekan

a) Melakukan jasa profesional sesuai SPAP, dimana tiap anggota harus berperilaku

konsisten dengan reputasi profesionalnya dengan menjauhi tindakan yang dapat

mendiskreditkan profesioreksi

b) Melakukan koreksi atas opini yang telah dibuat

c) Melakukan konferensi pers dengan mengungkapkan bahwa oknum yang

melakukan kesalahan sehingga menyebabkan opini atas Laporan Keuangan menjadi tidak

seharusnya telah diberikan sanksi dari pihak otorisasi, dan berjanji tidak mengulang kembali

kejadian yang sama di masa yang akan datang.

5. Rekomendasi Agar Kasus Serupa Tidak Terulang.

1) Membangun kultur perusahaan yang baik; dengan mengutamakan integritas,

etika profesi dan kepatuhan pada seluruh aturan, baik internal maupun eksternal,

khususnya tentang otorisasi.

2) Mendahulukan kepentingan publik daripada kepentingan publik.

3) Merekrut manajemen baru yang memiliki integritas dan moral yang baik, serta

memberikan siraman rohani kepada karyawan akan pentingnya integritas yang baik bagi

kelangsungan usaha perusahaan.

4) Memperbaiki sistem pengendalian internal perusahaan.

5) Corporate Governance dilakukan oleh manajemen yang dirancang dalam rangka

mengeliminasi atau setidaknya menekan kemungkinan terjadinya fraud. Corporate

governance meliputi budaya perusahaan, kebijakan-kebijakan, dan pendelegasian wewenang.

6) Transaction Level Control Process yang dilakukan oleh auditor internal, pada

dasarnya adalah proses yang lebih bersifat preventif dan pengendalian yang bertujuan untuk

memastikan bahwa hanya transaksi yang sah, mendapat otorisasi yang memadai yang dicatat

dan melindungi perusahaan dari kerugian.

Page 28: Etbis Global

7) Retrospective Examination yang dilakukan oleh Auditor Eksternal diarahkan

untuk mendeteksi fraud sebelum menjadi besar dan membahayakan perusahaan.

8) Investigation and Remediation yang dilakukan forensik auditor. Peran auditor

forensik adalah menentukan tindakan yang harus diambil terkait dengan ukuran dan tingkat

kefatalan fraud, tanpa memandang apakah fraud itu hanya berupa pelanggaran kecil terhdaap

kebijakan perusahaan ataukah pelanggaran besar yang berbentuk kecurangna dalam laporan

keuangan atau penyalahgunaan asset.

9) Penyusunan Standar yang jelas mengenai siapa saja yang pantas menjadi apa

baik untuk jabatan fungsional maupun struktural ataupun untuk posisi tertentu yang dianggap

strategis dan kritis. Hal ini harus diiringi dengan sosialisasi dan implementasi (enforcement)

tanpa ada pengecualian yang tidak masuk akal

10) Diadakan tes kompetensi dan kemampuan untuk mencapai suatu jabatan

tertentu dengan adil dan terbuka. Siapapun yang telah memenuhi syarat mempunyai

kesempatan yang sama dan adil untuk “terpilih”. Terpilih artinya walaupun pejabat lain

diatasnya tidak “berkenan” dengan orang tersebut, tetapi karena ia yang terbaik maka tidak

ada alasan logis untuk menolaknya ataupun memilih yang orang lain. Disinilah peran

profesionalisme dikedepankan

11) Akuntabilitas dan Transparansi setiap “proses bisnis” dalam organisasi agar

memungkinkan monitoring dari setiap pihak sehingga penyimpangan yang dilakukan oknum-

oknum dapat diketahui dan diberikan sangsi tanpa kompromi.

ANALISIS:

Dari kasus studi diatas tentang pelanggaran Etika dalam berbisnis itu merupakan

suatu pelanggaran etika profesi perbankan pada PT KAI pada tahun tersebut yang terjadi

karena kesalahan manipulasi dan terdapat penyimpangan pada laporan keuangan PT KAI

tersebut. pada kasus ini juga terjadi penipuan yang menyesatkan banyak pihak seperti

investor tersebut. seharusnya PT KAI harus bertindak profesional dan jujur sesuai pada asas-

asas etika profesi akuntansi.