Upload
dudi
View
408
Download
8
Embed Size (px)
Citation preview
Bab 13 Basic Anesthesia
Evaluasi dan Medikasi Preoperatif
Bobbie Jean Sweitzer
Terjemahan
Pendahuluan
The American Society of Anesthesiologists (ASA) telah mempublikasikan
kumpulan penuntun yang menyarankan previsit anestesi yang harus dilakukan
seperti:
- Wawancara dengan pasien atau penjaga pasie dalam mengungkapkan
riwayat, berobat, anestesi dan penyakit sebelumnya
- Pemeriksaan fisik yang tepat
- Indikasi untuk pemeriksaan tambahan untuk diagnostik
- Melihat hasil data penunjang diagnostik (laboraotrium, EKG, foto
radiologi, dan lembar konsultasi)
- Menetapkan skor status fisik ASA– (ASA- PS)
- Menetapkan dan mendiskusikan tentang rencana anestesi yang akan
dilakukan pada pasien, pada orang dewasa dimintai informed concent.
Urutan dari pertanyaan-pertanyaan biasanya untuk mengevaluasi pasien. Hal
ini didasari oleh kepemilikan asuransi dan anggapan yang salah bahwa tes-tes ini
bisa digantikan oleh pemeriksaam fisis atau anamnesis riwayat penyakit. Tes-tes
perioperatif tanpa alat pertanyaan tentang indikasi spesifik dan akan menuntun
pada cedera pasien karena secara tepat menunjukkan tes-tes lebih lanjut untuk
mengevaluasi hasil yang janggal, tindakan yang tidak perlu, penundaan operasi,
kecemasan dan bahkan terapi yang tidak sesuai. Riwayat penyakit yang cermat
dan lengkap bertujuan untuk rencana yang sesuai dan penganganan anestsi yang
aman. Hal ini akan lebih akurat, dan efektif dalam menentukan diagnosa daripada
melihat screening hasil laboratorium. Pengumpulan informasi yang penting dan
membagikan informasi kepada pihak asuransi perlu dilakukan.
Riwayat dan Pemerikasaan Fisis
Riwayat anestesi merupakan komponen penting yang tampak pada Gambar
13-1. Pasien atau penjaganya dapat memberikan informasi di atas kertas, melalui
internet, interview lewat telepon, atau secara langsung. Kondisi penyakit pasien,
riwayat alergi, operasi sebelumnya, dan riwayat penggunaan rokok, alkohol, dan
obat terlarang lainnya harus dilaporkan. Gejala kardiovaskular, penyakit paru, dan
saraf harus ditulis. Adanya suatu penyakit dapat diketahui bagaimana berat
ringannya penyakit, stabilitasnya, eksaserbasi yang sekarang atau yang akan
terjadi. Keadaan kardiorespirasi atau kapasitas fungsionalnya tidak hanya
memprediksi outcome dan komplikasi perioperatif, namun juga pada saat evaluasi
pasien selanjutnya. Keadaan tubuh yang lebih ideal dapat memelihara sistem
kardiorespirasi dan mengurangi tingkat kesakitan seperti perbaikan profil lipid
dan glukosa dan mengurangi tekanan darah dan obesitas. Sebaliknya, ketidak
mampuan untuk berolahraga mungkin merupakan suatu tanda penyakit
kardiorespiratori. Pasien yang tidak mampu lagi mengerjakan kegiatan yang
tingkatan rata-rata (4-5 metabolik ekuivalen atau METs, seperti berjalan empat
langkah atau menaiki dua anak tangga) akan menambah resiko terjadinya
komplikasi perioperatif. Riwayat pribadi dan keluarga yang bermasalah dengan
anestesi seperti muntah dan mual hebat perioperatif (PONV), delirium yang
mengancam jiwa berkepanjangan, dicuriagi dapat terjadi hipertermia yang hebat,
atau defisiensi pseudokolinesterase harus tercata dan mengacu untuk bibuatnya
rencana anestesia.
Tabel 13-1 Klasifikasi American Society of Anesthesiologists
Physical Status
ASA 1 Pasien sehat tanpa kelainan organik, biokimia, atau
penyakit kejiwaan
ASA 2 Pasien dengan penyakit sistemik ringan seperti contoh
asma ringan, hipertensi yang terkontrol pengobatannya,
tidak ada pengaruh yang signifikan terhadap aktivitas
sehari-hari. Dan juga tidak berpengaruh terhadap anestesi
dan operasi
ASA 3 Penyakit sistemik yang berat atau signifikan yang
membatasi aktivitas sehari-hari yang biasanya. Seperti
gagal ginjal sementara dialisis, atau CHF kelas 2. Sangat
mempengaruhi aktivitas sehari –hari, berpengaruh pada
anestesi dan operasi.
ASA 4 Penyakit yang berat mengancam jiwa atau memerlukan
terapi intensif seperti infark miokard akut, gagal napas
yang memerlukan ventilasi mekanik, aktivitas sehari-hari
yang serius terbatas. Dampak besar bagi anestesi dan
bedah.
ASA 5 Pasien yang sekarat yang diaman akan meninggal dalam 24
jam dengan atau tanpa dioperasi
ASA 6 Pasien yang telah dinyatakan telah mati otaknya yang mana
organnya akan diangkat untuk kemudian diberikan sebagai
organ donor
Huruf “E” ditambah pada klasifikasi di atas menngindikasikan operasi emergensi.
Dapat diperoleh dari www.asahq.org
Gambar 13-1 Komponen penting untuk menggali riwayat pasien guna evaluasi peroperatif
Nama Pasien________________________Umur_____Kelamin___Tanggal Operasi
Rencana Operasi ______________________________________________________
1. Silahkan mengisi operasi yang pernah dilakukan (dan tanggal dilakukannya)
a. ____________________________________d._____________________________
b. ____________________________________e._____________________________
c. ____________________________________f_____________________________
2. Silahkan mengisi segala macam alergi terhadap obat, karet, makanan dan lainnya (dan reaksi yang anda
peroleh setelahnya)
a. ____________________________________c._____________________________
b. ___________________________________d.____________________________
3. Bundari pemeriksaan yang telah dilakukan, cantumkan dimana dan kapan dilakukan. Silahkan bawa
semua hasil pemriksaan pada saat kunjungan. Kami tidak menyarankan untuk melakukan semua
pemeriksaan di bawah ini.
a. EKG Tanggal
Tempat Pemeriksaan
d. Darah Rutin Tanggal
Tempat Pemeriksaan
b. Pemeriksaan Kejiwaan Tanggal
Tempat Pemeriksaan
e. Gangguan Tidur Tanggal
Tempat Pemeriksaan
c. ECHO/USG Kardio Tanggal
Tempat Pemeriksaan
d. f. Lainnya Tanggal
Tempat Pemeriksaan
4. silahkan isi semua pengobatan yang telah anda dapatkan selama sebulan terakhir (termasuk segala jenis
obat selain obat medis seperti inhalan, herbal, suplemen diet, dan aspirin)
Nama Dosis dan jumlah Nama Dosis dan Jumlah
a. f.
b. g.
c. h.
d. i.
e. j.
(Silahkan mencentang Ya atau Tidak dan melingkari masalah yang spesifik)
5. Apakah telah mengkonsumsi steroid (prednison atau kortison) dalam setahhun terakhir YA □ TIDAK □
6. Apakah anda pernah merokok (Jumlah per hari_____dalam setahun) YA □ TIDAK □
Apakah anda masih merokok? (Jumlah per hari_____) YA □ TIDAK □
Apakah anda minum alkohol? (jika YAseberapa sering_______) YA □ TIDAK □
Apakah anda penah memakai obat terlarang ? (kami memerlukan informasi ini demi keselamatan anda)
YA □ TIDAK □
7. Apakah anda dapat berjalan menaiki anak tangga tanpa berhenti ? YA □ TIDAK □
8. Apakah anda memiliki masalah pada jantung anda? (bundari jika ada) YA □ TIDAK □
(Nyeri dada atau merasa tertekan, serangan jantung, EKG abnormal, detak yang berjeda, murmur,
palpitasi, gagal jantung)
9. Apakah anda memilki tekanan darah tinggi? YA □ TIDAK □
10. Apakah anda menderita diabetes? YA □ TIDAK □
11. Apakah anda memiliki masalah dengan paru-paru anda atau dada anda (bundari jika ada) YA □ TIDAK □
(napas pendek, emfisema, bronkitis, asma, TBC, gambaran abnormal pada foto rontgen dada)
12. Apakah saat ini anda sakit atau sebelumnya baru-baru ini menderita demam, flu, pilek, atau batuk
berdahak? YA □ TIDAK □
Deskripsikan penyakit sebelumnya______________________________________
13. Apakah ada keluarga anda yang perna mengalami masalah perdarahan? (Bundari jika ada) YA □ TIDAK
□
(perdarahan di hidung, gusi, dan gigi yang berdarah saat dicabut, atau luka operasi yang tidak
berhenti
14. Apakah anda mengalami masalah pada darah anda/ (bundari jika ada)
(anemia, leukimia, limfoma, anemia sickle cell, masalah pembekuan darah, transfusi)
15. Apakah anda pernah mengalami maslah pada : bundari jika ada
Hati (sirosis, hepatitis A, B, C, penyakit kuning) YA □ TIDAK □
Ginjal ( batu, gagal ginjal, cuci darah) YA □ TIDAK □
Sistem pencernaan (nyeri ulu hati yang sering, hernia, ulkus lambung )? YA □ TIDAK □
Punggung, leher, atau rahang (TMJ, atritis reumatoid, herniasi)? YA □ TIDAK □
Kelenjar tiroid (over aktif, aktivitas rendah) YA □ TIDAK □
16. Apakah anda pernah mengalami (bundari jika ada)
Kejang YA □ TIDAK □
Stroke, kelumpuhan wajah, tangan atau kaki, kesulitan bicara YA □ TIDAK □
Nyeri keram pada kaki sewaktu berjalan YA □ TIDAK □
Masalah pendengaran, penglihatan dan ingatan YA □ TIDAK □
17. Apakah anda pernah mendapat tindakan kemoterapi atau terapi radiasi? Bundari jika ada YA □ TIDAK □
Cantumkan indikasi dan tanggal terapi_______________________________
18. Wanita : Apakah anda hamil? Tanggal haid terakhir___________ YA □ TIDAK □
19. Apakah anda pernah mengalami masalah dalam anestesi atau operasi? Bundari jika ada YA □ TIDAK □
(muntah dan mual yang hebat, hipertermia yang hebat (pada darah atau dirisendiri) napas yan berat,
atau maslaah saat pengangkatan pipa napas)
20. Apakah anda pernah kehilangan gigi, gigi palsu, perlengketan gigi, kawat, masalah membuka mulut atau
mngunyah makanan. ? bundari jika ada YA □ TIDAK □
21. Apakah anda memiliki masalah aktifitas fisik sehari-hari / YA □ TIDAK □
22. Apakah anda mendengkur? YA □ TIDAK □
23. Apakah anda mengalami napas terhenti saat tidur? YA □ TIDAK □
24. Apakah anda memiliki masalah medis yang tidak tercantum di
atas_______________________________________________________________
25. Tambahkan saran anda dan pertanyaan untuk ahli anestesi-
________________________________________________________________________________
____________________________________________
Sedikitnya, pemeriksaan preanestesi termasuk jalan napas, jantung, dan paru,
melihat tanda-tanda vital, termasuk saturasi oksigen dan pengukuran tinggi badan
dan berat badan. Gambar 13-2 mengilustrasikan klasifikasi Mallampati dan tabel
13-3 merupakan daftar dari pemeriksaan jalan napas.(dapat melihat Bab 16).
Ketika ditemukan kesulitan jalan napas, segera sesuatu seperti peralatan dan orang
yang ahli untuk menanganinya. Auskultasi jantung dan merada nadi, vena perifer,
dan ektremitas untuk melihat apakah ada edema sangat penting diketahui dan akan
berpengaruh pada rencana terapi. Pemeriksaan paru berupa auskulatasi untuk
mendengarkan wheezing, mendengarkan berkurangnya bunyi napas dan bunyi
abnormal, dan memperhatikan adanya sianosis atau clubbing dan bantuan napas.
Pada pasien dengan defisit fungsional, atau tindakan anestesia secara regional atau
saraf tertentu, maka pemeriksaan neurologis diperlukan untuk melihat kelaianan
yang dapat membantu dalam diagnosis atau mempengaruhi posisi pasien dan
menetapkan dasar kelainan. Pada bagian ini akan membicarakan faktor-faktor
komorbid yang akan berdampak selama tindakan anestesi.
Faktor Komorbid yang berdampak selama tindakan Anestesi.
Penyakit Areteri Koroner (PAK) bervariasi mulai dari ringan, merupakan
penyakit yang stabil dengan dampak kecil pada perioperatif yang menghasilkan
penyakit berat dan bertanggung jawab pada komplikasi serius apada anestesi dan
operasi. Pemeriksaan fisis dan riwayat terdahulu dapat melakukan penanganan
awal pada jantung. Catatan rekam medis dan diagnostik sebelumnya perlu
diketahui, terutama pemeriksaan stres noninvasif dan hasil dari kateterisasi
jantung. Perlunya untuk menghubungi dokter utama yang bertanggung jawab atau
ahli jantung untuk informasi yang lebih lanjut dan meniadakan pemeriksaan lain
atau konsultasi lain.
Sebelumnya American College of Cardiology/ American Heart Association
(ACC/AHA) membuat pedoman operasional tentang evaluasi kardiovaskuler pada
operasi non kardiak jumlah rekomendasinya dikurangi untuk pemeriksaan
revaskularisasi. Sebuah algoritma untuk pasien dengan resiko jantung perioperatif
diikuti pada mode langkah yang bertahap, berhenti di titik pertama yang berlaku
untuk pasien (Gbr. 13-3). Langkah 1 mempertimbangkan urgensi operasi. Untuk
operasi darurat, terfokus pada pemantauan perioperatif (seperti EKG serial, enzim
jantung, monitoring jantung) dan mengurangi resiko (pemberian Beta adrenergik
bloker, statin, penatalaksanaan nyeri). Langkah 2 fokus terhadap kondisi penyakit
jantung yang aktif seperti infark miokard, angina berat atau tidak stabil, gagal
jantung dekompensata, penyakit katup berat, dan aritmia yang berat. Semua
kondisi penyakit aktif jantung ditunda operasinya kecuali pada kasus emergensi.
Langkah 3 bergantung pada besarnya resiko dan beratnya operasi. Pasien tanpa
penyakit jantungg yang aktif. (lihat langkah 2) pasien dengan operasi beresiko
rendah akan dilaksanakan tanpa pemeriksaan yang lebih lanjut. Langkah 4
Melakukan penilaian kapasitas fungsional yang disebut sebagai METs(lihat tabel
13-2). Pasien tanpa gejala dengan kapasitas fungsional yang tinggi dpaat langsung
dilakukan operasi. Langka 5 menganggap pasien dengan kapasitas yang rendah
atau menengah yang dimana membutuhkan operasi yang beresiko sedang atau
operasi vaskuler. Jumlah penyaki klinis yang dapat diperkirakan (PJK, gagal
jantung terkompensasi, penyakit serebrovaskuler, diabetes dan gagal ginjal)
menentukan kegunaan dari pemeriksaan jantung lebih lanjut. Pasien tanpa
perkiraan penyakit klinis tersebut dapat melakukan operasi. Pasien yang
diperkirakan memiliki resiko penyakit tersebut akan disegerakan untuk
pemeriksaan lebih lanjut jika hasilnya tersebut akan mengubah rencan tindakan.
Beberapa faktor resiko akan PJK seperti meroko, hipertensi, usia tua, kelamin
pria, hiperkolestrolemia, dan riwayat keluarga akan meningkatkan resiko
perioperatif.
Tabel 13-2 Kapasitas Fungsional Metabolik Ekuivalen
MET Level dari kegiatan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Makan, main komputer, memakai baju
Menuruni tangga rumah, memasak
Berjalan 1- 2 petak
Menyapu daun-daun, berkebun
Menaiki 1-2 anak tangga, emnari, sepeda
Bermain golf, bermain tim
Bermain tenis
Menaiki anak tangga dengan cepat, jogging santai
Lompat tali lambat, sepeda
Berenang cepat, lari atau joging berat
Bermain ski, bermain bola basket satu lapangan
Lari cepat dengan jarak yang jauh
MET, metabolik ekuivalen, 1 Met = konsumsi O2 3,5ml O2/menit/KgBB
Tabel 13-3 Pemeriksaan jalan napas
Panjang gigi seri
Kondisi gigi
Hubungan bagian atas (maksilla) dengan gigi seri di bawahnya (mandibula)
Kemampuan untuk memajukan dan memundurkan gigi seri bagian bawah
(mandibula) terhadap gigi seri atas (maksila)
Jarak gigi seri dalam atau intergum
Besar lidah
Uvula yang dapat divisualisasi
Adanya janggut lebat
Kesesuaian ruang mandibula
Jarak tiroid dengan dagu pada kepala yang ekstensi maksimal
Panjang leher
Ketebalan atau lingkar leher
Jarak putar kepala dengan leher
Manfaat yang dibandingkan dengan resiko revaskularisasi arteri koroner
sebelum operasi non jantung masih kontroversial. Pada penelitian dengan
prospektif random dari revaskularisasi preoperatif dibandingkan pada
penatalaksanaan medis gagal memperlihatkan outcome yang berbeda. Operasi non
jantung yang selanjutnya memperlihatkan revaskularisasi berkaitan dengan
peningkatan angka mobiditas dan mobiditas. Pasien yang medapat tindakan
Percutaneus Coronary Intervention (PCI)m dengan sebuah drug-eluting stent
(DES), diperlukan sebulan, jika berhasil maka terapi antiplatelet untuk mencegah
restenosis dan trombosis akut. Jenis dari stent, DES atau stent logam besi
telanjang BMS, harus dideteksi dan penangangannya bekerja sama dengan ahli
jantung. Penasehat ilmiah merekomendasikan pada penanganan pasien dengan
stent koroner dapat dilihat pada tabel 13-4. Obat antiplatelet harus dihentikan
tanpa konsultasi dengan ahli jantung yang umu dengan stent koroner dan lebih
mengkhususkan memberi informasi ke pasien akan resiko untuk memberhentika
obat ini. Anestesi elektif yang terganggu akibat penggunaan obat antiplatelet harus
ditunda sampai masa resiko itu berakhir (lihat tabel 13-4). Jika memungkinkan
aspirin dapat dilanjutkan sampai waktu perioperatif, dan theinopirydine (sejenis
clopidogrel0 dapat dimulai sesegera mungkin. Fakta yang mendukung seperti
perdarahan ringan sebagai komplikasi pada penggunaan berlanjut aspirin sampai
tindakan operasi. Operasi non jantung dan tindakan lainnya yang onvasif akan
emningkatkan resiko trombosis dari stent, yang dimana berkaitan dengan
tingginya angka mortalitas. Trombosis stent dapat ditangani dengan PCI, dimana
dapat dilakukan secara aman pada pertengahan waktu post operasi. Pasien
beresiko tinggi akan ditangani dengan tindakan terbaik dengan bantuan ahli
jantung.
Tabel 13-4 Rekomendasi untuk penatalaksanaan perioperatif pada pemberian obat
antiplatelet pada pasien dengan stent koroner
- Penyedia kesehatan yang akan melakukan tindakan yang invasif harus berhati-hati
dengan potensi yang buruk dari penghentian secara dini obat theinopyridine
(contoh, clopidogrel, ticlopidine). Seorang profesional harus dapat berkomunikasi
dengan ahli kardiologi pasien tersebut untuk mendiskusikan rencana yang optimal
jika berkaitan dengan terapi antiplatelet yang belum jelas.
- Tindakan elekrif dengan melibatkan resiko perdarahan harus ditunda sampai
mendapat terapi thienopyridine yang tepat( 12 bulan setelah pemasangan dreug
eluting stent(DES) dan 1 bulan setelah pemasangan stent besi telanjang (BMS)
selesai dilakukan
- Pasien dengan DES yang harus menjalani tindakan setelah 12 bulan menunggu
kepastian untuk mengehtnikan terapi thienopyridine dah harus dilanjutkan dengan
aspirin segera mungkin dan memulai ulang lagi thienopyridine sesegara mungkin.
Gambar 13-2 Klasifikasi mallampati
Langkah 1: Operasi Gawat Darurat Dilakukannya operasi dengan menguranggi resiko medis dan pengamatan perioperatif
Langkah 2: Kondisi jantung AktifSindroma jantung kornoner tidak stabil (angina pektoris tidak stabil atau berat, Infark sebelumnya)Gagal Jantung terkompensasi (HF; dengan onset baru, NYHA class IV)Aritmia yang berat (Movbitz II atau blok jantung derajat 3, suprevantrikuler takikardi, atau fibrilasi atrium dengan frekuensi ventrikuler yang cepat, aritmia ventrikuler simptomatik, atau bradikardi, atau ventrikel takikardi yang baru)Penyakit katup yang berat (stenosis mitral dan aorta
Langkah 3: Operasi dengan resiko rendah (< 1%)Operasi superfisial, atau endoskopikKatarak, payudaraOperasi rawat jalan
Langkah 4 : Kapasitas fungsional Baik: ≤4 METs (dapat menaiki anak tangga tanpa gejala
Langkah 5 : Prediksi KlinikPenyakit jantung iskemikGagal jantung terkompensasi atau penyebab dasar Penyakit Serebrovaskuler (stroke, TIA)Diabetes MelltusGagal Ginjal
Tunda operasi dan lakukan stabilisasi dan pengobatan yang tepat
Dapat dilakukan operasi
Dapat dilakukan operasi
Dapat dilakukan operasi
Tidak ada gejala prediktor
Tidak ada gejala prediktor
Tidak ada gejala prediktor
Operasi vaskuler
Resiko sedang untuk operasi
Operasi Vaskuler
Dilkakukannya operasi dengan pemeriksaan noninvasif atau kontrol detak janutng
Tergantung pemeriksaan jika penatalaksanaan berubah
Gambar 13-3 Algoritma sederhana untuk evaluasi pasien kardiovaskular pada
operasi non jantung
Gagal jantung merupakan faktor resiko yang berat untuk perioperatif. Pasien
dengan gagal jantung terkompensasi memiliki resiko jantung periopertif sebanyak
5-7% dan dengan yang tidak terkompensasi sebanyak 20-30%. Gagal jantung
dapat disebabkan oleh disfungsi sistolik (berkuranggnya fraksi ejeksi dari
kontraktilitas yang abnormal), disfungsi diastolik (bertambahnya tekanan
pengisian dengan relaksasi yang abnormal tetapi memiliki kontraktilitas, dan
fraksi ejeksi yang normal) atau kombinasi antara keduanya. Disfungsi diastolik
terhitung lebih dari setengah kasus gagal jantung, tetapi masih sedikit tuntunan
ilmiah untuk menangani hal ini pada masa perioperatif. Hipertensi dapat
menyebabkan difungsi diastolik dan hipertrofi ventrikel kiri yang terlihat pada
EKG terjadi peningkatan disfungsinya. Penyakit jantung iskemik adalah yang
tersering menyebabkan disfungsi sistolik (50 -70% kasus). Peningkatan berat
badan, napas yang menjadi pendek, kelelahan, ortopneu, dispneu paroksismal
nokturnal, batuk malam hari, edema perifer, perawatan di rumah sakit, akan
mengubah penatalaksanaan secara signifikan. Karena gagal jantung dekompensata
merupakan kondisi yang sangat beresiko, operasi elektif harus ditunda. Tabel 13-3
Ventrikel kiri dan fungsi daiastolik harus dievaluasi dengan EKG. Tabel 13-5.
Pasien dengan gagal jantung kelas IV (gejala pada saat istirahat) harus dievaluasi
oleh ahli jantung sebelum dilakukan anestesia. Tindakan yang minimal, dengan
sedasi akan dilakukan selama pasien dalam keadaan stabil.
Murmur jantung secara klinis bisa saja tidak penting atau sebagai tanda
penyakit atup. Secara fungsional murmur berupakan turbulensi aliran yang
melewati saluran aorta atau pulmounal ditemukan dengan intensitas yang tinggi.
(hipertiroidisme, kehamilan, anemia). Pasien dengan usia tua, dan memiliki resiko
PJK seperti, riwayat demam rematik, volume intravaskuler yang berlebih,
penyakit paru, kardiomegali, atau EkG yang abnormal, dan murmur yang
menyerupai seperti penyakit katup lainnya. Pemantauan EKG sangat bermanfaat
jika anestesi umu atau spinal direncanakan. Tabel 13-6). Murmur diastolik
merupakan keadaan patologis yang sering dan didapat saat pemeriksaan. Penyakit
jantung dengan regurgitasi lebih dapat ditolerir pada keadaan perioperatif
dibandig penyakit stenosis. Stenosis aorta merupakan penyakit lesi katup yang
tersering di Amerika 2-4% dari orang dewasa di atas 65 tahun). Stenosis berat
berkaitan dengan resiko komplikasi berat pada perioperatif. Sklerosis aorta
nampak pada 255 orang dengan umur 65-74 tahun, dan lebih 50% pada orang
dengan 80 tahun, diakibatkan oleh ejeksi sistol murmur yang sama denggan
stenosis namun tidak dapat mentolerir hemodinamik. Pasien dengan stenosis berat
dan kritis harus mendapatkan penanganan darurat dan tindakan live-saving tanpa
evaluasi kardiologi. Antibiotik profilaksis bertujuan untuk mencegah endokarditis
tidak dianjurkan untuk pasien dengan pada katup yang abnormal pada jantung.
(Tabel 13-7 dan 13-8)
Tabel 13-5. Rekomendasi untuk evaluasi preoperatif noninvasif pada fungsi ventrikuler kiri.Class IIa Beralasan untuk dilakukan
1. Beralasan pada pasien yang dengan dispneu tanpa diketahui penyebab untuk pelaksanaan evaluasi preoperatif pada fungsi VK
2. Beralasan pada pasien yang sebelumnya telah gagal jantung diperburuk dengan dipsneu atau perubahan status klinis untuk pelaksanaan evaluasi preoperatif pada fungsi VK jika tidak dilakukan dalam 12 bulan terakhir.
Class IibDapat dipertimbangkan
1. Penanganan kembali dari fungsi VK yang secara klinis stabil dan sebelumnya telah didapati cardiomiopati tidak dilakukan
Class III(tidak boleh dilakukan karena tidak akan banyak membantu)
1. Perioperatif rutin untuk evaluasi fungsi VK pada pasien tidak dianjurkan.
Tabel 13-6 ACC/AHA kesimpulan GuidelineEKG pada pasien tanpa gejala dengan bunyi murmur jantungKelas 1Ada bukti atau tampak jelas pada EKG berguna pada pasien asimtomatik dengan murmur jantung:
- Murmur diastolik- Murmur kontinu- Late sistolik murmur- Murmur yang berkaitan dengan bunyi ejeksi klik- Murmur yang menjalar ke leher atau punggung- Murmur dengan grade 3 atau lebih
Kelas IIaBukti yang cukup atau pendapat dalam mendukung kegunaan EKG pada pasien asimtomatik dengan murmur jantung:
- Murmur yang berkaitan dengan fisik yang abnormal yang lain pada pemeriksaan jantung
Pasein dengan aspirin 75-150 mg perhari
Pasein dengan aspirin 75-150 mg perhari + clopidogreal 75 mg/ hari
Intervensi utama
Intervensi sekunder setelah IMA, ACS, stent, strok, PAD
Hentikan 7 hari sebelum operasi
Bedah saraf operasi intrakranial
Semua operasi
Operasi dengan pengobatan lanjut
IM, Infrak Miokard, ACS, acute coronary syndrome, PAD, penyakit arteri perifer, PCI percutaneus coronary intervention, BMS bare metal stent, DES drug eluiting Stent*Stent beresiko tinggi yang panjangnya >36 mm, proksimal, overlapping atau stent multipel, stent pada oklusi total kronik, atau pada pembuluh darah kecil dan lesi yang bercabang** contoh keadaan resiko rendah >3 bulan BMS, stroke, IMA tidak bermasalah, PCI tanpa stent*** resiko perdarahan tertutup, operas intrkranial, intramedular, operasi mata bagian belakang, pada situasi ini harus ditegakkan rasio keuntungan dan kerugian bertaruh dengan pemakaian aspirin harus diperhatikan pada setiap kasus secara individual. Termasuk menegakkan pemberian aspirin segera posoperasi sangat penting
Keadaan resiko tinggi , < 6 minggu setelah IMA, PCI, BMS, stroke <12 bulan setelah DES Stent beresiko tinggi
Keadaan resiko rendah
Semua operasi
Hentikan clopidogerl lanjutkan aspirirn
Resiko perdarahan tertutup
Hanya operasi vital
- Murmur yang berkaitan dengan EKG atau foto dadaKelas IIIAdanya bukti dan atau pernyataan umum bahwa EKG tidak berguna pada pasien asimtomatik dengan murmur jantung:
- Midsistolik murmur grade 2 atau kurang tergantung pengalaman dari pemeriksa.
Gambar 13-4 algoritma untuk perioperatif pada pasien dengan terapi antiplatelet
Pacemaker dan defibrilator cardioverter (ICDs) yang diimplan dapat menyebabkan gangguan elektrik dan magnetik. Diperlukan konsultasi dengan pembuat alat tersebut atau ahli jantung. Pasien biasanya memiliki nomor telepon penting mengenai alat teresbut di dompetnya. Pasien dengan ICDs, gagal jantung bervariasi, iskemik atau penyakit katup, kardiomiopati, atau aritmia yang berpotensi kepada kematian. Beberapa monitor, ventilator, vibrasi, atau pemeriksaan dada dapat mengelabui sensor dengan penambahan impuls, mengarah kepada iskemik atau pengobatan yang tidak sesuai. Alat tambahan khusus seperti penyesuaian denyut jantung pada beberapa pacemaker yang tidak tersedia, atau alatnya belum diprogram untuk mensinkronkan impuls agar tidak terganggu. Kegunaan anti takiaritmia dinonaktifkan sebelum tindakan anetesi jika mengganggu atau gerakan yang tidak terduga oleh pasien. Gerakan yang tidak
terduga dapat menggau ketika diadakannya anestesi spinal atau okular. Penggantian garis tengah dapat memicu kardioversi. Secara khas ICDs tidak diaktifkan pada saat tiba di ruang penanganan dengan alat untuk monitooring dan kardioversi. Beberapa ICDs kompleks dan peka terhadap magnet untuk menonaktifkannya, kecuali darurat, tidak disarankan. Beberapa perangkat sudah diprogram untuk meniadakan peeletakan magnet atau magnet ditaruh secara permanent menonaktifkan antitakiaritmia terapi. Magnet hanya menghalangi pemeberian antishock pada beberapa perangkat ICDs tepat dimana mereka diletakkan. Magnet hanya berpengaruh terhadapat fungsi takiaritmia dan tidak sebagai fungsi pemicu pada ICD. Jika pacemaker atau ICD tidak diprogram ulang atau magnet digunakan setiap waktu, maka alat tersebut harus diseralarsakan ulang dan diaktifkan ulang sebelum pasien meninggalkan settingan monitoring yang sudah ada.
Tabel 13-7 Kesimpulan dari Perubahan besar dari Petunjuk untuk Profilaksis infeksi endokarditis, AHA
- Keadaan bakterimia yang didapat dalam keseharian yang dapat menyebabkan infeksi endokarditis (IE) dibandingkan oleh tindakan perawatan gigi.
- Semakin sedikt kasus dari IE maka semakin potensial untuk dicegah dengan antibiotik profilaksis
- Profilaksis tidak direkomendasikan semata-mata berdasar pada bertambahnya waktu paruh dari resiko IE
- Anjuran untuk profilaksis IE hanya diperuntukan pada kondisi sesuai tabel 13-8
- Profilaksis dianjurkan pada semua tindakan perawtan gigi baik itu perlakuan pada jaringan gusi atau ujung-ujung gigi atau perforasi mukosa oral tergantung pada kondisi pasien sesuai daftar tabel 13-8
- Profilaksis diberikan pada tindakan anestesi dengan kulit dan paru terinfeksi, atau jaringan otot sesuai kondisi yang terdaftar pada tabel 13-8
- Profilaksis tidak dianjurkan pada tindakan yang berkaitan dengan pencernaan dan kemih.
Tabel 13-8 kondisi jantung berkaitan dengan resiko yang buruk dari endokarditis
Katup buatan
Terinfeksi endokarditis sebelumnya
Penyakit jantung bawaan*
Sianotik PJB yang tidak membaik, termasuk gejala shunt dan saluran
PJB yang disembuhkan dengan alat buatan, dimana dilakukan dengan operasi atau
dengan intervensi kateter, selama 6 bulan pertama sejak tindakan dilakukan
PJB yang terobati tetapi dengan defek yang masih kambuhan pada lokasi dimana
alat buatan atau alat bantu tersebut ada (menghalangi terjadinya endotelialisasi)
Valulopati jantung oleh karena transplantasi jantung dari pendonor
*Kecuali kondisi di atas, profilaksis antibiotik tidak direkomendasikan pada semua PJB
Profilaksis dianjurkan karena endotelialisasi dari alat buatan terjadi sekitar 6 bulan setelah tindakan.
Hipertensi yang berat dan perlangsungannya tergantung dari derajat
kerusakan organ, morbiditas dan mortalitas. Penyakit jantung iskemik, gagal
jantung, gagal ginjal dan penyakit serebrovaskuler merupakan hal yang umum
pada pasien dengan hipertensi. Sekarang Hipertensi ringan dengan tekanan darah
preopertif kurang dari 180/110 mmHg tidak berkaitan dengan resiko jantung
perioperatif. Operasi elektif harus segera ditunda jika pasien dengan hipertensi
berat (Tekanan diastolik >115 mmHg; tekanan sistolik >200 mmHg) sampai
tekanan darahnya kurang dari 180/110 mmHg. Jika ada kerusakan organ yang
berat, atau teknik anestesia dengan hipotensi intraoperatif, maka tujuannya adalah
mengembalikan tekanan darah yang normal setinggi-tingginya sebelum operasi
dilakukan. Berkurangnya resiko dapat diperoleh dengan terapi selama seminggu
agar ada perubahan vaskular. Kenyataannya, jika secara cepat menurunkan
tekanan darah maka akan menambah resiko terjadinya iskemik otak dan jantung.
Hipotensi intraoperatif akan jauh berbahaya dibandingkan dengan hipertensi.
Pasien harus dipantau sebelum operasi agar mencapai tekanan darah yang
terkontrol pada keadaan yang optimal.
Penyakit paru menambah resiko baik pada operasi pulmonal dan
nonpulmonal. Komplikasi paru postoperatif (PPC) merupakan hal yang sering
terjadi dan bertambahnya biaya, resiko mortalitas, dan mobiditas. Beberapa
prediktro pada usia lanjut seperti gagal jantung, penyakit paru obstruktif kronik
(PPOK), merokok, status umum (termasuk gangguan sensorik dan fungsional
dependen0 dan obstructiive sleep apnea (tabel 13-9). Asma yang terkontrol
dengan baik tidak akan menambah komplikasi perioperatif. Pasein dengan asma
yang tidak tertangani terbukti menimbulkan wheezing ketika induksi anestesi,
merupakan komplikasi resiko tinggi. Tidak seperti asma, PPOK menambah resiko
terjadinya komplikasi terutama PPOK berat. Bagaimanapun tidak ada derajat
berat ringannya yang pasti untuk dialkukannya pembedahan. Yang mengejutkan
PPOK memiliki resiko lebih rendah dari pada gagal jantung, usia tua, dan keadaan
umum yang jelek.
Table 13-9 Faktro resiko untuk Postoperative Pulmonay Complication, dengan kesimpulan yang diperkuat oleh faktor bukti dari pasien, tindakan, dan hasil lab dengan komplikasi spesifik Faktor Tingkatan anjuran Rasio Odds
Faktor resiko Potensial bagi PasienUsia lanjutASA kelas ≥IICHFFungsional dependenCOPDBerat badan menurunGangguan sensorikMerokokMinum alkoholKelainan pada foto polos dadaDiabetesObesitasAsmaObstructive sleep apneaPenggunaan kortikosteroidInfeksi HIVAritmiaKapasitas kerja yang rendah
A>AAAABBBBBCDDIIIII
2,09-3,042,55-4,872,931,65-2,511,791,621,391,261.21TIDAK ADA
Faktor resiko potensial berkaitan dengan tindakanPerbaikan aneurima aortaOperasi thoraksOperasi abdomenOperasi abdomen bagian atasOperasi sarafOperasi lamaOperasi kepala dan leherOperasi daruratOperasi vaskulerAnestesi umumTransfusi perioperatifOperasi sendi panggulOperasi ginekologi atau urologiOperasi esofagus
AAAAAAAAAABDDI
6,904,243,012,912,532,262,212,212,101,831,47
Hasil laboratoriumAlbumin darah <35 g/L A 2,53
Foto dadaKadar BUN > 7,5 mmol/L(21 mg/dl)Spirometri
BBI
4,81Tidak ada
*ASA American Society of anesthesiologist, BUN, Blood urea nitrogen, CHF, Congestive
heart failure, COPD Chronic obstructive pulmonary disease
Rekomendasi : A= Bukti yang cukup untuk mendukung faktor resiko tersebut atau petanda
hasil lab, B = beberapa bukti untuk mengusulkan faktor resiko tersebut atau petanda hasil lab, C =
Beberapa untuk mengusulkan bahwa faktor resiko tersebut bukan faktor resiko atau petanda hasil
lab bukan sebagai prediktor. D = Bukti yang cukup mendukung bahwa faktor resiko tersebut
bukan faktor resiko atau petanda hasil lab bukan sebagai prediktor, I = kurangnya bukti yang
cukup yang menerangkan faktor resiko tersebut merupakan faktor resiko yang diperkirakan dan
hasil lab tersebut merupakan prediktor pendukung dan bukti masih sangat sedikit, atau masih
dipertentangkan
Pemberian kortikosteroid dan beta adrenergik agonis inhalan preoperatif
mengurangi insidens bronkospasme setelah intubasi trakeal dan perawatan rumah
sakit serta ICU yang singkat. Laporan mengenai tindakan pemberian steroid
preoperatif (sampai 1 minggu) adalah aman dan tidak menimbulkan peningkatan
resiko infeksi postoperasi atau terhambatnya penyembuhan luka. Dianjurkan
Prednison oral 0,5-1 mg/kg diberikan kepada pasien yang akan mendapat intubasi
trakeal dan mereka yang memiliki obstruksi jalan napas persisten meskipun
mendapat obat inhalan.
Waktu penyembuhan, nyeri, dan berkurangnya volume paru akan menjadi
berkurang setelah tindakan laparoskopi selesai, tetapi komplikasi pulmonal masih
belum jelas. Resiko KPP masih rendah setelah tindakan perkutaneus. Dalam
beberapa penelititan KPP memiliki angka resiko sebesar 3% pada operasi
endovaskular, dan 16% pada operasi perbaikan aorta abdominal. Anestesi umum
lebih beresiko terkena KPP dari pada blok saraf. Pada dua penelitian meta analisis
dan percobaan retospektif dan random trial memperlihatkan bahwa KPP
jumlahnya rendah pada pasien yang mendapatkan anestesi spinal atau epidural
atau analgetik epidural sesudah operasi dibandingkan dengan anestesi umum.
Pemeriksaan fungsi paru rutin, foto dada, atau analisa gas darah tidak akan
memperkirakan resiko terjadinya KPP bahkan sangat sedikit informasi mengenai
hal itu bahkan dengan evaluasi klinik. Angka KPP berkurang dengan peningkatan
aliran udara pada penyakit paru obstruksi, terjadinya infeksi, dan gagal jantung,
dan penggunaan manuver ekspansi seperti batuk, napas dalam, spirometri yang
insentif, tekanan positif akhir peranapasan (PEEP), dan tekanan postif kontinu
pada jalan napas (CPAP)
Obstrutive sleep apnea (OSA) diakibatkan oleh obstruksi jalan napas yang
intermitten, berdampak pada 9% perempuan dan 24% laki-laki. Kebanyakan
mereka tidak terdiagnosis. Mendengkur, mengantuk siang hari, hipertensi,
obesitas, dan riwayat keluarga merupakan resiko terjadinya OSA. Ukuran lingkar
leher yang bertambah dapat diprediksikan terjadinya resiko OSA. Kuisioner
STOP Bang dikembangkan dan untuk mengevaluasi OSA pada tindakan anestesi
preopertif. Pasien dengan OSA memiliki angka resiko seperti diabetes, hipertensi,
fibrilasi atrium, bradiatrimia, ektopik ventrikular, stroke, gagal jantung, hipertensi
pulmonal, kardiomiopati berdilatasi, dan PJK. Ventilasi melalui masker,
laringoskop langsung, intubasi Endotrakeal dan visualisai fiberoptik merupakan
penanganan jalan napas yang sulit bagi penderita OSA. Beberapa pasien yang
mendapatkan kesulitan jalan napas atau obstruksi jalan napas pada pasien dengan
hipokesmia, ateletktasis, ikemik, pneumonia, dan perawatan yang lama. Pasien
yang menggunakan alat CPAP harus dibawa alatnya sehari sebelum operasinya.
ASA mempublikasikan rekomendasi untuk penangan preoperatif berdasarkan
diagnosis OSA, jika memungkinkan dan dapat dilakukan pembedahan dengan
rawat jalan.
Apakah anda pernah terdiagnosa sleep apnesa pada penelitian sleep apnea? YA □ TIDAK □Apakah anda pernah mendapat terapi untuk sleep apnea, seperti CPAP atau Bi-PAP? YA □ TIDAK □Silahkan jawan sesuai pertanyaan dengan ya atau tidak :
1. Apakah anda mendengkur dengan keras (lebih keras daripada berbicara, atau cukup keras terdengar melalui pintu tertutup)YA □ TIDAK □
2. Apakah anda selalu lelah, kecapean, dan mengantuk pada siang hari?YA □ TIDAK □
3. Apakah ada orang sekitar anda yang melihat anda berhenti bernapas saat tidur?YA □ TIDAK □
4. Apakah anda memiliki tekanan darah tinggi yang terobati?YA □ TIDAK □
Hanya untuk Penanya, tidak boleh isi bagian bawah ini
Anamnesis dan pemeriksaan fisis
JantungIskemik jantung (setara angina)Gagal jantungPenyakit katupPenyakit perikardium (tamponade, konstriktif)
PernapasanPPOKAsmaPneumoniaFiborsis paruCedera ParuEmboli paruHipertensi pulmonalPenyakit paru restriktifPenyakit pleura
Yang lainnyaAnemiaDekondisionGagal ginjalPenyakit neuromuskularHipertiroidismePsikogenik
ElektrokardiogramFoto polos dadaPemeriksaan stressEkokardiografiBNP
Foto dadaAnalisa gas darahPemeriksaan fungsi paruCT-scan dada
Darah rutinKadar nitrogen dan ureaElektrolitTes fungsi tiroidTes latihan komprehensif
Anamnesis dan pemeriksaan fisis
5. Apakah IMT ≥ 35 kg/m2 ?YA □ TIDAK □
6. Apakah pasien ≥ 50 tahun?YA □ TIDAK □
7. Apakah lingkar leher lebih dari 15,7 inci (40 cm)?YA □ TIDAK □
8. Apakah pasien adalah pria?YA □ TIDAK □Jumlah total Ya____________ apakah pasien meiliki derajat resiko tinggi untuk OSA ?YA □ TIDAK □Resiko tinggi OSA : Ya > 3 jawaban
Gambar 13-5 Kuesioner Stop Bang untuk screening obstruksi sleep apnea.
Dispneu diakibatkan oleh bertambahnya gerakan napas atau bertambahnya
beban mekanik karena masalah pada sistem pernapasan. Umumnya yang
menyebabkan dispneu adalah PPOK, asme, dan gagal jantung. Pemeriksaan
dispneu yang khsusu ditujukan kepada yang memiliki riwayat keluarga dan
pemeriksaan fisik sebelumnya. Kebanyakan keadaan yang paling sering
menyebabkan dispneu kecuali salah satunya psikogenik, bertambahnya
komplikasi perioperatif , jika kondisi ini tidak diperhatikan dengan serius oleh ahli
anestesi. Ketika evaluasi preoperatif mendapatkan giagnosis yang tepat, maka
pengobatan yang efektif dapat meningkatkan kondisi kesehatan pasien.
Gambar 13-6. Tuntunan untuk evaluasi dispneu
Penyakit ginjal berhubungan dengan penyakit kardiovaskuler berupa
hipertensi, volume intravaskular berlebihan, gangguan keseimbangan elektrolit,
asidosis metabolik, dan bahkan dibutuhkan jumlah dan jenis anestesi yang
berbeda. Gagal ginjal merupakan faktro resiko yang mungkin setara dengan PJK.
Pada tindakan elektif, hemodialisa dilakukan 24 jam sampai operasi, tetapi tidak
selamanya sebelum operasi, hal ini berguna untuk mencegah kehabisan cairan
secara akut, dan perubahan elekttrolit. Hiperkalemia kronik mungkin tidak perlu
diobati jika konsentrasi potasium darah kurang dari 6 mEq/dL dan tidak lebih dari
batas pasien yang telah ditentukan. Pemakaian kontras radiologi sebagai media
radiograp dapat menurunkan Jalu filtrasi Glomerulus (GFR) pada kebanyakan
pasie, tetapi pasien dengan diabetes dan gagal ginjal berada pada resiko tinggi.
Pada pasien yang GFR nya kurang dari 60 ml/kg/menit memberikan keadaan
basa pada cairan tubulus ginjal dengan sodium karbonat atau hidrasi sederhana
akan mengurangi cedera,
Pasien dengan diabetes memiliki faktor resiko kerusakan multiorgan, yaitu,
gagal ginjal, stroke, neuropati perifer, gangguan penglihatan, dan penyakit
kardiovaskuler yang tersering. Kontrol glukosa ketat pada pasien stroke, operasi
jantung bypass, atau kritis akan menambah perbaikan outcome tetapi masih
menjadi pertentangan. Baik kontrol gula ketat preoperatif untuk operasi jantung
memiliki keuntungan dan secara sederhana mengurnagi resiko hipoglikemi namun
semuanya masih belum jelas. Kontrol gula yang buruk dan sudah menjadi kornik
dapat menambah keadaan komorbid seperti penyakit vaskuler, gagal jantung dan
infeksi kesemuanya dapat meningkatkan resiko pembedahan. Kontrol gula darah
yang buruk dan kronik bisa diperkirakan tingginya glukosa darah pada
perioperatif. Penentuan target kontrol gula darah pada waktu perioperatif tidak
akan memberikan hasil yang besar bagi pasien diabetes dengan pembedahan. Gula
darah yang meningkat atau bahkan yang telah terapi bisa pada pembedahan non
jantung. Ketoasidosis diabetik, dan hipoglikemia (glukosa <50 g/dL) merupakan
keadaan yang penting diperhatikan pada saat tindakan perioperatif. Tujuan dari
kontrol glukosa darah adalah mencegah terjadinya hipoglikemi ketika puasa,
hiperglikemia yang berat dan ketosis.
Obesitas yang berat didefinisikan sebagai indeks massa tubuh yang
menunjukkan angka 40 atau lebih. Pasien dengan obesitas meiliki kriterio OSA
seperto, gagal jantung, diabetes, hipetensi, hipertensi pulmonal, jalan napas yang
sulit, berkurangnya oksigenasi ke jaringan, dan bertambahnya volume lambung.
Peralatan yang khusus diperlukan pada pasien obesitas ini, seperti ukuran kaf
tekanan darah yang besar, peralatan pengolahan jalan napas yang besar, dan meja
operasi yang besar untuk menopang berat badan.
Anemia, adlaah hal uang umum dijumpai pada periopertif, hal ini
merupakan penanda akan tinggi nya tingkat resiko kematian perioperatif, dan
sebagai prediktor lama tidaknya pasien di rawat pada populasi yang umum.
Anemia peroperatif merupakan sangat memungkinkan untuk dilakukan transfusi
karena angak morbiditas dan mortalitasnya tinggi. Jika penyebab anemia tidak
diketahui maka pemeriksaan secara keseluruhan harus dilakukan sebelum
tindakan anestesi elektif dilakuka, khususnya pada kehilangan darah dan
pemakaian antikoagulan harus diantisipasi. Pasien dengan anemia kronik dan
tidak memiliki riwayat PJK yang ingin mendapatkan tindakan yang beresiko
rendah, gangguan fisik yang minimal dilakukannya anestesi dengan tetap melihat
resiko yang ada dan menjamin agar hemoglobin dalam darah setidaknya minimal
6 g/dL. (lihat bab 24). Pasien dengan anemia sel sabit harus mendapat penanganan
dari ahli hematologi berkaitan dengan penyakitnya.
Pasien yang hamil dan dijadwalkan untuk operasi non obstetri sebaiknya
memeriksaakan keadaan janinnya. Penatalaksaan pada persalinan prematur atau
persalinan normal harus diperhatikan. Rencana peroperatif harus dibicarakan lebih
lanjut dengan ahli kandungan pasien tersebut.(lihat Bab 33)
Pasien dengan usia lanjut (lihat juga bab 35) mengalami kemunduran fungsi
organ, respon terhadap obat berbeda-beda, dan memiliki angka yang cukup tinggi
pada kondisi komorbidnya. Beberapa kondisi sakitnya seperti atritis, hipertensi,
penyakit jantung, diabetes, gagal ginjal, dan penyakit vaskuler. Pasien umur 85
tahun ke atas memiliki riwayat perwatan rumah sakit selama 6 bulan yang
sebelumnya telah mendapat tindakan pembedahan dengan rawat jalan. Sekarang
angka komplikasi pada umur yang sangat tua (>85 tahun) bukan merupakan hal
sepele dalam tindakan operasi. Penghentian rencana operasi dapat mengurangi
pembiyaan pelayanan perioperatif. Pengobatan preoperatif dapat dibuat oleh
berbagai bidang pelayanan dan rencana pengobatan setelah pembatalan tindakan
dapat dikoodinasikan dengan ahli bedah, perawat, dan departemen sosial terkait.
Kebanyakan pada pasien tua atau pasien yang mendapat tindakan langsung, atau
pasienyang tidak diresusitasi- do not resuscitate (DNR) memerlukan pembicaraan
yang khusus. Perintah DNR seharusnya tidak lama ditegakkan ketika pasien
dalam keadaan dibedah atau mendapat anestesi. (gambar 3-7, tabel 13-10)
Konsultasi
Pelayanan secara terpadu sangat diperlukan dan menguntungkan. Konsultasi
menyarakan hal-hal yang spesifi yang berkaitan dengan kondisi fisik pasien
preoperatif dalam mengetahui kondisi dan diagnosis pasien. Kata-kata yang
tercantum seperti “dapat dilakukan operasi”, atau “resiko rendah” tidak cukup
membantu untuk pelaksana anestesi dalam melakukan teknik anestesi yang aman.
Kondisi serta hasil akhir dari masalah kesehatan pasien dan jugga hasil lab harus
dapat dicantumkan. Konsul preoperatif harus dicantumkan halhal berikut:
- Diagnosis, evaluasi pasien, dan perbaikan baik buruknya kontrol
pengobatan pasien.
- Membuat profil resiko klinis yang dapat terjadi pada psien, baik ahli
anestesi dan ahli bedah untuk membuat keputusan pelaksanaan tindakan.
Konsultasi yang ketat, dan komunikasi yang baik antar ahli bedah, ahli
anestesi dan konsultan lainnya mengenai preoperatif merupakan hal yang sangat
penting.
Pemeriksaan
Pemeriksaan diagnostik dan pemeriksaan yang berkaitan dengan penyakit
berhubungan dengan pemeriksaan dibandingkan dengan sederatan pemeriksaan
____Pilihan 1 – Resusitasi totalSaya ______, berniat untuk melakukan resusitasi sesuai kemampuan pada tindakan anestesi saya dan pada tindakan postanestesi, di segala keadaan____Pilihan 2 – Resusitasi terbatas : Sesuai Tindakan Pada saat tindakan anestesi saya dan tindakan postanestesi, Saya, ____________, menolak untuk mengikuti tindakan:________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________Pilihan 3 – Resusitasi terbatas: Tujuan langsungSaya____, bersedia melakukan resusitasi ketika tindakan anestesi saya dan tindakan postanestesi hanya jika saya, pada keputusan yang dilakukan oleh ahli anestesi dan ahli bedah, bahwa keadaan klinis buruk yang ditindaki hanya sementara dan reversibel._____Pilihan 4 – resusitasi terbatas : Tujuan langsungSaya_____, bersedia melakukan resusitasi ketika tindakan anestesi saya dan tindakan postanestesi hanya jika saya, pada keputusan yang dilakukan oleh ahli anestesi dan ahli bedah, Upaya resusitasi akan mendukung tujuan dan penilaian saya: _______________________________________________________________________________________________________________________Tanda tangan keluargaTanggal_____________________________Tanda tangan PemeriksaTanggal______________________________Tanda tangan SaksiTanggal
screening telah diteliti. Beberapa abnormalitas yang ditemukan dalam bebagai
hasil tes dapat mengubah tindakan dan tidak jarang memberikan keuntungan.
Pemeriksaan preoperatif dengan indikasi yang tidak spesifik justru sia-sia dan
akan menambah cedera pasien, kecemasan, penundaan operasi, dan bahkan
pengobatan yang tidak semestinya. Hasil yang abnormal berkontribusi penting.
Lebih lanjut satu di antara 2000 pemeriksaan preoperatif terdapat kesalahan dalam
melakukan diagnostik dari beberapa pemeriksaan tersebut. Mungkin saja
abnormaliats yang ditemukan tidak ditangani menimbulkan dampak resiko
medikolegal yang lebih besar daripada menemukan abnormalitas tersebut dan
menanganinya.
Gambar 13-7 tindakan anestesi pada pasien dengan perintah do-not-resucitate (DNR)
Tabel 13-10 Perintah Do Not Resuscitate (DNR) pada waktu perioperatifKebijakan otomatis untuk menangguhkan perintah DNR atau arahan lain yang membatasi pengobatan sebelum tindakan perawatan yang melibatkan anestesi mungkin tidak cukup mengatasi segala hak-hak pasien untuk menentukan nasib mereka sendiri secara bertanggung jawab dan etis. Kebijakan tersebut, jika ada, harus ditinjau ulang dan direvisi, jika diperlukan, untuk mencerminkan isi dari pedoman ini.
Percobaan penuh di Resusitasi: Pasien atau keluarga pasien yang ditunjuk dapat meminta penangguhan penuh dari instruksi yang ada selama waktu pasca operasi anestesi dan segera, sehingga menyetujui penggunaan tindakan resusitasi yang mungkin sesuai untuk mengobati peristiwa klinis pasien yang terjadi pada saat itu.Percobaan terbatas pada Resusitasi Ditetapkan Dengan Anggapan Tindakan Khusus: Para keluarga pasien pasien atau yang ditunjuk untuk memutuskan dapat melanjutkan untuk menolak menolak tindakan resusitasi tertentu yang spesifik (misalnya, dada kompresi, defibrilasi, atau intubasi trakea). Ahli Anestesi harus menginformasikan pasien atau yang mewakili menyisihkan tentang (1) yang tindakan sangat penting untuk keberhasilan anestesi dan tindakan yang diusulkan dan (2) yang tindakan tidak penting dan dapat ditolak.
Percobaan terbatas pada Resusitasi Ditetapkan Dengan Anggapan Sasaran Pasien dan Nilai-nilai: Pasien atau keluarga pasien yang ditunjuk dapat mengizinkan ahli anestesi dan tim bedah dengan menggunakan pertimbangan klinis dalam menentukan tindakan resusitasi yang sesuai dalam konteks situasi dan tujuan pasien dinyatakan dan nilai-nilai . Sebagai contoh, beberapa pasien mungkin ingin tindakan resusitasi penuh yang akan digunakan untuk mengelola peristiwa klinis pasien yang merugikan yang diyakini secara cepat dan mudah reversibel, tetapi untuk tidak melakukan pengobatan untuk kondisi yang mungkin mengakibatkan gejala sisa permanen, seperti gangguan neurologis atau tidak diinginkan ketergantungan pada teknologi penopang hidup.
Dalam sebuah studi rintisan lebih dari 1000 pasien yang menjalani bedah
rawat jalan, tidak ada peningkatan kejadian perioperatif kerusakan pada pasien
yang tidak memiliki pemeriksaan preoperatif. Tidak ada peningkatan ATAU
penundaan atau pembatalan atau perbedaan dalam hasil dari kurangnya hasil
pemeriksaan. Beberapa penelitian lain telah menunjukkan bahwa keterangan dari
saat beristirahat 12-lead EKG tidak menambah nilai perawatan pasien bedah.
Kekhususan dari suatu kelainan EKG dalam memprediksi kejadian postoperasi
yaitu kerusakan jantung hanya 26%, serta EKG normal tidak meniadakan
penyakit jantung. Suatu EKG tidak boleh dilakukan hanya karena pasien usia
lanjut. Rekomendasi untuk usia berbasis hasil pemeriksaan yang berasal dari
kejadian yang sering ditemukan pada kelainan EKG dari pasien usia lanjut.
Sebuah studi observasional prospektif pada pasien berusia 50 tahun atau lebih
menjalani operasi non jantung di Amerika menemukan kelainan pada 45% pada
EKG preoperatif. Bundel blok cabang, terkait dengan MI dan kematian
postoperasi, tidak memiliki nilai tambah lebih prediktif faktor resiko klinis. The
Centers for Medicare dan Medicaid Services (CMS) jangan mengganti EKG
"preoperative" atau berdasarkan usia. Evaluasi ASA Penasehat Praktek
Preoperative mengakui bahwa EKG tidak meningkatkan prediksi melampaui
faktor resiko diidentifikasi oleh riwayat pasien. Indikasi untuk EKG preoperatif
ditunjukkan dalam Tabel 13-11. Foto dada tidak memprediksi komplikasi paru
postoperasi.
Table 13-11 rekomendasi untuk EKG 12-Lead Biasa preoperatif
Kelas I
(Indikasi Tindakan)
1. EKG biasa preopertif dianjurkan pada pasien yang setidaknya memiliki
satu gejala faktor resiko, pada pasien yang ingin mendapat tindakan
operasi vaskuler.
2. EKG biasa preoperatif dianjurkan pada pasien CHD, penyakit ateri perifer,
atau penyakit sereberovaskuler, yang dimana akan mendapatkan tindakan
dengan resiko menengah.
Kelas IIa
(Tindakan yang beralasan untuk dilakukan)
1. EKG biasa preoperatif dapat dilakukan dengan alasan akan mendapatkan
tindakan bedah vaskuler.
Kelas Iib
(tindakan yang mungkin dilakukan)
1. EKG biasa preoperatif dapat dilakukan dengan alasan pasien yang
setidaknya memiliki satu gejala faktor resiko, pada pasien yang ingin
mendapat tindakan operasi dengan resiko menengah
Kelas III
(tindakan yang tidak perlu dialkuakn karena tidak banyak membantu)
1. EKG biasa preoperti dan postoperatif pada pasien yang tidak bergejala
yang sedang dalam tindakan dengan resiko rendah.
*Faktor resiko klinis berupa penyakit jantung, gagal jantung, penyakit
sereberovaskuler, diabetes dan gagal ginjal.
CHD: coroner arterial disease
Pasien yang sehat dari segala usia dan pasien dengan diketahui, stabil,
penyakit kronis yang mengalami perbaikan untuk tindakan resiko menengah tidak
mungkin untuk mendapat manfaat dari setiap pemeriksaan rutin. Sebuah tes
diperintahkan hanya jika hasilnya akan berdampak pada keputusan untuk
melanjutkan dengan tindakan direncanakan atau mengubah rencana perawatan.
Hal ini keliru untuk meyakini bahwa penemuan kelainan pada EKG, foto polos
dada, atau pemeriksaan darah berdampak pada perawatan atau hasil bagi beberapa
pasien atau tindakan. Penelitian telah menunjukkan bahwa peniadaan pemeriksaan
rutin tidak meningkatkan resiko.
Tabel 13-12 pemeriksaan Diagnostik preoperatif yang dianjurkan/direkomendasikan
Albumin Edema anasarka, penyakit hati, malnutrisi, malabsorbsi
Beta HCG Dugaan Hamil
CBC ketergantungan alkohol, anemia, dispneu, penyakit hati atau ginjal, keganasan,
riwayat perdarahan, tidak dapat mentolerir latihan, baru saja kemoterapi atau terapi radiasi
Kreatinin Penyakit ginjal, diabetes yang tidak dikontrol
Foto polos dada gejala paru yang masih aktif, akut, atau kronik berupa batuk, atau
dispneu, keadaan abnormal yang tidak bisa dijelaskan pada pemeriksaan dada, gagal jantung
dekompensata, keganasan pada thoraks, terapi radiasi.
EKG penyalahgunaan alkohol, gejala jantung (baru atau memburuknya nyeri dada,
palpitasi, takikardi, denyut yang ireguler, bradikardi tidak ditahu penyebabnya, murmur yang
belum terdiagnosa, bunyi jantung 3, gagal jantung dekompensata, implan cardioverter,
defibrilator(ICD) OSA, pacemaker, hipertensi pulmonal, terapi radiasi, obesitas berat, sinkop,
penggunaan amiodaron atau digoksin.
Elektrolit Penyalahgunaan Alkohol, penyakit tiroid, kardiovaskuler, ginjal dan hati;
diabetes, malnutrisi, penggunaan digoksin atau diuretik,
Glukosa Diabete, obesitas berat, penggunaan steroid
LFTs Penyalahgunaan alkohol, penyakit hati, hepatitis yang seblumnya sudah terkena,
kelainan perdarahan yang belum terdiagnosa
Hitung platelet Penyalahgunaan alkohol, penyakit hati, kelainan perdarahan (riwayat pribadi
atau keluarga), keganasan hematologi, terapi kemoterapi dan radioterapi sebelumnya,
trombositopenia
PT Penyalahgunaan alkohol, penyakit hati, malnutrisi, gangguan
perdarahan(riwayat pribadi dan keluarga), penggunaan warfarin
APTT gangguan perdarahan(riwayat pribadi dan keluarga), keadaan hiperkoagulasi
yang tidak terdiagnosa, penggunaan heparin molekul rendah
TSH T3,T4 Struma, penyakit tiroid, dispnue yang tidak jelas penyebabnya, fatig, palpitasi,
takikardi
Urinalisis suspek infeksi traktus urinarius
*hanya pada radioterapi daerah dada, payudara, paru, thoraksLFT =liver function test, tes fungsi hati.
Namun, evaluasi klinis pasien sebelum operasi masih diperlukan. Pencarian
riwayat dispnea yang meningkat saat beraktivitas, nyeri dada onset baru, atau
sinkop, dan mennagani pasien dengan sesuai instruksi pengobatan preoperatif
merupakan hal yang bermanfaat yang lebih besar daripada memeriksakan EKG
atau tes darah. Pemeriksaan untuk menetapkan diagnosis, evaluasi suatu kondisi
yang memburuk, atau bantuan dalam keputusan preoperatif dan penatalaksanaan
untuk pasien dengan komorbid yang berat ditunjukkan pada Tabel 13-12.
Pemeriksaan untuk pasien tertentu dapat diindikasikan hanya karena anestesi
direncanakan atau pembedahan (Tabel 13-13).
ASA preoperative Evaluation Practice Advisory telah mengakui bahwa
literatur ". . . tidak cukup untuk menginformasikan pasien atau dokter apakah
anestesi menyebabkan efek bahaya pada awal kehamilan, "dan menunjukkan
bahwa pemeriksaan kehamilan akan dilakuka kepada perempuan jika hasil
pemeriksaan akan merubah tindakan anestesi. Beberapa praktek dan fasilitas
menyediakan pasien dengan informasi tentang potensi resiko anestesi dan
pembedahan pada kehamilan, tetapi memungkinkan mereka untuk menolak
pemeriksaan. Praktek lain mengamanatkan bahwa semua perempuan usia subur
harus menjalani tes urine kehamilan pada hari operasi. Mungkin di fasilitas
dengan kebijakan pemeriksaan menjadi wajib, pasien harus diberitahukan bahwa
persetujuan untuk operasi dan anestesi termasuk persetujuan untuk pemeriksaan
kehamilan.
Tabel 13-13 Anjuran pemeriksaan pada pasien dengan pemeriksaan spesifik dasar
sebelum anestesi
Tindakan/jenis pasien Pemeriksaan
Pasien yang diinjeksikan kontras Kreatinin
Berpotensi kehilangan darah yang banyak Hemoglobin, hematokrit
Membutuhkan transfusi Jenis golongan darah dan skreening
Kemungkinan hamil Tes kehamilan
Penyakit ginjal stadium akhir Kadar potasium
Diabetes Kadar gula darah pada hari operasi
Penyakit jantung aktif EKG
(seperti gagal jantung dekompensata
Aritmia, nyeri dada, murmur)
*tidak diperuntukan untuk sebuahh diagnosiis, atau penuntun tindakan preoperatif
Hasil dari laboratorium yang sudah tiga bulan operasi masih diterima kecuali ada kelaianan yang besar pada pasien atau kondisi pasien yang telah berubah
Tes kehamilan rutin tidak disarankan sebelum hari operasi. Indikasi tes kehamilan memerlukan anamnesis dan pemeriksaan fisis untuk mengajukan tes kehamilan.
Tidak ada kadar pasti tentang potasium dan gula darah untuk kelancaran operasi dan anstesi. Namun harus diseimbangkan agar menghindari resiko selama pasien dalam keadaan abnormal.
Tabel 13-14 Instruksi Premedikasi anestesia
Obat yang dapat dilanjutkan pada hari operasi Penghentian obat pada hari operasi kecuali ada indikasi
Antidepresan, antiasietas, obat obat psikiatrik (termasuk monoamine oksidase inhibitor)
Anti hipertensi (umumnya dilanjutkan) Mempertimbangkan penghentian ACE inhibitor atau reseptor angiotensi bloker 12-24 jam sebelum operasi jika diperlukan pada hipertensi, terutama pada tindakan dengan waktu yang lama, kehilangan banyak darah, penggunaan anestesi umum, pengobatan antihipertensi yang multi obat, tekanan darah yang terkontrol, hipotensi yang bisa berbahaya
Aspirin-pada pasien yang diketahui penyakit vaskuler-pasein dengan stent dengan obat pengencer untuk <12 bulan-Paseien dengan stent besi untuk <1 bulan-sebelum operasi katarak-sebelum bedah vaskuler-sebagai profilaksis
AspirinDihentikan 5-7 hari sebelum operasi
- Jika resiko perdarahan > resiko trombosis
- Pada operasi dengan perdarahan serius
- Hanya sebagai profilaksis(tidak diketahui adanya penyakit vaskuler)
Pengobatan asmaPengobatan autoimun
- Metotreksat jika tidak ada gagal ginjalPengobatan autoimun
- Metotreksat (jika ada resiko gagal ginjal)
- Entanercept (Enbrel), infliximab(remicade), adalimumad(humira) lihat ptnujuk pemakaian
Obat kontrasepsiPengobatan jantungKlopidogrel
- pasein dengan stent dengan obat pengencer untuk <12 bulan
- Pasein dengan stent besi untuk <1 bulan
- sebelum operasi katarak
KlopidogrelPasien yang tidak termasuk kelompok yang dianjurkan dilanjutkan
COX-2 inhibitor COX-2 inhibitorJika ahli bedah meinginkan penyembuhan tulang
DiuretikTriamteren, HCT
DiuretikDiuertik poten
Obat tetes mataSenyawa estrogen Senyawa estrogen
Dipakai untuk KB atau terapi kanker Ketika digunakan untuk mengendalikan gejalan menopause, atau untuk osteoporosis
Pengobatan refluks gastrointestinal Pengobatan refluks gastrointestinalHerbal atau suplement non vitamin7-14 hari sebelum operasiObat hipoglikemik oral
Insulin- diabetes tipe 1 = 1/3 dosis tengah pada
kerja lama (NPH, lente)- dibetes tipe 2 = ½ dosis kerja lama
atau kombinasi (70/30)- Glargine (lantus) dosis dikurangi jika ≥
1 unit/kgBB- Dengan siring pump lanjutkan dosis
basal malam
Insulin- Insulin biasa (kescuali insuli
siring pump, dengan dosis basal malam)
- Tidak dilanjutkan jika gula darah <100
Narkotik untuk nyeri, atau addiksiPengobatan kejang
NSAID48 jam sebelum operasi
Statin Krimtopikal atau salepSteroid (oral atau inhalan) Viagra atau pengobatan yang serupa
Dihentikan 24 jam sebelum operasiPengobatan tiroid Vitamin dan mineral, zat besiWarfarin-operasi katarak, tanpa blok bulbar
WarfarinDihentikan 5 hari sebelum operasi
*lihat bacaan untuk lebih jelasKecuali pada keadaan atau resiko perdarahan yang berat( umumnya pada
operasi intrakranial atau belakang mata)Bridging mungkin diperlukan lihat bacaan
MEDIKASI
Instruksi kepada pasien untuk melanjutkan atau menghentikan obat
kemungkinan akan meningkatkan outcome lebih baik daripada pemeriksaan
dilakukan sebelumnya. Keadaan komorbid dan sifat dari tindakan yang
dipertimbangkan saat mengelola pengobatan sebelum operasi. Beberapa obat
memiliki efek bermanfaat selama anestesi dan operasi, sedangkan yang lain
merugikan, dan dalam kasus lain masih ada hal seperti itu, dengan tiba-tiba
menghentikan terapi memiliki efek yang buruk. Ringkasan rekomendasi untuk
penatalaksaan pengobatan perioperatif ada pada Tabel 13-14. Beberapa golongan
obat dan kontroversi yang muncul, disebutkan secara khusus.
Umumnya, obat jantung dan obat antihipertensi dilanjutkan sebelum
operasi. Angiotensin-converting enzyme inhibitor (ACEIs), angiotensin receptor
blocker (ARB), diuretik, dan antikoagulan mungkin bermanfaat bahkan pada saat
hari operasi. Meneruskan atau menghentikan obat ini tergantung pada volume
intravaskular dan status hemodinamik pasien, tingkat disfungsi jantung,
pengendalian tekanan darah arteri yang adekuat, dan anestesi diantisipasi dan
kekhawatiran volume intravaskular. Melanjutkan semua obat untuk pasien dengan
penyakit berat, atau mereka sedang menjalani tindakan beresiko rendah ke
menengah, sedasi atau anestesi sentroneuraxial kemungkinan adalah tindakan
yang terbaik. Jika ACEIs dan ARB dilanjutkan, dosis induksi dan lainnya anestesi
obat dapat diatur dosisnya. Vasopresin harus tersedia untuk mencegah atau
mengurangi hipotensi. Potensi hipotensi refrakter harus seimbang terhadap
dampak terapeutik positif dari melanjutkan obat ini pada perioperatif berdasarkan
kasus per kasus.
Tabel 13-15 American American College of Cardiology Foundation
(ACCF)/American Heart Association (AHA) preoperatif anjuran penggunaan beta
bloker
Kelas 1
1. Beta blockers harus dilanjutkan pada pasien yang menjalani bedah yang
sedang memakai beta blocker untuk pengobatan kondisi dengan ACCF /
AHA Kelas I petunjuk indikasi untuk obat. (Tingkat Bukti: C)
Kelas IIa
1. Beta blockers kadarnya untuk menilai jantung dan tekanan darah mungkin
direkomendasikan untuk pasien yang menjalani operasi vaskuler yang
berada pada resiko tinggi karena jantung penyakit arteri koroner atau
temuan adanya iskemia jantung pada pemeriksaan preoperatif (Tingkat
Bukti: B)
2. Beta blockers kadarnya untuk menilai jantung dan tekanan darah yang
wajar untuk pasien yang pemeriksaan preoperatif untuk operasi vaskular
mengidentifikasi resiko jantung yang tinggi, seperti yang didefinisikan
oleh adanya lebih dari 1 faktor resiko klinis. *(Tingkat Bukti: C)
3. Beta blockers kadarnya untuk menilai jantung dan tekanan darah yang
wajar untuk pasien yang pemeriksaan preoperatif mengidentifikasi
penyakit arteri koroner atau resiko jantung yang tinggi, seperti yang
didefinisikan oleh adanya lebih dari 1 faktor resiko klinis, * yang sedang
menjalani resiko bedah menengah (Tingkat Bukti: B)
Kelas IIb
1. Kegunaan beta blockers tidak pasti bagi pasien yang sedang menjalani
baik prosedur menengah beresiko atau operasi vaskuler di antaranya
pemeriksaan preoperatif mengidentifikasi faktor resiko tunggal klinis
adanya ketiadaan penyakit arteri koroner * (Tingkat Bukti: C).
2. Kegunaan beta blocker tidak pasti pada pasien yang menjalani bedah
vaskuler tanpa faktor resiko klinis * yang saat ini tidak memakai beta
blocker. (Tingkat Bukti: B)
Kelas III
1. Beta blockers tidak boleh diberikan kepada pasien yang menjalani operasi
yang memiliki kontraindikasi mutlak untuk beta bloker. (Tingkat Bukti: C)
2. pemberianrutin dosis tinggi beta blocker dalam ketiadaan kadarnya dalam
darah, tidak berguna dan dapat membahayakan pasien yang saat ini tidak
dalam pengobatan beta blockers yang sedang menjalani operasi non
jantung (Tingkat Bukti: B)
*Faktor Resiko klinis berupa riwayat iskemik jantung, riwayat gagal jantung terkompensasi atau sebelumnya, penyait sereberovaskular sebelumnya, diabetes dan insufisiensi ginjal (didefinisikan sebagai Revised Cardiac Risk Indeks konsentrasi creatinin pada preoperatif >2 mg/dL)
Furosemide dapat selalu diberikan secara intravena setelah induksi anestesi.
Disarankan (kelas I indikasi) bahwa b-blocker dilanjutkan pada pasien yang
membawa mereka untuk mengobati angina, aritmia gejala, atau hipertensi (Tabel
13-15). Meminimalkan resiko untuk pasien beresiko tinggi dijadwalkan untuk
menjalani operasi elektif mungkin memerlukan penundaan operasi untuk
mengoptimalkan b-adrenergik blockers dan terapi statin. Statin dapat mengurangi
lama perawatan di rumah sakit dan resiko stroke, disfungsi ginjal, MI, dan
bahkan kematian. Tidak ada studi tentang terapi statin perioperatif telah
dilaporkan dengan resiko serius pada penggunaan obat ini. Secara mendadak
menghentikan pemberian statin dapat dikaitkan dengan peningkatan resiko,
termasuk kematian. Statin harus dilanjutkan pada periode perioperatif, dan
dipertimbangkan serius seharusnya diberikan dengan memulai itu pada pasien
dengan diketahui penyakitnya, atau faktor resiko, penyakit aterosklerosis.
Tabel 13-16 Protokol Bridging sebelum tindakan pada pasein rawat jalan
Enoxaparin atau Heparin molekul rendah
Jangan menggunakan enoxaparin jikal CrClest < 40 mL/menit, berat badan >150
kg atau pasien dengan riwayat komplikasi perdarahan dengan enoxaparin, alergi
babi, atau heparin pemicu trombositopenia
Pertimbangan khusus diperlukan untuk pasien yang menjalani anestesi
sentroneuraksiial dan pada waktu penggantian atau pelepasan kateter. Dosis
enoxaparin harus dikoordinasikan sesuai dengan layanan anestesi berdasarkan
panduan American Society of Anestesi Regional (ASRA)
Dosis pertama enoxaparin tergantung kecepatan INR menjadi subterapi setelah
penghentian warfarin. Penentuan IR sebelum pemberian enoxaparin
Hari ke 7: dosis terakhir warfarin diberikan jika INR 3,0-3,5. Diulangi
pemeriksaan INR hari ke 5 dan memulai enoxaparin sebagai subterapi
Hari ke 6 : dosis terakhir warfarin diberikan jika INR 2.5-3,0, ulangi pemeriksaan
INR pada hari ke 4 dan memulai enoxaparin sebagai subterapi
Hari ke 5 : dosis terakhir warfarin diberikan jika INR 2.0-2,5, ulangi pemeriksaan
INR pada hari ke 4 dan memulai enoxaparin sebagai subterapi
Hari 4,3, dan 2: lanjutkan enoxaparin tanpa warfarin
Hari 1 : dosis terakhirenoxaparin diberikan pada 0700
Hari 0 : hari operasi
Penggunaan alternatif vitamin K oral
Jika enoxaparin merupakan kontraindikasi ( CrClest < 40 mL/menit, berat badan
>150 kg atau pasien dengan riwayat komplikasi perdarahan dengan enoxaparin,
alergi babi, atau heparin pemicu trombositopenia) berikut ini tindkaan pemberian
vitamin K dianjurkan:
Hari 3: dosis terkhi warfarin diberikan
Hari 2 : tahan warfarin dan pemeberian vitamin K dalam dosis tunggl 5 mg
Hari 1 : periksa INR dan ulangi dosis vitamin ka jika INR≥1,5
Hari 0 : periksa INR 1 jam sebelum operasi
CrClest estimasi tingkat kreatinin klirens, INR ; international normalized
ratio
Aspirin umumnya digunakan untuk mengurangi resiko pada pasien dengan
yang diketahui penyakit, atau faktor resiko, penyakit vaskuler, diabetes,
insufisiensi ginjal, atau usia lanjut. Dulu aspirin telah diurangkan penggunaannya
pada saat perioperatif karena dikhawatiran terjadi pendarahan. Namun, praktik
sekarang ini telah dapat diawasi. Sebuah meta-analisis dari hampir 50.000 pasien
yang menjalani berbagai operasi non jantung (30% mengonsumsi aspirin
perioperatif) menemukan bahwa aspirin yang meningkat komplikasi perdarahan
dengan faktor 1,5, tetapi tidak meningkatkan angka keparahan, kecuali pada
pasien yang menjalani operasi intrakranial dan reseksi transurethral dari
kemungkinan prostate. Ahli bedah tidak mengetahui pemberian aspirin tidak bisa
mengidentifikasi pasien yang memakai atau tidak mengonsumsi aspirin
berdasarkan perdarahan. Ada peningkatan resiko kejadian vaskuler ketika aspirin
diminum secara teratur lalu dihentikan pada saat perioperatif. Mungkin ada
keadaan “Rebound” hiperkoagulasi ketika aspirin dihentikan. Sindrom koroner
akut terjadi 8,5± 3,6 hari dan acara serebral akut 14.3± 11,3 hari setelah
penghentian aspirin, terjadi lamanya operasi, dan kejaidan itu dua kali lebih
banyak pada pasien yang telah berhenti minum aspirin dalam 3 minggu
sebelumnya bila dibandingkan dengan mereka yang terus aspirin. Aspirin
dihentikan selama 3 sampai 4 hari biasanya diperbolehkan, jika aspirin dihentikan
sama sekali, dan dosis harus dilanjutkan sesegera mungkin. Trombosit baru akan
terbentuk setelah aspirin (paruh sekitar 15 menit) dihentikan tidak akan
terpengaruhi. Trombosit berfungsi normal pada konsentrasi lebih baik daripada
50.000 / mm3 memadai untuk mengontrol perdarahan pada saat pembedahan.
Pada tindakan seperti bedah minor atau tindakan yang superfisial seperti
ekstraksi katarak, endoskopi, dan tindakan perifer, resiko pengehentian aspirin
pada pasien yang beresiko lebih besar daripada resiko terjadinya perdarahan.
Aspirin harus dihentikan jika diambil hanya untuk pencegahan primer (tidak ada
riwayat stent, stroke, MI) (lihat Gambar 13-4 dan Tabel 13-14). Pemberian
Aspirin harus dilanjutkan jika ditujukan untuk pencegahan sekunder (riwayat stent
atau penyakit pembuluh darah), kecuali untuk tindakan dengan resiko perdarahan
pada ruang tertutup (misalnya, intrakranial, ruang posterior mata). Anestesi
Neurakasial dan perifer pada pasien yang me makai aspirin adalah aman dan
didukung oleh American Society of Anestesi Regional (ASRA). Resiko hematom
tulang belakang dengan clopidogrel belum diketahui. Berdasarkan label dan
ASRA pedoman clopidogrel dihentikan 7 hari sebelum blokade neuraksial
direncanakan.
Hepalrin dengan berat molekul rendah (LMWH) dihentikan 12-24 jam
sebelum tindakan dengan resiko perdarahan atau blok neuraxial direncanakan
(Tabel 13-16). Warfarin dapat meningkatkan pendarahan kecuali selama tindakan
bedah minor seperti operasi katarak tanpa blok bulbar. Rekomendasi umum
berupa pengangguhan lima dosis warfarin sebelum operasi (jika rasio normalisasi
internasional [INR] adalah 2 sampai 3) untuk memungkinkan INR turun masih
terbatas refrensinya (lihat Tabel 13-16). Jika INR lebih besar dari 3,0, warfarin
harus ditangguhkan lagi. Jika INR diukur sehari sebelum operasi dan lebih besar
dari 1,8, dosis kecil vitamin K (1 sampai 5 mg oral atau subkutan) dapat
membalikkan peran antikoagulasi. Penggantian terapi antikoagulan kerja cepat
seperti obat molekul kecil atau LMWH, disebut sebagai “bridging”,masih
kontroversial (lihat Tabel 13-16). “Bridging” biasanya diperuntukkan bagi pasien
yang telah memiliki riwayat tromboemboli arteri atau vena yang bersifat akut
dalam waktu 1 bulan sebelum operasi, jika operasi tidak bisa ditunda, pada pasien
dengan katup jantung mekanik tertentu, atau untuk pasien dengan resiko tinggi
negara hiperkoagulasi.
Penderita diabetes tipe 1 mengalami defisiensi insulin absolut dan
membutuhkan insulin untuk mencegah ketoasidosis bahkan jika mereka tidak
mendapat insulin maka akan terjadi hiperglikemia. Penderita diabetes tipe 2 sering
disebut insulin resisten dan rentan terhadap hiperglikemia ekstrim. Kedua tipe 1
dan 2 penderita diabetes harus menghentikan insulin kerja cepat secara berkala.
Pasien dengan insulin siring pump dilanjutkan dengan dosis setingkat basal sesuai
individu, yang biasanya seusia dosis malam hari. Penderita diabetes tipe 1
memperoleh sejumlah kecil insulin kerja lama pada pagi hari (biasanya 1/3 hingga
½) dari biasanya sampai (misalnya, lente atau NPH) hari operasi untuk
menghindari ketoasidosis. Penderita diabetes tipe 2 tidak memperoleh atau bahkan
setengah dosis menengah pada insulin kerja lama (misalnya, lente atau NPH) atau
insulin kerja kombinasi (70/30 sebagai persiapan) pada saat hari operasi.
Pemakaian setengah dosis biasa, untuk insulin kerja lam, atau insulin kombinasi
pada hari operasi meningkatkan kadar glikemik darah perioperatif dibandingkan
dengan yang tidak memakai insulin. Ultra-long-acting insulin seperti insulin
glargine dapat diambil sesuai jadwal.
Metformin tidak perlu dihentikan sebelum sehari operasi dan tidak akan
menyebabkan hipoglikemia selama puasa dari 1 - 2 hari. Tidak ada resiko asidosis
laktak dengan metformin pada pasien dengan fungsi hati dan ginjal yang baik.
Oleh karena itu, untuk pasien yang terus metformin, tindakan tidak boleh
dibatalkan, tetapi metformin tidak diberikan setelah operasi sampai resiko asidosis
laktat sudah lewat. Tidak ada data yang mendukung untuk rekomendasi
penghentian metformin 24 sampai 48 jam sebelum operasi, yang meningkatkan
resiko hiperglikemia. Sulfonil urea obat dengan waktu paruh yang panjang
(misalnya, klorpropamid) dapat menyebabkan hipoglikemia pada pasien puasa.
Obat oral yang lebih baru (acarbose, pioglitazone) digunakan sebagai terapi
tunggal tidak menyebabkan hipoglikemia selama berpuasa. Namun, untuk
menghindari kebingungan dalam pemakaian obat hipoglikemik oral umumnya
pemakaian ditunda pada saat hari operasi. Pasien yang memakai steroid secara
rutin memakai dosis seperti biasanya pada hari operasi. Stres terkait insufisiensi
adrenal pada beberapa pasien mungkin memerlukan steroid tambahan perioperatif.
Setiap hari eksresi kelenjar adrenal normalnya berupa kortisol (30 mg) setara
dengan 5 sampai 7,5 mg prednison. Jalur hipotalamus-hipofisis (HPA) tidak
mengalami penekanan dengan kurang dari 5 mg / hari prednison atau setara dosis
teresbut. Pada pasien yang memakai 5 sampai 20 mg / hari atau setara dosis
prednison selama lebih dari 3 minggu, HPA dapat ditekan. HPA ditekan dengan
lebih dari 20 mg / hari prednison atau setara ketika dikonsumsi selama lebih dari 3
minggu. Resiko insufisiensi adrenal akan tetap ada hingga 1 tahun setelah
penghentian steroid dosis tinggi. Selama stres akbiat operasi, trauma, atau infeksi,
HPA secara utuh akan merespon dengan meningkatkan penegluaran
glukokortikoid. Suplementasi dengan steroid tergantung pada jumlah stres, durasi,
dan tingkat keparahan daru suatu tindakan, dan dosis harian rutin steroid (Tabel
13-17). Infeksi, psikosis, penyembuhan luka yang buruk, dan meningkatnya
hiperglikemia pada dosis tinggi steroid perioperatif, sehingga jarang dibutuhkan.
Herbal dan suplemen lainnya harus dihentikan 7-14 hari sebelum operasi.
Pengecualian adalah valerian, depresan sistem saraf pusat, yang dapat
menyebabkan gejala putus obat gologan benzodiazepine ketika dihentikan, jika
mungkin, asupan valerian harus mengecil dosisnya sebelum anestesi
direncanakan. Penghentian obat yang wajib, atau pembatalan anestesi ketika obat
telah lanjut digunakan, tidak didukung oleh data yang tersedia. Terapi herbal saja
bukan merupakan kontraindikasi untuk anestesi neuraksial. ASRA khusus
menyarankan wajibnya penghenntian penggunaan herbal atau pasien yang
memakai obat herbal yang akan dianestesi regional.
Tabel 13-17 Ulasan pemeberian glukokotikoid preoperatifStress pembedahan Target
ekuivalent hidrokortison
Dosis steroidPreoperatif intraoperatif Pasca operasi
Hari itu Hari 1 Hari 2Minor, (herniorapi inguinal) 25 mg/hari
untuk 1 hariDosis biasa Tidak tidak Dosis biasa
Sedang (reseksi kolon, penggantian sendi, revaskularisasi ektermitas bawah)
50-75 mg/hari untuk 1-2 hari
Dosis biasa 50 mg hidrokortison
50 mg hidrokortison setiap 8 jam
20 mg hidrokortison setiap 8 jam
Mayor, (pankreasduodenektomi, esofagektomi)
100-150 mg/hari 2-3 hari
Dosis biasa 50 mg hidrokortison
50 mg hidrokortison setiap 8 jam
50 mg hidrokortison setiap 8 jam
50 mg hidrokortison setiap 8 jam
*jika pemberian preopertif bukan komplikasi, pasien tetap melanjutkan dosis biasa pasca operasi hari 1
Jikakomplikasi terjadi, glukokortikoid diberikan jika perlu tergantung tingkat stres
Dahulu, inhibitor monoamine oxidase (MAOIs) dihentikan penggunaannya
sebelum operasi, karena dapat memanjangkan waktu tindakan, pemberian obat ini
harus dihentikan setidaknya 3 minggu sebelum operasi. Penghentian MAOIs
dapat menghasilkan depresi berat sehingga mengakibatkan bunuh diri. Alternatif
yang paling aman adalah untuk terus menggunakan MAOIs dan menyesuaikan
rencana anestesi. Pasien juga melanjutkan penggunaan obat nyeri golongan
narkotika untuk mencegah gejala sakau dan rasa ketidaknyamanan. Ansiolitik
dapat juga diteruskan pemberiannya. Obat yang digunakan untuk mengobati
kecanduan seperti metadon atau terapi pengganti nikotin juga dapat dilanjutkan
pemberiannya. Inhaler dan obat jangka panjang untuk asma atau penyakit paru
obstruktif kronik tetap dilanjutkan pemberiannya pada hari pasien dioperasi.
Pasien dengan kecemasan harus diberikan premedikasi farmakologis. Pasien
rawat jalan manfaat dari resep untuk pemberian singkat benzodiazepin seperti
lorazepam yang akan diberikan beberapa hari sebelumnya operasi serta pada hari
operasi. Opioid berguna pada pasien yang mengalami nyeri preoperatif, rasa tidak
nyaman yang berkaitan dengan tempat dimasukannya anestesi regional, atau
memasukkan benda monitor invasif sebelum induksi anestesi. Pasien dengan
riwayat PONV parah dapat diberikan resep untuk patch skopolamin untuk
dilekatkan 2-4 jam sebelum operasi. Pasien dengan glaukoma sudut tertutup tidak
boleh diresepkan skopolamin. Pasien pada peningkatan resiko untuk aspirasi paru
(parturients, individu nonfasting, gejala yang signifikan dari refluks esofagus,
pentalaksanaan jalan nafas sulit diantisipasi) dapat dilakukan kubah lambung.
Antagonis H2 (ranitidine, famotidine), inhibitor pompa proton (omeprazole), dan
antasida (natrium sitrat) meningkatkan pH cairan lambung. Prokinetics
(metoclopramide) merangsang pengosongan lambung. Tabel 13-18 menguraikan
obat preoperatif yang umum digunakan.
Tabel 13-18 Obat-obatan Premedikasi sebelum Anestesi
Jenis Obat Dosis Dewasa Cara pemberian
Benzodiazepin Midazolam 1-2,5 Iv
Lorazepam 0,5-2 Oral, iv
Opioid Hidromorfin 0,5-1 Iv
Fentanyl 25-100 µg Iv
Antihistamin Dipenhidramin 12,5-50 Oral, iv
Antiemetik Skopolamin 1,5 Topikal
Deksametason 4 Iv
Dolasetron 12,5 Iv
Ondansentron 4 iv
H2 antagonis Ranitidin 150 Oral
Famotidin 20-40 Iv oral
Antasida Sodium sitrat 15-30 mL oral
PPI Omeprazol 20 Oral
Pantoprazol 40 Iv
Stimulan
gastrointestinal
Metoklopramid 10 Oral, iv
PUASA
Pedoman (Tabel 13-19) untuk mempuasakan paseien preoperatif pada
pasien dewasa merekomendasikan bahwa "puasa dari bahan padat (dan) susu
bukan dari manusia harus mencapai waktu 6 jam sebelum tindakan yang
membutuhkan anestesi umum, anestesi regional, atau sedasi / analgesia."
Pembiasaan aturan puasa preoperatif untuk termasuk bebas dari cairan hingga 2
jam sebelum anestesi dapat dilakukan untuk pasien tanpa kondisi yang dapat
meningkatkan resiko aspirasi, seperti sfingter esofagus tidak kompeten rendah
dengan refluks, hernia hiatus, diabetes mellitus, gangguan motilitas lambung,
intra-abdominal massa (termasuk rahim gravid), dan obstruksi usus.
Tabel 13-19 Panduan untuk asupan makanan dan cairan sebelum operasi
Waktu sebelum operasi Asupan Makanan atau cairan
8 jam Makanan dan cairan yang diinginkan
6 jam Makanan ringan (roti bakar, cairan
jernih), susu bayi formula; bukansusu
manusia
4 jam ASI
2 jam Cairan jernih, tidak ada makanan padat
atau dalam bentuk lemak
Selama 2 jam Tidak ada makanan padat dan cair
*panduan ini diberikan pada pasien tanpa gangguan pengosongan lambung. Berikut ini pasien yang dapat terjadi gangguan pengosongan lambung : obesitas, diabetes mellitus, kehamilan, riwayat gastroesofagel refulks, operasi yang membatasi kapasitas lambung, berpotensi kesulitan jalan napas, terapi analgesik opiad
Cair jernih maksudnya air, air berkarbonasi, minuman olahraga, kopi atau the tanpa susu. Berikut ini yang bukan cair jernih; jus dengan bulir, kopi atau the pakai susu, susu formula bayi, dan minuman berakohol.
PENYUSUNAN RENCANA ANESTESI, PENANGANAN RESIKO DAN
INFORM KONSEN
Pilihan anestesi (umum, regional atau sedasi), monitoring, atau obat bius
tertentu jarang mengubah hasil atau resiko. Namun, berdasarkan dari pengalaman
klinis melanjutkan utnuk mempengaruhi keyakinan dan rekomendasi ketika
merancang rencana perawatan anestesi. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan
ketika merumuskan anestesi direncanakan ditampilkan pada Tabel 13-20.
Penilaian resiko berguna untuk membandingkan hasil, biaya,
mengalokasikan kompensasi, dan membantu dalam keputusan sulit untuk
membatalkan atau merekomendasikan tindakan tidak bisa dilakukan bila resiko
terlalu tinggi. Namun penilaian resiko, yang terbaik, terhambat oleh variabilitas
individu pasien. Resiko secara tradisional dikaitkan dengan keadaan komorbid
pasien, status kesehatan umum, usia, teknik anestesi, dan tindakan yang
direncanakan (Gambar 13-8 dan Tabel 13-3, 13-9, dan 13-21). Namun demikian,
beberapa penilaian resiko merupakan hal yang penting untuk menginformasikan
pasien selama proses persetujuan (Tabel 13-22).
Tabel 13-20 Hal-hal yang mempengaruhi pemilihan teknik anestesi
Penyakit penyerta
Semua pasien
Resiko rendah (ASAI,II)
Resiko tinggi (ASA III,IV)
Tindakan dan atau anestesi yang ringan Kelompok A
Tindakan dan atau anestesi yang berat Kelompok B
Tindakan dan atau anestesi yang ringan Kelompok C
Tindakan dan atau anestesi yang beratKelompok D
Lokasi operasi
Posisi pasien ketika operasi
Resiko aspirasi
Umur pasien
Kerja sama pasien
Penanganan jalan napas
Keadaan pembekuan darah
Respon anestesi sebelumnya
Pilihan pasien
Gambar 13-8 Contoh dari klasifikasi resiko berdasarkan gabungan antara
komorbid pasien dengan berat ringannya operasi.
Tabel 13-21 resiko jantung tingkatannya pada bedah non jantung
Tingkat resiko Contoh tindakan
Vaskuler (dilaporkan lebih dari 5%) Operasi artei besar atau aorta
Operasi vaskuler perifer
Sedang (dilaporkan 1-5%) Operasi intraperitoneal, atau
intrathorakal
Karotis endarterektomi
Bedah kepala leher
Bedah ortopedi
Bedah prostat
Rendah (dilaporkan kurang dari 1%) Tindakan endoskopi
Tindakan superfisial
Operasi katarak
Operasi payudara
Operasi rawat jalan
*Gabungan antara insidens kematian akibat jantung dan infark miokard yang tidak fatal.Prosedur ini tidak memerulukan pemeriksaan jantung lebih lanjut
Informed consent harus diperoleh untuk semua tindakan dan tidak darurat
merupakan persyaratan hukum di semua wilayah hukum di Amerika Serikat.
Minimal, informed consent melibatkan indikasi untuk pengobatan dalam hal
awam yang dapat dipahami, dan penjelasan alternatif. Banyak ahli anestesi
melakukan evaluasi preoperatif, dan mendapatkan kesempatan informed consent
sebelum pasien akan menjalani operasi, besar berpotensi mengancam jiwa atau
mengacaukan tindakan. Hal ini sering pada situasi yang canggung dan tidak
menyenangkan untuk anestesi, pasien, dan keluarga. Efek dari pengungkapan
yang luas menyebabkan stres pada saat pasien dan keluarga yang mungkin tidak
siap untuk secara rasional mempertimbangkan implikasi tindakan. Peningkatan
kecemasan preoperatif yang buruk dapat mempengaruhi hasil pasca operasi
karena kecemasan meningkat berkorelasi dengan peningkatan kebutuhan
analgesik pasca operasi dan pemulihan yang lama dan tinggal di rumah sakit.
Kecemasan menganggau retensi informasi. Namun, kecemasan lebih rendah pada
pasien dilihat oleh anestesi sebelum operasi dibandingkan dengan mereka yang
hanya menerima pilihan premedikasi.
KESIMPULAN
Persiapan preoperatif dapat mengurangi resiko komplikasi dan
meningkatkan keluaran hasil selama dan setelah tindakan yang membutuhkan
anestesi. Inovasi dalam preoperatif persiapan perlu dilanjutkan jika ingin pasien
menerima pelayanan preoperatif yang terbaik. Identifikasi dan modifikasi resiko
membutuhkan obat fundamental yang baik, sistem perawatan, pemeriksaan klinis,
dan penyedia layanan kesehatan yang berpengalaman, berpengetahuan, dan
berdedikasi untu perawatan pasien.
Tabel 13-22 Resiko yang sangat dekat pada pasien dengan anestesiaDengan anestesi umumSelalu terjadi, dampak minimal
- cedera mulut dan gigi- sakit tenggorokan- Suara sera- Mual/muntah pasca operasi- Mengantuk, kebingungan- Retensi urin
Jarang terjadi, dampak yang besar- Kesadaran- Hilangnya penglihatan- Aspirasi- Gagal organ- Hipertermia berat- Reaksi obat- Gagal bangun atau sadar- Kematian
Pada anestesi regionalSelalu terjadi, dampak yang minimal
- Mati rasa / kelemahan yang lama- Sakit kepala setelah punksi dural- Teknik yang gagal
Jarang terjadi, dampak berat- Perdarahan- Infeksi- Cedera saraf, paralisis- Matirasa atau kelemahan yang menetap- Koma- kematian