Upload
ngoquynh
View
243
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
EVALUASI KARAKTER AGRONOMI BEBERAPA GENOTIPE
JAGUNG LOKAL DAN GALUR-GALUR PEMULIAAN
SEBAGAI JAGUNG SEMI
NOVIANTI PURNAMA SARI
DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Evaluasi Karakter
Agronomi Beberapa Genotipe Jagung Lokal dan Galur-galur Pemuliaan sebagai
Jagung Semi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2015
Novianti Purnama Sari
NIM A24110075
__________________________
*.Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak
luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait.
ABSTRAK
NOVIANTI PURNAMA SARI. Evaluasi Karakter Agronomi Beberapa Genotipe
Jagung Lokal dan Galur-galur Pemuliaan sebagai Jagung Semi. Dibimbing oleh
SURJONO HADI SUTJAHJO dan SITI MARWIYAH.
Jagung dapat dipanen dalam bentuk pipilan dan tongkol muda atau jagung
semi. Varietas jagung semi di Indonesia masih belum tersedia sampai saat ini.
Oleh karena itu, perakitan varietas jagung semi penting untuk dilakukan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi karakter agronomi beberapa genotipe
jagung lokal dan galur-galur pemuliaan yang berpotensi untuk dikembangkan
sebagai varietas jagung semi. Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan
Leuwikopo IPB, Dramaga, Bogor, dari bulan November 2014 sampai Februari
2015. Materi genetik yang digunakan adalah 20 genotipe jagung yang terdiri atas
13 genotipe lokal dan 7 galur-galur pemuliaan. Penelitian disusun dalam
rancangan kelompok lengkap teracak dengan tiga ulangan. Peubah yang diamati
tinggi tanaman, diameter batang, jumlah buku tanaman-1, umur muncul bunga
jantan, umur muncul bunga betina, umur panen, jumlah tongkol kotor tanaman-1,
jumlah tongkol bersih tanaman-1, jumlah tongkol kotor buah-1, jumlah tongkol
bersih buah-1, ukuran tongkol (diameter dan panjang tongkol), persentase tongkol
layak pasar dan afkir. Hasil analisis ragam menunjukan bahwa terdapat
keragaman genotipe jagung yang diujikan. Nilai heritabilitas arti luas tinggi pada
seluruh peubah agronomi yang diamati kecuali pada peubah bobot tongkol kotor
tanaman-1. Analisis korelasi linier menunjukan bahwa semakin cepat bunga jantan
dan bunga betina muncul maka jagung semi akan cepat dipanen. Beberapa
genotipe jagung memiliki jumlah tongkol >2 buah tanaman-1 dan beberapa
menunjukkan potensi prolifik atau tongkol banyak pada suatu buku tanaman.
Genotipe JWP 2.2, JLP1 G9M7, G1G7, G1G8, dan J-CLA 84 memiliki jumlah
tongkol tanaman-1 paling banyak dibandingkan dengan genotipe lainnya. Kualitas
tongkol paling baik yaitu genotipe JWP 2.2 dengan persentase kelas A>B>C dan
persentase tongkol afkir yang rendah. Genotipe yang berpotensi untuk
dikembangkan sebagai jagung semi yaitu genotipe Bajawa 1.1, JWP 1.2, JWP 2.2,
JLP1, G1G7, G1G7, G7M7, dan G9M7.
Kata kunci: karakter agronomi, prolifik, tongkol
ABSTRACT
NOVIANTI PURNAMA SARI. Evaluation of Agronomic Characters in Several
Local Corn and Breeding Genotypes as Baby Corn. Supervised by SURJONO
HADI SUTJAHJO and SITI MARWIYAH.
Corn can be harvested in the form of shelled and of young ears or baby corn. Baby
corn varieties in Indonesia are not many at this time, and therefore, development
of baby corn varieties is considered potential. This study aimed to evaluate some
agronomic characters of local corn and breeding genotypes which are potential to
be further developed as baby corn varieties. The experiment conducted at
Leuwikopo IPB experimental station at Dramaga, Bogor, from November 2014 to
February 2015. The genetic material was consisted of 20 corn genotypes, they
were 13 local genotypes and 7 breeding lines. The experimental was arranged in a
randomized completely block design with three replication. Traits observed were
plant height, stem diameter, number of nodes, day of male flowering, day of
female flowering, day first harvest, number of ears per plant, gross weight of ears
per plant, net weight of ears per plant, gross weight of ears per fruit, net weight of
ears per fruit, ear size (diameter and length), and percentage of marketable and
nonmarketable of baby corn ears. The results of analysis of variance showed that
there are diversity of corn genotypes tested. High broad sense heritability in all
agronomic characters were observed except for gross weight of ears per plant.
Linear correlation analysis showed that the earlier the male and female flowering
the earlier the days to harvest. Some corn genotypes have more than 2 ear per
plant and some showed prolific potential or have several ears in a stem internode.
Genotype JWP 2.2, JLP1, G9M7, G1G7. G1M8, and J-CLA 84 have the number
of ears per plant more than the other genotypes. Genotype JWP 2.2 has a greater
percentage of quality class A than that of Band C, and low percentage of
nonmarketable ear. Genotypes potentially developed as baby corn are Bajawa 1.1,
JWP 1.2, JWP 2.2, JLP1, G1G7, G1G8, G7M7, and G9M7.
Keywords: agronomic characters, ear, prolific
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Agronomi dan Hortikultura
NOVIANTI PURNAMA SARI
DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
EVALUASI KARAKTER AGRONOMI BEBERAPA GENOTIPE
JAGUNG LOKAL DAN GALUR-GALUR PEMULIAAN
SEBAGAI JAGUNG SEMI
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah subhanahu wa ta’ala
atas segala limpahan karunia dan rahmat-Nya sehingga sehingga karya ilmiah ini
berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak
bulan November ini adalah Evaluasi Karakter Agronomi Beberapa Genotipe
Jagung Lokal dan Galur-galur Pemuliaan sebagai Jagung Semi.
Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-
tingginya kepada:
1. Bapak Prof Dr Ir Surjono Hadi Sutjahjo, MS dan Ibu Siti Marwiyah, SP,
MSi yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis
2. Bapak Inan Suryana dan Ibu Komariah selaku orang tua dan seluruh
keluarga yang telah memberikan banyak bantuan dan dorongan baik secara
moriil ataupun materiil
3. Bapak Dr Willy Bayuardi Suwarno, MSi selaku dosen penguji yang telah
memberikan saran dan rekomendasi kepada penulis
4. Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan kesempatan kepada
penulis untuk menimba ilmu di IPB melalui jalur SNMPTN undangan
5. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) atas bantuan beasiswa
Bidikmisi untuk menunjang perkuliahan penulis selama di IPB
6. Dompet Dhuafa atas support aktivitas beasiswa aktivis nusantara kepada
penulis selama menjalankan kegiatan organisasi kemahasiswaan di IPB
7. Keluarga Agronomi dan Hortikultura angkatan 48 (Dandelion) atas
bantuan dan kerja sama selama menjalankan perkuliahan, penelitian, dan
penyelesaian tugas akhir
8. Keluarga besar negarawan muda beasiswa aktivis nusantara yang
memberikan banyak inspirasi dan pembelajaran berharga
9. Sahabat seperjuangan program sinergi S1-S2 (fast track) PBT: Abi,
Usamah, Amel, Galuh, Fittia, Dyra, dan Puput
10. Sahabat seperjuangan selama di organisasi kemahasiswaan BEM TPB IPB
48, BEM Faperta IPB, dan Tim Pendamping Lokus (TPL)
11. Sahabat seperjuangan Senior Resident dan seluruh keluarga besar Asrama
Tingkat Persiapan Bersama IPB
12. Sahabat seperjuangan di komunitas Gerakan Cinta Anak Tani (GCAT) dan
One Day One Thousand (ODOT) yang membangun jiwa sosial penulis
Semoga penelitian yang penulis lakukan dapat memberikan manfaat untuk
banyak orang dan dapat memberikan informasi khususnya untuk pengembangan
jagung semi selanjutnya.
Bogor, Juli 2015
Novianti Purnama Sari
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL x
DAFTAR GAMBAR x
DAFTAR LAMPIRAN xi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 1
Hipotesis 2
TINJAUAN PUSTAKA 2
Botani dan Morfologi 2
Syarat Tumbuh 2
Jagung Semi 2
Emaskulasi 3
Pemuliaan Jagung Semi 3
METODE PENELITIAN 4
Bahan dan Alat Penelitian 4
Rancangan Percobaan 4
Pelaksanaan Penelitian 4
Pengamatan 5
Analisis Data 6
HASIL DAN PEMBAHASAN 8
Kondisi Umum 8
Keragaan Karakter Agronomi 10
Parameter Genetik 22
SIMPULAN DAN SARAN 26
Simpulan 26
Saran 26
DAFTAR PUSTAKA 26
LAMPIRAN 29
RIWAYAT HIDUP 30
DAFTAR TABEL
1 Standar CODEX untuk jagung semi (Brisco 2000) 6
2 Sidik ragam rancangan kelompok lengkap teracak 6
3 Rekapitulasi KT ulangan, KT genotipe, dan KK beberapa peubah
genotipe jagung lokal dan galur-galur pemuliaan 9
4 Nilai tengah tinggi tanaman, diameter batang dan jumlah buku
tanaman-1 pada beberapa genotipe jagung lokal dan galur-galur
pemuliaan 10
5 Nilai tengah beberapa genotipe jagung berdasarkan kelompok genotipe
dan hasil uji kontras ortogonal beberapa genotipe jagung lokal dan
galur-galur pemuliaan 11
6 Nilai tengah umur muncul bunga jantan, umur muncul bunga betina,
dan umur panen beberapa genotipe lokal dan galur-galur pemuliaan 13
7 Nilai tengah jumlah tongkol tanaman-1, bobot tongkol kotor dan bersih
tanaman-1, bobot tongkol kotor dan bersih buah-1 beberapa genotipe
jagung lokal dan galur-galur pemuliaan 14
8 Potensi produksi kotor dan bersih jagung semi (ton ha-1) beberapa
genotipe jagung lokal dan galur-galur pemuliaan 18
9 Nilai tengah panjang tongkol dan diameter tongkol beberapa genotipe
jagung lokal dan galur-galur pemuliaan 19
10 Pengkelasan tongkol jagung semi pada beberapa genotipe jagung lokal
dan galur-galur pemuliaan 20
11 Nilai ragam genetik (Vg), ragam galat (Ve), ragam fenotipik (Vp),
koefisien keragaman genetik (KKG), koefisien keragaman fenotipik
(KKP), dan heritabilitas arti luas (h2bs) beberapa genotipe jagung lokal
dan galur-galur pemuliaan 23
12 Nilai koefisien korelasi antar peubah beberapa genotipe jagung lokal
dan galur-galur pemuliaan 25
DAFTAR GAMBAR
1 Hama dan penyakit yang teridentifikasi menyerang tanaman jagung semi (a) ulat grayak (b) batang tanaman jagung akibat penggerek batang
(c) ulat penggerek tongkol (d) ulat penggerek batang (e) karat daun (f)
hawar daun (g) bulai 8
2 Ciri-ciri rambut tongkol jagung semi yang siap dipanen 9 3 Potensi prolifik tiap ruas tanaman jagung pada beberapa genotipe (a)
G1G7 (b) G7M7 (c) JLP1; tongkol jagung muncul pada akar udara
pada beberapa genotipe (d) JWP 1.2 dan (e) P1021-71; tongkol afkir
muncul di ruas terbawah pada genotipe G9M7 16 4 Penampilan tongkol jagung semi layak pasar kelas A 21 5 Penampilan tongkol jagung semi afkir yang memiliki panjang dan
diameter tongkol tidak sesuai dengan standar CODEX 22
DAFTAR LAMPIRAN
1 Data iklim bulanan bulan November 2014 hingga Februari 2015 29
2 Genotipe jagung lokal dan galur-galur pemuliaan yang digunakan
sebagai materi genetik dalam penelitian 29
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Jagung merupakan jenis tanaman yang banyak dikonsumsi oleh
masyarakat dan memiliki potensi yang tinggi untuk dikembangkan. Jagung dapat
dipanen dalam bentuk pipilan dan tongkol muda tanpa biji atau jagung semi.
Jagung semi dipanen muda setelah keluar rambut tongkol dan sebelum terjadinya
pembuahan (Pandey et al. 2010). Pengembangan jagung semi atau baby corn
memiliki prospek yang cukup baik sebagai salah satu produk tanaman jagung
karena permintaan pasar yang tinggi, namun tidak didukung oleh produksinya
(Sutjahjo et al. 2005). Keuntungan dari pengusahaan jagung semi yaitu umur
tanamnya genjah dibandingkan jagung biasa sehingga intensitas penanamannya
tinggi dan biaya input budidaya lebih murah (Goenawan 1988). Pandey et al.
(2010) menjelaskan bahwa Thailand mendominasi ekspor sekitar 80%
perdagangan jagung semi segar di dunia ke 30 negara dan mengekspor jagung
semi yang telah diawetkan ke 100 negara.
Varietas khusus yang digunakan untuk membudidayakan jagung semi di
Indonesia masih belum tersedia. Patola dan Hardiatmi (2011) menjelaskan bahwa
jagung semi di Indonesia merupakan hasil sampingan tanaman jagung dan
pengusahaannya masih terbatas. Varietas yang digunakan untuk membudidayakan
jagung semi masih menggunakan varietas jagung bersari bebas dan jagung hibrida.
Menurut Soemadi dan Muthalib (2000) varietas hibrida menghasilkan tongkol
dengan kualitas baik dan seragam, tetapi harga benih varietas hibrida sangat tinggi
dan memerlukan input tinggi dan pemeliharaan yang intensif. Penggunaan
varietas hibrida tidak efisien dalam produksi jagung semi sehingga diperlukan
varietas khusus yang dikembangkan sebagai jagung semi yang berasal dari plasma
nutfah jagung lokal. Adisarwanto dan Widyastuti (2002) menjelaskan bahwa
varietas bersari bebas relatif lebih murah dan dapat ditanam beberapa kali
sehingga dapat digunakan untuk memproduksi jagung semi dan memelihara
plasma nutfah.
Perakitan khusus jagung semi bertujuan menghasilkan jagung semi yang
bermutu secara kualitas dan kuantitas. Permintaan pasar tidak dapat dipenuhi
akibat produksi yang tidak kontinyu dan mutu yang belum terjamin (Patola dan
Hardiatmi 2011). Pembentukan varietas unggul jagung semi berpedoman pada
karakteristik menurut Yodpetch dan Bautista (1983) yaitu umur panen pendek
(genjah), hasil panen tinggi, jumlah tongkol tiap tanaman banyak (prolifik), dan
tongkol berkualitas baik dalam ukuran dan warna. Tongkol yang berkualitas baik
memiliki tongkol layak pasar tinggi sesuai pengkelasan tongkol jagung semi.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi karakter agronomi beberapa
genotipe jagung lokal dan galur-galur pemuliaan yang berpotensi untuk
dikembangkan sebagai varietas jagung semi.
2
Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini adalah terdapat paling sedikit satu genotipe
yang memiliki sifat prolifik. Suatu genotipe jagung yang diuji memiliki karakter
agronomi yang baik dalam produksi jagung semi untuk karakter tinggi tanaman,
diameter batang, jumlah buku tanaman-1, umur muncul bunga jantan, umur
muncul bunga betina, umur panen, jumlah tongkol tanaman-1, bobot tongkol kotor
tanaman-1, bobot tongkol bersih tanaman-1, bobot tongkol kotor buah-1, bobot
tongkol bersih buah-1, diameter tongkol, panjang tongkol, tongkol layak pasar, dan
tongkol afkir.
TINJAUAN PUSTAKA
Botani dan Morfologi
Jagung merupakan tanaman berumah satu (monoecius) karena bunga jantan
dan bunga betina terpisah dalam satu tanaman (Poehlman dan Borthakur 1969).
Jagung termasuk famili poaceae, genus zea, dan spesies Zea mays L. Tanaman
jagung merupakan herba monokotil semusim. Bunga betina tumbuh dan
berkembang di ketiak daun sebagai tongkol. Bunga jantan tumbuh sebagai
perbungaan ujung (Rubatzky dan Yamaguchi 1998). Menurut Purwono dan
Hartono (2005) jagung memiliki akar serabut yang terdiri dari akar seminal, akar
adventif, dan akar udara. Jagung tidak memiliki percabangan batang, memiliki
bentuk silinder dan terdiri dari beberapa ruas dan buku ruas. Jumlah buku
tanaman jagung 10-20 buku per tanaman, tongkol akan muncul pada buku ke-6
atau ke-7 (Singh 1987).
Syarat Tumbuh
Produktivitas jagung dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya tempat
tumbuh atau tanah, air, dan iklim. Menurut Purwono dan Hartono (2005) jenis
tanah yang dapat ditanami jagung antara lain Andosol, Latosol, dan Grumosol.
Kemiringan tanah yang optimum untuk tanaman jagung maksimum 8% dan
memerlukan tanah dengan aerasi dan ketersediaan air dalam kondisi baik.
Keasamaan tanah yang baik untuk pertumbuhan jagung menurut Purwono dan
Hartono (2005) adalah 5.6-7.5 pada tanah yang memiliki keasamaan kurang dari
5.5 tanaman jagung akan mengalami keracunan ion aluminium dan tidak bisa
tumbuh maksimal. Menurut Purwono dan Purnamawati (2007) jagung dapat
tumbuh baik pada 0-50o LU hingga 0-40o
LS dengan curah hujan 85-200
mm/bulan pada lahan yang tidak beririgasi dan suhu ideal 23-27o C.
Jagung Semi
Jagung semi merupakan bunga tanaman jagung yang belum dibuahi dan
belum terbentuk biji. Soemadi dan Mutholib (2000) menjelaskan bahwa panen
jagung semi dilakukan saat tanaman berumur 1-1.5 bulan dengan memetik bunga
betina berupa tongkol. Jagung semi sebagai komoditas hortikultura memiliki rasa
3
yang manis. Tanda-tanda yang dapat ditentukan untuk pemanenan jagung semi
antara lain: biji pada bunga betina mulai terisi zat pati yang berbentuk seperti
cairan susu, biji belum keras, cairan putih seperti susu akan keluar jikat dipijit,
panjang rambut jagung pada tongkol antara 3-5 cm, kelobot pada tongkol jagung
berwarna hijau, dan kondisi tanaman jagung berwarna hijau dan segar
(Adisarwanto dan Widyastuti 2002). Jagung semi dipanen secara manual
menggunakan tangan yang dilakukan 1-2 hari setelah bunga betina mengeluarkan
rambut (silking). Pemanenan harus dilakukan segera setelah silking agar tongkol
tidak keras dan berukuran terlalu besar.
Emaskulasi
Emaskulasi atau yang dikenal dengan pembuangan bunga jantan.
Emaskulasi bertujuan untuk mempercepat perkembangan tongkol sehingga panen
dapat serempak, meningkatkan produksi dan kualitas serta mengarahkan fotosintat
terpusat pada perkembangan tongkol (Rukmana 1997). Menurut Goenawan
(1988) emaskulasi menyebabkan penyerbukan tidak terjadi dan energi yang
digunakan untuk mekarnya bunga jantan dan penyerbukan dialihkan untuk
memperbanyak pembentukan tongkol. Emaskulasi dilakukan pada saat bunga
jantan masih muda dan sudah keluar dari daun bendera. Bunga jantan dicabut
dengan menggunakan tangan atau dapat menggunakan gunting.
Pemuliaan Jagung Semi
Peningkatan produksi jagung semi dapat diupayakan dengan perakitan
varietas khusus. Perakitan varietas jagung semi dilakukan melalui kegiatan
pemuliaan mulai dari koleksi, evaluasi dan seleksi untuk meneliti potensi jagung
untuk dapat dikembangkan sebagai jagung semi (Sutjahjo et al. 2005). Menurut
Mangoendidjojo (2007) untuk memperoleh suatu varietas unggul dalam kegiatan
pemuliaan tanaman memerlukan pengetahuan sifat-sifat tanaman yang akan
dimuliakan dan hubungan antar sifat-sifat tersebut. Pemuliaan jagung dilakukan
untuk meningkatkan potensi hasil secara genetik dan memiliki umur panen yang
genjah (Budiarti 2007). Berdasarkan kecenderungan jagung dalam menghasilkan
tongkol dengan jumlah tertentu, jagung dapat dibedakan menjadi tipe non prolifik
dan prolifik. Tipe non prolifik cenderung bertongkol tunggal sedangkan tipe
prolifik mempunyai dua tongkol atau lebih (Yudiwanti et al. 2006). Potensi
prolifik tersebut dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan varietas jagung semi
yang bertongkol banyak. Tanaman jagung yang memiliki tongkol banyak
(prolifik) akan meningkatkan produksi jagung semi.
4
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dimulai dari bulan November 2014 sampai dengan bulan
Februari 2015. Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Leuwikopo, IPB
Dramaga – Bogor. Ketinggian tempat penelitian yaitu 201 m dpl. Informasi
temperatur, kelembaban udara rata-rata dan curah hujan rata-rata disajikan pada
Lampiran 1.
Bahan dan Alat Penelitian
Materi genetik yang digunakan pada penelitian ini adalah 20 genotipe
jagung (lampiran 2) yang terdiri atas 13 genotipe lokal (JKK1, JWP1.2, JWP2.2,
JLP1, Bajawa 1.3, Bajawa 1.11, Bajawa 1.5, Bajawa 1.15, Bajawa 1.2, Bajawa 1.9,
Bajawa 1.19, Bajawa 1.1, dan Bajawa 1.10) serta 7 galur-galur pemuliaan (G9M7,
G1M7, G1G7, G1G8, G7M7, J CLA-84, dan P1042-71). Pupuk yang digunakan
adalah pupuk tunggal dengan dosis 300 kg urea ha-1, 200 kg SP-36 ha-1, 100 kg
KCl ha-1 dan pupuk kandang. Kapur pertanian digunakan untuk menstabilkan pH.
Pengendalian hama menggunakan insektisida Karbofuran 3G. Peralatan yang
digunakan yaitu alat pertanian umum, traktor, cangkul, kored, ember, ajir, tali,
meteran, penggaris, jangka sorong, dan timbangan analitik.
Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT) faktor tunggal dengan genotipe
sebagai perlakuan. Jumlah ulangan yang digunakan sebanyak tiga ulangan yang
ditempatkan secara acak sehingga diperoleh 60 satuan percobaan. Setiap satuan
percobaan terdapat 40 tanaman dan diambil 10 tanaman sebagai tanaman contoh.
Model rancangan yang akan digunakan menurut Gomez dan Gomez
(1995) adalah:
Υij = μ + αi + βj + εi
Keterangan:
Yij = Respon pengamatan pada genotipe ke-i ulangan ke j
μ = Nilai tengah umum
α i = Pengaruh genotipe ke-i (i= 1, 2, 3, …20)
β i = Pengaruh kelompok ke-j (j = 1, 2, 3)
εij = Pengaruh galat percobaan genotipe ke-i ulangan ke-j
Pelaksanaan Penelitian
Pengolahan Lahan
Pengolahan lahan dilakukan dengan menggunakan traktor untuk
membalikan tanah. Pemecahan bongkahan tanah dilakukan dengan menggunakan
cangkul untuk menggemburkan tanah. Seminggu sebelum penanaman diberikan
pupuk kandang dan kapur pertanian. Setelah satu minggu dilakukan pemetakan
dengan ukuran 18 m x 16 m untuk tiap ulangan.
5
Penanaman Benih yang ditanam sebanyak satu benih lubang-1 tanam dan diikuti
dengan pemberian insektisida (karbofuran 3G) untuk pengendalian hama lalat
bibit dan serangan semut yang dapat merusak benih serta menghambat
perkecambahan. Setiap genotipe ditanam dalam satu baris dengan jarak tanam 80
cm x 20 cm sehingga populasi setiap genotipe sebanyak 40 tanaman per ulangan.
tanaman disulam pada saat 1 Minggu Setelah Tanam (MST).
Pemupukan
Pemupukan dilakukan dengan cara dialur dengan jarak ± 7 cm dari lubang
tanam. Dosis pupuk yang digunakan yaitu 300 kg urea ha-1, 200 kg SP-36 ha-1,
dan 100 kg ha-1 KCl. Pupuk urea diberikan setengah dosis rekomendasi pada saat
tanam dan sisanya diberikan 4 MST. Pupuk SP-36 dan KCl diberikan satu dosis
rekomendasi pada saat tanam saja.
Pemeliharaan Kegiatan pemeliharaan meliputi penyiraman, pengendalian gulma
(penyiangan), pembumbunan, dan pengendalian hama dan penyakit. Penyiraman
dilakukan selama 1 MST. Penyiangan dilakukan saat tanaman berumur 2-4 MST
bersamaan dengan pembumbunan. Pengendalian penyakit dilakukan secara
manual dengan mencabut tanaman jagung yang terkena serangan penyakit bulai.
Pengendalian hama menggunakan insektisida karbofuran 3G untuk
mengendalikan hama lalat bibit diaplikasikan saat tanam.
Emaskulasi Pembuangan bunga jantan (emaskulasi) dilakukan setelah bunga jantan
jagung keluar dari daun bendera. Emaskulasi bunga jantan dilakukan sebelum
mekar. Emaskulasi dilakukan secara manual menggunakan tangan dengan cara
mencabutnya. Pencabutan memperhatikan daun bendera agar tidak rusak.
Pemanenan Kegiatan pemanenan pada umumnya dilakukan 3-5 hari setelah bunga
betina muncul dan belum dibuahi. Bagian tongkol sudah keluar rambut 3-5 cm
dan warna kelobot hijau tua. Cara melakukan pemanenan yaitu dengan memotong
pangkal tongkol dari batang.
Pengamatan
Pengamatan dilaksanakan terhadap 10 tanaman contoh yang diambil secara
acak pada setiap genotipe. Peubah yang diamati antara lain: (1) tinggi tanaman
(cm), diukur pada pangkal batang sampai ujung daun tertinggi saat ditegakan; (2)
diameter batang (cm), diukur pada bagian ruas sekitar 5 cm dari ruas terakhir; (3)
jumlah buku tanaman-1 (buku), dihitung dari buku terbawah sampai leher malai;
(4) umur muncul bunga jantan (HST), ditentukan ketika 50% dari populasi
tanaman telah muncul malai; (5) umur muncul bunga betina (HST), ditentukan
ketika 50% dari populasi tanaman telah keluar tongkol; (6) umur panen (HST),
ditentukan berdasarkan nilai rata-rata umur petik tongkol pertama pada setiap
tanaman contoh; (7) jumlah tongkol tanaman-1 (tongkol), dihitung berdasarkan
6
semua tongkol yang muncul pada setiap tanaman contoh; (8) bobot tongkol kotor
tanaman-1 (g), ditimbang berdasarkan bobot semua tongkol beserta kelobot dan
rambutnya dari setiap tanaman contoh; (9) bobot tongkol bersih tanaman-1 (g),
ditimbang berdasarkan bobot tongkol tanpa kelobot dan rambut tongkol dari
setiap tanaman contoh; (10) bobot tongkol kotor buah-1 (g), ditimbang berdasarkan
bobot tongkol buah-1 beserta kelobot dan rambutnya dari setiap tanaman contoh;
(11) bobot tongkol bersih buah-1 (g), ditimbang berdasarkan bobot tongkol tanpa
kelobot dan rambut tongkol buah-1 dari setiap tanaman contoh; (12) ukuran
tongkol (cm), dilakukan pengukuran terhadap panjang tongkol dan diameter
tongkol. Pengukuran panjang tongkol dimulai pada bagian pangkal tongkol
sampai ujung tongkol sedangkan diameter tongkol diukur pada bagian pangkal
tongkol (bagian tongkol terbesar); (13) persentase tongkol layak pasar (%),
diamati dengan menghitung persentase tongkol genotipe-1 yang memenuhi kelas
pasar sesuai standar CODEX (Brisco 2000); (14) persentase tongkol afkir (%),
dihitung berdasarkan persentase tongkol afkir genotipe-1.
Tabel 1. Standar CODEX untuk jagung semi
Analisis Data
Analisis Ragam dan Nilai Tengah
Data kuantitatif hasil pengamatan diolah dengan menggunakan uji F untuk
mengetahui adanya pengaruh genotipe yang diteliti. Masing-masing peubah
dianalisis menggunakan sidik ragam (ANOVA) dari Rancangan Kelompok
Lengkap Teracak (RKLT) menurut (Gomez dan Gomez 1995).
Tabel 2 Sidik ragam rancangan kelompok lengkap teracak
Sumber
Keragaman
Derajat
Bebas
Jumlah
Kuadrat
Kuadrat
Tengah E (KT) F hitung
Ulangan r-1 JKu KT σ2ɛ + σ2
β
Genotipe t-1 JKg KTg σ2ɛ + σ2
g KTg/KTe
Galat (r-1)(t-1) Jke KTe σ2 ɛ
Total terkoreksi rt-1 Jku
Peubah yang berbeda nyata akan dianalisis lanjut dengan uji jarak berganda
dari Duncan (Duncan’s Multiple Range Test) dan uji kontras ortogonal pada taraf
0.05 untuk mengetahui genotipe terbaik.
Kode Ukuran (kelas) Panjang Tongkol (cm)
A 5.0-7.0
B 7.0-9.0
C 9.0-12.0 Semua ukuran, minimal harus memiliki diameter tongkol
1-2 cm, kelas yang paling baik adalah kelas A
7
Pendugaan Heritabilitas
Pengujian pendugaan heritabilitas untuk mengetahui pengaruh genetik dan
lingkungan terhadap fenotipik tanaman. Menurut Allard (1960) nilai dugaan
heritabilitas dalam arti luas (h2bs) didapatkan dari perhitungan nilai ragam fenotipe
dan ragam genotipe dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:
𝜎2𝜀 = 𝑉𝐸 = 𝐾𝑇𝑒
𝑟
𝜎2𝛾 = 𝑉𝐺 = 𝐾𝑇𝑔 − 𝐾𝑇𝑒
𝑟
𝜎2𝑝 = 𝑉𝑃 = 𝑉𝐺 + 𝑉𝐸
Rumus pendugaan heritabilitas sebagai berikut: h2bs =
𝑉𝐺
𝑉𝑃
Stanfield (1991) menjelaskan bahwa kriteria nilai heritabilitas (h2bs) terdiri atas
tiga kelas yaitu: Heritabilitas rendah = h2
bs < 0.2
Heritabilitas sedang = 0.2 ≤ h2bs ≤ 0.5
Heritabilitas tinggi = 0.5 < h2bs <1.0
Koefisien Keragaman Genetik (KKG)
Pengujian nilai Koefiesien Keragaman Genetik (KKG) untuk melihat
tingkat keragaman yang ada antar genotipe yang diuji. Rumus perhitungan
koefisien keragam genetik adalah sebagai berikut:
KKG = √𝑉𝐺
�� x 100%
Keterangan: KKG = koefisien keragaman genetik
VG = ragam genetik
x = nilai tengah populasi
Moedjiono dan Mejaya (1994) menjelaskan bahwa kriteria koefisien
keragaman genetik relatif dibedakan menjadi: rendah (0% < x ≤ 25%), agak
rendah (25% < x ≤ 50%), cukup tinggi (50% < x ≤ 75%), dan tinggi (75% < x ≤
100%).
Koefisien Korelasi
Nilai koefisien korelasi (r) digunakan untuk mengamati keeratan hubungan
antar dua peubah. Pendugaan nilai koefisien korelasi menggunakan rumus sebagai
berikut:
Keterangan: KTg = kuadrat tengah genotipe
KTe = kuadrat tengah galat
VG = ragam genotipe
VE = ragam lingkungan
VP = ragam fenotipe
r = banyaknya ulangan
8
𝑟(𝑥𝑦) =(𝑥𝑖 − ��)(𝑦𝑖 − ��)
√(𝑥𝑖 − ��)2(𝑦𝑖 − ��)2
Keterangan : r (xy) = koefisien korelasi peubah x dan y
xi = nilai pengamatan ke-i pada peubah pertama
yi = nilai pengamatan ke-i pada peubah kedua
Nilai koefisien korelasi berada di antara -1 dan +1. Kedua peubah yang
diamati keeratan hubungannya menunjukan hubungan linier sempurna jika nilai r
sama dengan 1 atau -1. Nilai r sama dengan nol menunjukan hubungannya tidak
linier atau tidak ada hubungan antara kedua peubah.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum
Pertumbuhan tanaman cukup baik, dengan rata-rata daya tumbuh dari 20
genotipe adalah 97.86% karena didukung oleh ketersediaan air yang cukup pada
awal penanaman. Menurut data BMKG (2015) curah hujan bulan November 2014
sebesar 673.2 mm dan curah hujan selama penelitian berlangsung (November
2014 hingga Februari 2015) adalah 371.2 mm dengan kelembaban udara 71% dan
temperatur 25.7oC (Lampiran 1).
Gambar 1 Hama dan penyakit yang teridentifikasi menyerang tanaman jagung
semi. (a) ulat grayak (b) batang tanaman jagung akibat penggerek
batang (c) ulat penggerek tongkol (d) ulat penggerek batang (e) karat
daun (f) hawar daun (g) bulai
d c b a
e f g
9
Gambar 1 memperlihatkan beberapa hama dan penyakit yang menyerang
tanaman jagung selama penelitian terlihat saat tanaman berumur 4 MST berupa
belalang (Melanoplus sp.), hama ulat penggerek tongkol (Heliothis armigera) dan
ulat penggerek batang (Sesamia inferens). Penyakit bulai (Sclerospora maydis)
menyerang tanaman jagung yang masih muda berumur sekitar 3 MST untuk
menghindari penyebaran penyakit bulai dilakukan pencabutan dan pembuangan
tanaman jagung yang terserang. Penyakit lain yang menyerang tanaman jagung
selama penelitian adalah karat (Puccinia sp.) dan hawar daun (Helminthosporium
maydis). Penyakit karat menyebabkan daun tanaman jagung mengering pada
tingkatan serangan yang tinggi sedangkan gejala penyakit hawar ditandai dengan
bercak-bercak coklat kecil yang membesar dan berwarna coklat kehijauan pada
daun (Semangun 1991).
Gambar 2 Ciri-ciri rambut tongkol jagung semi yang siap dipanen
Emaskulasi dilakukan secara manual setelah bunga jantan jagung keluar dari
daun bendera. Wych (1988) menyatakan bahwa pembuangan bunga jantan dapat
meningkatkan hasil produksi karena dapat menurunkan naungan daun bagian atas
dan juga mengurangi kompetisi fotosintat dan nutrisi antara tongkol dan bunga
jantan (tassel). Pemanenan jagung semi dilakukan setelah rambut tongkol keluar
3-5 cm dan warna kelobot jagung hijau tua. Panjang rambut tongkol ini dapat
menjadi kriteria panen karena semakin panjang rambut tongkol maka tongkol
akan semakin panjang dan membesar.
Hasil rekapitulasi analisis ragam (Tabel 3) pengaruh pengelompokan secara
umum tidak nyata untuk peubah yang diamati kecuali pada peubah jumlah buku
dan bobot tongkol kotor buah-1 yang menunjukan berpengaruh sangat nyata.
Pengelompokan berpengaruh nyata pada peubah bobot tongkol bersih tanaman-1,
dan bobot tongkol bersih buah-1. Pengaruh pengelompokan yang nyata
mengindikasikan lingkungan yang heterogen. Genotipe berpengaruh nyata
terhadap semua peubah pengamatan kecuali pada peubah bobot tongkol tanaman-1.
Pengaruh genotipe yang nyata mengindikasikan faktor genetik lebih berperan
dibandingkan faktor lingkungan.
10
Tabel 3 Rekapitulasi KT ulangan, KT genotipe, dan KK beberapa peubah
genotipe jagung lokal dan galur-galur pemuliaan
Peubah KT ulangan KT genotipe KK (%)
Tinggi tanaman 252.48 tn 5.354.75 ** 5.54
Diameter batang 0.02 tn 0.05 * 7.33
Jumlah buku tanaman-1 17.62 ** 2.98 ** 7.57
Umur muncul bunga jantan 2.79 tn 38.25 ** 6.07
Umur muncul bunga betina 3.62 tn 69.68 ** 4.06
Umur panen 7.18 tn 70.85 ** 3.51
Jumlah tongkol tanaman-1 0.77 tn 1.12 ** 19.05
Bobot tongkol kotor tanaman-1 10.313.85 tn 2.123.37 tn 27.91
Bobot tongkol bersih tanaman-1 336.91 * 202.98 * 27.93
Bobot tongkol kotor buah-1 1.271.09 ** 625.13 ** 16.57
Bobot tongkol bersih buah-1 13.79 * 13.63 ** 16.73
Diameter tongkol 0.02 tn 0.03 * 7.72
Panjang tongkol 0.99 tn 3.07 ** 6.00 * = berbeda nyata pada taraf 5%; ** = berbeda sangat nyata pada taraf 1 %; tn = tidak
berbeda nyata, KT= kuadrat tengah, KK= koefisien keragaman
Keragaan Karakter Agronomi
Karakter Vegetatif
Karakter vegetatif tanaman jagung diamati setelah muncul bunga jantan
(keluarnya malai) karena tanaman jagung tidak akan bertambah tinggi setelah
malai keluar. Keragaan karakter vegetatif genotipe jagung lokal dan galur-galur
pemuliaan disajikan pada Tabel 4.
Tinggi Tanaman
Genotipe berpengaruh sangat nyata terhadap tinggi tanaman, artinya,
Genotipe jagung lokal dan galur-galur pemuliaan memiliki perbedaan tinggi
tanaman. Genotipe lokal memiliki tinggi tanaman 264.03-344.57 cm sedangkan
galur-galur pemuliaan 196.20-257.53 cm (Tabel 4). Rataan umum tinggi tanaman
jagung sebesar 261.83 cm. Galur-galur pemuliaan memiliki tinggi tanaman yang
nyata lebih rendah dibandingkan genotipe lokal berdasarkan uji kontras ortogonal
(Tabel 5) dan lebih rendah dari rataan umum.
Genotipe lokal JKK1 memiliki tinggi tanaman paling tinggi dibandingkan
dengan genotipe lokal lainnya yaitu 344.57 cm. Tinggi tanaman akan
memperpanjang masa vegetatif tanaman, semakin tinggi tanaman masa vegetatif
akan semakin panjang. Hal tersebut dibuktikan pada Tabel 6 yang menunjukan
bahwa umur muncul bunga jantan dan bunga betina genotipe JKK1 lebih lama
dibandingkan dengan genotipe lainnya. Genotipe jagung yang memiliki fase
vegetatif panjang tidak sesuai dengan kriteria jagung semi yaitu berumur panen
genjah.
11
Tabel 4 Nilai tengah tinggi tanaman, diamater batang dan jumlah buku tanaman-1
pada beberapa genotipe jagung lokal dan galur-galur pemuliaan
Genotipe Tinggi
tanaman (cm)
Diameter
Batang (cm)
Jumlah buku
tanaman-1
Lokal
JKK1 344.57 a 2.11 abc 13.4 ab
JWP 1.2 276.50 cde 2.00 abc 12.2 abcd
JWP 2.2 264.03 de 2.11 abc 11.9 abcde
JLP1 295.27 bc 2.23 a 11.9 abcde
Bajawa 1.3 271.63 cde 2.13 abc 12.1 abcde
Bajawa 1.11 281.72 bcde 2.01 abc 12.0 abcde
Bajawa 1.5 296.23 bc 2.13 abc 12.7 abc
Bajawa 1.15 286.67 bcd 2.06 abc 12.2 abcd
Bajawa 1.2 305.30 b 2.09 abc 12.6 abc
Bajawa 1.9 287.77 bcde 2.13 abc 12.2 abcd
Bajawa 1.19 283.20 bcde 2.12 abc 12.6 abc
Bajawa 1.1 288.20 bcd 2.20 ab 12.4 abcd
Bajawa 1.10 264.07 de 2.07 abc 11.3 cde
Pemuliaan
G9M6 215.90 f 1.96 abc 12.4 abcd
G1M6 201.30 f 1.96 abc 13.0 abc
G1G7 220.93 f 1.97 abc 10.7 def
G1G8 204.80 f 1.85 cd 11.5 cde
G7M7 196.20 f 1.68 d 9.5 f
J-CLA 84 257.53 e 1.93 bc 13.7 a
P1042-71 194.87 f 1.92 bcd 10.4 ef
Rataan umum 261.83 2.03 12.0 Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda
nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).
Diameter Batang
Genotipe berpengaruh nyata sangat nyata terhadap diamater batang,
artinya, diameter setiap genotipe memiliki perbedaan ukuran. Diameter batang
paling kecil terdapat pada galur G7M7, G1G7, dan P1041-71. Uji kontras
ortogonal memperlihatkan bahwa diameter batang genotipe lokal nyata memiliki
ukuran yang lebih besar dibandingkan dengan galur-galur pemuliaan (Tabel 5).
Rataan umum diameter batang sebesar 2.03 cm. Diameter genotipe lokal
berukuran 2.00-2.23 cm, sedangkan galur-galur pemuliaan memiliki diameter
1.68-1.97 cm (Tabel 4).
Keadaan di lapang menunjukan bahwa semakin besar diameter batang
maka tanaman akan semakin kokoh. Diameter batang yang kokoh akan mampu
menopang banyak tongkol dalam satu tanaman. Selain itu, banyak terbentuk akar
udara pada ruas paling bawah. Akar udara tersebut berperan dalam penyerapan
hara yang dibutuhkan tanaman jagung.
12
Tabel 5 Nilai tengah beberapa karakter jagung berdasarkan kelompok genotipe
dan hasil uji kontras ortogonal beberapa genotipe jagung lokal dan galur-
galur pemuliaan
Peubah Rata-rata galur
pemuliaan
Rata-rata
genotipe lokal Pr > F
Tinggi tanaman 213.08 288.22 <.0001
Diameter batang 1.90 2.11 <.0001
Jumlah buku tanaman-1 11.59 12.27 0.0240
Umur muncul bunga jantan 49.19 50.74 0.l042
Umur muncul bunga betina 50.14 54.41 <.0001
Umur panen 55.08 59.43 <.0001
Jumlah tongkol tanaman-1 3.51 2.75 <.0001
Bobot tongkol kotor tanaman-1 192.85 207.94 0.6730
Bobot tongkol bersih tanaman-1 35.07 31.91 0.0704
Bobot tongkol kotor buah-1 55.55 74.94 <.0001
Bobot tongkol bersih buah-1 11.10 11.73 0.0813
Diameter tongkol 1.37 1.43 0.0220
Panjang tongkol 9.97 9.07 <.0001
Jumlah Buku Tanaman-1
Genotipe berpengaruh nyata terhadap jumlah buku tanaman-1, artinya,
jumlah buku antara genotipe lokal dan hasil pemuliaan terdapat perbedaan.
Genotipe lokal memiliki rataan jumlah buku tanaman-1 sebanyak 11.87-13.40
buku, sedangkan galur-galur pemuliaan sebanyak 9.53-13.73 buku (Tabel 4).
Genotipe lokal JWP 2.2, JLP1, Bajawa 1.11, dan Bajawa 1.10 memiliki jumlah
buku tanaman-1 yang rendah dibandingkan rataan umum. Galur-galur pemuliaan
yang memiliki jumlah buku tanaman-1 rendah dibandingkan rataan umum yaitu
G1G7, G1G8, G7M7, dan P1042-71.
Genotipe lokal memiliki jumlah buku tanaman-1 paling tinggi
dibandingkan dengan galur-galur pemuliaan berdasarkan uji kontras ortogonal.
Nilai tengah jumlah buku tanaman-1 disajikan pada Tabel 5 yaitu genotipe lokal
sebanyak 12.27 (lebih tinggi dari rataan umum), sedangkan nilai tengah jumlah
buku tanaman-1 galur-galur pemuliaan sebanyak 11.59 (lebih rendah dari rataan
umum). Buku merupakan tempat keluarnya tongkol jagung. Setiap buku
berpotensi menghasilkan tongkol. Sehingga, semakin banyak buku tanaman-1
berpeluang menghasilkan tongkol jagung yang banyak.
Karakter Generatif dan Umur Panen
Karakter generatif diamati setelah tanaman jagung menghasilkan bunga
jantan dan betina. Umur panen diamati setelah tongkol jagung mengeluarkan
rambut tongkol sekitar 3-5 cm. Karakter generatif dan umur panen beberapa
genotipe jagung lokal dan galur-galur pemuliaan disajikan pada Tabel 6.
13
Tabel 6 Nilai tengah umur muncul bunga jantan, umur muncul bunga betina dan
umur panen beberapa genotipe jagung lokal dan galur-galur pemuliaan
Genotipe Umur muncul bunga
jantan (HST)
Umur muncul bunga
betina (HST)
Umur panen
(HST)
Lokal
JKK1 61.2 a 66.3 a 71.1 a
JWP 1.2 47.0 cde 51.3 efgh 54.8 ghi
JWP 2.2 48.7 bcde 50.3 fgh 55.4 ghi
JLP1 47.0 cde 48.3 hi 53.4 ij
Bajawa 1.3 51.3 bc 55.0 cde 60.2 cde
Bajawa 1.11 51.3 bc 53.7 cdef 58.5 defg
Bajawa 1.5 51.3 bc 59.7 b 64.3 b
Bajawa 1.15 50.0 bcd 56.7 bc 61.6 bcd
Bajawa 1.2 50.3 bcd 51.3 efgh 56.2 fghi
Bajawa 1.9 52.0 bc 56.0 bcd 62.5 bc
Bajawa 1.19 50.7 bc 54.7 cde 59.6 cdef
Bajawa 1.1 49.3 cde 52.7 cdefg 57.7 efgh
Bajawa 1.10 49.7 bcd 53.0 cdefg 57.3 efghh
Pemuliaan
G9M7 51.7 bc 53.3 cdef 58.6 defg
G1M7 50.7 bc 53.0 cdefg 58.1 defg
G1G7 44.7 de 44.0 j 48.8 k
G1G8 48.7 cde 49.0 ghi 54.0 hij
G7M7 43.7 e 46.0 ij 50.8 jk
J-CLA 84 53.3 b 53.3 cdef 58.3 defg
P1042-71 51.7 bc 52.3 defgh 57.0 efghi
Rataan umum 50.2 53.0 57.9
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda
nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).
Umur Muncul Bunga Jantan
Umur muncul bunga jantan galur-galur pemuliaan yaitu 43.67-53.33 HST,
sedangkan genotipe lokal yaitu 47.00-61.20 HST (Tabel 6). Rataan umum umur
muncul bunga jantan yaitu 50.21 HST. Genotipe lokal yang memiliki umur
muncul bunga jantan yang genjah yaitu JWP 1.2, JWP 2.2, Bajawa 1.1, dan JLP1.
Sedangkan galur-galur pemuliaan yang memiliki umur muncul bunga jantan yang
genjah yaitu G7M7, G1G7, dan G1G8.
Galur-galur pemuliaan dan genotipe lokal memiliki umur muncul bunga
jantan yang genjah. Sehingga, uji kontras ortogonal tidak menunjukan umur
muncul bunga jantan yang paling genjah dari galur-galur pemuliaan dan genotipe
lokal. Nilai tengah galur-galur pemuliaan dan genotipe lokal masing-masing yaitu
49.19 HST dan 50.74 HST (Tabel 5). Umur muncul bunga jantan yang genjah
merupakan kriteria yang dapat digunakan dalam produksi jagung semi.
Umur Muncul Bunga Betina
Bunga betina pada jagung merupakan tongkol yang akan dipanen. Bunga
betina galur-galur pemuliaan muncul pada 44.00-53.33 HST, sedangkan genotipe
14
lokal muncul pada 48.33-66.33 HST (Tabel 6). Galur G1G7 dan G7M7 memiliki
umur muncul bunga betina yang genjah dibandingkan dengan genotipe lokal dan
galur-galur pemuliaan lainnya. Bunga jantan dan bunga betina galur G1G7
muncul hampir bersamaan dengan nilai tengah masing-masing 44.67 HST dan 44
HST.
Umur muncul bunga betina galur-galur pemuliaan lebih genjah
dibandingkan genotipe lokal berdasarkan uji kontras ortogonal. Nilai tengah umur
muncul bunga betina galur-galur pemuliaan yaitu 50.14 HST dan genotipe lokal
yaitu 54.41 HST (Tabel 5). Umur muncul bunga betina akan menentukan umur
panen jagung semi. Semakin genjah umur muncul bunga betina maka umur panen
juga akan semakin genjah. Umur muncul bunga betina yang genjah merupakan
kriteria yang dapat digunakan dalam produksi jagung semi.
Umur Panen
Umur panen galur-galur pemuliaan yaitu 48.77-58.57 HST dan genotipe
lokal yaitu 53.37-71.10 HST (Tabel 6). Galur G7M7 dan G1G7 memiliki umur
panen yang genjah yaitu masing-masing pada 48.77 HST dan 50.83 HST. Umur
panen genotipe G1G7 lebih cepat dibandingkan dengan genotipe G7M7. Hal
tersebut terjadi karena, bunga betina galur G1G7 muncul lebih awal dibandingkan
dengan bunga jantannya. Sehingga, umur panen sangat dipengaruhi umur muncul
bunga betina.
Uji kontras ortogonal menunjukan bahwa galur-galur pemuliaan memiliki
umur panen yang lebih genjah dibandingkan genotipe lokal. Nilai tengah galur-
galur pemuliaan yaitu 55.08 HST, sedangkan genotipe lokal yaitu 59.43 HST
(Tabel 5). Umur panen yang genjah merupakan kriteria dalam produksi jagung
semi (Yodpetch dan Bautista 1983).
Karakter Hasil
Karakter hasil jagung semi beberapa genotipe jagung lokal dan galur-galur
pemuliaan yaitu jumlah tongkol tanaman-1, bobot tongkol kotor dan bersih
tanaman-1, serta bobot tongkol dan bersih buah-1 yang disajikan pada Tabel 7.
Jumlah Tongkol Tanaman-1
Galur-galur pemuliaan memiliki jumlah tongkol tanaman-1 sebanyak
2.7-4.4, sedangkan genotipe lokal sebanyak 2.1-3.4 tongkol tanaman-1 (Tabel 7).
Rataan umum jumlah tongkol tanaman-1 yaitu 3.0. Genotipe lokal dan galur
pemuliaan yang memiliki rataan jumlah tongkol tanaman-1 yang tinggi yaitu
G9M7, G1G7, G1G8, J-CLA 84, JWP 2.2, dan JLP1.
Galur-galur pemuliaan nyata menghasilkan jumlah tongkol tanaman-1
lebih banyak dibandingkan dengan kelompok genotipe lokal berdasarkan uji
kontras ortogonal. Nilai tengah jumlah tongkol tanaman-1 galur-galur pemuliaan
yaitu 3.51, sedangkan genotipe lokal yaitu 2.75 (Tabel 5). Banyaknya jumlah
tongkol per tanaman merupakan kriteria jagung semi. Menurut Yudiwanti et al.
(2006) Tanaman jagung yang yang mempunyai tongkol dua atau lebih merupakan
tipe prolifik (bertongkol banyak). Sifat prolifik ditentukan oleh kemampuan
genetik tanaman untuk menghasilkan tongkol yang banyak. Pengembangan
jagung semi sebagai suatu komoditas hortikultura dapat memanfaatkan potensi
prolifik untuk mendapatkan produksi hasil yang banyak dan berkualitas.
15
Tabel 7 Nilai tengah jumlah tongkol tanaman-1, bobot tongkol kotor dan bersih
tanaman-1, bobot tongkol kotor dan bersih buah1 beberapa genotipe
jagung lokal dan galur-galur pemuliaan
Genotipe Jumlah
tongkol
Bobot tongkol
tanaman-1 (g)
Bobot tongkol
buah-1 (g)
Kotor Bersih Kotor Bersih
Lokal
JKK1 2.4 bcd 177.2 a 33.72 bc 72.42 abcde 13.49 ab
JWP 1.2 3.0 bcd 159.23 a 24.66 bcd 48.97 fg 8.02 ef
JWP 2.2 3.4 abc 220.52 a 29.71 bcd 66.89 abcdef 9.13 def
JLP1 3.3 abc 210.63 a 35.55 bc 63.89 cdef 10.60 bcdef
Bajawa 1.3 2.6 bcd 219.53 a 29.75 bcd 82.32 abc 11.10 bcdef
Bajawa 1.11 2.4 bcd 203.13 a 36.83 bc 82.61 abc 15.41 a
Bajawa 1.5 3.1 bcd 202.8 a 36.98 bc 68.97 abcdef 12.45 abcd
Bajawa 1.15 3.1 bcd 218.37 a 36.67 bc 74.33 abcd 11.28 bcdef
Bajawa 1.2 2.3 cd 207.9 a 31.52 bcd 90.22 a 13.20 abc
Bajawa 1.9 2.1 d 182.03 a 29.15 bcd 86.36 ab 13.83 ab
Bajawa 1.19 2.7 bcd 206.6 a 33.63 bc 85.39 abc 12.50 abcd
Bajawa 1.1 2.7 bcd 194.3 a 30.95 bcd 75.23 abcd 11.45 bcde
Bajawa 1.10 2.6 bcd 197.67 a 25.68 bcd 76.57 abcd 10.08 bcdef
Pemuliaan
G9M6 4.4 a 233.3 a 55.29 a 51.98 efg 12.72 abcd
G1M6 3.1 b-d 162.73 a 32.96 bcd 51.72 efg 10.15 bcdef
G1G7 4.4 a 214.6 a 39.95 abc 48.21 fg 9.48 def
G1G8 3.5 a-c 206.72 a 42.43 abc 57.35 defg 11.26 bcdef
G7M7 3.0 b-d 122.97 a 22.92 cd 39.73 g 7.61 f
J-CLA 84 3.5 ab 226.23 a 36.81 bc 71.88 abcde 11.34 bcdef
P1042-71 2.7 bcd 183.37 a 15.16 d 68.00 bcdef 15.16 a
Rataan umum 3.0 197.49 33.02 68.15 11.51 Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda
nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).
Galur-galur pemuliaan memiliki jumlah tongkol tanaman-1 paling tinggi
dibandingkan dengan genotipe lokal. Banyaknya jumlah tongkol pada galur-galur
pemuliaan khususnya hasil mutasi diperkirakan faktor genetik, karena tanaman
tersebut merupakan galur murni generasi ke tujuh dan berpotensi genotipenya
sudah homogen homozigot. Poehlman (1959) menyatakan bahwa jagung memiliki
banyak peubah resesif yang dapat muncul melalui silang dalam (inbreeding).
Jumlah tongkol tanaman-1 selain dipengaruhi faktor genetik juga dipengaruhi sifat
fisiologis dominansi apikal yang dimiliki jagung pada umumnya (Sutjahjo et al.
2005).
Prolifik atau tongkol banyak merupakan karakter resesif pada jagung.
Biasanya, potensi prolifik pada tanaman jagung dengan menghasilkan tongkol
tanaman-1 lebih dari dua. Penelitian ini menunjukan bahwa jagung memiliki
potensi prolifik pada buku tanaman jagung, sehingga dalam satu buku dapat
menghasilkan tongkol lebih dari dua. Potensi menghasilkan tongkol lebih dari dua
16
pada buku tanaman dimiliki galur-galur pemuliaan G9M7, G7M7, G1G7, dan
G1G8.
Gambar 3 Potensi prolifik tiap ruas tanaman jagung pada beberapa genotipe (a)
G1G7 (b) G7M7 (c) JLP1: tongkol jagung muncul pada akar udara
pada beberapa genotipe (d) JWP 1.2 (e) P1042-71: (f) tongkol afkir
muncul di ruas terbawah pada genotipe G9M7.
Menurut Koswara dan Aswidinoor (1985) genetik tanaman jagung tipe
prolifik menghasilkan dua tongkol atau lebih dan pada satu buku mungkin
terdapat tongkol yang bercabang sehingga mempunyai anak tongkol. Beberapa
genotipe menghasilkan tongkol pada akar udara yaitu genotipe P1042-71, JWP
1.2, JLP1, G7M7, G1G7, dan G1G8. Potensi tongkol afkir pada ruas paling bawah
tanaman jagung juga semakin tinggi. Tongkol afkir tersebut ditandai dengan tidak
sempurnanya tongkol yang terbentuk dan tidak terbungkus kelobot.
Bobot Tongkol Kotor Tanaman-1
Genotipe tidak berpengaruh nyata terhadap bobot tongkol kotor tanaman-1.
Galur-galur pemuliaan memiliki bobot tongkol kotor tanaman-1 122.23-233.33 g,
sedangkan genotipe lokal 159.23-220.52 g (Tabel 7). Rataan umum bobot tongkol
kotor tanaman-1 yaitu 197.49 g.
Uji kontras ortogonal menguatkan bahwa tidak ada perbedaan bobot
tongkol kotor tanaman-1 di antara genotipe atau galur tersebut (Tabel 5). Bobot
tongkol kotor tanaman-1 merupakan bobot tongkol bersama dengan kelobot dan
rambut tongkol. Galur-galur pemuliaan memiliki kelobot yang tipis, sedangkan
genotipe lokal memiliki kelobot yang tebal. Ukuran tongkol kotor genotipe lokal
lebih besar dibandingkan galur-galur pemuliaan.
a c
e d
b
f
d
17
Bobot Tongkol Bersih Tanaman-1
Genotipe lokal memiliki bobot tongkol kotor tanaman-1 177.20-220.52 g,
sedangkan galur-galur pemuliaan 122.97-233.30 g (Tabel 7). Bobot tongkol bersih
tanaman-1 yang paling besar dimilki galur G9M7, G1G7 dan G1G8 dengan bobot
masing-masing 55.29, 39.95,dan 42.43 g. Sedangkan yang paling kecil P1041-71
yaitu 15.16 g.
Bobot tongkol bersih tanaman-1 galur-galur pemuliaan dan genotipe lokal
berdasarkan uji kontras ortogonal tidak menunjukan perbedaan bobot (Tabel 5),
artinya, genotipe hasil pemuliaan dan genotipe lokal memiliki bobot tongkol
bersih tanaman-1 yang relatif sama.
Bobot Tongkol Kotor Buah-1
Bobot tongkol kotor buah-1 yang ringan dimiliki oleh genotipe JWP 1.2
(48.97 g) dan galur pemuliaan G9M7 (51.98), G1M7 (51.72 g), G1G7 (48.21 g),
G1G8 (57.35 g), serta G7M7 (39.73 g). Galur-galur pemuliaan yang memiliki
bobot tongkol buah-1 yang besar adalah genotipe J-CLA 84 yaitu 71.88 g. Bobot
tongkol buah-1 genotipe lokal dengan rataan paling besar adalah genotipe Bajawa
1.2 yaitu 90.22 g (Tabel 7).
Genotipe lokal memiliki bobot tongkol kotor buah-1 yang nyata lebih besar
dibandingkan dengan galur-galur pemuliaan berdasarkan uji kontras ortogonal.
Nilai tengah bobot tongkol kotor buah-1 genotipe lokal dan galur-galur pemuliaan
masing-masing yaitu 74.94 g dan 55.55 g (Tabel 5).
Bobot Tongkol Bersih Buah-1
Bobot tongkol bersih buah-1 genotipe hasil pemuliaan yaitu 7.61–15.16 g,
bobot terbesar dimiliki oleh P1042-71 (Tabel 7). Genotipe lokal memiliki bobot
tongkol bersih buah-1 sebesar 8.02–15.41 g, genotipe Bajawa 1.11 memiliki bobot
terbesar di antara genotipe lokal lainnya. Galur G1M7, G1G7, G1G8, dan G7M7,
serta genotipe JWP 1.2, JWP 2.2, JLP1, Bajawa 1.3, Bajawa 1.15, J-CLA 84 dan
Bajawa 1.10 memiliki bobot tongkol bersih buah-1 yang ringan.
Uji kontras ortogonal menunjukan bahwa tidak ada perbedaan bobot
tongkol bersih buah-1 antara genotipe hasil pemuliaan dan genotipe lokal. Artinya,
setiap genotipe memiliki bobot yang relatif sama. Rataan bobot tongkol bersih
buah-1 genotipe hasil pemuliaan dan genotipe lokal masing-masing 11.10 dan
11.73 g (Tabel 5). Bobot tongkol bersih buah-1 menentukan pengkelasan jagung
semi. Tongkol dengan bobot yang berat akan berukuran besar, sehingga akan
mempengaruhi kualitas dan pengkelasan tongkol jagung semi.
Perkiraan Potensi Produksi Jagung Semi
Produksi kotor merupakan produksi tongkol beserta kelobot dan rambut
tongkol, sedangkan produksi bersih merupakan produksi tongkol tanpa kelobot
dan rambut tongkol. Perkiraan produksi jagung semi menunjukan bahwa galur
G9M7 memiliki produksi paling tinggi dengan produksi tongkol kotor dan bersih
masing-masing sebesar 14.58 ton ha-1 dan 3.46 ton ha-1. Perkiraan produksi
jagung semi layak pasar paling tinggi juga menunjukan bahwa galur G9M7
memiliki produksi layak pasar tongkol kotor dan bersih yaitu masing-masing
sebesar 12.10 ton ha-1 dan 2.87 ton ha-1, sedangkan galur G7M7 memiliki
produksi kotor paling rendah yaitu 7.69 ton ha-1 dengan potensi produksi tongkol
18
kotor layak pasar sebesar 6.69 ton ha-1. Genotipe P1042-71 memiliki produksi
bersih paling rendah sebesar 0.95 ton ha-1 dengan potensi produksi tongkol bersih
sebesar 0.60 ton ha-1.
Tabel 8 Potensi produksi kotor dan bersih jagung semi beberapa genotipe jagung
lokal dan galur-galur pemuliaan
Genotipe Produksi kotor (ton ha-1) Produksi bersih (ton ha-1)
Total Layak pasar Total Layak pasar
Lokal
JKK1 11.08 6.98 2.11 1.33
JWP 1.2 9.95 8.66 1.54 1.34
JWP 2.2 13.78 11.99 1.86 1.62
JLP1 13.16 11.45 2.22 1.93
Bajawa 1.3 13.72 11.94 1.86 1.62
Bajawa 1.11 12.70 10.54 2.30 1.91
Bajawa 1.5 12.68 9.25 2.31 1.69
Bajawa 1.15 13.65 10.51 2.29 1.76
Bajawa 1.2 12.99 8.71 1.97 1.32
Bajawa 1.9 11.38 9.44 1.82 1.51
Bajawa 1.19 12.91 9.94 2.10 1.62
Bajawa 1.1 12.14 9.72 1.93 1.55
Bajawa 1.10 12.35 9.51 1.61 1.24
Pemuliaan
G9M7 14.58 12.10 3.46 2.87
G1M7 10.17 8.44 2.06 1.71
G1G7 13.41 11.67 2.50 2.17
G1G8 12.92 10.72 2.65 2.20
G7M7 7.69 6.69 1.43 1.25
J-CLA 84 14.14 10.89 2.30 1.77
P1042-71 11.46 7.22 0.95 0.60
Rataan umum 12.34 9.82 2.06 1.65
Produksi jagung semi belum dapat dibandingkan dengan produksi nasional,
karena jagung semi belum dibudidayakan secara luas seperti produksi jagung
pipilan. Perbandingan hasil produksi jagung semi masih dalam skala penelitian.
Varietas-varietas yang sudah diuji potensi produksi jagung seminya yaitu KSC
403, AG 1051, dan BRS 2020. Varietas jagung manis KSC 403su memiliki
potensi produksi bersih sebesar 2.94 ton ha-1 (Kheibari et al. 2012). Varietas AG
1051 merupakan jagung hibrida memiliki potensi produksi kotor sebesar 0.01 ton
ha-1 dan produksi bersih sebesar 0.002 ton ha-1 (Moreira et al. 2006). Kultivar
BRS 2020 memiliki potensi produksi bersih sebesar 0.007 ton ha-1 (Castro et al.
2013). Berdasarkan hasil penelitian tersebut, galur G9M7 memiliki potensi
produksi yang lebih besar dibandingkan varietas KSC 403su. Selain itu, genotipe
lokal dan galur-galur pemuliaan memiliki produksi yang lebih baik dibandingkan
hibrida AG 1051 dan kultivar BRS 2020.
19
Kualitas Jagung Semi
Jagung semi sebagai komoditas hortikultura berpotensi memiliki nilai
ekonomi yang tinggi, sehingga kualitas menjadi perhatian khusus pemulia dalam
merakit varietas khusus jagung semi. Kualitas jagung semi ditentukan oleh
panjang dan diameter tongkol bersih buah-1 yang juga akan menentukan
pengkelasan tongkol. Menurut Yudiwanti et al. (2010) panjang tongkol
mempengaruhi kualitas jagung semi layak pasar menurut pengkelasan yang
berlaku. Panjang tongkol yang tidak sesuai dengan kriteria termasuk dalam
kategori tongkol yang tidak layak pasar (afkir). Panjang tongkol yang termasuk ke
dalam tongkol layak pasar menurut standar CODEX yaitu memiliki ukuran 5-12
cm dengan diamater berukuran 1-2 cm. Pengamatan kualitas jagung semi
beberapa genotipe jagung lokal dan galur-galur pemuliaan disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9 Nilai tengah panjang tongkol dan diameter tongkol beberapa genotipe
jagung lokal dan galur-galur pemuliaan
Genotipe Panjang tongkol (cm) Diameter tongkol (cm)
Lokal
JKK1 11.45 a 1.37 bcdef
JWP 1.2 8.35 g 1.29 f
JWP 2.2 8.18 g 1.27 f
JLP1 9.14 cdefg 1.38 abcdef
Bajawa 1.3 8.76 efg 1.40 abcdef
Bajawa 1.11 9.26 bcdefg 1.59 a
Bajawa 1.5 9.63 bcdef 1.43 abcdef
Bajawa 1.15 9.17 bcdefg 1.35 cdef
Bajawa 1.2 9.75 bcde 1.53 abcd
Bajawa 1.9 8.58 fg 1.57 ab
Bajawa 1.19 8.20 g 1.54 abc
Bajawa 1.1 8.90 defg 1.42 abcdef
Bajawa 1.10 8.61 fg 1.42 abcdef
Pemuliaan
G9M6 10.11 bc 1.32 def
G1M6 10.24 b 1.33 cdef
G1G7 9.45 bcdef 1.30 ef
G1G8 10.05 bc 1.44 abcdef
G7M7 8.24 g 1.35 cdef
J-CLA 84 9.92 bcd 1.32 def
P1042-71 11.79 a 1.50 abcde
Rataan umum 9.39 1.41
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda
nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).
20
Panjang Tongkol
Panjang tongkol galur-galur pemuliaan yaitu 8.24–11.79 cm, dengan
ukuran tongkol yang pendek dimiliki oleh genotipe G7M7 (Tabel 9). Genotipe
lokal memiliki panjang tongkol 8.18–11.45 cm, dengan ukuran tongkol yang
pendek dimiliki oleh genotipe JWP 2.2. Genotipe JWP 1.2, JWP 2.2, JLP1,
Bajawa 1.3, Bajawa 1.11, Bajawa 1.15, Bajawa 1.9, Bajawa 1.19, Bajawa 1.1,
Bajawa 1.10, dan galur G7M7 memiliki tongkol yang berukuran pendek yaitu
antara 8.18-9.26 cm (Tabel 9). Genotipe yang memiliki ukuran tongkol paling
panjang adalah genotipe P1042-71 dan JKK1 dengan panjang tongkol masing-
masing 11.79 cm dan 11.45 cm. Semakin panjang ukuran tongkol maka kuliatas
jagung semi berpotensi rendah.
Genotipe lokal memiliki ukuran panjang tongkol yang lebih pendek
dibandingkan genotipe hasil pemuliaan. Perbandingan panjang tongkol genotipe
lokal dan hasil pemuliaan yaitu masing-masing sebesar 9.97 dan 9.07 cm
(Tabel 5). Menurut Yudiwanti et al. (2010) panjang tongkol mempengaruhi
kualitas jagung semi layak pasar menurut pengkelasan yang berlaku. Panjang
tongkol yang termasuk ke dalam tongkol layak pasar menurut standar CODEX
yang memiliki ukuran panjang tongkol 5-12 cm.
Diameter Tongkol
Diameter tongkol galur-galur pemuliaan yaitu 1.30–1.50 cm. Ukuran
diameter paling besar dimiliki oleh P1042-71 dan paling kecil G1G7. Diameter
tongkol genotipe lokal yaitu 1.27-1.59 cm (Tabel 9). Genotipe lokal memiliki
ukuran diameter tongkol paling besar yaitu genotipe Bajawa 1.11 (1.59 cm),
sedangkan genotipe JWP 2.2 memiliki ukuran diameter tongkol paling kecil (1.27
cm).
Genotipe lokal memiliki ukuran diameter tongkol yang lebih besar
dibandingkan dengan genotipe hasil pemuliaan berdasarkan uji kontras ortogonal.
Perbandingan ukuran diameter tongkol genotipe lokal dan galur-galur pemuliaan
yaitu 1.43 dan 1.37 cm (Tabel 5). Diameter tongkol mempengaruhi kualitas
tongkol. Secara umum diameter tongkol genotipe jagung lokal dan galur-galur
pemuliaan sesuai dengan kriteria jagung semi. Hal tersebut didukung oleh Tabel 9
yang menunjukan bahwa nilai tengah diameter tongkol tidak kurang atau
mendekati 1 cm dan tidak lebih atau mendekati 2 cm.
Pengkelasan Tongkol Jagung Semi
Pengkelasan jagung semi mengklasifikasikan jagung semi menjadi tiga
kelas yaitu kelas A, B, dan C. Persentase pengkelasan tongkol jagung semi
disajikan pada Tabel 10.
Tongkol layak pasar merupakan tongkol yang memiliki panjang dan
diameter sesuai dengan kriteria jagung semi (Gambar 4). Genotipe hasil
pemuliaan khususnya mutasi memiliki rata-rata persentase tongkol layak pasar
tertinggi dibandingkan dengan genotipe lainnya. Persentase tongkol tidak layak
pasar paling tinggi sebesar 30.00%. Genotipe JWP 1.2, JWP 2.2, JLP1, Bajawa
1.3 dan galur G1G7 serta G7M7 memiliki persentase tongkol layak pasar paling
tinggi sebesar 86.67% dan memiliki persentase tongkol afkir paling rendah yaitu
13.33% (Tabel 10). Persentase tongkol afkir paling tinggi sebesar 36.67% yang
21
dimiliki genotipe P1042-71 dan JKK1. Penampilan tongkol tidak layak pasar
disajikan pada Gambar 5.
Tabel 10 Pengkelasan tongkol jagung semi pada beberapa genotipe jagung lokal
dan galur-galur pemuliaan
Genotipe Kelas
Layak pasar Afkir A B C
Lokal
JKK1 3.33 30.00 30.00 63.33 36.67
JWP 1.2 30.00 36.67 20.00 86.67 13.33
JWP 2.2 36.67 33.33 16.67 86.67 13.33
JLP1 23.33 30.00 33.33 86.67 13.33
Bajawa 1.3 20.00 36.67 33.33 86.67 13.33
Bajawa 1.11 16.67 26.67 36.67 83.33 16.67
Bajawa 1.5 16.67 13.33 43.33 73.33 26.67
Bajawa 1.15 16.67 13.33 43.33 73.33 26.67
Bajawa 1.2 6.67 20.00 40.00 66.67 33.33
Bajawa 1.9 20.00 36.67 26.67 83.33 16.67
Bajawa 1.19 26.67 26.67 23.33 76.67 23.33
Bajawa 1.1 23.33 23.33 33.33 80.00 20.00
Bajawa 1.10 13.33 33.33 30.00 76.67 23.33
Pemuliaan
G9M6 20.00 23.33 33.33 83.33 23.33
G1M6 13.33 26.67 43.33 83.33 16.67
G1G7 16.67 33.33 36.67 86.67 13.33
G1G8 6.67 26.67 50.00 83.33 16.67
G7M7 33.33 40.00 13.33 86.67 13.33
J-CLA 84 6.67 36.67 33.33 76.67 23.33
Pengkelasan ukuran tongkol juga menunjukan bahwa kualitas tongkol
paling baik yaitu genotipe JWP 2.2 dengan persentase kelas A > B > C > afkir
yaitu 36.67% kelas A, 33.33% kelas B, 16.67% kelas C, dan 13.33% tongkol afkir.
Genotipe JWP 2.2 memiliki kualitas yang paling baik untuk dikembangkan
sebagai jagung semi karena memiliki ukuran panjang tongkol yang sesuai kriteria
dan persentase tongkol layak pasarnya tinggi. Kualitas tongkol paling rendah
yaitu genotipe JKK1 dengan persentase kelas A 3.33%, kelas B 30%, kelas C 30%,
dan tongkol afkir 36.67%.
Penampilan tongkol jagung semi layak pasar berukuran lebih kecil
dibandingkan dengan ukuran jagung semi tidak layak pasar (afkir). Gambar 4
22
menampilkan tongkol jagung semi layak pasar kelas A dan Gambar 5
menampilkan tongkol jagung semi tidak layak pasar (afkir)
Gambar 4 Penampilan tongkol jagung semi layak pasar kelas A. (a) genotipe
Bajawa 1.11 (b) genotipe JWP 1.2 (c) galur G1G7
Gambar 5 Penampilan tongkol jagung semi afkir yang memiliki panjang dan
diameter tongkol tidak sesuai dengan standar CODEX pada genotipe
JLP1
Parameter Genetik
Keragaman Genetik, Keragaman Fenotipik dan Heritabilitas
Nilai ragam genetik (Vg) dan ragam fenotipe (Vp) tergolong besar
dibandingkan nilai ragam lingkungan (Ve) pada peubah yang diamati kecuali pada
bobot kotor tongkol tanaman-1. Peubah jagung semi yang diamati tersebut
memiliki ragam genetik yang luas karena faktor genetik lebih besar berperan
dibandingkan dengan faktor lingkungan. Keberagaman hasil nilai tersebut
menandakan bahwa sifat kuantitatif tidak hanya dikendalikan oleh satu gen,
melainkan oleh banyak gen sebagai penyusun fenotipenya (Mustofa et al. 2013).
Angka negatif pada ragam genetik disebabkan nilai kuadrat tengah genotipe lebih
kecil daripada kuadrat tengah interaksi genotipe dengan lingkungan (Saputri et al.
2013).
Nilai Koefisien Keragaman Genetik (KKG) didapatkan dari nilai ragam
genetik (Tabel 11). Menurut Moedjiono dan Mejaya (1994) koefisien keragaman
a b c
23
genetik yang besar menunjukan keragaman genetik yang luas. Menurut Saputri et
al. (2013) nilai koefisien keragaman genetik menunjukan tingkat kepercayaan
terhadap keragaman genetik. Koefisien keragaman genetik terbesar dimiliki oleh
peubah bobot tongkol bersih buah-1, sehingga dijadikan nilai absolut KKG 100%.
Berdasarkan data tersebut, nilai absolut koefisien keragaman genetik jagung semi
berturut-turut adalah rendah (0%<x≤4.75%), agak rendah (4.75%<x≤9.5%),
cukup tinggi (9.5%<x≤14.24%) dan tinggi (14.24%<x≤18.99%).
Berdasarkan kriteria tersebut, peubah yang memiliki keragaman genetik
yang relatif rendah adalah: diameter batang, agak rendah yaitu: jumlah buku
tanaman-1, umur muncul bunga jantan, umur muncul bunga betina, umur panen,
dan diameter tongkol, cukup tinggi yaitu: panjang tongkol, tinggi: tinggi tanaman,
jumlah tongkol tanaman-1, jumlah tongkol tanaman-1, bobot tongkol bersih
tanaman-1, bobot tongkol kotor buah-1, dan bobot tongkol bersih buah-1. Populasi
dengan keragaman rendah dan agak rendah digolongkan sebagai populasi yang
memiliki variabilitas genetik sempit (Moedjiono dan Mejaya 1994).
Tabel 11 Nilai ragam genetik (Vg), ragam galat (Ve), ragam fenotipik (Vp),
koefisien keragaman genetik (KKG), koefisien keragaman fenotipik
(KKP), dan heritabilitas arti luas (h2bs) beberapa genotipe jagung lokal
dan hasil pemuliaan
Karakter Vg Ve Vp KKP
(%)
KKG
(%)
h2bs
(%)
Tinggi tanaman 1714.76 70.16 1784.92 16.12 15.80 96.07
Diameter batang 0.01 0.01 0.02 6.34 4.72 55.42
Jumlah buku 0.72 0.28 0.99 8.28 7.04 72.15
Umur muncul bunga jantan 9.66 3.09 12.75 7.11 6.19 75.73
Umur muncul bunga betina 21.69 1.54 23.23 9.11 8.80 93.37
Umur panen 22.24 1.38 23.62 8.39 8.14 94.17
Jumlah tongkol tanaman-1 0.26 0.11 0.37 20.2 16.94 70.35
Bobot tongkol kotor
tanaman-1 -305.04 1012.83 1012.83 13.47 0.00 0.00
Bobot tongkol bersih
tanaman-1 39.32 28.34 67.66 24.91 18.99 58.12
Bobot tongkol kotor buah-1 165.88 42.49 208.38 21.18 18.90 79.61
Bobot tongkol bersih buah-1 3.31 1.24 4.54 18.51 15.79 72.78
Diameter tongkol 0.01 0.00 0.01 6.88 5.24 58.04
Panjang tongkol 0.92 0.11 1.02 10.77 10.20 89.66
Heritabilitas arti luas (h2bs) dapat menunjukan besar atau kecilnya pengaruh
faktor genetik terhadap faktor lingkungan. Nilai heritabilitas arti luas merupakan
perbandingan antara ragam genotipe dengan ragam fenotipe (Syukur et al. 2011).
Menurut Stanfield (1991) kisaran nilai heritabilitas tinggi adalah 50-100%. Semua
karakter kecuali pada karakter bobot tongkol kotor tanaman-1 memiliki nilai
heritabilitas yang tinggi yaitu 55.42-96.07% (Tabel 11). Nilai heritabilitas yang
tinggi menunjukan bahwa hampir semua karakter yang diamati secara umum
dipengaruhi faktor genetik. Tingginya nilai heritabilitas dipengaruhi oleh luasnya
24
ragam genetik sehingga dapat dilakukan seleksi karena fenotipe tanaman yang
terlihat lebih dominan dipengaruhi faktor genetik (Jonharnas 1995).
Keeratan Hubungan Antar Peubah
Nilai keeratan hubungan antar peubah dapat diketahui dengan melihat
korelasinya. Menurut Mattjik dan Sumertajaya (2006) koefisien korelasi
dinotasikan dengan r dengan kisaran nilai -1 ≤ r ≤ 1, nilai r mendekati 1 atau -1
semakin erat hubungannya dan nilai r mendekati nol menunjukan hubungan antar
peubah semakin lemah. Nilai r (1) menunjukan bahwa kedua peubah berbanding
lurus, sedangkan nilai r (-1) berbanding terbalik. Perhitungan nilai koefisien
korelasi diamati dari 12 peubah dan didapatkan 78 pasang nilai koefisien korelasi
antar peubah. Pasangan peubah yang memiliki keeratan nyata sebanyak 33 pasang
30 pasang kombinasi memiliki keeratan hubungan yang berbanding lurus dan 3
pasang kombinasi memiliki keeratan hubungan yang berbanding terbalik.
Tabel 12 menunjukan keeratan hubungan antar peubah yang diamati.
Tinggi tanaman memiliki keeratan yang tinggi dengan diameter batang (r= 0.77)
namun memiliki nilai rendah dan berbanding terbalik dengan jumlah tongkol
tanaman-1 (r= -0.53), artinya, semakin tebal diameter batang maka tanaman jagung
akan semakin tinggi dan fase vegetatifnya lebih panjang namun jumlah tongkol
yang dihasilkan sedikit.
Umur muncul bunga jantan (r= 0.67) dan umur muncul bunga betina
(r= 0.64) memiliki keeratan hubungan dan berbanding lurus dengan jumlah buku
tanaman-1. Semakin banyak jumlah buku tanaman-1 maka umur muncul bunga
jantan dan betina akan semakin lama. Umur muncul bunga jantan memiliki
keeratan hubungan yang tinggi dan berbanding lurus dengan umur muncul bunga
betina (r= 0.90) dan umur panen (r= 0.90), artinya, semakin genjah umur
berbunga jantan maka semakin genjah umur berbunga betina dan umur panen juga
akan lebih genjah.
Umur muncul bunga betina (r= -0.48) dan umur panen (r= -0.49) memiliki
keeratan hubungan yang berbanding terbalik dengan jumlah tongkol tanaman-1,
artinya, semakin cepat bunga jantan dan umur panen jagung semi maka jumlah
tongkol yang dihasilkan akan sedikit. Jumlah tongkol tanaman-1 memiliki keeratan
hubungan berbanding lurus dengan bobot tongkol kotor tanaman-1 (r= 0.60) dan
berbanding terbalik dengan diamater tongkol (p= -0.68), artinya, semakin banyak
jumlah tongkol tanaman-1 maka bobot tongkol kotor tanaman-1 akan semakin
besar dan diameter tongkolnya akan semakin kecil.
Umur muncul bunga betina memiliki keeratan hubungan paling tinggi
dibandingkan dengan peubah lainnya dan berbanding lurus dengan umur panen
yaitu (r= 0.99), artinya, semakin genjah umur bunga betina maka umur panen juga
akan semakin genjah sehingga panen dapat dilakukan lebih awal. Umur berbunga
dan umur panen yang genjah, serta jumlah buku per tanaman yang banyak
merupakan kriteria jagung semi yang baik (Yodpetch dan Bautista 1983). Peubah-
peubah ini yang dapat dijadikan acuan untuk menentukan genotipe untuk
dikembangkan sebagai jagung semi.
25
Tabel 12 Nilai koefisien korelasi antar peubah beberapa genotipe jagung lokal dan galur-galur pemuliaan
TT DT JBPT UMBJ UMBB UP JTP BTKPT BTBPT BTKPB BTBPB Dtong
DT 0.77 **
JBPT 0.58 **
0.51 *
UMBJ 0.49 *
0.31 tn
0.67 **
UMBB 0.61 **
0.42 tn
0.64 **
0.90 **
UP 0.61 **
0.43 tn
0.65 **
0.90 **
0.99 **
JTP -0.53 *
-0.33 tn
-0.16 tn
-0.39 tn
-0.48 *
-0.49 *
BTKPT 0.21 tn
0.44 tn
0.36 tn
0.18 tn
0.08 tn
0.08 tn
0.36 tn
BTBPT 0.01 tn
0.05 tn
0.38 tn
0.12 tn
0.07 tn
0.08 tn
0.60 **
0.60 **
BTKPB 0.66 **
0.64 **
0.43 tn
0.49 *
0.51 *
0.52 *
-0.69 **
0.40 tn
-0.12 tn
BTBPB 0.28 tn
0.26 tn
0.28 tn
0.64 **
0.54 **
0.55 **
-0.42 tn
0.29 tn
0.12 tn
0.64 **
Dtong 0.25 tn
0.21 tn
-0.01 tn
0.22 tn
0.23 tn
0.24 tn
-0.68 **
-0.01 tn
-0.18 tn
0.70 **
0.75 **
PT -0.15 tn -0.17 tn 0.16 tn 0.58 ** 0.36 tn 0.34 tn 0.06 tn 0.05 tn 0.11 tn -0.06 tn 0.54 ** 0.04 tn
TT: Tinggi Tanaman, DT: Diameter Tanaman, JBPT: Jumlah Buku Per Tanaman, UMBJ: Umur Muncul Bunga Jantan, UMBB: Umur Muncul Bunga Betina, UP: Umur Panen,
JTP: Jumlah Tongkol Tanaman-1, BTKPT: Bobot Tongkol Kotor Tanaman-1, BTBPT: Bobot Tongkol Bersih Tanaman-1, BTKPB: Bobot Tongkol Kotor Buah-1, BTBPB: Bobot
Tongkol Bersih Buah-1, Dtong: Diameter Tongkol, PT: Panjang Tongkol, **: Sangat Nyata, *: Nyata, tn= Tidak Nyata.
26
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Genotipe yang memiliki jumlah tongkol banyak (prolifik) yaitu
genotipe G9M7, G1G7, G1G8, J-CLA 84, Bajawa 1.3 dan JLP1. Genotipe
G1G7, G7M7, JWP 1.2, JWP 2.2, dan JLP1 menghasilkan persentase
tongkol layak pasar tertinggi. Kualitas tongkol genotipe JWP 2.2 paling baik
dibandingkan genotipe lainnya dengan persentase kelas A>B>C dan
persentase tongkol afkir rendah. Umur muncul bunga jantan menunjukan
keeratan hubungan yang berbanding lurus dengan umur muncul bunga
betina dan umur panen. Dengan demikian, semakin genjah umur muncul
bunga jantan maka semakin genjah umur muncul bunga betina dan umur
panen. Umur muncul bunga betina memiliki keeratan hubungan paling
tinggi dengan umur panen dibandingkan peubah yang lainnya dibuktikan
dengan nilai korelasinya yang mendekati satu. Genotipe yang memiliki
umur panen genjah yaitu G1G7, dan G7M7. Potensi produksi tongkol layak
pasar tinggi dalam ton ha-1 dimiliki oleh galur G9M7, G1G7, dan G1G8,
serta genotipe Bajawa 1.11 dan JLP1. Penelitian ini menghasilkan genotipe
yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai jagung semi yaitu genotipe
G1G7, G1G8, G7M7, G9M7, JWP 1.2, JWP 2.2, Bajawa 1.1, dan JLP1.
Saran
Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan terhadap genotipe G1G7,
G1G8, G7M7, G9M7, JWP 1.2, JWP 2.2, dan JLP1. Genotipe tersebut
berpotensi menghasilkan jagung semi dengan umur panen yang genjah,
memiliki kualitas dan kuantitas lebih baik untuk dikembangkan sebagai
jagung semi. Penelitian potensi prolifik pada setiap ruas tanaman jagung
juga perlu dilakukan untuk pengembangan jagung semi selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Adisarwanto T, Widyastuti YE. 2002. Meningkatkan produksi jagung.
Jakarta (ID): Penebar Swadaya.
Allard RW. 1960. Principle of Plant Breeding. New York (US): John Wiley
& Sons.
[BMKG] Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. Data Iklim Stasiun
Darmaga. Bogor (ID): BMKG.
Brisco G. 2000. CODEX standard for baby corn. [Internet]. [diunduh 2014
Mei 01]. Tersedia pada: http://cxs.babycorn.com.
Budiarti SG. 2007. Plasma nutfah jagung sebagai sumber gen dalam
program pemuliaan. B. Plasma Nutfah. 13(1): 1-10.
Castro RS, Silvia PSL, Cardoso MJ. 2013. Baby corn, green corn, and dry
corn yield of corn cultivars. Horticulture Brasileira. 31: 100-105.
27
Goenawan G. 1988. Pengaruh Populasi Tanaman dan Pembungaan Bunga
Jantan (Detasseling) terhadap Produksi Jagung Semi (Baby corn)
pada Jagung Manis (Zea mays saccharata). [skripsi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Gomez KA, Gomez AA. 1995. Prosedur Statistika untuk Penelitian
Penelitian Pertanian. Terjemahan Endang Syamsudin dan Justika
Sjarifudin Baharsjah. Edisi kedua. Jakarta: UI Press.
Jonharnas. 1995. Penampilan 13 genotipe ubi jalar di sumanik, Sumatera
Barat. Zuriat. 10(2): 66-72.
Koswara J, Aswidinnoor H, Purwoko BS. 1985. Pengaruh patah batang
terhadap produksi pada jagung. Bul. Agron. 16(1): 1-17.
Mangoendidjojo W. (2007). Dasar-Dasar Pemuliaan Tanaman. Yogyakarta
(ID): Kanisius.
Mattjik AH, Sumertajaya IM. 2006. Perancangan Percobaan dengan
Aplikasi SAS dan Minitab. Bogor (ID): IPB Press.
Moedjiono, Mejaya MJ. 1994. Variabilitas genetik beberapa plasma nutfah
jagung koleksi Balittas Malang. Zuriat. 5(2): 27-32.
Morira JN, Silvia PSL, Silvia KMB, Dombroski JLD, Castro RS. 2010.
Effect of detasseling on baby corn, green ear and grain yield of two
maize hybrids. Horticulture Brasileira. 28: 406-411.
Mustofa ZIM, Budiarsa, Samdas GMB. 2013. Variasi genetik jagung (Zea
mays L.) berdasarkan peubah fenotipik tongkol jagung yang
dibudidayakan di Desa Jono Oge. E. Jipbiol. 1: 33-41.
Kheibari MNK, Khorasani SK, Taheri G. 2012. Effect of plant density and
variety on some of morphological traits, yield and yield components
of baby corn (Zea mays L.). J. Appl Basic. 3(10): 2009-2014.
Pandey M, Sudhir K, Ahuja R, Tewari D. 2010. Could baby corn create
platform for a agribusiness. Yale School of Management. Yale case.
10: 36.
Patola H, Hardiatmi S. 2011. Uji potensi tiga varietas jagung dan saat
emaskulasi terhadap produktivitas jagung semi (baby corn). JIP.
10(1): 17-29.
Poehlman JM, Borthakur D. 1969. Breeding Asian Field Crops with Special
Reference to Crops of India. New Delhi (IN): Offord & IBH
Publishing.
Purwono, Hartono. 2005. Bertanam Jagung Unggul. Depok (ID): Penebar
Swadaya.
Purwono, Purnamawati. 2007. Budidaya 8 Jenis Tanaman Pangan Unggul.
Depok (ID): Penebar Swadaya
Rubatzky VE, Yamaguchi M. 1998. Sayuran Dunia 1. Edisi kedua. Bandung
(ID): ITB Press.
Rukmana R. 1997. Budidaya Baby Corn. Yogyakarta (ID): Kanisius.
Saputri TY, Hikam S, Tomotiwu PB. 2013. Pendugaan komponen genetik,
daya gabung, dan segregasi biji pada jagung manis kuning kisut. J.
Agrotek Tropika. 1(1): 25-31.
Semangun H. 1991. Penyakit-penyakit Tanaman Pangan di Indonesia
Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press.
28
28
Singh J. 1987. Field Manual Maize Breeding Procedures. New Delhi (IN):
Indian Agric Research.
Soemadi W, Mutholib A. 2000. Sayuran Baby. Jakarta (ID): Penebar
Swadaya.
Stanfield WD. 1983. Theory and Problem of Genetics. 2nd Edition.
Schaum’s Outline Series. New York (US): McGraw-Hill.
Sutjahjo SH, Hadiatmi, Meynilivia. 2005. Evaluasi dan seleksi 24 genotipe
jagung lokal dan introduksi yang ditanam sebagai jagung semi. JJIPI.
7(1): 35-43.
Syukur M, Sujiprihati, Yunianti R, Kusumah DA. 2011. Pendugaan ragam
genetik dan heritabilitas peubah komponen hasil pada beberapa
genotipe cabai. J Agrivigor. 10(2):148-156.
Yodpetch C, Bautista OK. 1983. Young cob corn: suitable varieties,
nutritive value and optimum stage of maturity. Phil Agr. 66: 232-244.
Yudiwanti WEK, Budiarti SG, Wakhyono. 2006. Potensi jagung varietas
lokal sebagai jagung semi. Seminar Nasional Bioteknologi dan
Pemuliaan Tanaman: 2006 Agustus 1-2. Bogor (ID): IPB. Hlm 376-
379.
Yudiwanti WEK, Sepriliyana WR, Budiarti SG. 2010. Potensi beberapa
varietas jagung untuk dikembangkan sebagai varietas jagung semi.
J.Hort. 20(2): 157-163.
29
LAMPIRAN
Lampiran 1 Data iklim bulanan bulan November 2014 hingga Februari
2015
Bulan Temperatur
(oC)
Kelembaban udara
rata-rata (%)
Curah hujan rata-
rata (mm)
Nov-14 26.3 64 673.2
Des-14 26.3 45 209.5
Jan-15 25.2 87 251.0
Feb-15 25.0 88 351.0
Rata-rata 25.7 71 371.2
Lampiran 2 Genotipe jagung lokal dan galur-galur pemuliaan yang
digunakan sebagai materi genetik dalam penelitian
Genotipe Keterangan
Lokal JKK1 Jagung Kefaminano Kuning 1
JWP 1.2 Jagung Walamize Putih 1.2
JWP 2.2 Jagung Walamize Putih 2.2
JLP1 Jagung Lombok Putih 1
Bajawa 1.3 Jagung lokal Bajawa 1.3
Bajawa 1.11 Jagung lokal Bajawa 1.11
Bajawa 1.5 Jagung lokal Bajawa 1.5
Bajawa 1.15 Jagung lokal Bajawa 1.15
Bajawa 1.2 Jagung lokal Bajawa 1.2
Bajawa 1.9 Jagung lokal Bajawa 1.9
Bajawa 1.19 Jagung lokal Bajawa 1.19
Bajawa 1.1 Jagung lokal Bajawa 1.1
Bajawa 1.10 Jagung lokal Bajawa 1.10
Pemuliaan
G9M7 Jagung hasil mutasi dan selfing
G1M7 Jagung hasil mutasi dan selfing
G1G7
Jagung hasil mutasi dan hasil persilangan G1
dan G7
G1G8
Jagung hasil mutasi dan hasil persilangan G1
dan G8
G7M7 Jagung hasil mutasi dan selfing
J-CLA 84 Jagung hasil pemuliaan di tanah masam
P1042-71 Jagung hasil pemuliaan di tanah masam
30
30
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 23 November 1992 dari
bapak Inan Suryana dan ibu Komariah. Penulis merupakan putri keenam
dari enam bersaudara. Penulis menempuh studi di SDN Cisauk pada tahun
1999-2005, SMPN 1 Cibungbulang pada tahun 2005-2008, SMAN 1
Leuwiliang pada tahun 2008-2011. Penulis lulus seleksi masuk Institut
Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi
Negeri (SNMPTN) undangan pada tahun 2011 dan diterima di Departemen
Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten mata kuliah
Pendidikan Agama Islam (PAI) pada tahun 2012 sampai dengan 2014.
Tahun 2011 sampai dengan 2012 penulis aktif sebagai sekretaris umum
Badan Eksekutif Mahasiswa TPB IPB, anggota Dewan Musholla Asrama
TPB IPB, dan anggota Klub Ilmiah Asrama (KIA), ketua angkatan putri
Departemen Agronomi dan Hortikultura angkatan 48 (lurah), sekretaris
departemen Pengembangan Sumber Daya Mahasiswa (PSDM) Badan
Eksekutif Mahasiswa Faperta IPB. Tahun 2013 sampai dengan 2015 penulis
aktif sebagai Senior Resident Asrama TPB IPB. Selain aktif di organisasi
kemahasiswaan penulis mengajar ekstrakurikuler karya ilmiah di SDIT
Ummul Quro Bogor dan juga aktif di komunitas sosial yaitu Gerakan Cinta
Anak Tani (GCAT) dan ODOT (One Day One Thousand).
Penulis merupakan mahasiswa penerima beasiswa Bidikmisi
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) dan juga Beasiswa Aktivis
Nusantara (BAKTI NUSA) Dompet Dhuafa. Tahun 2012 penulis mengikuti
Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) pengembangan masyarakat dan
didanai DIKTI.