Upload
vantruc
View
233
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
KONDISI INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
Tulus Tambunan
Kadin Indonesia
April 2006
Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id 1
I. PENDAHULUAN Tidak dapat dipungkiri bahwa infrastruktur merupakan salah satu faktor penentu pembangunan ekonomi, yang
sebenarnya sama pentingnya dengan faktor-faktor produksi umum lainnya yakni modal dan tenaga kerja. Sayangnya,
untuk satu faktor ini, selama ini, terutama sejak krisis ekonomi 1997/98, kurang sekali perhatian pemerintah dalam
penyediaan infrastruktur, khususnya di wilayah di luar Jawa, atau Indonesia Kawasan Timur. Hal ini karena setelah
krisis pemerintah harus fokus pada hal-hal yang lebih mendesak seperti menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan
ekonomi secara keseluruhan, mencegah pelarian modal, menanggulangi hutang luar negeri serta menstabilkan
kembali kondisi politik dan sosial. Akibatnya, kondisi infrastruktur terpuruk di mana-mana. Mutu infrastruktur
Indonesia menduduki peringkat terendah di kawasan dan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, investasi asing,
pengentasan kemiskinann dan mutu lingkungan hidup.
Namun demikian, dalam beberapa tahun belakangan ini pemerintah sudah mulai menunjukkan perhatian yang
serius terhadap pembangunan infrastruktur. Ada dua hal yang perlu segera dilakukan oleh pemerintah bersama-sama
dengan pihak swasta dalam memperbaiki kondisi infrastruktur di dalam negeri, yakni membangun infrastruktur baru
dan memperbaiki kondisi infrastruktur yang sudah ada.
Tulisan ini punya dua tujuan utama, yakni menjabarkan kondisi infrastruktur di dalam negeri hingga saat ini dan
memberikan langkah-langkah alternatif untuk mempercepat perbaikan kondisi infrastruktur di Indonesia.
II. PERMASALAHAN
Permasalahan infrastruktur di Indonesia secara keseluruhan adalah (ISEI, 2005): (1) menurunnya
belanja untuk infrastruktur karena salah satunya akibat keterbatasan dana; (2) rendahnya kinerja
infrastruktur; (3) rendahnya tingkat recovery infrastruktur; (4) kesenjangan pembangunan infrastruktur
antar wilayah; (5) kesenjangan aksesibilitas infrastruktur; dan (6) inefisiensi penyediaan infrastruktur.
Permasalahan tersebut saling terkait satu sama lain, sehingga membentuk suatu vicious cycle. Apabila
ma aka dapat memperbaiki kondisi infrastruktur secara keseluruhan. salah tersebut dapat diatasi m
II.1 Menurunya Belanja untuk Infrastruktur
Pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur selama tahun 1993 hingga tahun 2002 mengalami tren yang
menurun. Pada tahun 1993/1994, rasio pengeluaran untuk infrastruktur terhadap PDB sekitar 5,34%,
sementara tahun 2002 hanya 2,33% (Gambar 1). Besarnya rasio belanja infrastruktur terhadap PDB kurang
dari 4% menempatkan Indonesia dalam jajaran negara dengan rasio investasi infrastruktur terhadap PDB
terendah diantara negara-negara berkembang lainnya (Tabel 1).
Krisis ekonomi 1997/98 membuat kondisi infrastruktur di Indonesia menjadi sangat buruk. Bukan saja
pada saat krisis, banyak proyek-proyek infrastruktur baik yang didanai oleh swasta maupun dari APBN
ditangguhkan, tetapi setelah krisis, pengeluaran pemerintah pusat untuk pembangunan infrastruktur
berkurang drastis. Secara total, porsi dari APBN untuk sektor ini telah turun sekitar 80% dari tingkat pra-
krisis. Menurut laporan Bank Dunia (2004), pada tahun 1994, pemerintah pusat membelanjakan hampir 14
milyar dolar AS untuk pembangunan, 57% diantaranya untuk infrastruktur. Pada tahun 2002 pengeluaran
pembangunan menjadi jauh lebih sedikit yakni kurang dari 5 milyar dolar AS, dan hanya 30%-nya untuk
infrastruktur (Gambar 2 & 3).
Gambar 1. Pengeluaran Pemerintah untuk Infrastruktur (% PDB)
5,344,39 4,1
3,63
Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id 2
3,13 3,12 2,782,33
0
1
2
3
4
5
6
1993/1994 1994/1995 1995/1996 1996/1997 1997/1998 1998/1999 2000 2002
Sumber: World Bank, 2004
T asio Investasi Infrastruk
D abel 1. R tur Terhadap PDB Dalam 5 Tahun Terakhir
0-4 persen 4-7 persen atas 7 persenKamboja La s o Cina Indonesia Mongolia Thailand Filipina Vietnam
Sumber. Raden Pa 2005). rdede dalam Infrastructure Financing: the Indonesian Challenges, 2005, dikutip dari Winoto (
Gambar 2: Total Pengeluaran Infrastruktur (nominal, milyar dolar AS)
02468
101214
1996 2001
PemerintahSwasta
Sumber: World Bank (2004)
Khususnya menjelang pertengahan 90-an hingga tahun 1996 investasi swasta dalam pembangunan
infrastruktur di dalam negeri cukup besar dan meningkat setiap tahunnya. Namun, setelah krisis, akibat
banyak perusahaan-perusahaan swasta, khususnya skala besar dan di sektor konstruksi yang mengalami
krisis keuangan/hutang, investasi non-pemerintah di sektor ini juga mengalami pengurangan yang drastis
lebih dari 90% dari tingkat tertingginya pada tahun 1996, sampai titik terendahnya pada tahun 2000
(Gambar 4). Selama ini peran swasta dalam investasi di infrastruktur lebih terfokus pada sektor
telekomunikasi dan enerji (Gambar 5).
Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id
Gambar 3: Pengeluaran Pembangunan Pemerintah Pusat (% dari jumlah pengeluaran)
43% 57%
70%
30%
3
0
10
20
30
40
50
60
70
1994 2002
LainnyaInfrastruktur
postel, perumahan/pemukiman, irigasi, transportatsi, meteorologi & geofisika dan
h. umber: Departemen
Keterangan: infrastruktur terdiri d pembangunan daera
ari S Keuangan
Gambar 4: Participasi Swasta di sektor infrastruktur (juta dolar AS)
01000200030004000500060007000
1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002
um
S ber: Bank Dunia PPI database
Gambar 5: Partisipasi Swasta dalam infrastruktur menurut sektor, 1990-2002 (juta dollar AS)
0 2000 4000 6000 8000 10000 12000
Sumber: WB PPI database
Air/sanitasi
Transport
Energi
Telekom
Pemerintah mentargetkan pertumbuhan PDB tahun 2006 mencapai 6% atau lebih. Menurut laporan
World Bank (2004), berdasarkan perbandingan internasional maupun dengan pengeluaran pemerintah untuk
infrastruktur sebelum krisis ekonomi, maka untuk mencapai target pertumbuhan tersebut diperlukan
Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id 4
tam
a untuk pembangunan dan perbaikan infrastruktur. Rencana ini termasuk
selesaikan pada
tahun 2006 (Kompas, 2006a).
Gambar 6: Gap dalam pengeluaran untuk infrastruktur (% dari PDB)
bahan investasi di infrastruktur sebesar 5 milyar dolar AS, atau harus mencapai 5% dari PDB (Gambar
6).
Menurut pemerintah, untuk merehabilitasi infrastruktur yang rusak dan membangun yang baru perlu Rp
1.000 triliun dalam 5 tahun. Jadi, rata-rata setahun Rp 200 triliun. Hanya 20% yang dibiayai oleh
pemerintah lewat APBN. Oleh karena itu, pemerintah akan membentuk lembaga pembiayaan yang akan
menampung seluruh aliran dan
salah satu dari 153 kebijakan yang masuk dalam Paket Kebijakan Infrastruktur yang harus di
5% target
0
2345678
SwastaPublikNasional
1
1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002
Sumber: World Bank (2004)
Belanja infrastruktur di daerah juga dapat dikatakan sangat kecil, walaupun sejak dilakukannya
desentralisasi/otonomi daerah, pengeluaran pemerintah daerah untuk infrastruktur meningkat, sementara
pengeluaran pemerintah pusat untuk infrastruktur mengalami penurunan yang drastis (Gambar 7).
Berdasarkan kelompok kapasitas fiskal seperti yang dijabarkan di Tabel 2, diperoleh gambaran bahwa pada
tahun 2003 propinsi hanya membelanjakan maksimal sekitar 14,7% untuk belanja infrastruktur dari total
belanja daerah. Sedangkan kabupaten dan kota masing-masing membelanjakan maksimal 16% dan 20%
bela
akan terjadi
kepincangan pembangunan infrastruktur antara tingkat nasional dan daerah, yang pada akhirnya akan
menghambat kelancaran investasi dan pembangunan ekonomi antar wilayah di dalam negeri.
nja infrastruktur dari total belanja daerahnya. Gambaran kasar porsi belanja infrastruktur di daerah dapat
dilihat pada Tabel 3.
Ini merupakan suatu persoalan serius, karena walaupun pemerintah pusat meningkatkan porsi pengelua-
rannya untuk pembangunan infrastruktur, sementara pemerintah-pemerintah daerah tidak menambah
pengeluaran mereka untuk pembangunan infrastruktur di daerah masing-masing, maka
Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id
Gambar 7: Pengeluaran Pemerintah Daerah dan Pusat untuk Infrastruktur (% dari PDB)
5
01994 1995
0.51
1.52
2.53
3.54
4.5
1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002
PusatDaerah
eterangan: tanda titik diantara angka di sumbu vertikal artinya koma dalam pengertian Indonesia K
Sumber: World Bank (2004)
Tabel 2. P pasitas Fiskal Daerah D n Luar Negeri Pemerintah eta Ka alam Rangka Penerusan Pinjama
Kepada Daerah ntuk Hibah Jumlah Daerah Menurut Kapasitas Fiskal
Dalam Be
Daerah Ti ) Se ) Re ) nggi (% dang (% ndah (%Pr 50,00 opinsi 20,00 30,00 Kab 59,70 Kota
upaten 12,69 27,61 45,00 37,50 17,50
Sumber KMK Mo. .07/2003 dalam Alien Pak 05. 538/KMK pahan, 20
T . Gam asar B Infras Tahuabel 3 baran K elanja truktur n 2003 Propinsi Kota Kabupaten
Kapasitas al Fisk
% dari Belanja Publik
% dari Balanja Daerah
% dari Belanja Publik
% dari Belanja Daerah
% dari % dari Belanja Belanja Publik Daerah
Tinggi 39,52 10,48 20,24 15,59 26,45 19,86 Se 33,02 12,12 Re 9,18 6,66 Rata-rata 2
dang 20,77 14,70 13,01 7,24 ,06 ndah 18,24 9,06 11,14 9
6,18 11,41 14,08 10,63 22,88 12,88 Keterangan: Belanja publik merupakan bagian dari belanja daerah dalam APBD. Sumber. Bapekki, Departemen Keuangan, dikutip dari Pakpahan (2005).
II.2 Rendahnya Kinerja/Kualitas Infrastruktur
Semakin kurangnya pengeluaran terhadap infrastruktur membuat dengan sendirinya cakupan dan mutu
pelayanan infrastruktur menjadi rendah. Berdasarkan laporan dari World Bank (2004), seperti yang
diperlihatkan di Tabel 4 dan 5, didapat gambaran sebagai berikut. Dalam hal kelistrikan, sekitar 90 juta
orang tidak mendapatkan sambungan listrik (sekitar 43% dari jumlah penduduk, yang sebagian besar (90%)
adalah kelompok miskin. Biaya sambungan di daerah perdesaan 33% lebih mahal daripada di perkotaan.
Kebutuhan investasi sangat tinggi untuk memperluas kapasitas listrik di Indonesia, yakni diperkirakan
sekitar 15-17 milyar dolar AS sebelum tahun 2012 untuk menambah 9,700 MW kapasitas, pengembangan
jaringan transmisi dan distribusi untuk 1,6 juta sambungan setiap tahun. Untuk air bersih dan sisten sanitas,
sekitar 22% penduduk tidak mendapatkan akses air bersih, dan hanya 14% yang dilayani oleh PDAM
Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id 6
ngat terbatas. Kebutuhan investasi sangat tinggi, diperlukan sekitar 330 juta dolar AS
unt un
ia bisa menjadi sangat mahal karena lamanya waktu dan banyaknya bahan bakar yang terbuang
dalam
pabrik.
Tabel 4. Kinerja Infrastruktur di Indonesia d berap Lainny k &Listrik T
Hanya 1,3% mempunyai akses terhadap jaringan pembuangan limbah manusia. Selain itu, PDAM itu sendiri
dalam masalah; lebih dari 2/3 PDAM beroperasi merugi, lebih dari 40% air tidak dihitung, dan tarif di
bawah biaya. Dalam hal telekomunikasi, jaringan telepon masih sangat sedikit dibandingkan jumlah
penduduk atau rumah tangga. Kepadatan telepon sambungan tetap hanya 4%, dan cakupan layanan ke
perdesaan masih sa
uk meningkatkan teledensity 1%. Sementara itu, bisnis selular terus berkembang, rata-rata 77% per tah
sejak tahun 1995.
Dalam hal jalan, jalan raya masih sangat terbatas yang hanya 1,7 km per 1000 penduduk, dan hampir
50% dalam kondisi buruk karena sangat kurangnya pemeliharaan yang baik, terutama di jaringan jalan
kabupaten. Hal ini menambah kemacetan lalu lintas setiap tahun, sementara kapasitas jalan yang
ditambahkan sedikit. Pengeluaran pemerintah di subsektor ini terus menurun, dari 22% tahun 1993 ke 11%
dari anggaran pemerintah tahun 2000. Jika hal ini terus berlangsung, tidak mustahil kondisi jalan raya yang
buruk atau kurangnya sarana jalan raya bisa menjadi penghambat serius pertumbuhan investasi. Berbisnis di
Indones
transportasi produk dan jasa ke pasar maupun faktor-faktor produksi atau bahan baku ke pabrik-
an Be a Negara a: Listrielkom
Telekom Negara
Ti t elektri i (%)
Kualitas Listrik (sk 7)
Tran i & distr ang
Jaringtelepon r 1000 o g
Pemilik mobil hone
pe 0 or
Pemilik telep per 100 ng
ngkafikas ala 1-
smisibusi yputus
an peran
e pr 100
ang
on0 ora
Australia India Filipina Sri Lanka
Singapura KoMo
100 6,6
1
4,2 46 80 126
Thailand Indonesia China Vietnam Malaysia 96 5,7 8,0 19 38 57
rea ngolia
100 90
6,2 ...
5,2 ...
49 5
68 9
117 14
100 43 80 62 82 53 98 75
6,4 2,7 3,1 2,9 5,3 3,4 4,6 3,0
7,6 26,6 14,0 19,9 7,9
11,3 6,9 3,4
54 4 4 5
11 4
17 5
64 1
19 5
26 6
16 2
118 5
23 10 37 9
33 7
Sumber: World Bank (2004) (diambil dari berbagai sumber seperti: WEF dan International Telecommunications Union). Gambaran kinerja infrastruktur Indonesia secara ringkas dapat juga dilihat pada Tabel 6, di mana
berbagai indikator infrastruktur masih menempati peringkat bawah [World Bank, 2004]. Namun, ada suatu
penemuan menarik dari hasil survei yang dilakukan oleh JETRO terhadap perusahaan-perusahaan Jepang
mengenai problem utama dalam investasi di sejumlah negara di Asia, yakni Thailand (Th), Malaysia (M),
Singapura (S), Indonesia (ID), Filipina (F), Vietnam (V), dan India (In). Seperti yang dapat dilihat di Tabel
7, ternyata kondisi infrastruktur di Indonesia bukan merupakan penghambat utama bagi perusahaan-
Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id 7
perusahaan Jepang dalam melakukan investasi di Indonesia. Sebaliknya, di Vietnam, Filipina dan India,
permasalahan utamanya adalah kondisi infrastruktur yang buruk.
Tabel 5. Kinerja Infrastruktur di Indonesia d ega ya: Air, asi daAir & Sanitasi Jalan
an Beberapa N ra Lainn Sanit n Jalan Negara
% pop ses ke sanitasi yang baik
% popair ih
Jaringan jalan raya
1000 duk)
Jalan per jumlah h (km
p )
Fatal alan per 0
Fatalitas per 10 0
ke n
. ak . akses ke bers (km per
pendu
aspal tana
er sq ft
itas j100 00
orang 0 00
ndaraaAustralia India Filipina Sri Lanka
Singapura Korea Mongolia
100 63 30
100 0,8 306,6
1
... 17
3
12,2 ...
6,7 44,9
Thailand Indonesia China Vietnam Malaysia ... .... 2,9 2,7 25,9
100 28 83 94 96 55 38 47
100 84 86 77 84 78 75 77
92 60
1,9 20,5
3,8 ,1
42,8 3,3 2,6 5,3 1,1 1,7 1,1 1,2
0,7 0,9 0,8
10,4 0,4 0,8 0,2 0,4
0
9,5 6,4 0,9 1,4...
4,6 8,2 ...
13,1
1,6 77,2 2,9 0,6...
4,5 67,2
...
Sumber: W jumlah sumber seperti WDI d
orld Bank (2004) (diambil dari se an I rnational Ronte ad Federation)
Tabel 6: Kinerja Infrastruktur Indonesia Indikator Ind ia ones Perin gkat Regional
Tingkat elektrifikasi (%) 53 11 dari 12 Jaringan telepon (%) 4 12 dari 12 Pela 6 9 dan 12 Akses atas sistem sanitasi yang baik (%) 55 7 dari 11 Akses atas sistem air bers 7 dari 11 Jaringan jalan (Km per 1. dari
nggan seluler (%)
ih yang baik (%) 78 000 penduduk) 1,7 8 12
Sumber World Ba
7: Problem Utama d I as )
nk, 2004.
Tabel alam nvest i (%
Problem Th
M
S
ID
F
V
In
Kondisi infrastruktur buruk
gan Upah makin mahal Isu tenaga kerja/buruh (seperti demonstrasi), dll.
46,3 62,8 41,6 7,1
11,0 33,9 52,1 6,6
12,5 21,4 54,0 1,1
72,0 67,6 86,4 37,0
20,9 37,1 36,5 25,7
40,0 56,8 29,5 11,5
55,6 58,5 55,7 26,6
Kebijakan tidak jelas & tidak pasti Perpajakan sulit dan rumit Kesulitan & rumitnya soal pajak & prosedur perdagan
15,6 9,5
23,6 16,5
3,1 6,3
54,7 67,7
75,5 47,9
63,8 61,3
72,2 14,8
Sumber: Jetro (dikutip dari Kompas, 2006b). II.2.1 Jalan Raya
Jalan, khususnya jalan raya merupakan infrastruktur yang penting untuk memperlancar distribusi
barang dan faktor produksi antar daerah serta meningkatkan mobilitas penduduk. Dalam konteks
pembangunan pertanian dan ekonomi perdesaan secara umum, jaringan jalan sangat dibutuhkan untuk
kelancaran arus faktor produksi maupun pemasaran hasil.
Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id 8
Secara umum kondisi infrastruktur jalan di Indonesia adalah sebagai berikut (ISEI, 2005; Winoto,
2005). Pertama, pembangunan infrastruktur jalan di Indonesia masih sangat lambat dibandingkan dengan di
negara-negara tetangga lainnya. Pembangunan jalan tol di Indonesia telah dimulai sejak 26 tahun lalu,
namun total panjang jalan tol yang telah dibangun hingga saat ini hanya 570 kilometer (km). Padahal di
Malaysia - yang baru memulai pembangunan jalan tol 20 tahun lalu – total panjang jalan tol yang berhasil
dibangun sudah mencapai 1.230 km. Di China, panjang jalan tol mencapai lebih dari 100.000 km dan jalan
arteri sekitar 1,7 juta km dengan tingkat kepadatan jalan 1.384 km/1 juta penduduk. Sedangkan di
Indonesia tingkat kepadatan jalan hanya 126 km/1 juta penduduk. Rendahnya tingkat pembangunan jalan
tol di Indonesia terutama sejak krisis ekonomi pada tahun 1997 disebabkan antara lain oleh: (1) belum
adanya perencanaan sistem jaringan jalan tol yang dapat mendorong terjadinya kompetisi antar operator;
(2).belum adanya regulasi, tata cara dan aturan yang mengatur penyelenggaraan jalan tol oleh pihak swasta;
dan (3) selama ini belum ada prosedur pemilihan investor yang kompetitif, pengadaan lahan, cost sharing,
masa konsesi, dan dasa panjang jaringan jalan r pembagian pendapatan (Bappenas, 2005). Sementara itu,
non-tol di Indonesia capai 310.029 k l 8 pra gg un 20 njang telah men m (Tabe ). Sejak Pelita hin a tah 02, pa
jalan 50% dan to njang jalan. Sedangkan panjang jalan propinsi rata-kabupaten mencapai lebih dari tal pa
rata 1 tol, sisan n nas n jal a. 8,96% dari total panjang jalan non- ya merupakan jala ional da an kot
Tabel 8: Panjang Jarin lan ol) di sia us Jal
gan Ja (non-T IndoneStat an
PERIODE Nasional (Km)
Propinsi (Km)
Kabupaten (Km)
Kota (Km)
Total (Km)
PRA PELITA 8 Sampai dengan 196 9.780 21.116 48.717 2.314 81.927 PELITA I Tahun 1 969 s/d Tahun 1974 10.167 22.682 49.134 2.314 84.297 PELITA II Tahun 1974 s/d Tahun 1979 10.945 25.878 58.159 6.276 101.258 PELITA III Tahun 1979 s/d Tahun 1984 11.500 27.500 81.696 10.080 130.776 PELITA IV Tahun 1984 s/d Tahun 1989 12.594 33.398 113.631 11.080 170.703 PELITA V Tahun 1989 s/d Tahun 1994 17.800 32.250 168.600 25.514 244.164 PELITA VI Tahun 1994 s/d Tahun 1999 26.853 39.746 172.030 26.102 264.730
PROPENAS 2002 26.271 38.914 223.318 21.526 310.029 Sumber: Ditjen Praswil, 2002 (dikutip dari Siregar, 2005).
Kedua, penyebaran pembangunan jaringan jalan tidak merata, cenderung lebih terpusat di Sumatera dan
Jawa. Meskipun pembangunan jaringan jalan non-tol terus dilakukan,. namun selama ini pembangunan
tersebut lebih terfokus di Kawasan Barat Indonesia (KBI) khususnya di Sumatera dan Jawa. Hal ini terlihat
dari total panjang jalan yang dibangun di Sumatera dan Jawa mencapai lebih dari 60% dari total panjang
secara keseluruhan (Tabel 9). Selain rendahnya tingkat pembangunan jaringan jalan di Kawasan Timur
Indonesia (KTI), sistem jaringan jalan yang merupakan lintas utama di masing-masing pulau di KTI -
terutama Kalimantan dan Sulawesi belum terhubungkan. Jika hal ini terus berlanjut maka hal ini dapat
mengganggu kegiatan investasi di sektor ekonomi lainnya yang memerlukan dukungan jasa prasarana, yang
pada akhirnya dapat menghambat pertumbuhan ekonomi.
Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id 9
Ketiga, pemeliharaan infrastruktur jalan yang ada kurang baik. Selain masalah pembangunan jaringan
jalan, pemeliharan jaringan jalan yang sudah ada juga merupakan hal yang penting. Kurangnya
pemeliharaan mengakibatkan kondisi jalan mudah mengalami kerusakan. Pada tahun 2004, kondisi jalan
yang masih layak digunakan hanya 54% dari total jalan. Sisanya 28,1% dalam kondisi rusak berat dan
18,2% meng persentase alami rusak ringan. Jika dibandingkan dengan kondisi jalan kabupaten dan propinsi,
kondisi jalan nasi layak digu lati aik aten 35% jalan dalam kondisi rusak onal yang nakan re f lebih b . Di kabup
berat (Tabel 10). Gambar 8, 9 dan 10 me jalan di Indonesia di tingkat nasional, provinsi nunjukkan kondisi
dan kabupaten untuk periode 1997-2003.
Tabel 9: Panjang Jaringa n Menurut Wilayah di Indonesia, 2000 (km) Jalan l
n JalaStatus TotaWilayah Nasional Propinsi Kabupaten Kota Km %
Sumatera 7.622 14.654 75.470 7.106 104.852 33,8 Jawa 4.373 8.498 60.445 9.714 83.030 26,8 Kalimantan 4.804 3.557 20.560 1.307 30.228 9,8 Ball & Nusa Tenggara 2.069 4.724 20.507 1.020 28.320 9,1 Sulawesi 5.235 4.631 32.028 2.019 43.913 14,2 Maluku & Papua 2.167 2.848 14.308 360 19.683 6,3 Total 26.270 38.912 223.318 21.526 310.026 100
Sumber: S ari Ditjen Praswiregar (2005) (data d il, 2000)
Tabel 10. Kondis gan Jalan di Indonesia, 2002-2004 Kond (%)
i Jarinisi Jalan
Jenis Jalan P Ru Ruanjang (km) Baik Sedang Ringan Berat
sak sak
Jalan 37,4 44,0 7,7 10,9 Nasional 34.629 Jalan Propinsi 46.499 27,5 35,3 14,4 22,7 Jalan Kabupaten 250.946 17,0 26,4 21,9 34,7 Jalan Kota 25.518 9,0 87,0 4,0 0,0 Jalan Tol 606 100,0 0,0 0,0 0,0 Total 348.148 20,0 33,7 18,2 28,1
Keterangan: data Jalan Nasional & Propinsi berdasarkan hasil survei IRMS 2003, diramalkan ke 2004. Data Jalan Kab/Kota bsrdasarkan hasil survei IRMS 2003.
Sumber: Bappenas (2005) (data dari hasil survei IRMS dari Ditjen Praswil, 2004).
Menurunnya kondisi jalan yang terjadi sekarang ini sebabkan antara lain oleh belum optimalnya kualitas
konstruksi jalan, pembebanan berlebih, bencana alam seperti longsor, banjir, dan gempa bumi, serta
menurunnya kemampuan pembiayaan pembangunan dan pemeliharaan jalan oleh pemerintah setelah masa
krisis (Winoto, 2005).
Cara paling sederhana untuk mengukur tingkat kemajuan dalam pembangunan jalan dapat dilihat dari
proporsi dari jumlah panjang jalan yang ada yang sudah diaspal, terutama di perdesaan. Di desa-desa yang
pembangunan infrastrukturnya sudah maju, jalan yang sudah diaspal lebih panjang dari desa-desa yang
masih terbelakang. Di Gambar 11 dapat dilihat bahwa walaupun ada peningkatan sejak dekade 70-an,
besarnya jalan yang diaspal di Indonesia masih belum mencapai 60% dari jumlah panjang jalan yang ada.
Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id
Salah satu langkah yang harus diambil segera dalam perbaikan kondisi jalan di dalam negeri tentu adalah
mengaspal sem ngga jalan-jalan kecil di ua jalan yang belum diaspal, tidak hanya jalan nasional tetapi juga hi
antara peruma krusial bagi kelancaran han penduduk di perdesaan. Karena jalan-jalan kecil tersebut sangat
kegiatan ekonomi rakyat di perdesaan.
Gambar 8: Kondisi jalan nasional 1997-2003
10
Keterangan: I =.baik; II = sedang; III = rusak ringan; IV = rusak berat
IV III II
I
31.7 24.3
70.5 67.9 64.07
42.8 52.5
2928.7
17 21.6 25.4 16.2 16.4 15.7 8.8 2.4 5.3 5.85 9.3 6.8 4.8 5.1 10.1 5.2 4.68
0%
20%
60%
80%
100%
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003
50.5 57.4
40%
Sumber: Bappenas (2005). Gambar 9: Kondisi jalan provinsi 1997-2003
23.915.3
30.3 34.9 34.3 33.1 32
36.645.6
30.132.4 30.3 32.4 33.8
19.3 23.7 22.717.5
14.5 18.7 17.3
20.2 15.5 16.9 15.2 21 15.8 16.9
0%
10%
20%
30%
40%
60%
70%
80%
90%
100%
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003
50%
Keterangan dan sumber: lihat Gambar 8
Gambar 10: Kondisi jalan kabupaten 1998-2003
Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id
23 20 22 21 19 20
3635 34 34 34 32
26 30 28 29 28 31
15 15 16 17 19 16
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
1998 1999 2000 2001 2002 2003
Keterangan dan sumber: lihat Gambar 8
Gambar 11: Persentase dari Jumlah Panjang Jalan yang diaspal di Indonesia
11
Sumber: BPS
II.2.2 Kereta Api Perkembangan perkeretaapian masih terbatas. Sampai saat
50
0
10
20
30
40
1977 1979 1981 1983 1985 1987 1989 1991 1993 1995 1997 1999 2001
60
70 %
ini, perkeretaapian hanya berkembang di
Jawa dan sebagian kecil wilayah di Sumatera, serta kontribusi berdasarkan pangsa angkutan yang
dihasilkan secara nasional masih sangat rendah dibandingkan moda angkutan lain, baik di Jawa, Sumatera
dan di wilayah perkotaan seperti di Jabotabek (Bappenas, 2005). Demikian juga pangsa pasar angkutan
penumpang kereta api nasional masih rendah dibandingkan angkutan lain. Pangsa pasar angkutan
penumpang kereta api nasional saat ini baru mencapai 7,3% dari seluruh pangsa angkutan penumpang di
Indonesia (tahun 2000, produksi angkutan kereta api adalah 187,4 juta penumpang, dimana 118 juta
diantaranya adalah angkutan penumpang di wilayah Jabodetabek); dan pangsa angkutan barang adalah
22,7 juta ton atau hanya 0,6% total pangsa angkutan barang di Indonesia. Di sisi lain kapasitas dan daya
Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id 12
dukung serta kondisi prasarana dan sarana semakin menurun akibat terjadi "backlog" dalam hal
pemeliharaan prasarana dan sarana kereta api (Bappenas, 2005).
Peran pemerintah masih sangat dominan dalam pengembangan kereta api nasional, baik dalam aspek
pendanaan dan investasi, regulasi, serta pengembangannya. Dengan keterbatasan pendanaan, SDM dan
kelembagaan di bidang perkeretaapian, kondisi fisik prasarana dan sarana kereta api saat ini masih banyak
mengalami backlog pemeuharaan yang berlangsung secara terus menerus, baik karena perencanaan,
pengoperasian dan dukungan pendanaan yang masih terbatas. Di masa mendatang, diperlukan redefinisi
tentang sistem pelayanan publik, peran pemerintah sebagai regulator, peran pemilik, dan operator di
bidang perkeretaapian (Bappenas 2005).
Kondisi prasarana (rel, jembatan KA dan sistem persinyalan dan telekomunikasi KA) yang telah
melampui batas umur teknis, serta banyak terjadi backlog pemeliharaan prasarana. Rintangan-rintangan
yang terjadi di beberapa lintas utama akibat tidak seimbangnya penambahan kapasitas lintas terhadap
peningkatan frekwensi pelayanan KA; sumber pendanaan pemerintah untuk pemeliharaan dan investasi
prasarana masih terbatas, sedangkan peran serta swasta juga belum berkembang..
II.2.3 Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan (ASDP)
Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan (ASDP) di Indonesia didefinisikan sebagai jembatan
"mengapung" yang berfungsi menghubungkan jaringan transportasi darat yang terputus; kegiatan angkutan
feri unyai rute tetap dan jadwal yang mengangkut penumpang dan kargo melalui sungai dan perairan; memp
reguler serta bangunan kapal feri yang berbentuk khusus (ISEI, 2005). Pembangunan ASDP diperlukan
untuk mengakomodasi peningkatan kebutuhan mobilitas penduduk melalui jaringan transportasi darat yang
terputus di perairan antar pulau, sepanjang daerah aliran sungai dan danau, serta berfungsi melayani
transportasi yang menjangkau daerah terpencil dan daerah pedalaman (Bappenas 2005). Saat ini kondisi
infrastruktur ASDP di Indonesia adalah sebagai berikut (ISEI, 2005):
(1) Sarana dan prasarana penyeberangan masih terbatas. Kondisi geografis Indonesia yang terdiri dari
17.000 pulau sangat membutuhkan pembangungan ASDP. Namun, hingga saat ini, dari 172 lintas
penyeberangan yang ditetapkan oleh Departemen Perhubungan, hanya 130 lintas yang sudah
beroperasi. Selain lintas penyebrangan, sarana lain yang seperti kapal penyebrangan juga mengalami
keterbatasan. Hingga saat ini hanya tersedia 195 unit kapal penyeberangan. Dari jumlah tersebut, 47 %
kapal penyebrangan adalah milik BUMN, 2% KSO dan 51% milik swasta.
(2) Peran pemerintah pusat masih dominan dalam infrastruktur ASDP. Berbagai kendala dan keterbatasan
dalam infrastruktur ASDP ini salah satunya disebabkan karena selama ini pembiayaan pembangunan
ASP masih di dominasi oleh pemerintah pusat. Sedangkan peran BUMN (PT ASDP) masih terbatas
Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id 13
dalam penyelenggaraan (operator) prasarana dan sarana ASDP, terutama dalam pengoperasian kapal
perintis dan penggusahaan beberapa lintas/dermaga penyeberangan
II.2.4 Transportasi Laut
Transportasi laut mempunyai peranan yang sangat penting pada perekonomian Indonesia, khususnya
dalam kegiatan ekspor-impor dan pergerakan arus barang antar daerah. Pada tahun 2002 lebih dan 99%
kegiatan ekspor-impor sebesar 296 juta ton dan 95% dan ekspor-impor tersebut senilai US $ 88,4 miliar
diangk EI, 2005). Namun demikian, dalam melaksanakan ut dengan menggunakan transportasi laut (IS
fungsinya berkaitan dengan kegiatan ekspor impor, transportasi laut menghadapi beberapa kendala dan
masalah, antara lain (ISEI, 2005) :
(1) Terpuruknya peran armada pelayaran nasional. Permasalahan laut yang paling menonjol adalah
terpuruknya peran armada pelayaran nasional dalam mengangkut muatan dan belum diberlakukan
sepenuhnya azas Cabotage. Rata-rata pangsa pasar armada nasional pada angkutan dalam negeri dan
ekspor-impor antara tahun 1996-2003 masing-masing hanya 51,4% dan 3,6% (Bappenas 2005).
(2) Kurangnya fasilitas prasarana di pelabuhan. Selain masalah di atas, kurangnya fasilitas dan
prasarana di pelabuhan menambah beban bagi pengguna jasa yang pada akhirnya menambah biaya
bagi masyarakat secara umum. Hingga tahun 2002 hanya 10 yang memiliki BOR (berth occupancy
ratio) di atas 70% dari 23 pelabuhan strategis.
(3) Kontroversi tentang kewenangan atas pengelolaan pelabuhan antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah. Masalah lain dalam infrastruktur transportasi laut adalah berkaitan dengan
kewenangan pengelolaan pelabuhan antara pemerintah pusat dan daerah khususnya pemerintah
kabupaten dan kota. Hal ini menyebabkan pihak swasta kurang tertarik berinvestasi di pelabuhan.
II.2.5 Transportasi Udara
Kondisi infrastruktur transportasi udara di Indonesia ditandai dengan banyaknya fasilitas yang sudah
tidak memenuhi persyaratan sesuai dengan operasi pesawat yang aman seperti lebar landasan dan bahu
landasan serta peralatan keselamatan penerbangan seperti kendaraan PK-PPK (Penolong Kecelakaan
Penerbangan dan Pemadam Kebakaran) (Bappenas 2005).
II.2.6 Sumberdaya Air, Irigasi, dan Sarana serta Prasarana Sanitasi, Persampahan dan Drainase
Pembangunan di bidang sumberdaya air pada dasarnya adalah upaya untuk memberikan akses secara
adil kepada seluruh masyarakat untuk mendapatkan air bersih agar mampu berperikehidupan yang sehat,
bersih, dan produktif. Pembangunan di bidang sumberdaya air ditujukan untuk mengendalikan daya rusak
Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id 14
air a an jaringan irigasi merupakan prasarana gar tercipta kehidupan masyarakat yang aman. Sedangk
penting dalam mendukung pembangunan pertanian untuk mencapai ketahanan pangan (Bappenas, 2005).
Dalam pembangunan infrastruktur sumberdaya air, irigasi dan sanitasi, Indonesia dihadapkan pada
bebe a lain (ISEI, 2005): rapa kendala dan permasalahan, antar
Air Minum
(1) Sumber air yang ada tidak bisa memenuhi standar kesehatan. Di beberapa daerah, kualitas air minum
yang tersedia tidak dapat langsung dikonsumsi, tetapi memerlukan pengolahan. Hal ini juga
menyebabkan masyarakat lebih memilih untuk mengkonsumsi air minum kemasan atau air minum "isi
ulang". Hal ini dirasakan tidak cukup rasional karena untuk kebutuhan dasar seperti air minum bersih,
masyarakat harus mengeluarkan biaya yang cukup mahal.
(2) Debit air terus mengalami penurunan terutama di daerah perkotaan di Jawa. Pulau Jawa dengan jumlah
penduduk yang mencapai 65% dari total penduduk Indonesia hanya memiliki potensi air tawar sekitar
4,5% dari potensi air tawar nasional.
(3) Kecilnya catchment area khususnya di beberapa daerah perkotaan. Berkembangnya daerah
permukiman dan industri telah menurunkan area resapan air dan mengancam kapasitas lingkungan
dalam menyediakan air. Di sisi lain, kapasitas infrastruktur penampung air seperti waduk dan
bendungan makin menurun sebagai akibat meningkatnya sedimentasi.
(4) Rendahnya akses terhadap air minum/air bersih. Meskipun infrastruktur air minum merupakan hal yang
penting bagi masyarakat, namun hingga saat ini akses terhadap air minum khususnya air minum
perpipaan masih sangat rendah. Pada tahun 1992 jumlah penduduk total (perkotaan dan perdesaan)
yang mendapatkan pelayanan air minum perpipaan hanya sebesar 14,7%, pada tahun 1997 meningkat
sedikit menjadi 19,2%, dan pada tahun 2002 turun menjadi 18,3%. Pada kawasan perdesaan, tingkat
pelayanan air minum perpipaan pada tahun 1992 hanya sebesar 5,5% berubah menjadi 7,0% pada tahun
1997, dan turun menjadi 6,2% pada tahun 2002, sedangkan pada kawasan perkotaan tingkat pelayanan
air minum perpipaan pada tahun 1992 hanya sebesar 35,3%, pada tahun 1997 berubah menjadi 39,9%,
dan pada tahun 2002 turun menjadi hanya 33,3%. Pelayanan air minum perpipaan di kawasan
perkotaan pada umumnya dilakukan oleh BUMD yaitu Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM),
sedangkan di kawasan perdesaan pada umumnya dilakukan oleh kelompok swadaya masyarakat
setempat dan atau BUMDes (Badan Usaha Milik Desa) (lihat Tabel 11 s/d Tabel 13).
(5) Pengendalian terhadap perusahaan air minum. Hal ini terlihat dari masih tingginya kebocoran yang
disebabkan oleh kebocoran teknis (misalnya rusaknya meteran air dan pipa bocor) dan non teknis
(saluran ilegal dan adanya permainan dalam administrasi) yang berkisar antara 30%-40% (masih jauh
Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id
di atas ambang batas normal 20%).
(6) Penentuan harga sehingga tidak menutupi biaya. Hingga saat ini tarif dasar sebagian besar PDAM
masih dibawah biaya produksi air minum, sehingga secara akuntansi sebagian besar PDAM saat ini
beroperasi dengan kondisi rugi. Tarif rata-rata saat ini untuk semua PDAM sebesar Rp. 430,00 per m3
sedangkan biaya produksi air m 3inum rata-rata sebesar Rp. 1.100,00 - Rp. 1.700,00 per m . Biaya
produksi air minum akan terus meningkat seiring dengan semakin memburuknya kualitas dan kuantitas
air baku akibat tingginya laju penurunan kualitas lingkungan.
Irigasi
Irigasi sangat penting bagi pembangunan sektor pertanian di Indonesia. Dilihat dari persentase luasnya
terhadap luas lahan pertanian, irigasi teknis di Indonesia masih lemah dibandingkan di sejumlah negara
lainnya di Asia (Gambar 12). Sedangkan di dalam negeri, pembangunan irigasi selama ini tidak merata
antar propinsi; lebih banyak di IKB dibandingkan di IKT (Tabel 11)
Gambar 12: Lahan Irigasi Teknis sebagai persentase dari luas lahan pertanian di Beberapa
Negara Asia
Sumber: FAO database
Berdasarkan fungsinya, irigasi dikelompokkan menjadi irigasi primer, irigasi sekunder dan irigasi
tersier. Jaringan irigasi primer dan jaringan irigasi sekunder adalah jaringan irigasi yang terdiri dan
bangunan utama, saluaran induk/primer, saluran sekunder, dan saluran pembuangannya, bangunan-bagi,
bangunan-sadap, serta bangunan pelengkapnya. Jarin
05
1961
1963
1965
1967
1969
1971
1973
1975
1977
1979
1981
1983
1985
1987
1989
1991
1993
1995
1997
1999
2001
101520253035404550
%
Viet IND China India Thailand
gan irigasi tersier merupakan jaringan irigasi yang
berfungsi prasaran pelayanan air irigasi dalam petak tersier yang terdiri dari saluran-saluran tersier, saluran
kuarter, dan saluran pembuang, boks tersier, boks kuarter, dan bangunan pelengkapnya.
15
Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id 16
Dalam UU No.7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Alam, pengembangan sistem irigasi primer dan
sekunder menjadi wewenang dan tanggungjawab pemerintah pusat dan pemerintah daerah dengan
pembagian kewenangan sebagai berikut: (1) Pengembangan sistem irigasi primer dan sekunder yang lintas
propinsi menjadi wewenang dan tanggungjawab pemerintah pusat; (2) Pengembangan sistem irigasi primer
dan sekunder yang lintas kabupaten/kota menjadi wewenang pemerintah propinsi; (3) Pengembangan
sistem irigasi primer dan sekunder dalam satu kabupaten/kota menjadi wewenang dan tanggungjawab
pemerintah kabupaten/kota yang bersangkutan. S pengembangan sistem irigasi tersier menjadi hak edangkan
dan tanggun r. gjawab perkumpulan petani pemakai ai
Adapun permasalahan yang dihadapi berkaitan dengan infrastruktur irigasi adalah sebagai berikut (ISEI,
2005):
Kadin Indon ro, 2006 www.kadin-indonesia.or.idesia-Jet 17
Tabel 11: Hasil Pembangunan Irigasi di Indonesia menurut Wilayah (ha)
Akhir Repelita
Wilayah
I II III IV V VI
1999/2000
657,353 134,806 442,128
1,031,195 178,539 573,714
1,299,473 208,264 622,200
1,334,355 193,416 698,680
146,770 32,485 80,348
Sumatera Kalimantan Sulawesi Indo innesia Timar la nya Luar Jawa & Bali Jawa + Bali Kaw (KBasan Barat I) Kaw r (KTasan Timu I) % ir BI igasi di K% ir TI igasi di K Indonesia
548,3646,233
415,42154,87
1,164,82,942,3
1
8 4
96 49
3,490,710 616,535
84,99 15,01
4,107,245
164,006
1,398,293 2,599,910
3,257,263 740,940
81,47 18,53
3,998,203
220,075
2,003,523 2,604,018
3,635,213 972,328
78,90 21,10
4,607,541
253,
2,382,62
3,921,08
7821
5,01
933
3,870 7,841
7,314 4,397 ,36 ,64
1,711
,741
337,344 8,656
155,426 190,574
44,92 55,08
346,000
315,033
2,541,484 2,682,901
4,017,256 1,207,129
76,89 23,11
5,224,385
77
4211
81
3,452 0,317 3,605 1,359
8,193
05,664
149,116 44,741
76,92 23,08
193,857
Sum nas (2001),ber: Bappe dikutip dari Winoto (2005)
Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id 18
1) Pembangunan irigasi di Indonesia masih terkonsentrasi di KBI. Pembangunan irigasi selama ini masih
terkonsentrasi di Pulau Jawa dan Bali. Pada akhir Repelita I pembangunan irigasi di KTI hanya 15%
dari total jaringan irigasi di Indonesia, sedangkan pembangunan di Jawa dan Bali mencapai 72%. Baru
pada akhir Repelita VI, persentase pembangunan irigasi di KTI meningkat menjadi 55% dari total
pembangunan irigasi di Indonesia namun kembali menurun menjadi 23% dari total pembangunan
irigasi pada tahun anggaran 1999/2000.
2) Fungsi irigasi telah mengalami penurunan. Hal ini disebabkan terjadinya konversi lahan pertanian
menjadi lahan industri terutama di pulau Jawa dan Sumatera sehingga jumlah sawah yang akan di airi
menurun drastis.
Sanitasi dan Sewerage Layanan sanitasi di Indonesia masih sangat rendah. Layanan terhadap sarana dan prasarana sanitasi
baru dirasakan oleh 1,3% dari penduduk. Kurangnya sistem pembuangan tinja serta fasilitas limbah padat
telah menyebabkan pencemaran luas pada air permukaan dan air tanah, serta perusakan ekosistem yang
rentan. Selama musim kemarau, 10% aliran sungai Brantas terdiri dari limbah industri yang tidak diproses.
Sekitar separuh dari limbah padat Surabaya dan sebagian besar tinja di buang ke sungai itu (World Bank,
2004).
Belum diolahnya air limbah secara baik. Tingkat pelayanan air limbah selama 10 tahun terakhir (1992-
2002) cukup baik yaitu tumbuh rata-rata sebesar 8,6% per tahun. Jumlah penduduk total (perkotaan dan
perdesaan) pada tahun 1992 yang mendapatkan pelayanan dasar air limbah sebesar 30,9 %, pada tahun
1997 bertambah menjadi 59,3%, dan pada tahun 2002 meningkat menjadi 63,5%. Tingkat layanan air
limbah di pedesaan dan perkotaan menunjukkan peningkatan yang signifikan dari tahun 1992 hingga 2002.
Khusus di perkotaan, tingkat layanan air limbah telah mencapai 77,5% pada tahun 2002, sedangkan di
pedesaan hanya mencapai 52,2% (ISEI, 2005). Namun demikian, hasil tersebut tidak diikuti dengan
peningkatan dalam pengolahan lebih lanjut terhadap air limbah domestik dari tangki septik dan jamban.
Hal ini dapat dilihat dari rendahnya pemanfaatan Instalasi Pengolah Limbah Tinja (IPLT) yang telah
dibangun untuk mengolah air limbah domestik tersebut yaitu lebih kecil dari dari 30% serta masih
tingginya pemanfaatan sungai sebagai tempat pembuangan air limbah domestik tersebut (Bappenas 2005).
sarana prasarana sistem pembuangan air limbah dan pertumbuhan Kesenjangan antara penyediaan
penduduk. Meskipun tingkat layanan air limbah diperkotaan telah mencapai 77,5%, namun persentase
masyarakat di kawasan perkotaan yang mendapatkan pelayanan sistem pembuangan air limbah (sewerage
system) mengalami penurunan (ISEI, 2005).
Persampahan dan Drainase
Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id
Penanganan sampah dan drainase secara baik dan berwawasan lingkungan mengalami stagnasi. Hal ini
ditunjukkan oleh cakupan pelayanan persampahan di kawasan perkotaan selama 10 tahun (1992-2002)
yang hanya mampu melayani sebanyak 18,15 juta jiwa, sedangkan cakupan pelayanan drainase hanya
mampu melayani 2,51 juta jiwa (Bappenas, 2005).
umah Meningkatnya pencemaran lingkungan akibat sampah dibuang ke sungai atau dibakar. Sampah r
tangga yang dibuang ke sungai diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan semakin sulitnya
mendapatkan lahan untuk dimanfaatkan sebagai tempat pembuangan akhir (TPA). Di kawasan perkotaan,
laju penanganan sampah jauh lebih rendah dari laju pertumbuhan penduduk. Laju pertumbuhan anggaran
untuk penanganan sampah hanya berkisar 1-2% per tahun, sedangkan laju pertumbuhan penduduk di
perkotaan mencapai rata- rata 4,6% per tahun sehingga terjadi kekurangan cakupan pelayanan (Bappenas,
2005).
Menurunnya kuantitas manajemen Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Berubahnya sistem pengelolaan
TPA enjadi open dumping mencerminkan yang didesain sebagai sanitary landfill dan/atau control landfill m
penurunan kinerja tersebut. Kualitas lingkungan perkotaan semakin buruk akibat merebaknya pencemaran
udara akibat sampah yang terbakar sehingga tidak terkendalinya gas methane dan proses pembusukan
sampah, rusaknya kualitas air tanah dangkal dan air permukaan akibat meresapnya air limbah yang tidak
terkendali, serta merebaknya gas dioxin yang karsinogenik (ISEI, 2005).
II.2.7 Kelistrikan
Tenaga listrik sebagai salah satu bentuk energi final memegang peranan yang sangat penting untuk
mendorong berbagai aktifitas ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Disisi lain,
pembangunan sarana dan prasarana tenaga listrik memerlukan investasi yang sangat tinggi, mengingat
investasi pada bidang ini bersifat padat modal, teknologi dengan resiko investasi tinggi serta memerlukan
persiapan dan konstruksi yang lama.
Adapun kondisi infrastruktur kelistrikan di Indonesia saat ini adalah sebagai berikut (ISEI, 2005;
Bappenas, 2005):
1) Pelaksana penyediaan layanan kelistrikan khususnya hidroelektrik selama ini dimonopoli oleh PLN.
Meskipun telah beroperasi penyelenggara listrik swasta, namun hingga saat ini penyelenggara listrik
swasta tersebut tidak diperkenankan menjual listriknya langsung kepada masyarakat tetapi harus
melalui PLN. Di beberapa daerah khususnya di kawasan pantai utara pulau Jawa, banyak industri yang
menjalankan kegiatan operasionalnya dengan menggunakan listrik yang dihasilkan oleh generator
sendiri (self generated supply).
19
Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id
2) Dalam kurun waktu 1969-1993 kapasitas pembangkit tenaga listrik nasional meningkat tajam dan 542
MW menjadi 13.569 MW atau meningkat lebih dari 24 kali lipat. Investasi dalam pembangunan
fasilitas ketenagalistrikan khususnya tahun 1993 hingga 1996 meliputi pembangunan pembangkit
dengan kapasitas sebesar 7.996 MW, jaringan transmisi sepanjang 6.350 km, gardu induk dengan
kapasitas 16.816 MVA, serta berbagai jaringan tegangan listrik lainnya. Pembangunan infrastruktur
tersebut telah mampu mengimbangi kebutuhan tenaga listrik yang mencapai pertumbuhan rata-rata 13%
per tahun.
3) Tingkat elektrifikasi nasional di Indonesia telah mencapai 57%, namun masih berada di bawah rata-rata
dunia sebesar 74%. Namun pelaksanaan pembangunan jaringan kelistrikan di Indonesia masih belum
merata. Pembangunan jaringan listrik lebih banyak dilakukan di wilayah Jawa-Madura-Bali. Pada tahun
2003, sekitar 80% dari total pelanggan PLN berada di pulau Jawa dan Bali. Lebih dari 96% desa di
Jawa dan Bali telah mendapatkan penerangan lisrik, sedangkan di luar Jawa baru mencapai 70%.
4) Saat ini Indonesia mengalami kekurangan pasokan listrik. Pembangunan sarana dan prasarana tenaga
listrik memertukan investasi yang sangat tinggi, mengingat investasi pada bidang ini bersifat padat
modal, teknologi dengan resiko investasi tinggi serta memerlukan persiapan dan konstruksi yang lama.
Sejak tahun 1997 hingga 2004 relatif tidak ada penambahan kapasitas baik pada sistem Jamali (Jawa-
Madura-Bali) maupun sistem luar Jamali. Hal tersebut mengakibatkan cadangan listrik yang lebih
rendah dari yang seharusnya dimiliki (25%). Pada sistem Jamali, walaupun kapasitas terpasang lebih
tinggi dari kebutuhannya, namun kemampuannya sangat terbatas, sedangkan di luar Jawa, khususnya
Sumatera dan Kalimantan, sudah mengalami kekurangan pasokan.
Akibat kurangnya pasokan listrik dan mahalnya biaya investasi listrik, mengakibatkan sekitar 90 juta
oran apat sambungan listrik yang berasal dari PLN. Dari jumlah g atau 43% dari total penduduk belum mend
tersebut 90% merup ian besar di luar akan masyarakat miskin. Selain itu lebih dari 6000 desa dan sebag
wilaya dan Bali belum m ero mbun istrik.h Jawa emp leh sa gan l
II.2 un..8 Telekom ikasi Sektor telekom e ela l a a k un unikasi m mang t h menga ami pemb ngunan y ng cukup pesat seja awal tah
1980-an. Namun d , m luas ml las sia angat besar, kekurangan emikian elihat dan ju ah popu i Indone yang s
fasilitas telekom a u d r m isi unikasi m sih sangat terasa, kh susnya di luar Jawa an di dae ah pedala an. Kond
di Indonesia saat ini adalah sebagai berikut (ISEI, 2005): infrastruktur telekomunikasi
1) Pertumbuhan pembangunan infrastruktur telekomunikasi dan informasi di Indonesia masih berjalan
lambat. Ketersediaan infrastruktur telekomunikasi dalam lima tahun terakhir (1999-2003) hanya
20
Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id
mengalami pertumbuhan sebesar 16,18%, yaitu dan 8,36 juta sambungan telepon tetap menjadi 10,15
juta sambungan telpon tetap. Sedangkan bisnis seluler terus berkembang dengan pertumbuhan rata-rata
77% per tahun sejak tahun 1995.
2) Ketersediaan infrastruktur telekomunikasi selama lima tahun terakhir (1999-2003) mengalami
pertumbuhan sebesar 16,18%, yang terdiri dan penambahan 1,79 juta satuan sambungan (ss) telepon
tetap, dari 8,36 juta ss m pelanggan telepon bergerak, enjadi 10,15 juta ss, dan penambahan 16,43 juta
da a jadi 18,65 ri 2,22 juta or ng men juta.
3 Pe ja ktu komu terp h all. ) mbangunan ringan infrastru r tele nikasi masih usat di KBI, k ususnya Jawa dan B
Jangkauan infrastruktur informasi sang dan le te dan masih at terbatas bih banyak rkonsentrasi di KBI
wilayah perkotaan. Sampai dengan tahun 2003, sebagian besar (86%) dari infrastruktur yang ada
terdapat di Sum dan (Tabe ngan de hanya r atera, Jawa Bali l 12). De mikian, 14% dari infrastruktu
terdapat di KTI.
4) Selain kesenjangan antara KBI dan KTI, kesenjangan pembangunan infrastruk tur telekomunikasi juga
terjadi antara wilayah perkotaan dan pedesaan. Meskipun teledensitas antar regional cenderung merata,
nam dan pedesaan menunjukkan kesenjangan yang tinggi. un teledensitas antara wilayah perkotaan
Teledensitas wilayah pedesaan baru mencapai 0,2%. Hal ini berbeda jauh dengan wilayah Jabotabek
dan perkotaan lainnya yang masing-masing mencapai 35% dan 11-25%. Saat ini sekitar 64% dari total
desa (atau sekitar 43 ribu desa) tidak memiliki fasilitas telekomunikasi.
5) Duopoli penyelenggaraan telekomunikasi. Saat ini telah ada Undang-undang telekomunikasi yang
menterminasi dini hak eksklusivitas PT. Telkom sebagai penyelenggara telekomunikasi sambungan
lokal dan SLJJ, serta PT. Indosat sebagai penyelenggara SLI dan menetapkan kebijakan duopoli yang
mereposisi PT. Telkom dan PT. Indosat sebagai full network and service provider dalam
penyelenggaraan telekomunikasi sambungan tetap. Namun demikian, pelaksanaan duopoli tersebut
belum berjalan efektif. Sejauh ini belum terdapat penambahan sambungan baru yang berarti,
penambahan layanan dan pilihan bagi masyarakat, serta persaingan harga.
6) Perkembangan teknologi internet meningkat pesat. Dalam kurun waktu 1999-2003 terjadi
perkembangan pesat dalam teknologi internet baik pengguna maupun penyelenggara layanan internet
(ISP). Pembangunan teknologi informasi secara luas baru dimulai sejak tahun 1994. Pelanggan internet
dalam lima tahun terakhir menunjukkan peningkatan drastis mencapai lebih dan 238%, yaitu dari 256
ribu orang menjadi 865 ribu. Sedangkan pengguna internet meningkat sekitar 700%, yaitu dari 1 juta
orang menjadi 8 juta orang. Namun demikian, internet belum menjadi pilihan utama masyarakat dalam
berkomunikasi dan memperoleh informasi.
Tabel 12:. Penyebaran dan Pembangunan Sentra Telepon Tetap Region 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003
21
Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id 22
.875 1.239.409 Regional I 598.651 701.479 770.857 835.167 897.323 1.007.468 1.115Regional II 1.635.545 1.903.581 2.079.452 2.208.436 2.412.221 2.632.521 2.824.556 3.036.372 Regional II! 400.939 504.984 567.358 621.134 639.913 645.479 672.597 733.462 Regional IV 339.047 395.73 475.41 531.593 579.647 618.101 646.701 668.261 Regional V 667.2 842.447 935.372 1.048.556 1.198.142 1.317.384 1.427.660 1.594.827 Regional VI 172.824 218.638 254.315 279.958 302.948 320.338 34 5.979 2.336 42Regional VII
371.824 415.607 488.88 555.349 632.411 677.649 720.31 780.805
TOTAL 4.186.030 4.982.466 5.571.644 6.080.193 6.662.605 7.218.940 7.7 50.035 8.479.115
S , Bappenas, 2005. umber: RPJM
II.2.9 Energi Indonesia memiliki potensi sumber energi yang cukup banyak (Tabel 13), namu energi n penggunaan
s sih bertumpu pada penggunaan energi tidak terbarukan seperti mi bumi, padahal elama ini ma nyak
cadangan minyak bumi mulai menipis. Untuk mengata asalah ini, perlu dimulai secara bertahap si m
p as alam, tenaga air, dan panas bumi, serta energi alternatif emanfaatan energi alternatif seperti batubara, g
lainnya. Untuk ini, diperlukan pembangunan infrastruktur untuk keperluan mulai dari eksplorasi hingga
distribusi ke pemakai-pemakai akhir seperti industri dan m akat (Winoto, 2005). asyar
Tabel 13: Potensi Sumberdaya Energi Primer No Sumber energi Potensi Potensi
dunia Cadanga kti n terbu Produksi/tahun Ket n eranga
1 2 3 4 5
Minyak bumi s bumi Ga
Batubara Tenaga air Panas bumi
321 miliar barrel 507 TSFC 50 miliar ton 75 ribu MW 27 ribu MW
1,2% 3,3% 3,0% 0,02% 40%
5 miliar b90 TSFC
arrel
5 miliar ton 75ribu MW 2305 MW
500 juta barrel 3 TSCF
100 juta ton 4200 MW 807 MW
Hab m 10 tahun, eksHab m 30 tahun, eksHab m 50 tahun, eksSulit untuk pengembangan skala besar, domestik. Sebagai energi terbarukan, dapat dikonsumsikan dalam
panjang
is dalapor is dala
por is dala
por
jangka waktu yang cukup
Sumber: Bapp 5). enas (200
II.3 Rendahnya Tingkat Cost Recovery Rendahnya tingkat cost recovery dari sektor infrastruktur m minkan banyak hal, yakni buruknya encer
kinerja riil dari sektor tersebut sehingga perlu waktu sangat lama k menghasilkan profit, dan buruknya untu
m n serta rendahnya efisiensi dalam pengem an sektor tersebut (ISEI, 2005). Di satu sisi, biaya anajeme bang
produksinya sangat tinggi, sedangkan di sisi lain, penerapan tarif pada infrastruktur yang bersifat cost
recover cost recovery atau b even poi a menjadi suatu faktor y terlalu rendah. Rendahnya tingkat reak nt bis
d gi investor, khususnya dari pihak sw Semakin rendah perkiraan profit yang akan didapat isincentive ba asta.
Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id
dari suatu kegiatan ekonomi, semakin kecil keingi vestor u menanam dalnya di sektor nan in ntuk mo dalam
tersebut.
II.4 Ketimpangan Pembangunan Infrastruktur a Wilayahntar
Pembangunan infrastruktur selama ini cenderung ditekankan pada pengembangan infrastruktur
perkotaan dan pengembangan kawasan Barat Indonesia. Hal ini bukan hanya m gakibatkan kesenjangan en
antar desa dan kota tetapi juga kesenjangan antara propinsi atau antara KBI dan KTI. Sebagai suatu
ilustrasi, tiga tabel berikut memperlihatkan ketimpa hal jumlah penduduk/rumah tangga yang ngan dalam
punya akses ke air bersih dan sanitasi. Dari ketiga t ebut dapat dilihat de an jelas ba kses ke abel ters ng hwa a
air bersih dan sanitasi belum merata antar propinsi; walaupun ada perbaikan selama periode yang diteliti.
Yang paling menyolot adalah proporsi penduduk/rumah tangga yang memakai air pipa/PAM. Bukan saja
masih dibawah 50% dari jumlah penduduk yang memakai air ledeng, tetapi juga terdapat variasi yang
cukup besar antara beberapa propinsi. Hal ini tidak hanya disebabkan oleh tingkat pendapatan rata-rata per
kapita tetapi juga oleh tingkat pembangunan fasilitas peny air bersih (pipa/PAM)aluran .
Table 14: Persentase dari Populasi yang tidak punya akses ke air bersih menurut propinsi, 1999 dan 2002
23
Propinsi 1999 2002 Nangroe Aceh Darussalam
l u
a Belitung akarta
gyakarta
ulut
orontalo aluku aluku Utara
Papua
6 Sumut Sumba Riau Jambi SumseBengkulLampung BangkDKI JJabar Jateng D.I. YoJatim BantenBali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim SSulteng
1,547,9 46,4 71,8 57,3 59,7
48,5 41,8 42,4 58,9 47,4 52,7 45,0 45,9 48,9 30,3 53,0 39,8 38,9 36,7 55,8 27,8 52,3 46,8 78,5
5 9,254,4
... 40,2 62,1 47,8 48,9 43,0
... 34,2 62,5 41,9 7 8,468,2 6 6,7
Sulsel Sultengg GMM
4 6,735,8
4 1,53 7,3
44,5 51,7
3 5,753,8
49,1 45,1 43,6 41,3
... 62,4 52,1 43,9
... 43,2 54,5 61,6
Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id
Indonesia
51,9
44,8
Sumber: BPS dkk. (2004).
Table 15. Persentase dari Rumah Tangga tanpa akses ke air bersih dan sanitasi menurut propinsi, 1999 dan 2002
Propinsi Air bersih Sanitasi 1999 2002 1999 2002
Nangroe Aceh Darussalam Sumut Sumba Riau Jambi Sumsel Bengkulu Lampung Bangka Belitung DKI Jakarta Jabar Jateng D.I. Yogyakarta Jatim
38,5
24
52,1 53,6 28,2 42,7 40,3 40,8 45,6
... 59,8 37,9 52,2 51,1 57,0
51,5 58,2 57,6 41,1 52,6 47,3 55,0 54,1 51,1 69,7 47,0 60,2 61,1 63,3
30,4 33,8 16,8 16,8 32,7 11,4
32,5 12,5
20,3 21,3 22,3 25,1 31,1 31,8 12,0 12,7
... 38,5 0,8 1,1
20,8 17,3 30,9 31,1 16,1 9,9 31,9 31,5
Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng
Sul
Kalsel Kaltim
ut Sulteng Sulsel Sultengg Gorontalo Maluku Maluku Utara Papua Indonesia
... 65,8 37,5 58,1 21,6 31,8 53,3 64,2 55,5 48,3 50,9 56,4
... 47,9
... 45,5
....
44,2 72,2 47,7 53,2 21,5 33,3 58,5 62,7 64,3 46,2 54,9 58,7 37,6 56,1 56,8 38,4
55,2
... 24
29,2 ,9 21,9
56,9 56,3 28,2 27,1 36,9 34,5 19,0 31,1, 18,1 22,8 11,4 25,0 47,4 36,4 35,0
... 43,7
... 38,9
11,9 18,7 45,6 36,4 35,4 50,2 45,6 31,6 51,4
... 25,0
Sumber: BPS dkk. (2004).
Table 16. Persentase dari Rumah Tangga/Populasi yang menggunakan air pipa/PAM menurut propinsi, 1992 dan 2002
Propinsi 1992 2002 Nangroe Aceh Darussalam Sumut Sumba Riau Jambi Sumsel Bengkulu Lampung Bangka Belitung DKI Jakarta Jabar Jateng
8,3 21,8 21,5 7,9
12,8 17,2 12,5 4,4 ...
43,9 7,6
... 24,1 21,0 11,0
... 15,8 11,3 5,3 8,4
49,8 13,6
11,2 15,0
D.I. Yogyakarta Jatim
Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id 25
NTBNTT KalbKalteng KalsKaltSuluSultSulsSultGorontMalMaluku UtPapu
Banten Bali
ar
el im t eng el engg
alo uku
ara a
Indonesia
8,3 9,4 14,9 19,1
... 30,9 13,7 19,7 9,5
13,2 25,2 35,6 21,6 20,6 14,7 24,8
... 16,4
9,9 42,2 12,5 14,9 10,6 13,5 33,5 46,1 32,4 15,4 20,8 22,5 11,2
... ... ...
9,6 ...
14,7 18,3
Sumber: RI (2004)
II.5 Kesenjangan Aksesibilitas Infrastuktur Selain kesenjangan penyebaran pembangunan infrastruktur antar wilayah, masalah lain yang krusial
adalah akses tur sangat ibilitas masyarakat yang tidak merata. Akses masyarakat miskin terhadap infrastruk
rendah dibandingkan dengan masyarakat berpendapatan tinggi. Kondisi ini lebih buruk terjadi di daerah
pedesaan, di mana persentase dari jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan jauh lebih
besar daripada di perkotaan. Gambaran tidak meratanya akses penduduk terhadap infrastruktur diantaranya
akses terhadap air bersih dapat dilihat pada Gambar 13 berikut ini [World Bank, 2004].
Gambar 13. Akses ke Infastruktur Air Bersih Berdasarkan Pendapatan
Sumber: World Bank, 2004.
II. 6 Inefisiensi Penyediaan Infrastruktur
Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id
Selama ini, penyediaan infrastruktur lebih banyak dilakukan oleh BUMN/BUMD disamping
pemerintah. Hal ini menyebabkan rendahnya kompetisi diantara para operator, sehingga berakibat pada
inefisiensi. Menyatunya peran regulator dan operator juga merupakan salah satu faktor yang menyebabkan
rendahnya kompetisi diantara para operator. Misalnya jaringan listrik hanya dapat dibeli oleh PLN dan
pendistribusiannya juga dilakukan oleh PLN. Tingginya kompetisi akan tercapai jika diterapkan sistem
multi seller- multi buyer, sehingga muncul kreativitas dan inovasi.
III. MASALAH PENDANAAN
Tingginya kebutuhan infrastruktur tidak diikuti oleh kemampuan untuk menyediakan sumber
pendanaan bagi pembangunan infrastruktur. Menurut informasi dari Kantor Menko Perekonomian, selama
periode 2005 hingga 2009, diperkirakan kebutuhan infrastruktur di Indonesia mencapai US$ 145 milyar
atau setara Rp. 1.303 triliun. Namun dan kebutuhan sebesar Rp. 1.303 triliun tersebut, APBN diperkirakan
hanya mampu mendanai Rp. 225 triliun, atau sekitar 17% dan total kebutuhan pendanaan infrastruktur.
Sumber pembiayaan domestik lainnya antara lain berasat dari lembaga keuangan bank dan non-bank
diperkirakan hanya marnpu menutup 21% dari total pembiayaan, sehingga diperkirakan terdapat gap dalam
pem biayaan. biayaan infrastruktur sebesar Rp. 810 triliun atau 62% dari total pem
Banyak faktor yang membuat adanya masalah dalam pendanaan pembangunan infrastruktur di
Indonesia. Secara rinci, permasalahan dalam pendanaan infrastruktur di Indonesia dapat diuraikan sebagai
berikut (ISEI, 2005):
(1) mbiayaan infrastruktur. Dari gap pendanaan infrastruktur Rendahnya partisipasi pihak swasta dalam pe
sebesar Rp. 810 triliun, diharapkan pihak swasta dapat menutup Rp. 720 triliun. Harapan ini
tampaknya tidak terlalu berlebihan jika melihat pada sejarah keberhasilan Indonesia tahun 1990an
dalam menarik dana investasi swasta dari Asia Timur hingga mencapai US$ 24 milyar dalam
m ndanai 62 proyek dan menjadikan Indonesia sebagai negara denge an pangsa investasi infrastruktur
terbesar kedua (27%) setelah Filipina (28%). Namun melihat pada rendahnya partisipasi sektor swasta
d r alam beberapa tahun terakhir ini (Gambar 14), untuk menumpukan harapan pembiayaan pada sekto
swasta tampaknya memerlukan beberapa kendapa yang harus diatasi terlebih dahulu [World Bank,
2004].
Gam Menurut Swasta dan Publik di Beberapa Negara (% dari PDB) bar 14: Investasi Infrastruktur
26
Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id
34567
PublikSwasta
012
Indonesia Albania Rusia Kambodia Kazakhstan
Sumber: World Bank (2004)
(2) Rendahnya kemampuan perbankan dan pasar modal dalam negeri dalam pendanaan infrastruktur. Hal
ini antara lain disebabkan karena ketidakmampuan institusi tersebut dalam memobilisasi pembiayaan
rupiah jangka panjang untuk proyek-proyek infrastruktur, dan kemungkinan timbulnya resiko nilai
tukar jika pembiayaan dilakukan dalam mata uang asing. Dalam hal ini, karena pembiayaan
infrastruktur pada umumnya bersifat jangka panjang sementara itu sumber pendanaan bersifat jangka
pendek, dikhawatirkan terjadi mismatch. Faktor ini juga ditunjang oleh minimnya pengalaman
perbankan dalam pembiayaan proyek.
(3) Mengingat keterbatasan APBN dan sulitnya pembiayaan yang berasal dari swasta, pembangunan
infrastruktur memerlukan dana yang berasal dari luar negeri. Dana tersebut diharapkan diperoleh
melalui kerjasama bilateral dalam bentuk pinjaman lunak. Dalam melakukan pinjaman ini, diperlukan
kesiapan menyangkut regulasi dan teknis infrastruktur daerah. Di Indonesia, skema infrastruktur pusat
dan daerah belum jelas. Disamping itu masih terdapat tumpang tindih kewenangan, misalnya
kewenangan pusat menurut PP No. 25 Tahun 2000 sangat terbatas, namun kenyataannya pusat masih
menangani kewenangan daerah melalui Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Kementrian (DIPA K/L).
Selain masalah kewenangan, masalah pendaanaan antara pusat dan daerah juga belum jelas sehingga
perlu ditindaklanjuti.
(4) Terbatasnya alternatif sumber pembiayaan infrastruktur dasar di luar anggaran pemerintah. Selama ini
tidak ada alternatif lain bagi pendanaan infrastruktur dasar selain berasal dari anggaran pemerintah,
sementara kebutuhan dana untuk pembangunan infrastruktur sangat tinggi. Pembiayaan yang
bersumber dari pinjaman daerah tidak dimungkinkan karena jenis infrastruktur yang dapat didanai oleh
pinjaman daerah adalah infrastruktur yang bersifat revenue generating. Disamping itu, penggunaan
DAK dalam mendanai pembangunan infrastruktur juga terbatas.
(5) Hambatan bagi alternatif pembiayaan infrastruktur daerah melalui penerbitan obligasi daerah dan
obligasi perusahaan. Penerbitan obligasi daerah dalam rangka pembiayaan infrastruktur sebenarnya
bisa menjadi alternatif pembiayaan, namun masih menghadapi beberapa kendala, antara lain: (1)
27
Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id
Daerah-daerah belum sepenuhnya menerapkan sistem akuntansi pemerintah daerah secara benar; (2)
Infrastruktur untuk obligasi daerah belum siap, yang lebih siap adalah corporate bond (BUMD); (3)
Keberlanjutan dan penerbitan obligasi daerah tersebut, misalnya apakah setelah diterbitkan akan diakui
oleh pemerintahan selanjutnya. Sedangkan penerbitan obligasi oleh perusahaan (PT Infrastruktur) juga
menghadapi kendala, antara lain: (1) PT Infrastruktur relatif baru didirikan dan belum ada keuntungan;
(2) Banyak persyaratan yang harus dipenuhi dalam menerbitkan obligasi; (3) Infrastruktur biasanya
membutuhkan pendanaan jangka panjang.
(6) Tidak tersedianya indikasi kebutuhan pendanaan infrastruktur daerah. Model yang digunakan untuk
pembangunan infrastuktur di Indonesia didasarkan pada kebutuhan model makro dari pusat, yaitu
menggunakan model yang digagas oleh pemerintah pusat tanpa dilengkapi dengan indikasi kebutuhan
pendanaan infrastruktur di tingkat daerah.
IV. PRINSIP DASAR PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR1
IV.1 Prinsip Dasar Penyediaan Infrastruktur Secara Keseluruhan
(1) Infrastruktur merupakan katalis bagi pembangunan. Ketersediaan infrastruktur dapat meningkatkan
akses masyarakat terhadap sumberdaya sehingga dapat meningkatkan produktifitas dan efisiensi dan
pada akhirnya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Hampir dalam semua aktifitas masyarakat
dan pemerintah, keberadaan infrastruktur merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan
sudah menjadi kebutuhan dasar.
(2) Keterkaitan infrastruktur dengan berbagai aspek. pembangunan menjadi Agar peran infrastruktur dalam
optimal, maka keberadaan pembangunan infrastruktur harus terkait dengan: (a) Bangkitan-bangkitan
pem pantai, kelautan, bangunan yang lainnya; (b) Pembangunan pertanian, perkebunan, budi daya
industri, perdagangan, jasa, pariwisata, pertambangan, migas dan sebagainya; (c) Masyarakat yang akan
menjadi kelompok sasaran pelayanan infrastruktur tersebut dan kemampuan dalam membayar jasa
layanan infrastruktur; (d) Institusi pengelolaannya, misalnya peran pemerintah dalam pengelolaan/
pem liharaan serta memberi arahan dalam bentuk regulasi sebagai bentuk layanan publik; dan (e) Dalam e
konteks privatisasi, investasi infrastruktur perlu mempertimbangkan minat investor, tujuan yang
dikehendaki investor, syarat-syarat investasi dan insentif bagi investor.
(3) Perencanaan kebutuhan infrastruktur harus dilakukan melalui kombinasi antara perencanaan yang
digagas pemerintah pusat dengan yang digagas pemerintah daerah. Seiring dengan
diimplementasikannya desentralisasi fiskal dan diberikannya kewenangan yang lebih luas bagi daerah,
1 Sebagian material dari subbab ini diambil dari ISEI (2005).
28
Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id
setiap daerah diharapkan mampu lebih mengembangkan potensi daerahnya. Oleh karena itu
pembangunan yang dilakukan di daerah harus didasarkan pada kebutuhan daerah masing-masing. Dalam
hal ini, pembangunan infrastruktur yang sesuai dengan kebutuhan daerah diharapkan mampu
m Untuk itu diperlukan kerangka eningkatkan perekonomian daerah tersebut dan daerah sekitarnya.
pembangunan yang digagas pemerintah daerah, disamping kerangka model yang digagas pemerintah
pusat yang selama ini digunakan. Yang dimaksud dengan adanya perencanaan yang digagas pemerintah
daerah adalah terdapat rencana indikasi kebutuhan infrastruktur secara lokal dan regional, sehingga
perencanaan tersebut ditentukan oleh pemerintah daerah berdasarkan kebutuhan daerah. Sedangkan
rencana pembangunan infrastruktur yang bersifat digagas pemerintah pusat dan dikoordinasikan oleh
Kantor Menko Perekonomian.
(4) Keberhasilan kerjasama Pemerintah dan Swasta memerlukan kondisi yang harus dipenuhi, yaitu: (a)
Stabilitas kerangka ekonomi makro; (b) Sektor keuangan yang efisien dan berkembang; (c) Kerangka
kebijakan yang mantap; (d) Penerimaan proyek yang berkelanjutan; (e) Adanya mekanisme arbitrase
atau penyelesaian perselisihan yang jelas; (f) Undang-undang perbankan yang berkembang dengan baik;
dan (g) Adanya investasi pendamping dari pinjaman pemerintah/ekuitas/subsidi (Kewajiban Sektor
Publik).
(5) Penyediaan infrastruktur harus memperhatikan aspek keberlanjutan. Pembangunan infrastruktur harus
memperhatikan aspek keberlanjutan, sehingga dalam jangka panjang keberadaan infrastruktur tidak
menyebabkan kerusakan lingkungan.
(6) Mekanisme penyediaan infrastruktur harus mendasarkan pada prinsip-prinsip akuntabilitas,
transparansi, serta memperhatikan aspek efisiensi dan keadilan.
IV.2 Prinsip Dasar Pendanaan Infrastruktur
(1) Penyediaan dan pendanaan infrastruktur dasar harus dilakukan oleh Pemerintah, termasuk infrastruktur
yang erat kaitannya dengan aspek pemerataan. Infrastruktur dasar yang bersifat publik dan sosial, di
mana kelayakan finansial tidak mungkin dicapai, seperti di daerah terpencil disediakan oleh pemerintah.
P yarakat di daerah terpencil sekalipun memiliki akses terhadap ertimbangan ini dilakukan agar mas
infrastruktur dasar.
(2) Penyediaan dan pendanaan infrastruktur yang bersifat cost recovery dilakukan oleh swasta. Partisipasi
sektor swasta dalam pembangunan infrastruktur sangat penting, hal ini disebabkan karena: (a) Sektor
swasta mempunyai sumberdaya vital dan keahlian yang memadai; (b) Untuk infrastruktur tertentu,
penyediaannya akan lebih efektif jika dilakukan oleh swasta; (c) Penyediaan infrastruktur oleh pihak
swasta dapat membantu hubungan antara penyedia jasa dan otoritas publik, sehingga meniadakan
29
Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id
tekanan politis yang dapat menghambat penyediaan layanan yang efisien dan pada akhirnya
memperkuat komitmen pemerintah untuk mencapai cost covering tariff yang memberikan kesempatan
lebih baik untuk operator dalam hal keberlanjutan finansial; (d) Sektor swasta menerapkan prinsip-
prinsip komersial dengan fleksibilitas yang lebih besar dalam hal staffing dan peningkatan efisiensi,
misalnya dalam peningkatan perolehan dan penghematan biaya yang pada akhirnya akan mendorong
investasi modal swasta, keahlian manajemen dan mendorong penyerapan teknologi; dan (e) Penyediaan
oleh swasta juga dapat mempertinggi pelayanan melalui persaingan yang lebih tinggi [World Bank,
2004].
(3) Prinsip pendaanaan infrastruktur yang bersumber dari APBN, APBD Kabupaten/Kota. Dalam rangka
mengurangi beban APBN dan kesesuaian tanggungjawab pembangunan infrastruktur antar pemerintah
pusat, propinsi, kabupaten/kota, maka perlu diperhatikan prinsip-prinsip pendanaan infrastruktur sebagai
berikut:
a. Dana yang bersumber dari APBN hanya digunakan untuk membiayai infrastruktur dasar dengan
lingkup nasional namun tidak tertutup kemungkinan bekerjasama dengan pihak swasta. Contoh: irigasi
nasional, jalan nasional, pengembangan desa tertinggal.
b.Pemerintah propinsi bertanggungjawab untuk pembangunan infrastruktur wilayah seperti jalan
propinsi, bendungan, operational and pemeliharaan, irigasi propinsi dan jembatan
c.Pemerintah Kabupaten/Kota bertanggungjawab atas pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur
jalan kabupaten/kota, sistem sanitasi dan pembuangan, pengelolaan sampah dan pengembangan desa
tertinggal.
V. SOLUSI KEBIJAKAN ALTERNATIF
V.1 Solusi Kebijakan Pemerintah Pusat
Dalam melakukan pembiayaan infrastrukur, pemerintah telah melakukan beberapa langkah penting
seperti yang dijabarkan oleh Kantor Menko Perekonomian (ISEI, 2005):
(1) Reformasi Pengaturan Infrastruktur. Dalam hal ini berbagai kebijakan mengenai infrastruktur
diperbaharui sehingga pada prinsipnya meliputi:
a. Peningkatan kembali peran swasta. Pelibatan peran swasta dalam pembangunan infrastruktur
sebaiknya hanya untuk infrastruktur yang commercially viable. Sedangkan Pemerintah lebih terfokus
pada infrastruktur dasar dan non-commercially viable tetapi economically feasible seperti jalan desa
dan irigasi. Pemerintah sedang berupaya untuk merevisi Kepres No. 7 Tahun 1998 tentang cara
30
Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id
Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha Swasta dalam Pembangunan dan Pengelolaan Infrastruktur.
Namun sejauh ini hasil akhir revisi Kepres tersebut belum ditetapkan.
b. rah. Sejak diterapkannya kebijakan otonomi daerah mulai 1 Januari Mengakomodasi peran dae
2001, pemerintahan daerah seharusnya memiliki tanggungjawab yang lebih besar dalam menetapkan
arah pembangunannya, termasuk dalam pembangunan infrastruktur. Dengan semakin luasnya peran
daerah dalam pembangunan infrastruktur memungkinkan daerah membangun infrastrukur daerah
sesuai dengan kebutuhan daerah masing-masing. Hal ini diharapkan dapat mengatasi kesenjangan
yang selama ini terjadi.
c. Penyediaan infrastruktur terbuka bagi BUMN/BUMD, Badan Usaha Swasta, Masyarakat,
Koperasi, dan lembaga berbadan hukum. Dengan pelibatan peran swasta dan institusi lain dalam
penyediaan infrastruktur diharapkan terjadi kompetisi yang pada akhirnya penyediaan infrastruktur
tersebut dapat efisien.
d.Tariff setting bagi infrastruktur yang disediakan oleh swasta. Kerangka pengaturan tarif yang
jelas akan mendorong swasta untuk melakukan investasi dalam penyediaan infrastruktur. Tarif
ditentukan berdasarkan atas azas pemulihan biaya untuk infrastruktur yang menciptakan
penghasilan/pemasukan. Tarif ditetapkan dengan kontrak guna memberi kepastian atas arus
penerimaan dan mengurangi resiko atas proyek.
e. Pemisahan peran operator dan regulator. Disamping dibukanya kesempatan penyediaan
infrastruktur oleh swasta dan institusi lain, peningkatan efisiensi penyediaan infrastruktur juga dapat
dilakukan dengan memisahkan peran operator dan regulator. Disamping itu diperlukan Badan
Pensatur yang independen sehingga kepentingan publik terlindungi dan sikap adil terhadap investor,
sehingga prinsip komersial dapat dijaga.
f. Memperkenankan prinsip pemisahan pelayanan. Dengan diberlakukannya prinsip unbundling,
penyelenggaraan infrastruktur dari hulu ke hilir tidak dilakukan oleh satu institusi, sehingga
memungkinkan efisiensi pelayanan.
(2) Implementasi Undang-Undang Jalan, Undang-Undang Kelistrikan, Undang-Undang Sumberdaya Alam,
Undang-Undang perhubungan dan Pengaturan Pembebasan Tanah untuk kepentingan pembangunan
infrastruktur. Sejauh ini, pemerintah telah melakukan reformasi di bidang pengaturan regulasi mengenai
jalan umum dengan merevisi Undang-Undang No. 13/1980 tentang Jalan yang ditetapkan dalam
Undang-Undang No. 38/2004. Selain merevisi regulasi tentang jalan umum, pemerintah juga telah
menetapkan Peraturan Pemerintah No. 15/2005 tentang Jalan Tol. Di sektor air minum, pemerintah
telah menetapkan PP No. 16/2005 tentang Sistem Penyediaan Air Minum. Selain itu pemerintah juga
telah menetapkan PP No. 3/2005 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga Listrik; Permen 09/2005
31
Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id
tentang Prosedur Pembelian Tenaga Listrik; Permen No. 10/2005 tentang Tata Cara Perizinan Usaha
Ketenagalistrikan. Dalam hal pembebasan tanah, pemerintah telah menetapkan Perpres No. 36/2005.
(3) Membuat prioritas proyek infrastruktur yang akan dilaksanakan. Mengingat keterbatasan dana dalam
pembangunan infrastruktur, maka perlu penajaman prioritas proyek infrastruktur yang akan
dilaksanakan. Permasalahan-permasalahan dalam pembangunan infrastruktur yang terjadi selama ini
hendaknya diselesaikan tanpa harus mengganggu pelaksanaan prioritas pembangunan infrastruktur.
V.2 Solusi Kebijakan Alternatif ISEI (ISEI, 2005)
Disamping kebijakan yang telah dilakukan oleh pemerintah pusat tersebut di atas, beberapa solusi
kebijakan lain yang direkomendasikan oleh ISEI adalah:
V.2.1 - Menengah Solusi Jangka Pendek
V.2.1.1 Prioritas Pengembangan Jenis-Jenis Infrastruktur
(1) Prioritas pengembangan infrastruktur transportasi darat: pembangunan monorail atau subway untuk
daerah perkotaan dengan kepadatan penduduk tinggi. Mengingat terbatasnya sarana transportasi di
perkotaan, khususnya daerah dengan kepadatan penduduk yang tinggi, monorail atau subway dapat
menjadi salah satu alternatif tranportasi untuk mendukung lancarnya kegiatan perekonomian.
Pem irakan dapat mengatasi kemacetan lalu lintas yang umumnya terjadi bangunan subway juga diperk
di kota-kota besar.
(2) Prioritas pengembangan infrastruktur, transportasi laut: optimalisasi peran transportasi laut sebagai
sarana transportasi ramah lingkungan. Mengingat Indonesia sebagai negara kepulauan, transportasi laut
mutlak dibutuhkan. Keberadaan transportasi laut perlu lebih ditingkatkan baik dari sisi kualitas maupun
kuantitas serta penggunannya perlu lebih disosialisasikan sebagai sarana transportasi antar pulau karena
disamping murah, alat transportasi laut mengandung emisi rendah, sehingga ramah lingkungan.
(3) Prioritas pengembangan infrastruktur air minum dan air bersih. Peningkatan jangkauan pelayanan
PDAM, pengendalian tingkat kebocoran, dan perbaikan sistem administrasi. Selama ini banyak
masyarakat yang harus membeli air minum karena rendahnya kualitas air minum yang tersedia dan
keterbatasan pelayanan PDAM. Hal ini sebenarnya merupakan beban konsumsi masyarakat yang
seharusnya dapat dipergunakan untuk membeli keperluan lainnya. Untuk mengatasi hal tersebut,
beberapa kebijakan dalam pelayanan air mimum dapat dijadikan alternatif, antara lain:
• Perluasan jangkauan pelayanan PDAM selain di kota besar juga mencakup daerah-daerah dengan
debit air minum rendah. Namun demikian, agar tercapai efisiensi, tidak semua daerah harus
mempunyai PDAM, misalnya daerah dengan kepadatan penduduk rendah sementara debit air cukup
32
Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id
tinggi akan mengalami kekurangan permintaan air bersih, sehingga tidak memerlukan PDAM dan
dapat bergabung dengan daerah sekitarnya yang mempunyai PDAM.
• Untuk meminimalisir biaya pelayanan PDAM, diperlukan peningkatan kinerja dalam pengendalian
tingkat kebocoran air bersih yang diakibatkan oleh rusaknya pipa-pipa saluran air, yang diperkirakan
mencapai 30% sampai 40%.
• Dalam rangka mengoptimalkan penerimaan PDAM dan menghindari tunggakan, dilakukan perbaikan
sistem administrasi, di mana pembayaran rekening air bersih diintegrasikan dengan rekening
pembayaran pajak. Sebagai contoh, di beberapa negara lain, rekening pembayaran air minum
diintegrasikan dengan rekening pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan atau mekanisme pembayaran
lainnya, disamping itu pengelolaan air minum dilakukan secara nasional.
(4) bangan sarana telekomunikasi yang Prioritas pengembangan infrastruktur telekomunikasi: a) Pengem
memanfaatkan gelombang radio untuk menjangkau daerah terpencil, hal ini mengingat penggunaan
gelombang radio lebih efisien dan lebih murah dibanding pemanfaatan satelit; b) Peningkatan peran
swadana (swasta) dalam koridor tertentu dalam mengembangkan jaringan telekomunikasi sehingga
akses dapat diperluas sekaligus menghemat APBN. Dalam hal ini, terlebih dahulu dilakukan
komunikasi dua arah sehingga tidak menimbulkan mispersepsi.
V.2.1.2 Prioritas Pengembangan SDM dan Institusi Pendukung Pembangunan Infrastruktur
(1) gintegrasikan perencanaan yang bersifat top down Mapping kebutuhan infrastruktur dalam rangka men
dan bottom up. Untuk mengintegrasikan kerangka perencanaan pembangunan infrastruktur yang
merupakan kombinasi antara top down dan bottom up terlebih dahulu harus dibuat pemetaan kebutuhan
infrastruktur yang nantinya menjadi acuan kebutuhan investasi infrastruktur setiap daerah. Untuk itu,
perlu dilakukan penelitian terpadu dengan mengambil sampel beberapa Kabupaten/Kota sebagai pilot
project. Selanjutnya sampel tersebut dapat diperiuas sehingga meliputi seluruh Kabupaten/Kota dan
tersedia peta kebutuhan infrastruktur per daerah baik propinsi maupun Kabupaten/Kota.
(2) Integrasi ptimalisasi biaya pemeliharaan pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur. Untuk o
i tru haraan haru n bersamaan dengan ren unan. nfras ktur, rencana pemeli s disusu cana pembang
(3) Capacity building untuk apara terka tasi infrastruktur dan tur pemerintah yang it dalam konteks inves
berbagai skala investasi. Dalam hal ini, jika SDM pem sementara erintah daerah belum siap, untuk
waktu dapat menggunakan konsultan sebagai pendamping.
(4) Ke am ransertakan potensi swasta nas nan berbagai jenis m puan untuk meme ional di dalam pembangu
infrastruktur bekerjasama dengan pihak pengusaha transna liansi strategis. tional dalam hubungan a
33
Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id
(5) Mengkoordinasikan institusi yang menangani pembanguna titusi pemerintah, n, yaitu: koordinasi ins
koordinasi institusi swasta (investor) dengan institusi finans nasi konsultan, kontraktor, ial, serta koordi
pemasok, vendors, supervisi, dan sebagainya.
(6) S ali fra ara harus dilakukan dengan osi sasi pembangunan in struktur kepada masy kat. Sosialisasi ini
pendekatan yang tepat agar masyarakat mempunyai pengertian cukup terhadap rencana pembangunan
i st k m i i kalangan nfra ruktur sehingga tida enimbulkan misperseps a au kekhawatiran berlebit han d
m yaas rakat.
V.2. Pr gan fras1.3 ioritas Pengemban Skema Pendanaan In truktur
(1) Mengembangkan mekanisme "f ntuk memba tur, dengan beberapa und raising" u ntu pendanaan infrastruk
syarat sebagai berikut:
a. Institusi fund raising (FR) bisa duduk bersama pemerintah provinsi, kabupaten dan kota untuk
menopang kepentingan berbagai jenis investasi termasuk investasi infrastruktur.
b.Pemerintah propinsi dalam pembentukan institusi fund raising tersebut adalah:
• Pemerintah provinsi menyiapkan ma dat dari Gubernur kepada Manager dari FR propinsi, sesuai n
dengan kebutuhannya.
• Pemerintah propinsi, pemerintah kabupaten/kota; mempersiapkan berbagai studi kelayakan untuk
kepentingan berbagai investasi; term suk investasi infrastruktur dengan memperhatikan keinginan a
pasar modal/ pasar uang.
• Institusi FR harus membantu sosialisasi untuk berbagai investasi termasuk investasi infrastruktur
agar dapat menjadi sumber informasi untuk pihak-pihak yang berminat melakukan investasi dan
memberikan dukungan dana.
(2) Pembangunan infrastruktur dan sektor lainnya bekerjasama dengan potensi global baik kerjasama G to
G, G to P, atau P to P perlu mendapat kajian komitmen bilateral dan komitmen multilateral sampai
tingkat daerah. Dalam hat ini diperlukan payung komitmen bilateral G to G yang pelaksanaannya oleh P
to P. Dalam komitmen bilateral tersebut, pendalaman kepentingan pembangunan yang saling
menguntungkan perlu mendapat penjabaran yang terperinci agar potensi dukungan lebih kongkrit
berdasarkan uraian kebutuhan. Contoh: Propinsi Jawa Barat dengan Cina sedang menjajaki kerjasama
perdagangan, di mana Cina membutuhkan produk pertanian dari Jawa Barat. Dalam kerjasama ini,
tujuan utamanya bukan hanya untuk m pertinggi ekspor dalam rangka meningkatkan pertumbuhan em
ekonomi, tetapi juga mengintegrasikan kepentingan Cina dengan pembangunan Jawa Barat dalam hal:
(a) Kepentingan Jawa Barat dalam pengembangan potensi Jawa Barat Selatan; (b) Kepentingan
pembangunan potensi pertanian dan perkebunan dengan orientasi ekspor di Jawa Barat; (c) Kepentingan
34
Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id 35
pembangunan agro industri (canning, cold strorage, packing technology, dan sebagainya.); dan (d)
Kepentingan eksplorasi/eksploitasi potensi pertambangan, metalurgi, dan migas, dan sebagainya. Untuk
memperlancar kerjasama ini, Jawa Barat memerlukan dukungan infrastruktur regional yang bersifat
strategis, antara lain: (a) Dukungan pembangunan pelabuhan samudera untuk kepentingan ekspor dan
impor; (b) Dukungan pembangunan bandar udara kargo dan penumpang; (c) Dukungan pembangunan
pembangkit listrik hidro dan irigasi pertanian; dan (d) Dukungan pembangunan jalan regional untuk
mendukung aksesibilitas, dan sebagainya.
(3) Mobilisasi kekuatan masyarakat melalui "swadana" atau "matching fund" untuk pembangunan
infrastruktur dasar pedesaan dan pemeliharaan infrastruktur lokal. Pendanaan infrastruktur dapat
dilakukan oleh masyarakat sendiri (swadana), dalam hal ini pemerintah daerah menggerakkan
partisipasi masyarakat termasuk potensi matching fund dari masyarakat, terutama di daerah pedesaan.
Untuk tujuan tersebut, pemerintah daerah harus terlebih dahulu mensosialisasikan kebutuhan
infrastruktur dan ketersediaan dana yang dimiliki pemerintah daerah. Disamping itu, partisipasi
masyarakat perlu digalakkan dalam pemeliharan infrastruktur yang bersifat lokal.
(4) Penetapan tarif untuk infrastruktur yang bersifat revenue generating berdasarkan pada perhitungan yang
mempertimbangkan aspek cost recovery, beban penggunaan, karakteristik dan affordability dari
konsumen. Penetapan tarif yang demikian diharapkan akan meningkatkan partisipasi pihak swasta
dalam pembangunan infrastruktur serta aksesibilitas masyarakat.
V.2.2 Solusi Jangka Panjang
(1) Dalam jangka panjang pembangunan infrastruktur harus berdasarkan pada pemetaan kebutuhan
infrastruktur yang telah disiapkan di tingkat regional yang terpadu dengan perencanaan pusat yang
bersifat top down.
(2) Diperlukan pengembangan infrastruktur yang komprehensif, berkelanjutan serta terintegrasi menjadi
infrastruktur network yang bernilai ekonomis tinggi.
(3) Dari sisi pendanaan, perlu dilakukan mobilisasi modal domestik dan luar negeri dengan membedakan
investasi infrastruktur menurut kompleksitas masalah dan besaran dana yang dibutuhkan serta teknologi
yang dipertukan. Tabel 17 memperlihatkan opsi pembiayaan infrastruktur yang bersifat cost recovery,
berskala nasional dan kemungkinan kerjasama dengan swasta.
Tabel 17. Matriks Opsi Pembiayaan Infrastruktur yang Bersifat Cost Recovery, Berskala Nasional dan Kemungkinan Kerjasama dengan Swasta
No. Karakteristik Proyek Infrastruktur Isu-isu Opsi/Alternatif
Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id 36
1. Padat modal Kelangkaan sumberdaya - Pembiayaan multilateral - Konsorsium/sindikasi - Jaminan pemerintah dengan dukungan
finansial 2. Masa persiapan cukup
lama Mismatch dalam kewajiban asset
- Hentikan pembiayaan - Pinjaman jangka panjang - Sekuritisasi penerimaan
3. Persyaratan modal kerja berdasarkan tahapan proyek
Tumpang-tindih jadwal implementasi proyek
- Pembiayaan yang fleksibel memutuskan/ memisahkan tahap konstruksi dari tahap pasca-konstruksi
- Pembiayaan arus kas 4. Return tidak mencukupi
dan tidak pasti Dana biaya tinggi, tunggakan/resiko NPA
- Insentif pajak - Pinjaman sektor prioritas - Sub-ordinate debt financing - Kebijakan tarif yang tegas - Escrow accounts - Power Purchase Agreement - Sinking funds
5. Pinjaman jangka panjang Fluktuasi suku bunga dan nilai tukar
- Interest rate swap - Forward rate agreements - Suku bunga mengambang
6. Multiple debt servicing obligations
Rasio utang terhadap ekuitas tinggi
- Sub-ordinate debt financing - Suntikan ekuitas dari mitra strategis
7. Kekurangan tangible assets dan jaminan/sekuritas
Realisasi jumlah pinjaman likuidasi atau tunggakan
- Letters of comfort - Mengenakan pari passu atas escrow account - Jaminan bank
8. Berbagai keahlian dan teknologi canggih
Kurangnya keterampilan dalam melakukan penaksiran dan operasional
- Joint ventures - Special Purpose Vehicle
9. Pelopor iklim/ resiko kelayakan
Risk on en masse deployment
- Venture capital funds - Project Initialisation Funds
Sumber: ISEI (2005).
Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id 37
Daftar Pustaka
Abimanyu, Yoopi (2005),”Pendanaan Infrastruktur”, makalah FGD, Jakarta: ISEI. . Bappenas (2005), ”Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009”, Jakarta BPS, Bappenas dan UNDP (2004), The Economics of Democracy, Indonesia Human Development Report 2004, Jakarta ISEI (2005), ”Rekomendasi ISEI. Langkah-Langkah Strategis Pemulihan Ekonomi Indonesia”, Jakarta: Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia. Kompas (2006a), “Paket Kebijakan Infrastruktur”, Bisnis & Keuangan, Sabtu, 18 Februari, hal. 17. Kompas (2006b), “Daya Saing Industri Kritis Tanpa Perbaikan”, Bisnis & Keuangan, Rabu, 15 Februari, hal. 19. Manurung, Adler H. (2005), “Infrastructure Fund”, makalah FGD, Jakarta: ISEI Pakpahan, Arten T. (2005), “Gambaran Belanja Modal Daerah, Dana Alokasi Khusus dan Hibah Pinjaman Luar Negeri Pemerintah untuk Pembansunan Infrastruktur”, makalah FGD, Jakarta: ISEI. Pardede, Raden (2005), “Infrastructure Financing: Indonesia Challenges”, makalah FGD, Jakarta: ISEI. R.I (2004), ”Indonesia”, Progress Report on the Millennium Development Goals, February, Jakarta: Pemerintah Indonesia dan U.N. Siregar, Hermanto (2005), “Penyediaan dan Pembiayaan Infrastruktur Dasar, “ makalah FGD, Jakarta: ISEI Pusat. Suganda, Uce (2005), “Pembangunan Infrastruktur di Jawa Barat”, makalah FGD, Jakarta: ISEI. Susantono, Bambang (2005), “Tindak Lanjut Pertemuan Puncak Infrastruktur 2005”, makalah FGD, Jakarta: ISEI.
Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id 38
Winoto, Joyo (2005), ”Peranan Pembangunan Infrastruktur Dalam Menggerakan Sektor Riil”, makalah dalam Sidang Pleno ISEI XI, 22-23 Maret, Jakarta. World Bank (2004), Indonesia Averting an Infrastructure Crisis: A Framework for Policy and Action, Second ed., East Asia and Pacific Region Infrastructure Development, Washington, D.C. and Jakarta.