33
MENCARI HUBUNGAN ANTARA KEBIJAKAN MONETER DENGAN KEMISKINAN DAN KETIMPANGAN PENDAPATAN: KAJIAN MENGGUNAKAN DATA REGIONAL INDONESIA Haris Munandar § Ferry Kurniawan Pribadi Santoso* Agustus 2007 Abstraksi Bertentangan dengan keyakinan umum bahwa kebijakan moneter longgar yang ekspansif adalah cara yang jitu untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dan menyelamatkan golongan miskin, penelitian ini menunjukkan bahwa ternyata kebijakan moneter berhati-hati, yang mengusahakan inflasi yang rendah dan ekonomi makro yang stabil, justru merupakan kebijakan yang menurunkan tingkat kemiskinan dan menghasilkan distribusi pendapatan lebih baik. Dengan menggunakan basis data regional ke-26 provinsi di Indonesia periode 1984-2005, kajian ini secara empiris membuktikan bahwa kebijakan moneter berhati-hati (prudent) merupakan kebijakan moneter yang berpihak pada si miskin (pro poor). Klasifikasi JEL: E58, E61, I32, O23, O53 Kata Kunci: Kebijakan moneter, inflasi, stabilitas ekonomi makro, pengangguran, kemiskinan, ketimpangan pendapatan. § Biro Riset Ekonomi, Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Bank Indoneisa, Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10350, Indonesia; email: [email protected] (corresponding author) Biro Riset Ekonomi, Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Bank Indonesia, Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10350, Indonesia; email: [email protected] * Biro Kebijakan Moneter, Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Bank Indonesia, Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10350, Indonesia; email: [email protected]

Hubungan Antara Kebijakan Moneter Dengan Kemiskinan Dan Ketimpangan Pendapatan Kajian Menggunakan Data Regional Indonesia

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Hubungan Antara Kebijakan Moneter Dengan Kemiskinan Dan Ketimpangan Pendapatan Kajian Menggunakan Data Regional Indonesia

Citation preview

Page 1: Hubungan Antara Kebijakan Moneter Dengan Kemiskinan Dan Ketimpangan Pendapatan Kajian Menggunakan Data Regional Indonesia

MENCARI HUBUNGAN ANTARA KEBIJAKAN MONETER DENGAN

KEMISKINAN DAN KETIMPANGAN PENDAPATAN: KAJIAN

MENGGUNAKAN DATA REGIONAL INDONESIA

Haris Munandar§ Ferry Kurniawan† Pribadi Santoso*

Agustus 2007

Abstraksi

Bertentangan dengan keyakinan umum bahwa kebijakan moneter longgar yang ekspansif adalah cara yang jitu untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dan menyelamatkan golongan miskin, penelitian ini menunjukkan bahwa ternyata kebijakan moneter berhati-hati, yang mengusahakan inflasi yang rendah dan ekonomi makro yang stabil, justru merupakan kebijakan yang menurunkan tingkat kemiskinan dan menghasilkan distribusi pendapatan lebih baik. Dengan menggunakan basis data regional ke-26 provinsi di Indonesia periode 1984-2005, kajian ini secara empiris membuktikan bahwa kebijakan moneter berhati-hati (prudent) merupakan kebijakan moneter yang berpihak pada si miskin (pro poor). Klasifikasi JEL: E58, E61, I32, O23, O53 Kata Kunci: Kebijakan moneter, inflasi, stabilitas ekonomi makro, pengangguran, kemiskinan, ketimpangan pendapatan.

§ Biro Riset Ekonomi, Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Bank Indoneisa, Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10350, Indonesia; email: [email protected] (corresponding author) † Biro Riset Ekonomi, Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Bank Indonesia, Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10350, Indonesia; email: [email protected] * Biro Kebijakan Moneter, Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Bank Indonesia, Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10350, Indonesia; email: [email protected]

Page 2: Hubungan Antara Kebijakan Moneter Dengan Kemiskinan Dan Ketimpangan Pendapatan Kajian Menggunakan Data Regional Indonesia

1. Pendahuluan

Kemiskinan merupakan masalah ekonomi global paling mendesak saat ini,

terutama di negara-negara berkembang. Di Indonesia, jumlah orang miskin tidak

banyak berkurang dalam tiga puluh tahun terakhir, dari sekitar 50 juta jiwa di tahun

1976 menjadi 40 jiwa di tahun 2006, seperti dapat dilihat pada grafik 1. Dalam

kurun waktu yang panjang teresebut, jelas sekali bahwa pengentasan kemiskinan

belum mencapai hasil yang diharapkan. Kondisi kemiskinan ini diperburuk dengan

adanya peningkatan ketimpangan pendapatan, paling tidak sejak 2002, saat

Indonesia mulai mencoba menggeliat keluar dari krisis. Akselerasi pembangunan

pasca krisis dipandang belum menyentuh golongan bawah. Oleh karena itu tak

pelak lagi bahwa kemiskinan, bersama dengan distribusi pendapatan, merupakan

fokus perhatian semua pihak, utamanya akademisi dan pengambil kebijakan.

0,25

0,27

0,29

0,31

0,33

0,35

0,37

0,39

1976

1978

1980

1981

1984

1987

1990

1993

1996

1999

2002

2003

2004

2005

2006

0

10

20

30

40

50

60

Gini (kiri)

Jumlah Orang Miskin (kanan)

Juta

Sumber: BPS, diolah

Grafik 1 - Kemiskinan dan Ketimpangan Pendapatan di Indonesia

Sementara itu, kebijakan moneter diakui sebagai sebuah instrumen modern

yang ampuh untuk mengelola ekonomi. Dinamika kebijakan suku bunga bank

sentral, turut menentukan, seringkali secara krusial, kondisi perekonomian nasional.

Mengingat sangat pentingnya persoalan kemiskinan dan distribusi pendapatan serta

Page 3: Hubungan Antara Kebijakan Moneter Dengan Kemiskinan Dan Ketimpangan Pendapatan Kajian Menggunakan Data Regional Indonesia

sangat strategisnya peran kebijakan moneter, maka menjadi menarik sekaligus

penting untuk meneliti apakah kebijakan moneter dapat digunakan untuk

menolong golongan miskin.

Persoalan inilah yang coba diteliti dalam kesempatan ini. Secara spesifik,

kajian ini mencoba membedah pengaruh kebijakan moneter terhadap kemiskinan

dan ketimpangan pendapatan, baik dalam kaitannya dengan siklus bisnis (business

cycle) maupun dalam jangka waktu yang lebih panjang dengan melibatkan data

provinsi di Indonesia. Analisis empirik yang dilakukan telah berhasil menunjukkan

bahwa benar terdapat sejumlah hubungan penting antara kebijakan moneter dan

kondisi kemakmuran golongan miskin, baik dalam jangka pendek maupun dalam

jangka panjang, namun hubungan jangka pendek dan jangka panjang tersebut

memiliki arah berlawanan. Kebijakan moneter ekspansif yang ditujukan untuk

membangkitkan pertumbuhan output yang cepat berasosiasi dengan perbaikan

kondisi si miskin dalam jangka pendek, sedangkan kebijakan moneter yang berhati-

hati (prudent) dengan tujuan inflasi rendah dan pertumbuhan output yang stabil

berhubungan dengan tingkat kemakmuran si miskin yang lebih baik dalam jangka

panjang.

Berbagai kajian mengenai kebijakan moneter dan kemiskinan hampir selalu

berfokus pada perspektif jangka pendek serta sebagai bagian dari keseluruhan

kebijakan ekonomi makro pada sisi permintaan (demand-side policy). Kebijakan

moneter dalam batas tertentu memang mungkin menstabilkan siklus bisnis melalui

pengaruhnya pada variabel output, pengangguran, dan inflasi dalam jangka

pendek. Artinya, jika tingkat kemiskinan bereaksi terhadap variabel-variabel

tersebut, kebijakan moneter dapat diarahkan untuk mempengaruhi kemakmuran

golongan miskin. Disamping itu, karena inflasi dapat mengubah distribusi asset dari

kreditur ke debitur, kebijakan moneter juga dapat mempengaruhi distribusi

pendapatan.

Estimasi perilaku siklikal (cyclical behaviour) kemiskinan dan ketimpangan

pendapatan menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan akan turun jika pengangguran

turun. Turunnya pengangguran ini diyakin bisa dicapai dengan melaksanakan

kebijakan moneter yang longgar. Namun tidak ditemukan bukti adanya efek dari

Page 4: Hubungan Antara Kebijakan Moneter Dengan Kemiskinan Dan Ketimpangan Pendapatan Kajian Menggunakan Data Regional Indonesia

tingkat pengangguran terhadap distribusi pendapatan. Lebih lanjut, didapat hasil

bahwa naiknya inflasi (juga sebagai dampak kebijakan moneter longgar) akan

menurunkan tingkat kemiskinan, sedangkan dampak inflasi terhadap tingkat

ketimpangan pendapatan tidak dapat dideteksi.

Kebijakan moneter yang ekspansif merupakan kebijakan yang terkait siklus

bisnis yang berjangka pendek, sehingga kemiskinan juga sering dikatakan memiliki

siklus jangka pendek. Siklus jangka pendek dari kemiskinan tersebut membuat

sejumlah pihak berkesimpulan bahwa kebijakan moneter yang dapat mengentaskan

kemiskinan adalah kebijakan moneter yang longgar (ekspansif). Namun perlu

disadari bahwa opini ini telah mengabaikan fakta penting bahwa efek siklikal

kebijakan moneter longgar terhadap pengangguran pada dasarnya bersifat

temporer. Kebijakan moneter longgar hanya dapat menghasilkan boom sementara,

sehingga kemiskinan hanya berkurang sementara saja. Pada saat pengangguran

telah mencapai tingkat tertentu, kemiskinan akan meningkat kembali.

Di lain pihak, kebijakan moneter ekspansif secara alami akan meningkatkan

inflasi. Jika di periode berikutnya kebijakan moneter yang ketat (kontraktif)

digunakan untuk menurunkan inflasi tersebut, maka akan timbul efek merugikan

terhadap kemiskinan yang akan menghilangkan penurunan kemiskinan sementara

yang terjadi di periode boom sebelumnya. Di banyak situasi usaha disinflasi tersebut

justru akan menghasilkan tingkat kemiskinan yang lebih tinggi dibandingkan

sebelum diberlakukannya kebijakan moneter longgar pada periode sebelumnya.1

Dalam jangka panjang, kebijakan moneter umumnya secara langsung

mempengaruhi inflasi rata-rata (inflasi jangka panjang) dan fluktuasi permintaan

aggregat (stabilisas ekonomi makro). Oleh karena itu, pertanyaan yang penting dari

perspektif pengambil kebijakan moneter adalah apakah terdapat hubungan antara

inflasi jangka panjang dan stabilitas ekonomi makro dengan kemiskinan dan

ketimpangan pendapatan.

Dengan menggunakan data regional ke-26 provinsi di Indonesia, ditemukan

hubungan negatif penting antara tingkat kemiskinan dengan inflasi rata-rata dan

instabilitas ekonomi makro. Hubungan ini secara kuantitatif besar dan secara 1 Lihat Romer dan Romer (2002)

Page 5: Hubungan Antara Kebijakan Moneter Dengan Kemiskinan Dan Ketimpangan Pendapatan Kajian Menggunakan Data Regional Indonesia

statistik signifikan. Hasil ini jelas konsisten dengan pemahaman bahwa dalam

jangka panjang pengendalian inflasi dan variabilitas output melalui kebijakan

moneter yang berhati-hati akan menghasilkan pendapatan yang lebih tinggi bagi

mereka yang berada di bagian bawah distribusi pendapatan. Inflasi yang rendah

dan ekonomi makro yang stabil merupakan prakondisi penting bagi usaha-usaha

untuk menggerakkan sisi penawaran dalam perekonomian (supply-side policy).

Bergeraknya sisi penawaran memiliki sifat yang tidak inflatoir sehingga turut

berkontribusi pada rendahnya inflasi dan stabilnya ekonomi makro di periode

berikutnya. Oleh sebab itu dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa kebijakan

moneter yang bertujuan untuk mengendalikan inflasi dan meminimumkan fluktuasi

output adalah yang paling mungkin untuk secara permanen memperbaiki kondisi

golongan miskin.

Selanjutnya, dengan membagi ke-26 provinsi yang dimiliki menjadi

subsampel provinsi ber-PDRB tinggi dan subsampel provinsi ber-PDRB rendah,

diperoleh hasil yang mempertajam temuan di atas. Pengaruh inflasi jangka panjang

dan instabilitas ekonomi makro terhadap tingkat kemiskinan di provinsi-provinsi

ber-PDRB kecil lebih besar dibandingkan pengaruh sejenis di seluruh provinsi. Hasil

lain yang mengejutkan adalah tidak ditemukannya pengaruh inflasi jangka panjang

maupun instabilitas ekonomi makro terhadap tingkat kemiskinan di provinsi-provinsi

ber-PDRB besar.

Disamping itu inflasi jangka panjang dan instabilitas ekonomi makro

berpengaruh lebih besar terhadap tingkat ketimpangan pendapatan di provinsi-

provinsi ber-PDRB kecil dibanding pengaruh yang sama dalam skala nasional.

Hubungan ini ternyata juga tidak ditemukan di provinsi-provinsi ber-PDRB besar.

Temuan ini menunjukkan adanya kerentanan provinsi-provinsi kecil terhadap

kemiskinan dan ketimpangan pendapatan terhadap inflasi maupun terhadap

instabilitas. Kerentanan ini bisa disebabkan oleh tiga hal. Pertama adalah struktur

ekonomi yang lebih kaku, misalnya karena dominannya sektor pertanian dimana

pendapatan masyarakat sangat sensitif terhadap gejolak harga produk pertanian.

Kedua adalah masih rendahnya kualitas sumber daya manusia (human capital)

sehingga mobilitas masyarakat baik antar sektor maupun antar daerah sangat

Page 6: Hubungan Antara Kebijakan Moneter Dengan Kemiskinan Dan Ketimpangan Pendapatan Kajian Menggunakan Data Regional Indonesia

terbatas. Ketiga, golongan miskin biasanya memperolah pendapatan yang dihitung

secara nominal tanpa mekanisme indeksasi sehingga sama sekali tidak terlindung

dari efek negatif inflasi. Kebijakan moneter yang berhati-hati akan meningkatkan

insentif investasi sehingga akan menggerakkan penawaran agregat (aggregate

supply) yang pada gilirannya akan lebih menurunkan inflasi dan lebih menarik

investasi di periode berikutnya.

Pemeriksaan kekuatan hasil (robustness check) dilakukan dengan membagi

data 26 provinsi yang dimiliki menjadi beberapa subsampel berdasarkan pulau.

Pembagian ini menggambarkan variasi regional yang erat kaitannya dengan

karakteristik infrastruktur dan struktur ekonomi di tiap daerah. Hasil analis yang

diperolah tidak berubah, yaitu semakin tinggi inflasi jangka panjang di suatu

provinsi, semakin tinggi pula tingkat kemiskinan di provinsi tersebut, dan semakin

tinggi instabilitas ekonomi makro di suatu provinsi, semakin tinggi pula tingkat

kemiskinan provinsi tersebut. Selain itu, ditemukan bahwa untuk tingkat inflasi atau

level stabilitas ekonomi makro yang sama, provinsi-provinsi di Maluku, Nusa

Tenggara dan Irian Jaya memiliki tingkat kemiskinan paling tinggi sedangkan

provinsi-provinsi di Jawa dan Kalimantan adalah yang paling rendah tingkat

kemiskinannya. Dengan hasil ini, dapat disimpulkan bahwa kebijakan moneter yang

berhati-hati (prudent) adalah kebijakan moneter yang berpihak pada si miskin (pro-

poor).

Sistematika penulisan working paper ini adalah sebagai berikut. Pada bagian

dua akan diuraikan sejumlah literatur yang berhubungan serta kerangka pemikiran

yang digunakan. Selanjutnya di bagian tiga akan dijelaskan bagaimana data

diperoleh dan diolah. Kemudian dijabarkan sejumlah model ekonometrika

sederhana yang akan mencoba menjawab permasalahan yang dihadapi. Pada

bagian empat ditampilkan analisis jangka pendek, kemudian dilanjutkan dengan

analisis jangka panjang, efek asimetris dampak kebijakan moneter serta pengaruh

struktur ekonomi regional, masing-masing pada bagian lima, enam dan tujuh.

Terakhir diuraikan sejumlah implikasi kebijakan yang dapat ditarik dari kajian ini.

Page 7: Hubungan Antara Kebijakan Moneter Dengan Kemiskinan Dan Ketimpangan Pendapatan Kajian Menggunakan Data Regional Indonesia

2. Tinjauan Literatur dan Kerangka Pemikiran

Saat ini terdapat konsensus global dimana para otoritas moneter di dunia

menempatkan pencapaian stabilitas harga sebagai prioritas. Implikasinya hampir

semua kebijakan moneter diarahkan untuk mencapai inflasi yang rendah dan situasi

ekonomi makro yang stabil. Oleh karena itu menjadi wajar apabila kinerja

(performance) dari kebijakan moneter direpresentasikan dengan seberapa besar

tingkat inflasi dan tingkat stabilitas ekonomi makro.

Berbagai penelitian yang mengkaji kemungkinan hubungan antara kebijakan

moneter dan investasi, output maupun kemiskinan umumnya mengukur kebijakan

moneter bukan dalam bentuk parameter operasional kebijakan moneter, seperti

pertumbuhan jumlah uang beredar atau kenaikan suku bunga, namun dalam

bentuk besaran kinerja kebijakan moneter (monetary policy performance) seperti

inflasi, stabilitas ekonomi makro atau pengangguran. Penelitian ini mengikuti

konvensi tersebut dengan menghitung sejumlah ukuran kinerja kebijakan moneter,

untuk kemudian dicari bagaimana pengaruhnya, bila ada, terhadap tingkat

kemiskinan dan distribusi pendapatan di Indonesia.

Barro (1996) menemukan bahwa dampak inflasi terhadap pertumbuhan dan

investasi adalah negatif dan signifikan. Inflasi jangka panjang yang tinggi akan

menyebabkan pertumbuhan dan investasi yang rendah. Inflasi yang tinggi tidak

disukai oleh investor karena berasosiasi dengan tingginya ketidakpastian bisnis

akibat tingginya resiko pasar. Hasil yang sama juga ditemukan oleh Loungani dan

Sheets (1997) dimana mereka menemukan terdapat hubungan negatif yang kuat

antara inflasi suatu periode dan pertumbuhan PDB riil periode berikutnya, juga

akibat efek merugikan inflasi terhadap investasi. Easterly dan Fischer (2001) juga

berkesimpulan bahwa sejumlah ukuran perbaikan kemakmuran orang miskin

seperti penurunan tingkat kemiskinan atau peningkatan proporsi pendapatan si

miskin menunjukkan hubungan yang negatif dengan inflasi.

Dalam perkembangan selanjutnya Romer dan Romer (2002) berhasil

memisahkan efek inflasi terhadap kemiskinan dalam jangka pendek dan jangka

panjang. Inflasi yang tinggi dalam jangka pendek belum tentu berpengaruh positif

Page 8: Hubungan Antara Kebijakan Moneter Dengan Kemiskinan Dan Ketimpangan Pendapatan Kajian Menggunakan Data Regional Indonesia

menurunkan tingkat kemiskinan namun dalam jangka panjang pasti berpengaruh

negatif menaikkan tingkat kemiskinan. Dalam kaitannya dengan stabilitas ekonomi

makro, Agenor (2004) menunjukkan bahwa membaiknya stabilitas ekonomi makro

akibat pengaruh suatu kebijakan cenderung meningkatkan tabungan dan investasi

sehingga kondusif untuk pertumbuhan ekonomi dan penurunan kemiskinan.

Studi mutakhir dari Albanesi (2007) menawarkan penjelasan teoritis

mengapa ditemukan hubungan positif antara inflasi dan ketimpangan pada data

lintas negara. Albanesi mengemukakan bahwa korelasi positif tersebut merupakan

buah dari konflik yang terjadi antara bagian yang berseberangan pada distribusi

pendapatan yang disebabkan oleh kerapuhan golongan berpendapatan rendah

terhadap inflasi.

Secara teoritis kebijakan moneter longgar (ekspansif) akan menurunkan

pengangguran, meningkatkan output dan meningkatkan inflasi dalam jangka

pendek. Namun diyakini pula bahwa dampak kebijakan ekspansif ini hanya bersifat

sementara karena adanya fluktuasi business cycle dan tidak disukainya inflasi yang

tinggi, sehingga kebijakan moneter ini tidak dapat menghasilkan boom permanen.

Di lain pihak, kebijakan moneter yang berhati-hati, konsisten dan kredibel adalah

kebijakan yang dapat mengendalikan inflasi dalam jangka panjang dan

menstabilkan fluktuasi permintaan agregat. Rendahnya inflasi dalam jangka

panjang serta stabilnya ekonomi makro merupakan situasi positif yang mendorong

investasi sehingga dipercaya dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih

tinggi dan memperbaiki distribusi pendapatan, sehingga kesejahteraan orang miskin

dapat meningkat secara permanen.

3. Konstruksi Data dan Metodologi

Analisis dalam penelitian ini menggunakan data nasional dan regional

Indonesia dua dekade terakhir (1984-2005). Analisis jangka pendek (menggunakan

data time-series tingkat kemiskinan dan tingkat ketimpangan pendapatan lingkup

nasional. Kinerja kebijakan moneter yang diukur adalah tingkat pengangguran

(unemploment rate) dan inflasi jangka pendek (short term inflation). Tingkat

Page 9: Hubungan Antara Kebijakan Moneter Dengan Kemiskinan Dan Ketimpangan Pendapatan Kajian Menggunakan Data Regional Indonesia

pengangguran dihitung dari data tahunan jumlah penganggur total dan karyawan

yang bekerja di bawah 15 jam per minggu dibagi jumlah angkatan kerja tahun

tersebut, sedangkan inflasi jangka pendek diukur menggunakan deflator PDB

tahunan.

Analisis jangka panjang menggunakan data cross-section provinsi pada

tahun 2005 bersamaan dengan data panel seluruh provinsi selama 20 tahun

sebelumnya (1984-2004). Dimana inflasi jangka panjang dihitung menggunakan

rata-rata inflasi tahunan (deflator PDB) periode tersebut. Instabilitas ekonomi makro

didekati dengan standard deviasi dari pertumbuhan PDB nominal periode 1984-

2004 tersebut. Data PDB nominal secara implisit telah mengandung komponen PDB

riil dan komponen harga, sehingga gejolak yang mungkin terjadi baik terhadap PDB

riil maupun terhadap harga (atau keduanya sekaligus) bisa ditangkap lewat besaran

standard deviasi dari pertumbuhan PDB nominal tersebut.

Tingkat kemiskinan didekati dengan proporsi penduduk miskin (penduduk

dengan pengeluaran di bawah garis kemiskinan) dalam suatu populasi tertentu

(nasional atau regional) sedangkan tingkat ketimpangan pendapatan didekati

dengan koefisien gini (gini coefficient).2, 3 Data-data tersebut bersumber dari Badan

Pusat Statistik (BPS) Indonesia.

Untuk meneliti kemungkinan hubungan antara variabel-variabel kinerja

kebijakan moneter dan kesejahteraan golongan miskin, digunakan analisis regresi

dengan spesifikasi yang berbeda dalam jangka pendek dan jangka panjang. Untuk

jangka pendek spesifikasi regresi dibangun dari keyakinan bahwa perubahan

tingkat kemiskinan atau ketimpangan pendapatan tahunan mungkin berasosiasi

dengan dinamika pengangguran atau perkembangan inflasi di tahun tersebut.

Untuk keperluan ini data nasional tahunan yang digunakan diubah bentuknya

sehingga menunjukkan perubahan jangka pendek yang dimaksud. Secara lebih

formal, didefinisikan tiga model ekonometrika sebagai berikut:

2 Untuk uji kemantapan hasil (robustness check), digunakan ukuran tingkat kemiskinan dan tingkat ketimpangan pendapatan lainnya, yaitu masing-masing, proporsi jumlah penduduk dengan pengeluaran kurang dari Rp 150 ribu per bulan dan rasio antara proporsi penduduk di 20% pengeluaran tertinggi dan penduduk di 40% pengeluaran terendah. 3 Koefisien gini memiliki nilai antara 0 dan 1, nilai tinggi menggambarkan ketimpangan yang besar.

Page 10: Hubungan Antara Kebijakan Moneter Dengan Kemiskinan Dan Ketimpangan Pendapatan Kajian Menggunakan Data Regional Indonesia

1 1 1 1t t j j ty x dα β δ εΔ = + Δ + +∑ (1)

2 2 2 2t t j j ty x dα β δ εΔ = + Δ + +∑ (2)

3 3 1 4 2 3t t t j j ty x x dα β β δ εΔ = + Δ + Δ + +∑ (3)

dimana 1t t ty y y −Δ = − adalah perubahan kesejahteraan golongan miskin (tingkat

kemiskinan atau tingkat ketimpangan pendapatan) di tahun t, 1 1 1, 1t t tx x x −Δ = −

adalah dinamika tingkat pengangguran pada tahun t, 2 2 2, 1t t tx x x −Δ = − adalah

perkembangan inflasi pada tahun t dan jd adalah variabel dummy untuk

subsampel j. Inovasi itε diasumsikan berbentuk NID (0, iσ ). Baik pengangguran

maupun inflasi merupakan proxy dari kinerja kebijakan moneter jangka pendek.

Besarnya dampak, bila ada, dari kebijakan moneter terhadap kesejahteraan si miskin

dalam jangka pendek dapat diketahui dengan mengestimasi 1α , 2α , 3α , 1β , 2β , 3β

dan 4β .

Perancangan spesifikasi model untuk mengukur efek sejenis dalam jangka

panjang dilakukan sebagai berikut. Data yang digunakan adalah data panel tiap

provinsi dimana variabel independen mengacu pada tahun referensi tertentu (2005)

sedangkan variabel penjelas dibentuk dari data jangka panjang (20 tahun)

sebelumnya (1984 – 2004). Untuk keperluan tersebut, model yang dipakai adalah:

1 1 1 1i i j j iy x dρ γ φ ξ= + + +∑ (4)

2 2 2 2i i j j iy x dρ γ φ ξ= + + +∑ (5)

3 3 1 4 2 3i i i j j iy x x dρ γ γ φ ξ= + + + +∑ (6)

dimana iy adalah kesejahteraan golongan miskin (tingkat kemiskinan atau tingkat

ketimpangan pendapatan) provinsi i di tahun 2005, 1ix adalah tingkat inflasi jangka

panjang provinsi i (dihitung dari rata-rata inflasi tahunan 1984-2004) dan 2ix adalah

Page 11: Hubungan Antara Kebijakan Moneter Dengan Kemiskinan Dan Ketimpangan Pendapatan Kajian Menggunakan Data Regional Indonesia

tingkat instabilitas ekonomi makro provinsi i (dihitung dari standard deviasi

pertumbuhan PDB nominal tahunan 1984-2004). Inovasi itξ kembali diasumsikan

berbentuk NID (0, iψ ). Disini terlihat bahwa kinerja kebijakan moneter didekati

dengan inflasi jangka panjang dan instabilitas ekonomi makro. Selanjutnya

diestimasi koefisien 1ρ , 2ρ , 3ρ , 1γ , 2γ , 3γ dan 4γ untuk menggambarkan

hubungan yang dicari, bila ada.

4. Analisis Jangka Pendek

Dalam jangka pendek secara umum terlihat kecenderungan adanya

hubungan positif antara perubahan tingkat pengangguran nasional dan perubahan

tingkat kemiskinan nasional, seperti tercermin pada grafik 2. Dalam dua puluh

tahun terakhir, mayoritas dari hubungan tersebut tampak terletak di kuadran satu

dan tiga, yang masing masing berasosiasi dengan peningkatan pengangguran yang

diikuti naiknya tingkat kemiskinan, dan penurunan pengangguran yang diikuti

turunnya pula tingkat kemiskinan. Kedua jenis hubungan tersebut merupakan

gambaran business cycle di perekonomian nasional.

Dilain pihak, hubungan perubahan inflasi jangka pendek dengan perubahan

tingkat kemiskinan dalam grafik 3 terlihat kurang jelas. Hal ini sebagian karena

adanya observasi outliers pada tahun 1997, 1998 dan 1999. Di tahun 1997, inflasi

yang naik diiringi dengan tingkat kemiskinan yang meningkat tajam yang

menunjukkan terjadinya awal suatu krisis. Pada 1998 inflasi meroket dan dibarengi

juga dengan meningkatnya kembali tingkat kemiskinan secara substansial. Baru di

tahun 1999 tampak adanya penurunan inflasi cukup besar yang diiringi sedikit

penurunan tingkat kemiskinan, sebagai tanda berakhirnya krisis. Meskipun

demikian, pengamatan yang jeli akan menuntun kita melihat bahwa mayoritas

observasi ada di kuadran dua, yang berasosiasi dengan meningkatnya inflasi (yang

kemungkinan besar adalah dampak kebijakan permintaan yang ekspansif) yang

diiringi dengan penurunan tingkat kemiskinan.

Page 12: Hubungan Antara Kebijakan Moneter Dengan Kemiskinan Dan Ketimpangan Pendapatan Kajian Menggunakan Data Regional Indonesia

Grafik 2 – Dinamika Hubungan Perubahan Pengangguran dan Perubahan

Kemiskinan Nasional

Grafik 3 – Dinamika Hubungan Perubahan Inflasi dan Perubahan Kemiskinan Nasional

-7

-5

-3

-1

1

3

-1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5 2 2.5

Perubahan Tingkat Pengangguran

Per

ubah

an T

ingk

at K

emis

kina

n

1985

1997

2000

1995

1986

1998

1987

-7

-5

-3

-1

1

3

-80 -30 20 70

Perubahan Tingkat Inflasi

Peru

baha

n Ti

ngka

t Kem

iski

nan

2000

1998

1996

1999 1985

1997

2005

Page 13: Hubungan Antara Kebijakan Moneter Dengan Kemiskinan Dan Ketimpangan Pendapatan Kajian Menggunakan Data Regional Indonesia

Tabel 1 - Perubahan Tingkat Kemiskinan dan Ekonomi Makro

Note: ** Signifikan di 5% *Signifikan di 10% Variabel dependen adalah perubahan tingkat kemiskinan Ketiga angka pada tiap variabel berturut-turut adalah koefisien estimasi, nilai absolut t-statistik, dan p-value

Untuk memberi gambaran yang lebih akurat mengenai pola yang diteliti,

dilakukan analisis dengan teknik regresi yang mengacu pada (1), (2) dan (3). Hasil

analisis ditampilkan pada tabel 1 dan 2. Data 1997, 1998 dan 1999 yang memiliki

karakteristik berbeda diperlakukan secara spesial. Dari tabel 1 dapat dilihat bahwa

dalam jangka pendek (satu tahun) terdapat hubungan positif yang signifikan antara

perubahan tingkat pengangguran dan perubahan tingkat kemiskinan. Dengan

koefisien estimasi yang hampir satu (0.992), terlihat adanya one-to-one mapping

antara penurunan pengangguran (misalnya sebagai dampak kebijakan moneter

yang longgar) dengan membaiknya tingkat kemiskinan. Ekonomi yang membaik

sebagai dampak suatu kebijakan ekspansif yang ditandai dengan menurunnya

jumlah orang tanpa pekerjaan dalam jangka pendek berasosiasi dengan semakin

sedikitnya orang miskin. Di sisi lain, tingkat inflasi menunjukkan hubungan yang

negatif (-0.130) dengan tingkat kemiskinan. Inflasi yang meningkat sebagai akibat

MODEL 1 MODEL 2 MODEL 3

C -0.922 -0.551 -0.808-3.024 -1.896 -2.4940.009 0.077 0.026

PERUBAHAN TINGKAT 0.992** 0.744PENGANGGURAN 2.378 0.992 1.545

0.031 0.145PERUBAHAN TINGKAT INFLASI -0.130* -0.074

-1.990 -1.0210.065 0.325

1997 5.117** 4.815** 5.235**4.144 3.813 4.2270.001 0.002 0.001

1998 2.602* 12.803** 7.9181.954 2.818 1.4740.070 0.013 0.163

1999 -0.036 -10.302* -5.759-0.031 -2.005 -1.0050.976 0.063 0.332

R2 0.666 0.636 0.689S.E.E 1.141 1.191 1.139

PERUBAHAN TINGKAT KEMISKINAN & EKONOMI MAKRO

Page 14: Hubungan Antara Kebijakan Moneter Dengan Kemiskinan Dan Ketimpangan Pendapatan Kajian Menggunakan Data Regional Indonesia

kebijakan moneter yang longgar akan mendorong permintaan agregat yang

berperan positif menurunkan tingkat kemiskinan.

Kedua penemuan di atas sesuai dengan teori yang diterima banyak khalayak,

dimana kebijakan moneter yang ekspansif (kontraktif) menaikkan (menurunkan)

aktivitas ekonomi. Namun secara alamiah, salah satu dari dua kebijakan tersebut

tidaklah dapat dilaksanakan secara terus menerus, karena terdapatnya fluktusi siklus

bisnis (business cycle) dalam ekonomi makro. Kondisi ini terlihat dari terdapatnya

dua kelompok besar observasi pada gambar 1, masing-masing di kuadran 1 (boom)

dan 3 (recession).

Lebih jauh lagi, dampak kebijakan moneter longgar berupa inflasi yang

tinggi hampir selalu tidak disukai. Inflasi yang terlalu tinggi cenderung

menyebabkan ketidakstabilan, suatu hal tidak menyenangkan baik bagi pelaku

bisnis maupun rumah tangga. Inflasi yang meningkat pada suatu saat umumnya

akan direspon dengan kebijakan disinflasi, yang tentu saja akan membalikkan atau

efek penurunan kemiskinan yang telah dicapai di periode sebelumnya. Bahkan bisa

terjadi kebijakan disinflasi justru menghasilkan tingkat kemiskinan yang lebih tinggi

dari kondisi sebelum kebijakan moneter yang longgar diberlakukan.

Selanjutnya, hubungan antara aktivitas ekonomi (tercermin dari inflasi dan

tingkat pengangguran) dan distribusi pendapatan, sebagai tolok ukur lain

kesejahteraan orang miskin, dipresentasikan pada tabel 2. Terlihat bahwa dalam

jangka pendek tidak terdapat hubungan yang signifikan antara perubahan tingkat

pengangguran dan tingkat ketimpangan pendapatan. Dengan kata lain inflasi

jangka pendek tidak berasosiasi dengan tingkat ketimpangan pendapatan.

Kebijakan moneter yang ekspansif dalam jangka pendek dapat menurunkan tingkat

kemiskinan (walaupun tidak secara permanen) namun tidak memperbaiki tingkat

ketimpangan pendapatan.

Page 15: Hubungan Antara Kebijakan Moneter Dengan Kemiskinan Dan Ketimpangan Pendapatan Kajian Menggunakan Data Regional Indonesia

Tabel 2 - Perubahan Tingkat Ketimpangan Pendapatan dan Ekonomi Makro

Note: ** Signifikan di 5% *Signifikan di 10% Variabel dependen adalah perubahan koefisien Gini Ketiga angka pada tiap variabel berturut-turut adalah koefisien estimasi, nilai absolut t-statistik, dan p-value

Grafik 4 – Inflasi Jangka Panjang, Instabilitas Ekonomi Makro dan Tingkat

Kemiskinan

MODEL 1 MODEL 2 MODEL 3

C 0.002 0.003 0.0020.440 0.695 0.3490.666 0.497 0.732

PERUBAHAN TINGKAT 0.003 0.003PENGANGGURAN 0.388 0.395

0.703 0.699PERUBAHAN TINGKAT INFLASI 0.000 0.000

-0.064 0.1360.950 0.894

1997 -0.019 -0.021 -0.019-0.875 -0.999 -0.8570.394 0.333 0.405

1998 -0.026 -0.018 -0.039-1.156 -0.233 -0.4110.265 0.818 0.687

1999 -0.010 -0.017 0.003-0.501 -0.194 0.0320.623 0.849 0.975

R2 0.137 0.130 0.138

S.E.E 0.020 0.020 0.020

PERUBAHAN TINGKAT KETIMPANGAN PENDAPATAN & EKONOMI MAKRO

DKI

Kaltim

NADNTTMaluku

0.04

0.08

0.12

0.16

0.2

0.24

0.28

0.32

0.36

0.4

0.08 0.1 0.12 0.14

INFLASI JANGKA PANJANG

TIN

GK

AT

KEM

ISK

INA

N MalukuNTT NAD

Kaltim

DKI0.04

0.08

0.12

0.16

0.2

0.24

0.28

0.32

0.36

0.4

0.04 0.08 0.12 0.16 0.2 0.24

INSTABILITAS EKONOMI MAKRO

TIN

GK

AT

KEM

ISK

INA

N

Page 16: Hubungan Antara Kebijakan Moneter Dengan Kemiskinan Dan Ketimpangan Pendapatan Kajian Menggunakan Data Regional Indonesia

5. Analisis Jangka Panjang

GGrraaffiikk 44 mmeennaammppiillkkaann ssccaatttteerr pplloott ddaarrii ttiinnggkkaatt kkeemmiisskkiinnaann tteerrhhaaddaapp iinnffllaassii

jjaannggkkaa ppaannjjaanngg ddaann tteerrhhaaddaapp vvaarriiaabbiilliittaass ppeerrmmiinnttaaaann.. DDaarrii kkee--2266 pprroovviinnssii yyaanngg aaddaa,,

tteerrlliihhaatt aaddaannyyaa beberapa provinsi yang memiliki karakteristik berbeda (outliers).

Provinsi-provinsi tersebut adalah NAD dan Maluku, yang merupakan daerah dimana

konflik pernah/sedang berlangsung. Disamping itu terdapat juga provinsi DKI,

Kaltim dan NTT yang merupakan daerah dengan kekhususan sumber daya

(endowment). DKI dan Kaltim memiliki sumber daya berlimpah sedang NTT sangat

minim. Dalam estimasi regresi yang dilakukan, didefinisikan lima dummy yang

masing-masing berasosiasi dengan tiap provinsi outlier tersebut. Grafik 5 dan 6

menggambarkan hubungan kemiskinan dan inflasi jangka panjang serta hubungan

kemiskinan dan variabilitas permintaan, tanpa outliers. Tingkat kemiskinan provinsi

yang dipakai adalah pada tahun 2005, inflasi jangka panjang di tiap provinsi

didekati dengan inflasi rata-rata provinsi tersebut dalam kurun waktu 1984-2004,

sedangkan variabilitas permintaan (instabilitas ekonomi makro) provinsi merupakan

standard deviasi dari pertumbuhan PDB nominal provinsi tersebut dalam kurun

waktu yang sama.

Grafik 5 – Kemiskinan dan Inflasi Jangka Panjang

0.05

0.1

0.15

0.2

0.25

0.3

0.35

0.4

0.08 0.1 0.12 0.14

INFLASI JANGKA PANJANG

TIN

GK

AT

KEM

ISK

INA

N

Page 17: Hubungan Antara Kebijakan Moneter Dengan Kemiskinan Dan Ketimpangan Pendapatan Kajian Menggunakan Data Regional Indonesia

Grafik 6 – Kemiskinan dan Instabilitas Ekonomi Makro

Secara grafis terlihat indikasi adanya hubungan positif antara inflasi jangka

panjang dan tingkat kemiskinan. Provinsi yang mampu menstabilkan inflasi pada

tingkat yang rendah dalam waktu lama cenderung memiliki tingkat kemiskinan

yang juga rendah. Sebaliknya daerah dengan laju kenaikan harga yang tinggi dalam

jangka panjang tampaknya memiliki tingkat kemiskinan yang tinggi. Hubungan

positif juga ditemukan antara tingkat instabilitas ekonomi makro dan tingkat

kemiskinan. Wilayah yang pertumbuhan ekonominya lebih stabil secara rata-rata

akan memiliki tingkat kemiskinan yang lebih rendah dari wilayah dengan tingkat

pertumbuhan yang lebih fluktuatif. Kedua kemungkinan hubungan positif tersebut

secara lebih detil diselidiki dengan analisis regresi yang menggunakan spesifikasi (4),

(5) dan (6) dan hasilnya ditampilkan pada tabel 3.

0.04

0.08

0.12

0.16

0.2

0.24

0.28

0.32

0.36

0.4

0.05 0.1 0.15 0.2 0.25

INSTABILITAS EKONOMI MAKRO

TIN

GK

AT

KEM

ISK

INA

N

Page 18: Hubungan Antara Kebijakan Moneter Dengan Kemiskinan Dan Ketimpangan Pendapatan Kajian Menggunakan Data Regional Indonesia

Tabel 3 – Tingkat Kemiskinan dan Ekonomi Makro

Note: **Signifikan di 5% *Signifikan di 10% Variabel dependen adalah tingkat kemiskinan tahun 2005 Ketiga angka pada tiap variabel berturut-turut adalah koefisien estimasi, nilai absolut t-statistik, dan p-value

Tampak dari tabel 3 bahwa inflasi jangka panjang yang tinggi berasosiasi

dengan tingkat kemiskinan yang tinggi, sementara kondisi ekonomi makro yang

tidak stabil juga berpengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan. Kedua

hubungan di atas secara ekonomi dan statistik sangat signifikan, kecuali saat kedua

variabel, inflasi jangka panjang dan instabilitas ekonomi makro diikutsertakan

bersama-sama. Pada situasi ini, pengaruh inflasi jangka panjang terhadap tingkat

kemiskinan secara statistik menjadi tidak signifikan. Di sisi lain, penggunaan dummy

untuk data outliers dikuatkan oleh hasil estimasi koefisien dummy yang hampir

semuanya signifikan. Hasil yang juga menarik adalah untuk tingkat inflasi dan

MODEL 1 MODEL 2 MODEL 3

C -0.205 0.009 -0.174-1.166 0.213 -1.2390.258 0.833 0.231

INFLASI JANGKA PANJANG 3.132** 1.6912.139 1.3600.046 0.191

INSTABILITAS EKONOMI MAKRO 1.295** 1.141**4.039 3.4260.001 0.003

NAD 0.153** 0.136** 0.155**2.177 2.441 2.7500.042 0.025 0.013

MALUKU 0.200** 0.190** 0.209**2.823 3.386 3.6890.011 0.003 0.002

DKI JAKARTA -0.180** -0.120* -0.153**-2.442 -2.163 -2.5730.025 0.044 0.019

KALTIM -0.071 -0.116** -0.122**-1.029 -1.985 -2.1270.317 0.062 0.048

NTT 0.198** 0.226** 0.253**2.602 3.705 4.0230.018 0.002 0.001

R2 0.511 0.674 0.704

Adj. R2 0.357 0.570 0.589S.E.E 0.066 0.054 0.053

TINGKAT KEMISKINAN & EKONOMI MAKRO

Page 19: Hubungan Antara Kebijakan Moneter Dengan Kemiskinan Dan Ketimpangan Pendapatan Kajian Menggunakan Data Regional Indonesia

tingkat instabilitas ekonomi makro yang sama, tingkat kemiskinan provinsi NAD,

Maluku dan NTT (daerah konflik atau bersumber-daya sangat rendah) lebih tinggi

dari rata-rata nasional. Sedangkan tingkat kemiskinan provinsi DKI dan Kaltim

(daerah bersumber-daya sangat tinggi) lebih rendah dari rata-rata nasional. Dari

hasil ini terlihat bahwa daerah-daerah dengan situasi tidak kondusif atau memiliki

kapasitas rendah cenderung memiliki tingkat kemiskinan yang lebih tinggi

dibandingkan dengan tingkat kemiskinan di wilayah yang kondusif atau memiliki

kemampuan ekonomi yang lebih baik. Implikasinya, untuk menurunkan tingkat

kemiskinan yang utamanya terjadi di daerah-daerah kurang maju, kebijakan

moneter di tiap daerah tersebut idealnya diarahkan untuk menekan inflasi secara

konsisten dalam jangka panjang. 4

Selanjutnya dilakukan analisis mengenai dampak inflasi jangka panjang dan

instabilitas ekonomi makro terhadap tingkat ketimpangan pendapatan di berbagai

daerah di Indonesia. Pada grafik 7 ditunjukkan scatter plot data regional yang

menggambarkan hubungan antara koefisien Gini dengan inflasi jangka panjang dan

instabilitas ekonomi makro. Dari kedua gambar tersebut terlihat bahwa beberapa

provinsi memiliki karakteristik khusus (outliers), yaitu DIY (koefisien Gini tertinggi),

Kalteng (kombinasi inflasi tinggi dan koefisien Gini tinggi), NTT (endowment sangat

rendah) dan DKI (endowment sangat tinggi).

4 Robustness check yang dilakukan dengan memakai ukuran tingkat kemiskinan alternatif, yaitu

proporsi penduduk dengan jumlah pengeluaran per bulan di bawah Rp.150.000,- pada tahun 2005,

menghasilkan temuan yang secara kualitatif sama.

Page 20: Hubungan Antara Kebijakan Moneter Dengan Kemiskinan Dan Ketimpangan Pendapatan Kajian Menggunakan Data Regional Indonesia

Grafik 7 – Inflasi Jangka Panjang, Instabilitas Ekonomi Makro dan

Ketimpangan Pendapatan

Grafik 8 dan 9 menunjukkan keteraturan penyebaran hubungan antara

inflasi rata-rata dan ketimpangan pendapatan serta antara variabilitas permintaan

dan ketimpangan pendapatan. Terlihat adanya indikasi hubungan positif antara

inflasi jangka panjang dan tingkat ketimpangan pendapatan serta antara instabilitas

ekonomi makro dan tingkat ketimpangan pendapatan.

Grafik 8 – Inflasi Jangka Panjang dan Ketimpangan Pendapatan

DK IK al t eng

DIY

NTT

0.25

0.3

0.35

0.4

0.45

0.08 0.1 0.12 0.14I N F L A S I J A N G K A P A N J A N G

DKI

Kalteng

DIY

NTT

0.25

0.3

0.35

0.4

0.45

0.04 0.08 0.12 0.16 0.2 0.24IN ST A B ILIT A S EKON OM I M A KR O

GIN

I

0.25

0.3

0.35

0.4

0.45

0.08 0.1 0.12 0.14INFLASI JANGKA PANJANG

GIN

I

Page 21: Hubungan Antara Kebijakan Moneter Dengan Kemiskinan Dan Ketimpangan Pendapatan Kajian Menggunakan Data Regional Indonesia

Grafik 9 – Inflasi Jangka Panjang dan Ketimpangan Pendapatan

Analisis regresi yang dilakukan seperti ditampilkan dalam tabel 4 menyelidiki

keabsahan kemungkinan pola tersebut. Inflasi jangka panjang yang tinggi secara

signifikan berasosiasi dengan tingkat ketimpangan pendapatan yang tinggi. Kondisi

ekonomi makro yang tidak stabil juga berpengaruh negatif terhadap tingkat

ketimpangan pendapatan, namun secara statistik tidak signifikan. Penggunaan

dummy untuk data outliers dikuatkan oleh hasil estimasi koefisien dummy yang

hampir semuanya signifikan. Mengacu pada Model 1, untuk inflasi dan instabilitas

ekonomi makro yang sama, tingkat ketimpangan pendapatan provinsi DIY dan NTT

lebih tinggi dari rata-rata nasional. Sedangkan provinsi DKI dan Kalteng memiliki

tingkat ketimpangan pendapatan lebih rendah dari rata-rata nasional. 5

5 Robustness check dengan memakai ukuran tingkat ketimpangan pendapatan alternatif, yaitu rasio

antara proporsi penduduk 20% pendapatan tertinggi dan proporsi penduduk 40% pendapatan

terendah, menghasilkan termuan kualitatif yang sama.

0.25

0.3

0.35

0.4

0.45

0.04 0.08 0.12 0.16 0.2 0.24INSTABILITAS EKONOMI MAKRO

GIN

I

Page 22: Hubungan Antara Kebijakan Moneter Dengan Kemiskinan Dan Ketimpangan Pendapatan Kajian Menggunakan Data Regional Indonesia

Tabel 4 – Tingkat Ketimpanan Pendapatan dan Ekonomi Makro

Note: **Signifikan di 5% *Signifikan di 10% Variabel dependen adalah koefisien Gini tahun 2005 Ketiga angka pada tiap variabel berturut-turut adalah koefisien estimasi, nilai absolut t-statistik, dan p-value

Berdasarkan temuan dari analisis jangka panjang di atas, dapat ditarik

kesimpulan bahwa dalam jangka panjang, kebijakan moneter yang menjaga

stabilitas ekonomi makro secara signifikan berdampak pada menurunnya tingkat

kemiskinan sedangkan kebijakan moneter yang secara konsisten menghasilkan

inflasi rendah dalam jangka panjang berasosiasi, juga secara signifikan, dengan

membaiknya distribusi pendapatan di masyarakat (tingkat kesenjangan menurun).

MODEL 1 MODEL 2 MODEL 3

C 0.152 0.299 0.1542.032 12.640 1.9740.056 0.000 0.063

INFLASI JANGKA PANJANG 1.454** 1.404*2.299 1.9320.032 0.068

INSTABILITAS MAKRO EKONOMI 0.194 0.0291.076 0.1510.295 0.882

DIY 0.081** 0.098* 0.081**2.585 2.943 2.5180.018 0.008 0.021

DKI -0.084** -0.053 -0.083*-2.531 -1.601 -2.3870.020 0.125 0.028

KALTENG -0.061* -0.041 -0.060**-1.945 -1.220 -1.8280.066 0.237 0.083

NTT 0.059* 0.042 0.0601.756 1.169 1.7020.094 0.256 0.105

R2 0.524 0.431 0.525

Adj. R2 0.405 0.289 0.375S.E.E 0.030 0.032 0.030

TINGKAT KETIMPANGAN PENDAPATAN & EKONOMI MAKRO

Page 23: Hubungan Antara Kebijakan Moneter Dengan Kemiskinan Dan Ketimpangan Pendapatan Kajian Menggunakan Data Regional Indonesia

6. Efek Asimetris Dampak Kebijakan Moneter Terhadap Kemiskinan

Untuk menyelidiki kemungkinan efek asimetris secara regional dari inflasi

jangka panjang dan instabilitas ekonomi makro, selanjutnya didefinisikan dua

subsampel berdasarkan besarnya ukuran perekonomian masing-masing provinsi.

Secara lebih spesifik, kedua subsampel tersebut didefinisikan sesuai nilai PDRB pada

2005, dimana subsampel 1 adalah provinsi dengan PDRB di bawah Rp 10 Triliun

dan subsampel 2 adalah provinsi dengan PDRB di atas Rp 10 Triliun. Gambaran

kedua subsampel tersebut tampak pada grafik 10. Selanjutnya dilakukan analisis

regresi dengan spesifikasi (4) dan (5).

Grafik 10 – Inflasi Jangka Panjang dan Ketimpangan Pendapatan

0

10000

20000

30000

40000

50000

60000

70000

80000PDRB 2005 (milyar Rp)

Page 24: Hubungan Antara Kebijakan Moneter Dengan Kemiskinan Dan Ketimpangan Pendapatan Kajian Menggunakan Data Regional Indonesia

Tabel 5 – Tingkat Kemiskinan dan Ekonomi Makro – Subsampel ber-PDRB < 10 Trilyun

Note: **Signifikan di 5% *Signifikan di 10%

i. Variabel dependen adalah tingkat kemiskinan tahun 2005 ii. Ketiga angka pada tiap variabel berturut-turut adalah

koefisien estimasi,nilai absolut t-statistic, dan p-value iii. Subsampel ber-PDRB kecil berisi provinsi-provinsi:

Sumbar, NAD, Papua, Bali Lampung, Kalbar, Kalsel, DIY, NTB, Kalteng, Jambi, Sulut,NTT, Sulteng, Maluku, Sultra, & Bengkulu (17 provinsi)

MODEL 1 MODEL 2C -0.488 -0.019

-1.453 -0.3480.172 0.734

INFLASI JANGKA PANJANG 5.435*1.9790.071

INSTABILITAS EKONOMI MAKRO 1.507**3.7510.003

NAD 0.190* 0.141**2.133 2.2680.054 0.043

MALUKU 0.238** 0.197**2.644 3.1330.021 0.009

NTT 0.260** 0.243*2.445 3.4790.031 0.005

R2 0.475 0.680Adj. R2 0.300 0.573S.E.E 0.076 0.059

SUB SAMPLE 1

TINGKAT KEMISKINAN & EKONOMI MAKRO

Page 25: Hubungan Antara Kebijakan Moneter Dengan Kemiskinan Dan Ketimpangan Pendapatan Kajian Menggunakan Data Regional Indonesia

Tabel 6 – Tingkat Ketimpangan Pendapatan dan Ekonomi Makro –

Subsampel ber-PDRB < 10 Trilyun

Note: **Signifikan di 5% *Signifikan di 10%

iv. Variabel dependen adalah tingkat kemiskinan tahun 2005 v. Ketiga angka pada tiap variabel berturut-turut adalah

koefisien estimasi,nilai absolut t-statistic, dan p-value vi. Subsampel ber-PDRB kecil berisi provinsi-provinsi:

Sumbar, NAD, Papua, Bali Lampung, Kalbar, Kalsel, DIY, NTB, Kalteng, Jambi, Sulut,NTT, Sulteng, Maluku, Sultra, & Bengkulu (17 provinsi)

Tabel 5 menunjukkan bahwa pengaruh inflasi jangka panjang pada tingkat

kemiskinan di kelompok provinsi dengan PDRB kecil (koefisien 5,435) lebih besar

dari keseluruhan provinsi (koefisien 3,132 pada tabel 3). Pengaruh instabilitas

ekonomi makro pada tingkat kemiskinan di kelompok provinsi dengan PDRB kecil

(koefisien estimasi 1,507) juga lebih besar dari kelompok nasional (koefisien estimasi

1,295 pada tabel 3). Ini menunjukkan bahwa kinerja kebijakan moneter (inflasi

jangka panjang dan instabilitas ekonomi makro) berdampak lebih besar pada

MODEL 1 MODEL 2C 0.090 0.267

0.696 9.0980.500 0.000

INFLASI JANGKA PANJANG 1.958*1.8080.096

INSTABILITAS MAKRO EKONOMI 0.434*1.9710.072

DIY 0.078* 0.100**2.106 2.9100.057 0.013

KALTENG 0.072 0.0631.685 1.6230.118 0.131

NTT -0.064 -0.036-1.725 -1.0290.110 0.324

R2 0.528 0.546

Adj. R2 0.370 0.395S.E.E 0.034 0.033

SUB SAMPLE 1

TINGKAT KETIMPANGAN PENDAPATAN & EKONOMI MAKRO

Page 26: Hubungan Antara Kebijakan Moneter Dengan Kemiskinan Dan Ketimpangan Pendapatan Kajian Menggunakan Data Regional Indonesia

tingkat kemiskinan di kelompok provinsi dengan PDRB kecil dibandingkan secara

nasional. Masyarakat dengan ekonomi kurang maju merasakan dampak inflasi dan

instabilitas ekonomi makro secara lebih merugikan ketimbang masyarakat yang

termasuk kelompok maju.

Beralih ke distribusi pendapatan (tabel 6), tampak pengaruh inflasi jangka

panjang pada tingkat ketimpangan pendapatan di kelompok provinsi dengan PDRB

kecil (koefisien 1,958) lebih besar dari kelompok nasional (koefisien 1,454 pada

tabel 4). Pengaruh instabilitas ekonomi makro pada tingkat ketimpangan

pendapatan di kelompok provinsi dengan PDRB kecil (koefisien 0,434) juga lebih

besar dari kelompok nasional (koefisien 0,194 pada tabel 4). Kedua hasil ini

menunjukkan kinerja kebijakan moneter (inflasi jangka panjang dan instabilitas

ekonomi makro) berdampak lebih besar pada tingkat ketimpangan pendapatan di

kelompok provinsi dengan PDRB kecil dibandingkan di kelompok keseluruhan

provinsi (sampel lengkap).

Tabel 7 – Tingkat Kemiskinan dan Ekonomi Makro – Subsampel ber-PDRB > 10 Trilyun

Note:

i. Variabel dependen adalah tingkat kemiskinan tahun 2005 ii. Ketiga angka pada tiap variabel berturut-turut adalah koefisien

estimasi, nilai absolut t-statistik, dan p-value

MODEL 1 MODEL 2C -0.026 0.101

-0.185 1.5460.861 0.183

INFLASI JANGKA PANJANG 1.6021.3210.244

INSTABILITAS EKONOMI MAKRO 0.4980.9030.408

DKI -0.146** -0.112*-2.864 -2.4870.035 0.055

KALTIM -0.054 -0.065-1.214 -1.1340.279 0.308

R2 0.632 0.574Adj. R2 0.412 0.318S.E.E 0.039 0.042

SUB SAMPLE 2

TINGKAT KEMISKINAN & EKONOMI MAKRO

Page 27: Hubungan Antara Kebijakan Moneter Dengan Kemiskinan Dan Ketimpangan Pendapatan Kajian Menggunakan Data Regional Indonesia

iii. Subsampel 2 berisi provinsi-provinsi: Jakarta, Jatim, Jabar, Jateng, Sumut, Kaltim, Riau, Sumsel, & Sulsel (9 provinsi)

Tabel 8 – Tingkat Ketimpangan Pendapatan dan Ekonomi Makro – Subsampel ber-PDRB > 10 Trilyun

Note:

iv. Variabel dependen adalah tingkat kemiskinan tahun 2005 v. Ketiga angka pada tiap variabel berturut-turut adalah koefisien

estimasi, nilai absolut t-statistik, dan p-value vi. Subsampel 2 berisi provinsi-provinsi: Jakarta, Jatim, Jabar, Jateng,

Sumut, Kaltim, Riau, Sumsel, & Sulsel (9 provinsi)

Tabel 7 dan 8 menampilkan hasil regresi yang menyelidiki kemungkinan

pengaruh antara inflasi jangka panjang dan instabilitas ekonomi makro terhadap

tingkat kemiskinan dan tingkat ketimpangan pendapatan untuk subsampel provinsi

ber-PDRB tinggi. Terlihat bahwa koefisien estimasi yang diperoleh semuanya secara

statistik tidak berbeda dengan nol, sehingga dapat disimpulkan bahwa di kelompok

provinsi dengan PDRB tinggi, kinerja kebijakan moneter (inflasi jangka panjang dan

instabilitas ekonomi makro) ternyata tidak berpengaruh secara signifikan terhadap

tingkat kemiskinan dan tingkat ketimpangan pendapatan. Hal ini merupakan

penemuan penting. Tampaknya kemampuan ekonomi suatu daerah yang mapan,

yang biasanya berasosiasi dengan struktur ekonomi yang lebih maju, sumber daya

manusia yang lebih unggul maupun kapasitas fiskal yang tinggi, mampu membuat

MODEL 1 MODEL 2C 0.197 0.372

2.530 12.1970.045 0.000

INFLASI JANGKA PANJANG 1.1031.6580.148

INSTABILITAS MAKRO EKONOMI -0.381-1.5920.163

DKI -0.080** -0.054*-2.796 -2.1960.031 0.071

R2 0.567 0.556Adj. R2 0.423 0.408S.E.E 0.023 0.023

SUB SAMPLE 2TINGKAT KETIMPANGAN PENDAPATAN & EKONOMI MAKRO

MODEL 1 MODEL 2C 0.197 0.372

2.530 12.1970.045 0.000

INFLASI JANGKA PANJANG 1.1031.6580.148

INSTABILITAS MAKRO EKONOMI -0.381-1.5920.163

DKI -0.080** -0.054*-2.796 -2.1960.031 0.071

R2 0.567 0.556Adj. R2 0.423 0.408S.E.E 0.023 0.023

SUB SAMPLE 2TINGKAT KETIMPANGAN PENDAPATAN & EKONOMI MAKRO

Page 28: Hubungan Antara Kebijakan Moneter Dengan Kemiskinan Dan Ketimpangan Pendapatan Kajian Menggunakan Data Regional Indonesia

daerah tersebut tetap tegar (resilient) terhadap dampak negatif inflasi dan

instabilitas ekonomi makro.

Analisis kedua subsampel di atas menuntun kita pada kesimpulan bahwa

efek negatif inflasi rata-rata atau variasi permintaan agregat terhadap kesejahteraan

golongan miskin bersifat asimetris. Efek kenaikan inflasi atau instabilitas terhadap

kenaikan tingkat kemiskinan atau tingkat ketimpangan pendapatan di provinsi-

provinsi dengan tingkat ekonomi rendah lebih tinggi dari efek sejenis secara

nasional, sementara efek tersebut tidak ditemukan secara signifikan di provinsi-

provinsi dengan tingkat ekonomi tinggi.

Temuan ini menunjukkan bahwa kebijakan moneter yang berhati-hati

(prudent), yaitu kebijakan moneter yang diarahkan pada tercapainya inflasi yang

rendah dan kondisi ekonomi makro yang stabil secara berkesinambungan,

merupakan kebijakan yang secara relatif lebih menguntungkan provinsi-provinsi

kurang maju. Selanjutnya karena tingkat kemiskinan yang tinggi cenderung

ditemukan di berbagai wilayah yang kurang maju tersebut, kebijakan moneter yang

prudent tampaknya merupakan kebijakan moneter yang berpihak pada golongan

miskin.

7. Variasi Struktur Ekonomi Regional dan Kesejahteraan Golongan Miskin

Tiap provinsi di Indonesia menempati wilayah regional yang berbeda-beda,

dimana tiap wilayah memiliki kualitas infrastruktur dan tingkat kemajuan ekonomi

yang tidak sama. Sehubungan dengan hal tersebut, menarik untuk melihat apakah

ada hubungan antara variasi wilayah dengan variasi dampak kinerja kebijakan

moneter terhadap orang miskin. Untuk menyelidiki hal ini, didefinisikan lima

subsampel sebagai berikut: 1) Sumatera, 2) Jawa-Bali, 3) Kalimantan, 4) Sulawesi

dan 5) NTB-NTT-Maluku-Papua. Tiap subsampel menggambarkan sekumpulan

provinsi dengan tingkat kemajuan infrastruktur dan level kerumitan ekonomi yang

berbeda. Misalnya, infrastruktur di Sumatera secara umum lebih maju ketimbang

infrastruktur di NTB-NTT-Maluku-Papua, sementara kompleksitas stuktur ekonomi di

Jawa-Bali, dimana sektor jasa dan manufaktur telah sedemikian luasnya, relatif lebih

Page 29: Hubungan Antara Kebijakan Moneter Dengan Kemiskinan Dan Ketimpangan Pendapatan Kajian Menggunakan Data Regional Indonesia

tinggi dibandingkan di Kalimantan, dimana sektor ekstraktif dan pertanian masih

dominan.

Regresi dengan spesifikasi (4) dan (5) digunakan dengan hasil seperti yang

ditampilkan pada tabel 9 dan 10.

Tabel 9 – Tingkat Kemiskinan dan Ekonomi Makro – Variasi Regional

Note:

i. Variabel dependen adalah tingkat kemiskinan tahun 2005 ii. Ketiga angka pada tiap variabel berturut-turut adalah koefisien

estimasi, nilai absolut t-statistik, dan p-value

MODEL 1 MODEL 2

C 0.032 0.1620.197 2.0080.847 0.063

INFLASI JANGKA PANJANG 2.232*1.7910.094

INSTABILITAS EKONOM I MAKRO 0.837*2.1080.052

SULAW ESI -0.120** -0.107**-2.628 -2.3650.019 0.032

SUMATERA -0.133* -0.100*-3.015 -2.0320.009 0.060

JAWA BALI -0.149** -0.097*-3.433 -1.9110.004 0.075

KALIM ANTAN -0.185** -0.138**-3.833 -2.4940.002 0.025

NAD 0.146** 0.132**2.598 2.4620.020 0.026

DKI -0.142** -0.119**-2.372 -2.1620.032 0.047

NTT 0.048 0.0930.644 1.1380.529 0.273

KALTIM -0.007 -0.049-0.122 -0.7560.904 0.461

M ALUKU 0.058 0.0820.852 1.1720.408 0.259

R2 0.766 0.781Adj. R2 0.610 0.634S.E.E 0.052 0.050

TINGKAT KEMISKINAN & EKONOMI MAKRO

Page 30: Hubungan Antara Kebijakan Moneter Dengan Kemiskinan Dan Ketimpangan Pendapatan Kajian Menggunakan Data Regional Indonesia

Tabel 10 – Tingkat Ketimpangan Pendapatan dan Ekonomi Makro – Variasi Regional

Note:

i. Variabel dependen adalah koefisien Gini tahun 2005 ii. Ketiga angka pada tiap variabel berturut-turut adalah

koefisien estimasi, nilai absolut t-statistik, dan p-value

Dari tabel 9 tampak hasil pokok yang ditemukan di bagian sebelumnya

paper ini kembali dijumpai, yaitu semakin tinggi inflasi jangka panjang di suatu

provinsi, semakin tinggi pula tingkat kemiskinan di provinsi tersebut. Hasil lain yang

ditemukan juga serupa, yaitu semakin tinggi instabilitas ekonomi makro di suatu

provinsi, semakin parah tingkat kemiskinan provinsi tersebut. Lebih lanjut, secara

C 0.151 0.2861.734 7.2960.102 0.000

INFLASI JANGKA PANJANG 1.4342.0180.061

INSTABILITAS EKONOMI MAKRO 0.2421.1070.285

SUMATERA 0.005 0.0070.249 0.2950.806 0.772

JAWA BALI 0.009 0.0230.378 0.8230.710 0.423

KALIMANTAN -0.017 -0.013-0.662 -0.4600.517 0.652

SULAWESI 0.009 0.0110.379 0.4040.710 0.692

DKI -0.090 -0.069-2.396 -1.8020.029 0.090

DIY 0.075 0.0822.086 2.1350.053 0.049

NTT 0.061 0.0531.515 1.1510.149 0.267

KALTENG -0.041 -0.020-1.080 -0.5000.296 0.624

R-squared 0.567 0.496S.E.E 0.032 0.034

Ketimpangan Pendapatan & Ekonomi Makro

Page 31: Hubungan Antara Kebijakan Moneter Dengan Kemiskinan Dan Ketimpangan Pendapatan Kajian Menggunakan Data Regional Indonesia

khusus ditemukan bahwa untuk inflasi jangka panjang dan instabilitas ekonomi

makro yang sama, tingkat kemiskinan untuk kelompok NTB-NTT-Maluku-Papua

adalah paling tinggi, diikuti berturut-turut Sulawesi, Sumatera, Jawa-Bali dan

Kalimantan. Dari hasil ini terlihat indikasi bahwa tingkat kemiskinan di Indonesia

paling tinggi ditemukan di kelompok provinsi dengan ekonomi yang relatif paling

tidak maju, lalu tingkat kemiskinan tersebut secara rata-rata menurun seiring

kemajuan tingkat kemajuan ekonomi regional.

Secara lebih detil, untuk inflasi jangka panjang dan instabilitas ekonomi

makro yang sama, dalam kelompok provinsi Jawa-Bali, provinsi DKI memiliki tingkat

kemiskinan yang lebih rendah dari provinsi lainnya sementara dalam kelompok

provinsi Sumatera, provinsi NAD memiliki tingkat kemiskinan yang lebih rendah

dibandingkan provinsi lainnya. Temuan ini kembali mengisyaratkan bahwa tingkat

kemajuan ekonomi suatu daerah berkorelasi negatif dengan tingkat kemiskinan.

Daerah dengan struktur ekonomi lebih kokoh yang mungkin juga disertai dengan

tingkat infrastuktur yang lebih modern akan memiliki tingkat kemiskinan yang juga

lebih rendah. Hasil ini kembali mengkonfirmasi penemuan sebelumnya bahwa

kebijakan moneter yang prudent (mengusahakan tercapainya inflasi yang rendah

secara stabil) adalah kebijakan moneter yang berpihak pada kelompok provinsi

kurang maju.

Tabel 10 juga mengkonfirmasi temuan sebelumnya bahwa semakin tinggi

inflasi jangka panjang di suatu propinsi, semakin tinggi pula tingkat ketimpangan

pendapatan di propinsi tersebut sementara pengaruh negatif variasi permintaan

agregat terhadap distribusi pendapatan tampak tidak signifikan. Selain itu, ternyata

ditemukan bahwa tingkat ketimpangan pendapatan tidak dipengaruhi oleh letak

geografis suatu provinsi yang terkait dengan struktur ekonomi regional provinsi

tersebut.

8. Diskusi dan Implikasi Kebijakan

Kebijakan moneter yang ekspansif dapat menurunkan tingkat kemiskinan

dalam jangka pendek. Namun adanya fluktuasi business cycle dan tidak disukainya

Page 32: Hubungan Antara Kebijakan Moneter Dengan Kemiskinan Dan Ketimpangan Pendapatan Kajian Menggunakan Data Regional Indonesia

inflasi yang tinggi membuat efek positif yang dihasilkan hanya bersifat temporer.

Dalam jangka panjang, inflasi yang rendah dan stabilitas ekonomi makro yang baik

berasosiasi secara signifikan dengan tingkat kemiskinan yang lebih rendah dan

distribusi pendapatan yang lebih baik. Kebijakan moneter yang berhati-hati

(menjaga kestabilan harga dan kondisi ekonomi makro) memiliki efek positif yang

permanen dalam menurunkan tingkat kemiskinan dan meratakan distribusi

pendapatan.

Selain itu, untuk subsampel kelompok provinsi dengan PDRB kecil dan

subsampel kelompok provinsi kurang maju, hubungan jangka panjang tersebut

sangat lebih kuat. Untuk subsampel dengan PDRB besar dan subsampel kelompok

provinsi maju, hubungan tersebut hampir tidak terlihat. Berdasarkan sejumlah

temuan dalam penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa kebijakan moneter yang

berhati-hati (prudent) adalah kebijakan moneter yang berpihak pada kelompok

miskin (pro-poor).

Page 33: Hubungan Antara Kebijakan Moneter Dengan Kemiskinan Dan Ketimpangan Pendapatan Kajian Menggunakan Data Regional Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

Agenor, P. R., 2004, Macroeconomic Adjustment and the Poor: Analytical Issues

and Cross-Country Evidence, Journal of Economic Surveys, 18(3). Albanesi, S., 2007, Inflation and inequality, Journal of Monetary Economics Vol. 54

2007 Barro, R. J., 1996, Inflation and Growth, Federal Reserve Bank Of St. Louis Review

78 (May/June 1996) Easterly, W., Fischer, S., 2001, Inflation and the Poor, Journal of Money, Credit, and

Banking, Vol. 33, No. 2 (May 2001, Part 1) Loungani, P., Sheets, N., 1997, Central Bank Independence, Inflation, and Growth

in Transition Economies, Journal of Money, Credit, and Banking, Vol. 29, No. 3 (Agustus 1997)

Romer, C. D., Romer, D. H., 1999, Monetary Policy and the Well-Being of the Poor,

Economic Review, Federal Reserve Bank of Kansas City, First Quarter 1999.