Upload
hoangthuan
View
233
Download
1
Embed Size (px)
II.A. IDENTITAS DIRI
II.A.1. Definisi Identitas Diri
Erikson (1968) menjelaskan identitas sebagai perasaan subjektif tentang
diri yang konsisten dan berkembang dari waktu ke waktu. Dalam berbagai tempat
dan berbagai situasi sosial, seseorang masih memiliki perasaan menjadi orang
yang sama. Sehingga, orang lain yang menyadari kontinuitas karakter individu
tersebut dapat merespon dengan tepat. Sehingga, identitas bagi individu dan orang
lain mampu memastikan perasaan subjektif tersebut (Kroger, 1997).
Menurut Waterman (1984), identitas berarti memiliki gambaran diri yang
jelas meliputi sejumlah tujuan yang ingin dicapai, nilai, dan kepercayaan yang
dipilih oleh individu tersebut. Komitmen-komitmen ini meningkat sepanjang
waktu dan telah dibuat karena tujuan, nilai dan kepercayaan yang ingin dicapai
dinilai penting untuk memberikan arah, tujuan dan makna pada hidup
(LeFrancois, 1993).
Marcia (1993) mengatakan bahwa identitas diri merupakan komponen
penting yang menunjukkan identitas personal individu. Semakin baik struktur
pemahaman diri seseorang berkembang, semakin sadar individu akan keunikan
dan kemiripan dengan orang lain, serta semakin sadar akan kekuatan dan
kelemahan individu dalam menjalani kehidupan. Sebaliknya, jika kurang
berkembang maka individu semakin tergantung pada sumber-sumber eksternal
untuk evaluasi diri.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan pendapat para ahli diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
identitas diri adalah perkembangan pemahaman diri seseorang yang membuat
individu semakin sadar akan kemiripan dan keunikan dari orang lain dan akan
memberikan arah, tujuan, dan makna pada hidup seseorang.
II.A.2. Pembentukan Identitas Diri
Marcia (1993) menyatakan bahwa pembentukan identitas diri merupakan:
“ Identity formation involves a synthesis of childhood skills, beliefs, and identification into a more or less coherent, unique whole that provides the young adult with both a sense of continuity with the past and a direction for the future”
(Marcia, 1993:3)
Dari definisi diatas maka dapat dikatakan bahwa pembentukan identitas
diri merupakan suatu proses pengkombinasian pengalaman, kepercayaan, dan
identifikasi yang dimiliki pada masa kanak-kanak kepada kesatuan yang unik dan
akan semakin lebih atau tidak koheren, yang akan memberikan para dewasa awal
baik perasaan keterkaitan dengan masa lalu maupun arah bagi masa yang akan
datang. Hal ini berarti bahwa dalam pembentukan identitas diri terdapat aspek-
aspek masa kanak-kanak seperti pengalaman, kepercayaan dan identifikasi yang
menjadi dasar terbentuknya identitas pada masa dewasa awal yang akan
memberikan arah untuk masa depan dan menjadi sebuah benang pengait dengan
masa lalu.
Marcia (1993) menyatakan bahwa pembentukan identitas diri dapat
digambarkan melalui status identitas berdasarkan ada tidaknya eksplorasi (krisis)
dan komitmen. Eksplorasi yang juga dikenal dengan istilah krisis adalah suatu
Universitas Sumatera Utara
periode dimana adanya keinginan untuk berusaha mencari tahu, menyelidiki
berbagai pilihan yang ada dan aktif bertanya secara serius, untuk mencapai sebuah
keputusan tentang tujuan-tujuan yang akan dicapai, nilai-nilai, dan keyakinan-
keyakinan. Dimensi eksplorasi (krisis) ialah (Marcia, 1993):
a. Sudah melalui eksplorasi (past crisis)
Seseorang dikatakan berada pada tahap eksplorasi di masa lalu (past
crisis) ketika periode dimana pemikiran aktif terhadap sejumlah variasi
dari aspek-aspek identitas yang potensial sudah berlalu sekarang. Individu
mampu menyelesaikan krisis dan memiliki pandangan yang pasti tentang
masa depan atau tugas tersebut ditunda tanpa mencapai adanya sebuah
kesimpulan yang bermakna.
b. Sedang dalam eksplorasi (in crisis)
Seseorang dikatakan sedang berada pada tahap eksplorasi ketika seseorang
sedang berusaha untuk mencari tahu dan menjajagi pertanyaan-pertanyaan
mengenai identitas dan sedang berjuang untuk membuat keputusan hidup
yang penting.
c. Tidak adanya eksplorasi (absence of crisis)
Seseorang dikatakan tidak mengalami eksplorasi ketika seseorang tidak
pernah merasa penting untuk melakukan eksplorasi pada berbagai
alternatif identitas tentang tujuan yang ingin dicapai, nilai ataupun
kepercayaan seseorang.
Komitmen adalah suatu periode dimana adanya pembuatan pilihan yang
relatif tetap mengenai aspek-aspek identitas seseorang dan terlibat dalam aktivitas
Universitas Sumatera Utara
yang secara signifikan mengarahkan kepada perwujudan pilihan yang sudah
diambil. Dimensi komitmen ialah (Marcia, 1993):
1. Seseorang dikatakan memiliki komitmen ketika aspek identitas yang
dimiliki individu berguna untuk mengarahkan perilaku di masa depan dan
tidak adanya perubahan yang besar pada aspek tersebut.
2. Tidak adanya komitmen ditunjukkan dengan keragu-raguan yang dialami
seseorang, tindakan yang terus berubah-ubah, tidak terarah, dan
membentuk komitmen personal pada saat ini bukanlah suatu hal yang
penting.
II.A.2.a. Status Identitas
Marcia (1993) mengidentifikasi eksplorasi dan komitmen sebagai dua
dimensi dasar untuk mendefinisikan status seseorang dalam mencapai sebuah
identitas diri. Berdasarkan dua dimensi dasar ini, Marcia kemudian bisa
mengklasifikasikan perkembangan pembentukan identitas diri seseorang kepada
empat status, antara lain (Rice & Dolgin, 2008):
a. Identity Diffused
Seseorang yang berada dalam status identity diffused tidak mengalami
sebuah periode eksplorasi (krisis), dan mereka juga tidak membuat
komitmen pada aspek pekerjaan, agama, filosofi politik, peran gender,
ataupun memiliki standar personal dalam berperilaku. Mereka tidak
mengalami sebuah krisis identitas dalam salah satu atau semua aspek yang
Universitas Sumatera Utara
telah disebutkan diatas, dan mereka juga tidak melewati proses
mengevaluasi, mencari, ataupun mempertimbangkan alternatif-alternatif.
b. Identity Foreclosure
Seseorang yang berada dalam status identity foreclosure tidak mengalami
periode eksplorasi (krisis) tapi mereka telah membuat sejumlah komitmen
pada aspek-aspek identitas seperti pekerjaan dan ideologi yang bukan
berasal dari pencarian mereka sendiri tapi sudah disiapkan oleh orang
disekitar mereka, khususnya orang tua. Mereka menjadi seseorang yang
diinginkan oleh orang lain, tanpa benar-benar memutuskan untuk diri
mereka sendiri.
c. Identity Moratorium
Seseorang yang berada dalam status identity moratorium sudah ataupun
sedang mengalami masa eksplorasi (krisis) terhadap alternatif-alternatif
pilihan namun belum membuat komitmen pada aspek identitas. Beberapa
orang yang berada dalam status moratorium mengalami krisis yang
berkelanjutan, sehingga mereka mengalami kebingungan, tidak stabil, dan
tidak puas. Individu dengan status moratorium juga menghindari
berhadapan dengan masalah, dan mereka memiliki kecenderungan untuk
menunda sampai situasi memaksa sebuah tindakan harus dilakukan.
d. Identity Achievement
Universitas Sumatera Utara
Seseorang yang berada dalam status identity achievement telah mengalami
sebuah moratorium psikologis, telah menyelesaikan krisis identitas mereka
dengan secara berhati-hati mengevaluasi sejumlah alternatif dan pilihan,
dan telah menyimpulkan dan memutuskan sendiri setiap pilihan yang akan
dilakukan.
Tabel 1. Status Identitas Marcia
Achievement Moratorium Foreclosure Diffusion Eksplorasi
(krisis) Ada Dalam
proses Tidak ada Ada atau
tidak ada Commitment Ada Ada tapi
tidak jelas Ada Tidak
ada
II.A.2.b. Domain Identitas Diri
Marcia (1993) mengungkapkan bahwa ada 11 domain dalam identitas diri
yang terbagi dua bagian yaitu domain utama (core domain) dan domain tambahan
(supplemental domain). Domain utama terdiri dari domain pendidikan/karir,
domain religius/agama, domain politik, domain sikap peran jenis kelamin, dan
domain derajat ekpresi seksualitas. Domain tambahan terdiri dari domain
hobi/minat, hubungan dengan teman, hubungan dengan kekasih, peran pasangan,
peran orangtua, dan prioritas antara keluarga dan karir.
Pencapaian kesebelas domain ini dapat meliputi semua tugas
perkembangan pada masa remaja yang pada umumnya dibahas secara terpisah-
pisah. Memasuki masa dewasa, remaja mulai mencari pekerjaan, ketrampilan, dan
profesi yang memberikan kepuasan dalam pekerjaan itu sendiri dan penghasilan
untuk mandiri. Remaja juga mulai mengeksplorasi dan memahami tentang agama
Universitas Sumatera Utara
yang dianutnya, peran gender dan ideologi politik yang akan dianutnya. Selain itu,
remaja juga akhirnya akan menemukan teman-teman tempat berbagi dan
mengidentifikasi dirinya.
Domain hubungan dengan teman (relationships with friends) dan domain
hubungan dengan pacar/kekasih (relationships with dates) merupakan domain
yang mencakup hubungan dengan orang lain sehingga isu identitas dan intimacy
tumpang-tindih pada kedua domain ini. Marcia (1993) menyatakan bahwa
intimacy adalah kualitas interaksi antar individu, mencakup keterbukaan, saling
berbagi, saling percaya satu sama lain, sedangkan identitas dalam kedua domain
ini mencakup bagaimana seseorang mampu mendefinisikan dirinya lewat
hubungannya dengan orang lain, sehingga lewat hubungan tersebut kita mampu
semakin memahami diri kita.
Marcia (1993) menguraikan domain identitas diri tersebut, antara lain:
a. Pilihan pendidikan/karir (vocational choice)
Untuk remaja, hal-hal yang mencakup dalam pilihan pendidikan/karir
adalah apakah akan mencari pekerjaan, menikah dan membentuk keluarga,
atau adanya pendidikan lanjutan ke jenjang yang lebih tinggi.
Mengembangkan kesadaran tentang kekuatan dan kelemahan yang
dimilikinya, hal yang disukai ataupun tidak disukai, akan membantu
kemampuan remaja untuk membuat pilihan karir yang semakin spesifik.
b. Hubungan dengan teman (relationships with friends)
Universitas Sumatera Utara
Dalam sebuah hubungan pertemanan, seorang remaja mencoba untuk
mendefinisikan dirinya lewat hubungan dengan temannya tersebut.
Hubungan dengan teman sebaya juga mencakup hal-hal seperti dasar-dasar
seseorang untuk memilih teman-temannya, apa yang bisa diberikan,
dibagikan, atau diceritakan kepada teman-temannya, apa yang diharapkan
remaja tersebut dari teman-temannya dan sebaliknya, seperti apa harapan
yang bisa dituntut oleh temannya kepada remaja tersebut.
c. Hubungan dengan pacar/kekasih (relationship with dates)
Hubungan dengan pacar/kekasih memiliki fokus yang hampir sama
dengan hubungan pertemanan, dimana remaja mencoba untuk
mendefinisikan dirinya lewat hubungan dengan kekasihnya. Namun dalam
hubungan ini, terdapat komponen romantis, yang juga menceritakan
bagaimana pandangan remaja tersebut dalam mengekspresikan seksualitas.
Dalam sebuah hubungan romantis, hubungan dengan pacar mencakup hal-
hal seperti apa yang bisa diberikan, dibagikan, atau diceritakan kepada
pacar, apa yang diharapkan remaja tersebut dari orang yang menjadi
kekasihnya dan sebaliknya, seperti apa harapan yang bisa dituntut oleh
kekasihnya kepada remaja tersebut.
Goede, Martijn De; Ed Spruijt; Jurjen Iedema; dan Wim Meeus (1999)
menyatakan bahwa transisi pada sebuah kehidupan pendidikan/karir dan
memasuki sebuah hubungan akrab (intimate relationship) yang memuaskan
adalah dua tugas perkembangan yang penting dalam hidup para remaja. Ketika
Universitas Sumatera Utara
para remaja mengalami masalah pada aspek pendidikan/karir dan hubungan
mereka dengan orang lain, mereka mungkin akan merasa gagal juga dalam hal
lain. Hal tersebut terlihat ketika saat ini banyaknya remaja yang pengangguran
memberikan dampak yang besar dalam masyarakat, dan hal itu juga menjadi
tekanan bagi remaja secara individu. Sebuah lingkungan pendidikan/pekerjaan
yang baik akan memberikan kesempatan untuk belajar, berinisiatif, melakukan
kontak sosial dan melatih ketahanan diri. Era modernisasi dan masyarakat yang
individualis juga memberikan tekanan yang semakin besar bagi seseorang untuk
bertanggungjawab dalam setiap keputusan yang diambil, khususnya ketika
menjalin relasi dengan orang lain. Menurut Goede, et.al (1999), masalah yang
dialami dalam aspek pendidikan/karir dan hubungan dengan orang lain akan
memunculkan ketegangan psikologis yang akan memberikan dampak yang negatif
pada kesehatan mental remaja.
II.A.3. Kriteria Eksplorasi (Krisis) dan Komitmen
Seperti telah diuraikan di atas bahwa pembentukan identitas diri ditandai
dengan adanya eksplorasi dan komitmen.
Kriteria yang menunjukkan ada tidaknya eksplorasi ialah (Marcia, 1993):
a. Pengetahuan (knowledgeability)
Seseorang harus menunjukkan pemahaman terhadap isi dan dampak setiap
alternatif yang akan dipilih. Hal itu membuktikan bahwa pengetahuan
seseorang lebih dari sekedar pengetahuan biasa atau sesuatu yang sudah
sering didengar, seperti yang mungkin didapatkan dari media massa.
Universitas Sumatera Utara
Informasi yang dimiliki haruslah akurat dan bukan merupakan pemahaman
umum saja. Keinginan individu tersebut untuk membuat interpretasi
sendiri menunjukkan bahwa individu tersebut memang benar-benar ingin
memahami alternatif yang ada.
b. Aktivitas untuk mengumpulkan informasi (activity directed toward the
gathering of information)
Ketika seseorang sedang berada dalam krisis identitas, aktif
mengeksplorasi pertimbangan alternatif-alternatif agar mendapatkan
informasi yang berguna untuk menyelesaikan krisis tersebut. Aktivitas
diarahkan untuk belajar lebih lagi tentang alternatif-alternatif yang ada
mencakup membaca, mengikuti kursus, dan melakukan diskusi dengan
teman, orang tua, guru, atau sumber-sumber lain yang memiliki
pemahaman tentang materi tersebut.
c. Mempertimbangkan alternatif identitas lain yg potensial (Evidence of
considering alternative potential identity elements)
Terdapat dua pola yang berbeda ketika mempertimbangkan alternatif
identitas yang akan dicapai. Pola pertama adalah kehadiran secara
simultan dua atau lebih alternatif yang berbeda dan menunjukkan bahwa
individu tersebut sadar dengan setiap alternatif-alternatif yang ada
sehingga mampu menjelaskan keuntungan dan kerugian yang dimiliki
setiap alternatif. Namun situasi tersebut menimbulkan beberapa konflik
approach-avoidance sehingga individu akan menunda dan merasa tidak
siap menentukan pilihan. Pola kedua mencakup adanya kemunculan
Universitas Sumatera Utara
perubahan dalam hal tujuan yang akan dicapai, nilai, ataupun kepercayaan
sepanjang waktu. Individu dengan pola ini telah mengeksplorasi berbagai
alternatif dan memiliki sejarah mengambil sejumlah komitmen pada
sejumlah pilihan, juga telah menolak beberapa alternatif dengan alasan
tertentu.
d. Tingkatan emosi (Emotional tone)
Terdapat berbagai perasaan yang muncul pada tahapan eksplorasi identitas
seperti rasa senang dan tertarik, was-was, dan rasa ingin tahu. Perasaan ini
muncul karena pada tahap eksplorasi, ada begitu banyak hal dalam dunia
yang bisa dieksplorasi dan seseorang ingin memperluas cakrawala
pemikiran mereka dengan merasakan pengalaman dan kesempatan baru.
Intensitas emosi-emosi ini juga akan bervariasi antar individu yang juga
akan merefleksikan temperamen mereka.
e. Keinginan untuk membuat keputusan secara dini (A desire to make an
early decision)
Karena adanya ketidaknyamanan subjektif yang dikaitkan dengan proses
krisis identitas, individu biasanya ingin untuk segera memutuskan sebuah
pilihan dari setiap alternatif yang ada. Keinginan tersebut ditunjukkan
dengan memutuskan sebuah alternatif dengan ragu-ragu dan tidak
mempertimbangkan pilihan tersebut itu dengan serius.
Ada tidaknya komitmen ditunjukkan melalui kriteria seperti (Marcia, 1993):
Universitas Sumatera Utara
a. Pengetahuan (Knowledgeability)
Seperti kriteria masa eksplorasi, jika seseorang memiliki komitmen yang
sungguh-sungguh pada sebuah tujuan, nilai, ataupun kepercayaan,
seharusnya ada bukti mengenai pemahaman yang detail, jelas dan akurat
mengenai hal tersebut.
b. Aktivitas untuk mengimplementasikan aspek identitas yang dipilih
(Activity directed toward implementing the chosen identity element)
Adanya komitmen pada aspek identitas akan mengarahkan pada ekspresi
atau realisasi dari pilihan yang telah dibuat. Sejumlah aktivitas seperti
persiapan untuk hidup masa depan yang konsisten dengan aspek identitas
yang dimiliki oleh orang tersebut akan menunjukkan implementasi dari
pilihan yang telah dibuat.
c. Tingkatan emosi (Emotional tone)
Adanya komitmen pada identitas biasanya akan diekspresikan dengan
perasaan percaya diri, stabilitas, dan rasa optimisme terhadap masa depan.
Walaupun seringkali kesadaran akan kesulitan-kesulitan yang mungkin
muncul ketika mengimplementasikan aspek identitas tersebut, namun hal
tersebut tidak mengurangi keputusan untuk melakukan pilihan yang telah
diambil.
d. Identifikasi dengan orang-orang penting (Identification with significant
others)
Universitas Sumatera Utara
Sering kali komitmen pada identitas berawal dari identifikasi dengan orang
tua, saudara yang lain, guru, atau orang-orang yang dipelajari dari sekolah
ataupun media massa.
e. Proyeksi terhadap masa depan (Projection of one’s personal future)
Komitmen pada identitas memberikan sebuah mekanisme untuk
mengintegrasikan masa lalu dengan masa kini dan antara masa kini dengan
masa yang akan datang. Aspek identitas akan direfleksikan dalam
kemampuan untuk memproyeksikan diri mereka kepada masa depan dan
mendeskripsikan tipe-tipe aktivitas yang ingin mereka lakukan selama
lima atau sepuluh tahun yang akan datang.
f. Daya tahan terhadap godaan (Resistance to being swayed)
Jika komitmen sudah terbentuk, seseorang akan konsisten dan bertahan
ketika menghadapi godaan atau pengaruh untuk meninjau ulang komitmen
yang telah dibuat bahkan menggantinya.
II. A.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Identitas Diri
Fuhrmann (1990), mengemukakan bahwa ada beberapa faktor yang
mempengaruhi proses pembentukan identitas diri:
a. Pola asuh
Pola asuh orang tua mempunyai pengaruh penting dalam pembentukan
identitas diri remaja
b. Homogenitas lingkungan
Universitas Sumatera Utara
Seseorang cenderung memperoleh identitas yang foreclosure pada
lingkungan yang homogen karena tidak mengalami krisis dan memperoleh
komitmen dari nilai-nilai orang tua dengan mudah. Sebaliknya, pada
lingkungan yang heterogen, individu diharapkan pada banyak pilihan
sehingga sering mengalami krisis dan dipaksa untuk menentukan suatu
pilihan tertentu.
c. Model untuk identifikasi
Anak mengadakan identifikasi dengan orang-orang yang dikagumi dengan
harapan kelak akan menjadi seperti orang tersebut. Remaja menjadikan
idola dan model dalam hidupnya. Orang yang berperan dewasa sebagai
model bagi remaja dapat mempengaruhi pembentukan identitas diri.
d. Pengalaman masa kanak-kanak
Individu yang mampu menyelesaikan konflik-konflik pada masa kanak-
kanak akan menngalami kemudahan dalam menyelesaikan krisis identitas
pada masa remaja. Menurut Erikson (dalam Santrock, 1998), identitas
berkembang dari rangkaian identifikasi pada masa kanak-kanak.
e. Perkembangan kognisi
Individu yang memiliki kemampuan berpikir operasional formal akan
mempunyai komitmen yang kuat dan konsisten sehingga dapat
menyelesaikan krisis identitas dengan baik.
f. Sifat individu
Universitas Sumatera Utara
Rasa ingin tahu dan keinginan yang kuat untuk mengadakan eksplorasi
membantu tercapainya identity achievement.
g. Pengalaman kerja
Individu yang telah memiliki pengalaman kerja atau telah memasuki dunia
kerja akan menstimulasi identitas diri.
h. Identitas etnik
Etnis dan harapan dari lingkungan etnis tempat individu tinggal akan
mempengaruhi pencapaian identitas.
II.B. MASA REMAJA
Remaja (adolescence) adalah masa transisi atau peralihan dari masa
kanak-kanak menuju masa dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan aspek
fisik, psikis, dan psikososial. Untuk menjadi orang dewasa, mengutip pendapat
Erikson, remaja akan melalui masa krisis, dimana remaja berusaha untuk mencari
identitas diri (search for self-identity) (Dariyo, 2004).
Santrock (1998) menyatakan bahwa remaja merupakan masa peralihan
perkembangan dari masa anak-anak menuju masa dewasa. Sedangkan WHO
(dalam Sarwono, 2000) memberikan definisi tentang remaja yang lebih bersifat
konseptual. Dalam definisi tersebut dikemukakan 3 kriteria, yaitu biologis,
psikologis, dan sosial ekonomi, sehingga disebutkan bahwa remaja adalah suatu
masa dimana:
a. Individu berkembang dan saat pertama kali menunjukkan tanda-tanda
seksual sekundernya sampai saat individu mencapai kematangan seksual
Universitas Sumatera Utara
b. Individu mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari
kanak-kanak menjadi dewasa.
c. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi yang penuh kepada
keadaan yang relatif lebih mandiri
Piaget (dalam Hurlock, 1999) menyatakan bahwa secara psikologis masa
remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa,
berada dalam yang tingkatan yang sama dengan orang dewasa, sekurang-
kurangnya dalam masalah hak. Umumnya, masa remaja berlangsung sekitar umur
13 tahun sampai umur 18 tahun, yaitu masa anak duduk di bangku sekolah
menengah. Masa ini biasanya dirasakan sebagai masa sulit, baik bagi remaja itu
sendiri maupun bagi keluarga, atau lingkungannya (Ali, 2004). Awal masa remaja
berlangsung kira-kira dari 13/14 tahun sampai 16/17 tahun, dan akhir masa remaja
bermula dari usia 16/17 tahun sampai 18, yaitu usia matang secara hukum
(Hurlock, 1999).
Berdasarkan pengertian diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa masa
remaja adalah masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa, dimana
remaja belum memperoleh status orang dewasa tetapi tidak lagi memiliki status
anak-anak. Masa remaja dimulai dari usia 13 tahun sampai dengan 18 tahun.
Havighurst (dalam Dacey & Kenny, 1997) mengemukakan 9 (sembilan)
tugas perkembangan pada tahapan remaja, yaitu:
1. Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman
sebaya baik pria maupun wanita
2. Mencapai peran sosial, pria, dan wanita
Universitas Sumatera Utara
3. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara
efektif
4. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung
jawab
5. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang
dewasa lainnya
6. Mempersiapkan karier ekonomi
7. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga
8. Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan
untuk berperilaku-mengembangkan ideologi
Pencapaian tugas perkembangan tidak terlepas juga dari pencapaian
identitas diri secara psikososial . Menurut Erikson (dalam Dacey and Kenny,
1997) masa remaja merupakan masa kritis dalam pencapaian identitas diri. Bila
seorang remaja mencapai identitas diri, seorang remaja akan memiliki gambaran-
gambaran diri yang dapat dibandingkan dengan orang lain. Sedangkan remaja
yang tidak berhasil menyelesaikan krisis identitasnya akan mengalami yang
disebut oleh Erikson sebagai identity confusion (kebimbangan akan identitasnya).
Kebimbangan tersebut bisa menyebabkan dua hal: penarikan diri individu,
mengisolasi dirinya dari teman sebaya dan keluarga, atau meleburkan diri dengan
dunia teman sebayanya dan kehilangan identitas dirinya (Santrock, 1998).
II.C. KEKERASAN FISIK
Universitas Sumatera Utara
Kekerasan dan pengabaian pada anak bisa terjadi dalam banyak bentuk
dan bervariasi. Salah satu bentuk kekerasan yang terjadi pada anak ialah
kekerasan fisik. The Office on Child Abuse and Neglect mendefinisikan kekerasan
fisik (physical abuse) berupa tindakan yang menimbulkan bahaya atau kerusakan
secara fisik, termasuk kematian pada seorang anak. Kekerasan fisik mencakup
luka pada tubuh lewat tonjokan, pukulan, tendangan, atau pembakaran (National
Center on Child Abuse and Neglect, dalam Clark, Clark, & Adamec, 2007).
Health Canada (dalam Knoke, 2008) mendefinisikan kekerasan fisik
sebagai penggunaan kekerasan dengan sengaja pada bagian tubuh anak apapun,
yang mengakibatkan luka yang tidak terjadi secara kebetulan (non-accidental).
Hal tersebut bisa mencakup memukul anak dalam waktu tertentu atau juga
sejumlah kejadian yang berpola. Kekerasan fisik mencakup perilaku-perilaku
seperti mengguncang, mencekik, menggigit, menendang, membakar atau
meracuni seorang anak, menenggelamkan anak, atau bentuk kekerasan lain yang
berbahaya.
Suyanto (2002) menambahkan, kekerasan fisik adalah bentuk kekerasan
yang paling mudah dikenali. Tindakan yang terkategorisasi kekerasan jenis ini
adalah menampar, menendang, mengancam dengan benda tajam, dan sebagainya.
Korban kekerasan jenis ini biasanya tampak secara langsung pada fisik korban
seperti luka memar, berdarah, patah tulang, pingsan, dan bentuk lain yang
kondisinya lebih berat. Dong, Anda, et. al (2004) menyatakan bahwa seseorang
yang mengalami kekerasan fisik adalah seseorang yang sering atau sangat sering
didorong, ditarik, ditampar, dipukul, atau dilempar sesuatu oleh keluarga mereka
Universitas Sumatera Utara
dan kadang-kadang, sering, atau sangat sering dipukul atau dikenai sesuatu
dengan kasar sehingga meninggalkan bekas atau luka pada tubuh mereka.
II.D. Gambaran Proses Pencapaian Status Identitas Diri Remaja Yang Mengalami Kekerasan Fisik Pada Masa Kanak-Kanak
Remaja (adolescence) adalah masa transisi atau peralihan dari masa
kanak-kanak menuju masa dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan aspek
fisik, psikis, dan psikososial. Untuk menjadi orang dewasa, mengutip pendapat
Erikson, remaja akan melalui masa krisis, dimana remaja berusaha untuk mencari
identitas diri (search for self-identity) (Dariyo, 2004).
Pembentukan identitas diri merupakan suatu proses pengkombinasian
pengalaman, kepercayaan, dan identifikasi yang dimiliki pada masa kanak-kanak
kepada kesatuan yang unik dan akan semakin lebih atau tidak koheren, yang akan
memberikan para dewasa awal baik perasaan keterkaitan dengan masa lalu
maupun arah bagi masa yang akan datang. Hal ini berarti bahwa dalam
pembentukan identitas diri terdapat aspek-aspek masa kanak-kanak seperti
pengalaman, kepercayaan dan identifikasi yang menjadi dasar terbentuknya
identitas pada masa dewasa awal yang akan memberikan arah untuk masa depan
dan menjadi sebuah benang pengait dengan masa lalu (Marcia, 1993). Sehingga
dapat disimpulkan bahwa pengalaman di masa kanak-kanak memiliki peranan
penting dalam proses pembentukan identitas diri seorang remaja.
Pengalaman kekerasan fisik di masa kanak-kanak akan menimbulkan
dampak yang sangat berarti terhadap perilaku anak, baik berkenaan dengan
kemampuan kognitif, kemampuan pemecahan masalah, maupun fungsi mengatasi
Universitas Sumatera Utara
masalah dan emosi (Wahab, 2011). Efek yang timbul akibat perilaku orang tua
yang secara fisik menyiksa dan melukai anak mereka akan menghasilkan
kerusakan secara emosional ataupun fisik. Anak yang mengalami penyiksaan,
secara fisik akan mengalami retak tulang, luka bakar, pendarahan, dan kerusakan
pada otak ataupun organ-organ internal. Penganiayaan pada anak (child abuse)
juga menimbulkan dampak yang negatif pada hubungan emosi dan sosial pada
anak-anak tersebut. Anak-anak yang dianiaya (abused children) lebih sering
menunjukkan perilaku negatif, mudah tersinggung, memiliki kompetensi sosial
yang rendah, lebih agresif, kurang kooperatif, dan mereka pada umumnya kurang
disukai oleh teman sebaya mereka. Dalam lingkungan sekolah, para guru melihat
anak-anak ini sebagai anak yang bermasalah karena penyendiri, bermasalah dalam
hal disiplin, dan memiliki performansi yang rendah secara akademis (DeGenova,
2008).
Penelitian Rummell and Hunsen (1993) menyatakan kekerasan fisik akan
memberikan dampak jangka panjang bagi anak dalam hal hubungan interpersonal
dan kesulitan dalam aspek akademis dan pekerjaan. Anak yang mengalami
kekerasan fisik akan memiliki perasaan negatif pada interaksi interpersonal seperti
merasa malu, sadar diri (self-conscious) dan merasa tidak dimengerti atau tidak
disukai oleh orang lain. Dalam aspek akademis dan pekerjaan, anak yang
mengalami kekerasan fisik memiliki tingkat intelektualitas yang lebih rendah. Hal
tersebut dilihat dari tes performansi yang dilakukan pada anak yang mengalami
kekerasan fisik dan yang tidak. Anak-anak yang mengalami kekerasan fisik juga
Universitas Sumatera Utara
memiliki orientasi yang rendah untuk membuat tujuan-tujuan dalam aspek
pekerjaan dan pendidikan.
Penelitian Meyerson, Long, Miranda, dan Marx (2002) tentang pengaruh
abuse pada masa kanak-kanak terhadap penyesuaian psikologis remaja juga
menyatakan bahwa remaja yang mengalami kekerasan fisik akan mengalami
kesulitan penyesuaian diri yang lebih besar, memiliki kompetensi sosial yang
lebih buruk, rendahnya kemampuan bahasa, dan performansi di sekolah yang
lebih buruk, jika dibandingkan dengan remaja yang tidak mengalami kekerasan.
Remaja yang pernah mengalami kekerasan secara fisik juga seringkali
menunjukkan kondisi-kondisi psikiatris seperti depresi, conduct disorder, dan
simptom-simptom kecemasan. Masalah-masalah psikologis yang ditimbulkan
pengalaman abuse di dalam keluarga tersebut akan membuat remaja mengalami
kesulitan mengeksplorasi berbagai alternatif dalam berbagai aspek kehidupannya,
sehingga hal tersebut mengakibatkan terganggunya proses pembentukan identitas
diri. Kesulitan menyesuaikan diri dengan lingkungan dan rendahnya kompetensi
sosial juga akan membuat remaja sulit membentuk relasi atau hubungan dengan
teman sebaya ataupun pasangan, sehingga eksplorasi dan komitmen terhadap
aspek identitas pada remaja tersebut dalam sebuah hubungan sosial akan
mengalami hambatan.
Anak-anak yang mengalami kekerasan fisik di masa kanak-kanak
memiliki batasan persepsi (perceptual boundaries) yang lebih luas dalam
mempersepsikan ekspresi marah seseorang, menggunakan lebih banyak sumber
daya atensi (attentional resources) untuk memproses ekspresi marah, dan
Universitas Sumatera Utara
memiliki kesulitan yang besar untuk melepaskan perhatian dari ekspresi marah
seseorang. Pengalaman emosional dari kekerasan yang dialami saat kanak-kanak
membuat mereka secara tidak sengaja memberikan perhatian yang lebih besar
terhadap ekspresi marah dan sangat beresiko munculnya simptom-simptom
kecemasan (Shackman, Shackman & Pollack, 2007).
Briere dan Elliot (dalam Kendall-Tackett, 2002) juga menyatakan bahwa
anak-anak yang pernah mengalami kekerasan akan mengembangkan sebuah pola
pemikiran (internal working model) dimana mereka melihat dunia ini sebagai
sebuah tempat yang berbahaya. Hal ini disebabkan ketidakberdayaan yang mereka
alami di masa lalu, sehingga mereka melebih-lebihkan bahaya dan kesulitan yang
ada di lingkungan mereka saat ini. Sehingga di masa dewasa, mereka akan
mengalami kepercayaan diri dan harga diri yang rendah ketika menghadapi situasi
yang tidak menyenangkan. Distorsi-distorsi pemikiran ini akan berkontribusi pada
stress yang dialami dan meningkatkan resiko terjadinya depresi.
Sebagai masa transisi dari masa anak-anak ke masa dewasa, remaja akan
membentuk identitas diri yang merupakan perasaan tentang siapa dirinya
berdasarkan siapa dia sebelumnya dan akan menjadi orang seperti apa di masa
yang akan datang. Proses pembentukan identitas ini dibentuk dari proses
pembuatan keputusan dan komitmen, dimana proses ini didahului oleh proses
mengeksplorasi banyak alternatif dalam berbagai aspek hidup (Marcia, 2002).
Namun, remaja yang mengalami kekerasan fisik dalam keluarga, yang juga
mengalami berbagai masalah baik secara fisik dan psikologis sebagai dampak dari
Universitas Sumatera Utara
kekerasan tersebut, akan menunjukkan berbagai hambatan dalam proses
pembentukan identitas dirinya.
KERANGKA BERPIKIR
Masa Anak-anak
Masa Remaja
Remaja
Physical Abuse dalam Keluarga
Dampak Fisik dan Psikologis
Pembentukan Identitas Diri
Teori Status Identitas Marcia: - Eksplorasi - Komitmen
Domain Vocational Domain Relationship w/
Friends
Domain Relationship
w/ Dates
Faktor-faktor yang mempengaruhi:
1. Pola Asuh 2. Homogenitas Lingkungan 3. Model untuk identifikasi 4. Pengalaman masa kanak-
kanak 5. Perkembangan kognisi 6. Sifat individu 7. Pengalaman kerja 8. Etnis identitas
Bagaimana gambaran proses pencapaian status identitas diri?
Universitas Sumatera Utara