iinduss

Embed Size (px)

DESCRIPTION

hvhj

Citation preview

c.ValidasiMerupakan suatu tindakan pembuktian dengan cara yang sesuai bahwa tiap bahan, proses, prosedur, kegiatan, sistem, perlengkapan atau mekanisme yang digunakan dalam produksi dan pengawasan mutu akan senantiasa mencapai hasil yang diinginkan. Dalam melakukan validasi ada beberapa dokumen yang harus disiapkan diantaranya:1)Rencana induk validasiSuatu dokumen yang menyajikan informasi mengenai program kerja validasi perusahaan itu. Dokumen ini hendaklah memberikan rincian jadwal kerja validasi yang harus dilaksanakan.2)Protokol validasiSuatu rencana tertulis mulai dari bagaimana validasi akan dilaksanakan termasuk parameter pengujian, karakteristik produk, peralatan dan batas pengambilan keputusan terhadap hasil uji yang dapat diterima. PT. Kimia Farma (Persero) Tbk. Plant Jakarta melakukan beberapa validasi meliputi:1)Validasi metode analisaValidasi metode analisa merupakan proses yang dilakukan melaluikebenaran dan kesesuaian metode analisa yang digunakan.2)Validasi pembersihanTujuannya adalah untuk mengetahui bahwa prosedur pembersihan yang dilakukan sudah efektif.3)Validasi prosesValidasi proses dilaksanakan setelah metode analisa divalidasi dan personel mendapat pelatihan. Validasi proses dibagi menjadi 3 macam yaitu validasi prospektif, retrospektif dan konkuren. Validasi prospektif dilakukan untuk produk baru dengan 3 batchpertamaharus memenuhi syaratdilakukan oleh R & D di Bandung sedangkan Plant Jakarta sendiri hanya melakukan validasi konkuren untuk pemantauan proses produksi sebanyak 3 batchberurutandan validasi retrospektif pada produk yang sudah beredar berdasarkan dokumentasi dari 10-30 batch.2.Inspeksi diri dan AuditTujuan inspeksi diri untuk mengevaluasi apakah semua aspek produksi dan pengawasan mutu industri farmasi memenuhi ketentuan CPOB. Sedangkan, penyelenggaraan audit mutu berguna sebagai pelengkap inspeksi diri. Audit mutu meliputi pemeriksaan dan penilaian semua atau sebagian dari sistem manajemen mutu dengan tujuan spesifik untuk meningkatkannya. Audit ada dua, yaitu audit internal dan audit eksternal. Audit internal mengevaluasi perusahaan internal oleh perusahaan tetapi bagian yang berbeda divisi atau dari luar, seperti BPOM. Sedangkan audit eksternal mengevaluasi supplier atau perusahaan kerjasama (tol manufacturing) oleh Pabrik pengguna bahan dari supplier itu sendiri.Frekuensi pelaksanaan inspeksi diri dan audit internal biasanya bersamaan 1 tahun dua kali, sedangkan untuk audit eksternal supplier 2 tahun sekali, sedangkan perusahaan kerjasam (tol manufacturing) 1 tahun sekali.3.StabilitasUntuk pengujian stabilitas diambil dari 1% dari batch per tahun.a.Stabilitas produk baruPengujian terhadap contoh uji meliputi uji stabilitas On going dan dipercepat.1)On Going Stability: Dimasukkan ke dalam climatic chamber suhu 30 2C dengan kelembaban relatif 75 5%. Jadwal pengujian 0, 3, 6, 9, 12, 18, 24, 36, 48, 60 bulan.2)Stabilitas dipercepat: Dimasukkan ke dalam climatic chamber suhu 40 2C dengan kelembaban relatif 75 5%. Jadwal pengujian 0, 1, 2, 3, 6 bulan.b.Stabilitas produk yang sudah beredar dan sudah tetapPengujian stabilitas terhadap produk-produk yang sudah beredar di pasaran dan sudah tetap cukup dengan on going stability. Produk dimasukkan ke dalam climatic chamber suhu 30 2C dengan kelembaban relatif 75 5%.4.Pengendalian dokumenPengendalian dokumen berfungsi mengganti, mendistribusikan dan memastikan dokumen yang mengalami perubahan. Ada beberapa level dokumen yang menjadi tanggung jawab divisi pengendalian mutu, yaitu:a.Level 1 : Manual mutub.Level II : Prosedur sistem mutuc.Level III : Prosedur-prosedut tetapd.Level IV : Formulir-formulir5.Dokumentasi, Regulasi, dan Penanganan keluhan pelangganDokumentasi berfungsi mengarsip seluruh dokumen catatan pengolahan bets dan catatan pengemasan bets yang diproduksi untuk mempermudah penelusuran jika ada permasalahan/ keluhan. Penyimpanan dokumen selama 6 tahun (expired date paling lama +1). Pemusnahan catatan produksi disaksikan oleh 2 saksi dari bagian sistem mutu. Pemusnahan dilakukan dengan menggunakan gunting atau mesin penghancur kertas. Pemusnahan dibuat Berita Acara Pemusnahan. Selain pemusnahan catatan produksi juga dilakukan pemusnahan contoh pertinggal. Pada pemusnahan contoh pertinggal disertai dengan Berita Acara Penyerahan Barang Limbah B3 yang akan diberikan kepada K3L. Contoh pertinggal ini dimaksudkan untuk investigasi atas klaim keluhan eksternal terhadap mutu.Penanganan keluhan pelanggan terhadap permasalahan internal, seperti keluhan yang disebabkan kerusakan pada saat distribusi, transportasi maupun penyimpanan baik untuk bahan baku, bahan kemas, produk antara, produk ruahan dan produk jadi. Bagian ini akan mengawasi dan melaksanakan pencatatanNCP (Non Conforming Product), suatu catatan kegiatan perlakuan terhadap suatu produk yang tidak sesuai hasil pemeriksaannya yaitu dapat berupa reproses atau kegagalan produksi. Sedangkan, untuk permasalahn eksternal seperti keluhan pelanggan terhadap jumlah dan mutu misal dari konsumen, Apotek, UBL, PBF dan BPOM. Dalam menanggapi keluhan pelanggan perlu dilakukan investigasi. Keluhan terhadap mutu maka investigasi yang dilakukan adalah membandingkannya dengan contoh pertinggal. Sedangkan keluhan terhadap jumlah dilakukan investigasi terhadap dokumentasi yang ada.

Sistem penarikan produk kembalian adalah Plant Manager akan membuat surat disposisi ke Pedagang Besar Farmasi (PBF). Selanjutnya PBF akan membuat surat disposisi kepada apotek-apotek dimana produk itu terdistribusi. Penarikan akan dibawa ke Unit Bisnis Logistik (UBL).

Uji Klinik dan Uji PraKlinik

Uji farmakologi merupakan salah satu persyaratan uji untuk calon obat. Dari uji ini diperoleh informasi tentang efikasi (efek farmakologi) dan profil farmakokinetik (meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme dan eliminasi obat) calon obat. Hewan yang baku digunakan adalah galur tertentu dari mencit, tikus, kelinci, marmot, hamster, anjing atau beberapa uji menggunakan primata, hewan-hewan ini sangat berjasa bagi pengembangan obat (http://healthcare-pharmacist.blogspot.com)Semua hasil pengamatan pada hewan menentukan apakah dapat diteruskan dengan uji pada manusia. Ahli farmakologi bekerja sama dengan ahli teknologi farmasi dalam pembuatan formula obat, menghasilkan bentuk-bentuk sediaan obat yang akan diuji pada manusia (http://healthcare-pharmacist.blogspot.com)Tahap-Tahap Pengembangan dan Penilaian Obat1. Meniliti dan skrining bahan obat.2. Mensintesis dan meneliti zat/senyawa analog dari obat yang sudah ada dan diketahui efek farmakologinya3. Meneliti dan mensintesis dan membuat variasi struktur4. Dikembangkan obat alami dengan serangkaian pengujian yang dilaksanakan secara sistematik, terencana dan terarah untuk mendapatkan data farmakologik yang mempunyai nilai terapetik(http://jendelafarmasi.blogspot.com)Pengembangan dan penilaian obat ini meliputi 2 tahap uji :1. Uji PraklinikSuatu senyawa yang baru ditemukan (hasil isolasi maupun sintesis) terlebih dahulu diuji dengan serangkaian uji farmakologi padahewan. Sebelum calon obat baru ini dapat dicobakan pada manusia, dibutuhkan waktu beberapa tahun untuk meneliti sifat farmakodinamik, farmakokinetik, farmasetika, dan efek toksiknya pada hewan uji. Serangkaian uji praklinik yang dilakukan antaralain :(http://jendelafarmasi.blogspot.com)a) Uji FarmakodinamikaUntuk mengetahui apakah bahan obat menimbulkan efek farmakologik seperti yang diharapkan atau tidak, titik tangkap, dan mekanisme kerjanya. Dapat dilakukan secara in vivo dan in vitro.b) Uji Farmakokinetik- Untuk mengetahui ADME (Absorpsi, Distribusi, Metabolisme dan Eliminasi)- Merancang dosis dan aturan pakaic) Uji Toksikologi- Mengetahui keamanannyad) Uji Farmasetika- Memperoleh data farmasetikanya, tentang formulasi, standarisasi, stabilitas, bentuk sediaan yang paling sesuai dan cara penggunaannya.

2. Uji KlinikUji Klinik Yaitu suatu pengujian khasiat obat baru pada manusia, dimana sebelumnya diawali oleh pengujian pada binatang atau pra klinik (Katzung, 1989)UJI KLINIK:Pada dasarnya uji klinik memastikan efektivitas, keamanan dan gambaran efek samping yang sering timbul pada manusia akibat pemberian suatu obat. Uji klinik ini terdiri dari uji fase I sampai fase IV (Ganiswara, 1995).a) Uji Klinik Fase IFase ini merupakan pengujian suatu obat baru untuk pertama kalinya pada manusia. Yang diteliti disini ialah keamanan dan tolerabilitas obat, bukan efikasinya, maka dilakukan pada sukarelawan sehat, kecuali untuk obat yang toksik (misalnya sitostatik), dilakukan pada pasien karena alasan etik Tujuan fase ini adalah menentukan besarnya dosis maksimal yang dapat toleransi (maximally tolerated dose = MTD), yakni dosis sebelum timbul efek toksik yang tidak dapat diterima. Pada fase ini, diteliti juga sifat farmakodinamik dan farmakokinetiknya pada manusia. Hasil penelitian farmakokinetik ini digunakan untuk meningkatkan ketepatan pemilihan dosis pada penelitian selanjutnya. Uji klinik fase I dilaksanakan secara terbuka, artinya tanpa pembanding dan tidak tersamar, dengan jumlah subyek bervariasi antara 20-50orang (http://jendelafarmasi.blogspot.com)Pada fase ini obat dicobakan untuk pertama kalinya pada sekelompok kecil penderita yang kelak akan diobati dengan calon obat. Tujuannya ialah melihat apakah efek farmakologik yang tampak pada fase I berguna atau tidak untuk pengobatan. Fase II ini dilaksanakan oleh orang-orang yang ahli dalam masing-masing bidang yang terlibat. Mereka harus ikut berperan dalam membuat protocol penelitian yang harus dinilai terlebih dulu oleh panitia kode etik lokal. Protokol penelitian harus diikuti dengan dengan ketat, seleksi penderita harus cermat, dan setiap penderita harus dimonitor dengan intensif (Ganiswara, 1995).Pada fase II awal, pengujian efek terapi obat dikerjakan secara terbuka karena masih merupakan penelitian eksploratif. Pada tahap biasanya belum dapat diambil kesimpulan yang mantap mengenai efek obat yang bersangkutan karena terdapat berbagai factor yang mempengaruhi hasil pengobatan, misalnya perjalanan klinik penyakit, keparahannya, efek placebo (Ganiswara, 1995).Untuk membuktikan bahwa suatu obat berkhasiat, perlu dilakukan uji klinik komparatif yang membandingkannya dengan placebo; atau bila penggunaan placebo tidak memenuhi syarat etik, obat dibandingkan dengan obat standard yang telah dikenal. Ini dilakukan pada akhir fase II atau awal fase III, tergantung dari siapa yang melakukan, seleksi penderita, dan monitoring penderitanya. Untuk menjamin validitas uji klinik komparatif ini, alokasi penderita harus acak dan pemberian obat dilakukan secara tersamar ganda. Ini dsebutuji klinik acak tersamar ganda berpembanding.Pada fase II ini tercakup juga penelitian dosis-efek untuk menentukan dosis optimal yang akan digunakan selanjutnya, serta penelitian lebih lanjut mengenai eliminasi obat, terutama metabolismenya. Jumlah subjek yang mendapat obat baru pada fase ini antara 100-200 penderita (Ganiswara, 1995).b ) Uji Klinik Fase IIPada fase ini dicobakan pada pasien sakit. Tujuannya adalah melihat apakah obat ini memiliki efek terapi. Pada fase II awal, pengujian efek terapi obat dikerjakan secara terbuka karena masih merupakan penelitian eksploratif, karena itu belum dapat diambil kesimpulan yang mantap mengenai efikasi obat yang bersangkutan.Untuk menunjukkan bahwa suatu obat memiliki efek terapi, perlu dilakukan uji klinik komparatif (dengan pembading) yang membandingkannya dengan plasebo; atau jika penggunaan plasebo tidak memenuhi persyaratan etik, obat dibandingkan dengan obat standar (pengobatan terbaik yang ada). Ini dilakukan pada fase II akhir atau awal, tergantung dari siapa yang melakukan, seleksi pasien, dan monitoring pasiennya. Untuk menjamin validasi uji klinik komparatif ini , alokasi pasien harus acak dan pemberian obat dilakukan secara tersamar ganda. Ini disebut uji klinik berpembanding, acak, tersamar ganda. Fase ini terjakup juga studi kisaran dosis untuk menetapkan dosis optimal yang akan digunakan selanjutnya(Ganiswara, 1995).c ) Uji Klinik Fase III-Pada manusia sakit, ada kelompok kontrol dan kelompok pembanding- Cakupan lebih luas baik dari segi jumlah pasien maupun keragaman (misal : intra ras- Setelah terbukti efektif dan aman obat siap untuk dipasarkan (http://jendelafarmasi.blogspot.com)Uji klinik fase III dilakukan untuk memastikan bahwa suatu obat-baru benar-benar berkhasiat (sama dengan penelitian pada akhit fase II) dan untuk mengetahui kedudukannya dibandingkan dengan obat standard. Penelitian ini sekaligus akan menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang (1) efeknya bila digunakan secara luas dan diberikan oleh para dokter yang kurang ahli; (2) efek samping lain yang belum terlihat pada fase II; (3) dan dampak penggunaannya pada penderita yang tidak diseleksi secara ketat (Ganiswara, 1995).Uji klinik fase III dilakukan pada sejumlah besar penderita yang tidak terseleksi ketat dan dikerjakan oleh orang-orang yang tidak terlalu ahli, sehingga menyerupai keadaan sebenarnya dalam penggunaan sehari-hari dimasyarakat. Pada uji klinik fase III ini biasanya pembandingan dilakukan dengan placebo, obat yang sama tapi dosis berbeda, obat standard dengan dosis ekuiefektif, atau obat lain yang indikasinya sama dengan dosis yang ekuiefektif. Pengujian dilakukan secara acak dan tersamar ganda.Bila hasil uji klinik fase III menunjukan bahwa obat baru ini cukup aman dan efektif, maka obat dapat diizinkan untuk dipasarkan. Jumlah penderita yang diikut sertakan pada fase III ini paling sedikit 500 orang (Ganiswara, 1995).d) Uji Klinik Fase IV- Uji terhadap obat yang telah dipasarkan (post marketing surveilance)- Mamantau efek samping yang belum terlihat pada uji-uji sebelumnya- Dug safety : drug mortality atau drug morbidity- MESO : Monitoring Efek Samping ObatFase ini sering disebutpost marketing drug surveillancekarena merupakan pengamatan terhadap obat yang telah dipasarkan. Fase ini bertujuan menentukan pola penggunaan obat di masyarakat serta pola efektifitas dan keamanannya pada penggunaan yang sebenarnya. Survei ini tidak tidak terikat pada protocol penelitian; tidak ada ketentuan tentang pemilihan penderita, besarnya dosis, dan lamanya pemberian obat. Pada fase ini kepatuhan penderita makan obat merupakan masalah.Penelitian fase IV merupakan survey epidemiologic menyangkut efek samping maupun efektif obat. Pada fase IV ini dapat diamati (1) efek samping yang frekuensinya rendah atau yang timbul setelah pemakaian obat bertahun-tahun lamanya, (2) efektifitas obat pada penderita berpenyakit berat atau berpenyakit ganda, penderita anak atau usia lanjut, atau setelah penggunaan berulangkali dalam jangka panjang, dan (3) masalah penggunaan berlebihan, penyalah-gunaan, dan lain-lain. Studi fase IV dapat juga berupa uji klinik jangka panjang dalam skala besar untuk menentukan efek obat terhadap morbiditas dan mortalitas sehingga datanya menentukan status obat yang bersangkutan dalam terapi.Dewasa ini waktu yang diperluka untuk pengembangan suatu obat baru, mulai dari sintetis bahan kimianya sampai dipasarkan,mencapai waktu 10 tahun atau lebih.Setelah suatu obat dipasarkan dan digunakan secara luas, dapat ditemukan kemungkinan manfaat lain yang mulanya muncul sebagai efek samping. Obat demikian kemudian diteliti kembali di klinik untuk indikasi yang lain, tanpa melalui uji fase I. Hal seperti ini terjadi golongan salisilat yang semula ditemukan sebagai antireumatik dan anti piretik. Efek urikosurik dan antiplateletnya ditemukan belakangan. Hipoglikemik oral juga ditemukan dengan cara serupa (Ganiswara, 1995)

UJI KLINISUji klinis merupakan penelitian eksperimental terencana yang dilakukan pada manusia, pada uji klinis peneliti memberikan perlakuan atau intervensi pada subyek penelitian, kemudian efek perlakuan tersebut diukur dan dianalisis. Bila dibandingkan dengan study observasional, uji klinis mempunyai kapasitas yang lebih tinggi dalam menerangkan hubungan sebab akibat. Dalam rancangan ini pula, pariabel perancu dapat dikontrol dengan baik.Uji klinis sering dilaksanakan untuk membandingkan satu jenis pengobatan dengan pengobatan lainnya. Dalam arti kata yang luas, pengobatan dapat berarti medikamentosa, perasat bedah, terapi psikologis, diet, akupuntus, pendidikan atau intervensi kesehatan masyarakat dan lain-lain. Uji klinis ini telah dikenal dalam penelitian kedokteran sejak 50 tahun yang lalu, dan kini makin menjadi penting dengan kemajuan teknologi kedokteran.Pada penelitian uji klinis dikenal uji klinis acak terkontrol atau randomized control trial= RCT, yang merupakan standar obtimal uji klinis. Dalam istilah tersebut termasuk aspek ketersamaran atau pembuatan (masking,blinding), hal yang amat penting disamping randominasi, oleh karena itu maka hulley dan cummings lebih menyukai istilah randomisszed blinded trial = RBT.Uji klinis bervariasi dari uji efektivitas obat yang sederhana, yang hanya melibatkan beberapa puluh kasus dan dapat dikerjakan oleh satu orang peneliti, sampai uji klinis multisenter yang menuntut organisasi yang rumit, disamping jumlah subjek dan peneliti yang banyak, factor logistic, system informasi serta manajemen yang rumit.JENIS UJI KLINISUji klinis pada dasarnya merupakan suatu rangkaian proses pengembangan pengobatan baru. Biasanya jenis obat ataupun cara pengobatan yang akan diuji diharapkan memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan pengobatan yang telah ada. Uji klinis dibagi dalam 2 tahapan, yaitu:1.Tahapan 1Pada tahapan ini dilakukan penelitian laboratorium yang disebut juga sebagai uji pre-klinis, dikerjakan in vitro dengan menggunakan benatan percobaan. Tujuan penelitian tahapan 1 ini adalah untuk mengumpulkan informasi farmakologi dan toksikologi dalam rangka untuk mempersiapkankan penelitian selanjutnya yakni dengan menggunakan manusia sebagai subjek penelitan2.Tahapan 2Pada uji klinis tahapan 2, digunakan manusia sebagai subjek penelitian. Tahapan ii berdasarkan tujuannya dapat dibagi menjadi 4 fase, yaitu:Fase 1 :bertujuan untuk meneliti keamanan serta toleransi pengobatan, dengan mengikutsertakan 20-100 orang subjek penelitian.Fase II : bertujuan untuk menilai system atau dosis pengobatan yang paling efektif, biasanya dilaksanakan dengan mengikutsertakan sebanyak 100-200 subjek penelitian.Fase III : bertujuan untuk mengevaluasi obat atau cara pengobatan baru dibandingkan dengan pengobatan yang telah ada (pengobatan standal). Uji klinis yang banyak dilakukan termasuk dalam fase ini. Baku emas uji klinis fase III adalah uji klinis acak terkontrol.Fase IV :bertujuan untuk mengevaluasi obat baru yang telah dipakai dimasyarakat dalam jangka waktu yang relative lama (5 tahun atau lebih). Fase ini penting karena terdapat kemungkinan efek samping obat timbul setelah lebih banyak pemakai. Fase ini disebut juga sebagai uji klinis pascapasar (post marketing).DESAIN UJI KLINISPada uji klinis dilakukan untuk mengetahui hubungan sebab akibat antara variable bebas (predictor) dengan variabel tergantung (efek) dalam periode waktu tertentu. Hasil uji klinis ditentukan berdasarkan atas perbedaan efek yang terjadi pada kelompok perlakuan dengan pada kelompok control. Efek yang dinilai dapat merupakan kematian, kejadian klinis ataupun hasil laboratorium dan dapat berskala nominal, ordinal ataupun numeric.Uji klinis sesungguhnya sangat mirif dengan study kohort, karena kelompok perlakuandan control diikuti diobservasi sampai terjadi efek. Perbedaannya, pada uji klinis baik alokasi subjek maupun metode perlakuan pada subjek ditentukan oleh peneliti untuk memastikan bahwa kedua kelompok subjek sebanding dengan sedikit mungkin bisa.Hal 1223.Analisis interimDalam beberapa keadaan mungkin teori dan pengalaman tidak cukup untuk meyakinkan bahwa perbedaan yang akan ditemukan antara kelompok terapi dan kelompok control tidak terlalu besar. Dalam keadaan tersebut, yakni bila dengan subyek yang sedikit susah dapat diperoleh kesimpulan yang definitive, bila peneliti meneruskan uji klinis berarti ia membiarkan salah satu kelompok memperoleh pengobatan yang inferior, keadaan ini jelas tidak etis. Karenanya, bila terdapat kemungkinan beda efek yang sangat besar antara kelompok pengobatan dan kelompok control, maka diperlukan suatu prosedur untuk menilai hasil antara sebelum penelitian selesai dilakukan. Prosedur ini disebut sebagai analisis interin.Bagaimana patokan untuk melakukan analisis interin? Seyogyanya terdapat criteria objektif untuk menghentikan uji klinis, yakni criteria statistic. Untuk hal ini perlu diperhatikan 2 hal yakni:a.Nilai kemaknaan yang semula dipilihb.Berapa kali analisis interin diperlukan.Dengan subyek yang lebih sediki dari yang dihitung semula, nilai p