ilgiz

Embed Size (px)

DESCRIPTION

ilgiz

Citation preview

2.2 Pembahasan

Terdapat dua jurnal yang akan dibahas dalam makalah ini yaitu jurnal A dan jurnal B. Kedua jurnal ini sama-sama membahas pola konsumsi pangan yang ada di masyarakat. Jurnal A membahas perubahan pola konsumsi pangan di Sumatera Utara sedangkan jurnal B membahas tentang konsumsi dan keadaan gizi petani di daerah Jatiluhur, Jawa Barat.

A. Jurnal KAJIAN PERUBAHAN POLA KONSUMSI PANGAN DI SUMATERA UTARAa. Kependudukan dan Produksi Pangan Sumatera Utara

Produksi pangan di Provinsi Sumatera Utara dari tahun 1987-2007 terus mengalami peningkatan kecuali pada tahun 2001, 2002, dan 2006. Komoditas lain juga cenderung mengalami peningkatan. Dari data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik dan Dinas Pertanian Propinsi Provinsi Sumatera Utara, produksi padi di Kabupaten Langkat mulai tahun 1987 terus meningkat dari 176.887 ton menjadi 360.044 ton pada tahun 1998. Mulai tahun 1998 produksi padi berfluktuasi hingga tahun 2006. Fluktuasi produksi padi dapat tumbuh sebesar 10.29% pada tahun 2000 namun turun kembali pada tahun 2001 sebesar -12.59%. Dari Tahun 1987 hingga 2007 pertumbuhan produksi padi sebesar 97% jauh lebih besar dibandingkan dengan pertumbuhan penduduk sebesar 35%. Pertumbuhan produksi padi yang tertinggi terjadi pada tahun 2005 yaitu sebesar 20.65%. b. Pengeluaran Berdasarkan Kelompok Makanan Sumatera Utara

Dari segi jumlah pengeluaran yang dilakukan untuk kelompok makanan, biaya untuk pembelian padi-padian merupakan yang paling banyak, terutama di pedesaan baik pada tahun 2004 maupun 2005. Pengeluaran kedua terbesar adalah tembakau dan sirih dan diikuti dengan ikan. Di daerah perkotaan makanan dan minuman jadi menempati urutan keempat sedangkan di pedesaan pengeluaran untuk sayuran lebih tinggi dari makan dan minuman jadi. Tahun 2005 pengeluaran untuk makanan dan minuman jadi melonjak melebihi pengeluaran untuk padi-padian, yang kemudian diikuti ikan dan tembakau dan sirih. Di daerah pedesaan pengeluaran terbesar masih pada padi-padian, namun pengeluaran untuk tembakau dan sirih melebihi ikan dan sayuran. Masyarakat kota cenderung lebih memilih cara hidup yang praktis tanpa harus mengolah bahan makanan sendiri, tetapi membeli makanan dan minuman jadi.

Bila dilihat berdasarkan rata-rata pengeluaran per bulan untuk bahan makanan tahun 2006, padi-padian masih menjadi bahan utama yang dibeli oleh masyarakat, yaitu Rp. 45.134 (15.7%), diikuti ikan, Rp.24.339 (8.47%) dan tembakau dan sirih Rp23.401 (8.14%), sayuran Rp. 14.203 (4.94%) dan makanan dan minuman jadi Rp. 13.282 (4.62%).Pengeluaran per kapita per bulan masyarakat Sumatera Utara dari tahun 2004 sampai 2005 baik untuk bahan makanan maupun bukan makanan mengalami peningkatan yang tajam. Untuk bahan makanan terjadi peningkatan dari Rp. 136.526- menjadi Rp. 168.655,- (sebesar 24%) sedang bahan bukan makanan naik dari Rp. 76.060,- menjadi Rp. 118.726,- (sebesar 31%). Dari 2005 ke 2006 baik makanan maupun bukan makanan cenderung tetap atau sedikit menurun.

Bila dilihat dari jenis pengeluaran, lebih dari separuh pendapatan rumah tangga digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan yanitu sebesar Rp. 168.542,- ((58.64%) ) sedangkan untuk bukan makanan sebesar Rp. 118.892,- (41.36%). Dari total pengeluaran rumah tangga dari tahun 2004 ke 2005 mengalami kenaikan yang cukup tinggi, yaitu sebesar 35.18%, sedangkan dari tahun 2005 ke 2006 hanya terjadi kenaikan sebesar 0.02%.

Tingkat konsumsi energi per kapita per hari diperoleh dengan membagi tingkat konsumsi energi rumahtangga dengan jumlah anggota rumahtangga. Berdasarkan rekomendasi Wdyaarya Nasional Pangan dan Gizi V (1993) tingkat konsumsi energi yang diperlukan oleh rata-rata penduduk Indonesia adalah 2150 kkal/kapita/hari.

c. Diversifikasi Makanan

Dari pernelitian yang dilakukan di Sumatera Utara, khususnya di tiga kabupaten yaitu Deli Serdang, Serdang Bedagai dan Langkat, diketahui telah terjadi pergeseran pola konsumsi masyarakat, yaitu dengan menurunnya konsumsi beras per kapita per bulan. Dalam memenuhi kebutuhan karbohidrat, masyarakat tidak hanya bergantung pada beras, namun telah menggantinya dengan bahan lain yang telah diolah menjadi makanan ringan maupun makanan berat. Jenis-jenis makanan non beras yang dikonsumsi masyarakat di tiga kabupaten tersebut umumnya tidak berbeda jauh dari segi jenis maupun bahan dasarnya. Namun yang perlu diperhatikan adalah, makanan non beras yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat adalah bersumber dari bahan gandum, seperti mie, dan berbagai jenis roti, bukan dari bahan makanan yang dihasilkan dari daerah tersebut seperti jagung dan ubi.

Perubahan pola konsumsi masyarakat khususnya di perkotaan umumya adalah pada sarapan pagi. Sebagain besar masyarakat sudah mengganti nasi dengan makanan lain seperi roti, mie instan, kue, dan lain-lain. Makan siang pada umumnya masyarakat mengkonsumsi nasi, sedangkan pada malam hari jenis makanan yang dikonsumsi kembali mengalami variasi.

Beberapa jenis makanan non beras yang dikonsumsi maysarakat yang bersumber dari gandum antara lain :

1. Mie ; yang disajikan dalam berbagai jenis masakan seperti ; mie instan, mie kuning (mie goreng, mie rebus, mie bakso), mie tiaw, mie hun (me hun goreng, mie hun bakso), mie pansit, mie bakso dan lain-lain.

2. Roti : yang terdiri dari roti tawar yang dapat dimakan dengan berbagai sajian seperti ditambah selai, coklat, keju, atau disajikan dalam bentuk roti panggang lain-lain. Roti manis selain dapat langsung dimakan juga terdapat dalam bentuk roti panggang dan burger.

3. Martabak : tersedia dalam bentuk martabak manis dengan berbagai variasi rasa dan campuran, juga martabak telur dengan kombinasi daging sapi atau ayam.

4. Pizza dan aneka roti yang umum terdapat di kota-kota besar

5. Aneka kue ; seperti lapis legit, bika ambon, aneka jenis bolu (bolu kukus, bolu gulung), apem, risol, dan lain-lain.

Jenis-jenis makanan non beras yang terbuat dari bahan selain gandum juga sudah mulai banyak dikonsumsi oleh masyarakat, antara lain dalah ;

1. Aneka Roti : (bolu pisang, bolu ubi)

2. Aneka kue (kue jagung, apem ubi, kroket kentang, kroket tahu, prekedel jagung, onde-onde ubi, ondol-ondol sagu, onde-onde ketan, lemper, lepat ubi, lepat pisang, getuk ubi, getuk pisang

3. Makanan gorengan (ubi kayu, ubi jalar, pisang, sukun, talas, tahu, tempe, tape)

4. Makanan ringan; aneka keripik (ubi kayu, ubi jalar, pisang, kentang, tempe, sukun, talas), opak ubi, jagung goreng, dan lain-lain.

Kecenderungan masyarakat baik di Sumatera Utara maupun di Indonesia pada umumnya mulai mengkonsumsi makanan non beras merupakan suatu kemajuan dalam program diversifikasi makanan, namun perlu diwaspadai karena dari sebagian besar makanan non beras, gandum merupakan bahan yang sangat dominan dikonsumsi, bukan bahan makanan yang bersumber dari potensi daerah.

Saat ini penduduk Indonesia sudah terlanjur ketergantungan dengan beras serta terigu untuk bahan roti, mi, dan kue atau kedelai untuk tahu dan tempe. Kebiasaan mengandalkan konsumsi suatu jenis makanan tertentu perlu diperbaiki. Indonesia sebenarnya tidak ada budaya makan mie. Tapi berbagai macam kampanye mi instan dan lainnya di berbagai media masa menyebabkan masyarakat semakin tergantung pada terigu. Karena itu, apa yang harus dilakukan saat ini adalah jangan sampai masyarakat Indonesia kehilangan momentum emas. Penduduk Indonesia harus pindah ke konsumsi pangan lainnya dan tingkatkan produksi potensi pangan di daerah seperti jagung, ubi kayu, ubi jalar, sagu, sukun, dan kacang-kacangan sehingga tidak bergantung pada impor.

B. Jurnal HASIL SURVEY KONSUMSI MAKANAN DAN KEADAAN GIZI PETANI DI DAERAH PENGAIRAN JATILUHUR, JAWA BARATa. Konsumsi Makanan

Konsumsi makanan rumah tangga, ditemukan bahwa beras merupakan sumber karbohidrat utama dalam pola konsumsi makanan petani di wilayah ini, baikvpada golongan Petani Penggarap (PP) maupuan Petani Buruh (PB), dan baik pada saat sesudah panen maupun sebelum panen. Ikan kering dan asin sebagai sumber protein hewani yang masih terjangkau oleh daya beli mereka, dibandingkan dengan daging atau telur yang termasuk bahan makanan mahal bagi petani. Ikan segar masih dapat terjangkau walaupun dalam jumlah yang relatif kecil. Sumber protein nabati hampir seluruhnya digantungkan kepada beras, di samping sejumlah kecil kacangkacangan dan hasilnya, seperti tempe, oncom. Pola konsumsi makanan pada waktu sebelum panen mengalami sedikit perubahan, terutama dalam ha1 kuantitas. Tidak ada kecenderungan fungsi beras digantikan oleh sumber-sumber karbohidrat orang lain. Kenaikan konsumsi ikan segar ditemukan pada kedua golongan petani di wilayah pedataran, yaitu masing-masing Demikian pula terdapat perbaikan konsumsi sayuran daun hijau pada kedua golongan petani di ketiga wilayah, yaitu antara 41 sarnpai 82 gram pada golongan PP, dan antara 33 sampai 4 1 gram pada golongan PB.

(Sumber : Djoko et. al, 2009)b. Intake Zat-Zat Gizi

(Sumber : Djoko et. al, 2009)

Konsumsi makanan petani rata-rata seorang sehari menghasilkan kurang dari 2000 kalori, kecuali golongan PP di wilayah pegunungan yang memperoleh 2075 kalori. Golongan PB di wilayah peralihan memperoleh zat-zat gizi relatif terendah, antara lain 1578 kalori dan 38,2 gram protein, yang 12,8% diperoleh dari protein hewani.

(Sumber : Djoko et. al, 2009)

Dengan waktu sebelum panen, menunjukkan sebagai akibat kenaikan konsumsi sayuran daun kenaikan intake vitamin A yang berarti pada kedua golongan petani dari ketiga wilayah itu sebagai akibat kenaikan konsumsi sayuran hijau dan protein terhadap kecukupan yang dianjurkan (Recommended Dietary Allowances) pada dua musim yang berbeda.protein. Pada kedua golongan PP dan PB di daerah pedataran relatif tidak berubah, bila dibandingkan dengan kecukupan yang dianjurkan, dan masing-masing masih di bawah standar kecukupan tersebut. Sedangkan golongan PP di daerah peralihan dan pegunungan memperoleh peningkatan, di mana kebutuhan protein terpenuhi di kedua wilayah daerah itu, dan kebutuhan kalori hanyalah terpenuhi di daerah pegunungan.

(Sumber : Djoko et. al, 2009)

c. Status Gizi PetaniDengan menggunakan kriterium "berat menurut tinggi badan" ditemukan 49,1% sampai 54,6% golongan PP, dan antara 5 1% dan 55,1% golongan PB yang ,berbobot kurang (kurus), di sarnping ditemukan 9,9% golongan PB di daerah pedataran yang sangat kurus pada waktu sesudah panen. Pada waktu menjelang panen, ditemukan bertambahnya jumlah petani PB di wilayah pedataran yang berbadan kurus (70,4%) di samping petani PP (62,4%), sedangkan di daerah pegunungan terdapat perbaikan status berat Gadan di mana di satu pihak jumlah petani yang menjadi normal bertambah, tetapi yang menjadi sangat kurus meningkat dua kali.

(Sumber : Djoko et. al, 2009)