31
HASIL PENELITIAN ALEK PISANG MANIH PADA MASYARAKAT NAGARI PANYAKALAN, KECAMATAN KUBUNG, KABUPATEN SOLOK Oleh: Raphel Okfernando 1 Abstract Marriage in the Minangkabau ethnic society is a traditional ceremony that had own traditions each implementation, as well as the marriage ceremony on the nagari Panyakalan who also knows the tradition alek pisang manih and considered mandatory to be implemented. Marriage ceremony is a sign that relations between addressing certain existing social relations, where these relations is a form of structural models in society.Tradition of alek pisang manih have certain procedures that have been established by adat salingka nagari Panyakalan. Its Implementation is many involving the actors and social groups from traditional leaders, they are; urang ampek jinih from each tribe along with they acang-acang, datuek/niniek mamak from other tribes along with urang sumando, and janang. In this tradition also held exchange tando as a form of agreement of both parties. At execution of this tradition, the actors or social groups that do not act carelessly, there are certain rules in it like seating position according to their status and role in place execution and way of to converse, to strarting and also terminate something. Based on the analysis of structuralism used in alek pisang manih, found that actors or social groups which reside during the process execution of alek pisang manih shows existence the relation which opposition in form of triadic, where there are two elements to each other "opposite", but but remain to show balance because always "involves" three elements are considered as neutral element or mediator called liminal. As in the opposition party of siujuang with the opposition party of sipangka showing adversative element such as sitting opposite them in the opposite direction, but by presenting panangah interpreted not partial to any one element because they still have relationship with each party. Opposition in form of triadic structure on the Minangkabau people at Panyakalan village, transformative for many activities and other social phenomena in the society system. Triadic structural forms have been made the balance system and social structure minangkabau society in nagari Panyakalan, which actually showed a lot of characteristics "conflict", but it still can be manipulated, because "conflict" was always trying to provide a place for absorbers or neutralizing it still can be happen the balance of social community itself. therefore If we looking for the condition of the society at present time, there is issues that indicate the etnocentrism conflict, racial, and 1 Penulis adalah mahasiswa Jurusan Antropologi Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas, Padang. email; [email protected] 1

JURNAL ALEK PISANG MANIH (COBA TERBIT).doc

Embed Size (px)

Citation preview

HASIL PENELITIAN

ALEK PISANG MANIH PADA MASYARAKAT NAGARI PANYAKALAN, KECAMATAN KUBUNG, KABUPATEN SOLOKOleh: Raphel Okfernando

Abstract

Marriage in the Minangkabau ethnic society is a traditional ceremony that had own traditions each implementation, as well as the marriage ceremony on the nagari Panyakalan who also knows the tradition alek pisang manih and considered mandatory to be implemented. Marriage ceremony is a sign that relations between addressing certain existing social relations, where these relations is a form of structural models in society.Tradition of alek pisang manih have certain procedures that have been established by adat salingka nagari Panyakalan. Its Implementation is many involving the actors and social groups from traditional leaders, they are; urang ampek jinih from each tribe along with they acang-acang, datuek/niniek mamak from other tribes along with urang sumando, and janang. In this tradition also held exchange tando as a form of agreement of both parties. At execution of this tradition, the actors or social groups that do not act carelessly, there are certain rules in it like seating position according to their status and role in place execution and way of to converse, to strarting and also terminate something. Based on the analysis of structuralism used in alek pisang manih, found that actors or social groups which reside during the process execution of alek pisang manih shows existence the relation which opposition in form of triadic, where there are two elements to each other "opposite", but but remain to show balance because always "involves" three elements are considered as neutral element or mediator called liminal. As in the opposition party of siujuang with the opposition party of sipangka showing adversative element such as sitting opposite them in the opposite direction, but by presenting panangah interpreted not partial to any one element because they still have relationship with each party. Opposition in form of triadic structure on the Minangkabau people at Panyakalan village, transformative for many activities and other social phenomena in the society system. Triadic structural forms have been made the balance system and social structure minangkabau society in nagari Panyakalan, which actually showed a lot of characteristics "conflict", but it still can be manipulated, because "conflict" was always trying to provide a place for absorbers or neutralizing it still can be happen the balance of social community itself. therefore If we looking for the condition of the society at present time, there is issues that indicate the etnocentrism conflict, racial, and many more ,who appear not seem too much budging to Minangkabau society either on nagari Panyakalan or other region.Keywords: marriage ceremony, tradition, alek pisang manih, structuralisA. PENDAHULUANOrang Minangkabau merupakan salah satu dari antara kelompok etnis utama bangsa Indonesia menempati bagian tengah pulau Sumatera sebagai kampung halamannya, yang sebagian besarnya sekarang merupakan propinsi Sumatera Barat.Ciri khas yang masih melekat dari masyarakat Minangkabau yaitu masih dipertahankannya adat istiadat dan sistem kekerabatan yang diwariskan turun temurun sampai sekarang. Menurut Radjab (1973:15), masyarakat suku bangsa Minangkabau yang menganut sistem kekerabatan matrilineal mempunyai struktur masyarakatnya yang terbentuk berdasarkan suku-suku. Sebagai sebuah suku bangsa, masyarakat Minangkabau dengan adat istiadatnya yang masih melekat kuat mempunyai berbagai macam upacara dalam kehidupan sosialnya, mulai dari upacara kelahiran, upacara kematian, upacara perkawinan atau pernikahan serta upacara pengangkatan pemimpin adat dan lain-lainnya

Nagari-nagari yang ada di Minangkabau akan menerapkan adat salingka nagari yang telah disepakati bersama di masyarakatnya tersebut. Dalam konteks ini adat yang dimaksudkan adalah aturan-aturan dalam kehidupan bermasyarakat (umum) (Arifin et.al, 2007:99). Aturan-aturan tersebut bisa terwujud pada tradisi-tradisi yang dijalankan masyarakat dalam bentuk upacara adat seperti pada dalam pelaksanaan upacara perkawinan menurut adat istadat nagari setempat di wilayah Minangkabau.Nagari Panyakalan merupakan salah satu nagari yang ada di wilayah Minangkabau. Secara administratif nagari Panyakalan ini terletak di wilayah Kecamatan Kubung, Kabupaten Solok, Propinsi Sumatera Barat. Di dalam masyarakat nagari Panyakalan itu tentunya juga mempunyai beberapa macam tradisi dalam melaksanakan berbagai bentuk upacara menurut adat istiadatnya serta memiliki keunikan, kekhasan, dan perbedaan tersendiri dari adat istiadat masyarakat Minangkabau di nagari lainnya. Beberapa tradisinya tersebut terdapat di dalam prosesi upacara perkawinan menurut adat istiadat atau yang lebih sering disebut dengan istilah baralek oleh masyarakat Minangkabau pada umumnya.Beberapa tradisi yang dilaksanakan oleh masyarakat Minangkabau di nagari Panyakalan dalam prosesi upacara perkawinan menurut adat istiadatnya itu antara lain:1) Mangaku mamak atau mangaku induek, apabila laki-laki yang berasal dari luar daerah nagari Panyakalan, ingin mengawini salah satu perempuan dari anggota masyarakat nagari Panyakalan, maka laki-laki tersebut harus masuk menjadi anggota salah satu suku dari enam suku yang terdapat di nagari Panyakalan melalui pelaksanaan tradisi ini. Untuk pelaksanaan tradisi mangaku induek maka seluruh anggota keluarga inti dari laki-laki (ibu, bapak, saudara kandungnya) juga ikut masuk menjadi anggota salah satu suku yang ada di nagari Panyakalan. 2) Alek pisang manih (pesta pisang manis) adalah suatu tradisi yang hanya ada pada adat salingka nagari Panyakalan dan wajib dilakukan dalam pelaksanaan upacara perkawinan jenis pesta besar pada masyarakatnya. Di dalam tradisi ini terjadi sejenis musyawarah atau tanya jawab menggunakan bahasa petatah petitih Minangkabau yang dilakukan oleh para pemuka adat nagari Panyakalan serta beberapa tindakan simbolis selama proses pelaksanaanya.3) Maanta marapulai (mengantarkan mempelai/pengantin laki-laki) yaitu tradisi yang wajib dilakukan masyarakat Minangkabau di nagari Panyakalan yang akan melaksanakan upacara perkawinan dengan jenis baralek gadang (pesta besar), dimana pada intinya tradisi ini bermaksud untuk menyerahkan marapulai (mempelai/pengantin laki-laki) kepada pihak keluarga anak daro (mempelai/pengantin perempuan) secara sah dengan adat istiadat nagari PanyakalanSehubungan dengan adanya beberapa tradisi tersebut, peneliti lebih tertarik memilih melakukan penelitian tentang pelaksanaan tradisi alek pisang manih dengan menggunakan analisis dari teori strukturalisme untuk melihat sisi struktural masyarakat Minangkabau di nagari Panyakalan.

Tradisi alek pisang manih di nagari Panyakalan dalam proses pelaksanaannya banyak melibatkan beberapa aktor individu dan kelompok sosial yang umumnya berasal dari kalangan pemuka adat. Aktor individu dan kelompok sosial yang berperan sangat penting selama proses pelaksanaan tradisi alek pisang manih tersebut adalah sebagai berikut:1. Urang ampek jinih (dalam konsep adat) dari suku pihak mempelai/pengantin perempuan dan suku pihak mempelai/pengantin laki-laki.2. Acang-acang dari kedua belah pihak suku masing-masing mempelai/pengantin.3. Beberapa datuek/niniek mamak dari suku lainnya yang ada di nagari Panyakalan.4. Beberapa urang sumando dari pihak suku mempelai/pengantin perempuan, termasuk ayah/bapak (fa) dari mempelai/pengantin perempuan (anak daro) itu sendiri.

5. Beberapa orang janang yang telah ditunjuk dan nantinya bertugas sebagai orang yang akan menghidangkan segala sajian ke hadapan semua orang yang hadir disana, serta yang nantinya juga akan mengangkat dan membawakan carano ke hadapan urang ampek jinih dan para datuek niniek/mamak yang hadir pada pelaksanaan tradisi alek pisang manih.

Semua aktor individu atau kelompok sosial tersebut mempunyai posisi dan peranannya masing-masing yang saling berkaitan dalam pelaksanaan tradisi alek pisang manih, karena dalam adat istiadat semua elemen masyarakat akan saling mempengaruhi dalam pelaksanaan sebuah upacara perkawinan sebagai suatu sistem sosial yang berlaku di masyarakatnya.

Sebagai sebuah sistem sosial berbagai bentuk posisi, peran, dan status sosial yang mencerminkan sebuah tatanan struktur masyarakat terdapat dalam pelaksanaan tradisi alek pisang manih pada masyarakat Minangkabau di nagari Panyakalan ini. Namun hal tersebut tidak hanya dapat dilihat dari sisi luar yang empiris pada pelaksanaan tradisi itu saja. Untuk dapat menemukan dan memahaminya juga perlu dilihat dari sisi dalam pada proses pelaksanaan tradisi alek pisang manih itu sediri, dimana makna yang terkandung didalamnya mencerminkan relasi-relasi dalam sebuah struktur pada masyarakat Minangkabau di nagari Panyakalan.

Hal tersebut sangat menarik untuk diteliti lebih dalam dengan menggunakan analisis ilmu antropologi yang melihat dari sisi struktural masyarakatnya. Salah satu teori yang dapat digunakan untuk menganalisis struktur dalam sebuah masyarakat suku bangsa adalah teori struktralisme dari Claude Levi-Strauss.

Menurut Ihromi (1999:66), Levi-Strauss memandang kebudayaan manusia seperti hal itu dinyatakan dalam kesenian, dalam upacara-upacara, dan pola kehidupan sehari-hari sebagai perwakilan lahiriah (surface representation) dari struktur pikiran manusia yang mendasarinya.

Berdasarkan asumsi tersebut, maka pada dasarnya struktur masyarakat dapat dilihat dan dikaji dengan cara yang berbeda, sehingga menemukan berbagai kaitannya dengan relasi-relasi sosial yang terkandung dalam sebuah aktifitas dan fenomena sosial dalam masyarakat sebagai sistem sosial masyarakat tersebut. Dalam konteks penelitian ini adalah memahami relasi dan struktur sosial masyarakat yang terdapat pada sebuah tradisi dalam upacara perkawinan menurut adat istiadat masyarakat tersebut, yaitu tradisi alek pisang manih pada masyarakat Minangkabau di nagari Panyakalan, sehingga perspektif teori strukturalisme Levi-Strauss ini bisa dikembangkan dengan objek analisis yang berbeda.Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk menjelaskan dan mendeskripsikan pelaksanaan tradisi alek pisang manih yang terdapat pada adat istiadat masyarakat Minangkabau di nagari Panyakalan.2. Untuk mempelajari dan menganalisis relasi-relasi dan struktur-struktur sosial yang terdapat pada pelaksanaan tradisi alek pisang manih dalam upacara perkawinan menurut adat istiadat masyarakat Minangkabau di nagari Panyakalan sesuai dengan analisis teori strukturalisme dari Levi-Strauss.Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kajian secara ilmiah serta dapat memperkuat teori yang berkaitan dengan objek penelitian yaitu teori strukturalisme Levi-Strauss, serta melahirkan sebuah karya tulis ilmiah yang diharapkan dapat digunakan sebagai tambahan referensi untuk penelitian-penelitian selanjutnya khususnya penelitian atau riset tetang strukturalisme Levi-Strauss

Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan informasi dan menjadi salah satu wancana acuan serta bahan pertimbangan bagi masyarakat bersama pemerintah dalam pelestarian serta inventarisasi tradisi dan budaya suku bangsa Minangkabau yang kaya akan budaya dan tradisi dalam adat istiadat masyarakatnya. Khususnya tradisi alek pisang manih pada masyarakat Minangkabau di nagari Panyakalan, sehingga keberadaanya tetap lestari dan dapat menjadi inventaris warisan kebudayaan masyarakat IndonesiaB. KERANGKA PEMIKIRANMenurut Koentjaraningrat (1992:92), tingkat-tingkat sepanjang hidup yang di dalam kitab-kitab antropologi sering disebut stages along the life-cycle itu adalah misalnya masa bayi, masa penyapihan, masa kanak-kanak, masa remaja, masa pubertet, masa sesudah nikah, masa hamil, masa tua dan sebagainya. Pada saat peralihan waktu, para individu beralih dari satu tingkat hidup ke tingkat lainnya biasanya diadakan pesta atau upacara yang merayakan saat peralihan ituBerbagai bentuk upacara tersaji dalam adat istiadat masyarakat suku bangsa di seluruh dunia, salah satunya dalam upacara perkawinan atau pernikahan. Menurut Suparlan (1985:98), perkawinan merupakan suatu hubungan yang sah antara seorang laki-laki dan wanita yang diakui oleh masyarakat bersangkutan dan berdasarkan atas peraturan yang berlaku.Proses perkawinan itu akan membentuk hubungan sosial antar perorangan, keluarga, dan masyarakat. Selain itu sebagai suatu relasi antar kelompok, perkawinan juga merupakan suatu bentuk proses komunikasi, Itulah sebabnya mengapa Levi-Strauss dalam Paz (1997:xxvii) dapat mengatakan bahwa komunikasi dalam masyarakat manusia berlangsung dengan perantara kata-kata, barang dan wanita. Jadi perkawinan bukanlah relasi antar tanda, tetapi komunikasi atau relasi antar kelompok melalui sistem tanda yang khusus

Tradisi alek pisang manih ini merupakan salah satu bentuk tradisi dalam upacara perkawinan menurut adat istiadat pada sistem sosial budaya masyarakat nagari Panyakalan sebagai bagian dari kebudayaan suku bangsa Minangkabau. Proses pelaksanaan tradisi alek pisang manih sebagai sebuah sistem budaya pada masyarakat Minangkabau di nagari Panyakalan, tentunya banyak melibatkan berbagai unsur-unsur dan kelompok masyarakat. Mereka memiliki posisi dan perannya masing-masing dengan tujuan untuk melancarkan jalannya suatu upacara perkawinan beserta tradisi-tradisi yang terdapat di dalamnya serta untuk memeriahkan upacara perkawinan tersebut. Semua itu memperlihatkan bagaimana bentuk persetujuan dari masyarakat. Segala aktifitas kehidupan sosial dalam masyarakat tersebut tidak bisa dilepaskan dari hubungan-hubungan sosial sebagai makhluk yang mempunyai kebudayaan. Setiap masyarakat mengenal jaringan sosial, baik karena turunan darah, akibat perkawinan, maupun karena wasiat. Jaringan sosial ini merupakan sebagian dari struktur masyarakat, baik yang sederhana maupun yang komplek (Budhisantoso. 1988:45). Jaringan sosial dimana interaksi sosial berproses dan menjadi terorganisir serta melalui mana posisi-posisi sosial dari individu dan sub kelompok dapat dibedakan oleh Ritzer (2003:19) disebut sebagai struktur sosial.Ahli lain mengkonseptualisasikan struktur sosial secara berbeda. Misalnya Evan-Pritchard mengemukakan bahwa struktur sosial adalah konfigurasi kelompok-kelompok yang mantap; seturut Talcott Parsons, ia adalah suatu sistem harapan/ekspektasi normatif (normative expectation): Edmund R. Leach mengatakanya sebagai seperangkat norma atau aturan ideal; sedangkan Levi-Strauss berpendapat bahwa struktur sosial adalah model (Kaplan & Manners, 2002:130).

Berangkat dari hal tersebut, dalam mengkaji dan menganalisis suatu relasi dan stuktur sosial yang terdapat pada suatu masyarakat menggunakan dapat dikaji dan dianalisis dengan menjadikan pelaksanaan sebuah tradisi dalam berbagai upacara adat seperti upacara perkawinan pada masyarakat tersebut sebagai objek analisis. Salah satu teori yang dapat digunakan untuk menganalisis struktur di dalam masyarakat tersebut adalah teori strukturalisme Levi-Strauss. Strukturalisme dari Levi-Strauss ini adalah sebuah pendekatan baru terhadap ilmu-ilmu manusia yang berupaya untuk menganalisis bidang tertentu seperti mitos, perkawinan, kekerabatan dan sebagainya, sebagai sistem yang komplek dari bagian-bagian yang saling terkait.

Strukturalisme Levi-Strauss juga memiliki sejumlah asumsi dasar yang berbeda dengan aliran pemikiran lain dalam ilmu antropologi. Dasar-dasar dalam strukturalisme Levi-Strauss ini merupakan faktor utama yang sangat penting untuk dipahami agar dapat menerapkan teori tersebut dalam mengkaji sebuah fenomena budaya. Asumsi dasar yang terdapat dalam teori strukturalisme Levi-Strauss tersebut adalah sebagai berikut:1. Ada anggapan bahwa sebagai aktivitas sosial dan hasilnya, seperti: dongeng, upacara-upacara, sistem-sistem kekerabatan dan perkawinan, pola tempat tinggal, pakaian dan sebagainya, secara formal semuanya dapat dikatakan sebagai bahasa-bahasa atau lebih tepatnya merupakan perangkat tanda dan simbol yang menyampaikan pesan-pesan tertentu. Oleh karena itu terdapat ketertataan (order) serta keterulangan (regularities) pada berbagai fenomena tersebut.2. Adanya anggapan bahwa semua manusia dapat membuat struktur atau menstrukturkan gejala-gejala yang dihadapinya. Selanjutnya tugas peneliti yang menggunakan perspektif struktural pada awalnya adalah mengungkapkan struktur permukaan terlebih dahulu. Selanjutnya adalah mengungkapkan struktur dalam yang dianggap ada di balik berbagai fenomena budaya.

3. Dalam menelah fenomena budaya digunakan relasi sinkronis, kemudian relasi diakronis. Oleh karena itu dalam menjelaskan suatu gejala, penganut strukturalisme tidak mengacu pada sebab-sebab karena hubungan sebab-akibat merupakan relasi diakronik, tetapi mengacu pada hukum transformasi. Hukum transformasi adalah keterulangan-keterulangan (regularities) yang tampak suatu konfigurasi struktural berganti menjadi konfigurasi struktural yang lain. Dari pengamatan bekali-kali akan menghasilkan kesimpulan suatu struktur tertentu selalu beralih rupa dengan cara tertentu. Di sini diperoleh bukan hukum sebab-akibat akan tetapi hukum-hukum transformasi.

4. Relasi-relasi dari struktur dalam dapat diperas atau disederhanakan menjadi oposisi berpasangan (binary opposition) yang paling tidak punya dua pengertian.5. Struktural ini dibedakan menjadi dua macam: struktur lahir atau struktur luar (surface structure) dan struktur batin atau struktur dalam (deep structure). Struktur luar adalah relasi-relasi antar unsur yang dapat kita buat atau bangun berdasarkan atas ciri-ciri empiris dari relasi-relasi tersebut, sedangkan struktur dalam adalah susunan tertentu yang kita bangun berdasarkan atas struktur lahir yang telah berhasil kita buat, namun tidak selalu tampak pada sisi empiris dari fenomena yang kita pelajari. Struktur dalam ini dapat disusun dengan menganalisis dan membandingkan beberapa struktur luar yang berhasil ditemukan atau dibangun. Struktur dalam inilah yang lebih tepat disebut sebagai model untuk memahami fenomena yang diteliti. Karena melalui struktur inilah penelitian kemudian dapat memahami berbagai fenomena budaya yang dipelajarinya (Ahimsa-Putra, 2001:61-62).Pola dari pelaksanaan tradisi alek pisang manih di masyarakat nagari Panyakalan inilah yang akan dicoba dianalisis berdasarkan asumsi dasar dari teori strukturalisme Levi-Strauss yang telah disebutkan diatas. Model (struktur) dan pola tindakan formal dari aktor individu dan kelompok sosial yang sering diwujudkan dalam bentuk simbolik pada pelaksanaan tradisi alek pisang manih tersebut menjadi unit analisis dari penelitian ini. Penelitian tentang tradisi alek pisang manih dengan menggunakan analisis teori strukturalisme Levi-Strauss pada dasarnya berangkat dari asumsi prinsip dualisme dalam struktur masyarakat Minangkabau, yang juga teraplikasi pada pola pelaksanaan tradisi tersebut. Unsur-unsur pembentuk dualisme ini dibangun dari aktor individu dan kelompok sosial yang ada dalam pelaksanaan tradisi itu dan selanjutnya dicoba untuk memunculkan hubungan atau relasi antar unsur-unsur tersebut.Relasi-relasi yang konkrit dalam proses pelaksanaan tradisi alek pisang manih inilah yang disebut dengan struktur luar. Struktur luar atau relasi-relasi yang terjadi pada unsur tersebut dibangun dengan prinsip oposisi binari, dimana hubungan/relasi dari oposisi ini akan memunculkan daerah penyeimbang atau dalam strukturalisme disebut dengan liminal. Semua relasi-relasi unsur yang terjadi pada pelaksanaan tradisi alek pisang manih inilah yang akan menjadi pembentuk struktur dalam (deep structure). Struktur-struktur yang telah ditemukan dikaji sesuai analisis teori strukturalisme Levi-Strauss berdasarkan data dan fakta yang diperoleh dari pelaksanaan tradisi alek pisang manih tersebut, sehingga dapat menjelaskan dan menggambarkan fenomena, gejala dan Aktifitas sosial dalam masyarakat Minangkabau di nagari Panyakalan.C. METODOLOGILokasi penelitian ini berada di wilayah nagari Panyakalan, yang terletak di Kecamatan Kubung, Kabupaten Solok dengan ibu kota Kabupaten adalah Aro Suka, Provinsi Sumatera Barat. Alasan lokasi ini dipilih karena tradisi alek pisang manih yang menjadi objek penelitian untuk analisis teori strukturalisme Levi-Strauss ini hanya terdapat dalam upacara perkawinan menurut adat istiadat pada masyarakat Minangkabau di nagari Panyakalan saja, dimana Tradisi ini juga masih terus dilakukan sampai saat sekarang oleh masyarakat Minangkabau disana.Penelitian ini menggunakan pendekatan naturalistik yang dimaksudkan untuk memahami keadaan, fenomena dan gejala sosial pada masyarakat sebagaimana adanya tanpa melakukan manipulasi. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan tipe kualitatif yang menggunakan metode etnografi, dimana pusat perhatian dalam penelitian ini adalah pelaksanaan tradisi alek pisang manih sebagai salah satu bentuk bagian dari adat istiadat dalam upacara perkawinan pada masyarakat Minangkabau di nagari Panyakalan.

Dalam pengambilan informan, peneliti melakukan dengan teknik non probabilitas sampling karena tidak semua individu (anggota populasi) dapat dijadikan sumber informasi. Teknik ini dilakukan dalam dua bentuk yaitu teknik purposive sampling dan teknik snowball sampling.

Peneliti selanjutnya membedakan informan atas informan kunci dan informan biasa. Adapun yang menjadi informan kunci dalam penelitian ini adalah tokoh-tokoh pemuka adat dan tokoh pemerintahan nagari Panyakalan yang mempunyai pengetahuan luas dan dalam tentang sistem dan struktur pemerintahan dalam nagari serta tentang pelaksanaan adat istiadat di nagari Panyakalan, terutama mengenai tradisi alek pisang manih. Informan-informan tersebut antara lain:1. Satu orang dari kalangan datuek/niniek mamak dan empat orang dari kalangan urang ampek jinih (panghulu, manti, malin dan dubalang) dari beberapa suku yang ada di nagari Panyakalan. Informan ini dipilih penliti melalui teknik purposive dan snow ball sampling.

2. Satu orang wali nagari dan satu orang stafnya. Informan ini dipilih peneliti dengan menggunakan teknik snow ball sampling3. Dua orang dari unsur KAN (Kerapatan Adat Nagari), yaitu satu orang ketua KAN dan satu orang cadiek pandai. Informan ini di dapatkan peneliti melalui teknik snow ball sampling.

Sedangkan untuk informan biasa diambil dari individu yang pernah ikut dan terlibat dalam proses pelaksanaan upacara perkawinan serta tradisi alek pisang manih. Informan ini diambil dari dua orang masyarakat Minangkabau di nagari Panyakalan, serta dianggap cukup dan cocok untuk diwawancarai.

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam, observasi partisipasi terbatas, Dokumentasi, dan penggunaan data sekunder dan studi kepustakaan yang masih terkait dengan penelitian alek pisang manih pada masyarakat nagari Panyakalan, Kecamatan Kubung, Kabupaten Solok.

Penganalisisan data-data yang telah dikumpulkan, di lapangan yang menunjukan proses pelaksanaan tradisi alek pisang manih dalam upacara perkawinan menurut adat istiadat masyarakat Minangkabau di nagari Panyakalan, dideskripsikan secara holistic (menyeluruh) yang selanjutnya dianalisis menggunakan teori strukturalisme Levi-Strauss. Untuk menjaga kesahihan data, selama dan sesudah penelitian dilakukan pengecekan, seperti teknik reinterview pada setiap jawaban yang diberikan oleh informan.B. HASIL DAN PEMBAHASANMasalah perkawinan merupakan hal yang sangat penting dalam ketentuan adat istiadat masyarakat di ranah Minangkabau termasuk di nagari Panyakalan, Kecamatan Kubung, Kabupaten Solok. Dalam pelaksanaan upacara perkawinan tersebut banyak melibatkan karib kerabat dan masyarakat sekitarnya, baik dalam hal aktifitas sebelum pesta perkawinan, saat pesta perkawinan, dan setelah perkawinan.

Di nagari Panyakalan, upacara perkawinan tersebut dikenal dengan tiga bentuk. Bentuk pertama adalah baralek gadang (pesta besar), dimana pada jenis upacara perkawinan ini segala bentuk tata aturan pelaksanaan menurut adat istiadat di nagari Panyakalan, temasuk tradisi-tradisi yang ada akan dilaksanakan. Selain itu juga dilakukan penyembelihan Sapi atau Kambing pada jenis upacara perkawinan ini. Bentuk kedua adalah baralek ketek (pesta kecil), dimana dalam jenis upacara perkawinan ini ketentuan adat istiadat tetap dilakukan, namun ada kalanya waktu pelaksanaannya dipercepat atau dipersingkat, selain itu pada baralek ketek ini hanya dilakukan penyembelihan ayam saja. Bentuk terakhir adalah yang paling sedarhana alek mandoa, dimana dalam upacara perkawinan jenis ini hanya melakukan acara makan jamuan kecil-kecilan dan akad nikah saja. Pelaksanaannya tidak melakukan aktifitas-aktifitas dan ketentuan-ketentuan sesuai adat istiadat di nagari Panyakalan. Hal ini pada dasarnya terjadi karena faktor kekurang mampuan masyarakat tersebut, terutama faktor ekonomi yang menghambat masyarakat untuk melakukan acara baralek menurut cara dan ketentuan adat istiadat di nagari Panyakalan. Berikut ini merupakan tahapan-tahapan yang dilalui oleh masyarakat Minangkabau di nagari Panyakalan dalam menjalankan proses upacara perkawinan atau baralek sesuai dengan ketentuan adat salingka nagari yang berlaku disana:a) Tahapan Sebelum Upacara Perkawinan Manikek Janjang, Manapiek Bandue (Peminangan)Acara peminangan dalam adat istiadat di nagari Panyakalan yang disebut dengan Manikek Janjang, Manapiek Bandue adalah proses penyampaian kehendak untuk mendekatkan diri dalam perkawinan dari kerabat matrilinial siperempuan kepada kerabat matrilinial kerabat dari silaki laki.

Acara pinangan ini dilakukan oleh utusan dari keluarga/kerabat perempuan yang dipimpin langsung oleh mamak perempuan tersebut. Pihak perempuan datang langsung kerumah pihak laki-laki dengan tujuan untuk memperkenalkan diri dan menyampaikan maksud untuk melakukan perkawinan antara kedua anak kamanakan mereka tersebut, serta untuk menyepakati perjodohan anak kamanakan mereka masing-masing dengan segala persyaratan yang akan sama-sama dirundingkan dan disepakati. Baretuang (Perundingan)Pada tahapan baretuang inilah yang akan menjadi penentu apa, kapan, dimana, bagaimana, bentuk proses upacara perkawinan untuk anak kemenakan tersebut. Kedua keluarga/kerabat awalnya baretuang dengan keluarga besar masing-masing yang juga melibatkan datuek/niniek mamak, bundo kanduang, urang sumando dan induek bako serta anak pisang dari suku/kaum mereka masing-masing. Kemudian setelah adanya suatu kata sepakat dari masing-masing pihak, maka akan dilakukan acara baretuang antara kedua belah pihak tersebut dirumah keluarga laki-laki. Dalam hal ini kerabat sesuku/sekaum perempuan kembali mendatangi rumah keluarga laki-laki untuk merundingkan upacara perkawinan anak kamanakan mereka yang kali ini dipimpin oleh kedua datuek/niniek mamak suku masing-masing.

Baretuang kali ini dimaksudkan untuk membentuk kata sepakat dalam menentukan waktu upacara perkawinan dan pernikahan yang akan dilangsungkan dan seperti apa alek (pesta) yang akan dilaksanakan. Mamanggie (Mengundang)Mamanggie merupakan tradisi atau kebiasaan masyarakat Minangkabau di nagari Panyakalan, untuk cara menyampaikan undangan atau memberikan pemberitahuan tentang adanya suatu pesta adat istiadat pada masyarakat, yang dilakukan dengan cara memberitahu langsung secara lisan dengan memberikan sirih dan rokok kretek. Managak Pondok (Mendirikan Pondok)Managak pondok (mendirikan pondok) merupakan kebiasaan masyarakat Minangkabau di nagari Panyakalan sebelum melaksanakan baralek. Managak pondok ini hanya dilakukan oleh para keluarga/kerabat, dari pihak yang akan melaksanakan baralek di rumahnya

b) Tahapan Saat Upacara Perkawinan Mangaku Mamak atau Mangaku Induek (Mengakui Paman atau Mengakui ibu)Menurut upacara perkawinan dalam adat salingka nagari Panyakalan, khusus bagi calon suami untuk perempuan yang berasal dari luar nagari Panyakalan kecuali yang berasal dari nagari Gauang, nagari Saok Laweh, nagari Bukit Tandang dan nagari Taruang-Taruang, maka perlu dilaksanakan tradisi mangaku mamak untuk calon marapulai atau bisa melakukan tradisi mangaku induek apabila anggota keluarga inti calon marapulai akan menetap dan menjadi warga nagari Panyakalan juga. Tetapi apabila perkawinan tersebut antara sesama warga nagari Panyakalan, maka tradisi mangaku mamak atau mangaku induek tidak akan terjadi. Mereka langsung menjalankan acara yang wajib di nagari Panyakalan yaitu alek pisang manih. Alek Pisang Manih (Pesta Pisang Manis)Tahapan selanjutnya yang wajib dilakukan dalam acara baralek menurut adat istiadat di nagari Panyakalan, adalah acara alek pisang manih. Tradisi ini telah menjadi suatu hal yang dilaksanakan secara turun temurun bagi masyarakat Minangkabau di nagari Panyakalan.

Tradisi ini merupakan salah satu bentuk alek untuk para datuek/niniek mamak di nagari Panyakalan. Selama alek berlangsung selain acara makan berbagai macam buah pisang dan kudapan manis lainnya yang di hidangkan oleh pihak sipangka, juga dilakukan berbalas petatah petitih menggunakan bahasa adat Minangkabau oleh para datuek/niniek mamak yang hadir didalam acara tersebut, terutama untuk kalangan urang ampek jinih dari suku kedua mempelai melalui perantara acang-acang. Selain itu acara timbang tando (pertukaran tanda) atau batuka karih jo cawek (menukar keris dan ikat pinggang) juga dilaksanakan dalam tradisi ini. Setelah proses pelaksanaannya selesai terselenggara, maka kedua mempelai dapat melaksanakan acara akad nikah menurut syariat agama islam, yang biasanya dilakukan di mesjid atau mushalla. Berdasarkan adat istiadat di nagari Panyakalan, acara akad nikah ini harus dilakukan setelah selesai acara alek pisang manih. Namun dalam beberapa kasus apabila wali hakim nikah (KUA) kebetulan telah datang bersamaan dengan acara alek pisang manih, karena mempunyai jadwal yang padat, maka akad nikah dapat dilakukan bersamaan dengan acara alek pisang manih. Basandiang (Duduk Bersanding di Pelaminan)Basandiang adalah duduknya kedua pengantin dengan mengenakan pakaian adat baralek Minangkabau di pelaminan untuk disaksikan tamu-tamu yang hadir pada pesta perjamuan. Acara ini dipusatkan di rumah anak daro, jadi segala keperluan dan persiapan dilakukan oleh pihak perempuan.

Bararak (Arak-arakkan)Acara arak-arakan maksudnya mengumumkan pada masyarakat bahwa kedua mempelai sudah resmi menjadi suami istri. Pelaksanaan bararak ini hanya ada dalam apabila alek tersebut merupakan alek gadang (pesta besar). Acara bararak ini ditandai dengan sejumlah orang yang ikut dalam arak-arakan yang terdiri dari: 1). anak daro dan marapulai, berpakaian lengkap berjalan berdampingan, 2). Satu orang saudara/kerabat anak daro yang mempayungi kedua mempelai, (3) satu orang kakak dan satu orang adik anak daro dengan pakaian adat bewarna hitam dengan sarung bewarna merah minimal kemerah-merahan, 4) satu orang tuo rarak yang membawa carano jo sirih langkok dengan dijujuang (diletakkan diatas kepala) yang berpakaian hitam-hitam dan berjalan di depan, 5) sembilan orang Ande (ibu-ibu atau pasumandan) yang mengikuti anak daro dan marapulai di belakang yang berpakaian hitam-hitam, yang dua orang membawa nasi sipuluik, dan satu orang membawa kue pengantin, serta enam orang lainnya membawa makanan serta sambal. Semuanya di bawa dengan baki dan di jujung di atas kepala, semua ande tersebut juga berpakaian adat bewarna hitam-hitam.Rombongan bararak ini diiringi juga oleh bunyi-bunyian talempong dan gendang yang dimainkan oleh beberapa orang anak-anak nagari yang berusia remaja, hingga sampai kerumah orang tua marapulai. Setelah sampai dirumah maka rombongan arak-arakan ini diterima oleh bundo kanduang dari pihak marapulai disana. Maanta Marapulai (Mengantarkan Pengantin Perempuan)Apabila dalam pelaksanaan baralek di nagari Panyakalan merupakan jenis alek gadang yang melakukan penyembelihan sapi atau kambing, maka diharuskan melakukan tradisi maanta marapulai (mengantarkan pengantin laki-laki) yang juga sekaligus acara bakaue (syukuran). 1. Prosesi Alek Pisang Manih pada Upacara Perkawinan Menurut Adat Istiadat Masyarakat Minangkabau di Nagari PanyakalanTradisi alek pisang manih ini adalah sebuah tradisi yang resmi dan telah berlangsung secara turun temurun oleh masyarakat Minangkabau di nagari Panyakalan, sehingganya tradisi ini merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan bagi masyarakat yang mengadakan pesta perkawinan secara adat istiadat nagari Panyakalan. Tempat pelaksanaan tradisi ini adalah di rumah anak daro (pihak mempelai perempuan). Prosesi pelaksanaan tradisi alek pisang manih ini harus dilaksanakan pada waktu sebelum memulai acara akad nikah.

Aktor pelaksana dalam tradisi alek pisang manih ini adalah: datuek/niniek mamak dari kedua pihak mempelai, para datuek/niniek mamak dari suku lainnya yang dipanggie (diundang), urang sumando dari pihak perempuan, dan anak pisang dari pihak perempuan yang nantinya akan menjadi janang. Untuk marapulai atau anak daro sendiri tidak dihadirkan atau dilibatkan selama pelaksanaan tradisi ini.

Pelaksanaan tradisi alek pisang manih itu sendiri juga identik dengan basa basi dalam adat istiadat Minangkabau yang menggunakan petatah petitih dalam bahasa Minangkabau. Di nagari Panyakalan hal itu disebut dengan kuak padang yaitu suatu cara dalam berbalas tanya dan jawab atau panitahan atau pasambahan (pidato persembahan) dalam adat.

Segala perkataan yang menggunakan bahasa petatah petitih Minangkabau akan dijawab sesuai dengan maksudnya walaupun sekilas kata-kata yang dikeluarkan oleh para datuek/niniek mamak terdengar tidak sesuai jawaban dan pertanyaannya namun arti dan maksud dari bahasa petatah petitih tersebut selalu sesuai antara jawaban dan pertanyaannya. Hal itulah yang menjadi keunikan dari penggunaan bahasa petatah petitih adat Minangkabau yang juga teraplikasi selama pelaksanaan tradisi alek pisang manih. Untuk mengetahui lebih lengkap proses pelaksanaan tradisi alek pisang manih di nagari Panyakalan, maka berdasarkan pengamatan yang telibat langsung dan wawancara langsung dengan beberapa informan, peneliti menjabarkan beberapa tahapan dalam prosesi tradisi alek pisang manih sebagai berikut:a) Tahapan Sebelum Pelaksanaan Tradisi Alek Pisang ManihPenyelengaraan tradisi alek pisang manih ini sebelumnya telah diberi kabar atau diberitahu oleh beberapa orang dari kerabat sipangka atau suku kerabat anak daro yang telah ditunjuk untuk mamangie para datuek/niniek mamak yang ada di nagari Panyakalan. Pihak suku marapulai datang ke rumah perempuan dimana tempat pelaksanaan tradisi ini akan dilaksanakan tidaklah dengan tangan kosong, mereka juga harus membawakan syarat-syarat dari tradisi alek pisang manih ini. Syarat-syarat tersebut antara lain:

Bermacam-macam buah pisang Nasi Sipuluik

Buah Kubang

Sepasang Tunas KelapaSyarat-syarat tersebut diserahkan ke ibu-ibu (pasumandan) dari pihak anak daro di dapur. Selain bahan makanan untuk pesta dalam tradisi alek pisang manih, kelompok dari pihak suku mempelai laki-laki juga membawakan sebuah karih (keris) yang dibawakan oleh panghulu suku pihak mempelai laki-laki.

Pada saat kelompok dari pihak suku marapulai telah datang dan masuk ke rumah anak daro, mereka dapat duduk di posisi mereka yang berlawanan arah dengan kelompok urang ampek jinih dari kelompok suku pihak anak daro yaitu di bagian ujung rumah. Setelah semua orang duduk di tempat masing-masing, maka prosesi tradisi alek pisang manih dalam adat salingka nagari Panyakalan dapat segera dimulai.b) Tahapan Saat Pelaksanaan Tradisi Alek Pisang ManihTahapan pertama yang dilakukan pada saat pelaksanaan tradisi alek pisang manih adalah memulai pidato persembahan atau penyambutan kedatangan para datuek/niniek mamak dari pihak suku marapulai. Kelompok suku pihak anak daro disebut dengan pangka sedangkan kelompok suku pihak mempelai marapulai disebut dengan ujuang. Individu yang melakukan pidato persembahan menggunankan bahasa petatah-petitih Minangkabau atau panitahan adalah acang-acang dari kedua pihak.

Panitahan yang pertama mereka lakukan adalah panitahan untuk menghidangkan pisang manih (menghidangkan bermacam makanan buah pisang yang telah dibawa oleh kelompok suku pihak mempelai marapulai sebelumnya).

Para individu disana belum boleh langsung memakan pisang manih yang telah dihidangkan janang tersebut, sebelum kedua acang-acang mengeluarkan panitahan yang bermaksud untuk memulai makan. Setelah makan pisang manih selesai, semua orang belum boleh membasuh dulu tangannya, sebelum keluar panitahan untuk menyudahi makan pisang manih dan membasuh tangan dari acang-acang. Setelah itu saling berbalas pidato adat (kuak padang) mulai silih berganti antara kedua acang-acang masing-masing pihak tersebut dan kembali mengeluarkan panitahan yang menyiaratkan janang untuk menghidangkan nasi beserta sambal ke hadapan semua orang di dalam rumah. Setelah selesai janang membersihkannya segala hidangan, maka panitahan kembali silih berganti antara kedua acang-acang, isi dari panitahan kali ini adalah bermaksud membicarakan segala hal yang berhubungan dengan alek tersebut sekaligus melaksanakan timbang tando atau di dalam adat istiadat di nagari Panyakalan batuka karih jo cawek (Saling bertukat keris dengan Ikat Pinggang).Benda yang menjadi perantara timbang tando dalam alek pisang manih di nagari Panyakalan adalah keris (karih) dan ikat pinggang (cawek). Pertukaran tando ini dilangsungkan dengan perantara carano yang berisi sirieh langkok yang dibawakan oleh salah satu janang. Tando yang pertama diberikan adalah tando dari sipangka (pihak anak daro) yaitu cawek untuk segera diberikan kepada siujuang (pihak marapulai). Setelah diterima dan cawek diambil sementara oleh siujuang, maka giliran karih yang dimiliki oleh siujuang yang diletakan di atas carano yang dibawakan oleh janang untuk diberikan sementara kepada sipangka, pertukaran tando ini tentunya melalui panitahan dalam petatah petitih Minangkabau yang sama-sama diucapkan oleh kedua acang-acang dari kedua belah pihak.

Sementara masing-masing tando dari masing-masing pihak telah sepakat ditukarkan dan masing-masing telah memegang tando tersebut, maka dapatlah kedua mempelai pergi untuk melangsungkan akad nikah dan alek pisang manih secara simbolis dinyatakan telah selesai dilaksanakan. Tando ini nantinya akan dikembalikan kepada masing-masing pihak setelah akad nikah kedua mempelai telah selesai dilaksanakan. Namun hal ini kembali tergantung pada jenis alek dan perundingan sebelumnya. Apabila jenis alek adalah alek abih sahari (pesta habis sehari) maka tando tersebut langsung di kembalikan saat itu juga, tetapi apabila alek tersebut adalah jenis alek gadang (pesta besar) maka tando tersebut akan di kembalikan pada acara pulang karih jo cawek (mengembalikan keris dan ikat pinggang) saat pelaksanaan tradisi maanta marapulai setelah acara jamuan undangan atau basandiang.Atribut dalam Pelaksanaan Alek Pisang Manih Sepasang Tunas Kelapa Baju Adat yang Dipakai Urang Ampek Jinih dan Acang-acang Carano Karih (Keris) dan Cawek (Ikat Pinggang) Bermacam-macam Buah Pisang2. Analisis Teori Strukturalisme Levi-Strauss pada Tradisi Alek Pisang Maniha) Dasar-dasar Kajian Teori Strukturalisme Levi-Strauss pada Tradisi Alek Pisang ManihDasar penerapan teori strukturalisme levi-strauss sebagai alat analisis untuk tradisi alek pisang manih pada masyarakat Minangkabau di nagari Panyakalan ini adalah menggunakan prinsip asumsi dari dualisme tersebut, karena bentuk prinsip dualisme itu juga dapat terlihat dari pola pelaksananan tradisi alek pisang manih dalam upacara perkawinan berdasarkan adat salingka nagari di Panyakalan. Pembentuk prinsip dualisme pada pelaksanaan tradisi alek pisang manih di nagari Panyakalan dibangun dari beberapa aktor atau kelompok sosial yang ada selama pelaksanaan tradisi alek pisang manih. Untuk dapat menemukan relasi antar struktur sekaligus strukturalnya dengan cara pandang teori strukturalisme Levi-Strauss, maka aktor atau kelompok sosial yang menjadi unsur-unsur dari pelaksanaan alek pisang manih tersebut disusun berdasarkan pembagian tertentu. Hubungan atau dalam strukturalisme Levi-Strauss disebut dengan relasi yang terjadi di antara unsur-unsur alek pisang manih ini kemudian dibangun sendiri oleh peneliti berdasarkan fakta-fakta dan data yang terlihat pada tradisi alek pisang manih. Relasi-relasi yang terjadi dalam proses pelaksanaan tradisi alek pisang manih inilah yang disebut dengan struktur luar menurut prinsip dasar teori strukturalisme Levi-Strauss. Struktur luar atau relasi-relasi tersebut dibangun dengan prinsip oposisi binari. Menurut pandangan strukturalisme Levi-Strauss, oposisi binari inilah yang memiliki posisi penting untuk menjelaskan struktur dari fenomena atau aktifitas sosial yang diamati. Semua bentuk struktur beroposisi yang terjadi pada pelaksanaan tradisi alek pisang manih inilah yang akan menjadi pembentuk deep structure (struktur dalam). Selanjutnya struktur-struktur yang telah ditemukan dikaji sesuai analisis teori strukturalisme Levi-Strauss dalam pemahaman peneliti berdasarkan data dan fakta yang diperoleh, sehingga dapat menjelaskan dan mengambarkan fenomena, gejala, atau aktifitas sosial dalam masyarakat Minangkabau di nagari Panyakalan yang teraplikasi pada pola pelaksanaan tradisi alek pisang manih dalam upacara perkawinan menurut adat salingka nagari Panyakalan.b) Unsur-Unsur dalam Tradisi Alek Pisang Manih Urang Ampek JinihUrang Ampek Jinih (orang yang empat jenis) adalah sebutan untuk kesatuan empat orang yang memiliki tugas dan fungsi yang berbeda dalam adat, namun akan saling dukung-mendukung dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya (Arifin, 2007:78). Sesuai dengan aturan adat salingka nagari di Panyakalan, maka yang disebut sebagai kelompok urang ampek jinih pada sistem dan struktur adat istiadat masyarakat nagari Panyakalan adalah: panghulu, manti, dubalang, dan malin. Acang-acang

Acang-acang adalah orang atau individu yang nantinya akan berkomunikasi atau bertanya jawab dan melakukan pidato persembahan (panitahan) menggunakan bahasa petatah-petitih Minangkabau (kuak padang) pada setiap alek termasuk saat pelaksanaan tradisi alek pisang manih.Individu yang berposisi sebagai acang-acang biasanya diambil dari kalangan cadiek pandai yang tentunya mempunyai gelar (gala) dari suku tersebut. Dalam prosesi alek, apabila urang ampek jinih dari masing-masing pihak ingin berbicara, memberi saran, atau kritikan haruslah melalui acang-acang (dengan berbisik-bisik), karena hanya mereka berdualah yang boleh berkomunikasi serta bertanya jawab atau panitahan selama pelaksanaan tradisi. Urang Sumando

Urang sumando dalam adat salingka nagari Panyakalan merupakan seorang laki-laki pendatang yang tidak boleh mengganggu persoalan di rumah gadang istrinya tetapi juga dianggap istimewa karena tidak menjadi orang yang selalu disuruh-suruh melakukan segala hal yang berhubungan dengan kerabat istrinya dalam lingkungan adat istiadat matrilineal. Dalam pelaksanaan pesta (baralek) di nagari Panyakalan, peran urang sumando dalam artian formal tidak banyak digunakan perannya dalam penyelenggaraan sebuah pesta di lingkungan kerabat istrinya tersebut, namun tetap harus dilibatkan pada setiap acara Datuek/Niniek Mamak dari Suku lainnyaSetiap pelaksanaan alek (pesta) kehadiran semua kalangan masyarakat terutama kalangan pemuka adat atau niniek mamak sangat diharapkan. Hal ini menandakan bahwa alek merupakan sebuah pesta bagi semua orang dan kalangan dalam nagari. Pada pelaksanaan baralek di nagari Panyakalan, sangat pentingnya mengundang kalangan pemuka adat termasuk dalam acara alek pisang manih. Kehadiran mereka memberikan kesan bahwa alek tersebut dapat diterima oleh semua masyarakat di dalam nagari Janang

Menurut budaya masyarakat Minangkabau di nagari Panyakalan janang merupakan individu yang bertugas menghidangkan, mengantarkan, dan mengambil makanan pada setiap jenis alek atau upacara menurut adat istiadat. Menurut aturan adat istiadat masyarakat Minangkabau di nagari Panyakalan, individu yang berhak menjadi seorang janang pada berbagai alek (pesta) terutama pada upacara perkawinan adalah anak pisang (BrSo) dari pihak yang mengadakan alek tersebut.c) Relasi dan Struktur dalam Alek Pisang ManihAktivitas sosial seperti sistem kekerabatan, upacara perkawinan dan lain-lain secara formal menurut dasar dari teori strukturalisme Levi-Strauss dapat dikatakan sebagai sebuah bahasa-bahasa atau lebih tepatnya merupakan sebuah relasi dari seperangkat tanda dan simbol untuk menyampaikan pesan-pesan tertentu. Oleh karena itu dalam upacara perkawinan khususnya tradisi alek pisang manih pada masyarakat Minangkabau di nagari Panyakalan yang menjadi objek analisis strukturalisme pada penelitian ini, diasumsikan juga terdapat sebuah ketertataan (order), serta keterulangan (regularities) dari relasi-relasi tersebut.Pada tradisi alek pisang manih yang dianggap sebagai pestanya untuk para niniek mamak di nagari Panyakalan banyak memperlihatkan struktur-struktur tertentu dari para aktor individu atau kelompok sosial yang melaksanakananya. Contohnya pada posisi duduk masing-masing kelompok atau individu di dalam rumah saat menjalankan alek pisang manih yang secara kasat mata seperti telah tertanam pada setiap kelompok atau individu, sebagai apa dan dimana posisi mereka duduk dirumah yang menjalankan alek secara otomatis telah dipahami oleh semua aktor yang terlibat di dalamnya.Urang ampek jinih dari pihak suku anak daro, dalam alek pisang manih berperan sebagai sipangka duduk dimana posisi sipangka harus duduk yang berlawanan dengan posisi duduk urang ampek jinih dari pihak suku marapulai yang berperan sebagai siujuang. Sedangkan yang nantinya akan menempati bagian tengah tepi kiri dan kanan rumah yang berposisi sebagai panangah adalah para urang sumando dan datuek/niniek mamak suku lainnya. Dengan adanya keteraturan posisi duduk dalam rumah tersebut maka dalam pelaksanaan alek pisang manih, para aktor yang berada di dalamnya menunujukan bentuk yang beroposisi. Oposisi tersebut dapat dibentuk dengan bentuk struktur triadik.Struktur triadik dari pelaksanaan alek pisang manih tersebut, mempelihatkan kepada kita bahwa terjadi oposisi antara urang ampek jinih dari suku anak daro dengan urang ampek jinih dari suku marapulai. Sebagai perwakilan dua keluarga atau kerabat yang berbeda, maka mereka juga menunjukan oposisi binari. Ciri-ciri oposisi dari mereka dapat juga terlihat dari arah duduk di dalam rumah. Arah duduk urang ampek jinih dari suku anak daro adalah menghadap ke sisi dalam rumah, sedangkan siujuang menghadap ke arah luar rumah. Sedangkan posisi panangah, yang di dalam alek pisang manih diwakili oleh urang sumando dan datuek/niniek mamak suku lainnya yang dianggap bersifat independen.Posisi mereka dalam pelaksanaan alek pisang manih cendrung lebih sebagai wakil kerabat suku dari kedua belah pihak (suku marapulai dan suku anak daro yang diwakili oleh urang ampek jinihnya). Di dalam unsur urang sumando ini berisikan para suami (SiHu) dari saudari sesuku sianak daro (sipangka) dan unsur datuek/niniek mamak dari suku lain bisa jadi juga berisikan urang sumando dari simarapulai. Selain itu juga tidak tertutup kemungkinan unsur urang sumando disini juga mempunyai suku yang sama dengan para datuek/niniek mamak suku lainnya ini. Karena dalam alek pisang manih ini yang beroposisi adalah urang ampek jinih dari suku anak daro (sipangka) dengan urang ampek jinih simarapulai (siujuang) maka kehadiran datuek/niniek mamak dan urang sumando di dalam alek pisang manih dapat menjadi penyeimbang dan penetralisir (liminal) apabila nantinya dalam oposisi tersebut terjadi ketidak harmonisan.

Oposisi binari dalam bentuk struktur triadik ini sebenarnya juga bertransformasi diantara masing-masing kelompok urang ampek jinih yang menjalankan alek pisang manih ini. Dimana posisi urutan duduk pada masing-masing kelompok urang ampek jinih tersebut juga membentuk oposisi triadik. Pembentuk oposisi tersebut adalah panghulu sebagi pemangku adat dengan malin sebagai pemangku agama. Sedangkan dengan manti dan dubalang merupakan pendukung diantara oposisi tersebut. Adanya oposisi elemen urang ampek jinih tersebut kemungkinan konflik juga dapat timbul, namun hal itu terkesan dihindarkan dengan menghadirkan pihak penetral yaitu acang-acang yang dianggap sebagai liminal dari oposisi panghulu dan malin. Acang-acang tersebut bukanlah dari kalangan urang ampek jinih (dalam konsep adat), melainkan dari salah satu kalangan tungku tigo sajarangan, yaitu cadiek pandai. Dimana dalam adat istiadat Minangkabau, cadiek pandai ini merupakan kalangan yang dianggap dan diinterpretasikan memiliki ilmu pengetahuan luas, serta mengacu kepada seseorang yang memiliki pendidikan tinggi.Adanya unsur acang-acang yang diambil dari kalangan tungku tigo sajarangan dapat dinterpretasikan mempunyai aspek pendidikan luas, berperan sebagai penegah antara oposisi kelompok panghulu (panghulu dan malin) yang dinterpretasikan mempunyai aspek adat dengan kelompok malin (malin dan dubalang) yang dinterpretasikan mempunyai aspek agama, membuat terciptanya keseimbangan oposisi dari relasi-relasi tersebut.

Relasi yang kembali timbul pada acara timbang tando ini dapat di lihat dari pola hubungan acang-acang melakukan penyerahaan tando masing-masing. Tando tidak serta merta langsung diserahkan atau ditukar begitu, namun harus melewati beberapa panitahan antara kedua acang-acang atas perintah dari urang ampek jinih masing-masing. Posisi acang-acang yang tepat berada ditengah-tengah antara panghulu, manti, dengan malin, dubalang membuat kesepakatan di antara mereka dilakukan sengan cara berbisik-bisik. Setelah diminta pendapat oleh masing-masing acang-acang mereka, tando diberikan masing-masing urang ampek jinih kepada acang-acang untuk kemudian ditukarkan melalui perantara janang.

Tando yang di pertukarkan oleh para aktor dalam alek pisang manih tersebut juga telah menunujukan ciri-ciri oposisinya. Dari sisi fisiknya dapat kita lihat bentuk dasar yang berbeda antara karih (keris) dengan cawek (ikat pinggang), yang dapat diinterpretasikan sebagai sebuah perlambangan dari dua hal yang saling berlawanan (oposisi). Namun dalam oposisi tando tersebut, tetap kembali memunculkan unsur penegah (liminal) yang saling berhubungan diantara kedua benda tersebut. Benda yang menjadi liminal antara oposisi karih dan cawek ini adalah carano, yang menjadi perantara pertukaran keduanya. Walaupun fungsi benda-benda tersebut lebih diinterpretasikan kepada hal yang berbentuk simbolik, namun juga memperlihatkan ciri-ciri oposisinya sendiri.

Ciri-ciri oposisi yang terbentuk dari tando tersebut dapat kita lihat dari bentuk dasar masing-masing benda. Dimana bentuk karih (keris) yang lurus dan mempunyai batas gangang yang melintang, dengan bentuk gangang yang berbelok, sangat berlawanan dengan bentuk benda yang menjadi lawan pertukarannya yaitu cawek (ikat pinggang). Bentuk dasar fisik dari cawek ini lebih terlihat seperti bulat atau melingkar. Hal itu dapat diinterpretasikan menjadi dua hal yang saling berlawanan antara lurus dengan melingkar yang menjadi masing-masing ciri tando tersebut. Namun oposisi ini mempelihatkan keseimbangannya dengan menghadirkan unsur netral yang masih mempunyai relasi dari kedua oposisi. Benda yang dijadikan penyeimbang dari oposisi tersebut adalah carano. Jika dilihat dari bentuk dasar dari carano sendiri menunjukan ada keterkaitanya dengan bentuk dasar dari antara kedua benda yang beroposisi (keris dan ikat pinggang). Dimana bentuk dasar carano ini diinterpretasi sebagai gabungan bentuk lurus melingkar, yang akhirnya menjadi bagian bentuk keris yang lurus sekaligus menjadi bagian dari ikat pinggang yang melingkar.

Bagan Bentuk Oposisi dari Bentuk Dasar Tando

Pola dari keseluruhan urutan pelaksanaan tradisi alek pisang manih dalam rangkaian upacara perkawinan menurut adat istiadat masyarakat Minangkabau di nagari Panyakalan, telah tergambarkan sebelumnya. Bentuk relasi-relasi antar unsur yang dianggap sebagai struktur luar dari pelaksanaan tradisi alek pisang manih, itu. Pengambaran struktur luar tersebut disusun atas relasi-relasi dari struktur yang beroposisi seperti pada penempatan posisi duduk para aktor atau kelompok sosial di dalam rumah pada saat menjalankan alek dan struktur dari relasi yang terjadi pada saat acara timbang tando (tuka karih jo cawek) dalam tradisi alek pisang manih.Melihat pada kasus pola pelaksanaan alek pisang manih pada masyarakat Minangkabau di nagari Panyakalan, struktur-struktur yang telah dibangun pada inti dapat diinterpretasikan sebagai bentuk transformasi dari dua pihak oposisi yang mempelihatkan sifat dualisme dari adat istiadat masyarakat Minangkabau di nagari Panyakalan, yang selalu dapat menghadirkan pihak ketiga sebagai penengah di antara dua oposisi yang berseberangan tersebut. Keberadaan pihak ketiga ini diasumsikan menjadi perekat oposisi kedua pihak kelompok tersebut sehingga seandainya terjadi suatu konflik atau ketidakharmonisan diantara keduanya, pada akhirnya fungsi atau peran pihak ketiga yang dimunculkan dapat meredam konflik atau mengharmoniskan hubungan atau relasi sosial masyarakat Minangkabau di nagari Panyakalan.C. KESIMPULANStruktur pada masyarakat Minangkabau di nagari Panyakalan yang ditemukan dalam pola pelaksanaan tradisi alek pisang manih, memperlihatkan bentuk ciri-ciri masyarakat yang dualisme dimana terdapat 2 aktor atau kelompok sosial yang saling bertentangan dalam sistem dan struktur sosial masyarakatnya. Hal itu dapat dibuktikan dalam bentuk relasi-relasi oposisi pada berbagai aktifitas atau kebiasaan dalam penyelenggaraan alek pisang manih pada masyarakat nagari Panyakalan. Walaupun bentuk oposisi tersebut terdapat pada struktur masyarakat Minangkabau di nagari Panyakalan, namun potensi konflik yang ditimbulkan tidaklah mencuat atau muncul ke permukaan masyarakatnya. Hal ini terjadi karena setiap oposisi yang ada selalu melibatkan orang ketiga yang dianggap sebagai penegah dari oposisi ini dimana mereka nantinya dapat meredam konflik atau ketidak harmonisan yang bisa saja terjadi. Dengan adanya dua elemen sosial (aktor dan kelompok sosial) yang saling berseberangan dan elemen penegah dalam struktur masyarakat Minangkabau di nagari Panyakalan, dapat membuktikan pada kita bahwa dualisme (genap) yang terdapat dalam sistem dan struktur masyarakat Minangkabau berbentuk triadik yang menurut Levi-Strauss berjumlah ganjil.Pada kasus di masyarakat Minangkabau, dimana dapat disimpulkan bahwa dengan ciri-ciri sistem dan struktur sosial yang dianutnya (seperti sifat dualisme dalam bentuk struktur triadik), telah berhasil mengatasi atau meminimalisir berbagai bentuk masalah antar kelompok sosial seperti Konflik Etnosentrisme, SARA, dan lain-lain. Kasus-kasus seperti itu agaknya relatif tidak terlalu begeming pada masyarakat Minangkabau, padahal ciri-ciri yang akan dapat menimbulkan sumber-sumber konfik dari dalam masyarakat Minangkabau banyak telihat dari dalam sistem dan struktur masyarakatnya, namun sebaliknya konflik yang dirasa akan muncul selalu bisa diredam dengan baik oleh bentuk struktur masyarakatnya tersebut.

DAFTAR PUSTAKABukuAhimsa-Putra, Heddy Shri. 2001. Strukturalisme Levi-Strauss: Mitos dan Karya Sastra. Yogyakarta: Galang Printika.-----------------------------------. 1997. Claude Levi-Strauss: Butir-Butir Pemikiran Antropologi, dalam Levi Strauss Empu Antropologi Struktural. Yogyakarta: LKiS.

Arifin, Zainal et.al. 2007. Permusuhan dalam Persahabatan (Budaya Politik Masyarakat Minangkabau). Padang: Lembaga Kajian Sosial Budaya.Budhisantoso. 1988. Sistem Kekerabatan dan Pola Pewarisan. Jakarta: Pustaka Grafika Kita. Esten, Mursal. 1999. Kajian Transformasi Budaya. Bandung: Angkasa Raya.

Goode, W. J. 1991. Sosiologi Keluarga (terj.). Jakarta: Bumi Aksara.

Ihromi, T. O. 1999. Pokok-Pokok Antropologi Budaya (terj.). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Kaplan, David dan Robert A. Manners. 2002. Teori Budaya (terj.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Antropologi 1. Jakarta: Universitas Indonesia.

---------------------. 1992. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat.

---------------------. 2009. Pengantar Antropologi. Jakarta: PT. Rineka Cipta.Navis, A. A. 1984. Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Grafiti Press.Radjab, Muhammad. 1973. Sistem Kekerabatan di Minangkabau. Padang: Center for Minangkabau Studies Press.

Ritzer, George. 2003. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Beparadigma Ganda (terj.). Jakarta: Raja Grafindo Persada.Jurnal dan Makalah Ilmiah

Arifin, Zainal. 2005. Dualisme Minangkabau (Dalam Kajian Strukturalisme Levi-Strauss) dalam Jurnal Antropologi Tahun VI, No.9, hal. 81-94.

Sasongko, Ibnu. 2003. Pengembangan Konsep Strukturalisme, dari Struktur Bahasa ke Struktur Ruang Permukiman: Kasus Pemukiman Sasak di Desa Puyung dalam Jurnal Bahasa dan Seni Tahun 31, No. 2, hal. 153-172.

Suharjanto, Gatot. 2011. Membandingkan Istilah Arsitektur Tradisional Versus Arsitektur Vernakular: Studi Kasus Bangunan Minangkabau dan Bangunan Bali dalam Jurnal ComTech, Vol. 2, No. 2, hal. 592-602.

Internet

http://journal.unnes.ac.id/ Mistaram. Upacara Tebus Kembar Mayang dalam Perkawinan Masyarakat Pesisiran: Suatu Interpretasi Simbolik. (Akses tanggal 5 Februari 2013).

http://mozaikminang.files.wordpress.com/ Alam Minangkabau. (Akses tanggal 10 Juni 2013).

http://www.bappedakabsolok.com/index.php/download/category/4-buku-bunga-rampai-satu-abad-kabupaten-solok. Bunga Rampai Satu Abad Kabupaten Solok. (Akses tanggal 10 Juni 2013).

http://www.kunci.or.id/teks/04biner.html. Nuraini Juliastuti. Oposisi Biner. (Akses tanggal 6 Februari 2013). Penulis adalah mahasiswa Jurusan Antropologi Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas, Padang. email; [email protected]

Baralek berasal dari kata alek yang berarti jamuan atau pesta. Jadi baralek adalah berpesta yang dilakukan oleh masyarakat Minangkabau.

Mangaku mamak artinya mengakui paman sedangkan mangaku induek artinya mengakui ibu. Di nagari Panyakalan untuk melaksanakan tradisi ini perlu dibayar ampang parik yaitu suatu isian untuk melaksanakan sebuah adat. Besaran yang perlu dibayar untuk ampang parik ini adalah senilai harga satu emas.

Pengecualian untuk calon pengantin laki-laki yang berasal dari nagari Gauang, Saok Laweh, Bukit Tandang dan Taruang-Taruang, tradisi mangaku mamak atau mangaku induek di nagari Panyakalan tidak akan dilaksanakan, begitu juga sebaliknya untuk calon pengantin laki-laki yang berasal dari nagari Panyakalan yang mengawini perempuan dari keempat nagari terebut maka tradisi mangaku mamak di sana juga tidak perlu dilaksanakan. Mereka dapat turun langsung dari suku asli mereka di nagari tersebut. Hal ini merupakan adat istiadat tersendiri bagi keempat nagari tersebut, karena telah menjadi ketentuan yang telah di tetapkan oleh nenek moyang/pendahulu dari keempat daerah tersebut.

Suku yang ada di nagari Panyakalan adalah; Tanjuang, Supanjang, Sungai Napa, Balai Mansiang, Kutianyie, dan Melayu.

Urang ampek jinih (orang yang empat jenis) adalah sebutan untuk kesatuan empat orang yang memiliki tugas dan fungsi yang berbeda dalam adat, namun akan saling dukung-mendukung dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya (Arifin et.al, 2007:78). Sebagai kelompok adat, maka yang dimaksud dengan urang ampek jinih adalah: penghulu, malin, manti, dan dubalang (idem, hal 79). Konsep kelompok urang ampek jinih juga ditemukan dalam sistem pemerintah nagari. Dalam konteks pemerintah nagari sekarang ini, urang ampek jinih adalah salah satu unsur yang membentuk kepengurusan Kerapatan Adat Nagari (KAN), yaitu: niniak mamak, cadiak pandai, alim ulama, dan bundo kanduang. (idem, hal 83).

Acang-acang adalah orang yang nantinya akan berkomunikasi atau bertanya jawab menggunakan bahasa petatah-petitih Minangkabau pada tradisi alek pisang manih. Orang yang menjadi acang-acang ini haruslah mempunyai gala (gelar adat), dan diambil dari salah satu kelompok urang ampek jinih. Biasanya diambil dari kalangan cadiek pandai.

Konsep datuek/niniek mamak disini ditujukan untuk urang ampek jinih dari suku-suku selain dari suku masing-masing mempelai yang melakukan upacara perkawinan dan beberapa orang yang mempunyai gala (gelar adat) namun bukan dari golongan urang ampek jinih dari suku-suku yang ada di nagari Panyakalan, serta juga ditujukan untuk orang yang berasal dari kalangan niniek mamak, alim ulama, dan cadiek pandai yang ada di nagari Panyakalan.

Urang sumando menurut Davis kata sumando itu sendiri berasal dari kata sando yang berarti berjanji. Jadi sumando adalah seseorang yang berjanji dengan keluarga isterinya. Ditengah masyarakatnya posisi seorang sumando ini dianggap sebagai orang yang datang atau tamu dalam keluarga isterinya, sebagai laki-laki marginal (marginal man) atau mengikuti istilah Levi-Strauss sebagaimana dikutip oleh Carol Davis sebagai seorang laki-laki pinjaman (idem, hal 93).

Dalam budaya masyarakat Minangkabau di nagari Panyakalan, orang yang berhak menjadi janang ini adalah anak pisang yang laki-laki (BrSo) dari pihak yang mengadakan alek.

Carano adalah tempat daun sirih beserta kelengkapannya (tembakau, gambir, buah pinang, dan sekapur sirih). Carano ini juga digunakan sebagai perantara pertukaran keris dan ikat pinggang (tando).

Levi-Strauss sendiri telah membuktikan adanya relasi atau komunikasi antar kelompok tersebut dalam karya yang berjudul Les Structures Elementaries de la Parente (1949) yang mengkaji pengaturan tukar-menukar wanita antara kelompok kerabat. Hal itu diambilnya dari contoh suku bangsa bangsa Indian di Amazon, suku bangsa pribumi Australia, suku bangsa India timur dan Birma, suku bangsa India Tengah dan Selatan, suku bangsa Gold dan Gilyak di Asia Timur Laut, serta suku bangsa Cina dan Tibet (Koentjaraningrat, 1987:220).

Tuo rarak ini adalah seorang kalangan bundo kanduang dari kaum pihak pengantin perempuan fungsi tuo rarak ini adalah sebagai pemimpin rombongan bararak.

Nasi sipuluik nasi adalah nasi yang kedua terbuat dari beras ketan. Pada acara bararak ini jenis nasi sipuluik yang dibawakan adalah nasi sipuluik biasa (yang bewarna putih) dan nasi sipuluik kuniang (nasi sipuluik yang bewarna kuning).

Nasi Sipuluik merupakan sejenis beras ketan yang berwarna agak keabu-abuan dan rasanya lebih manis dari pada nasi putih biasa.

Makanan ini bukanlah sejenis buah-buahan, namun nama dari suatau jenis makanan kudapan tradisional di nagari Panyakalan yang terbuat dari parutan kelapa yang telah dicampur dengan gula aren, sehingga parutan kelapa tersebut terasa manis dan berwarna kecoklatan dan dibalut dengan tepung yang dibuat sebesar kelereng kemudian di goreng.

1