Upload
duongthien
View
290
Download
23
Embed Size (px)
Citation preview
MUSLIM TIONGHOA DI JAKARTA:
PERAN YAYASAN HAJI KARIM OEI SEBAGAI WADAH DAKWAH MUSLIMTIONGHOA 1991-1998
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Adab dan Humaniora Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar
Sarjana Humaniora (S.Hum)
Oleh :
FIRDAUS ALANSYAH
1111022000003
JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAMFAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERISYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA1438 H/2017 M
i
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar strata satu di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan sudah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan
hasil jiplakan dari karta orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 10 Mei 2017
Firdaus Alansyah
v
DEDIKASI
Teruntuk Ayahanda Latif Suwirya, Ibunda Nurhaemah, Laela Hasanah, Ali
Muhammad, Ahmad Sobari, Devi Mutiara Sula, dan semua yang telah terlibat dalam
penyelesaian skripsi ini.
vi
ABSTRAK
Firdaus Alansyah
Muslim Tionghoa di Jakarta: Peran Yayasan Haji Karim Oei Sebagai Wadah Dakwah
Muslim Tionghoa 1991-1998
Dalam penulisan ini akan dijabarkan peranan penting dari Yayasan Haji Karim Oeisebagai wadah muslim Tionghoa Jakarta dalam berdakwah. Yayasan Haji Karim Oei menjadisalah satu ujung tombak Tionghoa untuk mengenalkan Islam ke etnis Tionghoa ditengahpandangan negatif yang masih berkembang dikalangan etnis Tionghoa terhadap Islam.Sejarah panjang tentang keberadaan etnis Tionghoa dan juga peranannya dalamperkembangan agama Islam di Indonesia khususnya di pulau Jawa merupakan salah satufakta bahwa Islam dan Tionghoa di Indonesia tidak dapat dipisahkan. Namun dalamperjalanannya terjadi berbagai peristiwa mulai dari politik, sosial, hingga budaya yangmembuat pribumi dipandang kurang baik dimata etnis Tionghoa dan juga sebaliknya,akhirnya berdampak pula pada citra Islam sebagai agama mayoritas penduduk Indonesiadimata etnis Tionghoa akibat dari pemahaman yang salah tentang Islam karena kurangnyainformasi tentang agama Islam dikalangan etnis Tionghoa.
Oleh karena itu maka didirikanlah sebuah yayasan yang berfungsi sebagai sebuahtempat informasi mengenai Islam untuk etnis Tionghoa bernama Yayasan Haji Karim Oei.Yayasan Haji Karim Oei merupakan sebuah yayasan yang berada di jalan Lautze Pasar BaruJakarta Pusat. Yayasan ini didirikan pada tahun 1991, sejak saat itu yayasan ini secara aktifmenjadi wadah Tionghoa dalam berdakwah. Yayasan ini didirikan untuk mengenang jasa OeiTjeng Hien atau yang lebih dikenal dengan nama H. Abdul Karim Oei yang meninggal padatahun 1988. Beliau dikenal juga sebagai bapa pembaruan dan pembauran bagi muslimTionghoa. Yayasan Haji Karim Oei atau yang biasa disebut dengan YHKO berdiri dengantujuan untuk menyebarkan agama Islam di kalangan etnis Tiongoa, mendekatkan Islamdengan etis Tionghoa, menjadi pusat informasi tentang Islam untuk Tionghoa, danmemberikan pendampingan bagi orang Tionghoa yang baru masuk Islam.
Kata Kunci: Muslim Tionghoa, Jakarta, Yayasan Haji Karim Oei, Sejarah, 1991-1998
vii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puja dan puji syukur untuk kehadirat Allah
Subhanahu wata’ala yang telah memberikan nikmat yang tiada terhitung, dan
dengan kasih sayang –Nya kita dapat terus bernafas dan berbuat di dunia tercinta
ini. Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada baginda Kanjeng Nabi
Muhammad SAW. Karena berkat perjuangan beliaulah kita dapat hijrah dari the
dark age menuju the enlightenment age.
Banyaknya rintangan dan hambatan yang penulis hadapi dalam
merampungkan skripsi yang berjudul: Muslim Tionghoa di Jakarta: Peran
Yayasan Haji Karim Oei Sebagai Wadah Dakwah Muslim Tionghoa 1991-
1998. Namun, semua rintangan dan hambatan itu bisa terlewati sedikit demi
sedikit dan setahap demi setahap dengan usaha dan kerja keras. Oleh sebab itu
penulis ingin menyampaikan terima kasih setulus-tulusnya kepada mereka semua,
diantaranya:
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA. selaku Rektor Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Prof. Dr. Sukron Kamil, M.Ag. selaku Dekan Faultas Adab dan
Humaniora.
3. Bapak Nurhasan, MA. selaku Ketua Program Studi Sejarah dan
Peradaban Islam yang telah membantu penulis selama menjadi
mahasiswa dalam beberapa hal yang berhubungan dengan birokrasi
universitas sehingga segalanya menjadi mudah.
viii
4. Ibu Sholikatus Sa’diyah, M.Pd. selaku Sekretaris Program Studi Sejarah
dan Peradaban Islam yang telah banyak membantu penulis saat menjadi
mahasiswa di prodi Sejarah dan Peradaban Islam tercinta ini baik yang
berkenaan dengan surat menyurta maupun motivasi untuk terus
berkembang menjadi pribadi yang lebih baik.
5. Bunda Imas Emalia, M.Hum. selaku dosen pembimbing skripsi yang
memberikan banyak masukan serta saran kepada penulis untuk terus
mencari sumber primer dalam penulisan sejarah, serta segala kemudahan
yang penulis dapatkan ketika menjadi mahasiswa bimbingan beliau.
6. Bunda Tati Hartimah, MA. selaku dosen pembimbing akademik yang
selalu memotivasi penulis untuk segera menyelesaikan kewajiban
menulis skripsi.
7. H. Ali Karim, SH. selaku narasumber sebagai ketua Yayasan Haji Karim
Oei yang juga merupakan anak kandung dari Haji Karim Oei telah
bersedia meluangkan waktu di tengah-tengah kesibukannya untuk
penulis wawancarai.
8. Yusman Iriansyah, SE. serta seluruh pengurus harian Yayasan Haji
Karim Oei, selaku narasumber yang telah bersedia meluangkan waktu di
tengah-tengah kesibukannya untuk diwawancarai serta memberikan
informasi yang penulis butuhkan.
9. Keluargaku, Ayahanda Latif Suwirya, Ibunda Nurhaemah, Kakakku
Laela Hasanah, serta Adik-adik tercintaku Ali Muhammad, Ahmad
Sobari, dan Devi Mutiara Sula yang selalu memberikan dukungan setiap
ix
hari baik moril maupun materi tak terhingga dan didikan di rumah ini
menjadikan penulis menjadi pribadi yang memiliki karakter.
10. Yunita Amanda, yang telah menemani penulis dalam melakukan
pencarian sumber, penelitian dan wawancara, dan memberi motivasi
bagi penulis untuk segera menyelesaikan penulisan skripsi, serta telah
menemani penulis sejak awal perkuliahan hingga skripsi ini selesai.
11. Himpunanku, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Fakultas
Adab dan Humaniora (KOFAH) Cabang Ciputat, yang telah menjadi
tempat penulis belajar berorganisasi dan belajar banyak hal.
12. Teman-teman seperjuangan di SPI 2011, dan senior-juniornya yang
saking banyaknya sehingga tidak bisa disebutkan satu-persatu, namun
penulis merasa harus berterima kasih kepada, Bang Mayong, Bang
Johan, Bang Ali Tauan, Bang Mugni Labib, Yudha bengbeng, Ahmad
Al-Faiz, Ikhwanuddin, Illham, Humaedi, Cipay, dan Naufan sahabat
penulis yang banyak membantu selama masa perkuliahan ini.
13. Arif Ableh dan Giri, sahabat serta saudara penulis dari semasa SMP
dulu hingga kini, terima kasih telah menjadi tempat menuangkan segala
cerita dan memberi motivasi untuk penulisan skripsi ini.
vi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................................... i
LEMBAR PERNYATAAN .......................................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN ......................................................................................... iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN ............................................................................ iv
DEDIKASI ..................................................................................................................... v
ABSTRAK .................................................................................................................... vi
KATA PENGANTAR ................................................................................................ vii
DAFTAR ISI .................................................................................................................. x
DAFTAR ISTILAH ..................................................................................................... xi
DAFTAR TABEL ....................................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................. xiii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................... 1
A. Latar Belakang ........................................................................................... 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ............................................................... 11
C. Tujuan dan Manfaat penelitian ................................................................ 12
D. Tinjauan Pustaka ...................................................................................... 13
E. Metode penelitian..................................................................................... 15
F. Sistematika Penulisan .............................................................................. 16
vii
BAB II SEJARAH MUSLIM TIONGHOA DI INDONESIA .............................. 18
A. Awal Kedatangan Muslim Tionghoa ke Indonesia Hingga Masa Orde
Baru (1407-1990)..................................................................................... 18
B. Keadaan Muslim Tionghoa 1991-1998: .................................................. 40
1. Aktifitas Ekonomi, Sosial, danBudayaMuslim Tionghoa Jakarta ..... 40
2. FasilitasDakwah Muslim Tionghoa Jakarta....................................... 43
3. Tokoh Muslim Tionghoa: Sebuah Simbol Yayasan .......................... 48
BAB III SEJARAH BERDIRINYA YAYASAN HAJI KARIM OEI (YHKO) .... 54
A. Sejarah BerdirinyaYayasan Haji Karim Oei ............................................ 54
B. Stuktur Kepengurusan Yayasan Haji Karim Oei ..................................... 58
BAB IV PERAN YAYASAN HAJI KARIM OEI SEBAGAI WADAH DAKWAH
MUSLIM TIONGHOA ............................................................................... 63
A. Aktifitas dan Kegiatan Yayasan Haji Karim Oei..................................... 63
A.1 Pengajian Mingguan ....................................................................... 63
A.2 Bimbingan Baca Al-Qur’an ............................................................ 66
A.3 Bimbingan Shalat ............................................................................ 67
A.4 Konsultasi Agama Islam ................................................................. 68
A.5 Shalat Berjamaah ............................................................................ 69
A.6 Kegiatan Sosial ............................................................................... 70
A.7 Pengislaman .................................................................................... 71
B. Metode Dakwah Yayasan Haji Karim Oei .............................................. 74
viii
C. Peranan Yayasan Haji Karim Oei Sebagai Wadah Dakwah Muslim
Tionghoa .................................................................................................. 78
BAB V KESIMPULAN............................................................................................. 80
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 82
LAMPIRAN ................................................................................................................. 88
xi
DAFTAR ISTILAH
Chinezenmood pembantaian orang-orang Tionghoa
Chiese Offcieren Kapitan Cina (tenaga administrasi dan
penarik pajak Cina)
Devide Et Impera Politik pecah belah
Geschoren Cinezeen Orang-orang Tionghoa cukuran
Hollandsch Chineesche School Sekolah untuk anak-anak Tionghoa yang
didirikan pemerintah Belanda
Inlander Sebutan mengejek oleh orang Belanda untuk
masyarakat asli Indonesia (pribumi) pada masa
penjajahan Belanda
Ius Soli Hak mendapatkan kewarganegaraan
berdasarkan tempat lahir di wilayah dari
suatu negara
Landraad Pengadilan untuk Pribumi pada masa
Kolonial
Pecinan Daerah pemukiman yang didominasi atau
di khususkan untuk etnis Tionghoa
Sinshe Pengobatan tradisional
Tiong Hoa Hwee Koan Perkumpulan Tionghoa
Vereenigde Oost Indische Compagnie Persekutuan dagang asal Belanda yang
didirikan pada 1602
Wijkenstelsel Peraturan untuk menciptakan pemukiman
etnis Tionghoa disejumlah kota besar di
Hindia Belanda
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Perkembangan Jumlah Etnis Tionghoa di Pulau Jawa
Tabel 2 Data Pengislaman PITI 1965-1978
Tabel 3 Jumlah Pengislaman di Yayasan Haji Karim Oei 1997-
Oktober 2016
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Tampak depan Masjid Lautze Jakarta (Yayasan Haji Karim Oei) sebelum
dan sesudah direnovasi
Gambar 2 Kaligrafi yang dipasang di belakang mimbar Masjid,
Percampuranantaraseni Arab danCina
Gambar 3 Buya Hamka, Karim Oei, Soekarno
Gambar 4 Haji Abdul Karim Oei
Gambar 5 Suasana makan bersama yang dilaksanakan setiap hari minggu, terlihat
muallaf Tionghoa dengan akrab bercengkrama dengan pribumi.
Gambar 6 Seorang muallaf yang baru saja bersyahadat sedang belajar gerakan-
gerakan sholat bersama muallaf lainnya di bawah pengawasan atau
bimbingan Ustadz Suhaimi.
Gambar 7 Proses pengislaman etnis Tionghoa yang dilakukan di Masjid Lautze
(lantai satu Yayasan Haji Karim Oei).
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan Islam di Indonesia sampai saat ini tidak lepas dari peran
Muslim Tionghoa dalam dakwah Islam di Nusantara. Peran Muslim Tionghoa dalam
penyebaran Islam di Indonesia salah satunya dengan berdirinya Kesultanan Islam
pertama di Jawa yaitu Kesultanan Demak. Menurut Sumanto Al-Qurtubi berdirinya
Kesultanan Demak tidak lepas dari peran yang cukup besar dari orang-orang
Tionghoa, mengingat Raden Fatah sebagai Sultan atau raja pertama Kesultanan
Demak adalah keturunan Cina dengan nama Tionghoa yaitu Jin Bun. Dalam catatan
Babad Tanah Djawi, Serat Sunda, serta Tembang Babad Demak menyebutkan bahwa
Raden Fatah alias Jin Bun adalah seorang anak dari raja Brawijaya V dan putri Cina
bernama Sio Ban Chi anak dari Syekh Bentong.1 Bukti lain yang menunjukan peran
Muslim Tionghoa dalam penyebaran agama Islam di Indonesia adalah beberapa wali
yang merupakan keturunan peranakan Tionghoa. Sebagai contoh Sunan Ampel alias
Raden Rahmat adalah seorang Tionghoa yang memiliki nama asli Bong Swi Hoo
berasal dari Yuan, beliau merupakan cucu dari penguasa Campa bernama Bong Tak
Keng yang berkuasa 1413-1446. Sunan Ampel menikah dengan Ni Gede Manila yang
merupakan anak dari seorang Kapten Cina yang bernama Gan Eng Yu dengan
perempuan pribumi yang berkedudukan di Tuban, perkawinan tersebut melahirkan
1 Sumanto Al-Qurtubbi, Arus Cina Islam Jawa, (Yogyakarta, Inspeal Press, 2003), hlm.214.
2
keturunan peranakan bernama Boang Nang alias Sunan Bonang.2
Di Tiongkok sendiri Islam sudah bersentuhan dengan masyarakat Tionghoa
terutama ketika jazirah Arab dipimpin oleh Khalifah ketiga yaitu Utsman Bin Affan
(644-656 M). Saat itu Utsman Bin Affan mengirim utusannya yakni Saad Ibn Abu
Waqqas ke Cina pada tahun 651 M untuk menghadap kaisar Yong Hui di kota
Changan. Tujuannya adalah memberi teguran kepada kaisar agar tidak turut campur
dalam masalah peperangan antara pasukan Islam dan Persia. Pada saat itu Dinasti
Tang berkuasa di negri Cina sekitar tahun 618-905 M, bahkan peristiwa tersebut
diperkuat oleh fakta berupa naskah annals pada masa Dinasti Tang.3 Islam
mengalami perkembangan yang sangat pesat pada masa Dinasti Ming, bahkan ada
yang berpendapat bahwa Dinasti Ming saat itu adalah Dinasti Islam di Cina. Karena
untuk pertama kalinya seorang ratu Kaisar Chu Yuan Chang (Kaisar pertama dinasti
Ming) yakni Emprass Ma Hoe adalah Muslimah.4 Pada masa ini pula di tahun 1410-
1416 Laksamana Cheng Ho diutus oleh Kaisar Dinasti Ming untuk mengamankan
jalur pelayaran niaga di Nanyang. Hal ini dikarenakan lokasi terebut banyak diganggu
oleh bajak laut Hokkian pimpinan Lin Tao-Ch’ien.5
Pada tahun 1407 Dinasti Ming melakukan ekspansi dengan misi untuk
merebut Kukang (Palembang) dari para perampok Tionghoa non Islam dari Hokkian.6
2Selamet Mulyana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islamdi Nusantara, (Yogyakarta: LkiS), hlm. 84-86.
3Kong Yuan Zhi, Muslim Tionghoa Ceng Ho, (Jakarta: Pustaka Popular Obor, 2000), hlm.2734Ibrahim Ying Ma, Perkembangan Islam di Tiongkok, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm.7.5Sachiko Murata, Gemerlap Cahaya Sufi dari Cina, (Jakarta: Pustaka Sufi, 1999), hlm.19.6H. J. De Graaf, Cina Muslim di Jawa Abad XV dan XVI: Antara Histotitas dan Mitos,
(Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997), hlm.4.
3
Di Kukang (Palembang) sendiri telah dibentuk komunitas Cina muslim bermazhab
Hanafi pertama di kepulauan Indonesia.7 Selain itu ketika ekspansi Cheng Ho yang
dikatakan di catatan Ma Huan menyebutkan secara jelas dan menggambarkan bahwa
pedagang Cina Muslim telah Menghuni kota-kota dan ibukota Majapahit pada abad
ke-15.8 Dapat dikatakan ini merupakan cikal bakal dari komunitas etnis Tionghoa
yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
Menurut Leo Suryadinata ada kejadian dimana masyarakat etnis Tionghoa
masuk Islam pada masa sebelum datangnya Belanda ke Nusantara.9 Menurutnya
kedatangan Belanda datang ke Nusantara pada tahun 1596 dan berdirinya Vereenigde
Oost Indische Compagnie (VOC) dengan berbagai kebijakan yang dikeluarkannya
telah menghambat proses asimilasi etnis Tionghoa. Kedekatan etnis Tionghoa dengan
pribumi serta kepiawaian mereka dalam hal perdagangan yang diatas pribumi
membuat VOC memberi perhatian khusus kepada etnis Tionghoa. VOC mengangap
etnis Tionghoa mampu memainkan peranan sebagai penguhubungan antara pribumi
dalam bidang perdagangan eceran/lokal, sehingga kegiatan ekonomi pedesaan di
Indonesia mayoritas dikuasai oleh etnis Tionghoa.10 Hal ini membuat VOC
memberikan kebijakan perlindungan dan keleluasaan yang lebih kepada etnis
Tionghoa, sehingga muncullah anggapan dimata pribumi bahwa etnis Tionghoa
adalah kaki tangan VOC.
7H. J. De Graaf, Cina Muslim di Jawa Abad XV dan XVI, hlm.5.8Mely G. Tan, Golongan Minoritas Tionghoa di Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1981), hlm.
11.9Leo Suryadinata, Mencari Identitas Nasional Dari Tjoe Bou San Sampai Yap Thiam Hien,
(Jakarta: LP3ES, 1990), hlm. 175.10 Sumanto Al-Qurtubi, Arus Cina-Islam-Jawa, (Yogyakarta, Inspeal Press, 2003), hlm. 178.
4
Salah satu kebijakan VOC yang terkenal adalah politik devide et impera atau
politik pecah belah. Dalam penerapan politik pecah belahnya pemerintah Belanda
menggolongkan masyarakat Indonesia kedalam tiga golongan, yaitu: golongan atas
atau pertama adalah golongan untuk bangsa eropa, golongan menengah atau kedua
untuk bangsa pendatang dari timur asing (mayoritas Cina), dan golongan yang
terakhir dan yang terendah adalah untuk masyarakat pribumi. Pemerintah VOC tidak
mengingikan etnis-etnis yang ada di negri jajahannya, termasuk etnis Tionghoa
berbaur dengan pribumi. Ini dimaksudkan untuk mencegah segala kemungkinan yang
dapat menimbulkan pemberontakan di wilayah jajahannya. Pengelompokan golongan
sosial yang diberlakukan oleh VOC ini menempatkan pribumi di golongan terakhir,
sehingga pribumi dianggap sebagai masyarakat rendahan, miskin, dan bodoh.
Sehingga secara tidak langsung hal itu berdampak kepada citra Islam di mata etnis
Tionghoa.11
Pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20 terjadi gelombang migrasi besar-
besaran orang Tionghoa menuju Hindia Belanda. Hampir seluruhnya berasal dari dua
propinsi di Tiongkok, yaitu Fujian dan Kwangtung yang terbagi ke dalam tiga
kelompok bahasa yang berbeda, yaitu Hokkian, Hakka, dan Kanton.12 Migrasi ini
merupakan dampak dari kekacauan dimana pada masa itu Tiongkok di bawah
pemerintahan Dinasti Qing (1644-1911) terjadi pembantaian besar-besaran terhadap
umat Islam di Tiongkok. Kedatangan orang-orang Tionghoa yang sangat besar pada
11Tanti Restiasih Skober, “Orang Cina di Bandung, 1930-1960: Merajut Geliat SiasatMinoritas Cina”, Makalah Konferensi Nasional Sejarah VIII , Jakarta: 14-17 November 2006, hlm.1.
12G.W Skiner, Golongan Minoritas Tionghoa, (Jakarta: Gramedia, 1981), hlm. 6-7.
5
abad ke-19 hingga awal abad ke-20 ini secara drastis mengubah tatanan masyarakat
Hindia Belanda pada waktu itu. Jumlah mereka yang cukup banyak lambat laun
menggeser keberadaan orang-orang Tionghoa peranakan yang sudah menetap ratusan
tahun lebih dulu di Indonesia.13 Menurut Afthonul Afif14, Spirit nasionalisme
Tiongkok yang dibawa oleh para imigran pada migrasi yang mereka lakukan di awal
abad ke-20, memberi penegasan betapa mereka lah yang paling pantas menyebut diri
sebagai orang Tionghoa asli. Sementara mereka yang sudah membaur dengan
penduduk pribumi terlebih mereka yang memutuskan masuk Islam tidak lagi
dianggap sebagai orang Tionghoa asli. Situasi ini membuat sentimen yang timbul
tidak hanya antara etnis Tionghoa peranakan dengan Pribumi saja, namun timbul pula
perpecahan antara Tionghoa peranakan dengan Tionghoa totok.Kehidupan etnis
Tionghoa di Indonesia dalam rangka penyatuan diri mereka dengan pribumi tidaklah
mulus. Kenyataan bahwa mereka adalah imigran yang berasal dari kelompok ras dan
memeluk agama yang berbeda dari pribumi menyulitkan penyatuan itu.15
Setelah Indonesia merdeka, banyak dari masyarakat pribumi meragukan
nasionalisme Indonesia yang dimiliki oleh etnis Tionghoa. Ini bermula dari sikap
Tionghoa peranakan yang awalnya mendukung Indonesia, berbalik menjadi pihak
netral antara pihak Belanda dengan Pihak Indonesia. Untuk mengatasi hal tersebut,
etnis Tionghoa yang berada di Indonesia dan pemerintah Indonesia berusaha untuk
13Chang Yau Hoon, Identitas Tionghoa Pasca Soeharto: Budaya, Politik dan Media, (Jakarta,Yayasan Nabil dan LP3ES, 2012), hlm.xxxviii.
14Afthonul Afif,Identitas Tionghoa Muslim Indnonesia: Pergulatan Mencari Jati Diri,(Depok: Kepik, 2012), hlm. 35.
15Leo Suryadinata,Kebudayaan Minoritas Tionghoa di Indonesia, (Jakarta: Gramedia,1988),hlm.97.
6
menghilangkan semua sentimen yang ada dikalangan pribumi, dengan cara
melakukan pembauran dengan masyarakat pribumi. Pada 1946 pemerintahan
Soekarno mengeluarkan kebijakan tentang masalah kewarganegaraan terhadap
kelompok minoritas ini. Bentuk kebijakan yang dikeluarkan pemerintah saat itu
berupa undang-undang kewarganegaraan yang berdasarkan pada asas ius soli.16
Dalam sistem ini seorang Tionghoa dapat menjadi warga negara Indonesia tanpa
melakukan apapun. Hal ini dikarenakan setiap etnnis Tionghoa yang lahir di
Indonesia merupakan warga negara Indonesia. UU Kewarganegaraan ini berlaku
hingga diadakannya perjanjian Dwi Kewarganegaraan antara Indonesia dengan
Repubik Rakyat Cina pada 1955.17 Perjanjian Dwi Kewarganegaraan ini baru
diterapkan pada 1960.18
Situasi politik di Indonesia berubah secara drastis saat terjadi peristiwa
berdarah Gerakan 30 September 1965 (G 30 S). Berbekal Surat Peritah 11 Maret atau
yang sering kita sebut dengan SUPER SEMAR, Letnan Jendral Soeharto
membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dianggap bertanggung jawab
atas peristiwa tersebut, peralahan tapi pasti posisi Soekarno digantikan oleh
Soeharto.19 Pada G 30 S/PKI etnis Tionghoa diindikasikan ikut terlibat dalam
peristiwa tersebut, hal dikerenakan Cina kala itu merupakan negara yang menganut
16Leo Suryadinata, Dilema Minoritas Tionghoa,(Jakarta: Grafiti Pers. 1984), hlm.116.17Prof. Mr. Dr.s Gautama, Warganegara dan Orang-Orang Asing Berikut 42 Peraturan dan
Contoh,(Bandung: Alumni,1975),hlm.121-128.18Isi perjanjian Dwikenegaraan dapat dilihat selengkapnya dalam Prof. Mr. Dr.s Gautama,
Warganegara dan Orang-Orang Asing Berikut 42 Peraturan dan Contoh, hlm.185.19Cosmas Batubara, Sejarah Lahirnya Orde BaruHasil dan Tantangannya, (Jakarta;
Prahita,1986), hlm.27.
7
sistem komunis. Sehingga pada awal pemerintahannya, Soeharto dengan segera
mengeluarkan kebijakan-kebijakan yeng berkaitan dengan etnis Tionghoa di Indonsia
terutama terkait masalah pembauran. Salah satunya mengeluarkan Intruksi Presiden
No.14/1967 tentang agama, kepercayaan, dan adat istiadat Cina tanggal 6 Desember
1967.20 Dalam Instruksi Presiden tersebut, semua hal yang berhubungan dengan Cina
yang bisa mengakibatkan terhambatnya proses pembauran seperti perayaan tahun
baru Cina, dilarang. Dengan demikian dapat dikatakan semenjak berkuasa, presiden
Soeharto pada saat itu berusaha untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang
mempercepat proses asimilasi demi tercapainya kedamaian di masyarakat pasca
peristiwa G 30 S.
Oleh sebab itu, etnis Tionghoa yang berada di Indonesia berusahauntuk
berasimilasi, mereka tidak segan-segan mengganti nama Tionghoa menjadi nama
Indonesia atau pun dengan cara memeluk agama Islam sebagai agama mayoritas yang
dipeluk oleh pribumi. Hal ini menunjukan bahwa mereka serius dalam mengatasi
sentimen negatif yang berkembang di masyarakat, serta agar bisa diterima secara utuh
sebagai bagian dari masyarakat Indonesia itu sendiri.
Menurut Leo Suryadinata, beberapa orang Tionghoa memeluk agama Islam
karena alasan praktis. Misalnya usahawan akan lebih mudah membuka usaha atau
menjalankan usaha mereka karena ketika masuk Islam, karena akan lebih mudah
diterima masyarakat pribumi yang mayoritas Islam. Atau tertarik terhadap Islam
20 Stuart W Grief, WNI Problematik Orang Indonesia Asal Cina, (Jakarta: Pusaka UtamaGrafiti, 1991), hlm. xvii-xviii.
8
karena hubungan erat mereka dengan sahabat-sahabat muslim pribumi mereka.21
Namun terlepas dari pendapat tersebut, tidak sedikit pula yang masuk Islam
dikarenakan hubungan yang kuat dan tidak mengenal perbedaan suatu ras atau
golongan sesama muslim dalam Islam yang membuat mereka lebih memilih agama
yang dianut oleh mayoritas masyarakat Indonesia.
Menurut Junus Jahja, dengan etnis Tionghoa memeluk agama Islam dilihat
sebagai tindakan atau penyempurnaan terakhir dan final dari proses pembauran.22
Untuk itu, demi mengenalkan Islam kepada etnis Tionghoa dan menjaga
keimananorang-orang Tionghoa yang baru memeluk agama Islam, maka didirikanlah
suatu organisasi atau lembaga yang kemudian dikenal dengan Persatuan Islam
Tionghoa Indonesia atau yang disingkat PITI pada tahun 1961.23
PITI merupakan gabungan dari dua organisasi muslim sebelumnya, yaitu
Persatuan Islam Tionghoa (PIT) dan Persatuan Tionghoa Muslim (PTM). Persatuan
Islam Tionghoa oleh Yap A Siong di Medan, dan Persatuan Tionghoa Muslim
didirikan oleh Kho Goan Tjin di Bengkulu.24 Penggabungan ini diakukan karena sifat
kedua organisasi ini masih bersifat kedaerahan, sehingga pengaruh kedua organisasi
ini masih belum dirasakan oleh seluruh masyarakat Tionghoa muslim di Indonesia
pada saat itu. Kala itu ketua PP Muhammadiyah, H. Ibrahim memberikan saran
21Leo suryadinata, Kebudayaan Minoritas Tionghoa di Indonesia,(Jakarta: Gramedia, 1988).hlm.95
22 Junus Jahja,Islam Dimata WNI, hlm.1523Afthonul Afif,Identitas Tionghoa Muslim Indnonesia: Pergulatan Mencari Jati Diri,
hlm.92.24 Benny G Setiono, Tionghoa Dalam Pusaran Politik,(Jakarta: Trans Media Pustaka, 2008),
hlm.81.
9
kepada Abdul Karim bahwa tidak ada organisasi yang secara khusus meyebarkan
agama Islam di kalangan etnis Tionghoa, sehingga Abdul Karim Oei mengusulkan
untuk menggabungkan dua organisasi Islam yang sudah telebih dahulu berdiri yaitu
Persatuan Islam Tionghoa dan Persatuan Tionghoa Muslim untuk menjadi satu
organisasi yang di namakan Persatuan Islam Tionghoa Indonesia di Jakarta pada 14
April 1961.25 Pasca peristiwa G 30 S, PITI mengubah nama menjadi Pembina Iman
Tauhid Islam dari sebelumnya Persatuan Islam Tionghoa Indonesia. Respon ini
dilakukan karena adanya kebijakan pemerintah Orde Baru yang saat itu sedang
menggalakan kebijakan politik anti Cina.26
Seperti yang sudah dikemukakan diatas, bahwasanya lahirnya PITI sebagai
suatu wadah Muslim Tionghoa di Indonesia tidak lepas dari peran Haji Karim Oei
sebagai tokoh sentral. Haji Karim Oei atau Haji Abdul Karim lahir di Padang Panjang
pada 6 Juni 1905 dengan nama Tionghoa Oei Tjeng Hien. Pada 1929 ia masuk Islam,
sesuatu yang sangat langka di kalangan Tionghoa pada saat itu. Karena ketaatannya ia
kemudian diangkat sebagai Konsul Muhammadiyah untuk wilayah Bengkulu dan
salanjutnya untuk seluruh wilayah Sumatra Selatan. Selain aktif dalam bidang
dakwah terlihat dengan posisinya yang cukup strategis di Muhammadiyah Sumatra
25Mustopa, Islam dan Pembaruan: Studi Mengenai Tionghoa Muslim di Jakarta, (Tesis,UI:2006), hlm.26-27.
26Afthonul Afif,Identitas Tionghoa Muslim Indnonesia, hlm.107.
10
Selatan, ia juga seorang pebisnis yang sukses dan juga politisi yang ulung. Tercatat ia
pernah menjadi anggota DPR dan anggota Konstituante.27
Setelah H. Abdul Karim Oei meninggal pada 1988, para pengikutnya
kemudian mendirikan sebuah yayasan bernama Yayasan Haji Karim Oei (yang
selanjutnya akan disebut menjadi YHKO) yang didirikan pada 19 april 1991 dengan
tujuan untuk menyebarkan agama Islam dikalangan etnis Tionghoa, mendekatkan
Islam dengan etnis Tionghoa, dan memberikan pendampingan bagi orang Tionghoa
yang baru masuk Islam.28 Penggunaan nama Haji Karim Oei pada Yayasan ini
ditujukan untuk mengenang jasa dan kontribusinya dalam upaya dakwah Islam
dikalangan etnis Tionghoa.
Yayasan Karim Oei terletak di jalan Lautze no.89 Pasar Baru, Jakarta
Pusat.Yayasan ini berdiri dikawasan yang biasa disebut pecinan, artinya daerah yang
banyak dihuni oleh warga etnis Tionghoa. Tidak jauh dari lokasi berdirinya Yayasan
Haji Karim Oei ini berdiri pula beberapa Vihara yang letaknya berdekatan satu sama
lain, yaitu Vihara Tunggal Darma, Vihara Venuvana, Vihara Tri Ratna, dan Vihara
Buddhayana.29 Keberadaan Yayasan Haji Karim Oei di tengah-tengah pemukiman
Tionghoa ini dimaksudkan agar Yayasan Haji Karim Oei sebagai media untuk
mengenalkan Islam kepada warga Tionghoa disekitarnya lebih efektif. Oleh karena
27Junus Jahja, Peranakan Idealis: Dari Lie Eng Hok Sampai Teguh Karya, (Jakarta:Kepustakan Populer Gramedia,2002), hlm.22.
28Afthonul Afif,Identitas Tionghoa Muslim Indnonesia, hlm.108.29Mustopa, Islam dan Pembaruan: Studi Mengenai Tionghoa Muslim di Jakarta, hlm.54
11
itu selain berdiri di daerah pecinan, Yayasan ini juga mendekorasi eksterior dan
interior bangunannya bergaya khas Tionghoa.
Oleh karena itu pemilihan topik mengenai etnis Tionghoa Indonesia, yang
mengerucut pada muslim Tionghoa di Jakarta merupakan pembahasan yang cukup
menarik untuk dikaji lebih dalam lagi. Dalam penelitian ini, penulis mencoba
mengangkat peran Yayasan Haji Karim Oei dalam upaya penyebaran agama Islam
dikalangan etnis Tionghoa khususnya di Jakarta.
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah
Dalam penulisan skripsi ini saya akan membatasi pembahasannya pada fokus
“Muslim Tionghoa di Jakarta” dengan melihat pada peran Yayasan Haji Karim Oei
sebagai suatu wadah dakwah Islam bagi masyarakat muslim Tionghoa di Jakarta
antara 1991-1998. Secara temporal saya mengambil rentang tahun tersebut karena,
pada 1991 adalah awal berdirinya Yayasan Haji Karim Oei, sedangkan 1998
peristiwa kerusuhan yang menyasar etnis Tionghoa sebagai objek kerusuhan pada
saat itu yang secara tidak langsung berpengaruh terhadap aktifitas dakwah yayasan
ini.
Adapun perumusan masalah penelitian ini dapat diuraikan dalam bentuk
pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana sejarah muslim Tionghoa dari sejak kedatangannya ke Indonesia
sampai tahun 1990-an?
2. Bagaimana keberadaan muslim Tionghoa di Jakarta antara tahun 1991-1998?
12
3. Bagaimana sejarah berdirinya Yayasan Haji Karim Oei dan peranannya dalam
perkembangan agama Islam di kalangan masyarakat Tionghoa di Jakarta?
Pertanyaan-pertanyaan di atas akan penulis jawab dalam uraian dan analisis
yang didasarkan pada sumber-sumber yang penulis gunakan.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitan
Penelitian ini bertujuan pertama, mengetahui peran Yayasan Haji Karim Oei
dalam penyebaran agama Islam di Jakarta khususnya pada masyarakat Tionghoa.
Kedua, untuk mengetahui metode yang dilakukan serta peranan Yayasan Haji Karim
Oei dalam dakwah Islam di Jakarta.
Adapun dalam penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut:
1. Untuk kepentingan Ilmu pengetahuan sebagai sumbangan sejarah Islam di
Indonesia
2. Mengetahuam keberadaan muslim Tionghoa di Jakarta khususnya antara
tahun 1991-1998 melalui peran Yayasan Haji Karim Oei dalam penyebaran
agama Islam khususnya pada masyarakat Tionghoa.
3. Memberikan wawasan kesejarahan tentang muslim Tionghoa di Indonesia
khususnya di Jakarta.
D. Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka sangat diperlukan dalam suatu penelitian, untuk mengetahui
sejauh mana penelitian yang relevan dengan topik telah dilakukan, di samping untuk
memperkaya data.
13
Buku Afthonul Afif yang berjudul “Identitas Tionghoa Muslim Indnonesia”,
buku ini secara umum menjelaskan kondisi yang dialami etnis tionghoa dalam hal
sosial politik, terdiri dari beberapa bagian yaitu jaman Kolonial, Orde Lama, Orde
Baru hingga masa Reformasi, akan tetapi lebih spesifik menjelaskan tentang kondisi
muslim Tionghoa di masa reformasi dan perjuangannya dalam mencari identitas
sebagai warga negara Indonesia yang diakui masyarakat. Buku ini sangat berguna
bagi penulisan skipsi ini, khususnya pada bab I dan II. Untuk menjelaskan tentang
kondisi Muslim Tionghoa pasca orde baru.
Buku selanjutnya ditulis oleh Leo Suryadinatayang berjudul Dilema Minoritas
Tionghoa dan Kebudayaan Minoritas Tionghoa di Indonesia. Buku yang pertama
menjelaskan tentang situasi dan kondisi politik yang dialami etnis Tionghoa pada
zaman Orde Lama dan Orde Baru. Dimana etnis Tionghoa pada saat itu mengalami
tekanan sosial politik yang cukup berat, terutama pada masa Orde Baru. Sedangkan
buku kedua menjelaskan tentang kondisi sosial budaya yang di hadapi etnis Tionghoa
pada jaman Orde Baru. Dimana pada masa pemerintahan Presiden Soeharto etnis
Tionghoa tidak hanya mengalami tekanan dari sisi sosial politik saja, namun
kebudayaan mereka dipaksa untuk dihilangkan salah satu contohnya pelarangan
penggunaan nama Tionghoa dan perayaan hari besar Imlek. Buku ini juga sangat
berguna bagi penulis, khususnya pada bab II skipsi ini. Untuk mengetahui masalah-
masalah yang dihadapi etnis Tionghoa Indonesia pada masa orde baru.
Selain buku-buku di atas terdapat beberapa karya hasil penelitian skripsi
maupun tesis tentang muslim tionghoa. diantaranya skripsi yang ditulis oleh Nia
14
Paramita dari Universitas Indonesia yang berjudul “Pembina Iman Tauhid Islam
(PITI) Sebagai wadah asimilasi etnis Tiongoa di Indonesia”. Skripsi tersebut
membahas peran PITI sebagai wadah asimilasi atau pembauran warga Tionghoa di
Indonesia pada masa Orde Baru namun tidak sama sekali tidak membahas tentang
Yayasan Haji Karim Oei sebagai salah satu sarana yang di pakai muslim Tionghoa
untuk berdakwah. Karena skripsi tersebut membatasi tahun penelitan dari 1961-1987.
Adapun Tesis yang berjudul: “Islam dan Pembauran: Suatu Studi Mengenai
Tionghoa Muslim di Jakarta”, karya Mustopa dari Universitas Indonesia. Tesis ini
membahas upaya pembauran yang dilakukan etnis Tionghoa, dan interaksi sosial
yang terjadi antara muslim Tionghoa dengan pribumi di Jakarta. Objek penelitian
dalam Tesis ini adalah Masjid Lautze Yayasan Haji Karim Oei sebagai tempat
observasi penelitian. Namun tidak membahas tentang sejarah berdiri hingga peran
Yayasan Haji Karim Oei dalam upaya mengenalkan Islam atau berdakwah ke etnis
Tionghoa di Jakarta. Hasil karya tulis dari para mahasiswa Universitas Indonesia ini
oleh penulis digunakan untuk bahan perbandingan penelitian, agar terhindar dari
plagiarisme.
Karya-karya tersebut pada dasarnya membahas tentang muslim Tionghoa,
namun tidak satu pun yang membahas tentang Yayasan Haji Karim Oei sebagai
sarana dakwah Muslim Tionghoa. Hal tersebut merupakan celah kajian penting bagi
peneliti, sebab hal tersebut mejadi tantangan penulis untuk mengungkapkan peran
Yayasan Haji Karim Oei sebagai sarana Dakwah Muslim Tionghoa di Jakarta.
15
E. Metode Penelitian
Metode yang akan digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah metode
sejarah, yaitu untuk menguji dan menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan
masa lampau,30dan menggunakan pendekaan sejarah sosial kontemporer. Metode ini
diharapkan dapat membantu untuk mengetahui fakta dan sejarah pada masa lampau,
sedangkan dalam penelitiannya terdapat 4 tahapan,31 di antaranya adalah heuristik,
kritik, interpretasi, dan historiografi.
Tahap pertama Heuristik, yaitu proses pencarian dan penemuan sumber data.
dalam tahap ini peneliti mendapatkan data atau sumber primer hasil observasi dan
wawancara langsung terhadap orang-orang yang terkait dengan Yayasan Haji Karim
Oei, separti pengurus Yayasan atau Organisasi seperti Yayasan Karim Oei, Persatuan
Islam Tionghoa Indonesia (PITI), dan Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI).
Peneliti juga mendapatkan data berupa arsip-arsip dan majalah-majalah atau koran
yang berkaitan tentang etnis Tionghoa pada masa orde baru. Data-data tersebut
penulis dapatkan dari Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Perpustakaan
Nasional (PNRI) dan perpustakaan Yayasan Haji Karim Oei yang berhubungan
dengan etnis Tionghoa. Selain itu peneliti juga mendapatkan data sekunder berupa
buku dan jurnal dari beberapa perpustakaan dan situs media online yang terkait
dengan tema penelitian ini.
30Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, (UI Pres: 1975) hlm. 3231Dudung Abdurahman, Metode Penitian Sejarah, (Logos. Jakarta 1999) hlm. 54
16
Tahap kedua adalah Kritik Sejarah, yaitu proses penyeleksian sumber.
Seluruh data baik sekunder dan primer akan diseleksi kebenaran dan objektivitasnya.
Jika dipastikan bahwa sumber-sumber tersebut mengandung fakta terpercaya dan bisa
dipertanggungjawabkan kebenarannya, maka tahap selanjutnya adalah Interpretasi
atau yang sering disebut juga dengan analisis sejarah tujuaannya agar data yang ada
dapat digunakan untuk menjelaskan tema kajian penelitan ini sesuai dengan
permasalahan yang dibuat. Setelah itu pada tahap terakhir adalah Historiografi atau
penulisan sejarah. Yaitu proses penulisan hasil penelitian dengan cara merekonstruksi
peristiwa yang terjadi di masyarakat dalam hal ini terkait dakwah Islam yang
dilakukan oleh muslim Tionghoa di Jakarta 1991-1998 berdasarkan sumber data yang
diperoleh yang kemudian disajikan dalam bentuk deskriptif analisis.
F. Sistematika Penulisan
Penulis akan membagi penulisan skripsi ini dalam lima bab, dan masing-
masing bab tediri dari beberapa bab sebagai berikut:
Bab I: Meliputi latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan
dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika
penulisan.
BabII: Menuliskan tentang sejarah Muslim Tionghoa di Indonesia mulai dari awal
kedatangan muslim Tionghoa ke Indonesia hingga masa Orde Baru, dan menjelaskan
keadaan muslim Tionghoa 1991 hingga 1998 beserta aktifitasnya baik ekonomi dan
dakwah sosialnya.
17
Bab III: Menjelaskan tentang profil Yayasan Haji Karim Oei (YHKO), sejarah
berdirinya YHKO, hingga struktur kepengurusan di YHKO.
Bab IV: Peranan Yayasan Haji Karim Oei sebagai wadah dakwah muslim Tionghoa
di Jakarta yang meliputi kegiatan dan aktifitas yang dilakukan YHKO, metode
dakwah yang digunakan, serta peranannya.
Bab V:Kesimpulan
18
19
BAB II
SEJARAH MUSLIM TIONGHOA DI INDONESIA
A. Awal Kedatangan Muslim Tionghoa ke Indonesia hingga Masa Orde Baru
(1407-1990)
Perkembangan muslim Tionghoa di Nusantara sudah terjadi sejak zaman
Kerajaan Hindu-Buddha. Masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia diperkirakan
melalui jalur perdagangan dengan pedagang Arab dan Persia. Selain menjalin
hubungan dagang dengan saudagar Arab dan Persia, Nusantara juga menjalin
hubungan dagang dengan Cina. Para pedagang Cina yang datang ke Nusantara pada
saat itu berasal dari Cina bagian selatan (Hangzhou, Guangzhou, Yangzhou), dan
kawasan tersebut sejak awal abad ke-9 merupakan daerah komunitas muslim di
Cina.32
Persentuhan Islam dengan Tiongkok diperkirakan sudah terjadi pada
pertengahan abad ke-7 M, yang ketika itu di jazirah Arab Islam berada di bawah
kepemimpinan Ustman Bin Affan 577-656 M (Khalifah ketiga). Saat itu Saad Ibn
Abu Waqqas diutus oleh Utsman Bin Affan ke Cina pada 651 M untuk menghadap
kaisar Yong Hui dikota Changan dimana pada saat itu Tiongkok di bawah
pemerintahan Dinasti Tang (618-905M) dengan misi memberi teguran kepada kaisar
Yong Hui agar tidak turut campur dalam masalah peperangan antara pasukan Islam
32Ong Hok Ham, Riwayat Tionghoa Peranakan Jawa (Cet ke-2), (Depok: Komunitas Bambu,2009), hlm.89.
20
dan Persia.33 Pendapat lain mengungkapkan bahwa Islam sudah dikenal di Cina sejak
masa Rasulullah. Persentuhan pertama ini dibawa oleh sahabat Rasulullah Saw yaitu
Sa’ad Ibn Lubaid. Perihal kedatanggannya dikarenakan pada masa itu umat Islam
Hijrah ke Ethiopia untuk pertama kali, namun Sa’ad kurang nyaman dengan pola
kehidupan di Ethiopia. Oleh karena itu ia berlayar menumpang dengan para pedagang
dari Persia dan akhirnya berlabuh di Kanton sebuah pusat perdagangan di wilayah
Cina saat itu.34
Di Tiongkok Islam mengalami perkembangan yang sangat pesat pada masa
pemerintahan Dinasti Ming (1368-1644). Melihat besarnya kontribusi Tionghoa
muslim dalam menggulingkan Kerajaan Yuan yang akhirnya berdiri Dinasti Ming,
maka pada kekaisaran pertama Dinasti Ming banyak di angkat jendral-jendral
terkenal yang beragama Islam naik tahta. Jendral-jendral tersebut antara lain, Chang
Yuchun, Mu Ying, Hu Dahai, dan Lan Yu.35 Bahkan ada yang berpendapat bahwa
Dinasti Ming saat itu adalah Dinasti Islam di Cina karena untuk pertama kalinya
seorang ratu Kaisar Chu Yuan Chang (Kaisar pertama dinasti Ming) yakni Emprass
Ma Hoe adalah Muslimah.36
Pada abad ke-15 di masa pemerintahan Dinasti Ming, orang-orang Tionghoa
dari Yunnan mulai berdatangan ke Nusantara. Kedatangan orang-orang Tionghoa ini
tidak lepas dari ekspedisi Laksamana Cheng Ho atau Sam Po Kong (1405-1433) yang
33 Kong Yuan Zhi, Muslim Tionghoa Ceng Ho, (Jakarta: Pustaka Popular Obor, 2000),hlm.273.
34 Sachiko Murata, Gemerlap Cahaya Sufi dari Cina, (Jakarta: Pusaka Sufi, 2003), hlm.19.35Kong Yuan Zhi, Muslim Tionghoa Ceng Ho, hlm.48.36Ibrahim Ying Ma, Perkembangan Islam di Tiongkok, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm.7.
21
mengemban tugas dari Kaisar Yung Lo (1403-1424) yang memerintah pada Dinasti
Ming untuk membangun hubungan politik dan perdagangan ke Nusantara. Menurut
ahli sejarah dari China bernama Zhan Zhin Xi, selama pelayaran dengan misi utama
membangun hubungan diplomatik terutama dalam bidang ekonomi ke Nusantara,
Cheng Ho juga memanfaatkan waktunya untuk menyebarkan agama Islam di tempat
yang disinggahinya.37
Ekspedisi pertama laksamana Cheng Ho terjadi pada 1405 dengan tujuan
Samudera Pasai. Laksamana Cheng ho bertemu sultan Samudera Pasai, Zainal Abidin
Bahian Syah untuk menjalin hubungan politik dan ekonomi.38 Setelah hubungan
antara Tiongkok dan Samudera Pasai terjalin dengan baik, semakin banyak saudagar
Tionghoa yang datang ke Pasai, dan tidak sedikit pula orang-orang Tionghoa yang
memeluk agama Islam. Peninggalan Cheng Ho di Samudera Pasai berupa lonceng
raksasa yang bernama Cakradonya hingga kini masi bias kita lihat di Museum Banda
Aceh.39 Pada 1407 Dinasti Ming kembali melakukan ekspansi dengan misi untuk
merebut Kukang (Palembang) dari para perampok Tionghoa non Islam dari Hokkian
yang marak terjadi saat itu.40 Salah satu perompak terkenal asal Hokkian bernama
Cen Tsu Yi berhasil ditangkap, lalu ia dihukum pancung di Peking pada 1408.
Hukum pancung yang diberikan kepada Cen Tsu Yi merupakan salah satu peringatan
dari Kaisar Yung Lo untuk orang-orang Tionghoa Hokkian di seluruh Nanyang agar
37Kong Yuan Zhi, Muslim Tionghoa Ceng Ho, hlm.xviii.38Selamet Mulyana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam
di Nusantara, (Yogyakarta: LkiS, 2005), hlm.84.39Kong Yuan Zhi, Muslim Tionghoa Ceng Ho, hlm. 53.40H. J. De Graaf, Cina Muslim di Jawa Abad XV dan XVI: Antara Histotitas dan Mitos, hlm.4
22
tidak ada lagi aksi peompakan serupa di Kukang karena bisa membuat hubungan
bilateral yang sedang dibangun oleh Dinasti Ming di Nusantara menjadi hancur. Di
Kukang (Palembang) sendiri telah ada komunitas Cina muslim bermazhab Hanafi
pertama di kepulauan Indonesia.41
Selain peran Cheng Ho sebagai muslim Tionghoa dalam perkembangan
agama islam di Indonesia, tidak lepas pula peran besar dari para Wali Songo dalam
penyebaran agama Islam di tahan Jawa pada khususnya. Beberapa sejarawan
menganggap beberapa Wali Songo merupakan keturunan Tionghoa. Sebagai contoh
Sunan Ampel alias Raden Rahmat adalah seorang Tionghoa yang memiliki nama asli
Bong Swi Hoo, beliau adalah anak dari Syekh Maulana Ibrahim Samargandi yang
menikah dengan Dewi Candrawulan yang merupakan anak dari penguasa Champa
bernama Bong Tak Keng (1413-1446). Sunan Ampel menikah dengan Ni Gede
Manila yang merupakan anak dari seorang Kapten Cina yang bernama Gan Eng Yu
dengan perempuan pribumi yang berkedudukan di Tuban, perkawinan tersebut
melahirkan keturunan peranakan bernama Boang Nang alias Sunan Bonang.42
Bahkan menurut Pramoedya Ananta Toer, Sunan Kali Jaga merupakan keturunan
Tionghoa. sunan kali jaga yang selama ini dikenal sebagai anak Adipati Tuban Arya
Teja Tumenggung Wilwatika, menurutnya merupakan anak dari Brawijaya raja
Majapahit yang menikah dengan seorang putri Cina muslim bernama Retna Subanci
41 Graaf, Cina Muslim di Jawa Abad XV dan XVI, hlm.542Selamet Mulyana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam
di Nusantara, (Yogyakarta: LkiS), hlm. 84-86
23
anak dari Babah Bantong alias Tan Go Hwat. Seperti dalam penjelasannya sebagai
berikut:
“Babah Bantong adalah Tionghoa Islam, nama sebenarnya Tan GoHwat. Benar anaknya (Retna Subanci) telah diselir oleh SriBaginda Bhra Wijaya, tetapi anak babah Bantong dikaruniakanoleh Sri Baginda kepada Adipati Tuban dan anak yangdilahirkannya di Tuban itu bernama Jaka Seca (Sunan KaliJaga)”.43
Fakta sejarah bahwa Sunan Kali Jaga lebih membela Demak dibandingkan
dengan Tuban karena Demak adalah rezim Cina, merupakan alasan yang memperkuat
pendapat yang di uatarakan Pram dalam bukunya. Pendapat Pram memang berlawan
dan sangat berbeda dengan historiografi lokal Jawa seperti Babad Tanah Djawi, Serat
Kanda, juga Tembang Babad Demak. Dalam teks-teks tersebut, Sunan Kali Jaga
adalah anak kandung dari Adipati Tuban, Arya Teja bukan anak Brawijaya dari Putri
Cina yang dititipkan kepada Arya Teja. Namun sebaliknya, dalam Babad-babad
tersebut disebutkan bahwa anak Brawijaya dari putri Cina bernama Sio Ban Chi anak
dari Syekh Bentong bernama Jin Bun atau Raden Fatah.44 Oleh Brawijaya, Sio Ban
Chi yang sedang hamil diserahkan kepada Arya Damar raja muda Palembang bukan
Arya Teja, dan di sanalah Raden Fatah dilahirkan. Berdirinya Kesultanan Demak juga
tidak lepas dari peran yang cukup besar dari orang-orang Tionghoa. Mengingat
43Pramoedya Ananta Toer, Arus Balik : Sebuah Epos Pasca Kejayaan Nusantara di AwalAbad ke-16, (Jakarta, Hasta Mitra, 2002), hlm.367.
44Sumanto Al-Qurtubbi, Islam di Tiongkok dan China Muslim di Jawa Pada Masa Pra-Kolonial Belanda, lihathttp://jurnal.elsaonline.com/?p=97 , diakses pada 21 Mei 2016.
24
Raden Fatah sebagai Sultan atau raja pertama Kesultanan Demak (1475-1507) adalah
keturunan Cina dari darah ibunya dengan nama Tionghoa Jin Bun.45
Pengaruh muslim Tionghoa terhadap perkembangan Islam di Indonesia
khususnya di Jawa tidak bisa dipandang sebelah mata, ini dibuktikan juga dengan
berbagai peninggalan yang menunjukan adanya pengaruh Tionghoa yang cukup kuat
sehingga menimbulkan sebuah alkuturasi kebudayaan antara Tionghoa, Islam, dan
Jawa. Alkuturasi Tionghoa, Islam, dan kebudayaan Jawa bisa kita lihat dari segi
arsitektur. Contohnya adalah ukiran padas di masjid kuno Mantingan Jepara, menara
masjid di pecinan Banten, Kontruksi pintu makam sunan Giri di Gersik, kontruksi
masjid Demak terutama bagian soko tatal penyangga masjid berserta lambang
kurakura, dan konstruksi masjid Sekayu di Semarang.46 Peninggalan lainnya yang
berada di Jakarta ialah Masjid Angke yang terletak di Kebon Jeruk yang didirikan
pada 1761 oleh Tamiem Dosol dan Nyonya Tan. Masjid ini sangat kental akan
arsitektur Chinaanya, mulai dari bentuk pintu masuk, mimbar dan ujung-ujung atap
yang juga menyerupai atap-atap pagoda atau klenteng yang berasal dari Tiongkok.
Selain itu, bedug-bedug masjid di daerah utara pesisir Jawa juga menyerupai bedug-
bedug yang biasa tergantung di serambi klenteng.47 Adanya aktifitas masyarakat
Tionghoa di daerah tersebut sehingga dimungkinkan adanya kontak sosial dalam hal
pembangunan masjid atau pertukaran barang-barang budaya.
45Sumanto Al-Qurtubbi, Arus Cina Islam Jawa, (Yogyakarta, Inspeal Press, 2003), hlm.214.46Sumanto Al-Qurtubbi, Islam di Tiongkok dan China Muslim di Jawa Pada Masa Pra-
Kolonial Belanda, di akses pada 21 mei 2016.47Amin Budiman, Masyarakat Islam Tionghoa di Indonesia, (Semarang: Tanjung Sari, 1979),
hlm. 38.
25
Proses asimilasi dan keharmonisan antara pribumi dengan etnis Tionghoa
mengalami kemunduran yang cukup siginifikan oleh beberapa peristiwa.
Diantaranya, ketika Kesultanan Demak yang dikenal memiliki kedekatan dengan
etnis Tionghoa dikarenakan sultan pertamanya merupakan keturunan Tionghoa
mengamali keruntuhan pada 1549 akibat dari konflik internal kesultanan. Ketika
terjadi masa transisi pemerintahan dari kesultanan Demak hingga berdirinya
Kesultanan Mataram 1588 etnis Tionghoa merasa kehilangan tempat. Sikap
Kesultanan Mataram pada saat itu dianggap etnis Tionghoa tidak berpihak kepada
mereka menjadi penyebab berubahnya sikap loyalitas mereka kepada pihak
Belanda.48
Migrasi besar-besaran etnis Tionghoa ke Nusantara yang terjadi pada masa
VOC membuat populasi penduduk etnis Tionghoa semakin banyak dan sulit
dikendalikan. Migrasi ini didominasi oleh orang-orang Hokkian dan Yunan sebagai
pelarian menghindari bangsa Manchu. Pada saat itu di Tiongkok sedang terjadi
pemberontakan oleh bangsa Manchu kepada dinasti Ming yang terjadi pada tahun
1616-1644, yang pada akhirnya dinasti Ming mengalami keruntuhan dan berdiri
imperium baru yaitu Dinasti Qing (1644-1911). Dalam pemberontakan dan masa
transisi pemerintahan tersebut diperkirakan 25 juta penduduk tewas dan jutaan
penduduk lainnya bermigrasi ke berbagai penjuru negeri, termasuk ke Nusantara.49
Sebagai gambaran besarnya gelombang migrasi etnis Tionghoa pada saat itu, pada
48Teguh Setiawan, Tionghoa Indonesia : Cina Muslim dan Runtuhnya Republik Bisnis.(Jakarta: Republika, 2012), hlm.31.
49Abdul Karim, Islam di Asia Tengah, (Yogyakarta: Bagaskara, 2006) hlm. 47
26
1619 etnis Tionghoa yang ada di Batavia hanya berjumlah 400 jiwa meningkat
menjadi 2000 jiwa pada 1629, dan pada 1725 melonjak tajam menjadi 10.000 jiwa.50
Walaupun pada saat itu pemerintah VOC telah memberlakukan peraturan yang sangat
ketat dengan hanya memperbolehkan satu perahu yang membawa para imigran tidak
lebih dari 100 orang saja. Berikut gambaran jumlah etnis Tionghoa di Jawa masa
Hindia Belanda:
Tabel 1: Perkembangan Jumlah Etnis Tionghoa di Pulau Jawa51
Wilayah 1815 1920 1930 1972 1983Banten 628 4.545 7.823 60.974 81.452Batavia 52.394 97.870 149.225 20.432 37.767Bogor 2.633 24.748 37.577 89.872 81.871
Priangan 180 14.093 33.003 42.474 37.314Jawa Barat 58.178 167.751 259.718 329.381 360.934
Semakin banyaknya etnis Tionghoa pada masa itu membuat VOC merasa
kekuasaannya terancam, etnis Tionghoa yang sudah dianggap anak emas dan
memiliki peran strategis dalam bidang ekonomi semakin mendominasi. Hal ini
membuat kekuasaan VOC di Nusantara terancam disebabkan munculnya berbagai
konflik antara etnis Tionghoa dengan Pribumi, seperti pada 1740 terjadi Kerusuhan
etnis Tionghoa di Jakarta dengan pribumi. Kerusuhan ini disebabkan ketidakpuasan
masyarakat pribumi terhadap pemerintah Belanda pada waktu itu yang dianggap berat
sebelah terhadap etnis Tionghoa. Pada saat itu pribumi melakukan pembantaian
50Hembing Wijayakusuma, Pembantaian Masal 1740 : Tragedi Berdarah Angke. hlm.7851 Raffles, I, 1978:II Volkstelling 1930, VIII, 1936: 164-166: sensus 1972 dalam Edi S.
Ekadjati, Kebudayaan Sunda: Suatu Pendekatan Sejarah Jilid I, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1995), Hlm.42.
27
terhadap etnis tionghoa yang mereka temui, membakar rumah-rumah, gudang-gudang
logistik, dan melakukan penjarahan terhadap aset-aset yang dimiliki etnis tionghoa di
batavia. Pada peristiwa ini Hembing menyebutnya dengan tragedi Chinezenmood
(pembantaian orang-orang Cina/Tionghoa).52 Setelah peristiwa Chinezenmood untuk
mengatasi gelombang migrasi yang cukup besar etnis Tionghoa pada masa itu, VOC
memberlakukan kebijakan dan memberikan pengawasan yang sangat ketat terhadap
para imigran serta pedagang-pedangang Tionghoa. Bagi para imigran Tionghoa yang
baru datang dan hendak tinggal di Batavia mereka diharuskan memiliki izin khusus
yang dikeluarkan oleh VOC.
Selain kebijakan migrasi, VOC juga memisahkan pemukiman Tionghoa
muslim dengan yang non muslim serta memberlakukan kebijakan cukur rambut untuk
etnis Tionghoa muslim. Dalam dokumen-dokumen VOC etnis Tionghoa yang telah
menjadi muslim disebut dengan “geschoren cinezeen” artinya orang-orang Tionghoa
cukuran.53 Peraturan-peraturan yang diberlakukan VOC ini dimaksudkan untuk
memudahkan Belanda dalam membedakan etnis Tionghoa yang sudah menjadi
muslim dengan etnis Tionghoa yang non muslim dan pribumi.
Kebijakan selanjutnya adalah penerapan politik devide et impera atau politik
pecah belah.Dalam sistem politik ini VOC mengelompokkan masyarakat Indonesia
kedalam tiga golongan, yaitu: golongan atas atau pertama adalah golongan untuk
bangsa Eropa, golongan menengah atau kedua untuk bangsa pendatang dari timur
52Hembing Wijayakusuma, Pembantaian Masal 1740: Tragedi Berdarah Angke. (Jakarta:Pustaka Populer Obor, 2005), hlm.65.
53 Lance Castles, Profil etnik Indonesia, (Jakarta: Masup Jakarta, 2007), hlm. xx-xxi.
28
asing (mayoritas Cina), dan golongan yang terakhir dan yang terendah adalah untuk
masyarakat pribumi. Pemberlakuan sistem ini karena VOC tidak menginginkan etnis-
etnis yang ada di negeri jajahannya, termasuk etnis Tionghoa berbaur dengan
pribumi. Ini dimaksudkan untuk mencegah segala kemungkinan munculnya
pemberontan yang bisa mengganggu stabilityas politik dan ekonomi yang sedang
dibangun VOC. Pengelompokan golongan sosial yang diberlakukan oleh VOC yang
menempatkan pribumi di golongan terakhir, sehingga muncul anggapan bahwa
pribumi sebagai masyarakat rendahan, miskin, dan bodoh, yang akhirnya secara tidak
langsung juga berpengaruh terhadap citra Islam dimata etnis Tionghoa. Ditambah lagi
dengan kepiawaian yang dimiliki etnis Tionghoa dalam bidang perekonomian jauh
melebihi kamampuan penduduk pribumi, fenomena inilah yang membuat jurang
pemisah dan sentimentil yang terjadi semakin tinggi.54
Pada 1830 pemerintahan Hindia Belanda membentuk Chiese Offcieren atau
Kapitan Cina sebagai tenaga administrasi dan penarik pajak. Mereka diberi tugas
untuk menjelaskan berbagai peraturan pemerintah Hindia Belanda kepada kaum
sebangsanya dan mengumpulkan pajak yang mereka harus bayar. Sebagai
imbalannya, mereka diberi hak monopoli atas pembuatan garam, pertambangan
timah, dan pembuatan mata uang perak.55 Walaupun terdapat diskriminasi terhadap
etnis Tionghoa muslim seperti penerapan peraturan mengenai cara berpakaian dan
54Tanti Restiasih Skober, “Orang Cina di Bandung, 1930-1960: Merajut Geliat SiasatMinoritas Cina”, hlm.1.
55 Leo Suryadinata, Politik Etis Tionghoa Indonesia 1900-2002, (Jakarta: LP3ES, 2002). hlm.121.
29
gaya rambut yang berbeda, namun pemerintah Hindia Belanda dengan adil
memberikan hak monopoli dan perdagangan kepada etnis Tionghoa tanpa
memandang agama. Hal ini membuat perbedaan status sosial dan ekonomi antara
muslim Tionghoa dengan pribumi semakin besar, sehingga memunculkan
kecemburuan sosial yang akhirnya menghambat proses asimilasi antara keduanya.
Berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Hindia Belanda tidak selalu
pro terhadap etnis Tionghoa. Keberhasilan etnis Tionghoa dalam membuat jaringan
komersial hingga kepelosok daerah membuat pemerintah Hindia Belanda khawatir,
sehingga pada 1863 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan untuk etnis
Tionghia untuk izin perjalanan bernama passenstelsel. Kebijakan ini mengatur etnis
Tionghoa yang akan berpergian selama beberapa hari, mereka harus mendapatkan
izin dari pemerintah Hindia Belanda dan bagi yang melanggar akan dikenakan denda
sebesar ƒ25.56 Peraturan ini dibuat agar pemerintah Hindia Belanda dapat mengawasi
dan mengontrol segala aktifitas perdagangan etnis Tionghoa dan mendapatkan
keuntungan dari aktifitas mereka tersebut. Pada 1900 pemerintah Hindia Belanda
kembali mengeluarkan kebijakan yang mewajibkan etnis Tionghoa untuk bermukim
di daerah tertentu dengan nama wijkenstelsel. Sistem ini dibuat bertujuan untuk
mempermudah pengawasan terhadap etnis Tionghoa. pelanggaran atas kebijakan ini
56 Ong Hok Ham. Anti Cina, Kapitalisme Cina dan Gerakan Cina, (Depok: KomunitasBambu, 2008), hlm. 146.
30
akan dianggap tindakan kriminal, demikian pula pelanggaran atas ketentuan surat izin
perjalanan.57
Problematika yang dialami etnis Tionghoa tidak hanya sampai disitu. Pada
masa pergerakan kemerdekaan, masyarakat pribumi meragukan nasionalisme
Indonesia yang dimiliki oleh etnis Tionghoa. Ini terjadi akibat adanya kebangkitan
gerakan-gerakan nasionalis dan membawa spirit nasionalisme yang berorientasi ke
negri Tiongkok melibatkan orang-orang Tionghoa Indonesia. Tonggak awal
munculnya nasionalisme Tionghoa yang berorientasi ke Tiongkok di Indonesia
adalah dengan didirikannya Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) atau perkumpulan
Tionghoa pada tanggal 17 Maret 1900 di Jakarta.58
Gerakan ini lahir karena adanya perlakuan diskriminatif yang dirasakan etnis
Tionghoa dalam bidang hukum dan peradilan yang dilakukan oleh pemerintah Hindia
Belanda. Sebagai contoh, dalam perkara kriminal tertuduh Tionghoa harus diadili di
Landraad (pengadilan untuk Pribumi) karena dalam aturan hukum pidana etnis
Tionghoa statusnya disamakan dengan pribumi oleh pemerintah Kolonial,walaupun
pada penerapan devide et imperaetnis Tionghoa berada di strata sosial kedua.Tujuan
utama gerakan ini adalah pengembangan ajaran Khonghucu, kebudayaan, dan tradisi
Tionghoa. Ini terlihat jelas dari bunyi pasal 2 ayat 1 dalam anggaran dasar THHK ini
yang berbunyi:
57 Ong Hok Ham. Anti Cina, Kapitalisme Cina dan Gerakan Cina, hlm.146.58Leo Suryadinata, Politik Tionghoa Peranakan di Jawa 1917-1942, (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1986), hlm. 43.
31
”Untuk mengembangkan adat-istiadat dan tradisi Tionghoa sesuaidengan ajaran-ajaran Khonghucu dan mengembangkan ilmupengetahuan terutama di bidang tulis-menulis dan bahasaTionghoa”.59
Tepat setahun kemudian THHK pada tahun 1901 mendirikan sekolah khusus
etnis Tionghoa di Jakarta dan mendidik mereka untuk menjadi nasionalis Tiongkok.
Ini bisa dilihat dari buku-buku pelajaran berbahasa Tionghoa yang digunakan pada
sekolah tersebut umumnya didatangkan langsung dari Tiongkok.60 Dalam waktu
singkat etnis Tionghoa di kota-kota lain ikut mendirikan sekolah-sekolah serupa yang
bernaung dibawah THHK, sehingga ratusan sekolah THHK berdiri diberbagai kota
dan menampung ribuan anak-anak Tionghoa.
Gerakan-gerakan yang dilakukan etnis Tionghoa dengan THHK membuat
pemerintah Hindia Belanda semakin khawatir.Berdirinya THHK telah menumbuhkan
rasa nasionalisme etnis Tionghoa di Hindia Belanda yang berkiblat ke Tiongkok yang
merupakan bagian dari Gerakan Tiongkok Raya (Gerakan Pan Tionghoa).61 Untuk
meredam pergerakan etnis Tionghoa yang semakin berkiblat ke Tiongkok, akhirnya
pemerintah Hindia Belanda mendirikan Hollandsch Chineesche School (HCS) yaitu
sekolah untuk anak-anak Tionghoa pada 1908.Sekolah ini menerapkan sistem
pendidikan Barat dengan bahasa pengantar bahasa Belanda.62 Walaupun diperuntukan
59Benny G. Setiono, Tionghoa Dalam Pusaran Politik, hlm. 306.60Leo Suryadinata, Politik Etis Tionghoa Indonesia 1900-2002, (Jakarta: LP3ES, 2002), hlm.
272.61G. William Skiner, Golongan Minoritas Tionghoa, hlm. 14.62 Benny G. Setiono, Tionghoa Dalam Pusaran Politik, hlm. 312.
32
untuk anak-anak dari etnis Tionghoa, dalam penerapannya sekolah ini juga menerima
siswa dari kalangan Eropa dan pribumi, namun dengan kriteria-kriteria tertentu saja.
Selain itu, surat kabar berbahasa peranakan Tiongoa Sin Po, mendukung
nasionalisme politik Tionghoa. Ini bisa dilihat dari isi koran Sin Po yang lebih banyak
memuat berita tentang perkembangan keadaan sosial politik di negeri Tiongkok
dibandingkan dengan berita perkembangan di Hindia Belanda. Mereka mendesak
etnis Tionghoa di Hindia Belanda menarik diri dari institusi-institusi politik lokal, dan
menghimbau untuk terlibat secara aktif dalam politik di Tiongkok.63 Mereka
menginginkan kesetaraan dengan Belanda di depan hukum dan juga menuntut
pendidikan Tionghoa bagi etnis Tionghoa di Hindia Belanda.
Gerakan-gerakan yang terus terjadi hingga masa kemerdekaan Indonesia,
sehingga menimbulkan keraguan akan nasionalisme Indonesia yang dimiliki oleh
etnis Tionghoa. Untuk mengatasi masalah nasionalisme etnis Tionghoa tersebut,
pemerintah Indonesia berusaha dengan berbagai cara untuk menghilangkan semua
sentimen yang ada dikalangan etnis Tionghoa, dengan cara melakukan pembauran
dengan masyarakat pribumi. Pada 1946 pemerintahan Soekarno mengeluarkan
kebijakan tentang masalah kewarganegaraan terhadap kelompok minoritas ini.
Bentuk kebijakan yang dikeluarkan pemerintahsaat itu berupa undang-undang
kewarganegaraan yang berdasarkan pada asas ius soli.64 Dalam sistem ini menyatakan
bahwa warga negara adalah orang yang bertempat tinggal di negara tersebut, dengan
63Leo Suryadinata, Politik Etis Tionghoa Indonesia 1900-2002, hlm. 5.64 Leo Suryadinata, Dilema Minoritas Tionghoa,(Jakarta: Grafiti Pers. 1984), hlm.116.
33
kata lain seorang Tionghoa secara otomatis menjadi warga negara Indonesia tanpa
melakukan apapun. Hal ini dikarenakan setiap etnnis Tionghoa yang lahir di
Indonesia merupakan warga negara Indonesia. UU Kewarganegaraan ini berlaku
hingga diadakannya perjanjian Dwi Kewarganegaraan antara RI dengan Repubik
Rakyat Cina pada 1955.65 Perjanjian Dwi Kewarganegaraan ini baru diterapkan pada
1960.66
Langkah yang di ambil pemerintahan Soekarno selanjutnya adalah dengan
mengeluarkan kebijakan yang sersifat asimilatif, yaitu pergantian nama bagi etnis
Tionghoa pada tahun 1961. Kebijakan tersebut berupa UU No.4 Tahun 1961 tentang
perubahan atau penambahan nama keluarga yang berbunyi:
“Sesuai dengan ketetapan Majelis Permusyawaratan RakyatSementara, dirasakan perlu untuk mengadakan penyeragaman danpenertiban dalam peraturan perubahan atau penambahan namakeluarga, sebagai suatu langkah untuk menghomogenkan warganegara Indonesia.”67
Kebijakan ini dimaksudkan agar menyesuaikan dengan nama khas Indonesia,
sebagai contoh Ong Gie Kong menjadi Ongkojaya.68 Pergantian nama di kalangan
etnis Tionghoa diharapkan menjadi cara asimilasi yang tepat bagi permasalahan
Tionghoa di Indonesia. Namun kebijakan tersebut sulit untuk dilaksanakan karena
rumitnya proses yang harus ditempuh. Bagi etnis Tionghoa yang ingin mengganti
65Prof. Mr. Dr.s Gautama, Warganegara dan Orang-Orang Asing Berikut 42 Peraturan danContoh, (Bandung: Alumni,1975), hlm.121-128.
66Isi perjanjian Dwi Kenegaraan dapat dilihat selengkapnya di Prof. Mr. Dr.s Gautama,Warganegara dan Orang-Orang Asing Berikut 42 Peraturan dan Contoh, hlm.185.
67 Lampiran Undang-Undang No.4 tahun 1961 tentang perubahan atau penambahan namakeluarga.
68Leo Suryadinata, Dilema Minoritas Tionghoa, hlm.118
34
namanya diharuskan untuk melapor ke pengadilan dan kemudian mengumumkan
perubahan namanya tersebut dalam Berita Negara.69 Sulitnya proses tersebut
membuat kebijakan ini jalan di tempat bahkan tidak berjalan.
Seiring berjalannya waktu, Soekarno tidak mempermasalahkan keputusan
etnis Tionghoa yang memilih berasimilasi atau berintegrasi.70 Oleh sebab itu, pada
masa tersebut banyak perdebatan mengenai jalan mana yang harus di pilih oleh etnis
Tionghoa Indonesia. Dalam hal ini Soekarno lebih mementingkan kesatuan bangsa
yang berdasarkan nation-building demi tercapainya kestabilan negara. Oleh sebab itu
Soekarno mendukung organisasi Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan
Indonesia (Baperki) dan Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa (LPKB) dalam
memperjuangkan dukungan etnis Tionghoa di Indonesia untuk menentukan arah
pembauran yang mereka inginkan. Meskipun dalam perkembangannya presiden
Soekarno lebih dekat dengan Baperki dibanding LPKB, ini karena aktivitas Baperki
yang selalu setia mendukung kebijakan-kebijakan Politik Soekarno.71
Situasi politik di Indonesia berubah secara drastis saat terjadi peristiwa
berdarah G 30 S. Pada 11 maret 1966, Presiden Soekarno menandatangani Surat
Perintah yang dimandatkan kepada Letnan Jendral Soeharto untuk mengatasi
permasalahan peristiwa G 30 S tersebut. Surat yang sekarang kita kenal dengan
SUPERSEMAR (Surat Perintah Sebelas Maret) itu menjadi landasan untuk
69Benny G Setiono, Tionghoa Dalam Pusaran Politik, hlm. 96570Asimilasi adalah peleburan sifat-sifat asli yang dimiliki dengan sifat-sifat lingkungan
sekitar. Kamus Besar Bahasa Indonesia Ed.2, (Jakarta: Balai Pustaka. 1991), hlm. 60. Integrasi adalahpenyesuaian unsur kebudyaan yang salig berbeda, sehingga menciptakan suatu keserasian. KamusBesar Bahasa Indonesia Ed.2, (Jakarta: Balai Pustaka. 1991), hlm. 383
71Stuart W Grief, WNI Problematik Orang Indonesia Asal Cina, hlm.21
35
memulihkan keadaan dari berbagai sektor, mulai dari sosial, ekonomi hingga politik
di Indonesia.72 Pasca peristiwa G 30 S banyak terjadi pengusiran- pengusiran etnis
Tionghoa yang terjadi diberbagai daerah di Indonesia.73 Hal ini merupakan imbas dari
kecurigaan masyarakat pribumi atas etnis Tionghoa terlibat dalam PKI karena negri
asal etnis Tionghoa yaitu Cina merupakan negara yang meganut paham komunis.
Selain membubarkan PKI, Soeharto juga bergerak memulihkan kondisi sosial di
Indonesia terutama menangani permasalahan etnis Tionghoa di Indonesia. Akibat
peristiwa September 1965 yang secara tidak langsung menjadikan etnis Tionghoa
sebagai objek kerusuhan, maka Soeharto mengeluarkan beberapa kebijakan yang
bersifat asimilatif. Ini dimaksudkan agar etnis Tionghoa dapat berbaur secara
menyeluruh dengan masyarakat Indonesia.
Kebijakan pertama kali yang dikeluarkan oleh pemerintah Soeharto pada masa
kekuasaannya terkait etnis Tionghoa adalah Keputusan Presidium Kabinet No.
127/U/KEP/12/1966. Kebijakan ini mengenai ganti nama bagi etnis Tionghoa yang
merupakan terusan dari UU No.4 tahun 1961 yang dikeluarkan presiden Soekarno.
Dalam Keppres 127/U/KEP/12/1966 disebutkan:
“Pergantian nama dari orang Indonesia keturunan asing dengan namayang sesuai dengan nama Indonesia asli akan dapat mendorong usahaasimilasi ini, oleh karena itu bagi warganegara Indonesia yang masihmemakai nama Cina, yang ingin mengubah namanya yang sesuaidengan nama Indonesia asli perlu diberikan fasilitas yang seluas-luasnya.”74
72Benny G Setiono, Tionghoa Dalam Pusaran Politik, hlm. 93373Antara, Pengusiran WNA Tjina adalah wajar dan tepat, Sabtu 29 Maret 196774 Lampiran Keputusan Presidium Kabinet No.127/U/KEP/12/1966 tentang Ganti Nama.
36
Dikeluarkannya kebijakan tersebut dimaksudkan untuk mempermudah proses
pergantian nama untuk etnis Tionghoa dan dengan maksud mempercepat proses
asimilasi. Jika pada masa pemerintahan Soekarno etnis Tionghoa yang ingin
mengganti nama harus melakukannya di pengadilan dan di umumkan di Berita
Negara75, maka dengan dikeluarkannya Keppres ini etnis Tionghoa dapat mengganti
namanya di kantor walikota atau kabupaten saja.
Salah satu faktor lain yang menjadi penghambat tejadinya proses Islamisasi
dikalangan masyarakat keturunan Tionghoa adalah kebijakan-kebijakan diskriminatif
yang dikeluarkan pemerintah Orde Baru. Menurut Jendral A.H Nasution, setelah
terjadinya peristiwa 30 September 1965, banyak perwira yang melihat asimilasi
sebagai faktor penting dalam menciptakan persatuan dan kesatuan bangsa demi
terciptanya keamanan nasional.76 Oleh sebab itu saat Soeharto menjabat sebagai
Presidium Kabinet ia mengeluarkan beberapa peraturan terkait dengan asimilasi
dikalangan etnis Tionghoa. Setelah Soeharto secara resmi menjadi Presiden
Indonesia, ia pun tetap mengeluarkan berbagai kebijakan terkait pembauran etnis
Tionghoa di Indonesia dalam upaya menyukseskan program pembangunan nasional.
Kebijakan-kebijakan pemerintah Soeharto terhadap etnis Tionghoa, diantaranya
adalah77 :
75Lampiran Undang-Undang No.4 tahun 1961 pada Pasal 6 mengenai Prosedur Ganti Nama.76Junus Jahja, Non Pri Di Mata Pribumi, (Jakarta: Yayasan Tunas Bangsa,1991), hlm. 168.77Junus Jahja, Masalah Tionghoa di Indonesia Asimilasi vs Integrasi, (Jakarta: LPMB, 1999),
hlm. 126.
37
1. Keputusan Presidium No.127/U/Kep/12/1966 tentang peraturan
ganti nama. “Pergantian nama dari keturunan asing dengan nama
yang sesuai dengan nama Indonesia asli akan dapat mendorong
usaha asimilasi.”78
2. Intruksi Presiden No.37/U/IN/6/1967 tentang Badan Kordinasi
Masalah Cina. “Pembinaan warga negara asing dijalankan dengan
melalui proses asimilasi terutama untuk mencegah terjadinya
kehidupan yang ekslusif rasial.”79
3. Intruksi Presiden No.14/1967 tentang agama, kepercayaan dan
adat istiadat Cina. “Perayaan-perayaan pesta agama dan adat
istiadat Cina dilakukan secara tidak mencolok di depan umum,
melainkan dilakukan dalam lingkungan keluarga atau
perorangan.”80
4. Intruksi Presiden No.15/1967 tentang pembentukan staf khusus
urusan Cina. “Untuk peningkatan daya guna dan kelancaran
pelaksanaan penyelesaian masalah Cina di daerah,
Gubernur/Kepala Daerah dapat dibantu oleh staf khusus.”81
5. Keputusan Presiden No.240/1967 tentang kebijaksanaan pokok
yang menyangkut warga negara keturunan asing. “Terhadap warga
negara Indonesia keturunan asing yang masih memakai nama Cina
dianjurkan mengganti nama-namanya dengan nama Indonesia
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.”82
78Lampiran, Keputusan Presidium Kabinet No.127/U/Kep/12/1966, pada poin Menimbang.79 Wahyu Efendi, “Tinjauan atas Rumusan Pasal mengenai Diskriminasi Rasial dalam
Rancangan KUHP”, (Jakarta: Focus Grup Discussion, 23 November 2006).80Lampiran,Intruksi Presiden No.14 tahun 1967, tentang Agama, Kepercayaan dan Adat
Istiadat Cina pada poin Intruksi Pertama.81Lampiran,Intruksi Presiden No.15/1967, tentang Pembentukan Staf Khusus Urusan Cina
pada Pasal 1 ayat 2.82Lihat lampiran,Keputusan Presiden No.240/1967, tentang Kebijaksanaan Pokok Yang
Menyangkut Warga Negara Keturunan Asing pada Pasal 5.
38
6. Intruksi Mendagri No. 455.2-360/1988 tentang penataan
kelenteng. “Segala tata budaya (Cina) yang tidak sesuai dengan
kepribadian Indonesia perlu dihindarkan.”83
7. SK. Mentri Perdagangan dan Koperasi No.286/1978 tentang
pelarangan Impor, penjualan, dan pengedaran terbitan dalam
bahasa dan aksara Cina. “Melarang mengimpor, memperdagang
kan, dan mengedarkan segala jenis barang cetakan dalam
huruf/aksara dan bahasa Cina.”84
8. SE 02/SE/Ditjen/PPG/K/1988 tentang larangan penerbitan dan
percetakan tulisan atau iklan beraksara dan berbahasa Cina.
“Melarang penerbitan dan percetakan tulisan atau iklan dalam
huruf/aksara dan bahasa Cina.”85
Kebijakan-kebijakan di atas yang dimaksudkan untuk mempercepat proses
asimilasi, namun kenyataanya kebijakan-kebijakan tersebut membuat etnis Tionghoa
semakin mengeklusifkan diri dan memisahkan diri karena merasa diperlakukan tidak
adil oleh pemerintah Orde Baru. Sebagai contoh kebijakan yang membuat etnis
Tionghoa mengekslusifkan diri adalah Intruksi Presiden No.14/1967. Dalam Intruksi
Presiden tersebut disebutkan bahwa aktifitas peribadatan dan perayaan-perayaan yang
berpusat pada negeri leluhur, pelaksanaannya harus dilakukan secara intern dalam
keluarga atau perorangan.86
83 Wahyu Efendi, “Tinjauan atas Rumusan Pasal mengenai Diskriminasi Rasial dalamRancangan KUHP”,
84Lampiran,SK. Menteri Perdagangan dan Koperasi No.286/KP/XII/1978, pada poinMenetapkan.
85 Wahyu Efendi, “Tinjauan atas Rumusan Pasal mengenai Diskriminasi Rasial dalamRancangan KUHP”.
86Lampiran,Intruksi Presiden No.14 tahun 1967, tentang Agama, Kepercayaan dan AdatIstiadat China.
39
Berbagai macam upaya dilakukan pemerintah Orde Baru pasca peristiwa G 30
S yang menduga keterlibatan etnis Tionghoa didalamnya, oleh karena itu pada masa
Orde Baru segala organisasi etnis Tionghoa baik muslim ataupun non muslim, yang
bersifat politik maupun keagamaan didalam struktur kepengurusan harus terdapat
warga pribumi.87 Kebijakan pelarangan penggunaan nama China juga berdampak
pada sebuah organisasi dakwah untuk masyarakat Tionghoa di masa presiden
Soeharto yang bernama PITI.
PITI merupakan singkatan dari Persatuan Islam Tionghoa Indonesia yang
berdiri pada 14 April 1961. PITI yang merupakan gabungan antara dua organisasi
serupa yang bernama Persatuan Islam Tionghoa (PIT) yang didirian oleh Yap A
Siong di Medan dan Persatuan Muslim Tionghoa (PMT) yang didirikan oleh Kho
Goan Tjin di Bengkulu.88 Berdirinya PITI pada saat itu sebagai tanggapan realistis
atas saran Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah K.H. Ibrahim kepada Abdul Karim
Oei bahwa untuk dakwah Islam kepada etnis Tionghoa harus dilakukan oleh etnis
Tiongoa yang beragama Islam.
Pada Desember 1972 PITI yang semula singkatan dari Persatuan Islam
Tionghoa Indonesia berganti nama menjadi Pembina Iman Tauhid Islam. Pergantian
nama ini adalah respon PITI atas surat kiriman dari Kejaksaan Agung yang berisikan
larangan untuk menggunakan kata “Tionghoa” di dalam nama organisasinya.89 Hal
87Leo Suryadinata, Pemikiran Politik Etnis Tionghoa Indonesia 1900-2002, (Jakarta:LP3ES,2005) hlm. 343
88 Beny G Setiono, Tionghoa Dalam Pusaran Politik, hlm.8189Afif,Identitas Tionghoa Muslim Indnonesia, hlm.108.
40
tersebut dikarenakan penggunaan nama Tionghoa dikhawatirkan dapat menimbulkan
ketegangan di masyarakat. Walaupun berganti nama, PITI tetap konsisten dalam
upayanya dibidang dakwah etnis Tionghoa kala itu.
PITI juga aktif dalam proses pengislaman dan memberikan dukungan moral
bagi orang yang baru memeluk Islam. Dari arsip yang di miliki DPP PITI Jakarta,
tercatat pada 1965 hingga 1978 sebanyak 119 etnis Tionghoa telah memeluk agama
Islam.
Tabel 2: Data Pengislaman PITI 1965-197890
Tahun Jumlah Muallaf
1965 30
1966 8
1967 15
1968 10
1969 7
1970 81971 3
1972 4
1973 3
1974 3
1975 9
1976 4
1977 6
1978 9
Jumlah 119(Sumber: Arsip DPP PITI Jakarta)
Data tersebut merupakan data yang dikumpulkan oleh PITI tanpa
menambahkan data jumlah muslim Tionghoa dari Kantor Urusan Agama. Menurut
Junus Jahja, salah seorang tokoh pembauran, jumlah etnis Tionghoa di Indonesia
90Lihat arsip DPP PITI Jakarta.
41
yang memeluk agama Islam berkisar antara 0,5% - 1% dari jumlah penduduk
Indonesia atau sekitar 25.000 – 50.000 orang.91
B. Keadaan MuslimTionghoa 1991-1998
Permasalahan yang dihadapi etnis Tionghoa khususnya muslim Tionghoa
pada masa Orde Baru sangat kompleks. Hal ini dikarenakan kelanjutan masalah yang
belum usai di masa Orde Lama yang kemudian memunculkan masalah baru di masa
Orde Baru. Dimasa Orde Baru segala aktifitas mulai dari ekonomi hingga agama atau
kepercayaan etnis Tionghoa semua diatur oleh pemerintah kala itu, sehingga aktifitas
dan kegiatan mereka sangat terbatas. Adapun keadaan etnis Tionghoa khususnya
Tionghoa pada tahun 1990-1998 sebagai berikut:
B.1 Aktivitas Ekonomi, Sosial, dan Budaya Muslim Tionghoa Jakarta
Beberapa kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Orde Baru terkait etnis
Tionghoa dimaksudkan untuk mempercepat proses pembauran agar etnis Tionghoa
dapat benar-benar menyatu dengan penduduk pribumi. Namun dalam kenyataanya
kebijakan-kebijakan tersebut membuat pribumi dengan etnis Tionghoa semakin jauh.
Bahkan tidak sedikit Tionghoa yang sudah menjadi seorang muslim merasa terus-
menerus didiskriminasi dan dicurigai masih memiliki rasa ekslusivisme.92
Salah satu contoh dampak kebijakan yang semakin menambah jurang pemisah
antara pribumi dengan masyarakat muslim Tionghoa dari kebijakan pemerintah Orde
Baru adalah di sektor ekonomi. Pada Peraturan Presiden No.10/1967 (PP 10)
91Leo Suryadinata, Kebudayaan Minoritas Tionghoa di Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1988)hlm.97
92Leo Suryadinata, Pemikiran Politik Etnis Tionghoa Indonesia 1900-2002, hlm.355.
42
pemerintah Orde Baru memberikan ruang lingkup seluas-luasnya kepada etnis
Tionghoa dalam aspek ekonomi.93 Kebijakan ini merupakan keputusan yang dibuat
pada seminar Angkatan Darat yang diselenggarakan di Bandung tahun 1966, dimana
ditetapkan bahwa Etnis Tionghoa muslim maupun non muslim harus dicegah masuk
ke bidang lain terutama pada bidang politik. Selain Peraturan Presiden No.10/1967,
Orde baru juga mengeluarkan kebijakan lain terkait situasi ekonomi yang akhirnya
menguntungkan etnis Tionghoa, antara lain, TAP No. XXIII/MPRS/1966, Undang-
undang Penanaman Modal Asing (UUPMA) dan Undang-undang Penanaman Modal
Dalam Negri (UUPMDN).94Dalam UUPMA pada pasal 10 dan UUPMDN pasal 15
disebutkan:
“Modal yang ditanam dalam usaha-usaha yang dimaksud akandibebaskan dari pengenaan pajak kekayaan.”95
Dengan adanya UUPMA dan UUPMDN pemerintah Orde Baru memberikan
berbagai kemudahan dan perlakuan istimewa terhadap investor asing, khususnya
pengusaha etnis Tionghoa berkewarganegaraan Taiwan, Hongkong, dan Singapura
yang memiliki dan akhirnya menanamkan modal yang besar di Indonesia.
Berbagai kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah Orde Baru terkait masalah
ekonomi tidak lepas dari situasi ekonomi yang sangat tidak stabil pada masa itu.
Sebagai gambaran, sejak 1965 harga-harga pada umumnya naik lebih dari 500%,
93I Wibowo, Retrospeksi dan Rekontekstualisasi Masalah Cina, (Jakarta: Gramedia, 1999)hlm.72.
94Yusiu Liem, Prasangka Terhadap Etnis Cina, (Jakarta: Djambatan,2000), hlm.31.95Lihat lampiran Undang-Undang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang
Penanaman Modal Dalam Negri.
43
keadaan semakin memburuk pada bulan Januari hingga Maret 1966.96 Dalam catatan
Fujitsu Research di Tokyo yang mengamati daftar perusahaan-perusahaan di-6 negara
berkembang di Asia pada rentang 1980-1990, digambarkan bahwa perusahaan-
perusahaan tersebut mayoritas dikuasai oleh etnis Tionghoa perantauan. Sebagai
contoh di Thailand sebanyak 81% perusahaan dikelola atau dimiliki oleh etnis
Tionghoa, di Singapura 81%, dan di Indonesia sendiri 73% nya didominasi etnis
Tionghoa.97 Gambaran diatas membuktikan besarnya pengaruh dan peran ekonomi
etnis Tionghoa dalam perekonomian di Indonesia bahkan Asia, yang akhirnya
menimbulkan kecemburuan sosial di masyarakat akibat kesenjangan yang semakin
jauh anatar etnis Tionghoa muslim maupun yang non muslim dengan masyarakat
pribumi.
Selain dari aspek ekonomi, dampak lain dari kebijakan pemerintah Orde Baru
terhadap etnis Tionghoa adalah di sektor sosial dan budaya. Kebijakan pertama yang
dikeluarkan pemerintahan Orde Baru terkait masalah sosial dan budaya adalah
dikeluarkannya Keputusan Presidium No.127/U/Kep/12/1966 tentang peraturan ganti
nama untuk etnis Tionghoa agar bersedia mengubah nama mereka dengan nama
Indonesia.98 Sebagai contoh nama Tionghoa yang berubah menjadi nama khas
Indonesia adalah Lim Sek Nio menjadi Nurhalim, Hauw Eng Hoa menjadi
96Yahya A Muhaimin, Bisnis dan Politik: Kebijakan Ekonomi Indonesia 1950-1980, (Jakarta:LP3ES, 1990) hlm.51
97Leo Suryadinata, Etnis Tionghoa dan Pembanguan Bangsa, (Jakarta: LP3ES, 1999) hlm.6898Leo Suryadinata, Pemikiran Politik Etnis Tionghoa Indonesia 1900-2002, hlm. 343.
44
Walitimena Hawardinata, dan Tee Bian Swie menjadi Tedjakusumah.99 Melalui
kebijakan tersebut pemerintah memutuskan agar prosedur penggantian nama
dipermudah prosesnya. Sebelumnya pada 1961 Presiden Soekarno telah
mengumumkan kebijakan serupa akan tetapi belum terlaksanakan. Kebijakan
selanjutnya adalah Intruksi Presiden No.14/1967 tentang agama, kepercayaan dan
adat istiadat China. Dalam instruksi ini disebutkan:
“pelaksanaan peribadatan, perayaan-perayaan pesta agama, dan adat istiadat
cina dilakukan secara tidak mencolok didepan umum, melainkan dilakukan dalam
lingkungan keluarga.”100
Kebijakan-kebijakan diatas merupakan upaya yang lakukan pemerintah Orde
Baru agar terwujudnya asimilasi total kepada etnis Tionghoa, namun dalam
perjalanannya upaya tersebut tidak berpengaruh signifikan. Ini bisa dilihat dari sikap
pemerintah yang ternyata masih membedakan status warga negara berdasarkan
keturunan. Sebagai contoh, Kartu Tanda Penduduk (KTP) untuk etnis Tionghoa
diberikan tanda atau kode khusus yang khas. Tanda atau kode khusus di ktp ini juga
berlaku untuk etnis Tionghoa yang sudah menjadi seorang muslim.101 Meskipun
dampak dari semua kebijakan pemerintah Orde Baru untuk etnis Tionghoa termasuk
muslim Tionghoa lebih banyak mempersempit ruang lingkup mereka, namun disisi
99Sinar Harapan, Peraturan Ganti Nama di DCI Djakarta Raya, Rabu 24 Mei 1967.100 Lampiran, Inpres No.14 tahun 1967, tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat
China.101Charles A Coppel, Tionghoa Indonesia Dalam Krisis, (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan,1994), hlm.212.
45
lain dalam kenyataan kehidupan sosial di Jakarta etnis Tionghoa yang sudah menjadi
muslim dalam lebih mudah diterima dan beradaptasi dengan pribumi.
B.2 Fasilitas Dakwah Muslim Tionghoa Jakarta
Sejak masa kolonial Belanda hingga masa Orde Baru, etnis Tionghoa kurang
mendapatkan informasi mengenai Islam akibat dari berbagai kebijakan yang
dikeluarkan masing-masing pemerintahan saat itu. Oleh sebab itu tidak mudah bagi
seorang keturunan Tionghoa untuk memeluk agama Islam, sehingga didirikanlah
sebuah masjid dikawasan Pecinan Pasar Baru Jakarta Pusat bernama Masjid Lautze
yang bertujuan sebagai sarana dakwah untuk kalangan Etnis Tionghoa di Jakarta.
Masjid Lautze merupakan bagian dari yayasan bernama Yayasan Haji Karim Oei.
Dengan nama “Lautze” dan adanya kata “Oei” pada Papan nama yang terpampang
didepan Masjid atau yayasan ini juga mempunyai daya tarik tersendiri karena adanya
identitas Tionghoa didalamnya.
Nama masjid ini diambil dari nama jalan dimana masjid ini berada, yaitu jalan
Lautze No.88-89 Pasar Baru, Jakarta Puat. Selain diambil dari nama jalan, Lautze
sendiri merupakan seorang nabi bernama Lao Tze yang menyebarkan agama Taoisme
di negri Tirai Bambu. Menurut Buya Hamka, Lao Tze mengajarkan bahwa “Tuhan
itu adalah satu yang tidak dapat diraba, tidak berbentuk tetapi ada”.102 Ajaran tersebut
identik dengan ajaran Tauhid pada Islam, sehingga nama Lautze dianggap tepat
untuk mengimplementasikan visi misi yang akan dijalankan Yayasan Haji Karim Oei
sebagai pengelola Majis Lautze ini.
102Junus Jahja, 10 Tahun Masid Lautze, (Jakarta: Yayasan Haji Karim Oei, 2001), hlm.3.
46
Lokasi berdirinya masjid yang juga bagian dari Yayasan Haji Karim Oei ini
cukup strategis, berjarak kurang dari satu kilometer ke jalan Gunung Sahari Raya
yang merupakan salah satu jalan utama di Jakarta, serta sangat dekat dengan stasiun
kereta Comuter Line Sawah Besar yang dapat ditempuh hanya dengan berjalan kaki,
sehingga memudahkan bagi orang-orang yang ingin menuju yayasan ini dari berbagai
sudut kota Jakarta. Tidak hanya strategis berdasarkan letak geografis namun
pemilihan letak berdirinya masjid dan yayasan ini juga strategis secara sosial
keagamaan, dimana terletak di salah satu kawasan pecinan Jakarta. Ini bisa dilihat
dari tak kurang dari lima buah kelenteng yang ada di lingkungan sekitar masjid ini.
Klenteng pertama yang terletak bedekatan dengan jalan Lautze menuju jalan Kartini
adalah Vihara Venuvana. klenteng selanjutnya bernama Vihara Tunggal Dharma,
Vihara Tri Ratna dan tepat di depannya terdapat Vihara Graha Laotze, lalu yang
terakhir adalah Vihara Buddhayana. Dengan demikian, ditemukannya beberapa
klenteng atau Vihara yang berdekatan dengan Yayasan Haji Karim Oei atau masjid
Lautze menggambarkan bahwa lokasi sekitar yayasan merupakan tempat pemukiman
warga etnis Tionghoa yang banyak menganut agama Buddha.103
Selain Klenteng yang merupakan salah satu ciri kawasan pecinan, dikawasan
ini juga terdapat banyak Sinshe atau pengobatan tradisional Cina yang telah membuka
praktek bahkan sejak puluhan taun lalu, hal ini yang seringkali kita ditemui di sekitan
daerah pecinan, ini adalah salah satu dari sekian banyak cirikhas kawasan pecinan.
103 Nurarni Widiastuti, Penggunaan dan Pengakuan Indentitas Islam pada Masyarakat CinaMuslim, (Depok: Tesis FISIP UI, 2009) hlm. 25
47
Oleh sebab itu, masjid yang juga menjadi bagian dari Yayasan Haji Karim Oei ini
bertujuan sebagai pusat informasi Islam yang sasarannya adalah para warga etnis
Tionghoa pada akhirnya didirikan di kawasan Sawah Besar agar memudahkan warga
Cina yang ingin belajar tentang Islam karena lokasinya yang berada di tengah-tengah
daerah pecinan di Jakarta.
Masjid Lautze Jakarta berada di bagian lantai 1 dan 2 gedung yayasan yang
menempati dua blok Ruko yang disatukan berukuran 15x20 meter, tanpa bedug,
tanpa kubah, dan tanpa menara yang menjadi ciri khas masjid pada umumnya. Masjid
Lautze Jakarta memiliki ciri tersendiri, ornamen-ornamen khas Tiongoa tampak
dominan pada eksterior maupun interior masjid ini. Bagian depan bangunan masjid
terkesan sangat oriental, ini bisa dilihat dari konsep pintu yang dibuat serupa
layaknya pintu yang ada pada sebuah kelenteng atau Vihara.
Gambar 1: Tampak depan Masjid Lautze Jakarta (Yayasan Haji Karim Oei) sebelum dansesudah direnovasi
(Sumber: Arsip Yayasan Haji Karim Oei dan dokumentasi pribadi)
48
Didalam masjid ini setiap sudutnya terdapat kaligrafi Arab-Cina yang cukup
menarik perhatian. Kaligrafi tersebut bertuliskan huruf Arab dengan percampuran
seni antara Arab dan Cina. Semua kaligrafi Arab-Cina yang ada di Yayasan Hji
Karim Oei ini hanya menonjolkan hasil sapuan kuas dengan tinta hitam pada
selembar kain putih yang bingkai kayu berwarna merah, tidak banyak menonjolkan
detail dan variasi seperti halnya kaligrafi Arab pada umumnya, pada kaligrafi ini
hanya menonjolkan hasil sapuan kuas dengan tinta hitam pada selembar kain putih
yang bingkai kayu berwarna merah.
Gambar 2: Kaligrafi yang dipasang di belakang mimbar Masjid,Percampuran antara seni Arab dan Cina
(Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Masjid ini didominasi warna merah dan kuning, serta diberikannya dekorasi
seperti lampion-lampion pada bagian depan dan beberapa bagian dalam Masjid.
Corak ornamen dan dekorasi yang tak jauh beda dengan Klenteng atau Vihara ini
49
memang sengaja dibuat oleh pihak Yayasan Haji Karim Oei selaku pengelola Masjid
Lautze Jakarta. Hal ini dibuat agar para muallaf atau etnis Tionghoa yang ingin
belajar Islam dan datang ke masjid atau yayasan ini tidak merasa canggung dan agar
lebih dekat dengan kebudayaan mereka.
Masjid Lautze sendiri menempati dua dari empat lantai bangunan ruko
Yayasan Haji Karim Oei. Lantai satu dan dua dipergunakan untuk kegiatan sholat
khususnya sholat Jum’at, karena setiap hari Jum’at Masjid Lautze selalu dipenuhi
jamaah yang berasal dari warga sekitar maupun mualaf Tionghoa. Dikarenakan lokasi
berdirinya Masjid Lautze ini berada dipusat bisnis serta para jamaah didominasi oleh
pelaku bisnis, maka Masjid Lautze Jakarta tidak buka untuk melayani jamaah disetiap
waktu sholat. Masjid yang juga Yayasan ini hanya pada waktu kerja saja, sehingga
hanya dua sholat fardu yang dilaksanakan dimasjid ini yaitu sholat Dzuhur dan Ashar
serta sholat Jum’at disetiap hari Jum’at. Khusus untuk bulan Ramadhan Masjid
Lautze memiliki Jadwal tersendiri dalam menyelenggarakan sholat tarawih, serta
buka puasa bersama yang dilaksanakan sekali dalam sepekan yaitu dihari sabtu tiap
bulan Ramadhan.104 Ini dimaksudkan agar jamaah yang berasal dari kota-kota
penyangga Ibu Kota seperti, Depok, Tanggerang, Bekasi dan juga Bogor bisa ikut
berkumpul, karena cukup banyak jumlah jamaah Masjid Lautze dari kota-kota
tersebut.
104Harian Kompas, Nama dan Peristiwa, Selasa 28 November 1995
50
B.3 Tokoh Muslim Tionghoa
Karim Oei atau yang yang dikenal juga dengan nama Haji Abdul Karim Oei,
lahir pada 6 Juni 1905 di Padang Panjang dengan nama asli Oei Tjeng Hien. Beliau
masuk Islam pada 1926, sesuatu yang sangat langka pada saat itu melihat etnis
Tionghoa memeluk agama Islam, sehingga keberadaan Karim Oei menjadi sorotan
masyarakat baik dari kalangan pribumi maupun etnis Tionghoa itu sendiri.105
Keputusan Karim Oei untuk menjadi seorang muslim mendapat banyak sekali
cemoohan dari kalangan etnis Tionghoa. Hal ini dikarenakan bagi orang Tionghoa
siapapun yang menjadi Muslim dianggap akan turun derajat sosialnya di mata seluruh
etnis Tionghoa yang masih memegang teguh ajaran agama atau keyakinan dari para
leluhur mereka. Selain itu, orang Tionghoa yang menjadi muslim dianggap oleh
orang Tionghoa lainnya sebagai inlander,106 di mana pada saat itu merupakan
kedudukan tingkat terendah dalam strata sosial di masyarakat pada masa itu. Tetapi,
bagi mereka (Tionghoa yang menjadi muslim) terutama yang berpendirian teguh
seperti Karim Oei tidak merisaukan permasalahan tersebut. Bahkan Karim Oei
merasa bersyukur dengan dirinya menjadi seorang Muslim maka beliau dapat
menyatu dengan masyarakat luas terutama pribumi yang mayoritasnya adalah
penganut agama Islam.
105H. Abdul Karim Oei (Oey Tjeng Hien), Mengabdi Agama, Nusa dan Bangsa, (Jakarta:Gunung Agung, 1982) hlm.4
106Inlander merupakan sebutan mengejek oleh orang Belanda untuk masyarakat asli Indonesia(pribumi) pada masa penjajahan Belanda. http://kbbi.co.id diaskes pada 15 Juli 2016.
51
Karim Oei merupakan lulusan dari Holland Chinesche School, SD tujuh
tahun dengan bahasa Belanda untuk keturunan Tionghoa pada masa itu. Pada awal
1926 Karim Oei merantau ke Bintuhan (Bengkulu) dan berdagang hasil bumi, dan
pada tahun tersebut juga beliau mememutuskan untuk memeluk agama Islam.107
Dengan masuknnya Karim Oei sebagai penganut agama Islam, maka Oei juga disebut
sebagai seorang saudara baru oleh sebagian besar masyarakat pribumi. Dengan
pergaulan sejak muda di lingkungan Islam, beliau berkesempatan berkenalan dengan
para tokoh pergerakan nasional, diantaranya adalah Buya Hamka dan Bung Karno.
Awal perkenalan Karim Oei dengan Buya Hamka terjadi ketika Oei aktif di
Muhammadiyah dan menjadi Konsul Muhammadiyah di Bengkulu. Beliau juga
dikenal sebagai sahabat karib Bung Karno yang dikenalnya ketika Bung Karno di
Buang ke Bengkulu oleh pemerintah Belanda pada saat itu. Persahabatan Karim Oei
dengan Bung Karno sangat berpengaruh terhadap kehidupan Karim Oei itu sendiri,
disamping ia menjadi muslim yang dikenal sangat taat ia pun menjadi seorang
nasionalis sejati. Semasa kependudukan Jepang ia diangkat menjadi Dewan
Penasehat Jepang (Chuo Sangi Kai). Pada masa kemerdekaan ia diangkat sebagai
KNI Bengkulu dan sebagai anggota DPR mewakili golongan minoritas.108
107H. Abdul Karim Oei (Oey Tjeng Hien), Mengabdi Agama, Nusa dan Bangsa, hlm.4.108H. Abdul Karim Oei (Oey Tjeng Hien), Mengabdi Agama, Nusa dan Bangsa, hlm. 84.
52
Gambar 3: Buya Hamka, Karim Oei, Soekarno(Sumber: Arsip YHKO)
Haji Abdulkarim Oei juga sebagai businessmen yang sukses. Dalam dunia
bisnis ia dikenal sebagai seorang yang ulet dan memegang jabatan penting di
berbagai perusahaan, antara lain, Komisaris Utama Bank Cental Asia (BCA),
Direktur Utama Asuransi Central Asia, Direktur PT. Mega, Direktur Utama Pabrik
Kaos Aseli 777, dan Direktur Utama Sumber Bengawan Mas.109 Beliau juga pernah
menjadi anggota DPR antara 1956-1959 yang mewakili minoritas Tionghoa.
Kemudian ia juga aktif dalam pasrtai Masyumi dan menjadi ketua partai setelah Juli
1959, serta menjadi anggota Konstituante. Dalam hal dakwah Islam beliau aktif di
Muhammadiyah dan menjadi salah seorang pendiri organisasi dakwah Islam untuk
kalangan etnis Tionghoa yaitu Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) yang
109Junus Jahja, Non-Pri Di Mata Pribumi, (Jakarta: Yayasan Tunas Bangsa,1991) hlm.43
53
didirikan pada 1961. Organisasi ini merupakan gabungan dari dua organisasi yaitu
Persatuan Islam Tionghoa dan Persatuan Tionghoa Islam yang sudah berdiri terlebih
dahulu. Dalam perkembangannya yang disebabkan situasi politik pada era Orde Baru,
PITI berubah nama menjadi Pembina Iman Tuhid Islam. Beliau juga pernah menjadi
anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pimpinan Harian Panitia
Penyelenggaraan Pembangunan Masjid Istiqlal pada1967-1974.
Tidak hanya menjadi salah satu tokoh pembauran untuk masyarakat luas, Oei
juga menerapkan konsep pembauran di lingkungan keluarganya. Putrinya yang
bernama Tjioe Nio menikah dengan seorang dokter asal Indonesia asli (Pribumi).
Putrinya yang kedua Eng Lie (Iriani) menikah dengan Ir. Macyar Helmy Nasution,
putra dari Mubaligh Kenamaan Yunan Helmy Nasution.110
Gambar 4: H. Abdul Karim Oei
Haji Abdul Karim Oei(Sumber: Arsip Yayasan Haji Karim Oei)
110Junus Jahja, Non-Pri Di Mata Pribumi, hlm.44
54
Karim Oei atau Haji Abdul Karim Oei meninggal dunia pada hari Jum’at
tanggal 14 Oktober 1988 di usia 83 tahun yang disebabkan penyakit komplikasi.
Jenazahnya dimakamkan di Taman Pemakaman Umum (TPU) Tanah Kusir Jakarta
Selatan berdekatan dengan makammendiang isterinya Maimunah Mukhtar yang
meninggal empat tahun lebih dulu yaitu pada 1984.111
Penggunaan nama Haji Abdul Karim Oei sebagai nama sebuah yayasan yang
berkonsentrasi untuk memberikan informasi tentang Islam kepada etnis Tiongoa dan
sebagai wadah dakwah untuk etnis Tionghoa di Jakarta mempunyai daya tarik
tersendiri.112 Adanya kata “OEI” yang merupakan nama salah satu marga Tionghoa
pada nama yayasan tersebut menarik perhatian etnis Tionghoa yang memang banyak
bermukim disekitar gedung berdirinya yayasan ini, sehingga banyak etnis Tionghoa
yang tidak segan untuk bertanya mengenai Islam dan pada akhirnya cukup banyak
yang memeluk agama Islam melalui Yayasan Haji Karim Oei.
111Junus Jahja, Non-Pri Di Mata Pribumi, hlm.44.112 Republika, Orang Cina yang Muslim dianggap pribumi, Jum’at 3 mei 1996.
55
BAB III
SEJARAH BERDIRINYA YAYASAN HAJI KARIM OEI (YHKO)
A. Sejarah Berdirinya Yayasan Haji Karim Oei
Untuk merepson dan mendukung kebijakan-kebijakan pemerintah Orde Baru
tentang pembauran atara masyarakat Etnis Tionghoa dengan pribumi, maka pada
tanggal 9 April 1991 didirikan Yayasan Haji Karim Oei atau biasa disebut dengan
YHKO dihadapan notaris Azhar Alia, SH. No. 49/1991, dengan tujuan utama
didirikannya yayasan ini adalah untuk meningkatkan dakwah Islam dan sebagai pusat
informasi Islam khususnya ke kalangan etnis Tionghoa.
Nama yayasan ini sendiri diambil dari nama seorang tokoh keturunan
Tionghoa yang dikenal sebagai perintis dakwah Islam di kalangan etnis Tionghoa dan
juga pernah menjadi konsul Muhammadiyah di Bengkulu pada 1937-1942. Ia adalah
Haji Abdulkarim Oei atau biasa disebut dengan Karim Oei dengan nama Tionghoa
Oei Tjeng Hien. Selain seorang pendakwah ia juga seorang pengusaha yang sukses
dan berkawan akrab dengan Bung Karno, Buya Hamka dan tokoh-tokoh nasional
yang lainnya. Karim Oei meninggal dunia pada 1988 di usianya yang ke-83 tahun.
Menutut Junus Jahja, Karim Oei adalah seorang Muslim yang taat, businessman yang
sukses dan nasionalis sejati. Selain tujuan utama yayasan ini adalah untuk
meningkatkan dakwah Islam ke kalangan Etnis Tionghoa, yayasan ini juga didirikan
56
sebagai tanda penghormatan dan untuk mengenang sosok Karim Oei dengan segala
kontribusinya kepada negara.113
Pembentukan yayasan ini merupakan gagasan dari tokoh pembauran yaitu
Junus Jahja, serta organisasi Islam anatara lain, Muhammadiyah, Nahdatul Ulama
(NU), Al-Wasliyah, Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI), Ikatan
Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI), dan Muslim keturunan Cina.114 Dengan
didirikannya yayasan ini mereka ingin kembali meneruskan kiprah yang telah
dilakukan oleh Karim Oei semasa Hidupnya, dan berharap akan muncul Karim Oei-
Karim Oei berikutnya di Indonesia.
Pada mulanya, tempat dimana Yayasan Haji Karim Oei berdiri di jalan Lautze
No.88-89 yang sekarang digunakan sebagai Islamic Center untuk etnis Tionghoa dan
sebuah Masjid adalah gedung sewaan, dan hanya satu gedung yang disewa oleh
yayasan tersebut yaitu gedung bernomor 88. Seiring berjalannya waktu pemilik
gedung menawarkan pihak yayasan untuk membeli gedung tersebut seharga ini 200
juta Rupiah. Namun pada saat itu pihak yayasan tidak memiliki dana yang cukup,
sehigga Lukman Harun dan Junus Jahja sebagai salah seorang pendiri yayasan
berinisiatif mengirim surat kepada Presiden Soeharto perihal meminta dana untuk
membeli gedung tersebut. Menanggapi surat yang dikirimkan oleh yayasan,
kemudian pada 19 September 1992 Presiden Soeharto melalui BJ Habibie yang saat
itu juga menjabat sebagai Ketua Umum Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia
113Junus Jahja, Muslim Tionghoa, Kumpulan Karangan. (Jakarta: Yayasan Haji Karim Oei,1996), hlm. 69.
114Junus Jahja, Muslim Tionghoa: Kumpulan Karangan. hlm. 69.
57
(ICMI) dan Menristek untuk membeli gedung tersebut atasa nama Yayasan Abdi
Bangsa. Tak lama berselang gedung di sebelah yayasan juga ingin dijual oleh
pemiliknya, lalu Yayasan Bina Pembangunan yang didirikan sejumlah ulama dan
kawan-kawan Departemen Keuagan membeli gedung yang ditawarkan tersebut.
Selanjutnya kedua yayasan yang telah memiliki gedung tersebut secara ikhlas
mempercayakan pengelolaan dan penggunaan gedungnya kepada Yayasan Haji
Karim Oei untuk kegiatan dakwah sesuai dengan misi dan tujuan YHKO ini. Dan
pada 4 Februari 1994 diresmikanlah tempat pemakaian gedung Yayasan Haji Karim
Oei sekaligus Masjid Lautze oleh Prof. Dr. Ing. BJ. Habibie.115
Sebagaimana organisasi atau lembaga pada umumnya, Yayasan Haji Karim
Oei juga memiliki Visi dan Misi. Visi tersebut antara lain116 :
1. “Wahai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari
seorang laki-lakidan perempuandan menjadikan kamu berbangsa-
bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi
Allah ialah orang yang paling bertakwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
(Al-Qur’an surat AL-Hujuraat ayat 13).
2. “Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, karena
itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada
Allah supaya kamu mendapatkan rahmat.” (Al-Qur’an surat Al-
Hujuraat ayat 10).
115Wawancara Pribadi dengan Bapak HM. Ali Karim, SH., (Jakarta, 2 Juli 2016).116Berdasarkan buletin yang dibagikan secara gratis oleh Yayasan Haji Karim Oei.
58
3. “Orang yang benar-benar Muslim atus cinta tanah air dan cinta
pribumi.” (H. Abdul Karim Oei dalam Tempo, 23 Februari 1973).
Sesuai dengan kutipan di atas, pada dasarnya visi Yayasan Haji Karim Oei
adalah untuk mewujudkan pembauran antara etnis Tionghoa dengan masyarakat
pribumi.117 Visi tersebut bertolak dari adanya kesenjangan antara etnis Tionghoa
dengan pribumi yang sudah berlangsung sangat lama yang disebabkan oleh berbagai
faktor, mulai dari politik pecah belah hingga faktor ekonomi. Riwayat dan
pengalaman hidup Karim Oei juga menjadi landasan utama dalam mewujudkan
pembauran antara etnis Tionghoa dengan masyarakat pribumi. Menurut Ali Karim,
pembauran melalui agama Islam adalah cara yang terbaik. Karena didalam Islam
tidak ada perbedaan antar ras atau pun status sosial seorang manusia, yang
membedakan manusia dengan yang lainnya hanya ketakwaannya.
Pernyataan tersebut senada dengan pernyataan Junus Jahja yang menegaskan
bahwa etnis Tionghoa Muslim akan lebih mudah membaur dan diterima oleh pribumi
sepenuhnya. Menurut Junus Jahja, masalah pembauran etnis Tionghoa di Indonesia
akan teratasi jika etnis Tionghoa berbaur dengan memeluk agama mayoritas di
Indonesia yaitu Islam. Hal serupa juga terjadi di Thailand dan Filipina, proses
pembauran di kedua negara tersebut lebih mudah karena etnis Tionghoa memeluk
agama mayoritas disana. Etnis Tionghoa di Thailand memeluk agama Budha,
117Wawancara Pribadi dengan Bapak HM. Ali Karim, SH., (Jakarta, 2 Juli 2016).
59
sedangkan di Filipina memeluk agama Katolik.118 Oleh karena itu, Yayasan Haji
Karim Oei menganggap agama Islam memiliki peran penting untuk menjalankan Visi
tersebut.
Lalu, misi Yayasan Haji Karim Oei menciptakan karakter Muslim Tionghoa
sebagai seorang Muslim yang taat, nasionalis, dan juga menjadi pengusaha yang
sukses ( 3 in 1 ).119Menurut Ali Karim, seorang Muslim harus menjadi Muslim yang
taat menjalani kewajiban dalam beragama serta memiliki jiwa nasionalis dan bisa
membuktikan kepada khalayak luas bahwa Muslim adalah orang-orang yang sukses
jika tidak ingin di pandang sebelah mata oleh orang lain yang non-muslim. Beliau
juga menambahkan bahwa sebagai seorang muslim Tionghoa harus memiliki rasa
nasionalis yang tinggi sebagai bagian dari warga Indonesia, sehingga pembauran
yang selama ini dicita-citakan oleh etnis Tionghoa di Indonesia ini dapat terwujud.
Faktor lain yang menjadi pendorong berdirinya yayasan ini adalah kurang
aktifnya PITI dalam upaya dakwah ke etnis Tionghoa khususnya di Jakarta. Seperti
penjelasan pak Ali Karim sebagai Ketua Umum yayasan ini menyatakan bahwa etnis
Tionghoa di Jakarta sangat sulit mendapatkan informasi tentang Islam dikarenakan
salah satu wadah dakwah muslim Tionghoa pada masa itu yaitu PITI tidak memiliki
kantor yang tetap dan selalu berpindah bila ada kepengurusan yang baru, sehingga
menyulitkan bilamana ada etnis Tionghoa di Jakarta yang ingin mendapatkan
informasi tetang Islam yang sebenarnya.
118Junus Jahja, Islam Dimata WNI, (Jakarta: Yayasan Haji Karim Oei), hlm.16.119Wawancara Pribadi dengan Bapak HM. Ali Karim, SH., (Jakarta, 2 Juli 2016).
60
B. Struktur Kepengurusan Yayasan Haji Karim Oei
Periode kepengurusan Yayasan Haji Karim Oei tidak memiliki jangka waktu
tertentu dalam struktur kepegurusannya. Pergantian kepengurusan akan dilakukan
jika pengurus ada yang meniggal dunia, mengundurkan diri, atau dengan hasil rapat
tahuan yang rutin dilaksanakan yayasan tiap tahunnya.Pengesahan susunan
kepengurusan akan dirapatkan dan dilakukan di depan notarisyang kemudian akan di
tandatangani oleh orang-orang yang bersangkutan dalam hal tersebut. Perihal
komposisi etnis dalam struktur kepengurusan di yayasan ini menurut pak Ali Karim
tidak ada etnis yang dominan antara pengurus dari kalangan pribumi maupun etnis
Tionghoa adalah seimbang. Hal ini menegaskan bahwa yayasan ini bukanlah suatu
perkumpulan dari satu gologan, tapi sebuah wadah dakwah yang berkonsetrasi
melakukan dakwahnya ke kalangan etnis Tioghoa.
Selama periode 1991-1998 tercatat kurang lebihnya tiga kali pergantian
kepengurusan, namun dalam hal ini bukan berganti orang namun berganti posisi
dengan orang yang sama. Berikutsususnan pengurus Yayasan Haji Karim Oei
(YHKO) berdasarkan Akta Notaris No.49-09-04-1991, Notaris Azhar Alia, SH.
Sebagai berikut:120
Dewan Pembina:1. Prof. DR. Sri Edi Swasono2. K.H. Ali Yafie3. H. Sofyan S.Tanjdjoeng4. H. Yunan Helmi Nasution, SH5. Drs. H. Lukman Harun6. Fahmi Idris
120Lihat Arsip YHKO Akta No. 49, Notaris H. Azhar Alia, SH. 9 Maret 1991.
61
7. M.D. Rachman8. Drs. H. Junus Jahja9. Muhammad Amid
Badan Pengurus:Ketua Umum : H.M Ali Karim, SHKetua I : Drs. Fairus LubisKetua II : H. Ahmad Gozali KatiandaKetua III : Endang SuhendiSekretaris Umum : Bambang WiwohoSekretaris I : M. RidwanSekretaris : H.R. Sudrajat BrotokuntjoroBendahara Umum : H. Suria, S.EBendahara II : H.M. Syarief Tanujaya, S.H
Pada pernyataan keputusan rapat YHKO akta Notaris No.4 tanggal 15
Oktober 1993, Notaris Mintarsih Natamihardja, S.H. Ada penambahan komposisi
dalam kepengurusan yaitu dengan masuknya H. Azroel Haroen sebagai bendahara
umum. Sehingga komposisi kepengurusan sebagai berikut:121
Dewan Pembina:Ketua : Prof. DR. Sri Edi SwasonoSekretaris : Drs. H. Junus Jahja
Anggota-anggota:1. K.H. Ali Yafie2. H. Sofyan Tandjoeng3. H. Yunan Helmi Nasution, SH.4. Drs. H. Fahmi Idris5. H. M. D. Rachman
Badan Pegurus:Ketua Umum : Drs. H. Lukman HarunWakil Ketua Umum : H. M. Ali Karim, SH.Ketua I : Drs. Fairus LubisKetua II : H. Ahmad Gozali Katianda, SH.Ketua III : H. Endang SuhendiSekretaris Umum : Bambang Wiwoho
121Lihat Arsip YHKO Akta No. 4 Notaris Mintarsih Natamihardja, SH. 15 Oktober 1993.
62
Sekretaris I : M. Ridwan Ir. LubisSekretaris : H.R. Sudrajat BrotokuntjoroBendahara Umum : H. Azoel HaroenBendahara I : H. Suria, SE.Bendahara II : H.M. Syarief Tanujaya, S.H
Pada rapat yang dilaksanakan di tahun 1995, H. Azroel Haroen
mengundurkan diri dikarenakan kesibukan, sehingga komposisi kepengurusan
kembali berubah dan sususannya pun ikut mengalami perubahan. Berikut adalah hasil
rapat YHKO berdasarkan Tambahan Berita Negara RI 18-07-1995 No. 57:
Dewan Pembina:1. Prof. DR. Sri Edi Swasono2. K.H. Ali Yafie3. H. Sofyan S. Tandjoeng4. H. Yunan Helmi Nasution, SH5. Drs. H. Lukman Harun6. Fahmi Idris7. M.D. Rachman8. Drs. H. Junus Jahja9. H.M. Amid
Badan Pengurus:Ketua Umum : H.M. Ali Karim, SHKetua I : Drs. Fairus LubisKetua II : H.A. Gozali Katianda, SHKetua III : Endang SuhendiSekretaris Umum : Bambang WiwohoSekretaris I : M. Ridwan Ir. LubisSekretaris : H.R. Sudrajat BrotokuntjoroBendahara Umum : H. Suria, SEBendahara II : H. Syarief Tanujaya
Komposisi pengurus diatas berlaku hingga 1999, dan pada Juli 1999 ada
beberapa penambahan stuktur kepengurusan sesuai dengan keputusan rapat YHKO.
Yaitu adanya Badan Pendiri, Badan Perintis, Badan Penasehat Yayasan, serta Badan
63
Pengurus Yayasan. Pada Januari 2011 struktur kepengurusan dirampingkan sehingga
menyisakan Badan Pembina, Badan Pengawas, serta Badan Pengurus. Struktur
kepengurusan tersebut berlaku hingga saat ini. Walaupun terjadi beberapa kali
perbubahan komposisi pengurus di YHKO, para pengurus sejak awal mendirikan
yayasan tetap konsisten memfokuskan kegiatan dan tujuan yayasan sebagai pusat
informasi Islam untuk etnis Tionghoa.
64
BAB IV
PERAN YAYASAN HAJI KARIM OEI SEBAGAI WADAH DAKWAH
MUSLIM TIONGHOA DI JAKARTA
A. Aktifitas dan Kegiatan Yayasan Haji Karim Oei
Yayasan Haji Karim Oei dalam peranannya pada upaya berdakwah
kekalangan etnis Tionghoa tidak lepas dari berbagai macam aktifitas dan kegiatan.
Aktifitas ini bertujuan mengenalkan berbagai kegiatan kerohanian yang dilakukan
umat muslim sebagai pembelajaran untuk muallaf maupun etnis Tionghoa yang ingin
mengenal Islam lebih dalam. Adapun aktifitas dan kegiatan yang dilaksanakan
Yayasan Haji Karim Oei sebagai berikut:
A.1 Pengajian Mingguan
Kegiatan pengajian mingguan ini diadakan setiap hari Minggu yang dimulai
dari pukul 10.00 WIB hingga waktu Ashar tiba atau sektitar pukul 15.00 WIB.
Kegiatan ini diikuti oleh masyarakat muslim baik dari kalangan etnis Tionghoa
maupun pribumi. Bukan hanya masyarakat yang tinggal di sekitar yayasan saja yang
datang pada pengajian mingguan tersebut, melainkan banyak pula jama’ah yang
datang dari berbagai daerah seperti Depok, Tanggerang, Bekasi bahkan Bandung.
Pengajian ini diselenggarakan pada hari minggu karena pada hari minggu para
etnis Tionghoa yang ingin belajar tentang Islam libur dari rutinitas kerja mereka dan
sebagian besar dari mereka biasanya hanya memiliki waktu luang di hari minggu.
Selain itu, karena sebagian besar dari mereka adalah muallaf di mana di dalam
65
keluarganya lebih banyak non-muslim, yang pada hari minggu seluruh keluarga pergi
meninggalkan rumah untuk beribadah. Sehingga untuk mengisi kekosongan waktu
bagi para muallaf tersebut, maka diadakanlah pengajian di hari minggu secara rutin.
“Hari minggu itu sebagian besar keluarganya pergisembahyang, dan akhirnya dia (muallaf) sendiri dirumah.Makanya kita adakan pengajian setiap hari minggu, selain adatausiyah dari para ustad juga ada acara makan-makan selepaspengajian. Walaupun dengan lauk seadanya yang penting bisabikin para muallaf bisa berbaur”, tutur pak Ali Karim.
Dalam pegajian mingguan ini YHKO menyiapkan empat penceramah yang
akan bergantian mengisi tausiyah pada tiap minggunya. Diantaranya adalah Ustz.
Yaya Ummayah yang mengisi tausiyah pada minggu pertama, H. Pepen Efendi pada
minggu kedua, Hj. Lea pada minggu ketiga, dan H. Mubin yang mengisi tausiyah
pada minggu terakhir ditiap bulannya. Tema tausiyah yang dibawakan para
penceramah selain tetang tauhid dan fiqih, penceramah pun membawakan tema
tentang sosial yang dikaitkan dengan ayat-ayat pada Al-Qur’an.
Rangkaian kegiatan pengajian mingguan ini diawali dengan tausiyah yang
dimulai dari pukul 10.00 WIB hingga masuk waktu sholat Dzuhur atau sekitar pukul
12.00 WIB, yang dilanjutkan dengan sholat Dzuhur berjamaah. Selepas sholat
Dzuhur berjamaah para jamaah YHKO dipersilahkan naik kelantai 3 gedung yayasan
untuk mengikuti acara makan siang bersama dengan lauk sederhana yang sebelumnya
sudah disiapkan oleh para pengurus yayasan.
66
Gambar 5: Suasana makan bersama yang dilaksanakan setiap hari minggu, terlihat muallafTionghoa dengan akrab bercengkrama dengan pribumi.
(Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Setelah kegiatan makan siang bersama selesai, kegiatan selanjutnya adalah
pembinaan muallaf. Kegiatan ini dimaksudkan untuk menambah pengetahuan bagi
para muallaf tentang dasar-dasar agama Islam seperti apa saja yang diperbolehkan
dan dilarang dilakukan dalam agama Islam serta berbagai pengetahuan dasar tentang
Islam lainnya. Kegiatan ini juga diisi dengan bimbingan baca Al-qur’an dengan mulai
mempelajari buku Iqra dengan Ustadz Suhaimi dan ibu Ana sebagai pembimbingnya.
Dengan adanya kegiatan tausiyah dan pembinaan muallaf yang dilakukan oleh
para ustadz sehingga menambah pengetahuan para muallaf tentang agama Islam
dikegiatan pengajian mingguan ini. Selain itu adanya acara makan bersama selepas
tausiyah membuat para muallaf dari kalangan etnis Tionghoa dapat berbaur dengan
67
jamaah muslim yang lain yang ada di yayasan sehingga proses pembauran yang
selama ini dicita-citakan dapat terwujud.
A.2 Bimbingan baca Al-Qur’an
Kegiatan ini dilaksanakan setiap harinya pada jam 10.00-16.00 WIB. Tempat
pelaksanaan bimbingan baca Al-Qur’an ini dilaksanakan di latai 1 atau 2 yayasan
Haji Karim Oei yang juga berfungsi sebagai masjid. Kegiatan bimbingan baca Al-
Qur’an di yayasan ini mayoritas diikuti oleh para muallaf, walaupun tidak sedikit
pula masyarakat sekitar yang mengikuti kegiatan ini. Jumlah peserta bimbingan
memang tidak dapat dipastikan, namun ada saja yang ingin belajar membaca Al-
Qur’an setiap harinya. Namun jumlahnya cukup banyak di hari minggu ketika
kegiatan pengajian mingguan diadakan.
Metode yang digunakan adalah metode Iqra, dengan Ustadz Suhaimi dan Ibu
Ana sebagai pembimbing yang selalu siap setiap saat bila ada jamaah atau muallaf
yang ingin belajar membaca Al-Qur’an di yayasan ini. YHKO juga menerima
permintaan bimbingan baca Al-Qur’an di luar yayasan jika diperlukan oleh jamaah
atau muallaf.
Kegiatan bimbingan baca Al-Qur’an ini merupakan tindak nyata yayasan
untuk merefleksikan salah satu misi yayasan yaitu menciptakan muallaf yang taat
dapat terwujud, sehingga para etnis Tionghoa yang di muallafkan di yayasan ini
menjadi seorang muslim yang taat dan berkualitas.
68
A.3 Bimbingan Shalat
Kegiatan bimbingan kepada para Muallaf ataupun jama’ah YHKO tentang
tata cara shalat yang baik dan benar, seperti diajarkan tentang tata cara berwudhu,
bacaan-bacaan dalam shalat, rukun shalat dan syarat-syarat sahnya shalat dll.
Bimbingan ini dilaksanakan setiap hari pukul 10.00-16.00 WIB, biasanya kegiatan ini
dilakukan di lantai 2 masjid Lautze dibawah bimbingan ustadz Suhaimi dan ibu Erna
Rabiah.
Dalam bimbingan ini hal pertama yang diajarkan adalah tentang praktek
gerakan dalam shalat, setelah itu diajarkan bacaan-bacaan dalam shalat terutama yang
menjadi rukun shalat. Menurut Ustadz Suhaimi, ia mengajarkan para muallaf tentang
tata cara shalat ini dengan cara pantonim, yaitu melalui gerakan-gerakan, lalu jika
para mualaf sudah mulai mengerti tentang gerakan-gerakan dalam shalat maka proses
selanjutnya adalah menajarkan bacaan-bacaan dalam shalat.
Gambar 6: Seorang muallaf yang baru saja bersyahadat sedang belajar gerakan-gerakan sholatbersama muallaf lainnya di bawah pengawasan atau bimbingan Ustadz Suhaimi.
(Sumber: Dokumentasi Pribadi)
69
Melalui kegiatan ini pengurus yayasan berharap agar para muallaf dapat
melaksanakan kewajiban shalat dengan baik dan sempurna, serta menambah
kekhusukan dalam melakukan ibadah shalat.
A.4 Konsultasi Agama Islam
Kegiatan ini dimaksudkan untuk memberi informasi tentang agama Islam,
baik mengenai aqidah, akhlak, sejarah Islam, Ibadah dan lain sebagainya. Konsultasi
agama Islam ini dilaksanakan setiap hari pukul 10.00-16.00 WIB. Dengan ustadz
Suhaimi dan bapak Yusman Iriansyah, SE yang juga merupakan keturunan Tionghoa
sebagai konsultan dalam kegiatan konsultasi agama ini.
Kegiatan ini dilakukan dengan cara datang langsung ke yayasan ataupun
melalui telepon, namun lebih banyak yang berkonsultasi dengan cara datang langsung
ke yayasan. Peserta konsultasi didominasi oleh mereka yang belum masuk islam dan
biasanya ditangani langsung oleh Yusman Iriansyah, karena mayoritas yang datang
untuk berkonsultasi adalah warga keturunan Tionghoa dan mereka bertanya dengan
bahasa Tionghoa sehingga penempatan pak Yusman sebagai konsultan ini agar etnis
Tionghoa yang ingin mendapat informasitentang Islam tidak canggung dan malu
bertanya. Materi yang diberikan pada kosultasi ini biasanya informasi tentang Islam
yang sebenarnya, syarat-syarat masuk islam dan lain sabagainya.
Melalui konsultasi ini bagi kalangan yang belum masuk Islam, mereka
mendapatkan informasi yang benar tentang Islam yang selama ini kurang dipahami,
dan selanjutnya jika mereka merasa yakin dengan ajaran islam yang didapat dari
kegiatan ini mereka langsung menanyakan syarat-syarat menjadi seorang muslim.
70
Dan bagi mereka yang muslim dengan adanya konsultasi agama islam ini dapat
memperoleh penjelasan tentang islam.
Dengan adanya konsultasi agama diyayasan ini, YHKO telah menjalankan
fungsi utama sebagai pusat informasi agama Islam kepada siapapun yang
membutuhkannya. Sehingga proses Islamisasi dan upaya pembauran melalui agama
yang dilakukan oleh yayasan ini dapat berjalan dengan baik.
A.5 Sholat Berjamaah
Kegiatan lain yang penting dan wajib dilakukan bagi yayasan yang juga
menjadi masjid ini adalah pelaksanaan sholat berjamaah. Dalam pelaksanaan sholat
fardu berjamaah di YHKO sehari-harinya hanya ada sholat Dzuhur dan sholat Ashar
saja. Ini disebabkan aktifitas etnis Tionghoa ataupun masyarakat pribumi ramai
selama jam kerja karena lokasi berdirinya yayasan ini adalah dikawasan hunian dan
bisnis Pasar Baru Jakarta. Sehingga Yayasan Haji Karim Oei dan juga Masjid Lautze
hanya buka sesuai dengan jam kerja yaitu pukul 09.00 WIB hingga 16.00 WIB.
Namun pada kesempatan dan waktu-waktu khusus, Masjid Lautze akan buka
hingga malam hari. Seperti pada bulan Ramadhan, Masjid Lautze digunakan juga
untuk sholat tarawih oleh warga sekitar maupun para jamaah muallaf dari Yayasan
Haji Karim Oei. Kegiatan sholat tarawih berjamaah ini hanya dilaksanakan pada hari
sabtu setiap minggunya dibulan Ramadhan yang dilanjutkan dengan acara buka
bersama. Hal ini dimaksudkan yayasan ingin memudahkan para jama’ah muallaf
yang banyak berasal dari berbagai daerah disekitar Jabodetabek agar bisa ikut
melaksanakan shalat Tarawih serta buka bersama. Keunikan lainnya pada
71
pelaksanaan shalat Tarawih di masjid Lautze ini adalah imam shalat akan diganti
setiap rakaat kedua, dan yang menjadi imam adalah para muallaf dari kalangan etnis
Tionghoa. Menurut bapak Yusman hal ini dilakukan untuk melatih para muallaf agar
memiliki keberanian dan nantinya akan membuat para muallaf merasa lebih diterima
di lingkungan barunya (Islam) ini.
A.6 Kegiatan Sosial
Selain kegiatan-kegiatan yang bersifat keagamaan, Yayasan Haji Karim Oei
juga aktif dalam kegiatan-keggiatan sosial dimana yayasan ini membentuk sebuah
lembaga yang khusus untuk menangani kegiatan sosial yang akan dilaksanakan oleh
yayasan, lembaga ini diberi nama Forum Ukhuwah Karim Oei (FUKO). Lembaga ini
aktif dalam melakukan kegiatan sosial serta secara rutin mengadakan hubungan
silahturrahmi antar jama’ah yayasan, sebagai contoh: apabila ada salah satu jamaah
yang terkena musibah baik itu sakit, korban banjir, bencana alam, dll, maka lembaga
ini secara cepat akan memberikan bantuan kepada jama’ah tersebut maupun warga
sekitar.
FUKO juga sering kali mengadakan kerjasama dengan LSM maupun ormas-
ormas Islam dalam melaksanakan kegiatan sosialnya. Salah satu kegiatan sosial di
yayasan ini adalahkegiatan Teras Sehat yang merupakan pelayanan pengobatan gratis
untuk para Dhuafa dan masyarakat disekitar Yayasan Haji Karim Oei. Pelayanan
pengobatan gratis ini merupakan bentuk kerjasama yayasan dengan Rumah Sehat
BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional) yang dilaksanakan sejak 24 Januari 2016.
Pelayanan pengobatan ini diadakan seminggu sekali dan dilaksanakan pada setiap
72
hari selasa mulai pukul 10.00 WIB hingga pukul 12.00 WIB. Persyaratan bagi
Dhuafa, masyarakat, maupun muallaf yang ingin mengikuti pengobatan gratis ini
cukup membawa fotocopy Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK), serta
surat keterangan tidakmampu dari RT/RW. Menurut dokter Iqbal sebagai dokter yang
menangani para pasien dalam kegiatan tersebut khusus Dhuafa persyaratannya hanya
membawa KTP saja.
Dalam berbagai kegiatan sosial yang dilakukan oleh YHKO muallaf dari etnis
Tionghoa juga ikut dalam pelaksanaannya. Hal ini dilakukan untuk melatih mereka
yang belum terbiasa bersosialisasi dengan masyarakat atau pribumi sehingga dapat
berbaur dengan masyarakat.
A.7 Pengislaman
Pengislaman merupakan hal yang utama bagi Yayasan Haji Karim Oei ini,
karena berkenaan dengan visi dan misi yayasan mengenai pembauran dan
mengenalkan islam kepada etnis Tionghoa. Pengislaman ini dilaksanakan di lantai 1
yayasan yang juga berfungsi sebagai Masjid Lautze dan di selenggarakan setiap hari.
Namun biasanya sering dilakukan pada hari jum’at dan minggu karena pada hari itu
yayasan ramai dikunjungi para jamaah yang sholat jum’at ataupun pengajian
mingguan di hari minggu, sehingga mereka (para calon muallaf) juga dapat langsung
mengikuti atau sekedar melihat tata cara sholat berjamaah. Walaupun demikian,
yayasan akan terbuka dan membantu apabila ada calon muallaf yang ingin di
Islamkan pada hari selain jum’at dan mingggu, karena disesuaikan dengan waktu
luang si calon muallaf itu sendiri.
73
Gambar 7: Proses pengislaman etnis Tionghoa yang dilakukan di Masjid Lautze (lantai satuYayasan Haji Karim Oei).
(Sumber:Dokumentasi Pribadi)
Mengenai jumlah muallaf yang telah diIslamkan, pihak yayasan tidak dapat
memastikan berapa jumlah orang-orang yang telah di Islamkan melalui Yayasan Haji
Karim Oei sejak awal berdirinya. Ini disebabkan terdapat dua periode pengislaman,
periode pertama di 1991-1996 dan periode kedua 1997 hingga sekarang. Pada periode
pertama, walaupun banyak warga yang mencari informasi dan berkonsultasi tentang
Islam di yayasan ini, namun yayasan seringkali menyarankan kepada para calon
muallaf agar melakukan proses pengislaman tersebut di masjid-masjid lain seperti
masjid Agung Sunda Kelapa, masjid Istiqlal, dan masjid Al-Azhar. Ini dikarenakan
pada periode pertama pihak yayasan tidak mengeluarkan sertifikat pengislaman,
sehingga tidak ada pembukuan atau catatan tentang siapa-siapa saja dan berapa
jumlah muallaf pada periode pertama ini.
74
“untuk proses pengilsaman, yayasan ini dibagi jadi 2 periode,periode pertama 1991 sampai 1996, yang ke dua dari tahun 1997sampai sekarang. Di periode pertama banyak yang ingin masukislam, tapi kita rekomendasikan ke masjid-masjid lain seperti,masjid Sunda Kelapa, Istiqlal, dan AL-Azhar. Karena masjid itusudah bisa mengeluarkan sertifikat pengislaman sedangkan kitabelum.” Tutur pak Ali Karim
Tabel 3: Jumlah pengislaman di YHKO tahun 1997- 2000
(Sumber: Arsip YHKO)
Berdasarkan tabel di atas, dapat kita lihat peran penting YHKO dalam
perkembangan agama Islam di kalangan Etnis Tionghoa Jakarta. Apabila kita
bandingkan dengan tabel pengislaman yang yang tercatat oleh PITI sejak tahun 1968
hingga 1978, organisasi tersebut mampu mengislamkan 119 muallaf Tionghoa
sedangkan pada tahun pertama dan kedua dalam pencatatan pengislamannya YHKO
telah jauh melampaui pencapaian PITI. Hal ini membuktikan bahwa YHKO telah
mampu menjalankan fungsi dan tujuan utamanya yaitu sebagai pusat informasi
agama Islam dengan sangat baik dan efektif.
B. Metode Dakwah Yayasan Haji Karim Oei
Dari segi bahasa metode berasal dari dua kata bahasa Yunani yaitu “meta”
(melalui) dan “hodos” (jalan atau cara). Dengan demikian kita dapat artikan bahwa
Tahun Jumlah Muallaf
1997 104
1998 84
1999 50
2000 52
Jumlah 290
75
metode adalah cara atau jalan yang harus dilalui untuk mencapai suatu tujuan.122
Sedangkan dakwah dari segi bahasa berasal dari bahasa arab da’wah, yang
merupakan bentuk mashdar dari kata kerja da’a (madli), yad’u (mudlari), yang berarti
seruan, ajakan, atau panggilan. Seruan dan panggilan ini dapat dilakukan dengan
suara, kata-kata, maupun perbuatan.123Secara garis besar ada tiga metode dalam
berdakwah, yaitu metode Al-Hikmah, metode Al-Mau’idza Al-Hasanah, dan metode
Al-Mujadalah.124
Menurut Imam Abdullah bin Ahmad Mahmud An-Nasari, dakwah Al-Hikmah
adalah dakwah menggunakan perkataan yang benar dan pasti, yaitu dalil yang
menjelaskan kebenaran dan menghilangkan keraguan guna menarik perhatian orang
kepada agama atau Tuhan. Metode selanjutnya adalah metode Al-Mau’idza Al-
Hasanah, menurut Abdul Hamid Al-Bilali, metode Al-Mau’idza Al-Hasanah adalah
salah satu metode dalam dakwah untuk mengajak kejalan Allah dengan memberikan
nasehat atau membimbing dengan lemah lembut agar mereka mau berbuat baik.
Karena dalam segi bahasa , mau’idzah berasal dari kata wa’adza-ya’idzu-wa’dzan-
‘idzatan yang berarti nasehat, bimbingan pendidian, dan peringatan. Sementara
hasanah artinya kebaikan. Sedangkan Al-Mujadalah secara istilah memiliki arti upaya
tukar pendapat yang dilakukan oleh dua belah pihak adanya suasana yang akan
melahirkan permusuhan. Sedangkan menurut Dr. Sayyid Muhammad Thantawi ialah,
122Wahidin Saputra, Pengantar Ilmu Dakwah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011),hlm. 242.
123Wahidin Saputra, Pengantar Ilmu Dakwah, hlm. 240.124Alwisral Imam Zaidallah, Strategi Dakwah dalam Membentuk Dai dan Khatib Profesional,
hlm. 71.
76
suatu upaya yang bertujuan untuk mengalahkanpendapat lawan dengan cara memberi
argumen-argumen dan bukti yang kuat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa metode
Al-Mujadalah adalah metode dakwah dengan cara bertukar pendapat secara santun
yang tidak melnimbulkan permusuhan dengan menggunakan argumen-argumen yang
kuat serta saling mengargai dan menghormati satu sama lain.125
Selain metode dakwah, bentuk dakwah yang biasa digunakan para da’i dalam
mensyiarkan agama Islam pun ada beberapa macam. Diantaranya adalah Dakwah Bil-
Lisan, Dakwah Bil-Hal, dan Dakwah Bil-Qalam.
Dakwah Bil-Lisan adalah dakwah yang dilakukan melalui lisan, yang
dilakukan dengan ceramah-ceramah, khutbah, diskusi, nasihat, dan lain-lain.126
Bentuk dakwah ini merupakan cara dakwah yang paling sering digunakan oleh para
da’i dalam menjalankan kegiatan dakwahnya kepada masyarakat, baik itu cerama di
majelis taklim, khutbah jum’at, ataupun ceramah dipengajian-pengajian. Dakwah
dengan cara ini juga dipakai oleh Yayasan Haji Karim Oei untuk melaksanakan
kegiatan dakwahnya. Ini bisa dilihat dari beberapa kegiatan yang dilaksanakan
yayasan seperti pada pengajian mingguan atau pun khutbah jum’at pada
penyelenggaraan sholat jum’at setiap minggunya.
Selanjutnya adalah Dakwah Bil-Hal,yaitu dakwah dengan perbuatan nyata
yang meliputi keteladanan. Misalnya dengan tindakan amal karya nyata tersebut
125Alwisral Imam Zaidallah, Strategi Dakwah dalam Membentuk Dai dan Khatib Profesional,hlm. 71.
126Asmuni Syukir, Dasar-Dasar Strategi Dakwah Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1983), hlm.11.
77
hasilnya dapat dirasakan secara konkrit oleh masyarakat sebagai objek dakwah.127
Dalam hal ini Yayasan Haji Karim Oei juga melakukan dakwah ini, terbukti dengan
mendirikan sebuah masjid yang diberi nama Masjid Lautze dengan arsitekur
Tionghoanya agar etnis Tionghoa mau mengenal Islam dan berbaur dengan pribumi.
Terakhir Dakwah Bil-Qalam, yaitu dakwah melalui tulisan yang dilakukan
dengan keahlian menulis seperti surat kabar, majalah, buku, maupun jurnal-jurnal.128
Dilihat dari beberapa buku yang pernah di tetbitkan oleh YHKO ini membuktikan
bahwa yayasan ini juga menggunakan bentuk dakwah Bil-Qalam ini. Buku-buku
yang pernah diterbitkan YHKO antaralain, Islam Dimata WNI, WNI Beragama Islam,
dan Pembauran dan Islam. Semua buku tersebut ditulis oleh Junus Jahja salah satu
tokoh pendiri yayasan dan juga dikenal sebagai salah satu tokoh pembauran.
Dilihat dari pemaparan di atas, mulai dari metode dakwah, bentuk dakwah,
hingga kegiatan dan aktifitas yang ada di YHKO, bisa disimpulkan tidak ada metode
ataupun bentuk dakwah khusus yang digunakan oleh yayasan dalam aktifitas dakwah
yang dilakukan untuk etnis Tionghoa, yang membedakan adalah pendekatan dakwah
secara kultural. Seperti yang di katakan pak Ali Karim.
“Kita ga ada metode dakwah atau dakwah khusus yang dipakaidi yayasan ini, mungkin yang bikin kita beda dari yang lainpendekatan kultural yang kita gunakan. Jadi pendekatan kultur,karena orang Tionghoa itu kan susah dipisahkan dengan budayanyajadi kita pakai pendekatan budaya buat menarik perhatianTionghoa, Alhamdulillah berhasil” Ungkap pak Ali Karim.
127Asmuni Syukir, Dasar-Dasar Strategi Dakwah Islam, hlm. 11.128Asmuni Syukir, Dasar-Dasar Strategi Dakwah Islam, hlm. 11.
78
Pendekatan kultural dalam dakwah bisa juga disebut dengan Dakwah kultural.
Dakwah kultural adalah dakwah yang dilakukan dengan cara mengikuti budaya-
budaya masyarakat setempat (objek dakwah) tanpa menyimpang dari aqidah yang
sudah ada dengan tujuan agar dakwahnya dapat diterima di lingkungan masyarakat
tersebut. Dakwah kultural juga bisa diartikan sebagai kegiatan dakwah dengan
memperhatikan potensi dan kecenderungan manusia sebagai makhluk budaya secara
luas dalam rangka menghasilkan kultur baru yang bernuansa Islami atau kegiatan
dakwah dengan memanfaatkan adat, tradisi, seni, dan budaya lokal dalam
prosesnya.129
Pendekatan kultural dalam berdakwah sebenarnya sudah tidak asing di
Indonesia, sebagai contoh adalah dakwah Walisongo. Dalam kegiatan dakwahnya
para walisongo ini sengaja mengambil instrumen kebudayaan lokal yang ada
dimasyarakat wilayahnya untuk mempromosikan nilai-nilai Islam.130 Pendekatan
kultural yang digunakan oleh Walisongo pada saat itu adalah dengan menyesuaikan
media dakwah yang sedang digandrungi oleh masyarakat yaitu wayang. Kesenian
wayang ini kemudian dimodifikasi oleh para Wali dengan konteks keislaman.
Sedangkan pada YHKO, pendekatan kultural yang dimaksud Ali Karim
adalah dengan cara membuat arsitektur Masjid Lautze bergaya khas Tionghoa.
Dengan warna merah dan kuning yang dominan pada bangunan yayasan (Masjid
Lautze), beberapa kaligrafi Arab-Cina, serta penambahan ornamen lampion didepan
129Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 349.130Riddin Sofwan, Islamisasi di Jawa, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 257.
79
Masjid. Ini dilakukan agar membuat etnis Tionghoa yang ingin mencari informasi
tetang Islam di yayasan ini tidak sungkan untuk masuk. Pendekatan kultural yang
dilakukan YHKO ini membuahkan hasil, terlihat dari jumlah etnis Tionghoa yang
telah dimuallafkan di yayasan ini telah mampu melampai pencapaian PITI sebagai
organisasi pendahulu dalam bidang dakwah dikalangan Tionghoa ini. Bahkan dalam
pencatatan terakhir yang dilakukan YHKO pada bulan Oktober 2016 telah lebih dari
1200 orang telah dimuallafkan diyayasan ini sejak tahun 1997.
C. Peranan YHKO Sebagai Wadah Dakwah Muslim Tionghoa
Bicara muslim Tionghoa di Jakarta tidak bisa lepas dari peran Yayasan Haji
Karim Oei (YHKO). Di tengah problematika yang dihadapi oleh etnis Tionghoa di
Indonesia, YHKO hadir sebagai sebuah wadah untuk para muslim Tionghoa
berdakwah, mengenenalkan, dan menyebarkan Islam ke etnis Tionghoa yang selama
ini memandang sebelah mata Islam sebagai agama rendahan.
Dengan pendekatan kultural dan berbagai kegiatan yang dilakukan YHKO,
sedikit demi sedikit etnis Tionghoa dapat memahami Islam dengan lebih baik. Ini
dikarenakan, berdirinya yayasan ini sendiri selain bertujuan untuk berdakwah juga
bertujuan menjadi pusat informasi Islam bagi etnis Tionghoa serta menjadi wadah
untuk mereka berasimilasi. Upaya untuk mengenalkan dan mendekatkan Islam
dengan etnis Tionghoa di Jakarta dilakukan dengan mendirikan yayasan di tengah
pecinan, dimana kawasan yang mayoritas penduduknya adalah etnis Tionghoa.
Bentuk bangunan yayasan yang berupa ruko dibuat sedemikian rupa dengan warna
interior dan eksterior serta berbagai ornamen khas Tionghoa juga dibuat oleh yayasan
80
agar etnis Tionghoa yang datang dan ingin mengenal Islam merasa nyaman dan tidak
canggung. Adanya kata “Oei” pada papan nama Yayasan Haji Karim Oei juga
menjadi daya tarik tersendiri. Karena adanya identitas Tionghoa dalam nama tersebut
sehingga etnis Tionghoa tidak sungkan untuk datang ke yayasan ini.
Walaupun YHKO bukanlah satu-satunya wadah yang berkonsentrasi untuk
berdakwah di kalangan etnis Tionghoa, namun peranannya sebagai wadah dakwah
muslim Tionghoa khususnya di Jakarta sangat besar. Ini bisa dilihat dari pencapaian
YHKO dalam pengislaman di tahun 1997 hingga 1998 ini melampaui pencapaian
pengislaman yang dilakukan PITI pada pada periode tahun 1965-1978.131Bahkan
jumlah etnis Tionghoa yang telah dimuallafkan di yayasan ini tercatat berjumlah lebih
dari 1200 orang sejak 1991 hingga oktober 2016. Pada tahun pertama dan keduanya
YHKO telah mengislamkan 188 muallaf dari etnis Tionghoa, sedangkan PITI pada
rentang tahun 1965-1978 tercatat 119 etnis Tionghoa telah diislamkan.
Berbagai kegiatan yang ada di YHKO adalah sebuah refleksi dari visi dan
misi yang diterapkan yayasan ini. Yaitu untuk menyebarkan agama Islam di kalangan
etnis Tionghoa, mendekatkan Islam dengan etnis Tionghoa, dan memberikan
pendampingan bagi orang Tionghoa yang baru masuk Islam. Dengan berbagai
keterbatasan yang ada Yayasan Haji Karim mampu menjadi sebuah wadah dakwah
dan berasimilasi yang efektif untuk kalangan etnis Tionghoa.
131 Lihat tabel 2 dan 3
81
BAB V
KESIMPULAN
Dari uraian bab-bab yang telah penulis jelaskan pada skripsi ini bahwasanya
Yayasan Haji Karim Oei (YHKO) merupakan suatu yayasan yang bergerak di bidang
dakwah yang berfokus untuk kalangan etnis Tionghoa di Jakarta. Tumbuh dan
berkembangnya muslimTionghoa di Jakarta tidak lepas dari peranan Yayasan Haji
Karim Oei yang berdiri sejak 1991. Berdasarkan dari apa yang telah diuraikan dalam
skripsi ini, maka penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut:
Pertama, tentang sejarah muslim Tionghoa sejak kedatangannya ke Indonesia
hingga 1990-an. Berbagai peristiwa yang terjadi di Indonesia mulai dari kedatangan
Belanda dengan berbagai kebijakan terkait etnis Tionghoa dan kebijakan yang berbau
rasialnya, serta peristiwa migrasi besar-besaran yang terjadi akibat dari kebutuhan
ekonomi dan situasi politik yang tidak kondusif di negeri asal membuat proses
pembauran antara etnis Tionghoa dengan masyarakat pribumi yang awalnya berjalan
dengan baik perlahan mundur. Ini disebabkan oleh adanya perubahan keadaan sosial,
politik dan budaya yang terjadi kala itu sehingga membuat etnis Tionghoa tidak
mendapatkan informasi tentang Islam. Keadaan ini terus berlanjut hingga masa Orde
Baru berlangsung. Dengan demikian minimnya pengetahuan etnis Tionghoa tentang
Islam yang benar yang disebabkan faktor tersebut membuat proses asimilasi antara
etnis Tionghoa dengan pribumi menjadi terhambat.
82
Kedua, mengenai berdirinya Yayasan Haji Karim Oei di Jakarta. Berbagai
problematika yang di hadapi etnis Tionghoa sejak masa penjajahan Belanda hingga
Orde Baru membuat jurang pemisah antara etnis Tionghoa dan pribumi semakin jauh,
sehingga menghambat proses pembauran. Dengan melihat akar permasalahan
tersebut, dengan semangat dakwah Islam yang dimiliki muslim Tionghoa maka
berdirilah Yayasan Haji Karim Oei (YHKO) yang mempunyai tujuan utama untuk
memberikan informasi dan dakwah Islam kepada etnis Tionghoa. Dengan adanya
Yayasan Haji Karim Oei diharapkan stigma negatif yang selama ini melekat pada
Islam di mata etnis Tionghoa dapat teratasi.
Terakhir kesimpulan mengenai peran Yayasan Haji Karim Oei sebagai wadah
dakwah muslim Tionghoa di Jakarta. Keberadaan muslim Tionghoa di Jakarta saat ini
tidak lepas dari peran YHKO dalam upaya dakwahnya ke kalangan etnis Tionghoa.
Sejak berdirinya, YHKO menggunakan pendekatan budaya dalam metode
dakwahnya. Pendekatan budaya yang dilakukan YHKO dan berbagai kegiatan yang
dilakukan di yayasan ini berhasil menarik minat etnis Tionghoa untuk mengetahui
Islam lebih dalam, yang pada akhirnya banyak dari mereka memilih Islam sebagai
agama yang diyakininya. Pada tahun pertama dan kedua pecatatan yayasan dalam
pengislaman yang dilakukannya telah melampaui pencapaian yang dilakukan oleh
PITI. Hal ini menjadi bukti betapa penting peranan Yayasan Haji Karim Oei sebagai
wadah dakwah dan juga membuktikan bahwa menjadi seorang muslim adalah salah
satu cara efektif seroang etnis Tionghoa agar dapat berbaur dengan pribumi.
82
DAFTAR PUSTAKA
A. Sumber Primer
1. Arsip Tak Terbit
Akta No.49 tahun 1991, Pendirian Yayasan Haji KarimOei (YHKO),
NotarisAzhar Alia, SH.
Akta No.4 tahun 1993, Pernyataan Keputusan Rapat Yayasan Haji KarimOei
(YHKO), NotarisMintarsihNatamihardja, SH.
Data Pengislaman, PITI 1965-1978.
Intruksi Presiden No. 14 tahun 1967, tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat
Istiadat Cina.
Intruksi Presiden No. 15 tahun 1967, tentang Pembentukan Staf Khusus Urusan
Cina.
Keputusan Presiden No. 240 tahun 1967, tentang Kebijaksanaan Pokok Yang
Menyangkut Warga Negara Keturunan Asing.
Keputusan Presidium 127/U/Kep/12/1966, tentang Peraturan Ganti Nama.
SK. Menteri Perdagangan dan Koperasi No.286/KP/XII/78, tentang Pelarangan
Impor, Penjualan, dan Pengedaran Terbitan Dalam Bahasa dan Aksara Cina.
Undang-Undang No. 4 tahun 1961 tentang Perubahan atau Penambahan Nama
Keluarga.
Undang-Undang Penanaman Modal Asing tahun 1967 tentang Penanaman Modal
Asing di Indonesia.
Undang-Undang Penanaman Modal Dalam Negeri tahun 1968 tentang
Penanaman Modal Dalam Negeri.
83
2. Surat Kabar Sezaman
Antara, “Pengusiran WNA Tjina adalah Wajar dan Tepat”, Sabtu 29 Maret 1967
Harian Kompas, “Nama dan Peristiwa”, Selasa 28 November 1995.
Republika, “Orang Cina yang muslim dianggap pribumi”, Jum’at 3 mei 1996.
Sinar Harapan, “Peraturan Ganti Nama di DCI Djakarta Raya”, Rabu 24 Mei
1967.
B. Sumber Skunder
1. Buku
A Muhaimin, Yahya. Bisnis dan Politik: Kebijakan Ekonomi Indonesia 1950-
1980, Jakarta: LP3ES, 1990.
Abdurahman, Dudung. Metode Penitian Sejarah, Logos. Jakarta 1999.
Afif, Afthonul. Identitas Tionghoa Muslim Indnonesia: Pergulatan Mencari Jati
Diri, Depok: Kepik, 2012.
Ali Aziz, Moh. Ilmu Dakwah, Jakarta: Kencana, 2009.
Al-Qurtubbi, Sumanto. Arus Cina Islam Jawa, Yogyakarta, Inspeal Press, 2003.
Ananta Toer, Pramoedya. Arus Balik : Sebuah Epos Pasca Kejayaan Nusantara
di Awal Abad ke-16, Jakarta, Hasta Mitra, 2002.
Batubara, Cosmas. Sejarah Lahirnya Orde BaruHasil dan Tantangannya, Jakarta:
Prahita,1986.
Budiman, Amin. Masyarakat Islam Tionghoa di Indonesia, Semarang: Tanjung
Sari, 1979.
Castles, Lance. Profil etnik Indonesia, Jakarta: Masup Jakarta, 2007.
84
Coppel, Charles A. Tionghoa Indonesia Dalam Krisis, Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan,1994.
Ekadjati, Edi S. Kebudayaan Sunda: Suatu Pendekatan Sejarah Jilid I, Jakarta:
Pustaka Jaya, 1995.
Graaf, H. J. De. Cina Muslim di Jawa Abad XV dan XVI: Antara Histotitas dan
Mitos, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997.
Gautama, Prof. Mr. Dr.s. Warganegara dan Orang-Orang Asing Berikut 42
Peraturan dan Contoh, Bandung: Alumni,1975.
Grief,Stuart W. WNI Problematik Orang Indonesia Asal Cina, Jakarta: Pusaka
Utama Grafiti, 1991.
Gottschalk,Louis. Mengerti Sejarah, UI Pres: 1975.
Ham, Ong Hok. Anti Cina, Kapitalisme Cina dan Gerakan Cina, Depok:
Komunitas Bambu, 2008.
_________. Riwayat Tionghoa Peranakan Jawa (Cet ke-2), Depok: Komunitas
Bambu, 2009.
Hoon, Chang Yau Hoon. Identitas Tionghoa Pasca Soeharto: Budaya, Politik dan
Media, Jakarta, Yayasan Nabil dan LP3ES, 2012.
Jahja, Junus. 10 Tahun Masid Lautze, Jakarta: Yayasan Haji Karim Oei, 2001.
__________. Islam Di Mata WNI, Jakarta: Yayasan Haji Karim Oei.
__________. Masalah Tionghoa di Indonesia Asimilasi vs Integrasi, Jakarta:
LPMB, 1999.
__________. Muslim Tionghoa, Kumpulan Karangan. Jakarta: Yayasan Haji
Karim Oei, 1996.
85
__________. Non Pri Di Mata Pribumi, Jakarta: Yayasan Tunas Bangsa,1991.
__________. Peranakan Idealis: Dari Lie Eng Hok Sampai Teguh Karya, Jakarta:
Kepustakan Populer Gramedia,2002.
Karim, Abdul. Islam di Asia Tengah, Yogyakarta: Bagaskara, 2006.
Liem, Yusiu. Prasangka Terhadap Etnis Cina, Jakarta: Djambatan, 2000
Mulyana, Selamet. Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-
Negara Islam di Nusantara, Yogyakarta: LkiS, 2008.
Ma, Ibrahim Ying. Perkembangan Islam di Tiongkok, Jakarta: Bulan Bintang,
1979
Murata, Sachiko. Gemerlap Cahaya Sufi dari Cina, Jakarta: Pusaka Sufi, 2003
Muriah, Siti. Medodologi Dakwah Kontemporer, Yogyakarta: Mitra Pustaka,
2000.
Oei, H. Abdul Karim. Mengabdi Agama, Nusa dan Bangsa, Jakarta: Gunung
Agung, 1982.
Saputra, Wahidin. Pengantar Ilmu Dakwah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2011.
Setiawan, Teguh. Tionghoa Indonesia : Cina Muslim dan Runtuhnya Republik
Bisnis. Jakarta: Republika, 2012.
Setiono, Benny G. Tionghoa Dalam Pusaran Politik, Jakarta: Trans Media
Pustaka, 2008.
Skiner, G.W. Golongan Minoritas Tionghoa, Jakarta: Gramedia, 1981.
Suryadinata, Leo. Dilema Minoritas Tionghoa,Jakarta: Grafiti Pers. 1984.
____________. Etnis Tionghoa dan Pembanguan Bangsa, Jakarta: LP3ES, 1999.
86
____________. Kebudayaan Minoritas Tionghoa di Indonesia, Jakarta:
Gramedia,1988.
____________. Mencari Identitas Nasional Dari Tjoe Bou San Sampai Yap
Thiam Hien, Jakarta: LP3ES, 1990.
____________. Politik Etis Tionghoa Indonesia 1900-2002, Jakarta: LP3ES,
2002.
____________. Politik Tionghoa Peranakan di Jawa 1917-1942, Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 1986.
Sofwan, Riddin. Islamisasi di Jawa, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Syukir, Asmuni. Dasar-Dasar Strategi Dakwah Islam, Surabaya: Al-Ikhlas, 1983.
Tan, Mely G. Golongan Minoritas Tionghoa di Indonesia, Jakarta: Gramedia,
1981.
Tailor, Jean Gelman. Kehidupan Sosial di Batavia, Orang Eropa dan Eurasia di
Hindia Timur, Jakarta: Masup Jakarta, 2006.
Wijayakusuma, Hembing. Pembantaian Masal 1740 : Tragedi Berdarah Angke.
Jakarta: Pustaka Populer Obor, 2005.
Zaidallah, Alwisral Imam. Strategi Dakwah dalam Membentuk Dai dan Khatib
Profesional, Jakarta: Kalam Mulia, 2005.
Zhi, Kong Yuan. Muslim Tionghoa Ceng Ho, Jakarta: Pustaka Popular Obor,
2000.
Wibowo, I. Retrospeksi dan Rekontekstualisasi Masalah Cina, Jakarta: Gramedia,
1999.
87
2. Tesis
Mustopa.Islam dan Pembaruan: Studi Mengenai Tionghoa Muslim di Jakarta,
Tesis, UI: 2006.
Widiastuti, Nurarni. Penggunaan dan Pengakuan Indentitas Islam pada
Masyarakat Cina Muslim, Tesis, UI: 2009.
3. Makalah
Efendi, Wahyu. “Tinjauan atas Rumusan Pasal mengenai Diskriminasi Rasial
dalam Rancangan KUHP”, Makalah,Focus Grup Discussion, Jakarta: 23
November 2006.
Skober, Tanti Restiasih.“Orang Cina di Bandung, 1930-1960: Merajut Geliat
Siasat Minoritas Cina”, Makalah,Konferensi Nasional Sejarah VIII, Jakarta:
14-17 November 2006.
4. Sumber Elektronik
Al-Qurtubbi, Sumanto. Islam di Tiongkok dan China Muslim di Jawa Pada Masa
Pra-Kolonial Belanda, Dalam http://jurnal.elsaonline.com/?p=97.Diakses
pada 21 Mei 2016.
88
LAMPIRAN
Lampiran 1:
Foto Penulis dengan narasumber H.M. Ali Karim, SH (anak Haji Abdul Karim Oei dan KetuaYayasan Haji Karim Oei) saat wawancara mengenai latar belakang berdirinya Yayasan HajiKarim Oei.
Lampiran 2:
Foto yang diambil penulis saat sholat Jum’at berjamaah di Masjid Lautze (Lantai satuYayasan Haji Karim Oei).
89
Lampiran 3:
Foto tampak depan Yayasan Haji Karim Oei, terlihat terdapat ornamen etnis Tionghoa mulaidari pemilihan warna cat gedung yang di dominasi warna merah dan kuning, bentuk pintuyang menyerupai pintu klenteng pada umumnya, serta adanya lampion-lampion yang digantung yang menambah kental nuansa Tionghoa pada yayasan ini.
Lampiran 4:
Foto bagian dalam lantai 1 gedung Yayasan Haji Karim Oei yang juga merupakan MasjidLautze. Pada bagian dalam lantai 1 Masjid Lautze terdapat banyak sekali kaligrafi bertuliskanhuruf Arab dengan percampuran seni antara Arab dan Cina yang menghiasi setiap sudutmasjid ini.
90
Lampiran 5:
Foto data pengislaman yang tercatat dan telah dilakukan Yayasan Haji Karim Oei sejak 1997hingga Oktober 2016.
91
Lampiran 6:
Data pengislaman yang dilakukan PITI sejak 1965 hingga 1978.
92
Lampiran 7:
Surat kabar Sinar Harapan dengan judul artikel Peraturan Ganti Nama di DCI Djakarta Rayayang terbit pada rabu 24 Mei 1967 yang memuat berita tentang kebijakan pemerintah OrdeBaru tentang pergantian nama untuk etnis Tionghoa di Indonesia.
93
Lampiran 8:
Undang-Undang No.4 tahun 1961 tentang perubahan atau penambahan nama keluarga
94
95
Lampiran 9:
Keputusan Presidium No.127/U/Kep/12/1966 tentang peraturan ganti nama.
96
Lampiran 10:
Intruksi Presiden No.14 tahun 1967, tentang agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina.
97
Lampiran 11:
Intruksi Presiden No.15/1967 tentang pembentukan staf khusus urusan Cina.
98
99
Lampiran 12:
Keputusan Presiden No.240/1967 tentang kebijaksanaan pokok yang menyangkut warganegara keturunan asing.
100
Lampiran 13:
Undang-Undang tentang penanaman modal asing.
101
102
103
Lampiran 14:
Undang-undang No.6 tahun 1968 tentang penanaman modal dalam negeri
104
105
Lampiran 15:
SK. Mentri Perdagangan dan Koperasi No.286/1978 tentang pelarangan Impor, penjualan,dan pengedaran terbitan dalam bahasa dan aksara Cina.
106
Lampiran 16:
Arsip Yayasan Haji Karim Oei Akta No. 49, Notaris H. Azhar Alia, SH. 9 Maret 1991.
107
108
109
110
Lampiran 17:
Arsip Yayasan Haji Karim Oei Akta No. 4 Notaris Mintarsih Natamihardja, SH. 15 Oktober 1993.
111
112
DAFTAR WAWANCARA
Nama : Firdaus Alansyah
Nim : 1111022000003
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Fakultas Adab dan Humaniora
Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam
Narasumber : HM. Ali Karim, SH.
Hari/Tanggal : Sabtu, 2 Juli 2016
Tempat : Yayasan Haji Karim Oei Jl. Laotze no. 88-89, Kelurahan Karang Anyar,
Kecamatan Sawah Besar, Jakarta Pusat.
Pokok Pembicaraan
Penulis : Apakah alasan ataupun tujuan awal berdirinya Yayasan Haji Karim
Oei?
H.M. Ali Karim, SH : Alasan kita yang paling utama sih untuk ngasih informasi tentang
Islam yang sebenar-benarnya karena sudah sangat lama salah
dipresepsikan oleh orang-orang cina di Indonesia. Ini kan gara-gara
Belanda dulu bikin kita di adu domba sama pribumi supaya ga akur
terus dia bisa monopoli dagang disini. Zaman Belanda kan pribumi
dibikin citra yang jelek, miskin, kumuh, bodoh, dll, jadi berpengaruh
juga kan ke citra Islam karena Islam agama mayoritas pribumi. Nah,
karena itu orang Tionghoa enggan buat kenal sama yang namanya
Islam. Sebaliknya juga, pribumi kan memandang orang Tionghoa itu
antek Belanda, pelit, serakah, dsb. Makin ga akurlah Tionghoa ama
pribumi yang berimbas juga Tionghoa memandang jelek Islam dan ga
mau kenal Islam karena ga ada yang ngasih tau tentang Islam ke
mereka. Orang-orang Tionghoa tuh kesukuannya tinggi, kadang
mereka ga mau dengerin omongan orang selain orang Tionghoa juga,
makanya kita yang Tionghoa tapi udah Islam yang jadi ujung
tombaknya buat ngasih Informasi tentang Islam kemereka
(Tionghoa).
113
Penulis : Mengapa nama yayasan ini diberi nama Yayasan Haji Karim
Oei?
H.M. Ali Karim, SH : Pertama, biar orang-orang Tionghoa Tau kalau ini yayasan buat
mereka. Kalau ada kata Oei nya kan mereka jadi ga segan untuk
datang kesini, karena Oei itu kan salah satu nama marga Tionghoa.
Yang kedua, karena beliau yang kebetulan juga adalah ayahanda saya
itu seorang tokoh keturunan Tionghoa yang pernah menjadi konsul
Muhammadiyah di Bengkulu, juga pengusaha sukses punya peranan
penting karena aktif waktu perjuangan kemerdekaan. Beliau itu
sahabat karibnya Bung Karno, Buya Hamka, dan pejuang-pejuang
lain. Jelas beliau adalah seorang nasionalis sejati, muslim yang taat,
dan juga pengusaha sukses yang berarti “3 in1”. Misi yayasan ini juga
untuk menyebar luaskan cita-cita Haji Karim Oei dikalangan WNI
keturunan Tionghoa yang seorang seorang nasionalis sejati, muslim
yang taat, dan juga pengusaha sukses (3 in 1).
Penulis : Apakah para pendiri Yayasan Haji Karim Oei didominasi oleh etnis
Tionghoa?
H.M. Ali Karim, SH : Engga, yayasan ini didirikan dari berbagai elemen masyarakat ga
cuma Tionghoa aja. awalnya yayasan ini berdiri dari ide alm. Junus
Jahja yang didukung oleh orang-orang dari Muhammadiyah,
Nadhatul Ulama, Al-Wasliyah, KAHMI, HMI dan ICMI. Jadi bukan
cuma orang cina aja. Bahkan untuk membeli gedung yang kita
tempatin sekarang itu uangnya dari Pak Harto yang dititipkan ke Pak
Habibi yang waktu itu jadi ketua ICMI.
Penulis : Mengapa memilih salah satu ruko di jalan Lautze sebagai tempat
yayasan ini berdiri?
H.M. Ali Karim, SH : Disinikan mayoritas penduduknya orang Tionghoa, bisa diliat kan
daerah sini lebih banyak Vihara dibandingkan Masjid karena ini
memang daerah pecinan, daerahnya orang Tionghoa tapi ada juga
orang pribumi tapi sedikit. Karena fokus sasaran dan tujuan utama
kita ngasih informasi ke etnis Tionghoa, jadi tempat ini kita nilai
sangat cocok untuk tujuan kita.
114
Penulis : Apakah yayasan ini menggunakan metode dakwah khusus untuk
upaya dakwah kekalangan etnis Tionghoa?
H.M. Ali Karim, SH : engga ada metode khusus dalam dakwah kita ke orang Tionghoa.
Karena kesukuan Tionghoa itu tinggi makanya kita coba bangun
gedung dengan ornamen-ornamen khas Cina biar mereka nyaman, ga
asing dan ga segan buat masuk ke yayasan ini. Sejauh dan selama ini
Alhamdulillah efektif buat menarik minat etnis Tionghoa untuk kesini
dan mengenal Islam lebih dalam. Salah satu buktinya sampe saat ini
sudah lebih dari 1000 orang yang dimuallafkan dan mayoritas yang
dimuallafkan disini etnis Tionghoa.
Penulis : Apa saja kegiatan yang ada di Yayasan Haji Karim Oei?
H.M. Ali Karim, SH : Kegiatannya untuk yang belum jadi muallaf dan mau tau tentang
Islam kita kasih konsultasi intensif mengenai informasi ke Islaman.
Bagi yang sudah jadi muallaf ada bimbingan shalat, bimbingan baca
Al-Qur’an, Pengajian Mingguan. Bimbingan shalat sama baca Al-
Qur’an kita adakan setiap hari, jadi kapan pun para muallaf atau yang
ingin jadi muallaf bisa kapan saja belajar shalat dan baca Al-Qur’an.
Tapi di pengajian mingguan yang kita adakan setiap hari minggu,
setalah Tausiyah keagamaan juga kita adakan bimbingan shalat bagi
yang baru jd muallaf dan baca Al-Qur’an bersama.
Penulis : Selain kegiatan keagamaan, adakah kegiatan yang bersifat
sosial?
H.M. Ali Karim, SH : Kita berkerjasama dengan BAZNAS (Badan Zakat Nasional)
mengadakan pengobatan gratis untuk kaum duafa yang dilaksanakan
setiap hari selasa jam 10 pagi sampai dzuhur. Untuk mendapatkan
pelayanan pengobatan gratis, cukup bawa surat keterangan tidak
mampu dari RT(jika warga sekitar), fotocpy KTP, dan fotocopy KK.
Kalau ada orang yang kebetulan lewat dan dia ga mampu mau berobat
kita layani juga. Pengobatan gratis ini bukan Cuma untuk muallaf,
orang Islam atau orang Tiongghoa saja, tapi untuk semua masyarakat
yang tidak mampu dan tidak memandang suku, ras, dan agama orang
tersebut. Jika dia tidak mampu Insyaallah kita akan selalu layani.