22
191 KARAKTER ILMU HUKUM: PENDEKATAN FUNGSIONAL DALAM KAITAN DENGAN PENDIDIKAN HUKUM Krishna Djaya Darumurti Staf Pengajar Fakultas Hukum, Universitas Kristen Satya Wacana Korespondensi: [email protected] Abstrak Tulisan ini membahas isu tentang karakter Ilmu Hukum ( Jurisprudence) dalam kaitan dengan pendidikan hukum dengan menggunakan pendekatan fungsional. Tulisan ini berargumen bahwa Ilmu Hukum harus fungsional dengan pendidikan hukum. Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan hukum harus diklarifikasi terlebih dahulu sehingga konsep Ilmu Hukum dapat dimaknai secara tepat. Lebih lanjut, tulisan ini menjelaskan tentang level atau tingkatan berpikir dalam Ilmu Hukum, sehingga konsep Ilmu Hukum dapat dibedakan, berdasarkan tingkatan berpikirnya, menjadi Dogmatika Hukum ( Legal Dogmatics), Teori Hukum (Legal Theory) dan Filsafat Hukum (Legal Philosophy). Ketiga disiplin tersebut harus konsisten dalam mendukung jalannya pendidikan hukum. Kata-kata Kunci: Ilmu Hukum; Pendidikan Hukum; Fungsi. Abstract This paper discusses the issue concerning the character of Jurisprudence in relation to legal education. By applying functional approach, it is argued that Jurisprudence must functionally support legal education. Therefore, the nature of legal education should be clarified in advance to enable the development of a proper concept of Jurisprudence. Additionally, this paper also describes the various level of thinking in Jurisprudence, which conceptually distinguish Jurisprudence into Legal Dogmatics, Legal Theory and Legal Philosophy. These three disciplines must be consistent in supporting the course of legal education. Key words: Jurisprudence; Legal Education; Function.

KARAKTER ILMU HUKUM: PENDEKATAN FUNGSIONAL …

  • Upload
    others

  • View
    12

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: KARAKTER ILMU HUKUM: PENDEKATAN FUNGSIONAL …

KARAKTER ILMU HUKUM 1912017]

191

KARAKTER ILMU HUKUM:PENDEKATAN FUNGSIONAL DALAM KAITAN DENGAN

PENDIDIKAN HUKUM

Krishna Djaya DarumurtiStaf Pengajar Fakultas Hukum, Universitas Kristen Satya Wacana

Korespondensi: [email protected]

Abstrak

Tulisan ini membahas isu tentang karakter Ilmu Hukum (Jurisprudence) dalam kaitandengan pendidikan hukum dengan menggunakan pendekatan fungsional. Tulisan iniberargumen bahwa Ilmu Hukum harus fungsional dengan pendidikan hukum. Olehkarena itu, hakikat dari pendidikan hukum harus diklarifikasi terlebih dahulu sehinggakonsep Ilmu Hukum dapat dimaknai secara tepat. Lebih lanjut, tulisan ini menjelaskantentang level atau tingkatan berpikir dalam Ilmu Hukum, sehingga konsep Ilmu Hukumdapat dibedakan, berdasarkan tingkatan berpikirnya, menjadi Dogmatika Hukum (LegalDogmatics), Teori Hukum (Legal Theory) dan Filsafat Hukum (Legal Philosophy). Ketigadisiplin tersebut harus konsisten dalam mendukung jalannya pendidikan hukum.

Kata-kata Kunci: Ilmu Hukum; Pendidikan Hukum; Fungsi.

Abstract

This paper discusses the issue concerning the character of Jurisprudence in relation tolegal education. By applying functional approach, it is argued that Jurisprudence mustfunctionally support legal education. Therefore, the nature of legal education should beclarified in advance to enable the development of a proper concept of Jurisprudence.Additionally, this paper also describes the various level of thinking in Jurisprudence,which conceptually distinguish Jurisprudence into Legal Dogmatics, Legal Theory andLegal Philosophy. These three disciplines must be consistent in supporting the course oflegal education.

Key words: Jurisprudence; Legal Education; Function.

Page 2: KARAKTER ILMU HUKUM: PENDEKATAN FUNGSIONAL …

REFLEKSI HUKUM192 [Vol. 1, No. 2

PENDAHULUAN

Sistem pendidikan hukum palingberpengaruh di dunia karena dikelolasecara penuh disiplin adalah sistempendidikan hukum di Amerika Serikatuntuk mencapai gelar akademik J.D.(Juris Doctor). Pengelolaan pendidikanhukum tersebut dilakukan denganmelibatkan organisasi advokat, theAmerican Bar Association (ABA), untukmelakukan akreditasi terhadap lawschool penyelenggara program akademikJ.D. Degree. Jika dibandingkan denganIndonesia maka gelar akademik J.D.setara atau ekivalen dengan gelarakademik S.H. (Sarjana Hukum).

Persoalan terbesar dalam pengelo-laan pendidikan hukum kita adalahkita tidak pernah memberikan des-kripsi yang jelas untuk gelar aka-demik S.H. tersebut. Hal ini berbedadengan di Amerika Serikat di managelar akademik J.D. diberikan des-kripsi sebagai berikut: “J.D. degreemeans the professional degree in lawgranted upon completion of a program oflegal education that is governed by theStandards.” Deskripsi tentang J.D.degree di atas diberikan oleh ABAStandards and Rules of Procedures forApproval of Law Schools 2014-2015(selanjutnya disingkat ABA Standards).ABA Standards adalah standar yangdisusun oleh ABA sebagai pedomanuntuk melakukan akreditasi terhadaplaw school di Amerika Serikat dankalau di Indonesia kira-kira, subs-tansinya, mirip dengan Borang Akre-ditasi. Hal penting dari deskripsi di

atas yang perlu saya garis bawahiialah predikat bahwa J.D. degree yangmerupakan “professional degree inlaw.”

Belajar dari sistem pendidikanhukum di Amerika Serikat, sayamemandang ada kekeliruan sangatfatal (dan ini adalah clear and presentdangerous) dari pendidikan hukumkita (yang berbeda dengan pendidikankedokteran) yaitu kegagalan kita yangtidak mampu memberikan orientasiyang jelas untuk gelar S.H. itu sendirisebagai out put dari pendidikan hukumyang diselenggarakan. Ketika J.D.degree dideskripsikan sebagai profe-ssional degree in law maka hal itu akanberimplikasi secara fundamental padatujuan penyelenggaraan pendidikanhukumnya. Lebih lanjut ABA Standardsmenentukan tujuan dari pendidikanhukum dalam Standar 301 sebagaiberikut:

Standard 301. OBJECTIVES OF PROGRAMOF LEGAL EDUCATION(a) A law school shall maintain a rigorousprogram of legal education that preparesits students, upon graduation, foradmission to the bar and for effective,ethical, and responsible participation asmembers of the legal profession.(b) A law school shall establish andpublish learning outcomes designed toachieve these objectives.

Konsisten dengan deskripsi dariJ.D. degree maka tujuan dari pen-didikan hukum dirumuskan sebagaipendidikan untuk mengantarkanlulusannya guna masuk ke dalamprofesi hukum (advokat). Supayakonsisten dengan pencapaian tujuanpendidikan hukum, law school diwajib-

Page 3: KARAKTER ILMU HUKUM: PENDEKATAN FUNGSIONAL …

KARAKTER ILMU HUKUM 1932017]

kan untuk merumuskan capaianpembelajaran (learning outcomes) yangdidesain guna mencapai tujuan ter-sebut. Oleh karena itu, bagian ter-penting dalam memahami hakikatpendidikan hukum di Amerika Serikatadalah memahami capaian pembe-lajaran yang dirumuskan guna men-capai tujuan dari pendidikan hukumtersebut. Sebagai prinsip umum ABAStandards merumuskan capaian pem-belajaran dalam Standar 302 sebagaiberikut:

Standard 302. LEARNING OUTCOMESA law school shall establish learningoutcomes that shall, at a minimum, includecompetency in the following:(a) Knowledge and understanding of

substantive and procedural law;(b) Legal analysis and reasoning, legal

research, problem-solving, andwritten and oral communication in thelegal context;

(c) Exercise of proper professional andethical responsibilities to clients andthe legal system; and

(d) Other professional skills needed forcompetent and ethical participation asa member of the legal profession.

Standar 302 di atas adalah jantungdari penyelenggaraan pendidikanhukum karena atas dasar capaianpembelajaran tersebut maka dideri-vasikan kurikulum untuk law school.Atas pemahaman demikian menjadigamblang adanya identitas atau jatidiri dan karakter dari Ilmu Hukumdalam jagat pendidikan hukum. Dalampengertian tersebut konsep Ilmu Hukumyang dimaksudkan tentunya adalahIlmu Hukum yang fungsional dengantujuan pendidikan hukum serta capaianpembelajaran yang dituntut daripada-

nya. Oleh karena itu dapat disimpulkanbahwa Ilmu Hukum yang dimaksudkanadalah yang arahnya memberikanpengetahuan tentang aspek-aspekhukum material dan formal (hukumacara) serta kemampuan untuk meng-gunakan perangkat pengetahuan ter-sebut (yaitu hukum itu sendiri baikmaterial maupun formal) berupa “legalanalysis and reasoning, legal research,problem-solving, and written and oralcommunication in the legal context.”

Permasalahan yang dihadapi olehpendidikan hukum kita adalah keti-dakberanian kita untuk secara eks-plisit dan tegas menyatakan tujuandari pendidikan hukum serta kesepakat-an mengenai capaian pembelajaranyang seyogianya yang konsistendengan tujuan dari pendidikan hukumtersebut. Akibatnya adalah, meskipunrelatif ada keseragaman dari kurikulum-kurikulum Program Studi Ilmu Hukum,kurikulum tersebut tidak memiliki rohatau jiwa seperti kurikulum pendidikanhukum di Amerika Serikat. Akibatnyalagi, pengembangan Ilmu Hukum tidakberjalan secara fungsional karenaterdistorsi oleh bermacam-macamasumsi dan selera. Padahal, seharus-nya, ambang batas minimal dari pen-didikan hukum harus disepakatiterutama: (1) konsep dari gelar aka-demik S.H.; (2) tujuan pendidikanhukum; (3) capaian pembelajaran daripendidikan hukum. Kondisi kita diper-parah dengan tuntutan akreditasiyang bersifat generalis yang justrutidak mampu memperkuat sistem

Page 4: KARAKTER ILMU HUKUM: PENDEKATAN FUNGSIONAL …

REFLEKSI HUKUM194 [Vol. 1, No. 2

pendidikan hukum serta pengembanganIlmu Hukum.

Menyimak deskripsi dari capaianpembelajaran yang dirumuskan ABAsebagai standar untuk akreditasi lawschool di Amerika Serikat maka kitaperlu untuk mengevaluasi dua halsebagaibenchmarking dalam penyusunandan pengembangan kurikulum pendidik-an hukum (dalam hal ini strata satu/untuk gelar akademik S.H.) dikaitkandengan Ilmu Hukum yang seyogianyadidiseminasikan. Pertama, beranikahkita, melalui pendidikan hukum yangkita selenggarakan, mencetak yurisatau lawyer, yaitu para “pemainhukum”, bukan “pengamat hukum.”Kedua, beranikah kita memberikanIlmu Hukum yang konsisten dengantuntutan kebutuhan para “pemainhukum” tersebut.

Bagian selanjutnya dari tulisan inihanya akan menyoroti isu yang kedua,terutama menjelaskan konsep IlmuHukum dalam visi pendidikan hukumsebagaimana telah dijelaskan di atas,bukan berdasarkan kondisi yang adapada kita, tetapi berdasarkan proyeksiideal dengan belajar dari pengalamanpendidikan hukum di Amerika Serikatberdasarkan ABA Standards. Penjelas-an tersebut akan bersifat reflektifsebagai bagian dari proses pergumulanbersama untuk mendekati apa yangbiasa kita sebut sebagai “kebenaran”atas pertanyaan bagaimana seyogia-nya Ilmu Hukum tersebut supaya kon-sisten atau sejalan dengan tuntutanfungsional pendidikan hukum.

PEMBAHASAN

Konsep Ilmu Hukum

Masih ada perbedaan pendapatcukup tajam di antara kita tentangkonsep Ilmu Hukum. Perbedaan terjadikarena kita tidak bertolak dari kerangkaanalitis yang disepakati bersamasebagai pra-pemahaman untuk konsepIlmu Hukum, sehingga perbedaanyang terjadi lebih karena soal pilihanselera intelektual masing-masingpribadi. Padahal seharusnya kitamemiliki common baseline untuk konsepIlmu Hukum sehingga orientasi pe-ngembangan Ilmu Hukum dapat lebihterarah. Oleh karena itu, pembahas-an sebelumnya tentang hakikat pen-didikan hukum berfungsi sebagai ke-rangka analitis yang akan saya guna-kan untuk menjelaskan konsep IlmuHukum sesuai yang saya maksudkan.Dengan demikian, konsep Ilmu Hukumyang hendak saya pertahankan me-nganut pendekatan fungsional yangmemposisikan hakikat pendidikanhukum sebagaimana disinggung diatas sebagai dasar tuntutan terhadapIlmu Hukum, yaitu, lebih spesifik lagi,yang menghendaki Ilmu Hukum yangsejalan dengan mission statementpendidikan hukum.

Perdebatan tanpa kerangka analitisyang disepakati bersama justru tidakakan berbuah hasil positif. Sayamencatat, di masa lalu, ada perdebatanyang menarik antara Prof. SatjiptoRahardjo dengan Prof. Sri RejekiHartono tetapi, patut disayangkan,perdebatan tersebut tidak dipertemu-

Page 5: KARAKTER ILMU HUKUM: PENDEKATAN FUNGSIONAL …

KARAKTER ILMU HUKUM 1952017]

kan oleh kerangka analitis yang sama.Prof. Satjipto Rahardjo menggunakanperspektif sosiolog sementara Prof. SriRejeki Hartono menggunakan perspektifyuris. Mengkritik pendidikan hukum,Prof. Satjipto Rahardjo menyatakan:

Optik yang digunakan dalam duniapendidikan hukum, terutama adalahoptik preskriptif. Dengan optik yangdemikian, hukum dilihat sebagai suatusarana yang harus dijalankan. Lembagapendidikan yang menggunakan optik iniakan mengajarkan kepada mahasis-wanya keterampilan tentang bagaimanamenguasai sarana itu dan bagaimanapula menggunakannya. Hal ini berartibahwa pendidikan hukum kita tidakmendidik mereka untuk benar-benardan sistematis mengkaji hukumsebagai suatu sarana pengatur dalammasyarakat, melainkan hanya tentangbagaimana menjalankan hukum itudengan benar. Secara singkat bisadikatakan bahwa keterampilan yangdiajarkan adalah keterampilan tentangtukang atau craftsmanship.1

Sementara Prof. Sri Rejeki Hartonoberpandangan sebaliknya:

Saya sangat berkeberatan denganpernyataan tersebut yang terasa sangatsederhana bahwa sarjana hukumsekadar tukang membuat surat: gugat-an, dakwaan, pembelaan, permohonan,dan seterusnya. Masalahnya adalah,bahwa seharusnya mahasiswa tidakdilatih untuk sekadar membuat surat/dokumen saja, tetapi seharusnyamahasiswa dilatih untuk beradu argu-mentasi yang benar dan sah, adil dantidak adil, patut dan tidak patut menge-nai isi surat-surat tersebut. Surat-suratdokumen tersebut pada dasarnya me-ngandung banyak hal yang menyangkutharkat, martabat, status, tetapi juga

hak dan kewajiban dari semua kepen-tingan manusia pada satu kontekstertentu.2

Dua pandangan di atas menggam-barkan perdebatan mengenai idealdari kegiatan mempelajari hukum.Pandangan Prof. Satjipto Rahardjomerupakan ekspresi rasa tidak puasterhadap Ilmu Hukum yang hanya“membicarakan Hukum”; sementarapandangan Prof. Sri Rejeki Hartonokebalikannya, memberikan pembela-an bahwa Ilmu Hukum tidak sepertiyang dikritik oleh Prof. Satjipto Rahar-djo sebagai kegiatan “pertukangan”,tetapi ilmu yang sarat nilai dalammembicarakan Hukum meskipuntampil dalam wujud surat-surat ataudokumen-dokumen yuridis. Perbedaanpendapat tersebut merupakan kenis-cayaan karena keduanya bertolak daripra-pemahaman yang berbeda tentangkonsep Ilmu Hukum.

Perdebatan tersebut, secara kon-septual, mewakili perbedaan pendiri-an antara posisi pengamat (eksternal)dengan posisi peserta atau pemain(internal) dalam kegiatan mempelajarihukum. Dua posisi itu seyogianyadipisahkan secara tegas, termasukproses pengembangan keilmuannyakarena para pelakunya menyandangidentitas berbeda: penganut posisieksternal adalah golongan ilmuwanhukum (legal scientist), sedangkanpenganut posisi internal adalah go-

1 Pidato Pengukuhan Penerimaan Jabatan sebagai Guru Besar Tetap dalam Mata Kuliah SosiologiHukum pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang (13 Desember 1980) sebagaimanadikutip dalam Khudzaifah Dimyati, Teorisasi Hukum (Muhammadiyah University Press 2004) 210-211.

2 Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar di dalam Hukum Dagang pada Fakultas Hukum UniversitasDiponegoro Semarang (18 Desember 1995) sebagaimana dikutip dalam Ibid. 213.

Page 6: KARAKTER ILMU HUKUM: PENDEKATAN FUNGSIONAL …

REFLEKSI HUKUM196 [Vol. 1, No. 2

longan ahli hukum (jurist). Hal ikhwalperbedaan tersebut dijelaskan secarajernih oleh A.H. de Wild yang meng-klarifikasi perbedaan jalur pendidikanhukum antara yang bersifat keilmuandengan keahlian. A.H. de Wild me-ngatakan: “Menyatakan hukum ataumenetapkan putusan hukum (rech-spreken) adalah satu hal, membicara-kan tentang hukum (spreken overrecht) adalah hal lain. Hal sibuk denganhukum adalah sesuatu yang lain dari halmempelajari (menstudi) kegiatan ataukesibukan itu (kursif – saya).”3

Pernyataan di atas, terkait denganragam kegiatan dalam mempelajarihukum, bersifat self-evident. Artinya,kegiatan mempelajari hukum memangdapat dilakukan dengan banyak pers-pektif dan dengan konsep tentanghukum yang berbeda-beda. Oleh kare-na itu, untuk fungsionalitas denganpenyelenggaraan pendidikan hukum,pertanyaan yang mutlak harus dija-wab ialah kegiatan mempelajari hukummacam apakah yang seyogianya kitalakukan. Itulah yang di sini kita sebutsebagai Ilmu Hukum yang sebenarnya(yang dipelajari dari posisi internal).

Posisi internal di sini menguruskegiatan menyatakan hukum (recht-spreken); sementara posisi eksternalmemiliki kegiatan mempelajari kegiatanorang yang menyatakan hukum ter-sebut. Penjelasan ini, untuk mudahnya,analog dengan pertandingan sepak

bola: ada pemain di lapangan yangmenggulirkan bola dan ada komentatordi luar lapangan yang mengomentaribagaimana para pemain tersebutmenggulirkan bola. Menjelaskan lebihlanjut tentang posisi eksternal versusinternal, A.H. de Wild mengemukakanbahwa posisi eksternal adalah titikberdiri dari orang yang memaparkan,menjelaskan dan/atau mengevaluasisesuatu yang terjadi dalam sistemhukum. Sementara posisi internaladalah titik berdiri dari ahli hukum(de rechtsgeleerde; yuris) yang mengem-ban tugas untuk ikut serta dalamproses pembentukan hukum, meski-pun dengan cara kurang langsung se-perti pada diri hakim. Sudut pandangeksternal adalah titik berdiri dariilmuwan hukum (rechtswetenschapper)seperti sosiolog hukum atau psikologhukum yang mempelajari bagaimanaorang-orang lain membentuk hukum,apa dampaknya, dan sebagainya.Ilmuwan hukum berkarya tidak dalamkonteks normatif; kaidah dan putusanhukum bukan merupakan pedomanatau argumen untuk kegiatan ilmiahmereka. Hal ini berkebalikan denganyuris yang menjadikan kaidah danputusan hukum sebagai pedomanatau argumen bagi kegiatannya.4

Dengan demikian, manakala posisieksternal melakukan kritik tentangbagaimana seyogianya posisi internalberkegiatan dengan hukum (Ilmu

3 A.H. de Wild, ‘Pendidikan Hukum Antara Ilmu dan Profesi’ (terjemahan oleh B. Arief Sidharta)dalam Jurnal Hukum Pro Justitia (1994) sebagaimana dikutip dalam Titon Slamet Kurnia, SistemHukum Indonesia: Sebuah Pemahaman Awal (CV. Mandar Maju 2016) 98.

4 A.H. de Wild, parafrase dalam Ibid. 99.

Page 7: KARAKTER ILMU HUKUM: PENDEKATAN FUNGSIONAL …

KARAKTER ILMU HUKUM 1972017]

Hukum) seperti yang sudah biasadilakukan maka kritik tersebut tidaktepat sasaran karena memaksakanukuran baju sendiri untuk badanorang lain. Berbeda halnya jika prosesdan produk dari kegiatan dalam posisiinternal itu dikritik sendiri olehmereka yang berada atau mengguna-kan posisi internal. Inilah diskursushukum yang sehat yang hasilnya akanmampu memperkaya Ilmu Hukumsendiri. Ini seperti Hart yang berdebatdengan Fuller; atau Hart denganDworkin; atau kelompok yuris realis(Oliver Wendell Holmes cs.) yang ber-debat dengan koleganya kaum yurisformalis di Amerika Serikat (Christo-pher C. Landell cs.).

Salah paham yang selama inisering ditujukan terhadap Ilmu Hukumialah kritik bahwa kegiatannya olehpara yuris lebih didominasi sikappositivistik atau legalistik. Pengaso-siasian bahwa yuris dalam mempe-lajari (dan menggunakan) Ilmu Hukumcenderung positivistik atau legalistikadalah generalisasi yang kurang paskarena dalam posisi internal sendiri(posisi yuris dalam mempelajari IlmuHukum) ada pendirian yang berbeda-beda dalam kegiatannya membicarakanatau menyatakan hukum: ada yurisyang positivistik dan ada yuris yangtidak positivistik. Yang tidak positivis-

tik ini kegiatannya kurang tereksposkarena selama ini selalu diperten-tangkan bahwa alternatif untuk yangpositivistik adalah dengan studisosiologi hukum dan sosio-legal atauusaha-usaha pengilmiahan lainnyaterhadap Ilmu Hukum.5 Padahal, dalamkompartemen non-positivistik ini parayuris pelakunya sangat banyak, yaitumereka yang menentang legal positivismseperti: Lon L. Fuller, Ronald Dworkin,John Finnis, Robert Alexy, dll. (yangpaling terkenal tentu saja adalahGustav Radbruch yang secara terang-terangan menanggalkan ajaran LegalPositivism pasca Perang Dunia II denganmengambil jalur Filsafat Hukum yanglebih dekat kepada St. Augustine c.q.Thomas Aquinas).6

Posisi non-positivistik ini dalamstudi Teori dan Filsafat Hukum sebe-narnya sudah memiliki label yang dise-but “NORMATIF” (normative jurisprudence).Hanya karena konsep ini jumbuhdengan konsep “normatif” yang biasadigunakan untuk menyerang pengem-bangan Ilmu Hukum yang dilakukansecara positivistik maka konsep“NORMATIF” yang ini kurang berkem-bang di Indonesia.7 Padahal kata“NORMATIF” di sini justru adalah konsepyang memiliki konotasi positif, ber-beda dengan kata ‘normatif’ yang telahlazim digunakan (yang memiliki kono-

5 Padahal sejatinya, Filsafat Ilmu untuk rumpun ilmu-ilmu empiris seperti Sosiologi Hukumadalah positivisme juga.

6 Lihat: Gustav Radbruch, ‘Statutory Lawlessness and Supra-Statutory Law (1946)’ (2006) 26Oxford Journal of Legal Studies 1, 1-11; Gustav Radbruch, ‘Five Minutes of Legal Philosophy(1945)’ (2006) 26 Oxford Journal of Legal Studies 13, 13-15.

7 Lihat secara khusus Robin West, Normative Jurisprudence: An Introduction (Cambridge UniversityPress 2011). Lihat juga Joseph William Singer, ‘Normative Methods for Lawyer’ (2009) 56UCLALaw Review 899, 899-982.

Page 8: KARAKTER ILMU HUKUM: PENDEKATAN FUNGSIONAL …

REFLEKSI HUKUM198 [Vol. 1, No. 2

tasi negatif sebagai segala hal yangmenurut sifatnya positivistik bahkanlegalistik).

Kembali pada tema pembahasanbagian ini tentang konsep Ilmu Hukummaka konsep ini cakupannya tidakseluas seperti yang selama ini dipa-hami sebagai ilmu-ilmu yang mem-pelajari hukum dalam berbagai macammanifestasi konseptualnya (GustavRadbruch secara tepat memberikanpredikat untuk ilmu-ilmu tersebutdengan konsep sciences concerned withlaw – yang nota bene bukan Ilmu Hukumyang sebenarnya). Konsep Ilmu Hukumyang saya maksudkan adalah ilmu yangmempelajari hukum sebagai perangkatnorma/kaidah (normative statements;norms). Ilmu Hukum ini dalam pandanganRadbruch memiliki pengertian “thescience concerned with the objectivemeaning of positive legal orders.”8 Akantetapi saya tidak sepenuhnya setujudengan pendapat tersebut. Hal ituakan saya jelaskan lebih lanjut dalamparagraf-paragraf di bawah.

Ilmu Hukum yang merupakanbagian inti atau tulang punggung daripendidikan hukum dalam bahasaInggris disebut Doctrinal Study of Law(Dogmatika Hukum atau Legal Dogmatics)sebagai salah satu bidang dari IlmuHukum yang lebih luas yaitu Juris-prudence bersama-sama dengan TeoriHukum (Legal Theory) dan FilsafatHukum (Legal Philosophy). DoctrinalStudy of Law adalah Ilmu Hukum paling

tua dengan bidang kajiannya: “(1)produce information about the law and (2)systematise the legal norms.”9 Pada titikini, apa yang dimaksudkan denganDoctrinal Study of Law telah self-evidentdan seharusnya tidak membingungkankita karena itu adalah yang sehari-hari kita geluti.

Perhatian utama Doctrinal Study ofLaw berkaitan dengan preskripsi hukumsecara langsung yaitu ketentuanhukum yang dapat diberlakukan untuksuatu isu hukum tertentu. Dalamwujudnya yang konkret, dalam kuri-kulum hukum, Doctrinal Study of Laweksis dengan sangat dominan dalampenamaan mata kuliah-mata kuliahhukum, yaitu: “Hukum ...” (HukumPidana, Hukum Perdata, Hukum TataNegara, Hukum Internasional dst.)atau “... Law” (Criminal Law, Private Law,Constitusional Law, International Lawdst.).

Sementara persoalan yang diurusoleh Teori Hukum dan Filsafat Hukumtidak demikian adanya, tetapi refleksiteoretis atau refleksi filosofis mengenaihukum; bukan menyoal tentang keten-tuan hukum spesifik (principles danrules) yang relevan untuk menjawabsuatu isu hukum tertentu. Satu contohmenarik adalah kasus Riggs v. Palmer(1889) yang dijadikan sebagai ancangandalam mendiskusikan Teori Hukumdan Filsafat Hukum. Kasus Riggs v.Palmer pada hakikatnya adalah kasushukum biasa tetapi diputuskan secara

8 Sebagaimana dikutip dalam B. Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum (CV. MandarMaju 2000) 120.

9 Aulis Aarnio, Essays on the Doctrinal Study of Law (Springer 2011) 19.

Page 9: KARAKTER ILMU HUKUM: PENDEKATAN FUNGSIONAL …

KARAKTER ILMU HUKUM 1992017]

menarik dan kreatif karena dalamkasus tersebut undang-undang yangberlaku tidak memberikan preskripsisecara eksplisit. Atas dasar kasusRiggs v. Palmer tersebut kemudian ber-kembang teoresasi pemikiran hukumyang dilakukan Ronald Dworkin baikpada tataran Teori Hukum (menjelas-kan teori tentang interpretasi hukum)maupun pada tataran Filsafat Hukum(menjelaskan teori tentang ontologihukum), khususnya untuk secaraspesifik menunjukkan adanya suatuspesies dari normative statements yaitulegal principles, tidak hanya legal rulesseperti konsep ontologis hukum daripositivis.10 Berdasarkan kasus tersebutkita dapat berteori secara a posterioribahwa memutuskan berdasarkanhukum tidak selalu akan sama denganmemutuskan berdasarkan undang-undang (secara eksklusif).

Keadaan sebaliknya juga mungkinterjadi dalam hal seorang ahli hukumatau yuris membicarakan hukum(Doctrinal Study of Law) tetapi tanpasadar bahwa pembicaraannya berangkatdari atau dipengaruhi oleh pemikiranFilsafat Hukum tertentu. Hal ini dije-laskan oleh Carl Joachim Friedrichberikut ini: “If positivists, pragmatistsand formalists at times speak of the lawas if it existed in a vacuum, unrelated tovalues, opinions, or beliefs, this sort ofviewpoint implies actually a philosophicalposition of sorts.”11 Jadi, meskipunbermaksud menghindari diskusi filsafati,

tetapi pembicaraan demikian (baca:pembicaraan hukum yang bebas nilai)sesungguhnya tidak dapat membebas-kan diri dari pengaruh kekuatan pe-mikiran Filsafat Hukum tertentu padaseorang ahli hukum, sebuah situasiyang sebenarnya secara sadar justruingin dihindarinya. Setidaknya ahlihukum yang bersangkutan akan dicapsebagai legalis atau positivis yangmenunjukkan pengaruh ajaran FilsafatHukum Legal Positivism dalam mem-bentuk konsepsinya tentang hukum(yaitu yang bebas nilai).

Dalam pengertian demikian, ideal-nya, ke depannya nanti, untuk menja-di seorang ahli hukum yang mumpuni,seorang Sarjana Hukum hendaknyatidak hanya menguasai Doctrinal Studyof Law, tetapi juga terlibat dalampengembangan pemikiran di bidangTeori Hukum dan Filsafat Hukum,setidaknya sebagai konsumen (danakan lebih bermakna jika mampu ber-tindak selaku produsen). Hal itu karenakegiatan memutuskan sebuah kasushukum tidak selamanya berhadapandengan kasus-kasus mudah, yaitukasus yang dapat dipecahkan denganteknik justifikasi secara sederhanadengan mengandalkan preskripsi ke-tentuan hukum dari undang-undang.Kasus-kasus sulit (hard cases), yaitukasus-kasus di mana peraturan pe-rundang-undangan tidak memberikanpreskripsi secara eksplisit sebagaidasar penyelesaian, menuntut pe-

10 Ronald Dworkin, Taking Rights Seriously (Harvard University Press 1978) 23.11 Carl Joachim Friedrich, The Philosophy of Law in Historical Perspective (The University of Chicago

Press 1969) 3.

Page 10: KARAKTER ILMU HUKUM: PENDEKATAN FUNGSIONAL …

REFLEKSI HUKUM200 [Vol. 1, No. 2

nguasaan Teori Hukum dan FilsafatHukum, yang jauh melampaui pe-nguasaan standar atas Doctrinal Studyof Law dalam rangka legal problemssolving-nya.

Mendefinisikan Teori Hukum

Bidang kajian untuk ditanganioleh Teori Hukum amat luas, tetapiyang jelas dia tidak berbicara tentangpreskripsi yang diberikan ketentuanhukum secara langsung walaupunpreskripsinya dapat menghasilkansuatu ketentuan hukum. Upaya men-definisikan Teori Hukum yang sebe-narnya tentu harus dapat dibedakansecara tajam dengan Filsafat Hukumwalaupun seseorang yang tengah ber-bicara tentang Teori Hukum tersebutpada hakikatnya tidak dapat melepas-kan diri dari alam pikiran FilsafatHukum tertentu.

Berikut adalah contoh pernyataanatau proposisi yang menggambarkankegiatan dalam ranah Teori Hukum:“The Pure Theory of Law is a theory ofpositive law. It is a theory of positive lawin general, not of a specific legal order. Itis a general theory of law, not aninterpretation of specific national orinternational legal norms; but it offers atheory of interpretation.”12 Pernyataan diatas adalah mission statement daribuku yang ditulis oleh Hans Kelsenberjudul The Pure Theory of Law.Pernyataan di atas menggambarkansecara spesifik bahwa Kelsen tengahmelakukan kegiatan intelektual di

ranah Teori Hukum, bukan di ranahDoctrinal Study of Law karena Kelsensama sekali tidak tengah berbicaratentang “specific legal order” maupun“interpretation of specific national orinternational legal norms.”

Akan tetapi, sebagai kegiatan diranah Teori Hukum, Kelsen tetaptidak dapat melepaskan diri dari alampikiran Filsafat Hukum. Ajaran FilsafatHukum a priori yang hendak diperta-hankan Kelsen melalui produk TeoriHukumnya adalah Legal Positivism. Halitu nampak dalam pernyataan Kelsenyang selanjutnya:

The theory attempts to answer thequestion what and how the law is, nothow it ought to be. It is a science of law(jurisprudence), not legal politics. It iscalled a “pure” theory of law, because itonly describes the law and attempts toeliminate from the object of this descriptioneverything that is not strictly law: Its aimis to free the science of law from alienelements. This is the methodological basisof the theory.13

Meskipun hanya akan berbicaratentang Teori Hukum, tetapi Kelsensekaligus juga mengemukakan pendi-rian (standpoint) Filsafat Hukum-nyalewat pernyataan di atas (yaitu FilsafatHukum Legal Positivism). Lebih lanjut,kegiatan “describes the law” tidakdengan maksud untuk menyatakanketentuan hukum spesifik sepertiketentuan Hukum Pidana (atau bidanghukum lain) yang berlaku di negaratertentu, tetapi mendeskripsikan ciri-ciri umum yang sama dari semuafenomena yang disebut atau dikenali

12 Hans Kelsen, The Pure Theory of Law (California University Press 1967) 1.13 Ibid.

Page 11: KARAKTER ILMU HUKUM: PENDEKATAN FUNGSIONAL …

KARAKTER ILMU HUKUM 2012017]

sebagai HUKUM. Fenomena yangdisebut sebagai HUKUM dalam versiKelsen, karena dipengaruhi oleh ajaranLegal Positivism, dibatasi hanya sebagai“hukum yang ada” (law as it is), bukan“hukum yang ideal atau yang seharus-nya” (law as it ought to be). Posisi demikiannampak lebih jelas dalam karyanyayang lain yaitu General Theory of Lawand State. Kelsen memberikan missionstatement untuk karyanya tersebutsebagai berikut:

The theory which will be expounded inthe main part of this book is a generaltheory of positive law. Positive law isalways the law of definite community: thelaw of the United States, the law of France,Mexican law, international law. To attaina scientific exposition of those particularlegal orders constituting the correspondinglegal communities is the design of thegeneral theory of law here set forth. Thistheory, resulting from a comparativeanalysis of different positive legal orders,furnishes the fundamental concepts bywhich the positive law of a definite legalcommunity can be described. The subjectmatter of a general theory of law is thelegal norms, their elements, theirinterrelation, the legal order as a whole,its structure, the relationship betweendifferent legal orders, and, finally, theunity of the law in the plurality of positivelegal orders.14

Pernyataan Kelsen di atas menariksebagai bentuk penjelasannya atasmission statement dari kegiatan inte-lektual dalam rangka Teori Hukum,yaitu sebagai “teori umum” dari “hukumpositif”. Dalam deskripsi Kelsententang mission statement Teori Hukum,bidang kajian yang diurus adalah legal

concepts (konsep-konsep yuridis), yaitukonsep-konsep yang digunakan dalammembicarakan hukum secara umum,dalam hal ini sebagai kosakata hukumyang utama sebagai pra-pemahamanbagi upaya setiap orang untuk mema-hami ketentuan hukum yang spesifikserta sebelum hukum menyatakanpreskripsinya dalam bentuk normaatau kaidah, yaitu sebagai principlesdan rules, konsep-konsep yuridistersebut sangat penting secara a priori.Mengacu pada pendapat Kelsen ter-sebut maka mulai nampak jelas batas-an dari kegiatan intelektual di bidangTeori Hukum meskipun baru mere-presentasikan sebagian pendapattentang konsep Teori Hukum itusendiri.

Namun demikian, meskipun setujudengan penjelasan Kelsen tentangruang lingkup dari kegiatan kajianTeori Hukum, saya tidak setuju dengankeyakinan Filsafat Hukum-nya a prioridalam kegiatan ber-Teori Hukumtersebut yang hanya membatasi diripada “teori umum” dari “hukum positif”secara eksklusif dan menganggap hal-hal di luar itu, meskipun secara subs-tansial relevan, bukan hal yang bersi-fat yuridis (not strictly law).15 Hal iniberbeda dengan, misalnya, RonaldDworkin yang ber-Teori Hukum tetapidengan pendirian Filsafat Hukumnon-positivis ketika menggunakanmetafor Law’s Empire:

14 Hans Kelsen, General Theory of Law and State (Russell & Russell 1961) xiii.15 Hal ini sejalan dengan ketidaksetujuan saya terhadap konsep Ilmu Hukum yang dikemukakan

Radbruch yang membatasi diri pada lingkup “the objective meaning of positive legal orders.”

Page 12: KARAKTER ILMU HUKUM: PENDEKATAN FUNGSIONAL …

REFLEKSI HUKUM202 [Vol. 1, No. 2

We live in and by the law. It makes uswhat we are: citizens and employees anddoctors and spouses and people who ownthings. It is sword, shield and menace:we insist on our wage, or refuse to payour rent, or are forced to forfeit penalties,or are closed up in jail, all in the name ofwhat our abstract and ethereal sovereign,the law, has decreed. And we argue aboutwhat it has decreed, even when the booksthat are supposed to record its commandand directions are silent; we act then asif law has muttered its doom, too low tobe heard distinctly. We are subjects oflaw’s empire, liegemen to its methods andideals, bound in the spirit while we debatewhat we must therefore do.16

Secara tersirat, Dworkin padahakikatnya tengah mengemukakanajaran Teori Hukum di bidang TeoriArgumentasi dan Teori Interpretasidengan bertolak dari pra-pemahamanbahwa hukum positif bukan satu-satunya yang hukum sehingga setiaporang dapat tetap mengklaim sebagai“yang hukum” dalam argumentasinyameskipun hukum positifnya tidakmemberikan preskripsi: “... we argueabout what it has decreed, even when thebooks that are supposed to record itscommand and directions are silent; we actthen as if law has muttered its doom, toolow to be heard distinctly.” Penjelasanteoretis demikian tentu tidak akanmemperoleh tempat dalam pendirianLegal Positivism. Secara tidak langsunghal ini menjelaskan posisi Dworkinsebagai filsuf hukum yang pendirian-nya non-positivis.

Filsafat Hukum dan Teori Hukum

Di masa lalu, batas antara TeoriHukum dan Filsafat Hukum kurang

begitu tajam. Posisi demikian, kegiat-an intelektual di bidang Teori Hukum,seringkali ditanggapi dan diperlaku-kan keliru, dikualifikasikan sebagaiFilsafat Hukum. Kondisi ini terjadiketika perbedaan dan pembedaan an-tara Teori Hukum dan Filsafat Hukumbelum sematang sekarang. Hal itutampak dari usaha kalangan akademishukum Amerika Serikat untuk mem-buka diri bagi penyebarluasan pemi-kiran-pemikiran hukum yang dikem-bangkan oleh yuris-yuris Eropa. Proyektersebut mengambil format penerje-mahan dan publikasi pemikiran yuris-yuris Eropa dalam seri publikasi yangdinamakan “20th Century Legal Philo-sophy Series”. Volume I dari seri pe-nerbitan tersebut adalah GeneralTheory of Law and State, salah satukarya monumental Kelsen.

Sebagaimana diinformasikan diatas, General Theory of Law and State(maupun The Pure Theory of Law)hanyalah kegiatan intelektual diranah Teori Hukum. Kelsen mendis-kusikan Filsafat Hukum, dalam halini Filsafat Hukum yang diyakininyasebatas sebagai background untukajaran Teori Hukum-nya. GeneralTheory of Law and State adalah ter-jemahan versi asli dari bahasa Jermansupaya karya dapat diakses olehkalangan pembaca lebih luas sehinggaditerbitkan sebagai bagian dari “20thCentury Legal Philosophy Series”. Klaimdemikian sesungguhnya tidak tepatkarena Kelsen tidak tengah mem-bicarakan Filsafat Hukum. Hal ini

16 Ronald Dworkin, Law’s Empire (The Belknap Press of Harvard University Press 1986) vii.

Page 13: KARAKTER ILMU HUKUM: PENDEKATAN FUNGSIONAL …

KARAKTER ILMU HUKUM 2032017]

berbeda dengan penerbitan karyaGustav Radbruch yang memang tengahberbicara secara spesifik tentangFilsafat Hukum sehingga tepat jikapenerbitan karya Radbruch beradadalam seri penerbitan “20th CenturyLegal Philosophy Series” pada volumenomor IV.17

Dalam kasus ini poin pentinguntuk diperhatikan adalah selainlegal theorist, Kelsen juga seorang legalphilosopher. Tetapi khusus dalamGeneral Theory of Law and State serta ThePure Theory of Law Kelsen lebih domin-an berbicara dan menampilkan dirisebagai legal theorist. Pemikiran FilsafatHukum Kelsen, terutama yang men-dalami dan mengelaborasi ajaran LegalPositivism nampak pada beberapa Babdalam Essays in Legal and MoralPhilosophy, yaitu: What is Justice? sertaLaw and Morality.18

Kasus Kelsen dalam “20th CenturyLegal Philosophy Series” menunjukkanbahwa penerbit kurang cermat, danpresisi, dalam membedakan antaraFilsafat Hukum dan Teori Hukum.Rupanya, pada waktu itu, Teori Hukumsebagai disiplin mandiri belum dikenaldi Amerika Serikat sehingga Komite

Penyunting seri penerbitan tersebutsama sekali tidak menyinggung disiplinyang saat ini lebih dikenal sebagai TeoriHukum ketika menuliskan GeneralIntroduction to the Series. Dalam pe-ngantar umum tersebut, yang menjadiperhatian utama dari seri penerbitanterkait dengan konsep Filsafat Hukumadalah segala pemikiran teoretis danabstrak tentang hukum (baca: tidakmembicarakan hukumnya sendirisecara khusus).19

Klasifikasi tersebut, saat ini, tidaklagi mengandung presisi dengan mulaidapat dibedakannya Teori Hukum danFilsafat Hukum. Namun demikiankebingungan antara Teori Hukum danFilsafat Hukum masih saja berlang-sung. Contoh menarik terjadi pada duabuku teks yang ditulis oleh Ian McLeodyaitu Legal Theory20 dan Legal Method.21

Legal Theory yang dimaksudkan olehMcLeod pada hakikatnya lebih dekatsebagai literatur pengantar untukFilsafat Hukum ketimbang Teori Hukum(sesuai terjemahan harafiah dari judul-nya). Sementara Legal Method justrulebih dekat sebagai Teori Hukum yangsebenarnya.

17 Kurt Wilk, ed., The Legal Philosophies of Lask, Radbruch and Dabin (Harvard University Press1950)43-224 (khusus untuk karya Gustav Radbruch). Penerbitan seri “20th Century Legal PhilosophySeries“ dilakukan dibawah Editorial Committee yang berasal dari Association of American LawSchools. Editor buku inipun sebenarnya keliru ketika memasukkan karya Jean Dabin yangnotabene sama seperti General Theory of Law and State karya Kelsen yang merupakan kajianTeori Hukum. Kekeliruan ini lebih fatal karena diberikan judul besar “The Legal Philosophies ofLask, Radbruch and Dabin“. Sementara karya Dabin sendiri berjudul General Theory of Law 227-470. Memang, unsur kajian Filsafat Hukum dalam karya Dabin muncul pada Part III dari karyatersebut dengan judul “Natural Law, Justice and the Legal Rule“ 416-470.

18 Hans Kelsen, Essays in Legal and Moral Philosophy (D. Reidel Publishing Co. 1973) 1-26 & 83-4.19 Hans Kelsen, General ... Op.Cit., vii-xii; Kurt Wilk, ed., Op.Cit., vii-xii.20 Ian McLeod, Legal Theory (Palgrave 2003).21 Ian McLeod, Legal Method (MacMillan 1999).

Page 14: KARAKTER ILMU HUKUM: PENDEKATAN FUNGSIONAL …

REFLEKSI HUKUM204 [Vol. 1, No. 2

Secara garis besar, Filsafat Hukummemiliki mission statement yang ber-dekatan dengan Teori Hukum, yaitukegiatan intelektual dalam membi-carakan hukum secara tidak langsung.Jaap Hage menyatakan: “Philosophyof law is a branch of philosophy and,more in particular, the branch that dealswith philosophical questions about law.”22

Filsafat Hukum memiliki tanggungjawab untuk melakukan refleksi filo-sofis atas hukum. Pertanyaan-perta-nyaan filosofis mengenai hukum yangharus dijawab oleh Filsafat Hukumadalah wilayah yang jauh lebih abstrakdan fundamental ketimbang yangmenjadi pertanyaan untuk Teori Hukum.Jaap Hage memberikan contoh perta-nyaan-pertanyaan filosofis mengenaihukum tersebut yaitu: “how punishingcriminals can be justified; what theessence of the rule of law is; whetherhuman rights would still exist if they werenot included in a statute or treaty; whycontracts are binding; what the nature oflaw is.”23

Melihat pengertian di atas dapatdisimpulkan bahwa ranah eksplorasidan eksplanasi dari Teori Hukum lebihterbatas jika dibandingkan denganFilsafat Hukum. Filsafat Hukum, seba-gai filsafat, tentunya mengejar pema-haman atau pengertian yang jauhlebih dalam dibandingkan denganTeori Hukum. Dalam pengertian demi-kian pandangan Friedrich tentang

konsep Filsafat Hukum sangat tepat:“Every philosophy of law is part of aparticular general philosophy, for it offersphilosophical reflections upon the generalfoundation of law.”24 Dengan melihatpokok persoalan yang hendak ditanganimaka batasan antara Teori Hukumdengan Filsafat Hukum, menuruthemat saya, menjadi lebih jelas.

Bentuk-bentuk kegiatan intelektualyang di ranah Teori Hukum sangatberagam. Oleh karena itu upaya untukmemahaminya akan lebih baik jikadigambarkan berdasarkan stock ofknowledge yang telah diproduksi,ketimbang secara ketat membuatrumusan terlebih dahulu atas apakahseharusnya kegiatan Teori Hukumtersebut. Sejalan dengan itu, padabagian-bagian selanjutnya, saya akanmenggunakan teknik tersebut untuk“membumikan” konsep Teori Hukumdengan menelaah secara singkat danterbatas kegiatan intelektual yangmemenuhi kriteria sebagai Teori Hukum,tentunya setelah terlebih dahulumenentukan kriteria produknya ber-dasarkan pemahaman yang sudahmulai terbentuk pada sub-judul se-belumnya di atas.

Berdasarkan produknya, jeniskegiatan intelektual yang dinamakanTeori Hukum ini sangat kaya. Akantetapi, jenis-jenis kegiatan intelektualatas nama Teori Hukum tersebut masihdapat diklasifikasikan secara lebih

22 Jaap Hage, ‘Philosophy of Law’ dalam Jaap Hage & Bram Akkermans, eds., Introduction to Law(Springer 2014) 313.

23 Ibid.24 Carl Joachim Friedrich, Loc.Cit.

Page 15: KARAKTER ILMU HUKUM: PENDEKATAN FUNGSIONAL …

KARAKTER ILMU HUKUM 2052017]

konkret dalam beberapa kegiatan.Pertama, kegiatan yang bersifat ana-litik. Kedua, kegiatan untuk mengem-bangkan ajaran Filsafat Ilmu dari IlmuHukum, khususnya dalam memper-tahankan klaim bahwa Ilmu Hukumadalah Ilmu. Ketiga, kegiatan untukmengembangkan metode yuridis (legalmethod) tertentu seperti: Teori Argu-mentasi Yuridis, Teori InterpretasiYuridis, Teori Legislasi, Teori Ajudi-kasi, Logika Yuridis dan BahasaHukum. Selain teori umum, dewasaini juga berkembang Teori-teoriHukum khusus untuk bidang hukumtertentu seperti Teori Hukum Pidanayang menyoroti isu tentang krimi-nalisasi, Teori Konstitusi yang menyo-roti isu tentang interpretasi konsti-tusi, dan masih banyak lagi.25

Teori Hukum di ranah analitiksangat penting karena berkaitan de-ngan pengembangan kosa kata-kosakata hukum yang spesifik sehinggajenis kegiatan ini memiliki kadarrelevansi paling tinggi setidaknyadikaitkan dengan kebutuhan secaralangsung untuk menunjang praktikhukum. Penyelidikan secara menda-lam konsep-konsep yuridis akan ber-kontribusi langsung pada bangunan

dari hukum itu sendiri karena hukum,sebagai rangkaian preskripsi, perludikomunikasikan. Proses tersebutsalah satunya bergantung pada pema-haman mengenai kosa katanya yangdigunakan dalam perumusan pre-skripsi hukum berupa normativestatements apakah berupa principlesatau rules. Salah satu bentuk kegiatan-nya adalah pengembangan studi teo-retis-konseptual untuk melakukaneksplanasi terhadap konsep-konsepyuridis yang ada (dan sudah menjadikonsep yang umum) atau bahkanmenghasilkan konsep-konsep yuridisbaru yang sangat dibutuhkan untukpraktik hukum baik legislasi maupunajudikasi.

Berikut beberapa contoh yang me-representasikan kegiatan TeoriHukum yang bersifat analitik. Pertama,pentingnya fungsi asas atau prinsiphukum dalam ajudikasi seperti yangdikemukakan oleh Dworkin.26 Contohlainnya adalah pengertian dari konsephak seperti dikemukakan oleh WesleyN. Hohfeld dengan melakukan abstraksiatas penggunaan konsep tersebutdalam praktik ajudikasi yang lazimdilakukan.27 Juga Humberto Avilayang secara spesifik menelaah konsep

25 Ronald Dworkin, Freedom’s Law: The Moral Reading of American Constitution (Oxford UniversityPress 1996); Nina Persak, Criminalising Harmful Conduct: The Harm Principle, Its Limit and ContinentalCounterparts (Springer 2007).

26 Lihat Ronald Dworkin, ‘Hard Cases’ (1975) 88 Harvard Law Review 1057, 1057-1109. Artikel inimerupakan revisi orasi Ronald Dworkin dalam pengukuhan sebagai Profesor di Oxford University(Juni 1971) menggantikan H.L.A. Hart yang dipenuhi oleh kritik Dworkin terhadap pendahulunyatersebut (walaupun di bagian awal dipenuhi dengan ungkapan puja puji yang takzim kepada Hart)1057-1058. Artikel ini berbicara tentang Teori Ajudikasi dengan background Filsafat Hukum non-positivis.

27 Wesley N. Hohfeld, ‘Some Fundamental Legal Conceptions as Applied in Judicial Reasoning’(1913) 23 Yale Law Journal16, 16-59 dan Wesley N. Hohfeld, ‘Fundamental Legal Conceptions asApllied in Judicial Reasoning’(1917) 26Yale Law Journal 710, 710-770.

Page 16: KARAKTER ILMU HUKUM: PENDEKATAN FUNGSIONAL …

REFLEKSI HUKUM206 [Vol. 1, No. 2

asas atau prinsip hukum, terutamauntuk membedakannya secara tajamdengan aturan hukum (rules) yangsama-sama mengandung preskripsi.28

Teori Hukum di ranah metodeyuridis antara lain nampak dalamcontoh-contoh berikut. Neil MacCormickyang menulis tentang Teori Argumen-tasi Hukum.29 Sebuah survei kompre-hensif tentang Teori-teori Argumen-tasi Hukum yang dikembangkan olehpara legal theorist dilakukan olehEveline T. Feteris yang antara lainmengkaji Teori Argumentasi Hukumyang dikemukakan oleh StephenToulmin, Chaim Perelman, JurgenHabermas, Neil MacCormick, RobertAlexy, Aulis Aarnio dan AleksanderPeczenik.30 Aharon Barak yang menu-lis tentang teori interpretasi purposifdan kemudian mengargumentasi untukmempertahankan pentingnya metodeinterpretasi tersebut.31 Brian G. Slocum,kebalikannya Barak, menulis tentangpentingnya interpretasi yuridis terhadapketentuan hukum dilakukan menurutmakna yang biasa digunakan sehari-hari.32

Sementara di ranah ajaran FilsafatIlmu dari Ilmu Hukum nampak dariupaya Paul Scholten dalam memper-

tahankan pendirian bahwa Ilmu Hukumadalah ilmu pada tahun 1942 dalampertemuan yang diselenggarakan olehKoninklijke Nederlandsche Akademie vanWetenschappen, semacam LIPI kalaudi Indonesia.33 Pada kesempatan ituScholten bereaksi terhadap KoninklijkeNederlandsche Akademie van Weten-schappen yang tidak memberi tempatpada Ilmu Hukum.34 Pembahasantentang sifat keilmuan dari IlmuHukum juga diberikan oleh H. Ph.Visser ‘tHooft.35

PENUTUP

Pengembangan Ilmu Hukum diIndonesia saat ini ibarat harus mele-wati jalan panjang, terjal dan penuhliku. Penguasaan Ilmu Hukum yangpararel dengan tuntutan pendidikanhukum seperti tergambar dalam sistempendidikan hukum di Amerika Serikatmasih jauh panggang dari api. Kitaterlampau asyik bergulat dengan seleraintelektual pribadi tetapi melupakanhakikat paling hakiki dari pendidikanhukum yang capaian pembelajarannyatelah dirumuskan oleh ABA Standardsdi atas. Pengembangan Ilmu Hukumyang tidak memperhatikan capaianpembelajaran dalam pendidikan hukum

28 Humberto Avila, Theory of Legal Principles (Springer 2007).29 Neil MacCormick, Legal Reasoning and Legal Theory (Clarendon Press 1978).30 Eveline T. Feteris, Fundamentals of Legal Argumentation: A Survey of Theories on the Justification of

Judicial Decisions (Springer 1999).31 Aharon Barak, Purposive Interpretation in Law (Princeton University Press 2005).32 Brian G. Slocum, Ordinary Meaning: A Theory of the Most Fundamental Principle of Legal Interpretation

(The University of Chicago Press 2015).33 Paul Scholten, Struktur Ilmu Hukum (PT. Alumni 2003). Merupakan hasil terjemahan yang dilakukan

oleh B. Arief Sidharta dari judul aslinya De Structuur der Rechtswetenschap.34 Ibid.,v-vi.35 H. Ph. Visser ‘tHooft, Filsafat Ilmu Hukum (Universitas Brawijaya Press 2014). Merupakan hasil

terjemahan yang dilakukan oleh B. Arief Sidharta dari judul aslinya Filosofie van de Rechtswetenschap.

Page 17: KARAKTER ILMU HUKUM: PENDEKATAN FUNGSIONAL …

KARAKTER ILMU HUKUM 2072017]

sebagaimana dirumuskan ABA Stan-dards dapat menggiring lulusan menu-ju ke arah fatamorgana di mana bekalkeahlian yang diperoleh lulusan ter-nyata tidak berbanding lurus dengantuntutan yang melekat pada gelarakademiknya, terutama menghadapipasar dunia kerja yang terlanjurmencurahkan ekspektasi sangat tinggibahwa para Sarjana Hukum benar-benar memiliki keahlian hukumsesuai gelar akademik yang disandang.

Ke depan, fenomena demikian harussegera diatasi, terutama terkait dengankebutuhan penyediaan tenaga-tenagaahli hukum yang cakap untuk berpar-tisipasi secara luas dalam pasar per-dagangan jasa internasional di bidanghukum. Kegagalan kita mempersiap-kan para lulusan dengan penguasaanIlmu Hukum yang mumpuni dansesuai dengan kebutuhan kerja mere-ka dapat mengakibatkan para lulusankita tersisih dari pasar kerja sangatpotensial tersebut. Saat ini, jikadiikuti secara konsisten, kebijakanpemerintah di bidang pendidikantinggi dapat berdampak membahaya-kan bagi pendidikan hukum itu sendiri,terutama karena kebijakan tersebuttidak konsisten dengan spirit sistempendidikan hukum sebagaimana telahdijelaskan pada bagian Pendahuluantulisan ini.

Bahaya yang saya maksudkanadalah upaya pemerintah untuk men-dorong program pendidikan magisterdan doktoral supaya kegiatan peneli-

tiannya mengarah pada penelitianinterdisipliner, multi-disipliner, bahkantransdisipliner (lihat Lampiran Permen-ristekdikti No. 44 Tahun 2015 tentangStandar Nasional Perguruan Tinggi).Upaya ini dapat membahayakan pen-didikan hukum karena berpotensimengarahkan lahirnya spesialisasi-spesialisasi baru tetapi tidak lagibersifat hukum (extra-legal discipline).Kekhawatiran demikian sudah diseru-kan pada tahun 1980-an oleh KazimierzOpalek yang menyatakan keprihatinanterkait dengan perubahan jati diriseorang yuris yang menggumuli bidang-bidang non-hukum dalam karierintelektual-nya: “the concentration ofefforts on certain extra-legal disciplinemay lead up to the change of the focus ofinterest, and effect to the transformationof jurist into a logician, philosopher, or asociologist.”36 Kerugian terbesar yangharus kita tanggung adalah perubahanidentitas dari seorang Sarjana Hukumyang tidak mampu menampilkan dirisebagai yuris yang menguasai IlmuHukum.

Kondisi demikian berbeda 180derajat dengan di Amerika Serikat.Studi-studi sosio-legal sebagai studihukum secara interdisipliner memangmampu berkembang pesat di sanakarena pada hakikatnya didorong olehsistem pendidikan hukumnya yangberjenjang graduate study, bukanundergraduate study. Artinya, untukmenjadi mahasiswa hukum, seseorangharus minimal sudah bergelar sarjana

36 Kazimierz Opalek, ‘Integration Between Legal Research and Social Science’ dalam AleksanderPeczenik, et.al., eds. Theory of Legal Science (D. Reidel Publishing Co. 1983) 539-540.

Page 18: KARAKTER ILMU HUKUM: PENDEKATAN FUNGSIONAL …

REFLEKSI HUKUM208 [Vol. 1, No. 2

dari berbagai bidang. Berkembangnyastudi-studi hukum secara interdisi-pliner tersebut lebih karena latarbelakang personal para yuris Amerikayang berangkat dari jenjang pendidik-an sarjana yang beraneka ragam,bukan karena tradisi pengembanganIlmu Hukum oleh law school pada pro-gram akademik Juris Doctor. Bahkan,saking prestisiusnya pendidikan hukum,banyak lulusan Ph.D yang menjadimahasiswa hukum untuk memperolehJ.D. degree.

Oleh karena itu karya seperti “TheLegal System: A Social Science Perspective”mampu dihasilkan oleh yuris Amerika.Karya tersebut, yang sangat terkenaldi Indonesia, dihasilkan oleh LawrenceM. Friedman, pengajar di StanfordLaw School. Untuk pelajaran kita,pandangan Friedman sangat perlukita camkan dalam rangka pengem-bangan Ilmu Hukum yang fungsionaldengan tujuan pendidikan hukum.Bahwa kegiatan seperti yang dilaku-kan oleh Friedman tersebut memangtidak dapat dikatagorikan sebagaiIlmu Hukum. Hal ini nampak dalampengakuan Friedman berikut ini:

There are, of course, many valid waysto look at law. The lawyer looks at itmostly from the inside. He judges lawin its own terms; he has learned certainstandards against which he measureslegal practices and rules. Or he writesabout practical affairs: how to use law,how to work with it. This book falls intoanother category. It looks at law fromthe outside. It tries to deal with the legalsystem from the viewpoint of socialscience.37

Pada kutipan di atas Friedmanmengakui adanya banyak cara dalammempelajari hukum, tidak hanya IlmuHukum, termasuk dengan mengguna-kan pendekatan Ilmu-ilmu Sosial.Oleh karena itu, meskipun dihasilkanoleh seorang yuris, produk tersebuttidak serta merta digolongkan sebagaiIlmu Hukum, terlebih penulisnya telahsecara tegas menyatakan maksudnyasebagai demikian. Masalahnya dengankita adalah segala hal yang mem-bicarakan hukum berusaha kita tariksebagai Ilmu Hukum.

Hal ini menurut hemat saya perludikoreksi, khususnya dikaitkan dengankebutuhan akan ahli hukum di masadepan yang peranannya tidak mungkindapat digantikan oleh para pengamatatau ilmuwan hukum. Bahkan jikaperlu, ketimbang berbicara tentangkeluasan Ilmu Hukum dengan jalanmengadopsi pendekatan inter ataumultidisipliner, aspek kedalaman darikajian Ilmu Hukum justru seharusnyalebih kita prioritaskan (dengan Teoridan Filsafat Hukum). Memang, aspekkeluasan, terutama yang memungkin-kan kerja sama antara Ilmu Hukumdengan ilmu-ilmu lain seperti Ilmu-ilmu Sosial, sekarang ini mulaimendapat tempat yang penting dalampendidikan hukum doktoral di luarnegeri. Akan tetapi kontribusi fungsio-nal dari pendekatan tersebut, terutamajika diberlakukan untuk Indonesia,masih menjadi pertanyaan besar.Sekali lagi, sistem pendidikan hukum

37 Sebagaimana dikutip oleh Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Kencana 2006) 158.

Page 19: KARAKTER ILMU HUKUM: PENDEKATAN FUNGSIONAL …

KARAKTER ILMU HUKUM 2092017]

kita tidak akan pernah mampu me-lampaui sistem Amerika yang berjen-jang graduate study. Kalaupun itu kitalakukan, pertanggungjawaban atasproduknya menjadi isu yang krusialkarena kita tidak memiliki kualifikasiakademik khusus untuk melakukankegiatan itu dan memaksa kita untukmenguasai segala hal (Ilmu-ilmuSosial dengan perangkat metodologis-nya yang sama sekali berbeda jikadibandingkan dengan Ilmu Hukum).

Pada posisi demikian, pengayaandalam pengembangan Ilmu Hukumseyogianya lebih bertumpu pada TeoriArgumentasi Hukum dan Teori Inter-pretasi Hukum dengan bertolak daripemikiran-pemikiran Filsafat Hukumtertentu.38 Saya meyakini bahwa ke-giatan ini justru akan mampu membe-rikan dampak positif dalam pengem-bangan Ilmu Hukum, terutama mem-perkaya produk-produk pemikiran dibidang Ilmu Hukum melalui per-debatan-perdebatan intelektual yangproduktif di dalam lingkungannyasendiri, yaitu lingkungan para yuris.Hal ini sudah menjadi fenomena yangterpampang jelas dalam kondisi mu-takhir. Pengembangan Ilmu Hukumyang mendiskusikan pengambilankeputusan hukum berdasarkan LegalPositivism, Legal Realism (termasukEconomic Analysis of Law), Natural Lawdan perdebatan-perdebatan filosofisnyasendiri (seperti perdebatan Hart vs.Fuller atau Hart vs. Dworkin) merupa-kan area yang perlu mendapatkan

perhatian kita terutama dalam prosesberkesinambungan untuk mengusul-kan Teori Argumentasi dan Interpre-tasi Hukum yang ideal.

Terakhir, saya setuju bahwa ke-giatan mempelajari (dan mengguna-kan) Ilmu Hukum yang didominasioleh pikiran-pikiran positivistik ataulegalistik harus dikritisi secara tajamkarena terbukti memerosotkan marwahIlmu Hukum, dan bahkan hukum itusendiri. Akan tetapi seyogianya kritiktersebut menggunakan perspektifinternal, tidak menggunakan perspek-tif eksternal. Selain memperdalamjangkauan dari Ilmu Hukum denganberanjak dari Teori dan Filsafat Hukum,cara lain untuk menghindari pikiran-pikiran positivistik atau legalistikadalah dengan memperkuat pema-haman mengenai konsep diskresiyang hakikat pengertiannya bertolakbelakang dengan konsep rule followingsecara eksklusif yang merupakan intiajaran dari pikiran-pikiran positivistikatau legalistik tentang hukum.

Saya menulis disertasi di bidangHukum Administrasi dengan isu sen-tral telaah teoretis konsep kekuasa-an diskresi pemerintah. Setelah me-renungkan kembali disertasi tersebutsaya berpikir lebih jauh lagi supayapendidikan hukum dan pengembang-an Ilmu Hukum memberikan perhati-an sangat serius terhadap konsep dis-kresi, bukan hanya studi di bidangHukum Administrasi belaka. Saya me-mandang bahwa pemahaman yang

38 Bandingkan dengan Titon Slamet Kurnia, Konstitusi HAM: Undang-Undang Dasar Negara RepublikIndonesia Tahun 1945 & Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (Pustaka Pelajar 2014) 103-166.

Page 20: KARAKTER ILMU HUKUM: PENDEKATAN FUNGSIONAL …

REFLEKSI HUKUM210 [Vol. 1, No. 2

memadai terhadap konsep diskresi(sebagai konsep hukum) akan mem-bantu usaha kita dalam memahamihukum secara lebih baik (dalampengertian tidak lagi positivistik ataubahkan legalistik). Diskresi, menuruthemat saya, merefleksikan kemam-puan berpikir hukum aras tinggi yangakan menghindarkan kita dari lakuhukum yang positivistik atau legalistik(kecenderungan bebas nilai terhadapkeberlakuan undang-undang).39 Mema-hami diskresi dengan berlandaskanpada kebijaksanaan ini menuruthemat saya adalah bagian penting dariproses pendidikan hukum untuk kitabagikan kepada mahasiswa-maha-siswa hukum.

DAFTAR BACAAN

Buku

Aarnio, Aulis, Essays on the DoctrinalStudy of Law (Springer 2011).

Avila, Humberto, Theory of LegalPrinciples (Springer 2007).

Barak, Aharon, Purposive Interpretationin Law (Princeton University Press2005).

Darumurti, Krishna Djaya, Diskresi:Kajian Teori Hukum (Genta Publishing2016).

Dimyati, Khudzaifah, Teorisasi Hukum(Muhammadiyah University Press2004).

Dworkin, Ronald, Taking Rights Seriously(Harvard University Press 1978).

_____, Law’s Empire (The Belknap Pressof Harvard University Press 1986).

_____, Freedom’s Law: The Moral Readingof American Constitution (OxfordUniversity Press 1996).

Feteris, Eveline T., Fundamentals ofLegal Argumentation: A Survey ofTheories on the Justification of JudicialDecisions (Springer 1999).

Friedrich, Carl Joachim, The Philosophyof Law in Historical Perspective (TheUniversity of Chicago Press 1969).

Kelsen, Hans, General Theory of Lawand State (Russell & Russell 1961).

_____, The Pure Theory of Law (CaliforniaUniversity Press 1967).

_____, Essays in Legal and MoralPhilosophy (D. Reidel Publishing Co.1973).

Kurnia, Titon Slamet, Konstitusi HAM:Undang-Undang Dasar NegaraRepublik Indonesia Tahun 1945 &Mahkamah Konstitusi RepublikIndonesia (Pustaka Pelajar 2014).

_____, Sistem Hukum Indonesia: SebuahPemahaman Awal (CV. Mandar Maju2016).

MacCormick, Neil, Legal Reasoning andLegal Theory (Clarendon Press1978).

Marzuki, Peter Mahmud, PenelitianHukum (Kencana 2006).

McLeod, Ian, Legal Method (MacMillan1999).

_____, Legal Theory (Palgrave 2003).

39 Krishna Djaya Darumurti, Diskresi: Kajian Teori Hukum (Genta Publishing 2016) 161-169.

Page 21: KARAKTER ILMU HUKUM: PENDEKATAN FUNGSIONAL …

KARAKTER ILMU HUKUM 2112017]

Persak, Nina, Criminalising HarmfulConduct: The Harm Principle, Its Limitand Continental Counterparts(Springer 2007).

Scholten, Paul, Struktur Ilmu Hukum(PT. Alumni 2003).

Sidharta, B. Arief, Refleksi tentangStruktur Ilmu Hukum (CV. MandarMaju 2000).

Slocum, Brian G., Ordinary Meaning: ATheory of the Most FundamentalPrinciple of Legal Interpretation (TheUniversity of Chicago Press 2015).

Visser ‘tHooft, H. Ph., Filsafat IlmuHukum (Universitas BrawijayaPress 2014).

West, Robin, Normative Jurisprudence:An Introduction (Cambridge UniversityPress 2011).

Wilk, Kurt, ed., The Legal Philosophiesof Lask, Radbruch and Dabin (HarvardUniversity Press 1950).

Jurnal

Dworkin, Ronald, ‘Hard Cases’ (1975)88 Harvard Law Review 1057.

Hohfeld, Wesley N., ‘Some Fundamen-tal Legal Conceptions as Appliedin Judicial Reasoning’ (1913) 23Yale Law Journal 16.

_____,‘Fundamental Legal Conceptionsas Apllied in Judicial Reasoning’(1917) 26 Yale Law Journal 710.

Radbruch, Gustav, ‘Statutory Lawlessnessand Supra-Statutory Law (1946)’(2006) 26 Oxford Journal of LegalStudies 1.

_____, ‘Five Minutes of Legal Philosophy(1945)’ (2006) 26 Oxford Journal ofLegal Studies 13.

Singer, Joseph William, ‘NormativeMethods for Lawyer’ (2009) 56UCLA Law Review 899.

Bab dalam Buku

Hage, Jaap, ‘Philosophy of Law’ dalamJaap Hage & Bram Akkermans,eds., Introduction to Law (Springer2014).

Opalek, Kazimierz, ‘Integration BetweenLegal Research and Social Science’dalam Aleksander Peczenik, et.al.,eds. Theory of Legal Science (D.Reidel Publishing Co. 1983).

Page 22: KARAKTER ILMU HUKUM: PENDEKATAN FUNGSIONAL …

REFLEKSI HUKUM212 [Vol. 1, No. 2