18
Kecenderungan Hujan Ekstrim Berdasarkan Metode Site Specific Threshold Di Jabodetabek Tahun 1980-2011 Gunawan Wibisono 1 , Sobirin 2 , Adi Wibowo 3 1 Mahasiswa Departemen Geografi, FMIPA UI, Kampus UI Depok 16424 2 Dosen Departemen Geografi, FMIPA UI, Kampus UI Depok 16424 3 Dosen Departemen Geografi, FMIPA UI, Kampus UI Depok 16424 Email : 1 [email protected], 2 [email protected], 3 [email protected] Abstrak Hujan ekstrim merupakan salah satu fenomena cuaca ekstrim yang kejadiannya sering memicu bencana alam seperti tanah longsor, banjir bandang, dan erosi tanah. Di Wilayah Jabodetabek khususnya Kota Jakarta sering dilanda banjir akibat adanya curah hujan yang berlebih. Melalui perhitungan stastistik dan analisis spasial serta temporal, penelitian ini mengungkapkan bahwa terjadi kecenderungan kejadian hujan ekstrim di Jabodetabek dari tahun 1980 - 2011. Dengan menggunakan metode site specific threshold dan analisis spasial, ditemukan bahwa kejadian hujan ekstrim cenderung terjadi di wilayah dataran rendah dan dekat jaraknya dari garis pantai. Kejadian hujan ekstrim di Jabodetabek tahun 1980 - 2011 akan lebih sering terjadi dalam siklus 5 tahunan, dan cenderung meningkat kejadiannya meskipun tidak selalu fluktuatif dan tidak terlalu signifikan. The Trend Of Extreme Rainfall Based On Site Specific Threshold Method in Jabodetabek Over Period 1980 – 2011 Abstract Extreme rainfall is one of the occurrence of extreme weather phenomena are often triggered by natural disasters such as landslides, floods, and erosion. In Jabodetabek region especially the city of Jakarta is often flooded due to excessive rainfall. Through a statistical calculation and analysis of spatial and temporal, this study reveals that there is a trend of extreme rainfall events in Jabodetabek from 1980 - 2011. By using site specific threshold method and spatial analysis, it was found that the incidence of extreme rainfall tends to occur in low lying areas and near distance from the sea. Extreme rainfall events in Jabodetabek from 1980 - 2011 will be more likely to occur in cycles of 5 years, and is likely to increase occurrence though not always fluctuate and are not too significant. Keywords : extreme rainfall ; Jabodetabek ; site specific threshold ; spatio-temporal ; trend Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Hujan ekstrim adalah kondisi curah hujan kumulatif 24 jam di suatu wilayah yang telah melebihi ambang batas tertentu. Kejadiannya merupakan bagian dari siklus hidrologi, dimana proses presipitasi terjadi dalam intensitas lebat sampai dengan sangat lebat (BMKG, 2010). Kejadian hujan ekstrim sering kali memicu bencana alam seperti tanah longsor, banjir Kecenderungan hujan..., Gunawan Wibisono, FMIPA UI, 2015

Kecenderungan Hujan Ekstrim Berdasarkan Metode Site

  • Upload
    others

  • View
    8

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Kecenderungan Hujan Ekstrim Berdasarkan Metode Site

Kecenderungan Hujan Ekstrim Berdasarkan Metode Site Specific Threshold Di Jabodetabek Tahun 1980-2011

Gunawan Wibisono1, Sobirin2, Adi Wibowo3

1Mahasiswa Departemen Geografi, FMIPA UI, Kampus UI Depok 16424

2Dosen Departemen Geografi, FMIPA UI, Kampus UI Depok 16424 3Dosen Departemen Geografi, FMIPA UI, Kampus UI Depok 16424

Email : [email protected], [email protected], [email protected]

Abstrak

Hujan ekstrim merupakan salah satu fenomena cuaca ekstrim yang kejadiannya sering memicu bencana alam seperti tanah longsor, banjir bandang, dan erosi tanah. Di Wilayah Jabodetabek khususnya Kota Jakarta sering dilanda banjir akibat adanya curah hujan yang berlebih. Melalui perhitungan stastistik dan analisis spasial serta temporal, penelitian ini mengungkapkan bahwa terjadi kecenderungan kejadian hujan ekstrim di Jabodetabek dari tahun 1980 - 2011. Dengan menggunakan metode site specific threshold dan analisis spasial, ditemukan bahwa kejadian hujan ekstrim cenderung terjadi di wilayah dataran rendah dan dekat jaraknya dari garis pantai. Kejadian hujan ekstrim di Jabodetabek tahun 1980 - 2011 akan lebih sering terjadi dalam siklus 5 tahunan, dan cenderung meningkat kejadiannya meskipun tidak selalu fluktuatif dan tidak terlalu signifikan.

The Trend Of Extreme Rainfall Based On Site Specific Threshold Method in Jabodetabek Over Period 1980 – 2011

Abstract

Extreme rainfall is one of the occurrence of extreme weather phenomena are often triggered by natural disasters such as landslides, floods, and erosion. In Jabodetabek region especially the city of Jakarta is often flooded due to excessive rainfall. Through a statistical calculation and analysis of spatial and temporal, this study reveals that there is a trend of extreme rainfall events in Jabodetabek from 1980 - 2011. By using site specific threshold method and spatial analysis, it was found that the incidence of extreme rainfall tends to occur in low lying areas and near distance from the sea. Extreme rainfall events in Jabodetabek from 1980 - 2011 will be more likely to occur in cycles of 5 years, and is likely to increase occurrence though not always fluctuate and are not too significant. Keywords : extreme rainfall ; Jabodetabek ; site specific threshold ; spatio-temporal ; trend Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

Hujan ekstrim adalah kondisi curah hujan kumulatif 24 jam di suatu wilayah yang telah

melebihi ambang batas tertentu. Kejadiannya merupakan bagian dari siklus hidrologi, dimana

proses presipitasi terjadi dalam intensitas lebat sampai dengan sangat lebat (BMKG, 2010).

Kejadian hujan ekstrim sering kali memicu bencana alam seperti tanah longsor, banjir

Kecenderungan hujan..., Gunawan Wibisono, FMIPA UI, 2015

Page 2: Kecenderungan Hujan Ekstrim Berdasarkan Metode Site

bandang, dan erosi tanah (Maeda et al., 2012). Sifatnya yang merusak sangat membahayakan

kehidupan manusia dan dapat menimbulkan kerugian yang signifikan (Sun et al, 2007).

Di Indonesia, hujan ekstrim seringkali menjadi suatu kejadian luar biasa yang

menyebabkan bencana dan kerugian dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.  Salah satu

wilayah di Indonesia yang terkena dampak dari hujan ekstrim adalah Jabodetabek dimana

sering terjadi banjir di wilayah tersebut. Beberapa kasus banjir terburuk yang pernah terjadi

yaitu kejadian banjir di DKI Jakarta pada tahun 2002 dan 2007. Selain itu, berdasarkan

catatan sejarah kejadian banjir BPBD Jakarta, banjir besar juga pernah terjadi pada tahun

1621, 1654, 1918, 1976, 1996, dan 2013.    

Jabodetabek memiliki kondisi topografi beragam mulai dari utara dengan karakteristik

wilayah dataran rendah sampai ke selatan dengan karakteristik wilayah pegunungan. Selain

itu, lokasi masing-masing wilayah Jabodetabek ditinjau jarak dari laut juga memiliki

keberagaman. Hal tersebut membuat wilayah Jabodetabek memiliki perbedaan dalam hal

intensitas curah hujan yang turun di masing-masing wilayahnya.

Dengan jumlah penduduk yang sangat padat di wilayah Jabodetabek, penelitian

mengenai kecenderungan hujan ekstrim tentu perlu dilakukan dalam usaha untuk mengurangi

dampak terjadinya bencana. Selain itu, dapat pula dijadikan sebagai dasar kebijakan

pengelolaan sumber daya air sebagaimana Kouchak dan Nasrollahi (2010) yang menyatakan

bahwa analisis kejadian hujan ekstrim akan meningkatkan penilaian dalam prediksi bencana

banjir di waktu akan datang yang tentunya sangat berpengaruh dalam rencana pengelolaan

sumber daya air.

1.2 Pertanyaan Masalah

§ Bagaimana kecenderungan hujan ekstrim berdasarkan metode site specific threshold

di wilayah Jabodetabek dari tahun 1980 – 2011?

§ Bagaimana variasi keruangan dari kecenderungan hujan ekstrim berdasarkan metode

site specific threshold di wilayah Jabodetabek dari tahun 1980 – 2011?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kecenderungan dan variasi

keruangan terjadinya hujan ekstrim berdasarkan metode site specific threshold di

wilayah Jabodetabek dari tahun 1980 – 2011.

Kecenderungan hujan..., Gunawan Wibisono, FMIPA UI, 2015

Page 3: Kecenderungan Hujan Ekstrim Berdasarkan Metode Site

Tinjauan Teoritis 2.1 Cuaca Ekstrim

Cuaca ekstrim menurut IPCC / Intergovermental Panel on Climate Change (2007)

adalah suatu fenomena meteorologi yang luar biasa dalam hal sejarah distribusi,

khususnya fenomena cuaca yang berpotensi menimbulkan korban jiwa, menghancurkan

tatanan kehidupan sosial, dan menyebabkan bencana. Penentuan cuaca ekstrim pada

umumnya dilakukan dengan menganalisis distribusi klimatologi, yaitu kejadian cuaca

dengan nilai ≤ 5% dari keseluruhan distribusi. Tipe cuaca ekstrim sangat bergantung pada

kondisi atmosfer, ketinggian wilayah, posisi lintang, dan kondisi topografi.

Di Indonesia sendiri, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG,

2010) telah menetapkan beberapa standar dalam menentukan kejadian cuaca ekstrim.

Beberapa standar yang ditetapkan tersebut yaitu curah hujan kumulatif dalam satu hari

lebih dari 50 mm, kecepatan angin lebih dari 25 knots, kelembaban udara berada di

bawah 40%, dan suhu udara permukaan tanah lebih dari 35⁰ C atau di bawah 15⁰ C untuk

wilayah dataran rendah/pantai.

2.2 Hujan Ekstrim

Hujan ekstrim merupakan salah satu jenis fenomena dari cuaca ekstrim. Kejadiannya

merupakan bagian dari siklus hidrologi, dimana proses presipitasi terjadi dalam intensitas

lebat sampai dengan sangat lebat (BMKG, 2010). Kejadian hujan ekstrim sering kali

memicu bencana alam seperti tanah longsor, banjir bandang, dan erosi tanah (Maeda et al.,

2012). Sifatnya yang merusak sangat membahayakan kehidupan manusia dan dapat

menimbulkan kerugian yang signifikan (Sun et al, 2007).

Pada umumnya hujan ekstrim adalah suatu kejadian hujan dengan curah hujan

kumulatif 24 jam yang melebihi batasan tertentu. Dalam menentukan batas tersebut,

terdapat beberapa cara yang digunakan oleh para ilmuwan. Bodini dan Cossu (2010)

menggunakan kumulatif curah hujan harian di atas persentil 95 pada periode tertentu

untuk mengukur kerentanan Center-East Sardinia terhadap kejadian hujan ekstrim.

Sedangkan Goswami dan Ramesh (2007) menggunakan nilai curah hujan harian 250 mm

sebagai threshold (ambang batas) dalam menganalisis kerentanan wilayah Indian terhadap

kejadian hujan ekstrim. Metode pertama disebut sebagai sebagai batas spesifik lokasi (site

specific threshold), sedangkan metode kedua disebut sebagai batas tetap (fix threshold).

Supari, et al. (2012) menggunakan 2 metode yang sama untuk menganalisis karaketeristik

spasiotemporal hujan ekstrim di Jawa Timur. Fu et al.(2010) mengadopsi metode Kunkel

Kecenderungan hujan..., Gunawan Wibisono, FMIPA UI, 2015

Page 4: Kecenderungan Hujan Ekstrim Berdasarkan Metode Site

et al. (2003) menggunakan site specific threshold yang didefinisikan dengan interval

pengulangan dalam menganalisis variasi temporal jangka panjang dari kejadian hujan

ekstrem di Australia. Hernandez et al. (2009) menemukan bahwa minimal terdapat 23 cara

berbeda yang digunakan literatur profesional dalam mendefinisikan threshold yang dapat

menjelaskan kejadian hujan ekstrim. WMO (World Meteorological Organization) juga

telah mengeluarkan sejumlah standar dalam menentukan kejadian hujan ekstrem (WMO,

2009) dan prosedur tentang bagaimana cara untuk menginvestigasinya yang meliputi

aspek rata-rata, intensitas, persistensi, dan frekuensi.

2.3 Metodologi Perhitungan Hujan Ekstrim

Dalam menentukan terjadinya suatu kejadian hujan ekstrim di suatu wilayah, terdapat

beberapa metodologi yang dapat dilakukan, di antaranya adalah sebagai berikut.

1) Distribusi Generalized Extreme Value (GEV)

Digunakan untuk memodelkan suatu hujan ekstrim dan disebut pula sebagai

“blok maksima” karena menggunakan pemodelan distribusi berupa blok untuk data

maksimum pada setiap interval waktu. Ukuran blok dibentuk dengan panjang interval

waktu yang sama, misalnya curah hujan maksimum tahunan menggunakan ukuran

blok satu tahun pengamatan. Pendekatan ini mempunyai keuntungan, yakni

membutuhkan data lebih sederhana dan blok maksima dapat diasumsikan sebagai

variabel random yang independen. Namun, kekurangan utama pendekatan ini ialah

tidak menggunakan seluruh informasi yang terdapat pada bagian ujung atas dari

distribusi, padahal sangat memungkinkan adanya informasi ekstrim di bagian tersebut.

2) Peak Over Threshold (POT)

Menggunakan suatu nilai threshold untuk mendefinisikan curah hujan dengan

nilai yang melebihi threshold dianggap sebagai hujan ekstrim. Berbeda dengan GEV,

POT menggunakan keseluruhan data pengamatan dalam memodelkan hujan ekstrim.

3) Fix Threshold

Fix Threshold menggunakan ambang batas curah hujan harian 50 mm yang

dipilih sesuai dengan kriteria yang dikembangkan oleh BMKG. Fix threshold dinilai

dengan cara menemukan hubungan antara ambang batas yang ditetapkan dengan

bencana yang terjadi akibat hujan ekstrim. Fix threshold dapat dikatakan bisa

digunakan jika curah hujan harian yang diamati saat terjadi bencana lebih besar

daripada ambang batas fix threshold.

Kecenderungan hujan..., Gunawan Wibisono, FMIPA UI, 2015

Page 5: Kecenderungan Hujan Ekstrim Berdasarkan Metode Site

4) Site Specific Threshold

Merupakan metode yang digunakan untuk mengukur kerentanan suatu wilayah

terhadap kejadian hujan ekstrim. Dalam menentukan ambang batas hujan ekstrim di

suatu wilayah, metode ini menggunakan kedalaman curah hujan harian di atas

persentil 95 pada periode waktu tertentu. Adapun curah hujan harian tersebut akan

dihitung dan diproses menggunakan tiga ambang batas waktu perulangan dari 1, 5, dan

25 tahun. Ambang batas akan ditentukan untuk setiap stasiun hujan.

Untuk periode 1 tahun, ambang batas ditentukan dengan cara mengurutkan curah

hujan dari yang terbesar ke yang terkecil. Hasil observasi 30 curah hujan harian

terbesar selanjutnya akan diekstrasi dan 30 curah hujan harian yang terkecil akan

dijadikan sebagai ambang batas. Sedangkan untuk periode ulang 5 dan 25 tahun nilai

ambang batas dihitung dengan menggunakan teori nilai ekstrem. Teori ini merupakan

suatu metode statistik yang berhubungan dengan peristiwa ekstrim dengan probabilitas

kejadian yang rendah.

Terdapat tiga model yang sering digunakan dalam menganalisis nilai ektrim

yaitu model Gumbel, Frechet, dan distribusi Weibull. Ketiga model ini berasal dari

teorema Fisher-Tippett. Model distribusi Gumbel dikenal sebagai nilai ekstrim tipe I

dengan nilai tak terbatas. Model Frechet merupakan batas bawah sedangkan Weibull

merupakan batas atas dan biasanya digunakan untuk distribusi minima. Dalam

menentukan model distribusi mana yang akan digunakan untuk data yang ada,

pengecekan probabilitas perlu dilakukan. Plotting data akan dibandingkan dengan nilai

yang dihitung berdasarkan distribusi yang dipilih.

Dari metode – metode yang digunakan untuk menghitung curah hujan ekstrim di atas,

penelitian ini akan menggunakan metode site specific threshold karena cukup banyak

digunakan oleh para peneliti terdahulu seperti Bodini dan Cossu (2010) yang mengukur

kerentanan Center-East Sardinia terhadap hujan ekstrim, dan Fu dkk (2010) mengadopsi

metode Kunkel dkk (1999, 2003) menggunakan site specific threshold untuk kejadian

hujan ekstrim di Australia.

Metode site specific threshold ini juga lebih detail dalam menganalisis kejadian hujan

ekstrim karena menggunakan 3 ambang batas (threshold) dari periode pengulangan hujan

ekstrim, yaitu periode pengulangan 1 tahun, 5 tahun, dan 25 tahun. Ditambah lagi,

penentuan masing-masing threshold dilakukan pada masing-masing stasiun penakar

curah hujan.

Kecenderungan hujan..., Gunawan Wibisono, FMIPA UI, 2015

Page 6: Kecenderungan Hujan Ekstrim Berdasarkan Metode Site

Metode Penelitian 3.1 Alur Pikir Penelitian

Data curah hujan di Wilayah Jabodetabek akan diambil dari tahun 1980 sampai 2011.

Selanjutnya, data curah hujan tersebut diolah dengan metode site specific threshold untuk

mendapatkan frekuensi hujan ekstrim di Jabodetabek. Frekuensi hujan ekstrim di Jabodetabek

ini kemudian akan di-overlay-kan dengan wilayah ketinggian di Jabodetabek dan juga jarak

dari garis pantai di tiap-tiap stasiun penelitian. Dari hasil proses overlay ini kemudian akan

didapatkan kecenderungan Hujan Ekstrim di Jabodetabek pada tahun 1980 – 2011. Skema

alur pikir dapat dilihat pada gambar 3.1.

Gambar 3.1 Alur Pikir Penelitian

3.2 Data dan Variabel

Data dan variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

• Data persebaran stasiun curah hujan

Data persebaran stasiun curah hujan digunakan sebagai dasar analisis wilayah yang

mengalami kecenderungan hujan ekstrim di Jabodetabek tahun 1980 – 2011. • Variabel curah hujan

Variabel curah hujan digunakan sebagai variabel utama untuk melihat kecenderungan

terjadinya hujan ekstrim yang terjadi di Jabodetabek periode tahun 1980 – 2011.

Adapun data yang digunakan dari variabel ini adalah data curah hujan harian dari tahun

1980 sampai dengan tahun 2011.

Kecenderungan hujan..., Gunawan Wibisono, FMIPA UI, 2015

Page 7: Kecenderungan Hujan Ekstrim Berdasarkan Metode Site

• Variabel wilayah ketinggian dan jarak dari garis pantai

Variabel wilayah ketinggian dan jarak dari garis pantai digunakan untuk membantu

dalam menganalisis kecenderungan hujan ekstrim di Jabodetabek.

3.3 Pengumpulan Data

Data yang akan digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan sekunder. Data

primer didapat dari kegiatan survey lapang untuk mengetahui lokasi – lokasi dari masing-

masing stasiun penakar curah hujan. Sedangkan data sekunder didapatkan dari beberapa

instansi pemerintahan berupa data curah hujan tahun 1980 – 2011 dan data hasil pengolahan

citra DEM dan RBI. Tabel 3.1 Tabel Kebutuhan Data

No. Jenis Data Sumber Data

1. Curah hujan dan stasiun penakar curah hujan

Data curah hujan harian tahun 1980 – 2011 dan persebaran stasiun penakar curah hujan akan didapatkan dari instansi BMKG

2. Dokumentasi penelitian Survei lapang 3. Ketinggian Wilayah Hasil pengolahan DEM 4. Jarak dari garis pantai Hasil pengolahan data Peta RBI

3.4 Pengolahan Data

Dalam penelitian ini, pengolahan data yang telah dikumpulkan akan dilakukan

dengan bantuan beberapa software, di antaranya yaitu software Microsoft Excel, ArcGIS,

dan EasyFIt. Data – data tersebut diolah sedemikian rupa sehingga akan didapatkan

kecenderungan hujan ekstrim tahun 1980 - 2011. Skema alur kerja yang dilakukan dalam

penelitian ini dapat dilihat pada gambar 3.2.

Gambar 3.2 Skema Alur Kerja

Kecenderungan hujan..., Gunawan Wibisono, FMIPA UI, 2015

Page 8: Kecenderungan Hujan Ekstrim Berdasarkan Metode Site

Adapun langkah – langkah pengolahan data berdasarkan gambar 3.2 yang akan

dilakukan adalah sebagai berikut.

1. Mengolah citra DEM menjadi data ketinggian menggunakan software ArcGIS yang

kemudian data ketinggian tersebut akan dibuat wilayah ketinggian berdasarkan

klasifikasi I Made Sandy.

2. Jarak dari garis pantai didapatkan dari penarikan garis tegak lurus dari lokasi masing-

masing stasiun penelitian ke garis pantai terdekat dengan menggunakan software

ArcGIS.

3. Menghitung curah hujan rata-rata harian di Jabodetabek dari tahun 1980 – 2011

menggunakan software Microsoft Excel 2010.

4. Hasil perhitungan curah hujan rata-rata harian selanjutnya akan dipilih 30 nilai curah

hujan terbesar yang kemudian akan dijadikan sebagai threshold 1. Proses ini

menggunakan software Microsoft Excel 2010.

5. Seluruh hasil perhitungan curah hujan rata-rata harian akan diolah dengan software

EasyFIt untuk mendapatkan nilai bentuk (k), skala (σ), dan lokasi (µ) dari masing-

masing stasin penakar curah hujan

6. Nilai k, σ, dan µ dari pengolahan software EasyFit tadi selanjutnya dimasukkan ke

dalam rumus untuk menentukan ambang batas dari masing-masing periode

pengulangan hujan ekstrim (Coles, 2001) :

 

X : Nilai threshold

T : Periode pengulangan hujan ekstrim

k, σ, µ : nilai bentuk, skala, dan lokasi masing-masing parameter

7. Hasil perhitungan dari rumus sebelumnya akan dijadikan sebagai nilai threshold 2 dan

threshold 3. Perhitungan ini menggunakan pendekatan site specific threshold.

8. Setelah didapatkan nilai threshold 1, threshold 2, dan threshold 3 di masing-masing

stasiun curah hujan, selanjutnya menentukan frekuensi terjadinya hujan ekstrim

dengan cara menghitung jumlah kejadian hujan harian di masing-masing stasiun

selama 32 tahun yang nilainya melebihi nilai threshold 1, threshold 2, dan threshold

3 dari hasil perhitungan sebelumnya.

Kecenderungan hujan..., Gunawan Wibisono, FMIPA UI, 2015

Page 9: Kecenderungan Hujan Ekstrim Berdasarkan Metode Site

9. Frekuensi hujan ekstrim dari masing-masing threshold 1, threshold 2, dan threshold 3

kemudian akan di-overlay dengan wilayah ketinggian dan jarak dari laut untuk

mendapatkan kecenderungan hujan ekstrim Jabodetabek tahun 1980 – 2011.

3.5 Analisis Data

Data-data yang telah dikumpulkan akan diolah secara spasial dan kuantitatif,

selanjutnya dianalisis untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan penelitian yang telah

dibuat. Adapun untuk mendapat jawaban dari masing-masing pertanyaan penelitian

dilakukan dengan tahapan berikut.

1. Untuk mendapatkan jawaban pertanyaan pertama, “Bagaimana kecenderungan hujan

ekstrim berdasarkan metode site specific threshold di wilayah Jabodetabek dari tahun

1980 – 2011?” Analisis yang digunakan adalah analisis temporal dengan bantuan

grafik frekuensi curah hujan ekstrim tahunan untuk melihat trend terjadinya hujan

ekstrim dari masing-masing stasiun penakar curah hujan selama periode tahun 1980-

2011 di Jabodetabek.

2. Untuk mendapatkan jawaban pertanyaan kedua, “Bagaimana variasi keruangan dari

kecenderungan hujan ekstrim berdasarkan metode site specific threshold di wilayah

Jabodetabek dari tahun 1980 – 2011?” Analisis yang digunakan adalah analisis spasial

dengan cara menganalisis frekuensi kejadian hujan ekstrim di masing-masing stasiun

penakar curah hujan selama periode tahun 1980-2011 yang akan dihubungkan dengan

kondisi fisik lokasi masing-masing stasiun. Dalam penelitian ini, kondisi fisik lokasi

stasiun penakar curah hujan yang digunakan meliputi wilayah ketinggian dan jarak

dari garis pantai.

Hasil dan Pembahasan 4.1 Nilai Site Specific Threshold

4.1.1 Threshold 1

Untuk periode 1 tahun, penentuan ambang batas nilai ekstrim hujan dilakukan dengan cara

mengurutkan curah hujan harian dari nilai yang terbesar ke yang terkecil pada masing-

masing stasiun curah hujan. Hasil observasi 30 curah hujan harian terbesar dari masing-

masing stasiun curah hujan selanjutnya akan dipilih, dan dari data tersebut curah hujan

harian yang terkecil akan dijadikan sebagai ambang batas di masing-masing stasiun curah

hujan.

Kecenderungan hujan..., Gunawan Wibisono, FMIPA UI, 2015

Page 10: Kecenderungan Hujan Ekstrim Berdasarkan Metode Site

Tabel 4.1.1 Nilai Ambang Batas (Threshold 1) No Nama Stasiun Ketinggian Jarak Dari Threshold 1

(mdpl) Garis Pantai (km) (mm)

1 Tanjung Priuk 2 0,5 106,00 2 Kemayoran 4 4,5 101,50 3 Tangerang 14 15,9 85,00 4 Halim 26 16,8 102,00 5 Pondok Betung 26,2 16,8 101,90 6 Curug 46 23 89,00 7 Darmaga 250 43,8 98,50 8 Ciriung Cibinong 261 40,4 76,00 9 Empang 266 49,8 112,00

10 Katulampa 361 56,4 112,00 11 Citeko 920 66,6 99,20 12 Gunung Mas 1.109 67,6 109,00

4.1.2 Threshold 2 dan 3

Nilai threshold 2 dan 3 merupakan nilai ambang batas hujan ekstrim dengan periode

pengulangan hujan ekstrim selama 5 dan 25 tahun. Untuk periode ini, nilai ambang batas

dihitung dengan menggunakan teori nilai ekstrem. Teori ini merupakan suatu metode

statistik yang berhubungan dengan peristiwa ekstrim dengan probabilitas kejadian yang

rendah.

Nilai ambang batas dari masing-masing periode pengulangan hujan ekstrim dapat

ditentukan dengan menggunakan rumus :

 

X : Nilai threshold

T : Periode pengulangan hujan ekstrim

k, σ, µ : nilai bentuk, skala, dan lokasi masing-masing parameter

Dalam menentukan nilai k, σ, µ dari masing-masing stasiun curah hujan, dilakukan

dengan menggunakan Software EasyFIt. Dari pengolahan menggunakan software

tersebut, didapatkan nilai k, σ, µ dari masing-masing stasiun curah hujan pada tabel

berikut.

Kecenderungan hujan..., Gunawan Wibisono, FMIPA UI, 2015

Page 11: Kecenderungan Hujan Ekstrim Berdasarkan Metode Site

Tabel 4.1.2 Tabel nilai k, σ, µ Stasiun Hujan Jabodetabek

No

Nama Stasiun

1 Tanjung Priuk 4.174 6.417 0.47601 2 Kemayoran 4.3601 6.4378 0.44482 3 Tangerang 3.5453 5.4507 0.46819 4 Halim 6.6545 8.5399 0.37409 5 Pondok Betung 5.0081 7.2204 0.4099 6 Curug 5.5933 7.3061 0.3709 7 Darmaga 6.4027 9.2695 0.37116 8 Ciriung Cibinong 10.231 9.3429 0.23174 9 Empang 11.297 11.872 0.26046

10 Katulampa 13.787 12.845 0.21813 11 Citeko 5.9211 7.7818 0.34808 12 Gunung Mas 10.267 10.388 0.27099

Tahap selanjutnya adalah menginput data nilai k, σ, µ masing-masing stasiun curah hujan

ke dalam rumus nilai ambang batas dengan menggunakan software microsoft excel. Pada

tahap akhir maka didapatkan nilai ambang batas periode pengulangan hujan ekstrim 5

tahun dan 25 tahun.

4.1.2.1 Threshold 2

Threshold 2 merupakan nilai ambang batas periode pengulangan hujan ekstrim

selama 5 tahun. Adapun nilai threshold 2 masing-masing stasiun curah hujan di

Jabodetabek dapat dilihat pada tabel 5.2.2.1. Tabel 4.1.2.1. Tabel Threshold 2 Hujan Ekstrim Jabodetabek

No Nama Stasiun Ketinggian Jarak Dari Threshold 2 (mdpl) Garis Pantai (km) (mm)

1 Tanjung Priuk 2 0,5 31,64 2 Kemayoran 4 4,5 30,76 3 Tangerang 14 15,9 26,63 4 Halim 26 16,8 38,49 5 Pondok Betung 26,2 16,8 33,25 6 Curug 46 23 32,71 7 Darmaga 250 43,8 40,82 8 Ciriung Cibinong 261 40,4 39,16 9 Empang 266 49,8 49,43

10 Katulampa 361 56,4 52,88 11 Citeko 920 66,6 33,94 12 Gunung Mas 1.109 67,6 44,09

Kecenderungan hujan..., Gunawan Wibisono, FMIPA UI, 2015

Page 12: Kecenderungan Hujan Ekstrim Berdasarkan Metode Site

4.1.2.2 Threshold 3

Threshold 3 merupakan nilai ambang batas periode pengulangan hujan ekstrim

selama 25 tahun. Adapun nilai threshold 3 masing-masing stasiun curah hujan

di Jabodetabek adalah sebagai berikut. Tabel 4.1.2.2. Tabel Threshold 3 Hujan Ekstrim Jabodetabek

No Nama Stasiun Ketinggian Jarak Dari Threshold 3 (mdpl) Garis Pantai (km) (mm)

1 Tanjung Priuk 2 0,5 82,60 2 Kemayoran 4 4,5 76,90 3 Tangerang 14 15,9 68,81 4 Halim 26 16,8 87,01 5 Pondok Betung 26,2 16,8 79,39 6 Curug 46 23 73,80 7 Darmaga 250 43,8 92,99 8 Ciriung Cibinong 261 40,4 72,56 9 Empang 266 49,8 96,01

10 Katulampa 361 56,4 96,82 11 Citeko 920 66,6 74,56 12 Gunung Mas 1.109 67,6 86,27

4.2 Frekuensi Hujan Ekstrim

Setelah mendapatkan nilai masing-masing threshold di stasiun penakar curah hujan,

tahap selanjutnya adalah menghitung frekuensi kejadian hujan ekstrim dimana nilai curah

hujan yang melebihi nilai masing-masing threshold akan dianggap sebagai hujan ekstrim

di masing-masing stasiun curah hujan pada periode tahun 1980 sampai dengan tahun

2011.

Gambar 4.1 Grafik Frekuensi T1 dan T3 Hujan Ekstrim Tahunan Stasiun Hujan Jabodetabek

Kecenderungan hujan..., Gunawan Wibisono, FMIPA UI, 2015

Page 13: Kecenderungan Hujan Ekstrim Berdasarkan Metode Site

4.3 Frekuensi Hujan Ekstrim Jabodetabek dari Tahun 1980-2011 Tabel 4.3. Frekuensi Hujan Ekstrim Jabodetabek Tahun 1980-2011

No Nama Stasiun Elevasi (m)

Jarak Dari Garis Pantai (km)

Frekuensi Hujan Ekstrim

Threshold 1 Threshold 2 Threshold 3

1 Tanjung Priuk 2 0,5 28 505 73

2 Kemayoran 4 4,5 29 563 63

3 Tangerang 14 15,9 29 588 75

4 Halim 26 16,8 29 514 64

5 Pondok Betung 26,2 16,8 29 619 75

6 Curug 46 23 29 592 73

7 Darmaga 250 43,8 29 401 42

8 Ciriung Cibinong 261 40,4 29 513 44

9 Empang 266 49,8 28 554 56

10 Katulampa 361 56,4 29 532 59

11 Citeko 920 66,6 29 553 68

12 Gunung Mas 1.109 67,6 28 488 75

Dapat dilihat dari tabel 4.3, frekuensi kejadian hujan ekstrim di Jabodetabek periode tahun

1980-2011 pada tiap stasiun curah hujan memiliki variasi yang cukup tinggi untuk threshold 2

dan threshold 3. Sedangkan untuk threshold 1, hanya terdapat 2 jumlah kejadian di semua

stasiun curah hujan.

Gambar 4.2 Grafik Frekuensi T2 Hujan Ekstrim Tahunan Stasiun Hujan Jabodetabek

Kecenderungan hujan..., Gunawan Wibisono, FMIPA UI, 2015

Page 14: Kecenderungan Hujan Ekstrim Berdasarkan Metode Site

4.4 Hubungan Wilayah Ketinggian dengan Frekuensi Curah Hujan Ekstrim

Seperti yang sudah dijelaskan di bagian pendahuluan dalam penelitian ini, analisis

yang digunakan adalah analisis spasial dan temporal untuk melihat kecenderungan hujan

ekstrim yang terjadi di wilayah Jabodetabek dari tahun 1980 – 2011. Faktor ketinggian

wilayah menjadi salah satu indikator yang digunakan untuk menjelaskan kejadian

tersebut. Berikut adalah tabel hubungan wilayah ketinggian dari lokasi tiap-tiap stasiun

curah hujan dengan frekuensi curah hujan ekstrim yang terjadi di Jabodetabek. Tabel 4.4. Hubungan Wilayah Ketinggian dengan Frekuensi Hujan Ekstrim

No Nama Stasiun Wilayah Ketinggian Frekuensi Rata-Rata Hujan Ekstrim

Total Threshold 1 Threshold 2 Threshold 3

1 Tanjung Priuk < 100 mdpl 28 505 73 606 2 Kemayoran < 100 mdpl 29 563 63 655 3 Tangerang < 100 mdpl 29 588 75 692 4 Halim < 100 mdpl 29 514 64 607 5 Pondok Betung < 100 mdpl 29 619 75 723 6 Curug < 100 mdpl 29 592 73 694 7 Darmaga 100 - 500 mdpl 29 401 42 472 8 Ciriung Cibinong 100 - 500 mdpl 29 513 44 586 9 Empang 100 - 500 mdpl 28 554 56 638

10 Katulampa 100 - 500 mdpl 29 532 59 620 11 Citeko 500 - 1000 mdpl 29 553 68 650 12 Gunung Mas > 1000 mdpl 28 488 75 591

Dari tabel 4.4, dapat dilihat bahwa dari 12 stasiun curah hujan yang digunakan

terdapat 6 stasiun atau sekitar 50% dari jumlah keseluruhan stasiun berada di wilayah

Gambar 4.3. Peta Frekuensi Hujan Ekstrim T1, T2, dan T3 Jabodetabek Tahun 1980 – 2011

 

Kecenderungan hujan..., Gunawan Wibisono, FMIPA UI, 2015

Page 15: Kecenderungan Hujan Ekstrim Berdasarkan Metode Site

ketinggian kurang dari 100 mdpl, kemudian 4 stasiun berada di wilayah ketinggian 100 –

500 mdpl, dan masing-masing Stasiun Citeko dan Gunung Mas berada di wilayah

ketinggian 500 – 1000 mdpl, dan lebih dari 1000 mdpl.

Seluruh jumlah kejadian hujan ekstrim yang terjadi di masing-masing stasiun curah

hujan ditentukan dari 3 threshold yang digunakan, Stasiun Pondok Betung yang berada di

wilayah ketinggian kurang dari 100 mdpl memiliki total kejadian hujan ekstrim paling

banyak, yaitu sebanyak 723 kejadian hujan ekstrim dari tahun 1980 – 2011. Jumlah

kejadian ekstrim yang paling sedikit dari 3 threshold yang digunakan berada di wilayah

ketinggian 100 – 500 mdpl lebih tepatnya di Stasiun Darmaga.

4.5 Hubungan Jarak dari Garis Pantai dengan Frekuensi Curah Hujan Ekstrim

Faktor jarak stasiun curah hujan dengan garis pantai menjadi salah satu indikator

yang digunakan di samping wilayah ketinggian untuk menjelaskan variasi frekuensi

kejadian hujan ekstrim di Jabodetabek dari tahun 1980 hingga 2011. Hubungan jarak

stasiun curah hujan dari garis pantai dengan frekuensi hujan ekstrim di Jabodetabek

terdapat pada tabel 4.5.

Dari tabel 4.5, dapat dilihat bahwa dari 12 stasiun curah hujan yang digunakan

terdapat 5 stasiun atau 41% dari jumlah stasiun berada pada jarak kurang dari 17 km dari

garis pantai. Kemudian terdapat 1 stasiun yang berada pada jarak antara 17,1 – 34 km

dari garis pantai yaitu Stasiun Curug. Pada jarak antara 34,1 – 51 km dari garis pantai

Gambar 4.4 Peta Frekuensi Hujan Ekstrim Threshold 1,2, dan 3 dengan Wilayah Ketinggian

 

Kecenderungan hujan..., Gunawan Wibisono, FMIPA UI, 2015

Page 16: Kecenderungan Hujan Ekstrim Berdasarkan Metode Site

terdapat 3 stasiun yaitu Stasiun Darmaga, Cibinong, dan Empang. Sedangkan pada jarak

lebih dari 51 km dari garis pantai terdapat Stasiun Katulampa, Citeko, dan Gunung Mas. Tabel 4.5. Hubungan Jarak dari Garis Pantai dengan Frekuensi Hujan Ekstrim

No Nama Stasiun Jarak Dari Garis Pantai (km)

Frekuensi Rata-Rata Hujan Ekstrim Total

Threshold 1 Threshold 2 Threshold 3 1 Tanjung Priuk < 17 28 505 73 606 2 Kemayoran < 17 29 563 63 655 3 Tangerang < 17 29 588 75 692 4 Halim < 17 29 514 64 607 5 Pondok Betung <17 29 619 75 723 6 Curug 17,1 – 34 29 592 73 694 7 Darmaga 34,1 – 51 29 401 42 472

8 Ciriung Cibinong 34,1 – 51 29 513 44 586

9 Empang 34,1 – 51 28 554 56 638 10 Katulampa > 51 29 532 59 620 11 Citeko > 51 29 553 68 650 12 Gunung Mas > 51 28 488 75 591

Stasiun Pondok Betung yang berada pada jarak kurang dari 17 km dari garis pantai memiliki

total kejadian hujan ekstrim paling banyak sebesar 723 kejadian dari seluruh jumlah kejadian

hujan ekstrim yang terjadi di masing-masing stasiun curah hujan dari 3 threshold selama

periode tahun 1980 – 2011. Jumlah kejadian ekstrim yang paling sedikit dari 3 threshold yang

digunakan berada di Stasiun Darmaga yang berada pada jarak antara 34,1 – 51 km dari garis

pantai.

Gambar 5.6.3. Peta Frekuensi Hujan Ekstrim Threshold 1,2, dan 3 dengan Jarak Dari Garis Pantai  

Kecenderungan hujan..., Gunawan Wibisono, FMIPA UI, 2015

Page 17: Kecenderungan Hujan Ekstrim Berdasarkan Metode Site

Kesimpulan

Kejadian hujan ekstrim berdasarkan metode site specific threshold di Jabodetabek dari

tahun 1980 sampai tahun 2011 cenderung meningkat kejadiannya meskipun tidak selalu

fluktuatif dan tidak terlalu signifikan. Kejadian hujan ekstrim yang terjadi tiap 1 tahun tidak

menunjukkan variasi kejadian hujan ekstrim di tiap stasiun penelitian, sedangkan kejadian

hujan ekstrim dalam 5 tahun menunjukkan variasi yang sangat besar untuk kejadian hujan

ekstrim di masing-masing stasiun penelitian, dan periode hujan ekstrim dalam 25 tahun tidak

terlalu menunjukkan variasi walaupun terdapat perbedaan nilai frekuensi kejadian hujan

ekstrim yang cukup beragam di masing - masing stasiun. Hal ini mengindikasikan

kecenderungan hujan ekstrim yang ada di Wilayah Jabodetabek akan lebih sering terjadi

dalam siklus 5 tahun sedangkan untuk kejadian hujan ekstrim tiap tahun tidak akan terlalu

sering terjadi.

Kecenderungan kejadian hujan ekstrim berdasarkan metode site specific threshold di

Wilayah Jabodetabek akan lebih terkonsentrasi di wilayah yang memiliki ketinggian kurang

dari 100 mdpl serta memiliki jarak kurang dari 17 km dari garis Pantai Utara Pulau Jawa.

Berdasarkan hasil tersebut dapat dikatakan bahwa kecenderungan hujan ekstrim di

Jabodetabek berdasarkan metode site specific threshold akan lebih terpusat di Provinsi DKI

Jakarta dan Kota Tangerang serta Kabupaten/Kota Bekasi, sedangkan Kabupaten/Kota Bogor

dan Kota Depok tidak terlalu sering terkena hujan ekstrim walaupun ada kemungkinan terjadi

dan dapat menimbulkan dampak yang sama dengan wilayah lainnya. Daftar Referensi

BMKG – Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. (2010). Kondisi Cuaca dan Iklim

Ekstrem, 2010-2011: Siaran Pers. Jakarta.

Bodini, A., Cossu, Q.A. 2010. Vulnerability Assessment Of Central-East Sardinia (Italy)

To Extreme Rainfall Events. Journal of Natural Hazards and Earth System Sience 10,

hal.61-72 Coles S. 2001. An Introduction to Statistical Modeling of Extreme Values. Springer series

in statistics. London.

Fu, G., Viney, N.R., Charles, S.p., Liu, J. 2010. Long-Term Temporal Variation of Extreme

Rainfall Events in Australia : 1910-2006. Journal of Hydrometeorology, 11, hal 950-

965.Maeda, E. E., Utsumi, N., & Oki, T. (2012). Decreasing precipitation extremes

Kecenderungan hujan..., Gunawan Wibisono, FMIPA UI, 2015

Page 18: Kecenderungan Hujan Ekstrim Berdasarkan Metode Site

at higher temperatures in tropical regions. Natural Hazards, 64(1), 935- 941.

10.1007/s11069-012-0222-5.

Goswami, P., Ramesh, K. V. (2007). Extreme Rainfall Events: Vulnerability Analysis for

Disaster Management and Observation System Design. Research Report. CSIR. Hernandez, A.R.P., Balling Jr., R.C., Barbar-Martinez, L.R. 2009. Comparative Analysis

of Indicides Of Extreme Rainfall Events : Variation And Trend From Southern

Mexico. Journal De Atmosfera, 2, hal.219-228

IPCC. (2007). Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate

Change. In: Solomon, S., Qin, D., Manning, M., Chen, Z., Marquis, M. C., Averyt,

K. B., Tignor, M., Miller, H. L. (eds) Climate Change 2007: The Physical Science

Basis. Cambridge University Press, Cambridge, hal. 129-234.

Kouchak, Amir A., Nasrollahi, Nasrin. 2010. Semi-parametric and Parametric Inference of

Extreme Value Models for Rainfall Data. Water Resource Management, 24,

hal.1229-1249

Sandy, I Made. 1985. Republik Indonesia : Geografi Regional, Jurusan Geografi. FMIPA

Universitas Indonesia, Jakarta.

Sasmito A., Haryoko U. dan Widiatmoko H. (2007). Weather Phenomena during Flood

Event Over JABODETABEK Area. Workshop Harimau, BPPT, Jakarta

Sun, F. H., Yang, S. Y., Ren, G. Y. (2007). Decade Variations of Precipitation

Event Frequency, Intensity and Duration in North East China. J. Appl.

Meteor. Sci., 18, hal. 610-618. Supari, Sudibyakto, Ettema, Janneke, Aldrian, Edvin. 2012. Spatiotemporal Characteristic

Of Extreme Rainfall Events Over Java Island, Indonesia. Indonesian Journal of

geography, vol 44, no.1, hal. 62-86

WMO – World Meteorological Organization. (2009). Guidelines on Analysis of Extremes

in a Changing Climate in Support of Informed Decisions for Adaptation. WCDMP –

No. 72. WMO – TD No. 1500.

Zulkaidi D. (2005): Pengembangan Kawasan Banjir Kanal Timur, Sistim Manajemen Air

Untuk Menata Kehidupan, Penerbit ITB

Kecenderungan hujan..., Gunawan Wibisono, FMIPA UI, 2015