Upload
shalini-shanmugalingam
View
67
Download
3
Embed Size (px)
DESCRIPTION
description of what the junk food contains.Also explains on the danger of the chemical used.
Citation preview
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
HIV ( Human Immunodeficiency Virus ) adalah virus penyebab AIDS yang
melemahkan dan mematikan sistem kekebalan tubuh manusia. HIV adalah salah
satu masalah kesehatan yang paling serius di dunia. Pada akhir 2001, lebih dari 40
juta orang di seluruh dunia terinfeksi HIV dan hidup dengan virus HIV atau
AIDS. Organisasi Kesehatan Dunia memperkirakan bahwa sekitar 20 juta orang
telah meninggal karena AIDS sejak infeksi pertama kali dijelaskan pada 1981.
Hampir 500.000 kematian telah terjadi di Amerika Serikat ( Charles, 2001).
Epidemik HIV di ASEAN telah mula dilaporkan seawal tahun 1984 di
Filipina dan Thailand dan 1990 di Kemboja dan Vietnam. Jumlah kasus HIV yang
tercatat di ASEAN sehingga tahun 2006 adalah hampir 1,6 juta orang. Dari suatu
studi yang ditemui, sekitar akhir tahun 2003, bilangan orang dewasa yang
menghidap HIV di Indonesia adalah 110.000. Wanita yang berumur dari 15-49
tahun yang menghidap HIV adalah hampir 15.000 dan jumlah kematian
disebabkan HIV adalah hampir 2400 ( Rampal, 2008 ).
Berdasarkan informasi yang dikumpulkan oleh DepKes melalui surveilans
HIV, surveilans pelaku dan berbagai hasil studi di lapangan diperoleh kesimpulan
bahwa potensi ancaman epidemi HIV di Indonesia semakin besar. Penyebaran
HIV di Indonesia meningkat setelah tahun 1995. Sejak tahun 1999 terjadi
fenomena baru penyebaran HIV yaitu infeksi HIV mulai terlihat pada pengguna
narkotika suntikan. Pada tahun 2000 terjadi peningkatan epidemi HIV secara
nyata melalui pekerja seks. Pada tahun 2004 hampir 27 propinsi di Indonesia telah
melaporkan infeksi HIV ( Ahmad, 2005 ).
2
Penyakit Tuberkulosis merupakan suatu penyakit yang tergolong dalam
infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Lebih dari 2
miliar orang (sekitar sepertiga dari populasi dunia) diperkirakan terinfeksi TB.
Kejadian global TB memuncak sekitar tahun 2003 dan dibuktikan bahwa sangat
bervariasi di seluruh dunia. Tingkat tertinggi (100/100.000 atau lebih tinggi)
diamati di sub-Sahara Afrika, India, Cina, dan pulau-pulau Asia Tenggara.
Tingkat menengah TB (26-100/100.000) terjadi di Amerika Tengah dan Selatan,
Eropa Timur, dan Afrika utara. Tingkat rendah ( kurang dari 25 kasus per
100.000 ) terjadi di Amerika Serikat, Eropa Barat, Kanada, Jepang, dan Australia
( Robert, 2006 ).
Di kawasan Asia Tenggara, data WHO menunjukan bahwa TB membunuh
sekitar 2.000 jiwa setiap hari. Sekitar 40 persen dari kasus TB di dunia berada di
kawasan Asia Tenggara. Dua di antara tiga negara dengan jumlah penderita TB
terbesar di dunia, yaitu India dan Indonesia, berada di wilayah ini
( Saroso, 2007 ).
Menurut WHO di tahun 1999, diperkirakan angka insidensi TB di Indonesia
sekitar 220 per 100.000 penduduk per tahun. Penemuan kasus TB di Indonesia
pada tahun 2005 (68%), telah mendekati target global untuk penemuan kasus pada
tahun 2005, yakni sebesar 70% dan pada 2007 menjadi 74%. TB adalah
pembunuh nomor satu diantara penyakit menular dan merupakan peringkat ketiga
dalam daftar sepuluh penyakit yang tertinggi di Indonesia yang menyebabkan
sekitar 100.000 kematian setiap tahunnya atau dalam sehari terjadi 300 kematian
karena TB ( Qauliyah, 2007 ).
Epidemi HIV menunjukkan pengaruhnya terhadap peningkatan epidemi TB
di seluruh dunia yang meningkatkan jumlah penderita TB di masyarakat. Di masa
mendatang, ini menjadi tantangan terbesar dalam pengendalian TB dan banyak
bukti yang menunjukkan bahwa pengendalian TB tidak akan berhasil baik tanpa
3
keberhasilan pengendalian HIV. Sebanyak 40 persen pasien HIV di Indonesia
meninggal dunia karena infeksi TB dan penyebarannya mencapai lima kali lipat di
negara-negara dengan prevalensi HIV yang tinggi ( Gambit, 2007 ).
1.2 RUMUSAN MASALAH
Bagaimana Karakteristik Pasien HIV dengan Tuberkulosis di RSUP H.Adam
Malik, Medan dari tahun 2008 hingga 2010.
1.3 TUJUAN PENELITIAN
1.3.1 TUJUAN UMUM
Menentukan Karakteristik Pasien HIV dengan Tuberkulosis di Rumah Sakit
Umum Pusat (RSUP) Haji Adam Malik, Medan dari tahun 2008 hingga 2010.
1.3.2 TUJUAN KHUSUS
Yang menjadi tujuan khusus dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui Karakteristik Pasien HIV dengan Tuberkulosis
berdasarkan usia.
2. Untuk mengetahui Karakteristik Pasien HIV dengan Tuberkulosis
berdasarkan jenis kelamin.
3. Untuk mengetahui Karakteristik Pasien HIV dengan Tuberkulosis
berdasarkan status sosioekonomi.
4. Untuk mengetahui Karakteristik Pasien HIV dengan Tuberkulosis
berdasarkan faktor risiko.
4
1.4 MANFAAT
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk :
1. Agar masyarakat mengerti bahaya penyakit tuberkulosis pada pasien HIV
yang dapat menyebabkan kematian sehingga dapat dilakukan pencegahan sejak
dini.
2. Agar menjadi panduan kepada institusi kesehatan / pendidikan dan sebagai
masukan kepada Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Haji Adam Malik, Medan
untuk merencanakan suatu strategi pelayanan kesehatan yang lebih baik dalam
pencegahan tuberkulosis pada pasien HIV.
3. Peneliti pula dapat mengembangkan pengetahuan dan kemahiran dalam bidang
penelitian serta mengaplikasikan teori yang pernah peneliti peroleh sepanjang
mengikuti kuliah dan menambah pengetahuan peneliti tentang tuberkulosis
pada penderita HIV.
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 HIV ( Human Immunodeficiency Virus )
2.1.1 Definisi atau pengertian HIV
Istilah HIV telah digunakan sejak 1986 sebagai nama untuk retrovirus yang
diusulkan pertama kali sebagai penyebab AIDS oleh Luc Montagnier dari
Perancis, yang awalnya menamakannya LAV (lymphadenopathy-associated
virus) dan oleh Robert Gallo dari Amerika Serikat, yang awalnya menamakannya
HTLV-III (human T lymphotropic virus type III). HIV adalah anggota dari genus
lentivirus, bagian dari keluarga retroviridae yang ditandai dengan periode latensi
yang panjang dan sebuah sampul lipid dari host-sel awal yang mengelilingi
sebuah pusat protein/RNA. HIV-1 dan HIV-2 adalah dua sepsis HIV yang
menginfeksi manusia. HIV-1 adalah yang lebih virulent dan lebih mudah menular,
dan merupakan sumber dari kebanyakan infeksi HIV di seluruh dunia sedangkan
HIV-2 kebanyakan masih terkurung di Afrika Barat ( Puraja, 2008 ).
2.1.2 Epidemiologi HIV
Dari semua wilayah di dunia, sub-Sahara Afrika adalah yang paling sering
terjangkit HIV, yang mengandung sekitar 70% dari orang yang hidup dengan
HIV. Sebagian besar negara di Asia tidak melihat ledakan epidemi pada
masyarakat umum sampai sekarang tapi penggunaan narkoba dan pekerja seks
mula meningkat dan menghancurkan harapan demikian ( Morison, 2001 ).
Suatu temuan terbaru menyatakan bahwa prevalensi HIV global telah stabil
pada 0,8% dengan 33 juta orang yang hidup dengan HIV yaitu 2,7 juta infeksi
baru, dan 2,0 juta kematian di tahun 2007 ( Peter, 2009 ).
6
Sejak awal abad ke-21, peningkatan jumlah kasus semakin mencemaskan di
Indonesia. Pada akhir tahun 2003, 25 provinsi telah melaporkan adanya kasus
AIDS. Para ahli epidemiologi Indonesia dalam kajiannya tentang kecenderungan
epidemi HIV dan AIDS memproyeksikan bahwa apabila tidak ada peningkatan
upaya penanggulangan yang bermakna, maka pada tahun 2010 jumlah kasus
AIDS akan menjadi 400.000 orang dengan kematian 100.000 orang dan pada
tahun 2015 menjadi 1.000.000 orang dengan kematian 350.000 orang ( Komisi
Penanggulangan AIDS ).
2.1.3 Risiko Penularan dan Transmisi
Penularan HIV membutuhkan kontak dengan cairan tubuh khususya darah,
air mani, cairan vagina, air susu ibu, air liur, atau eksudat dari luka atau kulit dan
mukosa yang mengandungi virion bebas atau sel yang terinfeksi. Transmisi
umumnya oleh perpindahan cairan tubuh secara langsung melalui hubungan
seksual, berbagi jarum yang terkontaminasi darah, persalinan, menyusui dan
prosedur medis seperti transfusi dan paparan instrumen yang terkontaminasi
( McCutchan, 2009 ).
2.1.4 Patofisiologi HIV
Sel limfosit CD4 merupakan target utama pada infeksi HIV. Sel ini berfungsi
sentral dalam sistem imun. Pada mulanya sistem imun dapat mengendalikan
infeksi HIV, namun dengan perjalanan dari waktu ke waktu HIV akan
menimbulkan penurunan jumlah sel limfosit CD4, terganggunya homeostasis
dan fungsi sel-sel lainnya dalam sistem imun tersebut. Keadaan ini akan
menimbulkan berbagai gejala penyakit dengan spektrum yang luas. Gejala
penyakit tersebut terutama merupakan akibat terganggunya fungsi imunitas
seluler, disamping imunitas humoral karena gangguan sel T helper (Th) untuk
mengaktivasi sel limfosit B. HIV menimbulkan penyakit melalui beberapa
mekanisme, antara lain: terjadinya defisiensi imun yang menimbulkan infeksi
7
oportunistik, terjadinya reaksi autoimun, reaksi hipersensitivitas dan
kecenderungan terjadinya malignansi atau keganasan pada stadium lanjut.
Infeksi HIV terjadi melalui tiga jalur transmisi utama, yaitu transmisi
melalui mukosa genital, transmisi langsung ke peredaran darah melalui jarum
suntik, dan transmisi vertikal dari ibu ke janin. Untuk bisa menginfeksi sel, HIV
memerlukan reseptor dan reseptor utama untuk HIV adalah molekul CD4 pada
permukaan sel pejamu. Namun reseptor CD4 saja ternyata tidak cukup. Ada
beberapa sel yang tidak mempunyai reseptor CD4, tapi dapat diinfeksi oleh HIV
yaitu Fc reseptor untuk virion yang diliputi antibodi, dan molekul CD26 yang
diperkirakan merupakan koreseptor untuk terjadinya fusi sel dan masuknya virus
kedalam sel. Di samping itu telah ditemukan juga koreseptor kemokin yang
mempunyai peranan sangat penting dalam proses masuknya HIV ke dalam sel
yaitu CCR5 dan CXCR4 ( Merati, 1999 ).
HIV yang masuk ke tubuh menularkan sel ini, ‘membajak’ sel tersebut, dan
kemudian menjadikannya sebagai medium yang membuat miliaran tiruan virus.
Ketika proses tersebut selesai, sel mirip HIV itu meninggalkan sel dan masuk ke
sel CD4 yang lain. Sel yang ditinggalkan menjadi rusak atau mati. Jika sel-sel ini
hancur, maka sistem kekebalan tubuh kehilangan kemampuan untuk melindungi
tubuh kita dari serangan penyakit. Keadaan ini membuat kita mudah terserang
berbagai penyakit. Setelah kita terinfeksi, kita tidak langsung dapat melihat gejala
klinisya. Walaupun tetap ada virus di dalam tubuh kita, kita tidak mempunyai
masalah kesehatan akibat infeksi HIV, dan berkeadaan sihat sahaja. Masa tanpa
gejala ini bisa bertahun-tahun lamanya. Apabila sistem kekebalan kita sudah
sangat lemah, tubuh kita tidak dapat lagi melawan kuman penyebab penyakit.
Kuman ini sangat umum di tubuh kita, dan biasanya tidak menyebabkan penyakit,
karena dikendalikan oleh sistem kekebalan tubuh yang sehat. Karena kuman
tersebut memanfaatkan kesempatan yang diberikan oleh sistem kekebalan tubuh
8
yang rusak, penyakit yang disebabkannya disebut infeksi oportunistik ( Yayasan
Spritia, 2009 ).
2.1.5 Gejala klinis
Gejala HIV akan berbeda dari orang ke orang dan juga akan tergantung pada
tahap penyakit. Seseorang tidak akan mengalami perubahan dalam kesehatan
mereka secara segera setelah terinfeksi. Indikasi pertama infeksi adalah seperti
gejala flu, ruam atau kelenjar yang membengkak dan sering dianggap sebagai
gejala minor. Ada empat tahapan yang berbeda pada HIV dengan gejala yang
berbeda.
I)HIV-Akut
Beberapa minggu setelah terpapar virus HIV, beberapa orang mengalami
penyakit yang disebut sindrom HIV akut. Indikator fase pertama infeksi meliputi
demam, sakit kepala, sakit tenggorokan, pembengkakan kelenjar getah bening,
kelelahan, hilangnya nafsu makan, diare, ruam kulit, rasa mual dan nyeri otot. Ini
adalah gejala awal dan akan terjadi dalam beberapa minggu pertama setelah
terinfeksi virus. Selama tahap awal, sistem kekebalan tubuh mulai memproduksi
antibodi HIV dan limfosit sitotoksik sebagai respons terhadap HIV.
II)HIV-Asimtomatik
Tahap kedua dari penyakit ini dikenal sebagai asimtomatik. Ini karena,
selama pasien mengambil obatan yang dipreskripsi, mereka bebas dari gejala.
Tingkat HIV juga turun ke tingkat yang lebih rendah. Pasien harus sedar bahwa
meskipun gejala-gejala tidak lagi hadir, virus ini masih berkembang biak dan
menghancurkan sel-sel kekebalan tubuh pasien dan obat-obatan harus diambil
secara konsisten untuk memaksimalkan kualitas hidup pasien. Tahap ini
berlangsung rata-rata dari 8 hingga 10 tahun.
9
III)HIV–Simtomatik
Pada saat infeksi ini, sistem kekebalan tubuh telah rusak dengan parah oleh
HIV. Ada beberapa teori yang menerangkan mengapa hal ini terjadi seperti
kerusakan kelenjar getah bening dan jaringan yang sudah bertahun lamanya. HIV
bermutasi dan menjadi lebih kuat serta lebih bervariasi dan langsung
menyebabkan kerusakan sel tubuh yang lebih banyak sehingga tidak mampu
bersaing dan menggantikan sel T pembantu yang hilang.
Gejala klinis tahap ketiga meliputi keringat malam, pembengkakan kelenjar getah
bening secara menetap, demam persisten, infeksi kulit, sesak nafas dan batuk
kering. Tahap ini berlangsung hampir untuk 1 hingga 3 tahun.
IV)Perkembangan dari HIV
Tahap terakhir adalah perkembangan dari HIV menjadi AIDS di mana infeksi
oportunistik seperti radang paru-paru, penyakit syaraf atau jenis kanker tertentu
berkembang dan bermanifestasi. Diagnosis AIDS ditentukan apabila pasien
dengan HIV mengembangkan satu atau lebih dari sejumlah tertentu infeksi
oportunistik atau kanker. Saat ini tidak ada obat untuk AIDS. Namun ada
sejumlah perawatan yang tersedia untuk membantu memperpanjang rentang hidup
dan kualitas hidup pasien dengan HIV dan AIDS ( Hunt, 2009 ).
2.1.6 Diagnosa
Infeksi HIV biasanya didiagnosis dengan tes darah yang mendeteksi antibodi
tubuh dalam upaya untuk memerangi virus. Hal ini dapat memakan waktu bagi
sistem kekebalan tubuh untuk menghasilkan antibodi yang cukup untuk tes
antibodi untuk mendeteksi mereka. Periode ini sering disebut sebagai “periode
jendela” dan dapat mengambil masa enam minggu sampai tiga bulan setelah
infeksi. Pengujian awal sangat penting, karena pengobatan awal untuk HIV
membantu orang menghindari atau meminimalkan komplikasi. Selain itu, perilaku
10
berisiko tinggi dapat dihindari, sehingga mencegah penyebaran virus ke orang
lain.
Pengujian HIV terdiri dari 2 proses. Pertama, tes skrining dilakukan. Jika tes
positif, tes kedua (Western blot) dilakukan untuk mengkonfirmasi hasilnya. Enzim
Immunoassay (EIA) yang digunakan pada darah adalah tes skrining yang paling
umum. Tes EIA lain dapat mendeteksi antibodi dalam cairan tubuh selain darah
seperti cairan oral, urine, dan cairan vagina. Rapid Test pula adalah tes skrining
alternatif yang menghasilkan hasil yang cepat di sekitar 20 menit. Ada tes yang
disetujui FDA yang menggunakan darah atau cairan oral. Tes-tes ini memiliki
tingkat akurasi yang sama dengan tes EIA tradisional. Selain itu, alat tes HIV atau
home-testing kits tersedia di banyak toko obat lokal. Darah diperoleh dengan
menusukkan jari terlebih dahulu dan kemudian darah diusap pada strip filter.
Darah dimasukkan ke dalam amplop pelindung dan dikirimkan ke laboratorium
untuk diuji. Semua tes skrining yang positif harus dikonfirmasi dengan tes darah
yang disebut Western blot untuk menegakkan diagnosisnya jka positif.
Pada individu yang tidak terinfeksi HIV, jumlah sel CD4 dalam darahnya
normal iaitu di atas 500 sel per milimeter kubik (mm3) darah. Pada orang yang
disuspek menghidap HIV, dihitung jumlah sel CD4 nya. Orang yang terinfeksi
HIV umumnya tidak beresiko menghadapi komplikasi sehingga sel CD4nya
menjadi kurang dari 200 sel per mm3. Pada kadar CD4 ini, sistem imun tidak
berfungsi baik dan makin menurun. Pasien-pasien yang mempunyai sel CD4
kurang dari 200 sel per mm3 disebut sebagai kondisi imunosupresi. Penurunan
jumlah sel CD4 artinya membuktikan bahwa penyakit HIV tersebut sedang
berlanjut. Jadi, sel CD4 yang rendah adalah sinyal bahwa orang tersebut dalam
resiko terhadap satu atau banyak infeksi yang tidak biasa (disebut infeksi
oportunistik ) yang terjadi pada individu dalam keadaan imunosupresi ( Szeftel ,
2010 ).
11
2.1.7 Penatalaksanaan
Ketika HIV pertama kali diidentifikasi pada awal tahun 1980, ada beberapa
obat yang digunakan untuk mengobati virus dan infeksi oportunistik yang terkait
dengannya. Sebuah panel ahli AIDS terkemuka telah mengembangkan
rekomendasi untuk penggunaan obat anti-retroviral pada orang dengan HIV.
Tujuan ART ( Anti-Retroviral Therapy ) adalah untuk mengurangi jumlah virus
dalam darah meskipun hal ini tidak berarti bahwa virus akan hilang. Hal ini
biasanya dicapai dengan kombinasi tiga atau lebih obat-obatan.
Meskipun tidak ada obat untuk memerangi AIDS, obat telah sangat efektif
dalam memerangi HIV dan komplikasinya. Pengobatan membantu mengurangi
virus HIV dalam tubuh, menjaga sistem kekebalan tubuh sesehat mungkin dan
menurunkan komplikasi. Berikut adalah beberapa obat yang disetujui oleh US
Food and Drug Administration (FDA) untuk mengobati HIV dan AIDS :
Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTI).
Obat ini menghambat kerja virus dari duplikasi, yang dapat memperlambat
penyebaran HIV dalam tubuh. Antaranya adalah, Abacavir (Ziagen, ABC),
Didanosine (Videx, dideoxyinosine, ddI), Emtricitabine (Emtriva, FTC),
Lamivudine (Epivir, 3TC), Stavudine (Zerit, d4T), Tenofovir (Viread, TDF),
Zalcitabine (Hivid, ddC) dan Zidovudine (Retrovir, ZDV or AZT). Kombinasi
NRTI disarankan untuk diambil pada dosis yang lebih rendah dan
mempertahankan effektivitasnya.
12
Protease Inhibitor (PI)
Obat-obat yang disetujui FDA ini menghambat replikasi virus pada tahap
lanjut dalam siklus hidup virus. Protease inhibitors meliputi Amprenavir
(Agenerase, APV), Atazanavir (Reyataz, ATV), Fosamprenavir (Lexiva, FOS),
Indinavir (Crixivan, IDV), Lopinavir (Kaletra, LPV/r), Ritonavir (Norvir, RIT)
dan Saquinavir (Fortovase,Invirase, SQV).
Pengobatan lain :
Fusion Inhibitors
Fusion inhibitor adalah obat dari kelas baru yang bertindak melawan HIV
dengan mencegah virus dari bergabung dengan bagian dalam sel sekaligus
mencegah dari replikasi. Kelompok obat-obatan termasuk Enfuvirtide yang juga
dikenal sebagai Fuzeon atau T-20.
Highly Active Antiretroviral Therapy (HAART)
Pada tahun 1996, terapi antiretroviral (ART) diperkenalkan untuk orang
dengan HIV dan AIDS. ART sering disebut sebagai anti-HIV cocktail iaitu
kombinasi dari tiga atau lebih obat-obatan, seperti Protease Inhibitors dan obat
anti-retroviral yang lain. Pengobatan ini sangat efektif dalam memperlambat virus
HIV bereplikasi sendiri. Tujuan ART adalah untuk mengurangi jumlah virus
dalam tubuh atau viral load ke tingkat yang tidak bisa lagi dideteksi dengan tes
darah.
Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTI)
Non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTIs) memblok infeksi
sel baru HIV. Obat-obat ini dapat ditentukan dalam kombinasi dengan obat anti-
retroviral lainnya. NNRTs meliputi Delvaridine (Rescriptor, DLV), Efravirenz
(Sustiva, EFV) dan Nevirapine (Viramune, NVP) ( Coffey, 2007 ).
13
2.1.8 Prognosa dan pencegahan
Para peneliti telah mengamati dua pola umum penyakit pada anak yang
terinfeksi HIV. Sekitar 20 persen dari anak-anak mengembangkan penyakit serius
pada tahun pertama kehidupan, sebagian besar anak-anak ini meninggal pada usia
4 tahun. Perempuan yang terinfeksi HIV dan terdeteksi dini serta menerima
pengobatan yang tepat, bertahan lebih lama daripada pria. Orang tua yang
didiagnosis HIV tidak hidup selama orang muda yang memiliki virus ini.
Meskipun ada upaya yang signifikan, namun tidak ada vaksin yang efektif
terhadap HIV. Satu-satunya cara untuk mencegah infeksi oleh virus ini adalah
untuk menghindari perilaku yang membuat kita berisiko, seperti berbagi jarum
atau berhubungan seks tanpa kondom dan menjauhkan diri dari seks.
Berhubungan seks dengan mitra tunggal yang tidak terinfeksi dan hubungan
monogami antara pasangan yang tidak terinfeksi menghilangkan risiko penularan
HIV secara seksual. Kondom menawarkan perlindungan jika digunakan dengan
benar dan konsisten. Jika bekerja di bidang kesehatan, ikuti panduan nasional
untuk melindungi diri terhadap jarum tongkat dan paparan cairan terkontaminasi.
Risiko penularan HIV dari wanita hamil kepada bayinya secara signifikan akan
berkurang jika ibu mengambil obat selama kehamilan dan persalinan serta
bayinya diberi obat untuk enam minggu pertama kehidupan ( Szeftel, 2010 ).
14
2.2 Sistem Imun
2.2.1 Definisi
Sistem kekebalan adalah suatu sistem pada semua vertebrata ( hewan dengan
tulang belakang) yang dalam istilah umum, terdiri dari dua jenis sel penting iaitu
sel-B dan sel-T. Sel-B bertanggung jawab untuk produksi antibodi ( protein yang
dapat mengikat bentuk molekul tertentu ), dan sel-T bertanggung jawab dalam
membantu sel-B untuk membuat antibodi, atau atas pemusnahan sel asing kecuali
bakteri di dalam tubuh. Dua jenis utama dari sel-T adalah sel-T "pembantu" dan
sel-T sitotoksik. Setiap kali ada zat asing atau agen memasuki tubuh kita, sistem
kekebalan tubuh diaktifkan. Sel- B-dan sel-T menemui ancaman dan akhirnya
menghasilkan substansi penghapusan dari tubuh kita ( Brown, 1995 ).
Sistem imun ini melibatkan semua mekanisme yang digunakan oleh
tubuhuntuk mempertahankan keutuhan tubuh sebagai perlindungan terhadap
bahaya yang dapat ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan hidup.
Pertahanan tersebut terdiri atas sistem imun alamiah atau non-spesifik
( natural/innate ) dan didapat atau spesifik ( adaptive/acquired ) ( Baratawidjaja,
1996 ).
15
Gambar 2.1 di atas menunjukkan cabangan pada sistem imun
( Dikutip dari Buku Immunologi Dasar, Edisi Ketiga, 1996 )
2.2.2 Defisiensi imun
Kehadiran defisiensi imun harus dicurigai bila ditemukan tanda-tanda dari
peningkatan kerentanan terhadap infeksi. Defisiensi imun primer atau kongenital
diturunkan, tetapi defisiensi imun sekunder atau didapat ditimbulkan berbagai
faktor setelah lahir. Penyakit defisiensi imun sering dikaitkan dengan limfosit,
komplemen dan fagosit. Defisiensi imun terbahagi kepada dua iaitu Defisiensi
Imun Non-Spesifik dan Defisiensi Imun Spesifik. HIV digolongkan dalam
Defisiensi Imun Spesifik ( Baratawidjaja, 1996 ).
16
Defisiensi Imun Non-Spesifik
A.Defisiensi Komplemen
1) Komplemen Kongenital
2) Komplemen Fisiologik
3) Komponen Didapat
B.Defisiensi Interferon dan
Lisozim
1) Interferon Kongenital
2) Interferon dan Lisozim
Sekunder
C.Defisiensi Sel NK
1) Sel NK Kongenital
2) Sel NK Didapat
D.Defisiensi Sistem Fagosit
1) Fagosit Kongenital
2) Fagosit Fisiologik
3) Fagosit Didapat
Defisiensi Imun Spesifik
A.Defisiensi Kongenital
B.Defisiensi Fisiologik
1) Kehamilan
2) Usia Lanjut
C.Defisiensi Didapat
1) Malnutrisi
2) Infeksi
3) HIV/AIDS
4) Obat
5) Penyinaran
6) Penyakit berat
7) Kehilangan Ig/Leukosit
8) Agamaglobulinemia dengan
timoma
Tabel 2.1 menunjukkan pembagian defisiensi sistem imun( Dikutip dari Buku Immunologi Dasar, Edisi Ketiga, 1996 )
17
2.2.3 Defisiensi Imun Spesifik Didapat
2.2.3.1 Sindrom Defisiensi Imun Didapat ( HIV )
Human Immunodeficiency Virus (HIV) telah diakui sebagai virus penyebab
AIDS. Virus golongan retroviridae ini adalah limfotropik dan menimbulkan efek
sitopatologik pada sel Th/helper/inducer/T4. Virus ini hidup dan berkembang biak
di dalam sel Th dan mengakibatkan hancurnya sel-sel tersebut. Virus diikat
petanda permukaan T4 sehingga sel tersebut dibunuhnya, dengan akibat jumlah
T4 di bawah T8.
Efek sitopatologik HIV tersebut menimbulkan limfopenia yang selektif pada
Th, sehingga perbandingan Th:Ts atau perbandingan T4:T8 menjadi terbalik atau
lebih kecil daripada 1. Induksi sel T diperlukan untuk mempertahankan fungsi sel-
sel faktor sistem imun lainnya agar tetap baik. Pada HIV/AIDS, sel Th tidak
berfungsi dengan baik, karenanya tidak dapat memberikan induksi yang
diperlukan. Gangguan kuantitas dan kualitas sel Th akan menimbulkan kerentanan
yang meninggi terhadap infeksi opurtunistik.
Sering juga ditemukan peningkatan IgG dan IgA. Dalam serum penderita
AIDS telah ditemukan faktor supresif terhadap proliferasi sel T sehinga sel
tersebut tidak memberikan respons terhadap mitogen dan dalam mixed lymphocyte
culture (MLC). Beberapa peneliti menduga bahwa faktor supresif tersebut adalah
antibody terhadap sel T dan dibentuk oleh sel monosit akibat interaksi dengan sel
T. Mekanisme faktor supresif ini belum jelas, tetapi diduga kerjanya mencegah
sintesis dan sekresi limfokin, antara lain interleukin-2 ( IL-2) atau T cell Growth
Factor.
Infeksi HIV tersebut akan menghancurkan dan mengganggu fungsi sel Th
sehingga tidak dapat memberikan induksi kepada sel-sel efektor sistem imun.
Tanpa adanya induksi Th, sel-sel efektor sistem imun seperti T8 sitotoksik,sel NK
dan sel B tidak dapat berfungsi dengan baik ( Baratawidjaja, 1996 ).
18
2.3 TB ( Tuberkulosis )
2.3.1 Definisi
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri
yang nama ilmiah adalah Mycobacterium tuberculosis . Ini pertama kali diisolasi
pada tahun 1882 oleh seorang dokter Jerman bernama Robert Koch yang
menerima hadiah Nobel untuk penemuan ini. TB paling sering mempengaruhi
paru-paru, tetapi juga dapat melibatkan hampir semua organ tubuh ( George,
2010).
2.3.2 Epidemiologi TB
Prevalensi tertinggi infeksi tuberkulosis dan taksiran tahunan risiko infeksi
tuberkulosis berada di sub-Sahara Afrika dan Asia Tenggara. Secara keseluruhan,
hampir 3,8 juta kasus tuberkulosis dilaporkan di dunia dalam 1990, dimana 49%
berada di Asia Tenggara. Pada tahun 1990, 7,5 juta kasus diperkirakan dan 2,5
juta angka kematian dicatat di seluruh dunia ( Raviglione, 1995 ).
TB merupakan salah satu masalah kesehatan penting di Indonesia. Selain itu,
Indonesia menduduki peringkat ke-3 di kalangan negara dengan jumlah penderita
TB terbanyak di dunia setelah India dan China. Jumlah pasien TB di Indonesia
adalah sekitar 5,8 % dari total jumlah pasien TB dunia. Di Indonesia, diperkirakan
setiap tahun terdapat 528.000 kasus TB baru dengan kematian sekitar 91.000
orang. Angka prevalensi TB di Indonesia pada tahun 2009 adalah 100 per 100.000
penduduk dan TB terjadi pada lebih dari 70% usia produktif. Dalam pada itu
kerugian ekonomi akibat TB juga cukup besar ( Bakti Husada, 2010 ).
19
2.3.3 Faktor Risiko
Beberapa faktor risiko infeksi tentu saja termasuk riwayat kontak pasien
dengan TB menular, misalnya dalam pengaturan rumah tangga, penjara dan
pekerjaan tertentu, seperti kerja di rumah sakit. Perkembangan penyakit dapat
difasilitasi oleh co-morbiditas, seperti HIV / AIDS, diabetes atau silikosis, serta
kekurangan gizi dan merokok. Selain itu, hasil yang merugikan secara langsung
atau secara tidak langsung berhubungan dengan alkoholisme dan penggunaan obat
intravena serta kemiskinan ( WHO, 2005 ).
2.3.3.1 Bagaimana pasien HIV bisa terinfeksi Tuberkulosis
Mycobacterium tuberculosis, organisme penyebab tuberkulosis menyebar
hampir secara eksklusif melalui jalur pernafasan. Orang dengan TB paru aktif
menularkannya melalui batuk atau bersin. Ketika seorang individu rentan
menghirup partikel berukur <10 mikron, ia akan mencapai alveoli (kantung udara
kecil) di paru-paru, dan menetapkan infeksi TB. Dengan sistem kekebalan yang
kuat, pasien tidak akan mengembangkan penyakit TB. Orang dengan infeksi TB
laten adalah asimtomatik dan tidak menyebarkan TB ke orang lain. Satu-satunya
bukti bahwa mereka telah memiliki infeksi TB adalah hasil tes kulit tuberkulin
positif. Karena depresi sistem imunitas pada pasien dengan penyakit HIV, sistem
kekebalan tubuh tidak dapat melawan organisme yang menyerang tubuh.
Multiplikasi yang cepat terjadi pada pelbagai lokasi organ secara bersamaan.
Pasien dengan penyakit HIV mungkin tidak dapat membatasi multiplikasi
Mycobacterium tuberculosis dan dengan demikian orang yang terinfeksi HIV
mungkin memiliki kerusakan multiorgan ( Verma, 2008 ).
20
2.3.4 Patogenesis
2.3.4.1 Tuberkulosis Primer
Mycobacterium tuberculosis yang masuk melalui saluran napas akan
bersarang di jaringan paru, dimana ia akan membentuk suatu sarang pneumonik
yang disebut sarang primer atau afek primer atau sarang fokus Ghon. Sarang
primer ini mungkin timbul di bagian mana saja dalam paru, berbeda dengan
sarang reaktivitas. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah
bening menuju hilus (limfangitis regional). Peradangan tersebut diikuti oleh
pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional). Sarang primer
limfangitis lokal dan limfadenitis regional dikenal sebagai kompleks primer
(Ranke). Semua proses ini memakan waktu 3-8 minggu. Kompleks primer ini
selanjutnya dapat sembuh sama sekali tanpa meninggalkan kecacatan. Ini sering
terjadi atau pasien bisa sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-
garis fibrotik dan kalsifikasi di hilus.
2.3.4.2 Tuberkulosis Sekunder ( Post - Primer )
Kuman yang dormant pada TB primer akan muncul bertahun-tahun
kemudian sebagai infeksi endogen menjadi TB dewasa. Mayoritas reinfeksi
mencapai 90%. TB sekunder terjadi karena imunitas menurun yang disebabkan
malnutrisi, pengambilan alkohol, penyakit maligna, diabetes, AIDS dan gagal
ginjal. TB post-primer ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di regio atas
paru (bagian apikalposterior lobus superior atau inferior). Invasinya adalah ke
daerah parenkim paru. Terjadinya perkijuan dan kavitas adalah karena hidrolisis
protein lipid dan asam nukleat oleh enzim yang diproduksi oleh makrofag, dan
proses yang berlebihan antara sitokin dengan TNF-nya ( Israr, 2009 ).
21
2.3.5 Gejala Klinis
Gejala penyakit TB dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala khusus
yang timbul sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran secara klinis tidak
terlalu khas terutama pada kasus baru, sehingga cukup sulit untuk menegakkan
diagnosa secara klinik.
2.3.5.1 Gejala sistemik/umum
Gejala sistemik yang bisa ditemui adalah seperti, batuk-batuk selama lebih
dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah), demam tidak terlalu tinggi yang
berlangsung lama, penurunan nafsu makan dan berat badan dan perasaan tidak
enak (malaise) serta lemah.
2.3.5.2 Gejala khusus:
Gejala khusus tergantung dari organ tubuh mana yang terkena. Bila terjadi
sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan
kelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan suara “mengi”, suara
nafas melemah yang disertai sesak. Kalau ada cairan di rongga pleura
(pembungkus paru-paru), timbul keluhan sakit dada. Bila mengenai tulang, maka
akan terjadi gejala seperti infeksi tulang. Pada anak-anak dapat mengenai otak
(lapisan pembungkus otak) dan disebut sebagai meningitis (radang selaput otak)
dan gejalanya adalah demam tinggi, adanya penurunan kesadaran dan kejang-
kejang ( Werdhani, 2008 ).
2.3.5.3 Gejala klinis pada pasien HIV yang terinfeksi Tuberkulosis
Antara gejala klinis yang ditemui pada pasien HIV yang menderita
Tuberkulosis adalah seperti batuk yang berlanjutan selama tiga minggu atau lebih,
kekurangan berat badan, demam selama empat minggu atau lebih, berkeringat di
malam hari selama empat minggu atau lebih, indeks massa tubuh (BMI) 18 atau
kurang, dan limfadenopati di bawah kulit, batuk berdahak, nyeri dada, kelemahan
atau kelelahan, kurangnya nafsu makan ( Werdhani, 2008 ).
22
2.3.6 Diagnosa
Apabila dicurigai seseorang tertular penyakit TB, maka beberapa hal yang
perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah anamnesis yang baik
terhadap pasien maupun keluarganya, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium (darah, dahak, cairan otak), pemeriksaan patologi anatomi (PA),
Rontgen dada dan Uji tuberkulin ( Werdhani, 2008 ).
Diagnosis TB pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan ditemukannya
BTA pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan
positif apabila dua dari tiga SPS BTA hasilnya positif. Bila hanya 1 spesimen
yang positif, perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut yaitu foto rontgen dada atau
pemeriksaan spesimen SPS diulang. Kalau hasil rontgen mendukung TB, maka
penderita didiagnosis sebagai penderita TB BTA positif. Kalau hasil rontgen tidak
mendukung TB, maka pemeriksaan lain, misalnya biakan harus dilakukan. Bila
tiga spesimen dahak negatif, diberikan antibiotik spektrum luas (misalnya
Kotrimoksasol atau Amoksisilin) selama 1 - 2 minggu. Bila tidak ada perubahan,
namun gejala klinis tetap mencurigakan TB, ulangi pemeriksaan dahak SPS.
Kalau hasil SPS positif, didiagnosis sebagai penderita TB BTA positif. Kalau
hasil SPS tetap negatif, lakukan pemeriksaan foto rontgen dada untuk mendukung
diagnosis TB. Bila hasil rontgen mendukung TB, diagnosis sebagai penderita TB
BTA negatif rontgen positif. Bila hasil rontgen tidak mendukung TB, penderita
tersebut bukan TB. Beberapa gambaran yang patut dicurigai sebagai proses
spesifik adalah infiltrat, kavitas, kalsifikasi dan fibrosis ( pembentukan jaringan
ikat pada proses pemulihan atau reaktif) dengan lokasi di lapangan atas
paru(apeks) ( Werdhani, 2008 ).
23
2.3.7 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium melibatkan darah, sputum, tes tuberkulin, serologi,
Enzym linked immunosorbent assay ( ELISA ), Mycodot, dan Uji peroksidase anti
peroksidase (PAP) ( Israr, 2009 ).
2.3.8 Penatalaksanaan
2.3.8.1 Perawatan Medis
Tujuan pengobatan penderita tuberkulosis adalah untuk menyembuhkan
penderita, mencegah kematian, mencegah kekambuhan atau timbulnya resistensi
terhadap OAT dan memutuskan rantai penularan. Prinsip pengobatan obat TB
diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup
dan dosis tepat selama 6 – 8 bulan, agar semua kuman (termasuk kuman persisten)
dapat dibunuh. Apabila panduan obat yang digunakan tidak adekuat (jenis, dosis
dan jangka waktu pengobatan), kuman TB akan berkembang menjadi kuman
kebal obat (resisten). Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif
dan tahap lanjutan. Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari
dan diawasi langsung untuk mencegah terjadinya resistensi terhadap semua Obat
Anti TB (OAT), terutama rifampisin. Bila pengobatan tahap intensif diberikan
secara tepat, penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2
minggu. Sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi BTA negatif pada
akhir pengobatan intensif. Sedangkan pada tahap lanjutan penderita mendapat
jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama.
Paduan Obat Anti TB (OAT) di Indonesia berdasarkan WHO dan IUATLD
(International Union Againts Tuberculosis and Lung Diseases)
merekomendasikan paduan OAT standar yang dibahagi pada 3 kategori iaitu
kategori 1 (2 HRZE /4 H3R3 atau 2 HRZE / 4 HR atau 2 HRZE / 6 HE); kategori
2 (2 HRZES / HRZE/ 5 H3R3E3 atau 2 HRZES / HRZE / 5 HRE); kategori 3 (2
HRZ /4 H3R3 atau 2HRZ / 4 HR atau 2 HRZ / 6 HE). Program Nasional
24
Penanggulangan TB di Indonesia menggunakan paduan OAT, yaitu : kategori 1 (2
HRZE / 4 H3R3); kategori 2 (2 HRZES / HRZE/ 5 H3R3E3); dan paduan obat
sisipan (HRZE).
Obat kategori 1 adalah (2 HRZE / 4 H3R3). Tahap intensif terdiri dari
isoniazid (H), rifampisin (R), pirazinamid (Z), dan ethambutol (E). Obat–obat
tersebut diberikan setiap hari selama 2 bulan (2 HRZE). Tahap ini diteruskan
dengan tahap lanjutan yang terdiri dari isoniazid (H) dan rifampisin (R) yang
diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan. Obat ini diberikan pada
penderita baru TB Paru BTA positif , penderita TB Paru BTA negatif rontgen
positif yang secara klinis sakit berat, dan penderita TB Ekstra Paru yang secara
klinis sakit berat.
Obat kategori 2 adalah (2 HRZES / HRZE / 5 H3R3E3). Tahap intensif
terdiri dari isoniazid (H), rifampisin (R), pirazinamid (Z), ethambutol (E) dan
suntikan streptomisin setiap hari di unit pelayanan kesehatan selama 2 bulan.
Tahap ini dilanjutkan dengan isoniazid (H), rifampisin (R), pirazinamid (Z), dan
ethambutol (E) setiap hari selama 1 bulan. Setelah itu diteruskan dengan tahap
lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan tiga kali dalam seminggu.
Obat kategori 2 ini diberikan pada penderita kambuh (relaps), penderita gagal
(failure), dan penderita dengan pengobatan yang lalai (after default).
Obat sisipan (HRZE) diberikan apabila pada akhir tahap intensif dari
pengobatan dengan kategori 1 atau kategori 2, hasil pemeriksaan sputum masih
BTA positif. Obat sisipan (HRZE) diberikan setiap hari selama 1 bulan. Kini telah
diperkenalkan obat dalam bentuk FDC (Fixed Dose Combination/ Kombinasi
Dosis Tetap). Dalam satu tabletnya terdiri dari 2,3 atau 4 obat sekaligus. Obat
jenis ini harus diproduksi secara baik untuk menjamin bioavailabilitas obat-obat
yang tercampur dalam satu tablet. WHO menganjurkan obat 4 FDC, yang berisi
25
rifampisin 150 mg, INH 75 mg, ethambutol 275 mg, dan pirazinamid 400 mg,
diberikan satu tablet untuk setiap 15 kilogram berat badan ( Israr, 2009 ).
2.3.8.2 Perawatan Bedah
Bedah reseksi dari paru-paru yang terinfeksi dapat dianggap untuk
mengurangi beban bacillary pada MDR-TB. Prosedur termasuk segmentektomi
(jarang digunakan), lobektomi, dan pneumonektomi. Komplikasi meliputi
komplikasi perioperatif biasa, penyakit kambuhan, dan fistula bronkopleural
( Thomas, 2007 ).
2.3.9 Prognosa dan Pencegahan
Prognosis untuk pemulihan dari TB baik untuk sebagian besar pasien jika
penyakit ini didiagnosis dini dan diberikan pengobatan yang awal dengan obat
yang sesuai dengan rejimen jangka panjang. Metode bedah moden memiliki hasil
yang baik dalam banyak kasus ( Cramer, 2006 ).
TB adalah penyakit yang dapat dicegah. Pengujian kulit (PPD) untuk TB
digunakan di populasi berisiko tinggi atau pada orang yang mungkin telah terkena
TB, seperti pekerja kesehatan. Tes kulit positif menunjukkan pajanan TB dan
infeksi tidak aktif. Orang yang telah terpapar pada TB harus langsung diuji dan
harus melakukan ujian lanjutan jika tes pertama negatif. Pengobatan dini sangat
penting dalam mengendalikan penyebaran TB dari orang-orang yang memiliki
penyakit TB aktif kepada mereka yang tidak pernah terinfeksi TB. Beberapa
negara dengan tingginya insiden TBC menyediakan vaksinasi BCG untuk
masyarakat supaya mencegah TB ( Dugdale, 2009 ).
2.3.10 Perawatan Pasien HIV yang terinfeksi TB
Manajemen pengobatan TB pada orang dengan HIV pada dasarnya sama
seperti untuk pasien tanpa HIV tetapi ada beberapa perbedaan penting. Regimen
yang direkomendasikan pada orang dewasa terinfeksi HIV (saat penyakit
26
disebabkan oleh organisme yang diketahui atau dianggap menjadi peka terhadap
lini pertama obat) adalah rejimen 6 bulan yang terdiri daripada fase awal isoniazid
(INH), rifampisin, pirazinamid (PZA), dan ethambutol (EMB) untuk 2 bulan yang
pertama dan fase kelanjutan dari INH dan rifampisin untuk 4 bulan terakhir.
Pasien dengan jumlah CD4 <100/μl harus ditangani setiap hari atau 3 kali per
minggu baik di fase awal mahupun fase lanjut. Durasi terapi selama enam bulan
perlu dipertimbangkan sebagai jangka waktu minimal pengobatan untuk orang
dewasa dengan HIV. Terapi harus diperpanjang sampai 9 bulan untuk pasien
terinfeksi HIV dengan responnya kurang baik terhadap terapi awal. Harus diberi
perhatian dalam mengobati TB pada orang yang terinfeksi HIV karena interaksi
rifampisin (RIF) dengan agen antiretroviral yang lain.
Directly observed therapy (DOT) dan tindakan lain harus mempromosikan
strategi yang bisa digunakan pada semua pasien TB yang berhubungan dengan
HIV. Perawatan untuk pasien HIV dengan TB harus mencakup perhatian terhadap
kemungkinan kegagalan pengobatan TB, kegagalan pengobatan antiretroviral,
efek samping untuk semua obat yang dipakai, dan toksisitas obat ( CDC, 2008 ).
27
BAB 3
KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1. Kerangka Konsep Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka kerangka konsep dalam penelitian
adalah karakteristik pasien HIV dengan Tuberkulosis :
Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian
Penderita HIV
dengan
Tuberkulosis
Karakteristik penderita
berdasarkan :
- Usia
- Jenis Kelamin
- Faktor Risiko
- Status sosioekonomi
- Infeksi Opurtunistik Lain
28
3.2. Definisi Operasional Variabel
Dalam penelitian ini, karakteristik didefinisikan sebagai sebuah fitur yang
membantu untuk mengidentifikasi, membedakan, atau menggambarkan suatu
tanda atau ciri ( Livingstone, 1982 ) yaitu karakteristik pasien HIV dengan
Tuberkulosis dari 1 Juli 2008 sehingga 31 Juli 2010 di RSUP Haji Adam Malik.
Definisi usia berdasarkan penelitian ini adalah umur pasien yaitu golongan
umur 10-20 tahun, 21-50 tahun, 51-65 tahun dan lebih daripada 65 tahun.
Definisi jenis kelamin berdasarkan penelitian ini adalah gender pasien yang
terdapat pada status penderita HIV yang dikategorikan kepada 2 kelompok yaitu
laki-laki dan perempuan.
Definisi faktor risiko berdasarkan heteroseksual, homoseksual, biseksual,
transfusi darah, dan IDU ( Injecting Drug Users ).
Definisi status sosioekonomi berdasarkan penelitian mencakup tingkat
pendidikan, pekerjaan dan tempat tinggal. Bagi tingkat pendidikan, dibahagi
kepada tidak bersekolah, SD, SMP, SMU, Akademi dan Universitas. Bagi
pekerjaan pula dibahagi kepada tidak bekerja atau bekerja. Bagi tempat tinggal
pula, dibahagikan kepada 15 jenis kota/kabupaten yang berbeda.
Definisi Infeksi Opurtunistik lain pula adalah sama ada pasien menderita
infeksi opurtunistik lain atau tidak.
29
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah jenis penelitian deskriptif dengan studi retrospektif yang
bertujuan untuk mengetahui Karakteristik Pasien HIV dengan Tuberkulosis di
RSUP Haji Adam Malik, Medan tahun 2008 – 2010.
4.2 Waktu dan Lokasi Penelitian
4.2.1 Waktu Penelitian
Penelitian ini direncanakan berlangsung selama 3 bulan, setelah proposal
penelitian disusun dan seminar proposal dilaksanakan mulai dari bulan Augustus
hingga bulan Oktober 2010. Pengumpulan data dari rekam medis akan dilakukan
dalam masa ini.
4.2.2 Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam
Malik, Medan propinsi Sumatera Utara karena rumah sakit ini merupakan salah
satu rumah sakit rujukan untuk penderita HIV di Sumatera Utara. Sepanjang
penelitian, data akan diambil dari Pusat Pelayanan Khusus ( Pusyansus ) di RSUP
Haji Adam Malik.
30
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian
4.3.1 Populasi Penelitian
Populasi atau sering juga disebut universe adalah keseluruhan atau totalitas
objek yang diteliti yang ciri-cirinya akan diduga atau ditaksir (estimated)
( Sugiana, 2008 ). Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien HIV yang
menderita Tuberkulosis yang pernah dirawat di Rumah Sakit Umum Pusat Haji
Adam Malik, Medan dari 1 Juli 2008 hingga 31 Juli 2010.
4.3.2 Sampel Penelitian
4.3.2.1 Cara Pemilihan Sampel
Jenis sampling yang digunakan adalah total sampling. Sampel yang diambil
adalah semua pasien HIV yang menderita penyakit Tuberkulosis yang tercatat
dalam rekam medis periode 1 Juli 2008 hingga 31 Juli 2010.
4.4 Teknik Pengumpulan Data
Untuk pengumpulan data, diambil rekam medis kesemua pasien HIV yang
menderita Tuberkulosis yang dirawat di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam
Malik, Medan dari 1 Juli 2008 hingga 31 Juli 2010.
4.5 Pengolahan dan Analisa Data
Setelah mengumpul data dari rekam medis, data diolah dengan menggunakan
program SPSS for Windows 17.0 dan disajikan dalam bentuk tabel dan diagram.
31
BAB 5
HASIL PENELITIAN dan PEMBAHASAN
5.1 Hasil Penelitian
Proses pengambilan data untuk penelitian ini telah dilakukan pada tanggal 6
Oktober 2010 di Pusat Pelayanan Khusus ( Pusyansus ) di Rumah Sakit Umum
Pusat Haji Adam Malik, Medan dengan total sampel sebanyak 233 orang untuk
mengetahui Karakteristik Pasien HIV dengan Tuberkulosis di RSUP Haji Adam
Malik, Medan tahun 2008 – 2010.
5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian
Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik, Medan ini beralamat di Jalan
Bunga Lau no. 17, Medan, terletak di kelurahan Kemenangan, kecamatan Medan
Tuntungan. RSUP H. Adam Malik, Medan merupakan Rumah Sakit kelas A
sesuai dengan SK Menkes No. 335/Menkes/SK/VIII/1990. Di samping itu, RSUP
H. Adam Malik adalah Rumah Sakit Rujukan untuk wilayah pembangunan A
yang meliputi Propinsi Sumatera Utara, Aceh, Sumatera Barat, dan Riau.
RSUP H. Adam Malik, Medan mempunyai tugas melaksanakan upaya
kesehatan secara berdaya guna dan berhasil guna dengan mengutamakan upaya
penyembuhan dan pemulihan yang dilaksanakan secara terpadu dengan upaya
peningkatan dan pencegahan serta melaksanakan upaya rujukan.
RSUP H. Adam Malik, Medan bekerja sama dengan Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara dan lembaga lainnya dalam menyelanggarakan
pendidikan klinik calon dokter dan pendidikan dokter keahlian, calon dokter
spesialis serta tenaga kesehatan lainnya.
32
5.1.2 Deskripsi Karekteristik Responden
Responden yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah kesemua pasien
HIV dengan Tuberkulosis yang mendapat rawatan di RSUP Haji Adam Malik,
Medan dari tahun 2008 – 2010.
5.1.3 Karakteristik Pasien HIV dengan Tuberkulosis
Karakteristik Pasien HIV dengan Tuberkulosis berdasarkan umur, jenis
kelamin, tempat tinggal, tahap pendidikan, pekerjaan, faktor risiko dan infeksi
opurtunistik lain dapat dilihat pada tabel-tabel di bawah.
Tabel 5.1 Distribusi penderita berdasarkan Umur
Umur Frekuensi Persentase ( % )
21-50 tahun 225 96,6
10-20 tahun 4 1,7
51-65 tahun 2 0,9
> 65 tahun 2 0,9
Jumlah 233 100
Dari tabel 5.1 dapat dilihat, kelompok penderita dari golongan umur 21-50 tahun
adalah yang tertinggi yaitu sejumlah 225 orang ( 96,6% ) dan yang terendah ialah
kelompok penderita dari golongan umur 51-65 tahun dan lebih daripada 65 tahun
sejumlah 2 orang ( 0,9% ).
33
Tabel 5.2 Distribusi penderita berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis Kelamin Frekuensi Persentase ( % )
Laki - Laki 202 86,7
Perempuan 31 13,4
Jumlah 233 100
Dari tabel 5.2 dapat dilihat, penderita laki - laki ialah yang tertinggi sejumlah 202
orang ( 86,7% ).
34
Tabel 5.3 Distribusi penderita berdasarkan Tempat Tinggal
Kota/Kabupaten Frekuensi Persentase ( % )
Medan 127 54,5
Deli Serdang 18 7,7
Siantar 15 6,4
Karo 14 6,0
Dairi 6 2,6
Aceh 5 2,1
Simalungun 5 2,1
Binjai 5 2,1
Riau 3 1,3
Taput 3 1,3
Tobasa 3 1,3
Langkat 3 1,3
Asahan 3 1,3
Nias 3 1,3
Jakarta 3 1,3
Tidak Diketahui 21 9,0
Jumlah 233 100
35
Dari tabel 5.3 dapat dilihat, sebaran penderita paling tinggi di Medan yaitu
sejumlah 127 orang ( 54,5% ) manakalan Riau, Taput, Tobasa, Langkat, Asahan,
Nias dan Jakarta mencatatkan angka terendah sejumlah 3 orang ( 1,3% ).
Tabel 5.4 Distribusi penderita berdasarkan Tahap Pendidikan
Tahap Pendidikan Frekuensi Persentase ( % )
SMU 166 71,2
SMP 36 15,5
SD 9 3,9
Universitas 8 3,4
Akademi 2 0,9
Tidak Diketahui 12 5,2
Jumlah 233 100
Dari tabel 5.4 dapat dilihat, sebaran penderita tertinggi di SMU yaitu sejumlah
166 orang ( 71,2% ) dan terendah di Akademi sejumlah 2 orang ( 0,9% ).
36
Tabel 5.5 Distribusi penderita berdasarkan Pekerjaan
Pekerjaan Frekuensi Persentase ( % )
Bekerja 144 61,8
Tidak Bekerja 81 34,8
Tidak Diketahui 8 3,4
Jumlah 233 100
Dari tabel 5.5 dapat dilihat, sebaran penderita adalah tertinggi untuk bekerja yaitu
sejumlah 144 orang ( 61,8% ).
37
Tabel 5.6 Distribusi penderita Faktor Risiko
Faktor Risiko Frekuensi Persentase ( % )
Heteroseksual 134 57,5
Injecting Drug Users ( IDU ) 71 30,5
Transfusi Darah 9 3,9
Homoseksual 2 0,9
Tidak Diketahui 17 7,3
Jumlah 233 100
Dari tabel 5.6 dapat dilihat, sebaran penderita adalah tertinggi untuk heteroseksual
yaitu sejumlah 134 orang ( 57,5% ) dan terendah untuk homoseksual yaitu
sejumlah 2 orang ( 0,9% ).
38
Tabel 5.7 Distribusi penderita berdasarkan Infeksi Opurtunistik Lain
Infeksi
Opurtunistik
Lain
Frekuensi Persentase
(%)
Keterangan
Ada 135 57,9 PCP,Kandidiasis,Diare,Herpes
Zoster,CMV,Toxoplasmosis
Tidak ada 98 42,1
Jumlah 233 100
Dari tabel 5.7 dapat dilihat, sebaran penderita yang ada infeksi opurtunistik lain
adalah tertinggi yaitu sejumlah 135 orang ( 57,9% ).
39
5.2 Pembahasan
5.2.1 Karakteristik Pasien HIV dengan Tuberkulosis berdasarkan umur,
jenis kelamin dan tempat tinggal.
Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.1, kelompok penderita dari
golongan umur 21-50 tahun adalah yang tertinggi yaitu sejumlah 225 orang dan
yang terendah ialah dari golongan umur 51-65 tahun ( 2 orang ) dan lebih
daripada 65 tahun ( 2 orang ). Kenyataan ini menyokong Statistik Kasus
HIV/AIDS di Indonesia yang dilaporkan s/d Juni 2010 oleh Directorate General
CDC & EH, Ministry of Health, Republic of Indonesia. Menurut statistik
penelitian tersebut, golongan umur yang mempunyai insidensi tertinggi ialah dari
golongan umur 20-49 tahun dan paling rendah ialah lebih daripada 60 tahun.
Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.2, laki-laki mencatat angka lebih
tinggi yaitu 202 orang manakala perempuan ialah 31 orang. Beberapa penelitian
menunjukkan keputusan yang hampir sama dengan angka laki-laki yang lebih
tinggi. Contohnya Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia yang dilaporkan s/d
Juni 2010 oleh Directorate General CDC & EH, Ministry of Health, Republic of
Indonesia. Statistik penelitian tersebut menyatakan bahwa persentase laki-laki
ialah 74,3 % manakala perempuan hanya 25.7%.
Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.3, Medan mencatat angka kasus
tertinggi yaitu 127 orang manakala yang terendah pula ialah Riau, Taput, Tobasa,
Langkat, Asahan, Nias dan Jakarta yaitu sejumlah 1 orang di setiap
kota/kabupaten. Menurut Candra Syafei, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi
Sumatera Utara, Kota Medan mendominasi penderita HIV/AIDS disusuli Deli
Serdang, Siantar, Simalungun dan Langkat ( WaspadaOnline, 2010 ). Menurut
Sukarni, Kepala Seksi Pencegahan Penyakit Menular Langsung Dinas Kesehatan
Sumatra Utara, Deli Serdang menduduki rangking kedua teratas setelah Kota
40
Medan ( matanews.com, 2009 ). Kenyataan-kenyataan ini menyokong hasil
penelitian yang didapatkan.
5.2.2 Karakteristik Pasien HIV dengan Tuberkulosis berdasarkan tahap
pendidikan dan pekerjaan.
Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.4, sebaran penderita tertinggi
bertahap pendidikan SMU yaitu sejumlah 166 orang ( 71,2% ). Menurut Harjoni
Desky dalam suatu artikel tentang Peran Strategis Pemuda dalam Mencegah
HIV/AIDS, para siswa yang terlibat dalam penyalahgunaan narkoba tersebar di
Jakarta-Utara (Jakut) sebanyak 248 orang dari 26 SMU, Jakarta-Pusat atau Jakpus
(109) di 12 SMU, Jakarta-Barat atau Jakbar (167) di 32 SMU, Jakarta-Timur atau
Jaktim (305) di 43 SMU dan Jakarta-Selatan atau Jaksel (186) di 40 SMU
( Kompas, 2001 ). Juga dijelaskan bahwa remaja kini memiliki sikap rasa ingin
tahu yang begitu tinggi sehingga mereka tidak segan-segan untuk melakukan hal
negatif tanpa mempertimbangkan akibat yang akan ditimbulkan.
Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.5, penderita yang bekerja mencatat
angka yang lebih tinggi yaitu 144 orang daripada yang tidak bekerja yaitu 81
orang. Berdasarkan suatu sumber, lingkungan kerja sebagian besar berada pada
risiko rendah untuk penularan Tuberkulosis. Risiko pajanan terhadap
Tuberkulosis sangat rendah di tempat kerja tetapi bagi mereka yang menderita
HIV, mereka berada pada tahap risiko yang lebih tinggi ( The National AIDS
Fund, 2003 ).
41
5.2.3 Karakteristik Pasien HIV dengan Tuberkulosis berdasarkan faktor
risiko dan infeksi opurtunistik yang lain.
Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.6, sebaran penderita adalah tertinggi
untuk heteroseksual yaitu sejumlah 134 orang dan terendah untuk homoseksual
yaitu sejumlah 2 orang. Kenyataan ini menyokong Statistik Kasus HIV/AIDS di
Indonesia yang dilaporkan s/d Juni 2010 oleh Directorate General CDC & EH,
Ministry of Health, Republic of Indonesia. Menurut statistik penelitian tersebut,
angka tertinggi dicatat oleh golongan heteroseksual yaitu 49,2%. Dalam suatu
artikel kesehatan, Pengelola Program HIV/AIDS dan IMS Dinkes Bali, Dr.Gde
Agus Suryadinata mengatakan heteroseksual masih merupakan faktor risiko yang
paling banyak ditemukan dalam penularan HIV dan mengambil bagian sekitar
69% dari faktor risiko yang lain ( Bali Post, 2010 ).
Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.7, sebaran penderita yang ada
infeksi opurtunistik lain adalah sejumlah 135 orang dan tidak mempunyai infeksi
opurtunistik lain sejumlah 98 orang. Dalam suatu artikel tentang Aspek Kesehatan
Masyarakat HIV-TB di Indonesia ( Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas
Indonesia ), Pandu Riono menyatakan bahwa selain Tuberkulosis, juga terdapat
infeksi opurtunistik lain yang bisa menyertai seperti Kandidiasis ( 80,8% ),
Pneumocystis carinii Pneumonia ( 13,4% ), Diare ( 27,1% ), Herpes Zoster ( 6,3%
), Cytomegalovirus ( 28,8% ) dan Toxoplasmosis ( 17,3% ).
Selain itu, penelitian ini juga ada kelemahannya. Kelemahannnya mungkin
dari data yang diambil karena pasien mungkin menderita Tuberkulosis sebelum
didiagnosa HIV/AIDS dan kesingkatan waktu sepanjang durasi proses
pengambilan data mungkin menyebabkan adanya sedikit perbedaan jika dibanding
dengan penelitian-penelitian lain.
42
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Kesimpulan berdasarkan hasil analisa dan pembahasan terhadap data yang
diperoleh ialah :
1) Kelompok penderita dari golongan umur 21-50 tahun mencatat angka tertinggi
yaitu sejumlah 225 orang ( 96,6% ).
2) Laki-laki mencatat angka tertinggi yaitu 202 orang ( 86,7% ) manakala
perempuan ialah 31 orang ( 13,4% ).
3) Kota Medan mencatat bilangan kasus tertinggi yaitu sejumlah 127 orang
( 54,5% ).
4) Dari hasil penelitian, sebaran penderita tertinggi bertahap pendidikan SMU
yaitu sejumlah 166 orang ( 71,2% ).
5) Sebaran penderita adalah tertinggi untuk bekerja yaitu sejumlah 144 orang
( 61,8% ) manakala 81 orang ( 34,8% ) untuk tidak bekerja.
6) Faktor risiko yang mencatat angka tertinggi ialah heteroseksual yaitu sejumlah
134 orang ( 57,5% ).
43
6.2 Saran
1) Dapat dilakukan penyuluhan kepada semua golongan umur yaitu dari remaja
hingga ke orang tua dan kedua jenis kelamin tentang bahaya HIV/AIDS dengan
Tuberkulosis dan infeksi opurtunistik lain yang bisa menyertai.
2) Disarankan pada institusi kesehatan / pendidikan di semua kota/kabupaten
untuk merencanakan suatu strategi pelayanan kesehatan yang lebih baik dalam
pencegahan tuberkulosis pada pasien HIV.
3) Pengusaha di tempat kerja harus bertanggungjawab mewujudkan suasana
tempat kerja yang baik dan pertolongan pertama prosedur standar yang
mempromosikan tempat kerja yang sehat yang akan melindungi pasien HIV
mendapat Tuberkulosis.
4) Dijalankan penelitian lanjutan untuk mengetahui lebih dalam tentang penyakit
HIV/AIDS ini yang disertai dengan infeksi opurtunistik, Tuberkulosis.
44
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, R.A., 2005. Laporan Survei Perilaku Tertular HIV Indonesia, BP
DepKes, 2005. Available from:
h ttp://www.tbhiv.net/protocol_development/pelatihan_files/materi_pelatihan
/Materi_Pelatihan_dr.Riris_Andono%20A,_MPH.pdf [ Accesed 10 Februari
2010]
Bakti Husada, 2010. Pengendalian TB di Indonesia mendekati target MDG.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Available from :
http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/857-pengendalian-
tb-di-indonesia-mendekati-target-mdg.html [ Accesed 16 Februari 2010]
Baratawidjaja, K.G., 1996. Imunologi Dasar, Edisi Ketiga,FKUI, 170-183.
Brown, J.C., 1995. AIDS,HIV dan Sistem Kekebalan. Available from :
http://translate.google.co.id/translate?hl=id&langpair=en|id&u=http://
people.ku.edu/~jbrown/hiv.html [ Accesed 2 Maret 2010 ]
Centers for Disease Control and Prevention, 2008. Pengobatan Tuberkulosis
Rentan Penyakit-Narkoba di Orang Terinfeksi HIV. Available from :
http://translate.googleusercontent.com/translate_c?hl=id&langpair=en|
id&u=http://www.cdc.gov/tb/publications/factsheets/treatment/
treatmentHIVpositive.htm&rurl [ Accesed 28 Februari 2010 ]
45
Chandra Syafei, 2010. Pusat Berita Dan Informasi Medan, Sumut,Aceh. Available
from:http://www.waspada.co.id/index.php?
option=com_content&view=article&id=14563:medan-dominasi-penderita-
hivaids&catid=77:fokusutama&Itemid=131 [ Accesed 22 September 2010]
Charles, A.J., 2001. Genetic Encyclopedia. Available from :
http://www.answers.com/topic/hiv [ Accesed 15 Februari 2010 ]
Coffey, S.C., 2007, et al. HIV/AIDS. UCSF Medical Center, 2007. Available
from :
http://www.ucsfhealth.org/adult/medical_services/infect/hiv/conditions/hiv/
treatments.html [ Accesed 13 Maret 2010 ]
Cramer, D.A., 2006. Prognosis Tuberkulosis. Medical Encyclopedia. Available
from : http://www.answers.com/topic/tuberculosis-prognosis [ Accesed 16
Maret 2010 ]
Ditjen PPM & PL Depkes RI, 2010. Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia.
Available from: http://www.aidsindonesia.or.id/repo/LT1Menkes2010.pdf
[Accesed 26 September 2010]
Dugdale, D.C., 2009. TBC PAru – Pencegahan. University of Maryland Medical
Center (UMMC). Available from :
http://www.umm.edu/ency/article/000077prv.htm [ Accesed 14 Maret 2010]
Gambit, 2007. Komunitas AIDS Indonesia. Available from :
http://aids-ina.org/modules.php?name=News&file=article&sid=501
[ Accesed 20 April 2010]
Gde Agus Suryadinata, 2010. Penderita HIV/AIDS di Bali Heteroseksual, Risiko
Penularan Terbanyak. Available from :
46
http://www.balipost.co.id/mediadetail.php?
module=detailberita&kid=10&id=42461 [ Accesed 26 September 2010]
George, S, 2010. Tuberkulosis.WebMD. Available from :
http://www.medicinenet.com/tuberculosis/article.htm [ Accesed 6 Maret
2010 ]
Harjoni Desky, 2009. Peran Strategis Pemuda dalam Mencegah
HIV/AIDS.Available from:
http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=20&jd=Peran+Strategis+Pe
muda+dalam+Mencegah+HIV/AIDS&dn=20091203013559 [ Accesed 22
September 2010]
Hunt, R., 2009. Human Immunodeficiency Virus dan AIDS : Microbiology and
Immunology Online; University of South Carolina School of Medicine.
Available from : http://pathmicro.med.sc.edu/lecture/HIV3.htm [ Accesed
20 Maret 2010 ]
Israr, Y.A., 2009, et al. Tuberkulosis Paru : Faculty Of Medicine, University of
Riau. Available from :
http://yayanakhyar.files.wordpress.com/2009/08/tuberkulosis-
paru_files_of_drsmed.pdf [ Accesed 3 Maret 2010 ]
Komisi Penanggulangan AIDS, 2007. Strategi Nasional Penanggulangan Hiv
dan AIDS 2007-2010, Draft Final 040107. Available from :
http://www.undp.or.id/programme/propoor/The%20National%20HIV%20&
%20AIDS%20Strategy%202007-2010%20%28Indonesia%29.pdf [ Accesed
15 April 2010.]
McCutchan, J.A., 2009. Human Innumodeficiency Virus (HIV). The Merck
Manuals Online Medical Library. Available
47
from:http://www.merck.com/mmpe/sec14/ch192/ch192a.html [ Accesed 12
April 2010 ]
Merati, T.P., 1999, et al. Division of Allergy & Clinical Immunology : Faculty of
Medicine, University of Indonesia. Available from:
http://www.jacinetwork.org/index.php?
option=com_content&view=article&id=64:respons-imun-infeksi-
hiv&catid=42:immunodeficiency--hiv&Itemid=68 [ Accesed 19 Februari
2010 ]
Morison, L, 2001. Epidemiologi global HIV / AIDS, British Medical Bulletin.
Available from :
http://bmb.oxfordjournals.org/cgi/content/short/58/1/7&ei=Q5jcSL0FIzCrAf
AtpDoBw&sa=X&oi=translate&ct=result&resnum=4&ved=0CCYQ7gEwA
w&prev=/search%3Fq%3Depidemiologi%2BHIV%2Bglobal%26hl%3Did
%26client%3Dfirefox-a%26hs%3Dgrz%26rls%3Dorg.mozilla:en-
US:official [ Accesed 12 Februari 2010 ]
Pandu Riono, 2008. TB-HIV di Indonesia dari aspek kesmas. Available from:
http://www.scribd.com/doc/4645922/TBHIV-di-Indonesia-dari-aspek-kesmas
[ Accesed 26 September 2010]
Peter, H, 2009, et al. Global epidemiologi dari HIV, Lippincott Williams &
Wilkins. Available from :
http://journals.lww.com/cohivandaids/Fulltext/2009/07000/Global_epidemio
logy_of_HIV.4.aspx&ei=Q5jcSL0FIzCrAfAtpDoBw&sa=X&oi=translate&
ct=result&resnum=10&ved=0CEgQ7gEwCQ&prev=/search%3Fq
%3Depidemiologi%2BHIV%2Bglobal%26hl%3Did%26client%3Dfirefoxa
%26hs%3Dgrz%26rls%3Dorg.mozilla:en-US:official [ Accesed 12 Februari
2010 ]
48
Puraja, Y.S., 2008. Human Immunodeficiency Virus. Available from :
http://mikrobia.files.wordpress.com/2008/05/yemima-septiany-puraja-
0781141201.pdf [ Accesed 13 April 2010]
Qauliyah, A., 2007. Hari Tuberkulosis Sedunia, AstaMedia Group. Available
from : http://astaqauliyah.com/2007/03/hari-tuberculosis-sedunia/ [ Accesed
10 Februari 2010]
Rampal, K.G., 2008. HIV/AIDS di tempat kerja, Universiti Kebangsaan
Malaysia. Available from : http://www.rcoh.org.my/images/KGRampal.pdf
[ Accesed 7 April 2010]
Raviglione, M.C., 1995. Epidemiologi Global TB: Morbiditas dan mortalitas
dari epidemi di seluruh dunia.US National Library of Medicine. Available
from :
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/7807661&ei=MjTdS4iEE4SzrAfvg5
DZBw&sa=X&oi=translate&ct=result&resnum=2&ved=0CBEQ7gEwAQ&
prev=/search%3Fq%3DRaviglione%2BMC,%2B1995%2Bepidemiologi
%2BTB%26hl%3Did%26client%3Dfirefox-a%26hs%3DdF%26rls
%3Dorg.mozilla:en-US:official [ Accesed 10 Februari 2010 ]
Robert, C.H., 2006. Epidemiologi Tuberkulosis. WHO Stop TB Strategi baru.
Lancet 2006. Available
from :http://www.uptodate.com/patients/content/topic.do?
topicKey=~XyXmh5DMv7NDWy [ Accesed 27 Maret 2010]
Saroso, S., 2007. Penderita TB harus waspada terkena HIV. Kelompok kerja
HIV/AIDS ( POKJA AIDS ). Available from :
http://www.aids-rspiss.com/articles.php?lng=in&pg=613 [ Accesed 14 April
2010]
49
Sugiana, D., 2008. Populasi dan teknik sampling. Available from :
http://dankfsugiana.wordpress.com/2008/07/08/populasi-dan-teknik-
sampling/ [ Accesed 20 Maret 2010 ]
Szeftel A, 2010. Alergi, Imunologi, Penyakit Paru & Critical Care. Internal
Medicine. Available from :
http://www.emedicinehealth.com/hivaids/article_em.htm&ei=GiLdS8GN42
yrAfWnMHaBw&sa=X&oi=translate&ct=result&resnum=3&ved=0CB4Q7
gEwAg&prev=/search%3Fq%3DDiagnosa%2BHIV%2Bemedicine%26hl
%3Did%26client%3Dfirefox-a%26hs%3DWNo%26rls%3Dorg.mozilla:en-
US:official [ Accesed 24 April 2010]
Sukarni, 2009. Penderita AIDS di Deli Serdang. Available from :
http://matanews.com/2009/09/21/170-penderita-aids-di-deli-serdang/
[Accesed 22 September 2010]
The National AIDS fund, 2003. Managing Tuberculosis and HIV Infection in Today's
General Workplace. Available from : http://www.brta-
lrta.org/tools/pdf_mngrkit/wrkplace/tbhiv.pdf [ Accesed 20 September 2010]
Thomas, H., 2007 ,et al. Tuberkulosis. Departemen Kedokteran Internal, Divisi
Penyakit Infeksi, Wright State University. Available from :
http://www.javeriana.edu.co/Facultades/Medicina/pediatria/revis/eMedicine
%20-%20Tuberculosis%20%20Article%20by%20Thomas%20Herchline,
%20MD.htm [ Accesed 27 Maret 2010 ]
Verma, S, 2008, et al. HIV Co-Infeksi Tuberkulosis. The Internet Journal of
Pulmonary Medicine. Available from :
http://www.ispub.com/ostia/index.php%3FxmlFilePath%3Djournals/ijpm/
vol10n1/hiv.xml [ Accesed 28 April 2010]
50
Werdhani, R.A., 1995. Patofisiologi, Diagnosis, dan Klafisikasi Tuberkulosis,
Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, Okupasi, dan Keluarga FKUI.
Available from : http://docs.google.com/viewer?
a=v&q=cache:yIOf828DNWIJ:staff.ui.ac.id/internal/0107050183/material/
PATO_DIAG_KLAS.pdf+Retno+Asti+Werdhani,+1995.+Patofisiologi,
+Diagnosis,+dan+Klafisikasi+Tuberkulosis,
+Departemen&hl=id&gl=id&pid=bl&srcid=ADGEESh7NMIln6M7kM8Z9
O1Oz4iYXIAy6xcyOm4bs7QH5fL54fYlWwDymJtpQxrWt1zg9ACdZsuZ
ZHblydQ6XmxmjUdw4_77G94_Q0R_BMdzfdrE2qG9hMK2ir1GYIFXSs0
chCju8HYv&sig=AHIEtbTILF3WTq9tpGwZk9KH6aGQ0Ol6ZQ
[ Accesed 25 April 2010 ]
World Health Organisation, 2005. Faktor Resiko TB. Available from :
http://apps.who.int/tb/surveillanceworkshop/status_analysis/risk_factors_for
_tb.htm [ Accesed 23 Februari 2010]
Yayasan Spritia, 2009. Hidup dengan HIV. Available from :
http://spiritia.or.id/art/bacaart.php?artno=1022 [ Accesed 17 April 2010]